BAB 33
PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Selama ini pembangunan infrastruktur menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelnjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah pentingnya untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari Sabang sampai Merauke serta Sangir Talaud ke Rote merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antarkawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi wilayah, serta ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya.. Di sisi lain, kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur yang meliputi transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumberdaya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan, mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya. Berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru dapat menghambat laju pembangunan nasional. Rehabilitasi dan pembangunan kembali berbagai infrastruktur yang rusak, serta peningkatan kapasitas dan fasilitas baru akan menyerap biaya yang sangat besar sehingga tidak dapat dipikul oleh pemerintah sendiri. Untuk itu, mencari solusi inovatif guna menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan masalah yang mendesak untuk diselelesaikan. Di bidang infrastruktur masih banyak kegiatan non cost recovery yang menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, antara lain sub sektor jalan, fasilitas keselamatan transportasi, sumber daya air, fasilitas persampahan dan sanitasi. Pada kegiatan lain peran pemerintah melalui peneyertaan modal negara kepada BUMN terkait yang bergerak di infrastruktur antara lain: jalan tol, pelabuhan, bandara, air minum, perumahan, pos, listrik, dan telekomunikasi, yang belum sepenuhnya sistem tarif yang berlaku menarik bagi investor swasta. Kegiatan-kegiatan ini terutama yang berkaitan dengan public service obligation/PSO. Di sisi lain telah pula terdapat kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh swasta, seperti pembangkit listrik, telekomunikasi di daerah perkotaan, pelabuhan peti kemas, bandara internasional dan bandara pada lokasi tujuan wisata, jalan tol pada ruas-ruas yang memiliki kondisi lalu lintas yang tinggi. Bagian IV.33 – 1
Berkaitan dengan masalah tersebut di atas pada 5 tahun kedepan perlu dipertegas penanganan kegiatan pemeliharaan/rehabilitasi, dan pembangunan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan PSO tentunya menjadi kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaannya tentunya akan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan oleh pemerintah. Untuk ini perlu adanya sinkronisasi penanganan program melalui APBN dan APBD. Sedang kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh BUMN terkait perlu diupayakan optimalisasi penggunaan sumber dana perusahaan. Apabila terkait dengan kegiatan yang menyangkut hajat hidup masyarakat yang harus mendapat perlindungan dari pemerintah, atau dengan kata lain untuk menghindari penguasaan usaha sepenuhnya oleh swasta, maka pola penyertaan modal negara terhadap BUMN terkait perlu diupayakan seeffisien mungkin. Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta perlu diperjelas peraturan perundang-undangan yang terkait, terutama menyangkut garansi dan sisten tarif. Berkaitan dengan keikutsertaan swasta membangun infrastruktur perlu diperjelas kewenangan masing-masing investor swasta dengan BUMN terkait, hindarkan bahwa BUMN memilki hak monopoli untuk berusaha pada bidangnya.
II. TRANSPORTASI Pembangunan sektor transportasi merupakan bagian yang amat penting dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan transportasi adalah meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau dan mewujudkan sistem transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayahnya dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa-kota yang memadai. Kendala yang dihadapi sektor transportasi meliputi aspek kelembagaan dan peraturan, sumber daya manusia, teknologi, pendanaan investasi, kapasitas, serta operasi dan pemeliharaan. Pada aspek kelembagaan dan peraturan masih banyak terjadi ketidakefisienan pengelolaan dan pembinaan infrastruktur yang diakibatkan kurang efektifnya koordinasi dan pembagian peran dan fungsi antar lembaga, terutama dalam hal ketidakjelasan hubungan antar regulator, owner dan operator. Dari aspek pendanaan akibat karakteristik infrastruktur transportasi yang membutuhkan biaya investasi yang besar dan jangka waktu pengembalian yang panjang, sedang sebagian besar tarip tidak dapat mencapai tingkat full cost recovery secara finansial, serta masih banyaknya penyelenggaraan infrastruktur transportasi yang dilakukan secara monopoli, sehingga peran pemerintah sebagi regulator masih sangat diperlukan.
2.1 PRASARANA JALAN Prasarana jaringan jalan masih merupakan kebutuhan pokok bagi pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri. Selain itu terutama di era desentralisasi, jaringan jalan juga merupakan perekat keutuhan bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya, Bagian IV.33 – 2
ekonomi, politik, dan keamanan. Sehingga keberadaan sistem jaringan jalan yang menjangkau seluruh wilayah tanah air merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi. 2.1.1 PERMASALAHAN PRASARANA JALAN A.
KONDISI JARINGAN JALAN SAAT INI
Kondisi kinerja prasarana jalan sampai akhir tahun 2002, umumnya masih rendah, diantaranya dari total panjang jalan 330.495 kilometer, kondisi jalan yang rusak mencapai 11,7 persen jalan nasional, 34,6 persen jalan propinsi, 48,0 persen jalan kabupaten, dan 4,0 persen jalan kota. Kondisi sistem jaringan jalan pada tahun 2002 baik jalan nasional, provinsi, kabupaten maupun kota mencapai 60 persen dari panjang jalan yang ada dalam kondisi baik dan sedang.
Bagian IV.33 – 3
Tabel 1. Kerusakan Jaringan Jalan Nasional (2002) Kondisi Jalan (Persen) Panjang Jenis Jalan Rusak Rusak (km) Baik Sedang Ringan Berat 4,8 6,9 24,0 26.866 64,3 Jalan Nasional 16,9 16,9 32,1 37.164 34,1 Jalan Propinsi 18,5 28,5 34,0 240.946 19,0 Jalan Kabupaten 0,0 4,0 87,0 9.0 25.518 Jalan Kota Total 330.495 23,6 37,1 23,6 15,8 Sumber: Ditjen Praswil (2002)
Namun demikian, dari seluruh sistem jaringan jalan, kondisi jalan provinsi dan kabupaten masih belum menunjukkan perbaikan tingkat kinerjanya. Sedangkan untuk jalan nasional dan kota mengalami peningkatan yang cukup berarti yang mengarah kepada pelayanan yang optimal terhadap distribusi arus penumpang dan barang. Kondisi sedang merupakan prosentase terbesar dari kondisi sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini disebabkan sebagian besar panjang jalan kabupaten dan propinsi berada pada kondisi sedang yang mengarah pada kondisi rusak ringan. Perkembangan kondisi jalan nasional sejak tahun 1997 sampai dengan 2003 lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi jalan propinsi dan jalan kabupaten. Kondisi baik dan sedang jalan nasional secara umum mengalami peningkatan dari 74,5 persen pada tahun 1997 menjadi 85 persen sampai tahun 2003. Gambar 1. Kondisi Jalan Nasional 1997-2003 100% 9.3%
6.8%
90% 80%
16.2%
16.4%
4.8% 15.7%
5.1%
10.1%
8.8%
2.4% 16.9%
Gambar 2. Kondisi Jalan Propinsi 1997-2003
5.2% 5.3%
4.68% 5.85%
21.6%
25.40%
100% 15.5%
16.9%
23.7%
22.7%
80%
28.7%
70%
20.2%
90%
19.3%
70%
15.2%
21.0%
17.5% 14.5%
15.8%
16.87%
18.7%
17.26%
Prosentase
Prosentase
29.0% 60% 50%
42.8%
52.5%
40% 70.5% 30% 50.5%
67.9%
64.07%
57.4%
60% 50%
30.3%
32.4%
33.84%
34.9%
34.3%
33.1%
32.03%
2000 R. Ringan
2001
45.6%
30% 20%
20% 31.7% 24.3%
10%
32.4% 30.1%
36.6%
40%
30.3%
23.9%
10%
15.3%
0%
0%
1997
Baik
1998
1999
Sedang
2000
2001
2002
1997 Baik
2003
R. Berat
R. Ringan
Sumber: Ditjen Praswil
1998 1999 Sedang
Sumber: Ditjen Praswil Gambar 3. Kondisi Jalan Kabupaten 1998- 2003 100% 90%
15%
15%
16%
17%
19%
16%
26%
30%
28%
29%
28%
31%
35%
34%
34%
34%
32%
20%
22%
21%
19%
20%
1999
2000
2001
2002
2003
80%
Prosentase
70% 60% 50% 40%
36%
30% 20% 10%
23%
0% 1998 Baik
Sedang
Rusak Ringan
Bagian IV.33 – 4
Rusak Berat
2002 R. Berat
2003
Sumber: Ditjen Praswil
Sedangkan kondisi baik dan sedang jalan propinsi terus mengalami peningkatan dari 60,5 persen pada tahun 1997, menjadi sekitar 65 persen mulai tahun 2001-2003. Di lain pihak, kondisi baik dan sedang jalan kabupaten sejak tahun 1997 tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dan bahkan terus mengalami penurunan dari 56 persen pada tahun 2000 menjadi 53 persen pada tahun 2003. Sementara itu kerusakan jalan kabupaten terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Studi yang dilakukan pada tahun 2000 oleh Bapekin Kimpraswil (Dep. PU) mengindikasikan kebutuhan dana sekitar Rp6-8 triliun per tahun untuk merehabilitasi kerusakan jalan sampai dengan kondisi sebelum krisis. Karena dana tersebut tidak pernah direalisasikan, terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kemantapan kondisi jalan nasional. B.
KINERJA PRASARANA JALAN DALAM MENDUKUNG PENGGUNA JALAN.
Kinerja prasarana jalan pada tahun 2002, yang didasarkan atas kecepatan yang mampu dicapai kendaraan, secara rata-rata kondisi permukaan jalan nasional dan propinsi cukup memadai dengan tingkatan kecepatan laju kendaraan mendekati kecepatan rata-rata rencana (design speed). Namun demikian, kondisi kecepatan untuk jalan nasional di Pulau Jawa masih lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Jalan lintas yang cukup padat adalah lintas Pantura yang mempunyai kecepatan rata-rata adalah 54,10 km per jam. Berdasarkan hasil survey tahun 2003, V/C ratio di Jawa ≥ 0.6 sudah mencapai 890 Km terutama pantai utara Jawa (Banten, Jabar dan Jateng) dan jalur tengah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Sementara itu, studi Java Arterial Road Network (JARN) tahun 2001 menyatakan bahwa jaringan jalan arteri di Pulau Jawa tahun 2000 yang bebas dari kemacetan adalah sekitar 52 persen dan memproyeksikan pada tahun 2010 yang bebas dari kemacetan hanya tinggal 7 persen. C.
IMPLIKASI KINERJA PRASARANA JALAN SAAT INI
Tingkat kerusakan jalan akibat over loading dan sistem penanganan yang belum memadai, berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi suatu jalan. Hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya alokasi untuk jalan yang lain sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan, yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transport pada proses distribusi barang semakin bertambah. Kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan terjadinya kemacetan masif (bottlenecks) di berbagai ruas jalan yang merupakan lintas ekonomi serta telah meningkatkan secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan. Prediksi tahun 2000: road user costs selama setahun mencapai sekitar Rp200 triliun (SEPM-IRMS). Sedangkan menurut data hasil IRMS tahun 2002, road user costs untuk pengguna jalan nasional dan propinsi adalah sebesar Rp1,546 triliun per hari. Biaya yang dikeluarkan cukup besar adalah untuk penggunan jalan di Pulau Jawa yaitu sebesar Rp721,93 miliar. RUC untuk per pulau dan jalan lintas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Bagian IV.33 – 5
Tabel 2. Road User Cost pada seluruh Jaringan Jalan (Nasional, Propinsi, dan Non Status) per hari Klasifikasi I 1. 2. 3. 4. II 1. 2. 3. 4.
VOC Rp. Milyar
Seluruh Jaringan Jalan P. Sumatera P. Jawa P. Lainnya Total Indonesia Khusus Lintas Per Pulau P. Sumatera P. Jawa P. Lainnya Total Indonesia
T-Time Cost Rp. Milyar
RUC Rp. Milyar
424,72 641,09 312,16 1.377,96
53,82 80,84 33,67 168,33
478,54 721,93 345,82 1.546,28
204,33 240,36 156,37 601,06
29,32 33,86 18,16 81,34
233,65 274,21 174,53 682,39
Apabila hal ini terus berlanjut dan tidak segera diatasi, diperkirakan dapat mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Mempertimbangkan kondisi di atas, rencana pembangunan jalan tol harus segera diwujudkan. Jalan tol merupakan satu kesatuan dengan jaringan jalan non tol, dan dapat berfungsi baik jalan alternatif maupun bukan alternatif. Jalan tol ditujukan terutama untuk mempertahankan tingkat pelayanan level of service, mengurangi inefisiensi akibat kemacetan pada ruas jalan utama, serta untuk meningkatkan pelayanan jasa distribusi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. D.
PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN PENANGANAN JALAN
Pembiayaan prasarana jalan nasional melalui APBN baik yang bersumber dari Rupiah Murni (RM) maupun Pinjaman Luar Negeri (PLN) sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 total pendanaan untuk program rehabilitasi/pemeliharaan dan peningkatan/pembangunan prasarana jalan adalah sekitar Rp2.510 miliar, terus meningkat tajam mencapai Rp4.151 miliar pada tahun 2002, Rp4.585 miliar tahun 2003, dan Rp5.906 miliar tahun 2004. Namun demikian, ketergantungan porsi pendanaan yang bersumber dari PLN pada tahun 2004 hanya 12,8 persen dari total pendanaan apabila dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai porsi sekitar 28,1 persen.
Bagian IV.33 – 6
Gambar 4: Perkembangan Pembiayaan Jalan 6 5
Rp. Triliun
4 3 2 1 Tahun-
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Rp. Murni 1.531.2 1.622.7 1.678.3 1.652.8 1.395.4 1.032.0 377.21 672.78 1.102.5 1.533.4 3.297.0 5.149.5 BLN
436.62 535.77 475.66 742.19 679.55 1.540.6 1.828.0 1.275.3 1.408.0 2.618.0 1.288.4 757.45
Total
1.967.8 2.158.5 2.154.0 2.395.0 2.075.0 2.572.7 2.205.2 1.948.1 2.510.6 4.151.4 4.585.5 5.906.9
Sumber: Ditjen Praswil
Sumber pembiayaan prasarana jalan diperoleh dari dana RM dan PLN bilateral maupun multilateral. Sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 4, total anggaran jalan meningkat secara konsisten dari hanya sekitar Rp1,97 triliun pada tahun anggaran 1993/94 menjadi lebih dari Rp3,94 triliun di tahun 2002, Rp4,6 triliun pada tahun 2003, dan Rp5,9 triliun pada tahun 2004. Terlihat terjadi perubahan komposisi pendanaan antara yang berasal dari RM dan PLN yang cukup drastis dan fluktuatif. Sebelum tahun 1998/1999, sumber pendanaan prasarana jalan bertumpu pada sumber dalam negeri yang secara tidak langsung memperlihatkan kemampuan kemandirian pembiayaan jalan. Setelah krisis ekonomi moneter sampai dengan tahun 2002, terjadi perubahan komposisi pembiayaan jalan, dimana peran PLN menjadi dominan dan bahkan saat ini dimana kondisi keuangan pemerintah sangat lemah, menjadi tumpuan utama pendanaan prasarana jalan disamping rupiah murni. Namun mulia tahun 2003, komposisi sumber pendanaan APBN untuk prasarana jalan terlihat mulai kembali seperti sebelum krisis ekonomi. E.
KEMAMPUAN PEMBIAYAAN
Secara umum, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara visual Gambar 5 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dimulai pada tahun 1990/91 dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 1998/99 saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Namun demikian, peningkatan tersebut belum menunjukkan peningkatan kemampuan pemenuhan dana untuk pemeliharaan atau pembangunan prasarana jalan yang ada. Hal ini dapat ditunjukkan pada harga konstan tahun 1979/80, yaitu kemampuan pembiayaan dengan adanya inflasi yang cukup beragam dari tahun ke tahun, kemampuan pembiayaan (purchasing power) dari tahun ke tahun relatif sama, bahkan kemampuan tersebut mengalami penurunan sejak tahun 1998/99. Kemampuan tersebut mengalami kenaikan mulai tahun 2002, walaupun masih di bawah rata-rata tahun-tahun sebelum krisis ekonomi.
Bagian IV.33 – 7
Gambar 5: Perkembangan Pembiayaan Jalan 6.0
5.0
Rp. Triliun
4.0
3.0
2.0
1.0
2004
2003
2002
2001
2000
1999/00
1998/99
1997/98
1996/97
1995/96
1994/95
1993/94
1992/93
1991/92
1990/91
1989/90
1988/89
1987/88
1986/87
1985/86
1984/85
1983/84
1982/83
1981/82
1980/81
1979/80
-
Tahun Pembiayaan Prasarana Jalan
Harga Konstan Tahun 1979/80
Sumber: Ditjen Praswil
Mekanisme pendanaan dan penanganan jalan tol, nasional, propinsi, kabupaten, kota, dan desa belum jelas sejak diberlakukannya otonomi daerah. Terkait juga mencari alternatif sumber pembiayaan jalan diluar APBN maupun APBD, karena APBN (DIP/DAU/DAK), APBD propinsi/kabupaten/kota, maupun pinjaman lunak (soft loan) tidak dapat membiayai sepenuhnya pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan. Sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang belum membentuk suatu jaringan transportasi intermoda yang terpadu bahkan masih mengacu kepada batasbatas administrasi wilayah. Oleh karena itu, upaya teroboson untuk memperoleh alternatif lain sumber pendanaan jalan sangat diperlukan. 2.1.2 SASARAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN Sasaran umum pembangunan subsektor prasarana jalan adalah meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat serta meningkatkan aksesibilitas wilayah melalui dukungan pelayanan prasarana jalan untuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan khususnya pada koridor-korodor utama di masing-masing pulau, wilayah KAPET, wilayah perbatasan, terpencil, maupun pulau-pulau kecil. 2.1.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN a. Mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan jalan dengan kebijakan tata ruang wilayah nasional yang merupakan acuan pengembangan wilayah dan meningkatkan keterpaduannya dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam b. konteks pelayanan intermoda dan SISTRANAS yang menjamin efisiensi pelayanan transportasi. c. Pengembangan sistem jaringan prasarana jalan berbasis pulau (Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). d. Mempertahankan kinerja pelayanan prasarana jalan yang telah terbangun dengan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana jalan melalui pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan teknologi jalan.
Bagian IV.33 – 8
e. Menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi dan SDM bidang penyelenggaraan prasarana jalan. f. Mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaran dan penyediaan prasarana jalan. 2.1.4 PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN Untuk mewujudkan sasaran tersebut di atas, maka akan dilaksanakan beberapa program yang akan dibiayai dana pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dan BUMN upaya melalui program-program utama sebagai berikut: a. Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan mencakup kegiatankegiatan rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala sistem jaringan jalan nasional terutama pada ruas-ruas yang merupakan jalur utama perekonomian dan memiliki prioritas tinggi yaitu: Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan nasional sekitar 151.267 km; Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan propinsi 180.291 km; Rehabilitasi/pemeliharaan rutin dan berkala jalan kabupaten/kota sepanjang 721.696 km. b. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan sistem jaringan jalan nasional baik jalan non tol dan jalan tol mencakup kegiatan-kegiatan utama antara lain: Peningkatan/pembangunan jalan arteri primer sepanjang 33.538 km dan 88.950 m jembatan yang merupakan jalur utama perekonomian seperti lintas utara Jawa, lintas Selatan Jawa, Lintas Tengah Jawa, Lintas Timur Sumatera, Lintas Tengah Sumatera, Lintas Barat Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan, Lintas Tengah Kalimantan, Lintas Utara Kalimantan, Lintas Barat Sulawesi, Lintas Timur Sulawesi, dan Lintas Tengah Sulawesi., serta ruas-ruas strategis penghubung lintas-lintas tersebut. Peningkatan/pembangunan jalan-jalan arteri primer dan strategis di kawasan perkotaan terutama untuk mengurangi kemacetan pada persimpangan ataupun perlintasan dengan moda KA melalui penyelesaian pembangunan beberapa fly-over di wilayah Jabodetabek yang berlokasi antara lain di Persimpangan Jl. Pramuka, Jl. Tanjung Barat, Jl. Raya Bogor, dan Bekasi serta persiapan pembangunan fly-over di beberapa kota di jalur utama Pantai Utara Jawa antara lain berlokasi di Merak, Balaraja, Nagrek, Gebang, Tanggulangin, Peterongan, Palimanan, dan Mangkang Penanganan jalan sepanjang 300 km jalan pada daerah perbatasan dengan negara tetangga seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Penanganan jalan sepanjang 200 km untuk kawasan terisolir seperti Lintas Barat Sumatera, Lintas Timur Sulawesi, Lintas Flores, Lintas Seram, Lintas Halmahera, dan ruas-ruas strategis di Papua, wilayah KAPET, serta akses ke kawasan pedesaan, kawasan terisolir termasuk pulau kecil, dan pesisir sepanjang seperti seperti Simelue, Nias, Alor, Wetar, dll Peningkatan/pembangunan jaringan jalan propinsi sepanjang 2.390 km dan jalan kabupaten sepanjang 81.742 km Bagian IV.33 – 9
Pengembangan/Pembangunan 1.593 km jalan tol untuk pendukung jalan arteri mencakup kegiatan-kegiatan: - Pembangunan jalan tol di wilayah Jabodetabek sepanjang 257,5 Km, antara lain penyelesaian Jakarta Outer Ring Road (JORR) Section W1, W2, E1, E2, dan E3; akses ke Pelabuhan Tanjung Priok; pembangunan tahap awal Jakarta Outer Outer Ring Road (JOOR); Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu; Bogor Ring Road, dll. - Penyelesaian pembangunan jembatan antar pulau Surabaya-Madura yang mencapai panjang 5,4 km dan ruas tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang sepanjang 40 km. - Pembangunan hi-grade road/Toll Trans Java dan beberapa ruas di Sumatera dan Sulawesi yang mencapai 1.290 km. - Penyusunan peraturan perundangan, pembinaan pengelolaan, perencanaan, serta pengawasan teknis jalan dan jembatan; - Pelaksanaan kajian dan persiapan pembangunan hi-grade road/Toll Trans Java dan Sumatera.
2.2. TRANSPORTASI DARAT 2.2.1 LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN Transportasi jalan merupakan moda transportasi utama yang berperan penting dalam pendukung pembangunan nasional serta mempunyai kontribusi terbesar dalam pangsa angkutan dibandingkan moda lain. Oleh karena itu, visi transportasi jalan adalah sebagai penunjang, penggerak dan pendorong pembangunan nasional serta berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Misi transportasi jalan adalah untuk mewujudkan sistem transportasi jalan yang andal, berkemampuan tinggi dalam pembangunan serta meningkatkan mobilitas manusia dan barang, guna mendukung pengembangan wilayah untuk mewujudkan wawasan nusantara. Dalam melaksanakan visi dan misi tersebut, maka sasaran pembangunan transportasi jalan terutama adalah untuk menciptakan penyelenggaraan transportasi yang efisien dan efektif. Efektivitas pelayanan jasa transportasi jalan dapat diukur melalui: (1) tersedianya kapasitas dan prasarana transportasi jalan yang sesuai dengan perkembangan permintaan/kebutuhan; (2) tercapainya keterpaduan antar dan intramoda transportasi jalan dalam jaringan prasarana dan pelayanan; (3) tercapainya ketertiban yaitu penyelenggaran sistem transportasi yang sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat; (4) tercapainya ketepatan dan keteraturan yaitu sesuai dengan jadwal dan adanya kepastian pelayanan; (5) aman atau terhindar dari ganguan alam maupun manusia; (6) tercapainya tingkat kecepatan pelayanan yang diinginkan atau waktu perjalanan yang singkat tetapi dengan tingkat keselamatan tinggi; (7) tercapainya tingkat keselamatan atau terhindar dari berbagai kecelakaan; (8) terwujudnya kenyamanan atau ketenangan dan kenikmatan pengguna jasa; dan (9) tercapainya penyediaan jasa sesuai dengan kemampuan daya beli penguna jasa dan tarif/biaya yang wajar. Sedangkan efisiensi pelayanan biasanya diukur melalui perbandingan penggunaan beban publik rendah dengan utilitas yang cukup tinggi di dalam penyelenggaran kesatuan jaringan transportasi jalan.
Bagian IV.33 – 10
1) PERMASALAHAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Ketidakcukupan kapasitas jalan, terutama dilihat dari perkembangan kapasitas prasarana jalan, dibandingkan dengan perkembangan armada di jalan; selain itu kondisi prasarana jalan yang rata-rata semakin menurun pelayanannya (optimasi kapasitas jalan yang masih rendah, terutama masih banyaknya daerah rawan kemacetan akibat penggunaan badan dan daerah milik jalan untuk kegiatan sosial ekonomi, pasar, parkir, dsb, serta sistem manajemen lalu lintas yang belum optimal). b. Rendahnya kondisi prasarana akibat kerusakan di jalan, serta banyaknya pungutan dan retribusi di jalan, yang membuat biaya angkut di jalan belum efisien; Tabel 3: Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor 1998-2002 Jenis Kendaraan Mobil Penumpang Mobil Beban Mobil Bus Sepeda Motor TOTAL
1998 2.772.531 1.592.572 627.696 12.651.813 17.644.612
1999 2.897.803 1.628.561 644.667 13.053.148 18.224.179
2000 3.038.913 1.707.134 666.280 13.563.017 18.975.344
2001 3.261.807 1.759.747 687.570 15.492.148 21.201.272
2002 3.862.579 2.015.347 731.990 18.061.414 24.671.330
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Armada Lalu Lintas Angkutan Jalan Tahun 1998-2002
Gambar 7. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 1971-2002
20,0
60.000
18,0
50.000
16,0
Juta Unit
14,0
40.000
12,0
30.000
10,0 8,0
20.000
6,0
10.000
4,0 2,0 1998 Mobil Penumpang
1999 Bis
2000 Truk
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
2001
2002
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
-
-
Kejadian
Sepeda Motor
Meninggal
Luka Berat
Luka Ringan
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
c. Tingginya jumlah kecelakaan: disiplin pengguna jalan, rendahnya tingkat kelaikan armada; rambu dan fasilitas keselamatan di jalan; law-enforcement dan pendidikan ber-lalu lintas. d. Persaingan antarmoda meningkat, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi dalam sistem transportasi jalan; e. Banyaknya kasus pelanggaran muatan di jalan mengakibatkan kerugian ekonomi: Pengawasan melalui jembatan timbang tidak optimal karena keterbatasan fisik/peralatan, SDM dan sistem manajemen; Dalam era otonomi daerah terdapat pergeseran fungsi jembatan timbang yang cenderung untuk menambah PAD bukan sebagai alat pengawasan muatan lebih; Terdapat 5.000 km jalan (di pulau Jawa dan Sumatera) yang rata-rata berkurang 50 persen umur rencananya; Bagian IV.33 – 11
Berdasarkan pengamatan survai terakhir di Sumatera bagian utara, sepanjang 1.360 km terdapat 30–40 persen kendaraan yang melanggar muatan lebih melampaui 100 persen, yang pada umumnya dari perusahaan kayu/kayu lapis, pulp, semen, kelapa sawit dan batu bara. Jumlah pelanggaran lalu lintas di jalan meningkat. Pelanggaran lalu lintas dibedakan menjadi pelanggaran batas muatan, perlengkapan kendaraan, kelengkapan surat, dan pelanggaran rambu jalan. Masalah disiplin berlalu lintas merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tabel 4. Jumlah Pelanggaran Lalu Lintas Tahun 1998-2002
Jenis Pelangaran
1998 Jumlah
1999 Jumlah
2000 Jumlah
2001 %
Jumlah
2002 %
Jumlah
%
persen persen Kelebihan Muatan 107.005 8,9 87.535 10,2 103.854 7,1 124.966 7,0 150.693 6,9 Batas Kecepatan 52.457 4,4 40.009 4,7 18.672 1,3 30.426 1,7 35.590 1,6 Marka/Rambu 311.962 25,9 24.882 2,9 404.601 27,7 395.984 22,2 458.881 20,9 Surat-surat 350.196 29,1 376.143 44,0 455.905 31,2 724.412 40,7 889.268 40,5 Perlengkapan 241.321 20,1 190.906 22,3 270.654 18,5 377.710 21,2 417.158 19,0 Lain-lain 140.016 11,6 135.272 15,8 207.923 14,2 127.577 7,2 246.357 11,2 TOTAL 1.202.957 100,0 854.747 100,0 1.461.609 100,0 1.781.075 100,0 2.197.947 100,0 Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
Kenaikan 1998-2002 29,0 -47,4 32,0 60,6 42,2 43,2 45,3
f. Pelayanan angkutan umum yang masih terbatas dan rendah kualitasnya, walaupun terjadi peningkatan ijin trayek angkutan umum (ijin trayek angkutan bus antarkota antarpropinsi); namun tingkat kelaikan armada umumnya masih rendah. g. Dalam transportasi jalan, sebagian besar pelayanan angkutan umum sudah menjadi domain swasta. Peran BUMN hanya untuk penugasan pelayanan yang kurang komersial lintas/trayeknya (angkutan perintis dan perbatasan untuk Perum Damri). Peran Perum PPD dalam sistem transportasi umum di Jakarta semakin kecil, karena semenjak desentralisasi, transportasi perkotaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. h. Masalah dampak lingkungan (polusi udara dan kemacetan; keterjangkauan dan pemerataan pelayanan; mobilitas transportasi jalan: keterpaduan pelayanan antar moda, penetapan kelas jalan dan pengaturan sistem terminal; lemahnya manajemen lalu lintas; rendahnya ketertiban pengguna jalan, banyaknya kegiatan parkir dan masyarakat yang menggunakan badan jalan; kerusakan jalan). 2) SASARAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN Meningkatnya keselamatan transportasi jalan. a. Meningkatnya keterpaduan antar moda dan efisiensi dalam mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa. b. Menurunnya jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih di jalan. c. Menurunnya tingkat kecelakaan dan fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan. d. Meningktanya ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi jalan, terutama angkutan umum di perkotaan, perdesaan dan antar kota. e. Menurunnya kerugian ekonomi akibat pelanggaran muatan lebih di jalan. f. Meningkatnya kelancaran dan keterjangkauan pelayanan transportasi umum bagi masyarakat luas. g. Mendukung perwujudan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal), dan terciptanya pola distribusi nasional. Bagian IV.33 – 12
h. Meningkatnya dukungan pelayanan transportasi jalan terhadap pengembangan wilayah. i. Meningkatnya efektivitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan. j. Melanjutkan desentralisasi dan otonomi daerah serta meningkatkan kerjasama pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan transportasi jalan, terutama untuk angkutan perkotaan, perdesaaan dan antar kota dalam propinsi. k. Meningkatnya peran serta swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transportasi jalan (angkutan perkotaan, perdesaan, dan antarkota). l. Meningkatnya kesadaran dan penanganan dampak polusi udara. m. Memperjelas peran regulator, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta BUMN dan BUMD dalam pelayanan transportasi publik. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif dan terpadu dari berbagai aspek (pencegahan, pembinaan dan penegakan hukum, penanganan dampak kecelakaan dan daerah rawan kecelakaan; sistem informasi kecelakaan lalu lintas dan kelaikan sarana serta ijin pengemudi di jalan); b. Meningkatkan manajemen dan rekayasa lalu lintas serta pembinaan teknis tentang pelayanan operasional transportasi; c. Menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran angkutan serta kesediaan aksesibilitas angkutan pada daerah terpencil; d. Penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi terkait; e. Penataan sistem transportasi jalan sejalan dengan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal); diantaranya melalui penyusunan RUJTJ (Rancangan Umum Jaringan Transportasi Jalan) meliputi penataan simpul, ruang kegiatan, ruang lalu lintas serta penataan pola distribusi nasional sesuai dengan rencana kelas jalan; f. Melanjutkan revisi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas angkutan jalan dan peraturan pelaksanaannya; g. Mengantisipasi, merencanakan serta melaksanakan secara bertahap regulasi dan standardisasi global di bidang lalu lintas angkutan jalan; h. Menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan transparan dalam penyelenggaraan transportasi, serta pembinaan terhadap operator dan pengusaha di bidang lalu lintas angkutan jalan; i. Meningkatkan peran serta, investasi swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transportasi jalan; j. Peningkatan pembinaan teknis transportasi di daerah; k. Sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dibuat sistem standar pelayanan minimal dan standar teknis di bidang LLAJ serta skema untuk peningkatan pelaksanaan pengendalian dan pengawasan LLAJ di daerah; l. Mendukung pengembangan transportasi yang berkelanjutan; m. Meningkatkan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu: penataan sistem jaringan dan terminal, manajemen lalu lintas, fasilitas dan rambu jalan, penegakan hukum dan disiplin di jalan; n. Mendorong efisiensi transportasi barang dan penumpang di jalan melalui deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan ijin trayek; kerjasama antar lembaga pemerintah (pusat dan daerah);
Bagian IV.33 – 13
o. Meningkatkan profesionalisme SDM petugas, disiplin operator dan pengguna di jalan; p. Penerapan teknologi angkutan jalan yang ramah lingkungan/berkesinambungan; q. Restrukturisasi BUMN (Perum Damri dan Perum PPD) dan BUMD dalam pelayanan umum transportasi jalan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum transportasi. 4) PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN a. Program penataan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal) Mewujudkan sistem jaringan transportasi jalan yang tertata baik; penataan jaringan lintas (angkutan barang) dan jaringan trayek (angkutan penumpang); pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional. Rehabilitasi dan pembangunan terminal di Jawa Barat, Kalbar, NTT, dan Papua. b. Program peningkatan keselamatan transportasi jalan Mewujudkan pemenuhan pelayanan jasa dan keselamatan; global road safety partnership (GRSP) Indonesia; sosialisasi keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; sosialisasi penggunaan sabuk keselamatan pada kendaraan bermotor; Penambahan fasilitas pengujian kendaraan bermotor di Lampung Tengah, Batang, Sumsel, NTT, NTB, Bengkulu, Sultra, Sulteng, Sulut, Sultra, dan Kalsel. Meningkatkan kinerja dan keahlian personil LLAJ; penyusunan petunjuk teknis PPNS. c. Program pembangunan transportasi berkelanjutan Harmonisasi-regulasi dan standarisasi bidang LLAJ terkait dengan globalisasi dan lingkungan hidup, penyesuaian teknologi atau antisipasinya (alternatif energi). d. Program peningkatan pelayanan dan kelancaran angkutan umum dan barang Kebijakan tarif angkutan umum dan sistem kompetisi terhadap penawaran pelayanan yang paling efisien; Antisipasi terhadap penyerahan tarif kepada mekanisme pasar; Koordinasi dan peningkatan angkutan lintas batas negara (penumpang dan barang); Penetapan standarisasi perlengkapan jalan; standar regulasi dan sertifikasi kendaraan bermotor; Penyusunan perencanan teknis bidang LLAJ terkait dengan jaringan transportasi jalan, sarana angkutan jalan, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, lalu lintas jalan serta angkutan jalan; Pembinaan terhadap pengusaha dan pengemudi angkutan; kerjasama dengan pihak swasta dalam mendukung penyelenggaraan LLAJ; peningkatan bengkel umum kendaraan bermotor yang ditunjuk sebagai unit pengujian berkala kendaraan bermotor; akreditasi unit-unit pelaksana pengujian di seluruh pengujian kendaraan bermotor.
Bagian IV.33 – 14
e. Program pembinaan peran pemerintah daerah, BUMN/D dan partisipasi swasta: Peran Perum PPD perlu direstrukturisasi, dan mulai digantikan oleh BUMD atau swasta; Peran Perum Damri, harus dapat bersaing dengan swasta, dalam penugasan sistem pelayanan perintis yang dapat dikompetisikan (competition for the market). Perlu dilakukan desentralisasi BUMN (Perum DAMRI), berdasarkan wilayah operasi/regional (kepulauan), outsourcing kepada swasta dapat dilakukan untuk sistem pemeliharaan dan sistem manajemen (kerjasama operasi dan kerjasama manajemen); Peningkatan peran pemerintah daerah dan sistem kerjasama swasta dan koperasi dalam pelayanan angkutan perintis (pengadaan sarana dan operasi) dan angkutan perkotaan dan perdesaaan. f. Program penanggulanan muatan lebih (over loading) Penanggulanan muatan lebih secara komprehensif; Pembangunan dan pengoperasian jembatan timbang di Jambi, Lampung, Jabar dan Kalimantan. 5) INDIKASI RENCANA KEBUTUHAN INVESTASI a. Pemerintah: membiayai dan membangun fasilitas keselamatan jalan. b. Swasta: investasi sarana, biaya operasi dan pemeliharaan angkutan umum dan barang, investasi dan operator terminal, operator uji kelaikan kendaraan dan jembatan timbang (kerjasama dengan pemerintah; c. Indikasi kebutuhan investasi di bidang Lalu lintas Angkutan Jalan (2005-2009): Rencana Investasi Pemerintah dalam APBN (Tabel) Rencana Investasi BUMN (Perum DAMRI dan Perum PPD): menyusul 2.2.2 PERKERETAAPIAN Perkeretaapian diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, berdasarkan kepada keseimbangan kepentingan umum, keterpaduan dan percaya diri sendiri, dan bahwa perkeretaapian ditujukan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong dan penggerak pembangunan nasional. Kenyataan yang terjadi, perkeretaapian masih berkembang terbatas di Jawa dan sebagian Sumatera, serta kontribusi berdasarkan pangsa angkutan yang dihasilkan secara nasional masih sangat rendah dibandingkan moda angkutan lain, baik di Jawa, Sumatera dan di wilayah perkotaan seperti di Jabotabek. Secara umum kendala perkeretaapian sebagai suatu industri jasa angkutan yang mandiri sulit dapat berkembang secara komersial ataupun menguntungkan. Perkeretaapian harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya, seperti keterpaduan jaringan pelayanan transportasi antar moda dengan “feeder service”-nya, agar pelayanan secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis properti dan fasilitas stasiun yang aman, nyaman dan mudah terjangkau, sistem pelayanan terpadu antar moda, kondisi struktur kelembagaan dan regulasi pemerintah yang efisien dan kondusif, dukungan industri teknologi perkeretaapian yang murah dan tepat guna, kualitas SDM, serta manajemen yang profesional dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada Bagian IV.33 – 15
umumnya masih memiliki fungsi untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari pemerintah (public service obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh Pemerintah. Keterpaduan pelayanan antar moda secara door to door di bidang perkeretaapian masih sangat terbatas. Sampai saat ini belum ada program yang jelas dari pelaku usaha perkeretaapian untuk memfaatkan peluang bisnis angkutan barang terutama angkutan peti kemas. Saat ini selain pada lintas angkutan batu bara di Sumatera Selatan yang telah melaksanakan sistem pelayanan antar moda, hanya Bandung dan Solo yang sudah memiliki fasilitas dry port yang dilengkapi dengan track siding, itu pun masih dalam skala kecil dan terbatas. Di tempat lain seperti jalur utama lintas Jawa tidak memiliki fasilitas terminal barang, apalagi jaringan rel yang menuju pusat-pusat industri dan menuju ke pelabuhan sampai sekarang belum dikembangkan atau tidak dimanfaatkan secara baik. Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan keretaapi nasional, baik dalam aspek pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan keterbatasan pendanaan, SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik prasarana dan sarana keretaapi saat ini masih banyak mengalami “backlog” pemeliharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik oleh perencanaan, pengoperasian dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang maka diperlukan redefinisi tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai regulator, peran owner, dan operator di bidang perkeretaapian. Perkeretaapian nasional mengalami kejenuhan di setiap aspek, seperti manajemen, struktur kelembagaan, kapasitas lintas, kondisi sarana (lokomotif dan gerbong), kondisi rel yang sudah tua dan aus, kekurangan investasi dan dana pemeliharaan, citra pelayanan kepada konsumen dan masyarakat, kekakuan investasi karena sifat “natural monopoly”, masalah regulasi kelembagaan dan struktur pasarnya. Pangsa angkutan penumpang kereta api nasional saat ini baru mencapai 7,3 persen dari seluruh pangsa angkutan penumpang di Indonesia (tahun 2000, produksi angkutan kereta api adalah 187,4 juta penumpang, dimana 118 juta diantaranya adalah angkutan penumpang di wilayah Jabodetabek); dan pangsa angkutan barang adalah 22,7 juta ton atau hanya 0.6 persen total pangsa angkutan barang di Indonesia.1. Walaupun selama 10 tahun terakhir terus menerus terjadi pertumbuhan permintaan angkutan kereta api (ratarata 6 persen penumpang dan 5,8 persen barang), namun di sisi lain kapasitas dan daya dukung serta kondisi prasarana dan sarana semakin menurun akibat terjadi “backlog” dalam hal pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api. Sarana angkutan perkeretaapian cenderung semakin menurun karena sebagian besar telah melampaui umur teknis serta kondisi perawatannya yang tidak terpenuhi, sehingga banyak sarana yang tidak siap operasi. Kondisi perawatan sarana sangat terbtas,disebabkan oleh keterbatasan pendanaan, sistem perawatan yang kurang efisien, dukungan struktur organisasi/kelembagaan sebagai unit perawatan kurang independen dan profesional serta peralatan dan teknologi serta SDM yang masih terbatas, sistem pengoperasian dan pemeliharaan yang kurang terpadu, penggunaan berbagai teknologi yang kurang didukung sistem pendidikan, pelatihan, dan industri perkeretaapian maupun supply materialnya. 1
Data OD Survey 1998.. Transport Sector Strategy Study. Bappenas. ADB. Jakarta. 2000.
Bagian IV.33 – 16
Terjadinya penurunan jumlah penumpang (-1 persen) dan barang (-5,6 persen) sejak tahun 2000 akibat kondisi parasarana dan sarana, ketertinggalan teknologi, serta dukungan kualitas pelayanan dan SDM. Perbandingan kapasitas lintas dilihat dari batas kecepatan maksimum di Jawa pada tahun 2002 dibanding tahun 1995 terlihat semakin menurun, akibat kondisi prasarana dan sarana yang menurun kapasitasnya dan kepadatan lintas (Gambar 8). Gambar 8: Penurunan Kondisi Kapasitas Lintas di Jawa Tahun 2002 (17 Aspek Pembatasan Kecepatan) •Jak-Jng •70 •55 •Jng-Bks •100 •75
•Bks-Ckp
•Pwk-Ckp
•Ckp-Cra
•Cn-Bka
•Bka-Tg
•Kns-Sm
•Bbt-Sbi
•110 •80
•90 •65
•110 •80
•105 •80
•105 •80
•100 •75
•100 •75
•Cra-Jtb
•Cn-Ppk
•Tg-Pk
•Sm-Gbn
•Slo-Crm
•100 •80
•90 •70
•95 •70
•95 •70
•95 •70
•JAKARTA •MERAK •CIKAMPEK
•LABUAN
•DEPOK •BOGOR
•Purwakarta
•CIREBON
• •Cicalengka
•Sukabumi
•Mri-Dp
•Prupuk
•BANDUNG •Ciawi
•90 •70
•Maos
•Dp-Boo •80 •60
•SEMARANG •TEGAL •Pekalongan •PW.KERTO •KROYA
•Boo-Pdl •60 •50
•70 •50
•MADIUN •SOLO
•Ccl-Caw •50 •30
•Vh 95 •V 2002 V 1995 V 2002
•Kediri
•Ky-Yk •100 •70
•Wo-Bg
•80 •60
•90 •65
•SURABAYA
•Curahmalang •Kertoson
•Blitar
•Bangil
•MALANG
•Bg-Jr
•Jr-Klt
•75 •50
•60 •50
•Panarukan •Kalisat
•JEMBER
•Klt-Pnr •50 •30
•BANYUWANGI
•Yk-Dl •105 •80
LINTAS •LINTAS
•B•ojonegor •o •Babat
•Delanggu
•YOGYAKARTA
•Bd-Ccl
•Cepu
•Gundih
•Crm-Wo
•Dl-Slo •105 •80
•Ml-Bl
•Bg-Ml
•75 •60
•90 •60
•Kts-Krs •50 •30
Sumber: PT. KAI
1) PERMASALAHAN BIDANG PERKERETAAPIAN a. Kondisi prasarana (rel, jembatan KA dan system sinyal dan telekomunikasi kereta api) serta sarana KA yang telah melampui batas umur teknis, serta masalah backlog perawatannya. Terbatasnya sumber pendanaan pemerintah untuk pemeliharaan dan investasi prasarana sedangkan peran serta swasta belum berkembang; banyak terjadi backlog pemeliharaan prasarana di satu sisi dan timbulnya bottleneck akibat kepadatan dan kejenuhan lintas; b. Masih banyaknya perlintasan sebidang (di Jawa: rata-rata terdapat 1 perlintasan setiap 0,49 km jalan rel dan di Sumatera setiap 1,6 km) yang dapat mengancam keselamatan operasi dan membatasi kapasitas lintas dalam frekuensi dan kecepatan; c. Sistem persinyalan masih tidak optimal, terutama masih terdapat bebagai macam teknologi dan tipe sistem persinyalan kereta api yang diinvestasikan, sehingga kurang efisien dalam sistem pemeliharaan, pengadaan sparepart serta sistem operasi serta pendidikan dan pelatihan SDM-nya; d. Tingginya tingkat kecelakaan KA;
Bagian IV.33 – 17
Tabel 5. Data Kecelakaan KA/Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH) 1995-2003 No
Uraian
KLASIFIKASI 1. Tabrakan KA vs KA 2. Tabrakan KA vs Ranmor 3. Anjlogan/Terguling 4. Banjir/Longsor 5. Lain-lain
Rata-rata Tahun Jumlah 1990-2001 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*) 3 115 72 7 24 221
KORBAN 1. MeninggalDunia 70 2. Luka Berat 103 3. Luka Ringan 119 TOTAL 292 *) Data s.d Triwulan I Sumber: PT. KAI, 2002 (data diolah)
7 88 65 15 21 196
9 112 82 16 16 235
8 35 66 12 5 126
6 54 89 9 38 196
13 27 68 10 17 135
10 42 40 10 32 134
10 PM PM PM PM 10
11 18 7 21 57
120 820 1.003 160 316 2.419
8,57 63,08 77,15 12,31 24,31 196,00
105 151 171 427
100 131 60 291
35 46 47 128
74 84 93 251
96 104 108 308
145 PM 219 PM 45 PM 409 -
PM PM PM -
997 1.995 643 3.635
83,08 166,25 91,86 302,92
e. Rendahnya kinerja pelayanan KA (produktivitas angkutan, ketepatan jadwal, kenyamanan); f. Sebagian lintas perkeretaapian sudah mulai jenuh kapasitasnya, sehingga berdampak terhadap kerawanan operasi kereta api; g. Pengembangan lintas jaringan pelayanan yang terbatas, akibat sumber daya yang terbatas dan bahkan sebagian lintas kereta api sudah tidak dioperasikan; h. Masalah keamanan dan ketertiban (sterilisasi) gangguan di stasiun dan jalur sepanjang jalan KA yang rawan terhadap penumpang gelap (free rider), bangunan liar, pencurian fasilitas pendukung prasarana dan sarana, daerah rawan banjir dan longsor; i. Masalah akuntabilitas dan efektivitas kelembagaan perkeretaapian (kejelasan peran regulator, owner dan operator); j. Skema pendanaan dan investasi yang belum konsisten diterapkan dan terencana dengan baik; k. Perencanaan (blueprint dan rencana investasi) pengembangan jaringan antar moda serta restrukturisasi perkeretaapian yang kurang terpadu dan kurang didukung sistem data dan informasi serta kemampuan SDM; l. Rendahnya disiplin dan tindak penertiban dalam pengamanan daerah milik jalan dan pengguna angkutan yang dapat membahayakan keselamatan angkutan; m. SDM dan kelembagaan perkeretaapian yang masih terbatas dan tidak efisien; n. Teknologi perkeretaapian dan industri penunjang yang belum berkembang; o. Peran BUMN Perkeretaapian dan Partisipasi Swasta saat in masih terbatas, karena: Masih terjadi monopoli BUMN penyelenggara perkeretaapian Belum ada kejelasan dan pemisahan peran BUMN sebagai operator prasarana dan sarana Belum ada pemisahan BUMN angkutan antar kota dan perkotaan Belum berkembang sistem kerjasama swasta – BUMN dan Pemerintah Risk management dalam investasi swasta dan BUMN di bidang perkeretaapian perlu direncanakan secara menyeluruh dan detail, untuk mempercepat dan meningkatkan iklim investasi di bidang perkeretaapian.
Bagian IV.33 – 18
2) SASARAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN Sasaran utama pembangunan perkeretaapian adalah untuk meningkatkan kinerja pelayanan terutama keselamatan angkutan, melalui penurunan tingkat kecelakaan dan fatalitas akibat kecelakaan di perlintasan sebidang dengan jalan dan penanganan pada lintas utama yang padat. Sararan pembangunan sarana dan prasarana KA dalam 5 tahun dibagi dalam 3 tahapan, yaitu: upaya bertahan sesuai dengan standar pelayanan minimal; dilanjutkan tahapan kedua dengan upaya optimalisasi sumber daya dan tahap ketiga adalah tahap pengembangan. a. Sasaran dalam upaya bertahan adalah pencapaian operasi yang aman pada umumnya untuk jangka pendek langsung pada kondisi yang sangat jelek, melalui kegiatan-kegiatan: (1) mengadakan audit kinerja prasarana dan sarana KA; dan mengatasi kondisi kritis; (2) kanibalisme & daur ulang suku cadang; (3) penurunan kecepatan/mengurangi frekuensi; (4) menutup jalur yang merugi; (5) penajaman skala prioritas; (6) keandalan 60 persen. b. Pada tahap optimalisasi, sasarannya adalah pemulihan kondisi jaringan existing ke kondisi awal, pencapaian operasi aman dan nyaman untuk jangka panjang; peningkatan kecepatan dan menambah kapasitas, melalui kegiatan-kegiatan: (1) peningkatan efisiensi dan efektifitas; (2) keandalan 75 persen; dan (3) peningkatan kecepatan dan kapasitas jalur yang ada. c. Sasaran dalam tahap pengembangan adalah pengembangan jaringan baru dan peningkatan kapasitas, melalui kegiatan: (1) pengembangan jaringan baru dan armada; (2) peningkatan kecepatan/kapasitas; (3) keandalan dan kelaikan 100 persen. Sasaran dalam bidang regulasi dan kelembagaan adalah meningkatnya peran Pemda, BUMN dan swasta dalam bidang perkeretaapian. Sedangkan sasaran dalam bidang SDM dan teknologi perkeretaapian adalah meningkatnya sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi dan standardisasi perkeretapian nasional secara terpadu agar kesinambungan investasi, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana perkeretaapian nasional dapat tercapai secara efisien. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN a. Meningkatan keselamatan angkutan dan kualitas pelayanan serta pemulihan kondisi pelayanan angkutan perkeretaapian; b. Melaksanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian. c. Meningkatkan strategi pelayanan angkutan yang lebih berdaya saing secara antar moda dan inter moda; d. Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pada koridor yang telah jenuh; e. Melaksanakan perencanaan, pendanaan dan evaluasi kinerja perkeretaapian secara terpadu, dan berkelanjutan; f. Melanjutkan reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dan BUMN perkeretaapian; g. Meningkatkan peran serta Pemerintah daerah dan swasta di bidang perkeretaapian; h. Meningkatkan peran angkutan perkeretaapian nasional dan lokal Bagian IV.33 – 19
4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN PERKERETAAPIAN 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PRASARANA DAN SARANA KA Ikhtiar Bertahan: - Melalui penyelesaian masalah backlog pemeliharaan: Jalan: lintas Semarang-Surabaya, Solo-Surabaya, Malang-Blitar-Kertosono, Surabaya-Banyuwangi, Bandung-Banjar, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati. Jembatan: Purwakarta-Padalarang, Prupuk-Kroya, Malang-Blitar, SurabayaBanyuwangi, Lahat-Lubuk Linggau; Prabumulih-Kertapati. Sistem sinyal dan telkom di lintas: Semarang-Surabaya, SurabayaBanyuwangi, Malang-Blitar-Kertosono, Lahat-Lubuk Linggau; PrabumulihKertapati. - Rehabilitasi sarana KA sebanyak 80 unit kereta K3, 5 unit KRL dan 34 unit KRD. - Rehabilitasi sistem sinyal dan telekomunikasi; - Perbaikan dan penanganan perlintasan sebidang perkeretaapian di 95 lokasi; - Melasanakan audit kinerja prasarana dan sarana serta SDM perkeretaapian; - Menyelesaikan blueprint perkeretapian nasional dan pentahapannya, sejalan dengan pemantapan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal). - Revitalisasi prasarana dan sarana angkutan KA Jabotabek
Optimalisasi melalui: - Modernisasi dan rehabilitasi sinyal 24 paket, telekomunikasi 486 km serta perbaikan listrik aliran atas 94 paket pekerjaan; - Penggantian armada sarana KA yang telah tua meliputi pengadaan 90 unit K3, 10 set KRL dan 15 unit KRDE. - Peningkatan kapasitas jalan KA sepanjang 1.146 km yang tersebar di Sumut, Sumbar, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Lintas Selatan Jawa, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan wilayah Jabotabek; dan 34 unit jembatan pada jalur yang ada.
Pengembangan: melalui: - Pembangunan jalan KA sepanjang 645 km secara bertahap tersebar di Aceh, Sumut, Sumsel, Lampung, Lintas Utara Jawa, Yogyakarta, Lintas Selatan Jawa, dan Jawa Tengah. - Pembangunan 55 unit jembatan KA; - Revitalisasi dan pengembangan angkutan masal perkereaapian di wilayah Jabotabek. - Persiapan dan pengembangan angkutan kereta api barang di Sumatera secara bertahap; - Percepatan penyelesaian pembangunan jalur ganda Cikampek-Padalarang; Cirebon-Tegal, Kroya-Kutoarjo-Yogya-Solo; serta - Persiapan dan pembangunan jalur ganda Cirebon-Kroya dan Serpong-Tanah Abang Tahap I dan II. Bagian IV.33 – 20
2. PROGRAM PENINGKATAN KELANCARAN ANGKUTAN KERETA API UNTUK BARANG/LOGISTIK NASIONAL MELALUI: Penyelesaian SISTRANAS untuk sistem transportasi antarmoda; Perencanaan dan pembangunan akses jalan KA ke pelabuhan (Tg. Priok, Belawan, Tg. Perak, Merak-Bakauheni, Cilacap, dan Banyuwangi) dan ke bandara (Soekarno-Hatta), Perencanaan dan peningkatan kerjasama dan pembangunan akses fasilitas pelayanan di dry-port (Solo, Bandung, Jember, Tebing Tinggi, Kertapati) dan persiapan pembangunan dry-port baru (Bekasi, Tangerang, Tegal, Malang). 3. PROGRAM PENINGKATAN KESELAMATAN KA DAN PENANGANAN PERLINTASAN SEBIDANG SECARA KOMPREHENSIF DAN SECARA BERTAHAP. Diutamakan pada lintas yang padat dan rawan terjadi kecelakaan, termasuk tindak pengamanan dan penertiban daerah milik jalan sepanjang jalur utama perekeretaapian. 4. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN PERKERETAAPIAN, melalui: Menyempurnakan pelaksanaan mekanisme pendanaan PSO-IMO-TAC yang lebih efektif yang didukung oleh perencanaan yang matang, kesiapan lembaga dan peraturan, kualitas pemahaman dan motivasi yang kuat dari SDM, koordinasi antar instansi pengembangan profesionalitas manajemen, SDM, penerapan teknologi tepat guna, standardisasi teknis dan sistem informasi perkeretaapian nasional. Melanjutkan restrukturisasi struktur korporat/bisnis kereta api, melalui “vertical dan horizontal unbundling”, diversifikasi sistem pelayanan. Merealisasikan spin-off Kereta Api Jabotabek: Pemisahan jalur KA regional dan komuter dan restruktusasi kelembagaan dan SDM. Merencanakan dan melaksanakan kerjasama untuk meningkatkan peran serta swasta di bidang sarana, stasiun, sistem manajemen, pelayanan, pemeliharaan prasarana dan aset-aset KA. Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI SWASTA DI BIDANG PERKERETAAPIAN MELALUI:
5. PROGRAM
Perencanaan dan penetapan arah BUMN (unbundling vertical dan horisontal) untuk menuju kebijakan multi operator sarana Pelaksanaan spin-off Kereta api Jabotabek Perencanaan dan tahapan pemisahan prasarana dan sarana sesuai dengan pemisahan sumber pendanaan PSO (Public Service Obligation); IMO (Infrastructure Maintenance and Operation); TAC (Track Access Charges). Perencanaan dan persiapan alternatif pembentukan anak perusahaan atau divisi regional berdasarkan wilayah pelayanan/divisi regional maupun jenis usaha angkutan. Mendukung Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan pelaksananya sehingga: - Sarana: peran serta swasta lebih terbuka - Prasarana: peran serta Pemda dan BUMD lebih terbuka. BUMN dan swasta sebagai penyelenggara prasarana semakin terbuka. Bagian IV.33 – 21
Melaksanakan analisis dan perencanaan secara matang serta kebijakan terpadu berbagai pola “Risk Management” proyek-proyek strategis yang dibiayai pemerintah, BUMN dan swasta, untuk mempercepat investasi pemerintah daerah, BUMN dan swasta di bidang perkeretaapian
2.2.3 ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) di Indonesia didefinisikan sebagai jembatan “mengapung” yang berfungsi menghubungkan jaringan transportasi darat yang terputus; kegiatan angkutan feri yang mengangkut penumpang dan kargo melalui sungai dan perairan; mempunyai rute tetap dan jadwal reguler serta bangunan kapal ferry yang berbentuk khusus. Transportasi sungai, danau dan penyeberangan (SDP) merupakan bagian dari sistem transportasi darat yang mempunyai misi untuk mewujudkan transportasi yang handal, unggul dan bersaing serta mampu menjangkau pelosok wilayah daratan, menghubungkan antarpulau dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara yang efektif dan efisien, sehingga mampu berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan guna memperkokoh ketahanan nasional. Angkutan sungai, danau dan penyeberangan mengemban misi pemerintah terutama dalam upaya melayani angkutan keperintisan, untuk membuka daerah-daerah terbelakang/terisolasi, melalui penyediaan angkutan perintis. Pembangunan ASDP diperlukakan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikan aksebilitas yang lebih baik sehingga dapat mengakomodasi peningkatan kebutuhan mobilitas penduduk melalui jaringan transportasi darat yang terputus di perairan antar pulau, sepanjang daerah aliran sungai dan danau, serta berfungsi melayani transportasi yang menjangkau daerah terpencil dan daerah pedalaman. 1) PERMASALAHAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN Gambar 9. Umur Kapal Berdasarkan Pemilik Kapal Tahun 2004 >30
0
26 - 30
0
13 3
21 - 25
1
16 - 20
1
11 - 15
1
6 - 10 0-5
12
7
13
8
29 9 15
10
14
1 0
36 5
12
PT.ASDP (Persero)
KSO ASDP
SWASTA
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.
Pengembangan ASDP selama ini belum optimal karena masih kurangnya keterpaduan pembangunan antarsektor dengan rencana pengembangan wilayah serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam sistem pengembangan prasarana dan sarana ASDP dalam era otonomi. Belum optimalnya pelayanan ASDP ditandai Bagian IV.33 – 22
dengan keterjangkauan pelayanan angkutan yang masih terbatas dalam melayani kebutuhan angkutan antarpulau dan wilayah terpencil serta kondisi sarana perintis ASDP yang telah berumur tua. Keterbatasan jumlah prasarana dan sarana penyeberangan dibanding kondisi geografis dan jumlah pulau di Indonesia (sekitar 17.000 pulau), namun penetapan lintas penyeberangan sebanyak 172 lintas, tetapi yang beroperasi baru 130 lintas dan sarana yang tersedia hanya 205 unit kapal penyeberangan (46 persen BUMN, 2 persen KSO, dan 52 persen swasta). Sedangkan peran serta swasta dan Pemda belum berkembang dalam dalam penyelenggaraan ASDP, baik pembangunan, operasi dan pemeliharaan, pendanaan serta subsidi perintis untuk lintas dalam propinsi dan dalam kabupaten. Di lain pihak, pemanfaatan sungai, kanal dan danau untuk kebutuhan transportasi rakyat/lokal/kota masih rendah serta kurangnya pemanfaatan potensi untuk mendukung transportasi pariwisata dan pengembangan wilayah. Kelembagaan, peraturan serta SDM dan pendanaan dalam sistem pelestarian dan pemeliharaan alur transportasi sungai dan kanal yang perlu dikoordinasikan dengan penanganan masalah lingkungan, pengembangan pariwisata, budaya masyarakat dan tata ruang wilayah. Peran pemerintah daerah dan swasta dalam pengembangan angkutan penyeberangan masih terbatas. Peran BUMN (PT ASDP) masih terbatas dalam penyelenggaraan (operator) prasarana dan sarana ASDP, terutama dalam pengoperasian kapal perintis dan penggusahaan beberapa lintas/dermaga penyeberangan. Pemerintah pusat masih dominan dalam pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana ASDP. Oleh sebab itu, diperlukan deregulasi dan restrukturisasi agar peran pemerintah daerah lebih optimal, serta peningkatan peran BUMN dan swasta lebih didorong. Dalam penyelenggaraan transportasi sungai dan danau, peran swasta dan masyarakat lebih berkembang, sebagai owner dan operator prasarana dan sarana angkutan masyarakat. Peran BUMN hanya terbatas pada beberapa lintas penyeberangan sungai dan danau di Kalimantan dan Sumatera. Peran pemerintah sebagai regulator, pemerintah daerah sebagai penyedia prasarana dan sarana sungai untuk keperluan publik. Dalam penyelenggaraan angkutan penyeberangan, peran BUMN (PT ASDP) masih dominan sebagai operator penyelenggaraan prasarana penyeberangan sekaligus juga sebagai operator sarana. Operator prasarana lain adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT/Pemda), dan operator sarana lain adalah swasta atau KSO swasta dan PT ASDP. Penyediaan prasarana dan sarana ASDP untuk BUMN umumnya masih dibiayai dari APBN (pemerintah pusat); peran Pemda masih terbatas dalam penyediaan sarana dan prasarana ASDP. Tabel 8. Jumlah Kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2004 Jumlah No. Pemilik/Operator Prosentase (unit) 1 PT. ASDP Persero 85 44,7 2 Kerjasama operasi PT. ASDP dengan Swasta 4 2,1 3 Swasta 101 53,2 Jumlah 190 100,0
Bagian IV.33 – 23
Gambar 10. Jumlah Kapal Komersial Berdasarkan Umur > 30
18
26 - 30
17
11,04% 10,43%
16 - 20
24,54%
40
11 - 15 6 - 10
0
5
10
15
26 - 30
2
4,76% 7
16 - 20
2
20
25
30
35
40
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah)
16,67%
4,76% 4
9,52% 19
0-5
6,75%
11
4,76%
6 - 10
20,25%
33
0-5
2
11 - 15
13,50%
22
> 30
21 - 25
13,50%
22
Tahun
Tahun
21 - 25
Gambar 11. Jumlah Kapal Perintis Berdasarkan Umur
45
6
0
45,24%
14,29%
5
10
15
20
25
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2002 (diolah)
2) SASARAN a. Meningkatkan jumlah lintas penyeberangan baru yang beroperasi dan terhubungkannya wilayah terisolir; b. Meningkatnya kalaikan dan jumlah sarana ASDP; c. Meningkatkan jumlah penumpang, kendaraan dan penumpang yang diangkut; d. Meningkatkan kelancaran lintas penyeberangan yang padat; e. Meningkatnya kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan; f. Meningkatnya keselamatan ASDP; g. Meningkatnya peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam pembangunan dan pengelolaan ADSP; h. Meningkatnya kinerja BUMN di bidang ASDP. 3) ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ASDP a. Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana serta pengelolaan angkutan ASDP; b. Meningkatkan kapasitas pelayanan di lintas yang telah jenuh serta memperluas jaringan pelayanan ASDP; c. Mengembangkan angkutan sungai terutama di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua yang telah memiliki sungai cukup besar; d. Mengembangkan angkutan danau untuk menunjang program wisata; e. Meningkatkan pelayanan sebagai penghubung jalur jalan yang terputus perairan terutama Sabuk Selatan (Sumatera-Jawa-Bali-NTB-NTT); f. Memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antar moda dan kesinambungan transportasi darat yang terputus di dalam pulau (sungai & danau) dan antarpulau dengan pelayanan point to point; sejalan dengan system transportasi nasional dan wilayah (local) g. Mendorong penyelesaian revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 serta peraturan pelaksanaanya. h. Melaksanakan restrukturisasi BUMN dan kelembagaan dalam moda ASDP, agar tercapai efisiensi, transparansi serta meningkatkan peran swasta dalam bidang ASDP; Bagian IV.33 – 24
i.
Mendorong peran serta pemda dan swasta dalam penyelenggaraan ASDP
4) PROGRAM DAN KEGIATAN POKOK PEMBANGUNAN ASDP a. REHABILITASI PRASARANA DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN Rehabilitasi dermaga sungai di 23 lokasi yang tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Rehabilitasi dermaga penyeberangan di 23 lokasi, dimana 5 diantaranya milik PT. ASDP. b. PEMBANGUNAN DERMAGA SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN: Pembangunan sistem transportasi sungai/kanal di pulau Kalimantan yang terpadu dengan sistem transportasi darat Trans Kalimantan, terutama pembangunan dan pemeliharaan terusan/anjir yang dapat menghubungkan sungai-sungai besar, seperti anjir Sungai Kapuas (Kalimantan Barat), Sungai Sampit, Sungai Kahayan (Kalimantan Tengah), Sungai Barito (Kalimantan Selatan) dan Sungai Mahakam (Kalimantan Timur); Pembangunan prasarana dermaga penyeberangan terutama pada lintas lintas antar propinsi (sabuk selatan, dan perbatasan); Pembangunan dermaga danau di Danau Toba, Ranau, Kerinci, Gajah Mungkur, Kedong Ombo dan Cacaban. c. PENGEMBANGAN AKSESIBILITAS PELAYANAN ASDP, melalui: pembangunan prasarana dan sarana ASDP untuk wilayah/lintas perintis serta subsidi operasi perintis ASDP; bekerjasama dengan Pemda serta melalui pendekatan pembangunan transportasi wilayah. Penambahan 14 kapal perintis. Subsidi operasi ASDP perintis. d. PROGRAM RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI KELEMBAGAAN ASDP: Penataan sistem jaringan transportasi darat antar moda secara terpadu (JTJ dengan lintas ASDP) dalam Sistranas dan Sistrawil. Koordinasi perencanaan dan penataan sistem jaringan pelayanan terpadu antara lintas penyeberangan dengan lintas pelayanan angkutan laut, serta pemanfaatan dermaga perintis bersama yang dikelola oleh UPT (Pemda) Koordinasi antar lembaga dalam pengembangan dan pemanfaatan angkutan sungai dan kanal terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kegiatan sosialisasi dan pengelolaan prasarana dan sarana angkutan sungai dan danau Perencanaan konsep pembangunan transportasi sungai terpadu dengan program penghijauan dan lingkungan hidup, program kebersihan sungai, irigasi dan SDA, program pariwisata dan pertamanan, serta akses ke/dari dermaga sungai. pengembangan pemanfaatan teknologi kanal dan pintu air/dam/sistem pengawasan dan keselamatan alur sungai, persyaratan teknis dan pengerukan termasuk pengembangan jenis kapal, sistem terminal, peralatan “cargo handling”, dermaga, peralatan navigasi dan komunikasi angkutan sungai.
Bagian IV.33 – 25
Peningkatan SDM, pembangunan kelembagaan dan manajemen yang didukung sistem informasi di bidang perencanaan, pengembangan dan pengawasan angkutan sungai dan danau. Pengembangan peningkatan dermaga sungai yang merupakan swadaya masyarakat yang tidak memadai menjadi dermaga yang permanen seperti dermaga di sungai Kapuas, Punggur besar, S.Sambas, S.Landak, S.Kubu, S.Padang Tikar di Kalimantan Barat, S.Kuala Kapuas, S.Sampit, S.Kahayan di Kalimantan Tengah, Sungai Musi, S.Gasing, S.Musi Rawas di Sumatera Selatan dan sungai-sungai lain yang berada di Jambi, Riau dan Papua.
PENINGKATAN KINERJA BUMN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI SWASTA DALAM PENGEMBANGAN ASDP:
e. PROGRAM
Restrukturisasi BUMN secara bertahap, melalui unbundling vertical (prasarana dan sarana) dan unbundling horisontal (Divisi Regional menuju multi operator prasarana BUMN). BUMN terbuka untuk membangun dan mengoperasikan prasarana sendiri atau bekerjasama dengan swasta. Kerjasama BUMN dengan Pemda/BUMD dalam pengelolaan dermaga dan kapal perintis di daerah. BUMN harus berkompetisi untuk penugasan pelayanan perintis yang dikompensasi (subsidi perintis), sehingga lebih efisien. Kerjasama swasta dan BUMN, melalui “outsourcing” pengelolaan parkir dan terminal serta sistem ticketing sampai investasi sarana dan prasarana. Kerjasama BUMN ASDP dengan BUMN Pelindo untuk pengelolaan dermaga bersama di daerah terpencil/komersial. Kerjasama dengan swasta dan BUMN transportasi darat lain (kereta api; jalan tol dan angkutan umum) untuk pelayanan terpadu antarmoda. Membuka sistem kompetisi pelayanan angkutan perintis ASDP, melalui sistem kompetisi kontrak performance berdasarkan penawaran dengan biaya yang paling efisien; dengan sistem jaminan Pemerintah (sistem kontrak multi years, agar swasta dapat melakukan efisiensi pengadaan/sewa sarana sesuai dengan economic of scale ). Membuka kerjasama pendanaan investasi Pemda dan Pusat dalam penyediaan prasarana dan subsidi operasi perintis dan outsourcing investasi dan pengelolaan bagian terminal dan parking yang lebih komersial kepada swasta. Membuat format dan rencana sitem kerjasama swasta pemerintah, termasuk manajemen resiko dan alternatif pendanaan melalui konsesi pengelolaan lahan dan pengembangan wilayah, untuk meningkatkan investasi dalam penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana ASDP.
2.3 TRANSPORTASI LAUT 2.3.1 PERMASALAHAN TRANSPORTASI LAUT Kondisi dan perkembangan subsektor transportasi laut adalah terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dan belum diberlakukan sepenuhnya Azas Cabotage. Rata-rata pangsa pasar armada nasional pada angkutan dalam negeri dan ekspor-impor masing-masing hanya 51,4 persen dan 3,6 persen. Hal ini Bagian IV.33 – 26
ditunjukkan pada Grafik pangsa pasar armada pelayaran nasional dan asing baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor 1996-2003. Gambar 12. Pangsa Pasar Angkutan Laut Dalam Negeri Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002)
Gambar 13. Pangsa Pasar Angkutan Ekspor-Impor Oleh Armada Nasional dan Asing (1996-2002)
200,000.0
450,000.0
180,000.0
400,000.0
160,000.0
350,000.0 300,000.0
120,000.0
Ton (000)
Ton (000)
140,000.0
100,000.0 80,000.0
250,000.0 200,000.0 150,000.0
60,000.0
100,000.0
40,000.0
50,000.0
20,000.0
-
1996
1997
1998
1999
2000
Armada Nasional
2001
2002
1996
2003
Armada Asing
1997
1998
Armada Nasional
1999
2000
Tahun
2001
2002
2003
Armada Asing
Sumber: Ditjen Hubla Dephubtel, 2002, diolah.
Masih adanya biaya ekonomi tinggi dan kurangnya fasilitas prasarana di pelabuhan, sehingga menambah beban bagi pengguna jasa yang pada akhirnya menambah biaya bagi masyarakat secara umum. Tabel 9. Kinerja SBNP di Indonesia Tahun 2003 Variabel Kecukupan Keandalan *) Rasio
Kinerja 86,75% 95% 6,5 SBNP/100 Nautical mile **)
Persyaratan IALA 95% 99% 25 SBNP/100 Nautical mile (negara maju)
*) Rasio antara jumlah total hari tak berfungsi/jumlah sbnp X 275 X100%. **) Target Indonesia: kebutuhan 2000 SBNP saat ini baru ada 1735 sbnp. Sumber: Maritime Traffic Safety System, 2004
Tingkat kecukupan fasilitas keselamatan pelayaran seperti sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) belum memenuhi persyaratan internasional. Pada saat ini kecukupan dan keandalan SBNP baru 64,02 persen dan 95 persen. Menurut International Association of Lighthouse Authority (IALA) standar ratio kecukupannya adalah 95 persen dan keandalannya 99 persen. Adanya kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten dan kota tentang siapa yang berhak mengelola pelabuhan. Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 namun kontroversi masih berlanjut. Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, belum direvisi sehingga sulit mengharapkan dapat diselesaikannya perselisihan antara pemerintah pusat dan asosiasi pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di pelabuhan.
Bagian IV.33 – 27
2.3.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT Sasaran pembangunan transportasi laut adalah menaikkan pangsa pasar armada pelayaran nasional baik untuk angkutan laut dalam negeri maupun ekspor-impor. Sasaran lain adalah meningkatkan kinerja dan efisiensi pelabuhan khususnya yang ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena sebagian besar muatan ekspor-impor dan angkutan dalam negeri ditangani oleh pelabuhan yang ada dibawah pengelolaan BUMN. Sasaran yang tak kalah pentingnya adalah melengkapi prasarana SBNP dan fasilitas pemeliharaannya sehingga SBNP yang ada dapat berfungsi 24 jam. Sementara itu uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran khususnya yang berkaitan dengan keharusan bekerjasama dengan BUMN apabila pihak swasta ingin berinvestasi pada prasarana pelabuhan harus segera diselesaikan guna menarik pihak swasta berinvestasi pada prasarana pelabuhan. 2.3.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT a. Meningkatkan peran armada pelayaran nasional baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor dengan memberlakukan azas cabotage. Untuk itu diperlukan dukungan perbankan dalam penyediaan kredit murah bagi peremajaan armada. b. Mengurangi bahkan menghapuskan pungutan-pungutan tidak resmi di pelabuhan sehingga tarif yang ditetapkan otoritas pelabuhan tidak jauh berbeda dengan biaya yang secara riil dikeluarkan oleh pengguna jasa kepelabuhanan, melalui peningkatan koordinasi bagi semua instansi yang terkait dalam proses bongkar muat barang. c. Memenuhi standar pelayaran internasional yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization) maupun IALA guna meningkatkan keselamatan pelayaran baik selama pelayaran maupun pada saat berlabuh dan bongkar muat di pelabuhan di wilayah Indonesia. d. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor trasnsportasi laut guna menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta swasta dalam pembangunan prasarana transportasi laut. e. Menyerahkan secara bertahap aset pelabuhan lokal yang dikelola Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2.3.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi laut adalah: (1) rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi laut; (2) pembangunan prasarana transportasi laut; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi laut. Langkah-langkah yang akan dlakukan adalah merehabilitasi prasarana transportasi laut yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana yang kurang serta merevisi peraturan dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan laut. Adapun kegiatan yang akan dilaksanakan dalam lima tahun ke depan adalah:
Bagian IV.33 – 28
A.
PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT MENCAKUP KEGIATAN: 1. Rehabilitasi SBNP: menara suar 94 unit, rambu suar 279 unit, dan pelampung suar 72 unit; 2. Rehabilitasi kapal navigasi 49 unit kapal; 3. Rehabilitasi Dermaga 493 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Laut; 4. Rehabilitasi 15 unit kapal marine surveyor; 5. Rehabilitasi kantor Unit Pelaksana Tugas Administrator Pelabuhan/Kantor Pelabuhan di 15 lokasi; 6. Rehabilitasi kapal patroli 97 unit kapal; 7. Rehabilitasi atau pembersihan kolam pelabuhan dari kerangka kapal di 3 lokasi; 8. Rehabilitasi dermaga 27.104 M’ milik BUMN yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. Kegiatan rehabilitasi tersebut di atas sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah karena kegiatan tersebut termasuk proyek yang non cost recovery dan berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sedangkan kegiatan rehabilitasi aset milik BUMN termasuk proyek yang cost recovery sehingga bisa dikerjasamakan dengan pihak swasta.
B.
PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI LAUT MENCAKUP KEGIATAN: 1. Pembangunan SBNP: Menara Suar 88 unit, Rambu Suar 276 unit, dan Pelampung suar 70 unit. 2. Pembangunan kapal navigasi 11 unit kapal. 3. Pembangunan GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System) 30 unit. 4. Pembangunan Dermaga 6.164 M’ milik Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Laut, dan dermaga untuk kapal navigasi 440 M’ serta dermaga untuk pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) 3 lokasi 180 M’ 5. Pembangunan 25 unit kapal marine surveyor 6. Pembangunan gedung kantor kenavigasian 5.350 M2, gedung tertutup 6.558 M2, gedung terbuka 2.000 M2, gedung bengkel 2.460 M2, taman pelampung 10.500 M2 dan peralatan bengkel 19 unit serta alat angkut 29 unit. 7. Pembangunan kapal kapal patroli 113 unit kapal. 8. Pengadaan oil boom atau gelang cemar 5 unit. 9. Pembangunan dermaga 900 M’ milik BUMN berikut alat bongkar muat yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, antara lain di Bojonegara, Muara Sabak, Surabaya. Seperti halnya dengan kegiatan rehabilitasi, pembangunan fasilitas pelabuhan milik BUMN dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta. Selain itu khusus untuk pembangunan fasilitas baru untuk peti kemas, car terminal, pelabuhan khusus untuk komoditi tertentu dapat sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta.
C.
PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI LAUT: 1. Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran untuk mendorong keikutsertaan investor swasta membangun prasarana pelabuhan. Bagian IV.33 – 29
2. 3. 4. 5.
Pengembangan sistem informasi kelaiklautan kapal. Sosialisasi/penyuluhan peraturan bidang kelaiklautan kapal. Evaluasi dan kajian peraturan bidang kelaiklautan kapal. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan pelatihan untuk pengukuran kapal, auditor International Safety Management (ISM) Code, uji petik dan verifikasi kelaiklautan kapal. 6. Marpol (Marine Pollution) exercise (pelatihan pencegahan polusi laut yang diakibatkan oleh kapal) pemerintah Indonesia bersama dengan Jepang dan Pilipina. 7. Pelaksanaan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diberlakukan mulai 1 Juli 2004.
2.4. TRANSPORTASI UDARA 2.4.1 KONDISI PERMASALAHAN TRANSPORTASI UDARA Moda transportasi udara adalah moda transportasi yang menuntut tingkat akurasi paling tinggi dibanding moda transportasi yang lain untuk dapat menjaga keselamatan baik selama penerbangan maupun saat ada di bandara. Kondisi dan permasalahan di sub-sektor transportasi udara yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat dan ancaman terorisme. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 10 Jumlah Kecelakaan Udara dan Korban Meninggal/Hilang. Tabel 10. Jumlah Kecelakaan Udara & Korban Meninggal/Hilang Tahun 1992 – 2002 Korban Tahun Jumlah Kecelakaan Kecelakaan Fatal Hilang/Meninggal (Jiwa) 1992 38 5 106 1993 32 7 83 1994 41 8 53 1995 46 6 30 1996 35 6 42 1997 38 8 398 1998 36 2 4 1999 31 3 12 2000 16 1 2 2001 37 7 17 2002 25 6 25 Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, 2003 Tabel 11. Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Negeri Tahun 1998 – 2002*) Penumpang Barang Tahun (orang) (Ton) 1998 7.863.838 147.718 1999 6.673.713 155.439 2000 8.654.181 161.200 2001 10.394.330 164.135 2002 12.686.932 136.207 Sumber: BPS, 2003 *) Data keberangkatan
Bagian IV.33 – 30
Kebutuhan akan tenaga pengawas kelaikan udara meningkat seiring dengan meningkatnya lalu lintas udara. Dalam lima tahun terakhir di mana pemerintah menetapkan kebijakan pertumbuhan nol persen untuk pegawai negeri maka jumlah pegawai yang menangani keselamatan dan sertikasi udara yakni yang bekerja di Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat Fasilitas Listrik dan Elektronika relatif konstan sekitar 400 orang seperti pada tahun 2003 berjumlah 374 orang. Sementara dalam lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan lalu lintas angkutan udara yang meningkat tajam. Hal ini tercermin pada tabel kedatangan dan keberangkatan pesawat, penumpang dan cargo untuk penerbangan domestik dan internasional. Tabel 12. Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Cargo untuk Penerbangan Luar Negeri Tahun 1998 – 2002 Kedatangan Keberangkatan Total Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Tahun Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Unit) (Unit) (Unit) 1998 37.205 3.778.509 119.570 37.829 3.833.025 226.268 75.034 7.611.534 1999 40.064 3.877.617 148.889 39.552 3.924.275 226.230 79.616 7.801.892 2000 40.571 4.243.327 173.791 40.052 4.728.389 215.240 80.623 8.971.716 2001 42.813 4.520.028 95.741 42.617 4.675.007 147.008 85.430 9.195.035 2002 36.705 4.725.068 96.957 36.787 4.745.681 145.917 73.492 9.470.749 Sumber: BPS, 2003
Cargo (Ton) 345.838 375.119 389.031 242.749 242.874
Tabel 13. Kinerja Keuangan AP I & AP II Tahun 2002 Jml Bandara Menguntungkan Merugikan AP-I 13 5 8 AP-II 10 4 6 Sumber: The Master Plan Study on The Strategic Policy of The Air Transport Sector in The Republic Indonesia, July 2004.
Masalah lain adalah rendahnya kinerja bandara bandara yang dikelola oleh PT Angkasa Pura baik PT AP I dan II. Hal ini tercermin dari begitu banyaknya unit bandara yang masih merugi sebagaimana terlihat pada Tabel Kinerja Keuangan PT AP I dan II 2002. Kondisi dan masalah lain yang harus diperhatikan adalah banyaknya fasilitas yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan operasi pesawat yang aman seperti lebar landasan dan bahu landasan. 2.4.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA Sasaran pembangunan transportasi udara adalah menjamin keselamatan, kelancaran dan kesinambungan pelayanan transportasi udara baik untuk angkutan penerbangan domestik dan internasional, maupun perintis. Di samping itu sasaran yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan persaingan usaha di dunia industri penerbangan yang wajar sehingga tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli.
Bagian IV.33 – 31
2.4.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA a. Memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) guna meningkatkan keselamatan penerbangan baik selama penerbangan maupun di bandara di wilayah Indonesia. b. Menciptakan persaingan usaha pada industri penerbangan nasional yang lebih transparan dan akuntabtel sehingga perusahaan penerbangan yang ada mempunyai landasan yang kokoh untuk kesinambungan operasi penerbangannya. c. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor trasnsportasi udara guna menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta dalam pembangunan prasarana transportasi udara. 2.4.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi udara adalah: (1) rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi udara; (2) pembangunan prasarana transportasi udara; dan (3) restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi udara. Langkah-langkah yang akan diambil oleh adalah merehabilitasi prasarana transportasi udara yang rusak, membangun dan melengkapi prasarana transportasi udara yang kurang serta merevisi peraturan dan perundang-undangan yang menghambat kelancaran angkutan udara dengan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Adapun kegiatan yang akan diusulkan dalam lima tahun ke depan (2005-2009) adalah: 1. PROGRAM REHABILITASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Penggantian dan rekondisi kendaraan PKPPK (Penolong Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran) 31 bandara. 2. PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Pembangunan landas pacu 15.150 x 45 m2 antara lain di Makasar, Medan, Ternate, Sorong. 2. Pembangunan terminal penumpang 171.085 m2 antara lain di Makasar, Medan, Ternate, Sorong dan Lombok. 3. Pembangunan apron 938.150 m2 4. Sistem navigasi udara 5 paket. 5. Pelaksanaan Automated Dependent Surveillance–Broadcast di Indonesia dengan pengadaan dan pemasangan peralatan di 5 stasiun. 6. Pengadaan dan pemasangan peralatan CNS/ATM (Communication, Navigation, Surveillance/Air Traffic Management) 7. Pengadaan dan pemasangan Instrument Landing System (ILS) dan Runway Visual Range (RVR) di 10 lokasi. 3. PROGRAM RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DAN PERATURAN TRANSPORTASI UDARA, mencakup kegiatan: 1. Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Bagian IV.33 – 32
Di Subsektor Transportasi Udara, pembangunan fasilitas bandara baru seperti di Medan dan Lombok sangat dimungkinkan investor swasta untuk berpartisipasi, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. 2.5
PROGRAM PEMBANGUNAN PENDUKUNG TRANSPORTASI
Program pengembangan transportasi antar moda mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyusunan peraturan bidang pos; (2) pembahasan Revisi Undang-Undang Transportasi diantaranya Undang-Undang Tatanan Transportasi Nasional, Lalu Lintas Angkutan Jalan, Perkeretaapian, Tranportasi Laut dan Angkutan Udara, serta Telekomunikasi; (3) penyusunan dan sosialisasi peraturan bidang transportasi; (4) peningkatan KSLN Perhubungan; (5) kajian perencanaan, evaluasi dan kebijakan serta kajian strategis perhubungan dan transportasi intermoda; (6) penyusunan evaluasi dan operasional pemantauan kinerja keuangan dan pendanaan transportasi; (7) penyusunan pembinaan kinerja kepegawaian; (8) peningkatan Pusdatin; dan (9) Operasional belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan. Program peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan mencakup kegiatan-kegiatan pelaksanaan peningkatan sarana dan prarana perhubungan sistem, prosedur dan standar administrasi, penyediaan fasilitas pendukung pelayanan operasional serta penyelenggaraan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian/lembaga. Program pencarian dan penyelamatan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyusunan dan penyiapan petunjuk teknis; (2) evaluasi dan pembinaan proyek SAR; (3) pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan fasilitas, sarana dan operasional pencarian dan penyelamatan; (4) pembinaan dan pengembangan prasarana dan sarana pencarian dan penyelamatan; dan (5) operasional pemerintah dalam rangka pencarian dan penyelamatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan. Program penelitian dan pengembangan perhubungan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) pelaksanaan penelitian dan pengembangan perhubungan meliputi transoprtasi darat, laut, udara, postel dan manajemen transportasi intermoda; (2) penyusunan program monitoring dan evaluasi; dan (3) operasional pemerintah dalam rangka penelitian dan pengembangan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja perjalanan Program pengelolaan kapasitas sumber daya manusia aparatur dan pendidikan kedinasan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) pelaksanaan studi/kajian di bidang transportasi, manajemen transportasi intermoda, transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, dan pos dan telekomunikasi; (2) penyusunan program monitoring dan evaluasi; (3) pengembangan kelembagaan pendidikan dan pelatihan; (4) pengembangan kelembagaan METI; (5) pengembangan dan pembinaan Badan Diklat Perhubungan yang meliputi pengadaan sarana and prasarana, diklat teknis, rintisan pendidikan gelar (S2), pembangunan rating school dan kampus diklat Semplak; (6) pengembangan sarana, prasarana kelembagaan dan operasional penyelenggaraan diklat yang meliputi Pusdiklat perhubungan darat, laut dan udara, STTD Bekasi, STIP Jakarta dan STIP Curug; dan (7) operasional pemerintah dalam rangka pendidikan dan pelatihan perhubungan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan.
Bagian IV.33 – 33
Program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan mencakup kegiatan-kegiatan: (1) penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan pemerintahan; dan (2) penyusunan dan pembinaan kinerja kepegawaian/sumberdaya manusia perhubungan. Program pengawasan aparatur negara mencakup kegiatan-kegiatan: (1) menata dan menyempurnakan sistem, struktur dan pengawasan yang efektif, efisien, transparan, terakunkan; (2) meningkatkan intensitas pelaksanaan pengawasan internal, fungsional dan masyarakat; (3) meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum; dan (4) operasional pemerintah dalam rangka pengawasan aparatur negara yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pemeliharaan. Program pengembangan dan pembinaan meteorologi dan geofisika mencakup kegiatan: (1) penyusunan RUU meteorologi dan geofisika; (2) penyusunan RPP PNBP; (3) penyusunan petunjuk teknis penyelenggaraan meteorologi dan geofisika; (4) restrukturisasi kelembagaan; (5) pengembangan sistem observasi meteorologi dan geofisika, melalui otomatisasi sistem peralatan utamanya pada stasiun-stasiun di ibukota provinsi serta stasiun yang berada di daerah rawan bencana, daerah produksi pangan dan padat penduduk; (6) modernisasi peralatan untuk memproduksi dan penyebaran informasi meteorologi dan geofisika hingga tingkat kabupaten; (7) pengembangan sistem pelayanan data dan informasi meteorologi dan geofisika; (8) penelitian dan pengembangan bidang meteorologi dan geofisika yang bermanfaat untuk penanggulangan bencana, peningkatan produksi pangan, mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa serta keselamatan masyarakat; (9) peningkatan kerjasama dengan instansi lain baik di dalam maupun di luar negeri untuk peningkatan kualitas pelayanan serta peningkatan kemampuan SDM; (10) pelaksanaan pengawasan; dan (11) operasional meteorologi dan geofisika. 2.6
RENCANA PEMBIAYAAN
Sumber pembiayaan program rehabilitasi, pemeliharaan dan pembangunan sektor transportasi diperoleh dari dana Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN), BUMN, dan swasta sebagaimana tabel berikut: Tabel 14. Rencana Pembiayaan Sektor Transportasi Tahun 2005-2009 No.
Subsektor/Program
Sasaran Pusat
1. 1.1
Subsektor Prasarana Jalan Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan 1.2. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan a. Jalan Arteri b. Jalan Tol 2. Subsektor Transportasi Darat 2.1 Program Pengembangan Lalu Lintas Angkutan Jalan a. Keselamatan dan Fasilitas LLAJ b. Terminal c. Penanganan Muatan Lebih d. Pembinaan Angkutan Perkotaan e. Penyediaan Angkutan Perintis f. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring 2.2 Program Pengembangan Transportasi
Sumber Pembiayaan (Rp Milyar) Pemerintah BUMN Swasta Propinsi Kab/Kota
1.053.254 km
7.597,7
8.115,1
42.404,5
118.170 km 1.593 km
66.376,8 5.050,0
3.243,4
30.421,1
58.117,3
5.237,0
2.926,8
19.095,6
Bagian IV.33 – 34
Total
80.392,9
100.041,3 90.679,9 2.926,8
4.440,3
23.535,9
No.
Subsektor/Program
Sumber Pembiayaan (Rp Milyar) Pemerintah BUMN Swasta Propinsi Kab/Kota
Sasaran Pusat
2.3
2.4 3. 3.1
3.2
3.3 4. 4.1
4.2
4.3 5.
Kereta Api a. Pembangunan Prasarana b. Rehab dan Pengembangan Sarana c. PSO d. IMO e. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring Program Pengembangan Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan a. Rehab dan Pengembangan Dermaga b. Rehab dan Pengembangan Sarana c. Penyediaan Subsidi Perintis d. Perencanaan, Evaluasi dan Monitoring Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Darat Subsektor Transportasi Laut Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Transportasi Laut a. Dermaga b. Kapal c. Sarana Bantu Navigasi Program Pembangunan Prasarana Transportasi Laut a. Dermaga b. Kapal c. Sarana Bantu Navigasi Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Laut Subsektor Transportasi Udara Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Transportasi Udara Landasan Terminal Program Pembangunan Prasarana Transportasi Udara Landasan Terminal Program Restrukturisasi Kelembagaan dan Peraturan Transportasi Udara Rehabilitasi dan Subsektor Penunjang Transportasi Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Program Pencarian danPenyelamatan Program Pembangunan SDM Aparatur Program Penelitian dan Pengembangan
3.054,5
27.597 M’ 161 Unit 445 Unit 7.034 M’ 258 Unit 434 Unit
Total
3.054,5
6.381,0
618,0
12.790,2
3167,5
26,0
6.999,0
3707,3
19.665,0
26,0
7.004,0
413,0
7.417,0
14.798,0
1.780,0
16.578,0
3.503.221 m2 177052 m2 681.750 m2 171.085 m2 20
20,0
1.174,6
1.174,6
9.833,2 3.233,7 147,2
9.833,2 3.233,7
Bagian IV.33 – 35