BAGIAN PERTAMA WACANA
Hartini Retnaningsih
CATATAN KRITIS TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN Hartini Retnaningsih 1
A. Kemiskinan yang Terus Aktual Permasalahan kemiskinan terus aktual di Indonesia, bahkan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kemiskinan bagai benang kusut yang tak terurai dari waktu ke waktu, bahkan dari pemerintahan ke pemerintahan. Namun hal ini bukan berarti suatu pembenaran untuk membiarkan kemiskinan terus berlangsung di negeri ini. Justru setiap periode pemerintahan ditantang untuk mengatasinya, atau setidaknya mengurangi kusutnya benang kemiskinan yang menggurita selama ini. Kini, pada masa pemerintahan Presiden SBY-Budiono, masalah kemiskinan juga masih menjadi permasalahan panjang yang tak ada ujung. Permasalahan kemiskinan tersebut dapat dilihat dari berbagai dimensi, yang terkadang membuat bingung, dari mana harus mencari solusi. Bertahun-tahun kemiskinan dibahas para pakar, bertahun-tahun pemerintah membuat dan melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan, namun tetap saja kemiskinan menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Kenyataan tersebut memunculkan banyak pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dan faktor-faktor apa yang dominan di balik kemiskinan? Mungkin hanya sebuah impian, bagi siapapun yang ingin mendapat jawaban secepatnya atas permasalahan tersebut. Sungguh, diperlukan waktu dan pemikiran yang jernih serta analisis yang komprehensif untuk mendapatkannya. 1 Penulis adalah Peneliti Bidang Studi Kemasyarakatan Spesialisasi Analisis Dampak Sosial dan Evaluasi Program di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Email:
[email protected].
3
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Selama ini dikenal adanya empat kategori kemiskinan: 1) Kemiskinan absolut, adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll; 2) Kemiskinan relatif, adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan ”kondisi umum” suatu masyarakat; 3) Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern); 4) Kemiskinan sruktural, adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. 2 Dari keempat kategori kemiskinan tersebut, semuanya bisa disaksikan di berbagai wilayah Indonesia sekarang ini. Berbicara masalah kemiskinan, berarti juga berbicara tentang keluarga miskin. Menurut BPS ada 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin: 1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester; 4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersamasama dengan rumah tangga lain; 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; 7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8) Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; 10) Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; 13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; 14) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, 2 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Edisi Revisi, Alfabeta, Bandung, 2008, h. 17-18.
4
Hartini Retnaningsih atau barang modal lainnya. 3 Kriteria tersebut masih digunakan hingga saat ini, meskipun tidak selalu cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang plural. Di Kota Manado misalnya, orang yang rumahnya berlantai tanah belum tentu miskin, dan orang miskin di Manado bisa makan daging/ susu/ayam lebih dari satu kali dalam seminggu. Selain itu, kriteria tentang uang misalnya, juga tidak cocok dengan keragaman tingkat harga barang dan jasa di berbagai wilayah Indonesia. Nilai Rp. 600.000,- di Jakarta tentu tidak sama dengan nilai Rp. 600.000,- di Papua, misalnya. Ada berbagai versi tentang ukuran kemiskinan, di antaranya versi BPS dan versi Bank Dunia. Menurut Rizky dan Majidi, BPS menggunakan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Garis Kemiskinan dilakukan terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll.) Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 4 Sedangkan Garis Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pendapatan US$ 2 per hari yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat setiap negara. 5 Sehubungan dengan itu, sudah saatnya pemerintah jeli dan membuka diri untuk memahami betapa rumitnya masalah kemiskinan. Tanpa pemahaman yang komprehensif 3 -----, Badan Pusat Statistik. 4 Awalil Rizky & Nashyith Majidi, Neo Liberalisme Mencengkeram Indonesia: Indonesia Undercocer Economy, Penerbit: E. Publisihing Company, Jakarta, 2008, h. 194. 5 Ibid., h. 196.
5
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik terhadap berbagai penyebab kemiskinan dan tanpa menggunakan kriteria yang konsisten untuk mengukur kemiskinan, maka pemerintah tidak akan pernah dapat melakukan penanggulangan kemiskinan dengan tepat. Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks, sehingga masalah kemiskinan tak dapat dipahami hanya dari satu sisi saja. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penanggulangan kemiskinan, karena tanpa memahami berbagai hal yang menjadi penyebabnya, upaya penanggulangan kemiskinan tidak akan dapat mencapai hasil yang optimal. Mengenai penyebab kemiskinan, Waidl, Sudjito, dan Bahagijo mengutip Bradshaw, yaitu: 1) Kelemahan-kelemahan individual (individual deficiencies); 2) Sistem budaya yang mendukung subkultur kemiskinan; 3) Distorsi-distorsi ekonomipolitik atau diskrimiasi sosial-ekonomi; 4) Kesenjangan kewilayahan; 5) Asalusul lingkungan yang bersifat kumulatif. 6 Untuk melakukan penanggulangan kemiskinan yang tepat, pemerintah perlu memperhatikan penyebab-penyebab kemiskinan, dan berdasarkan permasalahan yang ada, pemerintah membuat program-program yang cocok untuk memberdayakan masyarakat miskin. Waktu setahun adalah waktu yang singkat untuk menilai berbagai hal yang telah dilakukan pemerintahan Presiden SBY-Budiono terkait dengan penanggulangan kemiskinan. Sungguh tidak elok untuk mengadili secara gegabah, namun perlu diingatkan kembali bahwa hingga kini kemiskinan masih menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Presiden SBY-Budiono diharapkan mampu memimpin dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di Indonesia. Pada masa pemerintahan sebelumnya, yaitu pemerintahan Presiden SBYJK, angka kemiskinan di Indonesia masih fluktuatif, di samping juga masih adanya perbedaan cara pandang terhadap kemiskinan dan kriteria yang digunakan untuk mengukurnya. Hal ini merupakan permasalahn tersendiri yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Perbedaan cara pandang dan kriteria terhadap kemiskinan tersebut, mengakibatkan ketidakpastian tentang jumlah orang miskin yang sebenarnya. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan menjadi tidak optimal.
6 Abdul Waidl, Ari Sudjito, Sugeng Bahagijo, Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat, LKiS, Yogyakarta, 2008, h. 14.
6
Hartini Retnaningsih Data resmi yang digunakan dasar oleh pemerintah untuk melakukan penanggulangan kemiskinan adalah data BPS. Menurut BPS, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan, dari 38,70 juta orang (19,14 %) pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta orang (15,97 %) pada tahun 2005. Akan tetapi pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup besar, dari 35,10 juta orang (15,97 %) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta orang (17,75 %) pada bulan Maret 2006. Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta orang(16,58 %) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta orang (15,42 %) pada tahun 2008. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada tahun 2009, dari 34,96 juta orang (15,42 %) pada tahun 2008 menjadi 32,53 juta orang(14,15 %) pada tahun 2009. 7 Dari data BPS tersebut, terlihat kecenderungan bahwa kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia kian membaik. Namun apakah demikian kenyataan yang ada di lapangan? Kita masih perlu mempertanyakan dan mengaitkannya dengan kriteria yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Perlu dicatat bahwa untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan, perlu didasari langkah awal yang benar, yaitu menggunakan kriteria kemiskinan yang relevan dengan kenyataan. Jika tidak, hasilnya tidak akan optimal, dan ini berarti pemborosan anggaran negara. B. Kebijakan yang Kurang Responsif Kebijakan sosial yang kurang responsif menjadi penyebab kegagalan atau kelambanan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah perlu memiliki konsep pembangunan sosial yang tepat dan relevan. Pembangunan sosial adalah bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan sosial membutuhkan kebijakan sosial yang relevan. Menurut Suharto, kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. 8 Kebijakan sosial adalah 7 Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009, dalam Berita Resmi Statistik No.43/07/Th.XII, Juli 2009. 8 Edi Suharto, Loc. Sit. h. 10.
7
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare). Secara rinci, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah: (1) Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat; (2) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan-tindakan kolektif; (3) Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian-sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural; (4) Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat, dan martabat kemanusiaan; (5) Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. 9 Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan sosial merupakan pedoman yang harus dipegang oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu kebijakan sosial haruslah responsif terhadap permasalahan yang nyata-nyata dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Selama ini masih terlihat kebijakan sosial yang kurang responsif terhadap permasalahan di lapangan, sehingga hasilnya pun salah sasaran. Sebagai contoh, dalam Program BLT (Bantuan Langsung Tunai), banyak penerima bantuan adalah orang yang lebih mampu dari yang diperkirakan, sehingga maksud baik pemerintah justru disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dalam hal ini Program BLT kurang disertai pengenalan secara jeli terhadap orang-orang yang sesungguhnya ingin dibantu, dan justru melahirkan mental-mental pengemis di kalangan masyarakat. Menurut Hill dan Bramley, ”First and foremost we would stress the point that in discussing social policy we are discussing an aspect of public policy, that is the action and positions taken by the state as the overriding authoritative collective entity in society.” 10
9 Edi Suharto, Loc. Sit. h. 62. 10 Michael Hill & Glen Bramley, Analysing Social Policy, Blackwell Publishers, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, United Kingdom, 1994, p. 4.
8
Hartini Retnaningsih Keduanya juga menyatakan betapa sulitnya mendefinisikan kebijakan sosial: “A rather similar approach is that which defines social policy in terms of the institutions involved in the making and delivery of policy. Thus, in Britain social policy embraces: (1) certain central government departments, notably the Department of Health and Social Security, together with associated ministers, parliamentary committees, etc.; (2) certain social government departments, notably Social Service Departments, and associated committees; (3) the National Health Service; (4) other offshoots of government such as (perhaps) the Manpower Service Commission; (5) (possibly) certain professional bodies whose members are centrally involved in social service, e.g. medicine, nursing, social work, teaching, and associated teaching and research institutions”.11 Meskipun Hill dan Bramley sulit mendefinisikan ‘kebijakan sosial’, namun dari pernyataannya dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan sosial mencakup pengertian tentang kegiatan pemerintah dalam rangka menangani masalah sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah penanggulangan kemiskinan. Kebijakan sosial identik dengan kebijakan dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial masyarakat. Sehubungan dengan ini, Gilbert, Specht, dan Terrell mengemukakan: “Analysts tend to approach social welfare policy in several interrelated ways. The major approaches to analysis can be characterized as studies of the three p’s: process, product, and performance. Each approaches examines social welfare policy questions that are primarily relevant to the professional roles of planning, administration, and research. Professional engaged these activities devote most of their resources and energies to questions concerning the process, product, and performance of social welfare policy”. 12 Kebijakan kesejahteraan sosial terkait dengan kegiatan profesional yang menggunakan pendekatan dan analisis terhadap proses, produk, dan kinerja. Setiap pendekatan akan menguji pertanyaan-pertanyaan kebijakan kesejahteraan sosial melalui perencanaan, administrasi dan penelitian yang profesional. Para profesional terikat untuk memperhatikan proses, menghasilkan produk, dan menunjukkan kinerja kebijakan kesejahteraan sosial. Dalam konteks penang11 Ibid. 12 Neil Gilbert, Harry Specht, & Paul Terrell, Dimensions of Social Welfare Policy, Third Edition, Prentice Hall Inc, A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632, 1993, p. 17.
9
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik gulangan kemiskinan di Indonesia, para profesional perlu terus berupaya melakukan peningkatan kualitas diri dan lembaganya dalam rangka memperkuat penyusunan kebijakan kesejahteraan sosial. Selain itu para politisi juga harus bersedia mendengar saran-saran yang profesional pada saat melakukan formulasi kebijakan kesejahteraan sosial dalam rangka penanggulangan kemiskinan. C. Upaya Penanggulangan Kemiskinan Penanggulangan kemiskinan adalah tantangan nyata yang dihadapi Pemerintah Indonesia saat ini. Demi keberhasilan penanggulangan kemiskinan, semestinya pemerintah belajar pada kegagalan masa lampau. Dan fokus yang tak dapat ditinggalkan adalah orang miskin itu sendiri. “Salah satu faktor penting dari gagalnya pemberantasan kemiskinan adalah kebijakan politik pemerintah tidak memihak penduduk miskin. Hampir setiap periode, pemerintah terlihat tidak secara sungguh-sungguh memperjuangkan peningkatan kesejahteraan kaum miskin. Rezim Orde Baru misalnya, lebih memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun pada saat itu dibuat berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, misalnya Instruksi Presiden (INPRES), namun program tersebut dan program lainnya tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi ketika itu diwarnai oleh tetap adanya kemiskinan dengan jumlah yang cukup signifikan. Rezim-rezim di era reformasi pun tidak memperlihatkan kebijakan yang pro rakyat miskin (pro-poor). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan terlihat berada di sisi ekstrim dalam hal kebijakan yang tidak pro-poor ini. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu amat pro pasar dan investasi. 13 Kembali fokus pada masyarakat miskin adalah hal krusial yang harus dilakukan oleh pemerintah, selain juga memperhatikan data-data dan fakta-fakta lain tentang kemiskinan yang dihasilkan oleh lembaga riset di luar BPS. Hanya dengan kembali fokus pada masyarakat miskin yang nyata-nyata ada di lapangan, maka negara akan menghasilkan kebijakan sosial yang pro-poor dan pemerintah akan dapat menciptakan serta menyelenggarakan program-program penanggulangan kemiskinan yang relevan, efektif dan efisien. 13 Toto Sugiarto, Kemiskinan, Demokrasi Terkonsolidasi dan Keutuhan Bangsa, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat, http://analisispolitik.co.cc/paper-politik/kemiskinan-demokrasi-terkonsolidasi-dankeutuhan-bangsa/, Akses Selasa, 28 September 2010.
10
Hartini Retnaningsih Permasalahan riil yang dihadapi Pemerintah Indonesia sekarang ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin, meskipun angka kemiskinan (versi pemerintah) dinyatakan mengalami penurunan. Masalah kriteria yang digunakan untuk mengukur angka kemiskinan terus menjadi perdebatan, dan ada kecenderungan politik pada masing-masing pihak yang berkepentingan. Namun, alangkah baiknya jika pemerintah mau memahami dan membuka diri terhadap berbagai dimensi yang ada dalam permasalahaan kemiskinan di Indonesia. Hal ini sangat penting, karena tanpa itu, kemiskinan hanya akan dipahami sebagai angka-angka, dan program-program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan akan hambar dan berakhir tanpa hasil yang optimal. Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia sekarang ini juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan MDGs. Menurut analis kampanye dan dan advokasi MDGs di Indonesia, Siahaan, pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telah on track. Namun kinerja dalam pengentasan rakyat miskin tetap menjadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 %. 14 Dengan demikian, hingga kini upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan belum berhasil, karena masih banyak permasalahan yang terkait dengan masyarakat miskin di Indonesia. Jika hal ini tidak segera direspon dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan target MDGs untuk mengurangi separoh jumlah orang miskin pada tahun 2015 tidak akan berhasil. Menanggulangi kelaparan dan kemiskinan adalah tujuan pertama dari MDGs. Sebagai negara yang turut menyepakati KTT Millenium, Indonesia menetapkan target-target yang ingin dicapai pada tahun 2015 15, yaitu:
14 -----, Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h. 15. 15 -----, Tim Penyusun Laporan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007, Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, November 2007.
11
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tujuan 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan
Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US $ 1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015. Indikatornya (a) presentase penduduk dengan pendapatan di bawah US $ 1 per hari; (b) presentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional; (c) indeks kedalaman kemiskinan; (d) indeks keparahan kemiskinan; (e) proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama) Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015. Indikatornya : (a) persentase anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk; dan (b) persentase anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang
Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target 3: Menjamin pada tahun 2015, semua anak (laki dan perempuan) dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Indikatornya: (a) angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun); (b) angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun); dan (c) angka melek huruf usia 15-24 tahun
Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. Indikatornya: (a) rasio anak perempuan terhadap anak laki-laku di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak lakilaki; (b) rasio melek huruf perempuan terhadap anak laki-laki usia 15 – 24 tahun yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender); (c) tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan; (d) tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan; (e) kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan; (f) tingkat daya beli pada kelompok perempuan; dan (g) proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, yudikatif)
Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian Anak
Target 5: Menurunkan angka kematian Balita sebesar duapertiganya dalam kurun waktu 1990-2015. Indikatornya: (a) angka kematian bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; (b) angka kematian Balita (AKBA) per 1000 kelahiran hidup; (c) anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak (%)
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya dalam kurun waktu 1990-2015. Indikatornya: (a) angka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup; (b) proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan; dan (c) proporsi wanita 15-49 tahaun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga berencana
12
Hartini Retnaningsih Tujuan 6: Memerangi HIV/ AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya
Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. Indikatornya: (a) prevalensi HIV dan AIDS; (b) penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi; (c) penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi; dan (d) persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria serta penyakit lainnya pada tahun 2015. Indikatornya : (a) prevalensi malaria per 1.000 penduduk; (b) prevalensi tuberkolusis per 100.000 penduduk; (c) angka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%); dan (d) angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%).
Tujuan 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
Target 9: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. Indikatornya: (a) rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan Satelit Landsat terhadap luas daratan; (b) rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas daratan; (c) rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan; (d) rasio luas kawasan lindung perairan; (e) jumlah emisi karbondioksida (metrik/ton); (f) jumlah konsumsi bahan perusak ozon (ton); (g) rasio jumlah emisi karbondioksida terhadap jumlah penduduk Indonesia; (h) jumlah penggunaan energi (total) dari berbagai jenis; (i) rasio penggunaan energi dari berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto; (j) penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik/ton). Target 10: Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya pada 2015. Indikatornya : (a) proporsi rumah tangga terhadap penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (total); (b) proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perdesaan); (c) proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perkotaan); (d) cakupan pelayanan perusahaan daerah air minum (KK); (e) proporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak (total, perdesaan, perkotaan) Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020. Indikatornya proporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah (%).
13
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Menurut Siahaan, berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 % (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 % (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 sekitar 31,7 juta orang miskin. Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 %. Hanya saja penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun. 16 Dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia berjalan lamban, dan pemerintah belum berhasil mengentaskan masyarakat miskin dari jurang kemiskinan dan penderitaannya. Masalah penanggulangan kemiskinan di Indonesia juga terkait dengan kerancuan angka kemiskinan. Sebagaimana dirilis Kompas, besarnya angka kemiskinan di Indonesia masih simpang siur. Untuk kepentingan yang berbeda, angka yang menunjukkan jumlah penduduk miskin tersebut muncul dengan besaran berbeda. Dalam Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS, yakni 31,02 juta jiwa pada tahun 2010. 17 Masalah kesimpangsiuran angka kemiskinan tersebut mungkin akan bertambah rumit lagi jika dikonfrontir dengan angka-angka lain tentang kemiskinan dari lembaga riset yang berbeda. Kondisi semacam ini perlu direspon dan ditindaklanjuti dengan langkah nyata oleh pemerintah, yaitu melakukan harmonisasi dan konsistensi terhadap penggunaan data kemiskinan dalam rangka penyusunan program-program dan anggaran penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pemerintah perlu mengetahui secara jelas siapa dan berapa jumlah masyarakat miskin di Indonesia, agar program-program penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan nantinya tidak sia-sia. Selain angka kemiskinan yang masih simpang siur, masalah kemiskinan yang sudah ada selama ini juga sangat rentan untuk bertambah beban. Ketika ada satu saja faktor baru yang masuk, misalnya bertambahnya pengangguran, maka masalah kemiskinan di Indonesia akan bertambah pelik. Berdasarkan catatan Kemendiknas, saat ini ada sedikitnya 2 juta lulusan perguruan dengan 16 -----, Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h. 15. 17 -----, “Laporan MDGs: Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur”, dalam SK Kompas, Senin 21 September 2010, h. 1.
14
Hartini Retnaningsih aneka jenjang menjadi penganggur. 18 Jika masalah pengangguran ini tidak dapat segera diatasi, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan kemiskinan baru pada masa mendatang, bahkan dalam jangka waktu yang tidak akan lama. Dan ini berarti, angka kemiskinan akan bertambah pula. D. Catatan Kritis Dari serangkaian uraian di atas, ada tiga catatan penting yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu: Pertama, kemiskinan yang terus aktual. Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang terus aktual di Indonesia hingga kini, sehingga pemerintah perlu merespon permasalahaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Kemiskinan adalah tantangan nyata yang dihadapi pemerintah, yang menuntut perhatian dan pembenahan secara serius. Pemerintah perlu melihat kembali siapa sebenarnya orang miskin, apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dari kemiskinan tersebut, dan faktor-faktor apa yang dominan di balik kemiskinan tersebut. Untuk merespon permasalahan kemiskinan, diperlukan pemikiran yang jernih serta analisis yang komprehensif, agar nantinya dapat dilakukan tindak lanjut penanggulangan kemiskinan yang relevan, efektif dan efisien. Kedua, kebijakan sosial yang kurang responsif. Penanggulangan kemiskinan membutuhkan kebijakan sosial yang responsif, yaitu kebijakan sosial yang mampu merespon permasalahan nyata yang ada dalam masyarakat. Kebijakan sosial yang kurang responsif menjadi penyebab kegagalan atau kelambanan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia selama ini. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan sosial merupakan pedoman yang harus dipegang oleh penyelenggara negara, oleh karena itu, kebijakan sosial haruslah responsif terhadap permasalahan yang nyata-nyata dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Ketiga, upaya penanggulangan kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan membutuhkan keseriusan, dalam hal ini adalah keseriusan melihat dan memahami siapa orang miskin yang sebenarnya, apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana melakukannya. Pemerintah perlu kembali fokus pada permasalahan masyarakat miskin, selain juga membuka diri terhadap data-data dan fakta-fakta lain tentang kemiskinan yang dihasilkan oleh lembaga riset di 18 -----, Penganggur Akademik Dua Juta Orang, dalam SK Kompas, Senin, 27 September 2010, h. 12.
15
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik luar BPS. Masalah kriteria dalam pengukuran kemiskinan yang terus menjadi perdebatan, juga perlu direspon, agar terjadi harmonisasi dan satu kesatuan gagasan pada elemen-elemen bangsa yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini sangat penting, agar upaya dan tindakan penanggulangan kemiskinan dapat mencapai target dengan tepat sasaran.
16
Hartini Retnaningsih
Daftar Pustaka
Abdul Waidl, Ari Sudjito, Sugeng Bahagijo, Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat, LKiS, Yogyakarta, 2008. Awalil Rizky & Nashyith Majidi, Neo Liberalisme Mencengkeram Indonesia: Indonesia Undercocer Economy, Penerbit: E. Publisihing Company, Jakarta, 2008. Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Edisi Revisi, Alfabeta, Bandung, 2008. Michael Hill & Glen Bramley, Analysing Social Policy, Blackwell Publishers, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, United Kingdom, 1994. Neil Gilbert, Harry Specht, & Paul Terrell, Dimensions of Social Welfare Policy, Third Edition, Prentice Hall Inc, A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632, 1993. Toto Sugiarto, Kemiskinan, Demokrasi Terkonsolidasi dan Keutuhan Bangsa, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat, http://analisispolitik.co.cc/paperpolitik/kemiskinan-demokrasi-terkonsolidasi-dan-keutuhan-bangsa/, Akses Selasa, 28 September 2010. -----, ���������������������������������������������������������������� Tim Penyusun Laporan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007, Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, November 2007. -----, Badan Pusat Statistik.
17
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Lain-lain: -----, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009, dalam Berita Resmi Statistik No.43/07/Th.XII, Juli 2009. -----, Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h. 15. -----, Laporan MDGs: Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur, dalam SK Kompas, Senin 21 September 2010, h. 1. -----, Penganggur Akademik Dua Juta Orang, dalam SK Kompas, Senin, 27 September 2010, h. 12.
18
Dina Martiany
Perspektif Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Sosial Dina Martiany “The education and empowerment of women throughout the world cannot fail to result in a more caring, tolerant, just and peaceful life for all” (Aung San Suu Kyi-Myanmar’s Leader)
I. PENDAHULUAN Pembangunan dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan dengan tujuan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Pendekatan yang seringkali digunakan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu melalui pembangunan ekonomi. Di satu sisi pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan per kapita di suatu negara, tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pembangunan ekonomi lebih terfokus pada pengembangan fisik, seperti pertumbuhan Produk Nasional Bruto (Gross National Product/GNP), serta pembangunan struktur dan infrastruktur. Sementara itu, pemerataan hasil pembangunan dan keseimbangan lingkungan kehidupan kurang diperhatikan, sehingga proses pembangunan justru menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin, serta permasalahan sosial lainnya. Pembangunan sosial dilakukan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup manusia, yang indikatornya terletak pada pencapaian di bidang kehidupan sosial. Dalam Wikipedia online disebutkan bahwa pendekatan pembangunan 19
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sosial dianggap sebagai suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dimana pembangunan dilakukan untuk saling melengkapi dengan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan sosial dalam suatu negara dapat dilihat dari tingkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicapai. Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa HD/IPM Indonesia pada tahun 2008 berada di peringkat 109 dari 179 negara, dengan nilai 0,726, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pembangunan sosial dan upaya peningkatan kualitas hidup manusia, akan memberikan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Keduanya harus terlibat dalam setiap proses pembangunan, sehingga dapat tercipta suatu kesetaraan gender. Sejak awal perencanaan pembangunan, analisa harus dilakukan berdasarkan data terpilih. Selama ini, perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki. Pada proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan, keterlibatan perempuan masih sangat rendah. Masih rendahnya kualitas hidup perempuan yang disebabkan oleh relasi gender yang masih timpang, tercermin dalam berbagai bidang yang diukur melalui Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM). Pencapaian keadilan dan kesetaraan gender sesungguhnya merupakan suatu hal yang penting. Millenium Development Goals (MDGs) menunjukkan bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu target yang harus dicapai pada tahun 2015. Sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, sesungguhnya keterlibatan perempuan dalam setiap tahapan pembangunan perlu terus didorong. Keterlibatan tersebut bukan hanya dilibatkan secara pasif, namun sebagai pelaku aktif dan agen dalam pembangunan sosial. Pada kenyataannya, data dan fakta di lapangan menggambarkan bahwa kualitas hidup perempuan yang masih rendah dan keterlibatan perempuan yang minim dalam pembangunan sosial, disebabkan karena perempuan selama ini diposisikan sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya.
20
Dina Martiany Adanya persepsi mengenai peran yang dilekatkan pada perempuan dan lakilaki, menjustifikasi peran gender yang menempatkan perempuan pada kerja domestik (caring works) dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Peran gender perempuan seperti yang disebutkan oleh Moser (1995), yaitu peran reproduksi, peran produktif, dan peran sosial (dalam masyarakat), seharusnya dapat dimanfaatkan dengan optimal. Sebaliknya, akibat peran gender tersebut, perempuan seringkali mengalami ketidakadilan gender dan diskriminasi. Ketidakadilan gender itu berupa marginalisasi, subordinasi, pelabelan/stereotipe, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan gender dapat terjadi secara langsung berupa perlakuan dan sikap atau tidak langsung seperti dampak dari kebijakan, peraturan perundang-undangan, norma, dan budaya yang berlaku di masyarakat. Program pembangunan kesetaraan gender yang dirumuskan oleh para stake holders selama ini cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek pasif. Pasifitas tersebut dianggap sebagai ketidakmampuan yang diakibatkan karena keterbatasan dan pengaruh peran gender yang disandangnya. Hal ini berdampak pada perspektif dalam melihat peranan perempuan dalam pembangunan sosial. Keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial masih sangat rendah. Intervensi sosial dalam bentuk pemberdayaan cenderung bersifat memberikan bantuan (charity) terhadap pihak yang dianggap tidak mampu, lemah, dan terpinggirkan. Program pembangunan yang ditujukan untuk kelompok perempuan berdasarkan pada relasi power, yang menunjukkan kekuasaan negara terhadap pihak yang teropresi (power over). Program yang dirumuskan dengan perspektif kekuasaan dalam arti dominasi pihak yang berkuasa (pemerintah) terhadap pihak yang lemah dan harus diatur (rakyat), mengakibatkan rakyat terus diposisikan sebagai obyek yang pasif. Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial akan memberikan konsekuensi yang positif dalam terjadinya perubahan sosial dan peningkatan kualitas hidup bangsa. Perspektif pemberdayaan tersebut hendaknya tidak hanya menempatkan perempuan sebagai pihak yang teropresi karena konstruksi budaya dan ketidakadilan struktural, melainkan sebagai subyek pembangunan. Peran perempuan sebagai obyek yang pasif harus direposisi menjadi subyek aktif dalam pembangunan sosial. Perempuan dipandang sebagai agen perubahan yang memegang peranan besar dalam komunitasnya masing-masing. Seperti pendapat Amartya Sen yang menjelaskan bahwa dengan adanya peranan aktif perempuan dalam pembangunan berpotensi membawa perubahan dalam ke21
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik hidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Empowerment of women through education, employment and social and economic participation, brings about changes in society such as reduced child mortality, reduced fertility rates and often an increased well- being of the whole family. (Sen,1999) Sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan sosial dan pencapaian kesetaraan gender, perlu dilakukan pemberdayaan perempuan. Kabeer (1994: xii) dalam “Reversed Realities”, menjelaskan bahwa selama ini ada pergeseran fokus analisis pembangunan dari perempuan (women) menjadi relasi gender (gender relation). Permasalahan yang sering terjadi apabila fokus analisa ketidakadilan gender dalam pembangunan hanya pada ‘perempuan’, maka analisanya hanya akan melihat pada persoalan perempuan terisolasi dari sisa kehidupannya dan dari hubungan yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Sehingga, yang terlihat sebagai penyebab ketidakadilan yang dialami oleh dirinya adalah perempuan itu sendiri, bukan relasi gender. Pada akhirnya dalam analisis pembangunan para ahli gender memfokuskan pada relasi gender. Meskipun demikian, dalam hal relasi gender, dapat dilihat bahwa pemberdayaan perempuan merupakan komponen utama yang terkait erat untuk mendorong percepatan pencapaian relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Pemberdayaan perempuan dilihat sebagai suatu upaya intervensi sosial dalam pembangunan sosial. Tetapi bagaimana agar perspektif pemberdayaan perempuan tersebut dapat memampukan perempuan sebagai subyek yang aktif dan tidak terus-menerus dianggap sebagai penyebab ketidakadilan gender yang dialami dirinya sendiri. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa bagaimanakah perspektif pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial. II. Pemahaman Konsep Pembangunan Sosial Pembangunan secara umum adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam suatu negara dan merupakan proses perubahan sosial. Prayitno (2009:3) menyebutkan bahwa perubahan sosial harus dimulai dengan adanya motivasi yang kuat untuk bersedia dan menerima perubahan dan penetapan tujuan perubahan harus dilakukan terlebih dahulu. Di Indonesia, pembangunan nasional dirumuskan sebagai suatu rangkaian pembangunan secara berkesinambungan terhadap berbagi bidang kehidupan rakyat, dengan tujuan mencapai cita-cita bangsa yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Un22
Dina Martiany dang Dasar (UUD) 1945. Hakikat pembangunan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dengan berlandaskan pada Pancasila. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuannya, maka pembangunan nasional dilakukan secara menyeluruh, terencana, terpadu, bertahap, dan berkesinambungan. Pembangunan nasional terdiri dari pengembangan fisik seperti struktur dan infrastruktur dari suatu negara, yang mendukung pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total, pendapatan perkapita, dan pemerataan pendapatan rakyat. (Wikipedia online http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi) Meskipun demikian, orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, agar dapat mencapai keseimbangan dalam pencapaian tujuan pembangunan. Edi Suharto dalam Bahri (2009) mengartikan pembangunan sosial sebagai pendekatan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial. Pembangunan sosial secara kontekstual lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial daripada pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang termasuk dalam lingkup pembangunan sosial mencakup bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan rakyat, pengentasan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Prayitno (2009:4) menjelaskan bahwa pembangunan sosial merupakan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan (rakyat) secara menyeluruh. Pembangunan sosial melibatkan manusia secara langsung, sebagai agen pembangunan sekaligus penikmat hasilnya. Pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dinilai sebagai dua entitas yang terpisah. Midgley (1995: 250) dalam Adi (2003: 49) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai: “a process of planned social change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjunction with a dynamic process of development” (suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi). Lebih lanjut dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan sosial, Midgley yang dikutip dalam Adi (2003:49) mengemukakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
23
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Pembangunan sosial melalui individu (social development by individual), di mana individu dalam masyarakat secara swadaya memberikan pelayanan untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan individualis atau ‘perusahaan’ (individualist or enterprise approach). 2. Pembangunan sosial melalui komunitas (social development by communitites), di mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokal di daerah masing-masing. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian approach). 3. Pembangunan sosial melalui pemerintah (social development by government), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (government agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach). Berdasarkan pada uraian strategi pembangunan sosial, pembangunan manusia merupakan pembangunan sosial dalam tingkat mikro; pembangunan/ pengembangan komunitas (community development) merupakan pembangunan sosial pada tingkat meso; dan apa yang disebut sebagai pembangunan sosial itu sendiri, merupakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau berskala makro. Widowati (2009, iii) dalam buku “Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia”, menjelaskan bahwa pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strategi kolektif dan terencana dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Pembangunan sosial dituangkan dalam bentuk berbagai kebijakan sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, jaminan sosial, dan penanggulangan kemiskinan. Moeljarto dalam Prayitno (2009:9) menerangkan bahwa makna pembangunan sosial setidaknya mencakup 3 (tiga) kategori, yaitu: 1. Pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat; 2. Pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi; dan 3. Pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat.
24
Dina Martiany Lebih lanjut, Widowati (2009) berpendapat bahwa konsep pembangunan sosial (social development) berbeda dengan pembangunan manusia (human development) dan pembangunan kesejahteraan sosial (social welfare development), meskipun saling berkaitan satu sama lain. Pembangunan sosial berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas. Fokus pembangunan kesejahteraan sosial sedikit lebih luas, mencakup peningkatan modal sosial (social capital), yang dapat dilihat dari indikator keberfungsian sosial dalam hal: pemenuhan kebutuhan dasar; melaksanakan peran sosial; dan kemampuan menghadapi permasalahan sosial. Sementara itu, fokus pembangunan manusia terletak pada peningkatan kualitas manusia, yang dilihat dari sisi modal manusia (human capital), dengan melihat pada dua indikator, yaitu: kesehatan dan pendidikan. Pembangunan sosial menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia, untuk mencapai hidup yang lebih berkualitas. Dengan tercapainya peningkatan kualitas hidup manusia, maka akan berpengaruh secara signifikan pada pembangunan ekonomi. III. Perspektif Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Sosial Rencana Strategis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2009-2014 menyebutkan bahwa pada tahun 2009, populasi penduduk di Indonesia mencapai sekitar 231 juta, dan 49.9% dari jumlah itu adalah perempuan. Persentase populasi tersebut sesungguhnya merupakan aset yang sangat potensial untuk menyumbangkan kontribusi yang besar dalam pembangunan sosial. Aset yang harus dikelola dan dilibatkan secara optimal. Perwujudan kesetaran gender dalam pembangunan merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan, agar perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam partisipasi dan menikmati hasil pembangunan. Hal tesebut dilakukan terintegrasi dalam setiap tahapan pembangunan, dimulai dari masa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Ada berbagai macam konsep yang dapat membantu dalam memahami kesetaraan gender. CIDA (Canadian International Development Agency) menyebutkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki atau kesetaraan gender mempromosikan partisipasi perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan; mendukung perempuan dan anak perempuan sehingga mereka dapat sepenuhnya memperoleh hak mereka; dan mengurangi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat 25
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dari pembangunan. Sementara itu, AusAid mendefinisikan kesetaraan gender adalah kesetaraan nilai peran antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender bekerja untuk mengatasi hambatan stereotipe dan prasangka sehingga kedua jenis kelamin mampu secara sama-sama berpartisipasi dan mengambil manfaat dari perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam masyarakat. Ketika perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan relatif, ekonomi tumbuh lebih cepat dan terjadinya praktik korupsi berkurang. (http://assignmentsonline.wordpress.com/gender-and-development/concept-paper-2-gender-equality-gender-equity/) Selama ini, data dan angka menunjukkan bahwa perempuan belum sepenuhnya terlibat dalam pembangunan. Target pencapaian kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Dari sekitar 1,2 miliar manusia yang hidup dalam kemiskinan absolut, 70 % di antaranya adalah perempuan. Pendidikan untuk anak perempuan selama ini masih dinomor-duakan. Sementara itu, di bidang ketenagakerjaan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan dari tahun 2004 sampai tahun 2009, TPAK perempuan tidak menunjukkan peningkatan, hanya berkisar sekitar 50 %. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang rata-rata 84 %. Di bidang politik, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR-RI belum sesuai harapan, yaitu hanya sebesar 17,9% sedikit meningkat dari periode sebelumnya (11,3%). Tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007). Berdasarkan analisa Bappenas tahun 2010 target pencapaian penurunan AKI hingga 102 per-100.000 kelahiran hidup masih sulit direalisasikan. (Martiany, 2010) Pencapaian kesetaraan gender termasuk dalam menjadi tolok ukur dalam peningkatan kualitas hidup manusia, yang menjadi tujuan utama pembangunan sosial. Salah satu langkah yang harus dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan kesetaraan gender, sejalan dengan upaya peningkatan HDI (Human Development Index), GDI (Gender Development Index), GEM (Gender Equality Measure) di Indonesia, adalah melalui pemberdayaan perempuan. Peningkatan pemberdayaan perempuan melalui berbagai program dan kegiatan dilakukan dengan kesadaran bahwa betapa pentingnya peran posisi perempuan dalam pembangunan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pemberdayaan merupa26
Dina Martiany kan metode intervensi sosial dalam pembangunan sosial. Perempuan sebagai salah satu entitas dalam pembangunan sosial yang selama ini masih banyak mengalami ketidakadilan gender, perlu diberikan intervensi baik pada tingkat individu, komunitas, maupun pemerintah/kebijakan. 3.1 Pemberdayaan dalam Pembangunan Sosial Istilah “empowerment”, dalam bahasa Indonesia “pemberdayaan”, berasal dari kata dasar “empower” yang berarti: “increasing the spiritual, political, social, or economic strength of individuals and communities.” Atau sebagai suatu proses meningkatkan kekuatan ekonomi individu dan komunitas. Proses pemberdayaan juga termasuk mengembangkan kepercayaan diri terhadap kapasitas individu. (http://en.wikipedia.org/wiki/Empowerment) Selain itu, pemberdayaan juga diartikan sebagai: “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “to equip or supply with an ability”. Jadi empowerment adalah tentang hal menguasakan, memberi kuasa, atau memberikan wewenang sehingga si objek memiliki kekuasaan dalam artinya luas. Dari konsep aslinya, “empower” adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran (conscientisation) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang dihadapi, kemudian mengambil keputusan dan tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Dengan demikian, terjadi proses dimana orang-orang didorong dan diyakinkan untuk memperoleh penuh keterampilan, kemampuan, dan kreatifitas. Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang sangat sering digunakan dalam pembangunan tetapi memiliki berbagai definisi, tergantung pada sudut pandang dalam memaknainya. Ife (1995) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti mempersiapkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian bagi masyarakat, demi untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat tersebut, dalam menentukan masa depan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakatnya. (http://www.scribd. com/doc/29739221/Proposal-Penelitian) Selain itu, Payne yang dikutip Adi (2003) menjelaskan pemberdayaan sebagai upaya dalam membantu suatu pihak agar berdaya dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer kemampuan dan kesempatan dari lingkungan sekitar. Akar utama dalam konsep pemberdayaan adalah power atau kekuasaan. 27
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Secara umum, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang (subyek) terhadap orang atau kelompok lain (obyek) untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Rowlands (1995) mengatakan bahwa kekuasaan dapat ditempatkan dalam proses pengambilan keputusan, konflik, kekuatan, bahkan dapat digambarkan sebagai “zerosum”, yaitu semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh suatu pihak, semakin rendah kekuasaan pihak yang lainnya. Dalam hal ini kekuasaan dianggap berhubungan dengan kepatuhan atau ‘power over’, dimana suatu pihak harus melakukan pengawasan (control) atau mempengaruhi (influence over) pihak lain. Kekuasaan yang dimiliki oleh pihak yang menjadi subyek lebih dominan daripada yang menjadi obyek. Selain itu, konsep mengenai kekuasaan subyek yang aktif dan obyek yang pasif terkait erat dengan relasi kekuasaan yang terbentuk secara sistematis. Ketidakberdayaan dapat terjadi karena kondisi eksternal (penindasan struktur sosial) dan karena kondisi internal (persepsi negatif terhadap kemampuan sendiri). Dalam suatu komunitas, ketika ada pihak yang terbiasa dianggap sebagai pihak yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan, dan bahkan berada di bawah kekuasaan oleh kelompok yang dominan, maka mereka akan selalu merasa sebagai pihak yang teropresi. Secara tidak langsung, hal tersebut akan terinternalisasi di dalam diri mereka dan dianggap sebagai sesuatu yang memang wajar terjadi karena segala keterbatasan yang dimilikinya (internalised oppression). Sehingga, tidak ada kesadaran (conscientisation) yang muncul bahwa dirinya memiliki kekuasaan (power within) untuk melakukan berbagai kontribusi dan partisipasi dalam pembangunan sosial. Lebih lanjut, sesuai konteks tulisan ini pemberdayaan utamanya dilihat sebagai upaya yang bertujuan untuk merubah persepsi negatif masyarakat terhadap ketidakberdayaannya (power within), meningkatkan kesadaran dan kemampuan akan potensi yang dimilikinya, serta memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu (power to). Suharto (2009:58) mengatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu hal yang tercipta dalam relasi sosial, sehingga dapat berubah. Pemberdayaan merupakan suatu proses perubahan, yang tergantung pada dua hal: bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, maka pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan cara apapun; dan bahwa kekuasaan dapat diperluas.
28
Dina Martiany 3.2 Perspektif Pemberdayaan Perempuan Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam pembangunan sosial adalah dengan melakukan pemberdayaan perempuan, sebagai bentuk intervensi sosial. Perempuan selama ini dianggap sebagai kelompok yang lemah secara struktural. Sebagai pihak yang tidak berdaya dan perlu diberdayakan, namun menerapkan perspektif pemberdayaan yang menguasai (power over). Perempuan sebagai obyek yang pasif bukan subyek/agen yang aktif. Perempuan dikuasai oleh pihak yang dominan dalam kehidupannya, baik pada tingkat relasi individual (suami/ayah/saudara laki-laki); tingkat relasi komunitas (masyarakat yang patriarki); dan tingkat kebijakan (terbitnya berbagai peraturan yang bias-gender). Perempuan berada jauh dari kekuasaan yang bersifat generatif, yang dapat memampukan perempuan memiliki kesadaran akan potensi, kemampuan, hak, dan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan sosial. Dalam perspektif feminis, interpretasi mengenai kekuasaan pihak lain atas perempuan (power over), dapat dilihat dengan memahami dinamika terjadinya opresi oleh struktur dan internalisasi opresi dalam diri perempuan sendiri. Pelaksanaan pemberdayaan harus mampu mempengaruhi kemampuan perempuan sebagai kelompok yang less-powerful untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan formal dan informal; mengusahakan dapat memberikan pengaruh positif, sehingga perempuan memiliki persepsi baru mengenai dirinya sebagai kelompok yang memiliki kemampuan dan perbuatan yang berpengaruh bagi lingkungan sekitarnya. Rowlands (1995:102) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan sesungguhnya lebih luas daripada sekedar memperluas akses perempuan terhadap sumber daya dan proses pengambilan keputusan. Pemberdayaan melainkan harus termasuk proses yang dapat mendorong kesadaran perempuan (conscientisation) bahwa dirinya mampu dan berhak menjadi bagian dari pembangunan. Konsep power from within merupakan inti dari pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan perubahan sosial. Persepsi perempuan mengenai kemampuan yang dimiliki dirinya merupakan konstruksi sosial. Salah satunya adalah adanya pembagian peran gender, yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik. Sehingga, apabila perempuan bekerja di ruang publik, seringkali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Upah pekerja perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan banyak perem29
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik puan yang bekerja di sektor informal dan domestik, selain mendapatkan upah yang rendah, dianggap tidak berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Perempuan teropresi dan diposisikan menjadi warga negara kelas dua. Konstruksi sosial membentuk persepsi personal, publik dan negara, bahwa perempuan adalah kelompok yang tidak berdaya, pendamping, dinomorduakan, dan tidak berkontribusi aktif dalam pembangunan. Persepsi ini pula yang menjadikan posisi start perempuan untuk aktif dalam proses pembangunan sosial menjadi tertinggal. Seharusnya, pemberdayaan perempuan tidak membuat suatu konstruksi sosial yang negatif, sehingga perempuan memiliki kesadaran yang tinggi dan percaya diri akan kemampuannya. Pemberdayaan perempuan memandang perempuan sebagai entitas yang memiliki potensi dalam dirinya dan mampu berperan aktif sebagai agen perubahan. Pemikiran feminis mengutamakan pemberdayaan struktural dan kolektif dengan mengkonsepsikan pemberdayaan sebagai kekuasaan atau kekuatan dari dalam diri sendiri (power within). Charmes dan Wieringa (2003) dalam Johannessen (2007) mendefinisikan Matriks Pemberdayaan Perempuan yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: fisik, sosial-budaya, agama, ekonomi, politik, dan hukum, serta enam level, yang terdiri dari: individual, rumah tangga, komunitas, negara, agama, dan global. Pemberdayaan perempuan semestinya mencakup keenam dimensi tersebut dan dilakukan di seluruh tingkatan, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pendapat mengenai power within merupakan suatu bagian yang penting dalam pemberdayaan perempuan dan mengacu pada kesadaran terhadap realitas eksternal. Townsend dalam Johannessen (2007) mengatakan bahwa proses pemberdayaan diri sendiri (self-empowerment) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kesadaran dan pilihan yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Kesadaran dalam diri ini memang harus didukung dengan beberapa faktor pendukung, seperti pendidikan, informasi, dan komunikasi. Sementara itu, konsep conscientisation dianggap sebagai titik utama dalam konsep pemberdayaan perempuan. Kesadaran atau conscientisation merupakan istilah yang dikembangkan oleh Freire, seperti yang terdapat dalam Rowlands (1995:103) dimana pusatnya adalah individu yang mampu menjadi subyek dalam kehidupannya sendiri dan membangun kesadaran kritis (critical consciousness). Pemberdayaan perempuan pada umumnya dilakukan di dalam kelompok atau komunitas, dengan pendamping yang sifatnya hanya menjadi fasilitator. 30
Dina Martiany Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial merupakan suatu proses dimana perempuan dapat memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya sendiri untuk meningkatkan kemandirian, dan menegaskan hak kemerdekaan mereka dalam membuat pilihan dan memegang kontrol terhadap sumber daya, sehingga akan membantu mengeliminasi diskriminasi dan ketidakadilan gender yang mereka alami. Dengan adanya konsep kesadaran Freire, maka pelaksanaan pemberdayaan perempuan akan berpengaruh pada perubahan sosial. Konsep ini merupakan strategi aktif untuk mewujudkan perubahan sosial dan politik, serta mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan sosial. Carr dalam Johannessen (2007) mengatakan bahwa konsep conscientisation adalah proses yang analitikal, konstruktif, dan memobilisasi dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan. Aspek yang dianggap problematic dalam upaya pemberdayaan perempuan adalah kenyataan bahwa pemberdayaan itu harus dimulai dari dalam diri perempuan itu sendiri. Kabeer (2005) mendukung kenyataan tersebut, dikatakan olehnya bahwa proses pemberdayaan seringkali dimulai dari dalam diri perempuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rowlands (1995) yang menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan proses yang melibatkan perubahan psikologis dan proses psiko-sosial yang fundamental. Inti dari kedua hal tersebut adalah pengembangan kepercayaan diri dan harga diri perempuan, kesadaran untuk menjadi agen perubahan sosial, serta kesadaran diri dalam arti yang lebih luas. Ketika perempuan yang sebelumnya diposisikan sebagai powerless-group menyadari arti kesetaraan hak dan partisipasi, maka perempuan akan lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Berangkat dari berbagai pemahaman konsep pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial, selanjutnya akan ditelaah lebih mendalam beberapa tingkatan pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial di Indonesia. Menurut Sara Longwe (Pemberdayaan perempuan yang dilakukan pada komunitas masyarakat harus mencakup kelima level di bawah ini: 1. Kesejahteraan/pemenuhan kebutuhan dasar (Welfare); 2. Keterbukaan akses, antara lain: pendidikan, keterampilan, informasi, dan kredit (Access); 3. Kesadaran kritis (Conscientisation);
31
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 4. Pergerakan (Mobilization) atau partisipasi dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat rumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan area publik/politik; dan 5. Kontrol terhadap sumber daya, implementasi dalam pengambilan keputusan, dan termasuk keterwakilan dalam lembaga pengambilan keputusan (Control). Pada level pertama, kesejahteraan (welfare) diartikan sebagai intervensi pembangunan sosial pada level yang paling rendah, untuk dapat memperkecil adanya gender-gap. Kesejahteraan hanya merupakan peningkatan status sosial-ekonomi, pendapatan, kondisi gizi dan kesehatan, dan tempat tinggal. Intervensi ini terbatas mengenai penyediaan kesejahteraan bagi perempuan, bukannya mendorong kemampuan perempuan untuk memproduksi atau memberikan keuntungan bagi mereka sendiri. Perempuan dianggap sebagai obyek yang pasif dari program pembangunan yang bersifat memberikan bantuan dan jaminan penyediaan layanan. Selama ini, apabila kita cermati berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan yang dirumuskan oleh pemerintah, cenderung memiliki perspektif pada level ini. Perempuan belum dianggap sebagai agen pembangunan yang dapat berperan aktif. Sementara itu, akses didefinisikan sebagai level pertama dari pemberdayaan perempuan. Level pemberdayaan ini dimulai semenjak perempuan mengembangkan status mereka dibandingkan dengan laki-laki, baik dilakukan melalui pekerjaan mereka sendiri maupun dengan bantuan organisasi/pendamping dengan meningkatkan akses perempuan ke sumber daya. Sebagai contoh, perempuan petani mengembangkan produksi dan kesejahteraan mereka dengan meningkatkan akses terhadap air, lahan pertanian, pasar, pelatihan keterampilan, dan informasi. Perluasan akses ini merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang paling dasar dilakukan oleh pemerintah dalam relasi kekuasaan (power over) terhadap perempuan. Meskipun demikian, dengan terbukanya akses perempuan terhadap sumber daya dan kesejahteraan dasarnya, setidaknya dapat menjadi proses awal timbulnya kesadaran mereka untuk menganalisa dan memahami permasalahan hidup mereka sendiri, dan menentukan langkah untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang dialami. Kesadaran kritis (conscientisation) dianggap sebagai suatu proses dimana perempuan semakin menyadari akan keterbatasan status dan kesejahteraan me32
Dina Martiany reka, jika dibandingkan dengan laki-laki. Termasuk di dalamnya ada kesadaran akan kenyataan bahwa keterbatasan akses perempuan terhadap sumber daya timbul karena diskriminasi dan patriarki yang dialaminya. Selama ini, laki-laki lebih diprioritaskan untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya, sehingga perempuan selama ini terpinggirkan. Pemberdayaan pada level conscientisation menitikberatkan pada desakan kolektif untuk melakukan perubahan konstruksi sosial yang diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini menjadi kesempatan yang strategis untuk mengembangkan informasi dan komunikasi, sehingga memungkinkan terjadinya conscientisation. Perempuan mulai memegang kendali akan kehidupannya sendiri, pemenuhan kebutuhannya, dan pemahaman terhadap hambatan yang dihadapinya, bahkan mampu untuk mengidentifikasi strategi penyelesaian hambatan tersebut. Setelah proses pemberdayaan berhasil menumbuhkan kesadaran, maka perlu ditindaklanjuti dengan suatu aksi pergerakan. Dimulai dengan kondisi dimana perempuan mengakui dan menganalisa permasalahannya, mengidentifikasi strategi, dan kemudian menyusun suatu pergerakan atau aksi untuk merubah konstruksi sosial yang diskriminatif terhadap perempuan. Pemberdayaan perempuan pada tahapan ini tidak hanya semata-mata mengaktifkan komunikasi diantara sekelompok kecil perempuan, namun lebih luas dan saling berinteraksi dengan gerakan yang lebih besar. Misalnya pada tingkat komunitas, perempuan bersama-sama bahu-membahu dalam meningkatkan perekonomian keluarga melalui dana bergulir. Di tingkat yang lebih tinggi, perempuan tergabung dalam suatu gerakan yang mengusung isu tertentu untuk diperjuangkan di hadapan pengambil kebijakan (di semua level). Selanjutnya, kontrol merupakan tingkatan tertinggi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Situasi ini dapat dikatakan tercapai ketika perempuan telah melakukan aksi pergerakan, sehingga terwujud kesetaraan gender dalam proses pengambilan kebijakan mengenai akses terhadap sumber daya. Perempuan dapat meraih kontrol terhadap akses sumber daya secara langsung. Mereka dapat meraih dengan sendirinya apa yang menjadi haknya dengan tidak hanya menempatkan perempuan sebagai obyek dalam pembangunan sosial. Pemberdayaan perempuan berhasil mendorong perempuan sebagai agen pembangunan sosial yang aktif, dan mampu untuk mewujudkan perubahan sosial.
33
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik VI. Kesimpulan dan Saran Pembangunan sosial sebagai upaya dalam mencapai peningkatan kualitas hidup manusia, baik laki-laki dan perempuan, merupakan suatu proses yang membutuhkan keterlibatan aktif keduanya. Pemberdayaan perempuan menjadi suatu hal yang krusial untuk mencapai kesetaraan gender sebagai salah satu indikator kualitas hidup manusia. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan dalam pembangunan sosial semestinya adalah pemberdayaan yang bersifat mendorong kesadaran perempuan akan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Perempuan harus memposisikan diri sebagai agen perubahan sosial degan meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan, baik di tingkat individu, keluarga, komunitas, organisasi, dan negara. Proses pemberdayaan ini dimulai dari proses pemenuhan kebutuhan dasar, perluasan akses, munculnya kesadaran kritis (conscientisation), sehingga perempuan kemudian terlibat dalam pergerakan/aksi, dan memiliki kontrol atas sumber daya dan pengambilan keputusan. Situasi di mana conscientisation perempuan muncul merupakan situasi yang menjadi titik tolak keberhasilan pemberdayaan perempuan. Conscientisation melibatkan kesadaran kritis dan kemampuan untuk menganggap diri sendiri sebagai subyek, bukan hanya sebagai obyek dalam pembangunan sosial dan merupakan pemberdayaan yang dapat mewujudkan perubahan sosial. Proses munculnya kesadaran kritis perempuan (conscientization), pemberdayaan dan juga keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan sosial, merupakan tujuan yang sangat krusial dalam mencapai kesetaraan gender sebagai salah satu komponen peningkatan kualitas hidup manusia. Sehingga, perspektif pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial adalah sebagaimana yang diuraikan dalam konsep Sara Longwe di atas, yaitu tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan dasar, dan keterbukaan akses, namun sampai dengan timbulnya kesadaran kritis, aksi mobilisasi, serta memegang kontrol atas kehidupannya sendiri dan sumber daya yang ada. *******
[email protected]
34
Dina Martiany
Daftar Pustaka
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Edisi Revisi. Jakarta : Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Bahri, Efri.S. Alternatif Strategi Pembangunan Sosial untuk Indonesia, artikel suara pembaca pada tanggal 18 Agustus 2010, diakses pada tanggal 19 Agustus 2010, dari http://suarapembaca.detik.com/read/2009/08/18/083226/11 84671/471/alternatif-strategi-pembangunan-sosial-untuk-Indonesia. Desai, Manisha. July 2010. Hope in Hard Times: Women’s Empowerment and Human Development. Human Development Research Paper 2010/14 dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (UNDP). Johannessen, Astrid-Margrete. 2007. Women’s Empowerment as a Foundation For Social Change, esai penelitian tentang Gender and the Development of Peace. Diakses pada tanggal 16 November 2010, dari halaman http://amjohannes.wikidot.com/women-s-emowerment-as-a-foundation-for-social-change Kabeer, Naila. 1994. Reverses Realities: Hierarchies in Development Thought. Cetakan baru tahun 2005. London, New York: Verso. Kabeer, Naila. 2005. Gender Equality and Women’s Empowerment: A critical Analysis of the third Millennium Deveopment Goal. Dalam Jurnal Gender and Development, Vol. 13, Number 1. Diakses pada tanggal 15 November 2010, dari halaman http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/cgde/2005/00000013/ 00000001/art00003 Longwe, Sara. The Five Levels of the Women’s Empowerment Framework, dalam The Process of Women’s Empowerment, diakses pada tanggal 15 November 2010, dari halaman http://www.sarpn.org.za/documents/d0000055/page6.php. Martiany, Dina. 2010. Percepatan Pencapaian MDG’s dan Kesetaraan Gender. Info Singkat Vol.II, 18/II/P3DI//September 2010. Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI.
35
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Mosser, Caroline. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training. London, New York: Routledge. Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial: Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat, dalam buku Tantangan Pembangunan Sosial, Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI. Rowland, Jo. 1995. Empowerment Examined, dalam Jurnal Development in Practice, Volume 5, Number 2, May 1995. UK, Ireland: Oxfam. Sen, A., 1999. Woman’s Agency and Social Change dalam Development as Freedom. New York: Oxford University Press. Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Widiowati, Didiet. 2009. Kata Penyunting dalam buku Tantangan Pembangunan Sosial , Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI. “Women Empowerment And Child Protection: Strategic Planning 2009-2014”, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 2009. “Gender Equality Vs. Gender Equity: Concept Paper 2”, diakses pada tanggal 17 September 2010 dari alamat http://assignmentsonline.wordpress.com/ gender-and-development/concept-paper-2-gender-equality-gender-equity/ Wikipedia online http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi Wikipedia online http://en.wikipedia.org/wiki/Empowerment
*******
36
Herlina Astri
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENJADI ESENSI DASAR PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Herlina Astri
I. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu isu aktual yang berkembang saat ini disela-sela perbaikan ekonomi yang dihadapi pemerintah. Berbagai macam cara dilakukan untuk kembali meningkatkan ‘daya’ masyarakat guna mendukung stabilitas ekonomi Indonesia. Berbagai macam institusi baik lokal maupun internasional berlomba-lomba mengadakan program-program pemberdayaan. Tidak mau ketinggalan, pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mengusahakan dan merealisasikan kesejahteraan hidup orang banyak juga melakukan hal yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut maka dibutuhkan pula pola manajemen pemberdayaan masayarakat yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan di atas. Proses pemberdayaan tidak terlepas dari peran para fasilitator, yang akan banyak bekerja dengan masyarakat untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengawasi, jalannya program-program tersebut. Pada dasarnya pemberdayaan memberikan tiga hal utama untuk dikaji yaitu masyarakat, fasilitator dan proses fasilitasi (manajemen). Keberadaan fasilitator dalam mendampingi program-program pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk memilah dan memilih sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Kemandirian masayarakat merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, memutuskan, serta melakukan se37
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik suatu yang dipandang tepat dalam pencapaian pemecahan masalah. Keputusan yang diambil menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor masyarakat, dengan mengerahkan sumber-sumber daya dalam lingkungan internalnya. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah bentuk kemampuan individu untuk menjadi satu dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari segala bentuk pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memeratakan pembangunan. Bahkan pada beberapa aspek kehidupan, pemberdayaan sangat bermanfaat untuk menjaga stabilitas pembangunan. Masyarakat akan menjadi lebih siap untuk menghadapi kondisi apapun, tanpa mengharapkan pertolongan terus menerus. Pemanfaatan pemberdayaan masyarakat ini juga tidak terlepas dari peran para fasilitator dan sistem-sistem sumber, yang sekiranya dapat dijadikan mitra untuk mengoptimalkan setiap tujuan yang diharapkan. II. TINJAUAN TEORITIS A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial Misi pembangunan nasional yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat GBHN mengatakan antara lain: “Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan vang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.“ Konsep pembangunan merupakan suatu proses “aksi sosial” dimana masyarakat : 1. Mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan. 2. Merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan, baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama. 38
Herlina Astri 3. Membuat rencana-rencana didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki. 4. Melengkapi secara teknis dan material dengan memanfaatkan bantuan dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah. Pembangunan masyarakat, merupakan suatu “proses” dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi, sosial, kebudayaan dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa. Selain itu pembangunan masyarakat juga ditujukan untuk memberdayakan mereka, agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. (http://www. dataworks-indonesia.com/resource/article/index.php?act=article&id=254&ti tle=Community&title2=Community%20Development%20Program) Pembangunan seringkali diartikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Hal ini mengandung dua sisi yaitu : Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Ginandjar Kartasasmita menyampaikan bahwa pembangunan merupakan sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia. Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP, yang mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini merupakan indikator komposit/ gabungan yang terdiri dari 3 ukuran, yaitu kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge) dan tingkat pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Sedangkan untuk memahami konsep pembangunan kesejahteraan sosial, dibutuhkan pendalaman mengenai konsep “sejahtera” itu sendiri. Edi Suharto (2008) mengemukakan empat makna yang terkandung dalam pengertian kesejahteraan sosial sebagai berikut : 39
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 5. Kondisi Sejahtera, konsep ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material; dan non material. Midgley, et al (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “ …a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi ketika manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan memperoleh perlindungan dari ancaman manapun. 6. Pelayanan Sosial, pelayanan sosial umumnya mencakup 5 bentuk yakni jaminan sosial, pelayanan kesehatan, perumahan dan pelayanan sosial personal. 7. Tunjangan Sosial, diperuntukkan bagi orang-orang miskin, cacat, dan orangorang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 8. Proses atau Usaha Terencana, dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembag sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah, untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelenggarakan pelayanan sosial. Penggunaan istilah kesejahteraan diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Namun sejatinya istilah kesejahteraan tidak perlu menggunakan kata sosial, sebab sudah jelas menunjukkan sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sedangkan dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan kesejahteraan sosial dapat diidentikkan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society, untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia. Pembanguan kesejahteraan sosial memiliki arti strategis bagi pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut Edi Suharto (2009) mengemukakan sedikitnya ada empat fungsi penting pembangunan kesejahteraan sosial antara lain : 1. Mempertegas Peran Penyelenggara Negara Fungsi ini menujuk penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat/ kewajiban negara untuk melindungi warganya, terutama ketika menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga. Selain itu juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas. 2. Mewujudkan Cita-cita Keadilan Sosial Secara Nyata Pembangunan kesejahteraan sosial yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan 40
Herlina Astri suatu daerah, dari kelompok berpenghasilan kuat kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah dapat mengatur dan menyalurkan sebagian pendapatannya untuk menjadi warga masyarakat yang tertinggal atau terpinggirkan. 3. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan kesejahteraan sosial memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas sosial, ketahanan masyarakat dan keterlibatan sosial. Stabilitas sosial merupakan pondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat yang menghadapi konflik sosial sulit menjalankan kegiatan pembangunan. 4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Fokus pembangan kesejahteraan sosial adalah pembangunan manusia dan kualitas Sumber Daya Manusia, melalui penyelenggaraan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin. B. Masyarakat Dalam arti sempit masyarakat menunjuk pada sekelompok orang yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Arti sempit ini merujuk masyarakat pada istilah komunitas/ community. Sedangkan dalam arti luasnya masyarakat menunjuk pada interaksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu. Umumnya artian masyarakat secara luas menggunakan istilah sosietas/ society. Masyarakat dilengkapi dengan begitu banyak kekayaan intelektual, kearifan lokal dan gudang pengetahuan yang tak terbatas. Sekolah dan lembagalembaga pendidikan formal dapat dijadikan miniatur dari sebagian aspek kehidupan dalam masyarakat. Umumnya nilai-nilai,pengetahuan, wawasan dan keterampilan, akan menjadi kaya ketika seseorang telah berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Sama halnya ketika seorang fasilitator berupaya untuk memahami masyarakat, tanpa disadarinya ia juga belajar banyak dari masyarakat itu sendiri. Netting, Kettner dan Mcmurty (2004 : 129) membedakan masyarakat dalam tiga tipe berdasarkan batasan geografis; identifikasi dan kepentingan; serta relasi kolektif antar individu dalam masyarakat itu sendiri.
41
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Geografis, masyarakat merupakan sebuah komunitas yang diikat atau dibatasi oleh sebuah wilayah geografis. Contoh ������������������������������������ : desa, kota, kelurahan, kampung atau rukun tetangga, dll. 2. Identifikasi dan kepentingan, masyarakat terhubung dengan kepentingan dan komitmen untuk selalu bersama menghadapi masalah apapun yang dianggap mengancam. Contoh : kelompok-kelompok aksi politik, keagamaan, ilmu pengetahuan, dll. 3. Relasi Kolektif Antar individu, masyarakat memiliki konstelasi relasi antar individu yang memberi makna dan identitas. Contoh : kelompok-kelompok profesional, pertemanan atau persahabatan, dll. Selain itu masih menurut Netting, Kettner dan Mcmurty (2004 : 130-131), meskipun memiliki tipe yang berbeda tetapi masyarakat umumnya tidak mengubah fungsi mereka. Adapun lima fungsi masyarakat yaitu : 1. Fungsi Produksi, Distribusi dan Konsumsi ; Kegiatan-kegiatan masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan sejenisnya. 2. Fungsi Sosialisasi ; Masyarakat meneruskan atau mewariskan norma-norma, tradisi-tradisi, dan nilai-nilai, yang selama ini dianut oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat. 3. Fungsi Pengawasan ; Masyarakat senantiasa mengharapkan warganya untuk mentaati norma-norma dan nilai-nilai yang dianut melalui penetapan hukum, peraturan dan sistem-sistem penegakannya. 4. Fungsi Partisipasi Sosial ; masyarakat menyediakan wahana bagi para anggotanya untuk mengekspresikan aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingannya, guna terbangunnya jaringan dukungan dan pertolongan melalui interaksi dengan warga masyarakat, yang tergabung dalam kelompok-kelompok, asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi. 5. Fungsi Gotong royong ; Sebuah masyarakat umumnya merupakan gabungan dari keluarga-keluarga, teman-teman, para tetangga, kelompok sukarela, dan asosiasi-asosiasi profesional, yang salin berinteraksi untuk tolong menolong memenuhi kebutuhan setiap anggotanya.
42
Herlina Astri C. Proses Pemberdayaan (Manajemen Pemberdayaan) Edi Suharto (2006:1) menyatakan bahwa : Sebagai sebuah proses, pemberdayaan merupakan serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemapuan personal, interpersonal atau politik, sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sedangkan sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yaitu keberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup state of mind dan reallocation of power. Dalam hal ini pemberdayaan mencakup perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupan, serta dapat memodifikasi struktur sosial sehingga tidak menjadi monoton atau jenuh. Proses pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan seseorang atau sekelompok orang, melainkan juga memiliki daya untuk merubah sistem dan stuktur sosial. Kemampuan-kemampuan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, menjadi sasaran utama pemberdayaan. Sebab pemberdayaan masyarakat memang ditujukan untuk memberikan kekuatan pada setiap anggotanya dalam menyikapi dan mengambil tindakan yang tepat, untuk keberlangsungan hidup mereka secara berkelanjutan. Pada prinsipnya, pendekatan pemberdayaan masyarakat akan didampingi oleh fasilitator untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan mengakses dan memanfaatkan sumber daya setempat. Pemecahan masalah dalam masyarakat menuntut kemandirian agar tidak selalu bergantung dengan pihak luar. Pada sumber website http://www.abdulmuthalib.co.cc/2009/03/upaya-pemberdayaanmasyarakat-di-bidang.html, dikatakan bahwa pendampingan pada dasarnya merupakan upaya untuk menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memfasilitasi pada proses pengambilan keputusan berbagai kegiatan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, membangun kemampuan dalam meningkatkan pendapatan, melaksanakan usaha yang berskala bisnis serta mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang partisipatif. Dapat diilustrasikan dalam konsep pemberdayaan, jika penyakit yang telah disembuhkan suatu saat kambuh lagi, maka dapat ditanggulangi secara man43
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik diri dengan memanfaatkan cara dan potensi yang dimiliki. Proses pemberdayaan masyarakat cenderung diwarnai oleh pola pikir yang kurang mendukung pelaksaan program-program pelayanan. Modal berupa uang adalah salah satu alasan utama yang seringkali dikemukakan oleh masyarakat, manakala dilakukan pemberdayaan. Masyarakat cenderung masih menengadahkan tangan dan berhadap dari pihak luar. Prinsip pemberdayaan adalah jangan melihat ke luar, tetapi cari dan lihatlah ke dalam. Penggalian potensi yang ada di masyarakat merupakan modal terbesar dan terkuat yang dapat disandingkan dengan dukungan dari pihak luar tersebut. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka memiliki kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya manusia, kearifan lokal, yang dapat digunakan untuk bertahan, berkembang dan mampu memecahkan persoalannya sendiri. Pemberdayaan pada prinsipnya memiliki 3 strategi utama, yang akan menjadi perhatian saat melakukan pendampingan pada masyakat. Menurut Edi Suharto (2009:66) strategi pemberdayaan meliputi : 1. Aras Mikro Pemberdayaan dilakuikan terhadap seseorang secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih seseorang dalam menjalankan tugastugas kehidupannya. Model ini seringkali disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok seseorang, dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai teknik dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap seseorang. Tujuannya utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3. Aras Makro Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar, sebab sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masayarakat, manajemen konflik, merupakan beberapa teknik yang digunakan dalam pendekatan ini. Aras makro memandang seseorang sebagai individu yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi 44
Herlina Astri mereka sendiri, serta dapat memilih dan menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Pemahaman mengenai pemberdayaan menuntut setiap orang untuk mengenali pula kelompok-kelompok mana yang harus diberdayakan. Edi suharto (2009:60) mengkategorikan kelompok tidak berdaya/ lemah sebagai berikut : 1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis. 2. Kelompok lemah khusus, misalnya : manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. 3. Kelompok lemah secara personal, yaitu mereka yang mengalami masalah pribadi dan atau keluarga. Pada prinsipnya tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (persepsi mereka sendiri) maupun karena kondisi eksternal (ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Edi Suharto (1997:218219) menjabarkan pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan tersebut melalui 5 tahapan sebagai berikut : 1. Pemungkinan Tahap ini ditujukan untuk menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. 2. Penguatan Tahap ini ditujukan untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. 3. Perlindungan Tahap ini ditujukan untuk melindungi masyarakat terutama kelompokkelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat), antara yang kuat dan lemah, serta mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. 45
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 4. Penyokongan Tahap ini ditujukan untuk memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah (terpinggirkan). 5. Pemeliharaan Tahap ini ditujukan untuk memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. D. Fasilitator Parsons, Jorgesen dan hernandez (1994:188) mengatakan bahwa peran sebagai fasilitator seringkali disebut juga pemungkin (enabler), dimana keduanya dipertukarkan satu sama lain. Barker (1987:49) memberi definisi fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu seseorang menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Kemudian ia melanjutkan bahwa strategi-strategi khusus dalam pencapaian tujuan tersebut meliputi: 1. Pemberian harapan, 2. Pengurangan penolakan dan ambivalensi, 3. Pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, 4. Pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan sosial serta asetaset sosial, 5. Pemilahan masalah menjadi beberapa bagian, sehingga lebih mudah dipecahkan, dan 6. Pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya. Kemudian Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994: 190-203) memberikan kerangka acuan yang menjadi tugas-tugas seorang fasilitator antara lain: 1. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa saja yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan. 2. Mendefinisikan tujuan keterlibatan. 3. Mendorong komunikasi dan relasi, serta mengharagai pengalaman dan perbedaan-perbedaan. 46
Herlina Astri 4. Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem; menemukan kesamaan dan perbedaan. 5. Memfasilitasi pendidikan; membangun pengetahuan dan keterampilan. 6. Memberikan model atau contoh dalam memfasilitasi pemecahan masalah bersama; mendorong kegiatan kolektif. 7. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan. 8. Memfasilitasi penetapan tujuan. 9. Merancang solusi-solusi alternatif. 10. Mendorong pelaksanaan tugas. 11. Memelihara sistem. 12. Memecahkan konflik. Peran fasilitator untuk menjadikan masyarakat mau dan mampu melakukan sendiri hal-hal berkaitan dengan kesejahteraan hidupnya, dapat dijadikan sebagai indikator untuk menguji kebutuhan masyarakat akan adanya fasilitator. Namun esensinya tetap tidak menimbulkan ketergantungan pada masyarakat, sehingga potensi dan sumber-sumber yang dibutuhkan dapat optimal digunakan. Umumnya masyarakat memiliki cara-cara tersendiri untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan dapat menciptakan kehidupannya secara lebih baik. Fasilitator kemudian akan membantu memelihara potensi tersebut dan meningkatkan daya masyarakat untuk menggunakannya. Potensi yang dimiliki masyarakat berupa budaya dan kearifan lokal, secara tidak langsung sebenarnya dapat mengatasai persoalan-persoalan yang dihadapi selama ini. Hal ini dapat diartikan sebagai daya hidup yang memberikan kekuatan pada masyarakat untuk bertahan dan terus berkembang. Oleh karena itu kedudukan seorang fasilitator merupakan “outsiders”, bukan pemeran utama dalam sebuah proses pemberdayaan. Fasilitator dapat dijadikan kekayaan oleh masyarakat, yang akan mendampingi masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan budaya yang mereka miliki. Prinsipnya seorang fasilitator tidak membawa sesuatu yang baru dan asing dari luar komunitas masyarakat setempat, tetapi mulai dengan apa yang masyarakat miliki. Seringkali fasilitator terjun ke masyarakat tanpa bekal pengetahuan yang cukup mengenai kondisi dalam masyarakat itu sendiri beserta problematikanya. Sebaiknya seorang fasilitator memiliki pemahaman dasar yang benar mengenai masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan “pemberdayaan”. Ini akan banyak 47
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik menolong setiap langkah dan tahapan proses pemberdayaan yang akan dilakukan. Intinya seorang fasilitator yang sedang bekerja mendampingi masyarakat harus memiliki daya rasa, cipta dan karsa yang sehat tentang kondisi maupun situasi yang ada dalam masyarakat tersebut. Proses berpikir, berasa dan berupaya, akan menjadi dasar yang kuat bagi seorang fasilitator dalam mendampingi masyarakat. Ketiga hal tersebut akan mampu memunculkan alur berpikir yang benar dan dapat mengaplikasikan fasilitas yang benar pula, begitupun sebaliknya. Sensitivitas rasa yang kurang diperhatikan dalam proses fasilitasi terkadang menjadikan masyarakat sebagai tong sampah yang bisa menampung segala sesuatu yang dibuat dan dikatakan fasilitator. Oleh karena itu seorang fasilitator semestinya memperlakukan masyarakat sederajat, sehingga tidak terjadi jurang pemisah yang akan menghambat pelaksanaan program. Jadi, dapat dikatakan bahwa aktivitas berpikir dan berasa seorang fasilitator, akan sangat menentukan dalam proses dan tahapan suatu program pemberdayaan masyarakat. Namun, alur atau proses berpikir fasilitator ini kadang susah dipahami secara mendalam, baik itu oleh fasilitator sendiri maupun pihak manajemen sebagai supervisor dari fasilitator bersangkutan. Dan juga jarang sekali alur berpikir fasilitator didalami selama proses pengembangan kapasitas baik melalui pelatihan-pelatihan maupun praktik dalam sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat. III. PEMBAHASAN Pemberdayaan yang diartikan membangun dan mengembangkan mekanisme yang menjadikan masyarakat, pada akhirnya berperan sebagai pelaku utama semua kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut. Sejak awal mekanisme itu mestinya dibentuk oleh masyarakat sendiri, sehingga dapat menjadi esensi dari keberlanjutan program pemberdayaan. Hal ini akan menjadi lebih sederhana dengan pendefinisian sebagai berikut,”keberlanjutan hidup” sebagai kemampuan masyarakat untuk mengamankan dan mengelola sumber daya yang memadai sehingga memungkinkan untuk memenuhi misinya secara efektif dan konsisten sepanjang waktu tanpa ketergantungan yang berlebihan pada orang luar. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks GBHN dan Propenas dipandang sebagai koreksi atas kekeliruan strategi pembangunan pada masa sebelumnya. 48
Herlina Astri Pada akhirnya dengan pemberdayaan dapat memberikan akses dan kemampuan bagi masyarakat untuk mengambil wewenang dan pelayanan yang ada. Dalam hal ini masyarakat akan memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam empat bidang pembangunan yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan nasional. Dubois dan Miley (1992:211) memberikan beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat yaitu : 1. Membangun relasi pertolongan yang, a) merefleksikan respon empati; b) menghargai pilihan dan hak seseorang untuk menentukan nasibnya sendiri; c) menghargai perbedaan dan keunikan individu; dan d) menekankan kerja sama antarperorangan. 2. Membangun komunikasi yang, a) menghormati martabat dan harga diri klien; b) mempertimbangkan keragaman individu; c) berfokus pada penanganan orang yang bermasalah; dan d) menjaga kerahasiaan setiap masalah yang ditangani. 3. Berpartisipasi dalam pemecahan masalah yang, a) memperkuat partisipasi masyarakat dalam semua aspek pemecahan masalah ; b) menghargai hakhak seseorang; c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan hakhak perorangan; serta d) melibatkan setiap orang dalam pembuatan keputusan dan evaluasi. 4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi melalui, a) ketaatan terhadap kode etik profesi; b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, penelitian dan perumusan kebijakan; c) penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi dalam isu-isu publik; d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketideksetaraan kesempatan. Namun demikian, pemberdayaan masyarakat tidak hanya sekedar membentuk dan membangun struktur kelembagaan dan mekanisme kerja masyarakat saja tetapi juga berupaya membangun nilai-nilai, memberi makna baru pada struktur-struktur tradisional tersebut. Inilah salah satu tantangan para fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat. Dalam hal pendampingan kelompok sasaran maupun anggota, fasilitator juga perlu memikirkan strategi duplikasi jaringan dan pengembangan hubungan dengan lembaga lain. Dimana hal tersebut dapat dijadikan sebagai strategi pengembangan jaringan, terutama dalam memelihara hasil pemberdayaan tersebut. Selain itu duplikasi jaringan yang kurang mendapatkan perhatian dalam program-program pemberdayaan, 49
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sebaiknya mulai dilakukan untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan. Melakukan duplikasi jaringan dalam setiap program pemberdayaan dapat digunakan untuk menjadi wadah yang dapat melayani kelompok sasaran yang ada. Terbentuknya jaringan akan mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selama ini belum terpenuhi. Selain memberikan keuntungan pada masayarakat, pemberdayaan dengan memperhatikan perluasan jaringan kerja akan sangat mendukung proses pemerataan pembangunan saat ini. Oleh karena itu pendampingan fasilitator sebaiknya ditekankan pada pengembangan dan pembinaan kelembagaan bagi kelompok sasarannya. Pengembangan hubungan dengan lembaga lain menjadi esensial manakala kelompok sasaran maupun jaringan membutuhkan hubungan dengan pihak luar. Hal ini juga termasuk hubungan kelompok sasaran dengan dengan jaringan kelompok masyarakat di wilayah lain. Peran seorang fasilitator bersama dengan kader lain dari wadah yang dibentuk akan memfasilitasinya dengan memperkenalkan, mendampingi proses hubungan dan proses kerja sama antar kelompok tersebut. Cara ini setidaknya mampu menghubungkan kelompok sasaran maupun jaringannya secara perlahan dengan pihak-pihak lain, meskipun suatu saat tanpa bantuan fasilitator. Dalam keberlanjutan pemberdayaan masyarakat, pengembangan fasilitator ”lapis kedua” adalah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Selama program pemberdayaan berlangsung, para fasilitator datang dari luar wilayah atau komunitas masyarakat setempat, maka setelah program pemberdayaan selesai harus ada fasilitator lokal yang menindaklanjuti segala sesuatu yang telah dilakukan. Fasilitator ”lapis kedua” adalah para fasilitator lokal yang sudah dipersiapkan untuk melakukan peran atau fungsi-fungsi pemberdayaan setelah para fasilitator ”lapis pertama” (fasilitator dari luar) menyelesaikan tugas pedampingannya di desa bersangkutan. (http://isidoruslilijawa.blogspot.com/2008/02/manajemen-pemberdayaan-masyarakat.html) Walaupun demikian program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat masih dipandang sebelah mata oleh para pelaksana program pemberdayaan, terutama bila mendapatkan pendampingan. Padahal sejak awal, seorang fasilitator akan terlibat dan ikut memikirkan tahap keberlanjutan pelaksanaan program pemberdayaan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak ketergantungan dan memungkinkan masyarakat berani mengambil keputusan me50
Herlina Astri nyangkut keberlangsungan hidupnya. Kondisi tersebut dapat disikapi dengan menyiapkan orang-orang lokal untuk dilatih secara khusus dalam menangani bagian-bagian tertentu dari proses pemberdayaan tersebut. Pelibatan mereka secara langsung maupun tidak langsung juga merupakan proses pembelajaran untuk berkenalan dan mendalami pemberdayaan masyarakat dalam konteks fasilitator lokal. Penyiapan fasilitator “lapis kedua” sangat dimungkinkan saat dilakukan oleh kerja oleh seorang fasilitator. Pendekatan kerja seorang fasilitator bukan top-down maupun bottom-up, tetapi midlle-up down. Fasilitator tidak hanya menjembatani konteks mikro ke dalam konteks makro, tetapi juga menerjemahkan konteks makro ke dalam konteks mikro. Jenis relasi kerja yang dibangun oleh seorang fasilitator adalah pola partisipatif. Pola inilah yang nantinya akan menghasilkan para fasilitator lokal. Intinya masyarakat bukanlah penerima manfaat (beneficiaries) dan fasilitator bukanlah pemberi manfaat (benefactor), tetapi keduanya merupakan mitra yang harus bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (http://isidoruslilijawa.blogspot.com/2008/02/manajemen-pemberdayaan-masyarakat.html) Strategi pemberdayaan masyarakat dipandang cocok untuk mengatasi kesulitan akses dan penurunan kapasitas ekonomi, menunjang demokratisasi lewat otonomi daerah, menciptakan integrasi sosial untuk mengatasi konflik-konflik di pusat dan di daerah, sekaligus mendukungnya dengan etika atau nilai baru dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Hal ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pada masyarakat dan lingkungannya untuk berpartisipatif menghasilkan sesuatu bagi hidupnya. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan yang mencerminkan paradigma baru yaitu “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers:1992). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata 51
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari sesuatu, dimana oleh Friedman dalam Ginandjar Kartasamita (1995) disebut alternative development,yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. Ginandjar Kartasasmita (1997) mengemukakan bahwa dalam kerangka pikiran tersebut, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu : 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkahlangkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam meng- hadapi yang “kuat”. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
52
Herlina Astri IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Esensi pembangunan adalah keseluruhan aktivitas yang berjalan simultan, meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi guna mencapai tujuan ke arah perubahan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Seluruh aktivitas tersebut didukung oleh kebijakan pembangunan, sehingga menjadi pedoman yang representatif dalam meningkatkan nilai tambah dalam upaya pencapaian perubahan tersebut. Peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima dan menjadi berdaya adalah salah satu esensi pembangunan yang membutuhkan perhatian ekstra dari semua pihak. Hal ini diasumsikan sebagai pemberian kepercayaan pada masyarakat untuk menentukan dan memilih kegiatan usahanya, untuk melanjutkan hidup. Salah satu contoh adalah pembangunan prasarana di pedesaan, dimana melibatkan anggota masyarakat di dalamnya. Kondisi tersebut sekiranya akan mampu meningkatkan nilai tambah dari relasi aparat pemerintah dengan masyarakat, sehingga mampu menciptakan investasi berupa sumber daya manusia dan modal. Namun perlu juga diperhatikan tentang pengendalian, penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan evaluasi, bagi penyempurnaan program yang akan datang. Pemberdayaan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah guna mewujudkan pembangunan yang merata. Penyempurnaan mekanisme pembangunan pada akhirnya akan membutuhkan partisipasi masyarakat, terutama dalam memelihara dan mendukung seluruh program-program pembangunan. Penajaman sasaran pembangunan dengan pengertian bahwa investasi pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana, harus benar-benar mencapai kelompok sasaran yang paling memerlukan. Ketentuan ini setidaknya akan mampu meningkatkan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Kelancaran dan kecepatan penyaluran dana serta pembangunan prasarana dan sarana, sangat bermanfaat untuk segera digunakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jangka waktu yang disediakan. B. Rekomendasi Upaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat merupakan hal yang menjadi perhatian pemerintah. Kondisi ini menuntut setiap 53
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik anggota msayarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sistem-sistem sumber. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa rekomendasi yang ditujukan sebagai perbaikan antara lain : 1. Pemerintah sebaiknya memahami aspirasi, partisipasi dan peka terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini berarti pemerintah sebaiknya memberikan kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri. 2. Meningkatakan pengetahuan maupun cara kerja pemberdayaan, agar upaya tersebut dapat dilakukan dengan. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membangun dengan kemandirian. 3. Keterbukaan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat. Keterbukaan dalam setiap pelaksanaan program-program pemberdayaan sangat diharapkan mampu memecahkan ‘rasa tidak percaya” masayarakat terhadap pemerintah. 4. Pemerintah harus mulai membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri. Tanggung jawabnya berkaitan dengan menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.
54
Herlina Astri
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003. Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta Badan Pusat Statistik. 1999. Laporan Sosial Indonesia 1998: Kemiskinan, Pengangguran dan Setengah Pengangguran. BPS : Jakarta. Barker, R.L. 1987. The Social Work Dictionary. Silver Spring, MD: National Association of Social Workers. Bauzon, Kenneth E (ed), 1992. Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes and Realities. Crane Russak : Washington. Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), 1995. People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press : New York. Kartasasmita, Ginandjar. 1995. Ekonomi Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan; CIDES : Jakarta. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Konsep yang Berakar pada Masyarakat (disampaikan pada: Sarasehan DPD Golkar Tk. I Jawa Timur tanggal 14 Maret 1997). Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez. 1994. The Intergration of Social Work Practice. California:Brooks/Cole. Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangaunan STKS (LPS-STKS). Suharto, Edi. 2006. Filosofi dan Peran Advokasi dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyrakat. (Disampaikan pada Pelatihan Pemberdayaan Peran serta Pesantren Daarut Tauhiid dalam Menangani Kemiskinan di Jawa Barat). Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial : Sebagai Kebijakan Publik. CV Alafabeta : Bandung. 55
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Suharto,Edi. 2009. Mambangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan sosial & Pekerjaan Sosial. PT. Refika Aditama : Bandung. Netting, F.Ellen, Peter M. Kettner & Steven L. Mcmurty. (2004) Social Work Macro Practice (third edition). Boston : Allyn and Bacon. Rondinelli, Dennis A., 1993. Development Projects as Policy Experiments: An Adaptive Approach to Development Administration. Routledge : New York. UNDP. 1990. Human Development Report 1990. Oxford University Press : New York. http://www.dataworks-indonesia.com/resource/article/index.php?act=article &id =254&title= Community&title2=Community%20Development%20 Program (diakses tanggl 21 Juni 2010). www.fasilitator-masyarakat.org (diakses tanggal 19 September 2010) www.dadangsolihin.com (diakses tanggal 19 September 2010) http://isidoruslilijawa.blogspot.com/2008/02/manajemen-pemberdayaan-masyarakat.html (diakses tanggal 10 oktober 2010). http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/22/menuju-pemberdayaan-masyarakat/ (diakses tanggal 18 November 2010)
56
Mohammad Teja
Peradilan Anak di Indonesia Mohammad Teja
Pendahuluan Setiap detik sekitar empat anak lahir di dunia ini, hanya saja tempat dimana mereka lahir bagaikan undian, kita tidak pernah akan tahu dimana mereka lahir, siapa orang tua mereka, di negara mana mereka akan dibesarkan, apakah mereka beruntung mendapatkan orang tua yang dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhannya secara finansial dan psikisnya, bahkan di negara mana ia akan lahir, apakan negara kaya, maju, miskin berkembang, demokrasi dan otoriter. Ketersediaan sarana kesehatan, tunjangan kesejahteraan dari pemerintah, pendidikan terjangkau akan diterima oleh anak yang lahir di negara-negara maju, tetapi ada juga yang tidak seberuntung itu, anak yang lahir dalam kondisi kelaparan, kurang gizi, kepala keluarga berpenghasilan rendah, konflik sosial sering terjadi akan menemani anak tumbuh sampai ia dewasa. Persoalan ini menjadi bertambah sulit disaat pemerintah dan parlemennya tidak menempatkan persoalan anak menjadi prioritas utama sebagai indikator penting kemajuan bangsa ke depan. Pada tahun 2000 Gordon Brown mengatakan, Action on child poverty is the obligation this generation owes to the next: to millions of children who should not be growing up in poverty: children who because of poverty, deprivation and the lack of opportunity have been destined to fail even before their life’s journey has begun, children for whom we know – unless we act – life will never be fair. Children in deprived areas who need, deserve and must have a government on their side, a government committed to and fighting for social justice. (Brown, 2000 dalam Lucinda Platt, 2005)
57
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Anak merupakan aset yang berharga bagi setiap zaman yang lebih dulu dewasa dan tua, merupakan salah satu kewajiban orang dewasa untuk memberikan perlindungan bagi anak, karena anak memang rentan terhadap kekerasan, perlakuan tidak baik, pelecehan. Dalam beberapa fase pertumbuhan anak terdapat fase mencontoh (modeling) orang dewasa (Albert Bandura), pada tahap ini anak akan selalu menirukan segala tingkah laku orang dewasa yang ada di dekatnya, ini juga termasuk lingkungan dimana ia tinggal dan melakukan segala aktifitas sosialnya. Keadaan lingkungan yang seharusnya menjadi contoh untuk kepentingan terbaik anak, tugas dari pemerintah dan masyarakatlah untuk menciptakan suasana yang kondusif, aman dan tentunya melindungi hakhak anak Indonesia. Sebagai pewaris generasi, anak menjadi aset yang sangat berharga, berbagai berita yang sekarang ini terjadi, keadaan perlindungan anak sangat rentan, mulai dari masalah kekerasan terhadap anak (child abus), pekerja anak (child labor), perdagangan anak (trafficking), pelecehan seksual dan tak kalah pentingnya adalah Anak yang Bermasalah dengan Hukum menjadi masalah yang mengkhawatirkan di negara Indonesia ini. Sebagai generasi muda dan salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Semua masalah di atas tidak lepas dari keadaan kesejahteraan masyarakatnya, keadaan yang selalu menjadi permasalahan setiap bangsa di dunia ini. Selain itu latar belakang pendidikan dan kecukupan pangan dan sandang menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat perkembangan anak. Keadilan sosial menjadi sangat penting bagi setiap manusia Indonesia, keadilan tidak hanya milik sebagian orang yang memiliki kekuatan finansial saja, tetapi negara memiliki kewajiban untuk menjamin setiap warga negaranya memiliki kesempatan untuk hidup layak. Persoalan keadilan sosial selalu bersinggungan dengan masalah layak dan tidak layak. Dalam masalah-masalah anak di Indonesia persoalan yang selalu muncul adalah bagaimana keluarga memenuhi kebutuhan mereka seperti kebutuhan rumah tangga, kesehatan, juga pendidikan, psikologis dan sosial untuk seluruh anggota keluarganya. Memang, keadaan memprihatinkan mengenai permasalahan seputar anak tidak hanya ada di negara-negara miskin dan berkembang saja, masalah ini juga 58
Mohammad Teja masih ada di negara-negara maju, hanya saja memang kemungkinan masalahmasalah anak sangat kecil di negara-negara tersebut, ini menunjukkan bahwa keadaan dan kepastian hukum telah diusahakan sebaik-baiknya oleh pemerintah negara tersebut. Secara luas diakui bahwa konsep anak merupakan sebuah konstruksi sosial daripada hasil dari pembangunan, secara menyeluruh dan universal dapat dikatakan keadaan yang berbeda dapat ditemukan pada ruang dan waktu berbeda pula (Archard, 1993; Cunningham, 1995; Hendrick, 1997). Dalam membangun sebuah kebijakan sosial yang menyangkut anak, negara seharusnya memberikan ruang terpisah bagi anak-anak yang pastinya memiliki kebutuhan khusus pula, ini bukan berarti masalah anak ditangani oleh hanya satu undang-undang ataupun badan/kementerian, tetapi dalam semua kebijakan yang dibuat dalam pemerintahan ataupun di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat legislasi haruslah tersentuh dan ramah terhadap anak. Sementara itu, status dan devinisi mengenai masa kanak-kanak masih terus diusahakan, tidak hanya itu kebutuhan akan campur tangan pemerintah semakin diperlukan dalam hal memenuhi ketersediaan pendidikan yang layak juga subsidi untuk kepentingan terbaik anak. Hal ini juga termasuk di dalamnya ketaatan menjalani kebijakan yang telah ada, tentunya yang berlaku untuk anak. Keadaan ideal seperti ini mengharuskan pemerintah dan wakil rakyat dituntut untuk lebih peka terhadap isu-isu kepentingan terbaik anak. Diperlukannya penelitian yang konferhensif dan undang-undang yang semakin membatasi mengenai akhir masa kanak-kanak tetapi juga termasuk di dalamnya bayi, masa kanak-kanak, dan pemuda, hal ini perlu karena tanggungjawab tiap-tiap tingkatan sangat berbeda dan selalu akan berdampak psikis anak terutama untuk anak yang masih dalam tahap perkembangan. Permasalahan anak merupakan masalah yang fenomenal, di dalamnya selalu tersangkut dalam situasi yang kompleks dan multidimensional, menjadi kewajiban setiap warga negara untuk ikut bertanggung jawab untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat yang kurang beruntung, khususnya dalam permasalahan anak. Sebenarnya kesulitan ekonomi dan masyarakat berpenghasilan rendah di negara yang kaya sumber daya alam seakan menjadi kutukan untuk negara yang seperti ini (Richard Auty, 1993). Untuk melihat permasalahan anak di Indonesia harus dilihat secara menyeluruh, ini berarti bukan hanya anak menjadi fokusnya, kemiskinan harus dilihat sebagai manusia, keluarga, kelompok sosial termasuk di dalamnya material, kebudayaan dan hubungan 59
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sosial yang dimemilikinya, dengan segala keterbatasan dalam memenuhi standar minimun kelayakan hidup disuatu negara tersebut (Commission of the European Communities, 1994 dalam Koen Vleminckx (eds), 2003). Persoalan standar hidup juga menjadi masalah, keanekaragaman suku di Indonesia juga ikut menentukan pola kebudayaan hidup yang berbeda pula. Negara menjadi pendorong bagi tiap-tiap daerah untuk melakukan perbaikan pendapatan ekonomi bagi seluruh rakyatnya dimanapun ia berada, memberikan akses kemudahan dalam memberikan peluang-peluang meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Terlebih lagi, dampak dari tingkat kemiskinan terhadap anak dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, pendidikan dan angka hidup anak itu sendiri. Kesempatan masyarakat untuk mendapatkan income yang layak merupakan tanggung jawab yang dapat disediakan pemerintahan dan juga kekuatan sebuah komunitas untuk membangun masyarakatnya sendiri. Miskin akan keberpihakan kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor penting yang memang harus mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dan badan legislatif. Kepentingan terbaik anak saling bergantung pada kebijakan yang dibuat orang dewasa, karena anak masih dalam posisi rentan untuk melindungi dirinya sendiri. Itu sebabnya, perlakuan salah terhadap anak tidak ditentukan oleh faktor tunggal, misalnya kemiskinan, tetapi merupakan beberapa variasi gabungan dari berbagai masalah-masalah yang sudah berakumulasi, baik kebijakan, lingkungan dan tak kalah pentingnya orang tua itu sendiri. Saat ini jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit berdasarkan data dari Kementerian Sosial RI adalah sebanyak 17,7 Juta (Kompas, 23 Februari 2010). Anak-anak yang berada di dalam situasi sulit ini meliputi juga anak-anak yang telantar, anak-anak yang dieksploitasi dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak cacat, anak-anak yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, anak-anak yang berada di dalam panti asuhan dan juga anak-anak yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini kemampuan negara untuk mengatasinya hanya 4% setahun atau lebih kurang 708.000 anak, ini artinya negara baru mampu menyelesaikan masalah anak anak yang berada dalam situasi sulit ini selama 25 tahun atau seperampat abad ke depan. Jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini belum termasuk anak-anak yang suku terasing, 60
Mohammad Teja anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak yang terdiskriminasi karena berbagai alasan seperti suku, agama dan ras. Karena itu upaya dan langkah masih sangat panjang untuk bisa mengatasi masalah anak ini. (Ahmad Sofian, Harian Kompas, 23 Februari 2010).1 Keadaan seperti ini terus akan terjadi selama kebijakan pemerintah negara tersebut tidak berpihak kepada si miskin. Keadaan tersebut bertambah parah karena seluruh anggota keluarga ikut ambil bagian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sampai di sini anak akhirnya menjadi korban, akhirnya dampak yang paling mengkhawatirkan jumlah pekerja anak di Indonesia ternyata masih cukup tinggi. Menurut Koordinator International Labor Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, mengatakan jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa, padahal Undang Undang telah melarang anak untuk bekerja.2 Permasalahan Kemiskinan yang terjadi dapat merupakan sebuah titipan, keturunan atau warisan dari generasi yang lebih dahulu dan dapat pula terjadi karena rendahnya upah di negara tertentu, tidak berjalan dengan semestinya mengenai kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin. Tulisan ini memang tidak membahas semua permasalahan anak yang semakin kompleks di Indonesia, pembatasan masalah anak pada tulisan ini hanya yang berfokus pada kasus anak yang bermasalah dengan hukum, Bagaimana situasi penanganan kasus-kasus masalah anak yang terlibat dengan hukum, dan bagaimana kondisi anak yang di hukum dalam penjara yang sama dengan orang dewasa dan perlunya memberikan kelonggaran batasan umur kepada anak yang bermasalah dengan hukum? Kerangka Teori Pemerintah Indonesia sejak tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres 36/1990. Yang merupakan tonggak awal dari perlindungan anak di Indonesia. Selanjutnya pasca diratifikasinya Konvensi ini, disusunlah berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak baik dilakukan oleh Pemerintah sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak. Selanjutnya 1 Ahmad Sofian, “Kekerasan Mengintai Anak-Anak Kita” Harian Kompas, 23 Februari 2010, http:// politik.kompasiana.com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/ 2 Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/ 04/30/brk,20070430-99130,id.html
61
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik tahun 1997 Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-Undang No. 3/1997 memberikan perhatian dan spesikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana, undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatan di lembaga pemasyarakatan anak. Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perkembangan jaman, dan kebutuhan akan perlindungan anak yang semakin besar mendesak kita untuk memikirkan secara lebih, akan hak-hak anak karena di bahu merekalah, masa depan dunia tersandang. Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa, anak merupakan asset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural, yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu: UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, sehat, cerdas, berahlak mulia dan sejahtera. Sebagai puncak dari upaya legislasi dan Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Selanjutnya nomenklatur perlindungan anak dimasukkan dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.3 Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, mela3 http://politik.kompasiana.com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/
62
Mohammad Teja lui suatu peradilan khusus (sistem peradilan formal) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: “Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat.” 4 Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya, juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya, dipisahkan dari orang-orang dewasa, secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya, berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya, mengupayakan penanganan tanpa harus menempuh jalur hukum. Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum, secepatnya dan secara langsung diberitahukan mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, memperoleh keputusan tanpa ditunda-tunda, tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan, memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang memberatkan, dan memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan, keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan berhak ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi, dan dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam semua tahap proses pengadilan. 4 http://kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/57-tips-penegakkan-hukum-bagi-anak-yang-berkonflik-dengan-hukum.html diakses pada: 21 oktober 2010-10-21
63
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Negara berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana. Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan; pemberian nasehat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan. Meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani, dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat, setiap anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, eksploitasi atau penganiayaan; penyiksaan atau bentuk perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 19) Penanganan Kasus Anak Yang Bermasalah dengan Hukum di Indonesia Menurut catatan UNICEF (2009) jumlah anak yang bermasalah dengan hukum telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun, data yang berbeda dikemukakan oleh KPAI bahwa sekitar 7300 anak di Indonesia telah masuk dalam masalah-masalah hukum. Keadaan yang memprihatinkan seperti ini akan terus berlangsung jika tidak ditangani pemerintah dengan baik. Undangundang No. 23 Tahun 2009, mendefinisikan anak pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kondisi yang terjadi memang terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, keadaan terbalik sering diterima oleh anak-anak yang memang memiliki masalah dengan hukum, keadaan yang tidak dapat terelakkan dengan kondisi anak yang memang secara ekonomi keluarga mereka yang miskin dan kurangnya pendidikan akibat keadaan memaksa untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Kondisi ini diperparah dengan anak-anak yang harus mencukupi kebutuhan keluarga mereka, bekerja, mengemis dan dieksploitasi tenaga dan umur mereka oleh orang dewasa. Belum lagi masalah yang diperparah oleh kondisi lingkungan yang memang tidak mendukung proses tumbuh kembangnya anak, seperti kondisi lingkungan yang memang mempengaruhi proses psikologis anak. Seperti contoh kasus 10 orang anak yang ditangkap karena bermain judi di bandara SoekarnoHatta beberapa waktu yang lalu, sebagian besar dari mereka adalah pelajar SD 64
Mohammad Teja negeri Rawa Rengas dan pekerjaan mereka sehari-hari adalah menjadi penyemir sepatu di kawasan bandara Soekarno-Hatta yang rata-rata usia anak tersebut antara 10-16 tahun seharusnya mendapatkan perlakuan khusus dari pihak kepolisian dan pengadilan setempat. Tak heran jika KPAI meminta untuk proses pengadilan ke 10 anak tersebut dilakukan secara maraton dan divonis bebas, selain itu KPAI juga meminta kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang telah menghukum mereka untuk meminta maaf.5 Dampak atas perbuatan yang dilakukan anak-anak tersebut, mereka didakwa melanggar Pasal 303 kesatu butir kedua KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengenai perjudian yang ancaman hukumannya 10 tahun. Selain itu, para terdakwa (anak) didakwa dengan dakwaan subsider, yakni melakukan perjudian yang melanggar Pasal 303 bis KUHP. Hal ini terlihat ketika adanya proses persidangan terhadap anak-anak tersebut yang dilakukan pada sidang pertama hari senin tanggal 13 Juli 2009, dimana mereka disangka, dituduh telah melanggar Undang-undang pidana. Jelas proses hukum yang dilakukan selama ini melanggar Pasal 16 dan 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keadaan yang selalu merugikan korban (anak itu sendiri) sangat mengganggu kondisi psikologis anak itu sendiri di masa depan. Kejadian yang memprihatinkan dalam proses perlindungan masih banyak yang terjadi, malang nasib anak yang masih berumur 16 tahun, akibat ulah iseng yang dilakukannya disebuah warung di sekitar museum Fatahillah ia harus meringkuk di tahanan polisi karena mengambil sebatang rokok. Padahal setelah tim pengacara dari Lembaga bantuan Hukum datang dan meminta korban bercerita, sebenarnya ia hanya ingin mengambil makanan untuk memenuhi rasa laparnya karena telah dua hari ia tidak makan. Dan karena perbuatannya tersebut ia juga dipaksa untuk mendekam di Rutan Pondok Bambu yang notabenenya adalah penjara untuk orang dewasa. Hal ini juga diperparah dengan proses pengadilan yang harus ditunggunya untuk waktu yang tidak singkat dengan dakwaan pasal 363 KUHP yang itu berarti mendapatkan hukuman pidana penjara selama 7 tahun. Keadaan yang dialami seorang anak yang dipaparkan di atas jika dilihat dari kacamata kemanusiaan dan sosiologis, mereka (anak) bukanlah pelaku dari kejahatan itu sendiri, melainkan korban dari kondisi lingkungan, kurang5 http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=860:defin isi-anak-dalam-sebuah-peradilan&catid=148:info&Itemid=189
65
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik nya pendidikan dan kasih sayang orang tua mereka. Bayangkan, karena, ketidaktahuan, perbuatan iseng, dan kepolosan yang pada akhirnya membawa mereka duduk diam dibalik jeruji besi penjara. Padahal UU PA telah mengamanatkan kepada pemerintah dalam melakukan proses hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlakuan khusus harus dilakukan dan diketahui oleh aparat penegak hukum. Salah satu bentuk perlindungan khusus tersebut adalah berupa penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini tidak lain karena anak merupakan tunas bangsa yang masih mempunyai harapan masa depan, masih dapat tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, mental, spiritual dan sosial.6 UU PA menjamin agar anak terlindung dari penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Dalam proses hukum, hak anak pun harus tetap terlindungi. Tindakan penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara terhadap anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah upaya lainnya seperti dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada Kementerian Sosial, tidak dapat dilakukan. Dapat dibayangkan bagaimana terganggunya perkembangan psikologis anak yang melakukan kejahatan, ketika dihadapkan dengan proses hukum, bahkan langsung dikenakan penahanan. Di titik ini penderitaan anak bermula. Anak dimasukkan ke dalam sel tahanan. Lalu, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan, terputus komunikasi dengan orang tua, keluarga dan teman, sehingga tidak ada tempat baginya mengadu dan meminta perlindungan terhadap hal yang dirasakan dan dialaminya.7 Sebagai penegak hukum, seharusnya mereka lebih peka terhadap kebutuhan terbaik anak dalam proses penangkapan, penahanan, peradilan dan seharusnya pengetahuan aparatur penegak hukum dibekali secara lebih detail dalam masalah-masalah anak berhadapan dengan hukum itu sendiri. Alternatif peng-hukuman untuk anak dapat dicarikan jalan keluar yang lebih baik untuk kepentingan anak itu sendiri. Anak dan Orang Dewasa dalam Penjara Sebelum mambahas soal anak yang di penjara bersama orang dewasa perlu diketahui anak dalam proses peradilan juga mengalami perampasan hak kebe6 Gloria Tamba SH, Kepala Divisi Non-litigasi LBH Mawar Saron http://gagasanhukum.wordpress. com/2010/07/22/anak-di-mata-hukum-mencuri-sebatang-rokok-tujuh-tahun-penjara/ 7 Ibid,.
66
Mohammad Teja basannya, biasanya kejaksaan menitipkan anak-anak yang bermasalah dengan hukum di sebuah rutan yang ditunjuk oleh kejaksaan sambil menunggu proses yang biasanya memakan waktu cukup lama hingga anak duduk di kursi pesakitan. Kondisi ini sering terjadi dalam sistem peradilan anak yang menambah beban mental psikis sang anak. Persoalan tidak selesai hanya dalam proses penangkapan dan peradilan anak saja, seakan tak berujung, permasalahan penahanan anak dalam penjara juga terjadi dan seakan tak pernah selesai. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, saat ini terdapat 7.300 anak yang bermasalah dengan hukum. Jumlah tersebut dinilai memprihatinkan. Sebanyak 5.685 dari 7.300 anak itu kini ditahan 16 lembaga pemasyarakatan anak. Sementara sisanya ada di Lapas Dewasa dan tempat tahanan lainnya.8 Beberapa kasus yang sempat dirilis oleh surat kabar elektronik dan cetak adalah kisan 2 orang anak yang berusia 13 dan 14 tahun ditahan pada lembaga permasyarakatan dewasa di LP Muaro Padang, dengan polosnya kedua anak tersebut menceritakan kenapa mereka sampai berada dibalik jeruji besi, pasalnya mereka mencuri beberapa slop rokok dan satu jerigen minyak nilam. Karena orang tua yang belum mengirimkan uang untuk sekolah dan makan mereka hal ini akhirnya mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam penanganan kasus ini, pihak penegak hukum juga tidak segan untuk mengintimidasi dan melakukan kontak fisik kepada anak-anak ini, menurut korban, mereka saat diintrogasi, polisi sering menampar dan mengebrak meja sehingga membuat anak-anak ini ketakutan. Tidak hanya itu, keadaan diperparah saat anak-anak dititipkan oleh kejaksaan di LP Muaro yang satu sel dengan 23 tahanan orang dewasa. Keadaan intimidasi dan eksploitasi anak terjadi dalam ruangan tahanan tersebut, pekerjaan yang menjadi rutinitas anakanak ini adalah memijit tahanan dewasa lainnya, jika tidak tamparan dan makian yang akan diterima mereka. Pelecehan seksual juga diterima dari tahanan orang dewasa yang sudah jelas akan menggangu kesehatan mental anak-anak tersebut.9 8 http://dk-insufa.info/home/index.php?option=com content&view=article&id=248:-7300-di-tahananpemerintah-diminta-hapus-penjara-anak&catid=39:demokrasi-dan-ham&Itemid=79&lang=in, di akses tanggal 4 Desember 2010-12-05 9 http://news.okezone.com/read/2010/03/18/340/313904/kisah-2-bocah-di-penjara-bersama-napidewasa, diakses tanggal 21 Oktober 2010
67
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Data yang tersedia dalam kurun waktu 1999-2000 (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 132) sebanyak 562 anak ditahan pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 meningkat sebanyak 756, menurut Kementerian Hukum dan HAM terdapat 6.505 anak dengan kenakalan diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak di antaranya (71,05%) diputus pidana dan pada tahun 2009 kasus tindak pidana anak yang diajukan ke meja hijau pengadilan meningkat menjadi 6.704 anak, 4.748 di antaranya (70, 82%) diputus pidana. Angka seluruh kasus anak mungkin jauh lebih besar karena angka di atas hanya bersumber dari 29 Bapas yang memberi laporan, padahal di seluruh Indonesia terdapat 62 Bapas (Badan Permasyarakatan). Jika dihitung secara rata-rata kasar, tiap Bapas tahun 2009 melaporkan 231 anak diajukan ke meja hijau dan 163 anak di antaranya diputus pidana maka diperkirakan kini terdapat sekitar 14.322 anak yang diajukan ke persidangan dan 10.106 anak telah diputus pidana, alias menjadi narapidana, tinggal meringkuk dalam sel-sel Bapas.10 Di Solo, berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan di Pengadilan Negeri Solo11, terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan. Salah satunya anak berinisial BT 15 tahun, karena mencuri sandal. Atau juga DSW, 14 tahun yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap teman sekolahnya. Karena kasus-kasus itu, keduanya harus mengenyam udara di Rumah Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan. Proses hukum yang harus mereka jalani di usia yang sangat panjang dan melelahkan ini pastilah mengganggu mental si anak, dari proses penahanan, penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan sampai keputusan yang dibacakan oleh hakim dan juga pelaksanaan putusan hakim. Selain itu, situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak. Ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Selain psikis mereka yang terluka, akses pendidikan bagi anak-anak yang ditahan pun terbatas. Dari sekitar 20 anak usia sekolah yang berada di Rutan Solo, hanya satu anak yang sempat merasakan ujian akhir semester tahun 2009 di Rutan. Hasil riset UNICEF12 menunjukkan, sembilan dari 10 anak yang diadili (ada 4.000 anak) setiap ta10 http://hukum.kompasiana.com/2010/08/07/kriminalisasi-atas-anak/, diakses tanggal 21 Oktober 2010 11 http://www.kotalayakanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=444:anak-anakdi-balik-terali-besi&catid=56:artikel&Itemid=77, diakses tanggal 21 Oktober 2010 12 http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1071383600,47795, diakses tanggal 21 Oktober 2010
68
Mohammad Teja hun berakhir di penjara. Umumnya mereka dicampur dengan orang dewasa, mereka berada di ruang sempit dan penuh sesak, dengan hanya sedikit udara, bahkan tanpa akses ke fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun hiburan yang layak, kondisi yang sangat mengkhawatirkan untuk anak dimasa depannya. Padahal, anak-anak akan menjadi beban masyarakat jika mereka belajar menjadi penjahat yang andal di penjara karena tidak menutup kemungkinan di dalam penjara menjadi bertambah ahli dalam berbuat kejahatan di masa depannya dan karena mereka juga terintimidasi oleh para tahanan dewasa hal ini juga tidak menutup kemungkinan anak-anak yang berada di dalam tahanan orang dewasa akan berbuat hal yang sama di dalam ataupun di luar penjara. Kondisi anak sebelum mendapatkan kepastian putusan hukuman dari hakim yang dititipkan di rumah tahanan bersama orang dewasa menjadi permasalahan tersendiri, proses traumatik mendalam pastilah akan diterima oleh mereka. Kondisi rumah tahanan yang dipenuhi orang dewasa dan anak berada di dalamnya akan membuat anak menjadi objek dari peng-eksploitasian bagi mereka yang dewasa. Kondisi anak yang pada umur 18 tahun ke bawah yang tentunya sangat mudah menyerap segala perilaku orang dewasa tentunya akan menjadi model bagi diri si anak dalam bertindak dikemudian hari. Seharusnya anak yang berstatus tahanan (yaitu anak yang masih menunggu proses peradilan lebih lanjut, artinya, belum memiliki ketetapan hukum atas perkaranya) harus dinyatakan dan diperlakukan sebagai manusia yang tidak bersalah. Karena mereka adalah anak-anak, yang juga seharusnya harus dipisahkan dari anak-anak yang dihukum. Ketentuan mengenai keharusan tahanan anak berada di dalam tempat penahanan yang khusus bagi anak (terpisah dengan orang-orang dewasa) tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Artikel 37.c), Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana (Bagian 8 Pemisahan Kategori, Butir d), The Beijing Rules (Butir 13.4), yang menegaskan kewajiban negara untuk memisahkan tahanan anak dan tahanan dewasa. Begitu juga dengan Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Pasal 28 dan 29), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 66.5) dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sementara itu pada peraturan perundangan yang lebih rendah yakni Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Pendaftaran Tahanan, dinyatakan bahwa: 69
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik • Rutan adalah tempat bagi tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. • Tempat tahanan dibagi berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. • Tahanan yang tidak memiliki pakaian sendiri, akan diberikan oleh pihak Rutan. • Tahanan berhak akan perlengkapan tidur dan makan yang layak. • Tahanan berhak memperoleh perawatan kesehatan, melakukan rekreasi, memperoleh kunjungan dari keluarga dan orang lain. Kenyataannya, sebagian besar anak ditahan di tempat penahanan bersama dengan tahanan dewasa dan narapidana dewasa. Sebagian anak-anak ini berada di Rumah Tahanan Negara, sebagian di Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dan Pemuda, sebagian yang lain berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. Pada periode antara bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2002 ditandai dengan tingginya jumlah tahanan anak yang ditempatkan di Rumah Tahanan dan Lapas Dewasa. Pada bulan Januari, sejumlah 463 anak berada di Rutan dan Lapas Dewasa. Untuk waktu yang sama, angka penempatan anak di Lapas Anak mencapai 296 orang atau 38.99%. Menjadi menarik untuk dicermati adalah pada bulan-bulan berikutnya penempatan anak di Rutan dan Lapas Dewasa masih cenderung lebih tinggi dibandingkan di Lapas Anak. Artinya, peningkatan prosentase angka penempatan anak di Lapas Anak tidak diikuti dengan penurunan angka penempatan anak di Lapas Dewasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa prioritas kebijakan penempatan anak di dalam lembaga tidak ada kemajuan, karena sebagian besar anak tetap di tempatkan bersama dengan pelanggar hukum dewasa di Lapas Dewasa. Data ini memberi gambaran seberapa buruk kondisi anak-anak yang berstatus sebagai tahanan rentan atas segala tindak kekerasan dan terancam pembelajaran perilaku kriminal dari orang-orang dewasa. Memang tidak semua anak-anak ini ditahan bersama disatu ruangan dengan orang-orang dewasa. Tetapi anak-anak ini berada dalam bangunan yang sama, yang sepanjang pagi hingga sore hari, mereka dapat berbaur dan melakukan kontak dengan orangorang dewasa. (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 140). Masalah lainnya seperti pengabaian dari orang tua si anak pada saat anak menjalani proses hukuman, jauhnya tempat tinggal orang tua, keterbatasan 70
Mohammad Teja ekonomi, sampai pada orang tua yang memang sudah jenuh atas kenakalan anak-anaknya. Kondisi seperti ini akan menurunkan rasa percaya diri anak untuk memperbaiki perilaku mereka. Belum lagi minimnya fasilitas dan rendahnya keberpihakan personel dan institusi yang berwenang dalam penanganan anak dalam lembaga terhadap kepentingan terbaik anak. Terhadap anak yang diabaikan oleh keluarganya, proses reintegrasi pada masyarakat tentunya akan menjadi halangan yang cukup berat bagi mereka, yang menyebabkan anak tidak tahu harus kemana setelah ia bebas yang membuat mereka kembali lagi kepada lingkungan tempai ia dahulu melakukan tindak kenakalan, tentunya ditambah pengalaman saat mereka di dalam penjara dan kembali terjebak dalam aktifitas kriminal dan karena pengalaman yang bertambah sewaktu mereka dalam penjara orang dewasa membuat mereka semakin serius melakukan tindakan kejahatan. Keadaan yang merugikan seperti tulisan di atas, merupakan gambaran betapa pentingnya pemisahan antara korban anak dan tahanan dewasa dalam rumah penjara. Pentingnya penanganan anak yang bermasalah dengan hukum yang mengunakan perspektif kepentingan terbaik anak sangatlah mendesak, akibat-akibat yang dapat diprediksi mengenai tumbuh kembang anak yang dapat terganggu di masa mendatang merupakan pekerjaan rumah pemerintah dan badan legislatif Republik ini untuk ditangani secara tepat dan cepat, tentunya dengan kerja keras dan keseriusan. Sebuah keadaan bagi rehabilitas anak yang mampu membentuk mental dan keahlian bagi kehidupan yang lebih baik bagi mereka di masa depan yang tentunya dijamin oleh negara. Batasan Umur Anak yang Behadapan dengan Hukum. Dalam deklarasi hak anak diyatakan anak belum matang jasmani dan mentalnya, anak memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Anak dikelompokkan orang lemah dan rawan, sangat beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang, anak belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan (adjustment) mana yang baik dan kurang baik, kendati dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena keadaan mental dan fisik belum matang, menyebabkan perbuatan atau keputusannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan. 71
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Sebagai penerus masa depan bangsa, anak merupakan aset yang sangat berharga bagi orang dewasa di masanya, anak memiliki sifat dan ciri khusus dalam perjalanannya menuju dewasa. Dalam memahami dunia, sikap dan perilakunya pun berbeda dengan orang dewasa dan karenanya, anak sangat perlu mendapatkan perlakuan khusus untuk memberikan perlindungan dan rasa nyaman kepada anak-anak. Perubahan kebudayaan, cepatnya arus informasi dan teknologi harus berbanding sama dengan perubahan bentuk perlindungan anak. Keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan hak anak, baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui suatu peradilan khusus (sistem peradilan formal) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang salah satu isi dari UU tersebut adalah batasan umur anak, yaitu 8-18 tahun. Dibawah 8 tahun anak diproses penyidikannya namun dapat diserahkan kembali pada orang tuanya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Departemen Sosial. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: “Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat.” Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Penegak hukum harus mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman lain 72
Mohammad Teja selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada orang tua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka.13 Usia yang ditetapkan untuk seorang anak mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukan di Indonesia minimal usia 8 tahun, sebuah ketetapan dari kesepakatan pemerintah dan legislasi. Pada usia anak saat itu mereka sedang asik-asiknya bermain, meniru dan belajar, sepertinya tidak teramat pantas orang dewasa yang menentukan dan menetapkan batas umur minimal anak 8 tahun sudah dapat dijerat hukuman yang terkadang juga tidak masuk akal, yang berarti masa anak-anak dihabiskan dalam lembaga penjara yang terkadang disatukan dengan orang dewasa, padahal tindakan dan perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana jarang sekali di lakukan. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun, ini berarti pada anak yang berhadapan dengan hukum pada usia 8 tahun dituntut kehati-hatian dalam bertindak bagi aparat hukum yang terkait. Idealnya, anak-anak sedapat mungkin dipisahkan dari hukum kriminal, atau dapat juga dibuatkan hukum khusus yang menyangkut masalah anak dengan pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, misalnya anak dianggap sebagai korban dari tindakan melawan hukum itu sendiri, karena keterbatasan pengetahuan itu sendiri dan banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Memang, setiap negara memiliki batasan pertanggungjawaban tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak, misalnya tindakan untuk mempertanggungjawabkan tindakan kriminalitas anak di negara-negara Eropa seperti di bawah ini;
13 http://dk-insufa.info/home/index.php?option=com_content&view=article&id=248:-7300-di-tahanan-pemerintah-diminta-hapus-penjara-anak&catid=39:demokrasi-dan-ham&Itemid=79&lang=in, di akses tanggal 4 Desember 2010-12-05
73
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Umur Pertanggungjawaban Tindak Kriminal di Eropa Austria 14 Belgium 18 Denmark 15 England and Wales 10 Finland 15 France 13 Germany 14 Greece 12 Ireland 12 Italy 14 Luxemburg 18 Netherland 12 Northen Ireland 10 Norwey 15 Portugal 16 Scotland 8 Spain 14 Sweden 15 Turkey 12 *John Muncie, 2004:253
Batasan umur anak yang tercantum dalam UU no.3 tahun 1997, dalam undang-undang tersebut, pasal 4 ayat 1 menyebutkan batas usia seorang anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan, terhadap anak yang belum mencapai usia 8 tahun dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik jika ia diduga melakukan tindak pidana. Keadaan serba membingungkan bagi si anak jika ia dianggap melanggar atas sebuah kasus yang ia tidak paham dan belum mengerti akan menyebabkan sang anak semakin tertekan. Pada usia di bawah 8 tahun sampai ia akil balig kemampuan berpikir anak masih sangat lemah, masih dapat dipengaruhi pikiran-pikiran orang lain yang memungkinkan orang dewasa memanfaatkan atau memberikan contoh hal-hal yang tidak baik kepada sang anak. Jika pada saat itu anak melakukan tindakan kriminal, apakah tidak terlalu berlebihan sampai mengganggu waktu ia bermain dan melakukan aktifitas pendidikan di sekolah ataupun di luar sekolah, sehingga proses dari awal sampai 74
Mohammad Teja akhir dapat membuat traumatik yang mendalam bagi masa depan anak. Sebenarnya, dalam proses perkembangan anak banyak hal yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi penentuan batasan umur anak dapat diajukan ke depan pengadilan, diproses oleh penegak hukum, menjadi saksi dan lain sebagainya. Faktor yang harus diperhatikan adalah kepentingan terbaik untuk anak harus selalu menjadi prioritas utama penegakan hukum bagi anak tentunya. Menyeret anak dihadapan pengadilan bukanlah tindakan yang akan menyadarkan anak tersebut untuk jera dan tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari, keadaan yang lebih parah juga bukan tidak mungkin akan terjadi. Sebenarnya yang harus lebih difokuskan bukan dalam proses hukum untuk mecari dan membuktikan apakah seorang anak terbukti bersalah, tetapi yang harus dicarikan pembuktiannya adalah kenapa sampai anak melakukan kesalahan tersebut, sejauh mana pemerintah, keluarga dan lingkungan sosial memberikan perhatian terhadap perkembangan yang lebih baik bagi sang anak. Kesimpulan Indonesia masih memiliki kerumitan mengenai persoalan anak yang hingga saat ini belum terselesaikan secara menyeluruh dan komprehensif. Betapa banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, anak-anak cacat, anak-anak yang harus bekerja siang dan malam, anak-anak yang menjadi prostitusi dan objek pornographi, anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor dan berdesak-desakan, dan sejumlah masalah anak lainnya yang dengan sangat mudah kita bisa jumpai. Semakin majunya arus informasi dan teknologi, kemajuan perkembangan globalisasi yang pesat menjadikan bangsa ini harus semakin jelas melakukan perlindungan bagi masyarakatnya. Padatnya jumlah populasi tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan fasilitas pemerintah menjadi satu masalah yang lain. Kebutuhan akan kejelasan peyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum dan menjalankan perintah UU No. 3 Tahun 1997 mengenai Peradilan Anak merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk turut ambil bagian demi tumbuh kembang anak yang lebih baik. Keadaan yang dapat mempengaruhi kondisi mental dan psikis anak yang berhadapan dengan hukum sedapat mungkin diminimalkan dengan memberikan penanganan kasus-kasus anak dalam lembaga yang lebih mengerti dan peka terhadap kepentingan terbaik anak. Kasus-kasus anak yang ditempatkan bersa75
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik ma orang dewasa diharapkan menjadi prioritas utama dalam mencari alternatif tempat yang lebih manusiawi, mengingat mereka adalah korban dari kejahatan yang dilakukan itu sendiri. Jika memungkinkan dibuat sebuah lembaga yang menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum yang memenuhi segala kebutuhan anak, misalnya sarana pendidikan, sarana pelatihan pengembangan diri dan kemampuan keterampilan, sebuah lembaga yang memfasilitasi anak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak itu sendiri. Perlunya kajian ulang mengenai UU No. 3 Tahun 1997, khususnya mengenai batasan umur anak dapat dihadapkan di depan hukum. Sementara ini Indonesia masih mengacu pada usia anak 8 tahun sudah dapat diminta pertanggung jawaban secara hukum, meskipun dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur seperti sejak mulai penyidikan, penangkapan sampai kepada keputusan peradilan yang harus mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak. Kajian yang mendalam untuk batasan usia merupakan keutamaan dalam menentukan masa depan seorang anak. Penjatuhan pidana haruslah sebagai pilihan terakhir bagi anak, dalam pasal 5 dinyatakan, anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, juga harus dipertimbangkan kembali.
76
Mohammad Teja
Daftar Pustaka
Lucinda Platt, DISCOVERING CHILD POVERTY, “The creation of a policy agenda from 1800 to the present”, The Policy Press, University of Bristol, Bristol, UK, 2005 Koen Vleminckx and Timothy M. Smeeding (eds), “CHILD WELL-BEING, CHILD POVERTY AND CHILD POLICY
IN MODERN NATIONS, What do we know?”, The Policy Press, University of Bristol, Bristol, UK, 2003 John Muncie, Youth and Crime, Sage Publication Ltd, London, 2004 Purnianti, dkk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, Unicef, Artikel Koran Ahmad Sofian, “Kekerasan Mengintai Anak-Anak Kita” Harian Kompas, 23 Februari 2010, Internet Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi, http://politik.kompasiana. com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/ diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/04/30/brk,2007043099130,id.html, diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 Perlindungan Anak di Indonesia dan Solusinya, http://politik.kompasiana. com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/, diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 77
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tips, Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, http:// kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/57-tips-penegakkan-hukumbagi-anak-yang-berkonflik-dengan-hukum.html diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 Definisi anak dalam Sebuah Peradilan, http://www.gugustugastrafficking. org/index.php?option=com_content&view=article&id=860:definisi-anakdalam-sebuah-peradilan&catid=148:info&Itemid=189, diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 Anak di Mata Hukum, Mencuri Sebatang Rokok, Tujuh Tahun Penjara, Gloria Tamba SH, Kepala Divisi Non-litigasi LBH Mawar Saron http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/07/22/anak-di-mata-hukum-mencuri-sebatang-rokok-tujuh-tahun-penjara/, diakses pada: 21 oktober 2010-10-21 Di Tahanan, Pemerintah diminta hapus Penjara Anak, http://dk-insufa.info/ home/index.php?option=com_content&view=article&id=248:-7300-di-tahanan-pemerintah-diminta-hapus-penjara-anak&catid=39:demokrasi-danham&Itemid=79&lang=in, di akses tanggal 4 Desember 2010-12-05 Bocah dipenjara Bersama Napi Dewasa, http://news.okezone.com/read/2010/03/ 18/340/313904/kisah-2-bocah-di-penjara-bersama-napi-dewasa, diakses tanggal 21 Oktober 2010 Kriminalisasi atas Anak, http://hukum.kompasiana.com/2010/08/07/kriminalisasi-atas-anak/, diakses tanggal 21 Oktober 2010 Anak-anak Dibalik Terali Besi, http://www.kotalayakanak.org/index.php?option= com_content&view=article&id=444:anak-anak-di-balik-terali-besi&catid =56:artikel&Itemid=77, diakses tanggal 21 Oktober 2010 http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1071383600,47795, diakses tanggal 21 Oktober 2010
78
Teddy Prasetiawan
Adaptasi Perubahan Iklim Teddy Prasetiawan
A. Latar Belakang Fenomena perubahan iklim, beberapa ahli lingkungan menyebutnya dengan istilah anomali iklim atau kekacauan iklim, oleh sebagian kecil masyarakat telah menjadi pemahaman umum. Namun apakah masyarakat Indonesia telah memahami upaya apa yang diperlukan dalam menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar. Perubahan iklim secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan terhadap sistem fisik dan biologis bumi, yang ditunjukkan melalui peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola angin, perubahan pola presipitasi dan salinitas air laut, atau beberapa penelitian menyebutkan terjadi pula perubahan masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, dan dampak lainnya yang tidak lain disebabkan oleh pemanasan global yang turut pula menyebabkan kenaikan perubahan air laut1. Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yakni sebagai negara kepulauan yang memiliki ±17.500 pulau kecil, memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam dan kejadian cuaca ekstrim, memiliki tingkat polusi yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh (fragile) seperti area pegunungan dan lahan gambut, kegiatan ekonomi yang masih 1 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:1.
79
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif. Perubahan iklim juga telah mengubah pola presipitasi dan evaporasi sehingga berpotensi menimbulkan banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi yang lain. Hal ini sangat mengancam berbagai bidang mata pencaharian di tanah air, terutama pertanian dan perikanan2. Empat dampak yang terjadi berkaitan dengan fenomena perubahan iklim antara lain: (i) meningkatnya temperatur udara, (ii) meningkatnya curah hujan, (iii) kenaikan muka air laut, dan (iv) meningkatnya intensitas kejadian ekstrim. Serangkaian kejadian yang diperkirakan menjadi akibat langsung dari perubahan iklim pun sudah sering terjadi di Indonesia, seperti kejadian bencana akibat perubahan air di atmosfer atau cuaca ekstrim yang berkaitan dengan El-NiñoSouthern Oscilation (ENSO)3. Sementara itu, dampak turunan yang dirasakan dari perubahan tersebut sangat beragam dan mengancam berbagai sendi kehidupan bangsa. Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2006 menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2003-2005 telah terjadi 1.429 bencana di Indonesia, dan 53% merupakan bencana hydro-meteorological4. Dari jumlah tersebut, 34% banjir, 16% longsor. Laporan United Nation Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA, 2006) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rentan terhadap bahaya bencana terkait iklim5. Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan luas lahan puso/gagal panen mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan yang terlanda 2 Ibid. Hal:3. 3 ENSO adalahsuatu keadaan yang tidak normal (anomali) dari suhu permukaan air laut dan tekanan atmosfer di Samudra Pasifik daerah tropis yang terjadi kira-kira setiap tujuh tahun dan dapat menyebabkan perubahan dalam curah hujan musiman di wilayah tertentu di planet bumi (sebagian besar di Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Pasifik). Siklus ENSO meliputi El Nino dan La Nina. 4 Hydro-meteorological adalah cabang ilmu meteorologi yang mempelajari kejadian atau perubahan air di atmosfer (Kamus Webster, 2010). 5 Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2006, sebagaimana dikutip dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:1.
80
Teddy Prasetiawan banjir seluas 158.787 ha dengan luas lahan puso 39.912 ha atau setara dengan 174.000 ton GKG. Selanjutnya dalam periode bulan Januari hingga Juli tahun 2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha, 17.187 ha diantaranya mengalami puso. Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi hingga 91.091 ton GKG6. Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian ENSO, volume air di tempat penampungan air menurun cukup berarti, khususnya selama musim kering, yaitu pada bulan Juni hingga September. Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh dibawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk di Pulau Jawa menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik dibawah kapasitas normal7. Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 juga menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International melaporkan bahwa El Niño pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan8. Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk dengan cepat. Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun 6 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5. 7 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2007. Indonesia Country Report, sebagaimana dikutip dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:5. 8 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5.
81
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik La Niña. Kasus demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007)9. Sebanyak kurang labih 30 penyakit baru dan beberapa penyakit lama yang telah dapat dikendalikan kembali mengancam kehidupan manusia dalam 25 hingga 30 tahun belakangan ini10. Kenyataan tentang perubahan iklim sangatlah tidak mengenakkan yang menuntut kita untuk mengubah cara kita dalam menjalani hidup11. Pada dasarnya perubahan iklim terjadi melalui proses yang membutuhkan waktu lama. Begitu pula dengan proses memperbaiki kualitas lingkungan dan usaha mengurangi penyebab perubahan iklim. Upaya apapun yang dilakukan untuk mengurangi lajunya tidak akan menghindarkan kita dari dampak negatif yang terus ditimbulkan saat ini dan saat mendatang. Untuk itu perlu bagi kita meningkatkan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada. Selain itu dibutuhkan pemahaman yang lebih tentang kondisi dan kesiapan Indonesia dalam konteks perubahan iklim dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia. B. Permasalahan Dalam rangka mewujudkan kesiapan indonesia menghadapi dampak perubahan iklim, dibutuhkan pemahaman terhadap kerentanan Indonesia serta pemahaman terhadap potensi yang dimiliki Indonesia guna meningkatkan ketahanan atau kemampuan adaptasi. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dikaji pada tulisan ini adalah: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kerentanan suatu negara terhadap perubahan iklim? 2. Bagaimana respon Indonesia terhadap isu adaptasi perubahan iklim?
9 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5. 10 Al Gore. An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do about It. 2006. London. Hal:174. 11 Ibid. Hal:286.
82
Teddy Prasetiawan C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang dibutuhkan guna meningkatkan ketahanan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim melalui kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanannya. Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, antara lain kegunaan praktis dan kegunaan akademis. Sebagai kegunaan praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan legislasi, terutama bagi komisi yang membidangi permasalahan perubahan iklim. Sebagai kegunaan akademis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim. D. Kerangka Pemikiran Dua pendekatan yang dikenal luas dalam menghadapi perubahan iklim adalah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berorientasi kepada upaya menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di berbagai sektor. Sementara adaptasi berorientasi kepada upaya meningkatkan ketahanan manusia dalam menghadapi dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim sudah tentu mutlak dilakukan, mengingat daya dukung lingkungan yang menurun akibat dari beragam aktivitas manusia yang tidak henti-hentinya terus dilakukan dalam rangka membangun. Dunia internasional, termasuk Indonesia, terkesan lebih mengutamakan tindakan mitigasi dibandingkan dengan adaptasi. Hal ini dapat dilihat melalui forum-forum internasional yang lebih memberikan ruang pembahasan kepada usaha mitigasi diberbagai sektor, seperti kehutanan, pertanian, energi, dan lain sebagainya. Namun, disadari pula bahwa membangun ketahanan manusia dalam menghadapi dampak perubahan iklim pun merupakan tindakan yang secara beriringan perlu dilakukan. Melalui wawancara yang dilakukan dengan Farhan Helmy, selaku anggota kelompok kerja mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) saat wawancara penelitian, disebutkan bahwa upaya penanggulangan perubahan iklim memiliki prioritas yang mengedapankan alternatif yang murah dan mudah (salah satu yang ramai dibicarakan adalah skema Reduction of Emmisions from Deforestration and Degradation/REDD+ dalam sektor kehutanan). Sementara itu, menyikapi permasalahan kesenjangan perhatian antara mitigasi dan adaptasi dikembalikan 83
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lagi kepada prioritas Indonesia. Upaya mitigasi akan lebih dekat dengan isu-isu potensi dan peluang. Sementara pada upaya adaptasi memposisikan kita pada posisi yang pasif (menerima), sehingga banyak negara donor yang beranggapan hal tersebut menjadi urusan masing-masing negara. Tingkat kerentanan suatu masyarakat maupun negara terhadap dampak perubahan iklim sangat beragam dan ditentukan oleh tiga faktor utama: (i) tingkat bahaya bencana yang terjadi (climatic hazards), (ii) sensitivitas terhadap perubahan/ bencana (sensitivity), dan (iii) kapasitas adaptasi (adaptive capacity)12. Tingkat bahaya bencana yang telah dipaparkan sebelumnya membawa kita pada kesimpulan bahwa frekuensi dan intensitas bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim semakin meningkat akhir-akhir ini. Kenyataan bahwa dampak perubahan iklim sulit diprediksi menuntut kita untuk selalu berada dalam kondisi siaga. Di sisi lain, sensitivitas terhadap perubahan/bencana akan sangat ditentukan oleh jumlah populasi. Suatu daerah dengan populasi tinggi akan lebih lebih sensitif terhadap perubahan/bencana13. Untuk itu perlu dibuat skala prioritas dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dalam presentasinya Emil Salim membedakan kapasitas adaptasi menjadi tiga kelompok utama: (i) sosio-ekonomi, (ii) teknologi, dan (iii) infrastruktur. Terdapat satu hal lagi yang terinternalisasikan ke dalam ketiganya, yaitu faktor budaya14. Mengenai peran dari kelompok utama diatas akan dijelaskan pada bagian pembahasan. Mengingat begitu rentannya Indonesia dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim, maka diperlukan upaya sistematis dalam meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Upaya sistematis yang dimaksud tidak lain adalah transformasi dari kerentanan menuju ketahanan iklim yang dapat dicapai melalui adaptasi perubahan iklim. E. Metodologi Penelitian Penelitian ini memiliki judul Respon Indonesia terhadap Dampak Perubahan Iklim Global yang diselenggarakan oleh Tim Hubungan Internasional Pusat 12 Kuki, S dan Tezza, N. 2010. “Strategi dan Kebijakan Adaptasi: Pendekatan Sosial Ekonomi dalam Menghadapi Perubahan Iklim”, dalam Iwan Jaya dkk, (ed), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. PT Gramedia. Jakarta. Hal. 453 13 Ibid. Hal:454. 14 Emil Salim. 2009. “Climate Change Adaptation Measurement in Developing Country”. Presentasi dalam Cornference on Climate Insecurities, Human Securitiy, and Social Resilience, 27-28 Agustus 2009. Singapura.
84
Teddy Prasetiawan Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Peneliti ������������������������������������������������������������������������� yang tergabung dalam Tim Kesejahteraan Sosial diikutsertakan dalam penelitian tersebut. 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data di penulisan ini pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melaui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah DKI Jakarta melalui wawancara dengan berbagai pihak yang terdiri dari kementrian teknis, lembaga pemerintahan, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dalam lingkup tugasnya berhubungan langsung dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu adaptasi perubahan iklim. 3. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang adaptasi perubahan iklim di wilayah Indonesia melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan dan dikaji melalui studi kepustakaan. Adapaun sifat penelitian ini yaitu deskriptif dengan menuliskan ataupun menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan tersebut di atas. F. Hasil dan Pembahasan Pengertian Adaptasi Perubahan Iklim Adaptasi adalah pengaturan dalam sistem alam dan manusia menuju lingkungan baru atau mengubah lingkungan. Adaptasi terhadap perubahan iklim mengarah pada pengaturan sistem alam dan manusia dalam merespon rangsangan alam yang aktual atau yang diperkirakan atau pengaruh-pengaruhnya, yang mung85
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kin bersifat setengah merusak atau memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan. Berbagai jenis adaptasi dapat dibedakan menjadi adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi pemerintah dan pihak swasta, adaptasi otonomi dan terencana. Adaptasi antisipatif adalah adaptasi yang terjadi sebelum dampak dari perubahan iklim teramati. Disebut juga dengan adaptasi proaktif. Adaptasi otonomi adalah adaptasi yang tidak menuntut respon yang disengaja terhadap rangsangan iklim, tetapi dipicu oleh perubahan-perubahan ekologi dalam sistem alam dan oleh pasar atau perubahan-perubahan keselamatan dalam sistem manusia. Adaptasi otonomi disebut juga sebagai adaptasi spontan. Adaptasi terencana adalah adaptasi yang merupakan hasil keputusan kebijakan yang disengaja, berdasarkan kepedulian terhadap kondisi yang berubah atau tentang perubahan dan tindakan yang diperlukan untuk mengembalikan, mengelola, atau mencapai negara yang diingikan15. Laporan Penilaian ketiga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengacu pada adaptasi sebagai suatu penyesuaian dalam sistem manusia atau alam terhadap lingkungan baru atau pergantian lingkungan16. Menurut penulis, adaptasi dapat digambaran sebagai katalis yang dapat mempercepat proses transformasi dari kondisi kerentanan menuju ketahanan terhadap perubahan iklim (lihat bagan alir pada Gambar 1). Peningkatan upaya adaptasi akan menciptakan masyarakat dan lingkungan yang selalu dapat menyesuaikan perubahan yang ada. Sebagai contoh, upaya adaptasi yang diimplementasikan pada masyarakat pesisir pantai akan meningkatkan kewaspadaan serta kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, seperti badai tropis atau ancaman tsunami. Adaptasi tidak mengurangi frekuensi dan intensitas kejadian bencana, namun dapat mengurangi kerugian akibat bencana terutama dalam menekan jumlah korban meskipun potensi bencana akan selalu ada. Keuntungan yang dapat diambil oleh Indonesia bila mempersiapkan rencana adaptasi tidak lain adalah jaminan terhadap pelaksanaan pembangunan dari gangguan yang tidak terduga.
15 Neeraj Prasad dkk. 2010. Opcit. Hal:177. 16 IPCC. 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report – Summary for Policymakers, sebagaimana dikutip dalam Neeraj Prasad dkk, Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana. Salemba Empat. Jakarta. 2010. Hal:27.
86
Teddy Prasetiawan
Gambar 1 Hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi Sementara itu, Gambar 2 menunjukkan hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi. Adaptasi dapat mengurangi biaya perubahan iklim dengan cara mengurangi kerusakan karena kejadian perubahan iklim meskipun tidak mempengaruhi peningkatan suhu global. Manfaat bersih dari adaptasi tetap ada bahkan setelah ditambahkan dengan biaya adaptasi, menggambarkan bahwa adaptasi selalu menguntungkan17.
Gambar 1 Hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi Sumber: Stern, N. Stern Review on the Economic of Climate Change (Cambridge : Cambride University Press, 2006) Konsentrasi GRK dan pemanasan atmosfer memberikan akibat langsung terhadap naiknya permukaan air laut, peningkatan suhu di atmosfer, peningkatan intensitas curah hujan, serta meningkatnya kejadian ekstrim. Sektor yang di17 Neeraj Prasad dkk. 2010. Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana. Salemba Empat. Jakarta. Hal:27-28.
87
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik perkirakan terkena dampak atas perubahan ini adalah air, ekosistem, pangan, pantai, kesehatan, infrastruktur, transportasi, dan energi. Sektor-sektor tersebut memiliki peran yang sangat vital bagi pembangunan. Dampak yang ditimbulkan dari terganggunya sektor-sektor di atas antara lain adalah menurunnya kualitas air dan udara, meningkatkan wabah penyakit, mengurangi ketersediaan air, meningkatnya banjir, meningkatnya suhu ekstrim, meningkatnya perpindahan penduduk (mobilisasi), menggenangnya wilayah pesisir, mengalami kekacauan ekonomi, meningkatnya beban energi maksimum, serta hilangnya warisan budaya18. Mengingat begitu pentingnya sektor-sektor yang terkena dampak serta begitu mengancamnya dampak-dampak tersebut bagi kalangsungan kehidupan bangsa serta proses pembangunan yang berjalan, perlu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang bersifat terencana/proaktif, bukan sekedar adaptasi spontan/reaktif yang baru dilakukan setelah perubahan/bencana terjadi. Untuk itu, tinjauan menyeluruh terhadap faktor penentu kerentanan dan kondisi kerentanan Indonesia saat ini harus dilakukan untuk selanjutnya menangkap potensi peningkatan ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim.
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan terhadap Perubahan Iklim Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa tingkat kerentanan suatu masyarakat maupun negara terhadap dampak perubahan iklim sangat beragam dan ditentukan oleh tiga faktor utama: (i) tingkat bahaya bencana yang terjadi (climatic hazards), (ii) sensitivitas terhadap perubahan/bencana (sensitivity), dan (iii) kapasitas adaptasi (adaptive capacity). Melalui paparan prensentasi Emil Salim, digambarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.A. Yusuf dan Hermiana dalam mengukur tingkat kerentanan negara-negara di asia tenggara. Penelitian ini dilakukan melalui penapisan (overlaying) peta frekuensi badai tropis, peta frekuensi kejadian banjir, peta kenaikan permukaan air laut, peta kepadatan penduduk, dan peta kawasan sensitif ekologi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerentanan tinggi terjadi di beberapa wilayah yang tersebar di kepulauan indonesia, seperti yang terlihat pada Gambar 3 di bawah ini. Faktor tingkat bahaya merupakan variabel bebas, atau lebih tepatnya lagi merupakan variabel acak yang peluang terjadinya mengikuti fenomena ano18 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Neeraj Prasad dkk. 2010. Opcit. Hal: 15-18.
88
Teddy Prasetiawan mali perubahan iklim itu sendiri. Negara kepulauan atau yang memiliki garis pantai yang panjang lebih berpotensi untuk menjadi rentan dibandingkan negara yang terdiri dari dataran luas atau sama sekali tidak memiliki pantai. Karena sifatnya yang acak, upaya yang diperlukan dalam meningkatkan ketahanan iklim sangat bergantung kepada upaya mitigasi yang berorientasi pada pengurangan emisi GRK. Upaya mitigasi dalam jangka panjang diharapkan dapat mengembalikan kondisi atmosfer atau setidaknya memperlambat laju pemanasan global sehingga dapat menekan frekuensi dan intensitas perubahan/ bencana.
Gambar 3 Tingkat kerentanan negara-negara di Asia Tenggara19 Faktor sensitivitas terhadap perubahan/bencana didedikasikan kepada manusia dan lingkungan sebagai objek yang terpapar oleh dampak perubahan iklim. Suatu daerah akan lebih sensitif terhadap perubahan/bencana bila memiliki populasi yang relatif lebih padat. Perkotaan tentu lebih sensitif daripada pedesaan dalam merespon perubahan. Hal ini berhubungan dengan jumlah korban yang ditimbulkan bila terjadi perubahan/bencana. Pada tahap awal inisiasi, adaptasi lumrah diprioritaskan pada daerah perkotaan atau lebih te19 A.A Yusuf dan Hermina, F. 2009. “Paper Nasional Council of Climate Change”, dalam Emil Salim, “Climate Change Adaptation Measurement in Developing Country”, presentasi dalam Cornference on Climate Insecurities, Human Securitiy, and Social Resilience, 27-28 Agustus 2009. Singapura.
89
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik patnya lagi pada perkotaan yang terletak di pesisir pantai, seperti Jakarta atau Semarang. Hal ini juga berlaku pada ekosistem sensitif atau daerah yang dilindungi (protected area). Penulis mendefinisikan ekosistem sensitif sebagai ekosistem yang teracam keberadaannya akibat dari sedikit perubahan parameter lingkungan. Seperti yang kita pahami bersama, ekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Apabila sebuah ekosistem memiliki flora atau fauna yang sangat sensitif terhadap perubahan parameter lingkungan, seperti suhu, maka ekosistem tersebut tergolong sebagai ekosistem sensitif. Contoh lainnya adalah ekosistem yang terdapat di sebuah pulau kecil. Naiknya permukaan air laut mengakibatkan berkurang/hilangnya daratan pulau tersebut yang secara otomatis menghilangkan juga ekosistem yang terdapat di dalamnya. Sensitivitasnya akan semakin meningkat apabila pulau tersebut memiliki peran vital, misal sebagai pulau terluar wilayah suatu negara. Penelitian terakhir menyebutkan 8 dari 92 pulau terluar yang menjadi patok perbatasan perairan Indonesia terancam hilang akibat kenaikan muka air laut20. Sensitivitas masing-masing wilayah tentunya berbeda satu sama lain, bergatung kepada karakteristik komponen ekologis. Untuk itu, penggambaran yang baik terhadap karakter komponen ekologis suatu daerah mutlak dilakukan. Dua faktor penentu tingkat kerentanan di atas merupakan faktor alami yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Indonesia dengan keadaaan geografisnya membentuk kondisi demikian yang tentunya tidak bisa diubah (gifted). Sehingga upaya peningkatan ketahanan iklim bergantung dengan upaya adaptasi yang rigid. Tingkat bahaya bencana yang tinggi dapat diatasi dengan upaya penanggulangan bencana yang membutuhkan sistem yang baik yang meliputi yang didukung kebijakan dan strategi penanggulangan dampak bencana, kelembagaan yang profesional, peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana melalui pemberdayaan, serta pembiayaan yang memadai. Begitu pula dengan faktor sensitivitas terhadap perubahan/bencana. Berbeda dengan kondisi kapasitas adaptasi yang tercerminkan melalui pencapaian pembangunan sebuah negara. Di negara-negara maju yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi relatif memiliki kemampuan, setidaknya pendanaan, yang memungkinkan untuk mengimplementasikan upaya adaptasi 20 Hendiarti, N. 2007. Potrets Pulau Nipah. Round table discussion ‘Pemanasan Global dan dampak SLR dan hilangnya pulau-pulau kecil”, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 9 April 2007.
90
Teddy Prasetiawan dengan baik. Begitupula dengan negara yang memiliki kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap ancaman perubahan iklim, upaya adaptasi akan semakin mudah diimplementasikan atau dengan kata lain kapasitas adaptasinya tinggi. Pembangunan sebuah negara bersifat dinamis dan bergantung kepada penyelenggaraan pembangunan itu sendiri sehingga kapasitas adaptasi tentu dapat diubah atau ditingkatkan.
Kapasitas Adaptasi Kapasitas adaptasi adalah kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat dan ekosistem tertentu untuk dapat tetap bertahan dengan menyesuaikan diri perubahan/bencana yang terjadi21. Kapasitas adaptasi dibedakan menjadi tiga kelompok utama: (i) sosio-ekonomi, (ii) teknologi, dan (iii) infrastruktur. Terdapat satu hal lagi yang terinternalisasikan ke dalam ketiganya, yaitu faktor budaya. Menurut penulis, intervensi adaptasi yang paling nyata dalam transformasi kerentanan menuju ketahanan iklim adalah peningkatan kapasitas adaptasi melalui proses pembangunan. Seperti yang disampaikan oleh Rachmat Witoelar, selaku Ketua Harian DNPI saat wawancara penelitian, inti dari permasalahan perubahan iklim adalah pengentasan kemiskinan. Proses pengentasan kemiskinan bersifat multi-sektoral dan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. Sehingga peningkatan kapasitas adaptasi sebenarnya dapat dilakukan melalui perencanaan pembangunan yang menyisipkan prinsip adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalamnya. Parameter yang sering digunakan dalam menilai tingkat pembangunan suatu negara adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang merupakan alat yang dikembangkan oleh United Nation Development Programme (UNDP) untuk memonitor kemajuan jangka panjang dalam tingkat rata-rata pembangunan manusia diukur dari tiga dimensi: hidup yang panjang dan sehat, akses terhadap pengetahuan dan standar yang layak. Nilai indeks IPM Indonesia berdasarkan pada laporan pembangunan manusia 2007 adalah 0,734 dan termasuk dalam pembangunan manusia tingkat menengah (berada pada peringkat 111 dari 182 negara). Negara dengan Indeks tinggi merupakan negara dengan pencapaian pembangunan dan pemerataan tingkat kesejahteraan yang baik dan diwakili oleh negara-negara maju. Sementara 21 Ibid. Hal:454.
91
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik negara-negara berkembang atau miskin memiliki nilai IPM yang relatif lebih rendah. Bisa dipahami bila pada negara berkembang/miskin tindakan adaptasi bersifat spontan atau reaktif karena masih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar. Terdapat beberapa peran yang dapat dimainkan oleh teknologi dalam kapasitasnya sebagai salah satu faktor penentu kapasitas adaptasi. Teknologi dapat melakukan penyesuaian sebelum, saat, atau setelah perubahan/bencana terjadi. Tujuannya adalah meminimasi dampak negatif perubahan/bencana terhadap manusia dan lingkungan ekologis. Beberapa contoh aplikasi teknologi dalam menyikapi perubahan/bencana yang terjadi antara lain adalah pengembangan teknologi early warning system dalam mengetahui potensi kejadian bencana merupakan salah satu peran teknologi sebelum terjadinya perubahan/bencana, penerapan teknologi membran dalam mobile water treatment system yang digunakan untuk mengolah air bersih pada tahap tanggap darurat merupakan salah satu peran teknologi pada saat terjadinya perubahan/bencana, atau pengembangan pengembangan teknologi informasi klimatologi yang berguna dalam mengantisipasi dan menyesuaikan perubahan/bencana di masa yang akan datang. Bagi negara seperti jepang, yang di satu sisi merupakan negara industri dan memiliki basis pengetahuan dan teknologi yang mapan namun di sisi lainnya adalah negara dengan frekuensi kejadian bencana gempa dan tsunami yang tinggi. Jepang dapat memiliki hingga 5000 gempa bumi setiap tahun. Gempa bumi tersebut juga dapat membentuk tsunami, yaitu gelombang besar yang menerpa daratan pantai. Jepang. Selain itu Jepang juga merupakan negara kepulauan yang pula berhadapan dengan bencana yang merupakan dampak langsung dari perubahan iklim. Namun dengan mengoptimalkan penelitian dan penerapan teknologi, Jepang mampu menyesuaikan diri dengan fenomena yang terjadi. Peran teknologi dalam meningkatkan kapasitas adaptasi tidak selalu identik dengan teknologi mutakhir (high technology), namun lebih kepada teknologi yang dapat diimplementasikan (applicable technology) atau teknologi tepat guna (appropriate technology). Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah 92
Teddy Prasetiawan menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan22. Sementara itu, peran faktor infrastruktur dalam mendukung pembangunan sangatlah penting dan memiliki efek yang luas terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun komponen infrastruktur yang diterjemahkan di sini bersifat spesifik kepada infrastruktur yang memiliki fungsi langsung terhadap pengendalian dampak perubahan iklim. Berdasarkan Synthesis Report Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, sektor-sektor yang perlu untuk merencanakan tindakan adaptasi adalah sektor sumber daya air, sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, dan kesehatan23. Peningkatan daya dukung pada sektor diatas perlu diprioritaskan. Tidak hanya sebatas business as usual, namun perlu dilakukan peningkatan yang menimbang potensi perubahan/bencana yang semakin meningkat. Prioritas pengembangan infrastruktur yang perlu mendapatkan perhatian dalam menghadapi perubahan iklim, antara lain: infrastruktur pengendali banjir dan kekeringan, sistem irigasi untuk pertanian, serta sistem penyediaan air bersih bagi permukiman. Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya yang majemuk dan kesenjangan sosial yang lebar. Kondisi ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam menyelaraskan tekad guna menghadapi dampak perubahan iklim. Peningkatan kapasitas adaptasi melalui sosial-ekonomi, teknologi, dan infrastruktur tidak lantas menjamin keberlangsungan transformasi menuju ketahanan iklim. Isu Pemanasan global, perubahan iklim, atau adaptasi perubahan iklim adalah permasalahan yang baru menggejala di indonesia. Tidak hanya pemerintah atau pihak swasta yang peduli, masyarakat pun memegang peranan penting dalam hal ini karena masyarakat adalah pihak yang merasakan langsung perubahan/bencana yang terjadi. Persepsi masyarakat terhadap isu perubahan iklim mungkin dapat dijadikan salah satu parameter dalam menilai keberadaan isu ini di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan survey singkat yang dilakukan oleh DNPI pada 600 responden pengunjung Pekan Lingkungan Indonesia pada bulan Mei 2009 di Jakarta, secara garis besar diketahui behwa level pengetahuan responden 22 Selengkapnya dapat dibaca melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_tepat_guna, diakses pada 6 Desember 2010. 23 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2009. Synthesis Report Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. Jakarta. Hal: 10.
93
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik survei terhadap isu-isu seputar perubahan iklim cukup tinggi24. Namun, hasil ini merupakan hasil yang didapat dari responden yang umumnya berpendidikan setidaknya sarjana, yang telah mengetahui langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya meminimalkan dampak negatif perubahan iklim. Bagaimana dengan masyarakat di kelas yang lain atau masyarakat yang berada jauh dari pusat informasi? Berdasarkan analisis survei tersebut diketahui bahwa media seperti televisi, media cetak, radio, dan media elektronik sangat berperan dalam membantu diseminasi informasi terkait dengan perubahan Iklim di Indonesia. Hasil penelitian lain yang menarik menyatakan bahwa di Indonesia kepedulian terhadap isu perubahan iklim menjadi tinggi saat pemberitaan terhadap penyelenggaraan COP 13 di Bali dan relatif menurun setelahnya. Kenyataan ini menggiring pada kesimpulan bahwa peran media sangat besar dalam membentuk opini dan kepedulian masyarakat terhadap isu baru perubahan iklim.
Respon Indonesia terhadap Isu Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia merupakan negara yang berperan aktif dalam isu perubahan iklim di tingkat internasional. Sejauh ini indonesia telah meninjaklanjuti perkembangan isu perubahan iklim dengan menetapkan sejumlah rencana aksi nasional yang berkaitan dengan perubahan iklim, pengurangan resiko bencana, atau pengurangan emisi gas rumah kaca, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang masih belum dipublikasikan secara luas. Selain itu telah dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang lahir atas dasar keinginan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional melalui PP No. 46 Tahun 2008, tanggal 4 Juli 2008. Menurut RAN-PI 2007, upaya adaptasi harus dilakukan melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan terhadap perubahan iklim, 3) melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4) mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, 24 Amanda Katili Niode. 2010. “Negosiasi, Kebijakan, dan Komunikasi Perubahan Iklim”, dalam Iwan Jaya dkk, (ed), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. PT Gramedia. Jakarta. Hal. 175
94
Teddy Prasetiawan 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7) memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Selain telah memiliki RAN-PI, Indonesia melalui BAPPENAS telah disusun dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang mengintegrasikan rencana menghadapi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional. Berdasarkan Synthesis Report Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, sektor-sektor yang perlu untuk merencanakan tindakan adaptasi adalah sektor sumber daya air, sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, dan kesehatan. Dalam dokumen tersebut, dalam kaitannya dengan adaptasi perubahan iklim, disarankan untuk mengembangkan penelitian lanjut mengenai dampak perubahan iklim dan pemetaan lokal kerentanan akan dilakukan untuk memperkuat sistem informasi untuk adaptasi dalam 2015. Disebutkan pula bahwa tujuan pembangunan nasional akan dioptimalkan dengan pengaruh tindakan adaptasi pada tahun 2025 sehingga resiko dari dampak perubahan iklim di semua sektor pembangunan akan jauh berkurang pada tahun 2030, melalui kesadaran masyarakat, penguatan kapasitas, meningkatkan pengetahuan manajemen, dan penerapan teknologi adaptif. Hal ini tentu baik bagi pengembangan adaptasi perubahan iklim Indonesia ke depan. Namun perlu disadari bahwa adaptasi perubahan iklim bukan hanya isu sektoral atau isu tingkat nasional saja. Seperti yang ditulis Kantor Berita Nasional Antara, Prof. Emil Salim mengatakan: “Kita kini memiliki peta sektoral, namun demikian yang diperlukan ke depan adalah sebuah perta intersektoral, bagaimana masing-masing bidang tidak berdiri sendiri dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan”25. Hingga saat penulisan hasil penelitian ini, Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2010 (RAN-MAPI) yang memuat kajian intersektoral upaya adaptasi di Indonesia masih belum terpublikasikan sehingga belum dapat dijadikan referensi. 25 Ibid. Hal:183.
95
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Perubahan Iklim telah menjadi perhatian tingkat nasional. Namun apakah budaya adaptif terhadap perubahan iklim tersebut telah dipahami hingga di tingkat Propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, atau kelompok masyarakat sebagai ujung tombak pelaksanaan adaptasi perubahan iklim. Beberapa Propinsi di Indonesia telah mulai menerapkan prinsip adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan pembangunan di masing-masing daerah. Seperti di Propinsi Kalimantan Timur dengan program Kaltim Green. Namun bagaimana kesiapan propinsi lain tentang hal ini. Pendekatan adaptasi perubahan iklim nasional dengan mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang (RPJM) dirasa tepat untuk diprioritaskan pada masa yang akan datang untuk memancing pemerintah daerah agar lebih proaktif dalam menyikapi adaptasi perubahan iklim di masing-masing wilayah administrasi.. Melalui wawancara penelitian yang dilakukan pada juli 2010 yang lalu dengan perwakilan WWF Indonesia di Samarinda, Arief Data Kusuma, diketahui bahwa masyarakat dan perangkat pemerintah dibawah gubernur masih banyak yang belum paham tentang perubahan Iklim. Mereka umumnya belum tahu apa yang harus dilakukan dengan hal ini. Sementara kordinasi diantara mereka sangat buruk. Hal ini mensyaratkan pemerintah pusat untuk lebih gencar mensosialisasikan agenda perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi secara berimbang, ke tingkat propinsi maupun turunannya. Temuan yang menarik yang dijumpai saat melakukan penelitian adalah terdapat lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mercy Corps Indonesia (MCI) yang memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. MCI memiliki perhatian khusus kepada masyarakat miskin dan rentan di wilayah perkotaan sehingga program adaptasi perubahan iklim yang dijalankan saat ini berlangsung di dua kota, yaitu Kota Semarang dan Bandar Lampung. MCI memfasilitasi pembentukan tim kota (city team) yang terdiri dari elemen pemerintah daerah, LSM, dan perguruan tinggi dan melakukan pendampingan dalam memahami dan mengkaji kerentanan kota terhadap perubahan iklim yang pada akhirnya menghasilkan strategi ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Tujuan utama dari pilot project yang dilakukan MCI di dua kota tersebut adalah mainstreaming adaptasi perubahan iklim bagi pemerintah daerah dalam menyusun RPJMD dan sebagai masukan RTRW. 96
Teddy Prasetiawan Harus diakui bahwa hingga saat ini isu perubahan iklim masih terkesan eksklusif, bersifat sektoral, dan masih merupakan isu tingkat nasional. Peran dari lembaga swadaya masyarakat seperti inilah yang diperlukan Indonesia dalam memperluas informasi dan meningkatkan respon berbagai pihak terhadap isu adaptasi perubahan iklim. G. Rekomendasi Hingga saat ini dunia internasional termasuk Indonesia baru berada pada tahap awal dalam menyikapi isu perubahan iklim. Belum banyak hasil yang diperoleh dari perkembangan yang ada. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi permasalahan adaptasi perubahan iklim, antara lain: 1. Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) adalah sebuah keharusan, mengingat agenda adaptasi sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan; 2. Perlu segera dirampungkan segera agenda penyusunan rencana aksi atau strategi nasional adaptasi perubahan iklim yang lebih rinci dan mudah diimplementasikan oleh pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaan adaptasi perubahan iklim. Rencana aksi atau strategi nasional adaptasi perubahan iklim tersebut harus dapat memancing respon daerah untuk dapat menyusun strategi adaptasi daerah yang melibatkan para pemangku kepentingan daerah; 3. Mengembangkan kajian serta penelitian tentang potensi peningkatan kapasitas adaptasi perubahan iklim di Indonesia dalam rangka mengusahakan transformasi dari kerentanan menuju ketahanan iklim.
97
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
98
Teddy Prasetiawan
Daftar Pustaka A.A Yusuf dan Hermina, F. 2009. “Paper Nasional Council of Climate Change”, dalam Emil Salim, “Climate Change Adaptation Measurement in Developing Country”, presentasi dalam Cornference on Climate Insecurities, Human Securitiy, and Social Resilience, 27-28 Agustus 2009. Singapura. Al Gore. 2006. An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do about It. London. Amanda Katili Niode. 2010. “Negosiasi, Kebijakan, dan Komunikasi Perubahan Iklim”, dalam Iwan Jaya dkk, (ed), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. PT Gramedia. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2009. Synthesis Report: Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. Jakarta. Emil Salim. 2009. “Climate Change Adaptation Measurement in Developing Country”. Presentasi dalam Conference on Climate Insecurities, Human Securitiy, and Social Resilience, 27-28 Agustus 2009. Singapura. Hendiarti, N. 2007. Potrets Pulau Nipah. Round table discussion ‘Pemanasan Global dan dampak SLR dan hilangnya pulau-pulau kecil”, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 9 April 2007. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta.. Kuki, S dan Tezza, N. 2010. “Strategi dan Kebijakan Adaptasi: Pendekatan Sosial Ekonomi dalam Menghadapi Perubahan Iklim”, dalam Iwan Jaya dkk, (ed), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. PT Gramedia. Jakarta. Neeraj Prasad dkk. 2010. Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana. Salemba Empat. Jakarta. Sumber Website http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_tepat_guna, diakses pada 6 Desember 2010. 99
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
100
A. Muchaddam Fahham
TERORISME BERBASIS AGAMA DAN PENANGANANNYA A. Muchaddam Fahham
Pendahuluan Kematian tokoh-tokoh utama terorisme di Indonesia seperti Azahari, Noordin M. Top, dan Dulmatin, tidak secara otomatis diikuti oleh kematian terorisme1 itu sendiri. Hal ini terlihat pada terjadinya penembakan dan penangkapan tersangka teroris oleh Densus 88 di beberapa wilayah seperti Cawang (Jakarta), Cikampek (Kerawang), Sukoharjo (Jawa Tengah), pada tanggal 12-13 Mei 2010. Sebelumnya pada bulan Maret 2010, Densus 88 juga berhasil menangkap puluhan orang yang telah melakukan pelatihan aksi teror di Aceh.2 Fenomena terorisme di Indonesia perlu penangan secara serius, jika tidak, di masa depan, fenomena ini masih akan menjadi masalah yang dihadapi oleh Pemerintah dalam upaya menciptakan kehidupan yang damai bagi seluruh lapisan masyarakat.3 Eksistensi terorisme pasca kematian tokoh-tokoh utamanya, menimbulkan sejumlah pertanyaan yang penting untuk dikaji. Pertama, apa sejatinya faktor penyebab lahirnya terorisme? Kedua, apa kaitan antara agama dan terorisme? apa yang disebut dengan terorisme berbasis agama? Ketiga, bagaimana terorisme ditangani? Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan 1 Secara bahasa terorisme berasal dari kata, terror dan isme. Kata teror berarti upaya menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau kelompok yang akan berdampak pada kerusakan fisik. Sementara isme berarti paham atau ajaran. Jadi dapat dikatakan bahwa terorisme adalah ajaran atau paham tentang penciptaan ketakutan, kengerian, dan kekejaman. 2 Editorial, “Mengikis Habis Jaringan Teroris,”dalam Media Indonesia, Jumat, 14 Mei 2010. 3 Aksi terorisme di Indonesia memiliki dampak yang tidak kecil, tidak hanya berdampak pada aspek keamanan negara saja, tapi juga berdampak pada aspek ekonomi, terutama keeganan para pelaku bisnis untuk melakukan investasi, karena negara dinilai tidak aman.
101
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik itu. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan ilmiah dalam masalah-masalah terorisme berbasis agama. Fenomena terorisme berbasis agama dalam tulisan ini dikaji dengan pendekatan deskriptif-4analitis. Artinya fenomena yang dikaji akan dipaparkan secara detail untuk kemudian dilakukan telaah secara analitik. Data-data yang dibutuhkan dalam tulisan ini dihimpun dan dikumpulkan berdasarkan studi kepustakaan.5 Hasil studi pustaka itu, selanjutnya dianalisis dengan cara reduksi, display atau penyajian, dan penarikan kesimpulan. Dengan langkah analisis seperti ini diharapkan dapat menghadirkan ketegori-kategori data tertentu sesuai dengan masalah yang dikaji, yakni penyebab terorisme, terorisme berbasis agama, dan penanganan terorisme.6 Penyebab Lahirnya Terorisme Terorisme dapat dipahami sebagai segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yang serius bagi para penduduk sipil, tujuan dari aksi tersebut adalah untuk mengintimidasi warga sipil atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.7 Menurut Jessica Stern, ada dua perbedaan mendasar antara terorisme dengan bentuk kekerasan lainnya? Pertama, kekerasan yang dilakukan oleh terorisme ditujukan kepada warga sipil bukan kepada tentara. Karakteristik ini membedakan terorisme dari beberapa bentuk perang. Kedua, teroris menggunakan kekerasan untuk tujuan yang dramatis: menciptakan ketakutan pada target seringkali lebih penting daripada hasil yang bersifat fisik. Hal ini membedakan terorisme dengan penyerangan atau pembunuhan yang disengaja.8 4 Metode penelitian deskriptif-kualitatif menghendaki dilakukannya penggambaran obyek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat. Dengan kata lain, metode deskriptif menggambarkan sifat atau keadaaan yang sedang berjalan pada saat penelitian, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Lihat Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001, 136-137. 5 Studi Kepustakaan, yakni studi yang dilakukan dengan cara membaca, memahami bahan-bahan pustaka baik dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, maupun surat kabar yang berisi informasi terkait dengan, penyebab terorisme, terorisme agama dan upaya penanganannya. 6 Informasi lebih lanjut tentang analisis data dapat dilihat Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 16. 7 Rosyada, ”Peperangan Melawan Terorisme,” dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 3. 8 Jessica Stern, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill, (HarperCollins Publishers, 2004).
102
A. Muchaddam Fahham Meskipun mudah didefinisikan, terorisme tetap merupakan fenomena yang multi-kompleks. Karena itu, kajian tentang terorisme, biasanya selalu melakukan pembatasan-pembatasan. Ada studi yang secara khusus menjelaskan fenomena terorisme berdasar tujuan. Ada juga yang mengkaji terorisme berdasar sebab yang mendorong kelahirannya. Dilihat dari sisi tujuannya, terorisme hendak memberikan tekanan psikologis terhadap sekelompok masyarakat. Sementara dari sisi penyebab yang mendorong kelahirannya, terorisme dipandang sebagai akibat dari: pertama, keputusasaan; kedua, keinginan untuk mencapai ketenaran; ketiga, keinginan untuk balas balas dendam; dan keempat, sistem politik yang tidak adil.9 Dalam perspektif gerakan sosial,10 penyebab terorisme dapat ditelaah dalam empat unit analisis, yaitu: individual, rasional, sistemik, dan ideologi. Pertama, pada tataran individual kita dapat mengajukan pertanyaan mengapa seseorang mau menjadi teroris. Kemungkinan jawaban yang diperoleh dari pertanyaan itu adalah: karena orang yang menjadi teroris itu merasa teralienasi, atau bisa juga karena ia merasa tertekan oleh kekerasan, sistem politik, dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah. Kedua, pada tataran rasional penyebab terorisme dapat dilacak melalui pertanyaan-pertanyaan: mengapa atau dibawah kondisi apa, suatu kelompok menggunakan terorisme sebagai strategi perjuangan. Kemungkinan jawaban yang ditemukan dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah: keuntungan yang diperoleh oleh pelaku teror. Keuntungan itu bisa saja berupa: (1) dukungan dari kelompok tertentu, (2) paksaan terhadap pemerintah atau masyarakat untuk melakukan sesuatu. Ketiga, pada tataran sistem, penyebab lahirnya terorisme dilihat pada kondisi yang menciptakan keputusasaan yang kemudian memotivasi terorisme.11 Pada tataran sistem ini, terorisme muncul disebabkan oleh kemiskinan, 9 Husnul Isa Harahap, “Mengutuk dan Menggali Pesan Simbolik Terorisme,” dalam Kompas, 28 Maret 2009. Teori penyebab munculnya teorisme ini menurut Isa harahap berasal dari Mia Bloom dalam bukunya: Female Suicide Bombers: a Global Trend, 2005, dan Gause III dalam bukunya: Can Democracy Stop Terrorism?, 2005. 10 Gerakan sosial adalah aktifitas kolektif yang bertujuan merubah srtruktur social dan tatanan nilai yang ada pada sebuah kelompok masyarakat. Kajian-kajian dan teori-teori gerakan sosial dapat ditemukan dalam karya-karya seperti, Rudolf Heberle, Social Movement: A Introduction to Political Sociology (New York: Appleton Century, 1951); Robert H. Lauer (ed.), Social Movement and Social Change (London & Amsterdam: Feffer and Simon, 1979). 11 Michael Freeman, ”The Rise of Islamic Extremist Terrorism: A Look at the Supply of an Ideology,” Artikel tidak diterbitkan, 2.
103
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik globalisasi, deprivasi relatif, represi politik, pekerjaan, modernisasi,12 dan westernisasi. Keempat, terorisme juga dapat muncul lantaran ideologi. Bahkan ideologi dapat berfungsi sebagai payung yang menyatukan tiga tingkatan analisis sebelumnya menjadi satu kesatuan. Dalam konteks terorisme ideologi memiliki beberapa fungsi utama: (1) mengidentifikasi musuh atau aktor yang bertanggungjawab atas keluruhan, (2) menawarkan solusi, (3) membenarkan berbagai cara untuk menggapai tawaran yang diberikan, (4) menempatkan perjuangan dalam konteks yang lebih luas.13 Terorisme menurut Mark Juergensmeyer dalam karya Terror in The Mind of God: The Global Rise Religious Violence, 2003, dapat muncul karena pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama.14 Hal senada juga dinyatakan oleh Nasir Abas mantan anggota Jamaah Islamiyah, bahwa terorisme dapat muncul karena faktor “keyakinan” yang dianut oleh seseorang15 Jesica Stern menyatakan bahwa terorisme muncul disebabkan oleh rasa putus asa seseorang terhadap situasi sosio-politik yang mengitarinya. Rasa putus asa ini kemudian direspon oleh sekelompok orang bahwa situasi sosio-politik yang tidak menguntungkan itu harus dihentikan. Akan tetapi tugas ini tidak bisa dilakukan hanya oleh sekelompok orang, tugas ini perlu mendapat dukungan terutama dari orang-orang yang merasa putus asa itu. Untuk menarik minat agar orang-orang yang putus asa itu mau bergabung, maka kelompok ini menggunakan agama sebagai basis legitimasi. Disinilah kemudian dibangun pandangan bahwa melakukan teror dan pembunuhan adalah perintah agama, bahkan orang yang mati dalam melakukan aksi teror dipandang martir (syahid).16
12 Salah satu akibat dari lahirnya modernisasi adalah fundamentalisme agama. Bahkan antara modernisasi dan fundamentalisme agama merupakan dua sisi koin yang sama. Modernisasi yang ditandai oleh sekulerisasi dan rasionalitas, menjadikan agama sebagai barang antik yang tidak lagi layak untuk menjadi sumber inspirasi kehidupan manusia modern. Agama bahkan dianggap sebagai penghambat laju modernisasi. Agama yang sebelumnya menjadi sumber rujukan dari segala bentuk persoalan manusia, menjadi terpinggirkan akibat pemisahan antara agama dan negara yang dilakukan oleh modrnisasi. 13 Ibid., 14 Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise Religious Violence, (California: California University Press, 2003), 3-10. 15 Husnul Isa Harahap, “Mengutuk Terorisme, “ dalam Kompas, 29 Maret 2009. 16 Jessica Stern, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill, (HarperCollins Publishers, 2004).
104
A. Muchaddam Fahham Berdasar uraian-uraian di atas, dapat dikatakan bahwa terorisme adalah kekerasan yang memiliki karakter yang khas. Karakter khas terorisme ini terletak pada: (1) sasaran kekerasan yang dituju, yakni warga sipil; (2) tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya ketakutan dan kecemasan warga sipil. Sementara itu, jika beberapa penyebab munculnya terorisme di atas kita sederhanakan maka setidaknya ada dua penyebab munculnya terorisme: pertama, ketidakadilan sosio-politik yang memunculkan keputusasaan; kedua, doktrin agama atau keyakinan yang dipahami sedemikian rupa sehingga mendorong, memotivasi, dan memberikan landasan pijak seseorang untuk melakukan kekerasan dan teror. Adanya doktrin agama yang dijadikan sebagai landasan pijak para teroris untuk melegitimasi tindakan-tindakan teror yang mereka lakukan mengantarkan beberapa sarjana pengkaji terorisme untuk menyimpulkan adanya bentuk terorisme yang disebut dengan terorisme berbasis agama. Terorisme Berbasis Agama Seperti telah disebutkan, istilah terorisme berbasis agama (religious terrorism) lahir di kalangan akademisi setelah mereka melihat, mengkaji, dan memahami fenomena terorisme. Nama-nama seperti Mark Juergenmeyer dan Jessica Stern adalah akademisi yang bisa dirujuk dalam konteks kajian terorisme berbasis agama itu. Bagi sebagian kalangan, terma terorisme berbasis agama memberikan kesan bahwa agama memang mendorong dan melegitimasi kekerasan.17 Karena itu, di Indonesia, pernah digelar satu forum khusus yang membincang seputar terorisme berbasis agama. Forum yang bertema,” Islam and the West Working Together for Peacefull World” itu menyimpulkan: “tidak ada satu agama pun di dunia yang membenarkan atau mendukung aksi-aksi terorisme. Sebab itu, sulit dipercaya jika suatu kelompok terorisme disebut sebagai terorisme berbasis agama tertentu”.18 Di satu sisi kesimpulan itu benar adanya, terutama ketika menyatakan bahwa tidak ada satu agama pun di dunia ini yang membenarkan atau mendukung aksi-aksi terorisme. Akan tetapi yang menarik dicermati dari kesimpu17 Dalam konteks Islam, istilah terorisme berbasis agama itu membingungkan, atau setidaknya istilah terorisme itu sendiri bertentangan dengan makna generik dari Islam. Seperti kita ketahui, Islam bermakna tunduk, damai, dan selamat, sementara teror adalah sesuatu yang menimbulkan rasa takut dan cemas. Dari sisi istilah, tentu saja antara Islam dan terorisme saling bertentangan. 18 Kompas, 27 Maret 2002.
105
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lan itu adalah munculnya keinginan untuk menolak suatu varian terorisme yang disebut dengan terorisme berbasis agama. Pada satu sisi, penolakan itu dapat dimengerti sebagai upaya membangun citra Islam sebagai agama yang anti-kekerasan dan anti-terorisme, tapi kenyataan bahwa kelompok terorisme di Indonesia adalah berasal dari penganut Islam, tentu sulit untuk ditolak, sebab semua pelaku teror yang tertangkap maupun yang meregang nyawa, adalah Muslim. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kelompok terorisme yang berasal kalangan Muslim itu, tidak dapat disebut sebagai kelompok terorisme berbasis agama? Hemat penulis, kita dapat menyebut kelompok tersebut sebagai kelompok terorisme berbasis agama dan tidak ada alasan yang kuat untuk menolak sebutan itu. Dengan kata lain, terorisme berbasis agama adalah riel adanya. Menurut David Rapport, terorisme berbasis agama merupakan kelanjutan dari terorisme versi sebelumnya yang muncul berkaitan dengan pembubaran khilafah, dekolonisasi, dan sayap kiri anti-Barat. Celakanya, gelombang keempat dari terorisme versi ini didominasi oleh kekerasan yang ditunjukkan oleh kelompok Islam. Meskipun sebenarnya semua agama besar juga telah melahirkan kelompok ektemis teroris.19 Robert Pape menemukan bahwa meskipun terorisme dengan pola bom bunuh diri tidak terkait dengan satu agama saja, sekitar separuh dari serangan dari semua serangan bunuh diri 1980-1993 dilakukan oleh kelompok ekstrim Islam.20 Pertanyaannya kemudian adalah apa perbedaan mendasar antara terorisme secara umum dengan terorisme berbasis agama? Dengan mengutip Juergensmeyer, Munajat menunjukkan bahwa perbedaan antara terorisme secara umum dan terorisme yang dipengaruhi oleh agama terletak pada karakter unik dari terorisme berbasis agama, yaitu: Pertama, ia mempunyai justifikasi moral transenden yang membuat anggota kelompok teroris meyakini bahwa perbuatan mereka merupakan panggilan Tuhan. Kedua, ia mempunyai sebuah skenario cosmic war yang diambil dari ajaran agama. Dalam cosmic war, para teroris menganggap bahwa dunia dalam keadaan perang, tempat mereka memainkan peran sebagai pahlawan suci yang 19 Semua agama, baik itu Yahudi, Kristen, dan Islam dapat memunculkan terorisme. Kajian tentang kemungkinan munculnya terorisme dalam agama-agama besar itu dapat dilihat dalam karya Jessica Stern, Terror in the name of God: Why militants kill. (2004). 20 Michael Freeman,”The Rise of Islamic Extremist Terrorism: A Look at the Supply of an Ideology,” 2.
106
A. Muchaddam Fahham sedang memerangi musuh atau setan jahat, dan akhirnya peperangan akan diakhiri dengan kemenangan sang pahlawan suci.21 Terorisme berbasis agama ini, menurut Munajat, dapat dianalogikan dengan kisah film Rambo. Dalam film ini, sang sutradara membuat skenario sedemikian rupa untuk menyihir penonton agar mereka yakin bahwa Rambo adalah seorang pahlawan, penegak keadilan, dan penyelamat dunia dari ketidakadilan. Dengan justifikasi moral dan keindahan film tersebut, penonton dapat dengan mudah menoleransi kebiadaban Rambo, meskipun sebenarnya Rambo adalah seorang mesin pembunuh dan pembangkang komando militer. Dalam skenario cosmic war ini, teroris seolah-olah sedang memainkan peran mereka sebagai Rambo, tentu dengan justifikasi yang lebih tinggi dari sekadar nilai keadilan, yaitu ‘Panggilan Tuhan’. Dua karakter inilah yang mampu membuat kelompok teroris menikmati setiap aksi teror mereka, termasuk aksi pembunuhan diri mereka sendiri. Masyarakat umum seringkali salah dalam memahami pelaku teroris yang diidentikkan sebagai orang gila, bodoh, stres, miskin, dan berpendidikan rendah. Fakta penelitian membuktikan bahwa teroris selalu dilakukan oleh orang normal, sehat, dan sering dianggap sebagai orang yang saleh di tengah masyarakat dan keluarganya. Alan B Krueger, ekonom jebolan Harvard, menyimpulkan bahwa tingkat kemakmuran ekonomi dan pendidikan pelaku teroris selalu di atas rata-rata tingkat kemakmuran dan pendidikan masyarakat di negara asal mereka.22 Sementara itu, Victor Silaen menyebutkan terdapat sedikitnya tiga ciri utama dari terorisme berbasis agama. Pertama, terorisme agama merupakan sebuah gerakan yang bertujuan menebar ketakutan dan kepanikan luas dengan menjadikan agama sebagai basis ideologi yang memberikan pembenaran sekaligus dukungan moral.23 Akan tetapi gerakan teror yang dilakukan oleh terorisme berbasis agama tidak semata-mata bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan kepanikan warga sipil, karena tujuan utama terorisme berbasis agama adalah menegakkan keadilan Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu, menurut Silaen, kita tidak perlu merasa heran jika kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang oleh keluarga dan handai-tau21 Munajat, “Terorisme Berakhir?” Dalam Republika, 10 Agustus 2009. 22 Ibid., 23 Victor Silaen, “Terorisme Agama,” dalam Majalah Mimbar Politik, edisi 16, 1-7 September 2009.
107
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lannya dikenal baik dan saleh. Melakukan kejahatan bukanlah tabiat, “dunia penuh kekerasan” pun bukan habitat mereka. Aksi teror, bagi mereka, hanyalah keterpaksaan yang harus ditempuh demi terwujudnya tatanan dunia atau negeri baru seperti yang senantiasa diimpikan. Atas dasar itulah maka jatuhnya para korban dikarenakan aksi-aksi teror mereka sebenarnya bukanlah didorong keinginan untuk membunuh. Melainkan, demi menyampaikan pesan-pesan kepada penguasa atau kekuatan sekuler yang hendak dilumpuhkan, bahwa mereka eksis dan sedang memperjuangkan sesuatu. Sedangkan kepada masyarakat luas, mereka juga hendak mengumumkan bahwa para pembaharu dan pejuang ilahi sudah muncul. Dunia yang penuh dosa ini akan berubah menjadi dunia baru yang dipenuhi kedamaian dan keadilan. Maka agar tak berlama-lama lagi, aksi-aksi nirkekerasan harus ditingggalkan demi memperoleh solusi yang lebih kuat.24 Harus dinyatakan bahwa justifikasi atas kekerasan dalam gagasan-gagasan yang bernuansa agama membuat para aktifisnya sanggup melakukan aksi-aksi bom bunuh diri dengan keyakinan bahwa mereka mengikuti kebenaran ilahi. Mereka menganggap diri sebagai pembela akidah agama, yang dianggap sedang terancam dan terhina oleh aspek-aspek kehidupan modern yang sangat sekularistik.25 Kedua, perjuangan kelompok teroris agama ini biasanya melibatkan beberapa generasi demi meraih puncak keberhasilan. Mereka tidak muncul tibatiba dan mereka juga tidak berjuang sendiri. Selalu ada pihak-pihak yang siap memberi dukungan, baik di dalam maupun di luar negeri. Ketiga, kelompok teroris agama biasanya juga merupakan kelompok-kelompok marjinal di dalam masyarakat dan/atau yang teralienasi di tengah komunitas agama mereka sendiri. Itulah sebabnya aksi kekerasan mereka kerap merupakan sebentuk upaya untuk menyeimbangkan marjinalitas; sebagai suatu cara mengukuhkan status sosial mereka di dalam masyarakat dan memperkuat identitas mereka di tengah komunitas agama. 26 Dari sekelumit uraian tentang terorisme berbasis agama di atas, dapat dinyatakan bahwa terorisme berbasis agama merupakan bentuk terorisme yang dijustifikasi atau dilegitimasi berdasar ajaran-ajaran agama. Dengan kata lain, 24 Ibid., 25 Ibid., 26 Ibid.,
108
A. Muchaddam Fahham bagi kelompok terorisme ini, ajaran-ajaran agama merupakan dasar legitimasi perjuangan yang memberi daya dorong kuat untuk melakukan aksi teror. Di samping itu, ciri utama terorisme berbasis agama dapat dilihat pada: (1) aksi teror yang dilakukan didorong oleh justifikasi ajaran keagamaan yang mereka pahami sebagai tugas suci keagamaan,27 (2) kelompok ini memiliki sebuah skenario cosmic war yang dilegitimasi dari ajaran agama; (3) basis sosial kelompok ini bisa berasal dari kalangan mapan secara ekonomi, berpendidikan, sehat, dan saleh. Di samping itu, bisa juga berasal dari kelompok marjinal di tengah-tengah komunitas agama mereka sendiri. Penanganan Terorisme Perdebatan ada tidaknya terorisme yang diinspirasi oleh agama tidak perlu diperpanjang, sebab terorisme versi ini eksis di Indonesia. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana terorisme dapat ditanggulangi. Ada dua bentuk penanggulangan terorisme yang bisa dilakukan, pertama, pendekatan struktural dan kedua, adalah pendekatan kultural. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural dalam penanganan terorisme lazimnya dilakukan oleh negara. Dalam konteks Indonesia, upaya-upaya struktural itu dapat dilihat dalam berbagai kebijakan Pemerintah terhadap terorisme.28 Dalam pandangan negara, tindakan teror adalah perbuatan melanggar hukum, karena itu perlu ada seperangkat aturan yang dibuat untuk meminimalisir tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok terorisme. Dalam konteks Indonesia, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh teroris disebut dengan tindak pidana terorisme. 27 Dalam konteks Islam, ajaran yang kerapkali dijadikan basis legitimasi terror adalah jihad. Bagi mereka jihad merupakan tugas suci yang harus diemban oleh kaum Muslim untuk menumpas para penentang ajaran Tuhan (kaum kafir). Berdasar pemahaman jihad yang demikian, para teroris sejatinya telah membelokkan pengertian atau pemahaman tentang jihad dalam Islam. Sebab jihad dalam konteks Islam, bukanlah melakukan terror, bukan pula melakukan bom bunuh diri untuk membunuh orang lain yang tidak berdosa. Sebab dalam pandangan Islam kita tidak boleh membunuh siapapun tanpa dasar yang dibenarkan oleh agama. Dalam konteks perang misalnya, Islam membolehkan untuk membunuh musuh, tapi melarang merusak rumah ibadah, menebang pohon, membunuh anak dan perempuan yang tidak berdosa. 28 Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam menangani terorisme di Indonesia adalah: penangkapan pelaku teror, penelusuran dana yang diduga digunakan untuk aksi teror, dan latihan gabungan antara Polri dan TNI yang dilakukan di Hotel Borobudor tanggal 13 Mei 2020. lihat lebih lanjut, Debora Sanur L, ”Terorisme dan Ideologinya di Indonesia,” dalam Info Singkat Politik Dalam Negeri, Vol II, 06/II/P3DI/Maret 2010.
109
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Hal ini diatur Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasar undang-undang ini, Pemerintah kemudian gencar melakukan penangkapan dan penembakan terhadap teroris. Sejauh ini Pemerintah telah berhasil menangkap 452 teroris dan menembak mati tokohtokoh utama mereka seperti Azahari, Noordin M. Top, Dulmatin, tetapi kematian tokoh-tokoh utama teroris itu tidak mematikan terorisme di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan penangkapan teroris di beberapa wilayah seperti: Aceh, Cawang (Jakarta), Cikampek (Karawang), dan Sukoharjo (Jawa Tengah) pada bulan Mei 2010. Di sisi lain, penembakan aparat kepolisian terhadap tersangka teroris belakangan ini mendapat kritik dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), karena penembakan terhadap tersangka teroris yang dilakukan oleh polisi justru menutup pengungkapan jaringan terorisme dan melanggar hak asasi manusia. 29 Penembakan dan penagkapan yang dilakukan oleh polisi hanya akan mematikan pelaku teror atau teroris tapi tidak mematikan isme teroris.30 Menangkap atau menembak mati teroris adalah salah satu langkah kuratif untuk mengamankan masyarakat dari ancaman aksi teroris. Namun cara itu tetaplah perlu diimbangi dengan pendekatan lain yang bisa bersifat preventif guna mencegah semakin banyaknya masyarakat yang tertarik pada terorisme. Pendekatan Kultural Mencermati penyebab munculnya terorisme, maka penanggulangan terorisme yang hanya mengandalkan pendekatan struktural berupa penegakan hukum, tidak akan mampu mengikis terorisme di Indonesia. Hal itu telah terbukti dengan munculnya jaringan-jaringan terorisme di beberapa daerah di Indonesia pasca kematian tokoh-tokoh teroris. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, penanganan terorisme perlu diimbangani dengan pendekatan kultural yang bersifat preventif. Dengan kata lain, kita dapat menyatakan bahwa penanganan terorisme tidak bisa dilakukan secara instan, ia memerlukan proses penyadaran dan penanaman nilai-nilai luhur keagamaan dan kemanusiaan. Salah satu media dalam proses penyadaran dan penanaman nilai-nilai luhur itu adalah pendidikan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana penanganan 29 Tajuk Rencana, ”Ancaman Terorisme Masih Ada, ” dalam Kompas, 15 Mei 2010, h. 6. 30 Hasibullah Sastrawi, Membasmi Ideologi Terrorisme,” dalam Komaps, 15 Mei 2010.
110
A. Muchaddam Fahham terorisme ini dilakukan? Dalam konteks pendidikan, penanganan terorisme dilakukan melalui proses pembelajaran agama, dengan cara menyusun kurikulum pendidikan agama anti-terorisme untuk kemudian diajarkan dalam proses pembelajaran.31 Mengapa demikian? Pertama, pembelajaran agama merupakan kurikulum yang wajib dilaksanakan di setiap tingkat pendidikan, hal ini memungkinkan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama anti-terorisme dalam proses pembelajaran. Kedua, salah satu faktor yang mendorong munculnya terorisme adalah doktrin agama yang dipahami secara salah oleh para pelaku teror. Karena itu, melalui pembelajaran pendidikan agama anti-teror, para peserta didik diberi bekal pemahaman keagamaan yang terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Ajaran tentang jihad dalam pendidikan agama anti-teror ini dijelaskan secara proporsional, bahwa jihad tidak semata-mata berarti perang, kalaupun jihad itu dimaknai sebagai perang maka perlu dikemukakan bahwa dalam Islam terdapat etika perang, misalnya dilarang membunuh perempuan dan anak-anak, dan dilarang menghancurkan rumah ibadah. Dengan demikian akan jelas bahwa terdapat sejumlah aturan yang diberikan oleh agama Islam dalam peperangan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kurikulum pendidikan agama anti-terorisme itu disusun? Dalam konteks penyusunan ini ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, mengidentifikasi karakteristik pemikiran keagamaan teroris. Karakteristik pandangan keagamaan ini merupakan ideologi32 yang melegitimasi tindakan teror yang mereka lakukan. Atas dasar ideologi ini juga, mereka kerapkali mengklaim bahwa teror yang mereka lakukan adalah perintah Tuhan atau jihad di jalan Allah. (jihad fi sabil Allah). Kedua, memilih perangkat teoritis seputar pengembangan kurikulum pendidikan. Hal ini penting dilakukan karena dengan pijakan teoritis itu dapat diprediksi bangunan kurikulum yang akan disusun. 31 Peran penting institusi pendidikan dalam menangkal masuknya paham terorisme di Indonesia diakui oleh Menteri Agama Suryadarma Ali. Bahkan Pemerintah melalui Kementerian Agama telah melakukan berbagai pendekatan ke berbagai pesantren dan madrasah untuk menjadi benteng pencegah masuknya terorisme ke lembaga pendidikan Islam. Lihat Bali Post, Senin, 15 Maret 2010. 32 Secara sederhana kata ideologi berarti paham, ide, atau pemikiran. Ketika kata ”ideologi” ini digabungkan dengan kata ”teroris” menjadi ”ideologi teroris” maka yang dimaksud dari kata majemuk tersebut adalah pemikiran kegamaan teroris, dengan demikian, ketika mengkaji karakteristik ideologi teroris, maka yang diuraikan adalah bagaimana ciri-ciri utama teroris dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Kajian lebih lanjut tentang ideologi dapat dilihat pada John B. Thompson, Analisis Idelogi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, (Yogyakarta: Ircosod, 2003), Kritik Iedologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, (Yogyakarta: Ircisod, 2004).
111
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Dua langkah di atas, dijelaskan dalam uraian-uraian berikut ini: Pertama, kerakteristik ideologi terorisme. Namun sebelum lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa kajian tentang karakteristik ideologi terorisme dalam artitel ini, dibatasi pada konteks agama Islam. Meskipun sejatinya tidak berarti bahwa terorisme merupakan fenomena yang hanya terdapat dalam Islam. Sebab terorisme merupakan fenomena berbagai agama di dunia, baik itu Yahudi, Kristen, Islam maupun agama-agama lainnya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa ideologi teroris beranjak dari pemikiran keagamaan kaum fundamentalis atau revivalisme Islam. David Rapport misalnya menyatakan bahwa terorisme berbasis agama merupakan kelanjutan dari fundamentalisme yang kerapkali terlibat dalam berbagai kekerasan.33 Dalam cacatan Dekmeijan, pemikiran keagamaan kaum fundamentalis cukup beragam, namun ada prinsip-prinsip pokok yang selalu mereka rujuk: (1) din wa dawlah, bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, tempat, dan waktu. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan negara (dawlah). (2), fondasi Islam adalah al-Qur’an, sunnah Nabi, dan tradisi para sahabatnya. Umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam yang awal dan praktekpraktek Nabi yang asli; (3), puritanisme dan keadilan sosial. Umat Islam diperintahkan untuk menjaga nilai-nilai Islami, baik dalam pergaulan dan pembagian peran laki-laki dan perempuan, maupun kehidupan sehari-hari. Mereka wajib membentengi diri dari pengaruh budaya asing. Hal lain yang penting dalam mewujudkan kehidupan Islami adalah tegaknya keadilan sosial-ekonomi. Pembangunan ekonomi Islami, selain harus meningggalkan sistem riba, juga harus memutus ketergantungan kepada Negara-negara Barat, (4), kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Tujuan umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di bumi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menetapkan tatanan Islam (nizam islami) di mana syari’ah sebagai undang-undang tertinggi, (5) jihad sebagai pilar menuju nizam islami. Untuk mewujudkan tatanan islami, diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh. Sebab mereka harus menghancurkan tatanan jahiliyyah dan menaklukkan kekuasaan-kekuasaan duniawi mereka melalui jihad. Tujuan jihad adalah menaklukkan semua kalangan yang mungkin akan menghambat penyiaran Islam ke seluruh dunia, apakah halangan itu 33 Michael Freeman, “The Rise of Islamic Extremist Terrorism,” h. 2.
112
A. Muchaddam Fahham berupa Negara, sistem sosial, dan tradisi-tradisi asing. Jihad ini mesti dilakukan secara komprehensif, termasuk dengan cara kekerasan.34 Selanjutnya Suratno melihat setidaknya empat karakteristik ideologi teroris; (1) rigiditas, perwujudan praktek-praktek Islam dilakukan dengan pemahaman yang kaku. Kebanyakan teroris menolak fleksibilitas penerapan ajaran Islam yang menunjukkan bahwa fleksibilitas penerapan ajaran Islam dalam konteks yang berbeda dan spesifik; (3) literalisme. Kebanyak teroris memahami al-Qur’an dan hadis dalam sense yang literal; (4), generalisasi. Kebanyakan teroris melihat dunia dalam bentuknya yang sederhana, yakni membagi manusia dalam dua bagian, Muslim dan kafir, tanpa mempertimbangakan situasi atau lingkungan dunia yang mengitarinya. Keempat, absolutisme dan penolakan. Teroris memandang pendapat mereka sebagai kebenaran mutlak, dan atas nama Tuhan, merekan cenderung menolak pendapat pihak lain.35 Berdasar karakteristik ideologi terorisme itu, kita dapat mengembangkan kurikulum pendidikan agama dalam tiga hal utama: orientasi, metode, dan isi dari kurikulum itu. Orientasi kurikulum pendidikan anti-terorisme adalah transformasi nilai-nilai keagamaan dalam proses pembelajaran. Karena itu, proses pembelajaran nilai-nilai keagamaan mesti dilakukan secara dialogis, bukan indoktrinasi yang melahirkan kebenaran tunggal. Sebab dalam Islam, ajaranajarannya dipahami secara beragam. Hal itu, terlihat dari banyaknya mazhab pemikiran dalam Islam, baik dari sisi hukum Islam (fikih), maupun dari sisi teologis. Jika prores pembelajaran dilakukan secara indoktrinasi, maka peserta didik hanya akan memiliki pengetahuan keagamaan yang sempit, tidak toleran terhadap perbedaan, yang pada akhirnya akan melahirkan fundamentalisme konservatif, radikalisme, bahkan terorisme. Selanjutnya, terkait dengan orientasi pembelajaran yang dialogis itu, maka metode pembelajaran pun, mestilah berubah. Metode pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik, dapat dipilih sebagai alternatif metode dalam proses pembelajaran nilai-nilai keagamaan. Dalam pembelajaran aktif, guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi bagi siswa, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk berpikir kreatif, rasional, dan kritis dalam memahami ajaran-ajaran agama dalam pembelajaran. Dalam pem34 Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan, Terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 14-15. 35 Suratno, “Developing a anti-terrorism curriculum,” The Jakarta Post, December 10, 2009.
113
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik belajaran aktif guru mendorong siswa untuk berani bertanya, bahkan mempertanyakan materi-materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Terakhir tentang isi atau materi pembelajaran pendidikan agama antiterorisme hendaknya tidak hanya bertumpu pada aspek-aspek normatif dari agama, tetapi juga harus mencakup aspek-aspek moral dan sikap sosial. Dalam pembelajaran fikih penekanan tidak hanya pada sejauh mana siswa mampu mempraktekkan salat dan puasa misalnya, tetapi juga harus mampu melampaui aspek normatif dari salat dan puasa, yakni bagaimana moralitas salat dan puasa itu dapat dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Seperti diketahui salat sejatinya mengajarkan ketundukkan kepada Tuhan melalui simbol-simbol ritual, tetapi mengajarkan sikap sosial untuk menebarkan kedamaian dan keselamatan dalam kehidupan sosial, hal ini disimbolkan oleh ucapan salam dengan menengok ke kana dan ke kiri kita mengakhiri salat. Sementara puasa, secara normatif, ritual ini mengajarkan manusia agar selalu menjaga hubungan batin dengan Tuhan sang Pencitanya dimana dan kapan pun mereka berada, yang secara konseptual disebut al-Qur’an dengan takwa. Tapi dalam pembelajaran tidak bisa jika hanya berhenti pada pemenuhan aspek normatif itu, ajaran puasa mesti dijelaskan lebih jauh sebagai medium kepedulian sosial terhadap kemiskinan, penderitaan fakir miskin, dan kepapahan yatim piatu. Sikap-sikap sosial yang demikian setidaknya dapat mengantarkan peserta didik untuk hanya patuh pada aspek formal dari ritual-ritual keagamaan, tapi juga menyelami makna moralitas sosialnya. Ajaran Islam yang dijadikan dasar legitimasi tindakan teroris adalah jihad. Secara bahasa kata jihad berasal dari kata dasar jahada, yajhadu, al-juhdu, aljahdu memiliki lebih dari 20 arti, namun semuanya berkisar pada arti al-thaqah (kemampuan), al-masyaqqah (kesulitan), al-wus’u (kesulitan), al-qital (perang), dan al-mubalagah (bersungguh-sungguh). Dalam pandangan ulama fikih: Imam Ibn al-Humam dari mazhab Hanafi menyatakan,”jihad adalah mendakwahi orang kafir kepada agama yang benar dan memerangi mereka kalu tidak mau menerima.” Sementara Imam al-Kasani berpendapat, “Mengerahkan segala kemampuan dalam berperang di jalan Allah dengan nyawa, harta, lisan, atau dengan lainnya.” Dalam mazhab Maliki, Imam Ibn Arafah berpendapat, “jihad adalah berperangnya orang Islam melawan orang kafir yangtidak terikat perjanjian, atau karena mereka memasuki daerah kaum Muslimin.” Sementara Ibn Rusyd menyatakan, “Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah berarti telah ber114
A. Muchaddam Fahham jihad di jalan Allah. Namun, sesungguhnya jihad fi sabil Allah kalau berdiri sendiri, maka tidak ada maksud lain selain memerangi orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan hina.” Dalam mazhab Syafi’i, Imam Ibn Hajar al-Asqalani berpendapat, “secara syar’i adalah mengerahkan tenaga dalam memerangi orang kafir.” Sementara Imam al-Qasthalani berkata,”memerangi orang kafir untuk memenangkan Islam dan meninggalkan kalimat Allah. Dalam mazhab Hambali. Jihad dikatakan sebagai perang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk meninggikan kalimat Allah.36 Dalam al-Qur’an ajaran jihad terdapat dalam Q.S. al-Furqan/25:52. Ayat ini menurut ijma ulama turun pada periode Mekah. Berdasarkan ayat ini, jihad dalam Islam sudah diperintahkan jauh sebelum adanya perintah untuk melakukan perang, karena perintah perang baru disampaikan pada periode Madinah, tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijrah yang dikenal dengan peristiwa Perang badar. Perang ini selanjutnya dalam sejarah Islam dicatat sebagai awal terjadinya kontak senjata antara Islam dengan orang kafir. Berdasarkan Q.S. al-Furqan/25:52 di atas serta fakta sejarah tentang peperangan dalam Islam dapat dinyatakan bahwa jihad yang pertama kali diperintahkan al-Qur’an tidak terbatas pada jihad dalam pengertian peperangan, tetapi mencakup banyak aktivitas keagamaan lainnya. Menurut al-Qur’an tujuan jihad antara lain adalah: (1) untuk memperluas penyebaran agama; (2) untuk menguji kesabaran; (3) mencegah ancaman musuh; (4) mencegah kezaliman; dan (5) untuk menjaga perjanjian. 37 Sementara para teroris selalu memahami ajaran ini dengan berperang di jalan Allah (jihad fi sabil Allah).38 Padahal jihad, tidak harus selalu berarti perang. Kalau pun dimaknai sebagai perang, ajaran tentang ini memiliki sejumlah persyaratan. Bagaimana sejatinya ajaran jihad harus dipahami dalam konteks modern, inilah adalah tantangan yang dihadapi para praktisi pendidikan 36 Yusuf Uyairi, Muslimah Berjihad: Peran Wanita di Medan Jihad, terj. (Solo: Islamika, 2000), 13. 37 Rohimin, Jihad Makna dan Makna (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 90. 38 Imam Samudra salah satu pelaku terror dalam bom Bali, membagi pengertian jihad menjadi tiga: (1) Dari segi bahasa (etimologi), jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan; (2) Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya; (3) Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan jihad fi sabil Allah. Lalu ia membagi tahapan hukum jihad menjadi empat: (1) Tahap Pertama: Menahan diri; (2) Tahap Kedua: Izin untuk berperang; (3) Tahap Ketiga: Kewajiban berperang secara terbatas; (4) Tahap Keempat: Kewajiban memerangi seluruh kaum kafir atau musyrik.
115
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Islam. Jika merujuk pada ucapan Nabi setelah perang Badar, jihad dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama, jihad al-nafs, yaitu upaya memerangi hawa nafsu yang cenderung mendorong manusia untu melakukan apa saja yang dilarang oleh agama. Jihad versi pertama ini justru disebut Nabi sebagai jihâd al-akbâr, yakni jihad yang paling besar atau paling susah untuk dilakukan karena yang kita perangi adalah hawa nafsu kita sendiri. Bentuk jihad yang kedua adalah berperang melawan orang kafir, inilah yang sering disebut dengan jihad fi sabil Allah, meskipun merupakan bentuk perjuangan fisik dan materi yang tidak jarang memakan nyawa, oleh Nabi jihad dalam bentuk kedua ini disebut sebagai jihâd al-ashghar, yakni jihad yang paling kecil. Para teroris memahami bahwa semua orang kafir wajib diperangi. Dalam konteks modern, orang kafir bagi teroris adalah Amerika dan para sekutunya, karena itu mereka harus diperangi dan perang yang dilakukan terhadap Amerika dan sekutunya inilah yang mereka sebut dengan jihad fi sabil Allah. Pemahaman teroris tentang apa itu dan siapa itu orang kafir, tentu saja perlu diluruskan. Dalam lembaran kitab-kitab fikih, orang kafir itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kafir harbi, kafir mua’ahhad, dan kafir dzimmi.39 Pertama, yang disebut dengan kafir harbi, adalah semua musyrik dan ahl al-kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslim. Kedua, kafir mua’ahhad, adalah orang kafir yang membuat perjanjian dengan kaum Muslim. Ketiga, kafir dzimmi, adalah orang kafir hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum muslimin dengan membayar Jizyah (pajak). Dari formulasi di atas, orang kafir yang dapat diperangi adalah kafir harbi saja. Meskipun demikian rumusan ulama fikih tentang orang kafir harbi itu, tidak boleh dipahami secara literal, tapi harus dipahami secara kontekstual, artinya dalam kondisi apa formulasi ulama fikih ini dirumuskan. Sebab jika dipahami secara literal, maka kita boleh saja membunuh setiap orang kafir yang kita anggap harbi kapan saja. Padahal dalam konteks perang, Nabi menyatakan bahwa kaum Muslim tidak boleh membunuh orang yang tidak ikut berperang, misalnya: perempuan, anak-anak, orang tua, orang sakit, pendeta, dan orang buta. Dengan demikian, dapat dipertanyakan, siapa sesungguhnya yang punya kewenangan untuk memerintahkan kaum Muslim berperang? For39 Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady khayr al-ibad, (ttp: Muassasah al-Risalah, 1421 H), Jilid, 3, 145.
116
A. Muchaddam Fahham mulasi tiga kategori kafir di atas, hemat penulis dirumuskan dalam konteks perlindungan negara terhadap warga negara. Sehingga yang berwenang untuk menyerukan peperangan haruslah negara, bukan individu. Kalaupun individu haruslah dimulai dulu oleh negara, baru boleh muncul inisiatif individu untuk menyerukan perang. Pendeknya, perlu ada upaya pemahaman ulang terhadap formulasi-formulasi pandangan keagamaan yang dirumuskan beberapa abad yang dalam konteks kekinian, jika tidak akan memunculkan pemahaman keagamaan yang literal, rigid, dan sewenang-wenang. Maka penekanan penting yang perlu dikembangkan dalam kurikulum pendidikan agama anti-terorisme adalah bagaimana pemahaman siswa terhadap ajaran-ajaran keagamaan itu tidak bersifat rigid, literal, dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Dan inilah tantangan yang mesti dipecahkan dalam pendidikan agama anti-terorisme. Penutup Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: pertama, secara umum terorisme muncul akibat dari keputusasaan, keinginan mencapai popularitas, keinginan untuk membalas dendam, dan sistem sosial-politik yang dinilai tidak adil. Di sisi lain, terorisme dapat muncul akibat dari kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran kegamaan. Salah satu ajaran agama dalam Islam yang seringkali disalahpahami adalah jihad. Kedua, terorisme berbasis agama adalah terorisme yang menggunakan agama sebagai legitimasi tindakan-tindakan teror mereka. Keyakinan keagamaan mereka gunakan untuk memperkuat dan membenarkan tindakan teror yang mereka lakukan. Keyakinan keagamaan sendiri sejatinya bertentangan dengan tindakan teror, tetapi karena demi mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan maka ajaran agama mereka gunakan sebagai pembenar, hal ini terutama untuk merekrut penganut agama yang tidak memiliki pemahaman keagaman yang mumpuni. Ketiga, penanganan terorisme berbasis agama itu dapat dilakukan dengan dua pendekatan utama, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan struktural dilakukan oleh negara melalui aparatus kepolisian demi demi tegaknya hukum tindak pidana terorisme. Pendekatan kultural dilakukan dengan cara membangun kesadaran etis keagamaan yang ramah terhadap perbedaan, baik perbedaan pandangan keagamaan maupun pandangan sosial117
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik politik. Membangun kurikulum pendidikan agama anti-terorisme adalah hal yang mungkin dilakukan mengingat terorisme yang muncul di Indonesia adalah terorisme berbasis agama. Di samping itu, pendidikan agama merupakan kurikulum yang wajib ada pada setiap tingkat satuan pendidikan di Indonesia. Kondisi ini memungkinkan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama anti-terorisme. Karena pentingnya, penanganan terorisme berbasis agama melalui pendekatan kultural, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, perlu merumuskan kurikulum pendidikan agama anti-teorisme, jika hal ini tidak bisa dilakukan sebagai sebuah kurikulum yang berdiri sendiri, maka perumusan kurikulum tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi dengan kurikulum pendidikan agama yang kini telah ada. Jika hal ini sulit dilakukan, maka setidaknya Kementerian Agama dapat melatih guru pendidikan agama tentang pendidikan agama anti-terorisme ini.
118
A. Muchaddam Fahham
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post, Senin, 15 Maret 2010. Debora Sanur L, ”Terorisme dan Ideologinya di Indonesia,” dalam Info Singkat Politik Dalam Negeri, Vol II, 06/II/P3DI/Maret 2010. Hasibullah Sastrawi, Membasmi Ideologi Terrorisme,” dalam Komaps, 15 Mei 2010. Husnul Isa Harahap, “Mengutuk Terorisme, “ dalam Kompas, 29 Maret 2009. Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady khayr al-ibad, ttp: Muassasah alRisalah, 1421 H. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001. Jessica Stern, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill, HarperCollins Publishers, 2004. John B. Thompson, Analisis Idelogi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Yogyakarta: Ircosod, 2003), --------------, Kritik Iedologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Yogyakarta: Ircisod, 2004. Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise Religious Violence, California: California University Press, 2003. Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi Jakarta: UI Press, 1992. Media Indonesia, Editorial, “Mengikis Habis Jaringan Teroris,” Jumat, 14 Mei 2010.
119
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Michael Freeman, ”The Rise of Islamic Extremist Terrorism: A Look at the Supply of an Ideology,” Artikel tidak diterbitkan. Munajat, “Terorisme Berakhir?” Dalam Republika, 10 Agustus 2009. Rosyada, ”Peperangan Melawan Terorisme,” dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tt. Rudolf Heberle, Social Movement: A Introduction to Political Sociology (New York: Appleton Century, 1951); Robert H. Lauer (ed.), Social Movement and Social Change. London & Amsterdam: Feffer and Simon, 1979. Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan, Terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),. Suratno, “Developing a anti-terrorism curriculum,” The Jakarta Post, December 10, 2009. Tajuk Rencana, ”Ancaman Terorisme Masih Ada, ” dalam Kompas, 15 Mei 2010. Victor Silaen, “Terorisme Agama,” dalam Majalah Mimbar Politik, edisi 16, 1-7 September 2009.
120
BAGIAN KEDUA IMPLEMENTASI
Lukman Nul Hakim
PEMBENTUKAN UU KESEHATAN JIWA SEBAGAI UPAYA MENDORONG PEMBANGUNAN SOSIAL Lukman Nul Hakim1
PENDAHULUAN Saat ini Rancangan Undang-undang Kesehatan Jiwa telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014, namun demikian belum menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2010 maupun 2011. Diharapkan DPR dapat menyepakati agar RUU ini masuk dalam prioritas tahun 2012 karena semakin hari permasalahan kesehatan jiwa kian menjadi isu yang sangat penting dan mendesak. WHO (Irmansyah, 2009) melaporkan bahwa dari 10 masalah kesehatan utama yang menyebabkan disabilitas, 5 diantaranya adalah masalah kesehatan jiwa yaitu; depresi, ganguan bipolar, skizofrenia, alkoholis, dan obsesif kompulsif. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan (2009) menuliskan bahwa menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi mencapai sebesar 11,6 % dari populasi orang dewasa. Dengan jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000, maka ada sekitar 1.740.000 orang dewasa di Indonesia yang saat ini mengalami gangguan mental emosional. Dalam editorial Media Indonesia edisi 24 Agustus 2008 Departemen Kesehatan RI mengakui bahwa sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Sedangkan World Health Organization 1 Penulis adalah anggota Tim Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR RI. E-mail:
[email protected].
123
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik menyatakan bahwa 26 juta dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Fakta tersebut mengatakan bahwa setiap 1 dari 4 orang di Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, atau dengan kata lain 1 dari 4 orang di sekeliling kita mungkin mengalami gangguan kejiwaan. Itu merupakan fakta yang sangat mencemaskan. Bentuk gangguan kejiwaan bervariasi dari yang bersifat ringan hingga yang sangat berat. Pada skala ringan gangguan dapat berupa rasa kecemasan, delusi cemburu, takut yang tidak rasional. Sedangkan pada skala yang lebih berat dapat berupa kepribadian ganda, skizoprenia, dll. Gangguan-gangguan tersebut termanifestasi dalam bentuk perilaku yang tidak rasional, seperti berperilaku tanpa rasa malu (misalkan telanjang dimuka umum), perilaku bunuh diri, perilaku anarkis, membunuh, dll. Kenyataannya belakangan ini perilaku-perilaku menyimpang semacam itu makin sering terjadi. Media merekam beberapa kasus yang ekstrim misalkan pembunuhan berantai disertai mutilasi oleh Baekuni terhadap 14 orang anak laki-laki (kompas, 2010)2. Pertikaian antar warga di Tarakan yang mengakibatkan 5 orang meninggal dunia (Tribunnews, 2010)3, kerusuhan yang mengakibatkan setidaknya 46 kendaraan hangus terbakar ketika Satuan Polisi Pamong Praja terkait sengketa lahan Makam Mbah Priok di Tanjung Priok Jakarta Utara (Liputan6, 2010)4, tindakan seorang ibu yang membakar diri dan 2 orang anaknya hingga meninggal (Media Indonesia, 2010)5, dll. Ketidakmampuan mengendalikan ketidakstabilan emosi yang berujung pada tindakan bunuh diri, hanya di Jakarta saja telah memakan 220 korban dalam 3 tahun terakhir. Dengan modus yang paling sering digunakan adalah gantung diri, terjun bebas, potong urat nadi, membakar diri, minum racun, menceburkan diri dan menembak diri. Fenomena bunuh diri juga terjadi di Provinsi Bali dimana dalam setahun terakhir 2 Baekuni alias Babeh mensodomi dan membunuh 14 orang anak berusia antara 7 – 12 tahun dengan sebagian dari korban dimutilasi dalam rentang waktu antara tahun 1993 – 2009. 3 Berawal dari perkelahian antar remaja pada 26 September 2010 di Tarakan Kalimantan Timur yang berakibat pada pertikaian antar keluarga dan menjurus pada antar suku. Peristiwa ini mengakibatkan 5 orang tewas. (Tribunnews, 2010) 4 Sengketa lahan di area pemakaman Mbah Priok alias Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, Koja, Jakarta Utara pada hari Rabu 14 April 2010, berubah menjadi pertikaiaan berdarah. Lebih dari seratus orang, baik dari warga maupun petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan polisi mengalami luka-luka. (www.buser.liputan6.com) 5 Di Klaten, pada 12 Agustus 2010 seorang Ibu bernama Khoir Umi Latifah bunuh diri dengan membakar diri dan kedua anaknya yang berusia 4 dan 2,5 tahun. Diduga motifnya adalah himpitan ekonomi dan curiga suami berselingkuh. (Media Indonesia 15 Agustus 2010).
124
Lukman Nul Hakim telah terjadi 146 kasus aksi bunuh diri, sebuah peningkatan angka yang sangat tinggi setelah tahun sebelumnya ‘hanya’ 39 kasus. Bahkan Psikiater asal Bali Ibu Luh Ketut Suryani berani memprediksi bahwa jika tidak ada intervensi dari pemerintah, maka akan ada lebih dari 9000 orang yang terganggu mentalnya di Bali. Sementara bagi penderita gangguan schizophrenia di Indonesia kondisi mereka juga sangat mengenaskan. Dipercaya diseluruh Indonesia terdapat ribuan penderita yang mengalami pemasungan dan tidak mendapatkan perawatan yang manusiawi. Fakta-fakta diatas sungguh sangat mengkhawatirkan. Pada kenyataannya memang semakin hari kompleksitas permasalahan orang-orang semakin tinggi. WHO bahkan memprediksi pada tahun 2020 mendatang depresi akan menjadi penyakit urutan kedua dalam menimbulkan beban kesehatan (Irmansyah, 2009). Khusus di Indonesia prevalensi terjadinya gangguan mental menjadi semakin tinggi karena seringnya terjadi bencana alam. Pengalaman traumatis seperti bencana alam biasanya akan mengguncang jiwa orang-orang yang berhasil selamat. Guncangan jiwa pasca sebuah peristiwa traumatis adalah hal yang wajar terjadi, akan tetapi harus dilakukan intervensi psikologis agar bisa segera keluar dari trauma tersebut untuk kemudian hidup secara normal. Ditengah arus globalisasai yang semakin kuat dan persaingan antar Negara semakin tinggi, kesehatan mental dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat lajunya pembangunan sosial bangsa Indonesia. Sehingga mengganggu pencapaian visi misi nasional. Pada skala individu, kondisi tidak sehat mental dapat menghambat potensi dalam dirinya secara pribadi, sedangkan kondisi tidak sehat mental yang kolektif pada bangsa ini dapat memperlambat kemampuan Indonesia untuk menjadi bangsa yang kompetitif untuk menghadapi masa mendatang. Maka diperlukan sebuah upaya sistimatis untuk memperbaiki situasi ini agar Indonesia terhindar dari kondisi yang lebih buruk. Karenanya setiap pembahasan mengenai pembangunan sosial bangsa harus mengikutsertakan pembahasan kesehatan mental didalamnya. KESEHATAN MENTAL Sehat adalah dalam keadaan baik sekujur badan serta bagian-bagiannya, bebas dari sakit atau penyakit, dalam keadaan waras, sedangkan mental adalah berhubungan dengan pikiran atau jiwa (KBBI, 2009). Maka kesehatan mental dapat diartikan kondisi pikiran dan jiwa yang berada dalam keadaan baik, waras dan bebas dari penyakit. 125
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Zakiah Darajat (2001) memberikan beberapa pengertian mengenai kesehatan mental, yaitu terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neuroses) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psikosis) ; kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup ; pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membaur kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa; terwujudnya kerharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Alexander A. Schneiders (dalam Semiun, 2006) menuliskan bahwa terdapat 8 kriteria mental yang sehat, yaitu mental yang efisien; pikiran dan tingkah Laku yang terkendali dan terintegrasi; motif-motif yang terintegrasi, serta konflik dan frustasi yang terkendali; perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang positif dan sehat; ketenangan atau kedamaian pikiran; sikap-sikap yang sehat; konsep diri (Self-Concept) yang sehat; identitas ego yang adekuat; dan hubungan yang adekuat dengan kenyataan Lebih jauh Semiun (2006) mengatakan bahwa orang yang sehat secara mental mempunyai sikap menghargai diri sendiri, memahami dan menerima keterbatasan diri sendiri dan keterbatasan orang lain, memahami kenyataan bahwa semua tingkah laku ada penyebabnya, dan memahami dorongan untuk aktualisasi-diri. Sebaliknya, seseorang dikatakan tidak sehat secara mental jika ia mempunyai emosi yang tidak terkendali, secara kepribadian tidak matang sesuai usianya, tidak mampu menghadapi tekanan hidup, mempunyai tingkat kecurigaan yang tinggi pada orang lain, agresif, dll. Berdasarkan uraian diatas dapat disarikan bahwa seseorang dikategorikan sebagai sehat mental ketika ia dapat mencapai kapasitas optimum dari potensi yang ada dalam dirinya tanpa terganggu oleh masalah-masalah yang bersifat psikologis/mental. JENIS-JENIS GANGGUAN MENTAL Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV American Psychological Association, yaitu buku rujukan utama para psikiater dan psikolog klinis untuk mendiagnosis kelainan/gangguan/penyakit mental/kejiwaan, gang126
Lukman Nul Hakim guan mental dibagi dalam 5 axis (sendi/kelompok). Axis I mencakup gangguan klinis (kondisi-kondisi lain yang merupakan fokus perhatian klinis), axis II mencakup gangguan kepribadian dan retardasi mental, axis III kondisi-kondisi medis umum, axis IV mencakup masalah-masalah psikososial dan lingkungan, axis V mencakup fungsi asesment global. Untuk memberikan gambaran singkat mengenai jenis-jenis gangguan mental akan dituliskan beberapa gangguan mental yang relatif sering ditemukan dimasyarakat: • Anxiety disorders (Gangguan Kecemasan). Orang dengan gangguan kecemasan berespon terhadap beberapa objek atau situasi dengan rasa takut dan kengerian yang disertai tanda-tanda kecemasan ataupun grogi secara fisik, contohnya seperti berkeringat dan jantung berdegup kencang. Seseorang didiagnosa sebagai memiliki gangguan kecemasan jika respon orang tersebut tidak sesuai dengan situasi, atau jika orang tersebut tidak dapat mengontrol responnya, atau jika kecemasan itu mengganggu orang tersebut untuk berperilaku normal. Terdapat beberapa macam gangguan kecemasan seperti generalized anxiety disorder, post traumatic stress disorder (PTSD), obsessive compulsive disorder, panic disorder, social anxiety disorder dan phobia. • Mood disorder (Gangguan Mood). Disebut juga sebagai gangguan afeksi. Gangguan ini melibatkan perasaan yang terus menerus sedih ataupun terus menerus senang yang berlebihan, atau fluktuasi sangat senang dan sangat sedih. Bentuk mood disorder yang umum adalah depression, mania dan bipolar. • Psychotic Disorder (Gangguan Psikotis). Gangguan ini melibatkan distorsi kesadaran dan pikiran. Dua dari symptom psychotic disorder yang paling umum dijumpai adalah halusinasi dan delusi. Halusinasi adalah melihat bayangan ataupun mendengar suara-suara yang tidak nyata. Sedangkan delusi adalah meyakini kesalahan sebagai sebuah kebenaran meskipun telah dihadapkan pada fakta-fakta yang menentang keyakinannya. Contoh gangguan ini adalah schizophrenia. • Eating Disorder (Gangguan Makan). Gangguan ini melibatkan emosi, sikap dan perilaku ekstrim yang melibatkan berat badan dan makanan. Bentuk gangguan yang paling sering dijumpai adalah anorexia, bulimia nervosa dan binge eating disorder. • Impulse Control and Addiction Disorder (Gangguan Mengontrol Dorongan dan Ketergantungan). Orang yang mengalami gangguan ini tidak dapat 127
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
•
•
•
•
•
Manahan dorongan untuk melakukan suatu tindakan yang dapat menyakiti dirinya sendiri ataupun orang lain. Contohnya adalah pyromania (dorongan menyalakan api), kleptomania (dorongan mencuri), compulsive gambling (dorongan berjudi). Sedangkan alcohol dan obat-obatan terlarang merupakan objek yang sering dijadikan ketergantungan. Seringkali orang dengan gangguan ini menjadi sangat terikat dengan objek ketergantungannya sehingga mereka tidak perduli dengan tanggung jawab dan hubungan sosial. Personality Disorder (Gangguan Kepribadian). Orang dengan gangguan ini mempunyai karakter kepribadian yang ekstrim dan tidak fleksibel sehingga mengganggu dirinya sendiri, atau menyebabkan masalah disekolah, ditempat kerja ataupun hubungan sosial lainnya. Cara berfikir dan perilaku orang ini berbeda dengan harapan masyarakat. Sebagai contoh antisocial personality disorder, obsessive compulsive personality disorder, dan paranoid personality disorder. Adjustment Disorder (Gangguan Penyesuaian). Yaitu sebuah gangguan yang muncul ketika penderita dalam kondisi yang emosional dikarenakan stimulasi kejadian atau situasi yang menciptakan stress. Stimulannya dapat berupa bencana alam, kecelakaan, perceraian, ditinggal mati orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, ataupun dikarenakan pelecehan. Adjustment disorder biasanya terjadi dalam rentang waktu 3 bulan setelah kejadian, dan akan berakhir setelah 6 bulan. Dissociative Disorder (Gangguan Disosiasi). Gangguan ini sebelumnya lebih dikenal sebagai multiple personalitu disorder atau split personality. Orang yang mengalami dissociative disorder menderita perubahan ataupun gangguan ingatan, kesadaran, identitas dan pengetahuan yang umum tentang dirinya sendiri dan sekelilingnya. Penyebab gangguan ini biasanya stress yang luar biasa yang dikarenakan kejadian yang traumatis, kecelakaan, bencana, dll, yang biasanya dirasakan oleh korban secara langsung Factitious Disorder (Gangguan Palsu). Adalah sebuah kondisi dimana seseorang menciptakan gejala sakit secara fisik ataupun emosional dalam rangka mendapatkan perhatian sebagai orang yang sakit dan butuh bantuan. Sexual and Gender Disorder (Gangguan Gender dan Seksual). Contoh gangguan ini yaitu sexual dysfunction, gender identity disorder, pedophilia. Gangguan ini terkait dorongan seksual yang tidak sepatutnya, dan gangguan kinerja seksual. 128
Lukman Nul Hakim • Somatoform Disorder (Gangguan Somatoform). Gangguan ini biasa disebut Psikosomatis. Sebuah kondisi dimana seseorang merasakan symptom fisik meskipun sebenarnya tidak ditemukan penyebab medis. • Gangguan Tic. Orang dengan gangguan ini melakukan gerakan atau membuat suara tertentu secara berulang-ulang, dengan cepat, tiba-tiba dan tidak terkontrol. Contoh gangguan Tic adalah sindrom taourette. • Gangguan lainnya yang banyak muncul dimasyarakat adalah gangguan tidur (insomnia), dementia dan Alzheimer. DAMPAK KESEHATAN MENTAL PADA KESEHATAN FISIK Beberapa bentuk ketidak sehatan mental seperti depresi, kecemasan, emosional dan stress tidak hanya berdampak pada perilaku menyimpang, anarkis maupun perilaku bunuh diri seperti ditulis diatas, melainkan juga pada kesehatan fisik. World Federation for Mental Health (WFMH) menuliskan bahwa kesehatan mental juga terkait dengan penyakit diabetes, penyakit jantung, obesitas, dan gangguan pernapasan. WFMH mengestimasi bahwa satu dari empat orang yang terkena diabetes mengalami gejala depresif. Kecenderungan mengalami depresi dua kali lebih tinggi pada orang yang terkena diabetes. Depresi pada penderita diabetes meningkatkan resiko kematian hingga sebesar 30 persen lebih tinggi. Orang yang menderita diabetes dan depresi akan menderita gejala-gejala kedua penyakit tersebut secara lebih buruk, tingkat ketidak mampuan kerja yang lebih tinggi dan lebih banyak menggunakan jasa pelayanan kesehatan dibanding orang yang hanya menderita diabetes saja. Depresi juga dapat mempengaruhi Gaya Hidup. Depresi dapat mengakibatkan penderitanya memakan makanan yang tidak sehat, mengakibatkan kurangnya olah raga, merokok, meminum minuman beralkohol dan peningkatan berat badan. Kondisi-kondisi ini yang membuat penderita diabetes semakin sulit mengontrol kadar gula dalam dirinya. Depresi berkorelasi dengan penyakit jantung. WFMH menuliskan bahwa 1 dari 5 orang penderita penyakit jantung koroner, dan 1 dari 3 orang penderita gagal jantung juga mengalami depresi. Pada orang yang sehat kondisi major depressive disorder merupakan faktor resiko munculnya penyakit jantung koroner. Dan pada orang yang telah terkena penyakit jantung major depressive disorder dapat mengakibatkan kondisi adverse cardiovascular. Pada penderita jantung, 129
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik depresi meningkatkan resiko serangan jantung atau penggumpalan darah. Kondisi depresi yang terus menerus pada orang yang sedang dala tahap recovery meningkatkan resiko kematian hingga 17 persen sejak 6 bulan setelah serangan jantung. Sedangkan pada pasien yang tidak mengalami depresi resiko kematian hanya 3 persen. Depresi dan kecemasan berhubungan dengan kebiasaan yang tidak sehat, seperti makanan yang tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, konsumsi minuman keras, dan kebiasaan tidak sehat tersebut meningkatkan potensi obesitas. Orang yang mengalami depresi kronis mempunyai resiko 60 persen lebih tinggi untuk mengalami obesitas dibanding orang yang tidak mempunyai sejarah depresi. Sedangkan orang dengan sejarah memiliki kecemasan yang kronis mempunyai kemungkinan 30 persen lebih tinggi menderita obesitas dibanding yang tidak mengalami kecemasan. Obesitas berhubungan dengan penyakitpenyakit mematikan seperti penyakit jantung, stroke dan osteoarthritis. Menurut data WFMH, 20 persen pasien yang menderita asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), juga menderita major depression dan atau anxiety. Baik itu generalized anxiety, panic maupun phobia. Sedangkan PPOK sendiri merupakan penyakit yang menyebabkan disability dan kematian, dan menyerang sekitar 11.4 juta orang di Amerika Serikat dan jutaan orang lainnya di seluruh dunia. Depresi dan anxiety berkorelasi dengan memburuknya pernapasan pasien dan penurunan fungsi paru-paru. PERSPEKTIF MEMAHAMI GANGGUAN MENTAL Untuk menganalisa penyebab gangguan mental, dikenal yang namanya Contributory factors atau faktor-faktor yang berkontribusi atas munculnya suatu gangguan mental. Contributory factors adalah hal-hal yang meningkatkan kemungkinan munculnya sebuah gangguan, suatu kondisi yang hadir dan membuka jalan bagi munculnya gangguan mental dalam suatu kondisi tertentu (Robert Carson, dkk, 1996). Selain itu kita juga dapat memahami suatu gangguan mental dari waktu penyebab gangguan itu terjadi. Beberapa faktor penyebab terjadi pada masa kanak-kanak dan mengendap selama bertahun-tahun, faktor penyebab ini disebut distal causal factor. Sementara penyebab lainnya muncul hanya beberapa saat sebelum ‘serangan’ terjadi, dan ini disebut proximal causal factors. Sebagai contoh, seorang anak yang sewaktu kecil merasa ditolak kelahirannya oleh orang tua130
Lukman Nul Hakim nya maka hal itu mengganggunya. Gangguan itu mengendap dan tidak pernah meledak selama bertahun-tahun (distal causal factor), namun sebuah kejadian saat masa dewasa seperti penolakan cinta dari orang yang disukainya, atau kegagalan mendapatkan pekerjaan, dapat menjadi pemicu (proximal causal factors) untuk munculnya gangguan mental. Ia bisa menjadi depresif, merasa tidak berguna, dan lain-lain. Terdapat beberapa perspektif dalam membahas mengenai hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya gangguan mental, yaitu perspektif biologis, perspektif psikososial, dan perspektif sosial budaya. Perspektif Biologis Perspektif ini mencoba memahami permasalahan gangguan mental dengan pendekatan biologis. Perspektif ini memandang gangguan mental sebagai penyakit medis. Gangguan mental dipandang sebagai penyakit pada system saraf otonom (autonomic nervous system), ataupun gangguan pada system endokrin yang keberadaannya disebabkan faktor keturunan ataupun disebabkan sebuah proses patologis. Perspektif ini mempelajari ketidak seimbangan hormon, ketidaksempurnaan genetis dan kerusakan otak. Perspektif Psikososial Perspektif ini menekankan pada pentingnya pengalaman awal interaksi sosial dan kesadaran atas pengaruh sosial dan proses psikologis dalam pertumbuhan seseorang. Faktor-faktor gangguan psikososial adalah semua hal negatif yang mempengaruhi kondisi psikologis seseorang selama mereka tumbuh, sehingga membuat orang tersebut sulit beradaptasi dengan kondisinya. Terdapat empat kategori penyebab gangguan dari perspektif psikososial yaitu kehilangan pada anak-anak dan trauma, pola asuh orang tua yang tidak benar, struktur keluarga yang patologis, hubungan pertemanan yang maladaptif. • Kehilangan Masa Anak-anak Salah satu contoh bentuk kehilangan pada anak-anak adalah kehilangan figur orang tua, baik itu benar-benar tidak mempunyai orang tua (misalnya karena orang tua meninggal), ataupun dikarenakan tidak adanya orang yang memainkan figur sebagai orang tua (orang tua yang terlalu sibuk). Tidak adanya perhatian dan interaksi yang cukup antara anak dengan orang tuanya ataupun pengganti orang tua selama masa-masa pembentukan anak. Kondisi tersebut 131
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dapat ditemui pada banyak anak yatim piatu yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Dimana situasi dan kondisi membuat mereka memandang hidup sebagai tidak stabil, tidak dapat dipercaya dan tanpa rasa kasih sayang. Kondisi kehilangan pada masa anak-anak juga rentan terjadi pada mereka yang tinggal di panti asuhan, anak-anak yang mengalami pelecehan, anak-anak yang memiliki orang tua yang menderita gangguan mental, anak yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak hangat, atau bahkan yang terlalu permisif, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang mempunyai cara komunikasi yang tidak rasional dan pemarah. Hal ini menjelaskan fenomena gangguan mental yang semakin hari semakin meningkat. Kenyataan saat ini semakin banyak keluarga yang kedua orangtuanya bertugas mencari nafkah, sehingga melepaskan tanggung jawab kepada orang lain. Jaman sekarang banyak anak yang dititipkan ke pembantu, kakeknenek, dan saudara lainnya. Ketika orang lain yang diserahi tanggung jawab itu dapat memenuhi peran yang dibutuhkan sang anak -memberikan kasih sayang, memberikan kehangatan, membuat anak merasa disayangi dan dicintai- maka kondisi akan baik-baik saja, akan tetapi jika peran itu gagal dipenuhi sang pengganti orang tua akibatnya adalah tercipta anak-anak yang kurang kasih sayang, tidak mempunyai saluran komunikasi yang baik, yang merasa tidak dicintai. Kondisi-kondisi ini akan membuat anak mencari penyaluran diluar rumah. Anak akan mencari sumber lain yang bisa memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan afeksi, penghargaan, eksistensi. Saluran terdekat yang dapat dipilih seorang anak adalah teman-temannya (peers). Problem selanjutnya adalah ketika sang anak mendekat kepada kelompok atau teman-teman yang ‘positif’ maka hal-hal yang negatif dapat terhindari. Namun apabila kebutuhan-kebutuhan itu justru dipenuhi kelompok anak yang ‘negatif’ maka akan muncul anak-anak yang oleh masyarakat sering dilabeli sebagai anak ‘nakal’. • Trauma Trauma adalah pengalaman tidak menyenangkan yang memberikan kerusakan psikologis pada seseorang. Trauma pada masa kanak-kanak dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang sewaktu dewasa. Misalkan seorang anak tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri karena sewaktu kecil dia mengetahui bahwa ia adalah seorang anak hasil adopsi. Trauma juga dapat dialami oleh orang yang mengalami pengalaman-pengalaman traumatis lainnya seperti sexual abuse, terkena dampak bencana alam maupun bencana buatan 132
Lukman Nul Hakim manusia, menyaksikan pembunuhan, menyaksikan pertengkaran kedua orang tua, dll. Pada banyak kasus penyimpangan seksual didahului dengan pengalaman traumatis menjadi korban pelecehan seksual dimasa lampau. Seperti yang dialami saudara X, seorang laki-laki yang bekerja disalah satu hotel berbintang di Jakarta. Ia menuturkan pengalamannya kepada penulis bahwa sebagai seorang staf room service ia bertugas mengantarkan pesanan makanan kedalam kamar tamu. Suatu ketika sewaktu ia masuk kekamar, kedua orang tamu laki-laki orang asing yang memesan makanan sedang berhubungan seksual, dan ia dipaksa untuk bergabung dan diperkosa. Pasca kejadian itu ia menjadi trauma jika melihat orang dengan karakter fisik tertentu, dan selalu mempunyai dorongan untuk membalas dendam dengan melakukan pemerkosaan sodomi ke orang lain. Trauma juga banyak dialami para penyintas (survivor) korban bencana alam. Pasca tsunami yang terjadi di Aceh dan Nias pada tahun 2004 Pusat Krisis Universitas Indonesia melakukan pendampingan bagi para penyintas dan mengidentifikasi reaksi-reaksi khas penyintas bencana dari berbagai rentang usia. Reaksi khas penyintas anak-anak rentang usia dibawah 5 tahun adalah takut berpisah dengan orangtua, menangis, merengek, berteriak bergerak tanpa tujuan atau tidak bergerak sama sekali, gemetar, ekspresi wajah ketakutan, tidak mau lepas dari orang tua dan perilaku regresi. Reaksi khas penyintas usia 6-12 tahun yaitu secara berlebihan menarik diri dan tidak mau bergaul dengan orang lain, perilaku mengganggu teman dan lingkungan sekitarnya, tidak mampu memperhatikan atau berkonsentrasi, melakukan perilaku regresif, (kembali mengompol padahal sebelumnya sudah tidak mengompol, mengisap jari, menggigit kuku, dll), mimpi buruk, masalah tidur (terlalu banyak tidur atau tidak bisa tidur), ketakutan yang tidak rasional (takut terhadap air, laut, suara keras, petir, dll), mudah tersinggung, mudah marah, mudah menangis, tidak mau sekolah, marah yang meledak-ledak, berkelahi, mati rasa, cemas, depresi. Reaksi khas pada remaja adalah merasa mengalami kembali kejadian traumatic tersebut (flashback), mimpi buruk, mati rasa, menghindari hal-hal yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatic tersebut, timbulnya gejala depresi seperti menjadi tidak terbuka, sedih berkepanjangan, mudah tersinggung, menarik diri, kehilangan minat akan hobinya, penurunan konsentrasi belajar, dan berfikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi, memiliki pemikiran untuk balas dendam, memberontak terhadap orang dewasa, merasa bersalah 133
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik atas kematian atau terlukanya anggota keluarga dalam peristiwa traumatik, remaja dapat melakukan tindakan yang merusak dirinya sendiri, sebagai cara untuk mengatasi rasa marah atas kesedihannya, misalnya menggunakan obat terlarang atau mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan, memiliki masalah dengan teman sebaya, bergabung dengan kelompok yang tidak baik dan menunjukkan perilaku antisocial seperti berkelahi, menyakiti orang lain, menjarah, mencuri, dll. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam perasaan marah dan kecewa, karena hilangnya dukungan yang ada disekitarnya, menarik diri dan menutup dirinya, tidak mau bergaul dengan orang lain, keluhan fisik atau psikosomatis (sakit kepala, ingin pingsan, muntah-muntah, dll), memikirkan untuk bunuh diri, masalah tidur (tidak bisa tidur atau terlalu banyak tidur), mengalami kebingungan. Reaksi khas pada orang dewasa yaitu merasa sangat sedih, kesal dan takut hampir setiap waktu dengan intensitas yang cukup mendalam, adanya perubahan perilaku yang sangat bermakna (bahkan ada yang menampilkan perilaku kekanak-kanakan), mengalami ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari, fungsi sosial terganggu secara bermakna (kehilangan semangat untuk bekerja, tidak mampu merawat anak-anak, tidak mampu mengurus rumah tangganya, menghindari pertemuan-pertemuan diluar rumah), tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (tidak bisa makan sendiri, harus diteman jika hendak bepergian), sulit untuk mengambil keputusan bagi diri sendiri, terus menerus memikirkan pengalaman traumatis yang terjadi dimana saja dalam saat manapun, melakukan suatu perilaku tertentu secara berulang-ulang, berbicara tentang keinginannya untuk bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri, menampilkan emosi yang datar, memburuknya hubungan dekat yang telah terbina, reaksi marah yang berlebihan, peningkatan penggunaan rokok, alcohol atau narkoba, merasa tidak dapat menikmati hidup, hilang gairah hidup, seringkali mudah terkejut dan mengalami mimpi buruk. Reaksi khas pada penyintas usia lanjut yaitu merasa kesepian; merasa diabaikan atau kurang dilibatkan; Merasa kurang dihargai ; pasrah; mudah curiga; sering salah mempersepsi apa yang disampaikan seseorang; merasa tidak layak hidup; lebih pasif dalam mencari bantuan; cenderung membebani orang lain, terutama anak kandungnya; terus menerus bercerita tentang kemalangan yang dialami; menasehati orang yang lebih muda untuk berhati-hati atau menjauhi perbuatan jahat agar peristiwa buruk seperti bencana tidak terjadi lagi; mudah merajuk; mudah cemburu; sulit diatur karena merasa dirinya paling benar. 134
Lukman Nul Hakim Reaksi khas pada penderita cacat adalah mudah putus asa; merasa tidak dipahami; pasrah; ketergangungan yang besar pada orang lain; dan pasif dalam mencari pertolongan. Sedangkan reaksi khas pada kelompok dengan keterbelakangan mental yaitu tidak mampu menjelaskan kejadian atau perasaan mereka karena keterbatasan intelektual; kesulitan untuk mengekspresikan emosi sehingga kadangkala mengamuk atau menangis secara berlebihan; dan pasif dalam mencari pertolongan. • Keluarga yang tidak sehat Sebuah keluarga yang tidak sehat meningkatkan kerentanan bagi penghuni didalamnya untuk terkena stress yang bisa mengakibatkan gangguan mental. Contoh kondisi keluarga yang tidak sehat adalah perselisihan dalam keluarga. Orang yang berselisih kadang mengekspresikan kemarahannya dengan cara-cara kekerasan, bentakan, teriakan, pukulan, adu mulut, dll yang dapat mengakibatkan rasa frustrasi, sakit hati dan memberikan efek yang patogenik terhadap orangorang yang berada disekitar perselisihan tersebut, baik itu orang dewasa maupun anak-anak. Pada banyak kasus sebuah keluarga tidak lengkap baik itu dikarenakan kematian, perceraian, perpisahan, dan sebab-sebab lainnya. Pernikahan yang tidak bahagia membawa pada kondisi yang sangat sulit, namun demikian perceraian memberikan stress yang sangat berat. Menurut Bloom, Asher dan White (1978) perceraian merupakan sumber utama dari gangguan mental, gangguan fisik, kematian, bunuh diri maupun aksi pembunuhan. • Hubungan pertemanan yang maladaptif Hubungan sosial diluar keluarga adalah di tempat sekolah, tempat kerja, maupun dilingkungan bertetangga. Seorang anak yang gagal menjalin hubungan yang memuaskan dengan teman-temannya pada fase pertumbuhan mereka maka akan kehilangan fase krusial yang akan berguna sebagai pengalaman dalam menghadapi resiko pertemanan yang memberikan dampak yang lebih negatif pada masa remaja dan dewasa. Hubungan pertemanan yang maladaptive berhubungan erat dengan kegagalan dalam fungsi adaptif dikemudian hari, seperti skizoprenia, drop out dari sekolah dan aksi kejahatan. Perspektif Sosiokultural Perspektif ini memfokuskan diri pada gangguan-gangguan mental yang disebabkan oleh faktor lingkungan sosial seperti kemiskinan, prejudis, diskrimi135
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik nasi, pengangguran, perubahan sosial dan ketidak pastian. Penelitian-penelitian pada bidang sosiokultural mendorong pada usaha untuk mendesain programprogram untuk memperbaiki kondisi sosial yang menumbuh kembangkan perilaku maladaptif, serta usaha mendesain fasilitas-fasilitas yang akan digunakan untuk mendeteksi secara lebih awal gangguan mental, terapi, dan langkah-langkah preventif lainnya. Perspektif sosiokultural juga berusaha memahami perbedaan kategori gangguan mental berdasarkan sosial budaya suatu tempat. Karena suatu perilaku yang dianggap gangguan mental bisa jadi adalah suatu hal yang lumrah ditempat lainnya, sehingga tidak dianggap gangguan mental. Namun demikian Carlos dkk (1996) membuat batasan bahwa ketika seseorang sangat terganggu mentalnya sehingga ia tidak dapat lagi mengkontrol perilakunya, tidak lagi dapat melakukan peran yang diharapkan atasnya, atau bahkan tidak dapat hidup tanpa perawatan khusus, maka perilakunya dianggap abnormal pada komunitas manapun. • Kemiskinan Menurut Eron & Peterson (dalam Carlson, dll, 1996) dalam masyarakat kita semakin rendah kelas sosial ekonomi seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadinya perilaku abnormal. Orang-orang dari kelas sosial ekonomi yang rendah seringkali mempunyai anak yang juga menunjukan perilaku abnormal dikarenakan berbagai alasan, diantaranya tingginya risiko komplikasi prenatal yang mengakibatkan lahirnya bayi dengan berat badan rendah. Sebaliknya semakin kaya seseorang maka semakin mudah bagi mereka untuk mendapatkan pertolongan untuk mengatasi permasalahan mereka. Selain itu, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan menghadapi lebih banyak sumber stress dibanding orang-orang yang hidup dengan strata menengah atau atas. • Peran Sosial yang melahirkan Gangguan Mental Pada beberapa kasus peran sosial justru yang membentuk sebuah gangguan sosial. Misalkan petugas yang bertugas mengeksekusi terpidana mati. Perasaan bersalah bisa menghantui mereka yang dapat berujung pada depresi. Kondisi semacam ini banyak terjadi pada veteran perang. Di Amerika Serikat gangguan ini banyak dialami para veteran perang Vietnam. • Prasangka dan Diskriminasi Gangguan juga bisa disebabkan prasangka dan diskriminasi. Masih banyak terjadi pemberian stereotype terhadap suatu kelompok tertentu dan diskrimi136
Lukman Nul Hakim nasi terhadap kelompok tertentu dalam hal seperti dalam hal pekerjaan, dan pendidikan. Hingga saat ini juga masih terus berkembang prasangka-prasangka terhadap komunitas tertentu. Sehingga tercipta kesenjangan hubungan sosial. Prasangka-prasangka itu sangat rentan untuk dimasuki semangat negatif, sehingga dapat berakibat pada kekerasaan terhadap kelompok tertentu, pertikaian antar kelompok, dll. • Ekonomi dan problem kepegawaian Kesulitan ekonomi dan pengangguran meningkatkan kerentanan masyarakat, dan meningkatkan jumlah orang yang mengalami gangguan mental. Resesi dan inflasi ditambah dengan tingginya tingkat pengangguran merupakan sumber kecemasan yang kronis untuk banyak orang. Periode banyaknya pengangguran biasanya diikuti dengan menurunnya kesehatan mental dan fisik. Terutama meningkatkan tingkat depresi, masalah pernikahan, keluhan somatic, dan biasanya permasalahan-permasalahan ini menurun ketika tingkat pengangguran berkurang (Carson, dkk, 1996). • Perubahan sosial dan ketidakpastian Gangguan mental juga dapat disebabkan oleh perubahan sosial. pada jaman sekarang ini perubahan berjalan dengan cepat, dan perubahan tersebut menyentuh semua bidang mulai dari pendidikan, pekerjaan, keluarga, keuangan, dll. Perubahan membuat orang-orang senantiasa beradaptasi dengan perubahan tersebut, yang jika tidak berhasil akan menyebabkan kesedihan, demoralisasi, dan merasa tidak berdaya. UU KESEHATAN JIWA SEBAGAI UPAYA MENDORONG PEMBANGUNAN SOSIAL Daftar program legislasi nasional (Prolegnas) yang menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2011 telah disusun oleh Badan Legislasi DPR RI pada 3 Desember 2011 lalu. Namun demikian seperti hal nya pada proglegnas tahun 2010, kembali Undang-undang kesehatan jiwa tidak masuk dalam daftar prioritas tahun 2011. Hal ini menunjukan belum adanya kesepakatan diantara para pengambil keputusan prioritas prolegnas, mengenai urgensi UU Kesehatan Jiwa. Sesungguhnya Indonesia pernah memiliki UU tentang Kesehatan Jiwa, namun UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992 yang pada Bab XII ayat 9 yang menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Ta137
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik hun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); dinyatakan tidak berlaku lagi. Seiring berjalannya waktu selanjutnya UU Nomor 23 Tahun 1992 juga dicabut seperti tertulis pada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Bab XXII Pasal 204. Saat ini pengaturan mengenai Kesehatan Jiwa hanya diatur pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX pasal 144 – 151. Kemudian yang menjadi sorotan adalah tidak idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dan kesehatan psikis. Pengaturan yang ada masih sangat berorientasi pada kesehatan fisik, masih kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis, kesehatan jiwa. Kurangnya perhatian dari legislator terhadap kesehatan jiwa berdampak pada kurangnya kebijakan-kebijakan di pemerintah yang pro kesehatan jiwa. Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada budgeting yang minim, dan kurangnya tindakan real ditingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah semakin tumbuh suburnya gangguan-gangguan jiwa yang berujung pada disabilitas masyarakat. dr.Irmansyah, SpKJ (K) (2009) secara detail telah menuliskan dampak minimnya perhatian pada kesehatan jiwa dimasyarakat, yaitu : • Sarana dan prasarana (untuk penanganan kesehatan jiwa) yang jauh dari mencukupi. • Jumlah tenaga profesional dan fasilitas yang sangat sedikit. • Tidak efisiennya sistim yang ada sekarang, karena berpusat di rumah sakit jiwa (RSJ). • Tidak adanya sistim kesehatan mental yang berbasis masyarakat. • Kesehatan mental tidak menjadi program prioritas di puskesmas. • Anggaran departemen kesehatan untuk kesehatan jiwa selalu dibawah 1% dan umumnya penggunaannya tidak tepat sasaran. • Di Departemen Kesehatan, organisasi yang menangani kesehatan mental hanya setingkat direktorat, berada di bawah dirjen layanan medis. • Belum terpenuhinya hak-hak penderita, padahal Hak-hak mereka dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia yang juga telah diadop dalam UUD 45 pasal 25H(1) yaitu, “setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan diri sendiri dan keluarganya, yang mencakup tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang penting”.
138
Lukman Nul Hakim • Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat hampir semua RSJ terletak di ibukota propinsi. • Obat untuk penderita tidak tersedia di layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat ketinggalan jaman. • Kwalitas dan kwantitas layanan di rumah sakit jiwa sangat tidak mencukupi. • Obat dengan kwalitas yang buruk • Jenis layanan lain yang direkomendasikan WHO umumnya tidak tersedia. • Electro Convulsive Therapy masih menggunakan cara-cara kuno yang tidak manusiawi. • Isolasi pasien masih menggunakan cara-cara ikatan di tempat tidur yang tradisional. • Jumlah pegawai yang kurang membuat banyak RSJ mengunci penderita diruangnya sebelum jam 5 sore, mengabaikan hak-hak pasien untuk menikmati kehidupan yang normal. • Tidak ada program jangkauan layanan ke masyarakat membuat banyak pasien yang kambuh hanya beberapa saat setelah kepulangan dari RSJ. • Program edukasi dan promosi yang tidak pernah ada. Apalagi program pencegahan, sama sekali tidak pernah terdengar. dr.Irmansyah, SpKJ (K) (2009) menuliskan bahwa di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ratusan penderita ditemukan terpasung. Di Indonesia dipercaya ribuan penderita mengalami pemasungan atau cara isolasi lain yang tidak manusiawi, sangat merendahkan martabat. Penderita yang putus asa banyak yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Dan banyak lagi yang menjadi korban dari kekerasan masyarakat yang merasa terganggu dengan sikap dan gejala penderita. Semua penderita dan keluarga kebingungan menghadapi masalah ini, karena dapat dikatakan pemerintah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara yang mengalami gangguan mental. Jika kita menilik ketiga perspektif untuk memahami gangguan psikologis, yaitu perspektif biologis, psikososial dan sosiokultural, maka kita akan lebih mudah memahami meningkatnya kejadian-kejadian buruk yang telah terjadi selama ini. Kita akan lebih memahami proses terbentuknya seorang Baekuni, Ryan, kekerasan terhadap kelompok tertentu. Melihat kondisi tersebut maka seharusnya dilakukan sebuah upaya yang sistematis untuk mengurangi tingkat gangguan jiwa yang ada dalam masyarakat 139
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kita. Harus disadari sepenuhnya bahwa gangguan jiwa akan mengakibatkan disabilitas. Dr. Albert M, dkk (2009) menuliskan bahwa gangguan jiwa juga mengakibatkan disabilitas yang akan mempengaruhi indeks pembangunan manusia (Human developmental Index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia. Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing Indonesia tahun 2007 berada di peringkat 5 dan Indeks Pembangunan Manusia berada di peringkat 6 dari 10 negara ASEAN. Data lain dari Global Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World Economic Forum bekerjasama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing Negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia menampilkan performa Indonesia di tahun 2008-2009 ada pada peringkat ke 55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan secara nyata kebutuhan masyarakat akan upaya peningkatan kesehatan jiwa sangatlah mendesak.
140
Lukman Nul Hakim
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Carson, Robert.C., Butcher, James N., & Mineka, Susan. (1996). Abnormal Psychology and Modern Life. 10th Ed. New York : HarperCollins Publisher Inc. Daradjat, Zakiah. (2001). Kesehatan Mental. Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk. Ladi, M.J., Hendradjaja, Hartoto., Riyanto, Ambar. (2009). Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III. Jakarta : LAN RI. Laluyan, Tirza T., Sumampouw, N., Reza, MZ., Estrely, Martina., & Cahyono, Wahyu. (2007). Pemulihan Trauma : Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam. Depok : Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Tim Pustaka Phoenix. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: Pustaka Phoenix Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
141
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Internet : Departemen Kesehatan, 14 Oktober 2009, Kesehatan Jiwa Sebagai Prioritas Global, (online), http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task =viewarticle&sid=3592 diakses pada 15 Oktober 2010. Yusuf , Nova Riyanti, 20 Januari 2009, Undang-undang Kesehatan Jiwa Kebutuhan yang mendesak. (online), http://noriyu.wordpress.com/2009/01/20/undang-undang-kesehatan-jiwa-kebutuhan-yang-mendesak/. Diakses pada 15 Oktober 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/08/12/111720/1418827/10/suamibantah-ada-masalah-ekonomi-dan-wil http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/17/07262786/Mutilasi..Baekuni.Lebih.Keji..Ryan.Henyansah.Lebih.Rumit http://www.webmd.com/mental-health/mental-health-types-illness?page=2 http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/15/162272/265/114/ Bunuh-Diri-Akhiri-Impitan-Hidup http://www.thejakartaglobe.com/home/poverty-linked-to-jump-in-balisuicides/398214 Dr. Albert M, dkk (2009)http://www.facebook.com/topic.php?uid=17873541 6780&topic=10794 http://www.tribunnews.com/2010/10/20/keluarga-5-korban-bentrok-tarakandapat-rp-10-juta http://buser.liputan6.com/berita/201004/272461/Kronologis.Kerusuhan. di.Makam.Mbah.Priok Dokumen resmi : Daftar Prolegnas 2010 Daftar Prolegnas 2011 Daftar Prolegnas 2010-2014 Koran : Media Indonesia edisi 24 Agustus 2008
142
Anih Sri Suryani
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH Anih Sri Suryani
Pendahuluan Sampah merupakan masalah besar perkotaan, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Berbagai permasalahan yang terkait dengan sampah antara lain: semakin sulitnya memperoleh lahan baru untuk dijadikan tempat pembuangan sampah, meningkatnya polusi yang berasal dari sampah dan dari proses pengolahan dan pembuangan sampah, penipisan sumber-sumber alam akibat pembuangan, serta dibutuhkannya biaya yang besar dalam pengelolaan sampah. Masalah sampah perkotaan tidak terbatas pada kota-kota itu sendiri, tetapi juga berpengaruh sangat besar terhadap daerah sekelilingnya, ketika timbul tuntutan akan keperluan wilayah yang lebih luas untuk mengatasi luapan sampah. Pencarian solusi membawa kepada keberhasilan menetapkan sebuah masyarakat yang berorientasi pada sistem daur ulang, yang memungkinkan cara-cara yang tepat membatasi meningkatnya produksi sampah. Pendekatan teknologi dan undang-undang untuk melakukan daur ulang, sistem pasar yang mendukung masyarakat berorientasi daur ulang, dorongan inisiatif daur ulang yang berbasis masyarakat, dan perubahan sikap publik terhadap pola konsumsi dan pembuangan melalui informasi dan pendidikan publik merupakan beberapa metodologi yang mengkombinasikan pendekatan “atas ke bawah” dan “bawah ke atas” (Inoguchi, 2002:5-6).
143
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Pada tanggal 7 Mei 2008, telah disahkan Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dengan adanya undang-undang ini untuk pertama kalinya ada landasan legal bagi pengelolaan sampah di Indonesia. Undang-undang ini meliputi kewajiban semua orang untuk ikut dalam pengelolaan persampahan, termasuk EPR (extended producer responsibility), dimana produsen suatu barang yang sampahnya tidak dapat diproses secara alami, bertanggung jawab untuk mengelola sampahnya sendiri. Selain itu juga diatur kewajiban pengelola persampahan, baik itu bagi pemerintah maupun pihakpihak lain. Undang-undang No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah merupakan landasan legal bagi pengelolaan persampahan di Indonesia. Lahirnya undang-undang ini merupakan suatu tonggak baru bagi pengelolaan sampah. Undang-undang pengelolaan persampahan lahir dari latar belakang beberapa kejadian yang mencolok dalam pengelolaan sampah. Salah satu diantaranya adalah musibah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwi Gajah Cimahi, Bandung, yang menelan banyak korban jiwa. Sebagaimana diketahui, beberapa tahun lalu, TPA Leuwi Gajah, mengalami longsor yang menimpa belasan rumah penduduk yang tinggal disekitar TPA. Meski pada awalnya TPA ini jauh dari permukiman penduduk, tapi sejalan dengan besarnya volume sampah, beberapa orang membangun rumah didekat TPA. Mereka yang tinggal di rumah-rumah itu umumnya adalah pemulung. Kasus TPA Leuwi Gajah mencatat korban akibat pengelolaan TPA yang bermasalah. Karena itu beberapa pihak kemudian mendorong perlunya undang-undang yang melindungi masyarakat dari pengelolaan sampah (Silaban, 2008).1 Karena sudah ditetapkan DPR, maka tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan undang-undang itu. Undang-undang No. 18 tahun 2008 tersebut masih memuat hal-hal yang bersifat umum berkenaan dengan pengelolaan sampah, adapun hal-hal teknisnya harus dituangkan dalam peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah. Sesuai dengan amanat Undang-undang di Ketentuan Penutup pasal 47 dinyatakan bahwa peraturan pemerintah dan peraturan menteri harus diselesaikan paling lambat satu tahun sejak Undang-undang ini diundangkan, sedangkan peraturan daerah harus diselesaikan paling lambat tiga tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Namun pada kenyataanya, 1 “Plus Minus Undang-undang Persampahan” dari http://www.togarsilaban.com/2008/06/16/ plusminus-undang-undang-persampahan-1/ diakses 8 Oktober 2010
144
Anih Sri Suryani setelah lebih dari dua tahun Undang-undang ini disahkan, pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan, dukungan dari pemerintah dan kementrian terkait dalam hal pengesahan peraturan dan aspek legal lainnya belum juga optimal. Walau memang ada beberapa daerah yang sudah merespon dengan baik (seperti DPRD Jawa Timur yang telah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah Regional pada tahun 2009), namun belum terbitnya payung hukum di tingkat nasional berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri sebagai tindak lanjut Undang-undang No. 18 tahun 2008 akan menghambat implementasi dan pelaksanaan Undang-undang itu sendiri. Pada kesempatan ini, penulis mencoba membuat kajian tentang implementasi Undang-undang ini ditinjau dari aspek-aspek manajemen persampahan, dengan harapan agar kajian ini dapat memberikan gambaran dan masukan bagi pelaksanaan Undang-undang persampahan ini di tingkat teknis dan opersional di lapangan. Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah merupakan bagian dari pengelolaan kebersihan. Pengertian bersih sebenarnya bukan hanya berarti tidak adanya sampah, melainkan juga mengandung pengertian yang mengarah ke tinjauan estetika. Terdapat tiga hal yang menjadi perhatian utama dan yang harus dipertimbangkan secara matang dalam pengelolaan sampah, (docstoc.com, 2010)2 yaitu : 1. Identifikasi kondisi sistem pengelolaan sampah yang telah ada; 2. Definisi baik dan benar dalam hal pengelolaan sampah; 3. Pola kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan. Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara garis besar, kegiatan pengelolaan sampah meliputi: pengendalian timbulan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir (Sejati, 2004:24-26). 1. Penimbulan sampah (solid waste generated) Pada dasarnya sampah itu tidak diproduksi, tetapi ditimbulkan. Oleh karena itu dalam menentukan metode penanganan yang tepat, penentuan 2 “Dasar Pengelolaan Sampah Kota”, dari http://www.docstoc.com/docs/34499795/Dasar-Pengelolaan-Sampah-Kota , diakses tanggal 23 Oktober 2010
145
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
2.
3.
4.
5.
besarnya timbulan sampah sangat ditentukan oleh jumlah pelaku dan jenis kegiatannya. Idealnya untuk mengetahui besarnya timbulan sampah yang terjadi harus dilakukan studi. Tetapi untuk keperluan praktis, telah ditetapkan suatu standar yang ditetapkan Kementrian Pekerjaan Umum. Salah satunya adalah SK SNI S-04-1993-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Besar dan Kota Sedang. Timbulan sampah untuk kota sedang adalah 2,75-3,25 liter/orang/hari atau 0,7-0,8 kg/orang/hari, sedangkan untuk kota besar adalah 1 kg/orang/hari. Penanganan di tempat (on site handling) Penanganan sampah di tempat atau pada sumbernya adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah ditempatkan di lokasi pembuangan. Suatu material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan seringkali masih memiliki nilai ekonomis. Penanganan sampah di tempat masih memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penanganan sampah pada tahap-tahap selanjutnya. Kegiatan pada tahap ini bervariasi tergantung jenis sampahnya, antara lain meliputi pemilahan (sorting), pemanfaatan kembali (reuse), dan daur ulang (recycle). Tujuan utamanya adalah untuk mereduksi besarnya timbulan sampah (reduce). Pengumpulan (collecting) Pengumpulan ini merupakan tindakan pengumpulan sampah dari sumbernya menuju TPS (Tempat Pengumpulan Sementara) dengan menggunakan gerobak dorong atau mobil pick-up khusus sampah. Pengangkutan (transfer/transport) Pengangkutan merupakan usaha pemindahan sampah dari TPS menuju TPA dengan menggunakan truk sampah. Pengolahan (treatment) Sampah dapat diolah tergantung pada jenis dan komposisinya. Berbagai alternatif yang tersedia dalam proses pengolahan sampah diantaranya adalah: • Transformasi fisik, meliputi pemisahan sampah dan pemadatan yang bertujuan untuk mempermudah penyimpanan dan pengangkutan; • Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meskipun merupakan teknik yang efek146
Anih Sri Suryani tif, tetapi jika tidak didukung oleh peralatan yang baik akan berpotensi untuk menimbulkan pencemaran udara. Di samping itu teknik baru ini akan berfungsi dengan baik jika kualitas sampah yang diolah memenuhi syarat tertentu, seperti tidak terlalu banyak mengandung sampah basah dan mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi; • Pembuatan kompos (composting), yaitu mengubah sampah melalui proses mikrobiologi menjadi produk lain yang dapat dipergunakan. Output dari proses ini adalah kompos dan gas bio; • Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak dikembangkan di negara maju. 6. Pembuangan akhir Pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat kesehatan dan kelestarian lingkungan. Teknik yang saat ini dilakukan adalah open dumping, yaitu sampah yang ada hanya ditempatkan begitu saja hingga kapasitasnya tidak lagi terpenuhi. Teknik ini berpotensi menimbulkan gangguan dan pencemaran terhadap lingkungan. Adapun teknik yang direkomendasikan adalah sanitary landfill, yaitu pada lokasi TPA dilakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mengolah timbulan sampah. Penanganan sampah tidaklah mudah karena sangat kompleks, mencakup aspek teknis, ekonomi dan sosiopolitis. Terdapat lima aspek manajemen dalam pengelolaan persampahan seperti pada tabel berikut: Tabel 1. Aspek-aspek Manajemen Persampahan3 No. Aspek Peran Pokok 1 Aspek menggerakan, mengakKelembagaan tifkan dan mengarahkan sistem 2
Aspek Pembiayaan
Keterangan
Terdiri dari: - Bentuk dan pola kelembagaan - Sistem manajemen (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian untuk jenjang strategis, teknik maupun operasional) merupakan komponen struktur pembiayaan terdiri dari: sumber dalam arti su- anggaran paya sistem mempunyai - alternatif sumber pendanaan kinerja yang baik
3 Idem
147
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik No. Aspek 3 Aspek Pengaturan (dasar hukum)
Peran Pokok Keterangan komponen yang Fungsi dari peraturan: menjaga pola/dina- Sebagai landasan pendirian instansi mika sistem agar dapat pengelola (Dinas, Perusahaan Daerah mencapai sasaran secara dan lainnya) efektif. - Sebagai landasan pemberlakuan struktur tarif - Sebagai landasan ketertiban umum (masyarakat) dalam pengelolaan persampahan
4.
Aspek Peran Serta Masyarakat
komponen yang tidak Bentuk peran serta masyarakat dalam: bersifat subsistem tapi - Teknis operasional pengumpulan sampah terikat erat sebagai penyedari mulai sumber sampai pembuangan diaan kapasitas kerja akhir maupun pendanaan. - Pendanaan
5.
Aspek Teknik komponen yang paling Operasional dekat dengan obyek pengelolaan sampah
Terdiri dari sarana, prasarana, perencanaan, dan tata cara teknik operasional pengelolaan sampah untuk kegiatan: - Pewadahan - Pengumpulan - Pengangkutan - Pembuangan akhir
Kelima aspek tersebut merupakan prasyarat awal agar manajemen persampahan dapat terlaksana dengan baik. Satu aspek dengan aspek lainnya terkait erat dan saling mendukung. Kelembagaan berfungsi sebagai pengerak dan pelaksana sehingga seluruh sistem bisa beroperasi dengan baik, pembiayaan yang meliputi anggaran dan sumber dananya terutama menyokong kebutuhan operasional, sedangkan masyarakat selaku penghasil sampah juga berperan baik dalam mengurangi timbulan sampah maupun dalam penyediaan dana. Dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan regulasi yang menjadi payung hukum agar sistem dapat mencapai sasarannya secara efektif. Pengesahan Undang-undang no. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah merupakan langkah utama dalam penerapan manajemen persampahan terutama dalam aspek pengaturan. Pengelolaan Sampah Kota-kota Besar di Indonesia Sampah merupakan masalah yang umum terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Timbulan sampah semakin meningkat terutama di kota-kota besar akibat pertambahan 148
Anih Sri Suryani penduduk maupun tingkat konsumtivitas yang juga semakin tinggi. Sampah diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya eksternalitas negatif terhadap kegiatan perkotaan. Pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan paradigma lama: kumpul-angkut-buang. Source reduction (reduksi mulai dari sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas dan tidak sustainable. Berdasarkan statistik Tahun 2001 (BPS,2001) komposisi terbesar sampah di Indonesia adalah sampah organik yang layak kompos sebesar 65 %, kertas 13 %, dan plastik 11 % (Lihat Gambar 1).
Gambar.1 Komposisi Sampah di Indonesia Sumber : BPS, 2001 Volume rata-rata timbunan sampah harian di kota-kota metropolitan ataupun kota besar di jakarta di tunjukkan pada tabel sebagai berikut:
149
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tabel.2. Volume Rata-Rata Timbunan Sampah Harian Kota Metropolitan di Indonesia Tahun 2007 Tahun
Medan
Jakarta Barat
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Palembang
Jumlah Penduduk (jiwa)
2005 2006 2007
2.068.400 2.068.400 2.067.288
1.565.406 1.573.619 1.565.947
897.789 893.195 888.419
2.385.121 2.434.163 2.413.875
1.176.307 1.182.749 1.257.952
1.708.269 1.79.024 1.738.248
1.500.872 1.520.199 1.369.239
Timbunan Sampah (m3/hari)
2005 2006 2007
Td 4.382,00 4.985,00
5.500,00 5.500,00 5.500,00
4.651,00 Td 5.280,00
5.442,00 5.272,80 6.592,70
4.180,00 Td 5.161,00
5.223,00 Td 5.663,00
4.698,00 Td 5.100,00*
Tahun
Makasar
Depok
Bandung
Tanggerang
Bekasi
Surabaya
Semarang
Jumlah Penduduk (jiwa)
2005 2006 2007
1.160.011 1.179.024 1.223.540
1.335.734 1.369.461 1.420.480
2.141.837 2.453.302 2.520.812
1.700.000 1.914.316 1.537.558
Td 1.914.316 2.066.913
2.599.796 2.740.490 2.809.679
1.424.000 1.406.999 1.445.334
Timbunan Sampah (m3/hari)
2005 2006 2007
3.580,00 Td 3.661,81
Td Td 3.764,00
6.473,70 Td 7.500,00
4.225,00 5.000,00 3.367,00
Td Td 2.790,00
6.700,00 6.234,00 9.560,00
4.274,00 3.805,00 4.500,00
Sumber: Narasi, 2009 4
Permasalahan sampah menjadi semakin krusial, dari data didapatkan bahwa potensi sampah kota di Indonesia meningkat dari hari ke hari seiring dengan pertambahan penduduk. Pada 2000 volume sampah meningkat menjadi 100.000 ton per hari, sedangkan untuk kondisi sampah kota yang dihasilkan oleh beberapa kota seperti Jakarta adalah 10.220 ton per hari, Surakarta menghasilkan sampah kota sebesar 267 ton per hari, Semarang menghasilkan 727 ton per hari dan Magelang menghasilkan 63 ton per hari (Sudrajat dalam Narasi, 2009)5. Jumlah produksi sampah ini dari tahun ke tahun akan semakin membesar seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi. Sampah perkotaan, sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan peningkatan pembangunan, adalah salah satu masalah yang sangat penting bagi kota-kota besar di Indonesia. Pengolaaan sampah perkotaan menjadi sangat sulit mengingat semakin berkurangnya lahan sebagai Tempat Pembungan Akhir (TPA) dan seringkali muncul hambatan dari masyarakat dalam pembukaan lahan TPA baru.
4 “Kondisi Persampahan di Indonesia”, http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/17/kondisi-persampahan-kota-di-indonesia/, diakses tanggal 15 November 2010 5 Iddem
150
Anih Sri Suryani Kurangnya sarana transportasi dan peralatan yang usang juga memberikan kontribusi dalam masalah pengelolaan sampah. Di kota-kota besar Indonesia, pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam mengelola sampah perkotaan. Berdasarkan data dari BPS tahun 2004, dari total timbunan sampah yang terangkut dan di buang di Tempat Pembuangan akhir (TPA) berjumlah sekitar 41,28 %, di bakar 35,59 %, dikubur 7,97 %, di buang sembarangan (ke sungai, saluran, jalan, dsb) 14,01 % dan yang terolah (di kompos dan didaur ulang) hanya 1,15 %. Pengelolaan sampah perkotaan harus dijadikan prioritas utama untuk menghindari masalah yang mungkin muncul di masyarakat, seperti yang telah terjadi di berbagai kota di pulau Jawa, termasuk Bandung, Jakarta, Bekasi, dan Surabaya. Misalnya saja di Makasar, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 1,3 juta jiwa, kota Makassar menghasilkan sekitar 3800 m3 sampah perkotaan setiap harinya. Padahal kapasitas maksimum dari TPA di Kota Makasar hanya sekitar 2,800 m3 sampah perkotaan setiap harinya. Kekurangan lahan TPA tambahan akan diperlukan untuk pembuangan 1000 m3 sisa sampah. Sebagian besar sampah berasal dari aktivitas penduduk seperti di pasar, pusat perdagangan, rumah makan, dan hotel (Narasi, 2009).6 Aspek Manajemen Persampahan dalam Pengelolaan Sampah di Indonesia Tingkat pelayanan pengelolaan sampah di beberapa kota besar di Indonesia hingga saat ini masih belum optimal. Baru 40,09% sampah di daerah perkotaan yang diangkut oleh petugas, 7,54% sampah ditimbun, 1,61% sampah dibuat kompos, 35,49% dibakar, dan 15,27 lain-lain. Sementara untuk di daerah pedesaan, sebanyak 1,02% sampah diangkut oleh petugas, 12,71% sampah ditimbun, 4,98% sampah dibuat kompos, 50,14% dibakar, dan 31,15% lain-lain (BPS, Tahun 2001). Adapun pelaksanaan sistem persampahan ditinjau dari aspek manajemen persampahan adalah sebagai berikut (Statistik Persampahan Indonesia, 2008): 1. Aspek Kelembagaan Kelembagaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan persampahan sangat beragam seperti: Dinas Kebersihan, Sub Dinas Kebersihan, Seksi kebersihan, Sub Seksi Kebersihan, Unit Kebersihan, Kantor Kebersihan, Perusahaan Daerah Kebersihan dan lain-lain; sesuai dengan kebijakan daerah yang kemu6 Idem
151
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dian dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Bentuk institusi pengelola kebersihan akan masih mengalami perubahan mengingat adanya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Perampingan Dinas Daerah yang berkecenderungan akan berdampak pada peleburan beberapa dinas. Beberapa kota melakukan penggabungan pengelolaan kebersihan dengan pengelolaan tata kota, ke-PU-an, Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Saat ini masih terdapat bentuk Perusahaan Daerah Kebersihan yaitu di Kota Bandung dan Makassar. Fungsi pengelolaan masih tercampur antara Pengelola yang berperan sebagai Operator sekaligus Regulator. Jumlah personil masih terbatas dan belum memenuhi kebutuhan. Rasio rata-rata berkisar antara 0,5–1,5 petugas untuk setiap 1000 orang yang dilayani. 2. Aspek Pembiayaan Pembiayaan untuk pengelolaan persampahan pada umumnya dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan alokasi pendanaan untuk operasional dan investasi berkisar antara 2–4% yang menunjukkan masih rendahnya prioritas bagi pelayanan kebersihan. Tarif retribusi rata-rata memiliki rasio 0,6 % dari penghasilan rumah tangga, sementara penerimaan retribusi terkumpul baru mampu membiayai 22,9% dari total biaya operasional. 3. Aspek Pengaturan (Dasar Hukum) Dasar hukum pengelolaan persampahan di tingkat nasional adalah Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal Pasal 28H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian DPR telah menetapkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Disamping itu Kementrian Pekerjaan Umum telah menyusun SNI yang mendukung pengelolaan sampah secara teknis terkait dengan metoda uji, spesifikasi dan tata cara pengelolaan sampah. Sementara Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut pengelolan sampah sesuai dengan Undang-undang No. 18 tahun 2008 belum disahkan, beberapa Kota/Kabupaten telah memiliki Peraturan Daerah yang mengatur tentang institusi pengelola, teknis penanganan sampah, dan tarif retribusi. Namun demikian masa efektif berlakunya beberapa Perda khususnya tentang 152
Anih Sri Suryani retribusi umumnya telah terlampaui sehingga tarif yang ada sangat tidak relevan dengan biaya pengelolaannya. Penerapan sanksi hukum masih sulit dilaksanakan karena terbatasnya anggaran untuk pelaksanaannya. 4. Aspek Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat di kota umumnya lebih berupa partisipasi pasif (membayar retribusi dan berlaku positif di lingkungannya). Kegiatan pembinaan masyarakat masih sangat terbatas pada penyuluhan yang bersifat insidentil. Pendidikan kepada anak-anak sekolah belum dilakukan secara terstruktur misalnya dalam kurikulum lokal. Kerjasama pihak swasta masih sangat terbatas dan baru mencapai kapasitas sekitar 4,5% dari timbulan yang ada, kecuali di kota metropolitan dan besar dapat mencapai sekitar 15%. 5.
Aspek Teknik Operasional Teknis Operasional penanganan sampah secara umum masih dilaksanakan secara konvensional melalui pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pewadahan dilakukan menggunakan alat yang beraneka ragam tanpa mempertimbangkan efisiensi kegiatan pengumpulan yang dilakukan dengan menggunakan gerobak atau alat angkut kecil. Pemindahan sampah dilakukan dari gerobak ke truk dengan fasilitas transfer depo/ container. Pengangkutan dilakukan menggunakan dump truk dengan ritasi 1-2 trip/hari, sementara arm roll truck dioperasikan dengan ritasi rata-rata 3 trip/ hari. Pengolahan sampah belum dilakukan secara optimal dengan skala yang signifikan. Pengomposan sampah secara komunal oleh pengelola atau kegiatan pengomposan lainnya hanya dilakukan dalam skala kecil karena berbagai kendala yang dihadapi. Sementara itu kegiatan pembakaran dengan insinerator manual (tungku pembakaran) cukup banyak dijumpai namun dalam pelaksanaanya hampir semuanya mengalami kegagalan operasi karena berbagai masalah teknis maupun finansial. Baik pengomposan maupun pembakaran sampah hanya mampu mengolah sampah tidak lebih dari 5% (Statistik Persampahan Indonesia, 2008). Pembuangan sampah dilakukan dengan metode open dumping di lebih dari 99% kota/kabupaten. Beberapa dimodifikasi menjadi controlled landfill tetapi dengan konsistensi yang belum terjaga. Hanya beberapa kota yang mampu mengoperasikan TPA secara baik. Pencemaran lingkungan di TPA juga telah menyebabkan penolakan oleh masyarakat terutama di kota-kota besar. 153
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Aspek Manajemen Persampahan dalam Undang-undang No. 18 tahun 2008 1. Aspek Kelembagaan Undang-undang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik yang berwawasan lingkungan sesuai sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud undangundang ini. Pemerintah pusat berwenang menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sampah, memfasililtasi dan mengembangkan kerjasama antar daerah, kemitraan dan jejaring dalam pengelolaan sampah, koordinasi, pengawasan, pembinaan dan menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam pengelolaan sampah. Pemerintah provinsi mempunyai kewenangan menetapkan strategi dan kebijakan sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat, jenis kewenangan yang sama dengan kewenangan pemerintah pusat seperti yang tersebut di atas, namun cakupannya dalam satu provinsi. Sedangkan pemerintah kabupaten/ kota selain berwenang menetapkan kebijakan dan stategi pengelolaan sampah di daerahnya masing–masing, juga mempunyai kewenangan sebagai berikut: • Menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kota/kabupaten; • Melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain; • Menetapkan lokasi TPS, tempat pengelolaan sampah terpadu dan TPA; • Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 bulan selama 20 tahun terhadap TPA dengan sistem open dumping; • Menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa peran pemerintah kabupaten/ kota sangat besar dalam pengelolaan sampah terutama dalam hal teknis langsung di lapangan dan melakukan pembinaan kepada masyarakat dan pihak lain yang turut serta dalam pengelolaan sampah. Sementara itu pemerintah pusat dan pemerintah provinsi perannya lebih pada regulator, penentu kebijakan umum dan juru damai apabila terjadi perselisihan antar daerah. Fungsi pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan pengawasan pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur. Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah lainnya dalam bentuk kerja sama pembuatan usaha bersama pengelolaan sam154
Anih Sri Suryani pah. Selain itu pemerintah daerahpun dapat bermitra dengan badan usaha dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah yang dituangkan dalam bentuk perjanjian antara pemerintah daerah dengan badan usaha yang bersangkutan. 2. Aspek Pembiayaan Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaran pengelolaan sampah yang bersumber pada dana APBN dan APBD. Anggaran pengelolaan sampah selain digunakan untuk membiyai penyelenggaran pengelolaan sampah mulai dari sumber sampai TPA juga digunakan untuk pemberian kompensasi kepada masyarakat yang mengalami dampak negatif dari TPA, pemberian insentif kepada masyarakat yang melakukan pengurangan sampah, dan program-program pembinaan agar masyarakat dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan. Produsen yang memproduksi barang tertentu yang berpotensi menghasilkan sampah baik itu dari produknya maupun kemasannya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah, mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada produknya dan wajib mengelola kemasan atau barang produksinya yang tidak dapat atau sulit diuraikan oleh proses alam. Dengan demikian, kegiatan yang berhubungan dengan hal dia atas, pembiayaannya dibebankan kepada produsen, walaupun ketentuan lebih lanjut tentang hal tersebut di atas akan diatur dalam peraturan pemerintah. 3. Aspek Pengaturan (Dasar Hukum) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menetapakan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah serta menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengeloalaan sampah. Selain itu terdapat beberapa peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan daerah harus ditetapkan berkenaan dengan disahkannya Undang-undang No. 18 tahun 2008 ini, antara lain ketentuan mengenai: a. Jenis sampah spesifik di luar ketentuan yang telah di tetapkan dalam Undang-undang pasal 4 (Kementrian Lingkungan Hidup); b. Pedoman penyusunan sistem tanggap darurat (peraturan menteri); c. Tata cara penggunaan hak-hak seseorang dalam pengelolaan sampah (peraturan pemerintah dan peraturan menteri); 155
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik d. Tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga (peraturan daerah) e. Tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah di kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya; f. Tata cara pelabelan bagi produsen yang berhubungan dengan pengurangan sampah dan penanganan sampah pada kemasan atau produknya, dan kewajiban bagi produsen untuk mengelola kemasan atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh alam (peraturan pemerintah); g. Perijinan bagi masyarakan yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah (ketetapan pemerintah) dan tata cara perolehan ijinnya, jenis usaha pengelolaan sampah uang mendapat ijin dan tata cara pengumumannya kepada masyarakat ditetapkan dalam peraturan daerah; h. Pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga baik itu dalam kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha maupun masyarakat (peraturan pemerintah); i. Jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif kepada orang yang melakukan pengurangan sampah dan disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah (peraturan pemerintah); j. Kegiatan penanganan sampah dari mulai pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, serta pemroresan akhir (peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya); k. Pengelolaan sampah spesifik (peraturan pemerintah); l. Pembiayaan penyelenggaraan pengelolaan sampah (peraturan pemerintah dan peraturan daerah); m. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penangangan sampah di tempat pemrosesan akhir (peraturan pemerintah) dan pemberian kompensasi akibat dampak negatif tersebut (peraturan daerah dan/atau peraturan daerah); n. Pedoman kerjasama dan bentuk usaha bersama antar daerah (peraturan pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri); o. Tata cara pelaksanaan kemitraan antara pemerintah kabupaten/kota dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah (peraturan perundang-undangan); 156
Anih Sri Suryani p. Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam pengelolaan sampah (peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah); q. Larangan memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia, mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun, serta mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (peraturan pemerintah); r. Larangan membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan, melakukan pembuangan dengan cara open dumping di TPA, dan membakar sampah tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah serta sanksi pidana kurungan atau denda terhadap pelanggaran tersebut (peraturan kabupaten/kota); s. Norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah (peraturan daerah); t. Sanksi administratif kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perijinan (peraturan daerah kabupaten/kota); u. Perencanaan penutupan TPA dengan sistem open dumping selambatnyalambatnya satu tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini (pemerintah daerah); Sesuai dengan ketentuan penutup Undang-undang No. 18 tahun 2008 ini bahwa peraturan pemerintah, peraturan menteri, harus diselesaikan paling lambat satu tahun sejak undang-undang ini diundangkan atau harus selesai pada tahun 2009. Sedangkan peraturan daerah harus diselesaikan paling lama tiga tahun (atau pada tahun 2011). Selain harus adanya berbagai peraturan tersebut di atas, undang-undang ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah, baik itu sengketa antara pemerintah daerah dengan pengelola sampah, maupun sengketa antara pengelola sampah dengan masyarakat. Ketentuan pidana kepada orang atau pengelola sampah, yang melanggar ketentuan di undang-undang ini juga dinyatakan baik dalam bentuk pidana penjara maupun denda. Berbagai ketentuan tersebut merupakan salah satu upaya sisi perlindungan hukum bagi orang yang kemungkinan terkena dampak dari pengelolaan sampah.
157
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 4. Aspek Peran Serta Masyarakat Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Masyarakat dalam hal ini adalah seluruh penghasil sampah yang dapat berupa perseorangan, kelompok orang, badan hukum, pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, serta produsen (pelaku industri) yang produk maupun kemasan produknya menghasilkan sampah. Hak setiap orang dalam pengelolaan sampah antara lain hak untuk berpartisipasi, memperoleh informasi dan mendapatkan kompensasi dari dampak negatif kegiatan tempat pemrosesan akhir. Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan cara: a. Memberikan usul, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah/pemerintah daerah; b. Perumusan kebijakan pengelolaan sampah; c. Pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. Pengelolaan kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya harus membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lambat satu tahun sejak undang-undang ini disahkan. Sedangkan produsen atau pelaku industri harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan atau produknya. Produsen juga wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Masyarakat dan pelaku usaha dapat turut serta dalam kegiatan pengurangan sampah dengan cara menimbulkan sampah sesedikit mungkin serta menggunakan bahan yang dapat di guna ulang, daur ulang, dan/atau mudah terurai oleh proses alam. Atas ijin dari Kepala Daerah, seseorang/badan usaha tertentu dapat melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah dan hal itu harus diumumkan kepada masyarakat. Pemerintah dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah. Kepada masyarakat yang melakukan pengurangan sampah dapat diberikan insetif sedangkan kepada masyarakat yang tidak melakukan pengurangan sampah dan diberikan disinsentif. 158
Anih Sri Suryani 5. Aspek Teknik Operasional Penyelenggaraan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pemerintah antara lain berupa penyediaan tempat penampungan sampah, alat angkut sampah, tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah. Lokasi dari tempat-tempat tersebut ditetapkan oleh pemerintah kota. Penetapan lokasi tersebut merupakan bagian dari rencana tata ruang dan wilayah kabupaten/kota. Pengolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah terdiri dari pembatasan timbulan, pendaurulangan sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah terdiri dari pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Tata cara, ketentuan ketentuan lebih lanjut mengenai teknis kegiatan penanganan sampah tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah. Satu hal yang dijelaskan secara khusus dalam undang-undang ini sehubungan dengan penanganan sampah adalah tentang pemrosesan akhir di TPA. TPA dengan sistem open dumping adalah dilarang. Apabila sekarang masih ada TPA dengan sistem itu maka pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan TPA tersebut selambatnya-lambatnya satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini. Pemerintah daerah harus menutup TPA tersebut paling lama lima tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Selanjutnya pemerintah kabupaten/kota harus melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap enam bulan semalan 20 tahun terhadap TPA tersebut yang telah ditutup. Implementasi Undang-undang Melihat kondisi pengelolaan sampah di Indonesia khususnya di beberapa kota besar yang sudah berlangsung selama ini, maka implementasi Undangundang Pengelolaan Sampah mengahadapi tantangan dan kendala tersendiri. Kesiapan dari lembaga pemerintah baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota merupakan hal yang utama. Ditinjau dari aspek-aspek manajemen persampahan maka kendala, tantangan dan solusi yang dapat diterapkan berkaitan dengan implementasi undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: 159
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Aspek Kelembagaan Penguatan kelembagaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah di tingkat kota/kabupaten adalah hal yang utama. Dukungan pemerintah pusat dan provinsi bagi pemerintah kota/kabupaten khususnya institusi pengelola kebersihan harus diwujudkan dalam bentuk antara lain: • dukungan penguatan institusi berupa adanya peraturan daerah yang mengatur SOTK institusi tersebut, termasuk adanya pemisahan fungsi pengelolaan antara pihak yang berperan sebagai operator juga sebagai regulator; • dukungan pengembangan dan keahlian agar institusi tersebut dapat memperbaiki serta mengembangkan diri dan didukung oleh sumber daya manusia yang mencukupi, serta kompeten dalam hal pengelolaan sampah mulai dari perencanaan, teknis operasional pengumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemrosesan akhir; • dukungan dana operasional yang mengatur keberlangsungan dan kinerja institusi. 2. Aspek Pembiayaan Undang-undang mengamanatkan bahwa pemerintah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Rendahnya dukungan dana dari APBN menunjukkan bahwa prioritas bagi pelayanan kebersihan masih rendah. Akibatnya masyarakat masih dikenai tarif retribusi kebersihan yang besarnya beragam di beberapa kota. Adanya sumber pembiayaan yang berasal dari APBN dan dana retribusi dari masyarakat pada kenyataanya masih dirasa kurang untuk menutupi biaya operasional pengelolaan sampah, terutama dalam hal biaya pengangkutan dan pemrosesan akhir. Pengangkutan sampah dari kota ke TPA yang jaraknya sangat jauh membutuhkan biaya angkut berupa biaya untuk bahan bakar dan pengelolaan alat angkut (truk) yang tidak sedikit. Undang-undang mengamanatkan bahwa TPA tidak boleh menggunakan sistem open dumping, tetapi harus menggunakan sistem sanitary landfill. Sistem ini memang jauh lebih baik dari sistem open dumping dilihat dari aspek kelestarian lingkungan, namun biaya yang dibutuhkan juga tentu saja tidaklah murah. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, selain dukungan komitmen dari pemerintah berupa alokasi dana APBN/APBD yang memprioritaskan penanganan kebersihan, juga terdapat beberapa alternatif sumber pembiayaan ataupun pengurangan biaya yang yang dapat diterapkan antara lain: 160
Anih Sri Suryani • Kerja sama dengan badan usaha/pihak swasta dalam pengelolaan sampah, misalnya sampah yang masih bisa bernilai jual seperti plastik, logam, dsb dipisah, dikumpulkan oleh petugas kebersihan dan kemudian dijual kepada pihak lain yang dapat mengelola sampah tersebut; • Komposisi sampah di hampir sebagian besar wilayah Indonesia adalah sampah organik, sehingga pengomposan adalah salah satu alternatif yang paling logis. Kompos yang dihasilkan dapat dijual kepada petani sehingga bernilai ekonomis. Apabila kompos yang dihasilkan makin banyak maka kerja sama dengan institusi yang menangani pertanian misalnya Kementrian atau Dinas Pertanian sangat dimungkinkan. Selain itu, kerjasama dengan Dinas Tata Kota maupun Pertamanan juga dapat dilakukan agar kompos yang dihasilkan dari sampah dapat turut mempercantik dan menyuburkan taman kota; • Kerjasama dengan pihak swasta dalam program-program CSR (Coorporate Social Responsibility) yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, misalnya dalam program pembinaan bagi ibu-ibu rumah tangga dalam hal pemilahan sampah dan pembuatan kerajinan dari barang bekas, pembinaan kepada para pemulung dan bandar agar mereka bisa bekerja lebih profesional, pemberian mesin pencacah sampah untuk dikomposkan, dan lain sebagainya; • Mencari peluang bantuan dari pihak asing yang tidak mengikat, misalnya melalui LSM internasional yang peduli terhadap masalah lingkungan. Bantuan dapat berupa bantuan teknis, bimbingan keahlian maupun upayaupaya lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengurangan sampah. Adanya bantuan tersebut diharapkan dapat menambah kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampah sehingga sampah yang dihasilkan bisa berkurang, akibatnya biaya pengelolaannya pun dapat diminimalisir. Program-program pencarian dana di atas tentu saja tidak ditujukan untuk mencari keuntungan dari pengelolaan sampah semata, karena kewajiban pengelolaan sampah tetap berada di tangan pemerintah. Masyarakat ataupun badan-badan lain sifatnya hanya membantu dan mendukung agar program layanan kebersihan dapat terlaksana dengan baik.
161
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 3. Aspek Pengaturan (Dasar Hukum) Adanya peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun peraturan daerah mutlak perlu agar undang-undang Pengelolaan Sampah ini dapat terlaksana dengan baik. Pemerintah pusat, khususnya kementrian terkait misalnya kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian Pekerjaan Umum harus secepatnya menetapkan peraturan perundang-undangan agar pemerintah daerah mempunyai payung hukum untuk menetapkan perundangan selanjutnya. Setidaknya ada 21 jenis perundangan, baik itu peraturan pemerintah, peraturan menteri ataupun peraturan daerah yang harus ditetapkan. Namun ada beberapa peraturan yang masih bisa ditetapkan bersamaan karena berkaitan ataupun berhubungan. Misalnya peraturan daerah tentang tata cara peran masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat disatukan dengan larangan membuang sampah tidak pada tempatnya, dan dengan ketentuan kemitraan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah. Peraturan daerah tersebut dapat ditetapkan berdasarkan kondisi eksisting dan kekhasan daerah tersebut. 4. Aspek Peran Serta Masyarakat Volume timbulan sampah yang naik terus menerus seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk merupakan hal utama yang menyebabkan anggapan bahwa masyarakat harus dapat dilibatkan dalam pengelolaan sampah. Sistem reward dan punishment merupakan salah satu rangsangan agar masyarakat dapat berperan aktif, namun penyadaran akan pentingnya pengelolaan kebersihan dan percontohan praktik pengelolaan sampah yang baik merupakan hal pokok yang harus terus ditingkatkan. Pemilahan sampah di sumber yang notabene harus dilakukan tiap rumah tangga di tiap rumah masing-masing merupakan langkah awal dalam tata kelola persampahan. Adanya kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampah, membuang sampah pada tempatnya dan lebih spesifik lagi memilah sampah merupakan tujuan pembinaan yang harus terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Organisasi atau lembaga tertentu harus dibentuk dalam upaya pembinaan tersebut. Misalnya ada satu lembaga yang merupakan gabungan dari beberapa institusi (misal dari Dinas Kebersihan, Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dll) yang konsen menangani program yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sampah. 162
Anih Sri Suryani Kerja sama dengan pihak swasta perlu terus didorong agar beban pemerintah dalam pengurangan sampah dapat berkurang. Kerjasama yang erat dengan pihak swasta dapat berupa kerjasama dalam pengomposan, pengumpulan sampah jenis tertentu, penggunaan kembali sampah yang dapat didaur ulang, penggunaan dan produksi kembali sampah plastik, dan sebagainya. Sosialisasi kepada para produsen yang menghasilkan sampah baik dalam produk maupun kemasannya akan keharusannya memberi pelabelan harus terus dilakukan. Begitupun dengan teknik dan tata cara pelabelan dan pengelolaan sampah yang mereka hasilkan perlu dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku sebagai bentuk tanggung jawab konsumen atau badan usaha tersebut. 5. Aspek Teknik Operasional Hal-hal yang diperlukan terkait dengan pemenuhan aspek ini adalah: • Kebijakan dan strategi nasional dan daerah tentang pengelolaan sampah; • Norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pengelolaan sampah yang ditetapkan pemerintah mulai dari pemilahan, pengumpulan, penyimpanan sementara, pengangkutan sampai dengan pemrosesan akhir; • Penetapan lokasi TPS, tempat pengolahan sampah terpadu, dan TPA yang merupakan bagian dari rencana tata ruang dan wilayah kabupaten/kota; • Sarana dan sarana persampahan mulai dari tempat sampah, alat-alat yang digunakan petugas penyapu dan petugas kebersihan lainnya, gerobak, sarana dan prasarana di TPS, truk, sampai dengan sarana dan prasarana serta alat berat di TPA yang mendukung sistem sanitary landfill; • Sumber daya manusia yang kompeten baik dalam proses perencanaan, teknis pengumpulan dan penyapuan di lapangan, tenaga pengangkut ke TPA, maupun tenaga-tenaga teknis yang mengerti dan dapat melakukan sistem sanitary landfill di TPA. Selain kelima aspek di atas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan paradigma berfikir. Banyak kota masih mengikuti pendekatan atau paradigma lama yang menganut prinsip bahwa sampah harus secepatnya dikumpulkan, diangkut, dan dibuang. Semua sampah yang dihasilkan oleh masyarakat diperlakukan sama tanpa upaya untuk meningkatkan efisiensi penanganan yang dilakukan. Hal ini terbukti tidak pernah berhasil. Sampah semakin banyak dihasilkan tetapi ketersediaan dana tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Makin banyak sampah yang tidak mampu ditangani dan pada akhirnya menum163
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik puk di banyak tempat yang tidak seharusnya seperti kali, lahan kosong, dibakar, dan lain-lain yang menimbulkan masalah serius bagi lingkungan sekitarnya. Suatu pendekatan atau paradigma baru harus dipahami dan diikuti, yaitu bahwa sampah dapat dikurangi, digunakan kembali, dan atau didaur ulang, atau yang sering dikenal dengan istilah 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh negara maju dan berhasil meningkatkan efisiensi pengelolaan secara signifikan. Dengan mengurangi sampah sejak di sumbernya maka beban pengelolaan kota akan dapat dikurangi dan anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien dimanfaatkan. Beban pencemaran dapat dikurangi dan lebih jauh lagi dapat turut menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Penutup Penetapan Undang-undang No. 18 tahun tentang Pengelolaan Sampah ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kehidupan yang baik dan sehat kepada masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, penetapan undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta perwujudan upaya pemerintah dalam menyediakan landasan hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif, serta pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan sampah. Dalam tataran implementasi di lapangan berbagai kesulitan dan tantangan dapat terjadi terkait dengan aspek-aspek manajemen persampahan. Dukungan kelembagaan yang kuat dan kompeten merupakan hal yang utama, disertai komitmen dana alokasi yang mencukupi dan dukungan regulasi yang memayungi semua kegiatan pengelolaan sampah merupakan faktor utama agar implementasi undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik. Selain itu peran serta masyarakat dan juga pelaksanaan teknik operasional yang optimal dari mulai sumber sampai dengan pemrosesan akhir turut menentukan terlaksananya pengelolaan sampah yang baik. Selebihnya upaya yang konsisten, sinergi dan koprehensif dari semua pihak dari hulu ke hilir sangat diharapkan agar pengelolaan sampah dapat memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
164
Anih Sri Suryani
DAFTAR PUSTAKA
Buku Crememisinoff, Nicholas P. 2003. Handbook of Solid Waste Management and Waste Minimization Technology, Amsterdam: Butterwoth-Heinemann. Inoguchi, Takashi, Edward Newman, Glen Paoletto. 2003, Kota dan Lingkungan Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi, Jakarta: Pustaka LP3ES. Nag,A, Vijayakumar. 2005. Environmental Education and Solid Waste Management, New Delhi: New Age International Publisher. Sejati, Kuncoro. 2009. Pengolahan Sampah Terpadu, Yogyakarta:Kanisius. Dokumen Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Statistik Persamapahan Indonesia Tahun 2008, Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Statistik Indonesia Tahun 2001, Biro Pusat Statistik. SK SNI S-04-1993-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Besar dan Kota Sedang. Internet “Dasar Pengelolaan Sampah Kota”, dari http://www.docstoc.com/docs/34499795/ Dasar-Pengelolaan-Sampah-Kota , diakses tanggal 23 Oktober 2010. “Kondisi Persampahan di Indonesia”, http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/17/ kondisi-persampahan-kota-di-indonesia/, diakses tanggal 15 November 2010. 165
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik “Plus Minus Undang-undang Persampahan” dari http://www.togarsilaban.com/ 2008/06/16/ plus-minus-undang-undang-persampahan-1/ diakses tanggal 8 Oktober 2010. “Undang-undang Persampahan Disahkan”, dari http://www.togarsilaban.com/2008/ 04/10/ undang-undang-persampahan-disahkan/, diakses tanggal 8 oktober 2010.
166
Sulis Winurini
PERAN PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN TERHADAP PERKEMBANGAN MORAL REMAJA Sulis Winurini1
A. Pendahuluan Persoalan yang dihadapi oleh generasi muda Indonesia saat ini telah jauh berbeda dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya karena tantangannya sangat kompleks. Kemudahan akses informasi dan pengaruh globalisasi telah menyebabkan banyaknya generasi muda mengalami internasionalisasi nilainilai sosial dan budaya. Akibatnya, solidaritas sosial dan semangat kebangsaan yang berkaitan dengan kepentingan dan nilai-nilai nasional, sering berada pada prioritas yang rendah. Banyak pemuda menjadi tidak peduli dengan masalah yang terjadi di sekitarnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini diperkuat oleh Bernadette N. Setiadi, dkk (dalam Saskia, 2002). Berdasarkan hasil penelitiannya, saat ini muncul kecenderungan yang terjadi pada diri manusia Indonesia, yaitu merosotnya sikap gotong-royong dan tolong-menolong. Manusia Indonesia lebih senang menempuh jalan pintas untuk mencapai tujuannya dan lebih nyaman bermain menjadi pemain yang aman, Tingkat kedisiplinan dan solidaritas sosial juga berada pada taraf yang rendah, bahkan sering terjadi kekaburan dalam memahami perbedaan antara kebutuhan dan keserakahan. Dalam keadaan seperti ini, manusia akan berkembang menjadi makhluk yang egosentris dan instrumental. Tingkat kemiskinan yang tinggi juga ikut mempengaruhi permasalahan sosial dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Akibat kesulitan ekonomi, kebanyakan dari mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan atau putus sekolah. 1 Peneliti Kesejahteraan Sosial P3DI Setjen DPR RI
167
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Dampaknya terlihat pada sulitnya mendapatkan pekerjaan serta munculnya berbagai penyakit sosial. Hampir 40% tindak kriminalitas di Jakarta dilakukan oleh remaja (Harian Republika, 2005).2 Selanjutnya, dikatakan bahwa di wilayah Jakarta tidak ada hari tanpa tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh remaja (Harian Republika, 2007).3 Tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Harian Kompas (2007)4 bahkan secara tegas menyatakan bahwa tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa aspek sudah terorganisir. Parahnya, seperti diberitakan oleh Metrotvnews.com (2010)5, tindakan kriminal seperti tawuran juga terjadi di kalangan siswa Sekolah Dasar (SD). Mereka tidak hanya menggunakan batu dan balok sebagai senjata, namun beberapa dari mereka juga membawa samurai. Permasalahan-permasalahan tersebut menggambarkan bahwa perilaku antisosial di kalangan remaja sebagai generasi muda Indonesia telah meningkat. Perilaku antisosial adalah perilaku yang baik secara verbal maupun fisik membahayakan orang lain atau properti, dan juga melanggar norma sosial dalam suatu lingkungan tertentu (dalam Saskia, 2002:3). Hal ini memunculkan pemikiran mengenai perlunya upaya preventif berupa pembinaan untuk mencegah perilaku antisosial melalui pengembangan moral remaja. Remaja menjadi fokus dalam upaya perkembangan moral karena mereka merupakan cikal bakal pemimpin bangsa yang artinya menjadi penentu arah dan sasaran pembangunan ke depan. Hal ini perlu dilakukan sedini mungkin karena dengan begitu pembentukan kepribadian akan dirasakan secara jangka panjang. Saat ini, gerakan pramuka kembali digalakkan oleh pemerintah mengingat pendidikan kepramukaan memiliki pengaruh bagi pembentukan dan pembangunan kepribadian yang positif dalam diri remaja. Bagaimana peran pendidikan kepramukaan terhadap perkembangan moral remaja akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. 2 3 4 5
http://www.scribd.com/doc/6241288/KRIMINALITAS-REMAJA Ibid Ibid http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/04/24/104057/Puluhan-AnakSD-Tawuran,
168
Sulis Winurini B. Pelaksanaan Pendidikan Kepramukaan di Indonesia Gerakan pramuka sebagai penyelenggara pendidikan kepramukaan untuk pertama kali diperkenalkan oleh Lord Baden-Powell melalui perkemahan remaja di Brownsea Island di selatan Inggris pada tahun 1907. Kegiatan ini telah berhasil membuktikan bahwa pendidikan kepramukaan merupakan pendidikan yang tepat untuk membentuk watak, kepribadian, budi pekerti kaum muda. Perkemahan remaja tersebut telah berhasil mengubah anak-anak remaja di London yang semula nakal menjadi baik, yang semula tidak bertanggung jawab menjadi sangat bertanggung jawab, yang semula tidak peduli lingkungan menjadi sangat peduli lingkungan, dan yang semula tidak memiliki masa depan menjadi memiliki masa depan (Naskah Akademik RUU Kepramukaan, 2010). Keberhasilan pendidikan kepramukaan ini kemudian dengan cepat menyebar dan diterapkan oleh berbagai negara Eropa lainnya, termasuk Belanda. Pada tahun 1912 pendidikan kepramukaan tersebut diperkenalkan Pemerintahan Hindia Belanda ke Indonesia. Sejak itu pendidikan kepramukaan berkembang sebagai sebuah gerakan yang pesat di tanah air dalam bentuk organisasi-organisasi kepramukaan. Penerapan nilai-nilai kepramukaan yang diselenggarakan pada masa penjajahan Belanda, telah berhasil dengan gemilang membentuk watak, kepribadian, dan pekerti kaum muda Indonesia yang handal untuk mensiagakan upaya kemerdekaan Indonesia. Lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, serta perjuangan revolusi fisik sampai dengan tahun 1949, yang dipelopori oleh kaum muda, tidak terlepas dari keberhasilan pembentukan watak, kepribadian, dan pekerti kaum muda Indonesia melalui pendidikan kepramukaan tersebut . Pada tahap selanjutnya, perkembangan organisasi kepramukaan di Indonesia berjalan seirama dengan perkembangan kehidupan berpolitik dan bernegara. Lahirnya puluhan partai politik yang menandai berlakunya era demokrasi liberal, mendorong lahirnya puluhan organisasi kepramukaan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1961, melalui Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka, pemerintah menyatukan organisasi kepanduan di Indonesia ke dalam satu wadah yang dikenal dengan nama Gerakan Pramuka. Pada saat ini organisasi kepramukaan dengan bendera Gerakan Pramuka telah memiliki jumlah pramuka sekitar 21 juta orang. Jumlah ini merupakan yang terbesar di dunia. 169
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Gerakan pramuka pada masanya telah berhasil mendidik generasi muda Indonesia menjadi kaum muda yang memiliki idealisme, nasionalisme, rela berkorban, berwatak kesatria, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, inovatif, kreatif, dan tanggap terhadap lingkungan yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan Indonesia yang aman, damai, sejahtera, dan demokratis (Naskah Akademik RUU Kepramukaan, 2010). C. Pendidikan Kepramukaan Dan Perkembangan Moral Remaja 1. Substansi Pendidikan Kepramukaan Menurut Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka, pendidikan kepramukaan dalam Sistem Pendidikan Nasional termasuk dalam jalur pendidikan nonformal yang diperkaya dengan pendidikan nilai-nilai gerakan pramuka dalam pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup. Adapun nilai-nilai yang dimiliki gerakan pramuka mencakup; a. keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. kecintaan pada alam dan sesama manusia; c. kecintaan pada tanah air dan bangsa; d. kedisiplinan, keberanian, dan kesetiaan; e. tolong-menolong; f. bertanggung jawab dan dapat dipercaya; g. jernih dalam berpikir, berkata, dan berbuat; h. hemat, cermat, dan bersahaja; dan i. rajin dan terampil. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi inti kurikulum pendidikan kepramukaan. Untuk membentuk kepribadian dan kecakapan hidup pramuka, gerakan pramuka memiliki kode kehormatan, yaitu janji dan komitmen diri serta ketentuan moral pramuka dalam pendidikan kepramukaan. Kode kehormatan menjadi landasan kegiatan pendidikan kepramukaan dan menjadi budaya organisasi gerakan pramuka yang melandasi sikap, tingkah laku pramuka dalam kehidupan berorganisasi (Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka, 2007). Kode kehormatan pramuka dibagi menjadi dua macam yaitu janji yang disebut Satya dan ketentuan moral yang disebut Darma. Satya Pramuka merupakan titik tolak memasuki proses pendidikan guna mengembangkan visi, 170
Sulis Winurini mental, moral, ranah spiritual, emosional, sosial, intelektual dan fisiknya baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat di lingkungannya. Sedangkan Darma Pramuka adalah upaya memberi pengalaman praktis yang mendorong pramuka menemukan, menghayati, dan mematuhi sistem nilai yang dimiliki masyarakat dimana ia hidup dan menjadi pramuka (Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka, 2007). Selanjutnya, kegiatan kepramukaan dilaksanakan dengan menggunakan sistem among. Sistem among merupakan proses pendidikan kepramukaan yang membentuk peserta didik agar berjiwa merdeka, disiplin, dan mandiri dalam hubungan timbal balik antarmanusia dan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kepemimpinan: a. di depan menjadi teladan; b. di tengah membangun kemauan; dan c. di belakang mendorong dan memberikan motivasi kemandirian. Mengacu kepada substansinya, pendidikan kepramukaan adalah pendidikan karakter karena mengutamakan perkembangan moral melalui nilai-nilai serta kode kehormatannya. Menurut Kemendikas (dalam Triatmanto, 2010:188),6 pendidikan karakter adalah suatu upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat. 2. Keterkaitan Pendidikan Kepramukaan Dengan Perkembangan Moral Remaja Moral berasal dari kata latin mores: adat istiadat, kebiasaan, atau tata cara dalam kehidupan (Hurlock, 1991). Moral adalah suatu bentuk sistem nilai yang mendasari keputusan mengenai benar dan salah, atau baik dan buruk (de Mott dalam Saskia, 2002). Moral memiliki dimensi intrapersonal, yaitu nilai dasar seseorang dan sense of self, selain ada juga dimensi interpersonal, yaitu fokus pada apa yang 6 http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:hVfTQSpK3W8J:journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/245/pdf_36+Kemendiknas.+2010.+Pembinaan+Pendidikan+Karakter+di+Sekolah+Mene ngah+Pertama+.+Jakarta
171
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Dimensi intrapersonal mengatur aktivitas seseorang ketika ia tidak melakukan interaksi sosial, sedangkan dimensi interpersonal mengatur interaksi sosial seseorang dan pengambilan keputusan ketika menghadapi konflik (Walker; Walker & Pitts dalam Santrock, 2001). Perkembangan moral yang dituangkan oleh pendidikan kepramukaan termanifestasi dari nilai-nilai dalam pendidikan kepramukaan, serta kode kehormatan yang berbentuk janji dan komitmen diri serta ketentuan moral pramuka. Hal-hal tersebut diinternalisasi dalam diri pramuka menjadi nilai pribadi, termasuk menjadi acuan ketika pramuka berinteraksi di dalam lingkungannya sebagai anggota masyarakat. Perkembangan moral mencakup penalaran, perasaan dan tingkah laku dengan mempertimbangkan standar benar dan salah (Santrock, 2001). Menurut Kohlberg (dalam Saskia, 2002), perkembangan moral seseorang terutama ditentukan oleh penalaran moral. Penalaran moral adalah alasan atau cara berpikir yang mendasari keputusan mengenai benar atau salah, baik atau buruk. Alasan tersebut digunakan individu untuk memperkuat norma atau aturan yang dianut, yang biasanya dalam beberapa situasi tertentu bertentangan dengan norma yang lain. Aturan ini merupakan standar yang dapat diterapkan individu dalam segala situasi dan melampaui batas sosio-budaya masyarakat. Kunci untuk memahami perkembangan moral adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari kontrol tingkah laku eksternal menjadi kontrol tingkah laku berdasar standar dan prinsip internal (Santrock, 2001). Menurut Brabeck (dalam Santrock, 2001), individu tidak secara pasif menerima aturan moral dari lingkungannya. Ada proses pertimbangan dan penalaran yang dilakukan individu dalam menghadapi situasi dilematis dimana ia harus memutuskan suatu tindakan tertentu. Sejalan dengan perkembangannya, penalaran moral akan berubah menjadi semakin internal. Kohlberg (dalam Santrock, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga tingkat perkembangan moral yang harus dilalui anak hingga dewasa. Masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan yang menjelaskan mengenai dasardasar untuk memecahkan masalah. Tingkat perkembangan Kohlberg adalah sebagai berikut; 1. Tingkat Pra-Konvensional, yaitu penalaran moral diatur berdasarkan penghargaan atau pujian dan hukuman yang bersifat eksternal. Tingkat prakonvensional ini terdiri atas dua tahap, yaitu: 172
Sulis Winurini a. Tahap 1: Heteronomous morality. Individu bertingkah laku berdasarkan keinginan untuk menghindari hukuman dan mendapatkan hadiah. b. Tahap 2: Individualism, instrumental purpose, and exchange Individu bertingkah laku untuk mengejar kepentingannya sendiri tapi juga membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. 2. Tingkat Konvensional, yaitu penalaran moral diatur berdasarkan aturan yang sudah ada di dalam dirinya dengan juga memperhatikan aturan dari lingkungan. Tingkat konvensional terdiri atas dua tahap, yaitu: a. Tahap 3: Mutual interpersonal expectation, relationship, and interpersonal conformity. Individu melakukan tindakan berdasarkan apa yang baik di mata orang lain dan juga diri sendiri, keinginan untk mempertahankan aturan, dan rasa percaya akan adanya aturan emas, yaitu berbuat kepada orang lain seperti yang kita ingin orang lain perbuat terhadap kita. b. Tahap 4: Social system morality. Individu pada tahap ini memandang sistem sebagai penentu aturan dan peranan, sedangkan hubungan dengan orang lain adalah bagian dari sistem. 3. Tingkat Pasca-konvensional, yaitu penalaran moral diatur tidak berdasarkan standar orang lain namun individu sudah memiliki prinsip yang diyakininya sendiri. a. Tahap 5: Social contract or utility and individual rights. Tahap ini lebih memperhatikan aturan yang disepakati bersama dan juga menyadari adanya nilai dan hak yang bersifat non relatif yang harus ditegakkan dalam masyarakat. b. Tahap 6: Universal ethical principles. Individu pada tahap ini memandang segala sesuatu dengan sudut pandang moral yang sudah terinternalisasi ke dalam dirinya. Dapat disimpulkan bahwa proses internalisasi nilai dalam perkembangan moral individu dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal serta faktor eksternal. Faktor internal mencakup hal-hal yang ada dalam diri individu, seperti kognisi dan kematangan. Sementara faktor eksternal mencakup lingkungan sebagai pemberi rangsang kepada individu. Pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kepribadian adalah sangat signifikan ketika individu 173
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik berada pada usia dini. Pada usia dini, kognisi anak belum berkembang secara optimal dan masih terfokus pada hal-hal yang sifatnya konkret (Piaget dalam Sarwono, 1997). Untuk menilai dan bertindak atas suatu permasalahan, mereka belum mandiri dan mengandalkan stimulus dari lingkungannya. Dengan kata lain, tingkah laku mereka lebih banyak dikontrol oleh lingkungan. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang dibentuk selama tahun-tahun pertama sangat menentukan seberapa jauh individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka bertambah tua (Hurlock, 1991). Sehingga, semakin dini rangsangan berupa nilai-nilai itu diberikan maka semakin menetap nilai-nilai tersebut tertanam dalam pribadi mereka saat dewasa. Ketika anak beranjak dewasa, lingkungan tetap berperan dalam perkembangan moralnya, meskipun tidak sebesar ketika mereka masih anak-anak. Pengaruh lingkungan bisa saja sama besarnya seperti ketika mereka masih anakanak, apabila perkembangan moralnya terhambat. Banyak remaja bahkan orang dewasa melakukan pelanggaran kriminal, menunjukkan bahwa perkembangan moralnya masih berada pada tingkat pra-konvensional yang biasanya dimiliki oleh anak di bawah usia 9 tahun. Keputusannya dalam mengambil tindakan hanya didasari sifat yang egosentris, tidak mempertimbangkan sudut pandang serta kepentingan orang lain. Padahal biasanya, remaja dan orang dewasa berada pada tingkat konvensional, yaitu tahapan dimana mereka seharusnya sudah mampu memperhatikan aturan dari lingkungan, misalnya harapan keluarga, kelompok atau masyarakat berbangsa dan bernegara. Faktor internal bisa menjadi pemicu terjadinya pelanggaran kriminal yang dilakukan oleh remaja. Masa remaja dianggap sebagai periode “badai” dan “tekanan,” suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1991). Ketidakstabilan emosi juga dikarenakan mereka harus bekerja keras menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya serta memenuhi harapan-harapan masyarakat yang tercakup dalam tugas perkembangan, yaitu (Havighurst dalam Hurlock, 1991): 1. mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebaya, pria ataupun wanita. 2. mencapai peran jenis sebagai wanita atau pria 3. menerima keadaan jasmaninya dan menggunakan jasmaninya secara efektif
174
Sulis Winurini 4. mencapai kemandirian secara emosional dari ketergantungan kepada orang tua atau orang dewasa 5. mencapai keyakinan akan dapat mandiri secara ekonomi pada masa mendatang 6. memilih dan mempersiapkan diri untuk menjalankan suatu pekerjaan 7. menyiapkan diri untuk perkawinan dan berkeluarga 8. mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual yang diperlukan sebagai warga masyarakat. Untuk mencegah permasalahan degradasi moral pada diri remaja, perlu upaya untuk meningkatkan peran lingkungan sebagai faktor eksternal. Namun demikian, pada umumnya hubungan remaja dengan keluarganya menjadi renggang karena beberapa hal. Banyak remaja merasa bahwa orang tua tidak mengerti mereka dan standar perilaku orang tua dianggap kuno. Sementara orang tua sulit menerima keengganan remaja mengikuti nasehat yang dipandang penting (Hurlock, 1991). Oleh sebab itu, peran sekolah sebagai lingkungan eksternal perlu ditekankan. Sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan moral anak karena mulai usia 7 (tujuh) tahun, sebagian besar pengalaman anak dihabiskan di sekolah. Sekolah merupakan institusi pendidikan yang bersifat formal. Melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ada, tujuan-tujuan pendidikan diharapkan dapat tercipta di sekolah. Seorang anak belajar mengenai norma, nilai dan ketrampilan khusus dengan berpartisipasi di dalam institusi pendidikan seperti sekolah (Bennet & LeCompte dalam Winurini, 2004). Pendidikan kepramukaan sebagai pendidikan yang mengutamakan moral menjadi upaya preventif bagi permasalahan degradasi moral remaja. Pendidikan kepramukaan diselenggarakan oleh gerakan pramuka yang sebagian besar ada di sekolah-sekolah berbentuk gugus depan. Pada dasarnya, gugus depan juga tersedia di komunitas masyarakat, seperti komunitas kewilayahan, agama, profesi, organisasi kemasyarakatan dan komunitas lainnya. Namun demikian, gugus depan paling banyak ada di sekolah-sekolah karena setiap sekolah, khususnya sekolah negeri, menjadi gugus depan gerakan pramuka. Pendidikan kepramukaan bertujuan untuk menginternalisasi nilai-nilai positif dalam diri pramuka. Proses internalisasi nilai-nilai positif dinamakan pembelajaran, dilakukan melalui kegiatan pendidikan kepramukaan dengan metode belajar yang interaktif dan progresif. Pendidikan kepramukaan dimulai 175
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dari pendidikan dasar supaya nilai-nilai yang positif bisa diserap secara jangka panjang oleh pramuka, selain juga karena kognisi anak sudah sesuai untuk menangkap serta memahami materi pendidikan kepramukaan. Pembelajaran mengenai pendidikan kepramukaan dilakukan secara berkesinambungan, tergambar dalam jenjang pendidikan kepramukaan. Menurut Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka, ada empat jenjang dalam pendidikan kepramukaan yang membedakan antara pramuka muda dengan pramuka dewasa, yaitu jenjang pendidikan: 1. siaga (usia 7—10 tahun); 2. penggalang (usia 11—15 tahun); 3. penegak (16—20 tahun); dan 4. pendega (21--25 tahun). Kegiatan dalam pendidikan kepramukaan menyesuaikan usia dan perkembangan rohani jasmani pramuka dengan tujuan supaya pendidikan kepramukaan dapat diterima dengan mudah sesuai perkembangannya tersebut. Jenjang pendidikan siaga menekankan pada terbentuknya kepribadian, dan keterampilan di lingkungan keluarga melalui kegiatan bermain sambil belajar. Sementara jenjang pendidikan penggalang menekankan pada terbentuknya kepribadian dan keterampilan dalam rangka mempersiapkan diri untuk terjun dalam kegiatan masyarakat melalui kegiatan belajar sambil melakukan. Kemudian jenjang pendidikan penegak menekankan pada terbentuknya kepribadian dan keterampilan agar dapat ikut serta membangun masyarakat melalui kegiatan belajar, melakukan, bekerja kelompok, dan berkompetisi. Dan terakhir adalah jenjang pendidikan pendega menekankan pada terbentuknya kepribadian dan keterampilan agar dapat ikut serta membangun masyarakat melalui kegiatan masyarakat. Pendidikan kepramukaan yang dilakukan secara berkesinambungan dari mulai anak-anak hingga dewasa berpengaruh terhadap kemantapan pribadi pramuka. Selain itu, pembelajaran mengenai pendidikan kepramukaan tidak hanya terpaku pada jam sekolah, melainkan diamalkan juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Pada akhirnya, nilai-nilai pendidikan kepramukaan tertanam dalam cara berpikir mereka, mendasari keputusan mengenai benar atau salah, baik atau buruk dalam segala situasi, termasuk dalam situasi yang dilematis sekalipun. 176
Sulis Winurini D. Dampak Perkembangan Moral Bagi Pembangunan Sosial Perkembangan moral memiliki dampak yang positif bagi individu secara pribadi, lingkungan masyarakat serta negara lewat kontribusinya dalam pembangunan sosial. Bagi diri pribadi, perkembangan moral berperan dalam pembentukan pribadi yang positif. Individu dengan moral yang baik akan memiliki keteguhan dalam berprinsip, mengacu pada nilai-nilai etis yang berlaku secara universal untuk mendasari tindakannya. Oleh karenanya, mereka tampak mandiri, tidak mudah terpengaruh, dan tidak takut ketika menjadi minoritas demi membela keteguhan prinsipnya. Mereka tetap mampu berpikir secara logis mengenai resiko atas tindakan yang dilakukan, baik itu resiko bagi diri sendiri maupun bagi orang kebanyakan. Kualitas pribadi yang demikian menyelamatkan mereka dari bahaya kemajuan zaman yang kini kerap muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan pribadi yang berkualitas, mereka mampu menghadapi tuntutan zaman yang kompleks dan selalu berubah-ubah. Bagi lingkungan sosial, tahapan perkembangan moral memiliki hubungan dengan perilaku prososial (Sarwono, 1997). Hal ini diperjelas oleh suatu aliran yang meneliti perilaku prososial dengan pendekatan teori kognisi sosial yang mengatakan bahwa bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan moral individu maka semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk berperilaku prososial (Hartati dalam Saskia, 2002). Semakin tinggi tahap perkembangan moral individu maka semakin mencerminkan kepedulian terhadap sesama dan keadilan daripada keuntungan diri sendiri (Eisenberg-Berg dalam Saskia, 2002) Perilaku prososial adalah perilaku yang diterima masyarakat yang bersifat membangun, tepat dan sesuai dengan peraturan (Potter dan Ware dalam Natanael dan Sufren, 2010). Sementara menurut Wispe (dalam Saskia, 2002), perilaku prososial adalah perilaku yang bermanfaat bagi orang lain atau punya konsekuensi sosial positif yang berguna bagi kesejahteraan fisik dan psikologis orang lain. Mengacu pada definisinya, perilaku prososial dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam pembangunan sosial. Menurut Moeljarto (dalam Widiowati, 2009:9), pembangunan sosial tidak hanya diukur melalui peningkatan akses pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan sosial yang lebih kompleks dan kadang-kadang beragam seperti persamaan, ”keadilan sosial”, promosi budaya, dan ketentraman batin, juga peningkatan 177
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kemampuan manusia untuk bertindak sehingga potensi kreatif mereka dapat dikeluarkan dan membentuk perkembangan sosial. Secara umum, individu dengan moral yang baik akan mampu mencegah, mengendalikan serta mengatasi beragam permasalahan sosial yang menghambat keberhasilan pembangunan sosial. Pada akhirnya, perkembangan moral memiliki andil untuk menciptakan peradaban yang unggul dalam kehidupan bermasyarakat. Bangsa yang unggul adalah bangsa yang dapat mengatasi keadaan dan memberi kontribusi pada permasalahan umat manusia (dalam Widiowati, 2009:14). Kualitas bangsa tidak hanya mencakup aspek kognitif semata, namun juga berkaitan dengan perilaku individu dalam suatu negara. Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, membangun budaya unggul dan peradaban yang mulia merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia dengan mengembangkan karakter, semangat, dan keuletan bangsa (dalam Widiowati, 2009:14). Melalui perkembangan moral, maka persatuan dan harmoni sosial akan semakin kokoh, selain juga stabilitas nasional akan semakin mantap. Sifat-sifat kemanusiaan dalam diri manusia Indonesia akan semakin meningkat karena setiap individu memiliki perhatian kepada anggota masyarakat lain yang miskin, lemah dan menderita. E. Peran Pemerintah dan DPR Menggalakkan Pendidikan Kepramukaan Lewat Gerakan Pramuka Penyampaian pendidikan kepramukaan kepada pramuka sangat dipengaruhi oleh eksistensi gerakan pramuka. Dalam hal ini, pemerintah dan parlemen memiliki andil yang sangat besar, terutama dalam hal penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan. Sebelum Undang-Undang mengenai Gerakan Pramuka disusun, pemerintah membuat peraturan setingkat keputusan presiden, yaitu Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. Ini merupakan upaya pemerintah untuk mengumpulkan 60 organisasi kepanduan menjadi kekuatan pembangunan nasional. Intinya, Gerakan Pramuka ditetapkan sebagai satu-satunya perkumpulan yang memiliki kewenangan menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (dalam Winurini, 2010). Namun, payung hukum setingkat keputusan presiden dianggap belum kuat mendukung eksistensi gerakan pramuka karena tidak dapat mengikat badan-badan di luar pemerintah. Peraturan perundang-undangan tersebut juga 178
Sulis Winurini kurang komprehensif dan tidak mampu mengakomodir tuntutan zaman. Pada tahun 1998, perkembangan gerakan pramuka mengalami penurunan. Pada prakteknya, eksistensi gerakan pramuka hanya sebatas kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah, meskipun di dalam komunitas masyarakat, ada organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Penurunan perkembangan gerakan pramuka mengakibatkan transfer nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila dalam pembentukan kepribadian kaum muda menjadi tidak optimal. Menyadari permasalahan-permasalahan tersebut, maka pada peringatan ulang tahun gerakan pramuka, tanggal 14 Agustus 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi gerakan pramuka. Revitalisasi gerakan pramuka adalah upaya mengembalikan gerakan pramuka sebagai lembaga pendidikan non formal untuk mendidik kader bangsa yang handal, memiliki semangat jiwa bela negara, patriot pembangunan dan perekat bangsa. Selain itu, revitalisasi gerakan pramuka juga merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pendidikan nasional yang keberhasilannya sangat tergantung dari keberhasilan pendidikan non-formal. Dalam rangka revitalisasi gerakan pramuka, maka disusunlah Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka sebagai usul inisiatif DPR dan disahkan pada tanggal 26 Oktober 2010. Adanya undang-undang ini semakin mengukuhkan keberadaan gerakan pramuka. Gerakan pramuka kembali digalakkan, terutama di sekolah-sekolah dengan tujuan untuk menginternalisasi pendidikan kepramukaan yang sarat akan pendidikan moral untuk membentuk sekaligus membangun kepribadian yang positif pada diri generasi muda Indonesia (dalam Winurini, 2010). F. Penutup 1. Kesimpulan Permasalahan degradasi moral yang dialami oleh pemuda Indonesia saat ini merupakan kosekuensi dari kemajuan pembangunan di tingkat nasional maupun internasional. Tingkat kemiskinan yang tinggi juga berkontribusi terhadap kasus-kasus kriminalitas di kalangan remaja karena akibat kemiskinan, banyak remaja putus sekolah, tidak mengenyam pendidikan dan melakukan pelanggaran aturan. Kepribadian pemuda Indonesia tampak rentan sehingga diperlukan upaya preventif untuk membangun moral yang baik. Salah satu upaya adalah melalui 179
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik pendidikan kepramukaan karena pendidikan kepramukaan mengutamakan perkembangan moral. Pendidikan kepramukaan memiliki nilai-nilai, kode kehormatan, sistem among yang mengajarkan pemuda menjadi pemuda berkualitas. Dalam prosesnya, pendidikan kepramukaan dilakukan secara berjenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga dewasa. Ini adalah pendidikan kepramukaan yang dilakukan oleh gugus depan yang ada di sekolah-sekolah. Sebab ada juga gugus depan yang berada di komunitas masyarakat, namun yang paling banyak ada di sekolah-sekolah. Sekolah menjadi tempat paling efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai positif dalam diri anak karena sebagian besar waktu anak, mulai dari usia 7 (tujuh) tahun, mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Peran sekolah menjadi sangat signifikan karena ketika anak memasuki periode remaja, hubungan mereka dengan keluarga menjadi renggang sehubungan faktorfaktor perkembangan yang sedang mereka alami. Secara emosi mereka tampak labil karena masalah hormon dan upaya adaptasi memenuhi tuntutan sosial. Supaya terhindar dari permasalahan sosial, pendidikan kepramukaan yang sebagian besar diberikan di sekolah-sekolah diperlukan untuk perkembangan moral invidu mulai dari anak hingga dewasa sehingga kepribadian mereka terbentuk secara mantap dan positif dan dengan begitu mereka mampu berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan sosial. 2. Saran Supaya lebih komprehensif, bisa dilakukan penelitian secara empiris mengenai kontribusi pendidikan kepramukaan terhadap perkembangan moral. Ini akan menjadi masukan bagi pendidikan kepramukaan itu sendiri supaya tujuan dalam pendidikan kepramukaan benar-benar tercapai dan hasilnya selaras dengan pencapaian pembangunan sosial. Selanjutnya, untuk diperhatikan oleh pemerintah, bahwa salah satu faktor penyebab menurunnya eksistensi gerakan pramuka adalah peminat yang minim karena pelajarannya dianggap terlalu konvensional dan tidak cocok untuk selera remaja (dalam Kompas. com, 2010).7 Untuk itu, diperlukan penelitian mengenai kebutuhan remaja akan pendidikan kepramukaan. Melalui penelitian tersebut, akan diperoleh masukan yang bisa digunakan untuk mengemas pendi7 http://www1.kompas.com/read/xml/2010/06/16/19575366/bagaimana.membuat.pramuka.jadi. ngetren.
180
Sulis Winurini dikan kepramukaan sesuai minat dan kebutuhan mereka. Dengan begitu, mereka akan tertarik dan antusias mengikuti kegiatan kepramukaan. Hendaknya, penelitian tidak hanya diperuntukkan kalangan remaja saja, melainkan juga diperuntukkan usia 7 tahun hingga 25 tahun, mengingat rentang usia itu adalah rentang usia peserta didik gerakan pramuka.
181
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
182
Sulis Winurini
DAFTAR PUSTAKA
Buku Gerakan Pramuka: Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 2007. Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Santrock, John W. 2001. Adolescence. New York: McGraw-Hill Inc. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Widiowati, Dr. Didiet. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi. Skripsi Saskia, Laura. 2002. Hubungan Antara Penalaran Moral dan Kecendrungan Perilaku Prososial Remaja SMU. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Winurini, Sulis. 2004. Perbedaan Quality of School Life SMU Negeri Plus dan SMU Swasta Plus. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Internet Non Individual Bagaimana Membuat Pramuka Jadi Ngetrend?. http://www1.kompas.com/read/ xml/2010/06/16/19575366/bagaimana.membuat.pramuka.jadi.ngetren, diakses pada tanggal 21 Oktober 2010. Kriminalitas Remaja. http://www.scribd.com/doc/6241288/KRIMINALITASREMAJA, diakses pada tanggal 17 November 2010. 183
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Puluhan Anak SD Tawuran. http://metrotvnews.com/index.php/metromain/ newsvideo/2010/04/24/104057/Puluhan-Anak-SD-Tawuran, diakses pada tanggal 16 November 2010. Internet-Individual Triatmanto. Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah. http://docs. google.com/viewer?a=v&q=cache:hVfTQSpK3W8J:journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/245/pdf_36+Kemendiknas.+2010.+Pembinaan +Pendidikan+Karakter+di+Sekolah+Menengah+Pertama+.+Jakarta, diakses pada tanggal 25 November 2010. Natanael, Yonathan., Sufren. Peran Media Terlevisi Terhadap Perilaku Prososial Anak-Anak TK. (Kajian Non-empiris). http://www.psikologi.tarumanagara. ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/26-peran-media-televisi-terhadapperilaku-prososial-anak-anak-tk-kajian-non-empiris-yonathan-natanael-sufren.pdf, diakses pada tanggal 5 November 2010 Artikel Winurini, Sulis. 2010. Pembangunan Kepribadian Pemuda Melalui Gerakan Pramuka. Info Singkat. Jakarta: P3DI. Naskah Akademik RUU Kepramukaan. 2010. Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka. Belum diterbitkan.
184
Dinar Wahyuni
PLURALISME AGAMA DAN UPAYA MENUJU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Dinar Wahyuni
Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang pluralis dari berbagai segi. Dari segi keagamaan terdapat enam agama yang resmi diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu serta aliran-aliran kepercayaan yang tersebar di seluruh wilayah. Masing-masing membawa ajaran dan tradisi agamanya. Di luar itu muncul pula aliran-aliran yang sebagian berkembang dari agama. Sebut saja ajaran Lia Aminuddin pemimpin kelompok Eden, Ahmadiyah, Ahmad Mushadieq dengan ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang merupakan aliran yang lahir dari agama Islam. Bahkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur berkembang aliran-aliran kepercayaan yang dipengaruhi tradisi Jawa Hindu. Namun sampai sekarang aliran-aliran kepercayaan ini belum mendapat pengakuan sebagai sebuah agama yang berdiri sendiri. Pendefinisian agama resmi dan tidak resmi sudah berlangsung sejak jaman orde baru. Saat itu pemerintah orde baru menegaskan larangan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Kelompok yang menjadi korban dari kebijakan itu adalah penganut aliran kepercayaan. Kondisi kehidupan beragama yang serba plural berpotensi pengabaian jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Pluralisme harus didukung dengan toleransi. Karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan hidup damai dalam pluralisme. Dalam hal ini, negara wajib untuk melindungi dan menghormati kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai HAM yang fundamental. Namun, akhir-akhir ini toleransi yang selama ini menjadi pengikat an185
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik tar umat agama mulai pudar. Konflik yang mengatasnamakan agama terjadi di berbagai daerah. Berdasarkan laporan Setara Institute, pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah di tahun 2009 paling banyak masih menimpa jemaat Ahmadiyah (33 tindakan pelanggaran) dan jemaat gereja (12 tindakan). Pelanggaran terhadap Ahmadiyah meliputi upaya pembongkaran masjid, intoleransi, dan pembatasan akses untuk melakukan ibadah. Sementara jemaat gereja mengalami pelanggaran dalam bentuk pelarangan pendirian rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan serta intoleransi.1 Kasus terakhir menimpa jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur. Sejak awal Maret 2010, Pemerintah Daerah (Pemda) Bekasi melalui Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan menyegel gereja HKBP Pondok Timur Indah karena menyalahi peruntukan bangunan sehingga warga di sekitar lokasi merasa terganggu dengan keberadaan gereja yang didirikan 20 tahun yang lalu. Penyegelan sampai dilakukan dua kali karena jemaat HKPB kembali beribadah di tempat semula walaupun sudah dilakukan penyegelan. Akhirnya para jemaat mencari lokasi baru untuk melakukan peribadatan yakni di lahan kosong milik HKBP di Ciketing Asem, Mustika Jaya, Bekasi Timur, walaupun ijin penggunaan tanah untuk tempat ibadah masih dalam proses. Aksi penolakan warga setempat tetap terjadi dan sudah mengarah ke aksi pembubaran massa hingga berujung dengan penusukan pimpinan jemaat gereja HKBP, yaitu Pendeta Luspida Simanjuntak dan majelis gereja, Hasian Lumbatoruan Sihombing ketika akan beribadah. Konstitusi kebebasan beragama di Indonesia memang sudah ada tetapi dalam implementasi di masyarakat masih lemah. Pluralisme agama hanya dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap perbedaan yang ada, belum sampai pada tahap menerima dan menghargai perbedaaan yang ada. Peran negara masih minim dalam memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Rentetan penutupan rumah ibadah yang dilakukan pemerintah daerah memunculkan isu diskriminasi agama yang jika dibiarkan berpotensi timbulnya konflik horizontal. Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk memberi gambaran tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia serta upaya untuk menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralisme agama yang ada. 1 Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2009, http://www.setara-institute.org/ content/negara-harus-bersikap, diakses tanggal 15 November 2010.
186
Dinar Wahyuni Pluralisme Agama Sebuah Kenyataan Pemikiran tentang pluralisme agama muncul pada abad pencerahan di Eropa. Di masa ini agama Kristen Eropa sangat eksklusif dan tidak mempunyai sikap torelansi terhadap sekte lain yang berkembang di luar gereja. Akibatnya muncul gejolak pemikiran yang berorientasi pada akal dan ingin melepaskan diri dari ikatan agama. Pada saat itulah gagasan liberalime tampil dengan pluralisme sebagai salah satu konsepnya. Pluralisme kemudian dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan ketegangan di Eropa pada masa itu. Nasr (dalam Thoha, 2005 : 42-43) menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal yang tersembunyi dibalik ajaran-ajaran dan tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia. Atau bisa dikatakan bahwa semua agama bermuara pada satu poros, yaitu kebenaran hakiki. Perbedaaan antar agama hanyalah pada simbol dan luarnya saja, sedangkan inti dari agama tetap sama. Sementara Abdurrahman Wahid menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga (Wahid, 1981 : 3). Pluralisme di sini merupakan pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Hal inilah yang melahirkan toleransi. Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama (Wahid dalam Hidayat dan Gaus AF, 1998 : 52). Alwi Shihab (1999 : 41-43) mendefinisikan pluralisme agama tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Dalam konteks ini, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme dan relativisme, meskipun dalam paham pluralisme masih terdapat unsur relativisme, yang mana tidak mengklaim kebenaran tunggal atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minim. Sedangkan relativisme agama memandang doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Pluralisme agama juga bukan sinkretisme yang menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. 187
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, Ole Riis (dalam Ali, 2003 : 36) melihat pluralisme agama dari tiga mazhab teori besar dalam sosiologi agama, yaitu teori fungsionalisme, kognifisme dan kritis. Fungsionalisme melihat bahwa agama sebagai institusi yang membentuk integrasi sosial. Talcott Parsons, penganut teori ini menganggap agama sebagai penyedia norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, karena itu pluralisme diyakini akan mendorong pembentukan nilai-nilai dasar bagi masyarakat majemuk. Sedangkan kognifisme memandang agama merupakan pandangan dunia yang menyediakan makna bagi individu-individu dan masyarakat. Sementara teori kritis berpandangan bahwa agama adalah ideologi yang melegitimasi struktur kekuasaan masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai subjek perjuangan meraih kekuasaaan dan karenanya agama menjadi alat legitimasi kepentingan kelompok tertentu. Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, pluralisme harus dipahami secara utuh mengingat Indonesia terbentuk dari unsur-unsur yang serba plural, termasuk agama. Pluralisme agama tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan agar tercapai kerukunan dalam kemajemukan. Klaim adanya kebenaran absolut sebuah agama yang menganggap hanya agama tertentu yang paling benar sedangkan pemeluk agama lain sesat tentunya tidak sejalan dengan paham pluralitas agama. Hampir semua pendapat di atas tidak mengakui adanya kebenaran tunggal bahkan menolak eksklusivisme agama tertentu yang hanya memicu konflik beragama seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Pluralisme justru diharapkan akan membentuk integrasi sosial dari keterbukaan pandangan akan kebenaran itu sendiri. Relasi Agama dan Negara Agama merupakan isu yang paling sensitif karena menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Dari segi fungsinya, agama merupakan suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial (Thoha, 2005 : 13). Dengan demikian agama berfungsi sebagai integrasi sosial. Namun di sisi lain agama dapat menjadi pemicu timbulnya konflik. Adanya klaim kebenaran yang memandang agama lain sesat sehingga berusaha mengajak orang lain yang sudah menganut suatu agama untuk masuk ke dalam agamanya akan melahirkan ketegangan yang berujung konflik. Dalam kondisi demikian, peran negara diperlukan untuk mengatur kehidupan beragama. Aga188
Dinar Wahyuni ma dan negara mempunyai keterkaitan dan keterikatan. Apabila agama sebagai ajaran yang mengikat untuk mempraktekan maka negara sebagai bagian yang mengikat akan fungsi pelayanan atas kesepakatan kolektif.2 Secara teoritik hubungan antara agama dan negara bisa dilihat dari tiga paradigma.3 Pertama, paradigma integralistik yang melihat agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Kedaulatan negara ada di tangan Tuhan karena menurut paham ini Tuhan pusat segala sesuatu. Kedua, paradigma simbiotik yang menyatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen untuk melestarikan dan mengembangkan agama, sementara negara membutuhkan agama dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas. Dengan demikian kedaulatan suatu negara ada di tangan Tuhan sekaligus rakyat. Artinya meskipun dalam suatu negara, rakyat yang menentukan pengelolaannya, tetapi rakyat tidak bisa lepas dari nilai-nilai ketuhanan (Azra dkk, 2005 : 83). Ketiga, paradigma sekularistik yang melihat ada pemisahan antara agama dan negara. Agama dan negara mempunyai bidang masing-masing sehingga harus dipisahkan keberadaannya. Hukum positif yang berlaku berasal dari kesepakatan manusia melalui kontrak sosial dan tidak ada kaitan dengan hukum agama. Agama dipandang sebagai urusan pribadi yang tidak boleh dibawa ke ranah publik. Kedaulatan suatu negara ada di tangan rakyat. Berdasarkan paradigma-paradigma tersebut, maka Indonesia bukan termasuk negara agama karena pemerintahan tidak diatur menggunakan hukum agama, juga bukan negara sekuler yang sama sekali memisahkan hubungan agama dan negara. Indonesia memberikan ruang yang bebas bagi tumbuhnya nilainilai keagamaan dan ketuhanan. Hal ini tampak dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila berfungsi sebagai landasan bersama bagi umat beragama dalam usaha mewujudkan dan mengembangkan kerukunan hidup beragama, tetapi Pancasila tidak mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hidup pribadi. Eksistensi agama dalam negara Indonesia juga terlihat dalam pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi: 2 Relasi Agama Dan Negara, http://thohir3.blogspot.com/2009/11/relasi-agama-dan-negara.html, diakses tanggal 28 November 2010. 3 Ibid.
189
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal tersebut menunjukkan hubungan agama dan negara sangat erat di Indonesia baik secara fungsional, kultural, struktural maupun fungsional dan keduanya diletakkan dalam bingkai konstitusional yang jelas dan tegas, walaupun agama tidak secara resmi dijadikan dasar negara (Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, 2009 : 16-17). Bentuk Regulasi Negara Terhadap Agama Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya itu. Hal ini diatur dalam pasal 29 ayat (2) dan pasal 28E ayat (1). Bahkan pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan tersebut masih diperkuat lagi dalam pasal 22 ayat (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Begitu pentingnya perlindungan kebebasan beragama dan beribadah di kalangan masyarakat internasional sehingga PBB mencetuskan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam pasal 18 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Demikian juga dalam ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICPPR). Pasal 18 ICCR mengakui hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak itu. Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi negara pihak yang terikat dengan isi ICCPR. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, sehingga hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi.4 4 Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP, www.ditpertais. net/.../ancon06/makalah/Makalah%20Rumadi.doc -, diakses tanggal 14 November 2010.
190
Dinar Wahyuni Merujuk dari dasar-dasar tersebut hak kebebasan beragama dapat diuraikan ke dalam delapan komponen sesuai perspektif HAM, yaitu :5 1. Kebebasan internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya. 2. Kebebasan eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya. 3. Tidak ada paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul. 5. Hak dari orang tua dan wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri. 6. Kebebasan lembaga dan status legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. 7. Pembatasan yang diijinkan pada kebebasan eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang 5 Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Era Reformasi, www.komnasham.go.id/.../Musdah%20Mulia_Potret%20Kebebasan%20Beragama%20di%20Era%20Reformasi.rtf -, diakses tanggal 14 November 2010.
191
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. 8. Non-derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun. Implementasi jaminan kebebasan beragama dan beribadah kemudian dituangkan ke dalam berbagai peraturan pelaksana yang secara lengkap mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Rumadi (dalam Azra dkk, 2005) membagi kebijakan yang dikeluarkan negara untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia dari tiga perspektif. Pertama, dalam konteks hubungan antar agama. Peraturan dibuat untuk mencegah konflik antar umat beragama, terutama menyangkut pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Peliknya masalah pendirian rumah ibadah akan berpengaruh pada hubungan antar umat beragama. Sejak dulu pendirian rumah ibadah sering memicu timbulnya konflik dengan masyarakat di sekitarnya sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Namun dalam implementasi, masih terdapat berbagai permasalahan dalam pendirian rumah ibadah seperti adanya multitafsir dari isi SKB tentang siapa yang dimaksud pemerintah daerah dan pejabat pemerintah di bawahnya serta siapa yang dimaksud dengan organisasi keagamaan dan ulama setempat, belum ada transparansi tentang rencana pendirian rumah ibadah dengan masyarakat sekitar lokasi sehingga yang terjadi masyarakat seringkali menolak pendirian rumah ibadah, sering terjadi penyalahgunaan rumah tinggal sebagai rumah ibadah, belum ada komunikasi antar pemuka agama sebelum pendirian rumah ibadah dan tidak diaturnya ketentuan batas waktu untuk merespon permohonan pendirian rumah ibadah. Berbagai kendala inilah yang seringkali menimbulkan konflik dalam pendirian rumah ibadah. Pada awal tahun 2005 masalah pendirian rumah ibadah kembali mencuat. Pro dan kontra di masyarakat terkait keberadaan SKB pun bermunculan. Pemerintah bersama majelis agama kemudian sepakat untuk menata ulang SKB. Hasilnya dikeluarkanlah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Ke192
Dinar Wahyuni pala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Meskipun PBM hanya ditandatangani oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tetapi PBM merupakan kesepakatan majelis-majelis agama tingkat pusat seperti MUI, PGI, KWI, PHDI dan WALUBI. PBM akan memberi ruang lebih besar kepada masyarakat untuk mengelola hubungan antar agama yang diwujudkan dengan pembentukan Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) di tiap daerah. Sehingga diharapkan akan mengurangi peran negara yang terlalu besar dalam masalah teknis hubungan antar agama. Namun dalam prakteknya, SKB Dua Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 menjadi masalah sejak munculnya kasus pendirian gereja di Ciketing, Bekasi. Jemaah gereja HKBP diserang oleh kelompok tertentu yang menganggap mereka tidak boleh melakukan ibadah di wilayah tersebut karena belum memenuhi persyarataan PBM. Dalam aturan tersebut disebutkan jumlah minimal jemaah pengguna rumah ibadah yaitu 90 orang dan adanya dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang. Sementara terkait masalah penyiaran agama, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. SK ini melarang penyiaran agama yang ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama lain sehingga diharapkan dapat mencegah munculnya konflik antar agama. Pemerintah memberikan kebebasan dakwah dari segala macam ijin namun tetap menghormati agama lain. Kedua, dalam konteks intervensi negara terhadap komunitas beragama. Hal ini terlihat dari pendefinisian agama resmi dan tidak resmi yang dilakukan pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Dalam UU itu dinyatakan bahwa ada enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Undang-Undang ini dibuat untuk mencegah timbulnya berbagai aliran-aliran kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran agama karena dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beragama dan memecah persatuan nasional. Kebijakan pendefinisian agama ini merugikan penganut agama di luar agama resmi karena hak-hak sipil sebagai warga negara terabaikan. Kebebasan beragama yang dijamin pemerintah hanya ditujukan untuk agama resmi. Seseorang atau kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu di luar agama resmi, 193
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dituduh melakukan penodaan agama. Sebut saja kelompok Lia Aminuddin, yang dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun penjara karena melanggar KUHP pasal 156a. Kemudian kasus penyimpangan tafsir agama Islam oleh jamaah Ahmadiyah. Di beberapa daerah kelompok ini mengalami aksi kekerasan. Hak-hak mereka dibatasi mulai dari pembangunan rumah ibadah hingga pelaksanaan ibadah haji. Bahkan pemerintah mengeluarkan SKB Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 yang menghimbau kepada jamaah Ahmadiyah untuk menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya termasuk pengakuan akan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan kebebasan beragama di Indonesia masih diskriminasi meskipun sudah ada jaminan yang tertuang dalam pasal 28D ayat (2) bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif. Ketiga, dalam konteks hukum ketatanegaraan sebagai upaya untuk memasukkan ajaran agama menjadi hukum negara meskipun hanya berlaku bagi penganut agama yang bersangkutan. Peraturan yang terkait antara lain Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat. Berbagai peraturan tersebut merupakan peraturan hukum negara yang bersubstansi dengan hukum agama, dalam hal ini Islam. Hal ini akan melahirkan isu Islamisasi hukum negara. Upaya Menuju Kerukunan Umat Beragama Agama merupakan masalah yang paling asasi dari kehidupan manusia, karena menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sebagai sebuah keyakinan, keberadaan agama sudah ada sejak adanya manusia, mulai dari agama tradisional atau kepercayaan seperti dinamisme dan animisme, sampai pada agama yang resmi diakui pemerintah. Sejarah manusia tidak terlepas dari aspek kepercayaan tersebut (Rumadi dalam Azra, 2005 : 79). Dalam konteks ini agama merupakan pemersatu dan sumber inspirasi sebuah peradaban, namun waktu sekarang, agama sering menjadi faktor pemicu ketegangan karena masyarakat terjebak dalam pemahaman agama yang eksklusivisme dan fanatisme. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat implementasi kebebasan beragama
194
Dinar Wahyuni dan beribadah tidak mudah dilakukan.6 Pertama, perbedaan definisi tentang kebebasan beragama dan keyakinan. Kebebasan yang dijamin pemerintah adalah kebebasan yang bertanggung jawab, di mana setiap kelompok agama bebas melakukan kegiatan keagamaan namun tetap menghormati kelompok agama lain. Bahkan UUD 1945 memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya. Hal ini berarti setiap penduduk mempunyai hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah. Namun dalam masyarakat yang plural, sangat mungkin terjadi gesekan kepentingan antar agama. Kedua, perbedaan definisi tentang HAM. Kebebasan beragama dan beribadah merupakan bagian dari HAM. Pelaksanaan HAM adalah bagaimana mewujudkan suatu kerukunan umat beragama sehingga tercipta suasana saling menghormati, menghargai dan mempercayai antar umat beragama (Taher dalam Sjadzali dkk, 1997 : 3). Namun dalam kenyataannya, seringkali terjadi kesalahan pemahaman tentang HAM sehingga kebebasan beragama diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya. Ketiga, pengertian melindungi HAM apakah sama artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan beribadah telah membuat orang lain merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya. Untuk mewujudkan kerukunan umat beragama memang bukan persoalan yang mudah, diperlukan toleransi antar umat beragama. Sikap ini diwujudkan dalam bentuk menghormati kebebasan beragama dan beribadah setiap agama. Seperti dinyatakan dalam pasal 1 PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat pentingnya kerukunan umat beragama dalam rangka memelihara persatuan bangsa, pemerintah melalui Departemen Agama mengeluarkan program tiga bentuk kerukunan :
6 Negara dan Agama, http://artikel-media.blogspot.com/2010/09/negara-dan-kebebasan-beragama. html, diakses tanggal 15 November 2010.
195
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Kerukunan intern umat beragama 2. Kerukunan antar umat beragama 3. Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah Sebagai realisasi dari program tersebut, maka beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama adalah pertama, pendidikan agama. Pendidikan agama merupakan instrumen strategis bagi pengembangan potensi moral yang dimiliki oleh setiap manusia sehingga akan menjadikan manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religius (Mudzhar, dkk, 2005 : 104). Pendidikan agama berupaya untuk menanamkan dan menghargai nilai-nilai pluralisme agama dalam kehidupan yang harmonis. Begitu pentingnya pendidikan agama sehingga pemerintah berupaya memasukkan materi pendidikan agama sebagai muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (1) dan pada pasal 37. Ada dua bentuk pendekatan terhadap pendidikan agama, yaitu pendekatan dogmatik yang menekankan terwujudnya komitmen dogmatik peserta didik terhadap agamanya. Namun pendekatan ini akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang tidak pada tempatnya, dan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang memandang agama sebagai sesuatu yang sekuler sehingga tidak mendorong terwujudnya penganut agama yang baik. Karena kedua pendekatan tersebut mempunyai kelemahan, maka diperlukan pendekatan lain yang mampu mendorong harmoni di antara pemeluk agama, yaitu pendekatan perencanaan sosial. Pendekatan ini di samping mendorong pemahaman dan komitmen peserta didik terhadap agama yang dipeluknya juga mendorong lahirnya sikap menghormati pemeluk agama lain (Yusuf, 2006 : 478). Kedua, optimalisasi peran forum kerukunan umat beragama (FKUB). Maraknya ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan benturan kepentingan antar agama. Masing-masing agama mengklaim bahwa agamanya yang benar sedangkan agama lain sesat. Pemahaman inilah yang selama ini memicu timbulnya konflik agama. Karena itu perlu diupayakan dialog. Untuk keperluan ini maka dibentuklah FKUB sesuai dengan PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, di mana tugas FKUB meliputi melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dalam bentuk rekomen196
Dinar Wahyuni dasi sebagai bahan kebijakan gubernur, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat serta memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah (khusus untuk FKUB kabupaten dan kotamadya). Selama ini FKUB sudah berjalan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kendala terkait kelembagaan dan pendanaan. FKUB belum memiliki pedoman yang jelas sehingga masih menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Begitu juga dalam masalah koordinasi masih bersifat konsultatif sehingga perlu penyamaan visi dengan membuat pedoman dan tata kerja.7 Sementara dalam masalah pendanaan, belum ada dukungan dana yang maksimal dari pemerintah daerah. Ketiga, efektifitas peran tokoh agama. Dalam berbagai konflik, peran tokoh agama sangat berpengaruh terutama dalam proses mediasi. Tokoh agama harus mampu menjembatani aspirasi antar kelompok agama. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka dialog antar umat beragama melalui FKUB, menjalin kerja sama dan kemitraan dalam bidang sosial keagamaan. Dalam dialog tersebut tokoh agama harus berperan aktif membuka wawasan nilai-nilai universal agama kepada umat beragama lain sehingga konflik dapat diminimalkan. Tokoh agama juga harus melakukan peran ke dalam, yaitu ditujuan kepada umat seagama. Dalam hal ini tokoh agama dapat memberikan pemahaman tentang pluralisme agama, sejarah agama yang seringkali menimbulkan sikap intoleransi dan melakukan kajian kritis terhadap teks-teks agama karena selama ini terdapat perbedaan penafsiran teks agama yang menjadi pembenar kekerasan. Upaya ini dapat dilakukan melalui metode penafsiran integratif yang dilakukan dengan mengintegrasikan teks-teks ambigu dan bertentangan serta mengintegrasikannya dengan konteks dan metode kompromistik yang dilakukan dengan mengintegrasikan teks-teks yang bertentangan dalam satu pemahaman sehingga tidak terjadi pertentangan antara teks yang satu dengan teks yang lain (Rufaidah, 2008 : 63). Keempat, perlunya Undang-Undang yang mengatur kerukunan umat beragama. Pengaturan kehidupan beragama memang diperlukan mengingat kondisi Indonesia yang serba plural. Dalam konteks ini negara wajib menegakkan pelaksanaan hukum sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum 7 FKUB Perlu Waspadai Liberalisasi Agama, http://bataviase.co.id/detailberita-10380667.html, diakses tanggal 29 November 2010.
197
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dan jaminan atas hak asasinya. Sudah ada beberapa peraturan perundangan yang mengatur kehidupan beragama, namun sebagian sudah tidak mampu lagi menampung berbagai perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Karena itu perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur hubungan antar umat beragama di Indonesia. Wacana penyusunan Undang-Undang tentang kerukunan umat beragama telah lama dibahas dalam berbagai kelompok masyarakat. Bahkan Departemen Kehakiman (dalam Mudzhar, 2005 : 109) telah menetapkan beberapa aspek yang harus dibahas dalam RUU tersebut, yaitu : 1. Agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia. 2. Ketentuan tentang pendirian rumah ibadah. 3. Ketentuan tentang penyebaran agama. 4. Ketentuan tentang bantuan asing untuk lembaga agama. 5. Penyelenggaraan hari besar agama. 6. Penguburan jenazah. 7. Perkawinan campuran. RUU Kerukunan Umat Beragama termasuk salah satu RUU yang diajukan sebagai usul inisiatif DPR pada Program Legislasi Nasional Tahun 20102014. Dan saat ini sudah mulai dilakukan penyusunan naskah akademik oleh tim panitia kerja terkait. Agar proses pembentukan RUU tentang kerukunan umat beragama dapat berjalan sesuai yang diharapkan, maka semua elemen masyarakat harus memberikan dukungan berupa koordinasi dan konsolidasi dalam merumuskan persoalan yang akan ditampung dalam RUU kerukunan umat beragama sehingga tercipta kerukunan umat beragama. Penutup Agama merupakan masalah yang paling asasi. Agama bisa berfungsi sebagai integrasi sosial atau disintegrasi sosial. Pluralitas agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan. Namun kondisi tersebut dapat berpotensi pengabaian jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Selama ini pluralisme agama hanya dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap perbedaan yang ada, belum sampai pada tahap menerima dan menghargai perbedaaan yang ada. Adanya klaim kebenaran yang memandang agama lain sesat sehingga berusaha mengajak orang lain yang sudah menganut suatu agama untuk masuk ke dalam agamanya melahirkan ketegangan yang berujung konflik. Dalam kondisi demikian, peran negara diperlukan untuk mengatur kehidupan beragama. 198
Dinar Wahyuni Hubungan agama dan negara sangat erat di Indonesia baik secara fungsional, kultural, struktural maupun fungsional dan keduanya diletakkan dalam bingkai konstitusional yang jelas dan tegas, walaupun agama tidak secara resmi dijadikan dasar negara. Indonesia bukan termasuk negara agama karena pemerintahan tidak diatur menggunakan hukum agama, juga bukan negara sekuler yang sama sekali memisahkan hubungan agama dan negara. Indonesia memberikan ruang yang bebas bagi tumbuhnya nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan. Bentuk-bentuk regulasi negara terhadap agama dapat dilihat dari konteks hubungan antar agama, di mana peraturan dibuat untuk mencegah konflik antar umat beragama, terutama menyangkut pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Kedua, dalam konteks intervensi negara terhadap komunitas beragama. Hal ini terlihat dari pendefinisian agama resmi dan tidak resmi yang dilakukan pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Ketiga, dalam konteks hukum ketatanegaraan sebagai upaya untuk memasukkan ajaran agama menjadi hukum negara meskipun hanya berlaku bagi penganut agama yang bersangkutan, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat. Berbagai peraturan tersebut merupakan peraturan hukum negara yang bersubstansi dengan hukum agama, dalam hal ini Islam. Mengingat pentingnya kerukunan umat beragama dalam rangka memelihara persatuan bangsa, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama adalah pertama, pendidikan agama dengan pendekatan perencanaan sosial. Pendekatan ini di samping mendorong pemahaman dan komitmen peserta didik terhadap agama yang dipeluknya juga mendorong lahirnya sikap menghormati pemeluk agama lain. Kedua, optimalisasi peran forum kerukunan umat beragama (FKUB). Ketiga, efektifitas peran tokoh agama dan keempat, perlunya Undang-Undang yang mengatur kerukunan umat beragama. Saran Masyarakat harus mengubah cara pandangnya tentang pluralisme agama. Pluralisme harus dipahami secara utuh, tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan agar 199
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik tercapai kerukunan umat beragama dalam kemajemukan. Sementara terkait regulasi yang mengatur kehidupan beragama, saat ini proses pembentukan RUU tentang kerukunan umat beragama dalam tahap penyusunan naskah akademik. Masyarakat dan tokoh-tokoh agama di luar legislatif diharapkan melakukan pengawalan RUU dari awal sampai akhir melalui masukan-masukan yang mendukung terwujudnya kerukunan umat beragama.
200
Dinar Wahyuni
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ali, Muhamad, 2003, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Azra, Azyumardi, dkk, 2005, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Jakarta : Nuansa. Mudzhar, Atho, dkk, 2005, Meretas Wawasan Dan Praksis Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia Dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama. Rufaidah, Any, dkk, 2008, Agama Dan Demokrasi, Jakarta : Program Sekolah Demokrasi bekerja sama dengan Averroes Press. Shihab, Alwi, 1999, Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung : Mizan. Taher, Tarmizi, 1997, Prolog, dalam Munawir Sjadzali, dkk, HAM Dan Pluralisme Agama, Jakarta : Pusat Kajian Strategis Dan Kebijakan. Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, 2009, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama. Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, Jakarta : Perspektif. Wahid, Abdurrahman, 1998, Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Wahid, Abdurrahman, 1981, Muslim Di Tengah Pergumulan, Jakarta : Lappenas. 201
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Yusuf, Choirul Fuad, dkk, 2006, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta : Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama RI. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. UUD 1945 dan Perubahannya. Internet FKUB Perlu Waspadai Liberalisasi Agama, http://bataviase.co.id/detailberita10380667.html, diakses tanggal 29 November 2010. Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2009, http://www. setara-institute.org/content/negara-harus-bersikap, diakses tanggal 15 November 2010. Negara dan Agama, http://artikel-media.blogspot.com/2010/09/negara-dankebebasan-beragama.html, diakses tanggal 15 November 2010 Relasi Agama Dan Negara, http://thohir3.blogspot.com/2009/11/relasi-agama-dan-negara.html, diakses tanggal 28 November 2010. Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP, www.ditpertais.net/.../ancon06/makalah/Makalah%20Rumadi.doc -, diakses tanggal 14 November 2010. Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Era Reformasi, www.komnasham.go.id/.../Musdah%20Mulia_Potret%20Kebebasan%20 Beragama%20di%20Era%20Reformasi.rtf -, diakses tanggal 14 November 2010.
202
Faridah Alawiyah
PROFESIONALISME GURU DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Faridah Alawiyah
“Ing ngarso sung tulada, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani Di depan menjadi teladan, di tengah ikut serta, dibelakang memberi dorongan dan dukungan” (Ki Hajar dewantara) A. Pendahuluan Indonesia memegang teguh pendidikan sebagai langkah dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam pengembangan sumber daya manusia ke depan, pendidikan pun menjadi wahana strategis dalam pembentukan karakter bangsa. Dalam proses pendidikan ada upaya pembangunan peradaban bangsa hingga pada akhirnya memiliki kualitas hidup yang lebih baik, mampu bersaing, mandiri, dan tetap pada ada pada nilai nilai karakter bangsa yang positif. Pendidikan membantu manusia untuk menjadi manusia seutuhnya, bermoral, bersosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan, dan berhati nurani. Karena itu pendidikan dapat dikatakan sebagai proses pembudayaan yang menyebabkan perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya.1 1 “Pendidikan dan Proses Pembudayaan”, http://massofa.wordpress.com/2008/10/03/pendidikandan-proses-pembudayaan/ diakses tanggal 1 November 2010
203
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Pendidikan merupakan sebuah sistem, dimana terdapatnya komponen yang saling terkait untuk pencapaian tujuan. Dalam pencapaian tujuan pendidikan dapat dimulai dengan menganalisis setiap komponen yang membentuk dan mempengaruhi pendidikan. Komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi pendidikan adalah komponen guru. Guru merupakan tokoh inspirasi bagi peningkatan kualitas pendidikan. Peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Guru ibarat tokoh kunci dalam pelaksanaan pendidikan, karena guru adalah orang yang terlibat langsung dan berhadapan langsung dengan peserta didik sebagai penerus bangsa ke depan, peran guru sangat strategis, guru yang secara langsung melakukan transfer ilmu pengetahuan serta mendidik nilai-nilai kehidupan melalui bimbingan dan keteladanan.2 Namun demikian, bila kita lihat prospek jangka panjangnya di balik peran guru yang sangat penting, tidak bisa sembarang orang dapat mengenyam profesi guru, karena seorang guru harus memiliki kemampuan khusus berkaitan dengan tanggung jawabnya melaksanakan pendidikan. Banyak orang yang menjadi guru hanya karena tidak ada pekerjaan lain yang dimiliki. Sangat miris ketika menjadi guru hanya karena tidak ada pekerjaan lain yang diperoleh kemudian pilihan terakhirnya adalah menjadi guru. Hal tersebut terjadi karena menganggap bahwa setiap orang dapat menjadi guru meskipun mereka tidak dibekali ilmu keguruan, asal paham mengenai materi saja sudah cukup. Guru dianggap sebagai pekerjaan yang mudah, hanya datang, mengajar, kemudian selesai, hal ini lah yang menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun. Seorang guru harus memiliki kompetensi sebagai seorang pendidik yang kemampuannya tidak hanya bisa dimiliki hanya dengan mengetahui materi yang akan diajarkan tetapi juga terdapat beberapa kompetensi yang harus dimiliki sehingga guru menjadi profesional. Ketika keprofesionalan guru dipertanyakan dan banyak guru yang tidak memiliki kompetensi yang seharusnya menjadi bekal, maka yang terjadi adalah keterpurukan kualitas pendidikan indonesia, runtuhnya nilai-nilai norma peradaban positif bangsa, serta hancurnya nilai-nilai sosial masyarakat ke depan.
2 “Menguak Masalah Guru di Indonesia”, http://dony.blog.uns.ac.id/2010/05/30/menguak-masalahguru-di-indonesia/ diakses tanggal 1 November 2010
204
Faridah Alawiyah B. Guru dalam Konteks Profesional Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Sanusi dalam Syaefudin mengatakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (experties) dari para anggotanya.3 Artinya ia tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang yang tidak dilatih atau disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Webstar dalam Kusnandar juga mengatakan bahwa profesi juga diartikan sebagai jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.4 Sementara profesional menunjuk pada penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.5 Guru merupakan pekerjaan profesional, menurut Sanjaya terdapat ciri pokok pekerjaan dinamakan profesional: 1. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan pada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. 2. Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tetentu spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan profesi yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. 3. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademis sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya. 4. Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap setiap efek yang ditimbulkannya dari pekerjaan profesinya itu.6 3 Udin Syaefudin Saud, 2010, Pengembangan Profesi Guru, Bandung: Alfabeta, hal. 6 4 Kusnandar, 2009, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 45 5 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1) 6 Wina Sanjaya, 2008, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana, hal. 275
205
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Menurut Surya guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode.7 Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian.8 Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi disini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis.9 Bila kita kaji, guru dalam konteks profesional dari pengertian dan ciri profesional tersebut diatas dapat kita analisa bahwa seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya bukan hanya mengajar dan memberikan informasi berupa materi pelajaran saja, akan tetapi memiliki tujuan. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diperlukan kemampuan khusus yang didasarkan konsep pengetahuan yang spesifik. Seorang guru harus memiliki kompetensi kegurua, kompetensi tersebut adalah : 1. Kompetensi Pribadi Kompetensi pribadi merupakan kemampuan yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Guru harus memiliki kepribadian yang ideal, sebagai seorang memiliki kepribadian yang ideal guru harus mampu memberikan ajaran nilai keyakinan dalam beragama, menghormati antar umat beragama, berperilaku sesuai norma dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, memberikan contoh dan menjadi suri tauladan melalui sifat-sifat terpuji, sopan santun, dan terbuka dalam pembaruan dan kritik, empati, berpandangan positif terhadap orang lain dan diri sendiri. 7 Diambil dari makalah oleh Mohammad Surya, Guru Profesional untuk Pendidikan bermutu, http:// geografi.upi.edu/?mod=article/view/12, diakses tanggal 22 November 2010 8 Udin Syaefudin Saud, 2010, Pengembangan Profesi Guru, Bandung: Alfabeta, hal. 6 9 Kusnandar, 2009, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 46
206
Faridah Alawiyah Banyak kasus yang mencuat berkaitan kompetensi pribadi, terjadinya pelecehan seksual terhadap siswa oleh guru, kekerasan di lingkungan sekolah oleh seorang guru, hal itu jauh dari cerminan kompetensi pribadi yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru. Ajaran Ki Hajar Dewantara yaitu “ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri handayani” nyaris saja hilang dari ruh pendidikan di Indonesia, padahal makna yang terkandung didalamnya patut menjadi panutan terutama guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Ing ngarso sung tulada, yang artinya, di depan kita menjadi teladan, ketika di depan guru memberikan contoh-contoh baik yang patut di tiru, terpuruknya moral bangsa salah satunya karena sudah tidak adanya tokoh inspiratif dari seorang guru yang menjadi cermin kepribadian peserta didik. Ing madya mangun karso, artinya di tengah ikut serta, guru secara langsung harus berperan serta dalam pembangunan melalui penanaman budaya semangat kerja, berhemat, ikut membangun pengetahuan melalui penelitian dan pengembangan keilmuan yang dimilikinya untuk kemudian ditransfer kepada peserta didik. Tut wuri handayani, dibelakang memberi dorongan dan dukungan, seorang guru akan senantiasa memberikan dorongan dan dukungan kepada peserta didik untuk berjuang lebih cepat, maju kedepan, dengan memberikan pengalaman dari kegagalan, sehingga peserta didik tidak menemui kesalahan yang sama. Ajaran ini sangat luar biasa dan merupakan kompetensi wajib yang harus dimiliki oleh seorang guru. Sehingga ke depan karakter budaya bangsa positif akan tercipta dan menjadikan peradaban bangsa lebih maju. Nilai dasar inilah yang seharusnya menjadi cerminan guru di Indonesia, sehingga pendidikan ke depan menjadikan pendidikan yang membentuk karakter bangsa. 2. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya serta penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencangkup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi ini berhubungan langsung dengan kemampuan seorang guru dalam melaksanakanan tugas-tugas keguruannya yang pada akhirnya akan menampilkan kinerjanya. Beberapa kemampuan yang yang berhubungan dengan kompetensi ini diantaranya adalah kemampuan dan pema207
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik haman mengenai ilmu-ilmu yang menaungi pendidikan seperti landasan pendidikan, psikologi pendidikan, serta ilmu pendidikan lainnya. Hal ini untuk menunjang pencapaian pendidikan, seorang guru tentunya harus mengetahui tujuan pendidikan, tujuan institusional, tujuan kurikuler, sampai tujuan pembelajaran. Seorang guru juga harus memahami psikologi perkembangan serta psikologi peserta didik sehingga tidak memberikan perlakuan yang salah dalam melaksanakan pendidikan selain ilmu-ilmu dasar kependidikan lainnya. Kompetensi Profesional juga mencangkup kemampuan guru dalam penguasaan materi yang diampunya. Kemampuan penguasaan materi dari pelajaran yang diampu harus sesuai dengan latar belakang pendidikan, tidak bisa seorang guru pendidikan bahasa inggris kemudian mengajar matematika atau mata pelajaran lain yang tidak sesuai dengan bidangnya. Kemampuan profesinal guru dapat juga terlihat dari cara guru mengajar, kemampuan merancang program pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran memalui berbagai metode pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang menyenangkan, merangsang siswa belajar, mengimplementasikan kemampuan sosialnya dengan cara berkomunikasi kepada sisiwa dengan menyenangkan dan membuat pembelajaran tidak membosankan, kemampuan mengevaluasi pembelajaran, kemampuan melaksanakan unsur penujang seperti administrasi sekolah, bimbingan, serta penyuluhan. Kemampuan lain yang penting juga adalah kemampuan untuk berfikir ilmiah dengan melaksanakan penelitian seperti penelitian tindakan kelas serta memanfaatkan hasil penelitian untuk menujang dan meningkatkan kinerja guru dan kualitas pembelajaran. Kompetensi profesional sangat mempengaruhi tampilan kinerja guru, dalam kompetensi ini jelas terlihat bahwa kemampuan guru bukan hanya mengajar kemudian selesai, tetapi disamping itu banyak tugas yang diemban guru diluar kegiatan mengajarnya, dan hal inilah yang banyak dilupakan oleh seorang guru. 3. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan serta bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kemampuan ini merupakan konsep guru sebagai makhluk sosial harus mampu bermasyarakat serta mampu menghargai keragaman sosial dan konservasi lingkungan, hal ini dapat tercermin dari kemampuan guru dalam menyampaikan pendapat dengan runtut, kemampuan menghargai 208
Faridah Alawiyah pendapat orang lain, kemampuan membina suasana kelas, ataupun kemampuan mendorong peran serta masyarakat. Dalam kompetensi sosial, kemampuan untuk melakukan komunikasi melalui teknologi informasi juga harus dimiliki oleh guru agar tidak mudah terbawa arus dan tertinggal kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini dan masa yang akan datang. Berbagai kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut sangat jelas tergambar bahwa mengajar bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran, akan tetapi pekerjaan yang kompleks, sehingga profesi ini membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus yang harus dimiliki berdasarkan ilmu pengetahuan yang spesifik. Setiap kegiatan harus berdasarkan pada dasar-dasar keilmuan yang dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah. Oleh karena itu untuk menjadi serang guru dipelukan latar belakang yang sesuai yang berasal dari pendidikan keguruan. Profesi guru sama seperti dokter atau arsitek yang berorientasi tujuan, dokter bertujuan menyembuhkan penyakit pasien, arsitek merancang gedung. Namun hasil dan tujuan yang ingin diperoleh oleh seorang dokter dan arsitek berbeda dengan hasil dan tujuan yang ingin diperoleh oleh seorang guru. Dokter dan arsitek hasilnya dapat langsung dapat terlihat dari kesembuhan pasien dan kokohnya bangunan atau gedung. Guru bertugas membelajarkan dan mendidik siswa, namun keberhasilan seorang guru dalam pendidikan baru dapat dilihat memalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu guru dalam pendidikan bertujuan untuk membentuk satu generasi muda kedepan nantinya. C. Perangkat Profesi Guru Salah satu ciri profesi adalah adanya kontrol yang ketat terhadap penyandang profesi tersebut, pemilik profesi berusaha menghimpun diri dalam organisasi profesinya sehingga diakui di masyarakat. Hal ini merupakan kontrol untuk menghindari penyalahgunaan profesi itu sendiri. Guru memiliki perangkat profesi diantaranya adalah adanya kode etik profesi keguruan, organsisasi asosiasi keprofesian guru, serta penghargaan dan pengakuan profesi guru. Kode etik profesi guru ditujukan untuk menopang keberlangsungan sebuah profesi dimana kode etik ini menjadi panduan dalam seorang individu yang memiliki profesi dalam bertindak, kode etik juga dijadikan sebagai acuan normatif dan operasional sebuah profesi dalam melaksanakan tugasnya. Guru memiliki kode etik keguruan yang tercantum dalam AD/ART yang disusun dan disahkan oleh 209
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik organisasi asosiasi profesi keguruan. Organsisasi asosiasi keguruan yang saat ini telah ada adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Untuk berkembangnya peran dan fungsi suatu profesi guru harus ada pengakuan dari profesi bidang lain yang telah ada di masyarakat, sehingga setiap profesi dapat saling menghargai kode etik profesi lain, selain pengakuan dari profesi lain, untuk melindungi kepentingan semua pihak maka pengakuan resmi dari pemerintah. Profesi guru hingga saat ini telah diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi dengan imbalan yang sudah diatur dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, disana menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru sebagai tenaga profesional dimaksudkan bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.dan imbalan pun diberikan kepada guru berupa gaji pokok, tunjangan tang melakat pada gaji, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, serta tunjangan profesinya. Oleh karena itu, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. D. Peran LPTK dalam Mencetak Tenaga Pendidik Profesional Tidak semua orang dapat menjadi dokter untuk menyembuhkan penyakit pasien, diperlukan keahlian khusus melalui pendidikan khusus untuk menjadi seorang dosen. Begitupun guru, tidak semua orang dapat menjadi guru, diperlukan keahlian khusus melalui pendidikan khusus untuk menjadi seorang guru. Kompetensi guru tidak serta merta dapat dimiliki oleh seorang guru secara instan, kemampuan ini didapat melalui proses yang panjang. Kemampuan ini dapat dimiliki oleh individu melalui pendidikan dan pelatihan khusus keguruan dalam jangka waktu yang tidak singkat dan tidak instan. Pendidikan formal mengenai keguruan dilakukan di Lembaga Pendididik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memberikan pendidikan khusus mengenai “what to teach” dan “how to teach”. Sementara pelatihan dapat dilakukan melalui kursus, seminar, workshop, dan pelatihan lain yang dapat meng-upgrade kemampuan guru. 210
Faridah Alawiyah LPTK memiliki peran yang cukup signifikan dalam mencetak dan melatih tenaga pendidik. LPTK adalah lembaga yang menyelenggarakan program akademik dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan dan mengembangkan ilmu pendidikan, ilmu keguruan, mendidik dan mempersiapkan tenaga profesional dalam bidang kependidikan. LPTK menjadi lembaga pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mewujudkan profesionalisme guru secara sistemik, terukur, dan terarah. Peran LPTK adalah mempersiapkan dan meningkatkan kemampuan guru untuk memiliki kompetensi kepribadian, kompetensi profesi, serta kompetensi sosial melalui pendidikan yang pada akhirnya dapat menghasilkan calon guru yang profesional sehingga mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Keberadaan LPTK menjadi sangat penting karena menyangkut keberlangsungan masa depan pendidikan di Indonesia dalam mempersiapkan calon-calon guru profesional. Oleh karena perannya yang sangat strategis, dalam proses pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh LPTK harus terus dikembangkan, salah satunya melalui pengembangan kurikulum LPTK dalam mencetak tenaga guru profesional. Pengembangan kurikulum pendidikan keguruan di LPTK dilakukan seiring dengan kebutuhan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang dikembangkan tidak semata-mata mengutamakan pengetahuan dan kualifikasi akademis, tetapi lebih dari itu teori dan praktik dengan tahap orientasi, formaslisasi, sosialisasi, partisipasi, evaluasi, konsolidasi, dan integrasi pengalaman praktis menuju terbentuknya kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. LPTK juga harus merumuskan strategi perubahan pendidikan guru secara mendasar, menyeluruh dan terpadu.10 E. Komitmen Legislatif dan Eksekutif tentang Guru 1. Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen Guru mempunyai kedudukan penting sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Profesionalitas guru merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Untuk itu diperlukan payung hukum serta pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional. 10 Winarno Surakhmad, 2009, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas, hal. 378
211
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, DPR telah membuat Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai pendidik di negara ini, hadirnya UndangUndang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang ini menguatkan kedudukan guru sebagai tokoh penentu kualitas pendidikan. Jumlah guru dan dosen di Indonesia lebih dari 3 (tiga) juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia yang selama berpuluh tahun tidak memiliki payung hukum. Undang-Undang Guru dan Dosen dilahirkan untuk mengatasi persoalan-persoalan seputar guru dan mutu pendidikan. Undang-Undang ini bertolak dari permasalahan yang dialami oleh guru, karena turunnya mutu pendidikan pasti sangat erat kaitannya dengan mutu guru. Lahirnya UndangUndang Guru dan Dosen diharapkan memiliki visi jauh kedepan untuk perbaikan mutu pendidikan dan memperbaiki citra guru di masa depan. Proses panjang dalam penyusunan Undang-Undang ini menunjukan keseriusan legislatif dan eksekutif dalam menggodok materi dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Surakhmad mengatakan Undang-Undang ini diharapkan tampil sebagai kekuatan merintis yang jauh lebih baik, lebih dinamis, lebih komprehensif, dan lebih konseptual. Undang-Undang ini merupakan produk politik yang merupakan hasil perjuangan bersama antara guru, wakil rakyat, pemerintah, dan kelompok masyarakat peduli,11 lebih lanjut Surakhmad memandang Undang-Undang Guru dan Dosen memiliki misi mengangkat martabat guru, menjamin hak dan kewajibannya, meningkatakan kompetensinya memajukan profesi dan karirnya, serta meningkatakan mutu pembelajarannya. 2. Kebijakan Sertifikasi Guru dan Permasalahannya Berdasarkan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional serta undang-Undang Guru dan Dosen, bentuk pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu sertifikat yang diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru disebut sertifikasi guru. Tujuan dari sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional; meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan; meningkatkan martabat guru; dan meningkatkan profesionalitas guru. 11 Winarno Surakhmad, 2009, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas, hal. 283
212
Faridah Alawiyah Sertifikasi guru dilakukan melalui portopolio ataupun pemberian sertifikat langsung. Penilaian portofolio dilakukan melalui penilaian terhadap kumpulan berkas yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Pemberian sertifikat pendidik secara langsung dilakukan melalui verifikasi dokumen (maksudnya pemberian sertifikat pendidik dilakukan untuk peserta sertifikasi yang menempuh pendidikan S2 atau S3 di perguruan tinggi yang terakreditasi). Uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio dan pemberian sertifikat pendidik secara langsung kepada peserta sertifikasi guru dilakukan oleh Rayon Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara Sertifikasi Guru yang terdiri dari LPTK Induk dan LPTK Mitra, dan dikoordinasikan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG). Adapun alur pelaksanaan sertifikasi guru digambarkan dalam gambar berikut ini: Gambar 1. Alur Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Sumber : Buku 2 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sertifikasi tahun 2010 Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional
213
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Program sertifikasi guru ini ditujukan tidak hanya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, tetapi juga merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Seperti diamanatkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal 16, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan APBN dan APBDnya untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan. Semua tenaga pendidik baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi. Tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lain diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sampai saat ini besarnya tunjangan profesi guru ditetapkan sebesar satu kali gaji pokok. Namun, setelah beberapa tahun program sertifikasi guru dilaksanakan, ternyata muncul beberapa permasalahan yang berdampak negatif bagi pembangunan pendidikan, terutama bagi peningkatan kualitas pendidik, beberapa masalah tersebut diantaranta adalah: 1. Banyak guru yang menghabiskan waktu untuk mengikuti seminar, pelatihan, kursus dan semacamnya untuk menambah poin penilaian portofolio. Mereka juga ‘dipaksa’ untuk sekolah lagi untuk memenuhi standar minimal pendidikan yaitu S1. Tidak jarang, untuk mengejar deadline penyerahan portofolio, banyak guru yang meninggalkan kewajiban utamanya yaitu mengajar hanya untuk melengkapi berkas. Hal ini terjadi karena untuk dapat lolos sertifikasi tidak mudah. 2. Program sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru pada akhirnya hanya berorientasi pada selembar sertifikat untuk pemenuhan poin dalam portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar. Selain itu, bermunculan juga berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop dengan sasaran para guru yang ‘haus’ akan sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat akan tetapi, kegiatan riilnya tidak jelas. Makelar-makelar pendidikan pun tumbuh subur di tengah kebutuhan para guru mendapatkan sertifikat atau 214
Faridah Alawiyah
3.
4.
5.
6.
portofolio. Kegiatan yang dilakukan penyedia jasa tersebut hanya formalitas, bahkan berorientasi materi. Ada kecenderungan sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Kuota guru PNS untuk mengikuti program sertifikasi lebih banyak dibandingkan dengan guru swasta. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan. Bagi masyarakat awam, logika sederhana yang dipakai adalah jika gaji guru sudah di atas rata-rata, mereka akan lebih berkonsentrasi mengajar. Tidak lagi digelisahkan oleh minimnya gaji dan fasilitas. Guru tidak perlu lagi mencari pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidup agar mereka dapat memusatkan perhatian pada murid-muridnya sambil terus meningkatkan skill dan kompetensi sebagai tenaga pendidik bersertifikasi. Namun pada kenyataannya, sertifikasi belum bisa menjamin para guru melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai yang disyaratkan. Dalam Kajian Implementasi Sertifikasi Duru dalam Jabatan tahun 2009, kemampuan pedagogis guru serta sertifikasi portofolio sebagian tidak meningkat sebagian lainnya menurun. Hanya segelintir guru sertifikasi portofolio yang mengalami peningkatan. Sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Muncul kekhawatiran adanya pergeseran nilai-nilai yang dimiliki Guru, yaitu adanya dorongan untuk semata-mata berorientasi pada penghasilan ekonomi pasca sertifikasi, dengan mengabaikan minat dan bakat, panggilan jiwa, serta terutama idealismenya. Hubungan Guru dengan konteks lingkungan pembelajaran dan subjek pembelajar (peserta didik), esensinya bukan semata-mata merupakan transaksi ekonomi, tetapi merupakan transaksi nilai-nilai yang utama. Ketika para calon Guru tertarik mengikuti pendidikan profesi untuk menjadi Guru hanya karena tergiur oleh tingkat penghasilan ekonomi, maka proses pembelajaran sebagai proses pembudayaan nilai akan mengalami degradasi. Muncul kekhawatiran anggaran pendidikan nasional yang besarnya 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagian besarnya habis untuk biaya sertifikasi guru. Tahun 2010, hampir Rp 60 tri215
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik liun anggaran pendidikan dialokasikan untuk gaji guru pegawai negeri sipil (PNS), tunjangan khusus untuk guru di daerah terpencil, dan Tunjangan Profesi. Penggunaan anggaran yang begitu besar ini menjadi bahan pertimbangan bila anggaran 20 persen sebagian besar habis untuk hal tersebut. Berbagai permasalahan dan kekhawatiran tersebut harus segera disikapi agar program sertifikasi guru ini mencapai tujuan yang dimaksudkan, oleh karena itu kebijakan dan program sertifikasi guru itu perlu secara terus menerus dimonitoring dan dievaluasi lebih jauh. Pelaksanannya pun harus terus diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalitas atau sekadar ajang mendapatkan tunjangan profesi. Guru yang telah mendapatkan sertifikasi perlu dipantau terusmenerus, terutama peningkatan nilai produktivitas guru dalam mengajar dan berkarya sehingga sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan. Untuk itu perlu ada pola pembinaan yang terpadu dan berkelanjutan bagi para guru. Kemendiknas diharapkan dapat menyiapkan program regular bagi guru yang telah tersertifikasi. Cara ini untuk menjaga stabilitas kinerja guru yang tersertfikasi agar tidak mengalami kemandegan dalam proses belajar mengajar. Program regular itu bisa dalam bentuk workshop atau pelatihan-pelatihan yang dilakukan secara kontinyu. Selain program yang kontinyu, pemberian sertifikat kepada guru harus tetap ada kontrol kelayakan pemilik sertifikat, sehingga pemegang sertifikat pendidik akan terus mengupgrade sertifikat pendidiknya secara bekelanjutan dengan upaya pemenuhan kredit poin agar sertifikat yang dimilikinya dapat terus diperpanjang. Hal ini dimaksudkan supaya penilaian serta pengawasan terhadap guru setelah lima atau sepuluh tahun yang akan datang dapat terus dilakukan, mengingat guru sebagai sebuah profesi pendidik yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan harus tetap berkembang pula sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. F. Kesimpulan dan Rekomendasi Pendidikan tetap menjadi wahana strategis dalam pencapaian pembangunan sosial melalui peningkatan mutu pendidikan. Dalam proses pendidikan ada upaya pembangunan peradaban bangsa hingga pada akhirnya ke depan sumber daya manusia memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Tokoh penting pencetak sumber daya manusia adalah guru. Guru merupakan tokoh inspirasi bagi peningkatan kualitas pendidikan. Peran dan fungsi guru merupakan sa216
Faridah Alawiyah lah satu faktor yang sangat signifikan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Guru adalah orang yang terlibat langsung dan berharapan langsung dengan peserta didik sebagai penerus bangsa kedepan, peran guru sangat strategis, guru yang secara langsung melakukan transfer ilmu pengetahuan serta mendidik nilai-nilai kehidupan melalui bimbingan dan keteladanan. Guru merupakan pekerjaan profesional yang dalam melaksanakan pekerjaannya diperlukan kemampuan khusus yang didasarkan konsep pengetahuan yang spesifik. Guru sebagai pekerjaan profesional dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kemampuan, kemampuan tersebut diantaranya adalah kompetensi pribadi dimana seorang guru melalui kompetensi ini mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi kedua yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi profesional yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya serta penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencangkup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi profesional sangat mempengaruhi tampilan kinerja guru, dalam kompetensi ini jelas terlihat bahwa kemampuan guru bukan hanya mengajar kemudian selesai, tetapi disamping itu banyak tugas yang diemban guru diluar kegiatan mengajarnya, dan hal inilah yang banyak dilupakan oleh seorang guru. Kompetensi ketiga adalah kompetensi sosial yang merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan serta bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar, serta kemampuan guru dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. Kompetensi guru tersebut dapat dimiliki oleh individu melalui pendidikan dan pelatihan khusus keguruan dalam jangka waktu yang tidak singkat dan tidak instan nmelalui pendidikan formal yang dapat diperoleh di LPTK. LPTK memiliki peran yang cukup signifikan dalam mencetak dan melatih tenaga pendidik. LPTK adalah lembaga yang menyelenggarakan program akademik dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan dan mengembangkan ilmu pendidikan, ilmu keguruan, mendidik dan mempersiapkan tenaga profesional dalam bi217
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dang kependidikan. Pengembangan kurikulum pendidikan keguruan di LPTK perlu dilakukan seiring dengan kebutuhan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kurikulum LPTK harus dikembangkan dengan tidak semata-mata mengutamakan pengetahuan dan kualifikasi akademis, tetapi lebih dari itu teori dan praktik dengan tahap orientasi, formaslisasi, sosialisasi, partisipasi, evaluasi, konsolidasi, dan integrasi pengalaman praktis menuju terbentuknya kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Sebagai bentuk komitmen terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, DPR telah membuat Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai pendidik di negara ini, hadirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menguatkan kedudukan guru sebagai tokoh penentu kualitas pendidikan. Berdasarkan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen, bentuk pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pemberian sertifikat pendidik dilakukan dengan program sertifikasi yang dilaksanakan pemerintah. Sertifikasi guru merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan yaitu menciptakan guru-guru yang berkualitas karena guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas pula. Namun pada pelaksanaan program sertifikasi ini terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi misalnya banyak guru yang menghabiskan waktu untuk mengejar deadline penyerahan portofolio, banyak guru yang meninggalkan kewajiban utamanya yaitu mengajar hanya untuk melengkapi berkas, hal ini menambah kekhawatiran akan adanya pergeseran nilai-nilai yang dimiliki guru, yaitu adanya dorongan untuk semata-mata berorientasi pada penghasilan ekonomi pasca sertifikasi, dengan mengabaikan minat dan bakat, panggilan jiwa, serta terutama idealismenya. Oleh karena masalah ini sangat penting maka program ini perlu secara terus menerus dimonitoring dan dievaluasi lebih jauh. Pelaksanannya pun harus terus diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalitas atau sekadar ajang mendapatkan tunjangan profesi.
218
Faridah Alawiyah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rizali, Indra Jati Sidi, dan Staria Dharma. 2009. Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakarta: Kompas Gramedia. Benni Setiawan. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruz Media. Udin Syaefudin Saud. 2010. Pengembangan Profesi Gur. Bandung: Alfabeta. Kusnandar. 2009. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Wina Sanjaya. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana. ____________. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Jakarta: Kencana. Winarno Surakhmad. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas Gramedia. Surat Kabar “Guru Belum Penuhi Syarat Kualifikasi”, Media Indonesia, Sabtu 22 Mei 2010 “2016 Semua Guru SD Bersertifikat”, Republika, Rabu, 19 Mei 2010. “Kualitas Guru Lolos Sertifikasi Tetap rendah” Kompas, Senin 1 November 2010. Website “Pendidikan dan Proses Pembudayaan”, http://massofa.wordpress.com/2008/10/ 03/pendidikan-dan-proses-pembudayaan/ diakses tanggal 1 November 2010. 219
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik “Menguak Masalah Guru di Indonesia”, http://dony.blog.uns.ac.id/2010/05/ 30/menguak-masalah-guru-di-indonesia/ diakses tanggal 1 November 2010 “Kompetensi dan Sertifikasi Guru Sebuah Pemikiran”, http://www.infodiknas.com/kompetensi-dan-sertifikasi-guru-sebuah-pemikiran/ diakses tanggal 1 November 2010. “Tunjangan Profesi” http://sertifikasiguru.org/isi.php?id=16 diakses tanggal 1 November 2010. “Penghapusan PMPTK untuk Meningkatkan Mutu Guru”, http://news.okezone.com/read/2010/05/12/337/332146/337/penghapusan-pmptk-untukmeningkatkan-mutu-guru diakses tanggal 2 November 2010. “Penyelenggaraan sertifikasi Guru” http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/ 03/09 /tentang-penyelenggaraan-sertifikasi-guru/ diakses tanggal 2 November 2010. “Buku I Pedoman Peserta sertifikasi Guru dan Pengawas Sekolah”, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/12/22/buku-i-pedoman-peserta-sertifikasi-guru-dan-pengawas-sekolah/ diakses tanggal 2 Nobember 2010. “Mengkritisi Kinerja Guru Pascasertifikasi”, http://id-id.facebook.com/note. php?note_id=135624006477611 diakses tanggal 4 November 2010. “Kinerja Guru Rendah Produktivitas Tinggi Saat Mengikuti Sertifikasi” http:// www.penapendidikan.com/kinerja-guru-rendah-produktivitas-tinggi-saatmengikuti-sertifikasi.html diakses tanggal 4 November 2010 “30 Hari Menafsir Isu Pendidikan (1) Setelah Sertifikasi“ , http://edukasi. kompasiana.com/2010/11/01/30-hari-menafsir-isu-pendidikan-1-setelahsertifikasi-so-what-gitu-lho/ diakses tanggal 4 November 2010. “Sertifikasi Bukan Menilai Mutu Guru”, http://edukasi.kompas.com/read /2010/09/27/22134364/Sertifikasi.Bukan.Menilai.Mutu.Guru diakses tanggal 4 November 2010. “sertifikasi Guru Bom Waktu Bagi Pemerintah Daerah”, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Sertifikasi+Guru%2C+Bom+Wakt u+bagi+Pemerintah+Daerah&dn=20101025144807 diakses tanggal 4 November 2010. “Sertifikasi Guru dan 8 Standar Nasional Pendidikan” http://edukasi.kompasiana.com/2009/10/21/sertifikasi-guru-dan-8-standar-nasional-pendidikan/ diakses tanggal 3 November 2010.
220
Faridah Alawiyah “Guru Profesional: Untuk Pendidikan Bermutu” http://geografi.upi.edu/?mod= article/view/12 diakses tanggal 22 November 2010). “Ing ngarso sung tulada ing madya mangun karso tutwuri andayani” http:// hsakti.wordpress.com/2007/10/14/ing-ngarso-sung-tulada-ing-madyamangun-karso-tutwuri-andayani/ diakses tanggal 22 November 2010. Peraturan Perundangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Buku 1 Pedoman penetapan Peserta Tahun 2010 Sertifikasi Guru dalam Jabatan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional. Buku 2 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sertifikasi tahun 2010 Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional.
221
BAGIAN KETIGA PENGALAMAN EMPIRIK
Ujianto Singgih Prayitno
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN SEKTOR INFORMAL : KASUS YOGYAKARTA Ujianto Singgih Prayitno
I. Latar Belakang Masalah Kemiskinan adalah masalah yang kronis, kompleks dan multidimensional. Dalam menanggulangi kemiskinan permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut pemahaman sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi nilai, dan politik. Mengingat kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial maka interdependensi antar individu atau antar golongan masyarakat merupakan karakteristik inheren. Oleh karena itu, untuk menanggulangi kemiskinan bukan hanya akan menyangkut masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalam entitlement, baik terhadap sumber daya dalam arti fisik ataupun dalam arti kesempatan memperoleh bagian dari aliran manfaat. Tahun 2005 Yogyakarta mencatat keberhasilan di bidang kependudukan dalam hal pencapaian angka harapan hidup yang tertinggi di Indonesia, yaitu 73,0 tahun. Angka harapan hidup DIY lebih tinggi di banding rerata Indonesia yang nilainya 70,7 tahun. Di antara kabupaten dan kota, Kabupaten Sleman merupakan konsentrasi lansia di DIY. Usia harapan hidup warga Sleman mencapai 74 tahun. Usia harapan hidup yang panjang merupakan representasi banyak faktor antara lain kondisi ekonomi yang menjamin kesejahteraan rumahtangga dan ketercukupan kebutuhan dasarnya, pelayanan kesehatan yang efektif dalam mengatasi penyakit dan gangguan kesehatan masyarakat, kualitas 225
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lingkungan yang baik, dan sosio-kultural masyarakat yang menjamin hidup lebih tenteram. Negara-negara maju umumnya mempunyai usia harapan hidup yang tinggi, sehingga dinyatakan bahwa semakin berkembang dan maju suatu masyarakat semakin tinggi usia harapan hidupnya. Seiring dengan perbaikan dan pengembangan kualitas pembangunan di berbagai sektor, usia harapan hidup di DIY akan semakin meningkat, dan karenanya memerlukan pendekatan pembangunan dengan memberikan perhatian dan pelayan yang sesuai bagi penduduk usia tua. Tidak banyak berbeda dengan perkembangan penduduk dikota-kota lain di Indonesia, jumlah penduduk perkotaan DIY lebih besar dibandingkan penduduk perdesaan, meski tidak mencerminkan distribusi nyata antara kabupaten dan kota di DIY. Dua wilayah kabupaten di DIY masih dicirikan oleh dominasi penduduk perdesaan. Di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul penduduk perkotaan lebih kecil dibandingkan penduduk perdesaan. Kesenjangan dalam ciri urbanisasi antara dua wilayah ini dengan tiga wilayah lainnya cukup besar. Urbanisasi di Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta masing-masing adalah sebesar 71,9%, 81,9% dan 100%. Perkotaan di Indonesia saat ini telah bertumbuh sangat pesat dan telah melampaui daya dukungnya, terutama kota-kota besar di Pulau Jawa, yang disebabkan oleh tingginya arus urbanisasi. Urbanisasi membawa implikasi terhadap ketidakseimbangan antara kebutuhan pelayanan kota dengan kemampuan penyediaan prasarana dan sarana kota, yang menimbulkan masalah-masalah perkotaan dengan kompleksitas yang tinggi. Kesenjangan antar golongan penduduk, ketidakberdayaan lembaga kemasyarakatan dalam menjalankan perannya telah menimbulkan disharmoni sosial, gangguan keamanan dan ketertiban umum, dan meningkatnya patologi sosial, seperti gelandangan, narkoba dan kriminalitas. Masyarakat pinggiran identik dengan kemiskinan yang sesungguhnya tidak dapat ditentukan sebagai kekurangan dalam ukuran ekonomi saja, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran sosial. Terdapat anggapan, bahwa kemiskinan perkotaan banyak dipengaruhi oleh pewarisan prilaku melalui proses sosialisasi dari generasi yang tua ke generasi berikutnya. Oscar Lewis menyebut gejala ini sebagai budaya kemiskinan1 (Oscar Lewis 1993), yang berpendapat 1 Menurut Lewis, budaya kemiskinan ini akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri: (1) sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap
226
Ujianto Singgih Prayitno bahwa kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistik, dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan akan perbaikan nasibnya. Kebudayaan kemiskinan yang terjadi akibat sosialisasi sikap dan perilaku, memungkinkan kemiskinan itu berlangsung terus menerus, sehingga salah satu upaya untuk memerangi kemiskinan ini adalah dengan mengubah perilaku generasi penerusnya. Dari segi sosio–ekonomi, kota adalah tempat untuk mendapatkan penghasilan yang cukup melalui produksi barang dan jasa, serta untuk mendukung kehidupan penduduknya. Segi inilah yang menurut Suparlan (1986) menimbulkan gelandangan di perkotaan, yang terjadi karena adanya tekanan-tekanan ekonomi sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan yang lebih baik.2 Demikian pula dengan sulitnya mencari pekerjaan di kota besar, yang didominasi oleh sistem interaksi sosial yang bersifat vertikal antar perilaku unit usaha informal di perkotaan, meski tetap memperlihatkan suatu bentuk mata rantai yang fungsional dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Bencana gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di Propinsi DIY dan Jateng telah membawa dampak kerusakan yang sangat besar, terutama bagi pemukiman dan perumahan penduduk. Hasil penilaian cepat yang dilakukan oleh Bappenas, jumlah rumah yang mengalami kerusakan sebanyak 388.758 unit, termasuk 187.474 unit diantaranya roboh. Dari jumlah ini nilai kerusakan dan kerugian ditaksir mencapai Rp. 29,1 triliun atau sekitar 3,1 miliar US Dollar. Akibat kerusakan rumah ini, ratusan ribu penduduk di Propinsi DIY hidup di tenda pengungsian maupun yang mereka buat sendiri. Berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun lembaga donor berupaya memberikan tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol dari pada sistem unilateral, dan yang terakhir; (6) kuatnya seperangkat nilai-pilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya tatus ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya memang sudah rendah kedudukannya. 2 Parsudi Suparlan dalam studinya membagi kondisi kehidupan dalam dua hal, pertama perumahan, yaitu sulitnya gelandangan mendapatkan perumahan, sehingga mereka memanfaatkan tanah-tanah liar sebagai pemukiman dengan mendirikan gubuk-gubuk. Dan kedua, mata pencaharian, yaitu aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali.
227
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kontribusi masing-masing untuk terlibat dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pendudukan korban gempa. Salah satu inisiasi dan kontribusi itu dilakukan oleh P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang telah ada di Yogyakarta sejak tahun 1999 melalui program P2KP peduli. Program penanggulangan kemiskinan itu diwujudkan dalam 3 bentuk, yaitu unit pengelolaan lingkungan (UPL), unit pengelolaan keuangan (UPK) dan unit pengelolaan sosial (UPS). Salah satu keunggulan P2KP adalah program ini dikembangkan dengan melibatkan masyarakat sebagai agen utama. Dalam bahasa yang lebih populer adalah community based program. Maka dari itu dalam P2KP peran birokrasi dan fasilitator diminimalisir. Sebaliknya peran BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) sebagai representasi kelembagaan masyarakat di tingkat lokal diberdayakan sebaik mungkin. Bentuk-bentuk aktifitas yang dilakukan oleh P2KP sangat beragam tergantung dari masing-masing unit. Namun dari berbagai program itu yang paling menonjol adalah dana bergulir bagi kelompok usaha miskin. Sistem yang dibangun dalam dana bergulir ini adalah tanggung renteng. Dengan demikian setiap individu dalam kelompok punya tanggungjawab untuk mengembalikan dana pinjaman itu yang selanjutnya akan digulirkan untuk kelompok usaha miskin lainnya. Modal awal dana bergulir yang dialokasikan oleh pemerintah melalui P2KP ini sangat bervariasi disesuaikan dengan kondisi demografis dan sosial ekonomi. Di kabupaten Bantul kisaran dana awalnya mulai dari 100 juta sampai dengan 500 juta. Kelompok yang mengalami dampak terberat akibat bencana gempa bumi salah satunya adalah kelompok miskin yang selama ini menjadi sasaran P2KP. Mereka bukan hanya kehilangan saudara dan tetangga, namun juga mengalami kelumpuhan akses sumber daya ekonomi karena sumber daya dan kapital yang mereka miliki ikut hancur. Salah satu prasyarat terpenting untuk membangun ekonomi masyarakat miskin korban gempa memulihkan pemukiman. Masih banyak warga Yogyakarta hidup kekurangan secara ekonomi, baik yang tinggal di desa-desa maupun lorong kota. Para pemimpin daerah (kabupaten, kota dan propinsi) yang mengklaim warganya telah terbebas dari kemiskinan melalui strategi pembangunan, masih jauh dari harapan. Bagaimana selimut pembangunan Yogyakarta itu berisi bongkahan kemiskinan? Edisi kali ini kami sengaja membongkar problem kemiskinan Yogyakarta, dari sisi kuantitas maupun kualitas. Maksud kami, agar fakta ini bisa menjadi pertimbangan serius sekaligus 228
Ujianto Singgih Prayitno strategi bagi para pemegang kuasa untuk memperhatikan problem kemiskinan rakyatnya. II. Permasalahan dalam Adaptasi Sektor Informal Berbagai upaya pembangunan kesejahteraan sosial selama ini telah dilakukan untuk dapat menuntaskan masalah kesejahteraan sosial di Yogyakarta. Namun upaya tersebut menghadapi tantangan balik dari berbagai faktor yang mengakibatkan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat. Faktor ekonomi yang masih terasa dampaknya terhadap menurunnya derajat kesejahteraan sosial-ekonomi di DIY adalah krisis moneter pada pertengahan tahun 1998 kemudian diikuti oleh kenaikan BBM. Faktor alam yang berpengaruh besar menggoyahkan seluruh sendi kehidupan masyarakat DIY dan menurunkan derajat kesejahteraan social ekonomi masyarakat adalah bencana gempa bumi 2006. Faktor pengaruh terhadap kesejahteraan sosial yang berlangsung menerus dan semakin meningkat intensitasnya adalah globalisasi yang menggoyahkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat melalui pergeseran dan penyimpangan nilai, norma, gaya, dan orientasi hidup khususnya kelompok pemuda dan remaja. Akibat krisis ekonomi, daya beli masyarakat menurun, baik karena kehilangan pekerjaan ataupun karena harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di DIY tersebut ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, anak terlantar, anak jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan, penyandang cacat, eks-penderita psikotik, eks-penderita penyakit kronis, korban penyalahgunaan obat/napza, pemulung, bekas napi, lanjut usia terlantar, wanita rawan sosial ekonomi, keluarga fakir miskin, keluarga berumah tidak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, keluarga bertempat tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana alam, korban bencana sosial, anak nakal, pekerja migran, dan korban tindak kekerasan. Sebagian diantara mereka, untuk bertahan hidup membawa mereka masuk ke sektor informal, baik sebagai aktivitas utama maupun sebagai aktivitas sampingan. Sektor ini memiliki daya tarik, karena mudah dimasuki dan nyaris tidak ada entry barriers-nya dan fleksibilitasnya juga tinggi. Sektor informal inilah yang dalam beberapa tahun belakangan ini dinilai telah berfungsi sebagai 229
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik katup pengaman atau bahkan sebagai “jaringan pengaman sosial” yang paling utama di Indonesia (The Straits Times, 2/12/2002), bukan program-program resmi yang diluncurkan pemerintah seperti Jaring Pengaman Sosial atau Bantuan Langsung Tunai. Penghasilan dari sektor informal mungkin tidak cukup besar, namun bebas dari pajak dan pungutan-pungutan lainnya, yang berguna untuk mengimbangi kemerosotan daya beli akibat krisis ekonomi. Adaptasi sektor informal sebagai strategi keluarga miskin perkotaan dalam mempertahankan kehidupan sosial ekonominya dapat dipandang sebagai hak kebebasan setiap individu yang memungkinkan keadilan sosial dan solidaritas diterapkan. Hal ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan prinsip-prinsip pasar dan prinsip-prinsip sosial, untuk menciptakan mekanisme perlindungan sosial disamping kekuatan pasar, yang dikontrol oleh negara. Permasalahannya adalah bagaimana menciptakan dan membangun tatanan ekonomi yang dapat diterima oleh masyarakat miskin yang memungkinkan berbagai kekuatan dapat terfokus pada kondisi kehidupan sektor informal dengan membangun perekonomian rakyat yang didorong oleh konsep moral yang kuat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, bahwa sektor informal menyumbang sekitar 74 persen terhadap kesempatan kerja pada tahun 1985, berkurang menjadi 72 persen pada tahun 1990 dan 65 persen pada 1998.3 Sumbangannya yang besar terhadap penyerapan angkatan kerja ini, tidak serta merta membuat sektor informal diperhatikan sebagaimana mestinya, karena sektor informal hingga sekarang tetap masih menjadi sektor terpinggirkan, dianaktirikan dalam perekonomian. Demikian pula dengan sektor informal di perkotaan yang belum terakomodasi dalam kebijakan perencanaan dan penataan kota. Aksi penertiban atau penggusuran tempat usaha sektor informal, seperti pedagang kaki lima (PKL), oleh aparat kota masih sering terjadi, hanya dengan alasan agar membuat wajah kota lebih ramah untuk penghuninya. Kondisi ini terlihat 3 Penyerapan lebih dari 65 persen tenaga kerja pada tahun 1998 menunjukkan, bahwa sektor informal merupakan penampung angkatan kerja dominan. Bahkan pascakrisis ekonomi, diperkirakan penyerapan tenaga kerja di sektor ini meningkat secara signifikan karena pada periode krisis, sektor formal justru melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Prospek penciptaan lapangan kerja di sector informal tampaknya masih akan terus meningkat, mengingat angka pengangguran terus meningkat dalam satu dekade ini, mulai dari 5,18 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6,07 juta orang (1998), 8,90 juta orang (1999), 8,44 juta orang (2000), 8,01 juta orang (2001), 9,13 juta orang (2002) 9,53 juta orang (2003), 10,25 juta orang (2004) dan 10.9 juta orang (2005). Jika kelompok setengah penganggur (mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, maka angka pengangguran saat ini mencapai 40,1 juta orang atau 37 persen dari total angkatan kerja (106,9 juta orang). Lihat selengkapnya dalam dokumen Rencana Tenaga Kerja Nasional dalam http://www.aspek.org/ DOC%5CRencana%20Tenaga%20Kerja %20Nasional%202004-2009.pdf
230
Ujianto Singgih Prayitno dari data Konsorsium Kemiskinan Kota, yang menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2001 dan 2003, terdapat 24.748 pedagang kaki lima (PKL) dan kios jalanan yang digusur dari tempat mereka mencari nafkah. Rata-rata gerobak dan kios pedagang kaki lima dihancurkan. Pada kurun waktu yang sama, sebanyak 550 pengamen juga ditangkap dan 17.103 becak digaruk atau dimusnahkan sehingga 34.000 orang kehilangan mata pencaharian.4 III. Kemiskinan di Kota Yogyakarta Pemerintah Pusat membuat kriteria dalam mendefinisikan kemiskinan berdasarkan beberapa pendekatan. Seperti yang disampaikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), pemerintah memaknai kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan secara bermartabat. Pendekatan yang digunakan meliputi: basic needs (menekankan ketakmampuan memenuhi kebutuhan dasar sebagai sumber kemiskinan); income poverty (menekankan tiadanya kepemilikian aset dan alatn produksi), basics capabilitiy (menekankan keterbatasan kemampuan dasar untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat); social welfare (tekankan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan); serta subjective (cara pandang kemiskinan dari sudut orang miskin) pandangan orang miskin sendiri). Beberapa indikator kemiskinan yang disusun, diantaranya, akses dan mutu pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan berusaha yang terbatas; ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim; lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya partisipasi; hingga besarnya beban kependudukan akibat dari besarnya tanggungan keluarga berikut tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Dari definisi yang sangat umum ini oleh pemerintah Kota Yogyakarta lalu diturunkan dalam definisi keluarga miskin. Merujuk pada pasal 1 PP No. 42 Tahun 1981, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 memaknai keluarga miskin sebagai, ”...orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang 4 Data selengkapnya mengenai penggusuran lapak dan kios pedagang kaki lima di perkotaan dapat diakses di www.urbanpoor.or.id
231
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. 5” Dari kerangka pikir ini, maka digulirkanlah berbagai skema program penanggulangan kemiskinan. Baik di pusat ataupun di kota, secara umum pemerintah memberikan dua bentuk bantuan. Program yang bersifat penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk Keluarga Miskin. Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan untuk menjaga daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras. Programnya berupa penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp 1000/kg. Untuk DIY, melalui SK Gubernur No. 33/2003, Sultan menetapkan 10 kg/keluarga. Contoh bantuan langsung lainnya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT merupakan kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas dicabutnya subsidi BBM. Dengan BLT, diharapkan keluarga miskin tetap bisa mempertahankan daya belinya. Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat yang sifatnya langsung. Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia. Dalam PJP I pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta telah meningkat dengan cukup berarti. Pada tahun 1990 produk domestik regional bruto (PDRB) nonmigas Daerah Istimewa Yogyakarta atas dasar harga konstan tahun 5 Sesungguhnya, kemiskinan tidak lagi selalu didefinisikan sebagai orang yang serba tidak memiliki, tetapi sebagai orang yang memiliki potensi yang dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Potensi tersebut dapat berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal. Pendekatan ini menurut Suharto (2001; 2002a;2002b) sedikitnya mempunyai empat hal, yaitu Pertama, kemiskinan tidak dilihat hanya dari karakteristik si miskin secara statis, tetapi dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumahtangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam menentukan kondisi sekaligus dinamika kemiskinan; dan keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin difokuskan pada beberapa indikator kunci yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola asset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).
232
Ujianto Singgih Prayitno 1983 adalah sebesar Rp1.081.175 juta. Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial telah menghasilkan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih baik yang ditunjukkan oleh berbagai indikator. Jumlah penduduk melek huruf meningkat dari 54,51 persen pada tahun 1971 menjadi 79,88 persen pada tahun 1990, angka kematian bayi per seribu kelahiran hidup turun dari 93 pada tahun 1971 menjadi 39 pada tahun 1990. Demikian pula, usia harapan hidup penduduk meningkat dari 57,4 tahun pada tahun 1971 menjadi 67,3 tahun pada tahun 1990. Peningkatan kesejahteraan tersebut didukung oleh peningkatan pelayanan kesehatan yang makin merata dan makin luas jangkauannya. Pada tahun 1990 telah ada 18 unit rumah sakit dengan kapasitas tempat tidur 3.225 buah, dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) serta puskesmas pembantu sebanyak 345 unit dengan jangkauan pelayanan mencakup luasan 9,2 kilometer persegi dengan penduduk yang dilayani sebanyak 8.442 orang per puskesmas termasuk puskesmas pembantu. Keadaan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1972, dengan jumlah puskesmas baru mencapai 52 unit dengan jangkauan pelayanan mencakup luasan 61,3 kilometer persegi dan penduduk yang dilayani sebanyak 48.401 orang per puskesmas. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta telah menunjukkan kemajuan yang berarti, seperti diperlihatkan oleh angka partisipasi kasar sekolah dasar (SD), yang pada tahun 1992 telah mencapai 112,2 persen, dibandingkan tahun 1972 yang baru mencapai.86,0 persen. Angka partisipasi tahun 1992 tersebut lebih tinggi daripada tingkat nasional, yaitu sebesar rata-rata 107,5 persen. Tingkat partisipasi pendidikan ini didukung oleh ketersediaan sekolah yang makin meningkat. Pada tahun 1992 telah ada 2.336 unit SD yang berarti telah meningkat dibandingkan dengan tahun 1972 yang baru berjumlah 1.434 unit. Peningkatan jumlah SD dan murid didukung oleh jumlah guru yang makin meningkat. Pada tahun 1992 tercatat 22.458 orang guru SD dan setiap guru SD melayani 17 murid. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat tercermin pula dari makin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Pada tahun 1990, penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 437.210 orang atau kurang lebih 15,5 persen dari seluruh penduduk. Pada tahun 1984, penduduk miskin masih berjumlah 845.980 orang atau kurang lebih 30,1 persen dari jumlah penduduk.
233
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Penduduk Miskin di Kota Yogyakarta Tahun 2003 2004 2005
Jumlah KK Miskin 23.453 23.152 31.367
Jumlah KK Kota Yogya 84.520 70.159 81.859
Porsentase 28% 33% 38,32%
Sumber: Data Dinas Kesos PM Kota Yogyakarta
IV. Menanggulangi Kemiskinan Sektor Informal 1. Solidaritas dan Daya Adaptasi Penduduk perkotaan umumnya terbagi dalam 5 (lima) strata, yaitu (1) lapisan elit, (2) lapisan menengah, (3) lapisan peralihan, (4) lapisan bawah, dan (5) lapisan terendah. Masyarakat lapisan bawah dan terendah adalah mereka yang secara sosial-ekonomis belum mapan, yaitu kaum migran yang kebanyakan belum memiliki kartu penduduk kota. Mereka tinggal di kampung-kampung miskin atau kumuh bahkan hunian liar. Hampir semua penduduk yang termasuk golongan ini bergerak di sektor informal. Sebagian dari golongan ini datang ke kota tanpa keluarga. Mereka pulang ke desa beberapa kali dalam setahun (circular migrans), dan kebanyakan masih berstatus sebagai petani temporer. Golongan ini memiliki sikap menolong dirinya sendiri (natural helping system) yang mereka kembangkan ternyata telah menciptakan strategi hidup yang ulet dalam mempertahankan kehidupan mereka di perkotaan. Buruknya kondisi golongan ini memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah kota, karena mereka ini merupakan manifestasi yang konkrit dari masalah sosial ekonomi masyarakat. Solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin perkotaan, sesungguhnya merupakan sebuah strategi adaptasi dalam komunitas, sebagai salah satu upaya bertahan di tengah krisis yang berlangsung. Adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana mendapatkan “sesuatu” dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumber-sumber daya lokal dengan mengikuti model dan patokan-patokan yang umum. Bennett (1969:11) membedakan tiga tipikal adaptasi, yaitu (a) adaptive behavior as “coping mechanism or ways of dealing with people and resourches in order to attain goals and solve problems”; (b) adaptive strategy as “the pattern formed by the many separate adjustment that people divise in order to obtain and use resources and to solve in the immediate problem confronting them”; (c) adaptive processes as “the changes introduced over relatively long period of time by the repeated use of such straategies or the making of many adjustment. 234
Ujianto Singgih Prayitno Dalam hal ini, hanya perilaku yang berkenaan dengan pencapaian tujuan atau penyelesaian masalah saja yang dapat dikatakan adaptif. Adaptasi merupakan perilaku untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, yang meliputi kelangkaan sumber daya guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan (Bennet, 1969:11). Adaptif tidaknya suatu perilaku, ditentukan atas dasar tujuan yang diinginkan, tetapi tidak diartikan mencakup semua elemen, tetapi “only those that are clearly related to economic survival” (Bennet, 1969:15). Perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Sedangkan strategi adaptasi adalah pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (AhimsaPutra, 2003:12). Adaptasi dilakukan oleh para aktor sebagai pelaku tindakan, dan memposisikan peran aktor dalam keseluruhan kerangka pemikiran kajian ini menjadi sangat penting. Burns (et.all, 1987:10) menyatakan, bahwa terdapat dua konsepsi yang berbeda secara fundamental mengenai manusia dan tindakan manusia. Disatu pihak, aktor sosial dipandang sebagai kekuatan-kekuatan pokok yang membentuk struktur dan mengubah kembali struktur sistem sosial itu. Dilain pihak, aktor-aktor sosial itu mungkin tidak ada atau mungkin merupakan bagian-bagian yang tidak berkepribadian, yang mengikuti aturan-aturan yang pasti atau diberi peran dan fungsi dalam suatu dunia yang pada dasarnya tidak dapat mereka ubah. Artinya, disini tidak terdapat “aksi sosial sebagai kekuatan kreatif-destruktif” yang mengadakan inovasi, restrukturisasi, dan transformasi kondisikondisi kehidupan. Adaptasi mengacu pada cara-cara yang dilakukan individu-individu atau kelompok dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, yang menunjuk pada “kapabilitas” individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosialnya. Konsepsi ini mengedepankan nilai, bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya, yang memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam mempertahankan hidupnya, dengan memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber daya yang ada di sekitar dirinya. Studi adaptasi sektor informal ini, akan dapat menggambarkan karakteristik dan dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan dapat menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosialekonomi yang tekait dengan situasi kemiskinannya. 235
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Terdapat empat hal yang dapat dikemukakan dalam pendekatan adaptasi sektor informal dalam studi kemiskinan perkotaan ini, yaitu pertama, kemiskinan tidak dapat dilihat semata-hanya dari karakteristik orang miskin secara statis, melainkan secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan keluarga miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan tidak tunggal, tetapi indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, lebih lengkap dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Dan keempat, adaptasi sektor informal dapat difokuskan pada beberapa indikator kunci yang mencakup kemampuan keluarga miskin memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola aset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses). 2. Strategi Yogyakarta Di wilayah Kota Yogyakarta, penduduk yang hidup serba kekurangan, hingga bulan Februari 2006, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin mencapai angka 31.367 Kepala keluarga dari jumlah total 81.859 KK yang ada. Artinya, 3 dari 10 orang penduduk Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener, dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta. Sementara itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS). Sebagian besar masyarakat miskin di kota Yogya bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pemulung, sampai pengamen. Peta persebaran warga kota yang berprofesi pekerja sektor informal di sejumlah kampung di kota, adalah bahwa para pemulung kebanyakan bermukim di daerah Timoho. Untuk pengamen, sebagian besar menghuni kampung-kampung di 236
Ujianto Singgih Prayitno pinggiran Sungai Gajah Wong. Jika menengok ke sejarah asal mula dan pertumbuhan kampung di Kota Yogya, banyak kampung seperti Timoho dan pinggiran Sungai Gajah Wong muncul seiring dengan gelombang awal urbanisasi, setidaknya sejak dekade 1970-an sampai 1980-an. Hal ini dikatakan Yoshi Fajar Kresno Mukti dari Yayasan Pondok Rakyat, lembaga non profit yang bergerak pada riset aksi untuk mengadvokasi pemukiman rakyat. Menurut Yoshi, kampung seperti Badran dan Kricak, mulai dihuni saat pembangunan rel kereta api berlangsung di sana. “Kalau ditelusuri, orang yang disebut penduduk asli itu berasal dari Kulon Progo dan Bantul, yang itu ditentukan oleh (keberadaan) rel. Nama Kricak berasal dari sebutan untuk batu kerikil yang digunakan membangun rel,” kata Yoshi. Beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima. Merujuk Peraturan Walikota Yogyakarta No. 10/2005 tentang Penjabaran APBD tahun anggaran 2005, program yang bernuansa penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta tersebar di berbagai instansi. Di dinas Perekonomian, ada bantuan keuangan kepada PKL sebesar Rp 750.000.000. Di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada pelatihan keterampilan tenaga kerja. Dan Dinas Kesejahteraan Sosial memiliki bantuan keuangan kepada penyandang rehabilitasi dan masalah sosial yang mencakup bantuan pembinaan USEP KM sebesar Rp 14.500.000, bantuan pengembangan USEP KM sebesar 13.200.000. Meski terfokus pada program yang sifatnya memberdayakan ekonomi, pemerintah kota tetap menjalankan program-program yang sifatnya “penyelamatan,” seperti bantuan beasiswa sekolah, subsidi pelayanan kesehatan, atau yang paling nyata berupa santunan dan perlindungan terhadap warga kota yang terlantar seperti anak jalanan, gelandangan dan pengemis, serta manula. Peraturan 237
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Walikota No. 10/2005 juga menggagarkan untuk Dinas Kesehatan berupa bantuan premi gakin sebesar Rp 1. 229.700.000. Lalu untuk Dinas Pendidikan dan Pengajaran berupa pengembangan SDM yang mencakup beasiswa, bantuan tugas belajar, ikatan dinas sebesar 97.000.000, biaya bantuan pelatihan dan kursus keterampilan sebesar Rp 45.000.000. Bantuan pembinaan rentan anak jalanan dan anak jalanan sebesar Rp 108.300.000 dan bantuan untuk fasilitasi dan rehabilitasi sosial sebesar Rp 15.000.000. Agar tidak ada tumpang tindih antar program, dilakukan evaluasi dan revisi terhadap program yang ada. Jika merupakan program dari pusat, maka akan diaalihkan pada program kegiatan yang lain. Pada prinsipnya, ada sinergi dan saling menguatkan. Disamping itu, dibentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan, yang berfungsi sebagai badan yang mensinergikan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada di berbagai dinas yang kini sedang berjalan. Demi menjembatani berbagai instansi yang memiliki data masing-masing sesuai dengan tupoksinya, KPK berupaya menyusun pendataan data gakin secara “satu pintu”. Paling tidak, upaya penanggulangan kemiskinan DIY, menghindari kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.
238
Ujianto Singgih Prayitno V. Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan Daya tahan sektor informal dalam meghadapi krisis ekonomi memperlihatkan kekuatan dan keuletan pelaku sektor informal yang diperlihatkan melalui kemampuan adaptasinya yang tinggi, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu diarahkan pada pendekatan people driven. Pendekatan ini tidak bermaksud menafikan pendekatan market driven, tetapi untuk meluruskan permasalahan selama ini, yang pada kenyataannya pendekatan ini dirasakan semakin menjauh dari realitas kepentingan rakyat yang sebenarnya merupakan tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri. Reformasi politik dan ekonomi saat ini, sesungguhnya memberikan peluang lebih besar bagi para perencana kebijakan, terutama kebijakan perkotaan, karena pada saat ini sebenarnya memberikan pengembangan peluang-peluang sosial yang fundamental, sehingga membutuhkan kebijakan publik yang sangat teliti dan sungguh-sungguh yang mencakup kebijakan penanganan sektor informal. Pembangunan sektor informal pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi juga saling mendukung. Hal ini memerlukan kemajemukan kelembagaan yang efektif dimana perencanaan ekonomi dan sosial memainkan peran yang cukup penting, tetapi membutuhkan suplementasi yang sangat kuat dari berbagai sisi. Oleh karena itu, meletakkan pendekatan people driven sebagai elemen utama dalam menyusun strategi besar menata sektor informal dengan berdasarkan pada kondisi nyata sosial ekonomi mereka. Untuk itu para perencana kota perlu mendalami lingkungan masyarakat miskin perkotaan secara holistik dan obyektif, dengan memperhatikan kaitan yang satu dengan lainnya dengan pikiran jernih. b. Rekomendasi 1. Agar dapat mengatasi kemiskinan perkotaan dan penataan sektor informal, hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan perkotaan yang smaller, better, faster, dan cheaper local government. Pemerintahan kota yang baik adalah yang dekat dengan rakyat, sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan cepat, lebih baik dan lebih murah. Adanya jaringan sistemik dalam manajemen kota akan menghasilkan kinerja yang optimal karena didukung oleh berbagai potensi dan berbagai pihak. 239
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Sinergi ini akan menciptakan iklim yang kondusif dalam pelaksanaan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah. Untuk itu, setiap kebijakan hendaknya diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip acceptable (akseptabilitas), accountable, profitable (profitabilitas), sustainable (berkesinambungan), dan replicable. 2. Berikan peluang bagi sektor informal untuk bermain secara bebas didalam pasar dengan meningkatkan kesempatan, dan memotivasi pelaku sektor informal untuk melakukan inovasi dan kemajuan tehnik. Tugas pemerintah kota adalah menciptakan mekanisme bagi berfungsinya kompetisi. Pada saat yang sama, Negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat harus mempromosikan kesiapan dan kemampuan masyarakat untuk memiliki tanggungjawab dan lebih independen. 3. DPR perlu memberikan jaminan agar pembangunan dan pelayanan perkotaan di Indonesia melalui pembentukan undang-undang yang menjadi tanggung jawabnya, melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan dan pemeliharaan akan memperluas dukungan terhadap kebijakan pembangunan perkotaan. Untuk memperoleh motivasi yang diperlukan, perlu hubungan yang dialogis dan komunikatif dengan masyarakat dengan membentuk manajemen partisipasi yang efektif.
240
Ujianto Singgih Prayitno
KEPUSTAKAAN
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional. Arief, Sritua. 1993. Pemikiran Pembangunan dan Kebijaksanaan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Riset Pembangunan. Azuma, Y. dan HI. Grossman. 2002. A Theory of the Informal Sector. NBER Working Paper 8823 Maret 2002. (www.nber.org). Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company. Becker, K. F., 2004 The Informal Sector: Fact Finding Study. Blunch, Niels-Hugo., S. Canagarajah., D. Raju. 2001. The Informal Sector Revisited: A Synthesis Across Blunch, Niels-Hugo., S. Canagarajah., D. Raju. 2001. The Informal Sector Revisited: A Synthesis Across Space and Time. Hans-Dieter Evers, Produksi Subsistensi dan Masa Apung di Jakarta, Prisma, Jakarta, No. 6, Juni 1980. Hernando de Soto, Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, 1991. Lippert, O., dan M. Walker. (eds). 1997. The Underground Economy: Global Evidence of its Size and Losby, J. L. et.al. 2002. Informal Economi Literature Review. ISED – The Aspen Institute. Nas, d. P. J. M. 2007. Kota Kota Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
241
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Oscar Lewis, Kebudayaan Kemiskinan, dikutip dari Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor, Jakarta, 1993 Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan : Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986. Schneider, F., dan D. Enste. 2002. Shadow Economies Around the World: Size, and Cause. Suharto, E. 2003. Accomodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process: A Case Study of Street Enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR), Indonesia. Policy Paper – International Policy Fellow. (www.policy.hu).
242
Tri Rini Puji Lestari
FENOMENA MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Tri Rini Puji Lestari1
I. Pendahuluan Pembangunan kesehatan dilaksanakan dalam rangka mencapai kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, agar mereka dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut banyak hal dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik secara fisik maupun non fisik. Salah satu permasalahan dalam pembangunan kesehatan yang memerlukan perhatian negara saat ini adalah masalah mutu pelayanan rumah sakit (RS). Mutu pelayanan RS merupakan suatu fenomena yang unik, sebab dimensi dan indikatornya dapat berbeda diantara orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Menurut Azwar (1996), untuk mengatasi perbedaan tersebut selayaknya yang dipakai sebagai pedoman adalah hakikat dasar dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap pasien. Dengan demikian, yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien.2 1 Pusat Pengkajian Pengolah Data dan Informasi Setjen DPR RI, Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Gatot Subroto Jakarta 10270 (e-mail:
[email protected]) 2 Utama Surya, Memahami Fenomena Kepuasan Pasien RS. Referensi Pendukung untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, Oeganisasi dan Praktisi Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan; 2003.
243
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Hubungan antara RS selaku produsen jasa pelayanan kesehatan dengan pasien selaku konsumen sangat berbeda dibandingkan dengan hubungan antara produsen dengan konsumen diluar bidang kesehatan. Hal ini dikarenakan jalinan hubungan antara pasien sebagai konsumen dengan RS sebagai produsen pelayanan kesehatan memiliki beberapa ciri yang khas dari pelayanan kesehatan yang sangat spesifik yang tidak dimiliki oleh bidang lain. Dengan demikian, tidak jarang terjadi penyalahgunaan hak pasien oleh pihak RS. Penyalahgunaan hak pasien dari pihak rumah sakit dapat terjadi karena beberapa alasan diantaranya: 1. ignorance atau ketidaktahuan atas hak pasien. Hal ini merupakan sesuatu yang pelik bagi seorang profesional karena ia terikat dalam suatu etika profesional. Ketidaktahuan dalam unsur pelayanan profesional menunjukkan kelemahan dalam sistem profesionalisasi baik ketika dalam proses menjadi profesi hingga interaksi dalam perhimpunan profesi. Unsur tidak tahu dapat tidak ada artinya karena pengaruh dari faktor-faktor lain yang lebih dominan, seperti kurangnya pengetahuan pasien akan haknya sebagai konsumen; 2. faktor preferensi (sikap dominan) petugas terhadap pasien, yang dapat sampai pada ketidakpuasan pasien. Hal ini juga merupakan kelalaian profesional; 3. faktor beban kerja yang berlebihan; dan 4. faktor ekonomi, sebenarnya lebih dapat dipecahkan oleh manajer RS dengan membuat perencanaan yang baik.3 Penyalahgunaan hak pasien biasanya baru memperoleh indikasi apabila terdapat ungkapan keluhan tentang kekecewaan dan penyesalan terhadap pelayanan oleh pasien atau keluarga mereka. Keluhan dapat diwujudkan secara sederhana dalam bentuk perubahan warna muka dan umpatan hingga berupa tuntutan legal ke pengadilan dengan tuduhan kriminalitas, pelanggaran kode etik profesi, atau pelanggaran tata kerja administratif. Pelayanan kesehatan di rumah sakit di Indonesia secara umum cenderung belum mencapai mutu optimal. Karena sudah menjadi rahasia umum dan seringkali didengar adanya berbagai keluhan masyarakat yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang mereka terima, baik dari dokter maupun rumah sakit. Keluhannya beragam. Ada yang karena dokter sering telat menangani pasien, yang adakalanya berakibat pasiennya meninggal. Ada pula pasien yang harus antre dan menunggu giliran dipanggil sampai berjam-jam.4 3 Dharma, Agus (ed), Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jilid 1, edisi kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta; 1996. 4 Utama Surya, op.cit
244
Tri Rini Puji Lestari Namun demikian, hal ini dapat terjadi tanpa dirasakan oleh pihak RS, apalagi bila konsumen tidak mengungkapkan keluhan atau kekecewaan secara formal. Meskipun tidak dipermasalahkan, penyalahgunaan hak ini secara hakikatnya adalah masalah. Dengan demikian kita tidak dapat membiarkan suatu penyimpangan terjadi terus menerus, karena sekali terjadi akan merusak kebaikan-kebaikan yang sudah diupayakan (mempengaruhi image positif di masyarakat). Berdasarkan hal tersebut, maka bagaimanakah kondisi pelayanan rumah sakit selama ini; faktor apa saja yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan rumah sakit; dan bagaimanakah harapan kedepannya agar rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. II. Pelayanan Rumah Sakit yang Bermutu Mutu adalah faktor keputusan mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Mutu didasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif.5 Tiap orang mempunyai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan mutu. Konsep mutu yang berarti bagus atau paling bagus tidak sama secara profesional. Sebagai contoh: peralatan kedokteran yang bermutu menurut dokter tentulah bermacam-macam sesuai pendapatnya. Beberapa definisi profesional tentang mutu banyak diketemukan, agak berbeda-beda namun saling melengkapi yang menambah pengertian dan wawasan kita tentang apa yang dimaksud sebenarnya tentang mutu, antara lain:6 • Mutu adalah gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan (American Society for Quality ControlI). • Mutu adalah “Fitness for use” atau kemampuan kecocokan penggunaan (J.M. Juran). • Mutu adalah kesesuaian terhadap permintaan persyaratan (The conformance of requirements-Philip B. Crosby, 1979). 5 Wijono Djoko, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Teori, Atrategi dan Aplikasi Vol. 1, Surabaya: Airlangga University Press, 2000, hal. 3. 6 Wijono Djoko, ibid, hal.4.
245
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Pasien melihat pelayanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakannya dan diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit. Itu semua terakumulasi dalam suatu sikap puas dari pasien. Pandangan pasien sangat penting karena pasien yang merasa puas akan mematuhi pengobatan dan mau datang berobat kembali. Dimensi mutu pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan kepuasan pasien dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Pasien sering menganggap bahwa dimensi efektivitas, akses, hubungan antar-manusia, kesinambungan, dan kenyamanan sebagai suatu dimensi mutu pelayanan kesehatan yang sangat penting. Pemberi layanan kesehatan harus memahami status kesehatan dan kebutuhan layanan kesehatan masyarakat yang dilayaninya dan mendidik masyarakat tentang pelayanan kesehatan dasar dan melibatkan masyarakat dalam menentukan bagaimana cara yang paling efektif menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Masyarakat tidak akan mampu menilai dimensi kompetensi teknis dan tidak mengetahui pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkannya. Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, perlu dibangun suatu hubungan yang saling percaya antara pemberian pelayanan kesehatan atau provider dengan pasien sehingga tercapai suatu kepuasan dari kedua belah pihak. Menurut Porter, kepuasan adalah selisih dari banyaknya sesuatu yang ”seharusnya ada” dengan banyaknya “apa yang ada”. Wexley dan Yukl, lebih menegaskan bahwa seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara sesuatu atau kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa ketidakpuasan.7 Secara teoritis, definisi di atas dapatlah diartikan, bahwa semakin tinggi selisih antara kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai keinginan pasien dengan pelayanan yang telah diterimanya, maka akan terjadi rasa ketidakpuasan pasien.
7 Utama Surya, Memahami Fenomena Kepuasan Pasien RS. Referensi Pendukung untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, Organisasi dan Praktisi Kesehatan, Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2003, hal. 27.
246
Tri Rini Puji Lestari Menurut Sarwono, asumsi teoritis di atas selaras dengan pendapat Gibson (1987), yang dapat disimpulkan bahwa kepuasan seseorang (pekerja, pasien atau pelanggan) berarti terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan yang diperoleh dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau memperoleh perlakuan tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan. Istilah kepuasan dipakai untuk menganalisis atau mengevaluasi hasil, membandingkan kebutuhan yang diinginkan yang ditetapkan individu dengan kebutuhan yang telah diperolehnya.8 Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa berbagai kegiatan dan prasarana kegiatan pelayanan kesehatan yang mencerminkan mutu RS merupakan determinan utama dari kepuasan pasien. Pasien akan memberikan penilaian (reaksi afeksi) terhadap berbagai kegiatan Pelayanan kesehatan yang diterimanya maupun terhadap sarana dan prasarana kesehatan yang terkait dengan penyelenggaraan Pelayanan kesehatan. Penilaian mereka terhadap kondisi RS (mutu baik atau buruk) merupakan gambaran mutu RS seutuhnya berdasarkan pengalaman subjektif individu pasien. Hasil penilaian ini cenderung merupakan faktor penentu terjadinya tingkat kepuasan pasien. Penilaian pasien terhadap mutu RS bersumber dari pengalaman pasien. Aspek pengalaman pasien di RS, dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan pihak RS yang sedang atau pernah dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh seseorang yang membutuhkan Pelayanan RS. Pendapat Woodside selaras konsep kepuasan yang dikembangkan oleh Fraser bahwa kepuasan selalu dinyatakan sebagai suatu hasil perbandingan dari beberapa keadaan pada suatu saat tertentu. Sesungguhnya kepuasan itu berdimensi banyak, bersifat tidak mutlak dan skalanya tidak terbatas. Dengan demikian, pada suatu saat tertentu seseorang dapat merasa puas pada suatu aspek dari suatu keadaan.9 Tingkat kepuasan pasien menunjuk pada prioritas indikator mutu pelayanan kesehatan. Selaras bahwa kepuasan merupakan hasil penilaian perasaan yang lebih bersifat subjektif, maka hal ini menunjuk pada dimensi abstrak yang relatif abstrak atau kurang eksak. Para ahli telah banyak mengembangkan model pengukuran yang dapat digunakan untuk mengkuantifikasi dimensi abstrak 8 Sarwono Solita, Sosiologi Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997, hal. 34. 9 Gibson JL, Ivancevich JM, Donnely JH, Organisasi dan Manajemen-prilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Erlangga, 1987, hal. 15.
247
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dari suatu fenomena (dimensi keperibadian, sikap, atau perilaku) agar lebih mudah dipahami. Sementara itu, bagi pemberi pelayanan kesehatan (provider) mengaitkan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan ketersediaan peralatan, prosedur kerja atau protokol, kebebasan profesi dalam setiap melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan teknologi kesehatan mutakhir, dan bagaimana keluaran (outcome) atau hasil layanan kesehatan itu. Komitmen dan motivasi provider bergantung pada kemampuannya dalam melaksanakan tugas dengan cara optimal. Sebagai profesi layanan kesehatan, perhatiannya terfokus pada dimensi kompetensi teknis, efektivitas, dan keamanan. Pertanyaan yang akan mereka ajukan antara lain, berapa pasien yang akan diperiksa dalam satu jam, apakah tersedia sistem rujukan jika diperlukan? Apakah lingkungan kerja memadai dan bersih, privasi pasien terjamin? Apakah lingkungan akan mendukung pengembangan profesi? Apakah apotek dapat menyediakan obat yang diperlukan? Apakah tersedia kesempatan pendidikan berkelanjutan?10 Sebagaimana halnya pasien, semua pertanyaan tersebut harus ditanggapi oleh organisasi pelayanan kesehatan, kemudian sebagai pelanggan internal (internal clients), pemberi pelayanan kesehatan itu harus mendapat kepuasan kerja dalam melaksanakan tugas profesinya. Profesi layanan kesehatan membutuhkan dan mengharapkan adanya dukungan teknis, administratif, dan layanan pendukung lainnya yang efektif serta efisien dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Sedangkan bagi pemilik sarana pelayanan kesehatan berpandangan bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasional dan pemeliharaan, tetapi dengan tarif layanan kesehatan yang masih terjangkau oleh pasien, yaitu pada tingkat biaya ketika belum terdapat keluhan pasien dan masyarakat. II. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Mutu Pelayanan Rumah Sakit Pelayanan RS di Indonesia saat ini sudah bersifat padat modal, padat karya, dan padat teknologi dalam menghadapi persaingan global. Namun demikian RS perlu menerapkan sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pe10 Pohan Imbalo S, Jaminan Mutu Pelayanan kesehatan, Dasar-dasar Pengertian dan Penerapan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, hal. 14.
248
Tri Rini Puji Lestari langgan. Untuk itu RS di Indonesia harus menciptakan kinerja yang unggul. Kinerja yang unggul atau Performance Excellence merupakan salah satu faktor utama yang harus diupayakan oleh setiap organisasi untuk memenangkan persaingan global, begitu juga oleh perusahaan penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti RS.11 Hal ini sejalan dengan Pasal 28H Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan layanan umum yang layak. Implikasinya, setiap penduduk harus mendapat Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan membayar sesuai dengan kemampuannya. Pelayanan kesehatan memiliki spesifikasi yang khusus bila dibandingkan dengan bidang-bidang lain di luar bidang kesehatan. Hal ini dikarenakan pelayanan kesehatan mempunyai ciri yang khas yang tidak dimiliki oleh bidangbidang lain di luar bidang kesehatan, seperti: 1. ketidaktahuan konsumen (consumer ignorance), tidak seperti kalau konsumen akan pergi ke salon misalnya yang sudah tahu pasti jasa apa yang akan di dapat, namun saat konsumen datang ke suatu RS biasanya tidak tahu persis jasa apa yang akan di dapat, hal ini karena tingkat pengetahuan konsumen yang minim dalam hal penyakit yang sedang dideritanya; 2. pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (supply induce demand) sehingga konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih; 3. produk pelayanan kesehatan bukan konsep yang homogen, misalnya konsumen yang pergi ke RS dengan keluhan sakit kepala akan mendapatkan beberapa pemeriksaan kesehatan dan tidak hanya mendapatkan obat untuk menghilangkan sakit kepalanya; 4. pembatasan terhadap kompetisi (umumnya konsumen berobat ke RS karena mencari dokter tertentu); 5. ketidakpastian tentang sakit, bila seorang konsumen datang dengan keluhan sakit kepala maka dia tidak dapat memastikan apakah penyakit tersebut hanya sekedar sakit kepala atau ada sesuatu hal yang lainnya; 6. sehat sebagai hak asasi manusia, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama akan sehat baik masyarakat kaya maupun miskin.12 Kondisi ini akan mempengaruhi tata hubungan antara penyelenggara pelayanan kesehatan (produsen) dengan pasien (konsumen) yang tentunya akan berpengaruh pula pada mutu dari pelayanan kesehatan itu sendiri. 11 Naskah Akademik RUU RS, Jakarta: Departemen Kesehatan, 2008, hal. 11. 12 Widjajarta, Kepuasan Konsumen Jasa Pelayanan RS. Jakarta: YLKKI, 2001, hal. 1.
249
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Perspektif terhadap faktor penting dalam pencapaian mutu pelayanan kesehatan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan (seperti pasien, masyarakat, organisasi masyarakat, profesi pelayanan kesehatan, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah) berbeda. Perbedaan perspektif tersebut antara lain disebabkan karena adanya perbedaan dalam latar belakang, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pengalaman, lingkungan, dan kepentingan.13 Untuk itu, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (MENPAN) nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Bab V huruf A, rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik dan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu memperhatikan dan menerapkan beberapa prinsip, yakni: 1. Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. 2. Kejelasan. Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal: a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. 3. Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan. 4. Akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. 5. Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. 6. Tanggung jawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. 7. Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedia sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). 8. Kemudahan akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 13 Pohan Imbalo S, op.cit, hal. 13.
250
Tri Rini Puji Lestari 9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. 10. Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Selain itu, dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (MENPAN) nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Bab V huruf B, juga diatur bahwa rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik dan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu harus memiliki standar pelayanan yang sekurang-kurangnya meliputi: 1. Prosedur pelayanan. Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan. 2. Waktu penyelesaian. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3. Biaya pelayanan. Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. 4. Produk pelayanan. Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 5. Sarana dan prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik. 6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan. Dalam praktik sehari-hari tidaklah mudah melakukan penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan. Penyebab utamanya karena mutu pelayanan tersebut bersifat multi-demensional. Tiap orang, tergantung dari latar belakang dan kepentingan masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dari demensi yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Prevost (1987), telah berhasil membuktikan adanya demensi tersebut, yaitu:14 14 Azwar Azrul, ibid.
251
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi antara petugas dengan pasien, keprihatinan serta keramah-tamahan petugas dalam melayani pasien, dan/atau kesembuhan penyakit yang sedang diderita oleh pasien. 2. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran mutakhir dan/atau adanya otonomi profesi pada waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. 3. Bagi penyandang dana pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efisiensi pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan kesehatan, dan/atau kemampuan pelayanan kesehatan mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan kesehatan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan paling sedikit meliputi tiga faktor. Pertama, faktor konsumen, yaitu apakah pelayanan kesehatan itu memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen/pasien. Kedua, faktor profesi, yaitu apakah Pelayanan kesehatan memenuhi kebutuhan pasien/ konsumen, seperti yang ditentukan profesi pelayanan kesehatan. Dimensi ini akan diukur dengan menggunakan prosedur atau standar profesi yang diyakini akan memberi hasil dan kemudian hasil itu dapat pula diamati. Ketiga, faktor manajemen, yaitu bagaimana proses pelayanan kesehatan menggunakan sumber daya yang paling efisien dalam memenuhi kebutuhan dan harapan/ keinginan pasien/konsumen tersebut.15 Selain itu apapun tipe RS-nya, faktor penting lainnya yang dapat berpengaruh pada mutu pelayanan kesehatan adalah biaya pelayanan kesehatan yang juga harus bermutu (selanjutnya disebut biaya mutu). Menurut W. Eswars Demings, salah seorang pioner mutu menyatakan bahwa dimungkinkan untuk menghemat sebanyak 30% pengeluaran operasional organisasi dengan cara memecahkan masalah mutu, seperti: kesalahan, keluhan yang seharusnya dapat dihindarkan, kelalaian, upaya yang mubazir, sistem yang tidak efisien, tenaga yang tidak terlatih, dan masalah lain.16 15 Pohan, op cit, hal. 16-17. 16 Pohan, op cit, hal. 17.
252
Tri Rini Puji Lestari Biaya mutu dapat dinyatakan dalam bentuk pengertian moneter (jumlah, harga, dan ongkos) yang ditetapkan dan dicatat pada setiap satuan kerja, misalnya biaya berbagai kategori tindakan, pemeliharaan bangunan, administrasi, binatu, biaya obat, makanan, dan lain-lain. Biaya moneter ini dapat digolongkan sebagai biaya penting yang akan dibebankan/ditanggung oleh pasien. Selain itu dapat pula dalam bentuk pengertian nonmoneter, seperti keluhan, penderitaan, pengorbanan, dan kesusahan.17 Sedangkan pada lingkungan pelayanan kesehatan, biaya pelayanan kesehatan dikatakan bermutu rendah apabila mahal dan tidak efisien (pemborosan). Hal ini disebabkan karena: 1. biaya kegagalan, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat tidak dapat dilaksanakannya tindakan yang tepat, pada waktu yang tepat, dan pada tempat yang tepat. 2. Biaya penggunaan atau pemanfaatan, yaitu biaya yang pemanfaatannya ditimbulkan oleh penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan efektif. Selain itu, sejalan dengan asas keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di RS (Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang RS Pasal 2), faktor pemberian perlindungan dan tanggung jawab hukum bagi pihak RS (mencakup pelaksana, penyelenggara,dan pengelola pelayanan kesehatan di RS) juga sangat diperlukan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang RS (Pasal 44) yang menyatakan bahwa perlindungan hukum pada RS dapat berupa: 1. RS dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. 2. Pasien dan/atau keluarga yang menuntut RS dan menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. 3. Penginformasian kepada media massa tersebut berarti memberikan kewenangan kepada RS untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab RS. Sementara pada Pasal 45 dinyatakan bahwa: 1. RS tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif. 2. RS tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia. 17 Pohan, op cit, hal. 57.
253
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Adapun tanggung jawab hukum bagi RS, sebagaimana diatur pada Pasal 46 adalah RS secara hukum menanggung semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di RS. Hal ini sangat penting, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan nantinya. Mengingat saat ini masyarakat sudah semakin kritis terhadap pelayanan yang diterimanya, sementara persaingan industri perumahsakitan pun semakin pesat. Sedangkan RS yang bertarap internasioanal dan modern baik di dalam maupun di luar negeri sudah semakin menjamur. Kesemuanya ini merupakan strategi dasar dalam pemberian pelayanan kesehatan di RS yang bermutu. Terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu oleh pihak RS dapat tercermin melalui kemampuan pihak RS dalam memberikan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau serta berkeadilan, meningkatkan daya saing di dalam pelayanan kesehatan dengan kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan sebagai pelaksana sekaligus penyelenggara pelayanan kesehatan dan memberdayakan secara optimal potensi nasional untuk memanfaatkan peluang yang ada, serta meminimalisasi liberalisme negatif terkait pelayanan kesehatan.18 III. Kondisi Pelayanan Rumah Sakit Selama ini Sampai saat ini kasus-kasus malpraktek dan pelanggaran hak pasien masih saja terjadi diberbagai daerah dan tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti RS. Kita masih ingat peristiwa Bung Irwanto PhD yang mengalami kelumpuhan saat berobat ke suatu rumah sakit di Tangerang, di mana dokter telah dianggap melakukan kelalaian terhadap dirinya. Atau kasus Nyonya K, di mana gunting penjepit usus sepanjang 15 cm tertinggal di perut saat ia menjalani operasi rahim. Serta kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari yang ramai dibicarakan publik beberapa waktu yang lalu. Kasus yang dialami oleh Prita, merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen.19 Mungkin kasus sejenis masih banyak lagi, tetapi tidak dipublikasi karena tidak tercium oleh media massa. Setiap asuhan klinis, baik terkait dengan proses diagnosis, terapi, pembedahan, pemberian obat, pemeriksaan laboratorium, 18 Kesehatan Rakyat Diprioritaskan, Suara Pembaharuan, 16 Maret 2008. 19 JB Suharjo B Cahyono, Mempertanyakan Sistem Manajemen Mutu Asuhan Klinis Perumahsakitan Kita. Kompas, 13 Agustus 2004.
254
Tri Rini Puji Lestari dan sebagainya, dapat berisiko menimbulkan kerugian yang tidak diharapkan pasien, baik secara fisik, finansial, maupun sosial. Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkenaan dengan kasus di bidang pelayanan kesehatan di RS, yang mengadukan kepada YLKI sebanyak 19 orang pada periode 1991–1995, tujuh orang pada periode Januari sampai Desember 1996, melalui telpon pada Tahun 1997 terdapat 18 orang. Pada Tahun 2000 tercatat ada 10 orang yang melakukan pengaduan melalui surat dan melalui hotline service 21 orang. Sedangkan pada Tahun 2001 terdapat 18 orang melalui surat dan 20 orang melalui hotline service.20 Sementara dari hasil penelitian di enam wilayah Indonesia pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa pasien miskin di RS pemerintah maupun RS swasta, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang memadai, di antaranya dikarenakan pelayanan administrasi yang dinilai rumit, berbelit, kurangnya informasi, petugas yang kurang ramah, tidak diberikannya resep obat generik, dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Selain itu, keharusan membayar uang muka juga menjadi penghalang bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di RS.21 Hasil survei yang dilakukan Indonesia Coruption Watch (ICW) dalam risetnya mengenai pelayanan RS terhadap warga kelompok miskin di Jabodetabek pada tahun 2009 (sasaran lima RS swasta dan 18 RS pemerintah dengan total sample 738 responden pasien miskin) juga didapat sebanyak 76,8% responden mengeluhkan pelayanan administrasi RS. Sedangkan 34,1% mengeluhkan pelayanan perawat dan tenaga kesehatan RS. Selain itu, masih terdapat pungutan bagi pasien miskin untuk mendapatkan kartu berobat dan saat pelayanan, hal ini ditunjukkan dengan adanya pengakuan 7,9% responden. Pemegang kartu Jamkesmas mengeluarkan biaya rata-rata sebesar Rp. 101 ribu dan Rp. 89 ribu. Selain pungutan mendapatkan kartu berobat tersebut, dalam pelayanan ternyata masih harus mengeluarkan biaya meski terdaftar di Jamkesmas dan keluarga miskin (gakin).22 20 YLKI, 2002. Kompetisi RS Lokal dan Swasta Asing di Indonesia, Warta Konsumen, edisi November 2002, hal. 15-16. 21 Lestari Tri Rini Puji, Laporan Survey, Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan di RS, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008, hal. 1. 22 Kusumaningsih Ratna, Pelayanan RS Untuk Masyarakat Miskin Masih Buruk, Media Indonesia, 10 Pebuari 2010.
255
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, ketidakpuasan terhadap buruknya pelayanan kesehatan seperti tersebut diatas, baik yang mereka terima dari dokter maupun pihak RS, sering diterima dengan pasrah. Sementara bagi orang kaya, ketidakpuasan atas pelayanan RS yang diterimanya, sudah cukup memberi alasan bagi mereka untuk berobat ke dokter atau RS luar negeri meski harus dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Lantas bagaimana program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebagai sebuah program pemerintah untuk memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat miskin. Program ini adalah pergantian nama dari Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) tahun 2007 sudah efektifkah? Tetap saja banyak cerita miring yang berhembus terhadap pelayanan pada mereka yang mengantongi Jamkesmas ini.23 Singkatnya, kalau Anda orang miskin dan sakit sehingga perlu dirawat di RS, maka bersiap-siaplah untuk repot mengurusi berbagai hal tentang administrasi, sebelum nantinya keluarga Anda betul-betul ditangani oleh dokter yang merawatnya. Inilah satu kenyataan yang terjadi di rumah sakit kita. Pelayanan dan jaminan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan untuk orang miskin masih saja terabaikan, terkalahkan oleh banyaknya birokrasi yang harus dilalui oleh mereka. Memang semuanya serba gratis, kecuali bila ada obat-obatan yang tidak tersedia di apotik RS, maka kita harus membelinya di apotik di luar RS. Tapi karena gratis inilah, maka akhirnya birokrasi yang harus dilalui juga harus banyak, dan cukup melelahkan. Dan tanpa terasa juga semua ini harus mengeluarkan biaya untuk operasional selama mengurus administrasi tersebut. Belum lagi, sikap dan cercaan baik dari perawat, petugas RS atau juga dokter kalau tidak mengikuti prosedur yang mereka minta. Jangan kaget kalau ada dokter atau petugas perawat yang berbicara cukup keras atau lantang, menjelaskan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien atau menyuruh mereka untuk melengkapi sesuatu administrasi yang belum dipenuhi. Memang cukup menjengkelkan, bahkan terkadang membuat hati ingin marah dengan kondisi seperti ini. Selama ini sistem pelayanan kesehatan rumah sakit di Indonesia yang selalu dihadapkan pada dua problem. Pertama, pengobatan penyakit. Sedangkan kedua, buruknya pelayanan rumah sakit ter23 Deslina, Balada Pelayanan RS Kita. http://regional.kompasiana.com/2010/11/30/balada-pelayananrs-kita/ (diakses 30-11-2010)
256
Tri Rini Puji Lestari hadap keselamatan pasien, terutama pada masyarakat miskin. Tidak ada uang, sosok berlumuran darah itu, akan dibiarkan tergolek, jika belum ada yang bertanggung jawab pembiayaannya. Kondisi ini hampir terjadi baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Karena memang pelayanan kesehatan sekarang orientasi sosialnya mulai menipis tapi cenderung orientasi bisnis. Bahkan kalau mau jujur di lapangan banyak pemilik kartu Jamkesmas sebenarnya adalah orang kaya. Kesalahan ini terletak pada tidak tegasnya definisi miskin dan kelalaian kepala desa dalam menentukan siapa yang berhak menerima kartu. Yang menyedihkan banyak orang yang benar-benar miskin tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. IV. Harapan Kedepan Dengan diamanatkannya dalam UUD 1945 sudah seharusnya pelayanan kesehatan di Indonesia harus ditingkatkan dan diprioritaskan karena sudah menjadi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Lengkapnya sarana dan prasarana RS bukan tolak ukur utama keberhasilan RS dalam memberikan pelayanannya, melainkan ditopang oleh mutu pada sistem pelayanan yang dilakukan para tenaga medis, bergerak cepat, prima dan profesional. Mutu layanan merupakan faktor penting yang dapat membentuk kepercayaan pelanggan/pasien kepada RS sehingga tercipta loyalitas mereka. Saat ini masyarakat Indonesia kurang percaya terhadap mutu layanan RS di Indonesia. Mereka yang berpenghasilan menengah ke atas lebih memilih menjalankan perawatan/pengobatan di luar negeri dari pada di dalam negeri. Kelengkapan peralatan kedokteran, kompetensi dan kecepattanggapan staf medis maupun non-medis, kontinuitas pelayanan, sistem pelayanan yang bagus, dan jaminan mutu yang diberikan merupakan alasan kuat mengapa masyarakat lebih percaya kredibilitas RS di luar negeri dan menjadikannya pilihan. Selain itu, kurangnya kegiatan public relations yang memberikan informasi mengenai keunggulan RS juga dapat ikut mendorong pasien untuk berobat ke luar negeri. Namun faktor penyebab yang lebih signifikan adalah masih banyak RS yang belum consumer oriented, belum memberikan kemudahan akses pelayanan bagi para pasiennya dan mutu pelayanan yang masih buruk (dokter yang sering datang terlambat, pasien harus menunggu lama untuk mendapatkan 257
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik pelayanan dan perawatan, kurang responsifnya para staf medis dan non-medis terhadap kebutuhan pasien, dan lain-lain). Banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pengelola RS untuk menciptakan kinerja yang unggul di antaranya melalui pemberian pelayanan yang bagus serta tindakan medis yang akurat dan mekanisme pengelolaan yang bermutu. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pengelola RS dalam mempertahankan atau meningkatkan jumlah konsumen adalah pada unsur pelayanan. Karena tuntutan untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu dan nyaman semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan meningkatnya kesadaran arti hidup sehat. Keadaan ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat yang perlu mendapat perhatian dari pengelola RS.24 Dalam usaha peningkatan mutu pelayanan terhadap konsumen, RS perlu mengupayakan untuk mempunyai tenaga dokter ahli yang tetap, sekaligus mempekerjakan dokter tetap dan dokter kontrak. Bahkan di beberapa RS di kota besar seperti Jakarta dapat dijumpai pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) yang ditangani oleh dokter tetap maupun dokter kontrak. Bahkan ada RS yang menyediakan tempat dan sarana lengkap seperti laboratorium dengan tenaga analis, radiologi dan tempat perawatan yang serba lengkap. Sedangkan untuk tenaga dokternya mereka mengambil dokter-dokter spesialis yang terkenal dan pengelola RS menganggap dokter spesialis dan pasiennya sebagai “customer” mereka. Untuk menjaga agar dokter spesialis ternama tersebut tetap menjadi customer mereka, maka pihak RS menggunakan strategi sedemikian rupa. Di antaranya dengan menyediakan peralatan medis yang dikehendaki oleh para dokter tersebut. Oleh karenanya mutu pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien sebagai konsumen (outcome) akan ditentukan oleh mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh berbagai profesi pelayanan kesehatan yang ada di RS. Mutu pelayanan kesehatan juga ditentukan oleh mutu manajemen RS. Dengan demikian, akan terdapat hubungan timbal balik antara profesi pelayanan kesehatan dengan pasien, antara profesi pelayanan kesehatan dengan manajemen RS dan antara manajemen RS dengan pasien secara seimbang. Sehingga setiap orang terkait dengan pasien dapat mempengaruhi tingkat mutu pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, pihak RS perlu menerapkan sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelang24 Lestari, op.cit, hal. 4.
258
Tri Rini Puji Lestari gan. Untuk itu RS harus menciptakan kinerja yang unggul. Kinerja yang unggul atau Performance Excellence merupakan salah satu faktor utama yang harus diupayakan oleh setiap organisasi untuk memenangkan persaingan global, begitu juga oleh perusahaan penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti RS. Kepuasan pelanggan merupakan kunci sukses memenangkan persaingan. Hal ini tentu saja tidak mudah bagi pengelola RS, mengingat pelayanan yang diberikan juga menyangkut hidup para pasien/pelanggannya. Bila terjadi ketidaksesuaian atau kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis maka dampaknya tidak main-main, sakit yang bertambah parah, cacat tetap atau bahkan sampai pada kematian. Kepuasan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh tindakan medis, ada banyak dimensi mutu lain yang mempengaruhi kepuasan pelanggan seperti: layanan administratif, keramahan dan ketanggapan para staf medis dan non-medis, kemudahan, kecepatan & ketepatan waktu layanan, dan lain-lain. Banyaknya dimensi mutu RS yang perlu diperhatikan sehingga penanganannya harus dilakukan dengan serius, cermat dan tepat. Di sisi lain, keberhasilan RS untuk memecahkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat harus diakui. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah pula menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap RS untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatannya. Namun demikian berbagai keberhasilan yang telah dibuktikan, tidak berarti RS telah sepenuhnya dapat mengatasi masalah pelayanan kesehatannya. Selaras perkembangan masyarakat, tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan terhadap mutu pelayanan kesehatan di RS cenderung semakin meningkat. Berdasarkan pendapat Mills et al (1991), dapat disimpulkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap mutu Pelayanan kesehatan RS telah menjadi masalah mendasar yang dihadapi sebagian besar RS di berbagai negara. Tuntutan ini menjadi dasar pengembangan organisasi kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan diberbagai negara melalui pelaksanaan desentralisasi.25 Selain itu, seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu sangat melekat dengan faktor-faktor subyektifitas, sehingga akan besar peluangnya menimbulkan persoalan baru. Namun, karena mutu pelayanan kesehatan merupakan kepentingan semua orang yang terkait, maka tidak ada orang yang bertanggung jawab secara utuh terhadap mutu pelayanan 25 Mills Ah, Voughan JP, Smith DL, Tabibzadeh I, Health System Decentralization, Geneva: World Health Organization, 1991, hal. 20.
259
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kesehatan di RS. Jaminan mutu pelayanan kesehatan tidak mungkin berhasil tanpa adanya komitmen dan keterlibatan semua orang atau pihak yang terkait. Profesi pelayanan kesehatan harus selalu memperhatikan mutu pelayanan kesehatan apabila profesi pelayanan kesehatan itu ingin mempertahankan kredibilitasnya. Selama ini kegiatan peningkatan mutu pelayanan kesehatan dilakukan hanya secara sporadis, tetapi karena semua kegiatan peningkatan mutu pelayanan kesehatan saling berkaitan, diperlukan adanya suatu kelompok kerja yang multidisiplin, terpadu, menyuluruh, efektif, dan efisien. Mutu pelayanan yang baik tidak cukup hanya dicapai, tetapi juga dipelihara dan dipertahankan (quality assurance) mengingat adanya pergeseran kebutuhan, harapan dan keinginan pelanggan dan berbagai pihak yang berkepentingan. Karena itu, mutu pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan di rumah sakit, seharusnya merupakan suatu kegiatan yang berkelanjutan untuk memantau kualitas layanan yang diberikan, dalam bentuk kewajaran perawatan yang diberikan terhadap pasien disertai upaya untuk senantiasa meningkatkan pola perawatan dan mencari pemecahan atas masalah-masalah pelayanan atau perawatan yang terjadi. Untuk itu, dalam suatu RS harus ada yang bertanggungjawab terhadap masalah mutu (Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS Pasal 56 kewenangan ini dipegang oleh Dewan Pengawas RS). Setiap satuan kerja sebaiknya mengusulkan seseorang yang akan diberi tugas dan tanggung jawab menangani mutu pelayanan kesehatan dalam satuan kerjanya. RS sedikit berbeda dengan organisasi lainnya, karena yang dihasilkan adalah berbagai jenis jasa pelayanan kesehatan dan didalamnya bekerja berbagai macam kelompok profesi pelayanan kesehatan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada pasien adalah dengan adanya jaminan mutu pelayanan kesehatan. Upaya yang dilakukan untuk dapat memberikan jaminan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah dengan melakukan pembinaan dan pengawasan RS. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang RS Pasal 54 ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. 260
Tri Rini Puji Lestari Adapun pada ayat (2)-nya pembinaan dan pengawasan tersebut diarahkan untuk: a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat; b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan; c. keselamatan pasien ; d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit. Jaminan mutu pelayanan kesehatan sebagai bagian yang integral dari kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara umum dapat diartikan sebagai keseluruhan upaya yang bertujuan untuk memberikan suatu layanan kesehatan yang terbaik mutunya, yaitu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar layanan kesehatan yang disepakati. 26 Sedangkan pengertian operasional jaminan mutu pelayanan kesehatan adalah upaya yang sistematis dan berkesinambungan dalam memantau dan mengukur mutu serta melakukan peningkatan mutu yang diperlukan agar mutu pelayanan kesehatan senantiasa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang disepakati. Adapun jaminan mutu pelayanan kesehatan mencakup kegiatan:27 1. Mengetahui kebutuhan dan harapan pasien/masyarakat yang menjadi pelanggan eksternal pelayanan kesehatan. 2. Menggunakan semua kemampuan dan bakat orang yang terdapat dalam organisasi pelayanan kesehatan. 3. Membuat keputusan berdasarkan fakta atau data, bukan perkiraan atau dugaan. 4. Bekerja dalam kelompok yang terdiri dari setiap orang yang terlibat dengan pengakuan bahwa semua tenaga kesehatan merupakan sumber daya mutu dan produktivitas sehingga setiap tenaga kesehatan akan merasa bahwa kontribusinya kepada organisasi pelayanan kesehatan dihargai. 5. Mengelola semua proses untuk menghasilkan apa yang dianggap penting, tetapi pada saat yang sama harus mendorong orang menjadi inovatif dan kreatif. 26 Pohan, op cit, hal. 48. 27 Pohan, op cit, hal. 49.
261
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 6. Semua kegiatan itu harus selalu dikerjakan, karena mutu adalah doing the right things all the times. Bentuk dari penerapan jaminan mutu yang selama ini dilakukan adalah akreditasi RS. Akreditasi rumah sakit merupakan salah satu upaya dari pembinaan dan pengawasan RS, dimana dalam hal ini ada pengakuan bahwa suatu RS sudah memenuhi standar minimum pelayanan RS yang ditentukan. Akreditasi RS terbagai menjadi beberapa kelompok, yaitu:28 • kelompok RS yang belum terakreditasi dan/atau yang belum terstandar. • RS dengan standar ISO 14000 dan ISO 2000. • RS terakreditasi 13 (tiga belas) pelayanan. • RS terakreditasi 8 (delapan) pelayanan. dan • RS terakreditasi 5 (lima) pelayanan. Dalam hal ini Kementerian kesehatan dengan Komite Akreditasi RS harus terus berupaya agar semua RS terakreditasi minimal 5 (lima) pelayanan, yaitu:29 1. pelayanan Gawat Darurat, 2. pelayanan Medik, 3. pelayanan Administrasi, 4. pelayanan Keperawatan, dan 5. pelayanan Rekam Medik. Karena dengan adanya akreditasi RS diharapkan mutu pelayanan kesehatan di RS dapat diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di RS yang lebih bermutu. Hal terpenting lainnya adalah perlu adanya sistem pembiayaan kesehatan yang mantap. Karena sebagai negara berkembang Indonesia masih sangat ketergantungan teknologi dan tenaga ahli. Akibatnya masalah kesehatan dan kemiskinan selalu disertakan dengan utang luar negeri.30 Bagi masyarakat Indonesia sistem upaya kesehatan terlalu penting atau berharga untuk di percayakan kepada kalangan professional. Semakin hari 28 Jonirasmanto, Mutu Pelayanan Kesehatan; Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan (antara penyelenggara dan pemilik), (online), (http://artikelindonesia.com/hal-mutu-pelayanan-rumah-sakit.html, diakses 30 April 2010), hal. 4. 29 Ibid, hal. 5. 30 Daniel A laurensius, Pelayanan Kesehatan di Indonesia, http://www.equator-news.com/index. php?mib=berita.detail&id=15393 (diakses 30-11-2010).
262
Tri Rini Puji Lestari semakin nyata bagaimana peran serta masyarakat dalam pengkajian masalahmasalah kesehatan dan kebijakan penyelenggaraan upaya kesehatan semakin tumbuh dan berkembang. Salah satu upaya pemerintah memberdayakan masyarakat dibidang kesehatan adalah terlihat jelas dalam bentuk pola asuransi kesehatan. Salah satunya adalah program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM ), askes (Asuansi Ksehatan), atau pun asuransi-asuransi yang di kembangkan atau di selenggarakan pihak swasta atau kalangan professional. Kini dengan semakin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, maka ada kebutuhan yang semakin mendesak yang harus dimiliki masyarakat. Pertama, harus di sadari bahwa perubahan tata ekonomi dunia baru yang ditandai era globalisasi, dimana keterbukaan terhadap pasar komoditi kesehatan juga semakin terbuka. Tidak terelakkan bahwa kondisi dan fenomena global semakin membuka peluang persaingan, dan di satu sisi biaya kesehatan semakin mahal, praktik-praktik kedokteran maupun rumah sakit semakin mahal dari jangkauan kantong masyarakat bawah. Masalah kesehatan tampaknya tidak saja merupakan masalah atau urusan Negara, tetapi merupakan masalah bagi setiap orang. Dengan semakin tingginya biaya kesehatan, tuntutan pada system pelayanan pun turut berubah. Tak terbantahkan lagi bahwa realitas dan perubahan tersebut turut mempengaruhi masalah kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Persoalannya kini adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam memberdayakan masyarakat agar cakupan program jaminan kesehatan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat? Upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, selain melalui berbagai kegiatan penyuluhan kesehatan, juga perlu adanya kesadaran masyarakat pada jaminan kesehatan masyarakat; yakni Memasyarakatkan Sistem Asuransi Kesehatan. Upaya dimaksud hendaknya selalu mengacu pada : Pertama, pemerintah harus merupakan motor dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat untuk mendorong masyarakat ikut asuransi kesehatan. Beban atau biaya kesehatan bagi masyarakat miskin perlu di subsidi sehingga tidak membebani pihak penyelenggaraan layanan kesehatan. Pihak lembagalembaga swadaya masyarakat perlu mendorong suatu usaha bersama atau terpadu antara pemerintah, sektor terkait, swasta/BUMN untuk masyarakatkan asuransi. Disamping itu penghasilan dari sektor pajak, perlu disisihkan untuk alokasi dana kesehatan masyarakat dengan tujuan mengurangi beban Negara atau APBN. 263
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Harus di sadari pula bahwa pihak pemberi layanan kesehatan, baik dokter, ataupun RS dapat memberikan pelayanan terbaik secara paripurna atas dasar “melayani”. Upaya lain terlebih bagi masyarakat pekerja, maka perusahaan harus mempunyai kewajiban menjamin kesejahteraan karyawannya, termasuk jaminan pemeliharaan kesehatan. Sejauh ini masalah jaminan kesehatan seperti Askes misalnya hendaknya betul-betul memberikan kemudahan bagi setiap penerima pelayanan kesehatan. Di Indonesia, masalah bagaimana bentuk atau model yang terbaik bagi pelayanan kesehatan di Indonesia, sepenuhnya merupakan pilihan setiap pengguna. Sebab, apa pun modelnya senantiasa mengacu pada satu tujuan, yakni memberi kemudahan dalam memenuhi kesehatan. Sesungguhnya program JPKM dan sejumlah bentuk asuransi yang sedang berjalan cukup mengakomodasi masyarakat kita. Hanya saja, perlu peningkatan kualitas dan sikap profesional dalam pengelolaannya. Dukungan pemerintah, semakin memantapkan bahwa politcalwil pemberdayaan kesehatan di Indonesia cukup mantap. Masalah pelayanan kesehatan di Indonesia akan semakin baik bila didukung sistem politik dan ekonomi, (otoritas pemerintah), adanya kesadaran masyarakat dan peran serta lembaga-lembaga terkait. Para pemakai dan pengguna jaminan kesehatan hendaknya selalu memperhatikan aspek yang berkaitan dengan sistem kesehatan yang telah di tetapkan. Masalahnya memang tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, tetapi tujuan dari pemberdayaan kesehatan bagi semua. Tidak saja menyangkut pelayanan teknis, masalah kesehatan juga terkait erat dengan sistem ekonomi, politik dan juga kemampuan perkembangan daya beli masyarakat, yang akhirnya berpengaruh pada masalah gizi, kemiskinan dan pengetahuan masyarakat. Yang pasti, model-model pemberdayaan kesehatan melalui sistem asuransi kesehatan perlu kita tingkatkan dan kembangkan sehingga memberi sinergi baru bagi pertumbuhan kita sebagai bangsa. V. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Mutu pelayanan di RS menjadi topik yang banyak dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya jumlah RS yang ada dan semakin banyaknya masyarakat menggunakan fasilitas RS untuk memperoleh layanan keseha264
Tri Rini Puji Lestari tan. Sedangkan di sisi lain, masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan di RS yang diterimanya. Mutu pelayanan kesehatan di RS, merupakan suatu fenomena yang unik, sebab dimensi dan indikatornya dapat berbeda di antara orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Namun demikian, apapun tipe RS-nya, mutu pelayanan kesehatan di RS menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan terpenuhinya hak masyarakat akan kesehatan. Berbagai kegiatan dan prasarana kegiatan pelayanan kesehatan merupakan determinan utama dari kepuasan pasien yang mencerminkan mutu RS. Sedangkan bagi provider mengaitkan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan ketersediaan peralatan, prosedur kerja atau protokol, kebebasan profesi dalam setiap melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan teknologi kesehatan mutakhir, dan bagaimana keluaran (outcome) atau hasil layanan kesehatan itu. Sementara bagi pemilik RS, pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasional dan pemeliharaan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu dari pelayanan kesehatan di RS. Namun demikian, pembinaan dan pengawasan harus dilakukan untuk dapat memberikan jaminan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan akreditasi RS agar kualitas pelayanan kesehatan di RS dapat diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit yang lebih bermutu. Jaminan mutu pelayanan kesehatan sebagai bagian yang integral dari kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak mungkin berhasil tanpa adanya komitmen dan keterlibatan semua orang atau pihak yang terkait. Untuk itu, profesi pelayanan kesehatan harus selalu memperhatikan mutu pelayanan kesehatan apabila profesi pelayanan kesehatan itu ingin mempertahankan kredibilitasnya. Dukungan sistem pembiayaan dari Pemerintah juga harus sungguh-sungguh dan terus menerus diupayakan. Sehingga, RS juga dapat selalu berkembang mengikuti tuntutan dan perkembangan jaman, sebagai akibat adanya perubahan-perubahan epidemiologik penyakit, perubahan struktur organisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosio ekonomi masyarakat dan pelayanan yang lebih efektif, ramah dan sanggup memenuhi kebutuhan mereka.
265
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 2. Saran Pengaturan yang jelas mengenai pembagian tanggung jawab antara negara dan pengelola sarana pelayanan kesehatan, yang diarahkan pada kegiatan penyelenggaraan rumah sakit, akan memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia di rumah sakit, serta mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta terdapatnya kepastian hukum dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi pelayanan maupun bagi masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Hendaknya tidak terjadinya perbedaan perlakuan antara pasien out of pocket dengan pasien jaminan asuransi, terutama asuransi non komersial, maka jaminan atas kemudahan prosedur administrasi agar cepat dan tidak berbelit sangat diperlukan. Pengaturan lebih lanjut mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) harus dilaksanakan, termasuk standar teknis untuk menjamin keamanan pasien. Selain untuk menjamin kualitas, penetapan standar juga terkait dengan penghitungan biaya. Dengan adanya standar, pasien hanya membayar pelayanan kesehatan yang sesuai standar. Jika lebih dari standar harus ada kesepakatan dengan pasien. Untuk itu, diperlukan kewajiban bagi setiap rumah sakit untuk menetapkan target pencapaian indikator standar pelayanan kesehatan. Kriteria pemegang Jamkesmas, harus lebih ketat, sehingga Jamkesmas dapat diberikan pada masyarakat yang benar-benar fakir dan miskin bukan yang pura-pura miskin. Selain itu, keberadaan Badan Pengawasan Rumah Sakit baik di tingkat pusat maupun provinsi yang independen sangat diperlukan. Disamping pemerintah secara konsisten juga harus menerapkan undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No 40/2004, yang mengharuskan semua penduduk Indonesia dijamin dapat pelayanan kesehatan.
266
Tri Rini Puji Lestari
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Azrul, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; 1996. Budiarso, A.W, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Dampaknya Kepada Pelayanan Rumah Sakit. Disajikan pada seminar sehari IDI tentang Perlindungan Konsumen Pelayanan Kesehatan. Jakarta; 1999. Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Prenada Media, Jakarta; 2005. Dharma, Agus (ed), Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jilid 1, edisi kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta; 1996. Daniel A laurensius, Pelayanan Kesehatan di Indonesia, http://www.equatornews.com/index.php?mib=berita.detail&id=15393 (diakses 30-11-2010). Deslina, Balada Pelayanan RS Kita. http://regional.kompasiana.com/2010/11/30/ balada-pelayanan-rs-kita/ (diakses 30-11-2010) Fraser TM, Stres dan Kepuasan Kerja, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta; 1986. Kempul, Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan RS, (online), (http://www.kempul. com/kepuasan-pasien-terhadap-pelayanan-rumah-sakit/, diakses pada 3-52010). Foster Gm, Anderson Bg, Medical Antropology, John Willey & Sons, Inc, California; 1986. Gibson JL, Ivancevich JM, Donnely JH, Organisasi dan Manajemen-prilaku, Struktur, Proses, Erlangga, Jakarta; 1987. JB Suharjo B Cahyono, Mempertanyakan Sistem Manajemen Mutu Asuhan Klinis Perumahsakitan Kita. Kompas, 13 Agustus 2004. 267
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Jonirasmanto, Mutu Pelayanan Kesehatan; Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan (antara penyelenggara dan pemilik), (online), (http://artikelindonesia. com/hal-mutu-pelayanan-rumah-sakit.html, diakses 30 April 2010). Kesehatan Rakyat Diprioritaskan, Suara Pembaharuan, 16 Maret 2008. Kusumaningsih Ratna, Pelayanan RS Untuk Masyarakat Miskin Masih Buruk, Media Indonesia, 10 Pebuari 2010. Lestari Tri Rini Puji, Laporan Survey, Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan di RS, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008. Mills Ah, Voughan JP, Smith DL, Tabibzadeh I, Health System Decentralization, Geneva: World Health Organization, 1991. Mutu Pelayanan Kesehatan Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan (antara penyelenggara dan pemilik)(online),(http://www.docstoc.com/docs/16963644/ MUTU-PELAYANAN, diakses tanggal 19-7-2010). Naskah Akademik RUU RS, Jakarta: Departemen Kesehatan, 2008. Pohan Imbalo S, Jaminan Mutu Pelayanan kesehatan, Dasar-dasar Pengertian dan Penerapan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007. Sinulingga, K, Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kesehatan Balai Pengobatan Umum Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2000. Tesis. IKM UI; 2002. Solita, Sosiologi Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997. Utama Surya, Memahami Fenomena Kepuasan Pasien RS. Referensi Pendukung untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, Organisasi dan Praktisi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan; 2003. Widjajarta, Kepuasan Konsumen Jasa Pelayanan RS. Jakarta: YLKKI, 2001. Wijono Djoko, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi Vol. 1, Surabaya: Airlangga University Press, 2000. YLKI, Kompetisi Rumah Sakit Lokal dan Swasta Asing di Indonesia, dalam: Warta Konsumen, edisi November 2002, Jakarta; 2002.
268
Rahmi Yuningsih
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Preventif dan Promotif di Puskesmas Rahmi Yuningsih
I. Pendahuluan Pada tahun 1948, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa “Health is a fundamental right” mengandung makna bahwa kesehatan merupakan hak mendasar yang dimiliki dan dinikmati oleh setiap manusia. WHO mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan fisik, mental dan sosial bukan hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan. Oleh karena itu, menikmati keadaan fisik, mental dan sosial yang sehat merupakan hak setiap manusia tanpa membedakan ras, agama, dan kondisi sosial sekomoni. Selain mengandung makna hak, “Health is a fundamental right” juga mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan mempertahankan serta meningkatkan yang sehat. Di Indonesia, kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menikmati standar atau derajat yang paling tinggi dalam kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pembangunan kesehatan merupakan 269
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya yang ditandai dengan penduduk yang hidup dengan perilaku dan lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diutamakan bagi penduduk rentan, yakni ibu, bayi, anak, usia lanjut dan keluarga miskin. diberikan perhatian khusus kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal, daerah bencana, daerah perbatasan, daerah terpencil termasuk pulau-pulau kecil, dengan memperhatikan kesetaraan gender.1 Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan dilakukannya upaya pelayanan kesehatan dengan berbagai pendekatan yaitu preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilakukan oleh semua pihak. Pendekatan preventif dan promotif menjadi program utama institusi pelayanan kesehatan dasar sedangkan kuratif dan rehabilitatif menjadi program utama institusi rumah sakit. Walaupun dalam berbagai keadaan pendekatan tersebut menjadi suatu kesatuan. Setelah melewati satu periode Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I) 1970 – 1995, pembangunan nasional terutama bidang kesehatan telah mengalami kemajuan. Sejak pelita pertama tahun 1970, orientasi kesehatan sudah berubah dari orientasi pada pelayanan rumah sakit (hospital based health care service) menjadi orientasi pada mendukung kebijakan pengembangan pelayanan kesehatan dasar (primary health care oriented atau community based oriented health care services). Orientasi ini lebih mengutamakan pelayanan kesehatan yang bersifat promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Sasaran kebijakan tersebut adalah kelompok masyarakat di daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan akses baik secara finansial, jarak maupun transportasi dalam menjangkau unit pelayanan kesehatan yang mayoritas terletak di perkotaan. Unit pelayanan kesehatan dasar atau biasa disebut pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dirancang berdasarkan kebutuhan kesehatan dasar masyarakat daerah setempat seperti kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi, pembe1 Departemen Kesehatan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005 – 2025, Jakarta, 2009.
270
Rahmi Yuningsih rian imunisasi, pelayanan keluarga berencana, promosi hidup bersih dan sehat, pencegahan penyakit menular berbasis lingkungan, dan pemberian makanan tambahan dengan biaya yang murah sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. Sebagai garda terdepan dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan, puskesmas mempunyai peran yang sangat besar dalam meningkatkan derajat kesehatan. Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang dapat menyentuh lapisan masyarakat bahkan sampai ke pelosok daerah. Puskesmas sebagai unit terdepan pelayanan kesehatan, memiliki peran memberikan layanan kesehatan dasar kepada masyarakat baik yang bersifat pencegahan maupun pengobatan. Dalam menjalankan perannya, puskesmas berlandaskan pada upaya kesehatan wajib yang terdiri dari promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan pengobatan. Selain upaya kesehatan wajib, puskesmas juga berlandaskan pada upaya kesehatan pengembangan antara lain kesehatan sekolah, kesehatan olah raga, perawatan kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan jiwa, kesehatan mata, kesehatan usia lanjut dan pembinaan pengobatan tradisional. Upaya kesehatan tersebut sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan milenium terutama perbaikan gizi balita melalui penghapusan kemiskinan dan kelaparan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Namun pada kenyataannya pencapaian tujuan tersebut masih jauh dari standar yang telah ditetapkan, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan target tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan target tahun 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pemerintah melalui salah satu kebijakannya yaitu Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan preventif dan promotif guna meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat untuk mencapai target tujuan pembangunan milenium pada tahun 2015.
271
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik II. Puskesmas sebagai Penyelenggara Pelayanan Kesehatan Dasar Puskesmas merupakan unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan. Puskesmas adalah satu satuan organisasi yang diberikan kewenangan kemandirian oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota untuk melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan. Batasan wewenang puskesmas antara lain: 1. Kewenangan menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan sesuai dengan situasi kondisi, kultur budaya dan potensi setempat. 2. Kewenangan mencari, menggali dan mengelola sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah, masyarakat, swasta dan sumber lain dengan sepengetahuan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang kemudian dipertanggungjawabkan untuk pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. 3. Kewenangan untuk mengangkat tenaga institusi atau honorer, pemindahan tenaga, dan pendayagunaan tenaga kesehatan di wilayah kerjanya dengan sepengetahuan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. 4. Kewenangan untuk melengkapi sarana dan prasarana termasuk peralatan medis dan non medis yang dibutuhkan.2 Keberadaan puskesmas memiliki fungsi yaitu, sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, puskesmas tidak terlepas dari sistem rujukan. Rujukan merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara vertikal dalam arti dari satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan kesehatan lainnya, maupun secara horizontal dalam arti antara strata sarana pelayanan kesehatan yang sama. Sebagai strata pertama, puskesmas memilik banyak keterbatasan terutama dalam menangani kasus kesehatan perorangan tingkat lanjut seperti tindakan operasi padahal puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang jumlahnya lebih banyak dan juga lebih menyebar hingga pelosok yang membuatnya langsung berhubungan dengan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya sistem rujukan, pelayanan yang diberikan dapat lebih efektif dan efisien. 2 Departemen Kesehatan, Arrime Pedoman Manajemen Puskesmas, Jakarta, 2002.
272
Rahmi Yuningsih Sesuai dengan jenis upaya kesehatan yang diselenggarakan puskesmas, terdapat dua rujukan di puskesmas, yaitu: 1. Rujukan upaya kesehatan perorangan Cakupan rujukan ini adalah kasus penyakit. Apabila suatu puskesmas tidak mampu menanggulangi satu kasus penyakit tertentu, maka puskesmas tersebut wajib merujuknya ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih mampu (baik horizontal maupun vertikal). Sebaliknya, pasien pasca rawat inap yang hanya memerlukan rawat jalan sederhana dapat dirujuk ke puskesmas. Pada rujukan pertama, individu atau keluarga dapat meminta pertolongan kesehatan kepada posyandu atau polindes, kemudian dapat meminta pertolongan kesehatan kepada praktek doketr umum swasta atau dokter keluarga, puskesmas, balai pengobatan, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan praktek bidan swasta sebagai rujukan strata pertama. Selanjutnya jika dibutuhkan dapat meminta pertolongan kesehatan ke strata kedua yaitu rumah sakit umum atau khusus kabupaten atau kota, BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru), BKMM (Balai Kesehatan Mata Masyarakat), klinik spesialis swasta dan praktek dokter spesialis swasta sebagai rujukan strata kedua. Kemudian, individu atau keluarga juga dapat dirujuk ke strata ketiga yang merupakan strata terakhir yaitu rumah sakit umum atau khusus pusat atau propinsi. Rujukan upaya kesehatan perorangan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan medik; rujukan bahan pemeriksaan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap; dan rujukan ilmu pengetahuan antara lain dengan mendatangkan tenaga yang lebih kompeten untuk melakukan bimbingan tenaga puskesmas atau untuk keperluan penyelenggaraan pelayanan medik di puskesmas. 2. Rujukan upaya kesehatan masyarakat Yang termasuk dalam cakupan ini adalah masalah kesehatan masyarakat seperti kejadian luar biasa (KLB), pencemaran lingkungan, dan bencana. Rujukan ini juga dilakukan apabila UKBM (Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) seperti posyandu, polindes, dan sebagainya tidak mampu melaksanakan upaya kesehatan masyarakat, dapat dirujuk ke puskesmas sebagai rujukan strata pertama. Apabila satu puskesmas tidak mampu menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat wajib dan pengembangan, pa273
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dahal upaya kesehatan masyarakat tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat dan apabila suatu puskesmas tidak mampu menanggulangi masalah kesehatan masyarakat dan atau tidak mampu menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat, maka puskesmas wajib merujuknya ke dinas kesehatan kabupaten atau kota, BP4, BKMM, dan BKKM (Balai Kesehatan Kerja Masyarakat) sebagai rujukan strata kedua. Dan yang terakhir adalah rujukan strata ketiga yaitu tingkat depkes dan dinker propinsi.3 Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan 1 di bawah ini. Bagan 1 Skema Pelaksanaan Azas Rujukan
Sumber: Departemen Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/ MENKES/SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2006.
3 Departemen Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/ SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2006.
274
Rahmi Yuningsih III. Pentingnya Peningkatan Pelayanan preventif dan promotif Puskesmas Peran puskesmas dalam pembangunan kesehatan adalah mengutamakan upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan (promitif dan preventif) penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Pelayanan kesehatan promotif merupakan suatu kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan tindakan peningkatan untuk hidup yang lebih sehat. Pelayanan kesehatan promotif bertujuan untuk menggugah kesadaran dan merubah perilaku masyarakat agar hidup lebih sehat. Seperti kegiatan promosi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Sedangkan pelayanan kesehatan preventif merupakan suatu kegiatan pelayanan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit. Upaya kesehatan preventif dan promotif puskesmas antara lain upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi masyarakat, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit. Upaya-upaya tersebut sejalan dengan program pemerintah dalam mencapai target tujuan pembangunan milenium bidang kesehatan pada tahun 2015. Target tersebut antara lain: perbaikan gizi balita melalui penghapusan kemiskinan dan kelaparan, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, dan penanggulangan penyakit menular (HIV/AIDS, Malaria dan TB). Namun berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, kondisi saat ini masih jauh dari target yang telah disepakati. Pada tahun 1991, Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994. Pada tahun 1997, AKB turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup dan turun menjadi 36 per kelahiran hidup pada tahun 2002-2003. Angka tersebut juga mengalami penurunan menjadi 34 pada tahun 2007. Target tahun 2015, sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Balita (AKABA) pada tahun 1991 tercata 97 per 1.000 kelahiran hidup kemudian turun menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 dan 58 per 1.00 kelahiran hidup pada tahun 1997. Pada tahun 2002-2003, AKABA mengalami penurunan menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup dan 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target 2015, AKABA turun menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 1994 sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun 1997 menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 menjadi 307 per 275
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007, AKI menurun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah penderita HIV/AIDS menglami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2003, penderita HIV/AIDS sebanyak 316 orang, tahun 2004 sebanyak 1.195 orang, tahun 2005 sebanyak 2.638 orang, tahun 2006 sebanyak 2.873 orang, tahun 2007 sebanyak 2.947 orang dan tahun 2008 sebanyak 4.969 orang. Jika diakumulasikan, sampai dengan tahun 2008 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 16.110 orang. Untuk penyakit malaria, indikator yang dipakai adalah Annual Parasite Insidence (API) dan Annual Malaria Insidence (AMI). API Malaria atau jumlah penderita malaria positif yang diketahui melalui hasil pemeriksaan sediaan darah positif yang umumnya dari kegiatan ACD (Active Case Detection) dan PCD (Pasive Case Detection) di daerah dalam jangka satu tahun, pada tahun 2000 sebesar 0,81‰. jumlah tersbut selalu menurun sampai dengan tahun 2004 sebesar 0,15‰. Tahun 2005 tidak mengalami perubahan. API naik menjadi 0,19‰ pada tahun 2006 dan turun menjadi 0,16‰ pada tahun 2007 dan 2008. Sedangkan AMI Atau jumlah penderita malaria klinis hasil kegiatan PCD di daerah dalam jangka satu tahun, pada tahun 2000 sebesar 31,09‰ mengalami penurunan sampai dengan tahun 2004 yaitu menjadi 21,20‰. Angka tersebut naik pada tahun 2005 sebesar 24,75‰ dan turun kembali sampai dengan tahun 2008 menjadi 18,82‰. Penyakit menular lainnya, yaitu tuberkulosis (TB), jumlah penemuan kasus TB selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2001, jumlah penderita TB sebanyak 89.706 penderita. Tahun 2004 sebanyak 214.658 penderita, tahun 2007 sebanyak 275.210 penderita dan tahun 2008 sebanyak 298.329 penderita. Selain masalah yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pembangunan milenium, pelayanan puskesmas yang diharapkan lebih bermutu dan terfokus dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat yang tinggal di wilayah kerjanya dibiarkan berkembang menjadi balai pengobatan di tingkat kecamatan dan desa.4 Sehingga fungsi puskesmas lebih pada upaya pengobatan dari pada fungsi pencegahan dan promosi kesehatan. Selain itu, masalah lain yang dihadapi oleh internal puskesmas antara lain ketersediaan dan distribusi tenaga kesehatan yang belum merata, kemampuan dan keterampilan tenaga kesehatan yang perlu ditingkatkan, keterbatasan obat 4 Muninjaya, A. A. Gde, Manajemen Kesehatan, Penertbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004.
276
Rahmi Yuningsih dan logistik, keterbatasan biaya operasional untuk pelayanan kesehatan, manajemen puskesmas yang perlu dibenahi. Dalam masalah pembiayaan, pemerintah menyediakan jamkesmas untuk masyarakat miskin, dana dekonsentrasi, penyediaan vaksin dari anggaran pemerintah pusat, bantuan operasional kesehatan (BOK), dan lain-lain. Biaya operasional yang disediakan oleh pemerintah daerah sangat beragam. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional kesehatan puskesmas di daerahnya tetapi tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas dalam hal alokasi untuk biaya operasional. BOK bukan merupakan dana utama, pemda tetap berkewajiban menyediakan dana operasional yang tidak terbiayai melalui BOK. BOK merupakan bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu pemerintah kabupaten dan pemerintah kota melaksanakan pelayanna kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) menuju tujuan pembangunan milenium dengan meningkatkan kinerja puskesmas dan jaringannya serta UKBM dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif.5 BOK merupakan salah satu sumber pembiayaan tambahan bagi puskesmas untuk menyelenggarakan upaya pencegahan dan promosi kesehatan, adapun sumber pembiayaan puskesmas untuk menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yakni: 1. Pemerintah Sesuai dengan azas desentralisasi, sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah teritama adalah pemerintah kabupaten/kota. Di samping itu, puskesmas masih menerima dana yang berasal dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Dana yang disediakan oeh pemerintah dibedakan atas dua macam yakni: a. Dana anggaran pembangunan yang mencakup dana pembangunan gedung, pengadaan peralatan serta pengadaan obat b. Dana anggaran rutin yang mencakup gaji karyawan, pemeliharaan gedung dan peralatan, pembelian barang habis pakai serta biaya operasional.
5 Departemen Kesehatan, Petunjuk Teknis Penggunaan Bantuan Operasional Kesehatan, Jakarta, 2010, hal 2 – 6.
277
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 2. Pendapatan Puskesmas Sesuai dengan kebijakan pemerintah, masyarakat dikenakan kewajiban membiayai upaya kesehatan perorangan yang dimanfaatkannya, yang besarnya ditentukan oleh Peraturan Daerah masing-masing (retribusi). Pada saat ini, ada beberapa kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dana yang diperoleh dari penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan, yakni: a. Seluruhnya disetor ke Kas Daerah Untuk ini secara berkala puskesmas menyetor seluruh dana retribusi yang diterima ke kas daerag melalui dinas kesehatan kabupaten/kota. b. Sebagian dimanfaatkan secara langsung oleh puskesmas Beberapa daerah tertentu membenarkan puskesmas menggunakan sebagian dari dana yang diperoleh dari penyelenggaan upaya kesehatan perorangan, yang lazimnya berkisar antara 25-50% dari total dana retribusi yang diterima. Penggunaan dana hanya dibernarkan untuk membiayai kegiatan operasional puskesmas. Penggunaan dana tersebut secara berkala dipertanggungjawabkan oleh puskesmas ke pemerintah daerah melalui dinas kesehatan kabupaten/kota. c. Seluruhnya dimanfaatkan secara langsung oleh puskesmas Beberapa daerah tertentu lainnya membenarkan puskesmas menggunakan seluruh dana yang diperoleh dari penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan untuk membiayai kegiatan operasinal puskesmas. Dahulu puskesmas yang menerapkan model pemanfaatan dana seperti ini disebut puskesmas swadana. Pada saat ini sesuai dengan kebijakan dasar puskesmas yang juga harus menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat yang dananya ditanggung oleh pemerintah diubah menjadi puskesmas swakelola. Dengan perkataan lain, puskesmas tidak mungkin sepenuhnya menjadi swadana. Pemerintah tetap berkewajiban menyediakan dana yakni untuk membiayai upaya kesehatan masyarakat yang memang menjadi tanggung jawab pemerintah. 3. Sumber lain Pada saat ini puskesmas juga menerina dana dari beberapa sumber lain seperti: a. PT ASKES yang peruntukannya sebagai imbal jasa pelayanan yang diberikan kepada para peserta ASKES. Dana tersebut dibagikan kepada para pelaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 278
Rahmi Yuningsih b. PT (Persero) Jamsostek yang peruntukannya juga sebagai imbal jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta jamsostek. Dana tersebut juga dibagikan kepada para pelaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) atau Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPSBBM) d. Untuk membantu masyarakat miskin, pemerintah menyalurkan dana secara langsung ke puskesmas. Pengelolaan dana ini mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan.6 IV. Peningkatan Pelayanan Puskesmas Melalui Program BOK BOK sebagai dukungan pembiayaan di Puskesmas, ditujukan untuk membantu membiayai berbagai upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Dalam upaya meningkatkan pencapaian target yang diamanatkan dalam SPM Bidang Kesehatan, sebagai tolak ukur urusan kewenangan wajib bidang kesehatan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Puskesmas sebagai salah satu pelaksana pelayanan bidang kesehatan juga mengemban amanat untuk mencapai target tersebut sehingga masyarakat akan mendapat pelayanan kesehatan yang semakin merata, berkualitas, dan berkeadilan. Tujuan BOK agar masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif, tersedianya dukungan biaya untuk pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif bagi masyarakat dan terselenggaranya proses Lokakarya Mini di Puskesmas dalam perencanaan pelayanan bagi kesehatan. BOK hanya dapat digunakan untuk upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif termasuk penunjangnya, untuk membantu pencapaian target SPM Bidang Kesehatan di kabupaten/kota guna mempercepat pencapaian target MDGs. Kegiatan yang dibiayai dari dana BOK meliputi: 1. Upaya kesehatan a. Kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana Jenis pelayanan berupa pemeriksaan kehamilan, pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, pelayanan nifas, pelayanan kesehatan neonatus, pelayanan kesehatan bayi, pelayanan kesehatan balita, upaya kesehatan anak sekolah, pelayanan keluarga berencana, pencegahan dan penanganan kekerasan dan upaya kesehatan reproduksi remaja. 6 Departemen Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/ II/2004, tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2006.
279
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik b. Imunisasi c. Gizi Jenis pelayanan, pelayanan gizi, penanggaulangan gizi kurang dan gizi buruk serta ibu hamil kurang energi kronis (KEK) d. Promosi kesehatan Jenis pelayanan, rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pembinaan desa siaga dan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (poskesdes, posyandu) e. Kesehatan lingkungan Jenis pelayanan, pemeriksaan air bersih dan kualitas air minum, pemeriksaan sanitasi dasar terdiri dari jamban sehat, rumah sehat, tempattempat umum, tempat pengolah makanan dan sekolah f. Pengendalian penyakit Jenis pelayanan penemuan kasus penyakit dan tata laksana, penyelidikan epidemiologi atau penanggulangan kejadian luar biasa (KLB), pelacakan kasus kontak, penyelidikan vektor, pemberantasan vektor 2. Penyelenggaraan manajemen puskesmas a. Perencanaan kegiatan promotif dan preventif tingkat puskesmas selama satu tahun beserta besaran kebutuhan biaya dan berbagai sumber pembiayaan termasuk salah satunya yang berasal dari dana BOK. b. Penggerakan pelaksanaan c. Suatu rangkaian proses kegiatan yang dimulai dari penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan atau supervisi serta evaluasi hasil yang telah disusun dalam suatu periode bulanan atau tribulanan. Kegiatan ini dikenal dengan istilah lokakarya mini puskesmas. d. Pengawasan pengendalian penilaian 3. Penunjang pelayanan kesehatan seperti bahan kontak upaya promotif dan preventif, pelatihan kader, pemeliharaan cold chain termasuk pembelian bahan bakar minyak dan pemberian makanan tambahan penyuluhan BOK merupakan dana yang bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan. Alokasi dana BOK per kabupaten/kota ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan alokasi dana BOK tiap puskesmas di daerahnya, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setiap puskesmas, antar lain: luas wilayah kerja dan kondisi geografis puskesmas, jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas, jumlah te280
Rahmi Yuningsih naga kesehatan di puskesmas, kondisi infrastruktur seperti jalan dan sarana transportasi, tingkat kemahalan di wilayah setempat, penyerapan anggaran yang ada dan faktor-faktor lain sesuai dengan kondisi lokal. Pada kondisi tertentu dimana terdapat puskesmas yang kekurangan dana dan puskesmas lain kelebihan dana, maka Kepadal Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat melakuakn relokasi dana antar puskesmas dalam wilayah satu kabupaten/kota. Pemanfaatan dana BOK untuk pembiayaan berbagai jenis kegiatan yang meliputi: a. Pembayaran transport petugas puskesmas, pustu dam poskesdes b. Pembayaran transport kader, dukun, dan masyarakat yang terlibat dalam proses pelayanan kesehatan maupun pertemuan manajemen. c. Operasional posyandu d. Operasional poskesdes e. Pembelian bahan kontak f. Penggandaan dan ATK rapat dalam rangka lokakarya mini g. Pembelian konsumsi rapat dalam lokakarya mini h. Uang penginapan bila diperlukan sesuai dengan peraturan yang berlaku (untuk desa terpencil atau sulit dijangkau) i. Uang harian bila diperlukan sesuai dengan peraturan yang berlaku (untuk desa terpencil atau sulit dijangkau) j. Pemberian makanan tambahan penyuluhan Dana BOK tidak boleh dimanfaatkan untuk upaya pengobatan dan rehabilitasi, penanganan gawat darurat, rawat inap, pertolongan persalinan, gaji atau honor, belanja modal, pemeliharaan gedung atau kendaraan, operasional kantor (listrik, air, ATK, fotokopi, tinta/toner) dan obat, vaksin, dan alat kesehatan.7 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 551/Menkes/SK/ V/2010 tentang Penerima Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di Puskesmas dan Jaringannya untuk Tiap Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2010, sebanyak 8.155 puskesmas yang menerima BOK dengan jumlah setahun yang berbeda-beda mulai dari Rp. 18.000.000 untuk wilayah Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat, Rp. 22.000.000 untuk wilayah Kalimantan, Nusa Tenggata Timur, Maluku dan Papua, hingga Rp. 100.000.000 untuk puskesmas di daerah uji coba. Keriteria penetapan daerah uji coba merupakan 7 Departemen Kesehatan, Petunjuk Teknis Penggunaan Bantuan Operasional Kesehatan, Jakarta, 2010.
281
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik perwakilan dari masing-masing regional, yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua, perwakilan dari kabupaten dan perkotaan serta dengan melihat indeks pembangunan kesehatan masyarakat mulai dari yang ringan hingga berat. Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan telah mengirimkan dana BOK sebesar Rp. 174,4 miliar dari total alokasi Rp. 216 miliar ke PT Pos Indonesia yang selanjutnya akan disalurkan ke rekening puskesmas sebagai dana operasional dan tidak boleh masuk ke kas daerah. Untuk tahap awal, dana BOK baru diterima 80% dari total alokasi.8 Program BOK tidak terlepas dari kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan pada lokakarya mini (rapat) setiap bulannya yang dihadiri oleh perwakilan dari dinas kesehatan kabupaten. Dalam rapat tersebut, dievaluasi mengenai kegiatan yang sudah dilakukan beserta biaya dan rencana selanjutnya. V. Kendala Kebijakan BOK dalam memfasilitasi kegiatan promotif dan preventif, memiliki beberapa kendala, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaannya. Dalam hal perencanaan, misalnya, belum ada kesamaan data mengenai jumlah puskesmas. Pihak dinas kesehatan pemerintah provinsi belum membuat surat keputusan yang berisi data, alamat dan nomor rekening puskesmas untuk dikirim ke Kemenkes. Dari 8.737 puskesmas yang ada, baru 1.764 puskesmas yang sudah menerima dana tersebut, yakni sebesar Rp 33.806.400.000.9 Selain itu, adanya rasa takut dari pihak puskesmas dalam memanfaatkan dana BOK karena dana BOK tidak disetor melalui kas daerah melainkan langsung ke rekening puskesmas.10 VI. Penutup Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan strata pertama dituntut memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Pe8 Kemenkes Mulai Salurkan Bantuan Operasional Kesehatan, http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/kemenkes-mulai-salurkan-bantuan-operasional-kesehatan/, (diakses tanggal 18 November 2010). 9 Ibid. 10 Sari, Dianing, Bantuan Operasional Kesehatan Diharapkan Tak Masuk Kas Daerah, http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/06/18/brk,20100618-256582,id.html, (diakses tanggal 18 November 2010).
282
Rahmi Yuningsih layanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas mengutamakan pelayanan yang bersifat promotif dan preventif disamping pemberian pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Pemberian pelayanan preventif dan promotif perlu ditingkatkan karena erat kaitannya dengan pencapaian target tujuan pembangunan milenium di bidang kesehatan yang sangat mendesak untuk dicapai pada tahun 2015. Untuk meningkatkan peran puskesmas tersebut, pemerintah melalui kemenkes membuat program BOK sebagai dana tambahan dalam melaksanakan upaya preventif dan promotif. BOK dikirim langsung ke rekening puskesmas dan digunakan untuk membiayai operasional kegiatan preventif dan promotif. Kedepannya, program BOK diharapkan dapat meningkatkan kegiatan preventif dan promotif untuk mencapai target tujuan pembangunan milenium. BOK juga tidak terlepas dari kegiatan monitoring, evaluasi dan pembinaan guna mengoptimalkan kinerja dari program BOK.
283
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
284
Rahmi Yuningsih
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul, Puskesmas dan Usaha Kesehatan Pokok, CV Akadoma, Jakarta, 1983. Departemen Kesehatan, Arrime Pedoman Manajemen Puskesmas, Jakarta, 2002. _____________________, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2006. _____________________, Petunjuk Teknis Jaminan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya Tahun 2009, Jakarta, 2009. _____________________, Petunjuk Teknis Penggunaan Bantuan Operasional Kesehatan, Jakarta, 2010. _____________________, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Jakarta, 2009. _____________________, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005 - 2025, Jakarta, 2009. Kemenkes Mulai Salurkan Bantuan Operasional Kesehatan, http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/kemenkes-mulai-salurkan-bantuan-operasional-kesehatan/, (diakses tanggal 18 November 2010). Muninjaya, A. A. Gde, Manajemen Kesehatan, Penertbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004. Notoatmodjo, Soekidjo, Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Sari, Dianing, Bantuan Operasional Kesehatan Diharapkan Tak Masuk Kas Daerah, http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/06/18/brk,20100618256582,id.html, (diakses tanggal 18 November 2010).
285
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Sudirman, Kesehatan sebagai Investasi dan Hak Asasi Manusia, http://els.bappenas.go.id/upload/other/Kesehatan%20sebagai%20Investasi%20 dan%20Hak%20Asasi%20Manusia.htm, (diakses tanggal 2 Desember 2010). Sulaeman, Endang Sustisna, Manajemen Kesehatan: Teori dan Praktik di Puskesmas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009. Tentang Tujuan Pembangunan Millennium: Konsep Dasar, http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id=822&Itemi d=46&lang=id, (diakses tanggal 18 November 2010) Wiku, Adisasmito, Sistem Kesehatan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007.
286
Hana Nika Rustia
Integrasi Obat Herbal ke dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Formal Hana Nika Rustia
Pendahuluan Pengobatan tradisional telah hidup di masyarakat selama ribuan tahun, terumuskan berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kepercayaan untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit. Cara pengobatan ini kemudian diadopsi oleh masyarakat lain sehingga perkembangannya semakin luas dan dikenal, yang selanjutnya disebut juga sebagai pengobatan komplementer atau pengobatan alternatif. Di beberapa negara Asia dan Afrika, 80% penduduknya bergantung pada pengobatan tradisional sebagai pengobatan primer mereka. Di beberapa negara maju, 70% – 80% penduduknya menggunakan pengobatan tradisional sebagai pengobatan komplementer.1 Pengobatan herbal menjadi jenis pengobatan tradisional yang paling populer dan paling menguntungkan di pasar internasional. Pendapatan tahunan di Eropa Barat mencapai US$ 5 miliar pada tahun 2003 – 2004. Di Cina, penjualan total produk herbalnya mencapai US$ 14 miliar pada tahun 2005. Sedangkan di Brazil, pada tahun 2007 pendapatannya mencapai US$ 160 miliar.2 Indonesia adalah salah satu laboratorium tanaman obat terbesar di dunia. Sekitar 80% herbal dunia tumbuh di negara ini. Terdapat sekitar 35.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi, 3.500 diantaranya dilaporkan sebagai tumbuhan obat.3 Dari jumlah tersebut ada yang bersifat endemik, ada juga yang tersebar 1 WHO. 2008. Fact Sheet: Traditional Medicine. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/ en/. Diakses tanggal 24 November 2010. 2 ibid 3 Trubus Info Kit. 2008. Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah & Cara Racik. Depok: PT.Trubus Swadaya. Hal.2
287
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik merata. Namun di tengah kekayaan tersebut, masih banyak anggota masyarakat yang belum menyadari dan mengetahui informasi tentang berbagai macam tumbuhan berkhasiat obat yang ternyata mudah ditemukan di sekitarnya. Walaupun hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukan tren penggunaan obat tradisional oleh masyarakat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, namun data terakhir menunjukan bahwa baru 40% masyarakat Indonesia yang memanfaatkan obat tradisional. Padahal obat herbal ini telah ada jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya menyentuh masyarakat dan dapat menjadi alternatif di tengah mahalnya harga obat kimia. Oleh karena itu, agar dapat digunakan secara luas, obat herbal ini membutuhkan penelitian untuk mengetahui efek farmakologisnya, dapat ditentukan dosisnya, diketahui efek sampingnya, dan dipastikan proses pembuatannya. Obat Kimia: Aspek Ekonomi dan Kesehatan Pada awalnya, obat-obat yang digunakan di masa lalu berasal dari tanaman. Tanaman berkhasiat obat ini oleh para ahli kimia kemudian diisolasi zat-zat aktifnya sehingga menjadi serangkaian zat kimia. Pada permulaan abad ke-20, mulai berkembang obat-obat kimia sintesis yang didukung oleh perkembangan ilmu kimia, fisika, dan kedokteran. Beribu-ribu zat sintetik ditemukan, sekitar 500 zat setiap tahunnya, sehingga banyak yang tidak lama masa hidupnya karena terdesak oleh obat yang lebih baru.4 Diperkirakan sekitar 80% dari semua obat yang digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa terakhir5. Obat yang telah teruji ini kemudian dipatenkan oleh perusahaan farmasi yang selanjutnya disebut sebagai obat paten. Obat paten adalah obat milik suatu perusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum, yaitu merek terdaftar atau proprietary name.6 Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.14 Tahun 2001, masa berlaku hak paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama masa 20 tahun ini, perusahaan farmasi memegang hak paten di Indonesia untuk memproduksi obat tersebut, hak eksklusif ini tidak diperkenankan bagi perusahaan 4 Tjay, Tan Hoan. Rahardja, Kirana. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Ed.6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Kompas – Gramedia. Hal.3 5 Ibid. 6 Tjay, Tan Hoan. Rahardja, Kirana. op cit. Hal.6
288
Hana Nika Rustia lain, baik dalam hal produksi maupun pemasaran, kecuali jika ada perjanjian khusus dengan pemilik paten. Penemuan obat paten ini memerlukan waktu yang pajang dan biaya yang sangat mahal, sekitar 900 juta dollar AS sampai 1,8 miliar dollar AS.7 Inilah yang kemudian menjadikan obat paten menjadi sangat mahal harganya. Banyaknya obat paten dengan beraneka ragam nama setiap tahun mendorong WHO untuk menyusun daftar obat dengan nama-nama resmi. Official atau generic name (nama generik) ini dapat dipergunakan di semua negara tanpa melanggar hak paten obat tersebut. Obat paten yang telah habis masa patennya kemudian dapat diproduksi oleh pihak lain dengan menggunakan nama generiknya, yang kemudian disebut obat generik. Obat generik ini selanjutnya ada yang dijual dengan merek (obat generik bermerek) dan tanpa merek. Obat generik (tanpat merek) dijual dengan harga murah, berbeda dengan obat generik bermerek yang harganya lebih mahal satu hingga puluhan kali obat generik tanpa merek.8 Penjualan obat generik (tanpa merek) merupakan program pemerintah dalam rangka mengatasi mahalnya harga obat. Peresepan ini telah diwajibkan di pelayanan kesehatan pemerintah menyusul keluarnya Permenkes No.HK.02.02/ MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Obat generik dapat berharga murah karena meng-copy obat paten (originator) yang telah habis masa patennya, lalu diberi nama generik atau nama umumnya. Dengan demikian, isi, efikasi, keamanan, dan mutu obat generik sama dengan obat paten. Untuk menjamin kesamaan dengan originatornya, obat generik ini terlebih dahulu melalui uji bioekivalensi (BE). Waktu keseluruhan yang dibutuhkan sekitar dua sampai tiga bulan, mulai dari pembuatan protokol sampai penulisan laporan dan biaya yang dikeluarkan pun tidak begitu besar sehingga dapat menekan harga obat.9 Terlebih, obat generik (tanpa merek) tidak membutuhkan biaya promosi dan kemasan yang besar. 7 Mengapa Obat Paten Mahal?. Situs Resmi Ikatan Apoteker Indonesia, 20 September 2010. http:// www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-berita-farmasi/1576-mengapa-obat-paten-mahal.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. 8 Obat Generik Kurang Laku. Kompas, 17 Desember 2009. http://kesehatan.kompas.com/read/2009/12/ 17/08064562/Obat.Generik.Kurang.Laku. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. 9 Riyadi, M. Agung. Hernawan, Arif Koes. 2010. Harga Obat: Obatnya Generik, Harganya Selangit. Gatra Ed.26, 6 Mei 2010. http://www.gatra.com/artikel.php?id=137460. Diakses tanggal 11 November 2010.
289
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Sayangnya, pemasaran obat generik (tanpa merek) ini cakupannya masih terbatas. Berdasarkan keterangan Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, industri dalam negeri enggan memproduksi obat generik karena lebih sering rugi karena bahan bakunya yang mahal namun harga jualnya rendah10. Produsen lebih memilih memproduksi obat generik bermerek yang harganya lebih mahal sehingga masyarakat dirugikan. Mahalnya bahan baku obat ini disebabkan masih bergantungnya bahan baku industri obat di Indonesia pada negara lain. Menurut keterangan Sri Indrawaty, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, hampir 96% bahan baku diimpor dari luar negeri, sisanya bersumber dari pasar dalam negeri. Nilai pasar obat di Indonesia mencapai US$ 2,5 miliar atau setara dengan Rp 22 triliun, dan sekitar Rp 4,5 triliunnya digunakan untuk belanja bahan baku obat impor sehingga harga obat di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara di regional ASEAN.11 Permasalahan harga obat ini diperparah dengan banyak terjadinya pemakaian obat yang tidak rasional. Pola pemakaian obat yang rasional adalah pemakaian obat yang aman dan efektif. Mencakup pula ketersediaan obat dalam harga yang terjangkau, dapat disimpan dengan mudah, dan obat yang disediakan merupakan obat yang tepat untuk penyakit yang sedang dialami, dikonsumsi dengan dosis yang tepat dan untuk jangka waktu yang tepat pula.12 Pemakaian obat yang tidak rasional ini dapat disebabkan karena membanjirnya obat di pasaran dan proses pengambilan keputusan oleh dokter. Banyak pemborosan terjadi di masyarakat akibat penggunaan obat murah yang kurang efektif dan obat mahal yang tidak tepat. Menurut keterangan Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, obat murah sering tidak diyakini efektif oleh pasien dan dokter, sementara obat yang harga satuannya tampak mahal belum tentu cost effective dalam jangka panjang.13
10 Harga Obat: Obatnya Generik Harganya Selangit. Gatra, 6 Mei 2010. http://www.gatra.com/artikel. php?id=137460. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. 11 Ketergantungan Bahan Baku Obat Impor Masih Tinggi. Tempointeraktif, 19 Mei 2010. http://www. tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/03/brk,20070703-103022,id.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. 12 Pujiarto, Purnawati Sujud. 2009. Pola Pengobatan Rasional: Pasien Cerdas, Pasien Sehat. Yayasan Orang Tua Peduli (YOP). http://xa.yimg.com/kq/groups/22312298/1111789393/.../RUD+PESAT+final. doc Diakses tanggal 5 November 2010. Hal.1 13 Riyadi, M. Agung. Hernawan, Arif Koes. loc cit.
290
Hana Nika Rustia Di tengah carut marutnya penggunaan obat kimia di masyarakat, pasien juga dihadapkan pada ancaman kesehatan akibat mengkonsumsi obat kimia dalam jangka panjang. Kebanyakan obat tidak larut air sehingga perlu diproses di hati menjadi komponen yang larut dalam air agar dapat dibuang dari tubuh melalui ginjal atau usus.14 Dengan demikian, pada dasarnya, semua obat bila penggunaannya tidak tepat, dapat menganggu fungsi hati. Belum lagi beberapa hal lain yang perlu diwaspadai, diantaranya kemungkinan interaksi antar obat dengan obat lainnya, kemungkinan efek samping dan pengetahuan akan indikasi kontra pemberian suatu obat, dan kepedulian perihal rasio untung ruginya.15 Yang dimaksud dengan efek samping di atas yaitu segala khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.16 Obat yang ideal seharusnya bekerja dengan cepat untuk waktu tertentu saja dan secara selektif, yaitu hanya berkhasiat terhadap keluhan atau gangguan tertentu tanpa aktivitas lain. Semakin selektif kerja obat, semakin berkurang efek sampingnya.17 Potensi Obat Herbal Indonesia Berdasarkan Kepmenkes 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. WHO mendefinisikan obat tradisional sebagai obat asli di suatu negara yang digunakan secara turun-temurun di negara itu atau negara lain.18 Kriteria yang harus dipenuhi antara lain telah diguanakan minimal tiga generasi dan telah terbukti aman dan bermanfaat. Yang dimaksud dengan obat asli adalah suatu obat bahan alam yang ramuannya, cara pembuatannya, pembuktian khasiat, keamanan, serta cara pemakaiannya berdasarkan pengetahuan tradisional penduduk suatu daerah.19 Obat bahan alam itu sendiri adalah semua obat yang dibuat dari bahan alam yang dalam proses pembuatannya belum merupakan isolat murni. 14 15 16 17 18 19
Pujiarto, op cit. p.9 Ibid. Tjay, Tan Hoan. Rahardja, Kirana. op cit. p.39 Ibid. WHO. Loc cit Trubus Info Kit. Op cit p.10
291
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia ini dikelompokan menjadi: 1. Jamu (Empirical based herbal medicine) Jamu adalah ramuan yang dibuat dari bahan alam, digunakan secara turun-temurun, dipercaya berkhasiat berdasarkan pengalaman, dan belum ada penelitian ilmiah untuk mendapatkan bukti klinik mengenai khasiat tersebut. Bahan-bahan jamu umumnya berasal dari semua bagian, bukan hasil ekstraksi atau isolasi mengenai bahan aktifnya saja. Yang diakui sebagai jamu oleh BPOM adalah yang aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan yang berlaku. 2. Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine) Obat herbal terstandar adalah bahan-bahan jamu yang telah diuji secara ilmiah (penelitian pra klinik dengan hewan uji) meliputi uji khasiat dan manfaat. Bentuk sediaan herbal terstandar sudah berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandardisasi, serta telah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh BPOM, yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. 3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine) Kategori tertinggi adalah fitofarmaka, yaitu bahan-bahan jamu yang telah memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat berdasarkan uji klinik (diterapkan pada manusia), dan telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Secara berurutan, serangkaian uji yang harus dilewati bahan alam agar dapat diakui sebagai fitofarmaka digambarkan sebagai berikut.
292
Hana Nika Rustia
Gambar 1 Serangkaian Uji Obat Herbal menjadi Fitofarmaka Sumber: Trubus Info Kit. 2008. Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah & Cara Racik. Depok: PT.Trubus Swadaya.
Indonesia adalah salah satu laboratorium tanaman obat terbesar di dunia. Berbagai tumbuhan obat telah dimanfaatkan sejak lama oleh nenek moyang kita dan diturunkan dari generasi ke generasi yang saat ini disebut sebagai jamu. Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya penyembuhan menggunakan ramuan, doa, dan ajian. Masuknya hindu dan Budha mengubah budaya lisan menjadi tulisan. Pencatatan nama tanaman, khasiat, dan resep mulai dilakukan pada batu, tanah liat, logam, dan daun lontar. Baru sejak abad ke-16 M, masuknya bangsa Eropa memberi pengaruh besar pada pencatatan tanaman obat Indonesia. Dokumentasi tertulis dibuat di atas kertas dan menggunakan bahasa latin oleh Yacobus Bontius yang memuat 60 jenis tanaman obat Indonesia beserta deskripsi dan pemanfaatannya oleh masyarakat yang diberi judul Naturalist et Medica Indiae. Dokumentasi tertulis ini terus berlanjut, yaitu buku Herbarium Amboinese mengisahkan pemanfaatan tumbuhan untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit, buku Het Javanese Receptenboek berisi resep pengobatan Jawa Kuno, dan berbagai buku yang disusun bangsa Eropa lainnya.20
20 Trubus Info Kit. Op cit p.6
293
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Khasiat alamiah obat herbal dipercaya karena obat herbal bekerja dengan menyelaraskan kembali sistem tubuh manusia karena obat herbal memiliki kemampuan memperbaiki aktivitas biomolekuler tubuh. Kemampuan ini ada karena tanaman obat herbal dapat melakukan biosintesis kombinasi dari senyawa metabolit sekundernya. Obat herbal dapat meningkatkan dan memperbaiki ekspresi gen dalam tubuh. Saat ekspresi gen meningkat dan menjadi lebih baik, hormon dan sistem imun tubuh akan bekerja lebih optimal. Peoses menyeluruh ini dibutuhkan karena tubuh adalah sebuah sistem satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang bekerja dengan konsep keseimbangan. Berbeda dengan pengobatan konvensional yang umumnya hanya mengatasi gejala. Seperti dalam pengobatan yang umumnya dilakukan untuk mengontrol gula darah, dengan dosis obat yang terus bertambah. Padahal masalah yang terjadi adalah pada fungsi pankreas yang menurun, sehingga sebaiknya fungsi pankreaslah yang seharusnya dikembalikan vitalitasnya.21 Sayangnya, pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia belum optimal. Peningkatan produksi obat tradisional memang terjadi dari tahun ke tahun, terlihat dari data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), sampai tahun 2007 terdapat 1.012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil.22 Perkembangan industri obat tradisional ini salah satunya didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah sehingga industri tersebut tidak tergantung pada bahan baku impor. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman obat dari total 40.000 spesies yang ada di di seluruh dunia. Namun yang dimanfaatkan baru sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat bahan alam dari sekitar 950 spesies yang berkhasiat sebagai obat. BPOM juga mencatat, baru terdapat 27 obat tradisional yang telah melewati uji pra klinis pada hewan dan terdaftar sebagai obat herbal terstandar dan 5 produk yang lolos uji klinis pada manusia atau terdaftar sebagai fitofarmaka.23 Padahal, produk jamu se21 Widowati, Utami. Herbal Bukan Obat. Tempointeraktif, 25 Maret 2010. http://www.tempointeraktif. com/hg/kesehatan/2010/05/25/brk,20100525-250169,id.html. Diakses tanggal 11 November 2010. 22 Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen atas Beredarnya Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia pada Kemasannya. Lawskripsi, Oktober 2008. http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=80&Itemid=80. Diakses tanggal 16 November 2010. 23 Baru 27 Obat Tradisional yang Terbukti Ilmiah. Detikhealth, 6 Juli 2010. http://www.detikhealth.com/r ead/2010/07/06/160552/1394088/763/baru-27-obat-tradisional-yang-terbukti-ilmiah. Diakses tanggal 23 November 2010.
294
Hana Nika Rustia lain untuk konsumsi nasional, juga berpotensi untuk di ekspor. Negara tujuan ekspor, menurut data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia (GP Jamu), yaitu Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Vietnam, Hongkong, Taiwan, Afrika Selatan, Nigeria, Arab Saudi, Timur Tengah, Rusia dan Cile.24 Permasalahan lain yang muncul, kemurnian obat herbal seringkali ternodai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab terutama produsen yang hanya mencari keuntungan dari produk herbal yang dijualnya. Banyak dari para produsen dengan sengaja mencampur kandungan herbal dari obat tradisional dengan obat modern yang secara kimiawi jika dosisnya tidak tepat akan berbahaya.25 Masyarakat patut curiga apabila menemukan obat herbal yang berkhasiat langsung menyembuhkan, karena obat herbal membutuhkan proses yang memakan waktu relatif lama karena bekerja dengan cara menyelaraskan kembali sistem tubuh manusia, memperbaiki keseluruhan sistem sampai ke lingkup sel. Obat herbal yang langsung berkhasiat menyembuhkan dalam waktu singkat biasanya dicampur dengan Bahan Kimia Obat (BKO) tertentu. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima beberapa pengaduan kasus pemalsuan obat herbal. Seorang ibu di Kalimantan memberikan jamu kemasan yang berkhasiat menambah nafsu makan kepada anaknya agar berat badannya meningkat. Dalam waktu satu bulan anaknya benar-benar menjadi gemuk dan berat badannya bertambah sampai lebih dari 3 kilogram. Setelah diteliti, ternyata jamu tersebut dicampur dengan steroid. Kasus lain seorang anak berpenyakit asma tiba-tiba sembuh setelah meminum jamu kemasan yang ternyata mengandung tetrasiklin (antibiotik).26 BPOM juga masih menemukan beberapa produk obat herbal yang di dalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO). Padahal obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi.27 Berdasarkan temuan BPOM, obat herbal yang umumnya dicemari BKO adalah sebagai berikut: 24 Sistem Informasi Pola Pembiayaan: Industri Jamu Tradisional. SIPUK Bank Indonesia, 2007. http://www. bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=51301&idrb=45501. Diakses tanggal 16 November 2010. 25 Lawskripsi. Loc cit 26 Alami Belum Tentu Aman. Kompas, 27 April 2008. http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/27/ 10524814/Alami.Belum.Tentu.Aman. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. 27 Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) yang Dibubuhkan ke dalam Obat Tradisional. Situs Resmi BPOM, 16 September 2006. http://www.pom.go.id/public/berita_aktual/detail.asp?id=144&qs_menuid=2. Diakses tanggal 10 November 2010.
295
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tabel 1 Daftar obat herbal yang sering dicemari bahan kimia obat (BKO) Klaim Kegunaan Obat
BKO yang sering ditambahkan Fenilbutason, antalgin, diklofenak sodium, piroksikam, Pegal linu/encok/rematik parasetamol, prednison, atau deksametason Pelangsing Sibutramin hidroklorida Peningkat stamina/obat kuat pria Sildenafil Sitrat Kencing manis/diabetes Glibenklamid Sesak nafas/asma Terofilin Sumber: BPOM, Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) yang Dibubuhkan ke dalam Obat Tradisional. Situs Resmi BPOM, 16 September 2006. http://www.pom.go.id/public/berita_aktual/detail. asp?id=144&qs_menuid=2
Pemanfaatan Obat Herbal di Negara Lain Penerimaan negara-negara di dunia terhadap sistem pengobatan tradisional beraneka ragam. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat tiga sistem yang berlaku. Pertama, sistem integratif yaitu negara sudah mengakui keberadaan obat tradisional ini dan mendorong pemakaiannya di rumah sakit, lembaga penelitian, dan asuransi, serta telah memiliki aturan baku yang mengatur sistem produksi, regulasi, dan pengawasan obat tradisional. Negara yang menganut sistem ini yaitu Cina, Korea, dan Vietnam. Kedua, sistem inklusif, yaitu obat tradisional telah diakui tapi belum diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Sistem ini biasanya dianut oleh negaranegara maju seperti Ingris, Jerman, dan Kanada. Ketiga, sistem toleran, yaitu negara masih menganut sistem pelayanan kesehatan konvensional tetapi penggunaannya tidak dilarang. Sistem ini yang paling banyak dianut oleh negaranegara di dunia, termasuk Indonesia. Berikut ini beberapa negara yang telah mengembangkan obat herbal secara serius. • Cina Cina merupakan negara pengguna obat-obatan herbal tertua yang tercatat dalam sejarah, yaitu sekitar tahun 2800 SM. Masyarakat di negara tersebut saat itu menggunakan sekitar 366 jenis tanaman sebagai obat.28 Tanaman obat tersebut, kini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Majunya pengobatan tradisional di China adalah satunya karena dukungan pemerintah dan pemimpin negara tersebut, terutama sejak masa pemerinta28 Sehat dengan Pengobatan Herbal. KompasHealth, 24 Februari 2008. http://kesehatan.kompas.com/ read/2008/02/24/20484898/Sehat.dengan.Pengobatan.Herbal. Diakses tanggal 10 Oktober 2010.
296
Hana Nika Rustia han Dinasti Ming (1368 – 1644) dan Qing (1644 -1911) dimana dihasilkan ensiklopedia ilmu penyakit yang memuat 61.739 resep pengobatan dan 239 ilustrasi.29 Kini, rumah sakit modern di China Guangzhou Yuzheng Hospita dan Guangzhu Municipal Special Hospita meresepkan herbal sebagai penawar rasa sakit pasiennya. Pengobatan tradisional China (Traditional Chinese Medicine / TCM) menggabungkan teknik herbal, olah energi dan nafas (tai chi, chikung), serta terapi fisik (akupuntur, shiatsu). Teori pengobatan TCM berpijak pada alam sehingga diharapkan tidak ada efek samping yang memperburuk keadaan pasien. • India Sistem pengobatan tradisional di India telah ada sejak 1.000 SM, yang disebut Ayurveda, yaitu sistem gaya hidup holistik yang memuat tuntunan tentang pengaturan makan, olah tubuh, waktu istirahat dan beraktivitas agar tercapai keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. Pengobat tradisional Ayurveda harus menguasai banyak ilmu, yaitu hortikultura, farmasi, seni memasak, metalurgi, kimia, dan metal. Berbagai tanaman herbal di India telah banyak dikembangkan untuk sistem pengobatan ini.30 Dalam Kebijakan Kesehatan Nasionalnya yang pertama pada tahun 1983, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional India yang kaya harus termanfaatkan dalam program nasional. Kebijakan Kependudukan Nasionalnya juga menetapkan bahwa para ahli pengobatan tradisional dan obat-obatan tradisional harus digunakan untuk menstabilkan populasi. Departemen AYUSH (Ayurbeda, Yoga and Naturopathy, Unani, Siddha and Homeopathy) mulai didirikan tahun 1995 yang kemudian meregulasikan berbagai program pengobatan tradisional, termasuk regulasi standar pengajaran dan registrasi. Penelitian di bidang ini juga berkembang dengan baik. India telah memiliki Pharmacopoeia Committees dan laboratorium untuk pengembangan pengobatan Ayurveda, Siddha dan Unani. Terdapat 424 monograf obat yang telah dipublikasikan, 636 formulasi multi-ingredient drugs, dan sekitar 500.000 praktisi Ayurveda, Siddha dan Unani yang 70%nya telah memenuhi kualifikasi.31
29 Trubus Info Kit. Op cit p.12 30 Trubus Info Kit. Op cit p.14 31 WHO. 2002. WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005. Geneva: WHO.
297
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik • Korea Sistem pengobatan tradisional di Korea disebut dengan Korean Oriental Medicine (KOM) atau populer dengan sebutan hangbang. Perkembangan pengobatan ini terlihat dari berbagai penelitian seputar hangbang yang banyak dilakukan, diantaranya tentang pengaruh KOM terhadap penyembuhan stroke dan parkinson. Perkembangan lain juga ditandai dari banyaknya sekolah-sekolah tinggi yang khusus mempelajarinya sehingga masyarakat mudah menjumpai dokter dan apoteker khusus KOM.32 Secara umum, pemanfaatan obat herbal di negara lain juga cukup baik. WHO menyebutkan, hampir 80% populasi penduduk di Afrika menggunakan pengobatan tradisional dalam kehidupan mereka. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan Asia dan Amerika Latin. Di San Fransisco, London, dan Afrika Selatan, 75% dari penderita HIV/AIDS menggunakan pengobatan komplementer karena pengobatan medis tidak banyak memberikan harapan. Di negara Eropa, Amerika, dan negara-negara industri lain, setidaknya 50% penduduknya pernah menggunakan pengobatan alternatif untuk mengatasi masalah kesehatan sehari-hari. Di Jepang, 60-70% dokter meresepkan obat tradisional “kampo” untuk pasien mereka. Di Malaysia, obat tradisional melayu yang sebagian besar sama dengan Indonesia digunakan berdampingan dengan pengobatan China dan India. Di Amerika Serikat, atas rekomendasi The National Institute of Health, 75 dari sekitar 125 sekolah kedokteran memasukkan materi obat tradisional dalam kurikulum.33 Jalan Menuju Pengintegrasian Berbagai efek merugikan obat kimia, pengobatan konvensional yang dipertanyakan pendekatannya, dan semakin luasnya akses publik terhadap informasi mengenai obat dan kesehatan, menjadikan obat tradisional kian populer di masyarakat. Untuk memaksimalkan potensi pengobatan tradisional, terutama obat herbal, sebagai sumber pelayanan kesehatan, terdapat beberapa isu penting yang harus diperhatikan, yaitu yang terkait dengan kebijakan, keamanan, efikasi dan kualitas, akses, dan penggunaan yang rasional. WHO turut mendorong penggunaan obat herbal untuk perawatan kesehatan dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem kesehatan nasional yang 32 Trubus Info Kit. Op cit p.15 33 Trubus Info Kit. Op cit p.11
298
Hana Nika Rustia tercantum dalam kebijakan nasional dan berbagai regulasi untuk menjamin keamanan dan kualitas produk yang berbasis pada bukti ilmiah (evidence based). WHO juga mendorong diakuinya obat herbal sebagai bagian dari pelayanan kesehatan dasar (primary health care) agar lebih mudah diakses oleh masyarakat dan mempertahankan kekayaan pengetahuan dan sumber daya.34 Pelayanan kesehatan (health care) di Indonesia secara umum dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:35 • Pelayanan kesehatan tingkat pertama (Primary health care), yaitu pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar. • Pelayanan kesehatan tingkat kedua (Secondary health care), yaitu pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis dan bahkan kadang-kadang pelayanan sub-spesialis tetapi masih terbatas. • Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (Tertiary health care), yaitu pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis serta subspesialis yang luas. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, atau pelayanan kesehatan primer, merupakan pelayanan kesehatan terdepan yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan. Selain upaya penyembuhan dan rehabilitasi masyarakat yang sakit, pelayanan kesehatan ini juga menyertakan upaya promotif dan preventif. Dengan mengintegrasikan obat herbal ke dalam jenis pelayanan kesehatan ini, masyarakat akan lebih mudah mengakses obat-obatan jenis herbal yang dibutuhkan, baik untuk kepentingan penyembuhan maupun pemeliharaan kesehatan. Keamanan, kualitas, dan penggunaannya yang rasional juga dapat lebih terkontrol. Beberapa resep obat herbal yang dapat digunakan di Puskesmas antara lain temulawak (Curcuma xanthorrhiza) untuk memelihara fungsi hati, bawang putih (Allium sativum) untuk menurunkan tekanan darah dan kolesterol, daun samiloto (Andrographis paniculata) dan brotowali (Tinospora crispa) untuk menurunkan kadar gula darah.36 Pemerintah telah menginisiasi langkah pengintegrasian ini. Pada awal tahun 2010, Menteri Kesehatan Endang Rahayu meresmikan program saintifika34 WHO. 2008. Loc cit. 35 Kementrian Kesehatan RI. 36 Jamu Direkomendasikan Masuk Puskesmas. Bataviase, 1 Juni 2010. http://bataviase.co.id/node/232223. Diakses tanggal 11 November 2010.
299
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik si jamu.37 Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk: 38 1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan; 2. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif melalui penggunaan jamu; 3. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu; dan 4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan diamfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Penelitian ini dilakukan oleh dokter secara kualitatif terhadap pasien dengan memberikan atau meresepkan jamu sebagai upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer-alternatif setelah pasien mendapatkan penjelasan yang cukup. Pasca upaya saintifikasi ini, diharapkan jamu akan dimanfaatkan secara lebih luas, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Rencana pengembangan tersebut tertuang dalam grand strategy Pengembangan Jamu yang disusun Kementrian Kesehatan, meliputi: 39 1. Penyusunan kebijakan nasional dan kerangka regulasi dalam mengintegrasikan obat tradisional dengan pelayanan kesehatan formal; 2. Meningkatkan keamanan, mutu, dan efikasi jamu; 3. Menjamin ketersediaan bahan baku jamu yang berkualitas; 4. Meningkatkan akses terhadap jamu yang bermutu, aman, dan berkhasiat; serta 5. Penggunaan rasional obat tradisional / jamu. 37 Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Yankes & Pengembangan Model Registrasi Kematian. Kementrian Kesehatan RI, 6 Januari 2010. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/478-saintifikasijamu-dalam-penelitian-berbasis-yankes-a-pengembangan-model-registrasi-kematian.html. Diakses tanggal 5 November 2010. 38 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI, 2010. 39 Jamu Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Kementrian Kesehatan RI, 2010. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1204-jamu-menjadi-tuan-rumah-di-negeri-sendiri.html. Diakses tanggal 11 November 2010.
300
Hana Nika Rustia Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu, sedang dikembangkan “Pojok Jamu” di Puskesmas, Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di rumah tangga untuk pertolongan pertama pada penyakit ringan, diklat kepada dokter umum, dokter spesialis, dan dokter Puskesmas tentang pelayanan obat tradisional/jamu, pembinaan produsen jamu tentang Cara Pembuatan Jamu yang Baik (CPJB), serta pengembangan 12 Rumah Sakit untuk persiapan saintifikasi jamu itu sendiri. Dalam strategi pengembangan ini selanjutnya, dibutuhkan koordinasi dan kerjasama yang saling terbuka, equal, dan tidak ego sektoral antara berbagai institusi seperti Departemen Pertanian, BPPT, LIPI, Kementrian Riset dan Teknologi, Badan POM, Perguruan Tinggi, dan organisasi profesi terkait. Yang menjadi perhatian kemudian adalah keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti upaya inisiasi ini. Diperlukan adanya pencitraan yang kuat di masyarakat mengenai khasiat obat herbal dan kerjasama dari dokter dan tenaga medis lain di setiap puskesmas dan rumah sakit agar merekomendasikan obat herbal dalam upaya pengobatannya. Penutup Indonesia kaya akan sumber daya alam yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai obat herbal. Sayangnya, pemanfaatan obat herbal di indonesia belum optimal sehingga dikhawatirkan akan terdesak oleh obat herbal dari negara lain yang telah mulai dikembangkan secara serius. Padahal, obat herbal ini dapat menjadi alternatif solusi di tengah mahalnya harga obat kimia dan berbagai kekhawatiran bahaya yang ditimbulkannya jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya pengenalan, penelitian, pengujian dan pengembangan khasiat dan keamanan obat-obatan herbal di Indonesia. Sehingga menimbulkan kepercayaan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan formal yang diakses secara luas oleh masyarakat. Selanjutnya, untuk terus meyakinkan keamanan pasien, perlu usaha peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai obat herbal kepada penyedia obat secara berkesinambungan. Masih dalam rangka menjamin keamanan dan kualitas, perlu adanya pengaturan dan pengawasan yang jelas mengenai pemanfaatan obat herbal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, terutama oleh produsen yang hanya berorientasi pada keuntungan dari segi ekonomi. Jaminan tersebut kemudian akan turut mendukung eksistensi obat herbal Indonesia di pasar internasional. 301
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik
302
Hana Nika Rustia
Bahan Rujukan
Ladion, Herminia de Guzman. 1988. Tanaman Obat Penyembuh Ajaib. Bandung: Indonesia Publishing House. Pujiarto, Purnawati Sujud. 2009. Pola Pengobatan Rasional: Pasien Cerdas, Pasien Sehat. Yayasan Orang Tua Peduli (YOP). http://xa.yimg.com/kq/ groups/22312298/1111789393/.../RUD+PESAT+final.doc Diakses tanggal 5 November 2010. Tjay, Tan Hoan. Rahardja, Kirana. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Ed.6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Kompas – Gramedia. Wijayakusuma, Hembing H.M., dkk. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid ke-2. Jakarta: Pustaka Kartini. World Health Organization. 2002. Essential Drug and Medicine: WHO Traditional Medicine Strategy. http://www.who.int/medicines/publications/traditionalpolicy/en/ World Health Organization. 2008. Media Center: Traditional Medicine. http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/ Alami Belum Tentu Aman. Kompas, 27 April 2008. http://kesehatan.kompas. com/read/2008/04/27/10524814/Alami.Belum.Tentu.Aman. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) yang Dibubuhkan ke dalam Obat Tradisional. Situs Resmi BPOM, 16 September 2006. http://www.pom.go.id/public/ berita_aktual/detail.asp?id=144&qs_menuid=2. Diakses tanggal 10 November 2010. Baru 27 Obat Tradisional yang Terbukti Ilmiah. Detikhealth, 6 Juli 2010. http:// www.detikhealth.com/read/2010/07/06/160552/1394088/763/baru-27obat-tradisional-yang-terbukti-ilmiah. Diakses tanggal 23 November 2010. 303
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Harga Obat: Obatnya Generik Harganya Selangit. Gatra, 6 Mei 2010. http://www. gatra.com/artikel.php?id=137460. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Jamu Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Situs Resmi Kementrian Kesehatan RI, 2010. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1204-jamumenjadi-tuan-rumah-di-negeri-sendiri.html. Diakses tanggal 11 November 2010. Ketergantungan Bahan Baku Obat Impor Masih Tinggi. Tempointeraktif, 19 Mei 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/03/brk, 20070703-103022,id.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Mengapa Obat Paten Mahal?. Ikatan Apoteker Indonesia, 20 September 2010. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-beritafarmasi/1576-mengapa-obat-paten-mahal.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Obat Generik Kurang Laku. Kompas, 17 Desember 2009. http://kesehatan.kompas. com/read/2009/12/17/08064562/Obat.Generik.Kurang.Laku. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Yankes & Pengembangan Model Registrasi Kematian. Kementrian Kesehatan RI, 6 Januari 2010. http://depkes.go.id/ index.php/berita/press-release/478-saintifikasi-jamu-dalam-penelitianberbasis-yankes-a-pengembangan-model-registrasi-kematian.html. Diakses tanggal 5 November 2010. Sehat dengan Pengobatan Herbal. KompasHealth, 24 Februari 2008. http://kesehatan.kompas.com/read/2008/02/24/20484898/Sehat.dengan.Pengobatan.Herbal. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Sistem Informasi Pola Pembiayaan: Industri Jamu Tradisional. SIPUK Bank Indonesia, 2007. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=51301&idrb=45501. Diakses tanggal 16 November 2010. Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen atas Beredarnya Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia pada Kemasannya. Lawskripsi, Oktober 2008. http://www.lawskripsi.com/index.php?option= com_content&view=article&id=80&Itemid=80. Diakses tanggal 16 November 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/MENKES/ PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI, 2010.
304
Elga Andina
PENDIDIKAN MASA KINI DAN PERKEMBANGAN MORAL ANAK Elga Andina1
“Edward, jika kau menemukan uang di jalan, apa yang akan kau lakukan? a. memberikan ke polisi b. mengambilnya untuk dirimu sendiri c. membelikan sesuatu untuk orang yang kau cintai? Edward: “membelikan sesuatu untuk orang yang kau cintai?” ~Edward Scissorhand I. Pendahuluan Moral tidak muncul bersamaan dengan kelahiran, namun dipelajari melalui pendidikan sepanjang hidup. Pendidikan moral yang berhasil akan menciptakan sebuah masyarakat beradab yang madani. Pendidikan di Indonesia merupakan salah satu fokus utama dalam pembangunan. Hal ini diwujudkan dengan adanya program wajib belajar 9 tahun, dan disahkannya Undang Undang no. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yang merujuk pada pengalokasian 20% APBN setiap tahun untuk biaya pendidikan. Konsep pendidikan nasional berkembang seiring dengan perubahan jaman. Menurut Undang-Undang no. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru1 Penulis adalah calon peneliti bidang Kesejahteraan Sosial P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI. Email:
[email protected]
305
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik bahan zaman. Dengan begitu, pendidikan di Indonesia harus selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang bangkit selaras dengan perubahan di lapangan. Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam sistem pendidikannya dimana banyak pelajar asing berguru ke sini. Pendidikan yang dimotori pemudapemuda intelektual seperti Ki Hajar Dewantara mengarahkan pembangunan bangsa menuju manusia-manusia yang dapat diandalkan. Semangat pendidikan tersebut diwujudkan dengan tingginya kualitas mental para pendahulu kita yang tidak mudah menyerah, memiliki cita-cita tinggi dan selalu berusaha menambah ilmu. Konsep pendidikan memang bergerak sesuai dengan perubahan tatanan hidup masyarakat, namun ternyata idenya cenderung menjauh dari ide pendahulu kita. Dulunya sekolah merupakan satu-satunya cara membuka pikiran masyarakat yang selama ini hidup dalam keadaan primitif. Sekolah merupakan media yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dan disejajarkan sebagai masyarakat bermatabat di dunia. Masalah martabat ini tidak jauh kaitannya dengan moralitas yang ditampilkan dalam keseharian. Moral merupakan ukuran paling mudah dalam menentukan martabat seseorang. Kemampuan seseorang untuk menampilkan sikap moral terpuji menunjukkan tingginya kualitas pendidikannya. Namun, pendidikan disini tidak selalu bermakna sekolah. Seorang pendidik pernah berkata, “Anda boleh tidak sekolah, tapi jangan sampai tidak terpelajar.” Hal ini menunjukkan bahwa martabat dan moral tidak selalu ditemukan di bangku sekolah, namun lebih banyak dapat dikumpulkan dalam interaksi di masyarakat. Mutu pendidikan memang sangat dipengaruhi oleh taraf hidup masyarakat. Proyeksi pendidikan Indonesia saat ini dapat digambarkan dalam: 1. Aspek perekonomian Dalam laporan Human Development Report UNDP tahun 2009, Indonesia memiliki indeks kemiskinan sebesar 17.0 % yang menjadikan negara ini berada di peringkat ke 69 termiskin dari 135 negara yang diukur UNDP. Kemiskinan menjadi hambatan dalam pertumbuhan pendidikan. Secara nasional angka partisipasi siswa di jenjang SMP/MTs baru mencapai 98,11 %, yang berarti ada 1.89% penduduk usia SMP yang tidak sekolah (Kompas,9 September 2010:12). Terhentinya proses pendidikan ini seringkali disebabkan tidak ada biaya untuk sekolah. Meskipun pemerintah telah berusaha menerapkan pendidikan gratis, namun pada kenyataannya orang 306
Elga Andina tua masih harus dibebankan biaya-biaya lain, seperti pembelian buku muatan lokal. Akibatnya, sekolah gratis hanyalah ide semu. 2. Ketersediaan pendidikan Kondisi perekonomian erat kaitannya dengan ketersediaan pendidikan bagi semua golongan di nusantara. Saat ini, pemerintah belum dapat memenuhi jaminan pendidikan tanpa kasta bagi seluruh masyarakat Indonesia karena: • tingginya biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk sekolah. Pemerintah telah menjanjikan pendidikan gratis, namun kenyataanya pendidikan menjadi semakin mahal karena komponen tambahan yang biayanya menguras orang tua. Komponen ini antara lain biaya masuk, buku pengayaan, biaya belajar tambahan dan kursus. • minimnya jumlah guru berkualitas Malangnya, pendidikan yang semakin mahal tidak diimbangi dengan kualitas guru yang memadai, sehingga anak-anak dituntut untuk mencari tambahan ilmu di luar sekolah. Selain masalah kualitas guru, banyak juga sekolah yang bahkan tidak memiliki cukup guru untuk mengajar setiap kelas. Dari hasil kunjungan kerja Komisi X pada masa sidang IV tahun 2009/2010, ditemukan bahwa di daerah terpencil seperti Papua banyak guru yang harus mengajar dua kelas sekaligus. • masih banyak sarana dan prasarana yang belum dapat dilengkapi pemerintah terkait dengan pembangunan yang tidak merata. Ketergantungan terhadap hal diatas membuat pendidikan di Indonesia terhambat. Hal ini berbeda dengan pola pendidikan di negara maju. Misalnya saja Amerika dengan dasar filosofi pendidikannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Horace Mann (dalam Mayer, 1966) yaitu: 1) pendidikan itu universal, baik bagi yang kaya maupun yang miskin; 2) pendidikan harus gratis; 3) pendidikan harus dikelola oleh pemerintah, bukan oleh organisasi religius; 4) pendidikan sangat tergantung pada pendidik yang terlatih; 5) pendidikan ditujukan bagi pria maupun wanita. Dalam mewujudkan filosofi tersebut, pendidikan Amerika telah mengalami reformasi berkalikali. Pada awalnya, pendidikan di Amerika juga dimulai dari pendidikan elitis yang berfungsi untuk mencetak pemimpin-pemimpin kelompok, religius 307
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik atau politik, dengan terbatasnya akses terhadap pendidikan, termasuk bagi kaum perempuan, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Namun, reformasi pendidikan yang terjadi pada 4 Juli 1776 telah memunculkan sekolah umum (public school) yang merangkul semua warga. Public School dibentuk dan dirancang untuk membentuk kompetensi dan keterampilan dasar warga negara. Pada periode 1958 hingga 1970 terjadi reformasi pendidikan lagi yang menekankan pada fungsi utama pendidikan itu sendiri yang mengakibatkan meningkatnya sentralisasi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Inilah yang membedakan pendidikan di Indonesia dengan di Amerika. Pemerintah Amerika memiliki modal yang lebih terorganisir untuk melaksanakan reformasi pendidikan bermutu. 3. Kualitas pendidikan Dari daftar peringkat kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan Unesco pada tahun 2005 diketahui bahwa pendidikan Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara Asia Pasifik yang disurvei. Sedangkan dalam World Competitiveness Year Book di tahun 2007, pendidikan Indonesia ditempatkan pada urutan 53 dari 55 negara yang disurvey (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/pendidikan-indonesia-ranking-109-malaysia-61/). Indeks pembangunan manusia Indonesia jauh dibawah negara-negara lain di Asia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan juru kunci. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil survei tahun 2000 dari United Nation Development Program (UNDP), badan PBB yang mengurus program pembangunan, yang menempatkan Indonesia di urutan ke-109 dari 174 anggota PBB (Republika, ibid). Rendahnya IPM Indonesia menunjukkan ouput dari mutu sistem pendidikan yang tidak memenuhi standar (http:// abudira.wordpress.com/2007/11/22/potret-pendidikan-di-jepang/). Pemeringkatan seperti diatas didasarkan pada kualitas pembelajaran yang difokuskan pada mutu guru dan sarana pendidikan. Ini berarti ada kesen308
Elga Andina jangan antara kualitas guru, bahan ajar dan kebutuhan pembelajaran di sekolah Indonesia. Profesi guru saat ini memang belum dipandang sebagai pekerjaan terhormat yang memiliki nilai strategis luar biasa, sehingga banyak calon guru masuk Universitas pendidikan hanya bermodalkan motivasi ekonomi. Disisi lain, pemerintah juga kesulitan menghasilkan guru yang berkualitas sehingga standar pendidikan guru pun tidak dapat dikontrol. Bandingkan dengan Finlandia yang melakukan seleksi ketat sebelum seseorang dapat menjadi guru. Hanya murid terbaik yang dapat menembus ujian menjadi guru. Dengan kata lain, hanya orang-orang terbaiklah yang dapat diproses untuk menjadi pendidik. Selain masalah sumber daya manusia, rendahnya kualitas pendidikan juga dipengaruhi ketidakjelasan peraturan yang berlaku. Ketentuan dan aturan yang berlaku selalu berubah-ubah pada setiap periode pemerintahan sehingga tidak menunjang kesinambungan pendidikan jangka panjang. Siswa dan guru dibuat kebingungan dengan tata kelola yang berganti setiap kali periode pemerintahan berubah. Perbedaan antara kualitas pendidikan di satu daerah dengan daerah lain juga menciptakan jurang dalam pertumbuhan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di kota besar cenderung lebih maju daripada pendidikan di desa. Kegagalan pendidikan masa kini terjadi karena proses yang berlangsung hanya menghasilkan “dehumanisasi” (Azra, 2002: 149). Pendidikan dinilai gagal melahirkan peserta didik yang kompeten, baik dari segi keilmuan, keahlian, keterampilan, dan keahlian terkait dengan kehidupan individualnya maupun dengan kehidupan kemasyarakatan lebih luas. Perubahan sosial inilah yang menjadi realita dalam wajah pendidikan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan sosial merupakan salah satu pergerakan yang mengubah cara masyarakat berpikir dan bertindak. Kehidupan masyarakat Indonesia dipengaruhi kondisi ekonomi, politik dan sosial baik yang ditimbulkan oleh turbulensi dalam negri maupun yang berasal dari hubungan dengan bangsa lain. Respon masyarakat terhadap masalah-masalah yang dihadapinya sebagai anggota masyarakat dan warga negara, menimbulkan cara adaptasi baru. Kondisi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini diungkapkan Soemarno Soedarsono (2009) sebagai kondisi yang semakin memper309
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lihatkan pudarnya karakter dan jati diri. Krisis akhlak dan moral sudah bertambah akut dan melebar serta menyeruak kemana-mana. Faktor inilah yang antara lain semakin menyuburkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam hampir semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, ia juga menekankan terjadinya fenomena low trust society dan kecenderungan perilaku self destruction (Soedarsono, 2009: 3), sebagai contoh perilaku yang mengorbankan idealisme bangsa demi tuntutan pragmatis individu, kelompok, dan/atau golongan. Rendahnya moral bangsa ini tercermin dalam peristiwa konflik antar kelompok yang akhir-akhir ini kerap mewarnai judul utama media massa kita. Dalam tujuh bulan terakhir media telah memberitakan sedikitnya 10 peristiwa bentrokan antarkelompok terjadi di seluruh pelosok negeri, di antaranya: 1. 14 April 2010, Kerusuhan Mbah Priok antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Jakarta Utara dengan warga sekitar makam Mbah Priok. Jumlah korban jiwa 4 anggota Satpol PP tewas; 2. 21 Mei 2010, terjadi demo anarkis di DPRD Mojokerto. Massa mendatangi Gedung DPRD Mojokerto yang pada saat itu sedang dilaksanakan pemaparan visi misi pasangan calon bupati dan calon wakil bupati. Massa melempari aparat dan gedung dewan dengan bom molotov dan membakar sedikitnya 22 mobil; 3. 21 Agustus 2010, terjadi bentrokan antara warga Kampung Taar dan Un Pantai yang dipicu masalah tapal batas kampung. Korban jiwa akibat konflik ini adalah seorang wartawan SUN TV yang dikeroyok massa; 4. 31 Agustus 2010, terjadi penyerbuan Mapolsek Buol oleh ratusan massa. Aksi bakar yang dilakukan menyebabkan 7 orang tewas; 5. 5 September 2010, terjadi penusukan jamaah Gereja HKBP Bekasi yang berujung pada bentrok massal. 6. 28 September 2010, kerusuhan di Tarakan antara suku pendatang dengan masyarakat pribumi; 7. 6 Oktober 2010, terjadi tawuran murid SMK Bina Siswa di Jl. Daan Mogot, Jakarta Utara; 8. 6 Oktober 2010, terjadi amukan warga Kampung Sindai, Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, Lebak, Banten, terhadap petugas BPN dalam hal sengketa pengukuran tanah;
310
Elga Andina 9. 10 Oktober 2010, terjadi penyerangan tiga pos polisi di Bandung oleh massa tak dikenal yang menyebabkan fasilitas di pos polisi hancur; dan 10. 11 Oktober 2010, diduga ada pembakaran 21 gerbong kereta api dengan sengaja di Rangkas Bitung. Penurunan kualitas moral juga terlihat pada kalangan anak-anak. Para orang tua mengeluhkan sikap anak yang semakin jauh dari norma tradisi bangsa. Masalah yang sering disebutkan adalah rendahnya minat baca, senang melawan dan kadang menghindari untuk pergi sekolah. Belum lagi masalah pergaulan yang kerap sekali menyinggung SARA. Para ibu mengeluhkan anak-anak yang semakin sulit diatur, agresif, dan kurang sopan. Sekolah dan orang tua saling menyalahkan tanpa sempat berpikir solusi. Pendidikan bukan tanggung jawab satu pihak, melainkan hasil sinergi dari lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan. Berangkat dari latar belakang diatas, maka tulisan ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pendidikan moral masa kini?; dan 2. Bagaimana sinergisitas sekolah, keluarga dan lingkungan dalam membentuk moral anak? II. PENDIDIKAN MORAL Moral tidak muncul secara genetis. Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai (Hurlock, 1978). Moral dipelajari anakanak dari interaksinya dengan lingkungan sehari-hari. Sebelum melangkah lebih jauh, maka akan dijelaskan pendidikan moral itu sendiri. II.1. Pendidikan II.1.1. Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Pedagogi” yaitu kata “paid” yang artinya “anak” sedangkan “agogos” yang artinya membimbing “sehingga “ pedagogi” dapat di artikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (http://kamusbahasaindonesia.org). Sedangkan Profesor 311
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Driyarkara berpendapat bahwa pendidikan dipahami sebagai “humanisasi”, yaitu media dan proses untuk membimbing manusia muda menjadi dewasa, dan menjadi lebih manusiawi (humanior) (Sucipto dan hermawan, dalam Ramly,2005:xii). Pendidikan tidak sama dengan pembelajaran. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan pembelajaran adalah usaha membantu siswa atau anak didik untuk mencapai perubahan struktur kognitif melalui pemahaman. Berdasarkan pengertian diatas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai proses membimbing dalam rangka perubahan sikap dan perilaku. II.1.2. Pengertian Sistem Pendidikan Nasional Menurut Undang-undang Sisdiknas no 20 tahun 2003, sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan begitu pendidikan merupakan kumpulan berbagai cara mendidik. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan Pasal 31 ayat 3 Amandemen UUD 45. Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. II.2. Perkembangan Moral anak II.2.1. Tahapan perkembangan moral Perkembangan moral dalam teori Kohlberg (1969, dalam Papalia, Old & Feldman, 2008:56-5653) dideskripsikan dalam 3 level yang setiap levelnya terbagi dalam dua tahap: - Level 1: Moralitas Prakonvensional Orang-orang bertindak dibawah kontrol eksternal. Mereka mematuhi perintah untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau bertin312
Elga Andina dak di luar kepentingan diri. Level ini biasanya terdapat pada anak usia 4 sampai 10 tahun. Tahapan yang terjadi pada level ini adalah: Tahap 1: Orientasi terhadap hukuman dan kepatuhan. Anak-anak mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman. Tahap 2: Tujuan dan pertukaran instrumental. Anak-anak menyesuaikan diri dengan hukum di luar kepentingan diri, misalnya konsekuensi atas tindakannya. Mereka melihat tindakan sebagai kebutuhan manusia yang dipenuhinya dan membedakan nilai dari tindakan bentuk fisik serta konsekuensinya. - Level 2: Moralitas Konvensional (moralitas peran konfirmitas konvensional). Orang-orang telah menginternalisasikan standar figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi “baik”, memuaskan orang lain, dan mempertahankan tatanan sosial. Level ini biasanya dicapai setelah usia 10 tahun; banyak orang yang tidak dapat melampaui usia tersebut, bahkan pada masa dewasa. Pada level ini terjadi: Tahap 3: mempertahankan reaksi mutual, persetujuan orang lain, kaidah emas. Anak-anak ingin memuaskan dan membantu yang lain, dapat menilai niat yang lain, dan mengembangkan idenya sendiri tentang apa yang dimaksud dengan orang yang baik. Mereka mengevaluasi sebuah tindakan menurut motif dibaliknya atau orang yang melakukannya, dan mereka memasukkan situasi ke dalam pertimbangan. Tahap 4: perhatian dan suara hati sosial. Orang-orang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan kewajiban mereka dan mempertahankan tatanan sosial. Mereka menganggap sebuah tindakan selalu salah, terlepas dari motif atau situasi yang ada, jika tindakan tersebut melanggar peraturan dan menyakiti orang lain. - Level Transisional Yaitu ketika seseorang tidak lagi merasa terikat pada standar moral masyarakat tetapi belum dapat menemukan prinsip keadilan mereka sendiri. Mereka mendasarkan keputusan moral mereka kepada perasaan pribadi.
313
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik - Level 3: Moralitas Postkonvensional (atau moralitas prinsip moral otonom). Orang-orang pada tahap ini menyadari onflik antara standar moral dan membuat keputusan sendiri berdasarkan prinsip hak, kesetaraan, dan keadilan. Seseorang biasanya baru mencapai tahap penalaran moral seperti ini, jika memang terjadi, ketika mencapai usia masa remaja awal, atau ebih umum lagi pada masa dewasa awal. Tahapan yang berlangsung adalah: Tahap 5: Moralitas kontrak, hak individual, dan hukum yang diterima secara demokratis. Orang-orang berpikir dalam terminologi rasional, menilai keinginan mayoritas dan kesejahteraan masyarakat. Mereka biasanya memandang bahwa yang terbaik adalah nilai-nilai ini didukung oleh kepatuhan kepada hukum. Ketika antara kebutuhan manusia dan hukum, mereka percaya akan lebih baik bagi masyarakat dalam jangka waktu yang panjang untuk mematuhi hukum. Tahap 6: Moralitas prinsip etika universal. Seseorang melakukan tindakan yang dianggapnya benar sebagai seorang individu terlepas dari batasan legal atau standar internal, atau opini orang lain. Mereka bertindak sesuai dengan standar internal, dengan pengetahuan mereka, akan menyalahkan diri mereka sendiri jika tidak melakukannya. Menurut Kohlberg (dalam Papalia, dkk,2008: 565) sebagian remaja, bahkan sebagian orang dewasa, masih berada di level 1 Kohlberg. Artinya banyak orang masih belum mampu menalari prinsip etika sosial dan terkungkung dalam dunia egonya sendiri. Namun, teori Kohlberg ini belum mampu mengungkap hubungan antara penalaran moral dengan perilaku moral. Gibbs (1991, 1995; Gibbs & Schnell, 1985, dalam Papalia,dkk, 2008:566) menyatakan bahwa aktivitas moral tidak hanya dimotivasi oleh pertimbangan abstrak seperti keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti empati, rasa bersalah, rasa sedih, dan internalisasi norma prososial. II.2.2. Perilaku Moral Hurlock (1978:74) mendefinisikan perilaku moral sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. “Moral” berasal dari kata latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral –peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi 314
Elga Andina anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. Sedangkan perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan ketidakacuhan akan harapan sosial melainkan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Satu lagi istilah mengenai perilaku moral yang kerap digunakan, yaitu perilaku amoral. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan perilaku nonmoral yang lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggara sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa di antara perilaku salah anak kecil lebih bersifat amoral daripada tidak bermoral. II.2.3. Tumbuhnya perilaku moral Tumbuhnya perilaku dapat dijelaskan dengan teori belajar. Orang mempelajari informasi dan fakta sejalan dengan proses pembelajaran perasaan dan nilai yang diasosiasikan dengan fakta tersebut (Taylor, Peplau,& Sears,2009). Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan: 1. Asosiasi Asosiasi adalah proses menghubungkan dua atau lebih stimuli yang berkaitan dalam memori sehingga membentuk sebuah pemaknaan yang sama. Misalnya ketika sebuah iklan mobil menampilkan wanita cantik didalamnya, diharapkan pemirsa mengasosiasikan kecantikan wanita tersebut serupa dengan kecantikan mobil. 2. Penguatan (reinforcement) Dalam teori stimulus-respon, konsep penguatan memegang peranan penting. Penguatan disini berarti upaya untuk meningkatkan perilaku dengan memberikan stimulus bagi subjek agar perilaku yang diinginkan dapat diulang oleh si subjek. Ada dua jenis penguatan, yaitu: • penguatan positif (Positive reinforcement), yaitu penguatan berupa kejadian atau benda yang dianggap menyenangkan bagi subjek, yang dimunculkan segera setelah perilaku. Penguatan ini sering juga dinamakan hadiah (reward). Dengan memberikan penguatan ini diharapkan perilaku akan diulang di masa mendatang.
315
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik • Penguatan negatif (Negative Reinforcement), yaitu berupa kejadian atau benda yang dianggap tidak menyenangkan bagi subjek, yang dimunculkan segera setelah perilaku dengan harapan perilaku menjadi berkurang atau bahkan tidak ditampakkan kembali. 3. Peniruan (imitation) Perilaku manusia didapat dengan melihat contoh yang ditampakkan orang lain. Hal ini paling efektif pada anak-anak yang mudah menerima informasi apapun di lingkungannya. Peniruan dapat berbentuk langsung (melihat langsung objek yang ditiru), tapi dapat pula melalui media. Anak-anak mendapatkan materi pembelajaran dari lingkungan baik secara langsung maupun melalui melalui media. Menurut penelitian Virtual Consulting, sekarang ini di Indonesia, rata-rata orang menghabiskan waktu 2,3 jam perhari, internet 2 jam, sementara membaca koran hanya 34 menit (http:// www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/03/100312_mediainternet.shtml) menunjukkan besarnya peranan media dalam kehidupan masyarakat. Proses peniruan dapat dilihat dalam perilaku anak-anak yang senang menirukan adegan kartun atau film kepahlawanan yang dilihatnya di televisi. III. POLA PENDIDIKAN MASA KINI “Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.” ~Paulo Freire (Pedagogy of the Oppressed) Paolo Freire pernah mengatakan bahwa sekolah mematikan kreativitas anak. Masukkan seorang anak di sekolah, maka ia akan kehilangan kemampuan untuk mencipta, ia akan jauh dari inovasi dan ia terintimidasi dalam propaganda pendidikan yang normatif. Ia menunjukkan betapa pola pendidikan telah salah jalur sehingga bukannya membangun pribadi yang luar biasa, namun menekan potensi terbesar anak. 316
Elga Andina Pendidikan saat ini merupakan bentuk modifikasi pendidikan konvensional yang mengedepankan materialisme dan ujian sebagai alat pengukuran kualitas murid. Ada tekanan yang semakin besar yang menyebabkan sekolah berlomba-lomba mencetak murid-murid yang memiliki nilai ujian tinggi. Kualitas ini didapatkan dengan menggenjot peserta didik dengan latihan-latihan mengerjakan soal-soal ujian. Sehingga murid hanya terlatih untuk menghadapi tugas ujian, namun kesulitan untuk mengaplikasikan pelatihan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Inilah kenyataan pendidikan kita sehingga pada tahun 2010 terjadi fenomena banyaknya murid sekolah menengah atas yang tidak lulus Ujian Nasional. Sekolah saat ini hanyalah sebuah gym atau pusat kebugaran dimana setiap murid digenjot untuk mendapatkan hasil ujian yang sempurna tanpa mempedulikan pembentukan sikap moralnya. Dalam proses yang begitu cepat dan kencang ini, guru menjadi tidak awas dalam mengelola perkembangan moral siswa. Memang harus ada yang dikorbankan dalam pendidikan. Banyak kasus yang memperlihatkan toleransi guru terhadap anak-anak pintar dengan sikap yang menyeleweng. Padahal anak-anak dengan tingkat kecerdasan tinggi cenderung mengalami penyelewenangan moral karena merasa hebat dan mampu untuk melakukan banyak hal. Berada di lingkungan anak-anak biasa, para pemilik kecerdasan ini cenderung menjadi orang yang memanipulasi, menghakimi, menuntut atau mengarahkan orang lain. Mereka juga merasa bosan melewati rutinitas yang biasa sehingga mencoba mengurangi rasa frustasi tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan norma, antara lain: 1. terlibat praktek penggunaan dan penjualbelian obat-obat terlarang 2. Bunuh diri. Perilaku ini menjadi pilihan populer di tengah kehidupan Indonesia yang makin berat. Fenomena ini bagaikan penyakit menular yang menjalari bukan hanya remaja, tapi juga kelompok umur lainnya. Sosiolog Donal Rubinstain (dalam Vashdev, www.govindvashdev.com) menyebutkan bahwa perilaku bunuh diri meluas dari kelompok remaja hingga anakanak berusia 8-9 tahun, bahkan juga menjadi trend untuk anak-anak 5-6 tahun. Fenomena ini terjadi pula di Indonesia ketika media gencar memberitakan kisah Miftahul Jannah, bocah 13 tahun yang nekat gantung diri karena tidak mampu membayar SPP. 3. Perilaku agresif 317
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 4. Selain bunuh diri, anak-anak sekarang makin banyak memperlihatkan perilaku agresif seperti peloncoan (bullying), tawuran, sodomi dan pemerkosaan. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya akses anak-anak terhadap informasi perilaku menyimpang. Sebuah riset yang melibatkan 112 anak-anak berusia 10-17 tahun menunjukkan banyaknya konten negatif yang dilihat anak-anak di internet menyebabkan munculnya sikap negatif pada anak, antara lain marah (53%), kecewa (40%), terganggu, kaget, atau khawatir (semuanya 38%). Anak-anak pun semakin leluasa mengakses materi pornografi (Restri, dalam Republika, 6 Oktober 2010).Perilaku negatif ini tentu memprihatinkan dan menunjukkan rendahnya kemampuan anak dalam menghadapi tekanan. Menurut data BPS pada tahun 2009 angka partisipasi sekolah anak-anak usia 7-12 tahun mencapai 97.95% (http://www.bps.go.id/). Ini menunjukkan peningkatan jumlah anak yang mendapatkan pendidikan dasar. Angka tersebut disambut pula dengan menjamurkan berbagai jenis institusi pendidikan yang menawarkan beragam variasi pembelajaran antara lain kelas akselerasi, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kelas internasional dan berbagai kursus untuk mempercepat peningkatan pengetahuan siswa. Namun, banyaknya variasi metode pendidikan tidak menunjukkan signifikansi perbaikan moralitas siswa. Perubahan sistem pendidikan nasional ditandai semakin mengarahnya kepada materialisme. Pendidikan semata bersifat fisik. Anak-anak murid hanyalah sederetan nama di buku absen, yang tidak mendapatkan perhatian cukup secara mental oleh guru mereka. Prestasi murid yang unggul menjadi bias bagi guru untuk memberikan penilaian yang objektif. Padahal dengan begitu, guru membantu berkembang biaknya psikopat-psikopat muda yang tidak takut akan aturan, mampu berakting dengan meyakinkan dan menikmati dualisme kehidupan moral yang bertolak belakang. Saat ini mulai bermunculan variasi jenis pendidikan yang merupakan konstruksi sosial yang merupakan implikasi atas perkembangan pengetahuan pendidik. Sekolah-sekolah menerapkan beberapa tipe kelas seperti kelas internasional yang mengedepankan peningkatan kualitas berbahasa Inggris dan kelas akselerasi yang menggenjot prestasi siswa unggul sehingga dapat menyelesaikan materi dengan singkat. Materi pelajaran menjadi lebih padat sehingga waktu 318
Elga Andina belajar menjadi lebih panjang. Tidak cukup mempelajari di sekolah, muridmurid pun dituntut untuk memperdalam pembelajarannya di kursus-kursus sepulang sekolah. Akibatnya anak-anak baru dapat pulang ke rumah pada sore menjelang magrib. Namun, bukan berarti mereka dapat langsung beristirahat ketika sampai di rumah. Masih ada tugas rumah yang menumpuk menunggu untuk dikumpulkan keesokan harinya. Selain materi yang bertambah banyak, tingkat standar penguasaan pun semakin meninggi. Saat ini level pembelajaran di sekolah dasar sudah menyerupai pelajaran sekolah menengah atas di tahun 90-an. Bahkan untuk masuk sekolah dasar, seorang anak didik dituntut telah lancar membaca. Hal tersebut berbeda 20 tahun lalu dimana anak-anak diajari membaca di kelas 1 sekolah dasar. Dengan begitu, pola pendidikan dasar pun semakin tidak seimbang. Tuntutan akademis menyebabkan tugas hidup anak hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Akibatnya, mereka kehilangan banyak waktu untuk mengembangkan potensi mental yang dibutuhkan sebagai pondasi kepercayaan diri di masa yang akan datang. Pembelajaran anak-anak semestinya dilakukan dalam proses yang menyenangkan, tanpa beban, dan membuat anak-anak bahagia, sesuai dengan teori Havigurst yang menyebutkan bahwa dalam perkembangannya, anak-anak memiliki tugas perkembangan untuk: 1. Menguasai kemampuan fisik dasar untuk bermain 2. Bisa bermain dengan teman sebaya 3. Membentuk sikap positif terhadap diri sendiri 4. Mempelajari peran gender yang sesuai 5. Mengembangkan kemampuan dasar dalam membaca, menghitung, dan menulis 6. Mengembangkan hati nurani, moralitas, dan sistem nilai 7. Memiliki kemandirian dasar dalam kegiatan sehari-hari 8. Mengembangkan sikap yang tepat terhadap kelompok sosial tertentu Gagalnya seorang anak memenuhi tugas-tugas tersebut berujung pada frustasi dan depresi. Hal inilah yang menumbuhkan perilaku menyimpang dalam masa pertumbuhannya di masa depan. Penelitian menyebutkan bahwa anak-anak yang kurang mendapat perhatian orang tua terlibat dalam penggunaan narkoba, kleptomisme, pengrusakan dan pergaulan bebas.
319
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik IV. SINERGISITAS SEKOLAH, ORANG TUA DAN LINGKUNGAN IV.1. Peranan lingkungan sekolah Kata sekolah berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anakanak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas. Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah sebagai salah satu lembaga yang menangani pendidikan, bertugas mengembangkan dan menumbuhkan kemampuan-kemampuan rohani manusia, menumbuhkan daya penilaian yang benar, meneruskan warisan budaya manusia dan menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai (Kaswardi, 1993:74). Riset dari badan pendidikan di Amerika menunjukkan 90% kontribusi kualitas pendidikan berasal dari kualitas guru, metode belajar yang tepat, dan buku sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Ketiga variabel yang menjadi kualitas pendidikan ini sebetulnya sangat mudah, asalkan ada guru yang mempunyai idealisme tinggi. Proses belajar terjadi apabila seseorang berinteraksi dengan lingkungannya (natural, sosial, dan atau kultural) yang menyebabkan terjadinya perubahan prilaku (kognitif, afektif, dan atau psikomotorik) yang relatif tetap. Sumantri Muliani dan Permana Johar (1998/1999:1) menyatakan bahwa pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan untuk membantu seseorang atau sekelompok orang sedemikian rupa sehingga proses belajar itu menjadi efisien dan efektif. Pembelajaran itu dapat berlangsung dan berinteraksi antara pelajar (peserta didik), dengan lingkungannya belajar (utamanya sumber belajar). Interaksi antara kedua pembelajaran itu dapat terjadi di sekolah maupun di luar sekolah. Sesuai dengan keperluan, kajian selanjutnya tentang pembelajaran itu akan dipusatkan pada pelajaran di sekolah.
320
Elga Andina Sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Supriyoko, staf pengajar FKIP Universitas Taman siswa, Yogyakarta, beberapa tahun lalu, menyodorkan buktibukti empirik betapa lingkungan sekolah mempunyai kontribusi yang cukup dominan terhadap kenakalan pelajar. Yang dimaksud dengan lingkungan sekolah disini ialah kepala sekolah, guru, wali kelas, karyawan sekolah dan sebagainya (Aka, 2010). Secara matematis, kontribusi efektif faktor lingkungan sekolah terhadap kenakalan siswa dengan berbagai ekspresinya mencapai 13,26%. Ini berarti, sebagian dari penyebab kenakalan siswa dapat dijelaskan dari faktor sekolah ini. Sekolah sangat berarti dalam pembentukan mental anak. Di Republik Rakyat Cina, tujuan sekolah adalah membentuk murid membangun nilai-nilai yang benar dalam kehidupan dan dunia, yang dianggap sebagai mentor dan motif dari keseluruhan wilayah Cina. Menurut Wang (2005, dalam Wang, 2010), sebagai dasar pelatihan sumber daya manusia, tugas fundamental sekolah adalah mengembangkan generasi baru dengan cita-cita tinggi, integritas moral, pendidikan yang baik dan memiliki rasa kedisiplinan yang kuat. Jelaslah bahwa mutu sekolah yang rendah menyebabkan rendahnya kualitas moral anak-anak. Namun, ada persepsi yang keliru ketika masyarakat menyalahkan sekolah. Pendidikan di sekolah Indonesia saat ini cenderung membatasi diri pada aspek pembelajaran, bukan pendidikan, sehingga murid hanya mendapatkan informasi mengenai moral. Dalam kurikulum sekolah dasar, pembelajaran moral ini diwujudkan dalam mata pelajaran Kewarganegaraan (dulu bernama Pendidikan Moral Pancasila; dan pernah juga bernama Kewiraan). Selain itu, proses internalisasi moral dilakukan juga dalam kegiatan orientasi sekolah. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Di sekolah, kebanyakan guru mengambil jarak yang cukup dengan anak muridnya dan hanya mengajarkan materi sesuai buku, padahal yang dibutuhkan anak murid bukan hanya limpahan kata-kata dari buku, namun pemaknaan hidup untuk mencapai budi pekerti yang sesuai dengan prinsip hidup sosial (Andina, 2010:6). Perilaku moral yang berlaku disekolah seringkali terlihat dalam: 1. Rendahnya disiplin Saat ini masyarakat mengalami dualisme cara pandang dalam mendidik anak. Pandangan pertama adalah pendidikan secara otoriter yang memperlihatkan dengan tegas pemisahan yang baik dan buruk. Jika anak melanggar aturan, maka ia akan mendapat hukuman. Perlakuan keras akan membuat 321
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik perilaku anak lebih mudah terbentuk. Sedangkan pada pandangan kedua adalah pendidikan yang memfokuskan pada kebutuhan anak. Anak-anak perlu disayangi dan diberitahu dengan lembut dan penuh kesabaran. Hukuman hanya membuat anak menjadi traumatis dan menghilangkan rasa manusiawi dalam diri si anak. Sekolah mengalami kecemasan untuk memberlakukan disiplin yang tegas karena takut dianggap melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, banyak sekolah memberlakukan aturan yang bersifat fleksibel. 2. Kurang contoh Pendidikan moral gagal karena apa yang disampaikan guru dengan buku teks berbeda dengan perilaku yang ditunjukkan pada keseharian. Murid melihat contoh perilaku dari orang dewasa disekitarnya, terutama guru. Seringkali perbedaan perilaku dengan perkataan guru menyebabkan timbulnya pengertian baru dalam diri murid sehingga nilai-nilai positif sebagaimana yang tertera dalam buku pelajaran gagal ditanamkan. 3. Penekanan pada transfer materi Beberapa sekolah menerapkan kegiatan ujian bulanan yang memberikan tekanan pada peserta didik. Murid dipaksa untuk berlatih soal-soal ujian, dengan tujuan mendapatkan nilai tinggi. Hal ini memberikan pemaknaan bagi murid bahwa dirinya hanya berharga jika memiliki nilai yang baik. Dengan begitu, sekolah gagal untuk mengembangkan potensi murid yang tidak terbatas, karena orang yang depresif cenderung sulit untuk melihat kelebihan diri sendiri sehingga malas untuk berjuang. 4. Individualisasi digantikan dengan identitas komunal Pemerintah sering mengeluhkan sedikitnya jumlah guru yang ada, apalagi yang bersedia untuk ditempatkan di daerah terpencil. Menurut Dinas Pendidikan Nasional, jumlah guru sekolah dasar pada tahun 2008/2009 adalah sebanyak Menurut data Dinas Pendidikan Nasional, pada tahun 2008/2009, terdapat 1,427,412 orang guru sekolah dasar yang tersebar di 33 propinsi dengan proporsi yang bervariasi. Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah guru terbanyak, yaitu 201,873(14,4%) untuk 3,288,054 siswa, diikuti oleh Jawa Barat sebanyak 188,920 (13,24%) untuk 4,495,682. Sedangkan jumlah guru paling sedikit berada di propinsi Papua Barat dengan angka 5,204 (0,36%) untuk 114,422 siswa.
322
Elga Andina Ketidakseimbangan jumlah guru dengan siswa yang harus diajarnya menyebabkan rendahnya perhatian guru terhadap individualisme siswa. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam perkembangannya terutama pada aspek moral. Tidak sedikit guru yang mengelompokkan siswa berdasarkan prestasi akademisnya. Anak yang pintar mendapatkan lebih banyak perhatian daripada mereka yang biasa-biasa saja. Padahal setiap anak berhak untuk memperoleh perlakuan yang tepat dalam upaya mengembangkan potensinya. Pada prakteknya, Harshorne dan May (dalam Sjarkawi,2006:37) telah menemukan bahwa: 1. pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas tidak mempengaruhi perbaikan perilaku moral. 2. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai, yakni pengajaran tentang aturan-aturan berperilaku benar dan baik di sekolah sedikit berpengaruh terhadap pembentukan moral sebagaimana yang dikehendaki. Dengan begitu, dapat diyakini bahwa pengenalan moralitas saja tidak cukup untuk membentuk perilaku positif. Selain pendidikan moral di sekolah, keluarga, dan masyarakat, anak-anak perlu digerakkan untuk melakukan tindakan-tindakan positif. Proses ini merupakan sebuah kerja jangka panjang yang membutuhkan kerja sama sekolah sebagai badan yang berperan besar dalam proses pembelajaran siswa. IV. 2. Pendidikan dalam rumah tangga Semua orang tua merusak anak-anak mereka ~Mitch Albom (Five People You Meet In Heaven)
Pola asuh orang tua Orang tua adalah lingkungan terdekat yang mengajarkan kepada anak mengenai nilai-nilai dalam masyarakat. Pola asuh orang tua berpengaruh besar terhadap kepribadian anak. Sekumpulan nilai-nilai dalam rumah tangga cenderung tercermin dalam perilaku anak di lingkungan sosial. Menurut Baumrind (dalam http://wawan-junaidi.blogspot.com) pola asuh orang tua dapat dibagi atas: 323
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik a. Demokratis Orang tua memberikan keleluasaan bagi anak untuk diperlakukan secara adil dan sebagai anggota keluarga yang dihargai haknya. Pada pola asuh ini terlihat ada sikap terbuka antara orang tua dan anak dalam menyetujui aturan-aturan dalam keluarga. b. Otoriter Orang tua yang menjalankan pola asuh otoriter menempatkan diri sebagai pengatur, penguasa dan penghukum. Orang tua tidak mengindahkan otonomi anak dan menerapkan aturan yang harus dipatuhi anak. c. Permisif Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter, dimana anak dibiarkan berperilaku sesuai kehendaknya. Sikap orang tua yang mengalah terhadap keinginan anak ini menghilangkan media bagi anak untuk mengetahui mana yang benar dan yang salah. Dengan meningkatnya volume kesibukan orang tua saat ini, pengasuhan yang komprehensif cenderung dilakukan dengan pola permisif. Orang tua bekerja seringkali membiarkan anaknya untuk melakukan apapun yang diinginkan dan mengabulkan semua permintaan anak. Hal ini terjadi karena orang tua sudah lelah dengan tugas-tugas kantor dan tidak sanggup lagi untuk mendengarkan keluhan atau rengekan anak. Padahal, keluhan anak merupakan waktu yang paling tepat untuk mengajarkan tata krama. Pada saat seorang anak meminta, orang tua memiliki kekuasaan untuk menunjukkan sikap yang benar. Selain itu, permintaan anak dapat dijadikan penguat untuk membentuk perilaku negatif, misalnya dengan mengatakan pada anak yang meminta sepeda, “Kamu akan mendapatkan sepeda jika mendapatkan juara satu pada akhir semester ini,” atau “Papa akan membelikan sepeda jika kamu sudah bisa membersihkan kamarmu sendiri”. Sesuai dengan teori Kohlberg yang mengatakan bahwa kebanyakan anak-anak remaja berada pada level perkembangan moral 1, yaitu berperilaku berdasarkan hukuman dan penghargaan. Orang tua memiliki tugas utama untuk mengembangkan moral dalam keluarga, yang dapat dilakukan dengan cara: 1. Meningkatkan rasa harga diri anak Harga diri merupakan modal utama untuk berperilaku positif. Mereka yang ditanamkan persepsi mengenai martabat cenderung berbuat untuk melin324
Elga Andina dungi martabat tersebut. Misalnya ketika seorang anak diajarkan untuk selalu berterima kasih setiap kali berbelanja di warung karena itu adalah bentuk perilaku orang-orang berpendidikan, cenderung untuk mengulangi perilaku itu. Hal serupa terjadi di lingkungan ningrat yang memperlihatkan tata krama berbeda karena diberikan pemahaman mengenai perilaku kebangsawanan yang membedakannya dengan masyarakat jelata. 2. Memberikan contoh perilaku moral Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bermoral akan meniru perilaku terasebut. Anak menyerap pengetahuan dari contoh yang dilihatnya seharihari. 3. Mengembangkan disiplin Banyak masalah disiplin tidak dapat tersampaikan dengan tegas ketika orang tua tidak bekerja sama dengan baik. Kadang orang tua berbeda pendapat mengenai cara mendisiplinkan anak, sehingga anak kebingungan menyerap nilai-nilai yang ingin disampaikan orang tua. Misalnya ketika seorang anak meminta mobil-mobilan temannya dengan paksa, ibunya akan menegurnya. Namun, ketika ia mengadukan hal tersebut pada sang ayah, ia malah mendapat dukungan. Hal ini membuat anak bingung sikap mana yang seharusnya ia perlihatkan dalam pergaulan. IV.3. Pendidikan dalam lingkungan masyarakat Bandura menegaskan bahwa perilaku dipelajari. Teori belajar Bandura menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh pembelajaran sebelumnya. Anak-anak mempelajari perilaku dengan melihat perilaku orang-orang di jalanan, angkutan umum, rumah makan, televisi. Proses asosiasi terjadi ketika anak-anak menerima perilaku yang dilihatnya sebagai perilaku yang disetujui oleh standar moralnya. Penerimaan tersebut kemudian diolah menjadi penggandaan perilaku. Misalnya anak yang melihat orang menyeberang jalan di zebra cross akan mengikuti contoh tersebut. Sebaliknya, ketika ia melihat penyeberang jalan yang melintas sembarangan lalu nyaris disenggol kendaraan, ia merasa bahwa tindakan itu berbahaya, oleh karena itu anak cenderung tidak mengikuti contoh tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah kemampuan anak dalam membedakan benar dan salah. Untuk itu dibutuhkan tuntunan orang dewasa dalam memberikan informasi yang benar.
325
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Pendidikan dalam masyarakat terjadi setiap detik dan pada setiap perilaku. Tepatlah jika seorang ahli perilaku berkata, “Since we change people every day, make sure we change them for better”, karena kita mengubah orang setiap hari, pastikan kita mengubah mereka menjadi lebih baik. Artinya setiap perilaku kita merupakan bahan ajar bagi orang lain, terutama anak-anak yang memiliki daya serap luar biasa. IV.4. Hubungan komunikasi sekolah, orang tua dan masyarakat Kurangnya perhatian orang tua sering kali menyebabkan pergeseran persepsi mengenai tugas dan tanggung jawab mendidik. Orang tua cenderung menyerahkan kepada sekolah untuk membentuk pola pemikiran anak, sehingga kerap menyalahkan pihak guru jika sang anak melakukan perilaku yang melanggar norma. Sebaliknya, pihak sekolah juga menuntut orang tua yang dianggap tidak peduli terhadap pendidikan siswa untuk ikut berpartisipasi di rumah mendorong pendidikan moral. Proses komunikasi antara orang tua dan anak kurang efektif karena kebanyakan orang tua bekerja dan meskipun ada dirumah banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang mutakhir mengenai perkembangan teknologi sehingga kesulitan untuk memberikan arahan pada sang anak. Padahal, NCES (National Center for Education Statistics, 1985) mencatat bahwa siswa dengan orang tua yang amat terlibat dalam kehidupan sekolah dan memonitor perkembangan mereka biasanya menjadi siswa yang terbaik di sekolah menengah atas. Hubungan komunikasi antara sekolah dan orang tua sebenarnya tidak terbatas, namun pada prakteknya hanya terjadi dalam kegiatan pertemuan Orang Tua murid dan Guru. Kegiatan tersebut memiliki reputasi buruk sebagai pertemuan untuk “meminta uang” dari orang tua, sehingga banyak orang tua memilih tidak hadir. Padahal, sarana seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membicarakan permasalahan siswa meskipun tidak secara mendalam. Guru dan orang tua seyogyanya dapat memberikan waktu untuk saling bertatap muka sehingga dicapai kesepakatan pola pendidikan yang selaras. Yang seringkali terjadi pula adalah perbedaan konsep antara guru dan orang tua dalam mengajarkan kepada anak, sehingga anak menjadi bingung. Bagi seorang anak, guru adalah yang paling benar, sehingga ketika orang tua ikut memberikan pelajaran di rumah, terjadi pertentangan batin. Jika orang 326
Elga Andina tua tidak dewasa dalam menyikapi hal ini maka konflik batin sang anak dapat berkelanjutan. Kompleksitas masing-masing aspek yang dibutuhkan dalam mendidik moral pada anak seringkali bekerja secara otonom. Oleh itu dibutuhkan sistem yang komprehensif yang saling menguatkan antara sekolah, orang tua dan masyarakat, sebagai berikut: 1. Perlu dibuat kurikulum yang berpihak pada peserta didik. Kurikulum ini harus menyesuaikan dengan keunikan inidvidu dan mengakomodir semua pola pembalajaran untuk mendapatkan hasil yang efektif. Tujuan utama pendidikan perlu dikembalikan pada perubahan perilaku, bukannya pencapaian nilai akademis terbaik. Untuk itu, kurikulum perlu disusun dengan melibatkan bukan hanya pakar pendidikan, tapi juga ahli perilaku seperti psikiater dan psikolog. Selain itu, kurikulum ini perlu dikontrol dan diawasi penyelenggaraannya oleh badan pemerintah yang kompeten. Dengan begitu, ada kemungkinan bahwa setiap sekolah berbeda pola pengajarannya disesuaikan dengan kemampuan dan budaya siswa setempat. Meskipun begitu, standar nasional pencapaian akademis harus diseragamkan sehingga dapat dilakukan penilaian objektif. 2. Peningkatan kualitas pemahaman guru dan orang tua tentang pentingnya moral dan bagaimana mengembangkan moral anak. Untuk itu, Pemerintah dapat menfasilitasi pendidikan, kursus, seminar maupun pertemuan dengan menghadirkan ahli pendidikan anak, pengembang moral dan ahli perilaku untuk mengajarkan dan melatih guru dan orang tua mengenai pendidikan moral yang efektif. 3. Penataan komunikasi antara sekolah, orang tua dan masyarakat perlu ditingkatkan. Koordinasi yang diperlukan dapat bervariasi dengan menggunakan berbagai media, diantaranya: a. Pertemuan rutin Fasilitas pertemuan rutin yang diadakan oleh sekolah perlu dilakukan secara komprehensif, bukan hanya membahas mengenai biaya pendidikan namun secara mendalam membahas perkembangan anak. Untuk itu, orang tua dan guru perlu mengetahui teori dan praktek perkembangan mental anak. Dengan pertemuan rutin, orang tua dan guru dapat menyamakan tujuan sehingga kekompakan ini menjadi penguat positif untuk membantu anak mempelajari perilaku moral yang tepat. 327
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik b. Hubungan telepon Komunikasi tatap muka dapat dibantu dengan jaringan telepon. Komunikasi telepon ini dapat dilakukan orang tua dengan guru dan orang tua dengan orang tua lain untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan anak. c. Menggunakan fasilitas internet Saat ini hampir semua orang dapat terhubung dengan internet. Begitu banyak pula aplikasi yang dapat dimanfaatkan untuk memantau aktivitas anak, misalnya situs jejaring sosial. Jika setiap orang tua dan guru memiliki akses terhadap akun jejaring sosial anak, maka mereka dapat mengetahui perkembangan moral anak sehingga mampu mengantisipasi penyimpangan perilaku. d. Catatan perilaku dan konsultasi Orang tua dan guru bekerja sama dalam membuat database yang lengkap mengenai pola perilaku siswa. Hasil catatan tersebut dapat dibawa dalam sesi konsultasi dengan ahli perilaku. Saat ini, sudah banyak orang tua yang mulai sadar mengenai pentingnya pembentukan perilaku positif sejak dini, sehingga tidak takut lagi untuk datang ke psikolog. Orang tua cenderung mencemaskan kemampuan anak untuk belajar di sekolah, sehingga banyak yang memeriksakan potensi anaknya ke psikolog. Meskipun begitu, konsultasi perilaku seharusnya dapat diperluas lagi tujuannya bukan hanya sekedar meningkatkan kemampuan siswa di sekolah, tapi juga mengembangkan mental yang positif sehingga dapat memupuk sikap-sikap yang dibutuhkan untuk kemandiriannya di masa yang akan datang. PENUTUP Pendidikan moral tidak dapat dilakukan dengan transfer pengetahuan, namun perlu pemahaman. Pendidikan moral membutuhkan sinergi dari semua aspek pendidik yang mempengaruhi perkembangan anak, yaitu sekolah, orang tua dan masyarakat. Untuk itu diperlukan: 1. kurikulum yang sesuai dengan perkembangan anak 2. peningkatan pengetahuan guru dan orang tua mengenai pendidikan moral 3. komunikasi yang lancar antara guru dan orang tua
328
Elga Andina
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Prof.DR. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.Jakarta: KOMPAS. Andina, Elga.2010. Studi Dampak Negatif Facebook terhadap remaja Indonesia. Aspirasi,1(1). UNDP, Human development index report. 2009. Hurlock, Elizabeth.1978. Perkembangan anak (Jilid 2). Jakarta: Penerbit Erlangga. Kaswardi, EM.K.1993. Pendidikan Nilai memasuki tahun 2000. Jakarta: Grasindo. Ramly. Nadjamuddin. 2005. Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan.Jakarta:Grafindo. Taylor, Shelley, E., Peplau, Letitia Anne,& Sears, David O.2009. Psikologi Sosial (ed 12).Jakarta: Kencana. Wang, Cunxin (Bill). 2010. A Cross-Cultural Comparison Study Of Moral Education Between Chinese And American Schools And Its Implication. Paper, disampaikan pada The Graduate Faculty University of WisconsinPlatteville. Website Aka, Emirul Chaq. 2010. Kembali ke sekolah. http://gemapendidikan.com/ 2010/04/kembali-ke-sekolah/. Diunduh tanggal 27 September 2010 Author,N/A.2010. 96% Anak Indonesia punya pengalaman buruk di Internet. http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/beritakpai/149-96-anakindonesia-punya-pengalaman-buruk-di-internet-.html. Diunduh tanggal 5 Oktober 2010. Author, N/A. 2009. Pendidikan Indonesia rangking (109) Malaysia (61). 24 April 2009. http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/pendidikan-indonesia-ranking-109-malaysia-61/. Diunduh tanggal 1 November 2010. 329
Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik BPS. Indikator Pendidikan tahun 1994-2009. http://www.bps.go.id/tab_sub/ view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1. Diunduh tanggal 5 Oktober 2010. Hurlock, Elizabeth.1978. 10 principle of psychological growth and development. Mayer, Jean. 1966. Papalia, D.E., Old, S. W., & Feldman, R. D.2008. Human Development (Ed. 9).Jakarta: Kencana. Soedarsono, Soemarno.2009. Karakter mengantar bangsa dari gelap menuju terang. Jakarta: Elex Media Komputindo Syifa, Abu Dira. 2007. Potret Pendidikan di Jepang. http://abudira.wordpress. com/2007/11/22/potret-pendidikan-di-jepang/. Diunduh tanggal 22 Nopember 2010. Vashdev, Gobind. 11 Desember 2009. Bunuh diri ternyata menular. http://www. gobindvashdev.com/index.php?option=com_content&view=article&id= 10:bunuh-diri-ternyata-menular &catid=5:lives&Itemid=3 diunduh tanggal 28 September 2010. Wibowo, Arinto Tri.2010.ADB: Kualitas Pendidikan RI di Bawah Asean, 10 Agustus 2010 (online) diakses 7 Oktober 2010 (http://nasional.vivanews. com/news/read/170208-adb--kualitas-pendidikan-ri-di-bawah-asean) Wijaya, Satra. 13 Maret 2010.Media cetak bersaing dengan internet. http:// www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/03/100312_mediainternet.shtml. Diunduh tanggal 3 November 2010. Surat Kabar Author,N.A. 2004. Bocah SD Gantung Diri Gara-Gara Tak Mampu Bayar SPP. Radar Sidoarjo.Selasa, 15 Juni 2004 Author,N.A. 2010. Angka putus sekolah masih tinggi. Kompas, 9 September 2010: 12. Restri, Prima. 2010. Pornografi Marak, orang tua jangan alpa. Republika, 6 Oktober 2010. Undang-Undang Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
330