BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN
A. Tinjauan Atas Label Halal 1. Pengertian Halal Salah satu ciri manusia sebagai mahluk hidup adalah adanya kebutuhan akan makan dan minum untuk keberlangsungan dan bertahan hidup. Namun konsumsi makanan dan minuman dimaksud di sini bukanlah semata-mata hanya pemenuhan hidup, tapi lebih dari itu pemenuhan gizi yang memiliki standar kesehatan bagi manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, menyeleksi jenis-jenis makanan yang masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu bentuk upaya mahluk hidup untuk bisa bertahan hidup pula. Secara insting tidak mungkin mahluk hidup akan sengaja memasukkan bahan beracun ke dalam tubuhnya, sehingga hidup mereka menderita. Suatu benda atau perbuatan itu tidak terlepas dari lima perkara, yaitu halal, haram, syuhbat, makruh dan mubah. Terhadap barang yang halal secara mutlak kita disuruh oleh Allah untuk memakannya; sedang terhadap yang haram kita disuruh untuk menjauhinya. Karena makanan yang halal itu dapat menambah cahaya imam dan membuat terkabulnya doa. 49
49
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, (Surabaya : Putra Pelajar, 2002),
hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Allah SWT dalam firman-Nya mengatakan bahwa : Wahai sekalian manusia! makanlah sebagian dari makanan yarrg ada dibumi ini, yanghalal dan baikdanjanganlah kamu menuruti jejak langkah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu yang nyata. "(QS. Al-Baqarah: 168) "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu; dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu berirnan kepada-Nya. "(QS. Al-Maidah: 88). Rasulullah saw pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Waqqash ra ” "Pilihlah makanan yang halal, niscahya doamu akan dikabulkan”. Dari kedua ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas, maka adalah wajib bagi masyarakat muslim untuk menjaga kehalalan makanan yang akan dikonsumsinya. ”Sebelum mengkonsumsi setiap muslim harus sangat yakin (haqqul yaqin) mengenai kehalalannya”. 50 Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.
51
Atau
diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan
50 51
Aisjah Girindra, Op cit, hal. 14 Lois Ma’luf, Op cit, hal. 146
Universitas Sumatera Utara
yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib. 52 Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. 53 Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. 54 Sedangkan produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. 55 Secara umum ada tiga katagori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni; nabati, hewani, dan produk olahan. Makanan yang berbahan nabati secara keseluruhan adalah halal, dan kerena itu boleh dikonsumsi kecuali yang mengandung
52
Aisjah Girindra, Op cit, hal.20 Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 54 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 55 Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 53
Universitas Sumatera Utara
racun, bernajis, dan/atau memabukkan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewani terbagi dua, yaitu hewan laut yang secara keseluruhan boleh dikonsumsi dan hewan darat yang hanya sebagian kecil saja yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara itu kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku, tambahan, dan/atau penolong) dan proses produksinya. 56 Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at Islam, yakni: 57 6. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. 7. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya. 8. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam. 9. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam. 10. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar. Maka, secara umum makanan dan minuman yang aram terdiri dari hewan, tumbuh-tumbuhan adalah sebagai berikut: 56
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 24 Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), hal. 2. Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 123. Lihat juga Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal. 7 57
Universitas Sumatera Utara
1. Hewan: bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah. 58 Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, ternetur, jatuh tertanduk, diterkam hewan buas dan yang disembelih untuk berhala, 59 kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa disembelih. Hewan yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri manusia. 60 Hewan dan burung buas yang bertaring dan memiliki cakar, hewan-hewan yang oleh ajaran Islam diperintahkan membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing galak dan burung elang dan sejenisnya, hewan-hewan yang dilarang membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, belatuk, hewan yang hidup di dua jenis alam seperti kodok, penyu, buaya. 61 2. Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan boleh dimakan kecuali yang mendatangkan bahaya atau memabukkan baik secara langsung maupun melalui proses. Maka semua jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun atau yang memabukkan haram dimakan. 62 3. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda najis, baik sedikit maupun banyak. 63
58
QS. Al-Baqarah : 173 QS. Al-Maidah : 3 60 QS. Al-A’raf : 157. Lebih lanjut lihat dalam Imam Al-Ghazali, Penyunting Ahmad Shiddiq, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya, Putra Pelajar, 2002), hal. 119 61 Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 9-11 62 Ibid, hal. 12 63 Ibid 59
Universitas Sumatera Utara
Adapun hal-hal yang diharamkan dalam makanan adalah sebagai berikut : a. Bang kai Pertama. kali haramnya makanan yang disebut dalam Al-Qur'an ialah bangkai, sebagaimana yang tertera dalam surat al-maidah ayat 3: "Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang mati karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mafi) karena dimakan oleh hewan buas kecuali yang dapat kamu sembelih, dan yang disembelih untuk berhala. "(QS. Al-Maidah ayat 3) Bangkai yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang memang sengaja di sembelih menurut ketentuan agama atau dengan berburu. Termasuk dalam hal ini yaitu apa ynag dipotong dari hewan hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi: "Telah bersabda Rasulullah saw, "Apa yang dipotorlgdari hewan ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai. "(HR. Abu Dawud dan Thrmudzi dan diakui sebagi hadits Hasan) Dikecualikan dari bangkai tersebut diatas, maka bangkai yang ada di bawah ini adalah halal untuk dimakan: 1) Bangkai ikan dan belalang; 2) Bangkai hewan dan tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.
Universitas Sumatera Utara
3) Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najis. Sesuatu yang dilarang atau diharamkan dalam agama, khususnya dalam agama Islam pasti ada hikmahnya. Diantara hikmah diharamkannya bangkai adalah sebagai berikut : 64 1) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan barrgkai dan diapun kan menganggapnya kotor. Para cerdik cendikia di kalangan mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan yang rendah yang dapat menurunkan moral manusia. Oleh karena itu seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya. 2) Supaya setiap muslim suka membinasakan bertujuan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslimpun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkongkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih yang dapat mengeluarkan hewan dari kedudukannya sebagai bangkai tidak lain adalah bertujuan untuk merenggaut jiwa hewan karena hendak memakannnya. 3) Hewan yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab mendadak, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang rnengandung racun dan lain sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan. Contohnya seperti hewan yang mati karena sangat lemah karena keadaannya yang tidak normal. 4) Allah mengharamkan bangkai kepada kita ummat manusia, berarti dengan ia telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagi tanda kasih sayang Allah ke pada hewan atau burung-burung tersebut. Karena hewanhewan itu adalah makhluk seperti juga manusia. 5) Agar manusia selalu memperhatikan hewan-hewan yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja hewannya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.
64
Imam Al-Ghazali, Op cit, hal. 109-110
Universitas Sumatera Utara
b. A l - M u n k h o n i q o h Al-Munkhoniqoh adalah hewan yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher hewan tersebut ataupun meletakkan kepala hewan pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga hewan tersebut mati. Hewan yang demikian ini disebut bangkai. Sekalipun bangkai itu dari hewan yang halal, kalau matinya dicekik maka diharamkan untuk memakannya. c. A l - M a u q y u d z a h Al-Mauquudzah adalah bianatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya. Hewan yang mati karena di pukul dengan tongkat ini dinamakan bangkai. d. Al-Mutariddiyah Al-Mutariddiyah adalah hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati. Misalnya hewan yang jatuh ke dalam sumur. e. An-Nathihah Al-Nathihah adalah hewan yang baku hantam antara satu dengan yang lain, sehingga mati. Hewan An-Natihah ini adalah termasuk bangkai. f. Mas Akalas Sabu'u Mas akalas sabu'u adalah hewan yang disergap oleh hewan dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati. Hewan yang mati karena oleh hewan buas ini termasuk bangkai.
Universitas Sumatera Utara
g. Darah yang mengalir Darah yang mengalir adalah termasuk makanan yang diharamkan untuk mamakannya. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab beliau: Makanlah? Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir. h. Daging Babi Daging babi adalah merupakan makanan yang diharamkan dalam Islam. Menurut penyelidikan para ilmuwan, bahwa daging babi itu sangat berbahaya karena salah satu sebab timbulnya cacing pita yang dapat berbahaya. Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya. Firman Allah SWT dalam (QS 5:3) mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Demikian juga dengan firmanNya dalam (QS 6:145 dan 16:115), mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Dalil- dalil pada beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman, antara lain mengkonsumsi babi. Al-quran menggunakan kata lakhma (daging) karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging. Selain itu, dalam daging babi selalu terdapat lemak. Kendati Al-Quran menggunakan kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya. Tetapi seluruh tubuh hewan babi. Pandangan ini sesuai dengan kaidah usul fiqh: min dzikri'l juz i wa iradati'l kulli. Artinya yang disebut sebagian dan dikehendaki keseluruhannya. 65 i. Hewan yang disembelih bukan karena Allah Hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya dengan menyebut nama berhala. Kaum penyembah berhala (Wat saniyyin)dahulu apabila hendak menyembelih hewan, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Lataa dan ‘Uzza. Ini 65
Aisjah Girindra, Op cit, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
berarti suatu taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allah dan menyembah kepada selain asma Allah yang Maha Besar. Penyembelihan merupakan syarat kehalalan konsumsi daging hewan. Dalam fiqih penyembelihan diistilahkan sebagai al-dzakah, yang berarti al-tathayyub (bersih atau membersihkan). Misalnya, udara itu thayyib atau bersih. Diartikan dengan penyembelihan disebabkan kebolehan syariat menjadikannya bersih. Selain itu, ada pula yang mengartikan sebagai tatmin (sempurna). Dengan demikian, penyembelihan adalah menyembelih hewan dengan memotong hulqun (jalan pernapasan) atau mariah (jalan makanan dan minuman). Adapun syarat sahnya penyembelihan adalah sebagai berikut: 66 1) Penyembelih haruslah Muslim, yang sempurna akalnya dan mengetahui syarat-syarat penyembelihan. Maka sembelihan orang yang tidak sadarkan diri (seperti mabuk, gila, dan sebagainya), dan anak-anak yang belum mumayyiz tidak halal dimakan. 2) Menggunakan pisau yang tajam. 3) Memotong trachea (saluran nafas), osephagus (saluran makanan), arteri, dan venajugalaris (arteri dan vena besar di leher). 4) Menyebut nama Allah SWT. Dalam penyembelihan disunnahkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat, seraya merebahkannya ke sebelah kiri, dan membaca shalawat nabi.
66
Ibid, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
j. Khamar (alkohol) Masyarakat Arab memiliki kebiasan memproduksi dan mengkonsumsi khamar (air api). Namun demikian, kebiasaan ini berangsur-angsur mereka tinggalkan semenjak Allah SWT menegaskan berbagai dampak buruk khamar yang dapat menguras harta benda dan merusak akal sehat, seperti tertuang dalam QS AnNahl : 67, yang menyatakan "Dan dari buah kurma dan anggur, bisa kamu buat minuman memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah SWT bagi orang-orang yang memikirkan". Umar ra. menangkap pesan ayat itu dalam konteks realitas masyarakatnya. Ia kemudian berdoa: "ya Allah, jelaskan kepada hambaMu ini secara tuntas tentang khamar, karena ternyata khamar selain menguras harta juga merusak akal". Allah SWT menjawab pertanyaan Umar melalui wahyuNya kepada Rasulullah SAW dengan paparan objektif: setitik nikmat minuman keras, menimbulkan malapetaka (dosa) besar. Meski demikian Allah belum memberikan keputusan final. Tampaknya manusia masih diberi kesempatan untuk membuktikan sendiri dampak buruk khamar. Maka Allah berfirman : "Mereka bertanya kepadamu mengenai khamar dan judi, Katakanlah, pada yang deinikian itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya ”. Produksi dan konsumsi khamar jalan terus. Umar belum puas dan kembali berdoa. Kemudian turun wahyu kepada Rasulullah SAW (QS An Nisaa: 43) yang bermaksud mempersempit waktu konsumsi khamar. "Hai orang-orang
Universitas Sumatera Utara
yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan". Umar ra. masih belum puas. Sebelum ada keputusan final, ayat itu bisa diberi kesimpulan terbalik (konklusi resiprokal), yakni boleh mabuk diluar waktu shalat. Umar pun kembali berdoa, lantasturun wahyu kepada Rasulullah SAW (Al Maidah : 90-91), yang menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan". Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, supaya kamu beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran minum khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah SWT dan melakukan shalat, maka berhentilah kamu (mengerjakan hal itu). Dalam salah satu Mudzakarah Nasional yang diselenggarkan oleh LP POM MUI pada tanggal 30 September dan 10 ktober 1993 di Jakarta, diperoleh kesepakatan mengenai status hukum minuman beralkohol. Meminum minuman beralkohol, sedikit atau banyak hukumnya haram. Demikian pula dengan kegiatan memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, membeli, dan menikmati hasil atau keuntungan dari perdagangan minuman beralkohol. 67
67
Ibid, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
2. Tinjauan Atas Label Halal Label dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. 68 Maka, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label dimaksud tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. 69 Label pangan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan: 70 1. Nama produk 2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih; 4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; 5. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut 68
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 70 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 69
Universitas Sumatera Utara
dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Label. 71 Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal pada produk makanan, PP Nomor 69 Tahun 1999 mensyaratkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan
pangan
yang
dikemas
ke
dalam
wilayah
Indonesia
untuk
diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemeriksaan pangan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. 72 Berdasarkan Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan, disepakati bahwa produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan halal atas dasar Fatwa dari MUI, setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboraturium dengan secara seksama. 73 Maka, berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada
71
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 73 Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan 72
Universitas Sumatera Utara
Makanan, MUI memiliki kewenangan secara yuridis untuk menerbitkan Fatwa MUI tentang kehalalan suatu produk makanan atau disebut dengan Sertifikasi Halal MUI. Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi. Sertifikasi Halal adalah Fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam melalui pemeriksaan yang rinci oleh LP POM MUI. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman Label Halal pada kemasan produk dari instansi Pemerintah yang berwenang (Badan POM). 74 Sedangkan labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman ”LABEL HALAL” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk Sertikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI.75 Namun, PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan peraturan perundang-undangan lainnya belum mewajibakan dan mensyaratkan lLabel Halal bagi produk pangan kemasan yang beradar di Indonesia. Pengaturan tersebut hanya berlaku bagi produsen yang menyatakan bahwa produk makanannya halal bagi umat Islam. Padahal jika ditinjau dari pengaturan hak-hak konsumen dalam Undangundang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan
74 75
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 69 Ibid
Universitas Sumatera Utara
informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Terkait dengan hal tersebut, maka produsen berkewajiaban untuk memberikan informasi kepada konsumennya bahwa produk makanan tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat Islam. Terkait dengan keselamatan konsumen muslim, baik secara akidah, rohaniah maupun jasmaniah, dalam mengkonsumsi produk makanan sangat bergantung pada informasi produk makanan tersebut. Maka informasi yang menyesatkan konsumen muslim tentang kehalalan produk makanan akan merusak keselamatan akidah, rohaniah dan jasmaniah konsumen muslim tersebut. Hal ini pulalah yang mengaharuskan produk makanan kemasan memiliki label, baik Label Halal untuk dikonsumsi umat Islam maupun Label Haram untuk dikonsumsi umat Islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas, maka produk makanan juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk makanan tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat Islam. Konsumen dalam ekonomi Islam tidak semata-mata hanya untuk mengkonsumsi kebendaan yang didasarkan pada rasionalisme semata, tetapi juga konsumen untuk kerohanian, 76 sosial, dan lingkungan. 77 Allah SWT memerintahkan kepada ummatnya, dalam hal ini konsumen, untuk mengkonsumsi makanan yang
76
Rasionalisme dalam Islam tidak hanya didasarkan pada dorongan akal, tetapi juga pada nila-nilai keilahian yang akan memudahkan konsumen untuk mencari dan mendapatkan kebenaran tentang produk yang dapat dikonsumsi. Azhari Akmal Tarigan, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung : Citapustaka, 2006), hal. 279 77 Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 16
Universitas Sumatera Utara
baik, halal dan bermanfaat bagi manusia, 78 juga memanfaatkan segala anugerahNya 79 sebagai wujud ketaatan kepada-Nya. 80 Sumber hukum perlindungan konsumen dalam Islam, praktis sama persis dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama (jumhur ulama), yakni; Alqur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Alqur’an dan Sunnah dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, sedangkan Ijma’ dan Qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, karena proses Ijma’ dan Qiyas harus berdasarkan kepada dalil penyandaran dari Al-Qur’an dan Sunnah. 81 B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan erat dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebihlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dimaksud untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban konsumen tersebut. Presiden Jhon. F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres pada tahun 1962 menyebutkan, ada 4 (empat) hak konsumen yang perlu dilindungi, 82 yaitu:
78
QS 2:172; 5:4,5; 16:114; 23:51 QS 7:32 80 QS 2:35; 2:168 81 Wahbah al-Zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Fikri, 1986), Jilid I, hal. 558 82 Bismar Nasution, Op. Cit, h. 121. Lihat juga Mariam Darus Badrul Zaman, Op. Cit, h. 5. Lihat juga Shidarta, Op. Cit, hal.16 79
Universitas Sumatera Utara
1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety). Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya. Sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang. 83 2. Hak memilih (the right to choose). Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar diri konsumen. 84 3. Hak mendapat informasi (the right to be informed). Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan / kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan 83
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, Fakultas Hukum UNAIR, 1992, hal. 49 84 Ibid
Universitas Sumatera Utara
dengan penuh kejujuran, informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakai bersama untuk tidak menyesatkan. 85 4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. 86 Pidato Jhon F. Kennedy tersebut menjadi inspirasi Perserikatan Bangsabangsa, sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 39/248 Tahun 1984 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) yang merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi: 1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kemanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; 4. Pendidikan konsumen; 5. Tersedianya ganti rugi yang efektif; 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
85 86
Ibid, hal. 50 Ibid
Universitas Sumatera Utara
menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. 87 Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU) menambahkan 4 hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu: 1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi; 3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; 4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 88 Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu : 1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan 2. Hak kepentingan ekonomi 3. Hak mendapat ganti rugi 4. Hak atas penerangan 5. Hak untuk didengar. 89 Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima seluruhnya atau sebagian, misalnya YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen,
87
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 7. Lihat juga Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 27-28 88 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Yakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 39 89 Mariam Darus, Op. Cit, h. 53. Lihat juga Inosentius Samsul, Op. Cit, hal.7
Universitas Sumatera Utara
yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca-hak Konsumen. 90 Menurut Prof. Hans W. Micklitz, 91 dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap ke-pentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) saja, tetapi
juga
harus
ditindaklanjuti
dengan
kebijakan
kompensatoris
guna
meminimalisasi risiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian. Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu; prinsip kebenaran, kebersihan, kesederhanaan, kemaslahatan, dan moralitas. 92 Prinsip
kebenaran,
prinsip
ini
mengatur
agar
konsumen
untuk
mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat, proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. 93 Maka dalam ekonomi Islam barang dan/atau jasa yang halal dari segi
90
Shidarta, Op. Cit, hal. 16 Ibid, hal. 49 92 M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, (Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), hal. 80 93 QS 7:157 91
Universitas Sumatera Utara
zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau menjijikkan, serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang dan/atau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan duniawi dan ukhrawi. 94 Prinsip kesederhanaan, Islam memberikan standarisasi bagi konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta mampu mengekang hawa nafsu dari pemborosan dan keinginan yang berlebihan. 95 Selain itu, Islam juga mengajarkan kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu berlibihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 96 Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk mempergunakan barang dan/atau jasa selama barang dan/jasa tersebut memberikan kebaikan serta kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Disamping itu, Islam juga membolehkan konsumen untuk mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang haram jika dalam dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tidak berlebihan dan tidak melampuai batas. 97 Prinsip moralitas atau akhlak, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum melakukan seuatu dan menyatakan terima kasih kepada-Nya
94
QS 2:219; 5:90; 6:145; QS 6:141; 7:31; 25:67 96 QS 25:67 97 QS 2:173; 6:119,145; 16:115 95
Universitas Sumatera Utara
setelah melakukan sesuatu. Islam mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur, zikir dan fikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela dalam mengkonsumsi barang dan jasa. 98 Di Indonesia, signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui undangundang merupakan bagian dari implimentasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-undang Dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. 99 Indonesia melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan tegas telah menyebutkan hak-hak konsumen, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut: 10. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa 11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa 13. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya
98
QS 2:177; 3:191; 14:7; 36:35; 76:8 Jimmly Asshiddiqie, Undang-undang Daar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 1-2 99
Universitas Sumatera Utara
14. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut 15. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen 16. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif 17. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya 18. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya, seperti: Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan sebagainya. Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK tersebut, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Dalam Pasal 7 UUPK disebutkan bahwa, kewajiban pelaku usaha adalah: 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan;
Universitas Sumatera Utara
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; 7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Selain hak-hak yang telah disebutkan tersebut, ada juga hak untuk dilindngi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition) atau “persaingan usaha tidak sehat”. 100 Selain memperoleh hak-hak tersebut, konsumen juga diwajibkan untuk: 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa . 100
Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit, hal.20
Universitas Sumatera Utara
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 101 Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen. Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain. 102 Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran dan penawaran. 103 Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen
dapat
menjamin
kelangsungan
usahanya,
sebaliknya
konsumen
membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan tersebut diatas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa. Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan 101
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 5 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 23 103 Basu Swastia, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 25 102
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Namun karena oleh produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh banyak orang, maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan sebagainya. Dari hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut: 1. Let the buyer beware atau caveat emptor 104 berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen), dengan demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen sendiri bila ia sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tak tidak layak. Doktrin ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju caveat venditor 105 (pelaku usaha yang perlu berhati-hati). 106
104
Doktrin caveat emptor mengharuskan si pembeli berhati-hati. Hal ini memberikan penekanan terhadap ketentuan yang menyatakan seorang pembeli harus memeriksa, menimbang dan mencobanya sendiri. Doktrin ini juga mengharuskan pembeli agar peduli dan ingat bahwa ia sedang membeli haknya orang lain. Si pembeli harus berhati-hati tentang keadaannya ketika ia membeli hak orang lain. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn, 1990, hal. 222 105 Doktrin caveat venditor merupakan lawan caveat emptor yang diartikan sebagai si penjual harus berhati-hati (let the seller beware). Ibid 106 Shidarta, Op. Cit, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
2. The due care theory, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara a-contratio, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang (konsumen) harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian. 107 3. The privity of contract, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi (contractual liability). 108 Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk 109 (product liability) dan tanggung jawab professional 110 (professional liability). 111 107
Ibid, hal. 51 Ibid, hal.52 109 Tanggung jawab produk yang biasa di sebut “product liability” adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (product manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. Lihat H.E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, h. 5. Nahattands v. Lambocks menyebutkan bahwa product liability adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan 108
Universitas Sumatera Utara
Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous liability). 112 Pasal 19 Ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab professional (professional liability) lebih berhubungan dengan jasa. 113 Sama seperti dalam tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena para penyedia jasa professional konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi. Lihat dalam Nurmardiito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang perlindungan Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hal. 17 110 Tanggung jawab professional (professional liability) adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa professioanal yang diberikan kepada klien atau konsumen. Lihat Shidarta, Op. Cit, hal.68 111 Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab VI Pasal 19 sampai Pasal 28 112 Shidarta, Op. Cit, hal. 65 113 Jenis jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga professional dan kliennya juga berbeda. Ada jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu (resultaat verbintenis), tetapi ada yang diperjanjikan untuk mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis). Kedua jenis perjanjian ini memberi konsekuensi yang berbeda dalam tanggung jawab professional yang bersangkutan. Ibid
Universitas Sumatera Utara
tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum. 114 Pelanggaran terhadap tanggung jawab professional ini dapat berimplikasi sangat membahayakan jiwa konsumen, misalnya malpraktik di bidang kedokteran. Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat tanggung jawab pelaku usaha di bidang jasa. Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyi perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha (vide Pasal 1365 KUH.Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa
kerugian
yang
diderita
konsumen
bukan
merupakan
dari
akibat
kesalahan/kelalaian pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strick liability) 115 .
114
Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggung jawab profesioanl, maka perlu ada ukuran yang jelas. Indikator tersebut ditetapkan tidak dalam undang-undang, tetapi ditetapkan oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib diberikan kepada klien dari setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi tersebut. Ibid, hal. 68 115 Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan konsumen dirasakan sangat penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: pertama, tanggung jawab mutlak merupakan istrumen hukum yang relative masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari
Universitas Sumatera Utara
Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada. 116 Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin dihindari. Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu sendiri, di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960-an. Dimana dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua konsumen yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya
unsur
kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip
perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yitu antar kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produse menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen. Lihat Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 1 116 Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Builders and Mansory Supply Inc 1959. 117 Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan untuk menerapkan asas (strict liability) atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict liability ditegakkan pada prinsip: 118 1. Pertanggungjawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang menimbulkan kerugian jiwa atau harta terhadap orang lain. 2. Pertanggungjawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kelalaian. Alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum product liability adalah : 119 1. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang dipasaran. 2. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggungjawab. 117
Lebih lanjut lihat dalam, D.L. Dann, Strict Liability Indonesia The USA, dalam Aviation Products and grauding Liability Syimposium, The Royal Acrunautical Sociaty, London, 1972, hal. 15 118 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.22 119 Ibid, hal.16-17
Universitas Sumatera Utara
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini.
C. Pengaturan Penggunaan Label Halal 1. Masa Berlaku Label Halal Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat tradisional relatif masih sederhana, di mana konsumen dan produsen dapat bertatap muka secara langsung. Sedangkan masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal pula (mass consumer consumption). Dalam hal ini, hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit, di mana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, demikian pula sebaliknya, bahkan produsen tersebut berada di negara lain. 120
120
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta, Universita Indonesia, 2004), hal. 2-3
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan konsumen memiliki hubungan yang erat dengan globalisasi ekonomi. 121
Globalisasi ekonomi membawa
konsekuensi bahwa semua barang dan/atau jasa yang berasal dari negara lain dapat masuk ke Indonesia. 122 Untuk itu, maka perlindungan konsumen tidak saja terhadap barang-barang yang berkualitas rendah, namun juga terhadap barang-barang yang dapat membahayakan kehidupan manusia. 123 Sehingga keputusan konsumen untuk membeli suatu barang dan/atau jasa lebih banyak, lebih sedikit, atau tidak membeli sama sekali merupakan respon konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang tersedia. Pengaturan label halal dalam perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktifitas perusahaan, tetapi justru sebaliknya, sebab pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim dan persaingan usaha yang sehat, serta diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. 124
121
Istilah globalisasi dan modernisasi mulai popular sejak revolusi industri di Inggris yang berlangsung pada tahun 1760-1830, dan revolusi politik di Prancis pada tahun 1789-1794. Jila dilihat dari sejarahnya, globalisasi dan modernisasi merupakan perubahan sosial yang membawa kemajuan dalam bidang ekonomi, teknologi dan politik. Lihat dalam Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005), hal. 170 122 Mulai 1 Januari 1995, World Trade Organization (WTO) telah resmi menggantikan dan melanjutkan General Agreement of Tariffs and Trade (GATT). WTO merupakan organisasi antar negara yang mengawasi perdagangan barang dan/atau jasa di dunia. 123 Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia Menyongsong Abad XXI, dalam Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 4 124 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan masa berlakunya Sertifikat Halal selama 2 (dua) tahun, maka demikian juga halnya dengan Label Halal hanya berlaku selama 2 (dua) tahun pula. 125 Hal ini dikarenakan antara Sertifikasi Halal dan Label Halal memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahwa Sertifikasi Halal menjadi acuan dalam penerbitan Label Halal. Kecuali untuk daging impor sertifikasi halalnya hanya berlaku untuk setiap pengapalan (pengiriman). 126 Tiga bulan sebelum berakhir masa berlaku Sertifikat Halal, LP POM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan untuk segera mendaftar kembali. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya Sertifikat Halal, produsen harus mendaftar kembali untuk mendapatkan Sertifikat Halal yang baru. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halal, tidak diizinkan kembali menggunakan Sertifikat Halal yang telah kadaluarsa dan dihapus dari daftar majalah resmi LP POM MUI, Jurnal Halal.127 Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melapor ke LP POM MUI. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI
125
Karena saat Semarang ini adalah zaman modern, masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, dimana produksi barang dapat dilakukan dalam jumlah yang besar dalam satu hari, maka menurut penulis masa berlaku Label Halal dan Sertifikat Halal perlu ditinjau kembali. 126 Departemen Agama RI, Buku Pedoman Strategi Kampanye Sosial Produk Halal, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal.52 127 Lihat Jurnal Halal, Babi dalam Menu Hotel, LP POM MUI Edisi Nomor 65 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Zona Halal untuk Melindungi Masyarakat, LP POM MUI Edisi Nomor 70 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Susu Formula Bermasalah, Halal Jangan Dilupakan, LP POM MUI Edisi Nomor 71 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Menyorot Kosmetika, 97% Tidak Jelas Kehalalannya, LP POM MUI Edisi Nomor 73 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Memberi Makna Tradisi Lebaran, Berlebaran dengan Hidangan Enak dan Halal, LP POM MUI Edisi Nomor 74 Tahun XI 2007.
Universitas Sumatera Utara
adalah milik MUI. Oleh karena itu, jika karena suatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang Sertifikat Halal wajib menyerahkannya. Jika Singapura yang berpenduduk mayoritas non-Muslim dijadika perbandingan dengan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, maka akan nyata bahwa perhatian Singapura terhadap warga Muslimnya cukup besar. Badan Sertifikasi Halal Singapura, Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) adalah lembaga satu-satunya yang berwenang menerbitkan Sertifikat Halal. Hal ini terlihat dari keberadaan Sertifikat Halal MUIS telah terbit sejak tahun 1978, dengan maksud mengadakan proteksi terhadap produk pangan dalam negerinya. 128 Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam. Karena Islam melihat, bahwa perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan saja, melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Maka perlindungan terhadap konsumen muslim berdasarkan syari’at Islam merupakan kewajiban negara. 2. Prosedur Penggunaan Label Halal Pelaku usaha yang mengajukan permohonan pemeriksaan halal kepada lembaga pemeriksa halal wajib memberikan tembusan kepada Departemen Agama, dan disyaratkan membuat beberapa pernyataan dan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal, yaitu: 129
128
Departemen Agama RI, Op. Cit, hal.90 Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, h. 8. Aisjah Girindra, Op. Cit, h. 124. Departemen Agama RI, Petunjuk... Op. Cit, hal.144 129
Universitas Sumatera Utara
1. Membuat
pernyataan
bahwa
pemeriksaan
sistem
jaminan
halal
dapat
dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup produk yang diajukan. 2. Membuat pernyataan tidak akan menyalahgunakan sertifikat halal. 3. Membuat pernyataan tidak akan memberikan informasi yang menyesatkan atau tidak sah berkaitan dengan setifikat halal. 4. Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) 130 harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan. 5. Dalam pelaksanaanya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk Panduan Halal (Halal Manual), yang berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara Sistem Jaminan Halal tentang kehalalan produk tersebut. 6. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku Pelaksanaan (Standard Operation Procedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya terjamin. 7. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di perusahaan, sehingga seluruh jajaran manajemen dari tingkat direksi hingga karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal yang baik.
130
Sistem Jaminan Halal mencakup: a. Pernyataan tertulis dari kebijakan halal dan sasaran halal. b. Panduan Halal. c. Prosedur tertulis yang disyaratkan oleh Sistem Jaminan Halal. d. Dokumen pendukung lainnya. Pimpinan produsen yang akan diaudit harus mempunyai komitmen untuk menyusun, menetapkan, dan menerapkan Sistem Jaminan Halal secara berkesinambungan dan dimuat dalam kebajikan halal. Lihat dalam Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
8. Sistem Jaminan Halal dan pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi melalui suatu sistem audit halal internal 131 yang ditetapkan oleh perusahaan. 9. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama Islam. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk dengan merek yang sama. Proses maklon (toll manufacturing), jika ada, hendaknya dilakukan di perusahaan yang sudah bersertifikat halal. 132 Setiap produsen yang mengajukan Sertifikasi Halal terhadap produknya, harus melampirkan formulir: 133 1. Formulir berisi nama, alamat, jumlah karyawan, fasilitas tempat ibadah yang dimiliki, kegiatan bimbingan keagamaan, nama kordinator produksi halal, nama auditor halal internal, status badan hukum, merek dagang, jenis produk, nomor pendaftaran (produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain), Sistem Jaminan Halal, standard yang digunakan, jenis spesifikasi kemasan, ruang lingkup produk yang dimintakan sertifikat halal, serta mengenai informasi skala perusahaan.
131
Audit internal dilakukan oleh Internal Halal Auditor yang ditunjuk oleh pimpinan perusahaan. Mereka bertanggungjawab terhadap berlakunya Sistem Jaminan Halal dan perubahanperubahan yang terjadi. Tegasnya Internal Auditor berperan sebagai penjaga kehalalan produk sesuai dengan jaminan halal yang dijanjikan. Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 82 132 Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 125 133 Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, h. 8. Aisjah Girindra, Op. Cit, h. 125. Departemen Agama RI, Petunjuk... Op. Cit, hal. 143
Universitas Sumatera Utara
2. Surat keterangan telah memenuhi persyaratan cara produksi yang baik dari instansi yang berwenang bagi produk dalam negeri, dan dari negara asal untuk produk impor. 3. Spesifikasi yang menjelaskan asal-usul komposisi, dan alur proses pembuatannya dan/atau Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong, daftar bahan baku dan matrik produk versus bahan serta alir proses pembuatan produk. Sertifikat Halal bagi bahan impor harus berasal dari institusi penerbit Sertifikat Halal yang diakui oleh LP POM MUI. 4. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk daerah) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui MUI (produk impor) untuk bahan yang bersal dari hewan dan turunannya serta produk komplek lainnya. Dalam hal berasal dari hewan yang dihasilkan oleh industri rumah tangga, melampirkan surat keterangan dari yang berwenang menjelaskan bahwa bahan asal hewan yang digunakan memenuhi ketentuan hukum Islam. 5. Spesifikasi dan sumber bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, serta bahan penolong; 6. Dokumen Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam Panduan Halal beserta Prosedur Baku Pelaksanannya. Tim Auditor LP POM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampirannya diperiksa oleh LP POM MUI. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Auditor LP POM
Universitas Sumatera Utara
MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. 134 Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. Sertifikan Halal berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan dan harus mengikuti prosedur perpanjangan Sertifikat Halal untuk mendapatkan Sertifikat Halal yang baru. 135 Proses dan tata cara pemeriksaan dan pengauditan produk makanan halal guna mendapatkan Sertifikat Halal dimulai dari penyampaian surat LP POM MUI kepada perusahaan yang akan diperiksa, tentang jadwal audit/pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya. LP POM MUI akan menerbitkan tugas pemeriksaan yang berisi: 1. Nama Tim Auditor. 2. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan. 3. Lingkup dan tugas Tim Auditor. Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tim Auditor yang dilengkapi dengan surat tugas identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke lokasi
134 135
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.126 Ibid
Universitas Sumatera Utara
perusahaan. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantuannya untuk memberikan informasi yang jujur dan terbuka.136 Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup; Manajemen produsen dapan menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan Halal). Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-usul bahan, komposisi pembuatannya dan Sertifikat Halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan, formulasi produk, serta dokumen pelaksanaan halal secara keseluruhan. Observasi lapangan yang mencakup proses peroduksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangannya. Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung pangan haram dan turunannya. Pemeriksaan dilakukan di lokasi produksi, termasuk di setiap cabang untuk perusahaan yang memiliki beberapa lokasi pabrik atau cabang (termasuk restoran), termasuk pabrik maklon (toll manufacturing). Untuk produk kemas ulang (repacking product) atau produk yang didaftarkan oleh distributor, akan diaudit ke lokasi produksi (negara asal untuk produk impor). Sedangkan produk dengan bahan baku berupa base yang diproduksi di lokasi lain atau dibeli dari pihak lain, dimana pihak yang mengajukan Sertifikasi Halal hanya melakukan proses lanjutan sederhana seperto proses pengenceran (contoh: flavor) atau standarisasi mutu, maka audit harus dilakukan sampai ke lokasi produksi base tersebut. 137
136 137
Ibid, h. 127 lihat juga Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 146 Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.128
Universitas Sumatera Utara
Audit dilakukan pada saat proses produksi sedang berlangsung, dengan ketentuan; Jika produk yang diaudit banyak dan beragam, maka tidak setiap produk harus diproduksi pada saat diaudit, cukup diwakili tiap kelompok produknya. Akan tetapi Auditor harus memeriksa seluruh formula pada database dan dokumen pelaksanaan produksi secara keseluruhan. Jika pada saat audit dilakukan perusahaan belum dapat melaksanakan proses pada skala produksi, maka audit dapat dilakukan pada skala laboratorium. Pada waktu produksi berjalan, akan diadakan audit ulang untuk melihat kesesuaian proses skala produksi dengan skala laboratorium yang sudah pernah diaudit sebelumnya. Terkait dengan pemeriksaan sarana produksi, Tim Auditor melakukan pemeriksaan tehadap: Fasilitas fisik berupa bangunan, tata ruang, tempat produksi dan lingkungan produksi. Fasilitas peralatan produksi, penyimpanan, penyiapan, pengangkutan, dan pengemasan. Cara berproduksi, meliputi penyiapan dan penyembelihan hewan potong, pemilihan bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, dan bahan penolong, serta pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan. Serta petugas yang melakukan penyembelihan hewan. 138 Dalam hal bangunan dan fasilitas produksi, harus dalam kondisi: bebas dari kotoran dan najis; tidak ada peluang kontaminasi oleh bahan haram, mudah untuk dibersihkan dari kotoran dan najis; memiliki fasilitas sanitasi, penyediaan air berish dan suci yang cukup, dan fasilitas pembuangan limbah; Pintu toilet tidak berbatasan langsung dengan ruangan produksi; dan Memiliki sarana cuci tangan. Serta fasilitas 138
Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 148
Universitas Sumatera Utara
peralatan produksi hanya digunakan untuk memproses bahan halal dan tidak boleh bercampur dengan peralatan yang digunakan untuk memproduksi bahan yang tidak halal serta memenuhi persyaratan higienis.139 Tim Auditor menetapkan prosedur pelaporan yang menjamin: 140 1. Pertemuan antara tim auditor halal dengan menajemen pelaku usaha diadakan pada akhir pemeriksaan. 2. Pada saat pertemuan tersebut, Tim Auditor memberikan laporan tertulis berkaitan dengan hasil audit Sistem Jaminan Halal produsen. 3. Tim Auditor memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk menanggapi laporan temuan ketidaksesuaian serta kesepakatan waktu penyelesaiannya. 4. Tim Auditor memberi laporan tertulis hasil pemeriksaan kepada LP POM MUI. 5. LP POM MUI memberikan informasi tertulis kepada pemohon mengenai hasil pemeriksaan Tim Auditor tentang ketidaksesuaian yang harus diperbaiki. 6. Pemohon telah melakukan perbaikan yang memenuhi seluruh persyaratan dan perbaikannya telah diverifikasi Tim Auditor dalam batas waktu yang ditentukan. 7. Pemohon yang tidak mampu melakukan perbaikan dalam batas waktu yang ditentukan, maka permohonannya ditolak. Untuk menjadi seorang auditor, seseorang haru memiliki kreterian dan persyaratan sebagai berikut: 141
139
Ibid Ibid, hal. 146-147 141 Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, hal. 10 140
Universitas Sumatera Utara
1. Beragam Islam, taat, memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang baik mengenai syariat Islam. 2. Mempunyai kepedulian terhadap kepentingan umat. 3. Memiliki pengetahuan yang cukup di bidang audit. 4. Berpendidikan S1, S2 atau S3 di bidang kimia, biologi, farmasi, pangan, kedokteran hewan, peternakan, atau pertanian dengan pengalaman kerja untuk S1 selama 3 tahun, untuk S2 dan S3 selama 2 tahun di bidang yang berkaitan dengan pangan/obat/kosmetika; atau minimal S1 bidang syariah. 5. Lulus pelatihan auditor Sistem Jaminan Halal yang diakui oleh Departemen Agama. 6. Mengikuti pelatihan auditor sistem manajemen lembaga pemeriksaan halal. 7. Telah mengikuti 3 kali asesmen lembaga pemeriksa halal sebagai pengamat (observer). Setelah LP POM MUI mengevaluasi hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dalam Rapat Auditor LP POM MUI, maka laporan hasil audit diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat Halal 142 dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. 143
142
Biaya pemeriksaan, Sertifikasi Halal dan survailen ditanggung oleh produsen yang mengajukan permohonan. Besar biaya pemeriksaan dan biaya survailen ditetapkan oleh lembaga pemeriksaan halal, sedangkan biaya sertifikasi ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 143 Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.126
Universitas Sumatera Utara
Sertifikasi Halal yang diterbitkan MUI berdasarkan Sidang Komisi Fatwa telah mendapkan legitimasi yang kuat, 144 menjadi landasan dan pijakan kewenangan Departemen Kesehatan cq. Direktorat Jendral POM untuk menerbitkan izin pencantuman Label Halal pada kemasan suatu produk makanan. 145 Pemegang Sertifikat halal MUI bertanggung jawab dalam memelihara kehalalan
produk
yang
diproduksinya.
Sertifikat
Halal
MUI
tidak
bisa
dipindahtangankan, dan jika berakhir masa berlakunya, termasuk salinannya tidak boleh dipergunakan lagi untuk maksud apapun. 146 Maka, setiap produsen yang berkeinginan mencantumkan Label Halal pada produknya, harus mengisi formulir melalui Departemen Kesehatan. Hal ini terkait dengan Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pencantuman Label Halal lebih lanjut diatur oleh Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil pembahasan berama antara Departemen Kesehatan, Departemen agama dan Majelis Ulama Indonesia. 147
144
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, lihat juga Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan. 145 Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 70 146 Ibid, hal.124 147 Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan.
Universitas Sumatera Utara