Edisi Khusus Maret 2010
Media Informasi Kalam Salman
Resensi Judul Buku : Pengarang : Penerbit : Tahun : Tebal :
Menapaki Jalan Mendaki Sebuah Renungan tentang Alam, Manusia dan Kehidupan Palgunadi T. Setyawan Gema Insani, Jakarta Maret 2009 (Cet. 1) 256 + xii Halaman
Menyapa Hati dengan Hati
P
ada suatu hari di bulan Juni 2008, beberapa bulan menjelang ulang tahunnya yang ke-70. Sahabat dan murid-murid Pak Pal – demikian lelaki yang memiliki nama Palgunadi T. Setyawan itu biasa disapa – berkumpul. Mereka bermaksud memberikan “kado” ulang tahun berupa buku: Menapaki Jalan Mendaki (biografi) dan The Power of Tauhid (pemikiran dan konsepsi). Panitia yang dibentuk berharap bahwa ke dua buku tersebut bisa memotivasi dan menjadi insiprasi bagi siapa saja yang membacanya – khususnya generasi muda - dalam menapaki jalan kehidupannya masing-masing. Apalagi biografi yang baik dari seorang tokoh (teladan) ibarat sebuah cermin. Ia merupakan gambaran perjalanan hidup sang tokoh, sejak kecil, suka dukanya, cita-cita yang ingin diraihnya, prinsip hidup dalam mencapai apa yang diinginkannya, caranya merespon berbagai persoalan yang menerpanya, kepribadiannya serta lingkungan – termasuk orang-orang dekat – yang “akhirnya” membentuk pribadi sang tokoh. Biografi
berguna
bagi
pembaca
yaitu
dalam rangka untuk melihat siapa dirinya dengan mengacu kepada sang tokoh, semacam bahan perenungan untuk introspeksi. Figur seseorang, dalam kadar tertentu, biasanya sangat bermanfaat untuk menjadi sumber motivasi dan inspirasi. Dari situ pembaca da pat belajar untuk memotivasi dirinya sehingga dapat meraih sukses sebagaimana yang telah diraih sang tokoh, bahkan lebih baik. Sayang, upaya penyusunan kedua buku di atas tersendat. Pal Pak memang cenderung tidak ingin menonjolkan diri. Faktor inilah yang “menjadi” penyebab kedua judul buku tersebut “gagal” terbit. Tetapi semangat tim tidak padam dan masih berharap bahwa bisa mewujudkannya pada ulang tahun Pak Pal yang ke-75, insya Allah. Namun bolehlah jika kita sebut buku yang resensinya sedang anda baca ini merupakan “sintesa” kedua judul calon buku di atas. Isinya memang rangkuman pemikiran dan juga beberapa kisah perjalanan hidup penulisnya. Pada pendahuluan buku penulis men ceritakan “latar belakang” buku ini, dan mengapa diberi judul: Menapaki Jalan Mendaki. Buku ini terdiri atas 6 (enam) bab: Alam,
Edisi Khusus Maret 2010
Resensi Diri, Komunikasi, Akhlak, Kepemimpinan, Kesuksesan. Buku ini menekankan pentingnya meng ingat Tuhan Sang Maha Pencipta. Karena itu, dalam Bab 1 dijelaskan pentingnya “belajar” dari alam. Penulis buku menilai bahwa dengan belajar pada alam, manusia – selain bisa mendapatkan inspirasi – akan “menemukan” Tuhan yang sebenarnya. Pentingnya persoalan ini terlihat dari porsi yang diberikan untuk bab ini, yaitu 52 halaman. Yang menarik dalam bab ini adalah tesis penulis tentang siklus dan tahapan kehidupan. Ia membaginya menjadi 3 (tiga) fase: alignment (0-6), adapt (7-12) dan add value (13-18). Ketiga fase itu berulang. Misalnya, pada usia 19-24 manusia mengalami fase alignment kedua. Demikian seterusnya.
dipungkas dengan pernyataan tajam kepa da para pembacanya: “Andalah orang yang paling menentukan diri Anda sendiri. Andalah aktornya, sekaligus sutradara dan penulis skenarionya .... Yang penting action. Bergerak. Beramal .... Ingat, kura-kura meskipun pelan ia bergerak”. Buku ini sarat dengan nasihat untuk memotivasi. Isinya begitu bernas dan ditulis dengan “hati”. Yang diungkapkan bukan teori tetapi me rupakan “hasil” pengalaman dari perjalanan hidup penulisnya selama 70 tahun. -jhs
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah keharusan belajar dan melihat diri sendiri. Tentang “Diri” ini dibahas dalam bab kedua. Penulis memasukkan “Berpikir Positif” se bagai sub bab. Penulis berkesimpulan bahwa orang sukses amat ditentukan bagaimana jalan berpikirnya (hal 59). Sehingga ia meng anjurkan: “mulailah dengan membiasakan diri memikirkan semua hal yang baik, mulia, yang menyenangkan, yang posiitif”. Karena siklus berpikir positif – jika sudah menjadi habit akan berubah menjadi akhlak – akan menimbulkan kebahagiaan, sedangkan sebaliknya siklus ber pikir negatif akan menimbulkan penderitaan. Paparan lain yang menarik adalah ”rumus” kesuksesan. Menurut penulis buku ini, sukses itu harus ditempuh dengan cara dan sikap selalu siap aktual pada setiap kesempatan dan berkomitmen dalam pekerjaan. Tampaknya masalah ini dikupas lebih ba nyak berdasarkan pada pengalaman penulisnya sendiri. Namun, ia pun mengingatkan bahwa sukses itu merupakan sebuah proses, yang kadang-kadang “sangat” panjang. Buku yang berisi bahan renungan ini
Lelaki murah senyum itu namanya Pak Pal
Edisi Khusus Maret 2010
Profil Tokoh Palgunadi T. Setyawan
S
Militer, Industri dan Kampus
iapa pun yang memelajari “Catur Dharma”, corporate culture PT. Astra International Tbk., mestinya “mengenal” Palgunadi. Ya, lelaki yang kini berusia 71 tahun itulah yang “melahirkan” pedoman kerja setiap karyawan di per usahaan kelas kakap yang didirikan taipan William Suryajaya itu. Palgunadi Tatit Setyawan, demikian nama lengkapnya. Namun namanya sering ditulis Palgunadi T. Setyawan. Lelaki murah senyum yang senang disapa Pak Pal itu adalah anak tertua dari lima bersaudara. Ia lahir di Tegal, 12 Maret 1939. Ayahnya, Sunaryo, adalah aktivis perkumpulan Indonesia Muda (IM). Itulah sebabnya nama akhirnya, termasuk nama adikadiknya, diberi akhiran Setyawan. Sementara itu, kakeknya dari pihak ibu – bernama Saleh Haji – termasuk golongan ningrat, sehingga perkawinan kedua orang-tuanya “sempat” tidak mendapat restu. Kondisi kehidupan keluarganya, yang cenderung pas-pasan, menempa pribadi Palgunadi kecil. Dari sang kakek, Palgunadi mendapatkan falsafah hidup: sinau dadi wong sugih, ojo dadi wong mlarat, ‘jadilah orang kaya, jangan jadi orang miskin’. Falsafah yang diajarkan kakeknya itu kemudian ia terjemahkan bahwa melarat adalah orang yang, pertama, pemahaman agama kurang, kedua, lemah dalam berpikir dan ketiga, kehormatannya tercuri. Pada usia delapan tahun, Pal diajak ka keknya – yang bekerja sebagai juru gambar di Perusahaan Jawatan Kereta Api – ke pe labuhan, Tegal. Disana ia melihat crane yang teronggok rusak. “Mengapa crane itu dibiarkan rusak, Mbah?” Tanya Pal kecil, dengan polos. Sang kakek menjelaskan bahwa yang bisa
memperbaikinya adalah insinyur Belanda (yang pada saat itu, 1947, banyak orang Belanda yang pulang ke negerinya). “Karena itu, kamu nanti harus menjadi insinyur agar bisa memperbaiki crane itu”, demikian lanjut sang kakek. Kata-kata kakeknya itu tertancap dalam dada Palgunadi. Setamat SMA ia masuk Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung (kelak, sejak 1959, menjadi Institut Teknologi Bandung). Lucunya, sampai di depan loket – saat pendaftaran setelah diterima – ia tidak tahu harus masuk jurusan apa. Terpaksa ia pun keluar dari antrian dan bertanya kepada orangorang disekitar itu tentang jurusan “tukang memperbaiki crane”. Dari jawaban yang ia dapatkan, Palgunadi mengambil jurusan Teknik Mesin. Kehidupan Pak Pal bak menapaki jalan mendaki. Untuk menjadi orang kaya, yang bukan sekadar banyak harta tetapi terjaganya kehormatan, tidak lemah dalam berpikir dan dalam ilmu agamanya, itulah yang melecut Palgunadi untuk selalu belajar apa saja, dan
Bersama Perwira Muda TNI AD
Edisi Khusus Maret 2010
Edisi Khusus Maret 2010
menekuni apa yang dipelajari. Ia pun tidak memilih-milih jabatan, tetapi selalu berusaha untuk siap menerima jabatan atau pekerjaan apapun. Itulah sebabnya, setamat dari ITB, ia masuk lingkungan TNI- AD, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Pada saat di TNIAD inilah ia pernah mengikuti pendidikan kemiliteran sampai Seskoad. Ia bahkan pernah menjadi siswa terbaik. Palgunadi pernah mendalami bidang balistik di Yugoslavia, dan menyandang gelar Dipl. Ing. Balistician. Ilmu itulah yang menjadi bekal baginya untuk memimpin Pindad hingga ia pensiun tahun 1983. Pensiun dari Pindad, tidak menyebabkan Palgunadi lantas rehat. Ia kemudian bekerja di PT United Tractor, dan selanjutnya di PT. Astra International Tbk., sebagai corporate communicator. Jabatannya itulah yang me nyebabkan Palgunadi mulai dikenal orang, karena wajah dan komentar-komentarnya se ring menghiasi media massa. Pak Pal berhasil membangun fondasi yang kukuh mengenai budaya perusahaan (corporate culture), yang diberi nama Catur Dharma – mungkin yang terbaik di antara perusahaan multi nasional – di tubuh Astra, yang masih dijalankan sampai saat ini. Pada saat meninggalkan Astra tahun 1997, Palgunadi tercatat sebagai Senior Vice President.
Dengan Sang Istri
Selepas dari Astra, Palgunadi dipinang perusahaan Amerika-Inggris, GIBB Ltd., dengan posisi Regional Director untuk Asia. Selesai dari GIBB, ia diminta konglomerat Raja Garuda Mas untuk melakukan hal yang sama seperti di Astra dengan pangkat lebih tinggi, Executive Vice President. Semua jabatan formal itu ia lepaskan pada tahun 2003. Pak Pal dikaruniai seorang putera dan seorang puteri, dari pernikahannya dengan Hetty Soemanti. Kini sehari-hari ia tinggal bersama istrinya dan salah satu – dari lima – cucunya, Raisha. Di usia senjanya, pak Pal masih terus berkarya. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Majelis Wali Amanah ITB. Di usia 70 tahun, ia masih tercatat sebagai anggota Dewan Riset Nasional, anggota Dewan Desain Nasional, anggota Badan
Dekat dengan cucu-cucu Pengawas Dana Mandiri Lingkungan, salah satu pendiri dan anggota Masyarakat Transparansi Indonesia, ketua Yayasan Para Sahabat. Ia pun masih menjadi Kepala Pengembangan Manajemen dan Kewirausahaan Universitas alAzhar (UAI) Jakarta, Komisaris Independen PT.
Edisi Khusus Maret 2010
Adaro, Komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol serta mengisi berbagai ceramah dan kuliah di berbagai tempat dan kalangan. Sebagai salah seorang pengajar di UAI, Pak Pal menempuh cara yang unik. Dia meminta dan mengundang tokoh-tokoh (khususnya para manajer andal dari berbagai perusahaan dan instansi) menjadi pengajar mata kuliah yang ia koordinasikan. Satu mata kuliah diajar beberapa orang? Ya. Para mahasiswa pun menjadi senang, karena dengan cara itu mereka mendapat ilmu, sekaligus pengalaman, dari beberapa tokoh yang mumpuni. Dari rekam perjalanan hidup Pak Pal di atas (dari dunia militer, industri dan kampus) tidakheran jika networknya pun luas. Sebagian kecil di antaranya: William Suryajaya, Michael D. Rusliem (Astra); Budiardjo, Edie Sarwono dan Paulus Bambang (United Tractors); Adik Soedarsono (Pindad); Ciputra (Pembangunan Jaya Ancol); Kusnina Gunawan (SGI); Filino Harahap, Kadar Hartono, Pinkie N, Wibiarto (Mesin 57); Firman, Eko Pras, Yossi (Hijrah Institut); Djoko Suharto, Djoko Santoso (ITB); Budi Santoso (PT DI); Prof. Dr. Zuhal, Prof Harsono, Suhaimi, Chirzun, Murni (UAI); Manggi Chobir, Risa (Danamon); Ery Riana (MTI); Dorodjatun K. Jakti, Arief Surowidjojo, Danisworo, Tonyom H Loebis; Robby Spiro; Ermied Thabrabi (UPR); Aa Gym, Hatta Rajasa, Ahmad Noe’man dll. Darah aktivis “warisan” sang ayah memang mengalir di tubuhnya. Walau merasa bukan sebagai aktivis Masjid Salman ITB, tetapi Pak Pal sangat senang jika berada di tengah-tengah keluarga besar Salman atau alumni Salman.
rangka memperbesar “tabungan akhirat”. Itulah, barangkali, mengapa ia – misalnya – pun tak segan ikut terjun langsung ke lokasi untuk membantu masyarakat Sumatra Barat yang terkena musibah gempa bumi akhir September 2009 lalu. Banyak hal yang bisa diteladani dari sosok yang murah senyum, spiritually logical thinking, disiplin, kebapakan dan rendah hati ini. Tangannya mudah terbuka untuk membantu orang lain. Walaupun waktunya padat dengan berbagai aktivitas, Pak Pal mudah dihubungi dan dimintai petolongan, oleh siapa pun. Ia pun mudah akrab dengan siapa saja, termasuk dengan mahasiswa, serta “orang-orang kecil”, yang seringkali menjadi inspirasi bagi berbagai pemikirannya. Sapaannya menyejukkan hati dan nasihatnya membangkitkan semangat. Tetapi, ia bukan tipe orang yang suka memanjakan orang, termasuk terhadap anak-anaknya. Kini Pak Pal banyak menuangkan pemi kirannya dalam bentuk tulisan. Sudah 2 (dua) buah buku yang ia tulis: Daun Berserakan dan Menapaki Jalan Mendaki. Dalam buku Menapaki Jalan Mendaki, Pak Pal memberi pencerahan dalam rangka menapaki jalan kehidupan yang seringkali berliku-liku dan mendaki jalan terjal dengan jurang di sebelah kiri dan kanan. Buku keduanya ini seolah-olah menggambarkan per jalanan hidup sang penulis. Tampaknya Pak Pal ingin memberi contoh agar setiap intelektual muslim terbiasa menulis buku sebagai warisan khasanah intelektualnya kepada bangsa. Ini adalah sebuah warisan yang abadi, yang pahalanya terus mengalir. -jhs
Pak Pal berharap, di akhir usianya ia mendapatkan sebagaimana bunyi ayat dalam surat Adh- Dhuha: “walal aakhiratu khairul laka minal uulaa, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik baik bagimu dari permulaan”. Tentu kebaikan di akhir, baik di dunia maupun akhirat. Karena itu ia selalu terbuka jika ada yang memintanya untuk berceramah, dalam Diterbitkan oleh: Keluarga Alumni (Kalam) Salman Bandung. Ketua: Taufikurrahman. Sekretaris: Budhi Yulianto. Bendahara: Iyan Sofyan. Ketua-ketua Bidang: Samsoe Basarudin, Munawar Kholil, Ari Fajar, Wahyu Lesmana, Yon Aidil, Johansyah. Desain Visual: Satriyo W. Sekretariat: Rumah Alumni Jln. Ganesha No 7 Bandung, Tlp. 2530708