permanent hospital nurses with more than three years tenure with marital status of having been married. The first hypothesis was that there was an influence of job-accompanying music provision toward the decreasing job stress of nurses. The second hypothesis was that there was an influence contributed by the counseling of cognitive behaviorism toward the decreasing job stress of nurses. The third hypothesis was that there was an influence of the job-accompanying music and the counseling of cognitive behaviorism toward the decreasing job stress of nurses. The results of the research showed that the job-accompanying music and the cognitive behaviorism counseling effectively reduced the job stress in the nurses (F=30.084; p<0.05). Keywords: job stress, job-accompanying, cognitive behaviorism counseling
Rumah sakit merupakan salah satu lingkungan kerja yang berpotensi mendapatkan banyak tekanan. Pernyataan diatas didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taheri, Forouzandeh, Zameni, dan Seddighi (2012), menunjukkan bahwa pekerja di bidang sosial rentan mengalami tekanan dan kelelahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja industri. Sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit dituntut untuk selalu menjaga kualitas pelayanannya terhadap masyarakat yang membutuhkan. Salah satu bagian dari rumah sakit yang perannya tidak bisa dikesampingkan guna menunjang kualitas pelayanan kesehatan masyarakat adalah perawat (Chen, Lin, Wang, & Hou, 2009). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar sebesar 40% dari sejumlah tenaga medis yang ada di rumah sakit (Depkes, 2011). Peran perawat yang yang memiliki kontak pertama dengan pasien (Berry, 1997) serta siap bekerja 24 jam dalam memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat (Burke, Koyuncu, & Fiksenbaum, 2011; Gunarsa & Gunarsa, 1995) pada dasarnya rentan menyumbangkan hambatan bagi keunggulan organisasi.
2
Absentisme, ketidaksehatan fisik, konflik antar staff, stres, depresi, pengunduran diri dan rendahnya kualitas pelayanan adalah berbagai macam hambatan yang menimbulkan tekanan pada profesi ini (Foxall, Zimmerman, Standley, & Captain, 1990). Banyaknya hambatan yang muncul dalam lingkungan kerja pada dasarnya akan menciptakan tekanan tersendiri bagi para perawat, sehingga pekerjaan perawat sering dikaitkan dengan stres kerja (Hilliard, 2006; Jehangir, Kareem, Khan, Jan, & Soherwardi, 2011; Sehnert, 1981). Pernyataan diatas didukung dengan hasil temuan dilapangan yang berupa hasil wawancara kepada tiga orang perawat. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa peran sebagai perawat rentan mengalami tekanan karena keseharian mereka tidak hanya bertugas merawat pasien; melainkan juga menjalankan tugas administrasi. Disamping tuntutan pekerjaan yang terkesan tumpang
tindih,
ternyata
ketidak-kooperatifan
keluarga
pasien
maupun
karakteristik pasien itu sendiri turut menyumbang tekanan tersendiri bagi perawat. Tekanan yang muncul dalam pekerjaan tersebut pada dasarnya akan menjadi pemicu terjadinya stres kerja (Cook, Holzhauser, Jones, Davis, & Finucane, 2007; Lee & Akhtar, 2007). Lebih lanjut, guna memahami konteks empiris variabel yang akan diteliti berikut akan dijelaskan dalam koridor konsep teoritis. Stres kerja bukan merupakan fenomena baru, karena hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka (Stoner, Yetton, Craig, & Johnston, 1994). Tak terkecuali dengan profesi sebagai seorang perawat yang ternyata rentan terhadap stres kerja yang tinggi (Kendrick, 2000). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja tinggi
3
(Robbins, 2006), yaitu: (1) faktor lingkungan, meliputi: ketidakpastian politik, ketidakpastian ekonomi dan ketidakpastian teknologi; (2) faktor organisasi, meliputi: tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur organisasis, kepemimpinan organisasi, perkembangan organisasi; dan (3) faktor individu, meliputi: masalah keluarga, masalah ekonomi dan kepribadian Berangkat dari analisis penelitian terdahulu, maka sangat penting sekali melakukan penelitian mengenai stres kerja pada perawat rumah sakit. Stres kerja secara umum terbentuk dari tiga komponen, yaitu sebagai respon, stimulus, dan interaksi antara individu dengan lingkungan (Sarafino, 1994). Stres kerja merupakan output dari proses persepi (Riggio, 2003), artinya setiap kejadian atau situasi yang dialami individu akan diterima dan diproses oleh otak menjadi persepsi yang dapat mendorong individu untuk memunculkan respon. Perbedaan karakteristik dari masing-masing individu tentunya akan memunculkan respon yang berbeda-beda ketika mengalami stres kerja (Anisa, Malini, & Khalib, 2010; Pestonjee, 1992). Stres kerja yang dialami oleh perawat merupakan bentuk respon dari stimulus yang ada dalam pekerjaan dan menghantarkan pada konsekuensi negatif, baik fisik maupun psikis (Muchinsky, 2003) yang akan berpengaruh pada efektifitas organisasi (Golparvar, Kamkar, & Javadian, 2012; Luthans, 1985). Robbins (2006), lebih jauh akan membagi respon terhadap stressor kerja menjadi tiga ranah, yaitu: (1) gejala fisiologis, yaitu: perubahan metabolisme, kesehatan menurun, meningkat laju detak jantung, gangguan pernapasan, meningkat tekanan darah, sakit kepala dan serangan jantung; (2) gejala psikologis, yaitu: perasaan
4
tertekan, ketidakpercayaan, ketegangan, ketidakpuasan, kecemasan, mudah marah, dan kebosanan; dan (3) gejala perilaku, yaitu: perubahan produktivitas, meningkat absensi, lamban bekerja, menyendiri, tingkat keluar masuknya karyawan, perubahan pola makan, gelisah, dan gangguan tidur. Ketiga respon yang muncul erat kaitannya dengan dinamika psikologi seorang individu ketika mengalami stres kerja. Pentingnya peran perawat untuk kemanusiaan dan organisasi menyita perhatiaan banyak peneliti untuk menggali tentang hal-hal negatif yang sekiranya dialami perawat, sehingga berdampak pada terjadinya stres kerja (Conway, Campanini, Sartori, Dotti & Costa, 2008). Stres kerja yang dialami perawat dirasa perlu mendapat perhatian khusus, dikarenakan masalah ini akan memberikan dampak secara organisasional (Aamodt, 2004), yaitu: meningkatnya tingkat burnout, menurunnya performansi kerja, meningkatnya absensi, meningkatkan keluhan pelanggan dan menurunnya kualitas produksi (Gandi, Wai, Karick, & Dagona, 2011). Disamping itu, stres kerja akan berdampak pada kinerja individu yang akan dikaji dengan menggunakan gambar model Inverted U Shaped Line.
Gambar 1. Hubungan antara stres kerja dan kinerja (Sumber: Wood dkk., 1998)
5
Secara ringkas, Gambar 1 mengilustrasikan bahwa stres kerja yang dialami individu pada dasarnya akan berpengaruh pada kinerja individu. Apabila stres kerja berada pada titik terendah, maka kinerja individu akan cenderung menurun, sama halnya apabila stres kerja berada pada titik tertinggi ternyata juga akan mengalami penurunan kinerja individu. Sebaliknya apabila stres kerja berada pada titik optimal, maka akan menyebabkan peningkatan kinerja individu. Masalah stres kerja merupakan masalah yang cukup urgent didalam organisasi, sehingga diperlukan metode intervensi untuk mengelola stres kerja guna tetap dapat mempertahankan kinerja para perawat (Adaramola, 2012). Musik pengiring kerja merupakan salah satu intervensi yang cukup mudah diaplikasikan dalam setting organisasi (Ornelas & Kleiner, 2003). Musik pengiring kerja adalah musik yang diberikan untuk mengiringi para karyawan dalam melakukan pekerjaannya (Lesiuk, 2005) sebagai upaya untuk menenangkan perasaan dan emosi (Riyadi, 2002). Grandjen (Sumihardi, 2000), menyatakan bahwa penggunaan musik di tempat kerja merupakan stimulus yang dapat digunakan untuk mengurangi beban kerja, menghidupkan suasana kerja, meningkatkan kenyamanan kerja (Nasution, 1998), meningkatkan semangat kerja (Riyadi, 2002), sekaligus menciptakan atmosfer kerja yang menyenangkan (Mauritis, 2004; Repar & Patton, 2007; Sumihardi, 2000). Pernyataan tersebut di dukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan, bahwa ketika mendengarkan musik para karyawan merasa menjadi lebih produktif dalam bekerja (Aamodt, 2004) sekaligus memberikan pengaruh positif terhadap aspek fisiologis, psikologis dan perilaku (Wati, 2006).
6
Secara fisiologis, musik pada dasarnya akan mempengaruhi otak. Bagian otak yang peka terhadap musik adalah lobus temporalis yang secara umum bertanggung jawab atas indera pendengaran manusia. Suara-suara yang terorganisasi dengan baik akan membentuk suatu komposisi musik yang akan diteruskan ke lobus temporalis melalui telinga dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Gelombang ini nantinya akan diteruskan ke otak. Semakin lambat tempo, semakin teratur iramanya dan semakin tinggi amplitudonya maka musik yang masuk berupa gelombang otak tersebut membuat semakin relax seseorang. Sementara gelombang otak tersebut akan membentuk suatu pola tersendiri dalam menanggapi musik, zat-zat kimia yang ada dalam otak (endorfin) juga akan dilepaskan. Zat endorfin ini bersama-sama dengan jenis gelombang otak membuat individu menjadi relax (Hodges, 1999). Secara psikologis, musik merupakan agen perubahan untuk mengubah suasana hati (mood); memotivasi serta memberi inspirasi untuk menjadi lebih baik (Lesiuk, 2010). Suasana hati yang disebabkan oleh musik dapat merubah konsentrasi, persepsi dan memori serta mempengaruhi keputusan seseorang terhadap
kondisi
mental
dan
emosionalnya
(Djohan,
2009).
Dengan
mendengarkan musik akan mempermudah seseorang dalam mengeksplorasikan diri, mengekspresikan perasaan (Smith & Patey, 2003; Sutton, 2002), berkomunikasi dengan perasaan (Davies & Richards, 2002; ), relax (Elliot, Polman, & McGregor, 2011; Krout, 2007; Scheufele, 2000; Sokhadze, 2007), mengatasi kecemasan (Pouyamanesh, 2011), sindrom depresi, penyakit jantung, menurunkan stres (Lesiuk, 2008; Satiadarma, 2002), gangguan tidur (Jurcau &
7
Jurcau, 2012), memelihara kondisi mental & fisik, kesehatan emosi (Dewi, 2009) dan peningkatan konsentrasi (Campbell, 2001). Pengaruh musik pada perilaku karyawan pada dasarnya sangat bergantung pada pemilihan jenis musik (Labbe, dkk., 2007; McCraty, Choplin, Atkinson, & Tomasino, 1998; Schultz & Schultz, 1994). Pemilihan jenis musik secara umum akan didasarkan pada beberapa hal, diantaranya: musik yang dirasa dapat meningkatkan energi, membangkitkan suasana hati, membangkitkan semangat, memberi rasa relax pada tubuh, menenangkan pikiran, melepaskan emosi, memulihkan semangat, memotivasi perilaku, membangunkan tidur, membantu istirahat, dan mengembangkan pikiran (Eschen, 2002). Disamping itu, secara mendasar pemilihan jenis musik sangat dipengaruhi oleh minat setiap individu dalam merespon musik yang didengarkan (Maurits, 2004). Minat seseorang terhadap musik secara tidak langsung tergantung oleh jenis kelamin. Pada jenis kelamin wanita biasanya lebih menyukai musik yang berkarakter lembut dan romatis, sedangkan untuk jenis kelamin pria lebih menyukai musik yang berkarakter keras (McClary, 2002). Perlakuan lain perlu diberikan untuk lebih mengefektifkan pemberian musik pengiring kerja dalam mereduksi stres kerja pada perawat. Mengingat perawat merupakan ujung tombak rumah sakit yang memiliki peran penting dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit (Aditama, 2002). Konseling merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam upaya pembahasan masalah dengan karyawan, yang bertujuan untuk membantu karyawan agar dapat menangani masalah terkait dengan kondisi organisasional (Capuzzi & Gross,
8
1997; Reddy, 1987; Sukmadinata, 2007). Terdapat sejumlah temuan penelitian yang menyatakan bahwa konseling merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan organisasi yang menajadi pemicu terjadinya stres kerja (Carlan & Nored, 2008; Carroll, 1996; Gladding, 2012), sekaligus meningkatkan kesejahteraan para karyawan (Morris & Raabe, 2002). Satu hal yang tidak kalah penting untuk menunjang keberhasilan proses konseling adalah variabel pendekatan (Gladding, 2012). Konseling keperilakuan kognitif merupakan pendekatan yang tepat digunakan untuk memecahkan masalah organisasi yang dikaitkan dengan stres kerja (Saman, Nasir, & Yusooff, 2009). Alasan yang mendasari peneliti untuk menggunakan pendekatan ini dibandingkan dengan pendekatan lain adalah karena pendekatan ini merupakan hasil peleburan kognitif dan perilaku individu (Capuzzi & Gross, 2009), yang dapat menunjukkan bahwa dengan adanya pemikiran dan keyakinan negatif terhadap situasi tertentu akan menghasilkan perilaku maladaptif yang merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Konsep konseling keperilakuan kognitif pada dasarnya menekankan pada bagaimana masalah emosi dan perilaku dapat diatasi secara efektif dengan menunjukkan bagaimana keyakinan irasional atau distorsi kognitif dapat mengganggu individu, dan bagaimana mengubah pemikiran mereka supaya lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode (Corey, 2009). Pendekatan ini didasarkan pada pengalaman manusia yang melibatkan interaksi antara psikologi, perilaku, kognisi dan emosi (Gladding, 2000), sehingga dapat membantu individu memahami bahwa pemikiran maladaptif dapat mengarahkan pada masalah
9
emosional (Hayes, Follette, & Linehan, 2004). Pada penelitian ini konseling keperilakuan kognitif yang digunakan adalah konseling keperilakuan kognitif yang disusun oleh Trower, Casey, dan Dryden (2008). Strategi yang digunakan dalam konseling keperilakuan kognitif berfokus pada tiga komponen, yaitu: kognitif, perilaku, dan somatik (Tower, dkk., 2008). Komponen kognitif yang dimaksud adalah adanya pemikiran yang irrasional sehingga individu diminta untuk berpikir yang rasional dan imagery, sedangkan komponen perilaku terkait perilaku maladaptif yang muncul ketika peristiwa menekan terjadi, sedangkan komponen somatik adalah adanya simtom-simtom kecemasan secara fisik seperti pusing, mual, dan sebagainya. Konseling keperilakuan kognitif pada penelitian ini akan dilakukan secara berkelompok, sehingga anggota kelompok dapat secara bersama-sama mendiskusikan suatu topik/permasalahan hingga menemukan alternatif pemecahan masalah (Cottone & Tarvydas, 2003; Jacobs, Harvill, & Masson, 1998; Roth, Eng & Heimberg, 2002). Mengingat pemberian konseling secara berkelompok dapat lebih banyak membantu dibanding secara individual (Oemarjudi, 2003) Tahap-tahap yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan konseling keperilakuan kognitif (Trower, dkk., 2008), yaitu: (1) getting started. Tahap ini bertujuan untuk membantu individu berpindah dari posisi yang membuatnya terpaku pada kesulitannya ke sebuah titik permulaan baginya untuk mengalami beberapa perubahan; (2) teaching the cognitive-behavior method of change. Tahap ini bertujuan untuk membantu individu membuat kemajuan lebih lanjut untuk menanggulangi masalah emosi dan membantu individu mempelajari teori dan
10
metode dari konseling keperilakuan kognitif untuk mendapatkan insight dalam mengatasi permasalahan; (3) overcoming blocks to change and independence. Tahap ini bertujuan untuk membantu individu menyadari bahwa believe baru yang dimilikinya lebih bermanfaat daripada believe yang lama dan meyakinkan individu bahwa ia bisa mandiri menjalani believe tersebut Secara singkat, Tower, dkk. (2008) menjelaskan bahwa tahap-tahap dalam konseling keperilakuan kognitif bertujuan untuk mengajari individu agar dapat: (1) memonitor emosi yang mengganggu dan kejadian yang memicunya; (2) mengidentifikasi pemikiran dan keyakinan negatif; (3) merealisasikan hubungan antara pemikiran, emosi, dan perilaku; (4) membuktikan pemikiran dan keyakinan yang maladaptif dengan menguji fakta-fakta di lapangan serta melawan pemikiran dan keyakinan tersebut; dan (5) mengganti pemikiran negatif dengan pemikiran yang lebih realistis. Konseling keperilakuan kognitif direncanakan akan mencakup beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengubah pemikiran negatif dan perilaku maladaptif individu dengan merujuk pada tujuan tahap-tahap konseling keperilakuan kognitif yang dikemukakan oleh Tower, dkk. (2008), yaitu: (1) mengumpulkan data dengan wawancara; (2) information giving; (3) mengubah pemikiran negatif: use of questions; (4) self-instructional training; dan (5) problem-solving training. Berdasarkan studi yang ada, hipotesis penelitian ini yaitu: H1: Terdapat pengaruh pemberian musik pengiring kerja terhadap penurunan stres kerja perawat rumah sakit
11
H2: Terdapat pengaruh konseling keperilakuan kognitif terhadap penurunan stres kerja perawat rumah sakit H3: Terdapat pengaruh pemberian musik pengiring kerja dan konseling keperilakuan kognitif terhadap penurunan stres kerja perawat rumah sakit. Ulasan tentang variabel-variabel dalam penelitian dan hubungan antara variabel yang telah ditelusuri melalui penelitian sebelumnya, akan menjadi dasar peneliti dalam merumuskan kerangka penelitian sebagai berikut:
Gambar 2. Kerangka Penelitian Secara ringkas, Gambar 2. mengilustrasikan bahwa pemberian musik pengiring kerja akan berpengaruh pada ranah psikologis dan fisiologis, sehingga dapat menurunkan stres kerja. Sementara untuk pelaksanaan konseling keperilakuan kognitif akan berpengaruh pada ranah psikologi, sehingga dapat menurunkan stres kerja. Secara keseluruhan pemberian musik pengiring kerja dan konseling keperilakuan kognitif akan berpengaruh pada ranah psikologis, fisiologis, perilaku; sehingga dapat menurunkan stres kerja. Berangkat dari hal tersebut, implikasi dari penelitian ini adalah: (1) bagi organisasi adalah nilai kompetitif organisasi dapat ditingkatkan melalui pereduksian stres kerja pada karyawan; (2) implikasi bagi dunia akademisi adalah memperkaya referensi
12