BAGIAN PERTAMA
J
am pulang sekolah dan jam makan siang para pekerja kantoran selalu datang bersamaan sehingga membuat
hiruk-pikuk suasana kota Jakarta, Maret 2002. Di suatu sudut shelter BUS RAPID TRANSIT terlihat dua orang siswi yang tampaknya gelisah menunggu kedatangan bus. “Aduh...penuh banget sih TransJakarta siang hari ini!” keluhnya. Penumpang semakin banyak saja mengantri namun untungnya mereka mengantri di jalur bus yang lain. “Dasar hape butut!” omelnya lagi, “Padahal lagi perlu malah bikin masalah terus.” Dia terus saja menekan tombol ‘send’ berkali-kali, bahkan tak jarang keypad yang lain juga ikut ditekan-tekan, dengan sedikit kesal dia memukul-mukulkan telepon seluler pada genggaman tangannya sedikit berharap kerusakannya bisa normal. Bus yang ditunggu pun telah tiba, senangnya karena armada kali ini tidak sarat dengan penumpang. Kedua siswi tersebut melenggang masuk dengan gembira bersama para penumpang yang lainnya, hingga pintu otomatis bus kembali ditutup pertanda bus siap untuk diberangkatkan. Kedua siswi tersebut lebih memilih berdiri di dekat sekat ruangan yang ada jumpseat bagi kru dan TV informasi perjalanan di atasnya. Kali ini telepon seluler milik siswi
yang marah tadi ‘berfungsi’. Dengan gerakan yang cepat dia menggunakan ibu jarinya mengetik pesan. “WE’RE GONNA REACH THAT DAMN CAFÉ IN TWENTY-FIVE MINUTES...” Ada seorang anak laki-laki berpenampilan kasual berdiri tidak jauh dari kedua siswi tersebut. Tanpa sadar pembicaraan keduanya terdengar olehnya, perlahan anak laki-laki tersebut berpindah posisi mendekati kedua anak perempuan itu, dengan gayanya dia menarik lengan kemeja panjang kemudian menggulungnya hingga mendekati siku, lalu ia memasukkan sebelah tangan kanannya kedalam saku celana jeans birunya yang dipadu dengan sepatu kets. Ia memperhatikan sesuatu dari seragam kedua siswi tersebut, “Hmm..Exultate Jubilate, oh kalian anak Eksultat juga ternyata?” Salah seorang dari kedua siswi yang bernama Recca mendengarnya. Saking juteknya, Recca tidak menjawab apapun hanya membentuk senyuman ‘ehm’ di wajahnya. Seakan tanpa malu-malu si cowok ini membuka pembicaraan, “Pulang sekolah panas-panas begini kok kalian kayaknya rush-in banget, mau kemana sih?” tanyanya sambil mengernyitkan alisnya yang tebal. Awalnya sih Recca tidak terlalu memperhatikannya, namun merah merona berseri di wajahnya manakala dia menatap kedua obsidian cowok itu, garis alisnya, bentuk pipinya, dan rambutnya yang turun ke dahi.
2
“Kita ada urusan...” jawabnya singkat. “Ke Café.” “Asik dong...” cowok keren itu merespon sambil mengedikkan bahunya hingga salah satu alisnya yang tebal terangkat, “Boleh ikutan lah yaw pastinya.” “Ikutan kita-kita?” tanya Recca. “Kalau kalian ngajakin sih...” cowok itu kembali mengangkat alis tebalnya sembari mengedikkan bahunya. Clementia, siswi yang satunya lagi merasa ‘ada yang aneh’ dengan sahabatnya itu. Menangkap ada sesuatu yang sangat odd dari cara berbicaranya, Clementia langsung menarik Recca ke samping, agak mundur menjauhi cowok itu. “Eh! Elo itu kebiasaan deh, tiap ada yang cakep, sixpack, ganteng dikit langsung deh belok!” “Apanya yang belok? Mobil?” Recca mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Tapi elo perhatiin gak sih, kece juga ini orang, limited edition!” Recca tertawa lirih. Clementia gemas mendengarnya, dia menggunakan jari telunjuknya dan mengetuk-ngetuk dahi Recca, “Dong..dong, hei kebiasaan lama bersemi kembali! Emang elo gak takut apa tiba-tiba dideketin gitu?” Recca merengut, cowok keren yang seksi bak model underwear itu hanya memperhatikan percakapan rahasia kedua siswi ini dengan kening yang berkerut.
3
Di tengah-tengah situasi tersebut, informasi dari sistem pengeras suara otomatis yang menunjukkan direksi perjalanan berbunyi. Recca dan Clementia seperti orang terkejut saja begitu menyadari bahwa tujuan mereka sudah dekat. Maka keduanya bergegas membelah jalan, mereka permisi-permisi menuju exit tanpa memedulikan cowok itu lagi. Mereka berdua berlari sepanjang perjalanan persis seperti penumpang hampir ketinggalan pesawat sehingga tidak sengaja bersinggungan dengan orang lain, di tengah kerumunan orang yang berlalu lalang, keduanya membelah jalan bagaikan speedboat. 2.15 P.M Suasana café nampak menyejukkan hati dengan tata pencahayaan yang lembut, para pelayan yang mengenakan seragam elegan, wangi kopi dan harumnya roti, diiringi dengan alunan grand piano yang membuat orang betah berlama-lama memanjakan dirinya. Dari salah satu sudut ruangan muncullah Recca dan Clementia yang amat tergesa-gesa, anak cowok yang sedang memainkan grand piano itu sedikit teralihkan perhatiannya, permainan Chopin-nya terpaksa terhenti di tengah-tengah namun para tamu café tetap memberikan tepuk tangan meriah meskipun lagu tidak dimainkan hingga selesai.
4
“Sony Hendrawan!” panggilnya. Recca menyusuri meja-meja menuju panggung kecil tempat grand piano hitam yang disinari tata pencahayaan ruangan nan lembut. “Hey, Recca.” Sony, anak cowok yang memainkan piano tersebut beranjak bangkit dan mengetuk dahi Recca dengan lembut meskipun ia sedikit kesal. “You’re late.” “Aduh sorry, aku...” “Sorry aku telat...” sindir si Sony. “Hey, aku capek main solo terus dari sekitaran dua jam lalu, kalian bukannya udah pulang dari jam satu kan?” Clementia yang menjawab, “iya, but yeah alas something happen.” “Ya udah deh, kita ganti kostum dulu.” Kedua siswi tersebut bergegas menuju toilet, Sony geleng-geleng kepala melihatnya. Kedua temannya itu sudah berjanji untuk meramaikan Sarabande Café milik keluarga Sony, Sony mengadakan program Happy Thursday dan Lovely Satnite dimana Recca dan Clementia akan ikut tampil bersamanya. Sony sedang duduk di sudut meja menikmati minumannya saat Recca dan Clementia selesai berdandan. Pada waktu yang bersamaan ada seorang tamu datang – anak cowok berusia sepantaran mereka masuk melalui pintu kaca putar.
5
Pelayan menyambutnya dengan ramah, anak cowok itu nampak celingukan seperti sedang mencari seseorang. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seseorang, “Hey you, a girl from the bus!” serunya. Anak cowok itu segera menghampiri wanita yang dimaksud – Recca. Recca dan Clementia terkejut melihat cowok yang tadi di bus dapat menyusul hingga kemari. Tak usah ditanya bagaimana reaksi Recca yang pura-pura jaim namun dalam hatinya senang karena diikuti si cakep. “Kok elo bisa sampai sini?” Anak cowok keren itu hanya mengedikkan bahunya, “Nothing, just insting!” Recca lalu mendengus kesal, namun sebenarnya dia malu-malu kucing padanya. sementara Sony yang sedari tadi hanya duduk di sudut meja bangkit dan mendekati para sahabatnya, “Selamat datang. Silahkan, take a seat please, nikmati saja suasananya.” begitulah kata-kata yang sering diucapkan Sony dalam menyambut tamu-tamu. Clementia yang memperhatikan suasana ‘aneh’ semenjak di bus pun akhirnya angkat bicara, “Eh by the way kita-kita belum tahu namamu, gimana kalau kenalan aja?” Anak cowok keren yang berbodi seksi itu langsung menunjukkan senyum termanis, “Oke, that’s good idea. Aku Devan, Devantara Arianto.” Ia mengulurkan tangannya dan langsung dijabat oleh Recca. (tuh kan bener, Echa suka...)
6
“Rieka Putri, panggilannya Recca/Echa.” “Rosaline Clementia, panggil aja Ekle.” “Sony Hendrawan, Sony/Sonn.” “Sony pianis disini, dia juga yang punya café.” kata Clementia pada Devan. “That’s cool my bro!” puji Devan pada Sony. Devan menepuk-nepuk bahu Sony yang membuat pianis itu agak tersipu malu. Tubuh Devan yang sedikit lebih tinggi dan tegap dari Sony membuat dirinya terlihat bagai abangnya Sony, kontan saja wajah Sony langsung merah padam lantaran wajahnya kini berada dekat dengan bahu Devan. “Eh-eh! Hurry, It’s showtime...” Pagi yang cerah hari yang indah Kudengar sapamu saat aku melangkah Cinta yang sejati kan kutemui Di dalam dunia yang penuh tantangan Tegarkan langkahmu meniti masa depan Biarkan hatimu yang menuntun langkahmu Waktu pun terus kan berlalu seiring sejalan Singkirkanlah semua yang menghalangi jalanmu Mimpi-mimpi indah akan menjadi kenyataan Bila kau teruslah melangkah janganlah berhenti Senja memerah malam berbintang Kaulah segalanya tumpuan hidup ini Bersama-sama akan melangkah 7
Menuju kesana hari depan yang datang Angin yang berhembus mengantarkan hatiku Menuju kesana hari depan yang datang Waktu pun terus kan berlalu seiring sejalan Cinta yang dinanti kan datang suatu hari nanti Mentari yang t’lah terbenam esok kan terbit pagi Hidup ini begitu indah janganlah kau sesali Pada keesokan paginya mereka kembali bersekolah seperti biasa. Exultate Jubilate Junior High School, sekolah Internasional for gifted child. Ekle dan Recca satu kelas, di kelas 2-A (utama) sementara Sony di kelas 2-F (favorit). Waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat lima puluh tujuh menit di pagi hari, berarti tiga menit lagi kelas akan dimulai. Clementia tampak menunggu dengan gelisah di bangkunya manakala Recca tak kunjung kelihatan, anak satu itu memang terkenal jago datang pada saat-saat kritis. Nampaknya Recca tak berhasil mengalahkan saatsaat kritis tersebut, saat berlari di sepanjang koridor sekolah yang panjang ia nyaris bertabrakan dengan para siswa yang lainnya. Devan yang sedang membaca buku di salah satu sudut koridor sekolah pun kaget, perhatiannya langsung teralihkan begitu melihat sosok yang melintas dengan cepat. “Wow...wonderful speedwoman.” 8
Clementia di ruangan kelas sedang bersiap pada posisi menyambut sensei/guru, teman-temannya saling bercakap-cakap sambil menunggu datangnya guru hingga mereka dikejutkan oleh suara...BRAKK! Pintu kelas terbuka, spontan para siswa segera memberi salam, namun ternyata yang datang adalah... “Se..Selamat pagi...heheh” Recca langsung menutup pintu kelas dengan napas yang masih terengah-engah. “Jadi kamu!!! HRRRGGGGHHH!!” *** Suara peluit terdengar berulang kali di gedung olahraga lantai paling atas tempat kolam renang. Siswa lakilaki dari kelas 2-F yang tergabung dalam waterclub sedang mengadakan latihan sesi hari itu. Sony diantaranya, bersama dengan dua puluh orang laki-laki yang dibagi dalam tiga grup. Sony sendiri baru saja menyelesaikan renang estafetnya ketika ada seorang lakilaki menunggu dirinya di atas end line, tepat pada saat Sony mengeluarkan kepalanya dari dalam air. “Working hard my bro? Atau hard working nih?” Sony diam saja ia tak memedulikan ucapannya, Sony melap wajah sembari membetulkan posisi kacamata 9
renangnya. Sony bersiap kembali pada posisi meluncur saat laki-laki itu terjun ke air tepat di hadapannya. Adalah Alexander Jazzy Herlambang, kapten tim renang yang sangat jago dalam bidangnya. Bertubuh tegap, memiliki otot lengan yang terbentuk sempurna, tampan, dan menjadi banyak idola bagi bawahan-bawahannya. Meskipun bukan seorang KINGSCHOOL namun kedudukannya bisa dibilang setara. Sony baru saja mengambil posisi meluncur tepat ketika Jazzey menghalangi jalannya hingga tubuh keduanya bertabrakan seperti orang yang hampir berpelukan. “Hey, wait up!” “ARRGGH...!” Akhirnya Sony mulai kesal dan angkat bicara, dengan kasar dia melepas kacamata renangnya dan berkatakata dengan suara lantang, “Hey, elo ini kenapa sih kep!?” Begitulah Sony selalu memanggil Jazzey dengan sebutan KEP (Captain/Kapten, red.) sementara panggilan Alexander Jazzy adalah Jazz/Jazzey.) Jazzey tidak menjawabnya, dia malah menyeringai sinis, “Elo yang kenapa tuh, hey Sonn apa elo gak terlalu maksa latihannya?” “Maksa apanya sih? Coach Micky sendiri yang suruh kita latihan terus kan!” Jazzey kembali menyeringai sinis,
10
“Hmph! I know what you’re up to, my boy... It’s not about practice ergh...you just want to win competition.” Sony terdiam, Jazzey seakan telah mengetahui isi kepalanya. Belum sempat Sony memberi pernyataan, Jazzey sudah mendahuluinya, “banyak orang yang lebih kompatibel dalam pertandingan ini, kalau elo terlalu push to the limit itu bisa ngancurin diri elo sendiri.” Sony hanya mengerutkan keningnya, ia terdiam beberapa saat hingga tak menyadari keadaan sekeliling telah menjadi hening. Di dalam kolam hanya ada dirinya dan kapten renang yang gagah itu. “Kep, jadi elo mau bilang kalau gue gak layak gitu?” “Gue gak bilang gitu.” Jazzey mengedikkan bahunya yang kekar itu. Sony kelihatan mulai emosi, dia geram, bahkan dia sempat membuang muka sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Lantas apa maksud elo?” “Kenapa sih sejak awal elo suka mandang enteng sebelah mata sama orang lain, bro?” Jazzey mendengus kesal mendengarnya, dia kemudian meletakkan jari telunjuk di bibirnya lalu menempelkanya di bibir Sony sebagai isyarat ‘diam’. “Hey take it easy bro, gue gak mau berdebat dengan elo, tapi sebaiknya elo introspeksi diri lagi. Kata-kata gue
11
barusan boleh elo abaikan, tapi jangan salahin gue kalau sesuatu terjadi nanti.” Jazzey langsung melompat naik melalui tangga kolam terdekat meninggalkan Sony yang mematung di tengah kolam. Karena kesal tanpa bisa melawan, Sony hanya memukul air kolam yang akhirnya terpercik muka sendiri. Sony kini telah berganti pakaian ke seragam cowok Eksultat; dia menyusuri koridor sambil marah-marah juga mengumpat, pada bahu kirinya tersandang tas selempang Adidas yang berwarna kuning, satu dua kancing teratas lupa dikancingkan sehingga memperlihatkan sedikit t-shirt putih dalamannya yang bertuliskan save our hearts! Dari sudut koridor yang berlawanan muncullah Devan, mereka bertemu tepat di tengah-tengah koridor yang di sisi kanan-kirinya berdinding kaca (window wall) yang memperlihatkan pemandangan Inner Garden sekolah. “Hei, Sonn!” Sony menghentikan langkahnya, ia bahkan tidak menyadari kalau sedang berpapasan dengan Devan. Teman yang baru dikenalnya dan menjadi tamu café-nya kemarin, Sony membalikkan badan sembari sebelah tangannya menggenggam tali tas Adidas-nya. “Ohhh...elo, siapa ya? Emmh Devan kan?”
12
Devan yang berpostur tegap dan berdada bidang mendekati Sony dengan hati gembira, kancing bagian dada kemeja lengan panjangnya sampai saling bertaut seiring pergerakan badannya. “Hey what’s up man? Kenapa kusut gitu mukanya?” Devan meletakkan tangannya di bahu Sony, keduanya lalu meneruskan perjalanan sambil bercakap-cakap. “Biasa, problem. Ada pemimpin yang merasa jauh lebih baik dari anggotanya.” “Siapa?” “Orang itu.” Devan hanya mengerutkan keningnya karena tidak paham siapakah yang dimaksud oleh Sony. Namun tanpa panjang lebar Devan langsung mengajaknya pulang, waktu telah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh tujuh menit, lorong-lorong sekolah juga terlihat sepi seperti tak pernah ada kehidupan. -M-BURGER 14:25 P.MSony...dia sedang menikmati sepiring burger dengan double cheese disertai ekstra topping acar asam saat Devan mengajaknya mengobrol. Dua soda dalam kemasan kartoncup tampak berembun, airnya meleleh membasahi meja. “JAZZEY? Lo kenapa sama dia Sonn?”
13
“Well, he’s my captain. Semua member waterclub termasuk grup olahraga air lainnya salut sama dia, tapi...tapi gak tau deh sama gue.” jawab Sony dengan cuek sambil terus mengunyah burger dalam mulutnya. “Oh...” Devan hanya menggumam sendiri sambil melanjutkan menyantap kentang goreng yang terasa sedikit hambar karena tidak keburu disantap saat masih panas, tergantikan oleh obrolan keduanya. “Dia temen lo ya?” Tiba-tiba saja si Sony melanjutkan pertanyaannya bagaikan peluru yang melesat dari revolver membuat Devan berhenti mengunyah untuk sesaat, dari raut wajahnya dia nampak sedang berpikir namun kembali terdiam untuk sesaat lamanya sebelum akhirnya memberikan jawaban. “Ya...” “Kita memang temenan kok...dan sudah dari awal kita masuk EXULTATE JUNIOR HIGH, bahkan sebelum gue kenal sama lo, Recca, dan Ekle.” “Berarti jauh sebelum lo kenal sama orang kayak gue ini, elo udah jadi best friend-nya dia...” Sony mengunyah makanan sambil menunduk. Devan yang memperhatikan perubahan raut wajah Sony pun merasa sedikit tidak enak hati padanya.
14
“Sony.....” Devan meletakkan kelima jemari tangan kanannya di atas punggung telapak tangan Sony, keduanya saling bertatapan, Sony seperti disihir sadar olehnya. “Ngg..?” “Kenapa elo? Kok sensi amat sama Jazzey, elo agak tersinggung ya sama omongan gue tadi? Maaf ya Son, gue gak tau ada problem apa elo sama dia. Gue hanya bisa cerita kalau kita emang udah lama temenan.” Sony mengembangkan senyum tipis di bibirnya, ia juga sebenarnya merasa tidak enak hati pada Devan. Ia menelan makanan dalam mulutnya sebelum memberi jawab kepada Devan, “Nothing bro, gak masalah, gue juga gak tau dulunya elo temenan sama dia. Ahh...sudahlah aku anggap itu nostalgia saja ya...” Just something from the past gak perlu dibikin susah ya. Devan tersenyum mendengarnya, ia nampak lega dengan jawaban Sony. Walaupun sebetulnya Devan tahu betapa sulitnya berhubungan dengan orang yang statusnya hanya setingkat di bawah KingSchool, terutama kepada teman yang kurang masuk tipenya. Namun Devan yakin dalam hati kalau Jazzey juga memiliki hati yang baik, sama seperti semuanya. ***
15