2 MENJEMPUT PANGGILAN KE MERTOYUDAN "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku." (Mat 16: 8)
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 27
2 MENJEMPUT PANGGILAN KE MERTOYUDAN "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku." (Mat 16: 8)
Berbaur dengan “Keluarga Baru” MAGELANG, Jawa Tengah, 1976. Bangunan Belanda Seminari Menengah Santo Petrus Canisius tampak berdiri kokoh di tengah rindangnya pohon-pohon besar di sekelilingnya. Suasana teduh dan damai langsung menyapa Yus Noron yang datang diantar oleh Maman Noron, kakaknya. Ini kedatangannya kedua, setelah dipastikan lulus tes dan diterima di Seminari Mertoyudan.
Sanctitas, Sanitas, Scientia. Itulah motto yang diusung Seminari Menengah Mertoyudan yang bercita-cita mendidik seminaris agar berkembang secara seimbang dalam ke-
28 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
sucian, kesehatan, dan pengetahuan. Inilah tempat untuk mendidik dan mendampingi siswa menjadi pribadi yang berkembang secara integral dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah kedewasaan sesuai dengan usianya sehingga semakin mampu mengambil keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya. “Saya yang antar dia ke sana 3 hari tes waktu itu. Saya tungguin. Ternyata diterima. Saya waktu itu sudah kerja jadi guru di SD Strada Cengkareng. Kebetulan kepala sekolah saya dulu adalah calon pastor. Jadi, dia mendukung sekali waktu saya izin mau antar Yus ke
Mertoyudan. Langsung saya diberi izin pergi,” cerita Maman. Irama detak jantung Yus mulai terasa menggedor rongga dadanya. Deg-degan sudahlah pasti. Rasa senang dan waswas silih berganti menghuni hatinya. Apalagi, kepergiannya ini dilepas oleh haru yang mendalam mama tercinta, Maria Naomi. Inilah kali pertama ia harus berpisah jauh dari anak bungsunya yang masih usia remaja. Jauh dalam lubuk sanubarinya, tentu ia pun menyadari bila kelak putra bungsunya berhasil menjadi imam maka ia pun harus siap dari sekarang ke mana pun Tuhan akan menugaskannya. Di Mertoyudan, Yus tak punya banyak waktu untuk berlama-lama bersama Maman. Setelah segala piranti dan keperluan dibereskan, tibalah waktu bagi kakaknya untuk kembali ke Jakarta. Di situlah Yus mulai merasakan ketakutan ditinggal sendiri. Bila hari-hari sebelumnya dia masih bisa merasa nyaman karena Maman Noron
selalu ada di sampingnya, kini situasi akan berubah total. Yus tak kuasa menahan tangisnya saat melepas Sang Kakak melangkah pergi meninggalkannya. Serasa ada yang hilang dari hatinya. Kosong dan hampa. Barulah ia menyadari apa yang dirasakan mamanya beberapa hari sebelumnya, saat melihatnya pergi. Tahun pertama di Mertoyudan adalah kelas persiapan. Tahun pertama ini adalah masa yang berat bagi Yus Noron. Ia harus menye-
Seminari Menengah Santo Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang (dokumentasi Rudy Corsica)
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 29
suaikan beragam hal baru yang tak pernah ia alami sebelumnya di Kampung Sawah, termasuk harus merelakan diberi nama panggilan baru. Namanya yang terdengar unik di telinga teman-temannya—yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah— mendorong mereka untuk memanggilnya “Noron” saja. Unik dan gampang diingat. Berpisah dari Mama dan keluarga merupakan hal yang berat. Setidaknya itulah yang dirasakan Yus meski ia sudah memiliki “keluarga baru” di Mertoyudan. Satu-dua kali malam minggunya hanya dihabiskannya dengan duduk terdiam di gawang lapangan bola di halaman seminari sambil menangis. Ia ingat Mama. Ingat teman-teman mainnya di Kampung Sawah tiap kali malam Minggu tiba. Bukan itu saja, setiap kali Maman mengiriminya wesel, Yus pernah bertanya kepada Mama siapa yang membiayai dirinya. “Saya pikir dia tak perlu memikirkan itu, yang penting lanjut sekolah. Karena itu memang sudah tugas saya. Kan kakak dan adik saya sudah berkeluarga, saya sendiri jadi bisa
30 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
bantu membiayai dia,” Maman membuka rahasianya. Alasan Maman ada benarnya. Yus lebih baik berkonsentrasi pada sekolah barunya karena di sana ia masih harus banyak menyesuaikan diri. Perasaan tidak kerasan mulai menyusup sanubari Yus, terutama karena kendala bahasa. Ia sama sekali tidak mengerti Bahasa Jawa, bahasa yang sama sekali tak pernah disinggungnya. Padahal sebagai siswa Seminari Mertoyudan, ia baru menyadari bahwa Mars Seminari ternyata teks aslinya berbahasa Jawa.
MARS SEMINARI Lagu: J. Schouten SJ Teks: A. Soenarja SJ teks asli dalam bahasa Jawa:
Mba putra Seminari, setya mring sesanti. Rukun tunggil tenaga mangudi jejangka. Sinanggi manah panggah, ing bingah lan susah.
Amung satunggal esti imam Dalem Gusti. Ing satindak satandang, manah bingar padhang. Nuju sucining budi kanthi ulah dhiri. Tan mundur wit rubeda, tan wigih ing karya. Amung satunggal esti imam Dalem Gusti. Hai putra Seminari, selalu sehati. Ikut panggilan suci dengan niat murni. Sedia akan karya bagi Greja bangsa. Karna tujuan kita imamat mulia. Usaha hidup suci, sehat dan berbudi. Dengan bangga berbakti berjiwa mengabdi. Dalam suka dan duka tetap tabah setia. Demi tujuan kita imamat mulia.
Tak pelak, sebesar-besarnya keluarga yang ia miliki sekarang, kalau mayoritas bicara dalam bahasa yang tak dimengertinya, maka kesepian jualah yang menemani hatinya. Rindu untuk kembali berkumpul dengan komunitas yang ia bisa berbaur di dalamnya.
Semangat yang Sempat Runtuh KENDALA bahasa memang hanya dialami Yus dalam percakapan sehari-hari. Di kelas tidak ada masalah karena semuanya memakai pengantar Bahasa Indonesia. Namun, satu hal yang di luar dugaannya, rupanya siswasiswa yang diterima di Seminari Mertoyudan banyak yang pintar dan kreatif. Yus harus bersaing keras dengan mereka. Pelajaran Berhitung dan Matematika yang dari dulu kurang disukainya, di seminari ini “berhasil” menyumbang angka merah di rapornya. Prestasi akademik yang pernah diraihnya selama di SD dan SMP seolah tak sanggup melawan kepandaian teman-teman barunya. Nilainya jatuh, membuatnya semakin tak betah dan berencana angkat kaki dari situ. Teman-teman seangkatan Yus antara lain Subagyo (Romo Yohanes Subagyo Pr, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta), Priyo (Yakobus Priyo Utomo, CEO Book Publishing and Retail – Gramedia), Wandi (Suwandi S.
Brata, Vice Group Director, Group of Book Publishing – Gramedia), dan Nico Adi (Mgr. Nicolaus Adi Seputro MSc, Uskup Agung Merauke, Papua). Subagyo adalah salah satu
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 31
siswa yang terkenal pintar dan kreatif, sedangkan Yus adalah siswa yang tak banyak bicara dan biasa-biasa saja. ”Noron itu orangnya lurus nggak neko-neko. Beda dengan saya yang agak aneh. Kadangkadang saya tiba-tiba nyanyi dangdut di depan teman-teman. Dulu tiap Sabtu dan Minggu, saya dan Subagyo ngamen di bus sampai ke Temanggung dan Wonosobo. Tes mental saja!” cerita Priyo. “…tidak harus menonjol atau sangat pintar untuk menjadi yang terpilih.”
~Yakobus Priyo Utomo Teman di Seminari Mertoyudan (1976 – 1980) Saya pertama kali bertemu Yus Noron tahun 1976 saat kami bersama-sama baru masuk Seminari Menengah di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Saat itu yang ada dalam pikiran saya, kok ada orang dari Kampung Sawah masuk seminari menengah di sini. Biasanya yang masuk seminari di Mertoyudan itu dari paroki-paroki terkenal di Jakarta. Saat itu ada 3 orang dari Kampung
32 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
Yus bersama Subagyo (kini Vikaris Jendral Keuskupan Agung Jakarta), teman dekat di Seminari Mertoyudan (dokumentasi pribadi, 1981)
Sawah yang masuk seminari di sana. Saya sampai mencari tahu di mana itu Kampung Sawah saat saya berkunjung ke Jakarta. Ternyata daerah Kampung Sawah itu situasinya tidak berbeda jauh dengan situasi desa saya di Yogya, baik secara ekonomi maupun pergaulan, sehingga saat kami mengobrol gampang karena mempunyai latar belakang kehidupan yang sama. Dulu kami memanggil Romo Yus dengan panggilan ‘Noron’, karena terdengar unik di telinga orang Jawa dan gampang diingat.
Noron termasuk siswa yang lurus ‘nggak neko-neko’. Karena itu, kami yakin ia pasti akan jadi imam. Saat itu ada 110 siswa yang bersama kami masuk ke seminari menengah di Mertoyudan, 26 di antaranya akhirnya ditahbiskan jadi imam. Ini termasuk jumlah yang banyak.
dengan saya yang lebih spontan. Saat di Mertoyudan saya mendapat panggilan ‘Badak’ karena pernah secara spontan saya menguap lebar saat sedang belajar di kelas. Guru yang mengajar saat itu marah, lalu memberi saya julukan itu. Berbeda dengan Noron, ia tidak pernah bersikap seperti itu.
Dari pengalaman saya belajar di seminari, saya mengambil kesimpulan bahwa kepandaian bukanlah hal yang paling menentukan seseorang berhasil menjadi imam, tapi lebih pada kesungguhan seseorang. Dari segi kepandaian, Noron termasuk siswa yang biasa saja. Saya juga siswa yang prestasinya biasa saja. Karena itu kami harus tekun belajar dan berusaha untuk mencapai sesuatu. Noron juga sama. Jadi, seseorang tidak harus menonjol atau sangat pintar untuk menjadi yang terpilih. Tidak perlu dilihat apa latar belakangnya. Yus Noron biasa-biasa saja. Namun, karena biasa saja maka ia terus-menerus berusaha dan tekun hingga bisa mencapai seperti ini.
Bagi saya, seminari Mertoyudan adalah tempat yang luar biasa. Di sini tempat pembentukan karakter dan kedisiplinan kami. Di sini saya juga belajar memahami karakter berbagai orang dari berbagai daerah. Ada yang nakal, suka mencuri, dan lain-lain. Saya belajar bahwa dari lembaga yang kita anggap paling suci pun kita tidak bisa menuntut terlalu banyak. Mereka manusia biasa seperti kita. Hikmahnya, kita tidak terlalu mudah menghakimi. Tidak usah kecewa bila lembaga yang kita agungagungkan ternyata juga membuat kesalahan.
Selama belajar di Mertoyudan, Noron adalah siswa yang patuh. Walaupun saya tidak pernah sekelas, saya tahu ia begitu. Berbeda
Setelah lulus dari Mertoyudan tahun 1980 saya tidak melanjutkan ke seminari tinggi. Itu keputusan pribadi saya. Saya menjadi penulis lepas di majalah HAI, yang saat itu dipegang Arswendo Atmowiloto. Kemampuan menulis saya terasah juga di
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 33
Mertoyudan, karena kami mempunyai guru Bahasa Indonesia yang luar biasa. Tak lama setelah itu saya diterima di bagian penerbitan Gramedia Pustaka Utama dan saya melanjutkan kuliah jurnalistik. Saya merasa saya lebih dibutuhkan di luar seminari dengan kemampuan saya. Jadi, setiap orang mempunyai panggilannya masing-masing, tidak ada yang lebih atau kurang. Ada yang seperti saya, seperti Noron, atau bahkan seperti Romo Mangun. Dengan profesi saya, mau tak mau saya banyak berinteraksi keluar dengan saudarasaudara non Katolik. Misalnya, saat perusahaan menerbitkan buku yang dinilai menghina agama tertentu. Tekanannya luar biasa. Kami sudah biasa menghadapinya. Namun, mereka yang keras itu karena mereka tidak paham. Masih banyak saudara kita yang non Katolik tidak seperti itu dan mendukung kita. Karena itu pesan saya untuk Romo Yus Noron dan para imam lainnya: banyak-banyaklah ke luar lingkungan gereja untuk berinteraksi dengan saudara-saudara non Katolik. Saya yakin makin
34 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
sering para imam Katolik berinteraksi ke luar dengan jujur, maka masalah-masalah kontra agama akan bisa teratasi.
Persaingan yang begitu berat rupanya sempat meruntuhkan semangat Yus untuk melanjutkan cita-citanya. Oleh karena itu, saat libur sekolah dan siswa diberi kesempatan untuk pulang ke keluarga masingmasing, Yus bertekad tidak akan kembali lagi ke Mertoyudan. Namun, kenyataan berkata lain. Terlalu lama di rumah justru membuat Yus merasa bosan dan ingin kembali ke Mertoyudan. Ia rindu suasana kebersamaan bersama teman-temannya di Seminari Mertoyudan. “Seolah-olah teman-teman di Mertoyudan menarik saya kembali. Akhirnya saya kembali lagi.” Meski demikian, godaan untuk meninggalkan seminari kembali datang saat ia duduk di kelas 2 (tahun ke-3 di seminari), gara-gara ia mengalami konflik dengan teman dan pembimbingnya sehingga menimbulkan rasa tak nyaman. Selain itu, ia melihat seolah-olah kehidupan di luar semi-
nari lebih menarik, misalnya bisa bebas memilih universitas yang akan dituju. Sekali lagi, ketika tiba waktunya libur dan siswa diperbolehkan pulang, ia memutuskan tidak akan kembali ke Mertoyudan. Namun, bila Allah sudah berkehendak manusia tidak akan pernah bisa menolak. Sekembalinya di Kampung Sawah, lagi-lagi Yus harus “menyerah” kembali ke Mertoyudan karena tak betah di rumah. Kerinduannya berkumpul bersama teman-temannya di Mertoyudan sangat kuat menariknya. “Di seminari saya sudah biasa segala sesuatu teratur dan disiplin, sedangkan di rumah tidak bisa begitu.” Yus pasrah pada kesadaran bahwa persaudaraan bersama teman-teman di Seminari Mertoyudan tak akan bisa ia dapatkan di tempat lain. Kebersamaan ini meneguhkannya tiap kali ia dilanda kegundahan apakah akan meneruskan panggilannya atau tidak. Di Seminari Mertoyudan ia bisa belajar bersama, bermain bersama, bahkan tidur bersama banyak teman di bangsal yang luas. Di Mertoyudan ini pula mereka dibina apa itu kesetiaan, komitmen, dan disiplin. Di sinilah pembentukan karakter para seminaris dimu-
Pertama kali jauh dari keluarga, kesepian, konflik dan persaingan akademik yang berat sempat meruntuhkan semangat Yus Noron (kanan) untuk bertahan di Seminari Mertoyudan (dokumentasi pribadi)
lai. Di sini pula Yus merasakan bahwa ketekunan pasti akan membuahkan hasil yang indah. Semasa belajar di Mertoyudan, Yus adalah pelanggan angka merah untuk pelajaran Matematika. Oleh karena itu, ketika
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 35
mendekati ujian kelas 3 ia berusaha belajar dengan lebih cerdas. Caranya, dicarinyalah teman belajar yang lebih pintar dalam pelajaran Matematika guna mendongkrak nilai ujiannya, setidaknya hasilnya akan mendekati nilai teman yang pintar ini. Ternyata, begitu hasil ujian diumumkan, nilainya berbanding terbalik. Nilai Matematika Yus jauh melebihi nilai dari teman yang lebih pintar tadi—yang dalam ujian ini ternyata malah mendapat nilai merah. Sesungguhnya, di kelas 2 sudah ada tawaran untuk memilih akan masuk ke tarekat atau diosesan, seiring dengan pengenalan dari masing-masing tarekat dan diosesan. Ketertarikan pertama Yus jatuh pada Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau Fransiskan. Namun, saat ia duduk di kelas 3 dan selesai menjalani tes, wawancara, dan retret, Yus akhirnya memantapkan diri untuk menjadi imam diosesan. Salah seorang guru di Seminari Mertoyudan yang masih diingat oleh Romo Yus adalah Pak Sunaryo, Guru Bahasa Indonesia, yang dinilainya telah membentuk para seminaris
36 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah
mampu berbicara dan menulis dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Sosoknya tidak galak tapi tegas, mengajarkan bahasa dengan sangat jelas, teliti, dan telaten mulai dari dasar. Kami sampai gregetan kok pelajaran tidak majumaju. Lagi-lagi Subyek, Predikat, Obyek,” terang Romo Yus. Belum lagi selama 4 tahun di seminari menengah tersebut, setiap hari Sabtu mereka harus membuat semacam presentasi sidang akademik yang disampaikan di aula, lintas angkatan pula. Tujuannya adalah mengembangkan kemampuan bicara siswa. Dan memang, hal ini lama-kelamaan melatih pola pikir mereka lebih sistematis yang tersampaikan dalam kemampuan menulis dan bicara. Priyo, mengatakan, “Rata-rata kami mempunyai kemampuan bahasa yang baik. Kemampuan menulis itu kan harus terstruktur dan rasional.” Yus merasakan yang dikatakan teman sekelasnya itu. ”Kita juga terlatih untuk bisa membaca situasi saat berdebat dari mendengar dan membaca apa yang disampaikan. Kami bisa menilai kirakira apa titik lemahnya.”
Kemampuan yang baik dalam berbahasa Indonesia ini sangat berpengaruh saat para seminaris mempelajari bahasa lainnya, seperti Bahasa Latin dan Bahasa Inggris. Bahasa Jawa termasuk menulis menggunakan huruf Jawa pun dipelajari di sini. Bahkan, Yus bersama siswa-siswa lain yang berasal dari Jakarta, Bali, dan Kalimantan disatukan dalam satu kelas khusus untuk belajar Bahasa Jawa. “…reuni dengan masa lalunya.”
~ Sr. Erlisda, FdCC Rumah Retret Canossa Ternyata Romo Yus adalah sosok yang friendly, humoris, dan kadang iseng. Seringkali membuat lelucon, tapi terkadang raut wajahnya tanpa ekspresi, padahal yang mendengar leluconnya tertawa terpingkalpingkal. Pernah suatu ketika, pada saat Romo Yus masih bertugas di Gereja St. Matius Penginjil, Bintaro, selesai makan siang, beliau menyelinap dari pastoran bersama tim (ssst…namanya tidak usah disebut ya hehehe) menuju ke rumah retret Canossa demi makan durian tanpa diketahui Pastor
Kepala Paroki, yang memang tidak suka durian, dan kembali ke pastoran sebelum Pastor Kepala mengetahuinya. Atau, ketika tampaknya tak seorang pun membuat sesuatu yang spesial di hari ulang tahun imamatnya, bersama dengan Pak Jento, penyakit isengnya kambuh lagi. Mereka berbohong dan menculik saya untuk makan di restoran seafood. Jadi bingung juga saat itu…Yang pesta siapa ya? Kok malah aku yang dikerjain? Itulah sisi lain dari Romo Yus yang tampaknya pendiam. Walau terkesan “cuek”, hati Romo Yus baik dan lembut, pribadi yang tenang, sopan, sederhana, dan tidak neko-neko. Saya masih ingat, ketika PPA (Putera Puteri Altar) mengadakan ziarah ke Yogya dan menginap di Seminari Mertoyudan selama 4 hari 3 malam, beliau lebih memilih kamar lamanya, dan berada di antara anak-anak PPA, dengan alasan reuni dengan masa lalunya, daripada kamar nyaman yang telah disiapkan pastor. Dan, di balik sikap “cuek-nya”, beliau memiliki “hati besar” alias kerendahan hati untuk menerima saran dan kritik. Bagi saya
Biji
Sesawi
dari
Kampung
S a w a h | 37
Romo Yus adalah pribadi sederhana yang mencintai panggilannya. Bertemu dan mengenal Romo Yus membawa saya untuk lebih mencintai panggilan saya melalui kesaksian hidupnya. Hidupnya seakan-akan mengatakan, “Aku istimewa di mata-Nya.
Ia memilih aku, menguduskan aku, dan mengutus aku untuk mereka yang dikasihiNya. Maka aku membalas kasih itu melalui hidup dan pelayananku.”
Kebersamaan dengan teman-teman di Seminari Mertoyudan meneguhkan Yus Noron setiap kali ia dilanda kegundahan apakah akan meneruskan panggilannya atau tidak (dokumentasi pribadi antara tahun 1978 – 1981)
38 | B i j i
Sesawi
dari
Kampung
Sawah