Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia
MEREALISASIKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SECARA EFEKTIF Fauziah Zen
Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari Aktivitas ‘Kebijakan Ekonomi di Indonesia’ yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Kegiatan ini merupakan kontribusi pemikiran dari komunitas penelitian/riset, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah. Dalam kegiatan ini, CSIS bersama dengan ERIA mengundang 16 ahli ekonomi dari berbagai institusi penelitian terkemuka yang kompeten pada bidang keahlian yang spesifik, untuk berdiskusi mengenai tujuh permasalahan strategis ekonomi Indonesia (pembangunan infrastruktur, kebijakan daya saing, iklim investasi, kebijakan pangan, kebijakan sektor jasa, kebijakan fiskal, dan kebijakan perlindungan sosial), yang kemudian dikumpulkan dalam rangkaian ikhtisar kebijakan singkat (policy brief) untuk masing-masing topik. Diseminasi hasil temuan dan rekomendasi yang dihasilkan kegiatan ini dilakukan melalui berbagai jalur. Kegiatan ini berusaha untuk melibatkan pejabat pemerintah yang terkait melalui sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dan Audiensi dengan pengambil kebijakan strategis, yang terkait dengan masing-masing topik di atas. Sementara itu, diseminasi kepada publik secara luas juga dilakukan melalui sejumlah Seminar Publik mengenai masing-masing topik, serta melalui publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat dan sejumlah multimedia pendukung yang dapat diakses secara online melalui www.paradigmaekonomi.org.
1
DEFISIT INFRASTRUKTUR DAN BEBERAPA ISU UTAMA Pembangunan infrastruktur merupakan suatu persyaratan penting dalam pembangunan sosial-ekonomi. Infrastruktur diperlukan sebagai sarana penghubung, input, maupun output dari berbagai macam kegiatan sosialekonomi. Kondisi infrastruktur dan pembangunannya di Indonesia adalah suatu topik yang sangat sentral dan luas, terutama karena Indonesia mengalami defisit infrastruktur yang dirasakan semakin besar. Infrastruktur memerlukan pembiayaan yang besar dan uang negara tidak mencukupi semua kebutuhan infrastruktur, sehingga diskusi dan solusi yang dicari oleh pembuat kebijakan biasanya berpusat pada masalah pendanaan. Padahal dalam implementasinya, pendanaan konstruksi bukanlah satu-satunya faktor yang menjamin suatu proyek akan berjalan dan sukses. Policy notes ini berfokus pada tiga masalah utama dari berbagai masalah penting lainnya: 1. Peran swasta 2. Pendanaan 3. Penyediaan lahan
PERAN SWASTA Pemerintah menginginkan peran swasta yang lebih besar dalam pembangunan proyek infrastruktur. Diperkirakan APBN hanya mampu membiayai sekitar 20% dari total kebutuhan infrastruktur, sehingga memerlukan kontribusi yang signifikan dari BUMN dan swasta (PPP). Hal ini merupakan suatu praktik yang lazim dan dengan pengelolaan yang tepat, akan membawa manfaat melebihi dari sekedar mendapat sumber pembiayaan. Swasta dapat membawa inovasi dan efisiensi, karena itu adalah kompetensi utama mereka dalam bersaing. Berbagi peran dengan swasta juga akan memberikan ruang dan waktu yang lebih besar untuk pemerintah berkonsentrasi pada infrastruktur yang merupakan ranah publik murni. Perusahaan swasta sudah pasti mengejar laba, sehingga proyek infrastruktur yang tepat untuk dipegang oleh swasta adalah proyek yang menghasilkan laba dan proyek yang dengan skema dukungan pemerintah akan dapat menghasilkan laba. Partisipasi swasta juga dapat berupa konsesi manajemen untuk mengurangi beban sektor publik dan meningkatkan efisiensi layanan fasilitas infrastruktur tersebut. Di sini ada dua isu penting yang potensial menjadi penghambat. Pertama adalah pembagian risiko dan keuntungan antara pihak pemerintah dan swasta. Risiko seharusnya ditanggung oleh pihak yang berpotensi menyebabkan terjadinya risiko dan yang paling bisa menginternalisasi risiko tersebut. Contohnya risiko politik yang hanya bisa dipicu dan diselesaikan oleh pemerintah, misalnya jaminan tidak ada akuisisi selama masa konsesi, atau jaminan bahwa pemerintah tidak akan memberi peluang terjadinya persaingan yang tidak rasional yang bisa mematikan proyek yang sedang berjalan. Jika pemerintah tidak mau menanggung risiko yang tidak bisa ditanggung pihak swasta, maka tidak akan ada swasta yang mau berpartisipasi dalam proyek tersebut. Keramaian di media mengenai jaminan risiko yang diminta swasta pada Pemerintah dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung memberikan sinyal negatif pada investor, karena tampaknya pemerintah seperti ingin menggeser semua risiko ke pihak swasta.
2
Isu kedua adalah strategi untuk menarik partisipasi swasta. Penunjukan BUMN untuk membangun banyak proyek yang bagus memang memberikan suatu keuntungan bagi negara yaitu kecepatan pelaksanaan dan keuntungan yang kembali pada negara. Tetapi jika mayoritas proyek prospektif ditugaskan ke BUMN, maka proyek yang ditawarkan untuk swasta non BUMN hanyalah proyek kelas dua yang tidak terlalu menarik dan memerlukan banyak penyesuaian struktur dan skema untuk membuatnya feasible. Penugasan pada BUMN juga memerlukan dana negara yang lebih besar dan mendesak sektor swasta, padahal swasta juga perlu diberi ruang karena berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan menjaga iklim persaingan yang sehat.
KAPAN PROYEK PPP DAPAT MENARIK INVESTOR YANG SERIUS? Investor PPP sebenarnya tidak kekurangan dana untuk membangun proyek karena mereka mempunyai kompetensi dan mekanisme untuk mengumpulkan dana baik dari ekuitas maupun pinjaman. Tetapi kenapa investor tampak tidak terlalu tertarik untuk mengajukan proposal yang bagus untuk beberapa proyek PPP yang ditawarkan? Paling tidak ada tiga faktor penentu di sini: a. Jenis proyek yang ditawarkan memang kurang memenuhi unsur kelayakan finansial bagi swasta untuk menjalankannya. Jika mereka menawarkan proposal maka biaya atau harga jual jasa dianggap terlalu tinggi bagi pihak pemerintah. Biasanya proyek seperti ini mengandung risiko yang tinggi dan lebih cenderung ke proyek yang justifikasi sosialnya lebih tinggi dibanding justifikasi finansial – ekonomi (public goods). Ini yang berkaitan dengan dilema ketika pemerintah memberikan mandat beserta suntikan dana ke BUMN secara masif untuk menjalankan berbagai proyek yang menarik, dan yang ditawarkan ke swasta kebanyakan merupakan proyek “sisa”. b. Proyek yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik, sehingga gagal memberi sinyal kepada investor mengenai potensi keuntungannya. Untuk mendapatkan estimasi yang cukup baik mengenai potensi keuntungan, potensi risiko, dan biaya, investor harus mengeluarkan dana dan waktu yang tidak sedikit. c. Tawaran proyek tidak memberikan kepastian dalam hal: (i) komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan proyek tersebut, dan (ii) waktu penawaran/lelang dari semua proyek yang direncanakan dalam suatu periode (misal dalam 2-3 tahun mendatang). Waktu pembukaan penawaran ini penting untuk diketahui para calon investor di awal karena untuk mengikuti lelang memerlukan usaha, sumber daya, dan dana yang tidak sedikit sehingga mereka tidak mungkin berpartisipasi di setiap penawaran. Penawaran dengan jadwal yang jelas dan diketahui lebih awal akan membantu calon investor untuk berkonsentrasi pada proyek yang paling diminati dan mempersiapkan penawaran dengan lebih baik.
PENDANAAN: BUKAN SEKEDAR MEMBANGUN PROYEK TETAPI PROYEK YANG SINAMBUNG Pendanaan proyek terdiri dari dua tahap utama: (i) biaya konstruksi (financing), dan (ii) biaya operasi dan pemeliharaan (OM/funding). Pada PPP,
3
kedua jenis pembiayaan ini mempunyai skema yang berbeda tetapi sangat berkaitan dan saling mempengaruhi. Contohnya ketika pemerintah menolak memberikan subsidi biaya tiket kereta MRT Jakarta, maka alternatif lainnya adalah berpartisipasi dalam biaya konstruksi melalui Vialibility Gap Funding (VGF). Dengan menurunkan biaya konstruksi yang ditanggung swasta, maka pada tahap operasional, tiket kereta bisa dijual dengan harga terjangkau tanpa subsidi. Jika pemerintah tidak mau mensubsidi harga tiket dan tidak mau memberikan VGF, maka operator tidak akan bisa menjual tiket pada harga yang diminta pemerintah. Perpres 38/2015 memberikan beberapa pendekatan yang lebih progresif, tetapi masih mempunyai beberapa ketidakjelasan, terutama: a) proses menentukan skema procurement. Proyek KPBU ditentukan oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) berdasarkan kesesuaian dengan perencanaan dan analisis Value for Money (VfM). Tetapi tidak ada kewajiban membuat perbandingan antara skema tradisional versus skema KPBU, misalnya dengan metode Public Sector Comparator (PSC) atau metode lainnya. Hal ini tidak menjamin bahwa skema KPBU adalah skema yang terbaik untuk proyek yang diajukan dibanding skema lainnya; b) BUMN/BUMD dapat bertindak sebagai PJPK (Sektor Publik), juga sebagai Badan Usaha (Sektor Swasta), hal ini bisa menimbulkan kerancuan jika tidak segera diatur di peraturan penyertanya; c) aspek institusi belum diselesaikan secara tegas: bagaimana peran KPPI, apakah akan ada semacam PPP Center, bagaimana PPP Center yang sekarang di bawah Eselon 2 Kemenkeu dan juga di Bappenas, serta bagaimana pelaksanaannya di daerah. Dana konstruksi merupakan kombinasi ekuitas, pinjaman, dan sponsor. Sedangkan dana OM dapat berupa kombinasi user fees, subsidi, dan konsesi bisnis penyerta. Di banyak negara semisal di Jepang, operator kereta api mendapat konsesi pengelolaan lahan komersial di beberapa stasiun untuk menutup biaya OM kereta yang biasanya tidak bisa ditutup dari penjualan tiket saja. Variabel penentu pilihan skema financing dan funding sangat dipengaruhi berbagai faktor unik dari jenis proyek, tetapi ada rule of thumb yang berlaku: a. Keselarasan antara nilai manfaat proyek dan penerima manfaat dengan dukungan fiskal yang diberikan. b. Menghindari ledakan beban kewajiban masa depan akibat keputusan saat ini yang timbul dari keputusan mengenai utang, penjaminan, dan subsidi. c. Kesesuaian antara jenis barang (publik, semi publik, atau barang privat) dengan pilihan skema financing dan funding. d. Estimasi spillover/eksternalitas baik yang positif dan negatif dan skema untuk menginternalisasi/mengkompensasinya. Dalam realita, keputusan berdasarkan pertimbangan politik tidak dapat dihindari seratus persen; hanya yang perlu diperhatikan adalah ruang untuk ini selayaknya tidak mendesak ruang keputusan yang berdasarkan pertimbangan manfaat sosio-ekonomi dan tujuan pembangunan nasional. Affirmative action tetap dapat mempunyai landasan pertimbangan manfaat sosio-ekonomi yang rasional.
4
PENYEDIAAN LAHAN Pembebasan lahan merupakan masalah yang berulang dan berlarut-larut dalam mayoritas proyek infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek tertunda sampai bertahun-tahun hanya karena masalah ini. Hal ini tentu meningkatkan biaya proyek karena dengan berjalannya waktu akan ada kenaikan harga barang konstruksi/input, gangguan supply, pembayaran overhead perusahaan tanpa melakukan kegiatan produktif seperti yang direncanakan, serta kemungkinan teknologi yang akan dipakai menjadi kuno/tertinggal karena penundaan yang berkepanjangan. Semua akan mempengaruhi kelayakan harga jual servis/ produk dan perhitungan rencana bisnis secara keseluruhan. Singkatnya project overrun sangat mungkin akan menambah biaya total dan akibatnya akan meningkatkan harga jual produk/servis. Sekarang Perpres 28/2015 memberikan tanggung jawab penyediaan lahan ke PJPK (pemerintah) yang merupakan suatu kemajuan penting. Yang menjadi tantangan kemudian adalah eksekusi, apakah bisa dilakukan secara relatif cepat dan efisien, mengingat proyek pemerintah selama ini pun masih terkendala di pembebasan lahan. Sebagai perbandingan, di Malaysia misalnya, pembebasan lahan untuk kepentingan publik hanya bisa diprotes masalah teknisnya saja (misal penentuan lokasi atau taksiran luas lahan dan properti) oleh pemilik untuk satu kali peninjauan melalui keputusan pengadilan dan jangka waktu maksimum pembebasan lahan adalah 1.5 tahun. Pemilik tanah tidak bisa menolak menjual tanahnya jika diminta oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Harga pasar tanah dilihat dari harga di daerah tersebut atau harga historikal. Hal ini menghindari jebakan spekulan yang membuat harga tanah melambung jauh di atas harga yang wajar pada saat awal pengumuman rencana pembelian lahan untuk proyek tersebut. Pembebasan lahan ini adalah problem yang besar terutama bagi proyek PPP, karena penundaan konstruksi akan menurunkan keunggulan skema tersebut dan meningkatkan biaya total.
REKOMENDASI 1. Pembagian proyek infrastruktur untuk dilakukan oleh BUMN dan ditenderkan untuk swasta memperhatikan aspek: porsi yang rasional antara BUMN dan swasta, dorongan untuk BUMN berkompetisi secara fair di pasar, kebutuhan teknologi/inovasi baru, serta variasi/keunikan sektor dan wilayah. 2. Membuat sistem institusi yang efektif, efisien, dan simpel dalam pelaksanaan KPBU, membuat standar penerapan VfM untuk membandingkan opsi skema KPBU versus lainnya, dan aturan main jika BUMN/BUMD bertindak sebagai Badan Usaha dalam proyek KPBU. 3. Mempersiapkan penawaran proyek dengan serius. Untuk ini diperlukan dana reguler (PDF = Project Development Facility) yang digunakan untuk melakukan kegiatan persiapan sampai menghasilkan dokumen proyek yang memenuhi standar internasional dan memberi argumen yang kuat mengenai skema yang diinginkan pemerintah. Dengan demikian pemerintah mempunyai pegangan kuat dalam proses negosiasi dengan swasta mengenai skema, harga, dukungan fiskal, dan sebagainya. 4. Pemerintah harus menjadi pemimpin dalam mengeksekusi proyek berskema PPP, karena pemerintah harus bisa berhitung dan menentukan jenis dan
5
besaran dukungan (fiskal dan non-fiskal), serta risiko (terutama politik dan regulasi) yang optimal untuk menjamin agar peran publik vs. swasta berjalan seimbang. 5. Membuat terobosan yang signifikan untuk mengatasi persoalan pembebasan lahan yang berlarut-larut, melalui: pembatasan jumlah dan waktu pengajuan tuntutan hukum atas penetapan kompensasi dari pemerintah (usul: maksimal 1,5 tahun sejak penetapan harga ganti rugi disetujui pemerintah), memberikan acuan harga pasar yang logis dan tidak mengikuti skema spekulan (usul: berdasarkan harga historis sampai dengan dua tahun sebelum penetapan proyek, dengan harga dua tahun terakhir diestimasi berdasar acuan inflasi dan kenaikan harga properti terdekat yang tidak masuk proyek), serta menentukan persentase tambahan dari nilai properti sebagai kompensasi non-material (misal 15% dari harga tanah) sebagai jalan tengah tuntutan tinggi pemilik lahan dan nilai pasar lahan tersebut.
6