KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH (CLEANER PRODUCTION) Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat
Oleh ANAK AGUNG PURNAMA F34101036
2006 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH (CLEANER PRODUCTION) Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ANAK AGUNG PURNAMA F34101036
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
13
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH (CLEANER PRODUCTION) Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ANAK AGUNG PURNAMA F34101036
Dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Juli 1983 Tanggal Lulus : 19 Desember 2005
Disetujui, Bogor, 13 Januari 2006
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing
Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng
Pembimbing Akademik II
Pembimbing Akademik I
14
Anak Agung Purnama. F34101036. Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production). Studi kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Anas Miftah Fauzi dan Suprihatin. 2006.
RINGKASAN Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officianarum L.) merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) bagi masyarakat Indonesia. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kebutuhan ataupun konsumsi gula masyarakat Indonesia mencapai 3,6 juta ton per tahun untuk sensus penduduk tahun 2000 yang berjumlah 206,3 juta jiwa (BPS, 2001). Namun, tingkat produksi yang hanya mencapai 1,7 juta ton per tahun mengakibatkan kekurangan pasokan gula yang ditutupi oleh impor gula sebesar 1,9-2,0 juta ton per tahun. Di sisi lain, menurut penilaian KLH (2004), hampir seluruh pabrik gula di Indonesia tergolong pada ”kategori merah” (pelaksanaan atau upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku) atau “kategori hitam” (tidak atau belum melaksanakan upaya pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang berarti). Rendahnya kinerja lingkungan pabrik gula tersebut antara lain karena belum adanya pendekatan pengelolaan lingkungan yang efektif, efisien dengan biaya yang terjangkau. Alternatif pendekatan pengelolaan lingkungan yang dapat memberikan manfaat lingkungan sekaligus manfaat ekonomi adalah pendekatan produksi bersih, yaitu suatu pendekatan pengelolaan lingkungan yang memprioritaskan reduksi limbah di sumbernya, pemanfaatan limbah/hasil samping di lokasi pabrik (on-site), pemanfaatan di luar pabrik (off-site), penanganan atau pengolahan secara efisien dan pembuangan limbah secara benar. Penelitian ini bertujuan sebagai salah satu pertimbangan dalam meningkatkan kinerja produksi perusahaan melalui penggunaan teknik-teknik good house keeping, reuse, recycling, reduction serta perbaikan ataupun peningkatan sistem operasi dan prosedur kerja tanpa mencemari lingkungan. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah metode Quick Scan yang merupakan metode untuk menganalisis peluang penerapan konsep produksi bersih dalam rangka mengefisienkan proses produksi. Hasil identifikasi terhadap aliran proses, neraca bahan dan neraca energi menunjukkan peluang penerapan konsep produksi bersih pada beberapa tahapan proses pengolahan gula. Penghematan konsumsi air imbibisi sebesar 5 persen pada proses penggilingan, diduga dapat meningkatkan konsentrasi nira mentah yang dihasilkan dan mengurangi kadar air ampas dari 51 persen menjadi 50 persen. Penurunan kadar air dalam ampas ini , menghemat penggunaan IDO (minyak solar) sebesar 1.061.007,74 kg (± 1,1 juta liter) per tahun atau senilai Rp. 2,3 milyar per tahun. Penerapan konsep in-house keeping pada instalasi ketel uap berupa perbaikan kebocoran pipa aliran uap, diduga mampu mereduksi kehilangan uap baru sebesar 11,7 persen atau sekitar 110,45 kg per ton tebu giling. Manajemen penggunaan air pada beberapa tahapan proses juga memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp. 7.840.000,- per tahun dengan biaya penerapan program produksi bersih sebesar Rp. 4.750.000,- berupa pemasangan level controller, sprayer dan instalasi pipa baru.
15
Anak Agung Purnama. F34101036. An Introduction to Cleaner Production Approach for the Improvement of Cane Sugar Industry. A case study in PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, West Java. Under supervision of Anas Miftah Fauzi and Suprihatin. 2006.
SUMMARY Sugar yielded from sugar cane crop ( Saccharum officinarum L.) is representing one of the nine staple foods ( sembako) for Indonesian citizen. The great amount of Indonesian’s sugar consumption was in contrast with the low level of sugar production. In the year 2000, the amount had reached 3,6 million ton per year while the level of production was only 1,7 million ton per year (BPS, 2001). Due to the insufficiency of sugar supply, sugar import which amounted to 1,9 – 2,0 million ton per year was undeniably occurred. According to KLH assessment ( 2004), almost all sugar mills in Indonesia pertained "red category" (execution or control for environmental pollution yet to reach minimum conditions as arranged in regulation) or " black category" (do not or yet to do meaningful effort in controlling environmental pollution or damage). Cleaner production as an effective, efficient, and affordable approach is potential to be implemented to deal with the low performance of sugar mills’ environmental control. This approach is prioritizing on waste reduction in its source, waste usage on-site and off-site, efficient waste treatment and proper waste disposal. Research was designed to be as one consideration in improving production performance in sugar mills through the use of good house keeping techniques, reuse, recycling, and reduction and also the repair and or improvement of operating system and work procedure without polluting the environment. Quick Scan method was carried out to analyze the opportunity of implementing the concept of cleaner production to obtain efficiency in production process. Process flow, material and energy balance had shown that imbibitions water thrift to 5 percent in the milling station is predicted to be able to improve the concentration of raw juice from 7,54 percent to 9,67 percent polarization, and lessen bagasse moisture from 51 percent to 50 percent, so that the use of IDO (diesel oil) can be economized to 1.061.007,74 kg (± 1,1 million liter) per year or for the price of Rp.2,3 billion per year. Based on this result, the concept of cleaner production is potential to be applied at some sugar processing stages. The repair of steam flow pipe leakage at boiler installation, as a part of inhouse keeping, was anticipated to be able to reduce steam loss equal to 11,7 percent or about 110,45 kg per ton of sugar cane. Water utilization management at some process steps can also give economic benefit equal to Rp. 7.840.000,- per year with implementation cost equal to Rp. 4.750.000,- for the installation of level controller, sprayer and installation of new pipe. The research conducted has come into a conclusion that cleaner production approach is possible to give environmental benefit along with economic benefit for sugar mills.
16
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul ”Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production)” merupakan hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2006 Yang Membuat Pernyataan,
ANAK AGUNG PURNAMA F34101036
17
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Juli 1983 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara, dari pasangan AA. Gde Ngurah dan D. Rodiathi. Penulis menempuh pendidikan di SDN Kotabatu 4 Bogor (1989-1995), SLTPN 3 Bogor (1995-1998), dan SMUN 4 Bogor (1998-2001). Pada akhir pendidikan di SLTA, penulis berkesempatan untuk mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada Tahun 2001 penulis menjadi mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) KM IPB, serta Forum Komunikasi Agroindustri (FORKIND).
Selain itu, penulis juga
pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Menggambar Teknik dan sejak Tahun 2004 bergabung dengan Divisi Pengembangan Produk PT. San Miguel Pure Foods Indonesia. Penulis melakukan Praktek Lapang di PTP Nusantara VIII Kebun Gunung Mas dengan judul ”Teknologi Proses dan Penerapan Produksi Bersih Pada Pengolahan Teh Hitam CTC”. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih”, studi kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat.
18
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production), Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : 1) Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing I atas dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan selama penulis kuliah di TIN. 2) Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan dan bantuan selama penelitian dan pembuatan skripsi. 3) Dr. Hj. Tatit K. Bunasor, M.Sc selaku dosen penguji, atas kritik dan sarannya. 4) Aan Sukmana, BSc, Budi Haryanto, BSc serta seluruh staf dan karyawan PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh atas ijin dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian ini. 5) Ibu, aa, teteh dan seluruh keluarga atas doa, dukungan moril maupun materil yang telah diberikan. 6) Teman-teman atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya, yang akan tersimpan selalu dalam hati. Akhirnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, maka segala kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2006
Penulis
19
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ” Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production), Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat” tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada : 1. Staf Muda PT. PG. Jatitujuh : Kang Ajat, Nandang, Dadang, Dedi, Aan, Waluyo, Chandra, Arif, atas seluruh bantuan yang telah diberikan. 2. Rizka dan West Life (Arya, Aye, Affan dan Kunang), atas doa, bantuan, dukungan serta kebersamaannya selama ini. 3. New Sakinah Crew (Markas Besar TIN 38) : Ikund, Agus, Wanto, Wawan, Slamet, Anas, Galih, Dhani, Ardi, Pupunk, Dicki, Azmidi, Chairil, Aji dan Fathir atas bantuan, kebersamaan dan semangatnya. 4. Topan, Dhokek, Tulus, Chairul (SMUN 4) atas bantuan dan kerjasamanya. 5. Adik-adik TIN 39 : Indra, Ikhlas, Chandra, Ochie, atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Ferry, Linda, Sjri, Citra, Nia, Ajeng, Dewi, Wati , Yeni, Wiwin, Dian K, Yuni Jom, Rahmi, QQ, atas motivasi, bantuan, serta masukan-masukan yang sangat berharga. 7. Teman-teman TINer’s 38 yang telah memberikan persahabatan dan kenangan yang indah. .
Bogor, Januari 2006
Penulis
20
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
I.
II.
III.
v
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ..................................................................
1
B. TUJUAN .......................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA A. TEBU..............................................................................................
3
B. PRODUKSI BERSIH.....................................................................
9
BAHAN DAN METODE A. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................... 12 B. TATA LAKSANA ......................................................................... 13 1. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 13 2. Teknik Analisa Data................................................................. 13 C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN................................ 16
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN .......................................... 19 1. Sejarah Perusahaan................................................................... 19 2. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan ........................................... 20 3. Keadaan Geografis ................................................................... 20 4. Struktur Organisasi .................................................................. 21 B. DESKRIPSI UMUM PROSES DAN PRODUK 1. Bahan Pembantu Proses Produksi ............................................ 22 2. Sarana Penunjang ..................................................................... 23 C. PROSES PRODUKSI 1. Stasiun Pendahuluan ................................................................ 26 2. Stasiun Gilingan ....................................................................... 28 3. Stasiun Pemurnian .................................................................... 29
21
4. Stasiun Penguapan ................................................................... 37 5. Stasiun Pemasakan ................................................................... 40 6. Stasiun Pengemasan ................................................................. 44 D. PEMBAHASAN 1. Penerapan Produksi Bersih ...................................................... 44 2. Potensi Limbah dan Pengelolaannya ....................................... 45 3. Peluang Penerapan Produksi Bersih ........................................ 47 a. Stasiun Boiler ..................................................................... 47 1) Optimalisasi penggunaan ampas ............................ 48 2) Peningkatan kontrol terhadap kinerja ketel uap ..... 51 3) Peluang konservasi energi uap ............................... 51 b. Stasiun Gilingan ................................................................. 55 c. Stasiun Penguapan ............................................................. 61 d. In-house keeping ................................................................ 62 V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ............................................................................. 64 B. SARAN ......................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 65 LAMPIRAN ........................................................................................ 68
22
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan nira tebu ........................................................................
5
Tabel 2. Komposisi nira mentah ....................................................................
6
Tabel 3. Komposisi bahan bukan gula dalam nira tebu .................................
7
23
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema umum proses pembuatan gula tebu ..................................
4
Gambar 2. Struktur kimia sukrosa .................................................................
6
Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih ..................................................... 11 Gambar 4. Diagram alir penerapan produksi bersih dengan metode Quick Scan ................................................................................... 17 Gambar 5. Diagram alir penelitian ................................................................. 18 Gambar 6. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun gilingan .... 46 Gambar 7. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan. 47 Gambar 8. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun boiler........ 50 Gambar 9. Skema peluang konservasi energi uap ......................................... 52 Gambar 10. Diagram ditribusi penggunaan uap di PG. Jatitujuh .................... 54 Gambar 11. Neraca massa di stasiun gilingan (kondisi 1) ............................... 56 Gambar 12. Neraca massa di stasiun gilingan (kondisi 2) ............................... 57 Gambar 13. Konstruksi pipa air imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4 ............ 60 Gambar 14. Skema peluang penerapan in-house keeping................................ 63
24
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi PT. PG Rajawali II Unit PG. Jatitujuh ....... 69 Lampiran 2. Evaluasi giling PG. Jatitujuh Tahun 2002-2004........................ 70 Lampiran 3. Diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh ..................... 71 Lampiran 4. Analisis neraca massa, pol dan brix di stasiun gilingan ............ 72 Lampiran 5. Data pengawasan pabrik ............................................................ 80 Lampiran 6. Perhitungan konsumsi uap di pabrik ......................................... 81 Lampiran 7. Perhitungan penghematan penggunaan IDO melalui penurunan kadar air dalam ampas ............................................................... 85 Lampiran 8. Perhitungan penghematan energi penguapan ............................ 88 Lampiran 9. Perhitungan penghematan penggunaan air ................................ 89 Lampiran 10. Peluang efisiensi proses melalui penerapan produksi bersih di PG. Jatitujuh .......................................................................... 90 Lampiran 11. Mesin dan alat produksi pengolahan gula di PG. Jatitujuh ....... 92 Lampiran 12. Penentuan polarisasi dan brix .................................................... 98 Lampiran 13 Dokumentasi penelitian ............................................................. 100
25
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu negara agraris, perekonomian Indonesia banyak dipengaruhi oleh perdagangan produk hasil-hasil pertanian, baik itu sebagai bahan baku ataupun produk jadi. Salah satu dari hasil-hasil pertanian itu adalah gula. Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officianarum L.) merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) bagi masyarakat Indonesia. Untuk itu, ketersediaan gula dalam jumlah yang mencukupi di seluruh pelosok tanah air dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat menjadi impian bagi setiap masyarakat Indonesia. Dari data yang diperoleh, kebutuhan gula Indonesia terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Data Biro Pusat Statistik (BPS) untuk sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan angka 206,3 juta jiwa (BPS, 2001), sedangkan angka kebutuhan ataupun konsumsi gula masyarakat Indonesia mencapai 3,6 juta ton per tahun. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan tingkat produksi gula nasional per tahun. Perkembangan tingkat produksi gula malah semakin menurun dari tahun ke tahun. Tingkat produksi yang hanya mencapai 1,7 juta ton per tahun mengakibatkan kekurangan pasokan gula yang ditutupi oleh impor gula dari negara lain sebesar 1,9-2,0 juta ton per tahun Penurunan produksi ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah penurunan luas areal perkebunan tebu dan biaya produksi yang masih tinggi. Biaya produksi gula sebagian besar pabrik gula di Jawa terlalu tinggi. Ratarata biaya produksinya adalah sebesar Rp. 1.100/Kg, sementara di luar Jawa dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) memiliki biaya produksi sebesar Rp. 500-Rp.600/Kg dan sebagai pembanding, Thailand juga memiliki biaya produksi sekitar Rp.600/kg (Prabowo, 1996 di dalam anonim Bulog, 1997). Selain itu, kondisi pabrik gula di Jawa yang sudah tua mengakibatkan tingkat rendemen gula tebu rendah dengan biaya pengolahan yang tinggi, ditambah lagi tingginya biaya eksploitasi serta kesulitan manajemen
26
pengaturan waktu tebang, angkut dan giling akibat lokasi kebun yang terpencar-pencar sekarang ini. Di sisi lain, menurut penilaian KLH (2004), hampir seluruh pabrik gula di Indonesia tergolong pada ”kategori merah” (pelaksanaan atau upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku) atau “kategori hitam” (tidak atau belum melaksanakan upaya pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang berarti). Rendahnya kinerja lingkungan pabrik gula tersebut antara lain karena belum adanya pendekatan pengelolaan lingkungan yang efektif, efisien dengan biaya yang terjangkau. Alternatif pendekatan pengelolaan lingkungan yang dapat memberikan manfaat lingkungan sekaligus manfaat ekonomi adalah pendekatan produksi bersih,
yaitu
suatu
pendekatan
pengelolaan
lingkungan
yang
memprioritaskan reduksi limbah di sumbernya, pemanfaatan limbah/hasil samping di lokasi pabrik (on-site), pemanfaatan di luar pabrik (off-site), penanganan atau pengolahan secara efisien dan pembuangan limbah secara benar. Oleh karena itu, melalui pendekatan pilihan-pilihan produksi bersih yang memperhatikan berbagai aspek (teknis, ekonomis dan lingkungan serta potensi peningkatan kinerja yang dapat dicapai), diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta efisiensi produksi industri gula sekaligus memberikan nilai tambah bagi pengelolaan lingkungan.
B. TUJUAN Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
mengkaji
peluang
untuk
meningkatkan kinerja produksi perusahaan melalui penggunaan teknikteknik good house keeping, reuse, recycling, reduction serta perbaikan ataupun peningkatan sistem operasi dan prosedur kerja.
27
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEBU Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim yang di dalam batangnya terdapat gula dan merupakan keluarga rumput-rumputan (graminae) seperti halnya padi, jagung dan bambu. Jenis tanaman tebu yang telah dikenal, seperti POJ-3016, POJ-2878 dan POJ-2976, pada umumnya merupakan hasil pemuliaan antara tebu liar (Saccharum spontaneum atau glagah) dan tebu tanam (Saccharum oficinarum) atau hasil berbagai jenis tebu tanam. Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut, Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Famili
: Poeceae
Genus
: Saccharum
Spesies
: Saccharum oficinarum
Tebu dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi yang tidak lebih dari 1400 meter di atas permukaan laut. Tanaman tebu membutuhkan curah hujan yang tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif. Curah hujan yang tinggi setelah fase vegetatif akan menurunkan rendemen gula. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang (12,5 %), dan nira yang terdiri dari air, gula, mineral dan bahan-bahan non gula lainnya (87,5 %) (Anonim, 1992). Purwono (2003) menjelaskan bahwa tujuan utama penanaman tebu adalah untuk memperoleh hasil hablur yang tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman dan proses ini terjadi di lapangan (on farm). Pabrik gula berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Hablur yang dihasilkan mencerminkan rendemen tebu. Dalam prosesnya, ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen
28
yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang (Purwono, 2003).
TEBU
PENGGILINGAN
AMPAS (BAGASSE)
NIRA MENTAH PEMURNIAN
BLOTONG (FILTER CAKE)
NIRA JERNIH KEHILANGAN GULA
PEMASAKAN NIRA KENTAL KRISTALISASI
TETES (MOLASSES)
GULA PASIR
Gambar 1. Skema umum proses pembuatan gula tebu (Purwono, 2003) Tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin diangkut ke pabrik untuk digiling dalam waktu 24 jam. Apabila lebih lama ditahan, kualitas nira akan menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian sukrosa yang dapat menurunkan kandungan gulanya. Nira merupakan cairan yang keluar dari batang tebu (Moerdokusumo, 1993). Nira tebu merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu : (i) air (77 – 88%), (ii) sukrosa (8 – 21%), (iii) gula reduksi (0.3 – 3%), (iv) zat anorganik
(0.2 – 0.6%), dan (v) zat organik (0.50 – 1%). Berdasarkan sifat
29
kimia dan fisikanya, komponen nira tebu dapat digolongkan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nira Tebu Jenis Bahan Bahan kasar yang terdispersi : tanah, ampas tebu (serat) Bahan koloid : butir tanah, tannin, dan zat warna
(klorophil,
anthocyanin,
saccharetin, dan tannin) Molekul dan ion yang terdispersi : sukrosa dan unsur yang terdapat dalam abu. Air
Ukuran (mm)
Jumlah (%)
≥ 0.0001
5
0.00010.000001
0.05-0.30
≤ 0.000001
8-21
<<<< 0.000001
77-88
Sumber : Goutara dan Soesarsono (1985)
Kandungan utama dari nira tebu adalah sukrosa, terdapat dalam nira tebu sebanyak 8 – 21 % dari jumlah nira tebu. Sukrosa atau gula merupakan disakarida dengan rumus kimia C12H22O11. Sukrosa ditemukan dalam bentuk bebas (tidak berikatan dengan senyawa lain) di dalam tanaman, umumnya tanaman tebu (Saccharum officinarum) dan bit (Beta vulgaris) (Paryanto, 1999). Gula tebu (cane sugar) merupakan nama lain non teknik untuk sukrosa. Sukrosa dapat dihidrolisis oleh asam encer menjadi glukosa (dextrose) dan fruktosa (Lævulose). Campuran keduanya disebut gula invert (Lyle, 1957). Sukrosa dapat mengalami degradasi dengan asam sulfat pekat yang menghasilkan gula batubara (sugar charcoal). Sukrosa termasuk gula non reduksi, sehingga tidak mereduksi larutan Fehling menjadi Cu(I)O atau larutan perak nitrat menjadi perak. Sukrosa tersusun dari dua molekul monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa (Gambar 2).
30
Gambar 2. Struktur kimia sukrosa (Anonim, 1992). Sukrosa mudah larut dalam air. Daya larutnya dipengaruhi oleh suhu, zat lain yang terlarut dalam air serta sifat zat tersebut. Makin tinggi suhu dan garam dalam air, makin tinggi jumlah sukrosa yang larut. Berdasarkan hal ini, kelarutan sukrosa dalam nira tebu tidak saja dipengaruhi oleh suhu, melainkan bergantung juga dari kemurnian dan sifat bukan bahan sukrosa (Paryanto, 1999). Tabel 2. Komposisi Nira Mentah. No.
Komponen
%
1.
Air
77-80
2.
Sukrosa
11-15
3.
Gula Reduksi
0.3-3.0
4.
Garam-garam anorganik
0.3-0.6
5.
Zat-zat organik selain gula :
6.
Protein rantai panjang (albumin)
0.070
Protein sederhana (albuminosa dan peptosa)
0.020
Asam-asam amino
0.015
Beberapa asam dan amida
0.155
Asam organik (akonit, asam oksalat, dll)
0.170
Zat warna (klorofil, tannin, antosianin dan sakaretin)
0.170
Lilin, lemak dan sabun
0.170
Karbohidrat (hemiselulosa, dll)
0.025
Pektin
0.015
Lain-lain
1.100
Sumber : Gehlawat (1996)
31
1. Sifat-Sifat Nira Tebu Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis, berwarna coklat kehijauhijauan dengan pH 5.5-6.0 (Ananta et al., 1990). Warna coklat timbul akibat reaksi enzimatis polifenol. Adapun komposisi nira tebu dapat dilihat pada Tabel 2. Nira yang bermutu tinggi mempunyai kadar gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) yang rendah. Selain komponen gula, terdapat beberapa komponen lain yang berada dalam nira tebu (Tabel 3). Tabel 3. Komposisi Bahan Bukan Gula dalam Nira Tebu No. 1.
2.
3.
Komponen Karbohidrat (selain gula) : -Hemiselulosa
8.5
-Pektin
1.5
Senyawa nitrogen organik : -Protein tinggi (albumin)
7.0
-Protein sederhana (albuminose dan peptose)
2.0
-Asam amino (glisin, asam aspartat)
9.5
-Asam amida (asparagin, glutamin)
15.5
Asam organik (selain asam amino) : Akonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat
4.
%
13.0
Zat warna : Klorofil, antosianin, sakaretin, tannin
17.0
5.
Lilin, lemak dan sabun
7.0
6
Garam anorganik :
7.
fosfat, klorida, sulfat, nitrat dari Na, K, Ca, Mg dan Fe
7.0
Silika
2.0
Sumber : Payne (1953)
2. Kerusakan Nira Nira merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak akibat kontaminasi mikroba. Kerusakan nira sebenarnya sudah dimulai sejak awal produksi. Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi akibat kontak antara batang
32
tebu dengan pisau atau tanah (Mochtar dan Ananta, 1988). Mikroba yang terbanyak menyerang tebu potongan adalah Leuconostoc mesenteroides yang berasal dari tanah. Kerusakan nira ditandai dengan rasa yang asam, berbuih putih dan berlendir. Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan sukrosa nira (Dachlan, 1984), sedangkan menurut Mochtar (1994), kerusakan nira (sukrosa), baik sebelum dan sesudah diolah sangat tergantung pada pH nira dan suhu pemurnian nira. Pada pH yang rendah sukrosa akan rusak, yaitu akan terinversi menjadi gula invert. Inversi adalah pemecahan sukrosa menjadi gula invert yang terdiri dari glukosa dan fruktosa dalam perbandingan yang sama. C12H22O11 + H2O
C6H12O6 + C6H12O6
Sukrosa
glukosa
fruktosa.
Gula invert ini selanjutnya akan terfermentasi dan terbentuk etanol. C6H12O6 + Saccharomyces ellipsoides Glukosa/fruktosa
2C2H5OH + CO2 etanol
Etanol kemudian mengalami proses oksidasi oleh bakteri Acetobacter aceti menjadi asam asetat. C2H5OH + Acetobacter aceti
CH3COOH + H2O
Etanol
asam asetat
Hal ini akan menyebabkan kadar gula menurun dan kadar asam meningkat sehingga pH cenderung menurun (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Selain komponen gula dan asam organik, terdapat komponen lain dalam nira yang mempengaruhi proses pembuatan gula. Dalam proses pemurnian nira, komponen tersebut perlu dihilangkan, karena komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi proses pengkristalan serta produk yang dihasilkan, misalnya warna gula yang merah. Ramjeawon
(2000),
menjelaskan
bahwa
industri
gula
memiliki
karakteristik sebagai berikut: mengkonsumsi air dalam jumlah besar, menghasilkan limbah cair dengan kandungan bahan organik tinggi (BOD5 : 60-2000 mg/L), menghasilkan sejumlah besar sludge dan limbah padat dan menghasilkan emisi gas tercemar. Masalah lingkungan industri gula nasional
33
terkait dengan limbah cair, limbah padat dan emisi gas. Hampir seluruh bagian dari proses produksi gula berkontribusi terhadap produksi limbah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah atau hasil samping dari pabrik gula berpotensi untuk direduksi, termasuk reduksi konsumsi air dan energi, pemakaian bahan tambahan, produksi limbah dan penurunan biaya pengolahan limbah.
B. PRODUKSI BERSIH Produksi bersih merupakan upaya pelaksanaan strategi pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkesinambungan terhadap proses dan produk untuk mengurangi resiko pada manusia dan lingkungan. Pada proses produksi, produksi bersih berhubungan dengan konservasi bahan mentah dan energi, pengurangan bahan berbahaya dan reduksi jumlah dan toksisitas dari semua emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Pada produk, strategi produksi bersih difokuskan pada reduksi dampak sepanjang siklus hidup produk, dari ekstraksi bahan mentah sampai ke pembuangan akhir dari produk (Hammer, 1996). Produksi bersih menggambarkan pendekatan baru terhadap permasalahan produksi yang meliputi proses produksi, daur produksi dan pola konsumsi, yang memungkinkan kebutuhan dasar manusia terpenuhi tanpa mengganggu atau merusak lingkungan (Boyle, 1999). Tujuan dari produksi bersih adalah untuk mengurangi tingkat emisi yang mencemari dan mengurangi produksi limbah pada sumbernya sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, energi dan utilitas (USAID, 1997). Pauli (1997) menyatakan, produksi bersih sering dikaitkan dengan berbagai inovasi teknologi, termasuk upaya pencegahan terpadu, pengendalian pencemaran dan bahkan remediasi serta clean up. Namun, akan lebih tepat jika produksi bersih diartikan sebagai pendekatan operasional ke arah pengembangan sistem produksi dan konsumsi yang dilandasi suatu pendekatan pencegahan untuk perlindungan lingkungan. Tujuan akhir dari produksi bersih adalah nir limbah (zero waste). Pendekatan ini akan
34
menggeser pengendalian pencemaran menuju paradigma baru, yaitu pencegahan pencemaran yang selanjutnya dijadikan standar industri. Menurut USAID (1997), metode produksi bersih merupakan suatu pendekatan yang mengarah pada peningkatan efisiensi proses produksi, penggunaan teknik-teknik daur ulang dan pakai ulang, kemungkinan subtitusi bahan baku dengan lebih ekonomis dan tidak berbahaya serta perbaikan atau peningkatan sistem operasi dan prosedur kerja. Tujuan dari produksi bersih adalah mengurangi tingkat emisi yang mencemari dan mengurangi produksi limbah pada sumbernya yang sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, energi dan utilitas. Pada proses produksi, produksi bersih memberikan beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk mereduksi limbah. Pilihan-pilihan itu adalah pengubahan bahan, pengubahan teknologi, good-operating practise/goodhouse keeping, pengubahan produk, reuse serta recycling (UNEP, 2004). Van Berkel et al. (1997) mengemukakan bahwa peningkatan efisiensi proses produk, daur ulang dan pola konsumsi yang berkaitan dengan penggunaan energi dan bahan merupakan kunci pertama dalam operasional konsep produksi bersih. Dalam produksi bersih, peningkatan efisiensi dapat berupa inhousekeeping yang baik, seperti mencegah tumpahan atau kebocoran serta manajemen bahan yang lebih sempurna. Selain itu, ada kalanya teknologi proses perlu dikaji ulang, sehingga tercapai efisiensi bahan dan energi dalam proses produksi. Efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalui penerapan prinsip-prinsip reuse dan recycling dalam daur ulang produk. Air yang telah dipakai dalam unit proses tertentu, masih dapat dimanfaatkan dalam unit proses lainnya. Mengingat air maupun peralatan pengolah limbah semakin mahal, maka air buangan yang dipakai ulang lebih murah jika dibandingkan dengan mengolah limbah cair lalu dibuang ke sungai (Erningpraja, 2001). Empat cara untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan produk bekas, yaitu : 1) Reuse : memperpanjang pemanfaatan produk bekas melalui upaya pembersihan, pencucian atau sterilisasi, 2) Repair : memperbaiki barang dan alat yang mengalami kerusakan, tidak berfungsi atau kinerjanya kurang, 3)
35
Reconditioning atau remanufacturing : memulihkan produk ke kondisi primanya melalui penggantian komponen tertentu, 4) Recycling : mendaur ulang produk bekas sebagai masukan pada proses produksi tertentu (Erningpraja, 2001). Adapun manfaat yang dapat diambil dari penerapan produksi bersih ini adalah (1) Pengurangan biaya operasi, (2) Peningkatan mutu produk, (3) penghematan bahan baku, (4) Peningkatan keselamatan kerja, (5) Perbaikan kesehatan umum dan lingkungan hidup, (6) Penilaian konsumen menjadi positif dan (7) Pengurangan biaya penanganan limbah (USAID, 1997). Teknologi produksi bersih merupakan gabungan teknik pengurangan limbah pada sumber pencemar (source reduction) dan teknik daur ulang (USAID, 1997) yang secara ringkas diperlihatkan pada Gambar 3 .
Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih (USAID, 1997)
36
III.
METODOLOGI
Dalam upaya memformulasikan strategi peningkatan kinerja produksi perusahaan yang dapat dilakukan setelah menentukan topik dan tujuan penelitian serta mengidentifikasi variabel-variabel yang diperlukan, maka hal pertama yang dilakukan adalah mengukur kinerja produksi perusahaan. Pengukuran kinerja ini sangat diperlukan untuk mengetahui kesesuaian antara pencapaian hasil dengan tujuan yang direncanakan. Aspek-aspek tersebut dikaji dengan menggunakan beberapa pendekatan yang mengacu pada efisiensi produksi dalam meningkatkan produktivitas perusahan. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pada penelitian ini, pengumpulan data dilaksanakan dengan metode survei dan wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan penelitian. Pengambilan data sekunder dilakukan melalui studi literature, berupa tulisan-tulisan, referensi, laporan, administrasi perusahaan dan sumber-sumber lain yang dapat menunjang penelitian.
A. KERANGKA PEMIKIRAN Biaya produksi, biaya penanganan dan biaya lainnya yang terkait dengan biaya produksi yang tinggi, merupakan masalah yang sering dihadapi oleh suatu industri. Dengan meminimalkan biaya-biaya tersebut, melalui pendekatan penerapan konsep produksi bersih, diharapkan akan menghasilkan penghematan biaya yang cukup besar pada masa yang akan datang. Selain itu, dari segi efisiensi proses, penerapan konsep produksi bersih diharapkan mampu meningkatkan efisiensi produksi melalui konsep reuse dan recycling serta menambah nilai kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Dengan kata lain, penerapan konsep produksi bersih ini, akan memberikan manfaat ekonomi sekaligus manfaat lingkungan.
37
B. TATA LAKSANA 1. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh melalui tahapan sebagai berikut : a. Tahap Persiapan Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan kegiatan produksi di industri gula seperti kapasitas dan proses produksi, jumlah mesin, layout pabrik serta telaah pustaka yang relevan. b. Tahap Pengumpulan Data Lapangan Data ini diperoleh dengan melakukan pengamatan secara langsung kegiatan proses produksi serta aspek-aspek yang menunjang. Selain itu, dilakukan wawancara dengan pihakpihak yang berkaitan dengan topik penelitian guna menunjang data yang didapatkan.
2. Teknik Analisis Data Berdasarkan
data
yang
telah
didapat,
dilakukan
analisis
permasalahan utama pada proses produksi yang perlu mendapat perhatian dan pembahasan secara khusus. Setelah itu, identifikasi tahapan proses yang dapat diefisienkan serta altenatif pilihan penerapan produksi bersih berdasarkan masalah yang dihadapi sehingga diperoleh suatu proses modifikasi sebagai usulan kepada pihak perusahaan. Setelah itu, dilakukan analisis finansial. Dalam analisis finansial, dikaji keuntungan dari investasi atau penghematan yang dapat dilakukan dari penerapan konsep produksi bersih dengan analisis Pay Back Period serta keuntungan atau manfaat penerapan produksi bersih tersebut terhadap lingkungan. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah metode Quick Scan yang merupakan metode untuk menganalisis peluang
penerapan
konsep
produksi
bersih
dalam
rangka
mengefisienkan proses produksi. Metode quick scan merupakan metode yang digunakan untuk mengaudit peluang ataupun penerapan
38
produksi bersih melalui analisis neraca massa dan neraca energi. Dari analisis ini, diharapkan dapat diidentifikasi input dan output dari setiap tahapan proses serta seberapa besar kehilangan (losses) yang timbul akibat tahapan proses produksi yang kurang efektif dan efisien. Metode ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pendugaan awal, tahap analisis melalui neraca bahan dan tahap sintesis atau implementasi. Secara umum metode ini dapat dilihat pada Gambar 4. Langkah-langkah
pendekatan
yang
dapat
dilakukan
untuk
mengimplementasikan Produksi Bersih (United Nation Environment Programme Industry and Environment, 1995) adalah : a. Langkah Pendahuluan 1) Pembentukan tim Tim yang dibentuk untuk melakukan penerapan produksi bersih sebaiknya terdiri dari tiga orang yang memiliki fungsi kerja yang berbeda dan dari tingkat hirarki struktur organisasi yang berbeda. Tim ini harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup tentang produksi bersih. 2) Penyusunan daftar tahapan proses dan identifikasi alur limbah Tim yang telah dibentuk diharuskan untuk menyusun daftar proses penting yang dilakukan. Tim ini harus mengidentifikasi input dan output yang dihasilkan dari suatu proses. b. Analisis Tahapan Proses 1) Siapkan diagram alir proses Persiapan diagram proses yang lengkap merupakan kunci utama dalam analisis produksi bersih. Diagram ini merupakan gambaran dari proses produksi yang memperlihatkan tahapan proses dan sumber-sumber penghasil limbah dan emisi. 2) Penyusunan neraca massa Neraca massa merupakan hal penting dalam implementasi produksi bersih karena dari neraca massa dapat diketahui jumlah emisi atau material dan energi yang hilang selama proses.
39
3) Karakterisasi limbah Komponen
kunci dari penilaian
produksi bersih
adalah
mengkarakterisasi limbah yang dihasilkan dan faktor yang memberikan metode dan biaya untuk penanganan limbah. 4) Penilaian nilai ekonomi yang dihasilkan Untuk menilai potensi ekonomi dari limbah yang dihasilkan, maka limbah tersebut harus dinilai dengan uang. 5) Telaah (review) terhadap proses untuk mengidentifikasi penyebab limbah c. Penilaian Peluang-Peluang Implementasi Produksi Bersih d. Pemilihan Solusi Produksi Bersih yang akan diterapkan 1) Kelayakan teknis Evaluasi teknis yang dilakukan untuk menentukan pilihan solusi produksi bersih yang akan diterapkan, seringkali didahului dengan
pengujian dampak yang dilakukan
dengan
cara
pengukuran terhadap proses, produk, kecepatan produksi dan keamanan serta keselamatan. 2) Kelayakan ekonomi Kelayakan ekonomi sering menjadi parameter kunci dalam penentuan apakah solusi produksi bersih yang ditawarkan akan diterima atau ditolak oleh pihak manajemen. Analisis ekonomi dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
bermacam-macam
metode, seperti payback period, internal of return, net present value dan lain-lain. 3) Dampak lingkungan Solusi produksi bersih yang ditawarkan harus dinilai dampaknya terhadap lingkungan. Dalam banyak kasus, dampak positif terhadap lingkungan yang terjadi adalah pengurangan kadar racun dan atau jumlah limbah yang dihasilkan, e. Implementasi Solusi Produksi Bersih f. Pemeliharaan Produksi Bersih yang telah diterapkan
40
C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN Penelitian Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Melalui Introduksi Penerapan Produksi Bersih ini dilakukan mulai awal Mei sampai dengan awal Juni 2005. Lokasi penelitian adalah PT. PG Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat. Diagram alir penelitian dijelaskan secara ringkas pada gambar 5.
41
Gambar 4. Diagram alir penerapan produksi bersih dengan metode Quick Scan (USAID, 1997).
42
Pustaka yang relevan
Mulai
Persiapan
Pengumpulan data lapangan
Data/informasi : Quick scan
Analisa permasalahan utama
Identifikasi tahapan proses yang dapat diefisienkan
Penyusunan alternatif penerapan produksi bersih
Analisa alternatif terpilih
Analisa finansial
Tidak Layak ? Ya Rekomendasi
Selesai
Gambar 5. Diagram alir penelitian
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN 1. Sejarah Perusahaan Pada tahun 1971, pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan Bank dunia membentuk suatu forum yang dinamakan Indonesia Sugar Study (ISS). Langkah ini dilakukan dalam rangka usaha meningkatkan kembali produksi gula dalam negeri. Salah satu program kegiatan yang dilakukan adalah mencari areal baru yang berorientasi pada lahan kering untuk mendirikan pabrik gula baru. Program kegiatan ini dilakukan pada tahun 1972 di seluruh wilayah Indonesia. Produksi gula dalam negeri yang merosot beberapa tahun yang lalu memicu pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam beberapa hal. Diantaranya adalah perbaikan sistem pengelolaan pabrik (pabrik gula yang ada) dan pendirian pabrik gula yang baru. Perbaikan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi gula sehingga dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Sebagai tindak lanjut dari pencarian area tersebut, menteri pertanian mengeluarkan SK. No. 795/Mentan/VI/1975. Surat keputusan ini dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 1975 tentang izin prinsip pendirian pabrik gula Jatitujuh sebagai salah satu proyek pabrik gula. Proyek ini dikelola oleh PNP XIV yang berada di Propinsi Jawa Barat di areal kehutanan Jati Munggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Sesuai SK pembebasan areal yaitu SK menteri pertanian No. 481/Kpts/UM 76 yang dikeluarkan Tanggal 9 Agustus 1976. Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 1 November 1977 pengelolaan proyek Jatitujuh beralih ke Staf bantuan Menteri (SBM). Pengalihan pengelolaan proyek ini didasarkan pada SK menteri pertanian
No.
654/KPT/ORG/10/1977. Pada tanggal 5 September 1980, Presiden Soeharto meresmikan PG. Jatitujuh dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1981 PNP XIV berubah statusnya menjadi PT. Perkebunan XIV (persero). Peraturan
44
pemerintah ini dikeluarkan pada Tanggal 1 April 1981. PG. Jatitujuh akhirnya menjadi salah satu pabrik gula yang bernaung di bawah PTP XIV (persero). Selama bernaung di bawah PTP XIV, PG. Jatitujuh belum pernah memperoleh laba sehingga terjadi krisis finansial yang cukup berat. Dalam rangka menyehatkan usahanya, maka PG. Jatitujuh diserahkan kepada PT. Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Penyerahan ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 pada tanggal 30 Desember 1988. PT. RNI merupakan BUMN yang berada di bawah Departemen Keuangan.
2. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan Pabrik Gula. Jatitujuh terletak di Desa Sumber, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dari Cirebon berjarak ± 77 km sedangkan dari Jatibarang berjarak ± 20 km dan dari Indramayu ± 32 km. Luas area PG. Jatitujuh ± 13.000 hektar. Areal pabrik yang termasuk ke dalam Kabupaten Indramayu sekitar ± 7000 hektar dan yang masuk ke Kabupaten Majalengka ± 5000 hektar. Lokasi ini selain digunakan untuk lahan perkebunan, pabrik dan perkantoran juga digunakan untuk penyediaan beberapa sarana, yaitu tempat penampungan air, komplek perumahan staff dan karyawan, jalan untuk mengontrol area perkebunan maupun jalan
untuk menuju
perumahan dan pabrik pakan ternak. Selain itu, disediakan sarana penunjang lainnya yaitu Mesjid At-Taubah, Gedung serba guna “Graha Sasana Karsa”, taman kanak-kanak, poliklinik, lapangan sepak bola, lapangan volly, lapangan tenis, kantin, koperasi karyawan, fotokopi dan kios telepon.
3. Keadaan Geografis PG. Jatitujuh dibangun di atas areal hutan. Keadaan vegetasi awal terdiri dari jenis kayu johar, kayu jati dan kayu sonokeling. Areal ini juga ditumbuhi semak belukar dan padang ilalang. Pada musim penghujan ada
45
beberapa bagian dari hutan tersebut yang digunakan untuk menanam padi dan palawija. PG. Jatitujuh terletak pada garis bujur timur : 1080 6’ 33”- 1080 6’ 24”, garis lintang 60 31’ 2”- 60 36’ 40” dengan curah hujan yang cukup tinggi per tahunnya, sehingga keadaan ini cocok untuk tanaman tebu yang memerlukan tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Hanya dengan mengandalkan air hujan sehingga tidak mengganggu pengairan untuk tanaman padi. Berdasarkan data curah hujan dari mulai tahun 1989-1998 diketahui bahwa jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 730mm/tahun-2613 mm/tahun. Bulan basah tahunan selama sepuluh tahun itu adalah 4-8 bulan sedangkan bulan keringnya 4-6 bulan. Suhu udara menunjukkan suhu maksimum berkisar antara 29,7 oC – 35 oC sedangkan suhu minimumnya adalah antara 21,6 oC – 24,6 oC. Kelembaban udara tahunannya berkisar antara 71,1-85,3 persen. Jenis tanah yang dimiliki areal perkebunan PG. Jatitujuh adalah tanah liat, sehingga menghambat proses penyerapan air oleh tanaman tebu. Oleh karena itu, dibuat drainase pada setiap petak kebun. Topografi tanahnya landai dan bergelombang dengan ketinggian tanah 30-50 meter di atas permukaan air laut. Kandungan unsur-unsur kimia seperti nitrogen, phospat dan lainnya pada tanah tersebut rendah.
4. Struktur Organisasi Unit PG. Jatitujuh dipimpin oleh seorang administratur dan dibantu oleh empat kepala bagian, yaitu kepala bagian tanaman, instalasi, pabrikasi dan TUK (Tata Usaha Kantor). Sejak Tanggal 2 Januari 1998 ditambah oleh kepala bagian pakan ternak. Sesuai edaran dari RNI Holding istilah dalam struktur organisasi mengalami perubahan menjadi general manager, plantation manager, engineering manager, processing manager dan financial and administration manager. Struktur organisasi dilampirkan pada Lampiran 1.
46
B.
DESKRIPSI UMUM PROSES DAN PRODUK 1. Bahan Pembantu Proses Produksi a. Kapur tohor Kapur tohor yang digunakan untuk proses produksi adalah berupa susu kapur dalam bentuk suspensi dengan kekentalan 6 oBe. Susu kapur yang digunakan harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Mempunyai pengaruh dalam pemurnian atau pembersihan nira atau dengan kata lain susu kapur tersebut harus mudah bereaksi dengan komponen-komponen nira sehingga dapat membentuk garam yang mudah mengendap. 2) Kandungan atau kadar CaO lebih dari 82 persen. 3) Mudah diperoleh dan harganya murah. Fungsi dari susu kapur ini dalam proses produksi adalah sebagai bahan untuk pemurnian nira mentah, penetral asam sekaligus sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang ada dalam nira menjadi mati.
b. Flokulan Bahan ini digunakan untuk membantu proses pemurnian pada proses produksi dan digunakan juga pada stasiun penjernihan air. Dengan adanya flokulan, kotoran-kotoran yang berupa partikel-partikel kecil yang melayang di dalam nira dapat menggumpal dan lebih cepat mengendap. Flokulan yang digunakan adalah superfloc. Penambahan flokulan untuk proses pemurnian dilakukan pada saat nira berada dalam prefloc tower.
c. Belerang Pabrik gula Jatitujuh merupakan pabrik yang menerapkan proses sulfitasi ganda dengan menggunakan belerang dalam bentuk gas SO2. Gas ini diperoleh dengan membakar belerang pada tobong belerang. Gas tersebut berfungsi untuk membersihkan kotoran dan memucatkan warna nira kental.
47
2. Sarana Penunjang a. Stasiun Penyediaan Air Pada unit penyediaan air ini, air diolah untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk keperluan proses produksi dan perumahan, pompa hampa (air injeksi) dan air untuk bahan baku boiler. Adapun proses pengolahan air tersebut adalah sebagai berikut : 1)
Air Sungai Cimanuk yang terletak ± 7 km dari pabrik ditampung dalam water basin (kolam pengendapan awal). Masuknya air ke dalam water basin menyebabkan kotoran-kotoran yang ada dalam air tersebut dapat mengendap.
2)
Selanjutnya air tersebut di pompa ke dalam clarifier dan ditambahkan bahan-bahan kimia yaitu flokulan Penambahan
tawas
(Alumunium
Sulfat)
dan tawas.
diharapkan
dapat
mengendapkan io-ion yang tidak dikehendaki seperti ion Ca 2+ dan Mg 2+. Flokulan berfungsi untuk mempercepat proses pengendapan karena sifatnya yang cenderung menarik partikel-partikel melayang sehingga membentuk gumpalan-gumpalan yang akan mengendap dengan sendirinya. 3)
Air dari clarifier ini kemudian dipompa ke tangki gravel. Fungsi dari tangki gravel ini adalah untuk menyaring air yang telah jernih sehingga air yang dihasilkan lebih jernih dan bersih lagi. Tangki ini berisi pasir pada bagian atas dengan ketebalan kurang lebih 70 cm dan bagian bawahnya terdapat batu-batuan berdiameter sekitar 5 cm dan tebalnya 60 cm. Pada bagian paling bawah terdapat saringan 400 mesh. Fungsi pasir dan batu itu adalah untuk menyaring kotoran yang masih belum terendapkan di bak clarifier. Air tersaring ini kemudian ditampung di dalam tangki air tersaring.
4)
Air tersaring tersebut digunakan untuk proses produksi (pendingin pompa dan mesin-mesin, air imbibisi, air pencuci dan air untuk kebutuhan perumahan), air pengisi boiler dan air injeksi. Air yang digunakan untuk mengisi boiler diperoleh dengan melewatkan air tersaring ke tangki gravel berisi resin di atas pasirnya. Fungsi resin
48
adalah untuk menurunkan kesadahan sampai mencapai angka kurang dari 0,05 ppm. Air yang diperoleh dinamakan air softener. Air softener ini juga digunakan untuk pertama kali proses penggilingan,
sedangkan
untuk
selanjutnya
digunakan
air
kondensat dari hasil evaporasi badan penguap I dan II. 5)
Air jatuhan dari kondensor evaporator dan kondensor vacuum pan terlebih dahulu ditampung dalam bak penampung air jatuhan. Suhu air jatuhan kurang lebih 45 oC dan bak penampung juga berfungsi untuk menurunkan suhu hingga 35
o
C. Air jatuhan tersebut
kemudian dipompa ke puncak menara pendingin yang dilengkapi dengan cooling fan. Air kemudian disebar oleh kisi-kisi di puncak masing-masing kompartemen (sel), sehingga terjadi pendinginan yang efektif oleh udara yang dihembuskan cooling fan dan sebelum digunakan air tersebut dipompa dari menara pendingin ke bak penampung air injeksi.
b. Stasiun Boiler Pabrik gula Jatitujuh memiliki tiga buah boiler penghasil uap dengan tipe pipa air. Dua buah boiler dengan sistem economizer dan sisanya memiliki sistem air heater. Sistem economizer memanaskan terlebih dahulu air kondensat yang akan dimasukkan ke dalam boiler dari suhu 90 oC menjadi 135 oC dengan menggunakan gas buangan dari boiler, sedangkan sistem air heater menarik udara dari luar kemudian memasukkannya ke dalam air heater untuk dipanaskan sampai mencapai suhu kurang lebih 200 oC, kemudian hasilnya yang berupa udara panas dimasukkan ke dapur pembakaran untuk mempercepat pembakaran ampas (bahan bakar). Kapasitas masing-masing boiler adalah 55 ton uap/jam. Uap yang dihasilkan memiliki tekanan sebesar 26 bar. Bahan bakar yang digunakan adalah ampas tebu dan IDO (International Diesel Oil). Penggunaan IDO biasanya dilakukan pada saat pertama kali giling. Setelah produksi berjalan dan menghasilkan ampas, barulah digunakan
49
ampas sebagai bahan bakar. Bila menggunakan total IDO sebagai bahan bakar, maka dibutuhkan 4.100 liter/jam untuk satu boiler, sedangkan jika menggunakan ampas tebu diperlukan sebanyak 24.100 kg/jam untuk satu boiler. Beberapa faktor yang harus diperhatikan pada saat pengisian air boiler ini adalah : 1)
pH berkisar antara 8,5 – 10,5
2)
Total hardness kurang dari 2 ppm
3)
Oksigen terlarut kurang dari 0,05 ppm.
Faktor-faktor tersebut bertujuan untuk menghindari kerusakan dinding drum boiler akibat kegosongan dan terbentuknya karat atau korosi.
c. Stasiun Besali Stasiun ini merupakan bengkel alat-alat pabrik. Fungsi stasiun ini adalah memperbaiki alat-alat atau mesin yang rusak yang ada di pabrik. Bahkan seringkali stasiun ini membuat alat-alat yang dibutuhkan seperti tangki clarifier, tangki sulfitasi, bejana kondensor dan lain-lain.
d. Stasiun Listrik Listrik di PG. Jatitujuh diperoleh dari dua macam pembangkit tenaga listrik, yaitu pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga diesel. Pembangkit listrik tenaga uap dipenuhi oleh dua buah turbin alternator dengan kapasitas masing-masing 3500 Kilo Watt dan tegangan 6000 Volt, sedangkan pembangkit listrik tenaga diesel dipenuhi oleh dua buah mesin diesel berkapasitas masing-masing 250 KW dengan tegangan 380 Volt dan 1000 KVA. Pada saat masa giling, listrik yang digunakan berasal dari alternator pembangkit listrik tenaga uap, namun jika tidak sedang giling maka yang digunakan adalah listrik dari diesel. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk : 1) Keperluan penerangan, yaitu :
Penerangan pabrik
Perkantoran
50
Kompleks perumahan dan sekitarnya
2) Keperluan daya, yaitu :
Mesin-mesin dan peralatan pabrik
Alat-alat listrik rumah tangga seperti : pompa, air conditioner, mesin cuci, rice cooker dan lain-lain.
C. PROSES PRODUKSI Dalam pembuatan gula putih dari tebu, sukrosa harus dipisahkan dari zat dan ikatan bukan gula dalam serangkaian tahapan unit operasi dan unit proses yang diikhtisarkan dalam Lampiran 2. Berikut ini tahapan proses pembuatan gula tebu di PG. Jatitujuh.
1. Stasiun Pendahuluan a. Penerimaan Tebu Pembongkaran dan penampungan tebu sementara sebelum tebu digiling dilakukan pada sebuah lapangan luas yang disebut cane yard. Di cane yard, kontinyuitas umpan tebu yang masuk ke main carrier dapat diatur. Berikut ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada stasiun pendahuluan. Tebu yang sudah ditebang, diangkut oleh truk atau trailer. Truk yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu : 1) Truk yang dilengkapi dengan rantai pada bak pengangkutnya. Dengan adanya rantai ini, tebu dapat di angkut ke cane carrier dengan menggunakan alat graber atau loading crane. 2) Truk yang dilengkapi sling pada bak pengangkutnya. Dengan sling ini, tebu dapat diangkut ke cane yard dengan menggunakan hilo. Dari cane yard kemudian tebu dibawa ke meja tebu dengan menggunakan cane stacker. Tebu yang diangkut oleh trailler dibongkar dengan menggunakan mobil crane (tadano). Pembongkaran ini dilakukan di cane yard. Jika kondisi meja tebu penuh maka tebu disimpan di cane yard. Semua tebu yang disimpan di cane yard, akan diangkut ke meja tebu dengan
51
menggunakan cane stacker. Penyimpanan tersebut tidak boleh lebih dari
20
jam
karena
akan
mengurangi
kadar
sukrosa
yang
dikandungnya. Sebelum truk atau trailler yang mengangkut tebu masuk ke cane yard, keduanya harus melewati tim MSB (Manis, Segar dan Bersih) terlebih dahulu. Setelah melewati tim MSB, kendaraan pengangkut tebu dari kebun tersebut harus melewati jembatan timbangan bruto. Penimbangan ini dilakukan untuk mengetahui berat dari tebu dan alat pengangkutnya. Setelah penimbangan, kendaraan tersebut menuju cane yard untuk menurunkan tebunya, lalu tebu tersebut dibawa ke meja tebu. Pada meja tebu, terdapat perata (leveller) yang berfungsi untuk menyamakan tinggi dari tumpukan tebu yang akan masuk ke cane carrier. Selain leveller, terdapat juga rantai gigi pada permukaan mejanya. Fungsi dari rantai gigi ini adalah membawa agar bisa naik dan masuk ke cane carrier. Selanjutnya tebu dibawa oleh cane carrier menuju stasiun gilingan. Kendaraan yang telah menurunkan tebu kemudian ditimbang lagi di jembatan tarra. Fungsi penimbangan ini adalah untuk mengetahui berat dari kendaraan pengangkut. Dengan demikian, dapat diketahui jumlah tebu yang masuk ke cane yard, yaitu dengan mengurangi berat tebu dan kendaraan pengangkutnya dengan kendaraan pengangkutnya.
b. Penyiapan Tebu (Cane Preparation) Penyiapan tebu bertujuan untuk membuka sel-sel tebu dalam bentuk serpihan, meningkatkan kapasitas giling dan meningkatkan hasil pemerahan gula (pol extraction). Kegiatan yang tercakup dalam cane preparation adalah pemecahan tebu, perataan tebu dan peremukan tebu. Pemecahan tebu dilakukan oleh dua set pisau pemotong yang berputar (cane cutter). Tebu pada main carrier akan dibawa menuju cane cutter I untuk dipotong-potong. Cane cutter I ini terdiri 54 buah
52
pisau dengan jarak ujung piasu ke dasar main carrier adalah 880 mm. Hasil dari cane cutter I kemudian diratakan oleh perata tebu (cane leveler) sebelum dibawa menuju cane cuttar II. Cane cutter II ini terdiri 82 buah pisau dengan jarak ujung ke dasa main carrier 50 mm. Di cane cutter II, tebu kembali dipecah menjadi potongan yang lebih kecil. Hasil dari cane cutter II kemudian dihancurkan dengan peremuk tebu (shreader hammer). Alat ini terdiri dari 96 buah hammer yang bekerja secara bergantian untuk meremukkan tebu. Shreader hammer ini membuka sel-sel yang batang tebu sehingga mempermudah kerja gilingan. Serpihan tebu ini kemudian dibawa ke stasiun gilingan melalui shreader elevator.
2. Stasiun Gilingan Kegiatan di milling station ini bertujuan untuk mengekstraksi pol (kadar sukrosa) dari tebu sebanyak-banyaknya dengan cara pemerahan dan pembilasan serta menghasilkan bahan bakar yang murah untuk keperluan energi di stasiun gilingan, proses dan listrik perusahaan. Pada stasiun in terdapat empat unit gilingan. Setiap unit gilingan terdiri dari tiga roll yaitu roll depan, roll atas dan roll belakang. Di antara roll depan, atas dan belakang terdapat ampas plate. Fungsi dari ampas plate ini adalah untuk menampung ampas tebu agar tidak jatuh ke bak penampung bersama nira. Sebelum masuk ke gilingan I, tebu tercacah harus melalui cerobong terlebih dahulu. Cerobong ini digunakan agar tebu yang dijatuhkan ke gilingan tidak berceceran. Dijatuhkannya cacahan tebu tersebut, dilakukan agar kondisi tebu tercacah menjadi padat sehingga memudahkan pemerasan. Nira hasil perasan mengalir melalui alur-alur bagian depan roll muka dan alur-alur bagian depan roll belakang kemudian jatuh di atas ampas plate ke penampung yang ada di bagian bawah gilingan. Ampasnya ditampung oleh ampas plate. Ampas terperas dari gilingan I dibawa oleh
53
conveyor intermediet menuju gilingan II. Sebelum masuk gilingan II, ampas tersebut disiram oleh nira dari hasil gilingan III sebagai nira imbibisi. Ampas dari gilingan II lalu masuk menuju gilingan III dan sebelumnya disiram oleh nira hasil gilingan IV dan air imibibisi. Nira hasil perahan gilingan I disebut primary juice dan nira hasil perahan II disebut secondary juice. Primary juice dan secondary juice ditampung dan dicampur menjadi mixed juice. Selanjutnya, ampas dari gilingan III dibawa oleh krapyak menuju gilingan IV yang sebelumnya disiram oleh air imibibisi dengan suhu 30 35 oC sebanyak 25 – 30 persen dari jumlah tebu yang masuk dengan perbandingan 30 persen untuk gilingan III dan 70 persen untuk gilingan IV. Ampas terakhir yang keluar dari gilingan IV lalu dibawa oleh belt conveyor menuju stasiun boiler sebagai bahan bakar boiler, sedangkan nira hasil perasan yang ditampung di bagian bawah gilingan dilewatkan ke cush-cush elevator yang dilengkapi dengan alat penyaring. Pada bagian bawah alas penyaring terdapat bak penampung, sehingga ketika nira dari gilingan I, II, II dan IV dilewatkan, niranya akan tersaring ke bak penampung dan ampasnya dibawa lagi ke gilingan II. Pada cushcush elevator ini, nira ditambahkan susu kapur untuk mengurangi kotoran yang terbawa bersama nira.
3. Stasiun Pemurnian Pada stasiun ini, nira mentah yang dihasilkan dari hasil penggilingan I dan II dimurnikan terlebih dahulu sebelum melalui proses selanjutnya.. Proses
pemurnian
ini
diawali
dengan
menimbang
nira
mentah
menggunakan timbangan nira mentah yang bekerja secara kontinyu. Sebelum masa giling, timbangan dikalibrasi terlebih dahulu dengan batu tarra yang beratnya 2 x 2250 kg, lalu diatur pada kapasitas pengisian tertentu (biasanya 90 persen). Jika diatur pada pengisian 100 persen dikhawatirkan buih nira mentah akan meluber. Nira tebu hasil gilingan berdasarkan sifat kimia fisiknya terdiri dari tiga macam bahan yaitu bahan serat yang terdispersi (tanah dan serat),
54
bahan koloid (tanah, lilin, lemak, protein, gum, pektin, tanin, pigmen) dan molekul serta ion yang terdispersi dalam nira (gula dan unsur yang terdapat dalam abu). Tujuan dari penjernihan (pemurnian) adalah untuk memisahkan komponen bukan gula dari mixed juice semaksimal mungkin. Nira mentah dari stasiun gilingan masuk ke bak penampung. Pada saat ini, klep pneumatik atas terbuka sehingga nira mentah masuk dan mengisi bak timbangan lalu klep akan menutup kembali secara otomatis ketika timbangan sudah terisi 90 persen dari kapasitasnya, dan klep pneumatik bawah secara hampir bersamaan terbuka, sehingga nira dalam bak timbangan terkuras habis masuk ke tangki nira tertimbang. Saat terjadi pengosongan bak timbangan, nira dari stasiun gilingan terus mengalir dan mengisi bak penampung atas. Begitu nira dalam bak timbangan habis, maka klep pneumatik atas terbuka secara otomatis sebagai akibat kerja distribution valve yang terdapat pada mesin pencatat.
a. Pemanasan Mixed Juice Sebelum nira tertimbang masuk ke tangki nira tertimbang, terlebih dahulu ditambahkan kapur sampai pH 6,8. Dari tangki penampung, nira tertimbang dipompa menuju pemanas (juice heater) I dengan suhu 75 oC. Tujuan pemanasan ini adalah untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi kemudian. Pemanas merupakan suatu shell and tube exchanger dimana nira dilewatkan melalui pipa-pipa kecil memanjang sedangkan uap pemanas dialirkan dalam shell yang menyelubungi pipa-pipa kecil tersebut. Shell dibagi-bagi lagi menjadi beberapa kompartemen guna memperbanyak sirkulasi nira sehingga pertukaran panas menjadi semakin efisien. Uap yang digunakan pada pemanas I adalah uap sisa yang berasal dari evaporator I atau evaporator II di stasiun penguapan. Pemanasan ini dilakukan selama beberapa menit dan dilakukan pengawasan terhadap suhu mixed juice agar suhu juice atau nira ini tidak melebihi suhu 75 oC. Pemanasan pada suhu yang terlalu tinggi dan pH rendah akan menyebabkan gula terinversi dan terjadi karamelisasi (Mathur, 1978).
55
Dari pemanas I, kemudian nira dipompa ke defekator tank dan dilakukan pemberian susu kapur. Defecator tank digunakan untuk menaikkan pH juice dari 5,0 – 6,0 menjadi 8,0 - 9,0 dengan cara penambahan larutan kapur (milk of lime). Penambahan susu kapur dilakukan secara bertahap di dalam dua buah defecator tank yang bekerja secara seri. Penambahan susu kapur pertama dilakukan dalam defecator I dengan waktu reaksi sekitar 3 menit. Juice dari defecator I ini memiliki tingkat keasaman sekitar 7,0 – 7,2. Juice ini kemudian dialirkan ke defecator II dan ke dalamnya ditambahkan susu kapur hingga pH juice naik menjadi 8,5 – 9,0 dengan waktu reaksi sekitar 1 menit. Tujuan penambahan susu kapur ini adalah : 1) Mencegah terjadinya inversi gula 2) Mereaksikan komponen-komponen bukan gula (fosfat, asam silikat, lilin, magnesium, pentosan) dengan susu kapur sehingga terbentuk endapan, sedangkan sisa kapur yang berlebih akan direaksikan dengan SO2 di tanki sulfitator.
b. Persiapan Susu Kapur (Milk of Lime) Susu kapur dibuat dengan cara penambahan air pada kapur tohor (quick lime) sehingga terbentuk suatu suspensi. Secara kimia pembuatan susu kapur adalah mengubah oksida kalsium menjadi hidroksida kalsium dengan penambahan air. Reaksi berlangsung sebagai berikut : CaO
+
H2O
Ca(OH)2 + Kalor
Kemurnian susu kapur dijaga dengan menggunakan air murni yang diperoleh dari air kondensasi. Konsentrasi susu kapur yang digunakan adalah 6
o
Be. Kapur tohor digunakan karena dianggap paling
ekonomis. Kapur tohor sendiri dibuat dari batu gamping/batu kapur melalui proses pembakaran dengan reaksi sebagai berikut :
56
CaCO3 + C + O2
CaO + 2 CO2
Kapur ini harus segera digunakan untuk mempertahankan reaktivitasnya.
Kapur
yang
tidak
langsung
digunakan
akan
menyebabkan CaO yang ada akan bereaksi dengan CO2 di udara sehingga membentuk CaCO3 kembali. Kebutuhan kapur untuk reaksi adalah sekitar 1,30-1,70 kg untuk 100 ton tebu yang digiling.
c. Sulfitasi tahap pertama Limed juice dari defecator dipompa ke juice sulfitator. Di dalam sulfitator ini, kelebihan susu kapur dalam limed juice akan bereaksi dengan gas SO2 secara counter current. Counter current adalah sistem pemberian gas SO2 dengan aliran yang berlawanan arah dengan juice. Reaksi ini akan membentuk garam-garam kalsium sulfit yang mengendap dalam bentuk gumpalan-gumpalan yang besar. Reaksi antara susu kapur dengan gas SO2 ini diharapkan berlangsung sempurna sehingga tidak terdapat sisa gas SO2. Penetralan kelebihan ion Ion Ca
2+
dalam limed juice oleh gas SO2 akan menghasilkan
sulfited juice dengan pH netral. Selain untuk menetralkan kelebihan kapur, gas SO2 akan ini berfungsi juga untuk memucatkan, karena gas SO2 akan bereaksi dengan zat-zat warna yang ada dalam juice sehingga akan menghasilkan clear juice (nira jernih) yang berwarna lebih terang. Penambahan gas SO2 harus selalu dikontrol karena penambahan gas SO2 secara berlebihan mengakibatkan terbentuknya garam bisulfit yang sifatnya melarut. Garam ini bersifat reversible, sehingga akan membentuk endapan garam kalsium sulfit pada suhu tinggi. Peristiwa pengendapan ini kemungkinan akan terjadi jika juice dipanaskan di evaporator sehingga terbentuk kerak di badan evaporator.
57
d. Pembuatan gas SO2 Gas SO2 dibuat dengan cara membakar granula belerang di dalam tobong pembakaran yang berbentuk rotary. Belerang padat ini akan mencair pada suhu 119 oC menghasilkan cairan kuning jernih. Pada suhu 250 oC, belerang cair mulai menguap dan menghasilkan gas SO2. Gas SO2 yang sudah terbentuk didinginkan terlebih dahulu sebelum masuk ke sulfitator. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi over heating pada juice. Total kebutuhan belerang untuk reaksi adalah 0,30 – 0,50 kg / 100 ton tebu. Kebutuhan ini terbagi menjadi dua, yaitu 70 persen untuk juice (0,21 – 0,35 kg belerang / 100 ton tebu) dan 30 persen untuk syrup (nira kental).
e. Penyempurnaan Reaksi Sulfitasi Nira dari sulfitator lalu dialirkan ke final reaction tank. Tangki ini berfungsi untuk menyempurnakan reaksi antara kapur hidroksida dengan belerang dioksida dan komponen lainnya yang belum sempat bereaksi. Tangki juga dilengkapi dengan strirrer yang berfungsi sebagai pengaduk. Pengadukan ini dilakukan untuk menyempurnakan reaksi. Waktu reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 7 hingga 8 menit. Juice yang keluar dari final reaction tank diharapkan memiliki pH sekitar 7,10 – 7, 20.
f.
Pemanasan Sulfited Juice Sulfited juice dari final reaction tank kemudian dialirkan ke sulfited juice heater (juice heater II). Alat ini berfungsi untuk memanaskan sulfited juice hingga mencapai suhu sedikit di atas titik didihnya atau sekitar 102 – 105 oC. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat reaksi sisa-sisa zat lebih sempurna, selain itu dengan pemanasan sisa-sisa gas yang tidak bereaksi dapat keluar dari juice. Pengendalian proses operasi selama pemanasan dalam sulfited juice heater dilakukan dengan mengontrol suhu pemanasan.
58
Suhu pemanasan di bawah 102 oC, menyebabkan sisa-sisa gas tidak seluruhnya bebas sehingga menghambat pengeluaran gas di flash tank. Sebaliknya, suhu pemanasan di atas 105 oC, menyebabkan lilin dalam juice larut sehingga menghambat prose selanjutnya. Selain itu, lilin yang larut akan menyebabkan melayangnya sisa-sisa bagasse halus yang ikut dalam juice. Hal ini juga menyebabkan bagassebagasse tersebut tidak tersaring dalam vacuum filter sehingga bagasse tersebut akan ikut dalam produk gula dan menurunkan mutu gula.
g. Pengeluaran Gas, Udara atau Vapour Sulfited juice yang telah dipanaskan kemudian dipompa ke flash tank. Flash tank berfungsi sebagai tempat untuk mengeluarkan gasgas, udara atau vapour yang dapat mengganggu proses pengendapan kotoran-kotoran bukan gula yang akan diendapkan di clarifier. Gasgas tersebut antara lain CO2 , SO2 dan NH3. Flash tank ini dilengkapi dengan cerobong untuk mengeluarkan semua gas, udara atau vapour dengan sempurna. Juice dari flash tank ini kemudian dialirkan menuju clarifier.
h. Pemisahan Clear Juice (Nira Jernih) Clarifier merupakan tempat untuk memisahkan antara clear juice dengan endapan kotoran (mud). Pemisahan ini didasarkan pada prinsip perbedaan berat jenis antara clear juice dengan mud. Pemisahan ini dapat dipercepat dengan penambahan flokulan. Flokulan adalah bahan pembantu untuk mempercepat pembentukan gumpalan-gumpalan kotoran. Flokulan yang digunakan berjenis poly acryl amida. Flokulan bekerja dengan cara menjaring partikel-partikel kotoran yang berukuran kecil dalam ikatan rantainya yang panjang sehingga membentuk endapan yang besar dan kompak. Flokulan ditambahkan sebanyak 2 – 4 ppm pada prefloc tower clear juice panas masuk ke prefloc tower secara tangensial. Dengan aliran tangensial ini, gas-gas yang ringan terlempar ke atas dan keluar melalui cerobong. Gas yang
59
terlempar akan membawa uap nira, oleh karena itu pada cerobong gas dipasang suatu penangkap nira. Penambahan flokulan yang berlebihan akan menyebabkan kesulitan pada penapisan di vacuum filter dan centrifugal. Selain penambahan flokulan, pengendapan di clarifier juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : 1) Kecepatan alir dari juice Kecepatan aliran ini diusahakan dengan kecepatan yang bersifat laminar. Kecepatan alir yang memberikan sifat terbaik untuk pengendapan adalah 6 – 12 meter/jam. 2) Suhu juice yang masuk ke dalam clarifier Suhu juice yang masuk diusahakan anatara 99 – 100 oC. Pada suhu dibawah 99 oC, pengendapan tidak akan sempurna dan pembentukan gumpalan dari gum dan albumin menjadi tidak efisien, sedangkan suhu diatas 100 oC akan menyebabkan gula menjadi rusak, terjadi pembentukan warna dan nilai BHR (Boiling House Recovery) menurun. 3)
Waktu tinggal juice dalam clarifier Waktu tinggal ini merupakan salah satu faktor penting dalam pengoperasian clarifier. Waktu tinggal yang terlalu singkat mengakibatkan hanya sedikit kotoran yang berhasil diendapkan, sedangkan waktu tinggal yang terlalu lama menyebabkan terjadinya inversi gula, pembentukan warna, rendemen proses rendah serta dihasilkannya juice yang berwarna pucat dan keruh. Waktu yang diperlukan untuk proses pengendapan ini adalah sekitar 2,5 jam. Hasil dari clarifier ini adalah clear juice dan mud. Clear juice dialirkan ke clear juice tank sedangkan mud dialirkan ke rotary vacuum filter.
60
i.
Pemisahan Mud Mud sebelum masuk ke dalam rotary vacuum filter terlebih dahulu dicampur dengan bagacillo dari bagcyclone, di dalam mud mixer. Setelah campuran homogen, kemudian campuran tersebut dialirkan ke RVF. Rotary vacuum filter berfungsi untuk memisahkan antara cairan yang disebut filtrate dan padatan yang disebut filter cake(blotong). Filtrate yang dihasilkan kemudian daialirkan kembali ke peti nira tertimbang untuk diproses ulang, sedangkan filter cake yang dihasilkan dibuang dan sebarkan ke kebun-kebun. Parameter keberhasilan kerja RVF dilihat dari nilai pol filter cake yang rendah. Nilai pol ini dipengaruhi oleh sistem pengoperasian vacuum filter yang antara lain meliputi tekanan, air cucian, ketebalan filter cake di drum dan jumlah bagacillo yang dicampurkan. Kecepatan putar vacumm filter yang ideal adalah 6 – 10 rpm.
j.
Penampungan Clear Juice Clear juice sebelum masuk ke clear juice tank terlebih dahulu disaring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan kotorankotoran yang masih terikut dan buih (foam). Tangki ini berfungsi untuk menampung clear juice sebelum dipompa ke clear juice heater. Suhu clear juice yang ditampung dalam tangki ini sekitar 96 – 98 oC. Tangki ini dilengkapi dengan isolator untuk mencegah kehilangan kalor dari juice.
k. Pemanasan Clear Juice Clear juice heater berfungsi untuk menaikkan suhu clear juice dari suhu 96 – 98 oC menjadi suhu sekitar 110 – 115 oC. penaikkan suhu ini bertujuan untuk meringankan beban kerja evaporator badan pertama. Setelah mencapai suhu sekitar 110 – 115 oC, clear juice dialirkan menuju evaporator badan pertama.
61
4. Stasiun Evaporasi (penguapan) Nira jernih (clear juice) hasil pemurnian masih mengandung air yang sangat tinggi (kurang lebih 80 persen), sehingga kadar air ini harus diturunkan agar proses pemasakan dapat berjalan dengan lebih cepat. Derajat kekentalan nira yang harus dicapai di stasiun penguapan adalah 30 – 32 oBe atau 60 – 64 % brix. PG. Jatitujuh memiliki lima badan evaporator yang disusun secara seri, yaitu evaporator I, I, II, IV dan yang satu lagi adalah evaporator yang selalu stand by untuk menggantikan evaporator lain jika terjadi kerusakan atau sedang dibersihkan. Sistem penguapan ini disebut Quadruple Effect Evaporation dengan aliran feed forward, artinya penguapan dilakukan dalam empat badan penguap dengan arah aliran umpan nira encer sama dengan arah steam pemanas, yaitu dari depan ke belakang (dari tekanan tinggi ke tekanan vacuum). Sistem ini memiliki keuntungan yaitu pada pemakaian uap nira, dimana uap nira dari evaporator I dapat digunakan lagi sebagai pemanas pada evaporator II. Begitu halnya dengan uap dari evaporator II digunakan lagi sebagai pemanas pada evaporator III dan uap dari evaporator III digunakan sebagai pemanas nira pada evaporator IV. Pada evaporator I, nira encer (clear juice) diuapkan pada suhu 118 oC dengan menggunakan uap bekas dengan tekanan 1, 5 bar dan tekanan di ruang nira I 1,0 bar. Uap bekas adalah uap panas sisa pemakaian uap baru. Pada evaporator II, suhu uap pemanasnya 105 oC dengan tekanan 1,0 bar. Pada evaporator III, suhu uap pemanas adalah 90 oO dengan tekanan 0,0 cmHg dan untuk evaporator IV suhunya 70 oC dengan tekanan 50 cmHg. Dalam rangka mempertahankan tekanan yang rendah, maka uap yang keluar dari badan terakhir diubah menjadi air kembali dalam tangki pengembunan, sedangkan gas atau uap yang tidak terembunkan dibawa ke separator untuk dipisahkan antara udara dan airnya. Airnya dijatuhkan ke lubang air jatuhan sedangkan udaranya dikeluarkan oleh pompa vacuum. Semua badan evaporator bekerja secara kontinyu. Sebalum nira encer masuk ke dalam evaporator, semua valve yang berhubungan dengan udara
62
luar ditutup rapat, kemudian pompa vacuum dijalankan dengan pompa air injeksi sehingga sedikit demi sedikit tekanan dalam evaporator menurun. Valve pipa amoniak dibuka mulai dari evaporator IV sampai dengan evaporator I. Besarnya bukaan valve disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing evaporator. Setelah itu, valve steam pemanas evaporator I dibuka dan valve pada pipa kondensat pun dibuka. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan pemasukan nira ke evaporator I, II, III dan IV secara berurutan. Setelah nira pada evaporator IV mencapai sepertiga pipa nira dengan kepekatan 64 % brix, nira tersebut dialirkan ke tangki sulfitasi untuk disulfitasi. Kerja evaporator ini dibantu oleh alat kondensor barometrik. Alat ini berbentuk sebuah bejana silinder tegak dengan diameter 2,7 meter, tinggi 800 centimeter dan volume 45 m3. Alat ini berfungsi untuk mengembunkan uap nira yang keluar dari evaporator terakhir sampai berubah menjadi air. Cara kerjanya dimulai dengan pembukaan pompa hampa udara sampai keadaan kondensor hampa, kemudian karena adanya perbedaan tekanan antara kondensor dan evaporator IV, maka uap nira akan mengalir ke kondensor. Kondensor lalu dialiri air pendingin dengan suhu kurang lebih 35 oC melalui pipa injeksi ke bagian atas kondensor, sehingga terjadi pertemuan antara uap nira dengan air injeksi yang menyebabkan perubahan dari uap air menjadi air embun yang jatuh pada suhu sekitar 45 oC dan terbentuk pula keadaan vacuum akibat terjadinya perbedaan suhu. Air embun atau air jatuhan adalah debit air injeksi yang tinggi, sedangkan gas-gas yang tidak terembunkan dalam kondensor dihisap oleh pompa vacuum melalui separator air dengan udara. Air akan jatuh ke bawah sebagai air jatuhan sedangkan udara keluar melalui pompa vacuum. Penguapan di evaporator ini dilakukan dengan waktu tinggal minimal dan suhu serendah mungkin serta pH yang netral. Nilai pH yang kurang dari 6,50 dan pemanasan di atas suhu 115 oC selama lebih dari 2 menit menyebabkan terjadinya inversi gula semakin besar. Nilai pH yang lebih dari 7,50 dan pemanasan di atas 115 oC selama lebih dari 2 menit menyebabkan kerusakan gula reduksi.
63
a. Sulfitasi tahap kedua Raw syrup atau nira kental dari evaporator terakhir dengan pH sekitar 6,80 berwarna gelap serta memiliki viskositas tinggi, dialirkan ke untreated syrup tank dan dicampur dengan leburan. Di dalam tangki ini, nira kental diaduk secara mekanis. Tujuannya adalah agar nira kental tidak membentuk kristal dan kotoran yang mengendap terapungkan. Dari untreated syrup tank kemudian dipompa ke tangki reaktor. Gula SHS I diproduksi dengan hanya melewatkan dan mengaduk nira tanpa adanya penambahan bahan-bahan kimia. Akan tetapi untuk memproduksi gula industri, maka pada tangki reaktor ini ditambahkan flokulan kation dan anion, fosfat serta susu kapur. Setelah melewati tangki rektor, nira kental dialirkan ke aerator, fungsinya adalah untuk mengalirkan udara pada nira kental sehingga kotoran-kotoran yang ada akan terapungkan. Selanjutnya nira kental dipompa menuju syrup sulfitator. Syrup sulfitator merupakan tangki tempat terjadinya proses sulfitasi yang kedua. Pemberian gas SO2 ini bertujuan untuk memucatkan dan mengurangi viskositas dari nira kental. Gas SO2 bereaksi dengan nira untuk mereduksi ion-ion penyebab warna seperti ion ferri menjadi ferro. Reaksi gas SO2 ini dapat dilihat dari perubahan warna nira, penurunan viskositasnya
dan
penurunan
pH.
Penurunan
viskositas
bersifat
menguntungkan karena memudahkan proses sirkulasi selama proses pemasakan sehingga waktu pemasakan dapat dipersingkat. Penambahan gas SO2 harus selalu dikontrol karena penambahan gas SO2 yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya inversi gula pada pan masakan dan terdapat residu SO2 pada produk gula akhir. Hal ini dapat dicegah dengan menaikkan pH sulfited syrup hingga sekitar 5,60 – 5,70. Sebelum memasuki stasiun pemasakan dan kristalisasi, nira kental ditampung dalam tangki JSP (Juice Syrup Purification). Pada tangki ini, gelembung udara yang ada dalamnira kental dipecah sehingga membentuk buih. Kotoran –kotoran yang ada akan terperangkap dalam buih-buih tersebut. Buih-buih yang mengapung dijatuhkan oleh skraper ke Schum
64
tank yang kemudian dipompa ke tangki nira mentah (stasiun pemurnian), sedangkan nira kentalnya masuk ke stasiun pemasakan.
5. Stasiun Pemasakan (Boiling Station) Pada stasiun pemasakan ini, dilakukan penjenuhan syrup (nira kental) sehingga terbentuk kristal-kristal gula. Penjenuhan dilakukan dengan menguapkan cairan yang masih ada, sehingga pada brix tertentu kristal akan keluar. Pemasakan syrup ini dilakukan dalam tiga tahap sehingga menghasilkan tiga jenis masakan (massecuite) yang di dalamnya sudah terbentuk kristal-kristal gula. Pemasakan dilakukan dalam vacuum pan dengan langkah pertama yaitu pemasukan material hingga pan berisi syrup setinggi kalandria (lapisan pembatas dimana nira dipekatkan dalam pan masakan) , yaitu sekitar 19 m3 dan kemudian material diuapkan dengan pemberian panas dan tekan sehingga volumenya akan berkurang sedangkan konsentrasinya akan terus meningkat. Kalandria dijaga agar selalu tertutup oleh cairan, oleh karena itu syrup baru ditambahkan lagi sehingga kalandria tetap tertutup oleh syrup. Dengan adanya penguapan terus menerus maka konsentrasi syrup akan terus meningkat sehingga keadaan larutan menjadi jenuh bahkan mencapai keadaan lewat jenuh. Hal ini dilakukan pada suhu 60-70 oC dan tekanan 60-63 cmHg hingga dihasilkan massecuite. Pemasakan dilakukan selama 2 hingga 2,5 jam. Satu masakan (strike) menghasilkan sekitar 600 karung gula. Massecuite yang sudah terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam crystellizer sebelum disentrifugasi di stasiun curing. Pembentukan kristal diharapkan berlangsung teratur dan baik sehingga dihasilkankristal-kristal gula yang seragam. Hal ini dapat dicapai dengan cara melakukan pembibitan (graining). Graining dilakukan dengan memberikan bibit (seed) berupa tepung gula yang dicampurkan dalam etanol/isoprophil alkohol sehingga dihasilkan suspensi yang disebut slurry. Di stasiun pemasakan ini dilakukan tiga macam graining yaitu graining A untuk
65
pemaskan di vacuum pan A, graining B untuk pemasakan di vacuum pan B dan graining C untuk pemasakan di vacuum pan C. Grain A dibuat dari campuran material sugar melter dari vacuum pan B dan C serta slurry. Grain B dibuat dari campuran molasses dari vacuum pan A dan slurry sedangkan grain C dibuat dari campuran molasses dari pan A dan B serta slurry. Graining diawali dengan pengentalan material dari persen brix 60 persen menjadi 75-80 persen. Setelah mencapai brix 75-80 persen, slurry ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Campuran tersebut dimasak hingga terbentuk kristal inti yang berukuran kurang dari 0,3 mm. Proses graining ini berlangsung sekitar 1 jam. Hasil dari proses graining ini dapat digunakan untuk 6 hingga 8 kali masak dengan cara pemotongan (footing). A massecuite A massecuite merupakan masakan pertama dari material dengan purity (kemurnian) yang tinggi. Material untuk membuat A massecuite adalah grain A, sulfited syrup, sugar melter dari vacuum pan B dan C. Campuran material ini kemudian dimasak dalam vacuum pan sampai menghasilkan A massescuite yang memiliki nilai brix 91, 00 dan purity 84,00-85,00 serta ukuran kristal sekitar 0,8-1 mm. B massecuite B massecuite dibuat dari material molasses dari vacuum pan A dan grain B. Campuran material ini kemudian dimasak hingga menjadi B massecuite dengan persen brix 92,00 dan purity 77,00. C massecuite C massecuite dibuat dari material molasses dari vacuum pan C, grain C dan C wash. Campuran material ini dimasak hingga brix 93 persen dan purity 60,00 persen.
66
Kristalisasi (Crystallization) Massecuite dari stasiun masakan dimasukkan ke crystallizer (palung pendingin) sebelum dimasukkan ke stasiun curing. Crystallizer ini berfungsi untuk melanjutkan penempelan sisa molekul yang ada dalam massecuite ke kristal yang telah ada dengan cara menurunkan titik jenuh dari larutan gula melalui pendinginan massecuite. Pendinginan ini dilakukan dengan menggunakan udara dingin biasa. Crystallizer dilengkapi juga dengan agitator yang berfungsi untuk mempertahankan kehomogenan massecuite serta menjaga agar tidak terjadi pengasaman pada massecuite. Pendinginan untuk A massecuite dilakukan dalam waktu yang singkat dalam horizontal crystallizer. Pendinginan yang lama akan menyebabkan pemadatan A massecuite karena kemurniannya yang tinggi. Hal ini menyebabkan A massecuite akan sulit mengalir. Pendinginan B massecuite dilakukan hingga suhu sekitar 50oC pada horizontal crystallizer. Suhu di bawah 50oC menyebabkan B massecuite akan memadat karena kemurniannya yang cukup tinggi sehingga akan sulit mengalir. Pendinginan B massecuite tidak dilakukan terlalu cepat karena akan menaikkan titik lewat jenuhnya dengan cepat pula sehingga viscositas akan meningkat secara drastis. Hal itu menyebabkan proses pemisahan antara gula dan molasses menjadi sulit. Pendinginan C massecuite dilakukan dengan penurunan suhu dari 65oC menjadi 45oC. Penurunan suhu tersebut memerlukan waktu sekitar
36-48
jam sehingga untuk pendinginan C massecuite dilakukan dalam dua jenis crystallizer, yaitu vertical crystallizer dan horizontal crystallizer. C massecuite dari batch dan continous vacuum pan (suhu 65oC) dialirkan menuju C massecuite receiver dan kemudian dipompa menuju horizontal crystallizer. Horizontal crystallizer menurunkan suhu C massecuite menjadi sekitar 55 – 56oC. C massecuite kemudian dialirkan ke vertical crystallizer hingga suhunya turun menjadi 45 – 47oC. setelah itu, C massecuite dimasukkan ke massecuite heater untuk menaikkan suhunya menjadi 50 – 55oC. C massecuite dengan suhu sekitar 50 – 55oC dipompa menuju C massecuite head box sebelum diputar dalam mesin sentrifugal
67
Pemisahan kristal gula (curing) Massecuite dari crystallizer dialirkan ke stasiun curing (putaran). Di stasiun ini, dilakukan pemisahan antara kristal gula dan molasses yang terdapat dalam massescuite. Pemisahan ini dilakukan dalam mesin sentrifugal. Pemisahan dengan cara pemutaran ini dilakukan karena sifat massecuite yang terlalu kental dan selisih berat jenis yang terlalu kecil antara molasses dan kristal gula, sehingga sulit dilakukan pemisahan dengan sistem pengendapan. Pemutaran ini berlangsung sekitar 3 menit/discharge/mesin. A massecuite dari crystallizer diputar di dalam mesin sentrifugal sehingga dihasilkan gula A dan A molasses. A molasses dialirkan ke A molasses receiver tank kemudian dipompa ke A molasses tank conditioning untuk dijadikan bahan masakan B. Gula A dengan suhu 55 oC kemudian dibawa dan dikering-keringkan oleh vibrating conveyor menuju sugar vertical elevator. Elevator ini akan membawa gula A menuju sugar cooler. Setelah didinginkan dengan udara dingin di sugar cooler, gula dibawa oleh sugar vertival elevator menuju sugar grader. Sugar grader memisahkan gula berdasarkan ukuran partikelnya. Ukuran standar untuk gula A adalah 0,8 – 1,1 mm. Debu gula kemudian dihisap oleh sugar scrubber dan digunakan kembali untuk masakan A. Kristal gula berukuran di atas 1,1 mm dilebur dahulu sebelum dimasak kembali dalam pan masakan A. Gula A yang memenuhi ukuran standar akan dibawa oleh long belt conveyor menuju sugar bin sebelum dikemas. B massecuite setelah diputar menghasilkan gula B dan B molasses. B molasses dialirkan ke B molasses receiver tank dan kemudian dipompa menuju B molasess tank conditioning untuk dijadikan bahan masakan C. Gula B yang dihasilkan ditampung di B1 magma mingler ditambah dengan air sehingga menghasilkan B magma. B magma dipompa ke melter tank kemudian dialirkan ke syrup tank yang terpisah dengan syrup dari evaporator. Sugar melter ini menjadi bahan untuk masakan A dan grain A. Pemutaran C massecuite menghasilkan gula C1 dan final molasses. Final molasses kemudian dipompa menuju tangki penampungan. Gula C1 dimasukkan ke C1 magma maker dan ditambah air sehingga dihasilkan C1
68
magma. Magma ini kemudian dialirkan ke C1 magma mixer dan dipompa ke C2 submixer. Magma dari C2 submixer akan diputar dalam C2 contionous centrifugal sehingga menghasilkan gula C2 dan C wash. C wash ini kemudian dicampur dengan B molasses dan dikirim ke B molasses conditioning sebagai bahan masakan C. Gula C2 yang dihasilkan dimasukkan ke C2 magma mixer untuk diencerkan dengan air sehingga dihasilkan magma. Magma ini dipompa menuju C2 sugar melter. Hasil dari C2 sugar melter ini dicampur dengan B melting untuk menjadi bahan masakan A.
6. Pengemasan gula (packing) Gula A dari stasiun curing ditampung di sugar bin sebelum dikemas. Sugar bin ini berbentuk silo dilengkapi sensor untuk mengukur suhu gula yang tersimpan. Pada bagian bawah sugar bin ini terdapat timbangan gula yang bekerja secara otomatis. Kapasitas timbangan adalah 50 kg/charge dengan ketelitian hingga 10 – 50 gram. Kemasan karung yang digunakan terdiri dari plastik polyethilene dan karung luar terbuat dari polyprophylene. Penjahitan karung dilakukan dengan sistem double chain. Gula dapat dikemas sebanyak 12 karung per menit untuk setiap alat kemas. Di stasiun ini terdapat tiga alat kemas dengan 3 orang pekerja setiap alatnya. Pekerja pertama akan menempatkan karung di bawah timbangan dan secara otomatis gula akan tercurah ke dalam karung. Karung yang berisi gula dibawa dengan belt conveyor dan diterima oleh pekerja kedua untuk dijahit, kemudian pekerja ketiga menaruh karung yang sudah terjahit ke belt conveyor untuk disimpan di gudang. D.
PEMBAHASAN
1. Penerapan Produksi Bersih Penerapan produksi bersih dalam suatu industri merupakan suatu strategi pencegahan pencemaran pada sumbernya dan upaya pemanfaatan limbah yang terbentuk serta upaya peningkatan efisiensi produksi. Strategi ini digunakan untuk menanggulangi tingkat pencemaran lingkungan dan diharapkan mampu meningkatkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan.
69
Pabrik Gula Jatitujuh dalam hal ini, secara tidak langsung telah mengenal konsep produksi bersih. Hal ini dapat dilihat pada beberapa hal, diantaranya penggunaan produk samping seperti ampas tebu (bagasse) untuk bahan bakar ketel uap, pemanfaatan blotong (filter cake) untuk soil conditioner serta pemanfaatan tetes tebu (molasses) untuk kebutuhan industri lainnya. Bila dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan, kegiatan ini jelas memberikan keuntungan yang sangat besar. Namun, pada kenyataannya kegiatan ini belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan masih terdapat peluang untuk lebih mengoptimalkan aplikasi produksi bersih pada setiap tahapan proses.
2. Potensi Limbah dan Pengelolaannya Dari diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh pada Lampiran 3, diketahui bahwa terdapat tiga produk samping utama yang dihasillkan dari seluruh kegiatan proses produksi gula. Ketiga produk ini adalah ampas, blotong dan tetes tebu yang pada prinsipnya telah dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk samping tersebut. Salah satunya adalah penggunaan ampas tebu (bagasse) sebagai bahan bakar ketel uap (boiler). Namun, penggunaan ampas tebu ini belum dilakukan secara optimal. Hal ini karena perusahaan masih menambahkan IDO (minyak solar) sebagai tambahan energi atau suplesi pada boiler dalam jumlah yang cukup besar setiap tahunnya. Penggunaan IDO yang mencapai kurang lebih 1,7 juta liter per tahun memberikan kontribusi yang nyata terhadap biaya produksi pengolahan gula. Selain itu, penggunaan IDO ini juga menghasilkan emisi gas tercemar yang cukup tinggi. Oleh karena itu, terdapat peluang penerapan produksi bersih pada stasiun boiler dengan cara mengurangi penggunaan minyak diesel ini. Penghematan ini diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi sekaligus manfaat lingkungan bagi perusahaan. Penghematan konsumsi IDO juga memberikan pengaruh atau manfaat lain seperti penghematan konsumsi air imbibisi yang berpengaruh terhadap efisiensi proses pada tahap penggilingan, serta efisiensi penggunaan air
70
melalui pengurangan biaya pengolahan air. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun gilingan dapat dilihat pada Gambar 6. Penggunaan air imbibisi belum terkontrol
Kadar air dalam ampas tinggi
Konsumsi IDO tinggi
Opsi produksi bersih Penghematan konsumsi air imbibisi Menurunkan kadar air dalam ampas
Meningkatkan kandungan sukrosa dalam nira mentah
Mengurangi kehilangan gula dalam ampas
Mengurangi biaya bahan kimia untuk pengolahan air softener
Mengurangi beban kerja evaporator
Efisiensi proses
Gambar 6. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun gilingan Peluang
aplikasi
produksi
bersih
lainnya
adalah
meningkatkan
manajemen penggunaan air, diantaranya mengurangi waktu pencucian pada stasiun evaporator serta penerapan in-house keeping berupa peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan perbaikan kebocoran-kebocoran pada pipa. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan dapat dilihat pada Gambar 7.
71
K o n s u m s i a ir p e n c u c i b e lu m te r k o n tr o l
O psi p r o d u k s i b e r s ih
R e d u k s i w a k tu p e n c u c ia n
P em asangan s p ra y e r
P em asangan l e v e l c o n t r o ll e r
H em at konsum si a ir s o f t e n e r
H e m a t b ia y a b a h a n k i m ia
K onsum si a ir t e r k o n t r o l
E fis ie n s i p r o s e s
Gambar 7. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan
3. Peluang Penerapan Produksi Bersih Setelah menyusun pilihan alternatif perbaikan dalam rangka efisiensi proses melalui pendekatan produksi bersih, maka selanjutnya dilakukan analisis penerapan produksi bersih dari alternatif-alternatif yang telah terpilih. Perbaikan efisiensi proses yang direkomendasikan secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 10. Analisis terdiri dari analisis neraca massa dan neraca energi di beberapa tahapan proses. Neraca massa dan neraca energi disusun sebagai suatu usaha untuk mengidentifikasi seberapa besar loss yang dihasilkan dari tahapan proses yang kurang efisien. Setelah itu, dengan adanya alternatif penerapan produksi ini dapat diketahui besarnya manfaat dari penghematan dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan.
a. Stasiun Boiler Uap yang dihasilkan stasiun ketel uap atau boiler digunakan untuk menggerakan turbin sebagai sumber tenaga dan untuk keperluan proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh. Namun, sering timbul masalah yang menyebabkan kinerja ketel uap kurang optimal. Diantaranya adalah
72
seringnya operasi ketel uap terhenti akibat ampas kurang terbakar atau dengan kata lain energi yang dihasilkan dalam pembakaran ampas kurang memenuhi sehingga diperlukan suplesi energi dari IDO sebagai tambahan. Hal ini juga menyebabkan tenaga mesin sering turun akibat pasokan uap yang dihasilkan ketel uap juga berkurang. Tenaga mesin yang turun, berakibat pada terhentinya proses produksi. Terhentinya proses produksi ini akan mengakibatkan nira yang sedang diproses akan mengalami kerusakan dan berakibat pada penurunan rendemen, mengingat sifat nira yang mudah rusak pada kondisi pH rendah. Selain itu, penggunaan IDO dalam jumlah yang besar merupakan suatu biaya yang berpengaruh terhadap biaya produksi. Oleh karena itu, melalui pilihan alternatif produksi bersih maka diperlukan peningkatan efisiensi dan kinerja ketel uap. Peningkatan efisiensi dan kinerja ketel uap ini diantaranya adalah optimalisasi penggunaan amps tebu sebagai bahan bakar, peningkatan kontrol terhadap operasi ketel uap serta perbaikan kebocoran-kebocoran pada pipa-pipa saluran uap. 1) Optimalisasi Penggunaan Ampas Ampas tebu merupakan produk samping yang dihasilkan stasiun gilingan yang terdiri dari air, serat (sabut) dan sejumlah padatan terlarut.
Komposisinya
sangat
ditentukan
oleh
varietas
tebu,
kematangan tebu, metode pemanenan serta efisiensi dari stasiun gilingan (Paturau, 1982). Dalam industri gula, ampas tebu merupakan bahan bakar utama ketel uap atau boiler untuk menghasilkan sejumlah uap dan selanjutnya digunakan untuk keperluan proses dan energi listrik. Jika mengalami kekurangan, maka ditambahkan dengan bahan bakar kayu dan jika perlu dengan daun tebu yang kering serta minyak diesel atau residu. Hal ini karena, pada umumnya bahan bakar berupa ampas saja tidak mencukupi dan harus disediakan bahan bakar lain dalam jumlah yang cukup (Moerdokusumo, 1993).
73
Pabrik Gula Jatitujuh menggunakan residu (IDO) sebagai bahan tambahan karena kemudahan operasi dan ketersediannya. Penggunaan IDO sebagai bahan tambahan atau suplesi ini tentu saja diharapkan bisa seoptimal mungkin mengingat harga bahan bakar minyak yang kian meningkat. Dari laporan produksi tahunan pada Lampiran 2, diketahui bahwa penggunaan IDO ini terus meningkat dari 0,6 juta liter pada tahun 2002 menjadi 1,7 juta liter pada tahun 2004. Dengan harga BBM yang kian meningkat pula, tentu saja penggunaan IDO ini berkontribusi langsung terhadap biaya produksi dan efisiensi proses. Selain itu, penggunaan IDO telah menambah jumlah emisi gas buang yang dikeluarkan oleh cerobong asap pada proses pengolahan gula. Berdasarkan alternatif pilihan penerapan produksi bersih, dapat diidentifikasi bahwa penghematan konsumsi IDO dapat dilakukan dengan cara lebih mengoptimalkan penggunaan ampas tebu sebagai bahan bakar. Hal ini didasarkan pada kondisi ampas yang dihasilkan stasiun gilingan belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Ampas yang dihasilkan ternyata masih memiliki kadar air berkisar antara 5052 persen. Paturau (1982) menjelaskan bahwa, rata-rata ampas tebu memiliki kadar air 46-52 persen, sabut 43-52 persen dan padatan terlarut (terutama gula) 2-6 persen. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun ketel uap dapat dilihat pada Gambar 8. Data pengawasan pabrik pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa, ampas memiliki kadar air 51 persen dengan pol % ampas sebesar 4,24 persen. Angka 51 persen merupakan data primer pabrik sedangkan angka 4,24 persen adalah hasil perhitungan dari neraca massa di stasiun gilingan. Secara lengkap, perhitungan neraca massa disajikan pada Lampiran 4.
74
Water Treatment Plant Water softener Keperluan proses Uap (steam)
Gas buangan mengandung SO2, CO2, CO, Particulat Matter dll. Abu ketel
Ampas Stasiun Gilingan
Arang IDO (minyak diesel)
Boiler
Gambar 8. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun boiler Kadar air yang terhitung masih tinggi ini menyebabkan ampas tidak mampu memenuhi energi panas yang dibutuhkan untuk menghasilkan
uap
yang
diperlukan
untuk
keperluan
proses.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan uap dan energi pada Lampiran 6 dan 7, diketahui bahwa energi yang dibutuhkan untuk keperluan produksi adalah sebesar 2,7998 x 1011 kkal/tahun. Pada saat ini, kebutuhan energi dipenuhi oleh energi yang dihasilkan dari ampas tebu dan IDO. Dengan mengkonversikan total IDO yang dikonsumsi selama satu tahun musim giling, yaitu sekitar 1.652.400 liter (menurut data tahun 2004), maka pada kadar air 51 persen dihasilkan nilai energi panas dari ampas adalah 2,6456 x 1011 kkal/tahun, sehingga diperlukan tambahan energi dari IDO sebesar 0,1542 x 1011 kkal/tahun. Jumlah konsumsi IDO yang tinggi ini diduga mampu diturunkan dengan mengoptimalkan penggunaan ampas jika kadar air yang terkandung dalam ampas bisa mencapai 50 persen atau turun sekitar satu persen. Pada kondisi kadar air ampas mencapai 50 persen, maka dihasilkan energi panas 2,7464 x 1011 kkal/tahun, sehingga hanya dibutuhkan tambahan energi dari IDO sebesar 0,0534 x 1011 kkal/tahun atau setara dengan 562.105,26 kg IDO/tahun. Dengan demikian, penurunan kadar air pada ampas dari 51 persen menjadi 50 persen
75
dapat menghemat kurang lebih 1.061.007,74 kg/tahun. Jika asumsi harga IDO adalah Rp. 2175 per kg, maka perusahaan dapat menghemat biaya untuk pengadaan IDO sebesar Rp. 2.307.844.085/tahun atau kurang lebih 2,3 milyar rupiah per tahun. 2) Peningkatan kontrol terhadap kinerja ketel uap Kontrol terhadap kinerja ketel uap menjadi sangat penting karena jika kegiatan produksi terhenti akibat tenaga yang dihasilkannya juga terhenti, maka kerugian lain yang timbul adalah kerusakan nira yang dapat menurunkan nilai rendemen dari gula itu sendiri. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sistem kontrol pada tekanan, suhu dan air yang diumpankan (make-up water). Selain itu, perlu kiranya pengawasan yang ketat terhadap operasi ketel uap dari operator dan juga pengawasan terhadap operator itu sendiri, sehingga kerusakan atau masalah yang mungkin timbul dapat diantisipasi lebih dini. Manfaat lain yang diharapkan dapat diperoleh dari peningkatan kontrol terhadap kinerja ketel uap ini adalah mengurangi jam berhenti kerja sehingga kerusakan akibat kegiatan produksi yang terhenti bisa dihindari. 3) Peluang konservasi energi uap Dari analisis neraca massa dan energi pada Lampiran 6 dan 7, juga didapatkan bahwa masih terdapat peluang untuk mengkonservasi uap (steam), sehingga penggunaan uap dapat dilakukan lebih efisien. Berikut ini diagram peluang penerapan konservasi energi uap.
76
Efisiensi Uap
Perbaikan kebocoran pipa
Reduksi jam berhenti
Hemat IDO
Peningkatan kontrol terhadap boiler
Hemat make-up water boiler
Hemat bahan kimia untuk pengolahan air
Gambar 9. Skema peluang konservasi energi uap Uap yang digunakan di PG. Jatitujuh dihasilkan dari tiga buah ketel uap yang masing-masing memiliki kapasitas terpasang 55 ton uap/jam. Hasil perhitungan menunjukkan, banyaknya uap yang dibutuhkan untuk kegiatan proses adalah 1.103,5 kg uap/ton tebu giling sedangkan produksi rata-rata dari ketel uap adalah 944,06 kg uap/ton tebu giling. Kekurangan uap ini dipenuhi dari uap bekas (exhaust steam) stasiun turbin. Uap baru yang dikonsumsi sebesar 833,61 kg uap/ton tebu giling antara lain digunakan untuk menggerakkan turbin generator, turbin gilingan
dan unigrator serta turbin untuk menggerakkan pompa
pengisi air ketel uap, sedangkan uap bekas yang dikonsumsi untuk stasiun pemurnian, penguapan , masakan dan putaran adalah sebesar 269,44 kg uap/ton tebu giling. Distribusi penggunaan uap di setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 10. Pemanfaatan uap bekas telah menghemat masukan energi sebesar 269,44 kg uap/ton tebu giling namun efisiensi penggunaan uap hanya mencapai 88, 30 persen. Hasil ini didapat dengan melihat selisih uap rata-rata yang dihasilkan dan uap yang dikonsumsi, kemudian dibandingkan dengan uap rata-rata yang dihasilkan dan dari perhitungan didapat bahwa terjadi kehilangan uap baru sebesar 11,7 persen. Kehilangan uap ini disebabkan oleh kebocoran-kebocoran yang terjadi pada pipa-pipa saluran uap. Semakin banyak kebocoran pada
77
pipa, maka semakin besar pula uap yang hilang, sehingga efisiensi penggunaan uap akan semakin kecil. Kehilangan uap juga terjadi karena tidak terjaganya kontinyuitas proses produksi. Ketidakkontinyuan ini misalnya terjadi saat ada kerusakan pada roller gilingan, maka stasiun gilingan akan terhenti, padahal ketel uap terus –menerus bekerja menghasilkan uap untuk kebutuhan stasiun gilingan tersebut. Hal ini mengakibatkan uap yang telah dihasilkan harus dibuang (blow down) untuk menghindari kelebihan tekanan pada pipa-pipa saluran uap. Manfaat atau keuntungan yang bisa diperoleh dari konservasi uap ini diantaranya penggunaan steam menjadi lebih optimal. Perbaikan kebocoran pada pipa-pipa saluran uap akan mengurangi uap yang hilang. Hal ini berarti juga, menghemat air yang diumpankan ke ketel uap (make-up water) sehingga biaya yang dibutuhkan untuk mengolah air sungai menjadi water softener juga dapat berkurang. Selain itu, terhentinya proses produksi akibat tenaga mesin yang turun (drop) dapat dikurangi sehingga kegiatan produksi dapat berlangsung lebih efisien.
78
b. tasiun Gilingan Stasiun gilingan sebagai stasiun yang menghasilkan ampas dan nira mentah menjadi perhatian selanjutnya dalam mengidentifikasi peluang penerapan produksi bersih di stasiun ketel uap. Dari stasiun inilah kondisi ampas dihasilkan yang selanjutnya diumpankan menuju ketel uap melalui feed conveyor. Kegiatan di stasiun gilingan ini bertujuan untuk mengekstraksi pol (kadar sukrosa) dari tebu sebanyak-banyaknya dengan cara pemerahan dan pembilasan serta menghasilkan bahan bakar yang murah untuk keperluan energi di stasiun gilingan, proses dan listrik perusahaan. Pada stasiun ini, tebu yang telah tercacah di stasiun pendahuluan akan dibawa menuju stasiun gilingan untuk diperah nira yang terkandung di dalamnya. Input-input yang masuk pada stasiun ini adalah tebu dan air imbibisi. Air imbibisi merupakan air pembilas yang digunakan untuk lebih memaksimalkan pengeluaran nira dari tebu. Air yang memiliki suhu sekitar 30-35
o
C ini diumpankan pada gilingan 3 dan 4 dengan
perbandingan masing-masing 30 dan 70 persen. Air imbibisi yang diumpankan adalah sekitar 25-30 persen. Air imbibisi digunakan untuk lebih mengoptimalkan nira mentah yang dihasilkan stasiun gilingan sekaligus mengurangi kehilangan gula dalam ampas atau yang dikenal dengan istilah pol % ampas. Pemberian air ini biasanya diberikan sebanyak-banyaknya dengan asumsi bahwa semakin banyak air imbibisi yang diberikan, maka semakin banyak pula nira yang dapat dihasilkan. Namun, tentu saja pemberian air imbibisi ini juga harus dilakukan secara optimal berdasarkan kebutuhan. Berikut ini dua neraca massa, pol dan brix di stasiun gilingan yang dihitung berdasarkan dua data yang ada di PG. Jatitujuh.
79
Gambar 10. Diagram distribusi penggunaan uap di PG. Jatitujuh
80
81
Mathur (1978) menjelaskan bahwa pertimbangan yang paling penting dalam pemberian air imbibisi ini adalah sebisa mungkin air imbibisi dapat menembus cacahan tebu sehingga air dapat menarik gula yang masih tersisa dalam ampas. Pemberian air imbibisi juga harus dalam jumlah yang optimal agar ampas yang dihasilkan memiliki kadar air sekering mungkin. Selain itu, tekanan dalam gilingan juga harus cukup sehingga ampas yang keluar dari gilingan lebih kering tanpa meninggalkan banyak gula di dalamnya. Pemberian air imbibisi yang belum terkontrol dengan baik pada stasiun gilingan di PG. Jatitujuh, memberikan peluang diterapkannya produksi bersih melalui penghematan air imbibisi. Penghematan ini dilakukan untuk mencegah
pemberian
air
imbibisi
yang
berlebihan
yang
dapat
meningkatkan biaya pengolahan air dan meningkatkan kadar air ampas yang dihasilkan. Pada kondisi pertama (Gambar 11), jumlah air yang diberikan adalah sebanyak 50.263 kg/jam atau sekitar 30 persen dari tebu yang masuk. Tebu yang masuk sebanyak 165.553 kg/jam dengan % brix dan % pol masingmasing adalah 11,67 dan 7,89 persen serta kadar sabut 17,26 persen, maka dihasilkan nira mentah 153.128 kg/jam dengan % brix dan % pol sebesar 11,02 dan 7,54 persen. Selain itu, ampas yang dihasilkan adalah 34.461 kg/jam dan memiliki kadar air 51 persen dengan % brix dan % pol adalah 7,15 dan 4,24 persen. Kondisi ini merupakan data yang diperoleh dari data pengawasan giling tahun 2004. Perhitungan neraca massa di stasiun gilingan ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Seperti dijelaskan sebelumnya mengenai peluang penerapan produksi bersih di stasiun ketel uap melalui optimalisasi penggunaan ampas, kadar air sebesar 51 persen ini diharapkan bisa diturunkan dengan mengurangi penggunaan air imbibisi. Dari identifikasi ini, maka alternatif dari penerapan produksi bersih di stasiun gilingan adalah dengan menghemat penggunaan air imbibisi. Pada kondisi kedua yang menjadi rekomendasi penerapan produksi bersih, air imbibisi yang digunakan adalah sebanyak 42.455 kg/jam atau
82
kurang lebih 25 persen dari tebu yang masuk, sedangkan tebu yang masuk adalah sebanyak 171.038 kg/jam dengan %brix dan % pol adalah 13,89 dan 9,21 persen serta kadar sabut 17,26 persen. Kondisi input tebu yang berbeda pada analisis neraca massa ini, dikarenakan data yang digunakan merupakan kondisi riil yang ada pada selang waktu produksi tahun 2002 sampai dengan 2004, dimana jumlah tebu yang digiling berbeda-beda tergantung banyaknya tebu yang ditebang. Berdasarkan analisis neraca massa, dapat diketahui bahwa dengan kondisi kedua, maka nira mentah yang dihasilkan adalah 148.551 kg/jam. Persen brix dan pol yang dihasilkan pada nira mentah pun cenderung meningkat jika dibandingkan dengan kondisi pertama. Persen brix dan pol pada nira mentah di kondisi kedua meningkat menjadi 14,22 dan 9,67 persen dari 13,89 dan 9,21 untuk brix % tebu dan pol % tebu. Pada kondisi pertama, brix % tebu dan pol % tebu cenderung turun dari11,67 dan 7,89 persen menjadi 11,02 dan 7,54 persen pada brix % nira mentah dan pol % nira mentah. Dari sisi jumlah, nira mentah yang dihasilkan berkurang sejalan dengan adanya penurunan konsumsi air imbibisi dari 30 persen menjadi 25 persen. Penurunan nira mentah yang dihasilkan adalah kurang lebih 6 persen. Hasil ini dihitung dari selisih antara nira mentah pada kondisi pertama dan kedua. Pada kondisi pertama, nira mentah yang dihasilkan 153.128 kg/jam atau kurang lebih 93 persen dari tebu yang masuk ke gilingan, sedangkan untuk kondisi kedua, nira mentah yang dihasilkan adalah 148.551 kg/jam atau sekitar 87 persen dari tebu yang masuk ke gilingan. Akan tetapi, dari sisi hasil gula atau dalam hal ini ditunjukkan oleh % brix dan % pol, kondisi kedua yang menggunakan air imbibisi 25 persen dari tebu yang masuk ke gilingan cenderung meningkat. Hal ini berarti, konsentrasi padatan terlarut atau gula ikut meningkat pula. Peningkatan ini, memberikan dua manfaat sekaligus. Diataranya adalah konsentrasi gula yang meningkat, akan meningkatkan pula rendemen dari kristal gula yang dihasilkan. Selain itu, jumlah air dalam nira mentah yang berkurang, akan
83
mengurangi beban evaporator dalam menguapkan air dalam nira. Ini menunjukkan bahwa efisiensi dari kinerja gilingan meningkat dengan adanya penghematan konsumsi air imbibisi pada kondisi 25 persen dari tebu yang masuk. Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan, ternyata juga memberikan keuntungan lain, selain menurunnya kadar air dalam ampas menjadi 50 persen. Keuntungan itu adalah, menurunnya brix % ampas dan pol % ampas. Penurunan ini berarti bahwa kehilangan gula dalam ampas juga bisa dikurangi. Hal ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan konstruksi instalasi saluran imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4. Pada gilingan 3, air imbibisi disalurkan pada konveyor, yaitu saat ampas keluar dari gilingan 3, sedangkan untuk gilingan 4, air imbibisi diberikan tepat di atas roller gilingan 4. Kondisi ini menjadikan ampas dengan kondisi air imbibisi lebih banyak, akan kurang tertekan karena permukaan roller yang licin sehingga gilingan kurang memberikan efek pemerahan dan ampas tidak tergiling secara maksimal. Besarnya manfaat ekonomi dari penghematan konsumsi air imbibisi ini dapat dilihat dalam bagian manajemen penggunaan air dan Lampiran 8. Berikut ini gambar konstruksi saluran air imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4.
(a)
(b)
Gambar 12. Konstruksi pipa air imbibisi di gilingan 3 (a) dan gilingan 4 (b)
84
c. Stasiun Penguapan (evaporator) Nira jernih (clear juice) hasil pemurnian masih mengandung air yang sangat tinggi (kurang lebih 80 persen), sehingga kadar air ini harus diturunkan agar proses pemasakan dapat berjalan dengan lebih cepat. Penurunan kadar air ini dilakukan dengan menguapkan air yang terkadung dalam nira jernih di dalam evaporator. Derajat kekentalan nira yang harus dicapai di stasiun penguapan adalah 30 – 32 oBe atau 60 – 64 % brix. Adanya penambahan susu kapur dan gas SO2 pada proses sebelumnya, yaitu tahapan pemurnian, menjadikan nira yang diuapkan memiliki kemungkinan menimbulkan kerak dan korosi pada badan penguap. Kerak dan korosi ini dapat menghambat proses penguapan karena proses pindah panas menjadi terhambat karena adanya kerak atau korosi. Selain itu, kerak dan korosi dapat merusak badan penguap, pemborosan bahan bakar (dalam hal ini steam sebagai media pemanasnya) dan dapat menyebabkan adanya bahaya local over heating yang dapat menyebabkan ledakan. Untuk mengatasi hal tersebut, PG. Jatitujuh melakukan perawatan berupa pencucian satu badan penguap setiap hari. Saat ini, terdapat 5 buah badan penguap yang dimiliki oleh perusahaan dimana empat dipakai untuk produksi sedangkan sisanya dibersihkan sebagai cadangan jika terjadi kerusakan pada salah satu badan penguap. Proses pencucian dilakukan melibatkan 3-5 orang dengan lama pencucian kurang lebih 8 jam. Pencucian dimulai dengan perendaman badan evaporator dengan larutan alkali dan penghilang kerak dan korosi selama dua jam, kemudian dilanjutkan dengan pencucian dan pembilasan selama 6 jam. Air yang digunakan untuk proses pencucian ini belum terkontrol dengan baik, padahal menurut pengamatan jumlahnya tidak sedikit, yaitu kurang lebih 240 m3/hari. Oleh karena itu, peluang penerapan produksi bersih selanjutnya adalah penghematan konsumsi air pada saat pencucian badan penguap dengan cara mengurangi lama pencucian, penggunaan pressurized sprayer sebagai alat pembilas serta pemasangan flow meter, sehingga proses pencucian dapat lebih efisien.
85
Melalui penggunaan pressurized sprayer ini, diharapkan waktu pencucian evaporator dapat berlangsung lebih cepat dan menghemat air dengan optimal. Hal ini karena, luas penampang dari pressurized sprayer yang lebih kecil daripada pipa saluran air pencuci, dapat mengurangi konsumsi air yang digunakan untuk mencuci badan penguap. Selain itu, akan memudahkan operator menjangkau bagian-bagian yang sulit dijangkau seperti dinding badan penguap bagian atas. Pemasangan flow meter atau meteran air biasa dimaksudkan untuk mengontrol pemakaian air pada saat pencucian. Penggunaan air yang tidak sedikit dan dilakukan setiap hari saat pencucian tentunya memerlukan kontrol agar proses pencucian tetap berjalan dengan efisien.
d. In-house keeping Produksi bersih sebagai upaya pencegahan pencemaran (preventif) yang bersifat proaktif dilakukan untuk menurunkan sekecil mungkin dampak lingkungan pada sumbernya, sekaligus meningkatkan efisiensi pemakaian bahan dan energi. Dalam rangka lebih mengefisienkan proses produksi dari hal-hal yang sering dianggap kurang penting, maka in-house keeping menjadi pilihan dalam mengatasi masalah tersebut. Hal-hal tersebut diantaranya penanganan terhadap kebocoran, tumpahan bahan dan perawatan berkala terhadap mesin dan peralatan produksi. Berdasarkan pengamatan, masih banyak kebocoran, tumpahan bahan yang terjadi pada kegiatan produksi pengolahan gula. Diantaranya adalah kebocoran pada pipa-pipa saluran air, uap,oli, gas SO2 yang mengakibatkan proses produksi kurang efisien, ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, selain itu proses giling sering terhenti yang menyebabkan jam berhenti giling cukup tinggi. Berikut ini skema peluang penerapan good house keeping.
86
In-house keeping
Peningkatan efisiensi & K3
Penutupan kran /katup lebih teliti
Perawatan mesin secara teratur
Perbaikan kebocoran pada pipa, mesin dan alat
Gambar 13. Skema peluang penerapan in-house keeping Program produksi bersih berupa penanganan bahan, perbaikan kebocoran dan perawatan mesin secara berkala ini merupakan teknik good house keeping yang dimaksudkan untuk mengefisienkan pemakaian bahan dan kegiatan poduksi sekaligus mengurang limbah dan dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Dari analisis terhadap identifikasi peluang penerapan good house keeping, dapat diduga penghematan atau manfaat ekonomi dari konsep good house keeping yang direkomendasikan. Perhitungan penghematan ini disajikan pada Lampiran 11. Total penghematan air yang teridentifikasi di stasiun gilingan, stasiun penguapan, dan kegiatan good house keeping berupa perbaikan kebocoran dan penutupan kran dengan baik, akan menghemat kurang lebih 150 m3 per hari. Jika diasumsikan biaya pengolahan untuk mendapatkan air tersebut adalah Rp. 350,- /m3, maka keuntungan ekonomi yang bisa didapat dari penghematan air ini adalah Rp. Rp. 7.840.000,-/tahun. Untuk menerapkan program tersebut diperlukan biaya instalasi yang meliputi pemasangan sprayer, level controller, dan instalasi pipa yang mencapai jumlah Rp. 4.750.000,- sehingga dalam jangka waktu 7 bulan maka biaya yang dikeluarkan akan kembali kepada perusahaan dan tahun selanjutnya, perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari penerapan produksi bersih ini.
87
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Industri gula yang tengah menjadi sorotan dalam hal biaya produksi yang masih tinggi dan pengaruh limbahnya terhadap lingkungan, memberikan peluang untuk diterapkannya produksi bersih yang dapat memberikan manfaat lingkungan sekaligus manfaat ekonomi. Penghematan konsumsi air imbibisi sebesar 5 persen pada proses penggilingan tebu, diduga dapat meningkatkan konsentrasi nira mentah yang dihasilkan dan mengurangi kadar air ampas yang dihasilkan dari 51 persen menjadi 50 persen. Penurunan kadar air dalam ampas ini , menghemat penggunaan IDO/minyak diesel sebesar 1.061.007,74 kg (± 1,1 juta liter) per tahun atau senilai Rp. 2,3 milyar per tahun. Penerapan konsep in-house keeping pada instalasi ketel uap berupa perbaikan kebocoran pada pipa aliran uap, diduga mampu mereduksi kehilangan uap baru sebesar 11,7 persen atau sekitar 110,45 kg per ton tebu giling. Manajemen penggunaan air pada beberapa tahapan proses juga memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp. 7.840.000,- per tahun dengan biaya penerapan program produksi bersih sebesar Rp. 4.750.000,- berupa pemasangan level controller, spray dan instalasi pipa baru.
B. SARAN 1. Perlunya dokumentasi data yang lengkap untuk menunjang penyusunan neraca massa dan energi di setiap tahapan proses. 2. Kajian lebih lanjut mengenai penggunaan air imbibisi yang bertekanan diperlukan untuk lebih mengoptimalkan penggunaan air imbibisi dan kadar air ampas yang dihasilkan.
88
DAFTAR PUSTAKA Amrullah, S. 2003. Dinamika Industri Gula Domestik. Jurnal Pangan. Edisi No. 41/XII/Juli/2003. hlm : 18-34. Ananta, T. Martoyo, dan E. Santoso. Pengaruh Ekstraksi Padat Cair Terhadap Kualitas Gula yang Dihasilkan dari Proses Sulfitasi. Penelitian Gula Indonesia. 1990. ISSN 0541:7406. hlm: 2-5. Andriyani, A. 2003. Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Gula Kristal di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka-Jawa Barat. Laporan Praktek Lapang. Fateta-IPB, Bogor. Anonim, 2004. Bila Gula Terasa Pahit. Di dalam http://www.warta ekonomi.com, 2005. ______, 1992. Gula Tebu. Di dalam. http://warintek.progressio.or.id, 2005. ______, 1997. Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), masalah, kendala dan saran penyempurnaannya. Bulog, Jakarta. Boyle, C. 1999. Cleaner Production in New Zealand. Journal of Cleaner Production. Vol 7(1). ISSN 0959-6526. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Langford Lane, Kidlington, Oxford, UK. p.59-67. Dachlan, M.A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Di dalam Laporan Up Grading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian. Bogor. Erningpraja, L. 2001. Rancang Bangun Model Produksi Bersih Kebun Kelapa Sawit. Studi Kasus di Kebun Kelapa Sawit Kertajaya, Banten dan Kebun Kelapa Sawit Bah Jambi, Sumatera Utara. Disertasi. Program Pasca Sarjana-IPB, Bogor. Gehlawat, J. K. 1996. Membrane Technology for Sugar Industry. Proceeding Academic. Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB, Bogor Hammer, B. 1996. What Is The Relationship between Cleaner Production, Pollution Prevention, Waste Minimization and ISO 14000 ? Paper for Presentation at The 1st Asian Conference on Cleaner Production in The Chemical Industry, December 9-10,1996, Taipei. Di dalam http://www.cleanerproduction.com. 2002
89
Hugot, E. 1986. Hand Book of Cane Sugar Engineering. 3rd Edition. McGrawHill Book Company. Indeswari, N.S. 1986. Penentuan Dosis Kapur dan Belerang Pada Proses Pemurnian Nira Tebu di Pabrik Gula Mini Lawang. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang. Indrayana, 2001. Analisis Kebutuhan Energi pada Proses Produksi Gula di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Jenkins,G.H. 1966. Introduction to Cane Sugar Technology. Elsevier Scientific Publ. Co. Amsterdam, The Netherlands. Larsito, S., dan Hartono S. 2002. Industri Gula Indonesia dan Peluang Lampung Mendukung Swasembada. Media Perkebunan. No. 40. Mei-Juni 2002 hlm. 21-23. Lyle, O. 1957. Technology For Sugar Refinery Workers. Chapman and Hall LTD. London. Mathur, R.M.L. 1978. Handbook of Cane Sugar Technology. Oxford & IBH Publ. Co. New Delhi. Mochtar, M. dan T. Ananta. 1998. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pasca Panen Tebu sebagai Bahan Baku Pabrik Gula. Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541:7406. hlm: 7-8. Mochtar, M. 1994. Beberapa Persoalan dan Hasil Pemurnian Nira Tebu. Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541:7406. hlm: 5-8. Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. ITB. Bandung. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Nasution, E.P. 2001. Studi Penerapan Produksi Bersih pada Industri Tahu. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Paryanto, I., A. Fachruddin dan W. Sumaryono. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain. P3GI. Serpong. Paturau, J.M. 1982. By-product of The Cane Sugar Industry. 2nd Edition. Elsevier Scientific Publ. Co. Amsterdam, The Netherlands.
90
Pauli, G. 1997. Zero Emmisions : the ultimate goal of cleaner production. Journal of Cleaner Production. Vol 5(1-2). March-June 1997. ISSN 1959-6526. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Langford Lane, Kidlington, Oxford, UK. p. 109-114. Payne, J. H. 1953. Fundamental Reaction of The Clarification Process. Elsevier. Amsterdam. Purwono, 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Di dalam http://www.rudyct.tripod.com. 2005. Ramjaewon, T. 2000. Cleaner Production in Mauritian Cane Sugar Factories. Journal of Cleaner Production 8(2000), p.503-510. UNEP. 2004. Cleaner Production Assessment in Industries. Di dalam. http://www.uneptie.org. 2001. UNEPIE. 1995. Cleaner Production at Pulp and Paper Mills : A Guidance Manual. United Nation Environment Programme Industry and Environment, France. Di dalam . http://www.unepie.org. 2002. UNIDO. 2004. What is Cleaner Production. Di dalam. http://www.unido.org. 2002. USAID. 1997. Panduan Pengintegrasian Produksi Bersih ke dalam Penyusunan Program Kegiatan Pembangunan. Deperindag, Jakarta. Van Berkel, R., E Willems dan M. Lefleur 1997. Development of An Industrial Ecology Toolbox for The Introduction of Industrial Ecology In Enterprises I. Journal of Cleaner Production. Vol 5(1-2). March-June 1997. ISSN 1959-6526. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Langford Lane, Kidlington, Oxford, UK. p.11-26.
91
LAMPIRAN
92
Lampiran 1. Struktur Organisasi PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh STRUKTUR ORGANISASI KARYAWAN PIMPINAN PT. PG RAJAWALI II UNIT PG JATITUJUH TAHUN 2005 DIREKSI PT. PG RAJAWALI II
GENERAL MANAGER
Ke
Kabag TU & K
Staf TUK
Kabag SDM & Umum
Staf SDM & Umum
Kabag Instalasi
Staf Instalasi
Kabag Pabrikasi
Staf Pabrikasi
Kepala Tanaman II
Kepala Tanaman II
HTO/SKK
HTO/SKK
Staf Tanaman
Staf Tanaman
93
Lampiran 2. Evaluasi giling PG. Jatitujuh Tahun 2002-2004 No
Uraian
1
2 Awal Giling Akhir Giling Hari Giling Luas digiling Tebu digiling Tebu / Ha Rendemen Hablur / Ha Total Hablur Prod. SHS Tebu Prod. SHS RS Gula PG Prod. Tetes Tebu Prod. Tetes RS Jam Berhenti Giling Luar Pabrik Dalam Pabrik Kap. Giling Inclu. Kap. Giling Exclu. Residu (IDO) IDO / tebu Luas tebu terbakar Tebu terbakar SHS % tebu Tetes % tebu Trash % tebu HK Tetes
1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sat. 3
Ha Ton Ton % Ton Ton Ton Ton Ton % % Ton Ton Lt Ton Ha Ton % % % %
Th. 2002 4 1 Mei 5 Agusutus 97 8.058,47 283.817,8 35,2 6,5 2,3 18.306,9 18.325,2 18.325,2 11.973,8 22,4 10,5 11,9 2.966,1 3.629,8 517.4 1,82 59,45 13.614 6,46 4,22 6,10 34,80
Realisasi Th. 2003 5 2 Juni 25 September 115 6.871,27 429.507,0 62,5 7,38 4,61 31.708,7 31.667,9 2.741,8 31.667,9 20.181,7 160,9 5,73 5,08 0,65 3.714,1 3.955,6 735.500,0 1,71 1.512,74 100.943,50 7,37 4,69 4,68 33,70
Th. 2004 6 22 Mei 10 Oktober 142 7.274,54 519.648,6 71,4 7,60 5,43 39.468,6 39.213,6 2.329,0 39.213,6 23.068,5 116,7 11,08 0,38 10,70 3.755,4 4.171,7 1.652.400 3,18 915,20 79.803,4 7,50 4,44 3,94 33,40
Sumber : Bagian Risbang PG. Jatitujuh
94
Lampiran 3. Diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh
95
Lampiran 4. Neraca massa, pol dan brix di stasiun gilingan Data Pengamatan (hasil analisa giling periode 10, 2004) Jumlah digiling (FT) : 171 038 kg/jam
1. Tebu
2. Sabut
3. Nira mentah
Jam giling
: 22 jam
Pol (pT)
: 9,21 %
Brix (bT)
: 13,89 %
sabut (f)
: 17,26 %
Total sabut
: 29 521 kg/jam
Bruto (FNM)
: 148 551 kg/jam
Koreksi kotor (ktNM) : 1,003445 Pol (pNM)
: 9,67 %
Brix (bNM)
: 14,42 %
4. Air imbibisi total (Fi)
: 42 455 kg/jam
diberikan pada ampas 3
: 30 %
ampas 4
: 70%
5. Nilai rata-rata berat jenis sabut
: 1,51574 kg/dm3
Rata-rata hasil analisa Gilingan Nilai Brix (bN) % Nilai Pol
1 17,85 12,38
2 10,27 6,58
FNT
=
FT
FNT
=
171.038 – (17,26 % x 171.038)
FNT
=
141.517 kg/jam
–
3 7,04 4,35
4 3,69 2,19
FS
GILINGAN 1 bNT
=
(%bNT x FNT)
= (%bN1 x FN1)
+ bNA1
0,1679 x 141517
= 0,1785 x 81331
+ bNA1
23761
= 14.518
+ bNA1
bN1
+ bNA1
96
bNA1
= 23.761 - 14.518
bNA1
= 9243
%bNA1 = bNA1 / FNA1 = (9243 / 60187) x 100 % = 15.36 % pNT
=
pN1
+ pNA1
0,1113 x 141517
= 0,1238 x 81331
+ pNA1
15751
= 10069
+ pNA1
pNA1
= 5682
%pNA1
= (5682 / 60187) x 100 % = 9,44 %
GILINGAN 2 bNA1
+
bN3
0,1536 x 60187 + 0,0704 x 47132 9245 + 3319
=
bNA2 + bN2
= bNA2 + 0,1027 x 67220 = bNA2 + 6904
bNA2
= 12564 - 6904
bNA2
= 5660
%bNA2 = bNA2 / FNA2 = (5660 / 40099) x 100 % = 14,11 % pNA1
+
pN3
5682 + (0,0435 x 47132) 5682 + 2050
=
pNA2 + pN2
= pNA2 +( 0,0658 x 67220) = pNA2 + 4423
pNA2
= 7732 - 4423
pNA2
= 3309
%pNA2 = pNA2 / FNA2 = (3309 / 40099) x 100 % = 8,25 % GILINGAN 3
97
bNA2
+ bi
+
bN4
5660 + 0 + 0,0369 x 35984 5660 + 1328
=
bNA3
+
bN3
= bNA3 + 3319 = bNA3 + 3319
bNA3
= 6988 - 3319
bNA3
= 3669
%bNA3 = bNA3 / FNA3 = (3669 / 41687) x 100 % = 8,80 % pNA2
+ pi
+
pN4
3309 + 0 + 0,0219 x 35984
=
pNA3
+
pN3
= pNA3 + 2050 = pNA3 + 2050
3309 + 788 pNA3
= 4097 - 2050
pNA3
= 2047
%pNA3 = pNA3 / FNA3 = (2047 / 41687) x 100 % = 4,91 %
GILINGAN 4 bNA3
+ bi
=
3669 + 0 +
bNA4
+
bN4
= bNA4 + 1328 bNA4
= 3669 - 1328
bNA4
= 2341
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (2341/ 35421) x 100 % = 6,61 % pNA3
+ pi
=
2047
+0
= pNA4 + 788 bNA4
pNA4
+
pN4
= 2047 - 788
98
bNA4
= 1259
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (1259/ 35421) x 100 % = 3,55 %
OVER ALL bNT
+ bi
=
bAMPAS
+
23761 + 0
=
bNA4
+ 0,1442 x 148551
23761
=
bNA4
+ 21421
bNA4
= 23761 - 21421
bNA4
= 2340
bNM
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (2340/ 35421) x 100 % = 6,61 %
pNT
+ pi
=
pAMPAS
+
15751 + 0
=
pNA4
+ 0,1442 x 148551
15751
=
pNA4
+ 14365
pNA4
= 15751 - 14365
pNA4
= 1386
pNM
%pNA4 = pNA4 / FNA4 = (1386/ 35421) x 100 % = 3,91 %
99
Lampiran 4 (Lanjutan). Data Pengamatan (hasil analisa giling periode 3, 2003) 1. Tebu
2. Sabut
Jumlah digiling (FT)
: 165.553 kg/jam
Jam giling
: 22 jam
Pol (pT)
: 7,89 %
Brix (bT)
: 11,67 %
sabut (f)
: 17,05 %
Total sabut
: 28 227 kg/jam
3. Nira mentah
Bruto (FNM)
: 153.128 kg/jam
Koreksi kotor (ktNM) : 1,003445 Pol (pNM)
: 11,02 %
Brix (bNM)
: 7,54 %
4. Air imbibisi total (Fi)
: 50.263 kg/jam
diberikan pada ampas 3
: 30 %
ampas 4
: 70%
5. Nilai rata-rata berat jenis sabut : 1,51574 kg/dm3 Rata-rata hasil analisa Gilingan Nilai Brix (bN) % Nilai Pol
1 14,55 10,26
2 7,51 4,92
FNT
=
FT
FNT
=
165.553 – (17,05 % x 165.553)
FNT
=
137.326 kg/jam
–
3 5,65 3,61
4 3,62 2,24
FS
GILINGAN 1 bNT
=
(%bNT x FNT)
= (%bN1 x FN1)
+ bNA1
0,1407 x 137.326
= 0,1455 x 76346
+ bNA1
19322
= 11108
+ bNA1
bN1
+ bNA1
100
bNA1
= 19322- 11108
bNA1
= 8214
%bNA1 = bNA1 / FNA1 = (8214 / 60980) x 100 % = 13.46 % pNT
=
pN1
+ pNA1
0,0951 x 137326
= 0,1026 x 76346
+ pNA1
13060
= 7833
+ pNA1
pNA1
= 5227
%pNA1
= (5227/ 60980) x 100 % = 8,57 %
GILINGAN 2 bNA1
+
bN3
0,1346 x 60980 + 0,0565 x 58504 8214 + 3295
=
bNA2 + bN2
= bNA2 + 0,0751 x 76782 = bNA2 + 5746
bNA2
= 11508 - 5746
bNA2
= 5762 kg/jam
%bNA2 = bNA2 / FNA2 = (5762 / 42702) x 100 % = 13,49 % pNA1
+
pN3
5227 + (0,0361 x 58504) 5227 + 2105
=
pNA2 + pN2
= pNA2 +( 0,0492 x 76782) = pNA2 + 3764
pNA2
= 7332 - 3764
pNA2
= 3568 kg/jam
%pNA2 = pNA2 / FNA2 = (3568 / 42702) x 100 % = 8,35 %
101
GILINGAN 3 bNA2 5761 + 0 +
+ bi
+
bN4
=
bNA3
+
0,0362 x 33500
= bNA3 + 3295
5761 + 2304
= bNA3 + 3295 bNA3
= 8065 - 3295
bNA3
= 4770 kg/jam
bN3
%bNA3 = bNA3 / FNA3 = (4770 / 32777) x 100 % = 12,99 % pNA2
+ pi
+
pN4
3586 + 0 + 0,0224 x 33500 3586 + 1426
=
pNA3
+
pN3
= pNA3 + 2105 = pNA3 + 2105
pNA3
= 5012 - 2105
pNA3
= 2889
%pNA3 = pNA3 / FNA3 = (2889 / 32777) x 100 % = 7,85 %
GILINGAN 4 bNA3
+ bi
=
4770 + 0 +
bNA4
+
bN4
= bNA4 + 2304 bNA4
= 4770 - 2304
bNA4
= 2466
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (2466 / 34461) x 100 % = 7,15 % pNA3
+ pi
=
2889
+0
= pNA4 + 1426
pNA4
+
pN4
102
bNA4
= 2889 - 1426
bNA4
= 1463
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (1463/ 34461) x 100 % = 4,24 %
OVER ALL bNT
+ bi
19322 + 0 19322
=
bAMPAS
+
=
bNA4
+ 0,1102 x 153128
=
bNA4
bNA4
= 19322 - 16874
bNA4
= 2448
bNM
+ 16874
%bNA4 = bNA4 / FNA4 = (2448 / 34461) x 100 % = 7,10 % pNT
+ pi
=
pAMPAS
+
13060 + 0
=
pNA4
+ 0,0754 x 153128
13060
=
pNA4
+ 11546
pNA4
= 13060 - 11546
pNA4
= 1514
pNM
%pNA4 = pNA4 / FNA4 = (1514 / 34461) x 100 % = 4,39 %
103
Lampiran 5. Data pengawasan pabrik Tabel tata penggunaan uap (steam) baru Daya Sumber Peralatan (hp) Tenaga Generator Turbin 3500 Unigrator Turbin 1200 Gilingan 1 Turbin 939.6 Gilingan 2 Turbin 939.6 Gilingan 3 Turbin 939.6 Gilingan 4 Turbin 939.6 Pompa Injeksi 1 Turbin 119.2 Pompa Injeksi 2 Turbin 178.2 Pompa Injeksi 3 Turbin 178.2
Konsumsi Uap 21.19 13.5 21.19 21.19 21.19 21.19 21.19 21.19 21.19
Satuan kg/kWh kg/hpH kg/kWh kg/kWh kg/kWh kg/kWh kg/kWh kg/kWh kg/kWh
Waktu Pemakaian (jam) 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75 2240,75
Sumber : data laporan PG. Jatitujuh Tabel data untuk perhitungan konsumsi uap dan energi (I) Kapasitas 1 buah ketel uap (ton/jam) 55 Tekanan kerja ketel (kg/cm2) 25 Temperatur uap kering (oC) 330 Kadar air ampas tebu (%) 51 Pol % ampas 4,24 Kadar gas CO2 (%) 15 Kadar gas CO (%) 0,5 240 Temperatur gas keluar cerobong (oC) 30 Temperatur udara (oC) o Temperatur air masuk ( C) 90 Laju pemakaian ampas (kg/jam) 24.100 Sumber : data laporan PG. Jatitujuh
Tabel data untuk perhitungan konsumsi uap dan energi (II) Kapasitas 1 buah ketel uap (ton/jam) 55 Tekanan kerja ketel (kg/cm2) 25 Temperatur uap kering (oC) 330 Kadar air ampas tebu (%) 50 Pol % ampas 3.53 Kadar gas CO2 (%) 15 Kadar gas CO (%) 0,5 Temperatur gas keluar cerobong (oC) 240 o 30 Temperatur udara ( C) Temperatur air masuk (oC) 90 Laju pemakaian ampas (kg/jam) 24.100 Sumber : data laporan PG. Jatitujuh
104
Lampiran 6. Perhitungan konsumsi uap di pabrik Kerugian cerobong (Qc) ⎛ 240 − 30 ⎞ Qc = 1,04⎜ ⎟% ⎝ 15 ⎠ = 14,56 % ≈ 15 % Qc = 15% x 1726 = 258,9 kkal/kg Turbin bekerja pada tekanan 25 bar, 330 oC didapatkan entalpi (h2) = 734,93 kkal/kg Suhu air umpan = 90 oC diperoleh entalpi (h1) = 90 kkal/kg (h2 – h1) = 644,93 kkal/kg
Panas berguna (P) P=
55.000 (734,93 − 90) 24100
P = 1471,83 kkal/kg Jadi jumlah panas yang diterima dalam uap adalah 1.726 – 258,9 = 1.467,1 kkal/kg
Turbin Generator
PG. Jatitujuh memiliki dua buah turbin generator tipe MSBHD 630 dengan daya terpasang masing-masing 4375 KVA/6000 V. Dari hasil pengamatan, diperoleh rata-rata tenaga listrik yang dihasilkan setiap jam adalah 3364,17 KWH. Jam kerja turbin = 2240,75 jam/tahun Efisiensi turbin = 80 % Konsumsi uap = 21,19 kg/KWH Kerugian mekanis = 15 % Kebutuhan uap untuk turbin selama satu tahun (musim giling) adalah : 3364,17 x 2240,75 x 21,19 x 1,15 = 183.696.184,5 kg uap/tahun. Jika dalam satu musim giling rata-rata tebu yang digiling yaitu 484.993,5 ton tebu, maka kebutuhan uap rata-rata uap untuk turbin per tahun adalah 378,76 kg uap/ton tebu.
105
Turbin Unigrator
Daya = 1200 Hp (894 KW) Konsumsi uap = 13,5 kg/HpH Maka kebutuhan uap dalam satu musim giling = (1200 x 13,5 x 2240,75 x 1,15) / 484.993,5 = 86,07 kg uap/ton tebu
Turbin uap gilingan I sampai dengan gilingan IV
Daya = 700 KW Konsumsi uap = 21,19 kg/KWH Maka kebutuhan uap dalam satu musim giling = (700 x 21,19 x 2240,75 x 1,15 x 4) / 484.993,5 = 315,24 kg uap/ton tebu
Pompa injeksi I
Daya = 160 Hp ( 119,2 KW) Konsumsi uap = (119,2 x 2240,75 x 21,19 x 1,15) / 484.993,5 = 13,42 kg uap/ton tebu
Pompa injeksi II dan III
Daya = 240 Hp (178,8 KW) Konsumsi uap = (178,2 x 2240,75 x 21,19 x 1,15) / 484.993,5 = 20,06 kg uap/ton tebu
Juice heater (pemanas nira) Juice heater I
Konsumsi uap = =
Berat _ nira _ mentah _ x _ 0,9 _ x _(Tp 2 − Tp1) 541,4 _ x _ 0,95
285.591.500 _ x _ 0,9 _ x _(76 − 30) 541,4 _ x _ 0,95
= 48,06 kg uap/ton tebu giling
Konsumsi uap =
Berat _ nira _ mentah _ x _ 0,9 _ x _(Tp 2 − Tp1) 535 _ x _ 0,95
106
=
285.591.500kg _ x _ 0,9 _ x _(76 − 30) 535 _ x _ 0,95
= 21,15 kg uap/ton tebu giling Maka total konsumsi uap untuk pemanas nira I dan II = 48,06 + 21,15 = 69,21 kg uap/ton tebu
Evaporator (quadruple effect)
Jumlah air yang diuapkan = =
Berat _ nira _ jernih ⎡ brix _ nira _ jernih ⎤ x 1− ⎥ Ton _ tebu _ giling ⎢⎣ brix _ syrup ⎦ 269.230.300kg 484.993,5
⎡ 10,54 ⎤ x ⎢1 − ⎥ ⎣ 64,30 ⎦
= 464,13 kg uap/ton tebu giling Penyadapan uap dari evaporator I 285.591.500 x _ 0,9 _(106 − 96) 484.993,5 Pemanas : P1 = 640 _ x _ 0,95 = 8,849 kg uap/ton tebu Bejana Masakan Jumlah pan masakan = 3 buah Masakan A adalah batch pan sedangkan masakan C dan masakan D adalah continous pan. Menurut Hugot (1986), konsumsi uap untuk tipe masakan tersebut adalah 136 kg/jam P’
=
3 _ x _ 136 _ kg / jam 143 _ ton _ tebu / jam
= 2,85 kg uap/ton tebu Distribusi penguapan untuk emapt bejana penguap (quadruple effect) yaitu : Bejana 4 : x Bejana 3 : x + 48,06 Bejana 2 : x + 48,06 + 21,15 Bejana 1 : x + 48,06 + 21,15 + 11,70 + 4x + 144,18 + 42,30 + 11,70 = 464,13 x = 66,49
107
Maka konsumsi uap pada evaporator adalah = 66,49 + 48,06 + 21,15 + 11,70 = 146,99 kg uap/ton tebu
Pan Masakan Berat sirup =
berat _ nira _ jernih − berat _ air _ yang _ diuapkan ton _ tebu _ giling
= 555,12 – 464,13 = 90,99 kg/ton tebu ⎤ ⎡ brix _ syrup Konsumsi uap = berat _ sirup _ x ⎢1 − ⎥ x1,5 ⎣ brix _ mas sec uites ⎦ ⎡ 64,13 ⎤ = 90,99 x ⎢1 − ⎥ x1,5 ⎣ 92,70 ⎦ = 42,06 kg uap/ton tebu
Putaran Gula (sentrifugal) Rendemen tebu = 5,59 % = 0,559 Uap untuk pemutaran gula = 20% x berat gula = (0,2 x 0,559 x 484.993,5 x 103) / 484.995,3 = 11,18 kg gula / ton tebu Kehilangan uap Besarnya kehilangan uap = 4,8 % dari kapasitas giling = 0,048 x 484.993,5 x 103 / 484.993,5 = 4,8 kg uap/ton tebu
Total distribusi penggunaan uap : Turbin generator
= 378,76 kg uap/ton tebu
Turbin gilingan
= 401,31 kg uap/ton tebu
Turbin pompa pengisi air
= 53,54 kg uap/ton tebu
Stasiun pemurnian
= 69,21 kg uap/ton tebu
Stasiun penguapan
= 146,99 kg uap/ton tebu
Stasiun masakan
= 42,06 kg uap/ton tebu
Stasiun putaran
= 11,18 kg uap/ton tebu
Total
= 1.103,05 kg uap/ton tebu
108
Lampiran 7. Perhitungan penghematan penggunaan IDO melalui penurunan kadar air pada ampas
Kondisi I w = kadar air pada ampas
= 51 %
s = pol % ampas
= 4,24 %
NCV = 4250 – 4850w – 1200s
, Hugot (1986)
= 4250 - [(4850)(0,51)]- [(1200)(0,042)]
= 4250 – 2473,5 – 50,4 = 1726,1 kkal/kg ampas
Kerugian cerobong (Qc)
⎛ 240 − 30 ⎞ Qc = 1,04⎜ ⎟% ⎝ 15 ⎠ = 14,56 % ≈ 15 % Qc = 15% x 1726 = 258,9 kkal/kg Turbin bekerja pada tekanan 25 bar, 330 oC didapatkan entalpi (h2) = 734,93 kkal/kg Suhu air umpan = 90 oC diperoleh entalpi (h1) = 90 kkal/kg (h2 – h1) = 644,93 kkal/kg Panas berguna (P)
P=
55.000 (734,93 − 90) 24100
P = 1471,83 kkal/kg Jadi jumlah panas yang diterima dalam uap adalah 1.726 – 258,9 = 1.467,1 kkal/kg Maka, 1 kg ampas akan menghasilkan
1.467,1 = 2,27 kg uap 644,93
Dimana 1 kg ampas = 1467,1 kkal Jadi, 2,27 kg uap = 1467,1 kkal
109
1 kg uap =
1467,1 = 646,34 kkal 2,27
*) Kebutuhan uap untuk produksi =
833,61 _ kg _ uap 519.648,6 _ ton _ tebu _ giling 646,34 _ kkal x x kg _ uap tahun ton _ tebu _ giling
= 2,7998 x 1011 kkal/tahun
Total kebutuhan energi yang diperlukan untuk kebutuhan produksi adalah 2,7998 x 1011 kkal/tahun Jika digunakan IDO (minyak solar) = 1.623.183 kg/tahun , (1 kg = 1,018 L) Maka energi IDO yang dikonsumsi =
1.623.183_kg 9500 _ kkal x kg tahun
= 1,5420 x 1010 kkal/tahun = 0,1542 x 1011 kkal/tahun
Energi total = Energi ampas + Energi IDO
Energi ampas yang dikonsumsi = E total – Energi IDO = 2,7998 x 1011 - 0,1542 x 1011 = 2,6456 x 1011 kkal/tahun Maka diperlukan ampas
= 2,6456 x 1011 kkal/tahun x
1 _ kg _ ampas 1467,1 _ kkal
= 180.328.539,3 kg ampas/tahun Kondisi II (rekomendasi produksi bersih) w = 50 % s = 3,55 % NCV ampas
= 4250 – 4850w – 1200s
, Hugot (1986)
= 4250 - [(4850)(0,50)]- [(1200)(0,0355)] = 4250 – 2425 – 42,6
= 1782,4 kkal/kg ampas NCV setelah dikurangi loss (Qc) = 1782,4 – 258,9 = 1523,5 kkal/kg ampas
110
Maka, 1 kg ampas akan menghasilkan
1782,4 = 2,36 kg uap 644,93
Dimana 1 kg ampas = 1523,5 kkal *) Jika diasumsikan amaps yang digunakan
adalah sebanyak 180.328.539,3 kg ampas/tahun, maka energi ampas yang dihasilkan
=
180.328.539,3 kg ampas 1523 _ kkal x tahun kg _ ampas
= 2,7464 x 1011 kkal/tahun Sedangkan untuk energi IDO dibutuhkan sebesar = 2,7998 x 1011 - 2,7464 x 1011 = 0,0534 x 1011 kkal/tahun = 0,0534 x 1011 kkal/tahun x
1kg _ IDO 9500 _ kkal
= 562.105,26 kg IDO/tahun
Jadi, konsumsi IDO dapat dihemat sebesar = (1.623.183 - 562.105,26) = 1.061.007,74 kg/tahun Asumsi harga IDO
= Rp. 2175/kg
Maka penghematan IDO adalah sebesar =
1.061.007,74 kg Rp.2175 x kg tahun
= Rp. 2.307.844.085/tahun
≈ Rp 2,3 Milyar /tahun
111
Lampiran 8. Perhitungan penghematan energi penguapan
Diketahui air diuapkan pada evaporator = 464.13
kg _ uap ton _ tebu
1 kg uap = 646.34 kkal Energi yang dibutuhkan pada evaporator = 646.34
kkal kg _ uap x 464.13 kg _ uap ton _ tebu
= 299 985.78
kkal ton _ tebu x 519 648.6 ton _ tebu tahun
= 1.5589 x1011
kkal tahun
Jika terdapat penghematan air imbibisi sebesar 5 persen, maka dapat dihemat :
•
Energi uap
= 5 % x 1.5589 x1011 = 0.0079 x1011 = 7.79 x109
•
Konsumsi uap = 7.79 x109
kkal tahun
kkal tahun 1 _ kg _ uap kkal x tahun 646.34 _ kkal
= 12 052 480.12
•
•
Energi IDO
Biaya
= 7.79 x109
kkal tahun
kg _ uap tahun
kkal 1 _ kg _ IDO x tahun 9500 _ kkal
= 820 000
kg _ IDO tahun
= 820 000
kg _ IDO Rp _ 2175 × tahun kg _ IDO
= Rp. 1 783 500 000
≈ Rp. 1.8 Milyar
112
Lampiran 9. Perhitungan penghematan penggunaan air Kondisi saat ini : Penggunaan air : 1) Stasiun penggilingan (air imbibisi) = 1100 m3/hari (air sungai) 2) Stasiun Penguapan (pencucian evaporator) = 240 m3/hari 3) Over flow pada cooling tower = 100 m3/hari 4) Kebocoran, in-house keeping yang belum baik = 50 m3/hari Total pemakaian air yang teridentifikasi adalah sekitar 1490 m3 ~ 1500 m3/hari.
Program produksi bersih : •
Penghematan penggunaan air imbibisi (5 % x 1100 m3/hari) = 55 m3/hari
•
Penggunaan pressurized sprayer = 15 m3/hari
•
Perbaikan cooling tower (pemasangan level controller pada cooling tower (reuse air kondensat) = 50 m3/hari
•
Pemasangan kran penutup, garden sprayer = 20 m3/hari
Total penghematan sekitar 140 m3/hari.
Asumsi-asumsi : Biaya pengolahan air : Pengambilan air sungai = Rp.150,-/m3 (dari pajak) Pengolahan air = Rp.200,-/m3 (bahan kimia) Jumlah penghematan air : = 140 m3/hari x Rp.350,-/m3 = Rp. 49.000,-/hari
Æ 1 tahun musim giling ± 160 hari
= Rp. 7.840.000/tahun musim giling Biaya penerapan : 1) sprayer = 10 unit x Rp. 25.000/unit,- = Rp. 250.000,2) level controller = 1 unit x 3.500.000,-/unit = Rp 3.500.000,3) instalasi pipa = Rp.1.000.000,Total biaya Rp. 4.750.000 PBP = (Rp. 4.750.000 ) / (Rp. 7.840.000) x 12 bulan = 7,3 bulan ≈ 7 bulan
113
Lampiran 10. Peluang efisiensi proses melalui penerapan produksi bersih di PG. Jatitujuh No SATUAN OPERASI
OPSI PRODUKSI BERSIH Penghematan konsumsi air imbibisi
RENCANA PERBAIKAN
• Mengurangi penggunaan air imbibisi
1.
Penggilingan
2.
Evaporator
Penghematan konsumsi air pada saat pencucian.
• Mengurangi lama pencucian • Penggunaan pressurized sprayer sebagai pembilas.
3.
Manajemen penggunaan air
• Reuse air kondensat • Reuse air pendingin mesin
4.
Boiler house
• Peningkatan efisiensi dan kinerja boiler
• Memperbaiki cooling tower. • Pemasangan pipa dari saluran cooling tower ke water filter. • Pemasangan kran penutup/garden sprayer pada beberapa titik. • Pemisahan saluran buangan oli mesin dan air pendingin. Pemasangan level controller pada cooling tower • Memperbaiki kebocoran pipa aliran steam ± 15 titik. • Peningkatan kontrol terhadap kinerja boiler. • Optimalisasi penggunaan ampas tebu sebagai bahan bakar
5.
Pompa oli
Efisiensi penggunaan oli
• Memperbaiki kebocoran pada pompa dan saluran oli. • Penutupan kran/katup oli lebih teliti (good house keeping)
6.
In house-keeping
Peningkatan K3
• Perbaikan kebocoran pada pipa saluran gas SO2.
114
• Pemakaian masker, topi , ataupun pakaian khusus dalam pabrik. • Perawatan mesin secara teratur sesuai jadwal. • Penggunaan spare part yang sesuai dengan spesifikasi mesin. • Peningkatan kebersihan lingkungan kerja.
Lampiran 11. Mesin dan alat produksi pengolahan gula di PG. Jatitujuh No 1
Nama Alat / Mesin Meja Tebu
Tempat Fungsi Pemakaian Stasiun Menerima tebu hasil Pendahuluan tebang angkut dan membawa tebu yang digiling ke dalam cane carrier secara konstan agar pembebanan pada alat-alat di stasiun gilingan juga konstan
2
Cane Carrier
Stasiun Mengangkut tebu dari Pendahuluan meja tebu ke pisau tebu dan unigrator untuk dicacah
3
Pisau Tebu
Stasiun Memotong/memperkecil Pendahuluan tebu menjadi bagianbagian yang lebih pendek agar memudahkan proses selanjutnya di unigrator
4
Unigrator
Stasiun Menghancurkan Pendahuluan potongan-potongan batang tebu menjadi bentuk serabut sehingga memperbesar luas permukaan agar
Keterangan Jumlah 2 buah (memenuhi sistem FIFO), kemiringan 20o. Panjang 12 m, lebar 8 m. Dilengkapi leveler/perata. Kecepatan gerak 160 m/s Panjang 41 m, tinggi 2,134 m, kecepatan gerak 0-0,3 m/s (dapat diatur), memiliki 300 lembar lempeng pembawa tebu Jumlah 36 mata pisau dala 1 silinder. Ukuran tiap mata pisau 56 x 17,8 x 1,6 cm (panjang, lebar, tebal). Merek FCB France. Terdiri dari 72 buah palu dari bahan block casting dengan kecepatan putar tinggi
115
5
Leveler (Perata Tebu Halus)
6
Belt Conveyor
7
Gilingan (4Three Roller Mill)
diperoleh pemerahan nira sebanyakbanyaknya Stasiun Meratakan tebu agar Pendahuluan tidak melebihi batas yang diizinkan sehingga pemasukan tebu ke gilingan menjadi teratur Stasiun Mengangkut/membawa Pendahuluan hasil pencacahan ke stasiun gilingan dari unugrator
Stasiun Gilingan
(600 rpm)
Memiliki 30 tangan perata, bekerja berlawanan arah aliran tebu Memiliki kemiringan 10o, gaya gesek yang besar dan anti korosi, terbuat dari bahan karet Memerah nira dalam Jumlah alat 4 tebu (sabut tebu) buah terdiri sebanyak-banyaknya dari 3 melalui proses baterai/unit. penekanan Tiap unit gilingan terdiri dari 3 roll, yaitu roll atas (d=980 mm, p=2140 mm) yang berputar berlawanan arah dengan roll depan (d=980 mm, p=2134 mm) dan roll belakang (d=1033 mm, p=2134 mm). Terdapat pula roll pengisi untuk membantu proses. Pada tiap gilingan terdapat alur V untuk mempertinggi efek pemerahan serta tempat mengalirnya
116
8
Turbin Gilingan Stasiun Gilingan
Menggerakkan gilingan
9
Hydraulic Gilingan
Stasiun Gilingan
Menekan atau mengatur penekanan gilingan terhadap sabut tebu
10
Elektromotor gilingan
Stasiun Gilingan
Menggerakkan gilingan
11
Intermediate Belt Conveyor
Stasiun Gilingan
Membawa ampas yang telah diperah dari unit gilingan satu ke unit gilingan yang lain
12
Cush-Cush Elevator
Stasiun Gilingan
13
Timbangan Nira Mentah
Stasiun Pemurnian
Menyaring nira mentah dari gilingan I, II, III, IV agar nira yang diperoleh tidak mengandung ampas yang terbawa pada waktu proses penggilingan (terjatuh bersama nira lewat selasela roll gilingan) Untuk mengetahui data jumlah nira mentah yang dihasilkan dari proses penggilingan setiap jam
nira hasil perahan. Jumlah 1 unit per unit gilingan, memakai tenaga uap dengan suhu 340o C Mengakibatkan roll gilingan bergerak naik turun berdasarkan dari ketebalan sabut yang masuk ke gilingan Jumlah 2 unit pada gilingan I dan IV, menggunakan tenaga listrik, menggerakkan roll belakang. Memiliki ukuran panjang 4 m dan lebar 2,2 m dengan kemiringan 15o Panjang bagian datar 12 m dan panjang bagian miring 7 m dengan sudut kemiringan 45o
Ukuran 170 x 160 x 210 cm (p x l x t). Kapasitas timbang 5000kg/siklus. Merek Avery Weiller tipe Servo Duplex
117
14
Pemanas Nira
Stasiun Pemurnian
Mempercepat reaksireaksi pada larutan nira (pada pemanas I), mematikan jasad renik danmenyempurnakan reaksi pengendapan (pada pemanas II),dan menyiapkan suhu yang tepat sebelum masuk ke evaporator (pada pemanas III)
15
Defekator
Stasiun Pemurnian
16
Bejana Sulfitasi
Stasiun Pemurnian
17
Profloc Tower
Stasiun Pemurnian
Mencampur nira mentah dengan susu kapur hingga nira menjadi basa (tidak terlalu asam) dan kotoran-kotoran yang ada dalam nira dapat diikat oleh pencampuran yang homogen Mencampurkan nira kapur dengan SO2 sehomogen mungkin hingga pH 7,2-7,4 atau pH yang dikehendaki (pada bejana sulfitasi nira mentah) serta untuk memucatkan warna nira kental dengan cara mencampurkan gar SO2 dengan nira kental (pada bejana sulfitasi nira kental) Menghilangkan udara/gas yang tidak terembunkan yang terlarut dalam nira agar tidak mengganggu proses pengendapan
Memiliki 3 tipe pemanas, yaitu pemanas nira I (suhu pemanasan 70C), 75o pemanas nira II (suhu pemanasan 100-105o C), pemanas nira III (suhu pemanasan 110-115o C) Jumlah 2 buah dengan waktu proses 5 menit pada defekator I dan kurang dari 1 menit pada defekator II Terdiri dari 2 jenis alat dengan 2 sistem yang berbeda, yaitu system blower dan system verntury. Diameter alat = 2,5 m
Dilengkapi ruangan ampas halus. Tinggi alat 6 meter, dengan kapasitas 6,5 m3. pada alat ini ditambahkan flokulan untuk membantu proses
118
18
Clarifier/Bejana Stasiun Pengendap Pemurnian
Memisahkan endapan dan jernihan (nira jernih) berdasarkan perbedaan densitas antara endapan dan jernihan
19
Rotary Vacuum Filter (RVF) / Penapis Nira Kotor
Stasiun Pemurnian
Memisahkan/menapis kotoran dari nira menghasilkan nira jernih dan blotong secara kontinu dengan memakai prinsip penyaringan
20
Bagacillo Mixer Stasiun Pemurnian
21
Juice Syrup Stasiun Pemurnian Purification (JSP)
Mencampur nira kotor dengan ampas halus sebagai persiapan sebelum masuk ke RVF Memisahkan kotoran yang berbentuk buih (akibat penambahan udara) dari nira kental
pengendapan Jumlah 2 buah dengan kapasitas masing-masing 250 m3 dengan sistem kontinu. Merupakan alat pemisah sistem padatan – cairan dengan prinsip pengendapan Bagian utama dari alat ini terdiri dari suatu silinder yang berputar (tromol) dan dilapisi dengan saringan halus yang terbuat dari stainless dengan steel jumlah lubang 625 per m2 dengan diameter 0,5 mm. Silinder dari RVF terbagi menjadi 24 segmen yang dihubungkan dengan instalasi vakum tinggi (40-45 CmHg) dan vakum rendah (10-15 CmHg). -
Memiliki perlengkapan tambahan berupa aerator,
119
yang keluar dari evaporator sebelum dilakukan proses kristalisasi
22
Evaporator / badan penguap
Stasiun penguapan
Menguapkan air dikandung oleh jernih sehingga berubah menjadi kental
yang nira nira nira
pemanas nira (Juice Heater), reaktor pemroses, dan tanki bahan penunjang. Metode pemisahan kotoran yang dilakukan adalah metode floating (pengapungan). JSP dapat pula memproduksi nira yang dapat menghasilkan gula rafinasi (gula industri) dengan menambahkan flokulan kation Total evaporator yang dimiliki PG Jatitujuh sejumlah 6 buah, 1 diantaranya telah rusak sehingga hanya 5 yang beroperasi. Dari 5 evaporator yang dapat beroperasi, setiap harinya digunakan 4 evaporator (quadruple effect), sedangkan 1 buah sisanya dibersihkan secara bergantian. Luas pemanas
120
23
Kondensor
Stasiun penguapan
24
Penangkap nira
Stasiun penguapan dan pemasakan
25
Pan masakan
Stasiun pemasakan
26
Palung pendingin
Stasiun pemasakan
Mengembunkan uap menjadi air kembali dengan cara menurunkan titik didih nira sehingga kecepatan penguapan tinggi Memisahkan sebagian kecil nira yang ikut teruapkan bersama air agar tidak merusak peralatan dan menurunkan produksi nira Mengkristalkan zat gula yang terkandung dalam nira kental dengan cara menaikkan konsentrasi nira kental sehingga sebagian besar sukrosa dipisahkan menjadi kristal gula dan cairan
adalah 1600 m2 (pada evaporator 2, 3, dan 4) dan 1000 m2 (pada evaporator 5 dan 6) Tinggi alat 4050 mm dengan diameter sebesar 6000 mm -
Terdapat 6 buah pan masakan dengan luas pemanas sebesar 330 m2 per pan. Volume per pan masakan adalah 55 m3 dengan panjang pipa pemanas 460 mm berjumlah 1300 batang pipa.Dari 6 pan pemasakan yang ada, terdiri dari buah pan pemasak A, 1 pan pemasak C, 1 pan pemasak D, dan 1 pan pemasak C/D Menampung dan Kecepatan mendinginkan masakan putaran
121
yang turun dari pan masakan dan sebagai tempat terjadinya proses kristalisasi lanjutan akibat dari pendinginan suhu Memisahkan gula dari zat – zat yang tidak dapat dijadikan kristal lagi (tetes) secara terus menerus (kontinyu) dari masakan D
27
Low Grade Centrifugal
Stasiun putaran
28
High Grade Centrifugal
Stasiun putaran
29
Talang goyang
Stasiun Menampung dan penyelesaian menghantar gula SHS basah
Memisahkan masakan A menjadi gula A dan stroop A (putaran 1) atau klare A (putaran 2) serta memisahkan masakan C menjadi gula C dan stroop C
pengaduk sebesar 5 rpm
Berjumlah 7 unit (5 unit untuk masakan (putaran D1 pertama) dan 2 unit untuk masakan D2 (putaran kedua)). Kecepatan putaran adalah 1900 rpm dengan sudut basket 300. kapasitas 4-8 ton/jam Alat ini bekerja secara diskontinue / batch yang membutuhkan waktu untuk pengisian gula dan penyekrapan. Alat yang digunakan untuk putaran jenis ini sebanyak 7 unit (2 unit untuk masakan C, 3 unit untuk masakan A, dan 2 unit untuk SHS). Kapasitas alat adalah sebesar 22 ton/jam -
122
Stasiun Mengangkut gula SHS penyelesaian yang masih basah dari talang goyang ke pengering gula Stasiun Meneringkan dan penyelesaian mendinginkan gula SHS
Ukuran 98 x 0,4 m (p x l). Bahan karet
30
Sugar Elevator Conveyor
31
Terdiri dari 6 silinder pengering dan 6 silinder pendingin Stasiun Menghembuskan udara Blower penyelesaian panas agar gula cepat kering Stasiun Menangkap debu gula Berbentuk Cyclone penyelesaian kering lalu dengan huruf U Separator penyemprotan air di (silinder dalam, debu jatuh ke vertikal) tangki leburan Stasiun Tempat krikilan dan Sugar Malter penyelesaian gula halus disatukan untuk dilebur kembali ke masakan D2 Ayakan getar Stasiun Menyaring gula SHS Terdiri dari 3 (Vibrating penyelesaian sehingga diperoleh gula tingkat ayakan produk / standar, dengan 2 jenis Screen) sedangkan sisanya saringan berupa gula halus / debu dan gula krikil Membawa gula produk Bahan karet Belt Conveyor 1 Stasiun penyelesaian dari hasil ayakan getar ke bucket elevator Silinde magnet Stasiun Memisahkan dan Prinsip (Magnetic penyelesaian menangkap logam – pemisahan logam kecil yang kotoran dengan Drum) terbawa oleh gula magnet produk Stasiun Memindahkan gula Pemindah Dry Sugar Bucket Elevator penyelesaian yang dibawa oleh belt berbentuk conveyor 1 ke mangkuk penampung gula / mangkuk hopper secara vertikal Membagi gula kering Bahan karet Sugar Conveyor Stasiun to Hopper penyelesaian yang dibawa oleh bucket elevator ke hopper kiri, tengah dan kanan Stasiun Menampung gula Kapasitas 180 Sugar Hopper penyelesaian sebelum ditimbang dan ton, terbagi
32 33
34
35
36 37
38
39
40
Rotary Dryer and Cooler
123
dikemas
dalam 3 bagian badan Terdiri dari timbangan dan mesin jahit karung, masing – masing berjumlah 3 buah -
41
Weighting and Bagging Machine
Stasiun Menimbang gula yang penyelesaian dimasukkan ke karung (per 50 kg) dan menjahit karung gula yang telah dimasukkan gula produk SHS.
42
Carrier Gula
43
Belt Conveyor II
Stasiun Membawa gula produk penyelesaian dalam karung ke mesin jahit sampai ke belt conveyor II Stasiun Membawa karung gula penyelesaian produk yang telah
124
Lampiran 12. Penentuan polarisasi dan brix. 1) Polarisasi (AOAC, 1990). Angka polarisasi (%polarimeter) adalah angka yang menunjukkan kadar sukrosa yang larut dalam nira, untuk nira yang murni dan belum terinversi. Untuk menentukan angka polarisasi dipergunakan alat yang bernama polarimeter. Adapun cara untuk menentukan angka polarisasi, adalah :
•
100 ml nira dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan kedalamnya 5 ml Pb asetat dan 5 ml aquades.
•
Labu digoyang agar tercampur merata, kemudian disaring.
•
Nira hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung polarimeter, kemudian dibaca skala pada sacharimeter.
•
Setelah itu dicatat pemutaran bidang polarisasi, dicocokkan dengan daftar briks. Dengan demikian diperoleh persen polarisasi.
•
Nilai polarisasi adalah satuan untuk perhitungan kadar sukrosa dalam larutan gula. Selanjutnya nilai polarisasi terkoreksi dapat dihitung sebagai berikut :
NilaiPol ( P 20) =
( Pt − Po)Q 20 x{1 + c(t − 20) + 0,000144(t − 20)} (Qt − Po)
Pt=Pembacaan polarisasi pada suhu ruang toC. Po=pembacaan polarisasi dari tabung kosong pada suhu ruang toC. Qtr= pembacaan polarisasi dari standar kwarsa uji pada suhu ruang oC. Q20=nilai polarisasi (sertifikat) dari standar kwarsa uji suhu 20oC. T=suhu ruang polarimeter (oC). C=faktor tabung polarimeter (0.000467 jika dari gelas borosilica). (0.000462 jika dari gelas windows). (0.000455 jika dari stainless steel). Semakin putih contoh gula yang diukur maka cahaya yang direfleksi semakin besar dan nilai remisi yang diperoleh semakin besar.
125
Jika polarimeter yang digunakan dalam satuan oS maka pembacaan polarimeter yang dihasilkan harus dikonversikan ke dalam satuan Z dengan mengalikan faktor 0,99971 Ketelitian: keterulangan analisis polarimeter dengan metoda ini tidak lebih dari 0,05 point. 2) Total Padatan (Kadar Gula) Terlarut, Metode Refraktometer (AOAC, 1990). Beberapa tetes sampel dari feed, permeate, dan retentate dari larutan
raw sugar diukur indeks refraksinya menggunakan alat refraktometer tangan. Sampel diteteskan ke atas prisma kaca refraktometer selanjutnya dibaca total padatan terlarut pada skala yang ada. Padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix. Bila terbaca AoBrix pada toC, maka didapat koreksi brix dalam AoBrix pada toC = BoBrix. Jadi briks contoh nira pada 27,5oC (briks setelah koreksi), atau %briks = (A+B).
126
Lampiran 13. Dokumentasi penelitian
Gambar 16. Kebocoran pada pipa saluran uap
Gambar 17. Kebocoran pada pipa saluran pompa oli (a)
Gambar 18. Kebocoran pada pipa saluran pompa oli (b)
127
Gambar 19. Kebocoran pada cooling tower (a)
Gambar 20. Kebocoran pada cooling tower (b)
Gambar 21. Energi uap yang belum termanfaatkan
128
Gambar 22. Penggunaan air yang belum terkontrol
Gambar 23. Kebocoran pada pipa saluran uap (c)
129