JAWABAN UAS
MATA KULIAH:
ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL
DOSEN: Dr. AEP RUSMANA, M.Si EDI SUHARTO, Ph.D Drs. EDI SUHANDA, M.Si Dra. MIRYAM NAINGGOLAN, M.S.W.
Semester Dua
DISUSUN OLEH: HERU SUNOTO (13.01.003)
PROGRAM PASCASARJANA SPESIALIS 1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL (STKS) BANDUNG 2014
1. Ilustrasikan pencapaian pembangunan sosial dari perspektif institusional baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Kemudian terapkan ilustrasi tersebut di lingkungan saudara! Jawaban: Pertanyaan di atas mencakup empat point besar, yaitu (i) Pembangunan sosial, (ii) Perspektif institusional, (iii) Cakupan dalam lokal, regional, dan nasional, (iv) Penerapan di lingkungan kerja. Pembangunan sosial Pembangunan sosial adalah seperangkat aktivitas membangun, mencipta, dan mengkreasi keadaan masyarakat luas menjadi lebih baik, dengan berpedoman kepada norma, aturan, dan budaya yang berlaku di dalamnya untuk mencapai tujuan bersama. Social development1 is a process that results in the transformation of social structures to improve the capacity of a society in order to fulfil its objectives. It aims specifically in developing power to elevate expansion of human activity (Pembangunan sosial adalah satu proses dimana hasilnya adalah transformasi struktur sosial untuk memperbaiki kemampuan masyarakat di dalam mencapai tujuan bersama). Edi Suharto (2011: 106)2
--ketika menjelaskan pembangunan kesejahteraan sosial--
menyatakan bahwa “sosial” maksudnya adalah bahwa pembangunan itu tidak sekedar bernuansa fisik atau ekonomi saja, pertama; kedua, sasarannya adalah manusia dalam jumlah banyak khususnya kalangan yang tidak beruntung; dan ketiga, tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit on Social Development) Tahun 1995 di Kopenhagen, Denmark, yang dikenal dengan “Deklarasi Kopenhagen 1995” menjelaskan bahwa pembangunan sosial
--yang tidak terpisahkan dari
segmen ekonomi, politik, ekologi, dan lingkungan budaya--
mendesak untuk dilakukan
seluruh negara di dunia sebagai jawaban atas begitu banyak permasalahan kesejahteraan sosial akibat dari perubahan sosial di seluruh dunia yang demikian cepat. Ada tiga agenda pembangunan sosial dari Deklarasi Kopenhagen3 tersebut, yaitu: a. Eradication of poverty (Pemberantasan kemiskinan),
http://www.ask.com/question/what-is-the-definition-of-social-development downloaded at may 25th 2014 Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Cetakan ke III, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2011. 3 Earth Negotiation Bulletin, a Summary Report of the World Summit of Social Development, Vol. 10 No. 44 Published by the International Institute for Sustainable Development (IISD) Wednesday, 15 March 1995, downloaded from http://www.iisd.ca/download/pdf/enb1044e.pdf at May 25th 2014. 1 2
1
b. Expansion of productive employment and reduction of unemployment (perluasan kerja produktif dan pengurangan pengangguran), dan c. Social integration (integrasi sosial). James Midgley dan KL. Tang (2008: 73)4 menyatakan “Pembangunan sosial yang mulai disemarakkan di Dunia Ketiga sebagai pendekatan dalam kebijakan sosial, sejatinya sudah membuat Negara-negara industri maju terpesona, khususnya setelah diadakannya KTT di Kopenhagen, Denmark tahun 1995 silam. Hal ini karena ada tiga prinsip besar (Midgley, 2008: 73) dalam pembangunan sosial, yaitu: a. Kebijakan sosial dan ekonomi seharusnya diitegrasikan secara baik dan pengaturan organisasi (organizational arrangement) harus bisa dikembangkan pada level nasional untuk memastikan pencapaian kedua hal tersebut; b. Beragam kebijakan makro-ekonomi yang mendorong terciptanya kesempatan kerja dan peningkatan standar hidup secara keseluruhan harus diprioritaskan. Pelaksanaannya secara people-centered (berpusat pada rakyat), partisipatory, fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, dan menekankan pada pemberantasan kemiskinan; c. Kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policies) beserta programnya termasuk di dalamnya jaminan sosial, harus berorientasi pada investasi dan kalangan produktif sehingga memungkinkan pengembalian, baik individu maupun ekonomi. Berdasarkan penjelasan tentang pembangunan sosial di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa inti dari pembangunan sosial adalah pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat secara luas melalui kebijakan pembangunan yang tidak melulu ekonomi, tetapi integrasi antar segmen, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya, melalui cara-cara yang berpusat pada rakyat (people-centered) dan partisipatory. Perspektif Institusional Pembangunan sosial akan berhasil jika melibatkan beragam institusi yang ada di masyarakat secara integratif, horizontal, dan setara. Anthony Gidden (1990)5 menyatakan tentang institusi bahwa: “Many ... aspects of social life may be institutionalised: that is, become commonly accepted practices which persist in recognisably similar forms across generations ... institutionalised forms of social conduct refer to modes of belief and behaviour that occur and recur, or....are socially reproduced (Banyak ... aspek kehidupan kita yang bisa diinstitusionalkan, ia merupakan praktik yang diterima dan langgeng James Midgley and Kwong-Leung Tang (editors), Social Security, the Economy and Development, 1st Edition, Palgrave, Macmillan, NY., USA, 2008. 5 Anthony Giddens, Sociology: a brief but critical introduction, Macmillan, Basingstoke, 1990. 4
2
dari generasi ke generasi, bentuk perilaku sosial yang dilembagakan adalah seperti gaya kepercayaan dan perilaku yang terjadi dan berulang kali, ataupun direproduksi secara sosial). Gidden melanjutkan: Institusi yang ada di masyarakat adalah semisal: bahasa,
media,
keluarga dan kekerabatan,
monarki/kerajaan6,
institusi ekonomi,
pasar,
institusi politik,
persatuan dagang,
institusi agama,
perusahaan, dan
institusi pendidikan
serikat pekerja.
Joe Wallis and Brian Dollery (2001: 5) dalam jurnalnya menyatakan: Tiga7 istilah institusi yang dimaksud adalah (i) masyarakat/society, (ii) pasar/market, dan (iii) negara/state. Kata “institusi” berbeda dengan istilah yang sering digunakan setiap hari, semisal “koletivitas”. Institusi mengacu kepada cara-cara yang ditentukan untuk melakukan sesuatu. Bentuk institusi biasanya timbul dari transformasi sosial yang mempengaruhi seluruh masyarakat, seperti industrialisasi dan urbanisasi. Institusi sering berbeda-beda pada masyarakat yang berbeda pula, meskipun globalisasi menciptakan kesamaan. Pakar ekonomi, Douglass North (1990)8 menyatakan bahwa institusi adalah pengembangan dari aturan main (rule of the game) di dalam aturan organisasi, kolaborasi, dan kompetisi; institusi ada di dalam aturan formal dan aturan tak tertulis tentang peran-peran sebagaimana struktur (politik/sosial) untuk memaksa anggotanya layaknya aturan. Struktur aturan semisal: a. Politik dan definisi resmi tentang properti b. Kontrak c. Pasar d. Tipe-tipe khusus tentang struktur organisasi.
Gidden menyebut contoh institusi, salah satunya, adalah kerajaan, karena Gidden adalah warga negara Inggris, dan Inggris adalah negara kerajaan. 7 Joe Wallis and Brian Dollery, A New Institutional Perspective on Alternative Governance Mechanisms at the Local Government Level, University of Otago, Economics Discussion Papers, No. 0120, ISSN 0111-1760, New Zealand, November 2001. 8 Douglass North, Institutions, Institutional Change, and Economic Performance, Cambridge University Press, Cambridge, UK, 1990. 6
3
Scott dan Meyer (1994)9 menyatakan: Institusi adalah sistem simbolik dan sistem perilaku yang mengandung representasional, konstitutif (berupa peraturan), aturan-aturan normatif bersamaan dengan mekanisme regulasi yang mendefinisikan satu sistem makna peran dan memberikan peningkatan untuk membedakan antara aktor dan aksi yang rutin. Institusi bekerja pada beragam level. Williamson (1985) 10 membedakan ada dua level, yaitu (i) lingkungan institusi yang lebih luas, dan (ii) di dalam institusi. Yang pertama, ada pada level yang relatif abstrak, dan yang kedua pada level yang konkret semisal aturan organisasi. Glenn Morgan (2010: 16)11 menyatakan tentang substansi kesuksesan perspektif institusional adalah sebagai berikut: The success of institutional or neo-institutional perspectives reflects in part their ability to integrate complexity. The different variants of institutionalism have that in common that they make it possible to take into account the contextual embeddedness of economic rules, actors, organizations, or behaviours. Still, under the broad label of ‘institutionalism’, there is also a fair amount of diversity and resilient differences. (Keberhasilan perspektif institusional ataupun neo-institusional adalah tercermin di dalam kemampuan mereka mengintegrasikan kompleksitas hal yang berbeda. Beragam variasi institusionalisme mempunyai peran dimana ia membuat sesuatu bisa dilakukan secara kontekstual menempel (embeddedness) pada aturan ekonomi, aktor/pelaksana, organisasi, atau perilaku. Berikutnya, di bawah label “institusionalisme” maka di sana ada perhitungan tentang keberagaman dan ketahanan dalam keberagaman). Berdasarkan penjelasan di atas, maka perspektif institusional adalah bagaimana kita memandang dan menempatkan beragam institusi yang ada diletakkan secara horizontal, setara, dan integral dalam kebijakan yang harmonis untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Cakupan Lokal, Regional, dan Nasional Pendekatan institusional berusaha untuk memastikan usaha pembangunan sosial dan ekonomi terjadi dan secara efektif, ada harmonisasi pada level nasional, regional dan lokal. Pendekatan ini dapat menfasilitasi perbaikan pada ketiga level ini dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang. Maka, keberhasilan capaian pembangunan sosial di tingkat lokal, regional, dan nasional adalah sangat bergantung kepada integral tidaknya beragam institusi yang ada di masyarakat, baik institusi formal maupun non-formal, baik organisasi maupun tata-aturan, norma, dan budaya. Scott WR and Meyer JW, Institutional Environments and Organizations, Sage, Thousand Oaks, California, 1994. Williamson, OE (1985) The Economic Institutions of Capitalism, Free Press, New York. 11 Glenn Morgan et.al., the Oxfor Handbook of Comparative Institutional Analysis, Oxford University Press, NY., USA., 2010, hal 16. 9
10
4
Pada tingkat lokal masyarakat, terjadi kesamaan pandang antar berbagai bagian anggota masyarakat. Yang masuk dalam tingkatan lokal adalah masyarakat desa, kecamatan, dan kab./kota. Berbagai suku yang mendiami satu lokal masyarakat saling memahami, menjaga, saling percaya/trust, norma kemasyarakatan yang ada bisa mengakomodir keberagaman anggotanya, sarana produksi dan distribusi juga mampu men-cover seluruh kebutuhan dan kepentingan anggotanya, tidak ada yang diperlakukan istimewa daripada yang lainnya. Pada tingkat regional, adalah wilayah provinsi. Pembangunan sosial dalam wilayah provinsi harus mengacu pada agenda-agenda kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Prioritas sasaran yang ditetapkan harus merupakan agenda strategis setiap kabupaten/kota, khususnya daerah yang paling banyak mengalami masalah sosial, seperti kemiskinan, penangguran, dan disitegrasi sosial, sebagaimana tiga agenda “Deklarasi Kopenhagen 1995”. Pada tingkat Nasional, adalah negara. Pembangunan sosial pada tataran negara merupakan klimaks dari semua kebutuhan dan agenda nasional. Kerucut dari semua agenda lokal dan wilayah, dari desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi menyatu dalam apa yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pembangunan (RKP). Agenda pembangunan sosial level nasional, selain merupakan akumulasi agenda lokal dan regional, juga harus mencerminkan kesepakatan internasional, semisal Millenium Development Goals (MDG’s). Penerapan Perspektif Institusional di Lingkungan Kerja Nama Instansi Satuan Kerja Jenis Kegiatan
Institusi terkait (provinsi)
Institusi terkait (kab./kota)
: Heru Sunoto : Dinas Sosial Prov. Jateng : Seksi Pemberdayaan Keluarga Miskin dan Komunitas Adat, Bidang Pemberdayaan Sosial : 1. Pemberdayaan KRSE dan WRSE 2. Pemberdayaan Sosial KAT 3. KUBE Perdesaan 4. KUBE Perkotaan 5. Bedah Kampung dan RS-RTLH dan Sarling : 1. Dinas Tenaga Kerja Prov. Jateng 2. Biro Bina Sosial, Setda Prov. Jateng 3. Dinperindag Prov. Jateng 4. Dinas/instansi sosial 5. Dinas Pariwisata prov. Jateng 6. IPSPI Wil. Jateng 7. Akademisi 1. Dinas/instansi sosial kab./kota 2. TKSK kab./kota 3. FK-PSM kab./kota 5
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
SKPD bidang Perindustrian kab./kota SKPD bidang pertanian dan peternakan kab./kota Dinas Pariwisata kab./kota Bagian Kesra Kab./kota Camat se Jawa Tengah Lurah dan Kepala Desa Se Jawa Tengah Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pertanian dan peternakan seluruh Jawa Tengah 11. Pebisnis 12. Pasar Hal-hal yang dilakukan Seksi PSKM-KA Dinsos Prov. Jateng: Bermitra dengan institusi level provinsi dan level kabupaten/kota berupa kerjasama program dan kegiatan, menjadikan mereka sebagai salah satu narasumber dalam berbagai kegiatan penanggulangan kemiskinan. Hal ini disesuaikan dengan tema penanggulangan kemiskinannya; apabila usaha /masyarat berupa ternak, maka bekerja sama dengan Dinas peternakan, PPL, dan market (pasar); apabila berupa industri kreatif, maka bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, demikian seterusnya. Bermitra dengan akademisi, pengurus IPSPI wilayah provinsi yaitu dalam pembekalan bagi para pendamping masyarakat, bagi masyarakat (para penerima program), baik pengetahuan (khnowlegde) maupun ketrampilan (skills). Bermitra dengan institusi pendukung kegiatan, yaitu para pebisnis, praktisi kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan juga pasar. Model mitra yang kami jalin adalah mengajak mereka menjadi pemateri dan motivator kegiatan masyarakat, dan juga sebagai tenaga ahli pendamping masyarakat. 2. Deskripsikan sebuah kebijakan unggul. Bagaimana implementasinya di lingkungan saudara! Ada tiga point besar pada pertanyaan di atas, yaitu (i) Kebijakan publik, (ii) Kebijakan unggul, dan (iii) Penerapan di lingkungan kerja. Kebijakan Publik Secara singkat Dye yang dikutip oleh Young dan Quinn dalam Edi Suharto (2010: 44)12 menyatakan bahwa Public Policy is whatever government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan).
12
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Cetakan ke lima, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2010, hal 44.
6
Sementara itu, Anderson (Edi Suharto, 2010: 44)13 menyatakan secara lebih spesifik sebagai: a purposives course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (Sebuah jalan aksi yang sengaja diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam menyelesaikan satu masalah atau sejumlah fokus permasalahan). Definisi yang hampir senada dikemukakan oleh Clark E. Cochran dkk (2009: 1 – 2)14 sebagai berikut: Thus, public policy is defined in this book as an intentional course of action followed by a government institution or official for resolving an issue of public concern. Such a course of action must be manifested in laws, public statements, official regulations, or widely accepted and publicly visible patterns of behavior. Public policy is rooted in law and in the authority and coercion associated with law. (Oleh karena itu, kebijakan publik bisa didefinisikan dalam buku ini sebagai satu jalan yang sengaja diambil oleh institusi pemerintah ataupun pejabat untuk menyelesaikan isu perhatian publik, semisal jalan tindakan yang harus dimanifestasikan di dalam hukum, pernyataan publik, regulasi pejabat, ataupun pola yang diterima atau dilihat secara luas dan perilaku publik. Kebijakan publik berakar pada hukum, otoritas, dan pemaksanaan yang diasosiasikan dengan hukum). Di bawah ini adalah tahapan proses kebijakan publik:15
Problem Definition
Problem Redefinition
Policy Evaluation
Policy Demand
Agenda Formation
STAGES OF THE POLICY PROCESSES
Policy Implementation Output Impact (Outcome) Tangible and simbolic
Policy Adoption
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Cetakan ke lima, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2010, hal 44. 14 Clark E. Cochran et.al., American Public Policy: an Introduction, 9th edition, Wadsworth Cengage Learning, Boston, MA., USA, 2009, hal. 1 – 2. 15 Clark E. Cochran et.al., American Public Policy: an Introduction, 9th edition, Wadsworth Cengage Learning, Boston, MA., USA, 2009, hal. 9. 13
7
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan apapun yang ditempuh atau tidak ditempuh oleh negara sebagai jawaban atau solusi terhadap satu atau beragam permasalahan atau isu publik yang ada, terlepas apakah top-down ataupun bottom-up. Kebijakan Publik yang Unggul Kebijakan unggul/exellence public policy adalah kebijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan dengan melibatkan stakeholders (para pemangku kepentingan), dari akademisi, dunia usaha, Organisasi Non-Pemerintah sebagai perwakilan masyarakat, penerima program, dan wakil rakyat (DPR/DPRD) dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Riant Nugroho (2011)16 mengatakan --saya ungkapkan secara ringkas-- bahwa kebijakan selama ini yang ternyata gagal adalah karena bukan kebijakan unggul, namun kebijakan inkrementalik-elitis, yaitu kebijakan yanghanya dirancang oleh sekelompok orang elit politik yang menjadi pejabat negara sekedar untuk melanjutkan kebijakan yang sudah pernah ada karena yakin itu yang terbaik. Kebijakan ini ternyata gagal dan jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998 merupakan bukti terkuat gagalnya model kebijakan ini. Istilah kebijakan publik adalah untuk menekankan bahwa kebijakan tersebut bukan hanya domain negara dalam arti pemerintah dan legislatif, namun lebih karena kebijakan pengelolaan negara harus menjadi doman seluruh anak bangsa, termasuk rakyat. Kebijakan publik harus merupakan kebijakan yang baik. Dalam istilah lain, kebijakan yang baik adalah kebijakan unggul. Kebijakan publik yang unggul memenuhi tiga kriteria utama17 dan lima kriteria tambahan18. Kriteria utama kebijakan publik yang unggul adalah: 1. Cerdas, memecahkan masalah pada inti permasalahannya 2. Bijaksana, tidak menimbulkan masalah baru 3. Memberi harapan, memberi harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik daripada hari ini.
Riant Nugroho, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Manajemen Kebijakan, Edisi ke tiga (revisi), Penerbit Elex Media Komputindo, Palmerah, Jakarta, 2011, hal. 703 – 732. 17 Riant Nugroho, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Manajemen Kebijakan, Edisi ke tiga (revisi), Penerbit Elex Media Komputindo, Palmerah, Jakarta, 2011, hal 705 – 709. 18 Riant Nugroho, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Manajemen Kebijakan, Edisi ke tiga (revisi), Penerbit Elex Media Komputindo, Palmerah, Jakarta, 2011, hal 713. 16
8
Kriteria tambahan kebijakan publik yang unggul adalah sebagai berikut: 1. Relevan dengan zaman 2. Kebijakan publik itu harus batal demi hukum dan demi kehormatan negara apabila terbukti terkontaminasi oleh korupsi. 3. Setiap dimensi proses kebijakan publik align dan bersinergi. 4. Kualitas keprofesionalan pemerintahan, dan bukan aparatur amatiran. 5. Kepemimpinan yang tegas dan kuat, kapabel/cakap, punya komitmen untuk membangun (committed leader), mau belajar/a learning leader, dan mampu melihat jauh ke depan dan mengajak. Tantangan kebijakan publik yang unggul: 1. Analisis kebijakan dalam proses politik akan menjadi semakin krusial, karena media sudah tidak lagi independen tapi sekedar pemuas kepentingan bisnis dan politik tertentu. 2. Masuknya pendekatan-pedekatan lain dari ilmu pengetahuan lain ke dalam kebijakan publik. Minimalnya, ada empat, yaitu (i) pendekatan ekonomi, (ii) pendekatan biologi, (iii) model matematika, dan (iv) model fisika. 3. Involusi kebijakan, yaitu perubahan bentuk, pencanggihan bentuk kebijakan tanpa dibarengi dengan perubahan substansi. Yang ada justeru tidak bisa diimplementasikan dan merusak kehidupan publik.
Aligning pertama adalah antara perumusan, implementasi, dan kinerja harus dilakukan dalam tiga cara dan berurut, yaitu: 1. Setiap kebijakan harus dibuat menyesuaikan kebutuhan atau isunya; 2. Kebijakan tidak hadir di ruang hampa, tapi harus membumi; 3. Kebijakan publik adalah dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia, tidak boleh ada pihak-pihak yang tidak dilibatkan.
Aligning kedua adalah aligning antar-kebijakan, dengan dua strategi, yaitu: 1. Pastikan kebijakan yang akan dibuat adalah mengatur hal-hal yang memang harus diatur, jangan mengatur apa yang ada di luar kewenangannya, dan 2. Kebijakan tidak berbenturan dengan kebijakan lain. Maka, jika dua aligning di atas diterapkan akan muncul sinergi kebijakan.
9
Penerapan Kebijakan Publik yang Unggul di Lingkungan Kerja Nama Instansi Satuan Kerja Kegiatan
Proses Kebijakan Unggul 19 Partisipatory Approach
dalam setiap proses pembuatan kebijakan
: Heru Sunoto : Dinas Sosial Prov. Jateng : Seksi Pemberdayaan Keluarga Miskin dan Komunitas Adat, Bidang Pemberdayaan Sosial : Bantuan Sosial untuk KRSE : Problem Definition Melalui survey, pendataan, rembug warga tentang potensi dan permasalahan KRSE
Policy Demand
Mengadakan “Rembug Warga” untuk membicarakan beragam keinginan warga menjadi program/kegiatan. Berbagai kegiatan yang diajukan oleh warga memang berbeda, namun harus seoptimal mungkin diakomodir dalam kegiatan bersama, menghargai keinginan bersama, menghargai knowledge dan skill bersama.
Agenda Formation
Menyusun rencana bersama untuk menanggapi permasalahan warga. Outputnya adalah munculnya beragam solusi alternatif dari setiap permasalahan yang dihadapi warga.
Policy Adoption
Mengadakan Diskusi dan Loka-Karya untuk mendiskusikan berbagai alternatif solusi yang ditawarkan oleh masing-masing kelompok warga. Outputnya adalah diperoleh satu atau beberapa solusi yang paling realistis untuk dilaksanakan, dengan mengkaitkan dengan potensi internal dan eksternal, keterbatasan internal dan kendala eksternal (SWOT).
Policy Implementation
Pelaksanaan kegiatan yang sudah disepakati; setiap anggota TKM mendapatkan beban dan tanggung jawab yang sudah disepakati sesuai potensi pengetahuan dan ketrampilannya masing-masing.
Policy Evaluation
Dengan model evaluasi partisipatif, setiap warga diberi kesempatan menyampaikan suaranya tentang keberhasilan apa yang sudah mereka lakukan dan kekurangan apa yang ada serta mengevaluasi apa faktor penyebab dan solusi ke depannya. Evaluasi partisipatif ini dilakukan setelah semua tahapan kegiatan terlaksana.
Problem Re-definition
Hasil evaluasi partisipatif dijadikan sebagai bahan bersama untuk mendefinisikan ulang permasalahan yang mereka hadapi, apakah sudah terselesaikan ataukah belum, apakah sudah terkurangi ataukah belum. Hasilnya merupakan bahan untuk penyempurnaan program/kegiatan ke depan. ***
19
Clark E. Cochran et.al., American Public Policy: an Introduction, 9th edition, Wadsworth Cengage Learning, Boston, MA., USA, 2009, hal. 9 - 15.
10
DAFTAR PUSTAKA
Cochran, Clark E., et.al. (2009) American Public Policy: an Introduction, 9th edition, Wadsworth Cengage Learning, Boston, MA., USA. Edi Suharto (2010) Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Cetakan ke lima, Penerbit Alfabeta, Bandung. Edi Suharto (2011) Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Cetakan ke III, Penerbit Alfabeta, Bandung. Earth Negotiation Bulletin (1995), a Summary Report of the World Summit of Social Development, Vol. 10 No. 44 Published by the International Institute for Sustainable Development (IISD) Wednesday, 15 March 1995, downloaded from http://www.iisd.ca/download/pdf/enb1044e.pdf at May 25th 2014 Giddens, Anthony (1990) Sociology: a brief but critical introduction, Macmillan, Basingstoke. Midgley, James and Tang, Kwong-Leung (editors) (2008) Social Security, the Economy and Development, 1st Edition, Palgrave, Macmillan, NY., USA. Morgan, Glenn et.al. (2010) the Oxfor Handbook of Comparative Institutional Analysis, Oxford University Press, NY., USA. North, Douglass (1990) Institutions, Institutional Change, and Economic Performance, Cambridge University Press, Cambridge, UK. Riant Nugroho (2011) Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Manajemen Kebijakan, Edisi ke tiga (revisi), Penerbit Elex Media Komputindo, Palmerah, Jakarta. Scott WR and Meyer JW (1994) Institutional Environments and Organizations, Sage, Thousand Oaks, California, USA. Wallis, Joe and Dollery, Brian (2001) A New Institutional Perspective on Alternative Governance Mechanisms at the Local Government Level, University of Otago, Economics Discussion Papers, No. 0120, ISSN 0111-1760, New Zealand.
Williamson, OE (1985) The Economic Institutions of Capitalism, Free Press, New York. http://www.ask.com/question/what-is-the-definition-of-social-development downloaded at may 25th 2014.
11