Mini – review Penggunaan Biopreservatif Mikroorganisme Pada Produk Makanan Asal Ternak – Suatu Alternatif Roostita L. Balia Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Jatinangor km.21, Raya Sumedang Jawa Barat Fermented food is not only concern about have refreshing and delicate tastes, but also have longer shelf-life and the chances of becoming sick from food disease are fewer. This fermented food have longer preserve then raw materials of food. So, that is why food fermentation was popular among the early civilization located in high temperature zones. Nowadays, there is an increased interest in the use of the food-grade bacteria associated with food fermentation which are capable of producing different types of metabolites that have antimicrobial properties. Some of them are much interest in the use of these antimicrobials in nonfermented foods to increase their stability and safety. The popular biopreservative that can be used during production and retailling of the food product such as: organic acids, bacteriocins, diacetyl etc. However, there is still little consideration has been given in this area, especially for the Indonesian fermented food. Key words: Food Microbiology ; Food preservation, Biopreservative, Antimicrobial agent
I. Pendahuluan Produk makanan olahan yang dihasilkan oleh ternak (susu, daging dan telur) merupakan produk pangan yang berisiko tinggi (high risk food) terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme, fisik, kimia atau kombinasi diantaranya. Kerusakan pangan tersebut dapat mengakibatkan bahan tersebut menjadi cepat busuk, berbahaya bagi kesehatan manusia, tidak tahan disimpan lama dan sangat berbahaya pada saat peredarannya. Banyak hal dilakukan bagi penyimpanan dan pengawetan produk makanan asal ternak termasuk agar tidak cepat rusak misalnya: penyimpanan pada temperatur dingin (refrigerator,freezer), pemrosesan pada temperatur tinggi (pemasakan, pasteurisasi dan sterilisasi), irradiasi, kontrol kelembaban, pH, penambahan bahan kimia (garam, gula, asam), fermentasi, pengemasan dan perubahan pada gas atmosphere.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
Penggunaan bahan pengawet dengan metoda biologik yang dikenal dengan nama biopreservatif mulai digunakan pada akhir-akhir ini, dimana mempergunakan mikroorganisme atau hasil metabolitnya sebagai antimikrobial agen. Faktor utama biopreservasi ini ialah pada seleksi prosedurnya harus benar dimana kharakteristik dari produk makanan yang akan diawetkan dan kharakteristik dari mikroorganisme yang akan digunakan sebagai bahan pengawetnya harus dipertimbangkan. Faktor lain adalah pandangan dan penerimaan konsumen pada produk pangan yang diawetkan dengan biopreservatif tersebut akankah berakibat pada keamanan pangan itu sendiri dan juga harga yang harus dibayarnya. Sejak zaman dahulu (ribuan tahun lalu) secara tradisonal telah banyak diketahui tentang produksi asam laktat dan asam asetat yang dihasilkan oleh mikroba banyak dipergunakan sebagai penghasil rasa asam pada produk fermentasi. Akan tetapi kemudian pada tahun 1980-an banyak peneliti yang tertarik untuk mempelajari bahwa kedua zat tersebut dapat berperan sebagai biopresevatif apabila dipakai pada produk pangan yang tidak terfermentasi. Oleh sebab itu timbul pada masa kini pemikiran kuat tentang pemakaian antimikrobial (hasil metabolit) dengan sengaja dipakai pada produk pangan yang tidak difermentasi untuk peningkatan stabilitas serta keamanan pada produk makanan. Biopresevatif lain yang terdapat pada pengawetan makanan pada masa kini yaitu: nisin, diasetat, organic acid, bacteriocin dan lain sebagainya. Efektivitas dari zat antimikrobial ini sebagai biopreservasi dan aspek keamanan makanannya akan menjadi fokus perhatian dalam mini-review ini. Ray, 1992; Rayman and Hurst, 1992; El-Khateib et.al., 1993; Sofos, 1993; Muriana and Kanach, 1995; Hsih and Glatz,1996 telah banyak menyampaikan penggunaan biopresevasi dari mikroorganisme pada produk makanan asal ternak secara umum dan kontribusi ini memberikan masukan yang jelas pada produk-produk makanan tersebut. II. Pemakaian sel-hidup sebagai starter kultur pada penyimpanan dingin Proses penambahan sel-hidup pada bahan makanan misalnya: mesophilic bacteria (300C45 C) seperti: Lactococcus lactis , Lactobacillus sp. dan Pediococcus sp. dalam jumlah yang 0
besar dapat mengontrol bacteria perusak dan patogen selama penyimpanan dalam temperatur dingin 50C - < 50C. Adanya mesophilic lactic acid bacteria maka pertumbuhan dari bacteria perusak
dan
patogen
yang
tahan
pada
temperatur
dibawah
200C-300 C
(psychrophiles/psychrotrophs) menjadi tertahan. Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan penambahan lactid acid bacteria pada daging segar, seafood, cairan telur segar dan pada daging yang telah diproses terhadap adanya Clostridium botulinum, Salmonella sp. dan Staphylococcus aureus. Pada beberapa studi menyatakan bahwa pertumbuhan dari
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
2
psychrotrophs bacteria dapat dihambat sampai 90% atau lebih, selama 4-10 hari dalam penyimpanan temperatur dingin (T = refrigerator). Sedangkan penambahan lactic acid bacteria pada susu segar dingin, keju dan keju cottage akan bertambah panjang tanggal kadaluwarsanya. Penghambatan atau penurunan pertumbuhan pada bacteria patogen atau bacteria perusak mungkin disebabkan oleh pelepasan komponen antimikrobial dari dalam sel oleh non-metabolic lactic acid bacteria. Hasilnya dapat berupa antara lain; organic acid, bacteriocin, nisin, reuterine atau hidrogen peroksida yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet biologi pada produk makanan (Juntittla et. al, 1988; Gill and Reichel, 1989; Palumbo and Williams, 1991, Ray, 1992). III. Pemakaian organic acids sebagai biopreservatif Secara komersial lactic acid diproduksi oleh beberapa Lactobacillus sp. yang mampu memproduksi L(+) lactate atau (DL-lactate), acetic acid oleh Acetobacter aceti dan propionic acid oleh dairy Propionicbacterium spp. Ketiganya telah terdapat pada daftar yang dinyatakan aman (GRAS=generally regarded as safe), dapat digunakan sebagai bahan pengawet untuk peningkatan flavor, perpanjangan masa kadaluwarsa serta merupakan bahan pencegah mikroorganisme yang tidak diharapkan. Zat-zat asam ini dalam garam kebanyakan dipakai dalam makanan pada level sekitar 1-2%. Acetic acid dalam garam dan cuka pada produk makanan dipakai untuk menghambat pertumbuhan dan menurunkan kemampuan hidup dari Gram-positive dan Gram-negative bacteria, yeasts dan molds. Kemampuan bacteriostatic terlihat pada konsentrasi 0.2% dan bactericidalnya diatas 0,3% dan akan terlihat lebih efektif pada Gram-negative bacteria. Akan tetapi efek ini juga sangat tergantung pada pH dan terlihat disini bahwa efek bactericidal lebih terlihat pada pH yang rendah (< pH 4.5). Bahan ini bisa ditambahkan pada produk susu (salad dressing dan mayonnaise) sebagai agen antimikrobial. Bahan ini juga telah diizinkan sebagai bahan tambahan untuk pencuci karkas daging. Propionic acid bersama garam dipakai sebagai agen yang menghambat pertumbuhan fungi/jamur (fungistatic agent), dan juga mempunyai fungsi untuk mengontrol dan menurunkan jumlah sel hidup dari kedua bacteria (Gram + atau Gram -). Bahan ini juga dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan molds pada keju dan mentega. Lactic acid bersama garam dalam bahan makanan lebih ditujukan pada peningkatan flavor (rasa) daripada efek antimikrobialnya terutama pada bahan makanan diatas pH 5.0. Pada keadaan bahan makanan pH < 5.0 dapat mempunyai efek bactericidal (membunuh) terutama untuk melawan Gram positive bacteria, akan tetapi tidak punya efek fungistatic dalam lingkungan bahan makanan tersebut. Asam lactate banyak sekali dipakai pada proses pembuatan produk asal
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
3
daging dan direkomendasi sebagai suatu bahan pencuci karkas (Baird-Parker, 1980; Board, 1983; Doores, 1983; Cooke et.al, 1987; Ray and Sandine, 1992, Rahayu dkk., 1996). IV. Pemakaian diacetyl sebagai biopreservatif Diacetyl adalah produk dari beberapa species lactic acid bacteria dalam jumlah yang banyak, terutama melalui metabolisme citrate. Beberapa studi menunjukkan bahwa ini dapat merupakan zat antibacterial untuk melawan Gram positive (pH 5.0) dan Gram negative bacteria. Pada studi terakhir menyatakan bahwa diacetyl ini dengan kombinasi panas akan lebih bersifat bactericidal daripada tanpa kombinasi. Disamping itu diacetyl mempunyai aroma yang kuat, sehingga pemakaiannya pada produk dari bahan dasar susu sangat terbatas, karena flavor dari diacetyl tidak terlalu diharapkan. Diacetyl termasuk zat yang mudah menguap, sehingga banyak kehilangan daya efektivitasnya dalam produk makanan yang akan diharapkan mempunyai waktu penyimpanan yang panjang. Pada kondisi jumlah diacetyl yang menurun akan berubah menjadi acetoin dan hal ini diikuti dengan menurunnya daya efek antibacterial. Akibatnya zat ini sulit dipakai pada produk makanan memakai cara vakum karena aktivitas antibacterial yang dihasilkannya akan segera berkurang oleh aktivitas beberapa enzym penting yang ada didalamnya (Ray, 1992). V. Hydrogen peroxide sebagai bahan pengawet makanan Beberapa strain dari lactic acid bacteria menghasilkan H2O2 pada kondisi pertumbuhan yang aerobic, dimana disebabkan kekurangan cellular catalase, pseudocatalase atau peroxidase. Strain ini terpaksa melepaskan zat-zat ini kedalam lingkungan tumbuhnya untuk memproteksi diri dari adanya antimicrobial agen. Strain yang lainnya dapat menghasilkan zat-zat itu pada kondisi pertumbuhan yang baik, cukup H2 O2 untuk merangsang adanya fungsi bacteriostatic dan sedikit bacteriocidal. Zat ini merupakan agen oksidasi dan dapat dipakai sebagai zat antimicrobial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bacteria, fungi dan virus (bacteriophage). Pada kondisi sedikit oxygen (microaerophilic) akan menghasilkan sedikit H2 O2 oleh bacteria strain ini. Didalam susu segar yang bertemperatur dingin, aksi antibacterial akan dihasilkan dari penambahan sel yang tidak tumbuh dari jenis mesophilic lactic acid bacteria. Hal ini yang diakibatkan oleh kemampuan pengaktifan dari sistem lactoperoxidase-thiocyanate yang terdapat pada susu temperatur dingin itu. Dimana dalam susu terdapat enzym lactoperoxidase dan thiocyanate (SCN -), dengan adanya H2O2 , enzym lactoperoxidase akan membentuk hypothiocyanate anion (OSCN-), dimana pada pH susu dapat menjadi seimbang dengan hypothyacianous acid (HOSCN). Keduanya OSCN- dan HOSCN adalah merupakan agen oksidasi yang kuat dan dapat mengoksidasi kelompok –SH
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
4
protein grup, seperti terhadap membrane protein Gram-negative bacteria dimana agen ini sangat sensitif. Akan tetapi system ini bisa hilang aktivitasnya dengan cara susu tersebut dipasteurisasi. Kegunaan hydrogen peroxida diizinkan pemakaiannya dalam susu segar bertemperatur dingin, cairan telur ayam segar (±25ppm) untuk mengontrol phatogenic bacteria dan bacteria perusak. Apabila pasteurisasi telah lebih dahulu dilakukan, kemudian catalase ditambahkan 0.10.5 g/1000pound untuk menghilangkan residu H2 O2 . Pada saat itu terbentuk aksi antibacterial dengan cara oksidasi pada bacteria dengan cara merusak komponen sel terutama membrane selnya. Adanya oksidasi komponen sel bacteria akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada kualitas pangan seperti: warna yang hilang pada daging yang diproses, oleh karenanya sangat jarang dipakai sebagai bahan pengawet pangan. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pentingnya dipelajari lebih lanjut tentang aplikasi pada beberapa proses makanan dan sanitasi peralatan (Ray, 1992). VI. Reuterine sebagai bahan pengawet makanan Bermacam strain dari Lactobacillus reuteri yang terdapat dalam saluran gastrointestinal manusia dan hewan menghasilkan zat molekul kecil, reuterine (β-hydroxypropionalde-hyde) adalah agen antimicrobial pada Gram+positive dan Gram-negative bacteria. Zat ini diproduksi dari inaktivasi beberapa enzym yang penting misalnya: ribonucleotide reductase. Akan tetapi reuterine yang diproduksi oleh beberapa strain akan dihasilkan apabila glycerol diberikan pada lingkungan tumbuhnya strain tersebut. Pemakaiannya akan dikurangi bila dipakai sebagai pengawet makanan. Didalam keterbatasan penelitian, telah dikatakan bahwa bila bahan makanan ditambah dengan glycerol dan dinokulasi dengan Lactobacillus reuteri akan menghasilkan reuterine dan dapat mengontrol pertumbuhan dari mikroorganisme yang tidak diinginkan (Daeshel and Penner, 1992). VII. Bacteriocin dari kultur starter sebagai biopreservatif Banyak strain lactic acid bacteria dan dairy Propionibacterium menghasilkan komponen protein yang disebut bacteriocin. Zat ini bersifat bactericidal pada sel dari strain lain misalnya pada Gram-positive bacteria. Beberapa bacteriocin relatif mempunyai molekul yang besar dan labil pada panas, sedangkan bentuk yang lain adalah molekul kecil dan tahan panas. Strain-strain dari species yang berasal dari genera Lactococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Bifidobacterium dan Propionibacterium banyak dipakai pada fermentasi makanan telah banyak dilaporkan, dimana diperlukan untuk menghasilkan bacteriocin yang berbeda. Sangat banyak bacteriocin yang masih belum diteliti untuk mengetahui perbedaan
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
5
karakteristik yang terdapat dalam makanan yang mungkin diperlukan sebelum dipakai sebagai biopreservatif. Perlu diketahui bahwa bahan protein ini relatif kecil terdiri dari 50 bagian kecil asam amino. Diantaranya yang paling sering dipelajari dari bacteriocin ini adalah nisin yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis dan mempunyai 35 asam amino. Aksi bactericidal dari bacteriocin untuk melawan sel yang sensitif akan dihasilkan melalui destabilisasi dari fungsi membrane sebagai keseimbangan barier dan generator energi. Beberapa strain juga akan mengalami lisis. Sel penghasil bacteriocin akan mengalami ketahanan terhadap bacteriocin yang dihasilkannya sendiri, disebabkan memperoleh ketahanan protein yang spesifik. Bacteriocin ini pada umumnya sangat efektif melawan sel dari Gram-positive bacteria yang lain. Akan tetapi beberapa strain hanya mempunyai host-range yang sempit sehingga aksi bactericidalnya hanya mempunyai kemampuan untuk melawan strain itupun hanya kecil saja. Dilain pihak beberapa strain dapat efektif melawan strain yang besar dan species dari Grampositive bacteria dari beberapa genera. Nisin dan pediocin AcH (pediocin PA-1) adalah contoh dari bacteriocin yang mempunyai host-range yang besar. Strain-strain yang sensitif mempunyai kepekaan berbeda pada hal pada satu bacteriocin. Terlihat pada misalnya: dua strain dari Listeria monocytogenes, strain Scott A dapat lebih sensitif daripada strain CA pada konsentrasi yang sama dari nisin. Efek bactericidal dari bacteriocin adalah relatif stabil pada temperatur tinggi. Pemanasan pada 1000C selama 10 menit, nisin dan pediocin AcH kehilangan aktivitasnya 30 dan 10%. Sementara pada pemnasan 1210 C (15 menit) menurunkan aktivitas bacteriocinnya sebanyak 2550%. Aktivitas sangat stabil pada pH. asam, akan tetapi dapat dihancurkan pada pH.9.0 atau lebih khususnya bila dengan pemanasan. Banyak
terdapat enzym proteolitic yang dapat
menghancurkan aktivitas biologinya. Telah banyak didapatkan bacteriocin yang menjadi bactericidal untuk pathogenic Grampositive dan bacteria perusak yang sangat penting pada makanan. Akan tetapi hanya sedikit yang telah diuji pada sistem makanan. Pada beberapa studi terlihat bahwa satu strain bacteriocin yang telah diinokulasi dengan pathogenic atau bacteria perusak akan menghasilkan bacteriocin yang dapat mengontrol pertumbuhan dari bacteria perusak dan yang pathogen itu sendiri. Bacteriocin ini sangat efektif dipakai untuk mengontrol bacteria pathogen dan perusak pada produk makanan yang dingin dan makanan dalam kantung vakum yang diharapkan agar mempunyai daya simpan yang lama. Bacteriocin dari starter kultur bacteria terutama dengan antibacterial spectrum yang luas sehingga mempunyai potensi cukup dapat dipakai sebagai biopreservatif. Akan tetapi hal ini harus mendapat persetujuan oleh badan yang menanganinya, sebab pada keadaan karakter yang
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
6
berbeda akan menghasilkan suatu yang berbeda pula dan ini harus diketahui dengan cepat agar tidak berbahya dari segi keamanan pangan. Pemakaian bacteriocin pada makanan harus diperhitungkan masak-masak terhadap aspek ekonominya (Ray, 1992; Klaenhammer, 1993; Jack et.al, 1995). VIII. Yeasts Yeasts tertentu, termasuk strain Saccharomyces cerevisiae memproduksi beberapa protein yang mempunyai sedikit sifat antimicrobial. Protein ini dapat melalui manipulasi genetik dirubah menjadi mempunyai antimicrobial yang spectrumnya lebih luas khususnya untuk melawan fungi (jamur). Akan tetapi sangat sedikit sekali pada saat ini studi yang berhubungan dengan hal ini (Davidson et. al., 1983; Bakalinsky, 1992). Beberapa yeasts diisolasi dari permukaan buah-buahan dan sayuran telah dilaporkan dapat mencegah kerusakan yang disebabkan oleh mold. Hanya satu komponen penghambat merupakan protein kecil, dan yang lain adalah merupakan kerja enzym. Salah satu sel dari isolat yeasts didapatkan sangat erat bersatu dengan mycelia dari jamur dan memproduksi β-gluconase yang dapat memecah dinding sel dari jamur dan membunuh jamur tersebut. Yeasts sangat banyak secara normal terdapat pada buah dan sayur. Bahan makanan tersebut dimana kebanyakan dimakan dalam keadaan segar dan pada umumnya yeasts tersebut tidak dikatagorikan pathogen (ganas) sehingga yeasts ini dapat dipakai sebagai bahan pengganti fungicide untuk membuat daya awet buah dan sayur menjadi lebih lama. IX. Saran untuk masa akan datang Pada mini-review ini terlihat dari beberapa tulisan betapa pentingnya pengawetan pada bahan makanan sejak dari zaman dahulu hingga saat ini. Terutama pada bahan makanan yang mudah rusak misalnya yang berasal dari ternak seperti: susu, daging dan telur. Dahulu penggunaan pengawetan banyak mempergunakan bahan kimia (garam, gula, asam) dan juga dengan cara bahan makanan tersebut difermentasi. Akan tetapi sekarang banyak dipelajari kemungkinan dengan memakai hasil fermentasi (metabolit) dipakai sebagai biopreservatif. Hasil ini dapat menjadi agen antimicrobial dari strain-strain mikroorganisme untuk menambah daya awet dari makanan dengan menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dan perusak. Dianjurkan penelitian dan studi yang lebih mendalam terutama dengan perubahan yang akan ditimbulkan dalam produk makanan agar dapat dipertanggung jawabkan terhadap keamanan dan kestabilan dari makanan tersebut. Didalam hal ini kemudian akan diketahui penggunaan secara optimum
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
7
dikemudian hari, dengan memikirkan keamanan dan stabilitas dari makanan tersebut apabila diawetkan. Penting juga untuk dipelajari dan diteliti pada makanan tradisional Indonesia yang banyak terdapat memakai metoda fermentasi: seperti fermetasi susu kerbau (dadih) dari Sumatra Barat, fermetasi daging dari Aceh (sie-reuboh), daging asap, dan makanan lain (oncom, growol) yang bukan hasil ternak. Pada akhirnya diharapkan akan terdapat strain-strain mikroorganisme lain yang mungkin bisa dipakai sebagai biopreservatif pada makanan yang diawetkan tetapi tidak dengan cara fermentasi. X. References 1. Baird-Parker A..C., Organic acids, in Microbial Ecology of Foods, Vol. 1, Silliker, J.H.,Ed., Academic Press, New York, 126,1980. 2. Bakalinsky A.T., Metabolites of yeasts as biopreservatives, in Food Biopreservatives of Microbial Origin, Ray, B. and Daeschel, M.A., Eds.,CRC Press, Boca Raton, FL., chap.12, 1992. 3. Board R.G., Inhibiting the Growth of Microorganisms., In A Modern Introduction to Food Microbiology. Edited by Wilkinson J.F. Vol. 8., Blackwell Scientific Publications, Oxford London, 21, 1983. 4. Cooke R.D., Twiddy, D.R. and Allan Reilly P.J., Lactic-acid fermentation as a low-cost means of food preservation in tropical countries, in Food Biopreservatives of Microbial Origin, Ray B. and Daeschel M.,CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida, 369, 1992. 5. Daeschel M.A., Antimicrobial substancesfrom lactic acid bacteria for use as food preservative, Food Technol., 43(1),164, 1989. 6. Daeschel M.A. and Penner M.H., Hydrogen peroxyde, lactoperoxide systems, and reuterine in Food Biopreservatives of Microbial Origin, Ray, B. and Daeschel, M.A., Eds.,CRC Press, Boca Raton, FL.,155, 1992. 7. Doores S., Organic Acids., In Antimicrobials in Foods, Branen A.L. and Davidson P.M., Marcel Deckker, Inc., New York and Basel, 327, 1983. 8. Gill C.O. and Reichel M.P., Growth of the cold-tolerant pathogens Yersinia enterocolitica, Aeromonas hydrophila and Listeria monocytogenes on high-pH beef packaged under vacuum or carbon dioxide. Food Microbiol. 6, 223-230, 1989. 9. Hurst A., Nisin and Other Inhibitory Substances from Lactic Acid Bacteria, in Antimicrobials in Foods, Branen A.L. and Davidson P.M., Marcel Deckker, Inc., New York and Basel, 327, 1983.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
8
10. Hsieh H.Y.and Glatz B.A., Long-term storage stability of bacteriocin propionicin PLG-1 produced by Propionobacterium thoenii and potential as a Food Preservative. J. Food Protection. 59 (5): 481-6, 1996. 11. Jack R., Tagg, J. and Ray, B., Bacteriocins of Gram-positive bacteria, Microbiol. Rev., 59, 171, 1995. 12. Juntittla J.R., Niemela S.I. and Hirn J., Minimum growth temperatures of Listeria monocytogenes and non-haemolytic listeria. J. Appl. Bacteriol. 65, 321-327, 1988. 13. Klaenhamer T.R., Genetics of bacteriocins produced by lactic acid bacteria, FEMS Microbiol. Rev., 12, 39, 1993. 14. Muriana P.M. and Kannach L., Use of nisaplin TM to inhibit spoilage bacteria in buttermilk ranch dressing. J. Food Protection. 58, (10: 1109-1113),1995. 15. Palumbo S.A. and Williams A.C., Resistance of Listeria monocytogenes to freezing in foods. Food Microbiol. 8, 63-68, 1991. 16. Rahayu E.S., Djaafar T.F., Wibowo D. and Sudarmadji S. Lactic acid bacteria from indigenous fermented foods and their antimicrobial activity. Indonesian Food and Nutrition Progress, 3 (2): 21-28, 1996. 17. Ray B., Cells of lactic acid bacteria as food biopreservatives, Food Biopreservatives of Microbial Origin, Ray, B. and Daeschel, M.A., Eds.,CRC Press, Boca Raton, FL.,81, 1992. 18. Ray B. and Sandine, W.E., Acetic, propionic and lactic acids of starter culture bacteria as biopreservetives, in Food Biopreservetives of Microbial Origin, Ray B. and Daeschel M.A., Eds.,CRC Press, Boca Raton, FL.,103, 1992. 19. Rayman K. and Hurst A. Nisin: Properties, Biosynthesis and Fermentation, in Food Biopreservatives of Microbial Origin, Ray B. and Daeschel M.,CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida, 607, 1992. 20. Sofos J.N., Current microbiological considerations in food preservation – mini review, Int. J. Food Microbiol. 19, 87-108, 1993.
.
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
9
PDF Creator - PDF4Free v2.0
http://www.pdf4free.com
10