VI.
ANALISIS KRITIS
Tahap Perencanaan Proyek Perencanaan proyek terbagi dalam beberapa tahapan, mulai dari melakukan riset-riset di lapangan sampai dengan mengintegrasikan hasil kajian tersebut ke dalam dokumen perencanaan proyek. 1. Lokakarya konsensus Lokakarya konsensus dilaksanakan pada 14 Februari 2009 di Desa Sungai Putri. Lokakarya ini melibatkan 36 orang peserta yang mewakili unsur pemerintahan desa, tokoh masyarakat dan pengguna sumber daya (end user) dari 4 desa target (Tempurukan, Sungai Putri, Tanjung Baik Budi dan Kuala Tolak). Pertemuan dilakukan untuk merumuskan model konseptual kawasan Kompleks Hutan Rawa Gambut (KHRG) Sungai Putri. Unsur pemerintah daerah seperti dari Dinas Kehutanan dan Bappeda sengaja tidak dilibatkan dalam lokakarya ini untuk menghindari kekakuan suasana dan agar kelompok pengguna sumber daya mengeluarkan pendapatnya. Pemerintah akan diposisikan sebagai ahli yang nanti akan dikonsultasikan dan dimintai pendapatnya setelah lokakarya dilaksanakan. Pembelajaran yang bisa diambil dari proses ini yang pertama adalah proses ini sangat penting dilakukan untuk memulai suatu proyek atau kegiatan di suatu kawasan. Terutama untuk menumbuhkan kesepahaman bersama terhadap masalah yang terjadi di satu kawasan. Berdasarkan pengalaman Manajer Kampanye, sebelumnya seringkali lembaga bekerja menyelesaikan masalah atas penilaian sepihak. Penilaian ancaman hanya dilakukan dengan desk study atau monitoring langsung di lapangan, tanpa melibatkan masyarakat atau pengguna sumber daya (end user). Sehingga ketika program berjalan, sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Pembelajaran yang kedua, pemilihan peserta yang terlibat dalam lokakarya ini menjadi bagian yang akan menentukan output dari pertemuan. Manajer kampanye meminta bantuan kepala desa untuk memilih peserta yang memang berinteraksi langsung dengan kawasan Sungai Putri. Manajer kampanye juga menjelaskan kepada kepala desa detil tujuan dan tahapan pertemuan. Tujuannya agar kepala desa dapat meneruskannya pada stakeholder lain yang diundang. Namun sayangnya, ketika lokakarya berlangsung dan Manajer kampanye menjelaskan maksud serta tujuan dari pertemuan, masih banyak peserta yang tidak paham 85
bahkan menyangsikan bahwa benar Titian akan bekerja di wilayah mereka. Sehingga Manajer kampanye menghabiskan banyak waktu untuk mengantarkan proses lokakarya ini. Keragu-raguan ini muncul kemungkinan besar dikarenakan masyarakat di daerah ini belum pernah berpengalaman bekerja bersama NGO. Namun ini menjadi pelajaran yang berharga, ke depan jika akan melakukan pertemuan serupa, manajer kampanye harus bergerilya menjelaskan detil maksud pertemuan kepada semua stakeholder yang dilibatkan. Konteks diskusi juga sempat menjadi perdebatan. Penggunaan nama “Hutan Sungai Putri” sempat dipermasalahkan. Peserta berpikir hutan Sungai Putri hanyalah kawasan hutan yang ada di dalam wilayah administrasi desa Sungai Putri saja. Jika seperti ini, peserta dari desa yang lain tidak bersedia untuk mengikuti pertemuan karena tidak mau mencampuri urusan di luar desanya. Namun ketika diberikan pemahaman mengenai kawasan yang dimaksud, peserta lokakarya dapat menerima dan proses diskusi dapat diteruskan. Ini menjadi catatan tersendiri bagi fasilitator, kedepan jika melakukan kegiatan serupa di kawasan lain, perlu dipastikan apakah ada keseragaman penyebutan nama suatu kawasan atau tidak. Dalam konteks Sungai Putri, Manajer kampanye perlu melakukan penggalian mengenai nama lokal untuk kawasan hutan ini. Pembelajaran selanjutnya adalah sangat penting mengendalikan diri dan menjaga sikap netral selama proses lokakarya berlangsung. Ini sangat dirasakan Manajer kampanye terutama ketika ada peserta lokakarya yang sering bicara hal-hal di luar konteks. Manajer kampanye mesti bersikap tegas namun tidak boleh terbawa emosi untuk menjaga agar situasi lokakarya tetap nyaman bagi semua orang. Kehadiran peserta yang senang bicara di luar konteks ini juga menjadi tantangan dalam proses lokakarya, terutama karena jika kurang konsentrasi, Manajer kampanye bisa terbawa dalam proses diskusi yang tidak menyentuh substansi dan justru melenceng dari alur lokakarya. Untuk mengatasi hal ini, manajer kampanye membuat rancangan kaleidoskop sebelum pertemuan dan mencetaknya untuk dijadikan panduan selama lokakarya. Rancangan kaleidoskop ini menjadi pegangan Manajer kampanye agar alur lokakarya berjalan seperti yang sudah direncanakan. Tantangannya lain yang dihadapi dalam lokakarya adalah menjaga semangat peserta untuk tetap bertahan dan berpartisipasi aktif hingga lokakarya selesai. Manajer kampanye berusaha menyegarkan suasana dengan menyelingi proses diskusi dengan permainan-permainan (energizer). Hasil dari lokakarya ini diolah dengan piranti Miradi dan didiskusikan dengan tim dan instansi terkait. Dinas Pertanian dan kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata turut dimintai masukan untuk merevisi model konseptual ini. Dinas Kehutanan pada saat 86
itu justru tidak diajak berdiskusi langsung karena Manajer kampanye berkesimpulan, hasil dari lokakarya konsensus terutama yang terkait dengan wilayah kerja/ kewenangan Dinas Kehutanan tidak ada yang perlu diklarifikasi. 2. Riset kuantitatif Riset kuantitatif dilakukan pada April 2009, menggunakan metode survei dengan kuesioner. Kuesioner survei dirancang dengan menggunakan software Apian Survei Pro. Pemilihan sampel dilakukan dengan bantuan penghitungan dari www.surveysystem.com berdasarkan jumlah populasi di keempat desa target. Sebagai pembanding, diambil sampel dari desa yang dekat dengan site. Jumlah sampel kontrol ini 2/3 dari jumlah total sampel di desa target. Ada 11 enumarator yang membantu pelaksanaan survei. Kesebelasnya berasal dari desa yang akan disurvei (target dan kontrol). Sehari sebelum pelaksanaan survei, dilakukan pelatihan enumerator. Tujuannya agar enumerator menguasai kusioner panduan wawancara dan cara pemilihan sampel. Pada saat pelatihan enumerator juga dibuat kesepakatan coaching antara enumerator dengan manajer kampanye. Kesepakatan ini bersifat verbal. Enumerator dapat menghubungi manajer kampanye setiap kali membutuhkan bantuan teknis di lapangan. Namun, ternyata mekanisme coaching seperti ini cukup menyulitkan manajer kampanye. Enumerator seringkali menghubungi manajer kampanye untuk hal-hal teknis yang sebenarnya dapat diatasi langsung oleh enumerator. Misalnya ada responden yang menanyakan tujuan survei dan apakah mereka wajib untuk dicacah, enumerator tidak menjelaskan langsung tetapi justru menghubungi manajer kampanye untuk memberikan penjelasan pada responden. Hal ini kemungkinan terjadi karena: Kesepakatan untuk mekanisme coaching yang dibuat tidak spesifik. Tidak disepakati kendala teknis apa saja yang penyelesaiannya mesti dibantu oleh Manajer kampanye. Terkesan masih ada ‘jarak’ antara enumerator dan manajer kampanye. Enumerator tidak menempatkan dirinya sebagai satu tim yang utuh dengan Manajer kampanye. Ini mungkin dikarenakan rekutmen enumerator yang waktunya terlalu dekat dengan waktu pelatihan dan pelaksanaan survei. Sehingga Manajer kampanye tidak punya cukup waktu untuk saling mengenal dan membangun tim surveinya. Belajar dari pengalaman mengelola survei pra kampanye ini, pada survei paska manajer kampanye menunjuk 1 orang coordinator enumerator. Sehingga mekanisme coaching tidak langsung dari manajer kampanye ke enumerator. Jika memerlukan bantuan teknis di lapangan, enumerator cukup menghubungi coordinator. Jika coordinator tidak dapat membantu menyelesaikan permasalahan atau memberikan jawaban yang diperlukan, maka coordinator yang seterusnya akan berkonsultasi dengan manajer kampanye. Metode ini terbukti cukup efektif. Sehingga pada saat survei berlangsung, manajer kampanye dapat mengalokasikan waktu untuk aktivitas yang lain. Pada saat yang bersamaan, Manajer kampanye juga tengah mendampingi tim 87
pioneer CU mempersiapkan perencanaan strategis. Pembagian peran dengan koordinator enumerator ini memungkinkan Manajer kampanye untuk lebih fokus mempersiapkan perencanaan strategis CU. Sebelum melakukan survei kuantitatif, tidak dilakukan uji kuesioner sehingga baru setelah survei sebenarnya dilakukan diketahui bagaimana penerimaan responden terhadap item-item pertanyaan dalam kuesioner. Pilihan jawaban untuk pertanyaan yang menjadi dasar untuk mengukur perubahan perilaku misalnya, baru setelah survei paska diketahui susah dipahami oleh responden. Uji kuesioner sangat penting dilakukan untuk memperbaiki kualitas kuesioner, sehingga dapat dipahami dan direspon dengan baik oleh responden. Kuesioner perlu diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memenuhi kaidah riset yang ilmiah. Validitas (Validity) yaitu sejauhmana suatu alat ukur tepat dalam mengukur suatu data, dengan kata lain apakah alat ukur yang dipakai memang mengukur sesuatu yang ingin diukur. Sedangkan reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila diukur beberapa kali dengan alat ukur yang sama. Biasanya untuk keperluan uji instrumen/kuesioner
ini, responden diambil pada lokasi yang berbeda dengan lokasi survei sebenarnya namun memiliki karakteristik yang sama. Biasanya jumlah responden yang digunakan adalah 10% dari jumlah sampel survei12. 3. Riset kualitatif dan diskusi dengan pakar Riset kualitatif dan diskusi dengan pakar terutama dilakukan pada saat merancang kegiatan penyingkiran halangan. Terkait dengan rantai faktor terbatasnya akses terhadap modal, Manajer kampanye melakukan riset kualitatif untuk menggali animo masyarakat terhadap wadah untuk pengumpulan modal. Selain itu juga digali apakah sebelumnya sudah pernah ada model lembaga keuangan yang berkembang di desa, kemudian bagaimana perkembangannya dan tantangan yang dihadapi. Riset kualitatif ini dilakukan dengan metode in depth interview dengan tokoh-tokoh kunci. Diskusi dengan pakar terutama diperlukan untuk menulis Barrier Removal Assessment and Viability Overview (BRAVO) dan Barrier Removal Operational Plan (BROP). Tantangan terbesar dalam tahapan ini adalah mengelola waktu. Karena terkadang ketersediaan waktu narasumber atau pakar yang ingin kita temui tidak sesuai dengan target waktu yang kita miliki. Strategi yang digunakan untuk mengatasi hal ini, terkait dengan narasumber mengenai CU, Manajer kampanye mencoba mencari literature terlebih dahulu untuk mulai menulis dokumen BROP. Hasil konsultasi dengan pakar baru ditambahkan kemudian untuk menyempurnakan kerangka dokumen yang sudah dibuat. Khusus untuk stakeholder di tingkat desa, tantangan terbesarnya adalah meminta waktu untuk wawancara dan meyakinkan narasumber bahwa informasi yang mereka sampaikan akan sangat membantu dalam desain proyek. Manajer kampanye biasanya mendatangi narasumber pada malam hari, karena pagi sampai sore biasanya waktu dihabiskan untuk bekerja di kebun 12
http://syehaceh.wordpress.com/2008/10/20/uji-instrumen-2
88
atau ladang. Untuk membantu mencairkan suasana dan lebih meyakinkan narasumber yang didatangi, Manajer kampanye akan meminta kepala desa atau orang berpengaruh lainnya di kampung untuk mendampingi proses wawancara. Dari proses ini Manajer kampanye belajar memahami karakter orang kemudian mengembangkan skill komunikasi agar narasumber merasa nyaman untuk mengeluarkan pendapatnya. Pada proses ini, Manajer kampanye juga merasa kapasitasnya dalam hal memahami seluk beluk CU juga meningkat. Karena untuk berdiskusi dengan pakar/ narasumber, Manajer kampanye harus memperkaya diri terlebih dahulu dengan pengetahuan mengenai CU. Tantangan lainnya adalah ketika menulis BRAVO, dikarenakan template BRAVO yang cukup rumit terutama pada bagian “Panduan Perancangan BRAVO”. Kriteria dan penentuan skoring pada bagian ekonomi dan budaya/ politik sulit untuk dipahami. Manajer kampanye menghabiskan banyak waktu untuk berkonsultasi dengan Pride Program Manager dan rekan sejawat untuk menggunakan tools ini. Ke depan ada baiknya jika RARE menyederhanakan template ini, atau bahkan mengganti toolsnya, misalnya strategi penyingkiran halangan cukup dianalisis SWOT yang sudah lebih dikenal dan lebih sederhana.
Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan dimulai pada bulan Agustus 2009 dan berjalan hingga fase ketiga universitas berlangsung pada Agustus 2010. Tahap pelaksanaan ini ditinjau dalam konteks kapasitas, konstituen dan konservasi. 1. Kapasitas (Capacity) Kapasitas disini terbagi atas perubahan kapasitas manajer kampanye dan lembaga. Terkait dengan peningkatan kapasitas manajer kampanye dikategorikan ke dalam 3 kelompok: a. Kepemimpinan: kemampuan mengelola agen perubahan untuk mencapai tujuan bersama, mengorganisir komunitas. Pengalaman mengorganisir komunitas selama masa kampanye, turut mengembangkan skill kepemimpinan Manajer kampanye. Terutama ketika sudah menemukan agen perubahan di komunitas, Manajer kampanye harus mengelola agen perubahan ini untuk mencapai tujuan konservasi yang dicita-citakan, sebagaimana tertuang dalam teori perubahan proyek. Manajer kampanye membantu menjaga motivasi dan mengarahkan langkah-langkah agen perubahan untuk mencapai tujuan tersebut.
89
Cerita tentang Bapak Asri di desa Tempurukan dan Ibu Rumita di desa Sungai Putri misalnya. Manajer kampanye mengeluarkan enerji yang cukup besar di awal kampanye untuk mengarahkan langkah, meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri mereka untuk mengorganisir komunitas. Namun belakangan, kedua orang ini sangat membantu dan meringankan pekerjaan Manajer kampanye dalam hal memobilisasi komunitas. Ibu Rumita dengan inisiatif pribadi menjadualkan pertemuan kampung untuk memasarkan CU di desanya. Demikian juga dengan Bapak Asri. Manajer kampanye cukup memonitor kegiatan melalui telepon. Manajer kampanye juga membangun hubungan kekeluargaan dengan agen perubahan. Cara yang dilakukan biasanya dengan mengunjungi rumah mereka atau bahkan live in untuk beberapa waktu. Manajer kampanye berusaha memposisikan diri sebagai teman atau bagian dari keluarga mereka. Manajer kampanye telah mengembangkan satu dari empat elemen pesona kepemimpinan model PRES yaitu reaching out (menjangkau) yaitu kemampuan untuk membangun hubungan dengan orang lain melalui empati, mendengarkan dan hubungan hakiki13. Tantangan terbesarnya dalam pengembangan kapasitas kepemimpinan adalah pada saat memelihara motivasi agen perubahan dan komunitas dampingan. Apalagi jika disaat yang sama, Manajer kampanye juga menghadapi beban pekerjaan dan harus memotivasi dirinya sendiri. Untuk mengatasi hal ini, biasanya pada saat sedang menghadapi masa sulit, Manajer kampanye memilih untuk tidak berhubungan dengan agen perubahan untuk menghindari konflik karena kondisi emosi yang sedang kurang baik. b. Skill: kemampuan membuat presentasi yang efektif, fasilitasi, menulis proposal,teknik negosiasi. Dalam hal kemampuan terkait pemasaran sosial, Manajer kampanye merasa mengalami kemajuan dalam hal teknik fasilitasi dan membuat presentasi yang efektif. Manajer kampanye sekarang lebih percaya diri memfasilitasi pertemuan baik di tingkat kampung maupun stakeholder dari pemerintahan. Manajer kampanye juga mampu membuat presentasi yang efektif dan mempunyai pitching yang kuat. Manajer kampanye sering dimintai saran oleh rekan kerja pada saat menyiapkan presentasi rencana program atau temuan lapangan kepada lembaga mitra. Manajer kampanye juga cukup percaya diri menulis dan mengembangkan proposal proyek, terutama untuk dana-dana hibah berdurasi 1 – 2 tahun. Selama masa kampanye, Manajer kampanye sudah menulis dan mengirim 3 proposal. Dua proposal tidak diterima, 1 yang terakhir sedang dalam tahap seleksi.
13
Halpern, Belle Linda and Kathy Lubar. Leadership Presence. New York. 2003
90
Peningkatan skill negosiasi dirasakan Manajar kampanye pada saat bernegosiasi dengan lembaga mitra BR untuk meminta keringanan biaya fasilitasi perencanaan strategis CU. Awalnya lembaga mitra BR meminta biaya fasilitasi yang cukup tinggi, hampir menghabiskan setengah dana BROP. Manajer kampanye kemudian lalu meminta keringanan dengan menulis surat permohonan untuk mendapatkan buy-in dari mitra BR. Manajer kampanye berhasil mendapatkan buy-in dari mitra BR dan mendapat keringanan hampir 29% dari biaya yang semula ditetapkan. Demikian juga saat melakukan negosiasi dengan pihak RSPDK untuk menyiarkan ILM. Manajer kampanye berhasil mendapatkan 1 kali esktra waktu siar per hari selama 2 bulan. c. Manajemen proyek: membangun dan menjaga hubungan kemitraan, mengelola sumber daya proyek, melaksanakan tahapan proyek secara terstruktur. Dalam hal mengelola proyek, Manajer kampanye belajar untuk tidak reaktif dan menjadi lebih adaptif dengan dinamika proyek. Ketika di awal kampanye mesti menghadapi kenyataan kesepakatan yang sudah dibuat dengan lembaga mitra tidak berjalan, Manajer kampanye mengambil langkah menggandeng mitra lain agar kegiatan kampanye bisa terus berjalan. Sebelum melakukan kampanye Pride di Sungai Putri, Manajer kampanye pernah melakukan kegiatan serupa di kawasan Taman Nasional Gunung Palung di Ketapang tahun 2002 - 2007. Pada masa itu, Manajer kampanye menjalin hubungan kemitraan dengan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, mitra NGO, media dan kelompok kesenian. Hubungan itu terus dikelola sampai pada saat Manajer kampanye kembali bekerja di Ketapang untuk melaksanakan Pride tahun 2008. Hubungan kemitraan yang dikelola dengan baik ini memudahkan Manajer kampanye untuk meminta dukungan untuk kampanye di Sungai Putri. Yayasan Palung misalnya, bersedia membantu melaksanakan kegiatan layar tancap dengan sharing pendanaan. Padahal wilayah kerja Yayasan Palung tidak mencakup Hutan Sungai Putri. Kesepakatan yang tidak berjalan sebagai mana mestinya ini juga membuat Manajer kampanye harus pandai-pandai mengelola sumber daya proyek yang sangat terbatas. Pada saat pengorganisiran Credit Union, muncul ide dari tim pioneer untuk membuat lembar fakta mengenai CU. Namun karena sumber daya yang terbatas, lembar fakta diperbanyak hanya dengan di fotokopi. Informasi mengenai CU tetap dapat disampaikan meskipun dengan media ‘murah meriah’. Selama masa kampanye, Manajer kampanye juga belajar melaksanakan tahapan proyek secara terstuktur. Sebelumnya Manajer kampanye pernah melakukan kegiatan serupa, namun tahapan yang dilalui tidak serunut seperti di dalam program kampanye Pride ini. Tantangannya terbesar adalah tidak mudah untuk berubah. Sekian lama bekerja dengan model kerja yang kurang teratur (organized), membuat Manajer kampanye juga harus bekerja keras mendisiplinkan diri. Seperti pada saat membuat Campaign Operational Work Plan atau Gantt Chart, awalnya sangat sulit bagi Manajer kampanye ‘memaksa’ diri
91
membuat target-target harian. Namun setelah akhirnya berhasil dibuat, COWP menjadi sangat berguna pada saat Manajer kampanye melakukan penyesuaian kegiatan kampanye dan pada saat penulisan laporan. Lalu pada saat produksi media, sebelumnya Manajer kampanye tidak pernah melakukan pre-test. Media kampanye hanya dibuat berdasarkan ‘selera’ lembaga. Namun kali ini Manajer kampanye melakukannya berbeda. Media-media kampanye diujicobakan terlebih dahulu pada masyarakat target sebelum diproduksi. Media kampanye dibuat dengan sangat partisipatif.
Terkait dengan peningkatan kapasitas organisasi: a. Lembaga mulai menuliskan sasaran SMART dalam setiap proposal proyek yang akan dibuat. Ini akan sangat membantu menyakinkan lembaga dana yang akan memberikan dukungan terhadap proyek. Sebelumnya banyak capaian lembaga yang tidak memenuhi kaidah ini, sehingga kesulitan saat akan melaporkan capaian keberhasilan. b. Lembaga kini mempunyai reputasi dalam memfasilitasi pembentukan CU. Ini dikarenakan strategi penyingkir halangan berhasil diinisiasi di Sungai Putri. Titian sebelumnya lebih banyak bekerja dengan policy maker untuk mendorong kebijakan atau penegakan hukum. Reputasi ini akan menaikkan posisi tawar Titian dengan lembaga donor. 2. Konstituen (Constituency) Untuk mendorong perubahan perilaku dan menciptakan konstituen konservasi, kegiatan yang dilakukan dalam kampanye ini menyasar pada 4 variabel yaitu pengetahuan, sikap, komunikasi interpersonal dan perubahan perilaku. Kegiatan yang dilakukan untuk mendorong perubahan pengetahuan, sikap dan komunikasi interpersonal sebagai mana telah dijelaskan pada Bab IV antara lain kegiatan radio, membuat iklan layanan masyarakat, mengadakan seri pertemuan kampung, layar tancap, produksi seri brosur, komik. Namun dikarenakan ragam media yang digunakan tidak cukup banyak, perubahan variable tersebut di atas juga tidak cukup signifikan. Untuk variable pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyimpan karbon misalnya, hanya meningkat 39,75% dari hasil survei pra kampanye. Bisa dilihat juga dukungan khalayak target terhadap perlunya penyelamatan kawasan Sungai Putri yang hanya meningkat 1,25%.
92
Dalam teori Difusi Inovasi14, ada 4 elemen utama di dalam proses mengkomunikasikan gagasan baru pada seseorang atau komunitas, yaitu 1) inovasi atau gagasan baru, 2) pengirim pesan, 3) penerima pesan dan 4) saluran komunikasi yang menghubungkan pengirim dan penerima pesan. Terbatasnya saluran komunikasi yang digunakan (dalam hal ini kegiatan kampanye) akan mempengaruhi penerimaan khalayak target terhadap gagasan/ pesan yang disampaikan. Terbatasnya penggunaan media kampanye ini juga dikarenakan kesepakatan dengan lembaga mitra kampanye yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kampanye pride ini dibiayai oleh mitra lembaga yang sudah lebih dulu bekerja di wilayah Sungai Putri. Hal ini sudah disepakati jauh hari sebelum fase implementasi kampanye dimulai. Namun ternyata pada saat akan melaksanakan kampanye, kesepakatan ini tidak berjalan. Kenyataan ini menjadi pelajaran penting bagi Manajer kampanye dan lembaga, sedekat apapun hubungan lembaga anda dengan mitra, namun segala kemungkinan harus diprediksi. Termasuk kemungkinan mitra tidak bersedia melakukan hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya dalam gentlemen agreement (baca: kesepakatan lisan). Sangat penting untuk menyusun sebuah nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) berdasarkan hasil permufakatan para pihak untuk jangka waktu tertentu. MoU yang memuat kesepahaman antar lembaga ini dimaksudkan untuk membina ikatan moral antar lembaga. Dokumen rencana proyek juga harus dilampirkan dalam kesepakatan ini, terutama karena pembiayaan sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab lembaga mitra. Hal ini akan memperkecil kemungkinan ada pihak yang tidak melaksanakan peran dan tanggung jawabnya. Lembaga juga mesti memastikan memegang salinan MoU sehingga dapat merujuk kembali isi MoU jika diperlukan. Selain menggunakan media-media pemasaran sosial, kampanye ini juga mengenalkan Credit Union sebagai kegiatan penyingkir halangan. Konsep kunci dalam pemasaran sosial, sebagaimana disampaikan dalam First Series of Turning Point Resources on Social Marketing adalah pertukaran manfaat (exchange). Sebuah kegiatan pemasaran sosial harus dapat meningkatkan atau menyoroti manfaat (increase or highlight benefits), mengurangi atau menghilangkan halangan orang untuk berubah perilaku (decrease or de-emphasize the barriers). Halangan khalayak target mengakses modal untuk pengembangan usaha subsisten, yang menyebabkan khalayak target sulit untuk mengurangi pemanfaatan kayu di dalam kawasan, diatasi oleh kampanye ini dengan mengorganisisr masyarakat membentuk Credit Union Pantura Lestari pada 23 Juli 2010. Dengan terbentuknya CU ini dan dengan bersedianya khalayak target menjadi anggota, menunjukkan bahwa konstituen pendukung untuk pelestarian Sungai Putri juga sudah terbentuk.
14
Rogers, Everett M. Diffusion of Innovation 4th Edition. New York. 1995
93
Konstituen pendukung ini juga ditunjukkan dengan adanya relawan yang membantu proses pengorganisiran komunitas, memberikan donasi untuk pengembangan Credit Union dan membantu penyelenggaraan event. Dukungan ini terjadi karena pendekatan personal yang dilakukan Manajer Kampanye dengan tokoh-tokoh kunci di tingkat desa secara konsisten dan terus menerus. Setiap ada kesempatan turun ke desa target, Manajer kampanye selalu mendatangi tokohtokoh kunci tersebut untuk berdiskusi. Pendekatan yang dilakukan juga lebih bersifat kekeluargaan. Manajer kampanye bahkan sengaja live in bersama keluarga tokoh kunci agar proses komunikasi menjadi lebih cair dan kepercayaan terbentuk. Hal menarik lainnya, meskipun inisiasi CU mendapat dukungan dari khalayak target namun dukungan terhadap pelestarian hutan Sungai Putri masih sangat rendah. Pada survei paska diketahui hanya terdapat perubahan pp +0,5 (khalayak yang sangat setuju hutan Sungai Putri dilestarikan) dan pp +3,6 (khalayak yang setuju melestarikan hutan Sungai Putri). Ini bisa jadi dikarenakan adanya kebingungan di tingkat komunitas terhadap rencana kelola kawasan blok hutan Sungai Putri. Di satu sisi, Titian dan FFI-IP berusaha mendorong konservasi kawasan, sementara di sisi lain pemerintah daerah justru membuka peluang konversi kawasan untuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan pada awal Juni 2010, perwakilan masyarakat desa Sungai Putri diundang oleh Bappedalda Prop. Kalbar untuk mengikuti sidang kerangka acuan AMDAL PT. Arttu Energy Resources yang lokasinya juga diarahkan oleh Bappeda Kab. Ketapang di hutan Sungai Putri. 3. Konservasi (Conservation) Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menilai capaian konservasi. Mengingat CU baru saja terbentuk dan belum memainkan perannya secara maksimal untuk menguatkan perekonomian masyarakat. Pada saat penyusunan dokumen rencana proyek, kampanye ini diharapkan dapat mengurangi ancaman penebangan di kawasan sebanyak 30%. Namun misalnya dilihat dari perbandingan jumlah pekerja kayu tahun 2008 dan 2010, hanya ada sedikit penurunan (lihat bab V). Namun jika dilihat trendnya, bisa dikatakan kalau aktivitas penebangan di dalam kawasan cenderung menurun. Ini dikuatkan dengan berkurangnya jumlah ‘pemodal’ di dalam bisnis illegal ini. Ke depan, untuk mendapat dampak konservasi yang lebih luas, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kesenjangan suplay kayu legal dan kebutuhan kayu untuk pembangunan daerah. Titian juga berencana akan mendorong pemda untuk membuat sistem pengadaan kayu local (legal timber procurement system) sebagai upaya untuk menekan aktivitas illegal logging. Jika hal ini tidak dilakukan, maka disadari atau tidak, pemerintah daerah sebenarnya yang telah memberikan bahan bakar untuk kegiatan pemanfaatan kayu illegal di kawasan hutan Sungai Putri dan kawasan hutan lainnya di Kalbar.
94
Di dalam CUnya sendiri, perlu dikembangkan sistem untuk mendorong perubahan perilaku petani anggota agar pelan-pelan mengurangi ketergantungan terhadap kawasan. Rencananya akan dibuat criteria untuk permohonan pinjaman. Anggota yang berasal dari desa yang sangat rendah ketergantungannya terhadap kayu dari dalam kawasan akan mendapat platform kredit yang lebih besar. Titian akan memonitoring pelaku illegal logging di lapangan secara berkala untuk dijadikan dasar penilaian tim kredit CUPL. Dengan menciptakan sistem seperti ini masyarakat akan terpacu untuk mengurangi aktivitas pemanfaatan kayu di dalam kawasan.
95