MODUL PERKULIAHAN
ANALISIS PERENCANAAN KOMUNIKASI (2) Pokok Bahasan 1. Model-Model Perencanaan Komunikasi
Fakultas
Program Studi
Program Pascasarjana
Magister Ilmu Komunikasi
Tatap Muka
15
Kode MK
Disusun Oleh
52024
Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Abstrak
Kompetensi
Dalam komunikasi pemasaran, dibutuhkan pemahaman model perencanaan komunikasi
Mahasiswa diharapkan mampu memahami model-model perencanaan komunikasi
Pembahasan Banyak model yang digunakan dalam studi perencanaan komunikasi, mulai dari model yang sederhana sampai kepada model yang rumit, Namun perlu dipahami bahwa penggunaan maodel dan tahapan pelaksanaannya tergantung pada sifat atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Tidak ada model perencanaan komunikasi yang dapat digunakan secara universal, melainkan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Dengan kata lain, tidak ada model perencanaan komunikasi yang ideal. Yaitu, bahwa ada satu model perencanaan komunikasi yang terbaik di antara model perencanaan komunikasi yang lain.
Model Advokasi Model ini diperkenalkan pertama kali oleh Center for Communication Programs (CCP) Johns Hopkins University – USA pada tahun 1988 dalam Program Informasi Kependudukan yang didanai oleh USAID (US Agency for International Development). CCP ini bergerak dalam bidang komunikasi strategi untuk kesehatan masyarakat, terutama dalam membangun dan menerapkan konsep dan teknologi baru untuk mengevaluasi kaitan antara promosi dan advokasi kesehatan dengan perubahan prilaku. Tapi tidak berarti model ini tidak bisa diaplikasikan untuk bidang lain, seperti usaha untuk membangun kapasitas komunikasi strategis pada lembaga pemerintah maupun swasta di tingkat lokal dan nasional. Advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang
bermanfaat
bagi
masyarakat
atau
mencegah
munculnya
kebijakan
yang
diperperkirakan merugikan masyarakat (S. Reyes, Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development, 1997). Pendapat lain yang dikutip dari manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, (Juli 2003) menyatakan bahwa Advokasi dimaksud adalah sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan, baik oleh perorangan maupun kelompokmasyarakat dengan memasukan masalah dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi, sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang dibuat untuk mengatasi masalah tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas, maka advokasi yang dimaksud di sini adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai macam bentuk komunikasi persuasif. Kebijakan publik termasuk pernyataan, kebijakan, atau penetapan sebuah 2016
2
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
gerakan
yang
ditentukan
oleh
pihak
yang
berwenang
untuk
membimbing
atau
mengendalikan prilaku lembaga, masyarakat, dan individu. Model perencanaan komunikasi untuk advokasi terdiri atas enam tahapan, yakni: Analisis; Strategi; Mobilisasi; Aksi; Evaluasi; dan Keseimbangan.
Sumber: Center for communication Programs Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Gambar: Model Perencanaan Komunikasi untuk Advokasi
a. Analisis Analisis merupakan langkah pertama untuk melaksanakan advokasi yang efektif, sebagaimana halnya langkah awal pada setiap aksi. Upaya kegiatan advokasi yang dirancang agar bisa berdampak pada kebijakan publik diawali dengan ketersediaan informasi yang akurat dan pemahaman mendalam tentang permasalahan yang ada, masyarakat yang terlibat, kebijakan serta keberadaanya, organisasi-organisasi, dan jalurjalur yang dapat menjadi akses untuk memengaruhi tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan para pengambil keputusan. Semakin kuat dasar pengetahuan elemen tersebut, semakin meyakinkan advokasi yang dilakukan. b. Strategi Setiap usaha advokasi memerlukan strategi. Tahapan strategi dibangun berdasarkan tahapan analisis yang mengarah, merencanakan, dan memfokus upaya pada tujuan khusus, serta menempatkannya pada jalur yang jelas dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.
2016
3
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
c. Mobilisasi Pembentukan koalisi untuk memperkuat advokasi. Peristiwa, kegiatan, pesan dan materi pendukung harus dirancang sesuai dengan tujuan, kelompok sasaran, kemitraan, dan sumber-sumber yang ada. kesemuanya ini harus memberi dampak positif yang maksimum bagi pembuat kebijakan dan partisipasi penuh dari semua anggota selain memperkecil kelompok oposisi. d. Aksi Mempertahankan kelompok aksi dan semua mitra merupakan hal yang mendasar dalam pelaksanaan advokasi. Pengulangan pesan dan penggunaan alat bantu yang kredibel yang dibuat secara berualang sangat membantu untuk dapat mempertahankan perhatian terhadap isu yang ada. e. Evaluasi Usaha advokasi harus dievaluasi secara saksama sebagaimana halnya dengan kegiatan kampanye lainnya. Karena kegiatan advokasi sering membuahkan hasil yang parsial. Tim advokasi perlu memonitor secara rutin dan objektif apa yang telah dicapai dan apa yang masih harus dikerjakan. Proses evaluasi bisa lebih penting dan lebih sulit daripada dampak evaluasi. f.
Keseimbangan Seperti halnya komunikasi, advokasi adalah sebuah proses yang berlangsung terus
menerus. Bukan sekedar sebuah kebijakan atau peraturan. Perencanaan terhadap kesinambungan berarti memperjelas tujuan jangka panjang, mempertahankan keutuhan fungsi koalisi, dan menyesuaikan data argumentasi, seiring dengan perubahan yang terjadi.
Model perencanaan komunikasi untuk advokasi ini telah dilakukan di beberapa negara, antara lain: Bangladesh, Bolivia, Equador, Indonesia, Yordania dan Kenya. Di Bangladesh dilakukan program advokasi pendekatan startegis untuk pengembangan KIE keluarga dan kesehatan ibu dengan melibatkan lebih dari 40 stakeholder baik pemerintah maupun swasta dengan membentuk pusat-pusat kesehatan “one-stop shopping”, di Bolivia dikembangkan program advokasi kesehatan reproduksi dengan membentuk 45 orang anggota panitia teknis KIE. Kelompok ini berhasil mempengaruhi Wakil Presiden dan Menteri Kesehatan Bolivia untuk berbicara di TV guna mempromosikan kesehatan
2016
4
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
reproduksi. Hasilnya pemerintah dan partaipolitik di Bolivia mendukung program pelayanan kesehatan reproduksi secara nasional di mana sebelumnya sangan susah dilakukan. Di Indonesia, program advokasi dilakukan dengan kerja sama sektor Publik dan Swasta untuk meluncurkan program KIE Nasionak KB perkotaan. Program ini mencapai puncaknya dengan memperkenalkan KB Lingkaran Biru sebagai salah satu bentuk upaya swastanisasi pelayanan KB terbesar di dunia. (Sumber; Center for Communication Programs Johns Hopkins School of Public Health dan STARH – Sustaining Technical Achievements in Reproductive Health, 1999)
Model Difusi Inovasi Everett M. Rogers adalah seorang sarjana sosiologi pedesaan di Iowa State University, tapi tertarik pada bidang komunikasi akhirnya dia lebih banyak dikenal pakar komunikasi daripada pakar sosiologi. Iniberkat karya-karyanya yang begitu banyak dalam studi ilmu komunikasi, di antaranya adalah keberhasilan ia menciptakan suatu model difusi inovasi, yang banyak dijadikan sebagai rujukan untuk studi komunikasi pembangunan dan komunikasi pembangunan dan komunikasi pertanian. Tapi tidak berarti model yang dibuat oleh Roger tidak bisa diaplikasikan dalam bidang lain, bahkan banyak digunakan dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, kependudukan dan keluarga berencana. Model ini bisa digolongkan sebagi model perencanaan komunikasi karena memiliki tahapan dalam penyebarluasan sebuah gagasan atau ide-ide baru (inovasi). Karena itu disebut sebagai model difusi inovasi. Model ini pada awalnya dibuat oleh Rogers pada tahun 1957 untuk disertasinya tentang penyebarluasan bibit jagung hybrida di kalangan petani di Iowa. Dari kerangka pikir yang dibuatnya itu, Rogers menjelaskan bahwa proses pengenalan suatu inovasi (sesuatu yang baru berupa ide, gagasan atau barang) ditentukan oleh tiga hal yakni tahap awal (antecedent), proses (process), konsekuensi (consequences). Pada tahap awal (antecedent) khalayak dalam menerima suatu idea atau gagasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kepribadian penerima untuk berubah dengan menerima sesuatu yang baru, wawasan sosial yang lebih luas (cosmopolism) daripada lingkungan sekitarnya, dan kebutuhan untuk memiliki barang baru tersebut. Pada tahap proses (process), kebutuhan untuk memiliki barang (inovasi) tersebut didukung oleh pengetahuan (knowledge) yang berkaitan dengan nilai-nilai sistem (social system), bahwa inovasi itu tidak bertentangan dengan sistem sosial dan budaya khalayak (penerima), sehingga mereka bisa toleran jika terjadi penyimpangan dari kebiasaan, serta terjalinnya komunikasi dengan barang baru tersebut.
2016
5
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Tahan selanjutnya dalam proses penerimaan ialah persuasi (persuasion). Pada tahap ini ide, barang, gagasan atau inovasi dipertanyakan tentang kegunaan (advantages), apakah cocok digunakan (compatability), apa tidak terlalu ruwet (complexity), apa bisa dicoba (triability), dan apa bisa diamati (observability).
Gambar: Model Perencanaan Komunikasi Difusi Inovasi Rogers and Shoemaker’s
Setelah tahap persuasi, selanjutnya tiba pada tahap pengambilan keputusan (decision) untuk memiliki atau menerapkan inovasi tersebut. Dalam tahap pengambilan keputusan, terjadi konsekuensi pada diri khalayak, yakni; menerima (adoption) atau menolak (rejection) sebagai bentuk konfirmasi (confirmation). Artinya jika seseorang menerima ide, gagasan atau inovasi tersebut kemungkinannya terus menggunakan jika ia sudah merasakan manfaatnya, atau sebaliknya tidak melanjutkan tapi mengganti dengan barang lain dengan fungsi yang sama (relacement), atau samasekali tidak melanjutkan karena tidak memenuhi harapannya (disenchantement). Sebaiknya jika seseorang menolak, bisa terjadi karena sejak awal penerima (khalayak) tidak melihat manfaatnya, dan nanti ia menerima setelah orang lain berhasil, ataukah ia menolak terus ide, gagasanatau inovasi tersebut karena tidak sesuai dengan pikirannya atau bertentangan dengan sistem nilai yang merak anut. Misalnya tidak ikut program keluarga berencana karena memiliki kepercayaan bahwa membatasi jumlah kelahiran anak bertentangan ajaran agama yang dianutnya. Semua tahapan mulai dari
2016
6
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
tahap awal, proses, sampai pada tahap konsekuensi melalui jangka waktu yang tidak terbatas, bisa 1 sampai 2 tahun atau 3 sampai 4 tahun. Berkaitan dengan model ini, beberapa pakar menilai bahwa Rogers memberi peran yang cukup besar kepada komunikator untuk mempengaruhi khalayak. Karena itu Florangel Braid (1988) mencoba menunjukkan
posisi penting seorang agen perubahan (agent of
change) berada pada titik sentral yang bisa menghubungkan antara dua kepentingan, yakni kepentingan institusinya sebagai sumber penyebaran informasi perubahan, dan kepentingan khalayak (client). Agen perubahan menjadi jembatan yang mengantarai dua kepentingan, di satu sisi ia membawa informasi dari lembaga yang diwakilinya kepada khalayaknya, dan di sisi lain ia berperan sebagai pembawa aspirasi (umpan balik) dari khalayak kepada institusinya. Mengenai tingkat atau derajat penerimaan ide-ide baru (innovation) menurut Rogers terbagi atas lima tingkatan, yakni: a. Pembaharu (innovator) b. Penerima awal (early adopter) c. Penerima mayoritas awal (early majority) d. Penerima mayoritas lambat (late majority) e. Pengikut (laggard)
Gambar: Peran Agen Pembaharu dalam Hubungan antara Lembaga dan Khalayak
Pembaharu (innovator) ialah mereka yang pertama kali tersentuh inovasi (ide-ide baru). kelompok ini tidak banyak jumlahnya, diperkirakan hanya 2.5% dari jumlah keseluruhan target sasaran. Mereka umumnya adalah orang-orang yang gandrung untuk
2016
7
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
melakukan perubahan karena mobilitasnya yang tinggi keluar kota, dekat dengan para agen pembaharu (penyuluh), dan pada umumnya masih berusia muda sehingga tidak takut mengambil resiko. Penerima awal (early adopter) ialah mereka yang tersentuh inovasisetelah kelompok inovator memperkenalkannya. Mereka adalah kelompokyang terintegrasi dengan sistem sosial yang ada. Biasanya mereka menjadi tempat bertanya dan dimintai pertimbangan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Jumlah relatif tinggi yakni 13.5% dari jumlah target sasaran. Penerima mayoritas awal (early mayority) ialah meraka yang tergolong sebagai penerima inovasi sebelum anggota kelompok lainnya menerima inovasi tersebut. Mereka tidak tergolong kelompok pimpinan, tetapi anggota biasa yang dekat dengan jaringan yang menerima pembaruan. Mereka menjadi penghubung antara penerima dini (early adopter) dengan penerima lambat (late adopter). Jumlah kelompok ini berkisar 34% dari jumlah keseluruhan target adopter.
Gambar: Kategori Penerima Ide baru
Penerima mayoritas lambat (late majority) ialah mereka yang menerima ide-ide baru (inovasi) setelah rata-rata anggota lainnya menerima lebih awal. Mereka menerima setelah melihat inovasi itu membawa keuntungan pada orang lain. Jumlah penerima mayoritas lambat kira-kira sama dengan jumlah penerima awal, yakni 34% Adapun kelompok pengikut (laggard) ialah mereka yang tergolong penerima akhir dari sistem sosial yang ada. Mereka tidak punya pendapat dan berada di luar jaringan sosial namunmasih dekat pada kelompok mayoritas lambat. Mereka menerima inovasi setelah hampir semua orang di sekelilingnya merasakan manfaatnya. Jumlahnya sekitar 16%, cenderung konservatif, lambat, dan tradisional.
2016
8
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Model Hierarchy Effect Untuk mencapai target sasaran yang sifatnya masal (jumlah khalayak yang tak terbatas) maka metode penyebarluasan informasi yang banyak digunakan adalah melalui media massa. Penggunaan media massa biasanya memakai model hierarchy effect. Model ini memiliki dua fungsi yakni menginformasikan (to inform) dan mempersuasi (to persuade). Seseorang lembaga atau perusahaan yang ingin mengenalkan suatu barang, gagasan atau inovasi kepada masyarakat luas, langkah pertama yang dilakukan adalah mengekspos melalui media massa (TV, Radio, Surat Kabar). Tujuannya ialah berusaha mengenalkan dan menyadarkan khalayak tentang adanya barang, gagasan atau inovasi. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yakni target sasaran menyadari atau tidak menyadari hal tersebut. Jika target sasaran menyadari hal itu maka gambaran tentang barang, gagasan atau inovasi berada dalam pikiran dan daya ingat mereka. Sebaliknya jika hal itu mereka tidak sadari dengan sendirinya keluar dari alam pikir mereka (exit).
Gambar: Model Perencanaan Komunikasi Hierarchy Effect
Selanjutnya jika barang, gagasan atau inovasi yang dikenalkan tadi sudah dikenal, disadari, dan berada dalam ingatan mereka, maka biasanya target sasaran memiliki sikap positif terhadap gagasan tersebut. Disusul keinginan mengetahui lebih jauh. Karena itu penerima (khalayak) berusaha mencoba (trial), dan jika dalam tahap mencoba ia memperoleh pengalaman yang berguna maka ia berusaha mengulanginya. Fungsi informasi dalam model ini yakni; pengenalan (exposure), menyadari (awareness), sampai pada kemampuan mengingat (recall), sedangkan fungsi persuasi mencakup sikap positif (favorable), perhatian (intention), mencoba (trial), dan mengulangi (repeat).
2016
9
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dalam praktik model hierarchy effect media massa, maka perencanaan komunikasi diawali dengan menetapkan:
Apa tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan komunikasi yang akan dilakukan?
Apa yang akan disampaikan?
Bagaimana menyampaikannya?
Di mana disampaikan?
Kapan waktu yang tepat untuk menyampaikannya?
Menetapkan tujuan harus dimulai dengan apa yang ingin dicapai. Apa tujuan itu hanya untuk penyadaran, perubahan sikap atau perubahan perilaku. Penetapan tujuan akan menentukan isi pesan yang akan disampaikan. Selanjutnya bagaimana menyampaikan dan dimana disampaikan akan menentukan saluran atau media yang akan dipilih. Demikian juga kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan sangat tergantung pada situasi yang kondusif. Situasi ini bisa dilihat dari kondisi target sasaran maupun peristiwa yang tiba-tiba terjadi, misalnya bencana alam, kebijakan pemerintah, dan kejadian internasional yang menarik perhatian masyarakat. Suatu program komunikasi yang dilaunching pada saat terjadi sepak bola piala dunia akan hilang dalam ingatan khalayak karena informasi yang disebarluaskan ditimpa oleh informasi sepak bola yang lebih kuat. Demikian pula pemasangan tanda gambar atau poster akan hancur jika dilakukaan pada musim hujan.
2016
10
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Cangara, Hafied. 2014. Perencanaan dan Strategi Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Kotler, Philip., Keller, Kevin Lane. 2012. Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc. R.D Soemanagara. 2006. Strategic Marketing Communication, Bandung: Penerbit Alfabeta. Pace, Wayne., Faules, Don.F. 2005. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2016
11
Strategic Marketing Communication Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id