III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara
Timur selama 10 bulan yaitu dari bulan Agustus 2005 hingga Mei 2006. Lokasi penelitian tertera pada Gambar 3.
Gambar 3.
3.2.
Citra Landsat TM Kabupaten Belu Tahun 2002 dan 2003
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; data citra
landsat ETM Kabupaten Belu tahun 2002, peta administrasi, peta topografi, peta tata guna lahan, layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer batas administrasi kecamatan, layer jalan, layer tutupan lahan, Software Arc View dan ER mapper, rencana umum, tata ruang Kabupaten Belu dan rencana ruang terbuka hijau Kabupaten Belu, sedang alat-alat yang digunakan yaitu : Altimeter, kamera dan alat tulis.
26 3.3.
Metoda Penelitian
3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer 3.3.1.1.Data Primer Data primer yang dikumpulkan diantaranya yaitu mengenai persepsi dan pengertian dari para Stakeholders terhadap keberadaan dan pemeliharaan hutan kota, kecocokan jenis pohon dan keadaan hutan kota secara nyata dilapangan (Lampiran 2). Teknik dan prosedur pengumpulan data sosial dilakukan menggunakan wawancara
A.
Wawancara Wawancara dimaksudkan guna mengetahui bagaimana persepsi dan
perhatian serta komitmen stakeholders dalam hal ini masyarakat, instansi pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait terhadap pengembangan hutan kota. Untuk wawancara pemilihan responden dilakukan dengan cara Purpossive Random Sampling. Jumlah responden yang ditetapkan meliputi; BAPPEDA(3 responden), Bapedalda (3 responden), Dinas Kehutanan (3 responden), LSM ( 3 responden ), perguruan tinggi (3 responden ), masyarakat ( 3 responden ) Wawacara dilakukan berdasarkan panduan daftar pertanyaan yang ditujukan untuk pengisian kuesioner AHP. Wawancara terhadap stakeholders diantaranya mengenai beberapa hal sebagai berikut: 1) Perhatian dan pendapat Stakeholders mengenai hutan kota. 2) Keinginan Stakeholders untuk memelihara hutan kota. 3) Kegiatan yang dilakukan Stakeholders dalam pengembangan hutan kota 4) Pendapat Stakeholders mengenai program pemerintah dalam usaha. pengembangan hutan kota.
B.
Kecocokan Jenis Pohon Kecocokan jenis-jenis tanaman yang telah ditanam di Kabupaten
Beludapat dilihat berdasarkan kepada : 1) Syarat literatur jenis-jenis tanaman yang ada di lapangan dicocokan dengan syarat literatur yang diperoleh dengan melakukan studi pustaka; 2) Syarat lapangan (kondisi lapangan) diantaranya yaitu: a)
Ketinggian dari permukaan laut yang diukur dengan menggunakan alat altimeter.
b)
Jenis tanah.
27 c)
Type hujan, yang disesuaikan berdasarkan klasifikasi type hujan menurut Schmidt dan Ferguson yaitu :
Q=
jumlah rata-rata bulan kering (<60 mm) jumlah rata-rata bulan basah(>100 mm)
Hasil perhitungan nilai Q di atas menggambarkan tipe iklim.
C.
Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata kondisi biofisik,
terutama yang dapat dilihat secara visual mengenai jumlah, luas dan letak taman-taman kota, jalur hijau, dan kepadatan kendaraan bermotor di Kabupaten Belu.
3.3.1.1.Data Sekunder Pengambilan data sekunder dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang kondisi biofisik dan kondisi klimatologis yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan pola pengembangan hutan kota. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil wawancara. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait antara lain, BAPPEDA, Bappedalda, Dinas kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perhubungan, Dinas PERINDAG, Dinas Kependudukan, PMD,
Badan Pusat
Statistik, Badan Pertanahan Kabupaten Belu, Kimpraswil, Bakosurtanal, DEPHUT RI. 1) Kondisi Biofisik: a)
Jumlah luas dan lokasi taman-taman kota
b)
Jumlah luas dan lokasi jalur hijau
c)
Luas Tata guna lahan
d)
Jenis tanaman yang ada di hutan kota di Kabupaten Belu
e)
Jumlah laju pertumbuhan penduduk
f)
Jumlah dan laju perkembangan Kendaraan bermotor
g)
Jumlah dan laju pertumbuhan Industri.
2) Kondisi Klimatologis a) Suhu udara b) Kelembaban relatif
28 c) Curah Hujan d) Kecepatan angin.
3.3.2 Pengolahan Data 3.3.2.1.Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Instruksi Menteri dalam Negeri No 14 Tahun 1998 Analisa kebutuhan luas hutan kota berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1998 tentang penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan yaitu dilihat luas hutan kota yang harus tersedia di lingkungan perkotaan dan biasanya ditetapkan dalam persentase dari total luas areal kota yang bersangkutan (40 %).
3.3.2.2 Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Menurut peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 ditentukan bahwa hutan kota paling sedikit 10 % dari luas seluruh kawasan kota. Penetapan porsi bagi pengembangan hutan kota tersebut diperlukan sebagai upaya penyeimbang kemajuan pembangunan.
3.3.2.3.Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida. Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida (Gerakis, 1974 dalam Wisesa, 1988 ). Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbodioksida yang dikeluarkan merupakan total karbodioksida yang dihasilkan dari aktifitas manusia, kendaraan bermotor, dan industri. Rumus : L = ∑ atvt + ∑ btwt + ∑ctzt K Keterangan :
L = Luas hutan kota (ha) at = karbondioksida yang dihasilkan setiap manusia (kg/jam) bt = karbondioksida yang dihasilkan perkendaraan bermotor (kg/jam) ct = karbondioksida yang dihasilkan perindustrian (kg/jam) vt = jumlah penduduk (jiwa) wt = jumlah kendaraan bermotor (unit) zt = jumlah industri (unit) K = konstanta yang menunjukkan bahwa kemampuan hutan kota dalam menyerap CO2 adalah 75 kg /ha/jam.
29 Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida dilandasi beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1)
Karbondioksida yang dihasilkan dari aktifitas setiap manusia adalah relatif sama yaitu 0,96 kg/hari (Grey and Deneke, 1978).
2)
Waktu aktif kendaraan bermotor adalah : kendaraan penumpang 3 jam/hari,kendaraan beban dan bus 2 jam/hari, sepeda motor 1 jam/hari (Wisesa,1998) sedangkan waktu aktif untuk industri adalah 8 jam/hari (Diana, 2005). karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan penumpang 40,54 kg/hari,kendaraan beban 50,16 kg/hari, kendaraan bus 100,32 kg/hari, sepeda motor 0,68 kg/hari (Arismunandar, 1980 dalam Wisesa, 1988).
3)
Karbondioksida yang dihasilkan dari kegiatan industri dihitung berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dalam proses produksi.
4)
Menurut Smith et al (1981) dalam Wisesa (1988) seorang manusia mengoksidasi 300 kalori perhari dari makanannya dan menggunakan sekitar 600 liter CO2. Jadi setiap harinya seorang manusia menghasilkan 480 liter CO2 atau 0,968 kg CO2 (0,40333 kg CO2/jam). Menurut Bernatzky (1978), tumbuhan mampu mengubah karbondioksida
dari udara dan mengubah air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen dengan perantaraan klorofil dan bantuan sinar matahari yang disebut dengan fotosintesis. Proses fotosintesis tersebut akan menyerap karbondioksida yang dihasilkan manusia, kendaraan bermotor, industri dan aktifitas manusia lainnya. Proses tersebut dinyatakan sebagai berikut: 6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 kal 4 gr
216 gr
1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 180 gr
192 gr
108 gr
Melalui persamaan proses fotosintesis tersebut, maka akan didapatkan rasio antara jumlah karbondioksida yang digunakan dengan jumlah oksigen yang dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut. Menurut Bernatzky (1978), pohon dengan tinggi 25 m dan diameter tajuk 15 m, akan mempunyai luas tutupan tajuk 160 m2 dan luas permukaan luas daun sebesar 1600 m2, akan melakukan fotosintesis (per jam) sebagai berikut: CO2 (intake)
2352 gr (total CO2 dari udara 4800 m2)
H2O (intake)
960 gr
C6H12O6 (produksi)
1600 gr
O2 (out put)
1712 gr.
30 Sedangkan untuk 1 Ha lahan hijau dengan total luas permukaan daun 5 Ha akan membutuhkan 900 kg CO2 untuk melakukan fotosintesis selama 12 jam, dan pada waktu yang sama akan menghasilkan 600 kg O2. Menurut Grey dan Deneke (1976) setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya.
3.3.2.4 Analisis Spasial Hutan Kota 3.3.2.4.1. Pembangunan Basis Data Untuk pembangunan basis data digunakan peta digital dengan 8 jenis layer, yaitu layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer industri, layer batas administrasi kelurahan, layer penutupan vegetasi, layer jalan dan layer sungai.
3.3.2.4.2. Pengolahan Digital Data Landsat 1.
Pra Pengolahan Citra
a).
Koreksi Geometrik Koreksi geometric dilakukan dengan mengunakan sejumlah titik kontrol
lapangan (Ground Control Point). GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya (Jaya, 1997). Titik-titik control atau CGP yang digunakan adalah objek-objek yang mudah dikenali dan tidak mudah berubah dalam jangka pendek. Koreksi geometric juga dapat dilakukan dengan rektifikasi citra ke peta atau citra ke citra. b). Perbaikan/penajaman Citra (Image Enhancement) Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki mutu kualitas dari citra sehingga dapat meningkatkan pula informasi yang diperoleh dan memudahkan dalam kegiatan interpretasi citra. Menurut Jaya (1997) penajaman citra dapat dilakukan secara bertahap. Tahap (1) perbaikan spasial (Spatial Enhancement), pada tahap ini bertujuan memperbaiki citra (memberikan efek kontras, penajaman tepi dan penghalusan citra), (2) perbaikan radiometric (Radiometric Enhancement) adalah teknik memperbaiki citra mengunakan nilai individu pixel yang bersangkutan saja dan diharapkan dapat memperbaiki tampilan visual. Operasi ini juga disebut spesifik pixel atau operasi titik yang meliputi LUT (Look Up Table), histogram citra, reduksi hase, nois dan infersi citra, (3) perbaikan spekteral, adalah teknik perbaikan citra mengunakan masing-masing pixel dari
31 sejumlah band (basis multiband), meliputi analisis komponen utama (principle Component analysis), PCA kebalikan, Tasseled cap, decorrelation strech, RGB to HIS to RGB, dan indeks vegetasi.
2.
Klasifikasi Klasifikasi diartikan sebagai proses pengelompokan pixel-pixel ke dalam
kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
(brightness
value/BV
atau
digital
number/DN)
pixel
yang
bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi manual dilakukan dengan mengelompokan pixel ke dalam satu kelas yang telah ditetapkan interpretel berdasarkan nilai kecerahan maupun warna dari pixel. Klasifikasi kuantitatif pengelompokan pixelnya dilakukan oleh komputer secara otomatis berdasarkan nilai kecerahan contoh yang diambil sebagai training area (Jaya,1997) Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yaitu hutan lebat, semak belukar, sawah, dan kebun campuran. Pemilihan kelas-kelas ini didasarkan pada kelas yang mempunyai vegetasi sebagai suplai oksigen.
3. Analisis Spasial Evaluasi Ketersedian RTH dan Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Produksi CO2. Untuk permodelan spasial pegembangan hutan kota diperlukan data tabular berupa jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, jumlah hewan ternak, dan jumlah industri dengan unit per kecamatan (data diambil dari hasil perhitungan luas hutan kota berdasarkan jumlah CO2). Selain itu diperlukan data spasial berupa peta administrasi kelurahan, peta tata guna lahan, peta sungai, peta jalan dan citra landsat TM. Dari data tabular dan data spasial dibuat layer penduduk, layer kendaraan bermotor, dan layer industri, yang kemudian dianalisis spasial untuk menghitung menghitung jumlah karbondioksida masing-masingnya, sehingga didapat jumlah karbondiosida total. Sedangkan ketersediaan oksigen dilihat dari data citra landsat TM yang diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar, sawah, dan kebun campuran yang menyatakan ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Kabupaten Belu. Dari jumlah CO2 total dan ketersediaan oksigen total dapat diketahui kebutuhan luas hutan kota dan ketersedian RTH
32 yang ada. Analisis spasial ini dilakukan untuk tahun 2003 dan juga untuk perkiraan kebutuhan luas hutan kota tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.
Mulai Pengumpulan data
-
Data Tabular Jumlah penduduk - Jumlah kendaraan -
-
bermotor -
Layer Penduduk Kendaraan Bermotor Industri
Data Spasial Peta batas administrasi kelurahan Peta tata guna lahan Peta sungai Peta jalan Citra landsat TM
Klasifikasi Citra Landsat TM - Hutan Lebat - Semak Belukar - Sawah - Kebun Campuran
Analisis Spasial Kebutuhan Hutan Kota
Analisis Spasial Ketersediaan RTH
Kebutuhan Hutan Kota - Layer Penduduk - Kendaraan Bermotor - Industr (Overlay Analisis)
-
Ketersediaan RTH Hutan Lebat Semak Belukar Sawah Kebun Campuran
Prediksi Neraca Kebutuhan Hutan Kota dan
Selesai
Gambar 4.
Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Ketersediaan RTH dan Kebutuhan Hutan Kota
Neraca
33 3.3.2.5. Analysis Hierarchy Process (AHP). Analisis pendapat Stakeholders menggunakan AHP. Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala pengukuran dalam bentuk indeks , skoring atau nilai numerik tertentu . Prinsip- prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP yaitu : dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika. Tahapan yang mesti dilalui pada pendekatan AHP meliputi: 1)
Identifikasi Sistem, yaitu: untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan.
2)
Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan krireria paling bawah.
3)
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.
4)
Menghitung matriks pendapat individu.
5)
Menghitung pendapat gabungan.
6)
Pengolahan horizontal.
7)
pengolahan vertikal.
8)
Revisi pendapat. Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub
tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Adapun bagan alir dari hirarki analisis dengan menggunakan AHP dalam studi seperti disajikan pada gambar 5.
34
36
GOAL
AKTOR
ASPEK
ALTERNATIF
EKL HKP PMRTH EKN
HKI
PT Pengembangan Hutan Kota
MASY
HKK
LSM SOSBUD
HKR
LEG HKPKSK KBJKN
Gambar 5. Hierarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu Propinsi NTT
35 A.
Membuat matriks perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau
pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses AHP yang disarankan oleh Saaty (Saaty, 1993), sebagaimana disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP Keterangan Penjelasan Tingkat kepentingan 1 • Kedua elemen sama • Dua elemen mempunyai pentingnya pengaruh yang sama terhadap tujuan 3 • Elemen yang satu • Pengalaman dan penilaian sedikit lebih penting sedikit mendukung satu daripada elemen yang elemen dibandingkan elemen lain. lainnya. • Pengalaman dan penilaian 5 • Elemen yang satu lebih sangat kuat mendukung satu penting daripada elemen elemen dibanding elemen yang lain. lainnya. • Pengalaman dan penilaian 7 • Elemen yang satu jelas sangat kuat mendukung satu lebih elemen dibanding elemen lainnya. • Satu elemen dengan kuat 9 • penting daripada didukung dan dominan terlihat elemen yang lain. dalam praktek. • Elemen yang satu • Bukti yang mendukung elemen mutlak lebih penting yang satu terhadap elemen daripada elemen yang lain memiliki tinkat penegasan lain. tertinggi yang mungkin 2,4,6,8 menguatkan. • Nilai ini diberikan bila ada dua Kebalikan • Nilai-nilai antara dua kompromi diantara dua pilihan. nilai pertimbangan yang berdekatan . • Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingka dengan i.
36 Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9. skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkuantifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya yang ditunjukkan dengan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation).
B.
Melakukan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan dilakukan untuk memperoleh
judment
seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A1, A2, A3, dinyatakan sebagai vektor W, dengan W= (W1, W2, W3) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen. A1 terhadap A2, yakni W1/W2 =A12. Nilai wi/wj dengan i, j = 1,2,3 .... n didapat dari partisipan, yaitu para stakeholders yang berkompeten dalam permasalahan hutan kota. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1,W2,W3...Wn) maka diperoleh hubungan; AW = nW .......................................................................... (1) Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut; [A – n I] W = 0 ............................................................... (2) Dimana I = matriks identitas
C.
Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya Penghitungan terhadap akar ciri, vektor dan menguji konsistensinya jika
tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Menghitung akar ciri. Untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi; [A – n I ] = 0 Contohnya; dengan menggunakan matriks A, maka:
1
a12
a21 1 a31 a32
a13
1
a23 − n 0 1 0
0
0
1 0 =0 0 1
37
1
a12
a21 1 a31 a32
a13
n 0
a23 − 0 1 0
0
n 0
0 =0 n
Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri; n1, n2, n3. Menghitung vektor ciri, nilai vektor ciri merupakan bobot setiap elemen. Langkah
ini
untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas. Untuk
menghitung vektor ciri (W), maka akar ciri (n) maksimum hasil penghitungan diatas disubstitusikan dengan persamaan; [A – n I] = 0; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, sehingga bila didapatkan maksimum = 2,maka perkaliannya menjadi seperti berikut : [A
-n
1
I]
a12
a13
a21 1 a31 a32
W
1
0
a23 − 2 0
1
1
0
= 0
0 w1 0 w2 = 0 1 w3
0
Sehingga;
1- 2
a12 a13
w1
0
a21 a31
1 - 2 a23 − w2 = 0 a32 1 - 2 w3 0
Di mana pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri W1, W2, W3. Vektor tersebut memberikan informasi, pilihan skenario yang paling normal.
D.
Pehitungan Indeks Konsistensi (CI) Indeks konsistensi untuk menyatakan penyimpangan konsistensi dan
menyatakan ukuran tentang kosisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan menggunakan rumus;
CI =
λ max − n n −1
Keterangan : λmax = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks Nilai
pengukuran
konsistensi
diperlukan
untuk
mengetahui
kekonsistensian jawaban dari key person yang akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
38 E.
Penghitungan Consistensy Ratio (CR) Ratio konsistensi dapat dihitung dengan persamaan :
CR =
CI RI
Di mana nilai RI diperoleh dari table 7 berikut; Ukuran Matriks
Indeks Random
1 dan 2
0,00
3
0,58
4
0,90
5
1,12
6
1,24
7
1,32
8
1,41
Sumber: Saaty (1993)
F.
Sensitivitas Hasil Analisis AHP Sebagaimana sebuah analisis multikriteria, AHP menurut Triantaphyllou
and Sanchez (1997) harus dilengkapi dengan sensitivitas. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk dapat melihat range (batasan) perubahan pendapat key person dalam pengambilan keputusan AHP, di mana dengan analisis sensitivitas dapat dilihat komponen/elemen mana dari struktur hierarki yang paling sensitif terhadap perubahan bobotnya sehingga menghasilkan perubahan alternatif.