Artikel Penelitian
Kebijakan Profesionalisme Pekerja Sosial Professionalism of Social Worker Policy Sahawiah Abdullah
Sekolah Tinggi Ilmu Kesejahteaan Sosial Tamalanrea Makassar
Abstrak Artikel ini menjelaskan persoalan utama terkait dengan kebijakan profesionalisme pekerja sosial. Pada bagian ini, akan dibahas rumusan substansial kebijakan tentang profesionalisme pekerja sosial berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut, yaitu: mandat konstitusional tentang keadilan sosial, pekerjaan sosial sebagai profesi, konsep pekerja sosial yang profesional, kualifikasi pekerja sosial profesional, pengembangan profesi pekerjaan sosial, kompetensi pekerja sosial, sertifikasi pekerja sosial profesional dan akreditasi lembaga pelayanan sosial. Kata kunci: kompetensi pekerja sosial, sertifikasi pekerja sosial, akreditasi lembaga pelayanan sosial Abstract This article describes the main issues related to professionalism of social worker policy. In this section, will be discussed substantial formulation of social workers professionalism policy with regard to the following matters, namely: constitutional mandate of social justice, social work as a profession, the concept of professional social workers, qualification of professional social workers, social work profession development, social worker competencies, certification of professional social workers, and social services instituon accreditation. Keywords: social worker competencies, social workers certification, social services instituon accreditation Pendahuluan Berbicara tentang rumusan substansial kebijakan tentang profesionalisme pekerja sosial harus bersumber dari pada rumusan ideologi dan konstitusi, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Mandat dan amanat konstitusional untuk memajukan kesejahteraan sosial termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibab dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1 Dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 tersurat sebuah alasan keberadaan Negara Republik 55
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Indonesia adalah untuk mensejahterahkan rakyat berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pekerjaan Sosial Sebagai Profesi Definisi dan konsep tentang tenaga kesejahteraan sosial profesional dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab I Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Tenaga kesejahteraan sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.”2 Sementara definisi dan konsep pekerjaan sosial diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia,Bab I butir D ayat 2 yang berbunyi, “Pekerjaan sosial adalah: a) profesi utama dalam pelayanan kesejahteraan social, baik pelayanan langsung maupun tidak langsung; b) pekerjaan sosial adalah suatu konstelasi nilai, tujuan, pengakuan, pengetahuan, dan metode untuk membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat melaksanakan tugas kehidupan/fungsionalitas sosial sebaik-baiknya melalui: identifikasi dan pemecahan masalah sosial yang dihadapi individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat yang timbul dari ketidakseimbangan antara diri mereka dan lingkungan sosialnya. Identifikasi kemungkinan timbulnya ketidakseimbangan tersebut supaya dapat mencegahnya; identifikasi dan penguatan potensi individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat secara optimal; c) fungsi utama pekerja sosial adalah memperkuat/mengembangkan kemampuan pemecahan masalah sosial individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat, dan potensi pengembangan diri mereka; mengusahakan beroperasinya secara manusiawi sistem sumber dan pelayanan dalam masyarakat; menghubungkan individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat dengan sistem sumber, pelayanan dan peluang; d) strategi
56
intervensi pekerjaan sosial meliputi: strategi perubahan langsung: strategi perubahan langsung terhadap individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat; strategi perubahan langsung di lingkungannya; strategi perubahan tidak langsung terhadap perundangan dan kebijakan kesejahteraan sosial, program kesejahteraan sosial, pengelolaan pelayanan kesejahteraan sosial, serta penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, reformasi, dan pembangunan kesejahteraan sosial; e) kompetensi dalam strategi intervensi langsung: membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat; membantu perseorangan, kelompok atau komunitas dalam menggali, mengerahkan, dan mengarahkan nilai-nilai dan sumber; memelihara dan memperkuat potensi perseorangan, kelompok atau komunitas, yaitu kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial masyarakat; membantu perseorangan, kelompok atau masyarakat mengatasi atau memecahkan permasalahan sosial yang dihadapinya serta memulihkan dan memperkuat fungsionalitas sosialnya; mendorong, meningkatkan, mengembangkan, dan mengorganisasikan prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial pada khususnya dan kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya; f) kompetensi dalam strategi intervensi tidak langsung: mengawasi, mengelola, mengadministrasikan kegiatan dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat; melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang kesejahteraan sosial; melaksanakan pendidikan dan pelatihan profesional pekerjaan sosial; menganalisis dan merumuskan rancangan kebijakan dan menyusun rencana program kesejahteraan sosial; berperan serta dalam tim antardisiplin ilmu dan antarsektor dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan nasional atau daerah.”3 Pekerja sosial yang profesional juga disejajarkan dengan pekerja professional yang lain, terutama dalam kaitannya dengan tunjangan jabatan fungsional pekerja sosial. Hal ini
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
dirumuskan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, dimana Pasal 1 menegaskan: Dalam peraturan Presiden ini yang dimaksudkan denganTunjangan jabatan Fungsional Pekerja sosial, yang selanjutnya disebut denganTunjangan Pekerja Sosial adalah tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada pegwai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan Fungsional Pekerja sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.4 Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil Pasal 1 butir 7dan 8 ditegaskan: Kualifikasi professional adalah kualifikasi yang bersifat keahlian yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan yang berkelanjutan secara sistematis yang pelaksanaan tugasnya meliputi penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan dan penerapan konsep, teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah serta memberikan pengajarannya dan terikat pada etika profesi. Kualifikasi teknisi atau penunjang professional adalah kualifikasi yang bersifat keterampilan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan kejuruan dan pelatihan teknis yang pelaksanaan tugasnya meliputi kegiatan teknis profesional berdasarkan prosedur standar operasional serta melatihkannya dan terikat pada etika profesi.5 Berkaitan dengan jabatan fungsional keahlian dirumuskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil Pasal 5 menegaskan: Jabatan fungsional keahlian adalah jabatan fungsional yang pelaksanaan tugasnya: Mensyaratkan kualifikasi profesional dengan pendidikan serendah-rendahnya berijasah sarjana (strata 1); Meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori serta metoda operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan; Terikat pada etika profesi tertentu yang ditetapkan oleh ikatan profesinya. 5
Akan tetapi, sebenarnya tunjangan jabatan fungsional pekerja sosial di lingkungan Kementerian Sosial belum bisa dilaksanakan sebab sampai saat ini belum ada peraturan tentang kualifikasi pekerja sosial yang profesional. Juga belum adanya lembaga akreditasi dan sertifikasi pekerja sosial profesional di Kementerian Sosial sehingga sulit untuk menerapkan tunjangan jabatan fungsional keahlian berdasarkan kualifikasi professional.5 Dalam kaitan jabatan fungsional pekerja sosial dan angka kreditnya, pekerja sosial dikategorikan sebagai profesi. Hal itu diungkapkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang jabatan fungsional pekerja sosial dan angka kreditnya, Bab I Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Pekerja sosial adalah suatu profesi yang ditujukan untuk membantu orang, baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memperbaiki atau meningkatkan kemampuannya mencapai keberfungsian sosial secara penuh serta mengupayakan kondisi-kondisi kemasyarakatan tertentu yang menunjang pencapaian fungsi sosial.6 Dalam rumusan ini, secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa pekerja sosial profesional itu adalah “pembantu” (helper). Hal ini sejalan dengan rumusan hakikat pekerja sosial profesional untuk membantu atau menolong. Sebaliknya, dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial, kata “membantu” atau “menolong” tidak muncul sama sekali, tetapi dipakai kata “menangani” dan “melayani”. Dilihat dari sejarah awalnya, pekerja sosial (social worker) memang dimaksudkan untuk membantu atau menolong individu, kelompok, dan masyarakat agar mereka bisa memahami kondisi kehidupannya dan keluar atau bebas dari kesulitan hidup sehingga terciptalah keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Jadi pekerja sosial hanya sebagai pembantu atau penolong. Definisi dan konsep profesi diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 1 yang berbunyi: Profesi ialah suatu pekerjaan yang: a) secara 57
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
sosial, moral, hukum, dan agama sah; b) berdasarkan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang diakui; c) berdasarkan kerangka pengetahuan dan kerangka nilai yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang sah dan diakui serta menggunakan metode, teknik, dan keterampilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial; d) berdasarkan pengangkatan atau perizinan resmi; e) diakui oleh masyarakat tentang keberadaan dan kemanfaatannya; f) mempunyai kedudukan, peranan, dan kewenangan khusus di bidangnya; g) mendapatkan imbalan yang patut atas pelaksanaan tugas profesionalnya dari penerima pelayanan atau dari lembaga yang mempekerjakannya.3 Dalam peraturan ini, diungkapkan enam syarat untuk disebut sebagai profesi. Keenam syarat itu adalah, pertama, sah secara sosial, moral, hukum, dan agama. Artinya, pekerjaan itu disebut profesi jika memenuhi kriteria sah secara sosial, moral, hukum, dan agama. Kedua, kompetensi diperoleh melalui pendidikan. Ketiga, pekerjaan itu ditempatkan dalam kerangka nilai dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Keempat, pekerjaan itu disebut profesi jika diakui oleh masyarakat. Kelima, mempunyai kedudukan dan kewenangan dalam bidangnya. Keenam, pekerjaan itu menghasilkan imbalan. Konsep Pekerja Sosial Profesional Sementara tentang pekerja sosial profesional dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab I Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi: Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepeduliaan dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.3 Berdasarkan rumusan ini, pekerja sosial profesional mengandung unsur-unsur yang penting sebagai berikut: 1) Seseorang yang bekerja di lembaga pemerintah ataupun lembaga swasta;
58
2) Seseorang yang memiliki kompetensi, profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam bidang pekerjaan sosial; 3) Seseorang yang memiliki pendidikan, pelatihan, dan pengalaman praktik sebagai pekerja sosial; 4) Seseorang yang melaksanakan tugastugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa konseptualisasi pekerja sosial dalam rumusan ini mengandung atau memuat unsurunsur yang meliputi kompetensi profesi pekerja sosial dan kepedulian dalam bidang pekerjaan sosial; memiliki pendidikan, pelatihan dan pengalaman praktik sebagai pekerja sosial dan melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Konseptualisasi pekerja sosial profesional dalam rumusan ini mengabaikan unsur fundamental dari hakekat pekerja sosial profesional yang mempromosikan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sebenarnya kekurangan mendasar dalam rumusan pemikiran soal pengembangan profesionalisme adalah pada dasar pemikiran tentang pemberdayaan dan perwujudan mandat keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Uraian tersebut sesuai dengan teori pemberdayaan pekerja sosial profesional menurut Dubois, bahwa profesionalisme pekerja sosial adalah untuk membantu orang lain, yakni untuk meningkatkan kemampuan individu dalam pemecahan masalah; menghubungkan klien dengan sumber-sumber yang dibutuhkan; meningkatkan jaringan pelayanan sosial; dan meningkatkan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dapatlah dikatakan secara singkat bahwa profesionalisme pekerja sosial memiliki kompleksitas nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Ada tiga nilai yang harus dimiliki pekerja sosial profesional, yakni nilai tentang orang (values about people), nilai tentang masyarakat (values about society), dan nilai tentang perilaku profesional (values about professional behavior). Berdasarkan hal itu, pengembangan dan peningkatan profesi pekerjaan sosial harus secara sungguh-sungguh menekankan pentingnya nilai-nilai yang
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
berkaitan dengan individu, masyarakat, dan perilaku profesional.7 Perihal profesionalisme pekerja sosial yang telah diuraikan senada dengan yang ditegaskan pada Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kerja Sosial, Pasal 1 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa: pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.8 Kualifikasi Pekerja Sosial Profesional Kualifikasi pekerja sosial profesional dirumuskan pada Pasal 33 ayat 2 UndangUndang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang berbunyi: Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a, b, dan c sekurangkurangnya memiliki kualifikasi: pendidikan di bidang kesejahteraan sosial; pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan atau pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.2 Pasal ini membahas kualifikasi pekerja sosial profesional, yakni: a) pendidikan di bidang kesejahteraan sosial b) pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial c) pengalaman melaksanakan pelayanan sosial. Masih tentang kualifikasi ini, dirumuskan dalam Pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat 1 huruf a, b, c dapat memperoleh: pendidikan, pelatihan, promosi, tunjangan dan atau penghargaan.2 Jadi dapatlah dikatakan bahwa pekerja sosial dapat meningkatkan kualitas profesionalnya melalui : a. pendidikan dan pelatihan b. promosi dan tunjangan
c. penghargaan. Pengaturan lebih lanjut mengenai kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. : 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pasal 12, ayat (1) yang berbunyi “Sertifikasi ditujukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang didasarkan pada : a. jenis; dan b. jenjang” (2) yang berbunyi “Jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didasarkan pada bidang kerja, obyek/sasaran, dan spesialisasi metode. (3) yang berbunyi “Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Pekerja Sosial Profesional meliputi : a. Pekerja Sosial Profesional generalis; dan b. Pekerja Sosial Profesional spesialis; serta ayat (4) yang berbunyi “Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Tenaga Kesejahteraan Sosial meliputi : a. Tenaga Kesejahteraan Sosial generalis; dan b. Tenaga Kesejahteraan Sosial spesialis.8 Peraturan Menteri Sosial tersebut merupakan prasyarat bagi Pekerja Sosial agar memperoleh status sebagai Pekerja Sosial Profesional. Apabila peraturan tersebut telah diterapkan dapatlah diharapkan pekerja sosial dapat melaksanakan perannya dimasyarakat secara profesional. Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial Betapa pentingnya profesionalisme pekerja sosial terkait dengan pekerjaan sosial sebagai profesi dan pekerja sosial yang profesional, sehingga dibutuhkan pengembangan profesi pekerjaan sosial. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir A yang berbunyi: Dasar pemikirannya: guna menunjang terselenggaranya pembangunan kesejahteraan sosial, kemampuan profesional penyelenggara, baik unsur pemerintah maupun masyarakat perlu ditingkatkan. Di samping peningkatan profesionalisme dari penyelanggaranya, pendekatan utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah melalui profesi 59
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
pekerjaan sosial. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk melakukan peningkatan dan pengembangan profesi itu sendiri. Jika negaranegara yang jauh lebih maju dari Indonesia saja menganggap begitu pentingnya profesi pekerjaan sosial, maka tidak ada satu pun alasan bagi masyarakat Indonesia untuk tidak memacu pengembangan profesi tersebut.3 Dasar pemikiran dan pertimbangan untuk pengembangan profesionalisme pekerja sosial, berdasarkan rumusan ini adalah: pertama, dasarnya adalah terselenggaranya pembangunan kesejahteran sosial. Artinya, pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial harus diselenggarakan oleh pekerja-pekerja sosial professional, serta harus melihat dan memahami secara tepat pekerjaan sosial sebagai profesi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar pengembangan profesionalisme pekerja sosial adalah untuk menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial. Ideologi pembangunan demi kesejahteraan sosial dan kebaikan bersama harus sungguhsungguh dijalankan dengan menjunjung tinggi profesionalisme pekerja sosial. Dalam hal ini juga ditekankan profesionalisme pekerja sosial berkaitan dengan profesionalisme penyelenggara dan pekerjaan sosial sebagai profesi. Hal kedua yang ditekankan, pengembangan profesi pekerjaan sosial itu harus becermin ke negara yang sudah maju dalam bidang pekerjaan sosial. Harus diakui bahwa di Indonesia masyarakat belum mengenal atau memahami profesi pekerjaan sosial, sebab selain pekerja sosial (social worker) belum distratifikasi atau diakreditasi, juga ada anggapan bahwa pekerjaan sosial itu bukan profesi, tetapi sekadar pekerjaan karitatif. Dengan belajar dari negara maju, pekerja sosial diharapkan bisa benar-benar menjalankan mandat dan tugas kemanusiaan untuk terciptanya keadilan sosial. Pekerja sosial bisa belajar tentang pola peningkatan, pengembangan, dan pemberdayaan profesi pekerjaan sosial, pekerjaan sosial sebagai profesi, dan pekerja sosial profesional.9 Terkait dengan pengembangan profesionalisme pekerja sosial dalam perspektif keadilan sosial dan kesejahteraan sosial dengan pendekatan penanaman nilai-nilai, maka tujuan pengembangan profesi pekerjaan sosial harus
60
konsisten dengan alasan keberadaan profesionalisme pekerja sosial, yakni demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi, rumusan tujuan pengembangan profesi pekerja sosial seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial No. 87/HUK/2003 tersebut tidak sesuai atau tidak konsisten dengan hakikat profesionalisme pekerja sosial.3 Tujuan pengembangan profesionalisme pekerja sosial yang tertulis adalah pengembangan administrasi dan tata kelola pelayanan kesejahteraan sosial. Sebenarnya tujuan utama pengembangan dan pemberdayaan profesionalisme pekerja sosial adalah mewujudkan keadilan sosial dan melihat pekerjaan sosial sebagai profesi. Dengan demikian, mereka harus memiliki kompetensi yang memadai. Jadi, pengembangan dan pemberdayaan profesionalisme pekerja sosial tidak cukup hanya dengan pengembangan administrasi, manajerial, ataupun teknis, tetapi harus lebih terfokus pada substansi dan hal yang bersifat mendasar. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I, butir B yang berbunyi: Tujuan pengembangan profesi pekerjaan sosial adalah dilaksanakannya administrasi dan pengelolaan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial serta kegiatan teknik pelayanan kesejahteraan sosial secara profesional, dengan berlandaskan pengetahuan, prinsip dan nilai serta menggunakan metode, teknik dan keterampilan pekerjaan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, sehingga dapat menjamin ketepatgunaan, kemanfaatan, hasil guna, dan akuntabilitasnya.3 Dalam rumusan di atas, tujuan pengembangan profesionalisme pekerja sosial lebih mengutamakan aspek manajerial-teknis. Seharusnya pengetahuan tentang prinsip dan nilai ditempatkan pada tujuan utama dari pengembangan profesionalisme pekerja sosial. Setelah menambah pengetahuan, memahami prinsip-prinsip, dan menghayati nilai-nilai, pekerja sosial juga harus menguasai metode, teknik, dan cara-cara tertentu agar
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
profesionalisme pekerja sosial bisa membawa visi dan misi kemanusiaan serta keadilan sosial di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya dalam ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial harus juga dirumuskan prinsip-prinsip dan nilainilai yang harus diberikan dalam pengembangan profesionalisme pekerja sosial. Ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial menyangkut lima bidang, yaitu perencanaan; pengembangan pendidikan dan latihan; pengembangan organisasi; pengembangan sistem pembinaan karier; serta pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ruang lingkup ini berkaitan dengan perencanaan. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.1 yang berbunyi: Ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial ini meliputi: perencanaan ketentuan profesional pekerjaan sosial untuk berbagai tingkatan dan bidang spesialisasi, baik pelayanan langsung maupun tidak langsung.3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan profesional pekerjaan sosial. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.2 yang berbunyi: Pengembangan pendidikan dan pelatihan profesional pekerjaan sosial, baik program pendidikan S-1, S-2, maupun S-3 dilaksanakan bekerja sama dengan perguruan tinggi pekerjaan sosial, baik di dalam maupun di luar negeri; demikian pula melalui program pendidikan dan pelatihan kekhususan jangka pendek pada UPT Diklat Departemen Sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan organisasi profesional pekerjaan sosial dan organisasi mitra kerjanya. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.3 yang berbunyi: Pengembangan organisasi profesional pekerjaan
sosial dan organisasi-organisasi mitra kerjanya, yaitu organisasi pendidikan pekerjaan sosial; dan dewan kesejahteraan sosial; demikian pula pengembangan kode etik profesional serta sistem akreditasi pekerjaan sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan sistem pembinaan karier bagi para pekerja sosial profesional yang memegang jabatan struktural dan fungsional. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I, butir C.4 yang berbunyi: Pengembangan sistem pembinaan karier bagi para pekerja sosial profesional yang memegang jabatan struktural dan fungsional, baik di lingkungan Departemen Sosial, instansi pemerintah lainnya, dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial bukan pemerintah serta pembinaan praktik/operasional profesi pekerjaan sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.5 yang berbunyi: Pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.3
Kompetensi Pekerja Sosial Perihal pekerja sosial yang memiliki kompetensi profesional diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 yang berbunyi: Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. 3
61
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Berdasarkan tingkatan kompetensinya, pekerja sosial dapat digolongkan pertama ke dalam pekerja sosial profesional pembantu. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (a) yang berbunyi: Pekerja sosial profesional pembantu ialah seseorang berpendidikan sekolah menengah pekerja sosial dengan tambahan pelatihan pengkhususan tertentu memenuhi persyaratan di bidang kesejahteraan sosial, atau program D-3 pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi sebagai pembantu pekerja sosial, baik dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung maupun tidak langsung. 3 Berdasarkan kompetensinya, ada juga pekerja sosial profesional umum. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (b) yang berbunyi: Pekerja sosial profesional umum yaitu seseorang yang berpendidikan D-4 atau S-1 atau yang dipersamakan di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial dengan kompetensi penuh dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung.3 Berdasarkan kompetensi, pekerja sosial juga digolongkan sebagai pekerja sosial spesialis karena berijazah S-3. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (c) yang berbunyi: Pekerja sosial spesialis yaitu seseorang yang berpendidikan S-2 atau spesialis 1 yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh sebagai spesialis dalam pelayanan kesejahteraan sosial, langsung atau tidak langsung, praktik mandiri atau dalam lembaga pelayanan kesejahteraan sosial. 3 Berdasarkan kompetensi, pekerja sosial juga digolongkan sebagai pekerja sosial ahli. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003
62
tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (d) yang berbunyi: Pekerja sosial ahli yaitu seseorang dengan pendidikan S-3 atau spesialis 2 atau yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh dalam bidang pendidikan, penelitian, pengembangan, perumusan rancangan kebijakan, atau perencanaan program kesejahteraan sosial.3 Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial. Semua kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional mencakup penyuluhan, penyembuhan, penyantunan, pengembangan nilai-nilai, pengorganisasian, dan perumusan kebijakan. Semua ini diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 4 yang berbunyi: Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial, yaitu semua bentuk kegiatan pelaksanaan usaha dan kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional, meliputi: a) penyuluhan dan bimbingan sosial untuk menggugah, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa dan peran serta sosial perseorangan, kelompok, dan masyarakat; b) penyembuhan dan pemulihan sosial; c) penyantunan dan penyediaan bantuan sosial; d) pengembangan nilai-nilai, potensi, dan sumber kesejahteraan sosial; e) pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan lembaga kesejahteraan sosial; f) perumusan kebijakan dan perencanaan program kesejahteraan sosial.3 Jadi dalam undang-undang secara jelas dinyatakan bahwa seorang pekerja sosial disebut profesional jika dia memenuhi persyaratan sebagai seseorang yang terlatih atau terdidik, memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial sehingga terciptalah kesejahteraan sosial. Berdasarkan tingkat kompetensinya, pekerja sosial dapat digolongkan ke dalam: a) pekerja sosial profesional pembantu, yaitu seseorang yang berpendidikan sekolah menengah pekerjaan sosial dengan tambahan pelatihan pengkhususan tertentu, memenuhi persyaratan di bidang kesejahteraan sosial, atau program D-3 pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
kompetensi sebagai pembantu pekerja sosial, baik dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung maupun tidak langsung; b) pekerja sosial profesional umum, yaitu seseorang yang berpendidikan D-4 atau S-1 atau yang dipersamakan di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial dengan kompetensi penuh dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung; c) pekerja sosial spesialis yaitu seseorang yang berpendidikan S-2 atau spesialis 1 yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh sebagai spesialis dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung, praktik mandiri, atau dalam lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; d) pekerja sosial ahli yaitu seseorang dengan pendidikan S-3 atau spesialis 2 atau yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh dalam bidang pendidikan, penelitian, pengembangan, perumusan rancangan kebijakan atau perencanaan program kesejahteraan sosial. 4) Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial, yaitu semua bentuk kegiatan pelaksanaan usaha dan kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional, meliputi: a) penyuluhan dan bimbingan sosial untuk menggugah, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa, dan peran serta sosial perseorangan, kelompok, dan masyarakat; b) penyembuhan dan pemulihan sosial; c) penyantunan dan penyediaan bantuan sosial; d) pengembangan nilai-nilai, potensi, dan sumber kesejahteraan sosial; e) pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan lembaga kesejahteraan sosial; f) perumusan kebijakan dan perencanaan program kesejahteraan sosial. Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 108/HUK/2009 tentang sertifikasi bagi pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi. Seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial No.
87/HUK/2003 tersebut. Dalam kaitan itu, dibentuklah Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial sesuai dengan definisi dalam Pasal 1 ayat 5: Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial adalah lembaga independen yang berwenang menetapkan kualifikasi dan memberikan sertifikat kompetensi untuk menjamin mutu kompetensi dan kualifikasi pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial untuk melaksanakan praktik pekerjaan sosial dan/atau penyelenggaraan kesejahteraan sosial.3 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 6 ayat 1 berbunyi: Standar minimal untuk kelengkapan lembaga meliputi antara lain, ketersediaan pekerja sosial profesional dan/atau tenaga kesejahteraan sosial yang memiliki sertifikat kompetensi. Lembaga yang diberi wewenang untuk menetapkan akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial adalah lembaga akreditasi bidang kesejahteraan sosial. Hal itu dirumuskan dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Akreditasi adalah penentuan tingkat kelayakan dan standardisasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diberikan kepada lembaga di bidang kesejahteraan sosial. Dan, pasal 1 ayat 2 berbunyi: Badan akreditasi lembaga kesejahteraan sosial yang selanjutnya disebut Badan Akreditasi adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk menetapkan akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial. Sementara Pasal 2 menyatakan: Akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk menjamin dan meningkatkan mutu peneyelenggaraan kesejahteraan sosial.10 Lebih lanjut, Pasal 5 ayat 3 berbunyi “akreditasi diberikan setelah memenuhi standar pelayanan minimal penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meliputi kelengkapan kelembagaan, proses pelayanan, dan hasil pelayanan”. Kesimpulan Profesionalisme pekerja sosial di Indonesia didasari oleh kebijakan yang
63
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
bersumber dari rumusan konstitusi, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Mandat dan amanat konstitusional untuk memajukan kesejahteraan sosial memberi implikasi perlunya sumber daya manusia yang profesional untuk mewujudkannya. Disinilah bermulanya tuntutan profesionalisme pekerja sosial. Implementasi kebijakan profesionalisme pekerja sosial di Indonesia belum berjalan baik diindikasikan. Diperlukan koordinasi antar kementerian dan instansi pemerintah dan komitmen politik pemerintah yang selaras dengan tuntutan dan perkembangan global dan regional untuk meningkatkan profesionalisme pekerja sosial dalam pelayanan kesejahteraan sosial Berbagai strategi perlu dilakukan termasuk menempatkan pekerja sosial profesional di lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; mengembangkan pekerja sosial profesional melalui pendidikan dan pelatihan; menyusun kualifikasi dan standardisasi kompetensi pekerja sosial profesional, serta membuat undang-undang tentang pekerja sosial. Rekomendasi Perkembangan profesionalisme di semua bidang pekeraan semakin cepat sesuai dengan tuntutan pengguna tenaga kerja. Sudah hampir semua pekerjaan menuntut sertifikasi sebagai salah satu upaya untuk lebih menjamin profesionalisme kerja. Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi harus terus dikembangkan secara terus-menerus dan menuntut percepatan ke depan. Hanya dengan cara seperti inilah pekerjaan sosial sebagai suatu profesi dapat mengejar ketertinggalannya dari profesi lain. Oleh karena itu semua stakeholders pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial harus mampu bekerja sama dan bekerja keras dalam rangka penyempurnaan profesionalisme pekerjaan sosial antara lain melalui pelaksanaan sertifikasi. Untuk hal ini, Kementerian Sosial dan instansi Pemerintah lain harus meningkatkan dukungannya dalam rangka percepatan pengembangan dan penyempurnaan profesi pekerjaan sosial.
64
Daftar Pustaka 1. Tim Redaksi. (2011). Undang-Undang Dasar 1945. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2. Tim Redaksi. (2010). Undang-Undang Kesejahteraan Sosial 2009 Dilengkapi Dengan UU No. 13 Tahun 1998 PP. RI. No. 43 Tahun 2004. Senar Grafika: Jakarta. 3. Departemen Sosial Republik Indonesia. (2003). Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003. Biro Humas Departemen Sosial: Jakarta. 4. Republik Indonesia. (2006). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Sekretariat Negara: Jakarta. 5. Republik Indonesia. (2006). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Negara: Jakarta. 6. Kementerian Aparatur Negara Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya. Biro Hubungan Masyarakat. 7. DuBois, Brenda. Karla, Krogsrud Miley. (2005). Social Work: An Empowering Profession, Pearson: New York, 2005. 8. Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kerja Sosial. Biro Hubungan Masyarakat: Jakarta. 9. Chamsyah, Bachtiar. (2008). Reinventing Pembangunan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia, Universitas Trisakti: Jakarta. 10.Kementeriam Sosial Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial.