Selama ini, hutan Indonesia bukan saja dikelola secara tidak berkelanjutan, tetapi juga diwarnai konflik vertikal dan horizontal yang membuat komunitas di dalam dan di sekitar kawasan hutan berhadapan langsung dengan perusahaan-perusahaan besar, pemerintah pusat-daerah, juga aparat kekerasan negara. Hingga tahun 2012, HuMa mencatat setidaknya 72 konflik yang masih berlangsung di sektor kehutanan dengan luas wilayah konflik mencapai 1,2 juta hektar dimana masyarakat adat dan lokal melawan perusahaan tercatat sebagai aktor utamanya (HuMa, 2012).
bagaan, metodologi, dan mekanisme pelaksanaan dibentuk. Dalam fase ini, Indonesia mendapatkan pendanaannya dari berbagai sumber berupa hibah, dengan Norwegia sebagai donor terbesar di Indonesia (dengan komitmen US$1 miliar). Pertanyaan yang masih menggantung adalah soal pendanaan untuk fase implementasi penuh (fase ke tiga). Kelompok negara maju terus berargumen bahwa dana publik (yang berasal dari negara) tidak akan cukup untuk mendanai REDD+ dalam jangka panjang. Opsi perdagangan karbon (hutan) di bawah mekanisme pasar pun mengemuka. Dalam skema ini, REDD+ dibayangkan akan menghasilkan “kredit karbon” (hutan) untuk diperdagangkan di sebuah “pasar karbon” yang akan diciptakan berdasarkan kesepakatan internasional. Kredit karbon ini dapat digunakan oleh negara-negara maju untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka. Hanya saja, jika pengurangan emisi dari kredit karbon hutan ini bukan merupakan tambahan (additionality) dari upaya pengurangan emisi domestik, maka mekanisme ini dikatakan sebagai mekanisme offset. Dengan kata lain, negara-negara maju membeli “izin mempolusi” dari negara-negara berkembang.
REDD+ sebenarnya dapat menciptakan momentum politik dan celah-celah kebijakan untuk mengurangi kerusakan hutan dengan menelusuri penyebab utamanya, dan sekaligus memberi ruang bagi dibicarakannya masalah “tabu” seperti penghormatan tenurial masyarakat atas hutan dan penyelesaian konflik. Ini misalnya terlihat dari keberhasilan masyarakat sipil yang berhasil memasukkan konsep kerangka pengaman (safeguards) ke dalam draft kebijakan nasional REDD+, termasuk hak untuk menolak atau menerima proyek pembangunan (FPIC). Meskipun wacana REDD+ yang bergulir di Indonesia di tengah kompleksitas aktornya mengindikasikan upaya untuk “merebut” kepemilikan REDD+, tidak dapat dipungkiri bahwa bangunan REDD+ terkait langsung dengan (jika tidak bergantung pada) perundingan internasional yang masih berjalan. Di tengah belum paripurnanya keamanan tenurial masyarakat adat dan lokal atas tanah, kehadiran REDD+ yang berbasis lahan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan bahkan konflik baru di tengah masyarakat. Logika dasar REDD+ adalah memberi nilai finansial pada tegakan hutan sehingga ia dapat bersaing dengan sektor-sektor lain yang eksploitatif, misalnya sawit dan tambang. Hal ini memunculkan perdebatan panas tentang sumber pendanaan. Dari manakah REDD+ akan dibiayai dan apa konsekuensinya?
Tonggak pertama untuk pasar karbon adalah keputusan COP 17 di Durban tahun 2011 yang menyatakan bahwa pendanaan REDD+ “dapat” berasal dari pasar. Meskipun perdagangan karbon maupun offset tidak disebut secara eksplisit, fokus pada metodologi yang berorientasi karbon menandakan kecenderungan ke arah sana (Lovera 2012). Sejak COP 17 inilah perundingan dalam isu metodologi REDD+ sangat berfokus pada aspekaspek karbon seperti MRV (Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi) dan tingkat acuan emisi; sementara agenda terkait hak masyarakat seperti safeguards dan manfaat selain karbon (multiple benefits) dalam REDD+ seringkali terpinggirkan. Negosiasi REDD+ di COP 18 Doha 2012 lalu dikatakan macet karena isu terkait dengan verifikasi pengurangan emisi di mana negara maju (Norwegia, misalnya) menginginkan mekanisme verifikasi pengurangan emisi yang ketat di tingkat internasional sementara negara berkembang (Brazil terutama) menentangnya. Verifikasi yang ketat dan rumit dapat diibarat-
Negosiasi Iklim dan Debat Pendanaan untuk REDD+ Hingga saat ini, REDD+ di Indonesia (dan di dunia) masih berada dalam fase “kesiapan” (readiness), yaitu fase di mana kerangka peraturan, kelem2
Terkait Mekanisme Pasar Baru (NMM), Indonesia percaya bahwa elemen-elemen teknis yang dapat diterapkan untuk Kerangka Beragam Pendekatan (FVA) juga dapat diterapkan untuk NMM. Semangat yang harus tercermin dalam keputusan-keputusan UNFCCC di masa depan adalah pengembangan mekanisme yang kuat namun memungkinkan partisipasi yang luas di kalangan para Pihak. Salah satu sarana potensial untuk mencapai hal ini adalah mengaitkan satu mekanisme dengan mekanisme yang lain.
kan sebagai “Kuda Trojan” perdagangan karbon yang memang mensyaratkan akurasi dalam hal perhitungan emisi (Lovera, 2012). “Paket Metodologi” REDD+ ini diprediksikan akan selesai dibicarakan dan “dibungkus” dalam COP 19 di Warsawa 2013 ini untuk kemudian diturunkan ke tingkat negara. Mekanisme pasar sebenarnya sudah dikenal dalam Konvensi Iklim yang merujuk pada penciptaan skema jual-beli karbon dalam rangka menggalang dana untuk membiayai upaya-upaya mitigasi perubahan iklim. Di bawah Protokol Kyoto, negaranegara maju berhasil mendesakkan tiga mekanisme berbasis pasar yang dikenal sebagai “pasar karbon”: Perdagangan emisi, “Implementasi Bersama” (Joint Implementation/JI) dan “Mekanisme Pembangunan Bersih” atau Clean Development Mechanism (CDM). 2 mekanisme pasar terakhir merupakan mekanisme offset karena bisa dikerjakan di luar negara penghasil emisi.
Sebelumnya, pada COP 18 di Doha tahun 2012, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mempresentasikan pembentukan Skema Karbon Nusantara, sebuah skema pasar karbon domestik yang proses pengembangannya cukup cepat dan terkesan terlepas dari pengamatan publik, setidaknya dibandingkan proses pembentukan Strategi Nasional REDD+ yang dapat dikatakan cukup terbuka. Skema Karbon Nusantara (SKN) adalah skema sertifikasi dan registrasi kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca yang memungkinkan perdagangan karbon di Indonesia. Skema ini mengeluarkan karbon kredit yang dinamakan Unit Karbon Nusantara (UKN). Unit karbon dapat diperdagangkan ini dihasilkan dari kegiatan yang “secara nyata” menurunkan emisi gas rumah kaca dan berkontribusi pada “pembangunan berkelanjutan” di Indonesia yang menghasilkan manfaat dampingan (cobenefits). Pada dasarnya, skema ini bersifat sukarela. Melalui mekanisme ini, sektor swasta didorong untuk “menetralkan” emisi yang mereka hasilkan dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan proyek SKN.
Dalam halnya hutan, pada awalnya, dalam mekanisme offset tersebut tidak dimasukkan karbon dari “penghindaran emisi” di sektor kehutanan karena berbagai masalah metodologis yang belum terselesaikan (baru pada tahun 2005 dan setelahnya, penghindaran emisi ini diskemakan dalam bentuk REDD). Hanya aforestasi dan reforestasi hutan yang diikutkan, itu pun sampai April 2012 baru 40 proyek yang terdaftar dan baru satu proyek yang sudah menghasilkan kredit karbon.a Meskipun pasar karbon dari hutan ini sulit terbentuk, perundingan di COP 17 di Durban justru mengisyaratkan pembentukan mekanisme pasar baru yang disebut sebagai NMM (New Market Mechanism) untuk melengkapi pasar karbon yang telah ada.
Meskipun bersifat domestik, dalam desainnya, SKN juga dibayangkan untuk melayani pasar regional dan internasional, baik yang bersifat mengikat (jika kemudian ditetapkan oleh UNFCCC), maupun yang sukarela (lihat gambar I). SKN turut mencakup proyek-proyek di sektor energi terbarukan (misalnya panas bumi), proyek yang menghemat pemakaian energi, efisiensi atau modifikasi proses industri, pengelolaan limbah rumah tangga dan industri, pertanian berkelanjutan, reforestasi dan aforestasi, serta REDD+ (DNPI, 2012).
Posisi Indonesia dan Skema Karbon Nusantara Meskipun posisi aktor pemerintah di Indonesia jauh dari monolitik (tidak semuanya membicarakan pasar karbon), di tataran internasional Indonesia tampak menyambut mekanisme pasar dengan tangan terbuka, termasuk potensi pasar karbon untuk REDD+. Dalam pertemuan SBSTA ke-38 di Bonn, Juni 2013, Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya NMM sebagaimana nampak dalam submission-nya:b 3
(2)
Karbon hutan yang diperdagangkan pada pasar karbon hutan dalam negeri maupun pasar karbon hutan internasional baik pasar sukarela maupun pasar yang bersifat mengikat, adalah karbon hutan yang telah mendapat sertifikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada pasar perdagangan karbon. (3) Karbon hutan yang diperdagangkan adalah selisih antara potensi karbon hutan pada tahun tertentu dengan potensi awal karbon hutan (baseline), dan/atau memelihara dan/atau mengamankan stock karbon hutan. (4) Tata cara perdagangan karbon hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri. (5) Untuk memenuhi target komitmen penurunan emisi Indonesia, maka pembeli karbon hutan yang berasal dari negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49%. (6) Dalam rangka meningkatkan potensi pertambahan karbon hutan, pemegang izin penyelenggaraan karbon hutan wajib menjaga potensi hutan yang ada di areal kerjanya dari kerusakan hutan, kebakaran hutan, perambahan hutan, dan tidak melakukan pemanenan hutan secara berlebihan, serta melakukan pengelolaan hutan secara lestari.
Dimasukkannya REDD+ ke dalam “lingkup sektoral” SKN dapat dikatakan sebagai langkah mendahului UNFCCC (prejudicing) yang belum memutuskan apakah REDD+ akan diikutsertakan ke dalam mekanisme pasar karbon atau tidak. Meskipun saat ini sifatnya masih sukarela, Indonesia (setidaknya DNPI) telah berancang-ancang untuk menghubungkan pasar karbon domestik Indonesia dengan pasar karbon bilateral, regional dan internasional, bahkan secara eksplisit memasukkan mekanisme offset internasional. Skema Karbon Nusantara ini telah mendapatkan wadah hukum setidaknya dalam dua kerangka hukum, yakni Permenhut P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan Permenhut P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Permenhut P.30/Menhut-II/2009 menyebutkan bahwa perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sementara pengaturan perdagangan karbon dijabarkan lebih jelas dalam Permenhut P.20/ Menhut-II/2012. Misalnya saja dalam aturan Pasal 8 Permenhut P.20/Menhut-II/2012:
Permenhut P.20/Menhut-II/2012 pada dasarnya mengatur tentang rezim perizinan bagi mereka yang telah memiliki izin pemanfaatan hutan untuk menyelenggarakan aktivitas terkait karbon hutan (yang mencakup REDD+). Permenhut ini memberi peluang untuk memperdagangkan karbon hutan secara domestik (yang difasilitasi oleh Skema Karbon Nusantara) maupun di tingkat internasional (yang telah “dibayangkan” oleh DNPI). Hampir 50% dari karbon yang dihasilkan dari aktivitas penyelenggaraan karbon hutan di Indonesia dapat dijual ke luar negeri dan tidak ada larangan untuk offset.
Pasal 8 (1)
Problematika Pasar Karbon Hutan dan Potensi Dampak terhadap Komunitas
Pemegang izin penyelenggaraan karbon hutan dapat memperdagangkan karbon hutan pada wilayah kerjanya secara bersama-sama dan/atau sendirisendiri dengan hasil hutan yang diusahakannya.
REDD+, terutama dalam fase kesiapan, memang tidak identik dengan pasar karbon karena ia menyasar penciptaan berbagai kondisi pemungkin 4
(enabling conditions) dalam bentuk langkah-langkah kebijakan.
Dalam hal perdagangan karbon, bahkan implementasi REDD+ secara umum, komunitas adat dan lokal bukanlah pemain dengan kapasitas yang setara jika dihadapkan dengan para pemain besar, baik pemerintah, perusahaan, maupun berbagai NGO, terutama NGO internasional. REDD+ saat ini, terlebih dalam kerangka pasar karbon yang dibayangkan di tingkat internasional (yang direproduksi di tingkat nasional), bersandar pada pengetahuan yang secara umum “asing” bagi atau cenderung mengasingkan komunitas, terutama jika kelak dibayangkan bahwa komunitas akan menjadi pelaku REDD+. MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) dan RELs (Reference Emission Levels) adalah 2 di antara “paket metodologi” REDD+ yang dibangun di atas pengetahuan yang sangat terspesialiasi dan membutuhkan dana yang tidak sedikit, belum lagi segala peraturan terkait aspek finansial yang secara inheren terdapat dalam pasar karbon.
Beberapa kebijakan yang diambil terkait REDD+ justru membuka peluang untuk penguatan hak komunitas terhadap hutan, misalnya dalam bentuk safeguards dan berbagai inisiatif perbaikan tata kelola kehutanan secara umum. Akan tetapi, terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan di tingkat internasional dan nasional bahwa REDD+ didesain terutama untuk melayani pasar, bukan komunitas maupun iklim. Selain pertanyaan mengenai integritas lingkungan yang ditimbulkan oleh offset, ada beberapa “bendera merah” dalam pasar karbon terkait hak komunitas. Yang pertama, secara gagasan, pasar adalah tempat jual-beli di mana peran negara dianggap netral. Asumsi dasarnya adalah semua pihak mempunyai kedudukan yang setara sehingga dapat berkompetisi sejajar dan akhirnya memetik keuntungan yang layak dari perannya dalam kompetisi pasar. Meski demikian, asumsi ini, sama seperti asumsi liberalisme lainnya, adalah asumsi teoretik yang sulit ditemukan dalam dunia nyata.
Selain itu, ada pula risiko-risiko khusus ketika komunitas berhubungan langsung dengan pasar, misalnya kemungkinan hilangnya aset komunitas (termasuk lahan) ketika mereka gagal menghasilkan penurunan emisi sesuai kontrak yang mereka buat. Berubahnya pola manajemen lahan di mana komunitas dengan tidak dapat lagi menanam tanaman yang sesuai dengan kebutuhan penghidupan mereka, merupakan risiko lainnya. Belum lagi kemungkinan penipuan oleh para “carbon cowboys” di mana komunitas kehilangan lahan karena janji palsu atau kontrak yang tidak dipahami.
Bahkan di Amerika yang disebut ibu kandung pasar bebas, tidak pernah ada kompetisi murni dalam pasar. Mengutip komentar pengamat ekonomi Ian Fletcher, “…Businesses will, in fact, do almost anything to get out of the hell of pure head-to-head competition…” (Fletcher, 2011). Artinya, tidak pernah ada pelaku bisnis yang mau menempatkan dirinya setara untuk mendapatkan keuntungan dari pasar. Kesetaraan hanya akan mengurangi keuntungan sebagai pilar utama penyangga bisnis. Komunitas dalam situasi ini sudah sejak dini lebih tidak diuntungkan dibandingkan pelaku bisnis yang sudah malang melintang dalam lika-liku pasar.
Saat ini, belum ada mekanisme perlindungan negara yang terbukti efektif untuk mengansitipasi halhal seperti ini. Kerentanan semakin besar, terutama karena akses terhadap keadilan bagi komunitas (terutama melalui sistem legal formal) belum memadai.
Karena itu, komunitas yang masuk ke pasar tanpa keberpihakan dan perlindungan efektif negara berpotensi ditelan bulat-bulat oleh pelaku pasar lainnya tanpa bisa ditolong karena Pemerintah harus “berpura-pura” netral. Dalam situasi yang homo homini lupus seperti ini, kepercayaan Pemerintah demikian pada pasar karbon tidak dapat dikatakan sebagai langkah yang berhati-hati (prudent).
Yang ke dua (dan yang lebih mendasar), adalah belum jelasnya kerangka hukum yang komprehensif untuk hak atas karbon (Ivalerina, 2010). Saat ini, yang telah diatur adalah izin untuk menyelenggarakan aktivitas karbon hutan (bukan hasilnya), yang mengikuti skema izin yang sudah ada (HPH, HTI, dan seterusnya). 5
Dengan kondisi awal seperti saat ini, di mana segelintir pemain besar mengelola hutan dengan luas 35x hutan (Kementerian Kehutanan, 2012) yang dikelola berjuta-juta komunitas (serta belum jelasnya prosedur lebih jauh mengenai pengakuan hak masyarakat adat terhadap hutan), adalah aman untuk memprediksikan bahwa kue “kredit hutan” bagi komunitas akan jauh lebih kecil. Komunitas juga menghadapi risiko volatilitas pasar di mana harga karbon dapat jatuh ke titik terendah karena tidak ada permintaan yang cukup.
tidak pasti, abstrak dan penuh muslihat. Pergulatan politik kebijakan nasional masih terus bertarung satu sama lain, terutama pertentangan antara isu lingkungan dengan pembangunan yang bisa dilihat ketidaksesuaiannya antara proyek MP3EI dan komitmen pengurangan emisi. Politik birokrasi pun belum secara nyata merefleksikan keberpihakan pada isu-isu lingkungan. Selain tidak meyakinkan dalam hal pengurangan emisi itu sendiri, pasar karbon (terlebih offset) mengekspos komunitas terhadap berbagai risiko, baik sebagai subjek maupun objek. Hal ini mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan mendasar yang harus terus-menerus dikemukakan di tengah euforia REDD+ di Indonesia: untuk melayani kepentingan siapa sesungguhnya REDD+ dikembangkan?
Penutup Pasca COP 18 Doha tahun 2012, masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk tidak terburu-buru terjun ke pasar bebas. Pertama, sebagai upaya mencari opsi alternatif pendanaan, Pemerintah sering berargumen bahwa desain mekanisme pasar sifatnya sukarela dan fleksibel. Jika tidak tidak menguntungkan maka pemerintah akan mencari alternatif lain yang lebih tepat untuk menggalang pendanaan. Argumen seperti ini merefleksikan kecerobohan pengambilan kebijakan publik selama ini. Seringkali suatu desain kebijakan tidak berujung pada kreativitas mencari alternatif tetapi mengarahkan pada proses “penguncian” (lock-in) atau memenjarakan diri sendiri pada suatu skema yang permanen. Dalam hal ini, pembicaraan skema pasar pada tahap ini bukan suatu proses kreatif mencari alternatif tapi suatu langkah cepat untuk segera mencemplungkan diri pada pasar karbon global.
Catatan akhir: (a) http://carbonmarketwatch.org/category/ sustain able-development/forestry-land-use-projects/ (b) Submission Indonesia: http://unfccc.int/ resource/docs/2013/sbsta/eng/misc09.pdf *Penulis bekerja di HuMa. Penulis mengucapkan terima kasih untuk Bernadinus Steni atas komentar dan masukannya terhadap tulisan ini. Daftar Pustaka Departemen Kehutanan dan BPS, 2009. Identifikasi Desa di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan. DNPI, 2012. Draft Persyaratan dan Ketentuan Skema Karbon Nusantara ver 1.0. Diakses pada 10 Juni 2013. http://skn.dnpi.go.id/dokumen/
Ke dua, dari segi infrastruktur hukum, kebijakan maupun tata kelola pemerintahan, hingga saat ini belum tersedia instrumen yang fundamental dan seharusnya sudah ada sebagai prasyarat sosiallingkungan yang menentukan terjadinya pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan secara efektif. Misalnya menentukan drivers atau pelaku deforestasi, memastikan pembatasan eksploitasi, menerapkan AMDAL dan KLHS secara utuh, perlindungan hak bagi komunitas, klarifikasi atas konflik tenurial dan upaya-upaya mendasar lainnya. Upaya-upaya ini jauh lebih mendesak dan lebih mencerminkan upaya mengatasi persoalan sesungguhnya daripada menghabiskan energi dengan membicarakan pasar karbon yang sangat
Fletcher Ian, 2011. Why Free-Market Economics is a Fraud. Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.huffingtonpost.com/ian-fletcher/free-marketeconomics-critique_b_1155820.html HuMa, 2012. Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria 2012. Diakses pada 10 Juni 2013. http://huma.or.id/en/pusat-database-daninformasi/outlook-konflik-sumberdaya-alam-dan-agraria-2012-3.html Ivalerina, Feby, 2010. Konsep Hak‐Hak atas Karbon. Kertas Kerja Epistema No.01/2010. Jakarta: Epistema Institute. http:// epistema.or.id/publikasi/working‐paper/145‐konsep‐hakhak‐atas‐karbo n.html Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Lovera, Simone, 2012. MRV as a Trojan Horse for Carbon Markets? Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.redd-monitor.org/2012/ 12/04/guest-post-mrv-as-a-trojan-horse-for-carbon-markets/
6
Moratorium Hutan dan Lahan, Quo Vadis? oleh: Grahat Nagara* komitmen yang telah menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah tahun 2010–2014 (Muhajir, 2010). Tingginya ekspektasi publik dapat dipahami, mengingat sejak awal semangat dalam inisiasi pencanangan kebijakan moratorium tidak diarahkan untuk sekedar memberi “waktu bernafas” bagi hutan. Setidaknya sebagaimana tercantum dalam judulnya, kebijakan penundaan izin baru tersebut, justru diharapkan juga sebagai momentum untuk pembenahan kebijakan kehutanan (Murdiyarso, Dewi, Lawrence & Seymour, 2011; Wells & Paoli, 2011). Dari sudut pandang itulah, kerangka 2 tahun pelaksanaan kebijakan moratorium serta muatan substansi Inpres 10/2011 yang diperpanjang dengan Inpres 6/2013, boleh jadi tidak memadai. Terutama memahami bahwa pekerjaan rumah dalam penyempurnaan tata kelola kehutanan tidak hanya banyak yang belum selesai tetapi juga bisa jadi sudah terlalu rumit.
Seperti aturan pendahulunya, kebijakan moratorium melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut Inpres 6/2013) ditanggapi berbagai pihak dengan kecemasan yang sama meskipun dengan alasan berbeda. Sementara sebagian, khususnya kalangan pengusaha, cemas karena perpanjangan moratorium diperkirakan akan menghambat pembangunan perkebunan sawit dan atau usaha berbasis lahan lainnya di Indonesia. Bagi para civil society pemerhati lingkungan, Inpres itu telah lama menjadi kekhawatiran, dianggap terlalu lemah, terutama karena cakupannya yang sempit dengan berbagai pengecualiannya (Wells & Paoli, 2011).
Menakar Implementasi Moratorium Lahirnya kebijakan moratorium izin baru tidak dapat dilepaskan dari inisiatif Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+) yang didukung Norwegia melalui Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) tentang REDD+ 26 Mei 2010. Sebagai salah satu klausulnya, moratorium menjadi komitmen bagian dari Indonesia untuk mengurangi emisi – termasuk dengan membentuk lembaga REDD+. Melalui Inpres 10/2011, Presiden memerintahkan Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) secara khusus untuk memantau pelaksanaan kebijakan moratorium.
Belum lagi jika harus mempertimbangkan tata kelola dan ruang mengenai hutan yang dinilai masih buruk. Akibatnya, ketikapun diperpanjang melalui Inpres 6/2013, kebijakan moratorium tersebut justru seolah dipertanyakan oleh hampir seluruh pihak, khususnya jika mempertimbangkan bahwa dampak yang diharapkan tidak dapat dirasakan setelah pelaksanaannya selama 2 tahun. Kecemasan ini bahkan secara politis sering diartikulasi untuk membangun kritik terhadap komitmen pengurangan emisi 26%-41% di tahun 2020 yang dinyatakan Presiden SBY di Pittburgh tahun 2009; satu
Dengan demikian, fokus kebijakan moratorium tidak hanya terfokus pada upaya penyempurnaan tata kelola hutan, tetapi, sebagaimana dicantumkan irah-irahnya, raison d’etre dari Inpres 10/2011 merupakan bagian dari upaya (global) dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang 7
dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Tabel 1. 2 Ranah Upaya Penurunan Emisi Dalam Inpres 10/2011
Untuk mencapai tujuan tersebut, Inpres 10/2011 menjadi arahan bagi inisiasi penyeimbang pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Arahannya dapat dibagi dalam setidaknya 2 alur besar, yaitu pertama memastikan adanya peta hutan alam primer dan lahan gambut yang dapat dijadikan acuan bersama seluruh kementerian, dan ke dua, melaksanakan pembenahan birokrasi terhadap proses perizinan.
Gambar 1. Alur Menghasilkan Peta Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Pada ranah yang pertama, Kementerian Kehutanan, Badan Koordinasi Survey Pemetaan Nasional (sekarang: Badan Informasi Geospasial), dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), bersama dengan kementerian lain yang disebutkan dalam Inpres 10/2011 menyusun Peta Indikatif acuan untuk Penundaan Izin Baru (PIPIB), yang meliputi areal yang dikategorikan sebagai hutan alam primer dan lahan gambut. Peta ini kemudian diperbaharui selama 2 tahun dan disempurnakan. Diharapkan selama proses 2 tahun tersebut, dapat dibangun konsensus bersama lahan-lahan hutan dan gambut yang tersisa. Baseline ini kemudian menjadi dasar untuk dikonsolidasi dalam rencana tata ruang.
Sumber: Satgas REDD+
, diolah.
Berdasarkan agenda-agenda tersebut, beberapa hal telah dicapai oleh kebijakan moratorium, meskipun dampaknya tidak setinggi yang diharapkan banyak pihak. Setidaknya, sudah ada peta penundaan izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut yang disepakati semua pihak, dengan posisi terakhir per tanggal 19 November 2012 seluas 64,7 juta hektar. Upaya pemantauan beberapa kali dilakukan bekerja sama dengan beberapa pihak di antaranya memantau 98 titik deforestasi yang terjadi di areal moratorium (UKP-PPP, 2012). Sementara terkait dengan upaya penataan tata kelola perizinan, berbagai inisiatif transparansi juga terus dikembangkan. Badan Pertanahan Nasional menerbitkan peta hak atas tanah dalam situs , yang dapat diakses oleh publik. Sementara Badan Informasi Geospasial pun menerbitkan <www.tanahair.presiden.go.id>. Kementerian Kehutanan juga menerbitkan seluruh peta PIPIB dan berbagai peta perizinannya di <www.webgis.dephut.go.id>. Pada lokus khusus, yaitu Kalimantan Tengah, upaya inventarisasi per-
Kemudian, melalui ranah yang ke dua, dapat dipahami bahwa tujuannya diarahkan memastikan tidak terjadinya konversi pada hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa. Dari kedua alur tersebutlah, konteks penyeimbangan atau penyelarasan pembangunan terlihat. Logika sederhananya, mempertahankan kanopi tersisa dapat menjadi jalan yang cepat dan bisa jadi mudah untuk memastikan pengurangan emisi. 8
izinan direncanakan untuk ditindaklanjuti dengan peninjauan perizinan.
bahwa areal yang dikecualikan merupakan hutan alam yang bernilai tinggi, atau setidaknya dapat mempengaruhi hutan atau kawasan konservasi
Tabel 2. Perkembangan Luas Peta Moratorium
Sumber: Siaran Pers Satgas REDD+ (2011 dan 2012) dan Siaran Pers Kementerian Kehutanan (2013), diolah.
yang ada di sekitarnya (Murdiyarso et al., 2011).
Capaian tersebut, bukannya tanpa kritik. Bahkan dengan target yang minim dan cakupan yang sempit, Inpres 10/2011 dianggap belum mampu berjalan secara optimal untuk melindungi hutan alam yang tersisa, apalagi jika harus diharapkan bertransformasi secara lugas dan menyeluruh menjadi instrumen untuk penyempurnaan tata kelola sektor kehutanan yang komprehensif.
Sementara terkait restorasi ekosistem, menurut penulis, agak janggal apabila dikecualikan dari PIPIB. Restorasi ekosistem justru seharusnya diarahkan pada areal yang masih dapat dihutankan kembali, bukan pada areal yang memang sudah berhutan dengan kerapatan tinggi seperti hutan alam primer. Sehingga pengecualian terhadap restorasi ekosistem pun logikanya tidak tepat.
Disebut cakupan yang sempit, karena PIPIB pada dasarnya hanya melingkupi hutan alam primer yang bahkan sebagian besar di antaranya sudah dilindungi berdasarkan mekanisme pengaturan di sektor kehutanan. Ini berarti mengurangi beban untuk menyelamatkan hutan sekunder yang sebenarnya juga menyimpan kekayaan hutan dan potensinya sebagai pengurang emisi. Argumentasi yang sama juga dapat digunakan terhadap kawasan hutan yang tidak berhutan sekalipun, terutama mengingat kegiatan reforestasi yang juga dapat dinilai dalam mekanisme REDD (Angelsen & Atmadja, 2008).
Untuk wilayah-wilayah tersebut pun, penulis masih harus menggugat efektivitas cakupan Inpres. Tidak dimasukkannya areal-areal yang memiliki dimensi persoalan pengakuan hak atas tanah dan hutan yang dikelola atau dikuasai masyarakat atau berkonflik untuk diselesaikan, justru berpotensi untuk melemahkan efektivitas penyelamatan atas hutan alam primer yang tersisa. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa inkonsistensi tenurial mendorong masyarakat sekitar hutan bertendensi buruk terhadap perlindungan hutan (Kelly, 2011). Oleh karena itu, perlu ada penyelesaian inkonsistensi persoalan tenurial kehutanan ini (Resosudarmo, Nawir, Resosudarmo, & Nina L. Subiman, 2012).
Perhitungan yang lebih teliti menunjukkan PIPIB sebenarnya hanya melingkupi 22,5 juta hektar kawasan baru, dikarenakan lebih dari 43,9 juta di antaranya merupakan kawasan hutan konservasi. Angka ini pun kemudian harus dikurangi dengan berbagai pengecualian, termasuk diantaranya usaha yang sudah mendapatkan izin prinsip, proyek vital pembangunan, perpanjangan pengusahaan hutan, dan pengembangan restorasi ekosistem. Setidaknya sebagian besar di antaranya dikecualikan tanpa memperhatikan kemungkinan 9
Tabel 3. Cakupan Kebijakan Moratorium
Tidak optimalnya perlindungan terhadap hutan alam primer dalam cakupan Inpres 10/2011 yang sudah sangat terbatas tersebut khususnya terlihat dari tidak adanya penyelesaian secara sistematis terhadap persoalan tumpang tindih perizinan usaha (termasuk yang ilegal) yang jelas-jelas dalam posisi mengancam keberadaan hutan alam primer.
Potret keraguan paling kuat atas Inpres Moratorium terletak pada ketidakjelasan nasib dari PIPIB itu sendiri. Tidak ada indikasi peta PIPIB tersebut menjadi acuan bagi proses tata ruang. Padahal, hingga September 2012 masih ada 18 provinsi yang proses tata ruangnya belum selesai. Di sisi lain, di dalam dokumen Rencana Kehutanan Nasional 2011-2030, dinyatakan Kemenhut hanya akan melindungi hutan alam dan lahan gambut yang luasanya lebih kecil dari PIPIB, yaitu 5,5 juta hektar (Murdiyarso et al., 2011).
Meskipun, Kementerian Kehutanan hingga 2013 telah menunda dan bahkan menolak berbagai permohonan izin dengan total luasan hingga 932.000 hektar, namun pengendalian dan penataan kegiatan usaha di hutan alam primer dan lahan gambut itu sendiri, belum dapat berjalan secara menyeluruh dan maksimal, kecuali satu kasus di Rawa Tripa yang sempat ramai di media masa. Pembukaan lahan di hutan alam primer dan lahan gambut terus terjadi, bahkan di hari pertama kebijakan moratorium diterbitkan (Telapak & EIA, 2011). Di sisi lain, peta PIPIB terus dikoreksi dan lahannya terus dikurangi hingga versi terakhir.
Opsi dan Peluang dalam Perpanjangan Kebijakan Moratorium Berdasarkan potret tersebut, kedua ranah pembenahan yang ditargetkan dalam Inpres 10/2011 belum sepenuhnya tercapai. Pelaksana Inpres masih memiliki banyak pekerjaan rumah, sementara PIPIB terhenti sebagai mekanisme penundaan izin dan bukan menjadi pelindung hutan alam yang tersisa. Akibatnya, kebijakan moratorium seolah hanya menjadi kebijakan “libur sementara” bagi eksploitasi hutan.
Tabel 4. Izin Baru dalam Lingkup Kementerian Kehutanan yang Ditolak atau Ditunda Sesuai Inpres 10/2011
Dengan demikian, perpanjangan kebijakan moratorium seharusnya tidak hanya menjadi tambahan waktu untuk menyelesaikan target-target yang belum selesai, tetapi juga lebih memberikan energi tambahan untuk mencapai target. Sayangnya, Inpres 6/2013 ternyata terbit dengan muatan yang tidak berbeda jauh dengan Inpres 10/2011, kecuali alasan penerbitannya, yang menegaskan bahwa kebijakan moratorium tersebut diarahkan untuk menyelesaikan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung.
Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan (2013).
10
Inpres 6/2013 tidak dapat menjadi panacea. Walaupun demikian, keberadaan kebijakan moratorium tetap memberikan pilihan kepada kementerian dan lembaga pelaksana Inpres 6/2013 dalam berkreasi dan berupaya membangun mekanisme kerja dan upaya dalam pengurangan emisi. Dalam hal ini, terdapat setidaknya 2 pilihan bagi kementerian dan lembaga pelaksana, yaitu, pertama mencermati kembali akar persoalan kerusakan hutan dan mendorong pelaksanaan kebijakan moratorium yang melebihi Inpres 6/2013, atau ke dua, dengan memastikan low hanging fruit target capaian sebagaimana cakupan yang ada dalam Inpres 6/2013.
hutan yang paling terancam – yaitu penyelesaian konflik. Saat ini pilihan untuk perluasan cakupan termasuk penyelesaian tenurial kehutanan juga di dukung dengan momentum yang kuat. Momentum itu di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-II/2012 yang kemudian menganulir posisi hutan adat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 45/PUU-X/2011 yang juga memaksa Kementerian Kehutanan untuk tidak sekedar mempercepat pengukuhan kawasan hutan, tetapi juga melakukan pengukuhan kawasan hutan secara partisipatif dan adil.
Opsi 1. Perluasan Cakupan Areal Hutan dan Lingkup Permasalahan Tenurial Kawasan Hutan ke dalam Kebijakan Moratorium Untuk menggunakan pendekatan yang pertama, pelaksana Inpres 6/2013 sebenarnya sudah memiliki modal. Upaya perluasan cakupan dari segi materi, sebenarnya juga sudah mulai dilakukan sebelumnya, misalnya dalam rilis persnya tahun 2012 dalam rangka 1 tahun Inpres 10/2011, UKP-PPP sebagai pemonitor mendorong para pihak untuk bergerak lebih jauh dari cakupan Inpres dengan berbagai inisiatif, di antaranya mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membangun basis data kegiatan usaha pertambangan agar dapat dimasukkan juga dalam basis data peta moratorium, meskipun ESDM bukan pihak pelaksana Inpres 10/2011.
Inisiatif lainnya adalah adanya dokumen Roadmap Tenurial dan inisiatif Nota Kesepakatan Bersama tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia yang ditandatangani 12 kementerian dan lembaga pada tanggal 12 Maret 2013 .
Kemudian UKP-PPP juga melakukan debottlenecking pada beberapa inisiatif strategis seperti mendorong pengukuhan kawasan hutan yang menggunakan teknologi baru, dan penguatan basis data degraded land.
Selain perluasan cakupan materi isu, perlu juga ada perluasan cakupan arealnya, yang tidak hanya hutan alam primer. Perlindungan termasuk pada hutan-hutan lain yang berpotensi untuk memiliki atau masih memiliki nilai konservasi tinggi (high conservation value, HCV) (Murdiyarso et al., 2011).
Selain itu ada juga Strategi Nasional REDD+ yang dirilis tahun 2012 (Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012). Dalam pelaksanaan Stranas ini, Satgas REDD+ juga menyatakan dengan jelas bahwa dalam penangguhan izin selama 2 tahun (merujuk ke Inpres 10/2011) akan dibarengi dengan inisiatif ke tiga – selain inisiatif konsolidasi perizinan dan penyelamatan wilayah
Akan tetapi, pilihan pertama ini bukan jalan yang mudah. Untuk memastikan perubahan fundamental dalam tata kelola kehutanan mau tidak mau para pelaksana akan dihadapkan dengan berbagai narasi dan asumsi dasar bagi sektoralisme dan pembangunanisme, yang secara historis telah terbukti berkali-kali menyebabkan penghancuran 11
hutan secara luar biasa. Secara riil, ia juga hadir dalam argumentasi bagi model pembangunanan a la ground breaking yang lebih banyak menguntungkan kepentingan ekonomi skala besar seperti Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang memiliki potensi berdampak negatif pada hutan dan biodiversitas yang tersisa.
Apapun pilihannya, pelaksanaan kebijakan moratorium jelas bukan tujuan, melainkan sebuah instrumen untuk mencapai apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam keberlangsungan hutan, baik itu sebagai sumber-sumber kehidupan maupun ruang hidup yang bermartabat, secara ekonomis, ekologis dan sosial. Quo vadis? *Peneliti hukum, bekerja di Yayasan Silvagama.
Tantangan lain berasal dari situasi politik menjelang tahun 2014 di mana 2013 merupakan masa-masa injury time bagi partai politik untuk persiapan Pemilu Nasional 2014 dan Pemilu Kepala Daerah yang sedang berjalan.
Daftar Pustaka Angelsen, A., & Atmadja, S, 2008. What is this book about? In A. Angelsen (Ed.), Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications. Bogor: CIFOR. Kelly, A. B., 2011. Conservation practice as primitive accumulation. Journal of Peasant Studies, 38 (4), 683–701. doi:10.1080/03066150.2011.607695. Muhajir, M., 2010. Tanggapan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai Kasus. Kertas Kerja Epistema No. 10/2010, Jakarta: Epistema Institute dan HuMa. Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D., & Seymour, F., 2011. Moratorium Hutan Indonesia: Batu loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? Working Paper 77, Bogor: CIFOR. Resosudarmo, B. P., Nawir, A. A., Resosudarmo, I. A. P., & Nina L. Subiman, 2012. Forest Land Use Dynamics in Indonesia. Working Papers in Trade and Development 2012/01, Canberra: The Australian National University. Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta. Telapak, & EIA, 2011. Menjambret REDD: tentang Pelanggaran Kriminal atas Moratorium Logging Indonesia Sejak Hari Pertama dan Keuntungan yang akan Didapat Norwegia. Bogor: Telapak dan EIA. UKP-PPP, 2012. 1 Tahun Pelaksanaan Inpres 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. UKP-PPP Press Release Presentation, Jakarta. Wells, P., & Paoli, G., 2011. Sebuah Analisis terhadap Instruksi Presiden No. 10, 2011 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Bogor: Daemeter Consulting.
Opsi 2. Penyelesaian Pranata Informasi dan Data dalam Rangka Penataan dan Penyelarasan Pembangunan untuk Melindungi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tersisa Pilihan ke dua, mungkin akan lebih mudah, adalah fokus untuk menyelesaikan perlindungan hutan alam primer dan lahan gambut dalam cakupan Inpres 6/2013. Pekerjaan rumahnya yang harus diselesaikan pun cenderung lebih jelas diantaranya memastikan PIPIB tidak selamanya menjadi peta indikatif dan penyelesaian penataan kegiatan usaha yang ada. Meskipun tergolong low hanging fruit, tetap bukan pekerjaan mudah. Para pelaksana dapat menggunakan data dalam PIPIB secara maksimal untuk kemudian mendorong berbagai kerja-kerja pembenahan tata kelola (khususnya birokrasi) dalam pengelolaan sumber daya alam. Pilihan ini tetap menantang terutama untuk memastikan bahwa data dan informasi yang dikumpulkan tadi memang menjadi jalan bagi pembenahan berikutnya. 12
Epistema Climate Change Update
Carbon Trading Traps and Potential Threats to Community by: Anggalia Putri Permatasari*
Climate change negotiations under United Nations goes on. After the parties conference 18th COP in Doha, Qatar, 2012 discussion among- COP back continued in Bonn, Germany, to prepare the parties facing 19th COP in Warsaw, Poland, this end of year 2013. The main level of the negotiations is to reduce global emissions, especially from fossil energy, the most widely produced by the industrialised countries. However, this negotiation is also discussed various side issues that grew stronger and occupy the main stage, the land-based emissions and land use (including forests), one of the results is REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus).
One current negotiations issue was the REDD+ funding. The parties enter into negotiations to find a way to make reductions in emissions from the forestry sector can be funded at the international level. Related to this, appear two approaches which until now further, are still being debated, the market and non-market mechanism. This short writing will discuss one of the levels of debates in the climate negotiations as the establishment of market mechanisms for forest carbon, its resonance in the policy climate mitigation in Indonesia, especially in the Nusantara Carbon Scheme, as well as the potential impact on the rights of the community.
Indonesia is deeply concerned with this scheme because most of carbon emissions in Indonesia contributed by forests and peat land destruction. This scheme also has the potential to impact the community spread over approximately 33,000 villages, that is situated inside and around the forest area.
REDD+ in the Middle of the Devastated Community Rights REDD+ reappearance with euphoria to improve forest governance through with shifting the paradigm of exploitative to the paradigm of sustainability and respect for the rights of the community. So far, forest indonesia is not only unsus14
tainable managed, but it is also tinged by vertical and horizontal conflicts that make the communities inside and surrounding forest area facing big companies, central and local governments; also state hardness enforcement. Until 2012, HuMa noted at least 72 conflicts is still going on in the forestry sector with a total area of conflict reached 1,2 million hectares where indigenous people and local against the company recorded as main actors (HuMa, 2012).
with Norway as the largest donor in Indonesia (with a commitment of US $ 1 billion). The question that still restrained is about full implementation phase funding (third phase). A group of developed countries continue to argue that public funds (comes from countries) will not be enough to fund REDD+ in the long run. Carbon trading options (forests) under the market mechanism was emerging. In this scheme, REDD+ imagined to be producing carbon credits (the forest) to be traded in a carbon market that will be created on the basis of an international agreement. Carbon credits can be used by developed countries to meet their emission reduction targets. However, if emission reduction of this forest carbon credits not additionality of domestic emission reduction efforts, then this mechanism is said to be an offset mechanism. In other words, the developed countries were buying “polluting permissions” from developing countries.
REDD+ could actually creates the political momentum and policy crevices to reduce forest damages by tracing its causes, and simultaneously make room for taboos problems such as the tenurial community veneration over forests and conflict resolution. This for example can be seen from the success of the civil society that successfully incorporate the concept of a security framework (safeguards) into the REDD+ national policy draft, including the right to reject or accept the development project (FPIC).
The first milestone for the carbon market is the decision of the COP 17 in Durban on 2011 that REDD+ funding “can” comes from the market. Although carbon trading and offsets are not mentioned explicitly, focus on carbon-oriented methodology indicates a tendency towards it (Lovera 2012). Since COP 17 that negotiations in the REDD+ methodology is focussing on carbon aspects such as MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) and the emission level; reference. While agenda rights that related to society rights like safeguards and benefits other than carbon (multiple benefits) in the REDD+ often marginalized. REDD+ negotiations at COP 18 Doha on 2012 then allegedly bogged down because of issues that related to the verification of emission reductions where developed countries (Norway, for example) want a mechanism to verify the strict emissions reductions at international level while developing countries (notably Brazil) against it. Strict and complicated verification be likened as a “Trojan horse” carbon trading that accuracy is required in terms of emissions calculation (Lovera, 2012). REDD+ “methodology package” is predicted to be completely discussed and “wrapped” in the
Although the REDD+ discourse that rolling in Indonesia in the middle of its actors complexity indicating the attempt to seize REDD+ ownership, can not be denied that the REDD+ building directly related to (if not dependent on) the international negotiations that are still running. In the middle of tenurial unsecured on indigenous people and local over the land rights, the REDD+ presence land based is potential to cause human rights violations and even new conflict in the community. The REDD+ basic logic is to give financial value on the forest stands so that it can compete with other sectors that exploitative, for instance oil palm plantations and mining. This raised a hot debate about the funding source. How REDD+ will be financed and what the consequences? The Climate Negotiations and Funding Debate for REDD+ Until now, REDD+ in indonesia (and in the world) is still in readiness phase, that is the phase in which the regulatory framework, institutional, methodology, and implementation mechanism established. In this phase, Indonesia received its funding from various sources in the form of grants, 15
means to achieve this is to associate a single mechanism with other mechanisms.
COP 19 in Warsaw on 2013 then handed down to the country level.
Previously, in COP 18 in Doha on 2012, the national council on climate change presented the formation of Nusantara Crabon Scheme, a domestic carbon market scheme that development process was fast enough and it feels that it was despite from public eyes, at least compared to the formation process of REDD+ National Strategy that can be said to be quite open.
Market mechanisms are actually already known in the Climate Convention which refers to the creation of a carbon trading scheme in order to raise funds to financing the climate change mitigation efforts. Under the Kyoto Protocol, developed countries successfully enforced the three marketbased mechanisms, known as carbon markets: Emissions trading, Joint Implementation and Clean Development Mechanism. The last two market mechanisms is offset mechanism because it can be done outside the emission producing countries.
Nusantara Carbon Scheme (“Skema Karbon Nusantara (SKN)”) is a certification and registration scheme for decreasing green house gas emission that will open the opportunity for carbon trading in Indonesia. This scheme issued carbon credits called Nusantara Carbon Unit (“Unit Karbon Nusantara (UKN)”). Carbon units can be traded, this resulting from activities which significantly reduces greenhouse gas emissions and contribute to sustainable development in Indonesia that produced cobenefits. Basically, these schemes are voluntarily. Through this mechanism, the private sector is encouraged to neutralize the emissions they produce by buying carbon credits that’s generated by SKN project.
In the case of forest, initially, in the offset mechanisms it was not included carbon emissions avoidance of (new in 2005 and thereafter, the avoidance of emissions of these schemed in the form of REDD). Only aforestation and forestation which included, it was until April 2012 only 40 new projects registered and only one project which has been producing carbon credits.a Although this carbon market from forest was difficult to be formed, the negotiations at the COP 17 in Durban that suggests the creation of a new market mechanisms are referred as New Market Mechanism to complement the existing carbon market.
Although domestic feature, in its design, SKN also envisioned to serve regional and international markets, whether were imbedded (if it is then defined by UNFCCC), or voluntarily (see figure I). SKN also include projects in the renewable energy sector (i.e. geothermal), projects that conserve energy consumption, Efficiency or modification industrial process, domestic and industrial waste management, sustainable agriculture, reforestation and afforestation, as well as REDD+ (DNPI, 2012).
The Position of Indonesia and Its Nusantara Carbon Scheme Although the position of government actors in Indonesia is far from a monolithic (not all of them talk about carbon markets), at the international level Indonesia seemed to welcome with open arms market mechanisms, including carbon market potential for REDD+. In the 38th SBSTA meeting in Bonn, on June 2013, government of Indonesia fully support NMM as appears in its submission:b
The inclusion of REDD+ in the sectorial scope of SKN is arguably a step ahead UNFCCC (prejudicing) that has not been decided whether REDD+ will be included into the carbon market mechanisms or not. Although still voluntary feature, Indonesia (at least the DNPI) has getting ready to connect the Indonesia domestic carbon market carbon with bilateral, regional and international markets, even explicitly included offset international mechanism.
Related to new market mechanism (NMM), Indonesia believes that technical elements that can apply in to the framework of various approaches (FVA) can also applied in to NMM. The spirit that must reflect in UNFCCC decisions in the future is the development of strong mechanisms but allows broad participation among the parties. One potential 16
(4) Forest carbon trading mechanism referred to paragraph (4) regulated in the Minister Regulation. (5) To meet Indonesia targets of emission reduction commitments, then the buyers of forest carbon originating from other countries gained maximum value for carbon emission reduction of 49%. (6) In order to increase the potential value of forest carbon, carbon forests implementation permit holders must keep the potential of forests in the area of their works from the forests destruction, forest fires, the forest encroachment and not harvesting the forest too excessively, and sustainable forest management.
Nusantara Carbon Scheme have gained legal forum, at least two legal framework, namely Permenhut P.30/Men hut-II/2009 about Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) and Permenhut P.20/Men hut-II/2012 about implementation of forest carbon. Permenhut P.30/Men hut-II/2009 mentioned that carbon trading is a trading service that comes from forest management activities that generates emission reduction of deforestation and forests degradation. While carbon dioxide trading setting, elaborate more clearly in Permenhut P.20/MenhutII/2012. For instance, in the regulation, article 8 Permenhut P.20/Men hut-II/2012:
Permenhut P.20/Menhut-II/2012 basically setting about licensing regime for those who already have forest exploitations permit to organize activities related to forest carbon (which includes REDD+). This Permenhut gives opportunities to carbon forest domestic trading (facilitated by Nusantara Scheme Carbon) and international level (which has been “imagined” by DNPI). Almost 50% of carbon resulting from the carbon activities in Indonesia forest can sold to foreign countries and there are no restrictions for offset.
Article 8 (1) The license holders can do the forest carbon trading at a locality as jointly and/or with forest products that they earned. (2) Forest carbon in the domestic and international market either voluntary market or imbedded market, is forest carbon that has been certify in accordance with the provisions applicable to the carbontrading market. (3) Traded carbon forest is difference between potential carbon forest in certain years to potential early carbon forest (baseline), and/or maintain and/or secure the forest carbon stock.
Forest Carbon Market Problems and Its Potential Impact Toward the Community REDD+, especially in readiness phase, was not identical with carbon market because its various enabling conditions creation targets, in the form of measure policies. Some policies taken that related to REDD+ actually open the opportunity to strengthening the rights of communities on the forest, for example in the form of safeguards and various initiatives improved forestry governance in general. However, there are tendencies that alarmed in the international and national level that REDD+ is design especially to serve the market, not community and climate. 17
Besides questions about environmental integrity inflicted by offset, there are several “red flag” in carbon market related community rights.
Verification) and RELs (Reference Emission Levels) are two among a package of REDD methodology is built upon the knowledge that very specialize and in need of not a less funds, not to mention all related aspects of financial regulations that are inherently contained in carbon market.
The first, is the idea, the market is the place for trading where the role of the State considered neutral. The basic assumption is all parties have equal status so that they can compete equally and finally take the proper benefits on their role in the market competition. However, this assumption, just as other assumptions of liberalism, is the theoretically assumption that is difficult to find in the real world.
In addition, there are also special risks when the community directly related to the market, for example the possibility of losing community assets (including land) when they failed to produce emission reductions according to the contract they make. The change of the land management pattern in which community could no longer plant the crops in accordance with the needs of their livelihood, the other risks. Not to mention the possibility of fraud by the carbon cowboys where communities lost land due to false promises or contract that is not understood.
Even in America, that called the mother of free market, there never was pure competition in the market. Quoting the economic observer; Ian Fletcher comment, “…Businesses will, in fact, do almost anything to get out of the hell of pure headto-head competition…” (Fletcher, 2011). It means that there never any businesses that want to put themself equivalent to get profit from the market. Equality will only reduce profit as the main pillar supporting the business. The communities in this situation have not benefitted much at early stage compare businesses that already at rancor within the market.
Currently, there is no state protection mechanism proved effective for anticipating things like this. The greater the vulnerability, especially as access to justice for the community (especially through formal legal system) has not been adequate. The second (and more substantial), is not yet clear the comprehensive legal framework for carbon rights (Ivalerina, 2010). Currently, that has been arranged is permit to convene the activity of carbon forest (rather than the result), that follows an existing license schemes (HPH, HTI, and so on).
Therefore, the community that goes to market without partiality and effective State protection potentially swallowed by other market participants could not be helped because the Government without having to “pretend” to be neutral. In a situation that homo homini lupus like this, the government belief on carbon market could not considered as a prudent step.
With initial conditions like today, where those few big players manage forest with broad 35x forest maintained by millions communities (and not yet clear the further procedure on the indigenous people recognition rights against forest), it is safe to predict that “forest credit” cake to the community will much smaller. The community also faces the risk of volatility in the market in which the carbon price fell to the lowest point since there is no sufficient demand.
In terms of carbon trading, even the REDD+ in general, indigenous and local communities are not players with an equivalent capacity, if faced with the big players, either the government, company, and various NGOs, especially international NGOs. REDD+ currently, especially within the framework of carbon market imagined at an international level (which is reproduced at a national level), based on the knowledge that is generally “unfamiliar” or tend to seclude communities, especially if it is later implied that the community will be the REDD+ perpetrator. MRV (Monitoring, Reporting, and
Closure After COP 18, Doha, on 2012, civil society demanded government not to rush and took the plunge into free markets. First, in an effort to find alternative 18
funding options, the Government has often argued that the design of market mechanism, are voluntary and flexible. If it unprofitable, the Government will seek other alternatives that more appropriates to raising funding. This kind of arguments reflected the carelessness of public policy making over the years. Often a design policy does not lead to creativity on looking for an alternative but direct on the “lock in” process or imprison self into a permanent scheme. In this case, the market scheme talks at this stage is not a creative process of looking for alternatives but a quick step to immediately plunge into a global carbon market.
Besides unconvincing in terms of emission reduction itself, carbon market (moreover offset) exposes the community against various risks, as the subject or object. This leads us to a fundamental question that must be constantly put forward in the middle of REDD+ euphoria in Indonesia: To serve the interests of whom actually REDD+ being developed? End notes: (a) http://carbonmarketwatch.org/category/ sustain able-development/forestry-land-use-projects/ (b) Indonesia submission: http://unfccc.int/ resource/docs/2013/sbsta/eng/misc09.pdf
Second, in terms of its legal infrastructure, policies and governance, until now has not been an available fundamental instrument and should have been there as a social-environmental prerequisites, that determine the occurrence of reduction rate of deforestation and forest degradation effectively. For instance, determine the drivers or of deforestation perpetrator, ensure exploitation restriction, apply AMDAL and KLHS wholly, the protection of the rights of the community, clarification on agrarian conflicts and other fundamental efforts. These efforts are much more urgent and more reflective of real resolve efforts instead of spending energy by talking about carbon markets that are very uncertain, abstract and full of deception. Political struggles within the national policies are continue to fight each other, especially, the contradiction between the environmental issues can sees in the discrepancy development project between MP3EI and emission reduction commitment.
*Writer works in HuMa. The writer say thank you to Steni Bernadinus for the comments and inputs to this paper. Bibliography Departemen Kehutanan dan BPS, 2009. Identifikasi Desa di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan. DNPI, 2012. Draft Persyaratan dan Ketentuan Skema Karbon Nusantara ver 1.0. Diakses pada 10 Juni 2013. http://skn.dnpi.go.id/dokumen/ Fletcher Ian, 2011. Why Free-Market Economics is a Fraud. Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.huffingtonpost.com/ian-fletcher/free-marketeconomics-critique_b_1155820.html HuMa, 2012. Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria 2012. Diakses pada 10 Juni 2013. http://huma.or.id/en/pusat-database-daninformasi/outlook-konflik-sumberdaya-alam-dan-agraria-2012-3.html Ivalerina, Feby, 2010. Konsep Hak‐Hak atas Karbon. Kertas Kerja Epistema No.01/2010. Jakarta: Epistema Institute. http:// epistema.or.id/publikasi/working‐paper/145‐konsep‐hakhak‐atas‐karbo n.html Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Lovera, Simone, 2012. MRV as a Trojan Horse for Carbon Markets? Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.redd-monitor.org/2012/ 12/04/guest-post-mrv-as-a-trojan-horse-for-carbon-markets/
19
Forest and Land Moratorium, Quo Vadis? by: Grahat Nagara* High public expectations is understandable, since the beginning of the spirit in moratorium policy was not directed for just giving “time to breath” for the forest. At least, as specified in the title, the new license moratorium policy is expected also momentum for improvement on forestry policy (Murdiyarso, Dewi, Lawrence & Seymour, 2011; Wells & Paoli, 2011). From that point of view, the framework of a two-years implementation on the moratorium policies as well as the substance content of Inpres 10/2011 extended by Inpres 6/2013, could be inadequate. Especially understand that the homework in improvement of forestry governance not only much unfinished but can also be already too complicated.
Like the previous rule, moratorium policy through enactment of Presidential Instruction 6/2013 on Suspension of Granting of New Licenses and Improvement of Governance of Primary Forest and Peat Land (next Inpres 6/2013) responded by various parties with the same anxiousness though with different reasons.
Measuring Moratorium Implementation Moratorium policy cannot be separated from the initiative of Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) which was supported by Norway through a letter of intent about the REDD+ on 26 May 2010. As one of the clause, the moratorium was part of Indonesia's commitment to reduce emissions, including by establishing institutions of REDD+. Through the Inpres 10/2011, President SBY ordered the Task Force on REDD+ Institutional Preparation (REDD+ Task Force) to monitor the implementation of the moratorium policy.
While some, especially the entrepreneurs, anxious because the extension of the moratorium is predicted to hamper the development of the oil palm plantation and/or other land-based businesses in Indonesia. For the civil society environmentalists, the Inpres has long been a concern, considered too weak, especially because its narrow coverage with variety of exceptions (Wells & Paoli, 2011). Not to mention there is little improvement in forests and land management. Consequently, even when its was extended through Inpres 6/2013, the policy seemed to be questioned by nearly all parties, especially if you consider that the expected impact may not be felt after 2 years implementation. This anxiety is often politically articulated to build criticism to the 26%-41% emission reduction commitments in 2020 that the President SBY stated in Pittburgh 2009; the commitments itself has become part of government mediumterm development plan (RPJM) 2010-2014 (Muhajir, 2010).
Thus, the focal issues of the moratorium policy not only emphasizing on completion of forest governance efforts, but also as part of global efforts to reduce greenhouse gases emissions through the reduction of emissions from deforestation and forest degradation. To achieve that goal, Inpres 10/2011 must be stated as a basis for balancing sosio-economic, cultural and environmental development. The direction of the Inpres then divided into 2 domains: first, to ensure there is a map of primary forests and peat land as a reference for all unit in government; and 20
second, improving permit process in forest related business.
Table 1. 2 Domain Efforts to Reduce Emissions in the Inpres 10/2011
Picture 1. Flows to Generates a Map of the Primary Forests and Peat Land
From the first domain, Ministry of Forestry, the Mapping Survey National Coordination Board (now Geospatial Information Board), National Spatial Planning Coordination Board, along with other ministries mentioned in Inpres 10/2011 composing The Indicative Moratorium Map (IMM/ PIPIB= Peta Indikatif Penundaan Izin Baru), that includes areas categorized as primary forests and peat land. This map then renewed for 2 years and perfected. Expected result from 2 years implementation is a mutual consensus about remaining forests and peat land.
Source: REDD+ Task Force , processed.
Based on those agendas, some have been achieved by moratorium policy, though the impact was not as high as expected by many parties. At least, there is a map of moratorium on new license in primary forest/peat land (IMM/PIPIB), with the latest position as per November 19, 2012 was reached over 64.7 million hectares. Several times monitoring efforts carried out in collaboration with several parties including monitoring the 98 points areas of deforestation that occurred in moratorium (UKP-PPP, 2012). While associated with attempts to improve licensing bureaucracy, many transparency initiatives were also developed. National land agency publishes a map of land rights in the site , that can be accessed by the public. While the Geospatial Agency has published <www.tanahair.presiden.go.id>, the Ministry of Forestry also published the entire IMM/PIPIB map and its license map at <www.webgis.dephut.go.id> On particular locus, such as Central Kalimantan, the inventory of business licenses will be followed up with licensing review and compliance audit.
From the second domain, there is a policy direction to ensure no conversion in remaining primary forest and peat land. Hence, the context of balancing or harmonizing the development can be seen from those 2 domains. In simple logic, maintain remaining forest canopy can be quicker and easiest way to ensure the reduction of emissions so far, allegedly mostly derived from the conversion forest and peatland.
21
Table 2. Moratorium Map Policy
supposed to direct in to area that can still be reforested, not in the area with dense canopy like primary forest. So exceptions to any ecosystem restorations is logical fallacy. In addition, for those areas narrow scope itself, the writer must still questioned the effectiveness of the Inpres coverage. The Inpres was not including conflicted area (i.e. overlaping claim between adat/local peoples with government or business unit on particular land/forest), which has potent problem to undermine effectiveness of protecting remaining primary forests. Tenurial inconsistencies encourage bad tendencies on communities surrounding forests in term of protecting forest (Kelly, 2011). Therefore, solving inconsistency in tenurial forestry is issues that coherently should be part on safeguarding the last primary forest (Resosudarmo, Nawir, Resosudarmo & Nina L. Subiman, 2012).
Source: REDD+ Task Force press release (2011 and 2012) and Ministry of Forestry press realease (2013), processed.
The achievements was not without criticism. Even with minimal targets and narrow scope, Inpres 10/2011 can not be considered running in optimal manner in order to protect the remaining natural forests, moreover if it is expect to transform straightforwardly and thoroughly to be a tool for enhanced forestry sector management. Called as narrow scope, because IMM/PIPIB basically just covers the primary forest that even most of which were already protected under forestry sector management mechanism. The IMM/PIPIB simply reduced the burden to save secondary forest that in fact also storing the forest richness and its potential as a emission deduction. The same argument can also be used for a degraded forest area, as reforestation actions can also be valued in REDD mechanism (Angelsen & Atmadja, 2008).
Table 3. Moratorium Coverage Policy
In detailed argumentation, the IMM/PIPIB actually only covered a new area of 22.5 million hectares. It was because more than 43,9 million hectare has already defined as conservation forest areas (Murdiyarso et al., 2011). This number must then reduced by various exceptions, including businesses that have gotten principle permit, vital development projects, extended forest concession, and development of ecosystem restoration management unit. At least most of them excluded without regarding for the possibility that the excluded area is a high-value natural forest, or can affect the forest or conservation areas that existed in the surrounding.
Inpres 10/2011 deficiency also seen from the lack of systematic solution for the problem of overlapping business licensing (including the illegal ones) that clearly in a position threatening the existence of the primary forests. Although, Ministry of Forestry until 2013 indeed had a various delays even refusals for permit application with total 932.000 ha, however, control and arrangement of business activities in primary forest and peat land itself has not been able to run thoroughly, except for one case in Rawa Tripa which was boisterous in the mass media. Meanwhile, land clearing is keep happening both in primary forest and peat land, even on the first day the moratorium policy is published (Telapak & EIA,
Meanwhile, related to restoration ecosystem, the writer thinks somewhat incongruously when excluded from IMM/PIPIB, ecosystem restoration is 22
2011). In the other hand, IMM/PIPIB continues to be corrected andthe area reduced in the last version.
moratorium still provide policy options to the Ministry and implementing agencies, that is, first observed back to the root problems of deforestation and forest degradation and implementing the moratorium policy that exceeds in Inpres 6/2013, or secondly, by ensuring the low hanging fruit target sections as there is the coverage in Inpres 6/2013.
The most doubtful portrait on Inpres moratorium after 2 years implementation is on the unclear fate of IMM/PIPIB. No single indication that IMM/PIPIB map will be used as reference for spatial process. In fact, until September 2012 there are 18 provinces that their spatial management processes haven’t finished yet. On the other hand, according to National Forestry Plan 2011-2030, Ministry of Forestry will only protect natural forest and peat land that smaller than IMM/PIPIB which is 5,5 millions hectares (Murdiyarso et al., 2011).
Option 1. Insert the Expansion of the Forests Area and the Problems Forestry Tenurial into Moratorium Policy To use the first approach, implementing agencies actually already have provision. In its 2012 press release to 1 year of Inpres 10/2011, UKP-PPP encourage the implementing agencies and other related agencies to move further more from the Inpres coverage with various initiatives. UKP-PPP encourages the Ministry of Energy and Mineral resources (ESDM) to build a database of mining business activities that can be included also in the moratorium base data map, although the ESDM is not the implementing agencies for the Inpres 10/2011.
Table 4. Delayed and Rejected New Permit in Ministry of Forestry According to Inpres 10/2011
Source: processed from the Ministry of forestry (2013).
Options and Opportunities in the Extension of the Moratorium Policy Based on above portrait, both improvements targeted in the Inpres 10/2011 has not been fully achieved. Inpres executor still have a lot of homework to do, while IMM/PIPIB stalled as the permission delays mechanism instead of protection of remaining primary forest. Moratorium policy is seen only a “temporary holiday” policy for forest exploitation.
Then UKP-PPP also did a debottlenecking on several strategic initiatives such as using new spatial technology in forest gazettement proces, and improving database on degraded land. In addition, There is also National Strategy for REDD released in 2012 (Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012). Regarding National Strategy, REDD+ task force stated clearly that there will be third initiatives - besides consolidating licences and protecting the most vulnerable forest area – to improve moratorium policy, namely conflict resolution.
Thus, the extension of the moratorium policy should not just be an extra time to complete the targets not yet finished, but also provide more energy to reach the target. Unfortunately, the Inpres 6/2013 was published with content that does not vary much with Inpres 10/2011. The difference is only in the reasons of issuance of Inpres 6/2013 that the moratorium policy is directed to complete the ongoing improvement policy on forests and peat land management. Inpres 6/2013 is also valid for 2 years.
Expanding coverage is also supported with a strong momentum. Including some of them are the issuance of the constitutional court decision No. 35/PUU-II/2012 which then revised the position of indigenous forest in forest status in Indonesia. The previous ruling that is the verdict of the number 45/PUU-X/2011 that forcing the Ministry of Forestry to not only accelerate process of forest gazzettement, but also strengthening participatory
Therefore, Inpres 6/2013 cannot be a panacea. Nevertheless, the existence of the Inpres 6/2013 23
and fair process in forest gazzettement. Other initiative are the Forest Tenurial Roadmap document and mutual agreement on the acceleration of forest gazzettement area signed by 12 ministries and agencies on March 12, 2013 .
Although categorized as low hanging fruit, it is still not an easy work. IMM/PIPIB could be seen as reference data, so the imolementor can use PIPIB data to push various work to improve transperancy and accountability in natural resources management. This option remains challenging, especially to ensure that the data and information collected along the building of IMM/PIPIB is opening the door for the next improving process.
In addition to expansion of the material issues, there is also the need to extens the scope of the protection areas. The moratorium should include other forest area other than primary forests, such as forest with high conservation value (HCV) (Murdiyarso et al., 2011).
Whatever the choice, the implementation of the moratorium policy clearly not the purpose, but an instrument for accomplishing what was need by the people in the sustainability of the forest, be it as sources of life as well as dignified (economically, ecologically and socially) living space. Quo vadis?
However, this first choice is not an easy way. Ensuring fundamental changes in the forest governance, the implementing agencies will be faced with a variety of narrative and basic assumptions for sectoralism and developmentalism. Its will be facing with the arguments of a la “ground breaking” development model that give more acces to the large scale economic interests, such as the acceleration of Indonesia economic development masterplan (MP3EI) that has potential damage to the remaining forests and biodiversity.
*Law researcher, work for Yayasan Silvagama. Bibliography Angelsen, A., & Atmadja, S, 2008. What is this book about? In A. Angelsen (Ed.), Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications. Bogor: CIFOR. Kelly, A. B., 2011. Conservation practice as primitive accumulation. Journal of Peasant Studies, 38 (4), 683–701. doi:10.1080/03066150.2011.607695. Muhajir, M., 2010. Tanggapan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai Kasus. Kertas Kerja Epistema No. 10/2010, Jakarta: Epistema Institute dan HuMa. Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D., & Seymour, F., 2011. Moratorium Hutan Indonesia: Batu loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? Working Paper 77, Bogor: CIFOR. Resosudarmo, B. P., Nawir, A. A., Resosudarmo, I. A. P., & Nina L. Subiman, 2012. Forest Land Use Dynamics in Indonesia. Working Papers in Trade and Development 2012/01, Canberra: The Australian National University. Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta.
Another challenge comes from political situation, where 2013 is injury time for political parties to the 2014 national election and ongoing regional leader elections. This option obviously requires leadership and a strong political commitment from all parties implementing the Inpres.
Telapak, & EIA, 2011. Menjambret REDD: tentang Pelanggaran Kriminal atas Moratorium Logging Indonesia Sejak Hari Pertama dan Keuntungan yang akan Didapat Norwegia. Bogor: Telapak dan EIA. UKP-PPP, 2012. 1 Tahun Pelaksanaan Inpres 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. UKP-PPP Press Release Presentation, Jakarta. Wells, P., & Paoli, G., 2011. Sebuah Analisis terhadap Instruksi Presiden No. 10, 2011 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Bogor: Daemeter Consulting.
Option 2. Improving Information and Data to Protect Remaining Primary Forests and Peat Lands The second option, it might be easier, is to complete the protection of primary forests and peat land stated in Inpres 6/2013. Its homework that must be settled also tend to be more clear, among other is to ensure that IMM/PIPIB will not forever be the indicative map and the completion of improving license arrangement. Of course, there should be a precondition of the data transparency and data effectively to be agreed and be a reference for improving the forestry management. 24