0
Buku Ajar Mata Kuliah
METODE ANALISIS PERENCANAAN
Tim Penulis: Ketua
IR. MOH. YOENUS OSMAN, MSP. NIP. 19510307 197903 1 003 Anggota
MARLY VALENTY PATANDIANAN, ST/MT. NIP. 19730328 200604 2 001
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014
1
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur Alhamadulillah, akhirnya penulisan buku ajar Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan pada Program Studi Pengembangn
Wilayah
Kota
Jurusan
Arsitektur
Fakultas
Teknik
Universitas Hasanuddin ini dapat penulis selesaikan. Materi pembelajaran dan sumber bacaan utama dari buku ajar ini, penulis kutip dari hasil penelitian Proyek Penataan Ruang Wilayah Nasional,Bagian Proyek Penyiapan Materi Teknis Penataan Ruang Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, bekerjasama dengan
Pusat Studi
Pengembangan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Lembaga Penelitian Unhas dengan judul Studi Tipologi Kabupaten (1992), dalam hal mana Penulis juga terlibat sebagai anggota peneliti/penulis. Penelitian tersebut diketuai oleh Sdr. Dr. Ir. A. Mappadjantji Amin, C.Eng. Ketua PSDAL LP Unhas pada tahun tersebut, yang anggota peneliti/penulisnya terdiri dari: Prof. Dr. Rahardjo Adisasmita, MEc., Dr. Arlina G. Latif; Ir. M. Yoenus Osman, MRP., Drs. Tadjuddin Parenta, MA., Prof. Dr. H.M.Arifin Sallatang; Prof. Drs. H. Sadly AD, MPA.; Dr. Tahir Kasnawi, SU.; Drs. Hasan Mangunrai, SU,, Ir. Chaeruddin Rasyid, MRP.; Ir. Anwar Umar, MSc., Drs. Taslim Arifin, MA., Dr. Ir. Roland Barkey dan Drs. Arsyad Sumah. Sejumlah perbaikan dan pemutakhiran data telah Penulis lakukan terhadap materi ajar tersebut serta menambah materi pembelajaran dari sumber lain seperti dari buku Analisa Kota dan Daerah (Suwardjoko Warpani, ITB, 1990). Penulis menyadari bahwa materi buku ajar ini masih jauh dari lengkap dan sempurna, namun demikian penulis berharap agar dalam kekurangan tersebut masih memberi arah dan pegangan dalam pembelajaran mata kuliah Metode Analisis Perencanaan pada Program
2
Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, khususnya pada kelas mata kuliah yang Penulis ampu. Atas selesainya penulisan Buku Ajar ini, Penulis menyampaikan terima kasih kepada ibu Marly Valenty Patandianan, ST.,MT. selaku anggota Tim Penulis yang melengkapi penulisan ini, serta kepada Ketua Jurusan Arsitektur dan Ketua Prodi Pengembangan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin yang memberi kesempatan kepada kami untuk menulis Buku Ajar ini yang didanai dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) Tahun 2014.
Makassar, November 2014. Penulis,
H. Moh. Yoenus Osman
3
DAFTAR ISI Halaman -
Halaman Judul................................................................. Halaman Pengesahan..................................................... Kata Pengantar................................................................ Daftar Isi........................................................................... Daftar Tabel..................................................................... Daftar Gambar.................................................................
i ii iii v viii ix 1 1 1 2 3
1. 2. C.
PENDAHULUAN.............................................................. Gambaran Umum Program Studi.................................... Sekolah Perencanaan dan Kompetensi Lulusan............. Program Studi PWK Fak. Teknik Univ. Hasanuddin........ Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan.................................................................... Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP).................. Satuan Acara Pembelajaran (SAP)................................. Struktur Buku Ajar ..........................................................
BAB II 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL......... Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk.............. Perhitungan Persebaran Penduduk................................. Komposisi Penduduk....................................................... Proyeksi/Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk........... Analisis Ketenagakerjaan................................................ Perhitungan Indeks Kualitas Hidup (IKH)........................ Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat....................... Metode Partisipasi Kelembagaan Masyarakat................ Analisis Dinamika Sosial Masyarakat.............................. Perhitungan Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah......
9 10 13 14 18 32 37 42 48 53 56
BAB III 1. 2. 3. 4. 6. 7. 8. 9.
ANALISIS EKONOMI WILAYAH/KOTA........................... Perhitungan Struktur Ekonomi dan Pergeserannya......... Perhitungan Laju Pertumbuhan Ekonomi ........................ Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita........................ Metode Location Quorient (LQ)........................................ Analisis Input-Output ....................................................... Analisis Shift – Share ...................................................... Analisis Biaya Sumberdaya Domesti............................... Distrubusi Pendapatan/ Gini Ratio...................................
69 70 72 75 77 80 102 112 115
BAB IV
ANALISIS SPASIAL DAN HUBUNGAN ANTAR WILAYAH ........................................................................
BAB I A. 1. 2. B.
1. 2. 3.
Analisis Pola Permukiman............................................... Analisis Sistem Hubungan antar Wilayah........................ Analisis Aksesibilitas........................................................
4 6 6
116 118 142 151
4
BAB V 1. 2. 3.
PENUTUP....................................................................... Proses Pembelajaran...................................................... Evaluasi/pengujian kompetensi....................................... Kisi-kisi evaluasi..............................................................
161 161 161 162
-
DAFTAR PUSTAKA........................................................
164
-
SURAT PERNYATAAN...................................................
165
-
LAMPIRAN...................................................................... - Bidodata Penulis.................................................. - GBRP Mata Kuliah............................................... - SAP Mata Kuliah..................................................
L-1 L-2 L-3
5
BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Program Studi A. Sekolah Perencanaan dan Kompetensi Lulusan Pembangunan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah diarahkan untuk mencapai kesejehteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ruang wilayah Indonesia perlu ditata, direncanakan, dimanfaatkan dan dikendalikan penggunaannya, sehingga diperoleh manfaat penggunaan ruang yang optimum dan terhindar dari kerusakan lingkungan alamiah serta penurunan kualitas ruang binaan. Sehubungan dengan itu maka untuk memperoleh ahli yang andal dan kompeten di bidang penataan ruang, diperlukan sekolah atau program pendidikan di bidang perencanaan wilayah dan kota yang tersebar di seluruh Indonesia (bukan hanya di Pulau Jawa) di tempat dimana terdapat sumberdaya manusia yang mendukung serta infrastruktur yang tersedia. Alumni atau lulusan dari Sekolah Perencanaan atau Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota ini harus memiliki kompetensi untuk melakukan kegiatan Penataan Ruang yang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meliputi kompetensi Perencanan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Ruang. Para ahli di bidang penataan ruang ini diharapkan akan mengisi jabatan perencana di instansi pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) seperti di Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dan bekerja di perusahaan Konsultan Penataan Ruang. B. Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota untuk jenjang Strata 1 (S1) pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin di Makassar (selanjutnya disingkat Prodi PWK Unhas) merupakan program studi baru, yang baru dibuka pada tahun 2004 atau lebih kurang 10 tahun dari waktu penulisan buku ajar ini dilakukan. Penyusunan kurikulum awal prodi ini (Kurikulum 2004) dilakukan dengan
6
mengadopsi kurikulum Program Studi Teknik Planologi ITB sebagai cikal bakal dan pelopor pendidikan perencanaan pengembangan wilayah di Indonsia serta melakukan pembandingan dengan prodi sejenis di Universitas Diponegoro (yang sudah terbentuk lebih dahulu), kajian pada prodi sejenis dari perguruan tinggi luar negeri (melalui internet) dan juga memperhatikan kurikulum inti yang diarahkan oleh Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI). Pada periode yang relatif singkat tersebut, Prodi S1 PWK Unhas telah melakukan review terhadap kurikulum 2004 dan sejak 2014 telah menerapkan beberapa perubahan dan memasukkan sejumlah mata kuliah baru disesuaikan dengan pola ilmiah pokok (PIP) Universitas Hasanuddin serta Visi dan Misi pada Prodi PWK Unhas ini. B. Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan Salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Kurikulum S1 Prodi PWK Unhas tahun 2004 adalah terkait dengan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan yang disusun buku ajarnya ini, yaitu semula disajikan dalam dua semester masing-masing pada Semester III (Ganjil) yaitu Metode Analisis Perencanaan I (2 SKS) dan pada Semester IV (genap) yaitu Metode Analisis Perencanaan II (2 SKS), diubah menjadi hanya satu penyajian pada Semester III (ganjil) yaitu Metode Analisis Perencanaan (3 SKS). Perubahan ini menyebabkan perlunya disusun kembali materi pembelajaran mata kuliah tersebut oleh karena semula adalah 4 SKS (dua kali penyajian) menjadi 3 SKS (hanya satu kali penyajian), Materi pembelajaran harus dikaji ulang untuk disesuaikan dengan kebutuhan wilayah dan mengatur agar tidak ada yang hilang dalam proses pembelajaran mata kuliah. Namun demikian, sejumlah materi metode analisis perencanaan belum dibahas atau belum disajikan dalam mata kuliah ini, karena pertimbangan waktu penyajian yang terbatas, keterkaitannya dengan mata kuliah lain serta tingkat kesulitan bahan pembelajaran. Model analisis lain seperti Analisis SWOT, Analisis Lahan (kemampuan/daya dukung), Analisis kesesuaian ekonomi (analisis investasi) akan dibahas pada mata kuliah lain, sedangkan analisis dengan tingkat kerumitan matematis tinggi seperti Programasi Tujuan Berganda (goal programming dengan metode Simplex), serta penggunaan Programasi Integer untuk optimasi ruang agar disajikan pada program studi lanjutan (S2 dan atau S3). . Penerapan pembelajaran dengan menerapkan metode Student Center Learning (SCL) cukup membantu proses penyesuain ini, namun demikian agar kompetensi yang diharapkan dari proses pembelajaran ini
7
tetap tercapai maka pemberian tugas-tugas latihan, baik kelompok maupun individu diintensifkan dan memperbanyak diskusi dan dan kajian mandiri. 1. Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) a) Diskripsi Mata Kuliah Diskripsi materi pembelajaran mata kuliah Metode Analisis Perencanaan secara umum adalah membahas tentang metode-metode atau cara-cara perhitungan dan analisis untuk perencanaan pengembangan wilayah dan kota, yang dalam mata kuliah ini dibatasi hanya pada: analisis demografi/kependudukan dan dinamika sosial masyarakat; analisis ekonomi untuk pembangunan wilayah/kota, dan analisis spasial dan hubungan antar daerah. b) Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran atau hasil pembelajaran yang diharapkan menjadi kompetensi peserta mata kuliah, yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta mampu menggunakan metode analisis demografi/kependudukan analisis ekonomi untuk pembangunan wilayah, analisis sumberdaya alam, analisis spasial dan hubungan antar daerah serta metode analisis lainnya untuk merencanakan pengembangan wilayah dan kota. Tujuan ini dirinci menjadi beberapa kompetensi khusus, yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta menguasai dan mampu menggunakan metode: (1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup (IKH)/Indeks Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat: (2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis sektor basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis komparatif produksi/komoditas unggulan. (3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta Analisis Aksesibilitas. c) Literatur/Sumber Bacaan Sumber bacaan utama dalam menulis buku ajar ini adalah seperti disebutkan pada kata pengantar, yaitu dari buku Studi Tipologi Kabupaten
8
(DTKTD dan PSDAL-UH, 1992) dan dari buku Analisa Kota dan Daerah (Warpani, S, 1990). Rincian sumber bacaan lainnya adalah seperti tersebut dalam Daftar Bacaan/Literatur di bagian akhir buku ajar ini. 2. Satuan Acara Pembelajaran (SAP) Satuan Acara Pembelajaran adalah rincian penyajian materi pembelajaran yang disajikan dalam 16 kali kegiatan terdiri dari 3 jam setiap perkuliahan, termasuk didalamnya kegiatan evaluasi atau penilaian hasil belajar dari masing-masing mahasiswa peserta didik. Penilaian dilaksanakan sepanjang proses perkuliahan, dikusi dan tugas-tugas (kelompok dan individu). Jika diperlukan penilaian yang lebih valid akan dilakukan evaluasi dalam bentuk ujian tengah semester (mid test) dan ujian akhir semester (final test) C. Struktur Buku Ajar Isi buku ajar ini disusun berdasarkan Pedoman Penulisan Buku Ajar Prodi PWK Unhas tahun 2014, yang secara terstruktur diuraikan sebagai berikut:
Halaman Judul Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan Berisi Gambaran Umum Program Studi, Komptensi Lulusan, Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) dan Struktur Buku Ajar. Bab II. Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial; Modul pembelajaran Metode Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial ini terdiri dari beberapa sub modul, yaitu: Perhitungan dan proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup (IKH)/Indeks Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat: Bab III. Analisis Ekonomi Wilayah/Kota Berisi uraian Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Perhitungan Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor basis dan sektor unggulan wilayah, Metode Analisis Input - Output (I-O Analysist) serta Analisis komparatif produksi/komoditas unggulan.
9
Bab IV. Analisis Spasial dan Hubungan antar Wilayah. Berisi uraian metode analisis hubungan antar wilayah, serta analisis ketergantungan antar wilayah. Bab IV. Penutup Berisi Proses Pembelajaran, Tugas-tugas dan Evaluasi, terdiri dari uraian proses pembelajaran selama 16 kali pertemuan, rincian tugas dan evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran. Termasuk uraian kisi-kisis soal untuk penilaian akhir (jika diperlukan test)
Daftar Pustaka Surat Pernyataan Lampiran: - Biodata Penulis - Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) Mata Kuliah - Satuan Acara Pembelajaran (SAP) Mata Kuliah
10
BAB II ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL Analisis demografi/kependudukan dan dinamika sosial masyarakat diarahkan untuk menghimpun informasi yang berkaitan dengan penilaian apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu wilayah merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas wilayah, dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari subwilayah yang terdapat pada suatu provinsi atau kabupaten/kota. Penilaian dilakukan berdasarkan aspek kuantitas, kualitas dan kelembagaan. Untuk maksud tersebut informasi yang dibutuhkan dan metode analisisnya, antara lain : PERTANYAAN/ INFORMASI
METODA ANALISIS
1. Bagaimana jumlah dan tingkat kepadatan penduduk
1. Perhitungan jumlah dan kepadatan penduduk
2. Bagaimana penyebaran penduduk di kabupaten yang ditinjau
2. Perhitungan persebaran penduduk
3. Bagaimana komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
3. Perhitungan komposisi umur dan jenis kelamin
4. Berapa besar jumlah penduduk di masa yang akan datang
4. Perkiraan / proyeksi jumlah penduduk
5. Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di 5. Analisis Ketenagakerjaan masa sekarang dan di masa akan datang 6. Indeks Kualitas Hidup 6. Bagaimana tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk 7. Bagaimana tingkat pengembangan wawasan, pengetahuan dan ketrampilan penduduk
7. Pengukuran Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat.
8. Bagaimana tingkat aktivitas lembagalembaga formal di desa
8. Metoda Partisipasi Kelembagaan
9. Pengukuran Dinamika Sosial 9. Bagaimana tanggapan / response Masyarakat masyarakat terhadap program-program pembangunan 10. Indeks Tingkat 10. Bagaimana perbedaan tingkat Perkembangan Wilayah. perkembangan dari sub-sub wilayah yang ada.
11
1. Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk Analisis digunakan untuk mengetahui jumlah dan tingkat kepadatan penduduk dikaitkan dengan sumberdaya lahan yang tersedia. Pengukuran kepadatan dilakukan dengan tiga cara, yaitu : (i) kepadatan penduduk kasar (crude density of population), (ii) kepadatan penduduk agraris, dan (iii) kepadatan penduduk ekonomi (economical density of population). (i)
Kepadatan Penduduk Kasar Angka kepadatan ini biasanya disebut pula sebagai Kepadatan Penduduk Matriks, merupakan ratio antara jumlah penduduk persatuan luas wilayah. jumlah penduduk kepadatan kasar = luas wilayah Contoh: Jumlah penduduk pada suatu wilayah 1 juta jiwa dengan luas wilayah 10000 Km2, maka: kepadatan penduduk adalah 100 jiwa untuk 1 Km 2 Penilaian: Kepadatan Tinggi : di atas kepadatan nasional Kepadatan Sedang : sama dengan kepadatan nasional Kepadatan Rendah : di bawah kepadatan nasional (ii) Kepadatan Penduduk Agraris Kepadatan penduduk agraris adalah jumlah penduduk petani tiap 1 Km2 tanah pertanian, jumlah rumah tangga petani kepadatan penduduk agraris = luas tanah pertanian
Contoh: Jika jumlah rumah tangga petani pada suatu wilayah 10.000 dan luas tanah pertanian 10 Km2, maka: Kepadatan penduduk agraris = 10.000 / 10 = 1.000 Jadi kepadatan penduduk agraris adalah 1.000 jiwa per 1 Km 2 atau 1.000 rumah tangga untuk 100 Ha tanah pertanian. Penilaian: Kepadatan Agraris Tinggi : 1 rumah tangga untuk tiap < 0.5 Ha Kepadatan Agraris Sedang : 1 rumah tangga untuk 0.5-1.0 Ha Kepadatan Agraris Rendah : 1 rumah tangga untuk tiap > 1.0 Ha (iii) Kepadatan Penduduk Ekonomi Kepadatan penduduk ekonomi adalah besarnya jumlah penduduk pada suatu wilayah didasarkan atas kemampuan wilayah yang bersangkutan.
12
kepadatan penduduk ekonomi = 100 x (@ / c) dengan: @ = indeks jumlah penduduk c = adalah indeks umum produksi pada tahun yang sama Contoh : Indeks jumlah penduduk dan produksi wilayah A terlihat pada tabel berikut: Tahun Penduduk (jiwa) Produksi (unit)
1980 1.000.000 100.000.000
1990 1.200.000 150.000.000
Indeks. 1,2 1,5
Maka Kepadatan Penduduk Ekonomi wilayah A adalah: = 100 x ( @ / c ) = 100 x (1,2 / 1,5) = 80 Keunggulan: Data-data yang dibutuhkan seperti jumlah penduduk dan indekss umum produksi tidak sulit diperoleh. Kelemahan : Gambaran yang diperoleh masih bersifat umum. 2. Persebaran Penduduk Analisis digunakan untuk mengetahui penyebaran penduduk antara kota dan desa, serta antar unit-unit wilayah (misalnya untuk RUTR kecamatan) (i) Persebaran Penduduk Desa dan Kota Merupakan proporsi penduduk desa dan kota terhadap jumlah penduduk. (ii) Persebaran Penduduk Antar Wilayah Kecamatan Angka persebaran diketahui dengan cara membandingkan kepadatan penduduk antar wilayah kecamatan. Penilaian: Persebaran proporsional atau persebaran tidak proporsional. Persebaran proporsional adalah persebaran dimana jumlah penduduk sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam (termasuk lahan) di wilayah yang ditinjau. Keunggulan: Informasi tentang jumlah penduduk desa, kota dan wilayah kecamatan mudah diperoleh. Kelemahan: Gambaran yang diperoleh masih sangat umum.
13
3. Komposisi Pendududk Komposisi penduduk dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Komposisi dimaksud dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan fasilitas pelayanan 13ector dan ekonomi. (i) Komposisi Menurut Umur Struktur umur yang umum dipakai adalah interval waktu 5 tahun, yaitu: 0 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 – 14 tahun 15 – 19 tahun 20 – 24 tahun 25 – 29 tahun 30 – 34 tahun 35 – 39 tahun 40 – 44 tahun 45 – 49 tahun 50 – 54 tahun 55 – 59 tahun 60 – 64 tahun 65 + tahun Penilaian: Dengan melihat komposisi umur penduduknya, untuk kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun, maka dapat ditentukan penduduk tua (old population) dan penduduk muda (young population), sebagai berikut: UMUR 0 – 14 15 – 64 65 +
PENDUDUK TUA < = 30 % > = 60 % > = 10 %
PENDUDUK MUDA > = 40 % < = 55 % <=5%
Penggolongan penduduk tua dan penduduk muda dilakukan dengan melihat umur mediannya, berdasarkan kategori berikut: UMUR MEDIAN < = 20tahun 21 – 30 tahun > 30 tahun
KATEGORI Penduduk muda Penduduk sedang Penduduk tua
14
Umur Median : adalah umur yang membagi penduduk menjadi dua bagian yang sama, bagian yang pertama lebih muda dan bagian yang kedua lebih tua dari umur median. Umur median dihitung dengan ramus: Md = M1d + {((N/2) – fx)) / Mfd} * i dengan: M1d = N = fx = Mfd = i
=
batas bawah kelompok umur yang mengandung jumlah N/2 jumlah penduduk jumlah penduduk kelompok komulatif sampai dengan kelompok umur yang mengandung N/2 jumlah penduduk pada kelompok umur dimana terdapat nilai N/2 kelas interval umur
Contoh: Lihat data hipotetik pada tabel 2.1: Md = 20 + {((438.775/2) – 215.885)) / 37.316} * 5 Md = 20 + 0,0939 * 5 = 20,47 Jadi Umur Median = 20,5 tahun (dibulatkan) (ii)
Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) Merupakan perbandingan-banyaknya penduduk laki-laki dengan banyaknya penduduk perempuan pada suatu wilayah dan waktu tertentu. Biasanya dinyatakan dalam banyaknya penduduk laki-laki per 100 perempuan. Tabel 2.1 . Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur KELOMPOK UMUR
JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH KUMULATIF
0–4 5–9 10 – 14 15 -19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59
66.082 64.652 49.285 35.866 37.316 36.568 30.830 25.455 22.825 18.053 17.105 9.829
66.082 130.734 180.019 215.885 253.201 289.769 320.599 346.054 368.906 386.959 404.064 413.893
15
KELOMPOK UMUR
JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH KUMULATIF
60 – 64 65 – 69 70 – 74 75 – 79 TT Jumlah
11.236 4.850 4.414 4.206 176 438.775
425.129 429.979 434.393 438.599 438.775
sumber: PSDALUH-DTKTD (1992)
Sex Ratio =
jumlah penduduk laki-laki Jumlah penduduk perempuan
* 100
Contoh: Jika jumlah penduduk laki-laki = 58.338.664 dan jumlah penduduk perempuan = 60.029.206, maka : 58.336.664 Sex Ratio = * 100 60.029.206 Penilaian: Sex Ratio Tinggi : > 105 Sex Ratio Sedang : 95 – 105 Sex Ratio Rendah : < 95 4. Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk Perkiraan laju pertumbuhan penduduk diperlukan dalam perencanaan pembangun-an wilayah, untuk : (i) memperkirakan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan 15ector ekonomi yang dibutuhkan selama kurun waktu pelaksanaan rencana, dan (ii) merubah kecenderungan laju pertumbuhan penduduk dalam rangka menanggulangi dinamika penduduk yang terlalu pesat. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh : (1) besarnya kelahiran, (2) besarnya kematian, dan (3) besarnya migrasi masuk dan migrasi keluar. Keadaan penduduk pada tahun tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut: Pt = Po + {B – D} + {Mi – Mo} dengan Pt Po B D Mi Mo (B-D) (Mi-Mo)
= Jumlah penduduk pada tahun t = Jumlah penduduk pada tahun dasar = Jumlah kelahiran = Jumlah kematian = jumlah migrasi masuk = jumlah migrasi keluar = pertumbuhan penduduk alamiah = pertumbuhan penduduk migrasi (neto)
16
Dikenal beberapa metoda perkiraan jumlah penduduk, tiga diantaranya adalah: - Metode Antar Sensus (Intercensal) - Metode Sesudah Sensus (Postcensal) - Metode Proyeksi (Projection Method) (i)
Metode Antar Sensus Metode antar sensus (Intercensal) yang disebut pula interpolasi adalah suatu perkiraan mengenai jumlah penduduk di antara dua waktu sensus (data) yang diketahui. Pada metoda ini pertambahan penduduk diasumsikan linier. Pn = Po + m/n (Pn – Po) atau Pm = Pn – {(n – m) / n} * (Pn – Po) dengan: Pn = jumlah penduduk pada tahun n Po = jumlah penduduk pada tahun awal (penduduk dasar) Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun m) m = selisih tahun yang dicari dengan tahun awal n = selisih tahun dari dua sensus yang diketahui Contoh: Jika diketahui jumlah penduduk menurut sensus 1961 = 97 juta dan menurut sensus 1971 = 118.2 juta. Hitung perkiraan jumlah penduduk pada tahun 1967. P1967 = 97 – {(1967 – 1961) / 10} * (118.2 – 97) P1967 = 109,72 juta (ii)
Perkiraan Sesudah Sensus Digunakan rumus Pm = Po – {(n + m) / n} * (Pn – Po)
atau Pm = Pn + (m / n) * (Pn – Po) dengan : Po = jumlah penduduk dasar (tahun awal) Pn = jumlah penduduk tahun n Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun n) m = selisih tahun yang dicari dengan tahun n n = selisih tahun dari dua sensus yang diketahui Contoh: Jumlah penduduk menurut sensus tahun 1961 adalah 97 juta jiwa. Pada sensus 1971 berjumlah 118,2 juta jiwa Berapakah jumlah penduduk pada tahun 1975 ?
17
P1975 = 97 – {(10 + 4) / 10} * (118.2 – 97) P1975 = 126,68 juta (iii)
Metode Proyeksi Metoda proyeksi dibedakan menurut dua jenis, yaitu : a. Metoda matematik, yang terdiri atas (1) metoda bunga berganda (geometric rate of growth), dan (2) metoda eksponensial (exponential rate of growth). b. Metoda komponen (cohort)
Ad. A. Metode Matematik (1) Metoda Bunga Berganda Metoda bunga berganda berbasis pada rumus : Pt = Po * (l + r)n dengan: Pt = jumlah penduduk pada tahun t Po = jumlah penduduk pada tahun awal r = angka pertumbuhan penduduk n = jangka waktu dalam tahun Contoh: Jumlah penduduk pada suatu wilayah pada tahun 1981 sebesar 2.163.000 jiwa, sedang pada tahun 1991 sebesar 2.490.000 jiwa. Hitung tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun antara tahun 1981 sampai 1991 dan perkirakan jumlah penduduk wilayah tersebut pada tahun 1996. Tingkat Pertumbuhan rata-rata dihitung dengan rumus : Pt = Po * (l + r)n 2.490.000 = 2.163.000 (1 + r )10 (1 + 10)10 = 2.490.000 / 2.163.000 = 1,151 10 log (l + r) = log 1,151 = 0,0611 1 + r = 1,014178 r = 0,014178 Selanjutnya nilai r yang diperoleh dari perhitungan ini digunakan untuk memperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1996, dengan menggunakan rumus yang sama: P1996 = Po (l + 0,0142)5 = 2.671.882,5 dibulatkan menjadi 2.671.883 (2) Metoda Exponensial Metoda exponensial berbasis pada rumus : Pn = Po exp r*t dengan:
18
Pn Po r t
= jumlah penduduk pada tahun n = jumlah penduduk pada tahun awal = angka pertumbuhan penduduk = waktu dalam tahun
Contoh : Dengan menggunakan data hipotetis yang diberikan pada contoh sebelumnya (metoda bunga berganda), perkirakan kembali jumlah penduduk pada tahun 2000 dengan menggunakan metoda exponensial. Pn = Po exp r*t Exp r.t = Pn / Po = 2.490.000 / 2.163.000 = 1.1511789 10 r = ln (1.1511789) = 0.14079 r = 0.014079 P1996 = P1991 exp 0.014079 x 5 = 2.490.000 x 1.07293 = 2.671.595,8 = 2.671.596 (dibulatkan) Keunggulan: Metoda digunakan apabila tidak diketahui data tentang komponen dari pada penduduk. Yang diketahui hanya penduduk keseluruhan dan tingkat pertumbuhan penduduk. Cocok untuk proyeksi jangka pendek. Kelemahan : Menyajikan informasi yang 18ector18e terbatas karena tidak memberikan informasi struktur umur dan jenis kelamin. Tidak cocok untuk proyeksi jangka panjang. Ad. b. Metoda Komponen (Cohort Survival Model) Keunggulan: o Memperhatikan perubahan tiap-tiap komponen perubahan penduduk (Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi). o Dimulai dengan asumsi-asumsi: Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Data-data yang diperlukan: distribusi umur dan jenis kelamin penduduk yang telah dilakukan protating dan 18ector18e1818 menentukan level of mortality penduduk tersebut mengestimasikan pola fertilitas (ASFR) menentukan rasio jenis kelamin saat lahir menentukan pola migrasi (proporsi migrasi menurut umur) Langkah-langkah perkiraan jumlah penduduk menurut metoda ini adalah sebagai berikut : Kolom 1: Kolom 2:
adalah kelompok umur dengan interval 5 tahunan adalah jumlah penduduk wanita menurut kelompok umur, 1971.
19
Kolom 3 :
Kolom 4:
Kolom 5 :
Kolom 6:
Kolom 7: Kolom 8: Kolom 9 :
survival ratio penduduk wanita, yang dikutip dari 19ecto kematian dengan asumsi level yang digunakan adalah level 13 model West. Survival Ratio untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 + sebesar 0,73665 diperoleh dari: T60 + / T55 + di dalam life table level 13 Penduduk masih hidup tahun 1976 = kol.2 x kol.3 Contoh : Penduduk kelompok umur 0-4 tahun, yang masih hidup 5 tahun lagi adalah : 381956 x 0,94528 = 361.055 Mereka inilah akan berusia 5-9 tahun pada tahun 1976 Untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 tahun lebih, diperoleh hasil 82.937 x 0,73665 = 61.096. Mereka ini dikelompokkan dalam usia 60+ pada tahun 1976. Adalah jumlah 19ector19 netto DKI Jakarta antara tahun 19711976 yang diperoleh dari perkalian antara proporsi 19ector19 perempuan dengan total 19ector19. Contoh: Migran netto perempuan (lihat 19ecto 3) jumlah (0-4) = 500.000 (0,0365) = 18.250. Adalah hasil penjumlahan kolom- (4) + kolom (5). Untuk kelompok umur 0-4 tahun belum dapat diisi, karena angka jumlah kelahiran selama 5 tahun belum dihitung. Kolom-kolom selanjutnya (kolom 7, 8, 9) dibuat untuk menghitung jumlah kelahiran perempuan selama periode 1971-1976. Adalah rata-rata jumlah penduduk perempuan per kelompok umur :.{Kolom (2) + Kolom (6)} / 2 Adalah jumlah kelahiran Age Specific Fertility Rate dari DKI Jakarta. Adalah jumlah kelahiran per tahun per kelompok umur antara tahun 1971-1976, yang dihitung dari perkalian Kolom (7) dengan Kolom (8). Jadi jumlah kelahiran selama 5 tahun = 5 x 227.339 = 1.136.995. Dengan asumsi Sex Ratio at Birth = 105, maka diperoleh proporsi perempuan yang lahir sebesar 0,488. Jumlah kelahiran perempuan selama 5 tahun = jumlah kelahiran selama 5 tahun x rasio kelahiran perempuan atas kelahiran lakilaki = 1.136.995x0,488 = 554.854. Jumlah kelahiran perempuan yang masih hidup pada umur 0-4 tahun = Jumlah kelahiran perempuan x rasio masih hidup pada saat dilahirkan = 554.854 (0,85661) = 475.293. Jadi penduduk perempuan yang berumur 0-4 tahun 1976 adalah : 475.293 + 18.250 x (migrasi usia 0-4) = 493.543.
20
Tabel 2.2: Proyeksi Jumlah Penduduk Perempuan di DKI Jakarta tahun 1971 -1976
Kelompok Umur Penduduk 1 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59
Penduduk Migran Penduduk Ration Penduduk Perempuan Perempuan Perempuan Masih Hidup Masih Hidup 1971 1971 -1976 1976 2 381.956 319.450 267.518 265.251 227.890 201.771 164.195 135.959 94.009 60.930 47382 25.220
3 0.94528 0.98100 0.98043 0.97430 0.96927 0.96518 0.96077 0.95608 0.94998 0.93753 0.91695 0.73655
4 361.055 313.380 262.283 258.432 220.887 194.745 157.754 129.988 89.307 57.124 43.477
5 18.250 22.350 29.500 57.800 49.900 29.000 15.850 10.800 7.350 4.650 3.450 1.950
6 493.543 383.405 342.880 320.083 308.334 249.887 210.959 168.554 137.338 93.957 60.574 45.397
Rata-rata Pend.Perp 1971-1976
ASFR Jakarta 1971-1976
Kelahiran pertahun 1971-1976
7 292.667 268.112 225.829 187.395 152.257 115.674 77.444 -
8 0.107 0.242 0.239 0.236 0.159 0.070 0.009 -
9 31.315 64.883 53.973 44.225 24.209 8.097 697 -
21
Tabel 2.3 Distribusi Migran Perempuan ke Jakarta Menurut Umur, tahun 1971 -1976 UMUR PERSENTASE 0-4 0.0365 5-9 0.0447 10-14 0.0590 15-19 0.1156 20-24 0.0998 25-29 0.0580 30-34 0.0317 Sumber: PSDALUH-DTKTD (1992)
UMUR 35-39 40-44 45-49 54-54 55-59 60 +
PERSENTASE 0.0216 0.0147 0.0093 0.0069 0.0039 0.0096
Untuk keperluan tertentu, misalnya untuk mengetahui jumlah penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun), maka kelompok umur 5-9 perlu dipecah menjadi umur 5, 6, 7, 8, dan 9 tahun, demikian pula kelompok umur 10-14 dipecah menjadi umur 10,11,12,13, dan 14 tahun. Pemecahan dilakukan dengan bantuan 21ector pengganda Sprague (Sprage’s Multipliers). Pengganda ini memiliki 5 panel, sebuah untuk kelompok umur tengah (midpanels) , dua buah untuk kelompok akhir (endpanel) , dan dua buah lagi untuk kelompok umur yang berbatasan dengan kelompok umur akhir PSDALUH-DTKTD (1992): 1. First end-panel : 2. First next-to-end panel : 3. Mid-panels : 4. Last next-to-end panel: 5. Last end-panel :
untuk golongan umur 0-4 tahun untuk golongan umur 5-9 tahun untuk golongan umur 10 -14 tahun sampai dengan golongan 85 – 89 tahun untuk golongan umur 90 – 94 tahun untuk golongan umur 95-99 tahun
Catatan: Apabila data penduduk tidak dikelompokkan sampai golongan umur 95-99 tahun, misalnya hanya sampai pada golongan umur 70-74 tahun, maka golongan umur di atasnya menyesuaikan. Dalam kasus-kasus tertentu, adakalanya golongan umur 95+ diasumsikan sama dengan golongan umur 95-94, demikian pula golongan umur 75 +, dapat diasumsikan sama dengan golongan umur 75-79 tahun, dan sebagainya. a. First end-panel Pemecahan kelompok umur ini dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:
22
n
nj = Ni
ji . Ni
j = 1,5; i = 1,4
i 1
dengan : nj menyatakan-golongan umur tahunan : n1 = 0 tahun, n2 = 1 tahun, n3 = 2 tahun, n4 = 3 tahun dan n5 = 4 tahun. Ni menyatakan jumlah penduduk pada kelompok umur ke-i, yaitu : N1 = 04 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun. ji menyatakan koefisien pengganda Sprague yang diperlihatkan pada faktor 4. Tabel 2.4. Pengganda Sprague N1 nl n2 n3 n4 n5
+0.3616 +0.2640 +0.1840 + 0.1200 +0.0704
nl n2 n3 n4 n5
+0.0336 +0.0080 - 0.0080 - 0.0160 - 00176
nl n2 n3 n4 n5
- 0.0128 -0.0015 +0.0084 +O0064 +0.0016
nl n2 n3 n4 n5
- 0.0144 - 0.0080 +0.0000 +0.0080 +0.0144
nl n2 n3 n4 n5
+0.0176 +0.0168 +0.0080 - 0.0080 - 0.0336
N2
N3 N4 FIRST END-PANEL -0.2768 + 0.1488 - 0.0336 -0.0960 + 0.0400 - 0.0080 + 0.0400 - 0.0320 +0.0080 + 0.1360 - 0.0720 + 0.0160 + 0.1968 - 0.0848 + 0.0176 FIRST NEXT-TO-END PANEL + 0.2272 - 0.0752 + 0.0144 + 0.2320 - 0.0480 +0.0080 + 0.2160 - 0.0080 + 0.0000 + 0.1840 + 0.0400 - 0.0080 + 0.1408 + 0.0912 - 0.9144 MID-PANEL + 0.0848 + 0.1504 - 0.0240 + 0.0144 + 0.2224 - 0.0416 - 0.0336 +0.2544 - 0.0336 - 0.0416 + 0.2224 - 0.0144 - 0.0240 + 0.1504 +0.0848 LAST NEXT-TO-END PANEL +0.0912 + 0.1408 - 0.0176 +0.0400 + 0.1840 - 0.0160 - O.0080 + 0.2160 - 0.0080 - a0480 +0.2320 + 0.0080 - 0.0752 +0.2272 +0.0336 LAST END PANEL - 0,0848 +0.1968 +0.0764 - 0.0720 +0.1360 +0.1200 - 0.0320 + 0.0400 +0.1640 + 0.0400 -0.0960 +0.2640 + 0.1488 - 0.2768 + 03615
N5 . + 0.0016 +0.0064 - 0.0064 - 0.0016 - 0.0128 . -. -
23
b. First next-to-end Panel Golongan umur tahunan pada kelompok umur ini (5-9 tahun) diperkirakan dengan menggunakan rUmus yang sama dengan yang dipakai pada kelompok umur 0-4 tahun, dengan n1 = 5 tahun, n2 = 6 tahun, n3 = 7 tahun, n4 = 8 tahun, dan n5 = 9 tahun. Sedang data kelompok umur yang digunakan adalah : N1 = 0-4 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, dan N4 = 15-19 tahun. c. Mid Panel Kelompok umur ini juga menggunakan rumus yang sama dengan yang digunakan pada kelompok umur sebelumnya, dengan perbedaan terletak pada jumlah 23ector penggandanya, yaitu sebanyak 5 buah 23ector23e2323 dengan 4 buah pada kelompok umur yang dibahas sebelumnya. N3 diletakkan pada kelompok umur yang ingin dipecah, N2 dan Ni untuk dua kelompok umur sebelumnya, dan N4 dan N5 untuk kelompok umur sesudahnya. Misalnya kelompok umur yang ingin dipecah adalah 10-14 tahun, maka n1 = 10 tahun, n2 = 11 tahun, n3 = 12 tahun, n4 = 13 tahun, dan ns = 14 tahun. Data kelompok umur yang digunakan adalah Ni = 0-4 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun, dan N5 = 20-24 tahun. Catatan: Untuk Last next-to-end panel pemecahan umur dihitung dengan cara yang sama First next-to-end panel, sedang pemecahan umur untuk last end panel dihitung dengan cara yang serupa dengan first end panel. Contoh: Perkirakan jumlah anak usia sekolah (7-12 tahun) berdasarkan data jumlah penduduk menurut kelompok umur yang diperlihatkan pada kelompok 1. Golongan umur 7-12 tabun terdiri atas dua kelompok umur, yaitu 5-9 tahun dan 10-14 tahun. Kelompok umur 5-9 tahun dipecah dengan menggunakan First next-to-end panel, sedangkan kelompok umur 4 tahun dipecah dengan menggunakan faktor pengganda pada mid panel. Golongan umur 5 tahun
= 0.0336 x 66.082 + 0.2272 x 64.652 – 0.0752 x 49.285 + 00144 x 35.866 = 13.720 (dibulatkan)
Golongan umur 6 tahun
= 0.0080 x 66.082 + 0.2320 x 64.652 – 0.0480 x 49.285 + 0.0080 x 35.866 = 13.499 (dibulatkan)
24
Golongan umur 13 tahun = 0.0064 x 66.082 – 0.0416 x 64.652 + 0.2224 x 49.285 + 0.0144 x 35.866 -0.0016x37.316 = 9.151 (dibulatkan) Golongan umur 14 tahun = 0.0016 x 66.082 – 0.0240 x 64.652 + 0.1504 x 49.285 + 0.0848 x 35.866 -0.0128 x 37.316 = 8.530 (dibulatkan) Dari perhitungan di atas terlihat bahwa untuk golongan umur 5, 6, 13 dan 14 terdapat 44.850 anak, dengan demikian jumlah penduduk yang berumur 7-12 tahun adalah (64.652 + 49.285) – 44.850 = 69.087. 5. Analisis Ketenagakerjaan Analisis dalam lingkup ini diperlukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan jumlah penduduk yang tidak produktif, tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran, dan proyeksi tingkat partisipasi angkatan kerja. (i) Angka Beban Tanggungan Angka beban tanggungan (Dependency Ratio) merupakan angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk yang tidak produktif (umur dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan jumlah penduduk yang termasuk usia produktif (umur 15-64 tahun). {(Po – 14 + P65+) / (P15 – 64)} * 100 Penilaian: Angka Beban-Tanggungan Tinggi : > 70 Angka Beban Tanggungan Sedang : 51 – 69 Angka Beban Tanggungan Rendah : <50 (ii) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tingkat partisipasi angkatan kerja (Labor Force Participation) atau biasa disingkat TPAK menyatakan perbandingan jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja (di Indonesia umur 10 tahun ke atas). TPAK = (jumlah angkatan kerja/jumlah penduduk usia kerja ) * 100 Penilaian : TPAK Tinggi = > 70 TPAK Sedang = 50-69 TPAK Rendah = < 50 Data yang dibutuhkan berupa : - Jumlah penduduk usia kerja (umur 10 tahun ke atas) - Jumlah angkatan kerja.
25
Angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang secara aktif melakukan kegiatan ekonomis. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, penduduk yang mempunyai pekerjaan tetap, tetapi sementara tidak bekerja, dan penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi mencari pekerjaan secara aktif. (iii) Tingkat Pengangguran Terbuka Tingkat pengangguran terbuka (Open dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Unemployment
Rate)
TPT = ( jumlah pencari kerja / jumlah angkatan kerja ) * 100 Data yang dibutuhkan: - Jumlah angkatan kerja - Jumlah orang yang mencari pekerjaan Pengertian penduduk yang mencari pekerjaan (menganggur) adalah mereka yang tidak bekerja dan sekarang ini sedang aktif mencari pekerjaan menurut acuan waktu tertentu. Termasuk kelompok ini adalah mereka yang pernah bekerja, atau sekarang sedang dibebastugaskan, tetapi sedang menganggur dan mencari pekerjaan. (iv) Proyeksi TPAK Proyeksi angkatan kerja dibutuhkan untuk memperoleh informasi tentang jumlah dan karakteristik kerja yang tersedia pada masa yang akan 25ector, termasuk pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah penduduk yang pertama kali memasuki pasar tenaga kerja. Proyeksi penyediaan tenaga kerja dilakukan dengan dua tahap, yaitu : 1) proyeksi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dalam suatu wilayah tertentu. 2) proyek TPAK untuk memperkirakan jumlah penyediaan tenaga kerja. Tahap pertama diketahui secara khusus pada proyeksi penduduk. Pada dasarnya perkiraan jumlah angkatan kerja dapat diperoleh sebagai hasil kali antara TPAK dengan jumlah penduduk pada kelompok umur yang sama. LFtx = lftx * Ptx dengan LFtx = jumlah angkatan kerja pada kelompok umur x pada tahun t lftx = TPAK pada kelompok umur x pada tahun t t Px = jumlah penduduk pada kelompok umur x pada tahun t
26
Dalam proyeksi ini perlu dibuat asumsi mengenai TPAK pada masa yang akan datang. Selain itu, TPAK pada masa yang akan datang dapat diketahui dengan melakukan extrapolasi sebagai berikut: lfxt+1 = lfxt * { lfxt / (lfxt-1)} dengan lfxt+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1 lfxt = TPAK kelompok umur x pada tahun t x lf t-1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t – 1 Tata perhitungan TPAK dengan cara extrapolasi dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan tabel berikut: KELOMPOK UMUR 1 … 10-19 … …
TPAK 1971 2
TPAK 1980 3
50%
60%
4
TPAK 1990 (3)* (4) 5
60/50 = 1.2
72 %
(3): (2)
Keunggulan : sangat sederhana Kelemahan: Dalam beberapa kasus, khususnya untuk kelompok umur yang memiliki TPAK tinggi, hasil extrapolasi kadang-kadang lebih besar dari 100, suatu angka yang tidak mungkin dicapai pada keadaan sebenarnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, digunakan faktor koreksi yang dihitung dengan rumus sebagai berikut: lfxt+1 = lfxt * { (100 + xt) / 100} dengan lfxt+1 lfxt xt
= TPAK kelompok umur x pada tahun t +1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t = Kenaikan TPAK dari tahun t sampai tahun t + 1
Perhitungan xt dilakukan dengan bantuan rumus : xt = (lfxt/ lfxto) * {(lft + Uxt) / (lfto * Utto)} dengan lfxt lfxto
= TPAK kelompok umur x pada tahun t = TPAK kelompok umur x pada tahun to
27
Uxt
= Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan kerja pada tahun t x U to = Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan kerja pada tahun to Contoh hipotesis proyeksi tingkat partisipasi angkatan kerja suatu wilayah pada tahun 1990 berdasarkan data tahun 1971 dan 1980, sebagai berikut: UMUR lfto 1971 lfto 1980 1
2
3
3:2
Uto
Ut
4
5
6
lfto * Uto lft * Ut
8:7
t
7
8
9
10
10-19
0.4938 0.4217 0.854 0.5062 0.5783
0.250
0.244
0.976
-0.833
20-34
0.6826 0.4141 0.606 0.3172 0.5859
0.217
0.243
1.120
-0.678
35-44
0.3397 0.6306 1.856 0.6603 0.3694
0.224
0.233
1.040
1.930
Dari tabel di atas dapat diperkirakan tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 1990 sebagai berikut: UMUR 10-19 20-34 35-44
lf 1990 0.4217 * (100 – 0.833) /100 = 0.4182 0.4141 * (100- 0.678)/ 100 = 0.4113 0,6306 * (100-1.930)/ 100 = 0.6428
(i) Perhitungan Indekss Kualitas Hidup (IKH) IKH atau disebut juga Physical Quality of Life Indeks (PQLI) merupakan indikator gabungan (Composit Indicator) yang terdiri atas 3 unsur yang dinilai cukup valid untuk menggambarkan kualitas sumberdaya manusia. i. ii. iii.
Ketiga indikator yang dimaksud ialah : Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate = IMR) Angka harapan hidup pada usia 0 (Life Expectancy = LE) Angka melek huruf penduduk usia 10 th keatas (Literacy Rate = LR)
Sebagai suatu mocel gabungan, IKH dinilai mempunyai kepekaan yang tinggi untuk mengukur hasil dari suatu proses pembangunan ekonomi dalam suatu masyarakat. Informasi dasar yang diperlukan dalam pengukuran IKH adalah data mengenai ketiga indikator tersebut di atas pada tahun yang sama. Tahapan-tahapan pengukurannya adalah sebagai berikut: (1) Pengumpulan data ketiga faktor yang tergabung dalam IKH, yaitu:
28
a. Angka Kematian Bayi (IMR) - Angka ini menunjukkan jumlah rata-rata kematian bayi dalam setiap 1000 kelahiran pada suatu wilayah tertentu. - Angka IMR ini oleh para ahli dipandang sebagai salah satu indikator yang mampu mengukur perkembangan pembangunan ekonomi suatu masyarakat. - Data yang dibutuhkan untuk menghitung IMR ialah jumlah anak usia dibawah 1 tahun yang meninggal pada suatu wilayah, serta jumlah kelahiran di wilayah tersebut pada periode tahun yang sama. Tetapi karena data yang dimaksud biasanya sulit diperoleh secara akurat di seluruh wilayah, maka dianjurkan untuk mengutip saja hasil perhitungan terakhir mengenai IMR dari pihak / instansi yang berkompeten seperti Dep. Kesehatan, Kantor Statistik, BKKBN, ataupun dari Lembaga Demografi pada Perguruan Tinggi setempat. - Diumpamakan angka IMR yang diperoleh itu adalah 85. Itu berarti dalam setiap 1000 kelahiran ada 85 bayi yang meninggal sebelum mencapai ulang tahunnya yang pertama. b. Angka Harapan Hidup (Life Expectancy) - Angka ini mengukur jumlah rata-rata tahun (umur) yang diharapkan oleh seseorang yang baru lahir untuk dijalani sampai meninggal kelak. Indikator inipun jelas dapat menggambarkan tingkat kualitas hidup penduduk melalui tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Semakin besar angka harapan hidup (LE) berarti semakin tinggi pula kualitas hidup penduduk yang bersangkutan. - Seperti halnya pada perhitungan IMR, angka harapan hidup (LE) ini juga dianjurkan untuk dikutip dari hasil perhitungan yang sudah dilakukan oleh pihak/instansi yang berkompeten seperti yang disebutkan di atas, karena untuk menghitung sendiri angka LE ini sangat rumit bagi mereka yang bukan ahlinya. Hal ini tidak menjadi masalah karena data mengenai LE dipublikasikan secara berkala oleh instansi-instansi tersebut di atas. - Jika diumpamakan angka harapan hidup (LE) yang diperoleh untuk suatu wilayah kabupaten adalah 58, ini menunjukkan bahwa setiap anak yang lahir di wilayah tersebut pada periode tahun yang bersangkutan, dapat mengharapkan hidup rata-rata selama 58 tahun.
29
c. Angka Melek Huruf (Literacy Rate) Angka ini mengukur proporsi penduduk yang berusia 10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis. Jadi yang diukur ialah kondisi pendidikan dasar penduduk. Indikator ini dipandang memiliki kepekaan yang tinggi untuk mengukur potensi pembangunan dan kesempatan-kesempatan yang dimiliki oleh lapisan penduduk miskin / bawah untuk ikut berperan aktif dalam pembangunan wilayah. Data yang dibutuhkan untuk menghitung angka melek huruf (LR) ialah data mengenai jumlah penduduk yang berusia 10 tahun ke atas dan data mengenai jumlah orang yang mampu membaca dan menulis huruf latin di antara seluruh penduduk usia 10 tahun keatas tersebut. Data ini tersedia pada publikasi Biro Pusat Statistik (BPS). Perhitungan LR dilakukan dengan bantuan rumus: LP=
jumlah penduduk 10 thn keatas yang mampu baca tulis jumlah penduduk usia 10 tahun keatas
Jika diumpamakan angka LR yang diperoleh adalah 72,5, ini menunjukkan bahwa di antara 100 penduduk berusia 10 tahun ke atas terdapat 73 (setelah dibulatkan) yang mampu membaca dan menulis huruf latin. 1. Perhitungan IKH Setelah data / angka ketiga faktor tersebut di atas diperoleh, maka IKH dapat dihitung dengan rumus berikut: IKH = 1/3 [{(229-IMR)/2,22} + {(LE-38)/0,39} + LR] dengan: IMR = Angka Kematian Bayi LE = Angka Harapan Hidup LR = Angka Melek Huruf Angka-angka yang tercantum dalam rumus di atas yaitu 1/3 ; 2,22; 0,39; 229 dan 38 merupakan konstanta. Angka IKH yang dihasilkan dari perhitungan dengan rumus di atas akan bergerak antara 0 sampai dengan 100, semakin dekat angka IKH ke 100 berarti kualitas hidup penduduk makin tinggi pula. Demikian pula sebaliknya. Sebagai patokan umum dalam mengukur kualitas hidup pada masingmasing wilayah, maka pengelompokannya adalah sebagai berikut: kualitas hidup rendah : IKH < 50 kualitas hidup sedang : 50 < IKH < 75 kualitas hidup tinggi : IKH > 75
30
Contoh: Perhitungan IKH dengan menggunakan contoh angka IMR, LE dan LR yang ditemukan di sebelumnya yaitu masing-masing 85, 58, dan 72,5 akan menghasilkan IKH sebagai berikut: IKH = 1/3 [{(229-85)/2,22} + {(58-38)/0,39} + 72,5] IKH = 62,8 Berdasarkan pengelompokan sebelumnya, maka angka IKH yang dihasilkan dari perhitungan diatas yakni 62,8 adalah termasuk kategori sedang. Kelebihan: - Berlaku umum bagi berbagai model pembangunan. - Terhindar dari ukuran-ukuran yang menggambarkan nilai khusus masyarakat tertentu - Mengukur hasil/output proses pertumbuhan ekonomi (pembangunan). - Sederhana dan prosesnya mudah dimengerti - Dapat dibandingkan (comparable) secara internasional. Kelemahan - Data indikator mengenai ketiga faktor dalam IKH seringkali kurang tersedia di setiap kabupaten - Angka IKH ini kurang tajam dalam mengukur tingkat pendapatan masyarakat, padahal tingkat pendapatan sering pula dijadikan tolok ukur kualitas kehidupan ekonomi masyarakat. 7. Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat Indikator tingkat pendidikan dapat mengukur sejauh mana perkembangan wawasan, aspirasi, pengetahuan dan keterampilan penduduk untuk meningkatkan kemampuannya mengolah sumberdaya alam serta untuk mengembangkan hubungan-hubungan sosialnya. Untuk maksud ini terdapat 3 metoda pengukuran yang dinilai cukup valid untuk mengukur perkembangan pendidikan dimaksud, yaitu : (i)
Rasio Pendaftaran Sekolah (Enrolment Ratio)
Metode ini mengukur proporsi anak usia sekolah yang benar-benar sudah terdaftar di sekolah menurut jenjangnya masing-masing. Menurut kelompok usianya, maka ukuran Enrolment Ratio (ER) dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu: - ER untuk SD bagi usia 7-12 tahun - ER untuk SLTP bagi usia 13-15 tahun - ER untuk SLTA bagi usia 16-18 tahun
31
Langkah pertama untuk menghitung ER ialah mengumpulkan data mengenai jumlah anak seluruhnya pada kelompok umur 7-12 tahun; 13-15 tahun; dan 16-18 tahun. Kemudian dikumpulkan pula data mengenai jumlah anak pada masing-masing kelompok umur yang benar-benar terdaftar di sekolah. Kedua macam data tersebut cukup mudah diperoleh dari instansi terkait seperti DIKBUD atau Kantor Statistik. Setelah data tersebut diperoleh maka ER untuk masing-masing jenjang sekolah dapat dihitung dengan rumus : ERi =
jumlah anak usia (i) yang bersekolah jumlah anak usia (i)
dengan (i) menunjukkan kelompok usia atau jenjang pendidikan masingmasing. Contoh: Pada suatu kabupaten jumlah anak usia 13-15 tahun adalah 81.500 orang. Diantara jumlah itu terdapat 56.200 yang sedang bersekolah ditingkat SLTP, maka ER-nya (tingkat SLTP) adalah: (56.200 / 81.500) * 100 = 68,9 Dengan cara yang sama dapat dihitung ER untuk SD dan SLTA. Sebagai patokan penilaian, ER yang dinilai menunjukkan perkembangan pendidikan yang tinggi adalah: - SD = 100 atau mendekati 100 - SLTP = sekitar 80 - SLTA = sekitar 60 Kelebihan: - Mudah dihitung dan datanya mudah diperoleh. - Mudah dibandingkan dengan wilayah atau daerah lain karena sangat umum digunakan untuk memantau perkembangan pendidikan masyarakat. Kelemahan : - Belum menggambarkan kualitas pendidikan itu sendiri. Sehingga suatu wilayah yang lebih tinggi Enrolment Ratio-nya belum otomatis juga lebih tinggi perkembangan tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakatnya dibandingkan dengan wilayah yang lebih rendah ERnya.
32
(ii) Status Pendidikan (Educational Attainment) Metoda ini mengukur jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Jadi dapat dipakai untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia, terutama yang berhubungan dengan aspek wawasan, pengetahuan dan keterampilan. Ukuran yang umum digunakan ialah mengelompokkan penduduk usia 10 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan formil yang telah diselesaikan ke dalam 7 kelompok sebagai berikut: - tidak sekolah (TS) - tidak tammat SD (TTSD) - SD tammat - SLTP - SLTA - Akademi - Universitas / Institut / Sekolah Tinggi Pengelompokan di atas 32ector32e mudah dilakukan karena datanya banyak tersedia pada instansi-instansi yang berkompoten seperti BAPPEDA, Kantor Statistik, dan Kantor DIKBUD setempat. Penyederhanaan 32ector32e32 status pendidikan ini dapat dilakukan dengan membagi dua penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kelompok pendidikan formil yang telah diselesaikan, yaitu menjadi: - penduduk berpendidikan kurang dari SLTP - penduduk berpendidikan SLTP ke atas. Alasan pengelompokan di atas ialah bahwa dengan melewati SLTP ke atas seseorang telah mengalami peningkatan wawasan dan pengetahuan secara cukup substantial, yang memperbesar aksesnya terhadap berbagai macam informasi dan keterampilan yang diperlukan dalam pengembangan sumberdayanya. Makin besar proporsi penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas berarti kualitas sumberdaya manusia semakin tinggi pula. Sebagai patokan umum, suatu wilayah dapat dinilai tinggi status pendidikan penduduknya apabila proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas mencapai minimal 40%. Kelebihan: Data yang dibutuhkan mudah diperoleh demikian pula proses perhitungannya. Ukuran ini juga sudah langsung menggambarkan secara umum tingkat kualitas sumber daya manusia dengan melihat jenjang pendidikan formilnya masing-masing. Kelemahan :
33
Seringkali data yang diperoleh kurang akurat atau kurang 33ector. Sebab pendataan yang demikian ini biasanya dilakukan paling cepat lima tahun sekali sejalan dengan pelaksanaan sensus atau survey penduduk antar sensus. (iii) Rasio Guru dan Murid Metode ini mengukur jumlah murid yang dilayani oleh setiap guru dalam proses belajar mengajar, jadi secara tidak langsung mengukur kualitas proses pendidikan di suatu wilayah. Perhitungan Rasio Guru-Murid dilakukan menurut jenjang pendidikan, yaitu rasio guru-murid pada SD, SLTP dan SLTA. Data yang diperlukan ialah jumlah guru serta jumlah murid/siswa keseluruhan-nya di suatu wilayah menurut jenjangnya masing-masing. Cara perhitungannya ialah dengan rumus sederhana: Ratio Guru dan Murid
jumlah murid ________________ jumlah guru
Contoh: Di kabupaten X terdapat 87.500 murid SD, dengan jumlah guru sebanyak 1950 orang, maka rasio guru-murid untuk tingkat SD adalah : 87500 / 1950 = 44,9 dibulatkan menjadi 45. Artinya setiap guru SD di kabupaten ini melayani rata-rata 45 orang murid. Dengan prosedur yang sama dapat dihitung rasio guru-murid pada tingkat SLTP das SLTA. Makin kecil rasio guru-murid menunjukkan makin tingginya intensitas proses belajar mengajar, yang berarti pula makin tingginya kualitas proses pendidikan di wilayah yang bersangkutan. Sebagai patokan umum dalam penilaian, rasio guru-murid yang dinilai baik dan mampu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara nyata adalah: - SD = 1: 30 sampai 40 - SLTP = 1: 20 sampai 25 - SLTA = 1:15 sampai 20 Kelebihan : Mudah dihitung dan datanyapun mudah diperoleh, karena data mengenai rasio guru-murid ini setiap tahun diremajakan oleh Kantor Depdikbud. Kelebihan lainnya adalah metoda ini dapat menjelaskan kualitas dari proses pendidikan yang terjadi pada suatu wilayah. Kelemahan : Metoda ini menjelaskan perkembangan proses belajar mengajar dikalangan penduduk yang hanya sementara terdaftar pada pendidikan
34
formal. Jadi tidak mampu mengukur kegiatan pendidikan di luar persekolahan (pendidikan formal). Kelemahan lainnya ialah metoda ini belum menggambarkan penyebaran guru-guru menurut subjek pendidikan, melainkan hanya penyebaran menurut jumlah totalnya saja. 6. Metode Partisipasi Kelembagaan Metoda ini digunakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa Departemen Dalam Negeri untuk mengukur sampai sejauh mana lembaga kemasyarakatan formal yang ada, telah melakukan fungsinya dengan baik. Dengan mengukur aktifitas lembaga tersebut, maka sebenarnya berarti pula mengukur partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan, karena lembaga-lembaga formal tersebut merupakan pula wadah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan. Di antara keseluruhan lembaga formal yang ada ditengah-tengah masyarakat desa/kelurahan, ada empat yang merupakan inti, dalam arti pembentukan dan pembinaannya dilakukan serentak di seluruh Indonesia, dan berdasarkan pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Ke empat lembaga format dimaksud adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Koperasi Unit Desa (KUD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Karang Taruna. LKMD merupakan lembaga kemasyarakatan yang keberadaannya di tiap desa dan kelurahan didasarkan atas Undang-Undang No.5/1979 tentang penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan. LKMD merupakan wadah koordinasi dan pelaksanaan berbagai aspek kegiatan masyarakat. KUD merupakan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi menyalurkan atau mengkoordinasikan aktivitas perekonomian masyarakat PKK merupakan lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan berbagai kegiatan kaum wanita, sedangkan Karang Taruna mewadahi berbagai kegiatan kaum remaja dan pemuda. Mengingat fungsi dari keempat lembaga tersebut yang mewakili 34ector semua lapisan masyarakat, maka keempatnya dipilih sebagai 34ector34e34 untuk mengukur sampai sejauh mana potensi kelembagaan dalam masyarakat mampu mendorong produktivitas mereka. Informasi yang dibutuhkan untuk pengukuran ini adalah data kegiatan lembaga-lembaga yang dimaksud, baik kegiatan administratifnya maupun
35
kegiatan operasionalnya masing-masing. Data ini dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan mengadakan pengamatan di lapang dengan menghimpun informasi dari kalangan masyarakat setempat tentang aktifitas lembaga yang dimaksud. Tetapi karena cara langsung ini memerlukan waktu dan biaya yang besar, maka disarankan untuk mengumpulkan data tersebut dari Kantor Pemerintah Wilayah setempat cq. Kantor Pembangunan Desa (BANGDES). Kantor ini melakukan monitoring setiap tahun mengenai perkembangan pembangunan desa, dimana aspek kegiatan lembagalembaga kemasyarakatan merupakan salah satu indikator yang diukur. Langkah-langkah pengukuran potensi kelembagaan dengan menggunakan metoda partisipasi kelembagaan tersebut di atas adalah sebagai berikut: Keempat lembaga yang disebutkan di atas, diukur aktivitasnya (di tingkat desa) dan hasilnya dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu: a. Aktif; dengan kondisi utama : kegiatan pengurusnya berjalan baik administrasi perkantoran berjalanteratur mempunyai kegiatan-kegiatan nyata sesuai yang digariskan oleh pedoman dasar lembaga atau oleh keputusan-keputusan rapat. b. Berkembang; dengan kendala utama : kepengurusannya belum terkonsolidasi dengan baik, misalnya rapat sangat jarang diadakan. administrasi kantor belum teratur, misalnya belum ada jadwal berkantor bagi pengurus. kegiatan-kegiatan yang dilakukan belum lancar dan belum terjadwal dengan baik. c. Passif; dengan kendala utama : kepengurusan belum berfungsi perkantoran belum berjalan, atau bahkan belum punya kantor. kegiatan-kegiatan belum ada yang melembaga. Hasil pengelompokan lembaga-lembaga seperti disebut di atas telah tersedia di Kantor BANGDES setempat. Tahap selanjutnya, pengelompokan tersebut diagregasikan ke tingkat kabupaten, serta diberikan skor masing-masing sebagai berikut: a. Tinggi: Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 70% atau lebih dari seluruh lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam skala 8-10.
36
b. Sedang: Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 50%-69% dari seluruh lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam skala 5-7. c. Rendah: Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat kurang dari 50% diantara lembaga dimaksud masuk dalam kelompok Aktif. Diberi skor 1-4. Dengan cara agregasi ini maka pada tingkat kabupaten akan diperoleh 36ecto pengelompokan lembaga-lembaga yang diukur menurut tingkat aktifitas dan skornya masing-masing sebagai berikut: LEMBAGA LKMD KUD PKK KARANG TARUNA
RENDAH (SKOR) 1-4 1-4 1-4 1-4
SEDANG (SKOR) 5-7 5-7 5-7 5-7
TINGGI (SKOR) 8-10 8-10 8-10 8-10
Terakhir, dengan menghitung skor kumulatif dari keempat lembaga tersebut di atas maka dapat dinilai tinggi rendahnya potensi kelembagaan pada kabupaten yang bersangkutan dengan klasifikasi sebagai berikut: - rendah : memiliki skor < 27 - sedang : memiliki skor antara 27 – 33 - tinggi : memiliki skor > 33 Contoh: Suatu kabupaten dengan pengelompokan tingkat aktifitas kelembagaan sebagai berikut: LEMBAGA PENILAIAN LKMD TINGGI KUD SEDANG PKK TINGGI K. TARUNA RENDAH SKOR KUMULATIF
SKOR 9 6 8 4 27
Dengan skor kumulatif 27, maka potensi kelembagaan di kabupaten yang bersangkutan dapat diklasifikasikan sedang. Kelebihan :
37
- Sederhana perhitungannya dan datanya sangat mudah diperoleh, karena pihak Pemda cq. Kantor BANGDES secara rutin mengadakan pemantauan dan evaluasi. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai data dalam pengukuran ini. Kelemahan: - Penilaian terhadap tingkat kegiatan lembaga yang dimaksud 37ect bersifat subjektif dari pihak yang dinilai. - Ada kemungkinan lembaga yang dinilai tersebut sangat aktif, hanya karena ditunjang oleh mobilisasi aparat pemerintah setempat, tetapi kurang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. 7. Analisis Dinamika Sosial Masyarakat Analisis dinamika sosial masyarakat diarahkan untuk mengetahui sampai sejauh mana norma-norma sosial budaya atau tata nilai yang dianut mempengaruhi pola sosial dan pola prilaku para warga masyarakat, baik dalam arti positif maupun negatif. Pengaruh sistem nilai ini akan mempengaruhi dinamika sosial masyarakat secara keseluruhan dan pada gilirannya akan mendorong atau menghambat usaha-usaha peningkatan produktivitas masyarakat. Walaupun masalah sistem nilai budaya bersifat abstrak, namun terdapat beberapa pendekatan yang cukup baik untuk dipakai menilai pengaruh sosial budaya tersebut terhadap dinamika sosial masyarakat, misalnya pendekatan yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri. Pendekatan dimaksud mengelompokkan masyarakat menurut keterikatan para individu/keluarga dengan nilai-nilai budaya yang dianut ke dalam tiga golongan, yaitu: (i) Masyarakat Terbuka Yaitu masyarakat yang sebagian besar keluarga dalam masyarakat tersebut telah terbuka terhadap inovasi atau pengaruh baru dari luar, baik dalam bentuk teknologi, maupun dalam cara berfikir dan berprilaku. Ciri masyarakat terbuka yang dapat diobservasi antara lain : - Rasional dalam interaksi faktor-faktor dominan, dibarengi dengan menurunnya nilai gotong royong. - Rasional dalam hubungan manusia dengan lingkungan alam, dibarengi dengan semakin berkurangnya berbagai macam ritualritual tradisional. - Kegiatan ekonomi masyarakat didominasi oleh orientasi komersial, menggantikan oririentasi sub-sistem. (ii) Masyarakat Transisi
38
Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar keluarga dalam masyarakat tersebut disamping masih dipengaruhi oleh nilai budaya tradisional, juga telah mulai dapat menerima pengaruhpengaruh baru dari luar. Ciri-ciri dari masyarakat transisi antara lain: - Rasionalisme dalam interaksi sosial umumnya masih terbatas pada aspek-aspek perekonomian. Sementara pada aspek non-ekonomi masih dipengaruhi oleh faktor emosional dan solidaritas kelompok. - Selain menerima ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengolahan sumberdaya alam, Faktor-faktor kepercayaan tradisional masih juga berpengaruh. Ditandai dengan masih banyaknya upacara tradisional yang berhubungan dengan aktivitas dan siklus hidup. (iii) Masyarakat Tradisional Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar warganya masih didominasi oleh nilai-nilai tradisional yang diwarisi secara turun temurun. Ciri utama masyarakat tradisional antara lain: - Interaksi sosial antara warga masyarakat masih didominasi oleh semangat solidaritas kelompok yang sifatnya cenderung emosional dan subyektif. - Hubungan dengan alam sekelilingnya masih amat didominasi oleh kepercayaan tradisional. Upacara-upacara tradisional sangat mewarnai aktivitas warga masyarakat dalam berbagai 38ector kehidupan. - Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya bersifat sub-sistem untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dalam jangka pendek. Data yang diperlukan dalam penilaian ini dapat diperoleh melalui penelitian langsung di lapang, tetapi dapat pula dicari pada kantor Bangdes setempat, yang merupakan bagian dari evaluasi tahunan untuk menilai perkembangan desa/kelurahan dari swadaya ke swakarya/swasembada. 10. Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah Metoda perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah digunakan untuk membandingkan tingkat atau derajat perkembangan subwilayah yang terdapat pada suatu wilayah dengan menggunakan beberapa indikator sosial-ekonomi. Metoda ini berbasis pada metoda pembobotan (ranking methods) dan terdiri atas beberapa langkah, yaitu :
39
1. Menentukan indikator sosial ekonomi. Indikator sosial ekonomi dimaksud disini adalah indikator yang secara langsung maupun tidak langsung mengukur tingkat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti: keadaan perumahan, tingkat pendidikan, derajat kesehatan, kesempatan kerja, dan aksesibilitas ke fasilitas pelayanan umum dan ke sumber-sumber informasi. a. Perumahan Keadaan perumahan dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator seperti persentasi jumlah rumah tangga yang memiliki (i) sumber air bersih, (ii) WC, (iii) listrik dan (iv) kondisi rumah, diukur dengan sekurangnya dua dari tiga elemen utama bangunan rumah (dinding, atap dan lantai) terbuat dari bahan permanen. b. Pendidikan Tingkat pendidikan diukur dengan indikator : (i) persentase / jumlah penduduk yang melek huruf, (ii) persentasi jumlah anak usia sekolah yang bersekolah dan (iii) persentasi murid SMP dibandingkan dengan jumlah penduduk, (iv) persentase jumlah penduduk yang lulus sekolah (pada tingkatan tertentu) terhadap jumlah penduduk, dan indikator lainnya. c. Kesehatan Derajat kesehatan antara lam dapat diukur dengan tingkat pelayanan kesehatan dengan indikator berupa (i) jumlah fasilitas pelayanan kesehatan untuk setiap luasan wilayah tertentu, (ii) jumlah dokter / paramedis untuk setiap 1000-orang penduduk, (iii) jumlah tempat tidur di rumah sakit untuk setiap 1000 orang penduduk dan (iv) jumlah kematian balita atau tingkat mortalitas penduduk. d. Kesempatan kerja Persentasi jumlah penduduk usia kerja yang bekerja dapat digunakan sebagai indikator kesempatan kerja. e. Tingkat Aksesibilitas Aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan antara lain dapat diukur dengan jarak dan kondisi jalan, sedangkan aksesibilitas ke sumbersumber informasi dapat diukur dengan (i) persentase jumlah fasilitas komunikasi (telefon misalnya), (ii) jumlah pesawat radio, dan (iii) jumlah pesawat TV, masing-masing dihitung per 1000 orang penduduk.
40
Indikator-indikator pembanding yang disebutkan di atas merupakan alternatif. Para penyusun rencana tata ruang dianjurkan untuk memperkayanya, yaitu antara lain dengan menggunakan serangkaian informasi yang berkaitan dengan tingkat perkembangan sosial dan ekonomi yang dijabarkan pada bab 6 Buku Pedoman Teknik Penataan Ruang Wilayah. Makin bervariasi jumlah indikator yang digunakan akan semakin akurat pula indeks tingkat perkembangan wilayah yang dihasilkan. Nama dan atau kode dari setiap indikator yang berhasil diidentifikasi tadi ditulis berderet dalam satu baris yang sama. 2. Mengumpulkan dan mengisi data ke dalam tabel. Data-data yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut dari setiap sub wilayah perencanaan dikumpulkan dan diletakkan tepat dibawah nama dan atau kode indikatornya masing-masing, dimulai dari sub wilayah perencanaan yang pertama pada baris kedua, data dari sub wilayah perencanaan yang kedua pada baris yang ketiga, dan seterusnya. 3. Pemberian nilai. Nilai nominal yang diperoleh pada langkah kedua diberi nilai dengan cara sebagai berikut: - membagi rentang nilai yang ada untuk setiap indikator menjadi 3 kelompok. - indikator yang memiliki nilai yang termasuk ke dalam kelompok dengan rentang nilai terbesar diberi nilai 3, yang termasuk dalam kelompok dengan rentang nilai terbesar kedua diberi nilai 2, dan sisanya diberi nilai 1. - langkah pada butir di atas diulangi untuk setiap indikator yang ada. 4. Pemberian bobot untuk setiap indikator Setiap indikator memiliki kontribusi yang berlainan terhadap pencapaian derajat kesejahteraan yang diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu setiap indikator perlu diberi bobot yang sebanding dengan kontribusinya masing-masing. Besar bobot untuk setiap indikator tergantung kepada penilaian si perencana. 5. Menghitung indeks perkembangan pada sub-wilayah. Nilai yang diperoleh untuk setiap indikator, setelah dikalikan dengan bobotnya masing-masing, dijumlahkan dan hasilnya merupakan indeks tingkat perkembangan yang dicari.
41
6. Interpretasi Hasil. Hasil perhitungan indeks tingkat perkembangan wilayah dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kelompok dengan indeks perkembangan tertinggi diinterpretasikan sebagai sub wilayah yang memiliki tingkat perkembangan terbaik dibandingkan dengan sub wilayah lainnya yang ada di dalam lingkup wilayah perencanaan. Kelompok dengan indeks perkembangan menengah merupakan sub wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan yang terakhir, yaitu kelompok yang memiliki nilai terkecil merupakan kelompok sub wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang terbelakang dibanding dengan sub wilayah lainnya. Contoh Perhitungan. Contoh perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah dengan menggunakan data Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Data dari berbagai indikator. sosial ekonomi diperlihatkan pada Tabel 2.5 sampai dengan 2.9 Tabel 2.5. Indikator Perumahan Kecamatan 1. Mandai 2. Tanralili 3. Camba 4. Mallawa 5. Bantimurung 6. Maros Baru 7. Maros Utara
Persentase Jumlah Rumah Yang Memiliki Kondisi Perumahan Sumber Air WC Listrik 24,65 8,12 47,59 43,55 4,83 1,55 2,51 38,09 6,00 1,92 10,73 42,01 12,46 3,99 9,88 44,51 3,76 1,20 6,88 34,15 11,81 3,79 2,68 28,17 35,53 11,40 19,57 47,08 Tabel 2.6. Indikator Pendidikan
Kecamatan 1. Mandai 2. Tanralili 3. Camba 4. Mallawa 5. Bantimurung 6. Maros Baru 7. Maros Utara
% Melek Huruf 76,87 75,53 72,52 29,74 84,16 94,81 78,80
% Pend. Terdaftar di SD SLTP 70,35 6,31 40,81 1,57 50,43 2,3931,97 2,48 49,21 2,71 81,23 3,85 65,10 5,24
% Pend. Lulus Dari f SD SLTP 21,14 13,43 8,30 3,97 10,37 6,49 12,36 7,51 11,55 6,71 21,27 10,91 15,16 8,00
42
Tabel 2.7. Indikator Kesehatan Kecamatan
Fasilitas Dokter Kesehatan 0,0634 0,11 0,0086 0,07 0,0108 0,08 0,0146 0,18 0,0111 0,04 0,0196 0,12 0,0226 0,16
Para medis 0,66 0,43 0,45 1,09 0,21 0,31 0,8ft
Dukun
Tingkat Mortalitas 59 67 72 69 70 48 62
1. Mandai 0,87 2. Tanralili 0,67 3. Camba 0,72 4. Mallawa 1,90 5. Bantimurung 0,48 6. Maros Baru 0,38 7. Maros Utara 1,01 Catatan: Kolom 2,3,4 dan 5 menyatakan angka untuk setiap 1000 orang penduduk Tabel 2.8. Indikator Kesempatan Kerja Kecamatan
% jumlah penduduk yang bekerja 15,11 5,11 6,00 14,81 3,06 23,68 41,75
1. Mandai 2. Tanralili 3. Camba 4. Mallawa 5. Bantimurung 6. Maros Baru 7. Maros Utara
Tabel 2.9. Indikator Aksesibilitas Kecamatan
Telepon
TV
Radio
1. Mandai 2. Tanralili 3. Camba 4. Mallawa 5. Bantimurung 6. Maros Bam 7. Maros Utara
1,95 0 0 0 1,58 11,20 14,75
12 8 7 6 9 17 15
72 62 55 53 63 87 76
Jarak ke Ibukota Kab. 10-15 20-25 30-35 20-25 20-25 0-5 10-15
Catatan: Kolom 2,3 dan 4 dinyatakan untuk setiap 1000 orang penduduk.
Kondisi Jalan 21,85 14,21 18,76 10,21 16,45 36,65 29,17
43
Perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah diperlihatkan pada Tabel 10. Pada perhitungan ini setiap indikator diberi bobot yang sama atas dasar asumsi bahwa indikator-indikator tersebut memberikan kontribusi yang sama terhadap pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini diperoleh nilai total (yang dicantumkan pada kolom terakhir), yaitu dengan menjumlahkan nilai rata-rata dari setiap indikator. Hasil pembobotan di atas memperlihatkan bahwa kecamatan Maros Utara dan kecamatan Mandai tergolong sebagai kecamatan yang paling berkembang, kecamatan Maros Bam memiliki tingkat perkembangan menengah, sedangkan kecamatan lainnya termasuk dalam kelompok kecamatan yang memiliki tingkat perkembangan yang relatif terkebelakang. Untuk mendapatkan basil yang lebih akurat, maka komponenkomponen dari setiap indikator dapat pula diberi bobot. Misalnya untuk indikator kesehatan, bobot yang diberikan kepada Dokter seyogyanya berbeda dengan yang diberikan kepada Para Medis atau Dukun. Babkan untuk lebih akurat lagi, komponen-komponen dari setiap indikator perlu dikelompokkan terlebih dahulu sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, kemudian untuk setiap kelompok yang terbentuk dilakukan lagi pembobotan. Sebagai contoh, pendekatan pembobotan bertingkat dimaksud dilakukan untuk indikator kesehatan. Dari data terlihat bahwa komponen indikator tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu yang menyangkut sarana kesehatan (jumlah fasilitas pelayanan kesehatan per 1 Km luas wilayah), tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan dukun), dan tingkat mortalitas. Jika ketiganya diasumsikan memiliki kontribusi yang sama terhadap derajat kesehatan, maka bobot yang diberikan harus sama, yaitu masing-masing mendapat 33,33 %. Bobot ini untuk tenaga kesehatan selanjutnya dibagi lagi untuk dokter, paramedis dan dukun. Misalnya 1 tenaga dokter dianggap setara dengan 6 paramedis dan setara dengan 2 dukun , maka bobot untuk dokter adalah 20 %, paramedis 3,33 %, dan dukun memperoleh bobot 10 %.
44
Tabel 2.10. Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan PERUMAHAN PENDIDIKAN KESEHATAN KK AKSESIBILITAS KECAMATAN 1. Mandai 2. Tanralili 3. Camba 4. Mallawa 5. Bantimurung 6. Maros Baru $. Marps Utara Al A2 A3 A4 A
TO TAL
Al A2 A3 A4 A5 Bl B2 B3 B4 B5 B6 C1 C2 C3 C4 C5 C
Dl E1 E2 E3 E4 E5
E
2
1 1 1 1 1 2 3
8 10,4 6 6,3 7 6,7 6 7,5 6 6.2 13 9,6 13 13,2
3
3 1 1 1 1 1 2
3 2 3 3 1 1 3
ii 5 6 6 4 4 11
3 3 2 1 3 3 3
3 1 2 1 2 3 3
3* 1 1 1 1 2 3
3 1 1 1 1 3 2
3 1 1 2 1 3 2
15 7 7 6 8 14 13
3
= = = =
2 1 1 3 1 2 3
% rumah yang memiliki sumber air bersih C1 = % rumah yang memiliki WC C2 = % rumah yang memiliki aliran listrik C3 = % rumah yang 2 dari komponen utamanya (lantai, C4 = dinding dan atap) terbuat dari bahan permanen C5 = = Nilai total untuk mdikator perumahan C =
B1 = % penduduk yang mclek huruf B2 = % penduduk usia sekolah (SD) yang terdaftar pada SD B3 = % penduduk usia sekolah (SUIT) yang terdaftar di SLTP B4 = %jumlah penduduk yang lulus SD B5 = %jumlah penduduk yang lulus SLTP B = Nilai total untuk indikator pendidikan D1 = % penduduk usia kerja yang bekerja
E1 E2 E3 E4 E5 E
2 1 1 3 1 1 3
1 1 1 3 1 1 2
2 3 3 3 3 1 2
10 7 7 13 7 6 11
1 1 1 1 1 3 3
2 1 1 1 1 3 3
2 1 1 1 1 3 3
1 2 3 2 2 1 1
2 1 1 1 1 3 3
Jumlah Fasilitas Kesehatan per 1 km luas wilayah Jumlah Dokter per 1000 orang penduduk Jumlah Paramedis per 1000 orang penduduk Jumlah Dukun per 1000 orang penduduk Tingkat Mortalitas Nilai total untuk indikator kesehatan
= Jumlah pesawat telefon per 1000 orang penduduk = Jumlah TV per 1000 orang penduduk = Jumlah Radio per 1000 orang penduduk = Jarak (dalam km) ke Ibu Kota Kecamatan = Kondisi permukaan jalan penghubung ke Ibu Kota Kecamatan = Nilai total untuk indikator aksesibilitas
Keunggulan Metoda ini selain relatif mudah dan membutuhkan data yang umumnya telah tersedia pada hampir semua kabupaten di Indonesia, juga mampu memberikan gambaran tentang tingkat perkembangan relatif dari kecamatan-kecamatan yang ada pada kabupaten yang ditinjau, khususnya yang berkaitan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Dengan demikian dapat ditemukenali kecamatan-kecamatan yang relatif kurang mendapat pelayanan sosial ekonomi yang membutuhkan penanganan khusus agar mampu mencapai tingkat pelayanan yang setara dengan kecamatan lainnya. Kelemahan Hasil analisis hanya merupakan potret dari tingkat perkembangan relatif kecamatan-kecamatan yang terdapat pada kabupaten yang ditinjau, tetapi tidak memberikan informasi tentang penyebab berkembang atau tidak berkembangnya suatu kecamatan. Di samping itu, seperti dengan metoda lain yang berbasis pada skala/ pembobotan, metoda ini cenderung bersifat subyektif. Bobot yang diberikan pada suatu indikator sangat tergantung kepada penilaian si perencana yang umumnya dipengaruhi, secara sadar atau tidak sadar, oleh pertimbangan yang bersifat subyektif. Pemilihan indikator juga merupakan titik kritis keberhasilan metoda ini memberikan gambaran nyata tentang tingkat perkembangan kecamatan. Hasil analisis mungkin kurang tepat disebabkan oleh pemilihan indikator yang kurang mewakili keadaan yang sebenarnya. Hal ini sulit dihindari, utamanya bagi perencana pemula, karena suatu indikator mungkin tepat untuk diterapkan pada suatu wilayah tetapi belum tentu sesuai untuk wilayah lainnya. Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini adalah menghitung terlebih dahulu nilai yang diberikan pada suatu kelompok-indikator, misalnya tingkat aksesibilitas fisik, dengan menggunakan metoda pengukuran aksesibilitas yang telah baku. Dengan pendekatan ini "kekeliruan" dalam pemilihan dan pemberian bobot bagi indikator-indikator aksesibilitas dapat dihindari. Pendekatan ini jelas meminta waktu dan proses analisis yang lebih rumit, tetapi diimbangi dengan basil analisis yang relatif lebih akurat.
1
BAB III ANALISIS EKONOMI WILAYAH Analisis ekonomi wilayah diarahkan untuk menghimpun informasi mengenai kinerja ekonomi kabupaten, potensi dan sektor-sektor yang dapat dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, dan masalah-masalah yang dihadapi. PERTANYAAN / INFORMASI
METODA ANALISIS
1. Bagaimana struktur ekonomi dan 1. Perhitungan sumbangan pergeserannya masing-masing sektor ekonomi dalam PDRB, dan Analisis Shift-Share 2. Bagaimana laju pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir
2. Perhitungan pertumbuhan ekonomi
3. Bagaimana laju pertumbuhan pendapatan / produktivitas per kapita
3. Perhitungan laju pertumbuhan pendapatan / produktivitas
4. Sektor-sektor mana saja yang termasuk sektor basis dan sektor unggulan
4. Location Quotient, Analisis Input Output dan Analisis ShiftShare
5. Keterkaitan antar sektor dalam kabupaten
5. Analisis Input Output
6. Bagaimana keterkaitan kesempatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi / sektor
6. Analisis Input Output
7. Apakah komoditas yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif atau tidak
7. Revealed ComparativeAdvantage, dan Biaya Sumberdaya Domestik
8. Bagaimana aspek pemerataan pendapatan
8. Kurva Lorenz dan Gini Ratio
9. Bagaimana penyebaran aktivitas 9. Indekss Distribusi dan Asosiasi ekonomi dalam wilayah yang ditinjau.
2
1. Struktur Ekonomi dan Pergeserannya Analisis struktur ekonomi digunakan untuk mengetahui sumbangan atau peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam perekonomian kabupaten secara keseluruhan dalam suatu tahun tertentu. Dengan kata lain, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya persentase masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupate/kota. Struktur ekonomi ini bisa mempunyai pengertian yang dinamis apabila struktur ekonomi tersebut tidak dibatasi pada suatu tahun tertentu saja, melainkan dalam suatu rangkaian waktu, sehingga dapat dilihat proses pergeseran struktur ekonomi. Untuk mengukur struktur ekonomi kabupaten digunakan rumus: Nilai PDRB setiap sektor Struktur Ekonomi =
* 100% Nilai PDRB total
Contoh : Kegiatan ekonomi suatu kabupaten A dikelompokkan dalam tiga sektor utama, yakni pertanian, industri, dan jasa dengan PDRB sebagai berikut: SEKTOR Pertanian Industri Jasa Total
PDRB/SEKTOR Rp. 625.000,Rp. 125.000,Rp, 90.000,Rp. 840.000,-
% DALAM PDRB 625.000/840.000*100% = 74% 125.000/840.000*100% = 15% 90.000/ 840.000 * 100% = 11%
Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa struktur ekonomi kabupaten A didominasi oleh sektor pertanian karena sumbangan sektor tersebut paling besar, yakni 74 persen. Berhubung peranan sektor pertanian dominan pada hampir semua kabupaten di Indonesia, maka yang dimaksud pergerakan struktur ekonomi adalah menurunnya peranan sektor pertanian dalam PDRB dari tahun ke tahun dan digantikan oleh sektor-sektor non-pertanian terutama industri. Jadi untuk mengukur pergeseran struktur ekonomi, diperlukan perhitungan struktur ekonomi dalam rangkaian waktu (beberapa tahun) sehingga nampak perubahan peranan masing-masing sektor dalam PDRB Data yang diperlukan: - Untuk perhitungan struktur ekonomi, data yang dibutuhkan adalah PDRB per sektor menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan pada tahun tertentu.
3
- Untuk perhitungan pergeseran struktur ekonomi, data yang dibutuhkan adalah PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan dalam beberapa tahun. Keunggulan : Metoda analisis ini sangat mudah dilakukan karena datanya tersedia pada hampir semua kabupaten dengan pembagian sektor yang lebih rinci. Kelemahan : Salah satu kelemahan dari metoda analisis ini bersumber pada kelemahan pengukuran PDRB itu sendiri, yakni hanya mengukur kegiatan produksi yang melalui transaksi pasar. Disamping itu, metoda analisis ini tidak mampu mendeteksi faktor-faktor penyebab pergeseran struktur ekonomi dalam suatu kabupaten. 2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Analisis ini digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi kabupaten dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya selama Pelita atau periode tertentu, tetapi dapat pula secara tahunan. Laju pertumbuhan ekonomi diukur melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun. Cara menghitung laju pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan tiga metoda, yaitu: 1. Cara Tahunan PDRBx - PDRBx-1 Laju Pertumbuhan PDRBx = * 100% PDRBx-1 dengan PDRBx = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun tertentu PDRBx-1 = Pendapatan Domestik Regional Bruto 1 tahun sebelumnya. Contoh : Jika PDRB tahun 1983 sebesar Rp.73.697,6 miliar dan tahun 1984 Rp.77.996,8 milliar, maka laju pertumbuhan ekonomi adalah : Laju Pertumbuhan Ekonomi = {(77.996,8 – 73.697,6) / 73.697,6} * 100 % = 5,8 % 2. Cara rata-rata setiap tahun : PDRBn r n 1 1*100% PDRBo
4
Keterangan: r n PDRBn PDRBo
= laju pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun = jumlah tahun = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun terakhir periode = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun awal periode
Contoh : PDRB tahun awal Pelita II (1973) sebesar Rp.9.566,5 miliar dan PDRB akhir Pelita II (1978) sebesar Rp.6.753,4 miliar. n=6 r n 1
9.566,5 1 6.753,4
r 5 1,4165 1
log r log r
= {1/5 log 1,4165} – 1 = 0,030243 - 1 = anti log 0,030243 - 1 = 7,2%
3. Dengan Compounding Factor: PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )n-1 dengan (1 + r)n-1 = mencerminkan compounding factor Contoh: Dengan data yang sama dengan contoh sebelumnya, laju pertumbuhan ekonomi dihitung kembali dengan menggunakan metoda compounding factor : PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )n-1 (1 + r) n-1 = PDRBn / PDRBo (1 + r) 6-1 = 9.566,5 / 6.753,4 = 1,416545 Dengan menggunakan tabel compounding factor diperoleh nilai r yang mendekati, yakni pada tingkat 7,2%. Data yang diperlukan : Sama dengan perhitungan struktur ekonomi dan pergeserannya, metoda analisis ini membutuhkan data PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan Keunggulan : Perhitungannya relatif mudah dan data yang diperlukan tersedia pada hampir semua kabupaten. Kelemahan: Sama pada metoda analisis struktur ekonomi.
5
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita Dengan metoda analisis ini dapat diketahui pendapatan per kapita yang menunjukkan kemampuan yang nyata dari suatu kabupaten dalam menghasilkan barang dan jasa. Pada umumnya pendapatan per kapita disebut juga produktivitas per kapita. Sesungguhnya ini hanya soal istilah karena cara perhitungan yang digunakan sama. Suatu wilayah kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang tergolong besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, mempunyai tantangan yang lebih besar daripada kabupaten yang tergolong kecil dengan laju pertumbuhan rendah. Tingkat kemajuan suatu kabupaten secara riel: dapat ditunjukkan dengan indikator berikut: ix = Laju Pertumbuhan PDRBx – r dengan: r = laju pertumbuhan penduduk (%) i = laju pendapatan per kapita, jika angkanya negatif berarti kemerosotan x = tahun tertentu
Sedangkan tingkat produktivitas per kapita suatu kabupaten dapat diukur dengan indikator: npx = PDRBx / Px dengan np = nilai produktivitas kabupaten per kapita, sering disebut juga pendapatan per kapita P = jumlah penduduk x = tahun tertentu Contoh : 1. Laju pertumbuhan PDRB tahun 1978 sebesar 7% dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun dalam periode 1971-1980 2,1%. Dengan demikian laju produktivitas / pendapatan per kapita adalah : ix = 7% -2,1% = 4,9%. 2. PDRB tahun 1980 atas dasar harga konstan 1973 sebesar Rp.11.169 juta, sedangkan penduduk tahun 1980 tercatat 125.000 jiwa. Nilai produktivitas per kapita per tahun adalah: npx = Rp. 11.169.000.000 / 125.000 = Rp. 89.352 Data yang diperlukan : PDRB kabupaten menurut harga konstan pada suatu tahun tertentu dan pada periode tertentu, jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.
6
Keunggulan: Di samping perhitungan dan data metoda analisis ini relatif mudah karena tersedia pada hampir semua kabupaten, hasil perhitungan yang diperoleh dapat menggambarkan kemampuan riel kabupaten dalam menghasilkan barang dan jasa karena unsur penduduk digunakan sebagai penimbang dan pengaruh kenaikan harga sudah dihilangkan. Kelemahan: Sama halnya pada perhitungan yang menggunakan rata-rata, metoda analisis ini tidak menggambarkan tingkat kemakmuran pada berbagai pelapisan masyarakat. 4. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor di suatu kabupaten atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau sektor "leading". Location Quotient banyak digunakan sebagai alat yang sederhana untuk mengukur spesialiasi relatif suatu wilayah/kabupaten pada sektorsektor tertentu. Location Quotient ini mempunyai penggunaan yang luas sehingga satuan pengukuran apa saja dapat digunakan untuk menghitungnya. Untuk ilustrasi yang akan digunakan adalah alat ukur yang paling umum, yakni kesempatan kerja (employment). Untuk menghitung Location Quotient kesempatan kerja, maka kesempatan kerja pada sektor tertentu suatu kabupaten dikaitkan dengan peubah acuan (reference variable), yakni kesempatan kerja total pada tingkat kabupaten dan tingkat nasional. Hubungan antara kedua tingkat tersebut dibandingkan dan dianalisis. Kesempatan kerja suatu sektor yang disebut peubah spesialisasi, dikaitkan dengan kesempatan kerja total atau peubah acuan melalui suatu ratio yang sederhana, kemudian ratio tingkat kabupaten dan tingkat nasional dibandingkan melalui ratio yang lain. Jadi Location Quotient merupakan ratio dari ratio. Rumus yang digunakan adalah: LQ =
peubah spesialisasi kabupaten peubah acuan kabupaten peubah spesialisasi nasional peubah acuan nasional
Dalam kasus kesempatan kerja, rumus di atas menjadi: LQ =
jumlah tenaga kerja suatu sektor kabupaten jumlah tenaga kerja seluruh sektor kabupaten jumlah tenaga kerja sektor yang sama nasional jumlah tenaga kerja seluruh sektor nasional
7
Dari perhitungan Location Quotient suatu sektor, aturan umum yang digunakan adalah : - Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yakni sektor yang tingkat spesialisasinya lebih tinggi daripada tingkat nasional. - Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yakni sektor yang tingkat spesialisasinya lebih rendah daripada tingkat nasional. - Jika LQ = 1, tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan tingkat nasional. Contoh : Misalkan pada suatu kabupaten, kesempatan kerja di sektor pertanian adalah 120.000 pada suatu tahun tertentu, kesempatan kerja total kabupaten tersebut adalah 315.000. Dimisalkan juga pada tahun yang sama, kesempatan kerja sektor pertanian nasional adalah 10.000.000 dan kesempatan kerja total nasional 36.000.000. Location Quotient sektor pertanian kabupaten yang bersangkutan adalah: 120.000 315.000 10.000.000 36.000.000
LQ
=
LQ
=
0,38 0,28 = 1,4
Metoda analisis ini memerlukan data sektor kabupaten dan propinsi atau nasional untuk suatu tahun tertentu, atau dalam suatu periode untuk melihat perubahan LQ setiap sektor. Apabila digunakan data PDB dan PDRB, maka sebaiknya data menurut harga konstan yang mencerminkan pendapatan dan produksi riel. Keunggulan : Location Quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan mudah dan cepat. Location quotient dapat digunakan sebagai alat analisis awal untuk suatu kabupaten, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan alat analisis lainnya. Berhubung kesederhanaannya, location quotient dapat dihitung berulang kali untuk setiap peubah spesialisasi dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu.
8
Kelemahan: Perlu diketahui bahwa nilai perhitungan location quotient dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya bias karena tingkat disaggregasi peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan entity yang diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data. 5. Analisis Input-Output Analisis ini menjawab pertanyaan mengenai keterkaitan produksi (production linkages) di antara berbagai kegiatan ekonomi/sektor dalam suatu kabupaten pada suatu tahun tertentu. Hal tersebut tercermin dalam keterkaitan kedepan (forward linkage), keterkaitan kebelakang (backward linkage), dan pengaruh-ganda (multiplier effects) permintaan akhir (final demand) dari konsumen, pemerintah, sektor-sektor ekonomi kabupaten, dan dari luar kabupaten terhadap produksi masing-masing sektor dalam kabupaten yang bersangkutan. Analisis input-output didasarkan pada teori keseimbangan umum (general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan (demand) dan penawaran (supply), memberikan manfaat antara lain: (a) mampu memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian dengan mengkuantifikasikan ketergantungan (interdependency) antar sektor, (b) dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah, penerimaan pajak, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya, (c) dapat digunakan untuk memproyeksi peubah-peubab ekonomi pada butir b di atas, dan (d) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh yang terkuat terhadap pertumbuhan ekonomi (sektor leading) serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian regional dan nasional. Analisis input-output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem perekonomian terdiri dari sejumlah kegiatan ekonomi atau sektor- sektor yang saling berkaitan satu sama lain. Masing-masing sektor menggunakan keluaran (output) dari sektor lain sebagai masukan (input) bagi keluaran yang dihasilkannya dan selanjutnya menjadi masukan pula bagi sektor lain. Transaksi antar sektor ini disebut transaksi-antara atau permintaan antara (intermediate demand). Di samping menjadi masukan sektor lain, terdapat pula keluaran dari suatu sektor yang menjadi masukan bagi sektor itu sendiri, dan sebagai barang konsumsi bagi pemakai akhir (final demand). Dalam suatu input-output yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang dikaji dilandasi oleh tiga asumsi dasar sebagai berikut:
9
- homogenitas atau keseragaman : setiap sektor hanya menghasilkan satu jenis barang dan jasa dengan masukan tunggal. - proporsionalitas atau kesebandingan : kenaikan penggunaan masukan ber-banding lurus dengan kenaikan keluaran. - additivitas atau penjumlahan : efek total dari kegiatan produksi pada berbagai sektor merupakan penjumlahan efek masing-masing kegiatan. Model umum analisis input-output dapat ditulis dalam bentuk notasi matriks sebagai berikut: X = AX + F atau : X = (I-A)-1 F dengan : X A
= =
F I
= =
(I - A) = (I - A)-1 =
jumlah keluaran yang dihasilkan oleh suatu sektor koefisien masukan, yakni keluaran suatu sektor yang dibeli oleh sektor lain sebagai masukan untuk menghasilkan satu unit keluaran permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor matriks identitas, yakni matriks yang elemennya pada diagonal utama adalah satu dan lainnya nol. matriks Leontief matriks kebalikan (inverse) Leontief
Langkah-Langkah Dasar: Langkah 1: Sebagai langkah awal dalam analisis input-output adalah menyusun tabel transaksi. Tabel ini berisi keterangan-keterangan tentang bagaimana, baik dalam satuan kuantitatif fisik atau dalam satuan mata uang, keluaran suatu sektor terdistribusi ke sektorsektor lain sebagai masukan antara dan ke permintaan akhir. Contoh tabel transaksi yang terdiri atas 3 sektor (pertanian, industri dan jasa) diperlihatkan pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Matriks Transaksi Perekonomian Kabupaten X Yang Disederhanakan (dalam Jutaan Rupiah) Alokasi Keluaran Susunan Masukan Masukan Antara
Pertanian Industri Jasa Masukan Upah/Gaji Primer Lainnya Jumlah Masukan
Permintaan Antara Pertanian Industri Jasa 3 33 15 75 24 150
8 10 5 30 27 80
18 9 12 18 60
Permintaan Akhir Rumah Lainnya Tangga 100 21 20 8 30 7 150 36
Jumlah Keluaran 150 80 60 117 69
10
Pembacaan tabel ke samping (baris) menunjukkan bahwa dari jumlah keluaran sektor pertanian sebanyak 150, senilai 3 digunakan oleh sektor pertanian sendiri sebagai masukan, senilai 8 digunakan oleh sektor industri, 18 digunakan oleh sektor jasa, dan sisanya senilai 121 (= 100 + 21) digunakan oleh permintaan akhir sebagai barang konsumsi. Pembacaan tabel ke bawah (kolom) menunjukkan bahwa dari jumlah masukan sektor pertanian senilai 150, senilai 3 berupa masukan dari sektor itu sendiri, senilai 33 masukan dari sektor industri, 15 dari sektor jasa, dan selebihnya senilai 99 ( = 75 + 24) berupa masukan primer yang disebut juga nilai tambah bruto (gross valued added). Total nilai tambah bruto dicantumkan pada kolom terakhir (sel yang diarsir) sebesar 186. Nilai tambah bruto ini mencerminkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten, berupa balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal dari kewiraswataan. Dari cara pemasukan angka-angka dengan sistem matriks dapat dilihat bahwa-tiap angka pada setiap sel muncul dua kali, yakni sebagai elemen baris dan sebagai elemen kolom. Hal ini menunjukkan keterkaitan (interdependency) antar-sektor dalam perekonomian. Tabel transaksi dapat juga ditulis dalam bentuk notasi matriks. Misalkan xij merupakan keluaran sektor i yang digunakan sebagai masukan oleh sektor j, Fi merupakan permintaan akhir terhadap keluaran sektor i, Vi melambangkan nilai tambah sektor i, dan Xj adalah jumlah keluaran sektor j, maka tabel transaksi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut: Baris:
3
x j 1
Kolom:
ij
Fi X i ; untuk i = 1,2,3
3
x i 1
ij
V j X j ; untuk i = 1,2,3
Langkah 2 : Buat tabel kebutuhan langsung (direct requirement table) atau matriks teknologi. Tabel ini bersumber dari tabel transaksi, menunjukkan porsi masukan suatu sektor yang berasal dari sektor lain (termasuk sektor itu sendiri) untuk setiap unit keluaran yang dihasilkan. Koefisien tabel ini (dinamakan koefisien teknologi) dihitung dengan membagi nilai atau elemen setiap kolom sektorantara dalam tabel transaksi dengan masukan total: aij = xij / Xj dari rumus di atas terlihat bahwa aij merupakan rasio yang menunjukkan jumlah keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j sebagai masukan.
11
Cara yang sama dilakukan untuk memperoleh koefisien masukan primer, yaitu dengan membagi elemen kolom dengan jumlah masukan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 menunjukkan bahwa untuk setiap unit yang dihasilkan oleh sektor pertanian, memerlukan masukan 2 persen dari sektor itu sendiri, 22 persen dari sektor industri, 10 persen dari sektor jasa, dan sisanya, 66 persen masukan primer. Untuk memudahkan perhitungan selanjutnya, tanpa memasukkan masukan primer, elemen Tabel 3.2 (aij) dapat disusun dalam bentuk matriks (matriks koefisien masukan) dengan nama matriks A sebagai berikut: 0,02 A 0,22 0,10
0,100 0,125 0,063
0,30 0,15 0,05
Tabel 3.2. Tabel Kebutuhan Langsung (Koefisien Masukan/Teknologi) Keluaran Masukan Masukan Antara
Pertanian Industri Jasa Masukan Primer Masukan Total
Permintaan Antara Pertanian Industri 0,02 0,100 0,22 0,125 0,10 0.063 0,66 0,713 1.00 1,000
jasa 0,30 0,15 0,05 0,50 1,00
Langkah 3 : Tabel selanjutnya yang perlu dibuat adalah tabel jumlah kebutuhan (total requirement table). Tabel ini bersumber dari tabel kebutuhan langsung (Tabel 3.2) yang menunjukkan jumlah masukan langsung dan tidak langsung (masukan untuk menghasilkan masukan) yang diperlukan oleh sektor-sektor perekonomian untuk menghasilkan keluaran guna memenuhi satu unit permintaan akhir. Isi tabel jumlah kebutuhan ini dapat dihitung dengan memanfaatkan matriks koefisien. Matriks tersebut perlu dicari kebalikannya (inverse) dengan prosedur sebagai berikut: a. Buat matriks Leontief, yakni dengan memperkurangkan matriks identitas dengan matriks A:
12
1 ( I A) 0 0
0 1 0
0 0,02 0 0,22 1 0,10
0,100 0,125 0,063
0,30 0,15 0,05
0,98 0,100 0,30 0,22 0,875 0,15 0,10 0,063 0,95 b. Hitung matriks kebalikan (inverse) Leontief, atau (I - A)-1 Metoda untuk meng inverse matriks tidak dijabarkan disini, hanya diberikan hasilnya saja: ( I A)
1
1,09 0,03 0,13
0,15 1,20 0,09
0,37 0,27 1,11
Dari perhitungan yang telah dilakukan dapat disusun tabel jumlah kebutuhan sebagai berikut: Tabel 3.3. Tabel Jumlah Kebutuhan Input-Output Memerlukan masukan Keluaran sektor untuk satu unit permintaan akhir dari sektor Pertanian Industri Jasa Pertanian 1,09 0,15 0,37 Industri 0,30 1,20 0,28 Jasa 0,13 0,09 1,11 Matriks kebalikan Leontief dalam Tabel 3.3 merupakan peralatan utama dalam analisis input-output karena dengan peralatan ini dapat segera dievaluasi pengaruh perubahan permintaan akhir terhadap keluaran bruto sektor-sektor ekonomi. Selain itu, dengan peralatan ini dapat diketahui PDRB dan beberapa bilangan pengganda (multiplier) antar sektor yang saling mempengaruhi secara beruntun dalam proses produksi, dan sekaligus mencerminkan sifat keterkaitan antar sektor, sesuai dasar falsafah teori tabel input-output. Bilangan pengganda yang dimaksud adalah pengganda tenaga kerja (employment multiplier), pengganda pendapatan (income multiplier), dan pengganda keluaran (output multiplier). Contoh Penggunaan: 1. Menghitung keluaran sektor untuk memenuhi permintaan akhir tertentu. Misalkan untuk meningkatkan pendapatan di Kabupaten X, berbagai upaya telah dilakukan sehingga diperkirakan pada tahun berikut
13
permintaan akhir terhadap keluaran sektor pertanian, industri, dan jasa akan meningkat menjadi: Pertanian = 150 Industri = 35 Jasa = 40 Hitung output setiap sektor untuk memenuhi kenaikan permintaan akhir tersebut. Dengan menggunakan matriks kebalikan Leontief, keluaran masingmasing sektor dapat dihitung sebagai berikut: X ' ( I A)
1
1,09 F' 0,03 0,13
0,15 1,20 0,09
0,37 150 0,27 30 1,11 40
184 98 68
Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk memenuhi peningkatan permintaan akhir, maka keluaran sektor pertanian harus sebesar 184, sektor industri 98, dan sektor jasa 68. 2. Menghitung Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun yang akan datang. Untuk menghitung PDRB, maka terlebih dahulu perm diketahui koefisien nilai tambah (value added coefficient), dengan rumus : vi = Vi / X’i atau Vi = vi . X’i dengan: vi = koefisien nilai tambah Vi = nilai tambah sektor i X’I = keluaran sektor i setelah kenaikan permintaan akhir PDRB =
3
V j 1
i
vi . X i
Dari Tabel 3.1 diketahui bahwa: V pertanian = 75 + 24 = 99 V industri = 30 + 27 = 57 V jasa = 12 + 18 = 30 sehingga koefisien nilai tambah setiap sektor V pertanian = 99/150 = 0,66 V industri = 57/80 = 0,71 V jasa = 30/60 = 0,50 dan PDRB adalah : 14
PDRB = (0,66)(184) + (0,71)(98) + (0,50)(68) = 225,02 Dengan demikian, PDRB Kabupaten X diramalkan meningkat menjadi 225 setelah terjadi kenaikan permintaan akhir. 3. Menghitung kesempatan kerja yang tercipta pada masing- masing sektor. Untuk tujuan ini perlu diketahui terlebih dahulu koefisien tenaga kerja dari masing-masing sektor, dengan rumus: Ii = Li / Xi atau Li = Ii . Xi dengan: li = pengganda tenaga kerja Li = kesempatan kerja di sektor i Misalkan kesempatan kerja pada masing-masing sektor di Kabupaten X adalah : L pertanian = 35.000 orang L industri = 11.000 orang L jasa = 7.500 orang maka koefisien tenaga kerja: l pertanian = 35.000/150.000.000 = 0,002333 l industri = 11.000/80.000.000 – 0,000138 l jasa = 7.500/60.000.000 = 0,000125 Kesempatan kerja masing-masing sektor menjadi: l pertanian . X pertanian = (0,002333) . (184.000.000) = 42.933 orang l industri . X industri = (0,000138) . (98.000.000) = 13.475 orang l jasa . X jasa = (0,000125) . (68.000.000) = 8.500 orang Dengan demikian, dapat diketahui tambahan kesempatan kerja yang tercipta akibat peningkatan permintaan akhir terhadap keluaran masingmasing sektor sebagai berikut: Sektor pertanian = 42.933 - 35.000 = 7.933 orang Sektor industri = 13.475 -11.000 = 2.475 orang Sektor jasa = 8.500 - 7.500 = 1.000 orang 4. Pengganda Pendapatan dan Pengganda Kesempatan Kerja. Pengganda pendapatan dan Pengganda kesempatan kerja adalah angka yang menunjukkan berapa kali pendapatan dan kesempatan kerja meningkat sebagai akibat kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor.
15
Pengganda pendapatan dapat dibagi dalam Pengganda Pendapatan Kerja Tipe I dan II, dan Pengganda Kesempatan Kerja. Pengganda Pendapatan Tipe I dan II dibedakan oleh perlakuan rumah tangga dan upah dan gaji. Pada Tipe II, rumah tangga yang tadinya berada pada kolom permintaan akhir, dimasukkan pada permintaan antara, demikian juga upah dan gaji pada masukan antara. Model ini disebut model tertutup (closed model) karena memperlakukan rumah tangga sebagai peubah endogen. Pengganda pendapatan Tipe II tersebut sangat penting dalam perencanaanj angka panjang untuk peningkatan pendapatan di masa yang akan datang. a. Pengganda Pendapatan Tipe I: Pengganda ini dihitung dengan rumus: PPT - Ij =
3
c i 1
ij
.. Pj
dengan: PPT Ij = Pengganda Pendapatan Tipe I sektor j cij = unsur matriks kebalikan Leontief Pj = koefisien masukan upah / gaji rumah tangga sektor j Untuk menghitung PPT-I terlebih dahulu perm diketahui koefisien upah/ gaji dengan rumus: Pj = (Besarnya Upah & Gaji pada Sektor J / Jumlah Keluaran Sektor j atau: P pertanian = 75/150 = 0,50 P industri = 30/80 = 0,38 P jasa = 12/60 = 0,20. Dengan demikian, PPT-I dari masing-masing sektor dapat dihitung PPT – I pertanian = 0,50 x 1,09 + 0,38 x 0,15 + 0,20 x 0,37
0,50 = 1,35 PPT – I industri = 0,50 x 0,30 + 0,38 x 1,20 + 0,20 x 0,28
0,38 = 1,74 PPT – I jasa = 0,50 x 0,13 + 0,38 x 0,09 + 0,20 x 1,11 0,20 = 1,61
Ternyata koefisien pengganda pendapatan yang tertinggi adalah pada sektor industri, yaitu 1,74. Ini berarti bahwa setiap kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran semua sektor Kabupaten X akan
16
meningkatkan pendapatan di sektor industri sebesar 1,74 kali lipat. Hal penting untuk perencanaan di masa datang bahwa ditinjau dari kesempatan kerja, sektor industri yang perlu dikembangkan. b. Pengganda Pendapatan Tipe II. Terlebih dahulu perlu dibuat matriks yang diperluas dengan memasukkan tambahan kolom konsumsi rumah tangga dan baris upah dan gaji, yakni (I -Ah) dan matriks kebalikannya, (I - Ah)-1. 1 0 ( I Ah ) 0 0
0 0,02 0 0,22 0 1 0 0,10 0 0 0 0,50 0,10 0,98 0,22 0,87 0,10 0,06 ,050 0,38
0 1
0 0
Setelah di invers, diperoleh :
0,67 0,13 0,06 0,05 0,20 0,38 0,20 0,00 0,30 0,67 0,15 0,13 0,95 0,20 0,20 1,00 0,10 0,13
0,30 0,15
2,62 1,36 1,51 2,23 1,07 1,81 0,86 1,12 1 ( I Ah ) 0,74 0,57 1,56 0,88 1,86 1,47 1,39 2,71 Selanjutnya Pengganda Pendapatan Tipe II dihitung dengan rumus : PPT-IIj = Dij / Pj dengan: PPT IIj = pengganda pendapatan tipe II sektor j Dij = baris rumah tangga (baris keempat) pada matriks kebalikan (I - Ah)-1 Pj = koefisien pendapatan (upah / gaji) sektor j dengan menggunakan rumus di atas diperoleh : PPT II pertanian = 1,86/0,50 = 3,72 PPT II industri = 1,47/0,38 = 3,87 Dari contoh yang diberikan ternyata sektor jasa memiliki koefisien Pengganda Pendapatan Tipe II yang tertinggi, yakni 6,95 sehingga pengembangan sektor jasa di masa yang akan datang akan menguntungkan Kabupaten X ditinjau dari segi pendapatan. c. Pengganda Kesempatan Kerja: Pengganda kesempatan kerja dihitung dengan menggunakan koefisien tenaga kerja yang telah dihitung pada contoh 3, dan dimasukkan dalam rumus: 17
3
c PKK j =
j 1
ij
.l j
lj
dengan: PKKj = pengganda tenaga kerja c ij = elemen matriks kebalikan Leontief lj = koefisien tenaga kerja sektor j : Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung pengganda kesempatan kerja dimaksud : PKK pertanian = 0,002333 x 1,09 + 0,000138 x 0,15 + 0,000125 x 0,37 0,002333 = 1,12 PKK industri = 0,002333 x 0,30 + 0,000138 x 1,20 + 0,000125 x 0,28 0,000138 = 1,96 PKK jasa = 0,002333 x 0,13 + 0,000138 x 0,09 + 0,000125 x 1,11 0,000125 = 1,45
Dari contoh yang diberikan, ternyata sektor industri memiliki pengganda pendapatan yang tertinggi, yakni 1,96. 5. Pengganda Keluaran (output multiplier). Pengganda keluaran, mengukur pengaruh langsung dan tidak langsung kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor dan selanjutnya pada keluaran sektor-sektor ekonomi lainnya. Pengganda keluaran dapat dihitung dengan rumus: PK j =
3
c j 1
ij
; untuk j 1, 2, 3;
dengan: PKj = pengganda keluaran sektor j c ij = kebalikan matriks Leontief Penerapan rumus inti dalam contoh kasus di atas memberikan: PK pertanian = 1,09 + 0,30 + 0,13 = 1,52 PK industri = 0,15 + 1,20 + 0,09 = 1,44 PK jasa = 0,37 + 0,28 + 1,11 = 1,76 Pengganda keluaran yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang berarti bahwa kenaikan permintaan akhir terhadap keluaran sektor ini mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung yang paling besar atas keluaran seluruh sektor perekonomian.
18
6. Keterkaitan langsung ke depan (forward linkage) dan keterkaitan langsung ke belakang (backward linkage) setiap sektor. Keterkaitan langsung ke depan menggambarkan dampak sektor tertentu ter-hadap sektor-sektor lainnya yang menggunakan keluaran sektor tersebut sebagai masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor dihitung dengan menjumlahkan koefisien teknologi sektor tersebut ke kanan atau elemen kolom : dengan: KLD i = keterkaitan langsung ke depan sektor i x ij = banyaknya keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j Xi = jumlah keluaran sektor i (antara dan akhir) dari rumus tersebut diperoleh : KLD pertanian = 0,02 + 0,10 + 0,30 = 0,42 KLD industri = 0,22 + 0,125 + 0,15 = 0,50 KLD jasa = 0,10 + 0,063 + 0,05 = 0,21 Kaitan langsung ke depan tertinggi dimiliki oleh sektor industri. Ini berarti bahwa keluaran sektor industri mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sektor-sektor Iain yang menggunakan keluaran tersebut sebagai masukan dibandingkan keluaran sektor pertanian dan sektor jasa. Keterkaitan langsung ke belakang menggambarkan dampak sektor tertentu terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan sebagai masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor didukung dengan menjumlahkan koefisien teknologi sektor tersebut ke bawah atau menurut elemen baris : dengan: KLBj = keterkaitan langsung ke belakang sektor j xij = banyaknya masukan sektor j Xj = jumlah masukan sektor j Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh : KLB pertanian = 0,02 + 0,22 + 0,10 = 0,32 KLB industri = 0,10 + 0,125 + 0,063 = 0,29 KLB jasa = 0,30 + 0,15 + 0,05 = 0,50 Keterkaitan langsung ke belakang yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang sekaligus berarti bahwa keluaran sektor ini paling besar pengaruhnya terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan oleh sektor jasa sebagai masukan dibandingkan sektor pertanian dan industri. 7. Daya penyebaran (backward power of dispersion) dan daya kepekaan (forward power of dispersion). Daya penyebaran menggambarkan pengaruh yang timbul oleh kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran suatu sektor terhadap peningkatan keluaran semua sektor dalam perekonomian. Bila 19
koefisiennya 1, menunjukkan kebutuhan masukan antara sektor tertentu dapat menimbulkan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata terhadap sektor-sektor lainnya. Sektor yang mempunyai koefisien daya penyebaran yang paling tinggi berarti mempunyai pengaruh yang terbesar dalam pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan. Daya penyebaran dapat dihitung dengan rumus : DPj
= Daya penyebaran sektor j
Daya kepekaan menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan oleh kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran semua sektor terhadap keluaran salah satu sektor ekonomi. Sektor yang memiliki daya kepekaan yang paling tinggi berarti sektor tersebut akan terkena pengaruh yang paling besar dari pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan. Daya kepekaan dihitung dengan rumus : DKi
= daya kepekaan sektor i
Untuk melihat sektor yang dapat dijadikan prioritas dalam proses pengembangan kabupaten, maka semua indekss keterkaitan antar sektor produksi yang dihitung dengan analisis input-output disajikan sekaligus dalam suatu tabel. Bentuk tabel dimaksud dengan menggunakan hasil analisis sebelumnya diperlihatkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Daftar Indeks Keterkaitan Antar Sektor pada Kabupaten X Indekss Keterkaitan PPT-I PPT-II PKK PK DP DK
Sektor Pertanian 1,35 3,72 1,12 1,52 0,97 1,03
Sektor Industri 1,74 3,87 1,96 1,44 0,92 1,13
Sektor Jasa 1,61 6,95 1,45 1,76 1,12 0,84
Walaupun indekss keterkaitan antar sektor, berdasarkan Tabel 3.4, bervariasi, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa sektor jasa dan industri perlu mendapat prioritas agar terjadi peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, dan pertumbuhan dalam pembangunan jangka panjang dari Kabupaten X. Pendekatan lain dalam mengevaluasi Tabel 3.4 adalah dengan memberikan bobot tertentu kepada setiap indekss, sesuai dengan keterkaitan indekss tersebut terhadap prioritas pembangunan. Misalnya peningkatan kesempatan kerja merupakan prioritas pembangunan maka
20
bobot yang diberikan pada indekss PKK relatif lebih besar dibanding dengan bobot yang diberikan pada indekss lainnya. Keunggulan : Analisis input-output merupakan peralatan analisis yang dapat memberikan begitu banyak informasi yang sangat relevan untuk perencanaan pembangunan wilayah dan sangat luwes. Peralatan ini dapat digunakan dengan tingkat aggregasi yang lebih besar atau lebih kecil -dalam sektor-sektor antara, permintaan akhir ataupun pada pemasok primer sesuai kebutuhan. Dalam praktek, yang paling umum dilakukan adalah melakukan agregasi sektor-sektor yang relatif memiliki volume penjualan yang kecil ke dalam katagori "sektor-sektor lainnya". Keluwesannya juga terletak pada data yang digunakan. Secara ideal, data yang digunakan bersumber dari survei kegiatan ekonomi kabupaten mengenai transaksi penjualan dan pembelian dalam satu tahun. Tetapi pendekatan yang lebih sederhana dapat dilakukan dengan melakukan survei skala kecil pada kegiatan usaha mengenai proporsi masukan yang dibeli dari berbagai sumber dan keluaran yang dijual pada berbagai kegiatan usaha lainnya atau pasar. Hal ini dapat merupakan subsitusi survei intensif yang berskala besar. Keluaran total dapat diestimasi dari Hal yang paling penting dari analisis input-output ini adalah kemampuannya untuk digunakan sebagai alat perencanaan wilayah yang terintegrasi karena dapat menunjukkan keterkaitan/ketergantungan antar sektor dalam perekonomian kabupaten. Kelemahan : Kelemahan utama analisis input-output terletak pada kesalahfahaman yang sering timbul, seolah-olah menggambarkan model perekonomian suatu wilayah padahal sesungguhnya hanya merupakan suatu potret yang kasar tentang keterkaitan antar-sektor. Kelemahan lain adalah angka-angka yang ada pada tabel kebutuhan yang menggambarkan jumlah keluaran pada suatu waktu. Dengan menggunakan angka-angka tersebut sebagai dasar prediksi dapat menyesatkan karena anggapan bahwa keterkaitan antar-sektor pada setiap tingkat keluaran adalah sama. Anggapan ini tidak realistis sehingga hasil prediksi yang diperoleh tidak dapat diterima sepenuhnya. Data yang digunakan untuk analisis input-output adalah data penjualan dari setiap sektor. Berhubung keterbatasan data, penyusunan tabel inputoutput untuk tingkat kabupaten masih dipandang sulit dan memerlukan penelitian dasar terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Jika suatu kabupaten memiliki data yang terbatas, maka analisis input-output dapat
21
memberikan kerangka dasar untuk pengumpulan data untuk perencanaan pembangunan. 6. Analisis Shift Share Metoda analisis Shift-Share digunakan untuk mengetahui kinerja perekonomian kabupaten, pergeseran struktur, posisi relatif sektor-sektor ekonomi dan identifikasi sektor-sektor "unggul" kabupaten dalam kaitannya dengan perekonomian acuan (nasional atau propinsi) dalam dua atau lebih titik waktu. Metoda analisis ini pada hakekatnya merupakan teknik yang relatif sederhana untuk menganalisis perubahan struktur perekonomian lokal dalam kaitan dengan perekonomian acuan yang lebih besar. Perekonomian lokal dapat berupa kota, kabupaten, atau propinsi, sedangkan perekonomian acuan dapat berupa propinsi atau negara. Analisis shift-share yang bertitik tolak pada asumsi pertumbuhan sektor kabupaten yang sama dengan pada tingkat nasional, membagi perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi lokal/kabupaten dalam tiga komponen, yakni: 1. Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) : mengukur perubahan kinerja ekonomi pada perekonomian acuan. 2. Komponen pertumbuhan proporsional (mix-industry or proportional shift component) : mengukur perbedaan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi acuan dengan pertumbuhan agregat. Apabila komponen ini pada salah satu sektor nasional bernilai positif, berarti bahwa sektor tersebut berkembang dalam perekonomian acuan. Sebaliknya jika negatif, sektor tersebut menurun kinerjanya. 3. Komponen pergeseran atau pertumbuhan pangsa wilayah (differential shift atau regional share) : mengukur kinerja sektor-sektor lokal terhadap sektor-sektor yang sama pada perekonomian acuan. Apabila komponen ini pada salah satu sektor positif, maka daya saing sektor lokal meningkat dibandingkan sektor yang sama pada ekonomi acuan, dan apabila negatif terjadi sebaliknya. Dengan demikian, apabila perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi kabupaten adalah PEK, pertumbuhan nasional adalah KPN, pertumbuhan proporsional adalah KPP, dan KPK adalah pertumbuhan daya saing kabupaten, maka hal tersebut dapat ditulis dengan rumus : PEK = KPN + KPP + KPK Selanjutnya rumus di atas dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut: dengan: 22
Y* = indikator ekonomi nasional akhir tahun kajian Y = indikator ekonomi nasional awal tahun kajian Yi’ = indikator ekonomi nasional sektor i akhir tahun kajian Yi = indikator ekonomi nasional sektor i awal tahun kajian yi’ = indikator ekonomi kabupaten sektor i akhir tahun kajian yi = indikator ekonomi kabupaten sektor i awal tahun kajian Sedang Pergeseran Netto (PN) dihitung dengan rumus: PN = KPP + KPK Langkah-langkah Dasar Dengan mengambil contoh data Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Tual, Maluku Tenggara (PDRBT) dan Pendapatan Domestik Bruto Indonesia (PDB), pada tahun 1985 dan 1989 menurut harga konstan 1983, berikut ini adalah langkah-langkah dasar dalam analisis shift-share : Langkah 1: Hitung dan bandingkan pertumbuhan pendapatan di kabupaten dengan nasional. Untuk memudahkan analisis, perekonomian kabupaten dan nasional dipecah dalam sebelas sektor, yakni pertanian, pertambangan / penggalian, industri pengolahan, listrik / gas / air minum, bangunan, perdagangan / hotel / restoran, pengangkutan / komunikasi, bank / lembaga keuangan lainnya, pemerintahan / pertahanan, dan jasa-jasa. Tabel berikut menunjukkan bahwa pendapatan nasional tumbuh 26,14 persen, sedangkan pendapatan Kabupaten Tual hanya tumbuh 21,38 persen. Bagaimana pertumbuhan pendapatan kabupaten dijelaskan dalam kaitannya dengan pertumbuhan pendapatan nasional? Langkah 2 : Hitung perubahan pendapatan kabupaten setiap sektor, yaitu dengan memperkurangkan pendapatan pada akhir waktu kajian untuk masing-masing sektor (elemen kolom 4 Tabel 6.5) dengan pendapatan pada awal tahun kajian (elemen kolom 3 Tabel 6.5). Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6.6 . Langkah 3 : Hitung komponen masing-masing pertumbuhan sesuai rumus yang telah dijabarkan secara rinci sebagai berikut: a. Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN): Bagi jumlah PDB89 (baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan PDB85 (baris 12 kolom 5 Tabel 6.5), kemudian hasil pembagian tersebut dikurangi 1. Hasilnya adalah 0,26 atau 26 persen. Angka-angka inilah yang menjadi KPN pada semua sektor. b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) :
23
1. Bagi angka-angka PDB89 menurut sektor (elemen-elemen kolom 6 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama pada PDB89 (elemen-elemen kolom 5 Tabel 6.5). 2. Bagi jumlah PDB89 (baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan PDBS5 (baris 12 kolom 5 Tabel 6.5) 3. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil butir 2 untuk masingmasing sektor. 4. Isi kolom KPP dengan hasil butir 3. c. Komponen Pertumbuhan Daya Saing Kabupaten (KPK): 1. Bagi angka-angka PDRBT89 menurut sektor (elemen-elemen kolom 4 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama pada PDRBT85 (elemen-elemen kolom 3 Tabel 6.5). 2. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil KPP butir 1 3. Isi kolom KPK dengan hasil butir 2. Hasil perhitungan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut: Tabel 3.7. Hasil Perhitungan Komponen KPN, KPP, KPK, dan PN SEKTOR 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Industri 4. Listrik 5. Bangunan 6. Perdagangan 7. Angkutan 8. Bank 9. Sewa Rumah 10. Pemerintahan 11. Jasa-Jasa PDRB/PDB
KPN 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26
KPP -0,12 -0,18 0,22 0,44 0,04 0,13 0,00 0,16 -0,09 0,04 -0,09 0,00
KPK 0,01 -0,06 -0,05 0,44 - 0,46 0,05 0,21 2,41 -0,03 -0,07 -0,02 - 0,05
PN -0,10 -0,24 0,16 0,89 -0,42 0,18 0,21 2,57 -0,12 -0,03 -0,12 -0,05
Langkah 4 : Tafsirkan hasil perhitungan pada Tabel 6.7 dengan menemukenali sektor-sektor KPP yang bertanda positif dan negatif. Apabila suatu sektor bertanda positif, maka sektor tersebut pesat pertumbuhannya dan pengaruhnya pada pendapatan kabupaten juga positif. Sebaliknya yang bertanda negatif disebut sektor yang lamban pertumbuhannya yang berpengaruh negatif pada pendapatan kabupaten. Suatu kabupaten yang sebagian besar
24
pendapatannya berasal dari sektor-sektor yang lamban pertumbuhannya, maka pendapatan di kabupaten tersebut akan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan nasional. Sebaliknya, apabila sebagian besar pen-dapatan bersumber dari sektor-sektor yang pesat pertumbuhannya, maka porsinya akan meningkat dalam perekonomian nasional, cateris paribus. Dari Tabel 6.7 diketahui bahwa sektor-sektor yang positif adalah industri, listrik, bangunan, per-dagangan, angkutan, bank, dan pemerintahan, sedangkan yang negatif adalah pertanian, pertambangan, sewa rumah dan jasa- jasa. Langkah 5 : Selanjutnya temukenali sektor-sektor KPK yang bertanda positif dan negatif. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang bertanda positif atau yang mengalami peningkatan daya saing/keunggulan komparatif kabupaten dalam kaitan dengan kabupaten lainnya pada waktu kajian adalah pertanian (1 persen), listrik (44 persen), perdagangan (5 persen), angkutan (21 persen), dan bank (241 persen). Sedangkan yang bertanda negatif atau yang mengalami penurunan adalah pertambangan^ persen), industri (5 persen), bangunan(46 persen), sewa rumah (3 persen), pemerintahan (7 persen) dan jasa-jasa (2 persen). Langkah 6 : Analis dapat dilanjutkan (optional) dengan menghitung pergeseran bersih (net shift) untuk menemukenali sektor-sektor maju dan kurangmaju, yaitu dengan menjumlahkan komponen KPP dan KPK dari masing-masing sektor. Apabila hasil penjumlahan yang diperoleh untuk suatu sektor adalah positif, maka sektor yang bersangkutan termasuk maju. Sebaliknya jika negatif, maka sektor tersebut kurang maju. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang kurang maju adalah pertanian, pertambangan, bangunan, sewa rumah, pemerintahan, dan jasa-jasa, sedangkan sektor industri, listrik, perdagangan, angkutan, dan bank termasuk kategori maju. Langkah 7 : Sebagai alternatif dari langkah 6 , analisis lain yang dapat dilakukan adalah dengan menemukenali sektor-sektor yang termasuk unggul, agak unggul, agak mundur dan mundur dalam selang waktu kajian. Untuk tujuan ini KPK dan KPP semua sektor kabupaten diletakkan pada suatu diagram sumbu yang terdiri dari empat kuadran. Kuadran I merepresentasikan sektor unggul karena baik KPK maupun KPP memiliki nilai positif, kuadran II merepresentasikan sektor agak mundur karena KPK negatif tetapi
25
KPP positif, Kuadran III merepresentasikan sektor mundur KPK dan KPP negatif, dan kuadran IV merupakan tempat kedudukan sektor agak unggul karena KPK positif walaupun KPP negatif. Yang menjadi acuan utama dalam analisis ini adalah KPK atau komponen pertumbuhan daya saing kabupaten. Hal ini dapat dipahami karena komponen tersebut merupakan komponen terpenting dalam pertumbuhan suatu kabupaten. Posisi sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tual diperlihatkan pada Gambar 6.1. Langkah 8 : Kalikan komponen KPN, KPP, dan KPK masing-masing sektor pada Tabel 6.7 dengan sektor yang sama pada PDB85 untuk mengetahui nilai absolut pertumbuhan. Tabel 3.8 menunjukkan bahwa angka-angka PEK menurut sektor sama dengan angka-angka perubahan PDRB pada Tabel 3.6. Data yang dibutuhkan : Data pendapatan kabupaten (PDRB) dan propinsi atau nasional (PDB) yang diperinci menurut sektor pada dua titik waktu, misalnya awal Pelita dan akhir Pelita yang berdasarkan harga konstan. Apabila ingin dilihat pergeseran yang bersifat dinamis, maka dapat digunakan data lebih dari dua titik waktu. Data lain yang umum Keunggulan: Metoda ini banyak digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai pergeseran struktur ekonomi. Demikian pula metoda ini disamping dapat menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor perekonomian kabupaten terhadap perekonomian nasional, juga dapat digunakan untuk menemukenali sektor-sektor unggulan dapat dipacu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, metoda ini dapat pula digunakan untuk menemukenali sektor-sektor yang posisi relatifnya lemah tetapi dianggap strategis (pertimbangan penyerapan tenaga kerja) untuk dipacu agar dapat meningkatkan kesempatan kerja. Perhitungannya relatif mudah, demikian pula data yang diperlukan mudah diperoleh karena tersedia pada hampir semua kabupaten. Kelemahan: Asumsi yang melandasi bahwa sektor-sektor acuan tumbuh dengan tingkat yang sama. Kelemahan lain adalah pergeseran posisi sektor dianggap linear.
26
7. Revealed Comparative Advantage (RCA) Metoda analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh suatu kabupaten. RCA pada hakekatnya membandingkan rasio antara ekspor komoditas tertentu dari suatu kabupaten dengan pangsanya pada ekspor total. Data yang diperlukan: Untuk analisis RCA diperlukan data mengenai nilai ekspor komoditas yang dikaji dari suatu kabupaten berdasarkan harga konstan. Apabila hendak dibandingkan pergeseran koefisien RCA, maka sebaiknya data yang dikumpulkan dalam beberapa titik waktu, misalnya tahun 1970; 1975; 1980, dan seterusnya. Keunggulan : Metoda analisis ini sederhana dan dapat memberikan gambaran singkat mengenai keunggulan komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan dari suatu kabupaten. Data yang diperlukan relatif mudah diperoleh. Kelemahan : Tidak memberikan petunjuk tentang faktor-faktor penyebab terjadinya keunggulan komparatif dan mengabaikan impor komoditas yang dikaji. 8. Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) Metoda analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah komoditas tertentu yang dihasilkan oleh suatu kabupaten memiliki keunggulan komparatif atau tidak pada pasar regional, nasional, maupun internasional. Biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: BSDj = Biaya sumber daya domestik komoditas j Bij
= Biaya ekonomi faktor produksi domestik i yang digunakan untuk menghasilkan komoditas j
Ej
= efek externa]itas dari komoditas j (dapat bertanda positif atau negatif)
Uj
= nilai total output komoditas j pada nilai harga pasar internasional atau maksimal atau propinsi (dalam US $ kalau harga internasional)
27
mj
= nilai total input antara yang diimpor langsung untuk komoditas j (dalam US $ kalau pasar internasional)
rj
= nilai total penerimaan faktor-faktor produksi luar negeri atau dari wilayah lain (nasional atau propinsi) yang digunakan dalam komoditas j, baik langsung maupun tidak langsung (dalam US $ kalau pasar internasional).
n
= jumlah jenis faktor produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditas j.
Efek eksternalitas pada rumus BSD biasanya dihilangkan karena sampai saat ini belum ada metoda yang baik untuk memperkirakan besarnya efek eksternalitas tersebut. Dengan rumus BSD di dapat dihitung produksi suatu komoditas dikatakan efisien dari segi ekonomi apabila nilai BSD lebih kecil daripada harga bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD < 1). Hal ini berarti bahwa sumberdaya domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat atau memperoleh devisa dari komoditas tersebut lebih kecil daripada sumberdaya domestik yang bersedia dikorbankan pada sistem ekonomi. Hai ini berarti bahwa permintaan dalam lokal suatu komoditas lebih menguntungkan dengan cara menghasilkan atau memproduksi komoditas tersebut secara lokal. Sebaliknya kegiatan dikatakan tidak efisien apabila nilai BSD lebih besar daripada harga bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD > 1) yang berarti bahwa pemenuhan permintaan lokal lebih menguntungkan dengan mendatangkan komoditas tersebut. Apabila nilai BSD sama dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka komoditas tersebut bersifat netral (koefisien BSD = 1). Contoh: Penerimaan penjualan kopi yang dihasilkan di kabupaten Tana Toraja (Propinsi Sulawesi Selatan) di tangan petani sebesar Rp. 614.175,sedangkan di tangan eksportir sebesar Rp. 1.126.729 / ton. Komponen biaya produksi dinyatakan dalam Tabel 3.10. Perhatikan bahwa biaya yang dikeluarkan (biaya finansial) pada tabel di atas seluruhnya dikonversi ke biaya ekonomi sebelum dipisahkan menjadi komponen domestik dan komponen asing. Hal ini perlu dilakukan agar hasil perhitungan tidak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang keuangan, seperti pajak, subsidi, dan sebagainya. Jadi dalam hal ini biaya ekonomi benar-benar mencerminkan biaya yang sebenarnya harus dikeluarkan jika tidak ada campur tangan pemerintah.
28
Keunggulan : Metoda analisis ini mampu memberi petunjuk apakah suatu jenis komoditas efisien diproduksi secara lokal atau diimpor dari luar kabupaten. Hasil perhitungan sangat rinci sehingga memberikan gambaran nyata tentang keunggulan komparatif suatu komoditas karena adanya perhitungan biaya yang sangat rinci. Kelemahan : Perhitungan metoda ini cukup rumit dan membutuhkan informasi yang lengkap sehingga kurang memungkinkan dilakukan oleh setiap kabupaten. Walaupun rumit dan rinci, faktor eksternalitas seperti dampak lingkungan masih diabaikan. 9. Distribusi Pendapatan Metoda analisis ini dapat memberi gambaran mengenai distribusi pendapatan atau pemilikan faktor-faktor produksi di antara berbagai lapisan masyarakat dalam suatu wilayah. Indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan, yakni kurva Lorenz. Kurva Lorenz Peralatan ini disebut juga kurva frekuensi persentase kumulatif yang menggambarkan data tentang distribusi persentase kekayaan/pendapatan dalam hubungannya terhadap distribusi persentasi jumlah keseluruhan penduduk yang menerima pendapatan dalam suatu kabupaten. Penggambaran kurva Lorenz dimulai dengan mengubah data pendapatan dan jumlah penerima pendapatan ke dalam prosentase kemudian menyusunnya ke dalam distribusi pendapatan kumulatif.
29
BAB IV. ANALISIS STRUKTUR TATA RUANG Analisis Struktur Tata Ruang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang-dibutuhkan untuk mengarahkan / membentuk tata jenjang pusat-pusat pelayanan wilayah dan jaringan transportasi serta jaringan sarana dan prasarana lainnya yang mendukung pusat-pusat pelayanan tersebut, sehingga membentuk suatu sistem terpadu yang mampu memanfaatkan potensi kabupaten, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing kabupaten. Analisis mengacu pada dua azas penataan ruang, yaitu demokratisasi ruang dan sinergi wilayah. Implementasi dari azas pertama berupa usaha-usaha penciptaan tingkat kemudahan yang proporsional bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan, seperti kemudahan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif (penciptaan nilai tambah) dan memasarkan hasil produksinya, dan kemudahan untuk menikmati pendapatan mereka, misalnya dalam bentuk kemudahan untuk menikmati fasilitas rekreasi, kemudahan untuk membelanjakan pendapatan, dan sebagainya. Kemudahan yang sama juga disediakan bagi sektor untuk melaksanakan program pembangunan menurut sektornya masing-masing dan sekaligus untuk menghindari benturan kepentingan antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Selain itu penataan ruang menurut azas ini diarahkan pula untuk meningkatkan kesempatan ekonomi (economic opportunities) dari lahan dan sumberdaya alam lainnya. Azas kedua diwujudkan dalam bentuk menciptakan keterkaitan fungsional antar satuan-satuan pemukiman/sub wilayah sedemikian rupa, baik yang antar maupun inter wilayah, sehingga membentuk wilayah yang terpadu yang mampu berartikulasi terhadap proses pembangunan wilayah. Keterkaitan fungsional ini dikembangkan berdasarkan keunggulan yang dimiliki oleh setiap sub wilayah, dalam arti penataan ruang dibuat sedemikian rupa sehingga keunggulan yang dimiliki oleh satu sub wilayah dapat dinikmati seoptimal mungkin oleh bagian wilayah lainnya. Untuk menciptakan struktur tata ruang menurut pendekatan tersebut, maka informasi yang perlu dikumpulkan serta peralatan analisis yang diperlukan diperlihatkan pada Tabel 4.1 Perlu ditambahkan bahwa dalam proses analisis, ketiga perangkat analisis yang disebutkan pada Tabel 4.1 tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga dalam prakteknya ketiganya sering dilakukan secara keratif/simultan.
30
Tabel 4.1. Informasi yang Dibutuhkan dan Metoda Analisis dalam Analisis Struktur Tata Ruang PERTANYAAN/INFORMASI METODA ANALISIS 1. Bagaimana distribusi pelayanan sosial 1. Analisis Pola Pemukiman ekonomi pada wilayah yang ditinjau / diamati 2. Bagaimana memilih lokasi strategis 2. Analisis Sistem Hubungan untuk menempatkan fasilitas pelayanan agar mampu menjangkau secara efektif satuan-satuan pemukiman yang ada pada wilayah yang ditinjau. 3. Seberapa besar tingkat kemudahan 3. Analisis Aksesibilitas pada suatu lokasi untuk menikmati fasilitas pelayanan tertentu yang terdapat pada pusat-pusat pelayanan. 1. Analisis Pola Permukiman Analisis pola pemukiman diarahkan untuk mengetahui tata jenjang dan distribusi pusat-pusat pelayanan dalam wilayah yang ditinjau. Dengan perangkat analisis ini dapat diketahui tingkat pelayanan sosial ekonomi, atau dengan kata lain dapat menentukan bagian-bagian wilayah yang kurang memperoleh pelayanan. Informasi yang perlu dikumpulkan untuk maksud tersebut serta peralatan analisis-nya diperlihatkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Informasi dan Peralatan Analisis untuk Analisis Pola Pemukiman. INFORMASI Bagaimana struktur / hirarki pusat-pusat pelayanan di wilayah yang ditinjau Bagaimana pola / distribusi tingkat perkembangan pada wilayah yang ditinjau Fungsi-fungsi apa saja yang seharusnya ada tetapi tidak terdapat pada suatu pusat pelayanan Berapa jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan untuk mendukung keberadaan suatu fungsi pelayanan Bagaimana tingkat dan distribusi pelayanan pada wilayah yang ditinjau
METODA ANALISIS Skalogram Skala Guttman, dan Indeks Sentralitas Terbobot Skala Guttman
Skalogram
Analisis Ambang Batas
Analisis Distribusi Fungsi Pelayanan
31
Perlu ditambahkan disini bahwa analisis yang dilakukan berdasarkan metoda-metoda yang disebutkan di atas dititik beratkan pada klasifikasi pemukiman berdasarkan fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dimilikinya. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh hasil-hasil analisis yang diperoleh perlu pula dikombinasikan dengan klasifikasi pemukiman dari segi morfologi, yang cenderung membedakan pemukiman menjadi sistem perkotaan dan pedesaan, berdasarkan karakteristik fisik dan kependudukan, serta klasifikasi yang berdasarkan ukuran jumlah dan kepadatan penduduk, seperti kota metropolitan, kota madya, ibukota kabupaten, kecamatan, dan desa. Kedua pendekatan klasifikasi di atas tidak dijabarkan disini, karena dianggap telah cukup banyak dibahas pada buku-buku teks yang lain, dan khusus yang berkaitan dengan masalah kependudukan dibahas pada bab lain laporan ini. (i) SKALOGRAM Metoda Skalogram digunakan untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana pola fungsi/fasilitas pelayanan sosial ekonorni yang terdapat pada berbagai tingkatan perkotaan / pusat pelayanan dan bagaimana pola tersebut melayani kebutuhan penduduk di wilayah yang ditinjau. Dengan kata lain metoda ini dapat digunakan untuk mengelompokkan satuan permukiman berdasarkan tingkat kompleksitas fungsi pelayanan yang dimilikinya, serta menentukan jenis dan keragaman pelayanan dan fasilitas yang terdapat pada pusat-pusat pelayanan dengan berbagai tingkatan. Di samping itu metoda skalogram dapat pula digunakan untuk : 1. Memperlihatkan asosiasi kasar antara -fasilitas dan sistem pelayanan pada suatu lokasi dan kemungkinan hubungan antara mereka. 2. Memperlihatkan urutan fungsi pelayanan yang seyogyanya terdapat pada satuan pemukiman dengan tingkatan tertentu. 3. Dengan mengkombinasikan skalogram dengan peta lokasi fasilitas pelayanan dan kriteria pelayanan baku, maka dapat diketahui cukup tidaknya suatu fungsi pelayanan pada wilayah yang ditinjau. 4. Ketidak beradaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan pada suatu satuan pemukiman dapat segera terlihat, sehingga dengan demikian dapat dilakukan analisis mengapa hal tersebut terjadi dan pengambilan keputusan tentang investasi untuk pengadaan fungsi atau fasilitas pelayanan tersebut dapat segera diambil. 5. Keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan yang seharusnya tidak ada pada suatu permukiman dapat diketahui, sehingga dengan demikian dapat dicari alasan keberadaan fungsi tersebut. Untuk menyusun skalogram dibutuhkan seperangkat data sebagai berikut:
32
-
Daftar semua pemukiman yang ada pada wilayah yang ditinjau. Jumlah penduduk untuk setiap pemukiman Peta yang menunjukkan lokasi dari setiap pemukiman Daftar fungsi / fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada setiap pemukiman.
Penyusun skalogram dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: 1. Buat sebuah tabel yang jumlah barisnya sama dengan jumlah satuan pemukiman ditambah satu, dan jumlah kolomnya sama dengan jumlah fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada wilayah yang ditinjau ditambah satu. 2. Kolom pertama, dimulai pada baris kedua, diisi dengan nama satuan pemukiman, dimulai dengan satuan pemukiman yang memiliki jumlah penduduk terbesar. 3. Pada baris pertama dimulai dari kolom kedua berturut-turut k-earah kanan diisi dengan nama atau kode dari fungsi / fasilitas pelayanan. Dengan-demikian setiap sel dari tabel tersebut mewakili keberadaan suatu fungsi pada suatu satuan pemukiman. 4. Isi dengan tanda "X" sel yang mewakili fungsi tertentu yang terdapat pada suatu satuan permukiman. Contoh hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada Gambar 4..1 untuk 7 satuan pemukiman dan 12 fungsi pelayanan. Gambar 4.1. Skalogram Fungsi Pemukiman
Kota A Kota B Kota C Kota D Kota E Kota F Kota G
1 X X
2 X
3 X X
X X X X X
FASILITAS PELAYANAN 5 6 7 8 9 X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X 4 X
10 X
11 X X
12 X
5. Atur kembali letak setiap fungsi dan satuan pemukiman. Fungsi yang paling banyak terdapat pada satuan pemukiman diletakkan pada kolom paling kiri dan satuan pemukiman yang memiliki jumlah fungsi terbanyak diletakkan pada baris paling atas. Pengaturan ini diulangi untuk semua satuan pemukiman dan fungsi yang ada sedemikian rupa sehingga diperoleh pola "X" yang mendekati bentuk segitiga. Hasil pengaturan diperlihatkan pada Gambar 4.2
33
Gambar 4.2. Skalogram Fungsi Pemukiman Yang Telah Diolah
7 X X X X X X X
Kota A Kota B Kota C Kota F Kota D Kota E Kota G
1 X X X X
9 X X X X X
FASILITAS PELAYANAN 5 3 6 8 10 2 4 X X X X X X X X X X X X X X X X
11 X X
12 X .
X X
Jumlah fungsi yang ikut dianalisis dengan metoda ini bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, serta tergantung pada justifikasi perencana tentang fungsi apa saja yang paling penting untuk menentukan derajat sentralitas suatu pemukiman. Sebagai gambaran fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dapat dipakai dalam analisis skalogram diperlihatkan pada Tabel 4.3 Tabel 4.3. Fungsi Pelayanan Sosial Ekonomi KATEGORI
FUNGSI/FASILITAS
Aktivitas Ekonomi
Pusat Perbelanjaan atau super-market Pasar Umum Toko (dengan berbagai jenisnya) Bank dan lembaga keuangan lainnya Industri manufaktur Fasilitas Pelayanan Sosial Sekolah (dengan berbagai tingkatan jenisnya) Rumah sakit swasta Rumah sakit pemerintah Klinik swasta, Puskesmas Apotik dan rumah obat Perpustakaan Umum Fasilitas Pelayanan Bandara Transportasi dan Pelabuhan Komunikasi Terminal Bus Stasiun Kereta Api Stasiun Radio Penerbit Surat Kabar Kantor Pos Kantor Telepon dan Telekomunikasi
dan
34
KATEGORI
FUNGSI/FASILITAS
Infra Struktur dan Fasilitas Pusat Pembangkit Listrik Pemeliharaan Perusahaan Air Minum Bengkel perbaikan peralatan pertanian Pemasok bahan konstruksi Toko Pemasok kebutuhan hardware Aktivitas Rekreasi Fasilitas Olah Raga (dirinci menurut jenisnya) Gymnasium atau auditorium Bioskop (harian) Bioskop (periodik) Night Club Taman dengan fasilitasnya Fasilitas Pelayanan Pribadi Photo Copy Studio Foto Restaurant Kuburan Hotel (dirinci menurut kelasnya) Organisasi Koperasi Kemasyarakatan Organisasi Kemasyarakatan Organisasi Profesi Lembaga / Organisasi Olah Raga Pelayanan Penyuluhan Lembaga Pengamanan (swasta) dan Keamanan Kantor Palang Merah Kantor Penyuluhan Pertanian Lembaga Penyuluhan untuk kegiatan sektoral lainnya Lembaga Swadaya Masyarakat , Keunggulan: Metoda Skalogram membutuhkan data yang relatif mudah untuk dikumpulkan dan prosedur analisis juga relatif tidak terlalu rumit. Di samping itu metoda dapat memproses data kuantitatif yang tidak bebas kesalahan (error-prone) atau tidak andal secara statistik dengan hanya menggunakan materi kualitatifnya yang batas kesalahannya relatif rendah, sehingga dengan demikian mampu menggantikan metoda analisis kuantitatif lainnya yang memerlukan data kuantitatif yang sulit dikumpulkan secara cepat dan mur ah. Metoda ini mampu menganalisis data kualitatif yang sebelumnya hanya dapat dianalisis secara intuitif.
35
Kelemahan: Metoda ini didasarkan pada pendekatan yang melihat pusat pelayanan sebagai suatu unit diskrit, padahal keberadaan suatu fungsi pelayanan pada suatu pusat tidak dapat dilepaskan dari hubungan pusat tersebut dengan wilayah pelayanannya, yang justru diabaikan pada metoda ini. Di samping itu metoda tidak memperhitungkan efek aglomerasi, yaitu keunggulan lokasi atau daya tarik suatu pusat bagi pengembangan fungsi pelayanan baru banyak ditentukan oleh fungsi-fungsi pelayanan lainnya yang sebelumnya telah ada pada pusat yang ditinjau. (ii). Indekss Sentralitas Terbobot Metoda Indekss Sentralitas Terbobot dapat dipakai untuk menentukan tingkat sentralitas suatu satuan permukiman.Metoda ini mengukur sentralitas satuan pemukiman tidak hanya berdasarkan jumlah fungsi atau fasilitas pelayanan yang ada pada satuan permukiman tetapi juga berdasarkan frekuensi keberadaan fungsi atau fasilitas tersebut pada wilayah yang ditinjau. Suatu fungsi akan diberikan bobot yang berbanding terbalik dengan frekuensi keberadaannya. Misalnya suatu sekolah teknik yang hanya terdapat pada beberapa pemukiman akan diberi bobot yang relatif lebih besar dibanding dengan bobot yang diberikan pada sekolah dasar yang terletak pada hampir semua pemukiman. Indekss sentralitas dari suatu pemukiman dihitung berdasarkan jumlah dad bobot fungsi yang terdapat pada permukiman tersebut. Makin besar indeks ini menunjukkan tingkat sentralitas yang makin tinggi pula. Tahapan perhitungan indekss sentralitas terbobot adalah sebagai berikut: 1. Salin skalogram yang sebelumnya telah dibuat, ganti tanda "X" dengan angka “1”. 2. Hitung jumlah total menurut baris dan kolom. 3. Hitung bobot dari setiap fungsi berdasarkan rumus : C=t/T dengan : C t T
= bobot fungsi = nilai sentralitas total, diambil sama dengan 100 = jumlah total fungsi dalam wilayah yang ditinjau.
36
SATUAN PEMUKIMAN A B C D E F G H Jumlah Fungsi Centralitas Total Bobot
Tabel 4.4. Perhitungan Bobot Fungsi FUNGSI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 8 8 8 6 5 4 2 ? 2 1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100
TOTAL 10 8 6 7 5 4 3 3 46
4. Tambahkan satu baris pada tabel dimaksud dan tuliskan pada baris tersebut hasil perhitungan bobot fungsi tadi. Hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada Tabel 4.4 5. Buat tabel lain yang serupa dengan tabel sebelumnya. Ganti angka "1" yang ada dengan bobot fungsi yang telah dihitung pada langkah 3. 6. Hitung jumlah total dari setiap bobot fungsi untuk mendapatkan indeks sentralitas terbobot dari setiap satuan pemukiman. Hasil akhir diperlihatkan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Perhitungan Indeks Sentralitas SATUAN PEMUKIMAN A B C D E F G H Centralitas Total
1 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 100
2 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 100
3 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 100
4 16.6 16.6 16.6 16.6 16.6 16.6 16.6
FUNGSI 5 6 7 8 9 10 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100 20.0 250 50.0 50.0 20.0 25.0 20.0 25.0 50.0 20O
100 100 100 100 100 100 100
TOTAL 349.1 199.1 99.1 149.1 74.1 54.1 54.1 37.5 1000.0
Keunggulan : Sama dengan metoda skalogram, malah metoda ini menghasilkan urutan hirarki pusat pelayanan yang lebih tajam, meskipun data yang dibutuhkan
37
tidak terlalu banyak dan umumnya mudah diperoleh, serta proses analisisnya relatif lebih mudah dilakukan. Kelemahan : Sama dengan metoda skalogram.
(iv) Skala Guttman Pemakaian Skala Guttman di samping dapat digunakan untuk menentukan hirarki pemukiman sebagai pusat pelayanan, juga dapat dipakai untuk melihat distribusi tingkatan perkembangan wilayah yang ditinjau. Metoda ini berbasis pada asumsi bahwa keberadaan fungsi pelayanan memiliki hirarki tertentu, dalam arti bahwa jika suatu fungsi yang memiliki hirarki yang lebih tinggi terdapat pada suatu pusat, maka fungsi-fungsi lainnya yang memiliki hirarki yang lebih rendah harus ada pula pada pusat tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pusat pelayanan dengan hirarki tertentu diharapkan memiliki fungsi dengan jumlah dan urutan tertentu. Suatu fungsi yang terdapat pada pusat pelayan dengan hirarki yang lebih rendah tetapi tidak terdapat pada pusat pelayanan yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dianggap sebagai suatu kesalahan. Jika hal ini terjadi maka perlu dilakukan kajian statistik tertentu, dan mungkin saja fungsi yang ditinjau perlu dihilangkan dari proses analisis selanjutnya. Prosedur penyusunan skala Guttman untuk sistem pemukiman adalah sebagai berikut: 1. Susun skalogram fungsi pemukiman dengan cara yang telah dijabarkan pada sub-bab di atas Hasil skalogram dimaksud dengan menggunakan data hipotetis diperlihatkan pada Gambar 4.3 2. Berdasarkan skalogram diatas dihitung Koefisien Reprodusibilitas (K r) dan Koefisien Skalabilitas (Ks), dengan menggunakan rumus : Kr = 1 – (e / n) Kn = 1 – {e / (0.5 x (n – Tn)} Berdasarkan data pada Gambar 7.3, diperoleh K r = 0,89 dan Ks = 0,52 . Mengingat bahwa nilai Kr dan Ks yang dapat diterima adalah Kr > 0,90 dan Ks > 0,6 maka salah satu fungsi pada skalogram di atas harus dieliminasi.
38
3. Fungsi nomor 2 pada skalogram terlihat memiliki tingkat kesalahan terbesar, oleh sebab itu dieliminasi. Setelah dihitung ulang diperoleh nilai e, Tn dan n yang baru, yaitu masing-masing 5, 30 dan 60. Gambar 4.6. Skalogram Untuk Penyusunan Skala Guttman SATUAN PEMUKIMAN 3 D X A X B X H X C X F E X J X G X I X e 1 Tn 9 n = 10 x 7 = 70
1 X X X X X X
X X
FUNGSI 7 X X X X X X X
X 3 7
0 7
2 X X X X
4 X X X
6 X X
5 X
X
X 2 7
1 3
I
3
0 1
8 37
4. Dengan nilai yang baru tersebut dihitung kembali Kr dan Ks, dan diperoleh Kr = 0,916 dan Ks = 0,66. Keduanya lebih besar dari batas bawah yang diizinkan, dengan demikian skalogram tersebut dapat diterima. 5. Dengan skalogram yang bam ditentukan skala dari setiap fungsi, yaitu sama dengan nilai Tn-nya masing-masing. 6. Skala dari setiap satuan pemukiman ditentukan berdasarkan fungsi dengan skala terbesar yang dimiliki oleh satuan pemukiman. Skala Guttman yang diperoleh dapat dikombinasikan dengan metoda lain untuk mengelompokkan pemukiman ke dalam beberapa tingkatan perkembangan dan menampilkannya pada peta. Sebagai contoh diberikan hasil analisis yang dilakukan pada Wilayah Aliran Sungai (DAS) Bicol di Philipina (lihat Tabel 4.6). Hirarki pemukiman yang diperoleh berdasarkan skala Guttman dikelompokkan ulang menjadi 30 skala jenjang (stepscale) yang selanjutnya dipadatkan menjadi9 jenjang saja. Dengan menggunakan jenjang ini sebagai indikator tingkat perkembangan, dapat ditarik serangkaian garis isopleth yang melingkupi
39
pemukiman/wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang sama, seperti diperlihatkan pada Gambar 4.6. Tabel 4.6. Skala Guttman untuk Sistem Pusat-Pusat Pelayanan pada Camarines Sur Province, Wilayah Aliran Sungai Bicol, 1975 [36] RANK 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
PEMUKIMAN Gainza Del GaHego Lupi Tinambac Balaian Minalabac Pasacao Bula Bombon Camaligan Cabusao San Fernando MHaor Ocampo Magarao Canaman Sangay San Jose Lagonoy Pamplona Ragay Bato Sipocot Calabanga Baao Buhi Tigaon Nabua Libmanan Pili Goa Iriga City Naga City
SKOR SKALA JUMLAH PERSEN FUNGSI TASE 29 19 48 32 53 35 55 36 55 36 57 38 59 39 61 40 63 41 63 41 65 43 66 43 66 43 67 44 68 45 70 46 71 47 73 48 74 49 81 53 88 58 93 61 96 63 97 64 99 65 104 66 109 72 111 73 117 77 119 78 122 80 134 88 152 100
SKALA JENJANG DIPADAT N KAN 1 1 2 2 3 2 4 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 8 2 9 2 10 2 10 2 11 2 12 2 13 2 14 2 15 2 16 2 17 3 18 4 19 5 20 5 21 5 22 5 23 6 24 6 25 6 26 7 27 1 28 1 29 8 30 9
Keunggulan: Walaupun data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dan proses analisis-nya juga tidak terlalu rumit tetapi mampu memperlihatkan pola / distribusi tingkat perkembangan wilayah. Pola ini membantu proses analisis lainnya (seperti analisis sistem hubungan) untuk memahami struktur tata ruang wilayah yang ditinjau. 40
Kelemahan: Dalam prakteknya sulit ditemui pola fungsi pelayanan memenuhi asumsi yang mendasari metoda ini. Oleh sebab itu sering dalam proses penyusunan skala Guttman, beberapa fungsi terpaksa dihilangkan agar asumsi dimaksud dapat dipenuhi. Padahal fungsi tersebut (berdasarkan pendekatan lain) justru yang menentukan derajat sentralitas dari suatu pusat pelayanan. Di samping itu hasil analisis baru memberikan perkiraan kasar tentang hirarki perkembangan pemukiman sehingga masih perlu di cross-check dengan hasil analisis metoda lainnya. (v) Analisis Ambang Batas Analisis ambang batas (Threshold Analysis) digunakan untuk menghitung jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan untuk mendukung keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi. Salah satu pendekatan yang dapat dipakai dalam analisis ini adalah aturan yang direkomendasikan oleh Marshall (dalam PSDALUH-DTKTD, 1992) sebagai berikut :
Ambang batas adalah jumlah penduduk dari pusat pelayanan yang terdapat pada garis yang membagi dua daftar urutan pusat-pusat dengan cara sedemikian rupa sehingga jumlah pusat yang tidak memiliki fungsi di atas garis pembagi tadi sama dengan jumlah pusat yang memiliki fungsi yang terdapat di bawah garis pembagi. Jika suatu ambang batas telah ditemukan, maka ambang ini (bersama dengan fungsinya) secara berurutan dapat dihilangkan kecuali sekurang-kurangnya setengah dari pusat-pusat yang berada di atas ambang batas memiliki fungsi yang ditinjau.
Prosedur untuk menentukan ambang batas suatu fungsi peiayanan sosial ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Buat suatu tabel yang diisi dengan pusat pelayanan yang diurut berdasarkan jumlah penduduknya dikaitkan dengan keberadaan (1) atau ketidak beradaan (0) dari semua fungsi atau fasilitas pelayanan. Tabel dimaksud dengan menggunakan data hipotetis diperlihatkan pada Tabel 4.7 2. Gunakan aturan Marshall pertama untuk mengidentifikasi ambang batas dari setiap fungsi 3. Gunakan aturan Marshall kedua untuk mengeliminasi beberapa fungsi.
41
Tabel 4.7. Perhitungan Ambang Batas untuk Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial Ekonomi PUSAT PELAYANAN A B C D E F G H
JUMIAH PENDUDUK 10.000 8.000 6.000 5.500 3.000 2.700 1.900 1.700
FUNGSI 1
FUNGSI 2
FUNGSI 3
1 0 0 0 0 1 0 0
1 1 1 0 0 1 1 0
1 1 1 1 1 0 1 1
Berdasarkan prosedur di atas maka diperoleh ambang batas untuk fungsi
pertama adalah 8000, untuk fungsi kedua 3000, dan untuk fungsi ketiga sama dengan 1900. Kelemahan : Terdapat beberapa keterbatasan dalam penggunaan metoda analisis ini, antara lain cenderung memberikan penaksiran yang kurang cermat karena hanya menghitung jumlah penduduk yang berada pada pusat pemukiman, tidak memperhitungkan jumlah penduduk yang berdiam pada wilayah sekitar pusat pemukiman yang masih termasuk dalam jangkauan pelayanan. Di samping itu ambang batas yang dihitung mungkin tidak realistik menyatakan potensi suatu pemukiman untuk mendukung keberadaan suatu fungsi khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terintegrasi atau wilayah yang belum berkembang secara wajar. Metoda ini juga cenderung bias pada kriteria lokasi (yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan tertentu) dibanding pada pertimbangan efisiensi ekonomi. Keunggulan : Metoda analisis ini dapat memberikan informasi kasar tentang ambang batas untuk setiap fungsi dan fasilitas pelayanan yang ada pada suatu wilayah secara cepat dan dengan menggunakan data yang relatif mudah dikumpulkan. Disamping itu sekaligus memberikan informasi tentang fasilitas pelayanan yang berlebihan atau kurang pada suatu pusat pelayanan.
42
Informasi ini minimal dapat dipakai pada proses pemeriksaan silang (cross checking) dengan hasil yang diperoleh dari metoda analisis lainnya. (vi) Distribusi Fungsi Pelayanan Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat / hirarki pusat-pusat pelayanan dan distribusi fungsi-fungsi pelayanan sosial ekonomi dihubungkan dengan jumlah penduduk atau satuan pemukiman yang membutuhkan pelayanan tersebut. Analisis didasarkan pada hasil yang diperoleh dari analisis skalogram dan indeks sentralitas terbobot yang telah dilakukan terdahulu. Analisis tingkat pusat-pusat pelayanan dilakukan dengan mengelompokkan satuan-satuan pemukiman berdasarkan indeks sentralitas terbobot (1ST) yang dimilikinya. Berdasarkan nilai IST-nya masing-masing kelompok tersebut dinamakan pusat pelayanan pertama (PP1), pusat pelayanan kedua (PP2), dan seterusnya. Dengan membandingkan nilai IST rata-rata dari setiap kelompok dapat diketahui apakah distribusi pusat-pusat pelayanan tersebut cukup baik sehingga mampu menjangkau satuan-satuan pemukiman yang ada. Sebagai acuan dapat digunakan kaidah bahwa jika IST pusat pelayanan pada suatu tingkatan memiliki nilai sekitar 0.5 dari IST pusat pelayanan pada tingkatan di atasnya, maka dianggap hirarki pusat-pusat pelayanan di wilayah yang ditinjau cukup baik. Sebaliknya jika IST pusat pelayanan pada tingkatan tertinggi sangat besar dibanding dengan IST pada tingkatan berikutnya, maka terjadi struktur primasi (primacy), artinya pelayanan pada wilayah tersebut terkonsentrasi hanya pada satu pusat utama saja. Untuk memberikan gambaran lebih jauh tentang metoda analisis dimaksud, diperlihatkan Hasil analisis hirarki pusat-pusat pelayanan di kabupaten XXX Tabel 4.8. Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten XXX NO. 1 2 3 4 5
FUNGSI PP1 PP2 PP3 PP4 PEMUKIMAN BIASA
JUMLAH LOKASI 1 3 4 15 109
INDEKS SENTRALITAS 1.493 240 - 276 109 - 176 58 - 91 2 - 47
IST RATARATA 1.493 270 135 75 16
43
Tabel 4.8 di atas memperlihatkan bahwa pusat-pusat pemukiman di Kabupaten Pacitan berdasarkan indekss sentralitasnya dibagi menjadi 5 kategori, yaitu pusat pelayanan utama (PPI), pusat pelayanan kedua (PP2), pusat pelayanan ketiga (PP3) dan pusat pelayanan keempat (PP4). Kategori kelima tidak digolongkan sebagai pusat pelayanan (hanya merupakan pemukiman biasa) karena tidak / kurang memiliki kemampuan pelayanan kepada wilayah sekitarnya. Informasi yang dapat diperoleh dari tabel ini antara lain bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara PPI (dengan IST = 1.493) dengan PP2 yang memiliki IST rata-rata hanya sebesar 270, atau sekitar kurang dari 20% IST PPI. Dengan kata lain bahwa PP2 di kabupaten XXX hanya memiliki kurang dari 20 % fasilitas yang terdapat di PPI. Padahal seperti disebutkan sebelumnya, persentase tersebut seyogyanya berkisar 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa adanya ketidak seimbangan struktur pusat-pusat di kabupaten XXX, pola hirarki pusat-pusat pelayanan membentuk struktur primacy atau terkosentrasi pada satu pusat saja, yaitu di kota XXX. Hal ini merupakan indikator ketersediaan fungsi pelayanan yang tidak merata serta penyampaian pelayanan sosial ekonomi yang tidak efisien pula. Analisis akan lebih tajam lagi jika tabel hirarki pusat-pusat pelayanan tadi dilengkapi dengan jumlah dan persentase pemukiman serta jumlah dan persentase penduduk yang berdiam pada setiap kelompok pusat-pusat tadi. Dari kaitan ini dapat dilihat distribusi penduduk yang terlayani dengan intensitas pelayanan tertentu. Berdasarkan informasi tersebut dapat ditemukenali program-program indikatif untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi fungsi pelayanan di wilayah yang ditinjau. Keunggulan : Keunggulan metoda terletak pada kesederhanaannya, baik yang menyangkut jumlah dan jenis data yang dibutuhkannya, maupun prosedur analisisnya, Walaupun demikian metoda ini mampu menggali informasi yang berkaitan dengan tingkatan dan distribusi pelayanan sosial ekonomi pada suatu wilayah. Kelemahan : Karena metoda ini berbasis pada hasil analisis skalogram, maka semua kelemahan dari metoda skalogram juga otomatis menjadi kelemahan metoda ini. Di samping itu, analisis distribusi pelayanan tidak 44
memperhitungkan faktor aksesibilitas lokasi, sehingga tidak memberikan gambaran distribusi pelayanan yang sebenarnya. 2. Analisis Sistem Hubungan Analisis Sistem Hubungan digunakan untuk menemukenali lokasi strategis bagi penempatan / pengembangan fasilitas sosial ekonomi dilihat dari segi potensinya sebagai wilayah tujuan penduduk dan luas jangkauan pelayanannya. Untuk maksud tersebut, perlu dievaluasi berbagai jenis keterkaitan fungsional antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Khusus untuk penyusunan RUTR, analisis keterkaitan fungsional dimaksud cukup dilakukan untuk 3 jenis keterkaitan, yaitu : (i) keterkaitan ekonomi, (ii) keterkaitan fisik, dan (iii) keterkaitan sosial. Analisis keterkaitan ekonomi difokuskan pada keterkaitan antara pusat-pusat pemasaran yang ada, keterkaitan fisik difokuskan pada analisis sistem jaringan perhubungan / transportasi, sedangkan analisis sosial difokuskan pada hubungan yang terjadi akibat adanya pelayanan sosial ekonomi, khususnya sekolah dan rumah sakit. Pertanyaan analitik yang berkaitan dengan analisis sistem hubungan diperlihatkan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Pertanyaan Analitis dalam Analisis Sistem Hubungan. PERTANYAAN / INFORMASI Bagaimana keterkaitan dan hirarki pasar-pasar yang ada pada wilayah yang ditinjau Bagaimana pola keterkaitan satuansatuan pemukiman dan tingkat efektivitas pelayanan jaring an transportasi yang ada Bagaimana keterkaitan sosial mempengaruhi pola arus pergerakan penduduk
METODA ANALISIS Analisis Pusat Pemasaran
Analisis Jaringan Transportasi
Analisis Keterkaitan Sosial
a. Analisis Pusat Pemasaran Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hirarki pasar-pasar yang terdapat pada wilayah perencanaan dan jangkauan pelayanannya masing-masing. Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah pergerakan
45
penduduk khususnya masyarakat.
yang
berkaitan
dengan
aktivitas
ekonomi
Prosedur analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Kompilasi daftar pasar-pasar yang terdapat pada pusat-pusat pemukiman. Data yang dibutuhkan antara lain berupa frekuensi dan besaran pasar, yaitu meliputi jumlah pedagang, jenis dan jumlah komoditas yang diperdagangkan, luas lantai, dan sebagainya. Umumnya data tersebut telah tersedia sehingga tidak membutuhkan survei khusus. 2. Memetakan dan mengklasifikasikan pasar menurut frekuensi dan besarannya. 3. Mengukur aktivitas pasar; Untuk penyusunan RUTR aktivitas pasar dapat diukur secara tidak langsung, yaitu dengan menganalisis data yang berkaitan dengan jumlah penerimaan retribusi pasar yang berhasil dikumpulkan, jumlah izin yang dikeluarkan, luas lantai yang digunakan oleh pedagang, ukuran bangunan pasar permanen dan data-data lainnya. 4. Menentukan wilayah pengaruh pasar. Perkiraan kasar tentang wilayah pengaruh suatu pasar dilakukan dengan menganalisis data asal tujuan komoditas pada setiap pasar yang ada pada satuan pemukiman, hambatan-hambatan alamiah, dan sarana serta prasarana transportasi yang menghubungkan satuan-satuan pemukiman. Data dimaksud dikumpulkan pada tingkatan satuan pemukiman {desa-desa) dan umumnya telah tersedia, antara lain pada buku Kabupaten dalam Angka, Kecamatan dalam Angka, atau Buku Profil Desa. Data orientasi pasar juga dapat diperoleh dari buku Common Data Base (CDB) Kabupaten yang disusun oleh PUSIDO/P2Rsetempat, atau jika tidak tersedia dapat dicari pada kantor Kanwil/Dinas Perdagangan setempat. Jika data sekunder tidak tersedia, maka dibutuhkan survei khusus. Untuk keadaan seperti ini, disarankan untuk melakukan analisis pusat pemasaran dengan mengambil beberapa pasar dengan berbagai hirarki, misalnya 2 atau 3 pasar terbesar dan beberapa pasar lokal lainnya sebagai sample. Keunggulan : Analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui luas atau jangkauan wilayah pelayanan suatu pasar dengan hanya mengandalkan data sekunder saja, sehingga tidak diperlukan survei khusus. Kelemahan :
46
Metoda analisis ini tidak mampu menjelaskan lingkup orientasi pemasaran terutama bagi pasar-pasar besar yang melayani perdagangan yang bersifat lebih luas (antar wilayah). b. Analisis Jaringan Transportasi Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar satuan-satuan pemukiman berdasarkan jaringan transportasi yang tersedia dan tingkat efektivitas pelayanan sistem jaringan transportasi dilihat dari jumlah satuan pemukiman / penduduk yang terlayani. Data yang dibutuhkan untuk analisis ini antara lain [3] : 1. Kerapatan jalan, yaitu berupa panjang jalan dibagi dengan luas wilayah. 2. Kebutuhan transportasi bagi penduduk pedesaan 3. Kualitas / kelas jalan, untuk menentukan aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan yang ada di pusat-pusat pelayanan. 4. Jarak rata-rata satuan pemukiman ke jaringan transportasi utama. 5. Klasifikasi jalan menurut: jalan negara, jalan propinsi dan jalan kabupaten. 6. Moda transportasi yang tersedia, mulai dari dokar, sepeda, sepeda motor, mobil, dan sebagainya, dikaitkan dengan kemudahan transportasi pada masa sekarang dan pada masa akan datang. 7. Kondisi permukaan jalan, misalnya beraspal, jalan krikil, jalan tanah, dan sebagainya, dikaitkan dengan kriteria-kriteria aksesibilitas. 8. Data asal dan tujuan perjalanan penumpang dan barang, termasuk volumenya. Umumnya data di atas telah tersedia, misalnya dapat diperoleh dari buku Kabupaten dalam Angka, dan khusus untuk data asal tujuan perjalanan penumpang dan barang dapat diperoleh dari hasil survei asal dan tujuan yang dilakukan secara periodik oleh Departemen Perhubungan atau dapat dikumpulkan dari kantor DLLAJ setempat. Data tersebut dikompilasi menurut moda, jaringan dan kondisi jalan, dan diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan kemampuan jaringan transportasi melayani kebutuhan penduduk. Contoh hasil analisis dimaksud ditayangkan pada Tabel 7.10 yang memperlihatkan kemampuan pelayanan yang ditawarkan oleh jaringan transportasi pada suatu wilayah hipotetis. Dengan memperhatikan tabel ini terlihat bahwa jaringan transportasi pada wilayah yang ditinjau belum memadai, karena persentase penduduk yang
47
tidak terlayani oleh jalan raya mencapai angka 30 % yang berdiam pada 321 satuan pemukiman (kurang lebih 41 % dari total satuan pemukiman yang ada). Jumlah jalan aspal juga kurang memadai karena hanya mampu melayani 9% dari seluruh jumlah penduduk, atau hanya menghubungkan 3% dari total satuan pemukiman saja. Tabel 4.10 Jumlah Penduduk dan Satuan Pemukiman yang Dilayani oleh Jaringan Jalan di Kabupaten Antah Berantah PENDUDUK YANG TERLAYANI % JML.TOTAL Jalan Raya: Aspal Krikil Tanah Sub Total Jalan Setapak Lainnya: Sungai Kereta Api Total
9 13 46 30
2 100
50.783 73.354 259.560 383.697 169.278
11.285 564.260
PEMUKIMAN YANG TERLAYANI % JML.TOTAL 3 6 48 41
23 47 376 446 321
2 100
16 784
Keunggulan dan Kelemahan : Data yang dibutuhkan untuk analisis ini. yaitu mengenai prasarana dan sarana transportasi relatif tersedia di semua kabupaten di Indonesia, tetapi data mengenai asal tujuan perjalanan barang tidak dilakukan setiap tahun (sekali dalam 5 tahun), sedangkan asal tujuan penumpang sangat jarang dilakukan sehingga diperlukan survei khusus. Data asal tujuan penumpang dan barang memperlihatkan kepadatan angkutan menurut ruas jalan, dengan demikian dapat disusun prioritas pembangunan dan pengembangan jalan secara tepat. c. Analisis Keterkaitan Pelayanan Wilayah Salah satu cara untuk melihat derajat keterkaitan antara satuansatuan pemukiman dengan pusat-pusat pelayanan, atau untuk mengukur wilayah pengaruh suatu pusat pelayanan adalah dengan mempelajari asal dari penduduk yang memanfaatkan suatu fasilitas pelayanan, khususnya pelayanan sosial, misalnya sekolah dan rumah sakit. Tahapan untuk analisis ini, dengan mengambil sekolah lanjutan sebagai contoh fasilitas pelayanan sosial, adalah sebagai berikut: 48
1. Kumpulkan data tentang jumlah sekolah menengah yang ada pada setiap satuan pemukiman. 2. Pilih beberapa sekolah menengah yang ada pada setiap satuan pemukiman sebagai cuplikan (sample). 3. Catat asal dari siswa sekolah yang dicuplik tersebut dan buat distribusinya menurut jarak dari sekolah. 4. Hasil tabulasi data (hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.11 Tabel 4.11 Jangkauan Pelayanan dari Sekolah Menengah di Kabupaten Antah Berantah DISTRIBUSI PEMUKIMAN ASAL % JUMLAH LOKASI 0-5 Km 5 -10 Km > 10 Km SEKOLA SISWA SEKOLAH Rata-2 H DARI Rata-2 Rata-2 Jumlah Jumlah Jumlah LUAR per per per PemuPemuPemuDAE Pemu Pemu Pemukiman kiman kiman RAH kiman kiman kiman
A B C D E F H I J
9 7 3 2 2 1 1 1 1
58 69 55 54 48 56 44 28 42
205 82 13 16 40 16 24 2 -
1.9 2.1 2.3 2.5 2.1 2.6 4.0 5.2 -
30 12 3 7 3 3 3 3
6.2 6.7 7.2 7.3 8.6 6.9 6.5 8.3
7 6 1 3 2 2 2 2 1
17.9 14.6 29.3 16.2 13.7 18.6 13.5 14.7 16.7
Beberapa informasi dapat ditarik dari Tabel 4.11, antara lain bahwa pelayanan sekolah menengah tidak terdistribusi merata pada seluruh wilayah kabupaten. Sekitar60%dari seluruh sekolah menengah terdapat pada dua kota saja, yaitu kota A dan B. Informasi lainnya yang dapat ditarik, bahwa berdasarkan data tersebut terlihat bahwa untuk kota A, 58 % siswanya berasal dari 242 satuan pemukiman di luar kota A, dan dari jumlah itu sekitar 85 % (205 satuan pemukiman) dalam jangkauan jarak kurang dari 5 km. Ini menunjukkan kecilnya jangkauan pelayanan fungsi tersebut. Keunggulan dan Kelemahan : Informasi yang diperoleh dari analisis ini bersama-sama dengan kedua jenis analisis yang disebutkan terdahulu dapat dipakai untuk menentukan sentralitas dari suatu pusat pelayanan sekaligus jangkauan wilayah pelayanannya.
49
Analisis ini hanya menjelaskan pelayanan yang sifatnya "kedalam" (sekolah dan rumah sakit) dan bukan untuk fungsi pelayanan yang bersifat sentral (misalnya fasilitas pelayanan pendidikan tinggi atau rumah sakit spesialistis) yang cenderung melayani penduduk yang berasal dari luar kabupaten. 3. Analisis Aksesibilitas Analisis Aksesibilitas diarahkan untuk mengetahui tingkat kemudahan hubungan dari penduduk yang berdiam pada suatu pemukiman yang tersebar dalam wilayah perencanaan untuk menikmati fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terletak pada pusat-pusat pelayanan. Dengan kata lain analisis dapat digunakan untuk menentukan satuan-satuan pemukiman yang tidak terjangkau secara memadai oleh pusat-pusat pelayanan sosial ekonomi (wilayah terisolasi). Tingkat kemudahan diukur dengan jumlah pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan. Jumlah pengorbanan Dalam proses analisis aksesibilitas, analisis diarahkan untuk menjawab sekurangnya dua pertanyaan analitis yang diperlihatkan pada Tabel 4.12 4. Indekss Wilayah Pelayanan Analisis ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan (dengan kata lain wilayah pelayanan) dari setiap fungsi pelayanan sosial ekonomi. Jangkauan pelayanan dimaksud diukur berkisarkan waktu atau ongkos tertentu yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati pelayanan yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan, dibandingkan dengan suatu kriteria atau acuan baku tertentu. Acuan ini bervariasi menurut jenis pelayanan.
50
Tabel 4.12. Pertanyaan Analitis yang Berkaitan dengan Aksesibilitas PERTANYAAN / INFORMASI
METODA ANALISIS
Seberapa jauh jangkauan pelayanan Indeks Wilayah Pelayanan yang mampu disediakan oleh suatu jenis fasilitas pelayanan. Bagaimana mengukur tingkat Model Aksesibilitas kemudahan yang dimiliki oleh suatu lokasi / pusat pelayanan
Prosedur untuk menghitung indeks wilayah pelayanan terdiri atas empat langkah sederhana, yaitu: 1. Catat semua jarak yang menghubungkan pusat-pusat pelayanan dengan satuan-satuan pemukiman yang ada pada wilayah perencanaan. 2. Hitung jarak antara setiap satuan pemukiman ke setiap fasilitas pelayanan, dan hitung pula jumlah penduduk yang berdiam pada setiap interval jarak ke fungsi pelayanan. 3. Buat tabel yang memperlihatkan distribusi persentasi penduduk menurut jarak dari lokasi fungsi pelayanan untuk setiap fungsi pelayanan yang dianalisis. 4. Bandingkan hasil yang diperoleh pada langkah 3 di atas dengan acuan / kriteria yang dianut untuk memperoleh kesimpulan apakah jangkauan pelayanan suatu fasilitas memenuhi kriteria atau tidak. Contoh : Aksesibilitas penduduk kota A terhadap beberapa fungsi pelayanan dapat ditentukan dengan mengukur jarak dari kota A ke lokasi fungsi pelayanan. Hasil pengukuran dimaksud (dengan data hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.13. Jika berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa sulit bagi penduduk kota A berjalan lebih jauh dari 15 km berhubung kondisi jalan yang buruk atau kendala geografis lainnya, maka berdasarkan data pada Tabel 7.13 dapat disimpulkan bahwa penduduk yang berdiam di kota A masih dalam jangkauan pelayanan dari fungsi balai pertemuan, sekolah dasar dan puskesmas, tetapi berada-diluar jangkauan pelayanan efektif dari rumah sakit, dan SLTP. Tabel 4.13 Jarak Rata-Rata kota A ke Fungsi Pelayanan
51
Fungsi Pelayanan
Jarak Rata-Rata
Balai Pertemuan
0 Km (terletak pada kota A)
Sekolah Dasar
5 Km
Puskesmas
10 Km
Rumah Sakit
20 Km
SLTP
20 Km
Wilayah pelayanan dari setiap fasilitas ditentukan dengan menghitung proporsi jumlah penduduk yang berdiam pada interval jarak tertentu dari lokasi fasilitas pelayanan. Contoh perhitungan-ini, juga dengan menggunakan data hipotetis, diperlihatkan pada Tabel 4.14 Tabel 4.14 Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Jarak Dari Fungsi Pelayanan 0 Km 1 -5 Km 6-10 Km
11 -20 Km
> 20 Km
Balai Pertemuan
60
30
10
Sekolah Dasar
30
40
30
Puskesmas
20
30
30
20
Rumah Sakit
10
15
20
25
30
SLTP
10
15
20
25
30
Selain menggunakan variabel jarak, metoda analisis ini dapat pula didasarkan pada variabel waktu atau ongkos yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas pelayanan. Tergantung pada kondisi wilayah yang dianalisis, tetapi dalam banyak kasus variabel waktu atau ongkos ini lebih mencerminkan aksesibilitas yang sebenarnya. Untuk mengukur apakah jangkauan pelayan memadai atau tidak, diperlukan kriteria baku yang menyangkut waktu, jarak atau ongkos maksimal yang dikeluarkan untuk mencapai lokasi fasilitas pelayanan. Misalnya, jika disepakati bahwa sekurangnya 50% penduduk harus berdiam pada wilayah yang berjarak kurang dari 5 km dari SLTP sebagai kriteria jangkauan pelayanan untuk SLTP, maka berdasarkan data pada Tabel 4.13 di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah pelayanan SLTP
52
kurang atau tidak memadai. Jika kriteria jangkauan pelayanan untuk balai pertemuan adalah sekurang-kurangnya 50 % penduduk berdiam pada lokasi yang berjarak kurang dari 10 km dari balai pertemuan, maka berdasarkan data di atas diperoleh kesimpulan bahwa aksesibilitas fungsi tersebut jauh di atas rata-rata. Keunggulan : Analisis membutuhkan data yang umumnya tersedia atau gampang dikumpulkan dan proses analisisnya juga relatif mudah. Walaupun demikian metoda ini mampu dengan cepat memperlihatkan kekurangan fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada wilayah yang ditinjau, dan sekaligus memberikan informasi alternatif lokasi tempat pengembangan fungsifungsi pelayanan yang dianggap kurang. Kelemahan : Hasil analisis tidak mencerminkan tingkat aksesibilitas yang sebenarnya, karena analisis tidak didasarkan pada pengukuran jumlah penduduk yang betul-betul membutuhkan fasilitas pelayanan tersebut. Di samping itu, hasil pengukuran hanya mencerminkan aksesibilitas yang bersifat fisik saja, variabel-variabel lainnya belum tercermin. Misalnya, penduduk yang berdiam di dekat rumah sakit swasta yang modern, secara fisik memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi, tetapi pada kenyataannya tidak mampu menikmati fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut karena tidak memiliki uang yang cukup. 5. Model Aksesibilitas berdasarkan pendekatan lain, misalnya DAS atau lainnya. Untuk memudahkan analisis diasumsikan bahwa semua perjalanan dilakukan antar pusat-pusat kawasan. Pada contoh ini diambil 3 buah kawasan. Model ini dapat dipakai untuk mengukur tingkat kemudahan suatu pusat pelayanan yang memiliki beberapa fungsi pelayanan sosial ekonomi. Model mengacu pada pendekatan bahwa tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berpotensi untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan yang tersedia. Makin banyak jumlah penduduk makin tinggi pula aksesibilitas pusat pelayanan tersebut. Contoh cara perhitungan indeks aksesibilitas lokasi dengan menggunakan data hipotetis adalah sebagai berikut : 1. Tentukan kawasan dan pusat kawasan Kawasan dimaksud dapat ditentukan berdasarkan wilayah administratif (kecamatan), atau
53
2. Tentukan jaringan perhubungan antara setiap pusat serta jenis sarana transportasi yang ada. 3. Hitung waktu jelajah, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dari satu pusat ke pusat kawasan lainnya, termasuk waktu jelajah dalam pusat kawasan. Hasil perhitungan dinyatakan dalam bentuk tabel sebagai berikut: Dari Kawasan 1 0.3 7.0 7.4
1 2 3
Ke kawasan 2 6.8 0.5 3.9
3 7.3 4.0 0.4
4. Kumpulkan data tentang jumlah penduduk serta jumlah dan jenis fungsi-fungsi pelayanan yang tersedia pada setiap kawasan, dan tayangkan hasilnya dalam bentuk tabel. Contoh tabel tersebut adalah sebagai berikut: Kawasan
Jumlah Penduduk
1 2 3
10.000 6.000 4.000
Jumlah Fungsi Jumlah Fungsi A B
7 2 0
3 0 0
5. Hitung indekss Travel Convenience , yaitu jumlah fungsi yang berada pada suatu kawasan dibagi dengan waktu jelajah ke kawasan tersebut. Aij = Nkj / Tik dengan: Nkj Tik
= Jumlah fungsi j pada kawasan k = Waktu jelajah dari kawasan i ke kawasan k
Hasil perhitungan ini diperlihatkan pada Tabel berikut: KAWASAN 1 2 3
FUNGSI A 23.63 5.00 1.46
B 10.00 0.43 0.41
6. Beri bobot setiap fungsi berdasarkan pentingnya fungsi tersebut di mata penduduk.
54
Pada model ini diasumsikan bahwa bobot setiap fungsi tergantung pada jumlah kunjungan dan waktu jelajah rata-rata yang dibutuhkan untuk menikmati pelayanan yang ditawarkan fungsi tersebut. Bobot dimaksud dihitung dengan rumus berikut: W j = Nj x T j x P j dengan: Nj = Jumlah kunjungan rata-rata ke fungsi j dalam waktu tertentu. Tj = Waktu jelajah rata-rata ke lokasi fungsi j Pj = Proporsi penduduk yang menggunakan fungsi j 7. Hitung Bobot Penduduk Di sini diasumsikan bahwa lokasi fungsi yang dapat menjangkau lebih banyak penduduk lebih baik dibanding dengan lokasi yang relatif kurang dijangkau oleh penduduk. Indeks Aksesibilitas Total (Ai) untuk setiap kawasan dihitung dengan rumus : m Ai = 2 AijxWj Keunggulan : Mampu memperlihatkan distribusi pusat-pusat pelayanan berdasarkan indeks aksesibiliitasnya masing-masing, sehingga dengan demikian kesenjangan an-tara pusat-pusat pelayanan dapat diketahui yang akan berguna sebagai input dalam usaha pemerataan pelayanan keseluruh pelosok wilayah perencanaan. Kelemahan : Membutuhkan data yang relatif banyak yang kadang-kadang tidak tersedia, sehingga membutuhkan survei tersendiri. Selain itu, informasi yang diberikan bersifat agregatif, tidak menggambarkan fungsi-fungsi pelayanan yang kurang atau berlebih pada wilayah perencanaan.
55
BAB V. PENUTUP 1. Proses Pembelajaran Pembelajaran dalam kelas dilaksanakan dengan mengadopsi proses pembelajaran berbasis student center learning. Kelas dibagi dalam kelompok sesuai dengan modul dan sub modul pembelajaran. Mahasiswa melakukan pendalaman berpedoman kepada modul/bahan ajar serta mengembangkan materi dengan tugas pengayaan yang dicari melalui internet. Kelompok mahasiswa adalah juga kelompok peserta seminar. Dalam hal ini setiap kelompok menjadi penyaji dari modul/sub modul yang menjadi tuga kelompoknya. Pendalaman materi secara individu ilakukan dengan meminta mahasiswa peserta untuk menjadi penanya atau memberi penjelasan atas materi diskusi. 2. Evaluasi Evaluasi adalah proses penilaian kompetensi peserta perkuliahan, yaitu menguji kemampuan mahasiswa sesuai dengan tujuan pembelajaran, dalam hal ini tujuan umum pembelajaran dan tujuan khusus pembelajaran. Indikator penialain evaluasi, adalah: a) Menilai keaktifan mahasiswa dengan memperhatikan kehadira, partisipasi dalam seminar/diskusi. b) Memeriksa tugas-tugas kelompok dan tugas individu c) Mengadalan mid semester test. Test ini sifatnya tentatif, bergantung kepada penilaian sepanjang proses pembelajaran d) Penialai akhir semester (final test). Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui kompetensi individu yang sering kurang berkembang karena kerja kelompok yang tidak memeberi kesempatan untuk berkembang. 3. Kisi-kisi Evaluasi Kisi-kisi evaluasi adalah rangkuman materi belajar yang diharapkan dapat menjadi indikator penilaian kemampuan atau kompetensi yang diharapkan sebagai hasil akhir pembelajaran.
56
Mataeri kisi-kisi ini adalah mencakup substansi tujuan khusus pembelajaran, yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa peserta mata kuliah menguasai dan mampu menggunakan metode: (1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indekss Kualitas Hidup (IKH)/Indekss Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat: (2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis sektor basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis komparatif produksi/komoditas unggulan. (3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta Analisis Aksesibilitas.
57
DAFTAR PUSTAKA 1.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
2.
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.
3.
PSDAL-UH dan DTKTD Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (1992) Studi Tipologi Kabupaten, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
4.
Amin, Mappadjantji (1991) Pokok-pokok Pikiran dalam Rangka Identifikasi dan Penyusunan Tipologi Kabupaten, Makalah, Jakarta 16 Agustus.
5.
Barlowe, Raleigh (1986). Land Resource Economic, Prantice Hall Ltd., New Jersey, USA.
6.
Bellasa, Bela (1989), Comparative Advantage, Trade Policy and Economic Development, New York University Press, New York.
7.
Budiharsono, Sugeng (1988), Dasar-dasar Perencanaan Wilayah, Penerbit Universitas Nusa Bangsa, Bogor.
8.
Dajan, Anto (1991), Pengantar Metode Statistik, Jilid 1, LP3ES Universitas Indonesia, Jakarta.
9.
Dykstra, Dennis P. (1984). Mathematical Programming for Natural Resource Management, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
10. Friedmann, John (1966), Regional Development Policy, a Case Study of Venezuela, MAT Press, Cambridge, Mass. USA. 11. Kurniati, Nia dan Zavir D. Pontoh (1998). Pengantar Perencanaan Kota, Penerbit ITB, Bandung. 12. Mantra, Ida Bagus (1985) Pengantar Studi Demografi, Penerbit Nurcahaya, Yogyakarta. 13. Parenta, Taduddin (1987), Kajian Posisi Relatif Perekonomian Sulawesi Selatan terhadap Perekonomian Nasional, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. 14. Rondinelli, Dennis A. (1985), Applied Methods of Regional Analysis, the Spatial Dimensions of Development Policy, Westview Press, Boulder Colorado, USA.
58
15. _____________(1976). Urban Function for Rural Development, John Wiley , New York 16. Richardson, H, W. (1972), Input-Output and Regional Economics, Halsted Press Book, John Wiley , New York. 17. ______________(1972). Regional Economics, Halted Press John Wiley , New York. 18. Sen, Amartya (1983). Development Economics – Which Way New?, Economic Journal Vol. 93 No. 372. 19. Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. 20. _______________(2008), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta 21. Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
59