SUPERIORE GENERALE
CONGREGAZIONE DEI SACERDOTI DEL SACRO CUORE DI GESÙ ________
Roma, 13 Mei 2010
Prot. N. 0079/2010
"Aku akan memberi kepada kamu hati yang baru" Surat pada kesempatan Hari Raya Hati Kudus
Kepada para Konfrater SCJ Kepada anggota Keluarga Dehonian
Para saudara dan saudari, Kita merayakan hari raya Hati Kudus, setahun setelah Kapitel Jendral ke-XXII, yang menggarisbawahi perlunya memusatkan kembali hidup kita pada Kristus dan mempelajari kembali warisan rohani kita, dalam dialog dengan jaman di mana kita hidup. Pesta ini juga merupakan penutupan tahun imamat. Para imam dipanggil untuk mengejawantahkan dan mengungkapkan sescara khusus kasih Kristus dalam Gereja dan dalam dunia. Refleksi yang kami sajikan ini bermaksud memberi sumbangan untuk menghayati peristiwa-peristiwa ini dengan pandangan pada akar sejarah kita, dengan berupaya membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus yang membarui segala sesuatu.
Pengantar: sebuah perjalanan dalam Roh Kudus Spiritualitas adalah sebuah perjalanan, atau lebih baik, bimbingan kepada Jalan, karena Kristus sendiri adalah jalan, motivasi, penunjuk jalan dan tujuan perjalanan. Karisma atau “spiritualitas” yang berbeda-beda dalam Gereja tidak memecah-belah, tetapi memperkaya jalan hidup kristiani, dengan motivasi, strategi, saat-saat untuk berhenti sejenak dan saat menggali Via Casale di San Pio V, 20 00165 – Roma Italia
Tel.: 06.660.560 Fax: 06.660.56.317 e-mail:
[email protected]
motivasi, dengan pandangan panorama indah, tujuan dari segala usaha kita. Semuanya mempunyai tujuan untuk melatih dan membantu siapa saja yang mengadakan perjalanan atau para peziarah menemukan sukacita dan motivasi dari berjalan bersama, supaya orang tidak kehilangan pandangan akan tujuan akhir untuk digapai, dan untuk membantu peziarah lain dalam perjalanan hidup mereka. Dalam Gereja, sebuah anugerah karismatis atau sebuah spiritualitas dapat dipahami menurut terang kisah para murid dari Emaus (Luk 24:13-35). Selama perjalanan mereka, dua peziarah ini telah mengalami pengalaman pribadi atas kehadiran Tuhan yang bangkit dan secara radikal telah mengubah perjalanan mereka. Perjumpaan ini telah membuat mereka kembali ke komunitas, ke Yerusalem, di mana mereka mendengar suara para rasul yang menyatakan: “Tuhan sungguh telah bangkit”. Kisah tentang pengalaman pribadi mereka, yang terjadi di dalam komunitas, tidak menggantikan dan juga tidak bertentangan dengan pewartaan para rasul, yang merupakan dasar iman seluruh Gereja. Sebaliknya, pengalaman pribadi itu justru memperkaya pewartaan para Rasul, memberikan sebuah contoh dan membuatnya lebih konkret dan sekaligus menjadi penunjuk perjalanan bagi banyak orang lain, sampai jaman kita sekarang. Seperti bagi para murid dari Emmaus, warisan rohani dalam Gereja menjadi seperti buku pegangan perjalanan, yang merupakan buah dari pengalaman dari seseorang atau dari sebuah kelompok, yang telah membuat perjalanan dan telah men-sharing-kan dengan yang lain apa yang mereka rasakan, yang mereka derita, impikan dan harapkan, menurut terang Roh. Pengalamanpengalaman seperti itu ditandai oleh waktu, oleh lingkungan dan orang-orang itu sendiri yang telah mengalaminya. Tetapi, sebagai pengungkapan pengalaman akan Roh dari Tuhan yang bangkit, pengalaman-pengalaman itu menjadi sumber persekutuan, sumber hidup dan perjalanan bagi komunitas. Maka, demi vitalitas petunjuk jalan ini, dituntut lah pemikiran kembali dan penyesuaian terus-menerus, untuk mejawab situasi jaman dan lingkungan, situasi lingkup historis dan setiap kelompok orang yang ada dalam perjalanan. Itulah tantangan yang terjadi kini: menyingkapkan kembali dan membuat lagi pengalaman akan Tuhan yang bangkit yang dihayati dan dikisahkan oleh Pater Dehon, sebagai petunjuk jalan, untu k dihayati dan dikomunikasikan kepada Gereja. Di tempat tidur di mana Pater Dehon meninggal, ia memberikan suatu petunjuk yang ia pandang esensial untuk memahami dan menghidupi pengalaman rohaninya: “Saya tinggalkan bagi kalian kekayaan yang paling mengagumkan, yaitu Hati Yesus” (bdk. Wasiat Rohani). Dalam situasi serupa, petunjuk ini bukan hanya suatu saran sederhana atau saleh, tetapi merupakan inti (kenthos) dari pengalaman pribadinya. Yaitu apa yang telah memotivir, mendukung dan menerangi hidupnya dan pelayanannya, dan menghantarnya juga pada pendirian Kongregasi. Sebuah pengalaman seperti itu, seperti dikatakan oleh Konstitusi kita no. 2, diterangi oleh apa yang dikatakan oleh St. Paulus sebagai pusat hidupnya: “Hidup ini, yaitu hidup dalam daging, aku hidupi dalam iman akan Putera Allah yang telah mencintai saya dan memberikan diriNya bagiku” (Gal 2:2). Maka pengalaman personal itu mempunyai nilai sebagai model dan merupakan ciri khas bagi siapa saja yang ingin mengikuti perjalanannya itu. Kita ketahui dengan baik bahwa pengalaman rohani ini masuk dalam arus pemikiran dan spiritualitas abad itu, yang menjamur pada jaman Pater Dehon, yang dipengaruhi oleh lingkungan historis Gereja dan masyarakat. Bagi pelbagai generasi kaum kristen, ikon Hati Yesus telah menjadi bentuk mendekatkan diri pada kasih dan belaskasih Allah, ketika pengungkapan teologis dan liturgis sering jauh dari penangkapan mereka. Pembaruan teologis dan liturgis yang bermuara dalam Konsili Vatikan II, telah membuat semakin terasa perlunya melihat kembali, memurnikan dan mengungkapkan dalam bentuk baru apa-apa saja yang berkaitan dengan spiritualitas ini. Tetapi, sering kali, dengan mencoba mengatasi pelbagai pemahaman lama dan pengungkapannya serta keinginan untuk memurnikannya, yang terjadi secara tergesa-gesa, akibatnya segi-segi yang sangat penting dikesampingkan. Dengan demikian jatuh dalam resiko “membuang bayi bersama airnya”. Maka perlu diingat betul-betul apa yang sungguh-sungguh baik dalam arus rohani ini, khususnya dalam bentuk di mana ditemukan dalam Pater Dehon, supaya dapat menghayatinya dan mengatakannya lagi dalam Gereja dan dunia masa kini, tanpa harus mengulangi cara-cara pengungkapan yang menjadi bagian dari jaman sejarah lain. Bapa Pendiri sendiri menyarankan juga cara untuk mengadakan pembaruan ini. Memang benar, pandangannya tentang “Hati Yesus” 2
ditempatkan dalam konteks jamannya, tetapi secara mendalam diresapi oleh Kitab Suci, yang beliau kutip dalam tulisan-tulisanya dengan frekuensi yang sama sekali tidak biasa pada jamannya. Mengikuti jejaknya, dengan menelusuri Sabda Allah, kita lantas mempunyai sebuah dasar umum untuk memahami prinsip-prinsip dasar dan sumber-sumber inspirasi, dan untuk pemeliharaan pengalaman rohani ini. Sebenarnya, dalam tradisi biblis, jauh sebelum muncul dalam tradisi spiritualitas kristiani, hati, dalam arti kiasan-simbolis, menempati tempat istimewa dalam pemahaman pribadi manusia, dan hubungannya dengan pribadi lain dan dengan Allah. Sementara itu, dalam budaya Barat, simbol hati mengingatkan emosionalitas dan afektivitas/kasih. Dalam mentalitas biblis, simbol hati, pertama-tama mengingatkan pengertian, ingatan, kehendak dan kemampuan untuk memutuskan. Selanjutnya, bicara tentang hati tidak berarti menunjuk pada sebuah bagian dari pribadi, tetapi seluruh keberadaannya, kedalamannya yang dipertentangkan dengan apa yang bersifat superfisial, kebenaran mendalam dibandingkan dengan apa yang hanya nampaknya, sementara dan bisa menipu-sesatkan. Dimensi hati sungguh penting dalam hubungan antar-pribadi. Di sini hati, pertama-tama mengungkapkan, kebenaran dan transparansi, tetapi juga amabilitas dan kelembutan dalam relasi. Membuka atau “mencurahkan” hati (curhat) berarti meyingkapkan perasaannya atau pemikirannya, rahasia hidupnya; sementara jatuh cinta pada atau bicara sepenuh hati tentang seseorang menunjukkan pengenalan mendalam akan yang lain dan komunikasi kasih. Hati seseorang adalah rahasia terdalamnya yang dapat dikenali hanya sejauh pribadi itu sendiri menyingkapkan dan masuk dalam komunikasi dengan yang lain. Kemudian, jangan heran, bahwa “hati”, yaitu manusia dalam kebenarannya yang pribadi dan mendalam, pertama-tama merupakan wilayah relasi dengan Allah. Sang Pencipta mengenal dorongan-dororangannya yang paling mendalam, menyembuhkan luka-lukanya, mematahremukkan kekerasan hatinya, mengajarinya dan membaruinya. Maka, sadar akan kelemahan dan kesesatan hati manusia, melalui nabi Yehezkiel, Allah menyatakan anugerah sebuah hati baru, melalui karya RohNya, sebagai tanda dan antisipasi jaman baru, yaitu jaman keselamatan: “Aku akan memberi kepada kamu hati yang baru dan akan menempatkan di dalam diri kamu Roh yang baru” (Yeh 36:26).
1.
Pandangan pada Hati Kristus
Dalam terang dari apa yang baru saja dikatakan, kalau kita bicara tentang “Hati Yesus”, atau tentang “Hati Kristus”, kita tidak menunjuk pada satu bagian atau dimensi dari keberadaanya, tetapi menunjuk pada keseluruhan pribadinya, hubungannya dengan Bapa dan dengan pribadi-pribadi lain. Ini sekaligus merupakan anugerah dan undangan pada pengenalan dan pengalaman keberadaanNya, rahasia hidupNya dan perutusanNya. Pertama-tama, “Hati” membawa kepada pandangan pada kemanusiaan Yesus, sebagai Sabda yang menjadi daging dan datang untuk tinggal di tengah-tengah kita (Yoh 1:14). Dalam tindakantindakanNya, kita dapat mengkontemplasikan perhatian Allah bagi manusia, kedekatanNya pada setiap paribadi, lepas dari ras, budaya atau kondisi sosial, prioritas perhatian bagi yang paling kecil, menderita dan tersingkir; kesetiaan kasih juga dihadapan penolakan, penderitaan dan kematian. “Hati relasional” Kristus, menjelaskan, dalam bentuk manusiawi, kasih Allah yang tak pernah terbenam bagi ciptaanNya yang terkasih: menjadi manusia, tetapi sekaligus, merupakan pengungkapan yang paling baik dari keberadaanNya sebagai manusia, dalam hubungan dengan yang lain dan dengan Sang Pencipta. Maka Ia ditampilkan sebagai model untuk diikuti dan ditiru “Belajarlah dari padaku karena Aku lembut dan rendah hati” (Mat 11:29)- dengan jelas menunjuk pada Sabda Bahagia yang menggambarkan ideal hidup manusia yang berpangkal pada hidup batinNya, dari hatiNya (Mat 5:3-12). Dan berpangkal dari kemanusiaanNya ini, sebagai Emmanuel (Tuhan berserta kita), Yesus sekaligus menjadi pewahyuan kasih Allah dan model yang dapat ditiru, perjalanan yang mungkin ditapaki oleh setiap pria dan wanita di dunia ini. 3
Tindakan-tindakan dan kata-kata Yesus, kedekatanNya dengan para pengikut-Nya, membawa mereka untuk bertanya tentang identitasNya yang sesungguhnya, tentang rahasia terdalam keberadaanNya, tentang “Hati-Nya”. Inilah pertanyaan yang muncul dari mulut orang banyak dan para murid, yang sepanjang seluruh Injil, pertanyaan itu pelan-pelan menemukan jawaban ketika Dia sendiri mewahyukan Diri dan para murid mendekatkan diri pada misteri itu. Dan apa yang diberikan kepada mereka untuk mereka kontemplasikan adalah bahwa Yesus tidak hanya yang terbaik dari manusia, tetapi adalah manusia baru yang dipenuhi Roh Kudus, sang Putera Allah. Ia bukanlah cuma hasil dari penyempurnaan keberadaan manusia, tetapi campur tangan yang secara radikal baru dari Allah. Menurut pewahyuan waktu dibaptis di sungai Yordan (Mrk 1:9-11), Allah lah yang memberikan permulaan kepada kemanusiaan baru dengan mencurahkan RohNya. Dan menurut Rasul Paulus, Ia adalah gambaran Adam baru (bdk. Rom 5:1221). Tetapi Kristus bukan hanya penggambaran tentang manusia baru. Dalam kepenuhan Roh dari Bapa, Dia juga lah yang membaptis dengan Roh. Menurut pewartaan Yohanes Pembaptis, di mana bergema nubuat tentang hati baru dari Nabi Yehezkiel, transformasi sejati dari keberadaan manusia, menurut rencana Allah, bukan hanya buah dari usaha-usaha sesal dan tobat (baptisan dengan air), tetapi anugerah Roh Allah yang sama, yang Yesus miliki dalam kepenuhan: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Dia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus” (Mrk 1:8). Pewahyuan Yesus sebagai sumber Roh sangat disenangi Injil Yohanes, yang memuncak dalam peristiwa lambung tertikam Yesus, yang dari padanya mengalir darah dan air, tanda hidup dan Roh yang dicurahkan kepada manusia (Yoh 19:31-37). Dalam penombakan, sang penginjil mengkontemplasikan pewahyuan kebenaran lebih jelas dan mendalam tentang hidup Yesus, pada saat di mana Ia mengakhiri perutusanNya di dunia ini. Adalah bukti tertinggi dari sebuah hidup yang dipersembahkan demi cinta sampai konsekuensi terakhir: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya demikianlah sekarang Ia menggasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (Yoh 13:1). Bisa dikatakan, Ia menunjukkan kelahiran manusia baru, yang tidak hanya hidup yang terbebaskan dari egoisme dan dari dosa, tetapi akhirnya bisa bebas dari jerat kematian, karena disambut dalam kemuliaan Bapa. Ia memberi permulaan pada komunitas baru yang dibentuk oleh Israel pertama dan kedua, yang diwakili oleh Sang Bunda dan murid terkasih di bawah salib. Kemanusiaan baru ini berkumpul, disuburkan dan diarahkan oleh Roh, yang dilambangkan oleh darah dan air, yang melahirkan hidup baru dan membuka horison baru relasi dan hidup. Lambung tertikam Yesus menyingkapkan sebuah dimensi lain yang fundamental. Ia merupakan manifestasi tertinggi dari cinta dan pemberian diri terjadi di tengah peristiwa penolakan, kebencian, kekerasan dan kematian yang menimpa umat manusia. Umat manusia butuh dibebaskan dari lingkaran setan kekerasan dan kematian, membutuhkan didamaikan dari keterpecahannya, dilahirkan kembali dari kehancuran-kebobrokannya, diciptakan kembali dengan prinsip hidup baru. Dalam lambung yang tertikam, ringkasan dari misteri paskah, diwahyukanlah pemulihan atau kelahiran kembali umat manusia ini yang tertimpa dosa, yang memecah-belah hubungan manusia dan menghalangi relasi dengan Allah. Dalam ketaatan kepada rencana Allah, yaitu memberikan kepada manusia Roh kelahiran baru, Kristus menanggung beban dengan merendahkan diriNya sebagai manusia “sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Juga dalam penolakan, dalam penderitaan dan dalam kematian, Ia tetap taat kepada cinta. Ia menolak solusi melalui kekerasan dan penindasan. Ia menegaskan kemungkinan perjalanan baru dalam solidaritas, dalam pendamaian dan pengampunan. Sebagai Putera Allah dan pemberi Roh, Ia membuat perjalanan ini mungkin juga bagi kita dengan menjadi “sumber kehidupan kekal” seperti dikatakan surat kepada jemaat Ibrani (bdk. Ibr 5:7-10). Roh memungkinkan manusia mengatasi kematian dan segala akibat dosa: korupsi, perpecahan dan kekerasan yang menghancurkan hidup bersama manusia. Dengan demikian mendekatkan diri atau membiarkan diri ditarik oleh Hati Kristus bukanlah hanya merupakan suatu pandangan kontemplatif atau spekulatif, tetapi sebuah perjalanan yang melibatkan seluruh pribadi, seperti yang dituntut oleh logika hati. Berpangkal dari permohonan dan dari kesiapsediaan untuk menerima anugerah Roh, membiarkan diri ditarik oleh Hati Kristus lantas 4
menjadi kedekatan, pemahaman, identifikasi dan transformasi, Perjalanan konfigurasi ini atau “kristifikasi” (proses untuk menjadi seperti Kristus) adalah perjalanan yang kami coba gariskan dalam bagian kedua dari surat ini. Kami bertitik-pangkal pada tiga sikap dasariah yang men-cirikhas-kan-nya: sebuah hati yang mendengarkan, hati yang terbuka bagi yang lain, hati yang solider.
2. 2.1.
Perjalanan hati Sebuah hati yang mendengarkan
Perjalanan hidup yang berasal dari mendekatkan diri pada Hati Kristus ini mulai dengan kembali kepada hatinya sendiri. Pertama-tama dalam ritme hidup luar biasa yang didesakkan oleh masyarakat masa kini, memberi ruang pada hati adalah sebuah tuntutan fundamental bagi manusia untuk menghindari manipulasi dan pengasingan (alienasi), menjamin kesehatan mental dan keharmonisan hidupnya dan menggapai kebebasan batin yang mengijinkannya menilai secara tepat keadaan dan mengembangkan proyek hidupnya. Perjalanan ini merupakan sebuah proses terus menerus penyembuhan dan pendamaian dengan “diri” sendiri, pada tingkat psikologis, moral dan spiritual, untuk menghindari supaya luka-luka masa lampau tidak terus menguasai masa kini dan masa depan. Perjalanan ini menuntut pembinaan hati dan melatihnya yang terus-menerus, supaya manusia bisa memandang hidup dengan bijaksana dan tepat, menilai menurut kebenaran dan keadilan, melibatkan diri dengan murah hati dan seluruh energi hidupnya dikerahkan demi pembangunan dunia. Tujuan dari kembali ke hati ini adalah agar memiliki diri dengan kebebasan. Sebuah kebebasan yang jauh mengatasi “dirinya”, dalam pencarian makna-makna baru dan relasi-relasi baru, karena hati manusia telah diciptakan sebagai peziarah menuju kebenaran. Kembali ke hati tidak berarti menjadi tertutup di dalam “diri”, tetapi adalah sebuah proses dinamis pencarian dan dialog yang membawa pribadi pada ambang hati baru dalam Roh, menurut anugerah dan rencana Allah. Pejalanan hati menghantar kepada perjumpaan dengan DIA yang telah menciptakannya. Anugerah Roh tidak menghilangkan hati manusia, tetapi membukanya kepada kemungkinan-kemungkinan baru, kepada tingkat baru eksistensi, moral, relasi-relasi dan harapan. Perjalanan ini mempunyai penunjuk jalan, teladan dan dukungan: Kristus, Manusia Baru menurut Roh, prototipe dan yang sulung dari kemanusiaan baru dan pemberi Roh. “Perjalanan hati” kita lewat melalui Hati Kristus yang adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Bagi Rasul Paulus, persatuan dengan Kristus adalah simbiosis yang membawanya untuk mereproduksi dalam eksistensinya sendiri sikap-sikap Kristus sendiri: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup., tetapi bukan lagi aku sendiri yanghidup, melainakan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Ini bukan cuma menirukan tindakan-tindakan seorang guru, tetapi secara lebih radikal merupakan karya Roh yang membuat pribadi itu menjadi ciptaan baru menurut teladan dan perasaan-perasaan Kristus. Hidup, berpikir, bertindak menurut “kodrat kedua” ini atau “kodrat yang dibarui” ini, bukanlah hanya buah dari usaha dan askese, tetapi adalah nugerah Roh. Dari lain pihak, manusia lama, Adam pertama, terus nongkrong-hadir dalam eksistensi orang-orang yang telah mengadakan perjalan, seperti juga dalam mentalitas dominan masyarakat di mana ia mereka hidup. Untuk itu, dituntut sebuah sikap mendengarkan terus-menerus Roh yang menyembuhkan, yang mendamaikan, yang mengajari hati, seperti dipaparkan oleh St. Paulus, khususnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma bab 8. Perjalanan ke Emmaus, yang telah kami katakan di atas, menunjukkan dua unsur dasariah dari sikap mendengarkan ini yang mengubah ekistensi. Sepanjang jalan, dua murid itu dibimbing oleh teman perjalanan yang misterius. Mereka telah mengkonfrontasikan kata-kata para nabi dan Yesus dengan hidup mereka dan dengan kata-kata rasul-rasul lain. Kemudian, pada waktu senja, mereka mengenalNya ketika Ia memecahkan roti, ketika Ia duduk di sekitar meja bersama mereka. Dia yang telah menerima kematian sebagai ungkapan kesetiaan dan cinta dan yang sekarang hadir 5
di tengah-tengah para murid-Nya, adalah satu-satunya yang mampu memberikan makna skandal penolakan, penderitaan dan kematian. Melalui penolakan, penderitaan dan kematian itu disampaikan penebusan umat manusia. Kini, “lectio divina” dan ekaristi merupakan saat-saat istimewa yang dipersembahkan untuk membarui perjumpaan dengan Kristus yang bangkit dalam komunitas. Ia adalah sebuah sikap mendengarkan yang menyuburkan persekutuan dengan Allah dan dengan komunitas; yang mengajari kita untuk menilai makna saat aktual-kini: dalam harapan-harapannya dan dalam peristiwa-peristiwa dramatisnya; yang mengubah hati dan konfigurasi hidup dalam mengikuti Kristus; yang memungkinkan untuk mempersembahkan hidupnya, dalam sukacita dan dalam sakit demi transformasi dunia. Sadar bahwa kita membawa “harta ini dalam bejana tanah liat”, baik lantaran beban kesalahan kita, maupun melemahnya fisik kita dan kesulitan-kesulitan hidup kita, pekerjaan dan hubungan-hubungan kita, kita membuka hati pada karya Roh, dalam sebuah proses pemurnian dan pembaruan terus-menerus, supaya “walaupun keberadaan lahir kita hancur, yang batin diperbaruhi dari hari ke hari” (bdk. 2 Kor 4:7-18), sampai terpenuhilah, juga dalam diri kita, manusia baru dalam Kristus. 2.2. Hati yang terbuka bagi orang lain Perjalanan hati secara mendalam bersifat relasional: ia mengajar menciptakan pribadipribadi yang bebas dari keterbatasan egoisme dan dari bidikan luka-luka dan kejengkelankejengkelan, pribadi yang mampu membangun relasi persaudaraan yang ditandai oleh kasih, keadilan, belaskasihan dan cinta. Dalam terang Roh, perjalanan relasional ini membuka horisonhorison baru: sejak pencurahannya pada hari Pentekosta, Ia mewahyukan diri sebagai yang melahirkan keluarga baru manusia, menyingkirkan tembok-tembok pemisah antara bangsa, suku atau budaya. Komunitas ini mempunyai model dan yang pertama, yaitu Tuhan Yesus, yang mengatasi setiap perpecahan dan kekerasan dengan kasih dan pengampuan bagi penganiayaNya, menjadi anugerah pendamaian (rekonsiliasi) dan damai. Pemenuhan pertama dari rencana penciptaan Allah ini terwujud dalam lingkungan keluargaNya sendiri, di mana Ia belajar mencintai dengan mengatasi minatNya dan utilitasnya. Ia mencintai secara cuma-cuma. Dengan membentuk komunitasNya, yang bukan karena berasal dari darah, akar budaya atau etnis yang sama, Yesus tidak meniadakan dinamika alamiah dari hati manusia ini. Sebaliknya, dengan memandang para murid yang duduk di sekitar Dia, Ia menyatakan mereka itu sebagai keluarga yaitu mereka yang mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah (bdk. Mrk 3:31-35). Kelembutan dan perhatian ibu, bapa, saudara dan saudari harus mewarnai hubungan di antara mereka. Dengan demikian, perjumpaan dengan Kristus selalu membawa kepada keluarga baru ini, baik dalam perjalanan Yesus historis, di Palestina, maupun dalam pejumpaan dengan RohNya, yang dicurahkan dari Pentekosta, di jalan-jalan seluruh dunia. Kontak para murid dari Emmaus dengan Tuhan yang bangkit, yang menggambarkan perjalanan Gereja, adalah sebuah contoh. Setelah mereka mengenali Tuhan, “lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem” untuk bergabung dalam komunitas para murid (Luk 24:33). Perjalanan pribadi dengan Roh Tuhan yang bangkit selalu terjadi dalam komunitas. Hidup di dalam komunitas ini mempunyai model dan hukumnya, yaitu Kristus dan cintaNya: “kasihilah satu sama lain sama seperti Aku telah enasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi..Dengan demikian sema orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-mridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:34-35). Konfigurasi pada Kristus, manusia dengan hati baru, dalam daya kekuatan RohNya, membuat kita mampu ambil bagian dalam pembangunan kemanusiaan baru, menurut rencana Allah. Sikapnya sebagai Guru dan Gembala, perhatianNya terhadap para murid, orang-orang sakit dan para pendosa dan cintaNya sampai konsekuensi terakhir, sampai mati, menjadi sumber inspirasi, hukum dan tanda pengenal para angota komunitasNya. Maka setiap komunitas kristen dipahami dan mengorganisir diri, pertama-tama 6
sebagai komunitas doa, untuk menyambut dan mendengarkan suara Tuhan-Nya, menilai manakah kehendakNya, merajut perpecahan, mengarahkan dan membuat misi menjadi subur. Tantangan persekutuan (comunio) sangat penting dalam komunitas kita, sebagai komunitas hidup bakti, yang menerima undangan untuk mengikuti Kristus secara radikal, untuk memberi kesaksian kasihNya dan menjadikan seluruh hidupnya bagi pelayanan pembangunan dunia baru dalam kekuatan Roh. Dalam hubungan dengan yang lain, mulai dari komunitas sendiri, orang dapat melihat sampai seberapa jauh kita sungguh-sungguh membiarkan diri dipertobatkan dan menjadi serupa dengan Hati Kristus. Tanpa kesaksian kasih konkret, kita menipu diri (bdk. 1 Yoh 4:20) dan kita cuma “nggedobos” (omong kosong). Konfigurasi hati pada Kristus, dalam dimensi relasionalnya menuntut pertobatan dan pendamaian terus-menerus, supaya setiap orang, dalam relasi dengan orang-orang lain, dapat memberikan dan menerima cinta Kristus, yang diterjemahkan dalam perbuatan-perbuatan konkret yaitu penerimaan, pengampunan, kerjasama dan harapan. Tetapi, janganlah kita heran bahwa komunitas kita bukanlah komunitas yang sempurna dan bahwa di sana terdapat konflik, perpecahan, salah paham dan keretakan. Hati manusia dan jaringan sosial di mana kita ada di dalamnya, terus ditandai oleh egoisme, pemerasan dan penyalahgunaan terhadap yang lain, ditandai oleh ketidakadilan dan penindasan, oleh konflik dan kematian. Dinamisme pemulihan/regenerasi, yang hadir dalam solidaritas Kristus dengan umat manusia, membawa kita untuk memandang semuanya ini dengan hati yang “ber-belarasa” yang bertanggungjawab dan hati yang berharap. Di hadapan beban hubungan-hubungan kita dan dosa komunitas kita dan Gereja, godaan besar yang muncul adalah putus asa, berhenti untuk ambil bagian atau menyingkir-minggir, atau memberontak, bersikap kritis lahiriah atau bersikap menolak. Kristus, sang manusia baru, tidak berbuat demikian! Di hadapan ketidakmampuan para murid untuk memahami dan melaksanakan programNya, yaitu hubungan baru, Ia tidak mundur dan juga tidak mengusir mereka atau menghukum mereka. Ia tetap setia dan solider, ketika mereka gagal; Ia tetap terus menegaskan dengan jelas perjalananNya, ketika mereka mengikuti dorongan-dorongan lain; Ia menanggung beban kebangkitan dari kejatuhan mereka; Ia telah membayar harga pembebasan mereka, ketika mereka dikuasai oleh ketakutan dan kekecewaan ... dan Ia juga tidak melihat dengan mata dunia ini, bahwa situasi mereka menjadi lebih baik. Tetapi sesudah kematian dan kebangkitanNya, melalui karya Roh, mereka mulai memahami dan menggunakan logika baru yaitu kasih dan pendamaian, dalam pembangunan komunitasNya. Lantaran inkonsistensi hati manusia, tidak mungkinlah sebuah proyek otenik persekutuan bertahan lama, tanpa logika baru yaitu mempersembahkan diri untuk mendamaian, memulihkan, membarui: membuat di mana berlimpah dosa, hendaknya jauh melimpah lah rahmat dan pengampunan (bdk. Rm 5:15). Satu ciri dasariah dari cinta Kristus adalah universalitasnya, mengatasi setiap bahasa, budaya dan bangsa. Dalam logika rencana Allah, perjalanan hati adalah sebuah perjalanan pembebasan dari diri sendiri ke dalam lingkup selalu lebih luas sampai menggapi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dinamika komunitas yang kita hidupi di bawah dorogan Roh Kristus membuka kita dan mempersiapkan kita untuk menghayati internasionalitas dalam komunitas kita dan dalam proyek bersama misi kita. Bagi seorang dehonian, perspektif interkultural dan internasional bukanlah ikutikutan mode atau strategi perkembangan, tetapi merupakan dimensi dasariah orang yang membiarkan diri ditulari dan diubah oleh Hati Kristus dan mau bekerjasama demi pembangunan GerejaNya dan pembaruan dunia. Hal ini menuntut kesadaran dan afirmasi atas budayanya sendiri dan kekekayaan tradisi, supaya dapat memperkaya komunitas inter-kultural tetapi, sekaligus, pembebasan dari setiap bentuk prasangka, diskriminasi atau kesombongan yang didasarkan pada ras, suku bangsa atau budaya. Kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh globalisasi, di mana muncul, selalu lebih lebar, jurang intoleransi, peminggiran dan eksploitasi terhadap mereka yang paling lemah, melalui pemaksaan pendapat, budaya dan kepentingan-kepentingan dari mereka yang lebih kuat. Pengalaman akan interkulturalitas yang kita lihat berkembang dalam Kongregasi mau menjadi ungkapan sumbangan injili pada pembangunan sebuah dunia yang secara universal lebih bersaudara.
7
2.3.
Hati yang solider
Universalitas kasih Kristus mendorong kita kepada misi (bdk. 2 Kor 5:14ss). Desakan inilah yang membuat St. Paulus sendiri berkata: “celakalah aku, kalau aku tidak mewartakan Injil” (1 Kor 1:17). Dan surat pertama St. Yohanes menghubungkannya dengan pengalaman akan kasih Kristus: “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerakan nyawaNya untuk kita: jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yoh 3:16). Lahir dari Roh Pentekosta, perjalanan hati menjadi sebuah perjalanan menapaki seluruh jalan umat manusia, dekat atau jauh, dengan menyambut mereka yang dilupakan, menyembuhkan yang terluka, mendamaikan yang berkonflik, bekerjasama dalam usaha untuk perkembangan dunia, membangkitkan harapan dan mewartakan kehadiran Allah dalam hidup dan dalam sejarah manusia. Dengan masuk dalam Hati Kristus, kita menangkap-pahami lebih mendalam logika misi, sebagai solidaritas Allah, yang tidak membatasi diri untuk memberikan dari jauh keselamatanNya atau untuk mengampuni dosa-dosa melalui belaskasihanNya. Dalam Yesus, Ia datang di tengahtengah umat manusia berdosa, berbagi peristiwa-peristiwa kehidupan, kecemasan dan harapan, dengan membuka, menghadirkan dan membuat mungkin sebuah perjalanan baru sebagai manusia dan Putera Allah. Dalam “ecce venio”-Nya, dan dalam ecce venio itu bergemalah “ecce ancilla” Maria, kita menangkap-pahami sebuah kesiapsediaan pada misi, yang dibuat demi persekutuan sadar dengan rencana Bapa dan ketaatan bebas untuk mewujudkannya. Atas dasar terang ini kita menangkap logika Gembala yang baik, yang menghimpun kawananNya dan mau menggapai juga domba-domba yang berada di luar (Yoh 10:16), yang rela kehilangan waktu dengan satu saja yang tersesat dan membutuhkan perawatan khusus (Luk 15:4-7), dan yang untuk semuanya, Ia meberikan hidupNya. Dengan demikian penerimaan misi ini menuntut sebuah hati yang bebas, rendah hati dan murah hati, bersatu dengan hati Kristus. Pertama-tama, mesti tetap dihindari setiap bentuk pemaksaan, kesombongan dan kekerasan. Berhadapan dengan penolakan, dengan ke-acuh-tak-acuhan atau dengan kekerasan, sebaliknya dituntut sebuah solidaritas setia, yang tidak meninggalkan (lari ngacir), tidak menghakimi dan tidak menghancurkan, tetapi berani memikul tugas untuk membarui kehidupan. Pewarta, tidak melaksanakan pewartaannya itu sebagai proyek pribadi, tetapi melaksanakannya dalam nama Kristus dan diutus oleh komunitas, dalam persekutuan dengan para sudara dan saudari lain. Sering orang harus menyangkal-lepas-kan rencana-rencananya sendiri, karena misi memanggilnya pergi ke tempat lain. Orang bersukacita, seperti kita baca dalam Kitab Suci, melihat tanda-tanda Kerajaan yang nampak di sekitarnya dan dalam pekerjaan orang-orang lain. Ia merasa diri saudara dengan mereka semua yang mencari kebaikan. Ia akan dekat dengan mereka yang menderita. Ia akan mewartakan Kabar Sukacita: pengharapan. Ia akan berbagi sukacita dan air mata derita dan ia akan bisa mencurahkan darahnya sebagai pemberian total-tuntas dirinya sendiri, karena hidupnya akan selalu dalam tangan Bapa. Dalam kata-katanya dan dalam hidupnya, orang-orang akan mengenali bahwa Allah mendekati mereka. Misi itu hadir di mana-mana dalam dunia, dekat pada kita masing-masing dan setiap komunitas kita. Dari setiap dehonian, pertama-tama, dituntut keberanian dan solidaritas untuk pewartaan, yang mengatasi pengelolaan karya-karya kita sendirins saja. Ia dituntut untuk selalu berusaha hadir, dengan segala sarana yang mungkin, tetapi terutama dengan segenap hati, di tengah mereka yang ada di luar, yang lebih membutuhkan, yang dilupakan. Tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa dengan misi itu berarti kita berjalan, memandang jauh mengatasi kebutuhankebutuhan setempat, mengatasi batas-batas dan menjangkau budaya-budaya dan wilayah lain, sebagai tempat kegiatan manusia: bidang sosial, ekonomi dan komunikasi. Menyediakan dan menyiapkan diri untuk misi ini adalah bagian dari panggilan kita, karena misi ini termasuk dalam Hati universal Kristus. Dimensi internasional dan interkultural menjadi sangat penting, pada saat hidup Kongregasi dan sejarah dirajut dan diperkambangkan oleh pengalaman interkultural komunitas kita. Pada jaman globalisasi ini, kita ingin memberi kontribusi untuk menjadikan Kristus sebagai pusat dunia dengan persekutuan dan misi kita.
8
Kesimpulan Akar-akar warisan rohani yang kita terima dari Pater Dehon menyingkapkan kepada kita sebuah harta berharga yaitu refleksi biblis dan teologis, yang berpusat pada spiritualitas Hati Yesus, ikon kasih Allah, yang menjadi manusia di tengah-tengah kita. Ia membawa kepada intimitas kehadiran Kristus: persatuanNya dengan Bapa, pelayanan soliderNya sampai mati, kehadiranNya dalam Gereja dan anugerah RohNya yang mampu mengubah keberadaan kita menurut gambaran Manusia Baru sesuai dengan rencana Allah. Konfigurasi dengan Kristus memberi asal-muasal sebuah perjalanan hidup, memimpin dan memungkinan dari RohNya yang mengubah hati kita. Konfigurasi itu merupakan sebuah perjalanan yang dibuat dengan mendengarkan suara Roh, yang melahirkan keluarga baru Tuhan yang bangkit. Keluarga baru ini diinginkan oleh semua bangsa dan budaya. Ia menjadi pewartaan dan tanda dunia baru menurut rencana Allah. Membiarkan diri diubah oleh Roh Kristus berarti menapaki jalan hidup dengan hati bebas dan solider, bersukacita dan bekerjasama dalam transformasi dunia. Membiarkan diri diubah oleh Roh Kristus berarti juga kesediaan untuk menanggung derita, kesulitan dan air mata duka-derita teman-teman seperjalanan, yang sering menjadi korban ketidakadilan, kekerasan, atau karena kelemahannya sendiri, tanpa menutup mata atau menyerah, tanpa berpaling pada pemberontaan kejam atau balasdendam yang menghancurkan. Inilah perjalanan yang telah dibuka oleh Manusia Berhati Baru di tengah-tengah peristiwa-peristiwa hidup umat manusia, dengan membukanya pada pandangan belaskasih dan kuasa Bapa. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik (bdk. Luk 10:29-37) berguna bagi kita sebagai gambaran dan inspirasi terakhir dari refleksi tentang “perjalanan hati”. Di atas jalan, yang penting bukan asal-usul kita, budaya, gelar, fungsi atau pakaian kita. Yang penting adalah hati yang menentukan cara kita memandang, menilai dan bertindak. Ditarik dan dibentuk oleh Kristus, si Samaria bagi umat manusia, kita mendengarkan suaranya yang membuka mata hati dan memprovokasi kita: pergilah dan perbuatlah demikian! Kami ucapkan SELAMAT PESTA HATI KUDUS YESUS
P. José Ornelas Carvalho Superior Jendral SCJ dan Dewan Penasehatnya
9