Catatan tambahan
Modul Kursus Persiapan Pernikahan Keuskupan Agung Jakarta 20 Mei 2003
1. Panggilan menjadi Orangtua • • • •
“Akulah yang memilih kamu menjadi orangtua”, panggilan Tuhan. “Jangan katakan aku ini masih muda”: tak pernah ada orang yang siap menjadi orangtua; tak ada teori yang sanggup membekali bagaimana menjadi orangtua jaman ini Setiap anak adalah anugerahNya; Tuhan sendiri punya rencana dan sediakan sarana untuk membesarkannya (menyiapkan demi panggilan dan pengutusannya) “Buah jatuhnya tak jauh dari pohonnya”, “kacang mangsa ninggala lanjaran”! perlu dan penting berkaitan dengan peran orangtua bagi anak-anaknya.
Menjadi orangtua tidak sama dengan menjadi suami istri. Untuk menjadi suami istri, persiapan cinta sudah diproses lama. Iman sebagai calon suami-istri juga sudah cukup digulati dalam masa persiapan mereka sejak pacaran. Yang barangkali masih perlu waktu dan perjuangan adalah pergulatan psikologis, sosio ekonomi dan budaya, dari satu pribadi sendirian menjadi satu keutuhan dua pribadi yang komplementer. Untuk itu mendalami psikologi pria dan wanita, Mars dan Venus, dan mengolahnya dalam hidup sehari-hari akan menolong. Untuk menjadi orangtua, perlu • Kematangan pribadi, fisik dan psikik • Cinta yang altruis, bukan cinta diri lagi • Iman yang hidup, yang mendasari setiap pergulatan konkret sehar-hari • Rasa perasa yang matang, manusiawi, dan balans Lima (5) tahun pertama seorang anak manusia (dihitung sejak mulai dikandung) terbukti secara ilmiah, amat menentukan merah hijau-nya pribadi si anak. Lima tahun pertama OK, seluruh pribadinya, punya dasar OK, tinggal pengembangannya kemudian. Lima tahun pertama tak OK, seluruh hidupnya pasti berantakan, karena pribadinya tidak OK. Betapa pentingnya 5 tahun pertama dalam hidup seorang anak manusia. Pada masa 5 tahun pertama itu, komunikasi anak masih mengandalkan rasa, bukan indera. Komunikasi rasa punya akurasi tinggi, daya rekam peka dan pekat. Tetapi kelemahnnya, sekali terekam keliru, sulit diedit kembali. Sejalan dengan proses perkembangan anak, “rekaman” itu sering tersimpan di bawah sadar, namun tetap mengendalikan perilaku si anak. Misalnya ketika anak merasa ditolak oleh orangtuanya, -jika tidak disadari dan diolah dengan baik-, maka selama hidup ia dapat merasa diri tidak berharga. Dia merasa bahwa dirinya tak layak hidup, sebab orang yang “katanya”
1
mencintai pun menolaknya, apalagi orang lain di dunia ini. Padahal orangtuanya mungkin sudah lupa bahwa “dulu pernah menolaknya”. Pada masa lima tahun itu, yang dibutuhkan anak adalah rasa dicinta. Ia perlu cinta, perlu kasih yang konkret dan nyata. Anak tidak butuh harta dan tidak mengerti kata. Kasih nyata itu bentuknya sering amat sederhana: kehadiran, kebersamaan, sentuhan, belaian, gendongan, penerimaan, pengampunan serta kesediaan untuk mendengarkan “anak”, dll. Segala teori atau konsepsi tak banyak gunanya. Nasihat sering hanya lewat, jika tidak diberikan di saat yang tepat. Karena itu seorang anak akan lebih memerlukan teman bermain, daripada barang mainan! Sayangnya banyak orangtua kurban ekonomi moderen, akan merasa mutlak perlu mencari harta demi anaknya, kini dan terutama nanti. Daripada membuang waktu untuk hadir, bermain bersama anaknya lebih senang membelikan mainan-mainan canggih dan mahal untuk anaknya. Padahal peran orangtua tidak dapat digantikan oleh siapa pun atau apa pun yang lain. Pembantu, baby sitter pun tidak. Tujuan dan orientasi orangtua hendaknya adalah agar anak merasa dicintai oleh orangtuanya, merasa dirinya berharga di harapan orangtuanya. Kalau ini tak sampai dirasai oleh anak, segala prestasi, posisi, pangkat, drajat orantua, sia-sia. Apalah artinya memiliki seluruh dunia, kalau anaknya sendiri tidak “jadi orang”. Ia hanya akan menangis menyesali diri sampai di akhirat. Harus diakui bahwa yang paling pengalaman dalam hal rasa adalah wanita. Maka kalau orangtua, khususnya ibu dapat menggunakan kekuatan rasa-nya untuk membantu membuat anak merasa dicintai, tentu anak akan amat terbantu untuk menjadi dirinya sendiri. Yang dibutuhkan anak bukan pengajaran, atau nasihat. Yang diperlukan anak adalah pendidikan dan teladan. Pendidikan ini terjadi dalam kehidupan, dengan contoh konkret bagaimana orangtua menjalani kehidupan ini dengan cinta dan iman. (Cf filem life is beautiful) Contoh dan teladan hidup ini maha penting bagi pendidikan dan pembentukan kepribadian anak. Kesalahan banyak orangtua adalah bahwa mereka berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Orientasi proses berarti memberi tempat dan kesempatan kepada anak untuk keliru dan gagal dalam hidup si anak. Salah dan gagal adalah manusiawi, maka tidak hanya perlu ditolerir, tapi itu memang hak anak, sebagai orang yang sedang belajar. Yang penting dan perlu adalah justru bagaimana orangtua dapat mendampingi anak mengolah pengalaman “negatif” (salah dan gagal) itu menjadi sumber berkat dan kekuatan. Untuk itu anak perlu mengalaminya sendiri, jatuh bangun di belantara kehidupan ini. Memanfaatkan kelemahan sebagai kekuatan untuk hidup. Itu seni hidup. Seni yang akan makin bermutu tinggi bila diolah dalam iman. Dan itu sulit. Oleh karena itu, yang paling mudah dan paling bagus adalah anak belajar dari contoh dan teladan dari orangtuanya. Sebab bagi anak, orangtua (semestinya, semoga) dialami sebagai tokoh andalan, pahlawan hidupnya. Syukur anak dapat belajar bagaimana hidup tabah sebagai manusia yang manusiawi, mengarungi dunia yang ganas dan penuh tantangan ini. Syukur anak dapat belajar beriman, justru karena menyaksikan kedua orangtuanya bergulat untuk tetap dan makin mengimani Allah, apa pun yang dialami dalam hidup ini.
2
Ketika mendampingi proses pergulatan anak, -kadang juga pergulatan dalam diri orangtua,- itulah saat yang tepat dan indah untuk mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kristiani pada anaknya. Seyogyanya sejak dini anak dilatih untuk menggunakan prinsip perbandingan nilai, sebagai prinsip moral utama. Bukan hanya prinsip moral baik-buruk, hitam-putih saja. Tentu untuk ini diandaikan orangtua terbiasa dan berpengalaman dalam prinsip perbandingan nilai ini. Akhirnya, tentu saja orangtua perlu menyadari perlunya kemampuan untuk memproses sesuai dengan proses pertumbuhan anak. Bagaimana metode direktif, dialektif, maupun diskursif, dapat dikenakan secara tepat guna, juga perlu dimiliki oleh suami istri calon orangtua anak-anak mereka.
Catatan kecil untuk diwaspadai oleh calon orangtua Bukan karena jahat, tetapi karena saking cintanya, ada banyak orangtua yang defakto, tindakannya membuat anak-anak mereka jadi “kurban cinta“. Seperti misalnya: - anak-anak dijadikan artis cilik, ulama kecil, eksekutif kecil, demi memenuhi ambisi orangtua, sehingga anak jadi tua sebelum muda. - Anak main sombong karena harta orangtua, sehingga untuk berterimakasih, menghargai orang lain, bahkan pembantunya pun tidak mampu dan tidak mau. Tak ada kosa kata “terimakasih” dalam hidup si anak. - Anak main tak peduli dalam hidup mulai di sekolah, karena anak mengejar angka rapor, sehingga anak tak merasa perlu orang lain, apalagi teman yang “bodoh”, “miskin”. Sebab yang baginya dan bagi orangtuanya bernilai adalah rangking kelas. - Terjadi “pembunuhan” jiwa anak, karena terus-menerus ditekan, diteror untuk memenuhi kerinduan orangtua, dan orangtua tidak mau tahu, usaha dan kemampuan anak. - Terjadi pengkerdilan kepribadian, karena terus-menerus ditekan, dituduh, divonis, diteror, sebagai anak yang tak tahu diri, anak yang tidak dimaui, sebagai anak pembawa bencana dalam keluarga. - anak-anak kehilangan masa kanak-kanaknya, menjadi tua sebelum muda, karena anak dikurung oleh larangan bermain dengan sesama anak-anak, karena orangtua merasa tidak aman, malu; untuk belajar dan mencoba sendiri, misalnya cuci piring, membersihan kamarnya pun dilarang orangtua karena dianggap memalukan orangtua, dll. - Tindakan overprotektif dari orangtua tidak pernah mendewasakan anak; orangtua terlalu takut terhadap pengaruh negatif dari teman-teman sebayanya, bahkan takut sakit karena naik kendaraan umum, - Tindakan persimisif juga tidak menguntungkan untuk pendewasaan kepribadian anak.
3
2. Iman dan Agama Untuk menjadi orangtua tidak cukup bermodalkan cinta antara suami istri. Orang perlu punya pengalaman hidup sebagai orang beriman. • Ttg iman, calon tak jauh beda dengan kebanyakan umat, masih sebatas agama, itu pun sering amat minim; contoh: percaya bhw istri/suami adalah pemberian Tuhan atau semata-mata hasil prestasi diri? Anak, harta, anugerah, duka? • Defaktonya, sering orangtua membawa budaya dari keluarga atau sukunya. Misalnya kalau ada masalah lalu lari ke “orang pinter”, atau percaya pada kekuatan barang, atau orang tertentu • Tradisi Gereja membuat agama lebih “masuk” dalam kehidupan rohani umat, daripada iman • Agama penting dan perlu sejauh iman itu hidup, tapi agama jangan dimutlakkan • Iman: keyakinan pribadi berdasarkan pengalaman personal berelasi dengan Allah • Agama adalah ungkapan iman personal itu dalam rangka sosialitas dengan sesama manusia. • Jangankan iman, tafsir tentang cinta pun seringkali sempit dan dangkal: contoh hamil di luar nikah, dll. Dia bukan musuh, tapi diperlakukan seperti orang kusta jaman di jaman Yesus dulu • Gereja Perdana: Umat Beriman • Gereja Katolik: abat 4 – abat 20 berkembang menjadi “Agama” • Gereja Vatikan II: Umat Beriman • Tradisi Gereja sudah berlangsung 16 abat, dan ada dalam bahaya berkembang menjadi adat. • Suami istri perlu memahami Trilogi Paulus: cinta, iman dan harapan. • Ttg cinta calon pasutri sudah lumayan, tetapi tentang iman mereka perlu diolah lebih dalam lagi. Kesempatan kursus pernikahan ini, dapat menjadi momen yang tepat untuk menyiapkan calon suami istri menjadi orangtua yang beriman. Beragama belum tentu beriman. Orang beriman pun tak selalu harus punya agama tertentu. Dalam membangun cinta suami istri, lebih baik satu iman daripada satu agama tanpa iman yang hidup. Untuk pendidikan, contoh/teladan selalu memegang peran kunci. Tak mungkin, dan sulit dibayangkan seorang anak akan mampu beriman, jika tidak melihat contoh beriman dari kedua orangtua mereka. Tumbuh tidaknya iman seseorang anak akan amat ditentukan oleh pengalaman hidup berimannya di tengah keluarga. Sulitlah menghayati Allah sebagai Bapa, jika di keluarga punya pengalaman negatif terhadap ayahnya. Sukar pula untuk menghayati relasi kasih dengan Bunda Maria, jika di keluarganya si anak punya pengalaman negatif dengan ibunya. Tak akan mudah menghayati kasih pengampunan Allah, jika di tengah keluarga ia tak mengalami kasih pengampunan, kalau yang ada cuma hukuman dan tuntutan semata. Iman yang hidup berarti mampu menempatkan peristiwa dan pengalaman hidup sehari-hari dalam konteks PI (Penyelenggaraan Ilahi).
4
Oleh karena itu beriman bukan perkara muluk-muluk. Beriman dimiliki oleh setiap orang, dalam pengalaman hidup nyata sehari-hari. Yang perlu cuma kemampuan dan kemauan untuk merangkai, menguntai pengalaman manusiawi dengan pengalaman relasinya dengan yang ilahi. Misalnya: percaya –dari pengalaman- bahwa suami/istri adalah pemberian/pilihan Tuhan untuk istri/suami-nya percaya –jika mereka diberi anak oleh Tuhan- berarti Tuhan menilai mereka sebagai suami-istri mampu mendidik anak. Karena itu bila ada kesulitan dengan dan tentang anak, harus dicari pemecahannya pada dan bersama Tuhan. Seperti Tuhan telah menyediakan air, tapi orang harus menggali untuk menemukannya. Dan sebagaimana dijanjikan dan diyakini ketika mereka berdua menikah. Yang mahapenting bukan satu agama, tetapi satu iman. Yang super penting adalah bahwa bagaimana diusahakan agar Allah meraja dalam keluarga, dalam masing-masing anggota keluarga, apa pun agama yang dipilihnya. Maka cita-cita suami istri sebaiknya bukan bagaimana mengembangkan Gereja, tetapi bagaimana mengembangkan Kerajaan Allah. Yang penting bukan supaya beragama Katolik, tetapi supaya bersemangat Kristiani: kasih, pengampunan, adil, jujur, berbagi dll. 2. Psikologi praktis:
“Mars & Venus”, Perkembangan anak dan orangtua • • • •
•
Istri dan, maupun suami perlu dilatih dan latihan untuk memahami ekspresi dan ungkapan yang terkait dengan Mars/Venus-nya, dalam dirinya sendiri maupun dalam diri pasangannya. Memperhatikan manifestasi dan problematika yang timbul karena Mars dan Venus-nya. Psikologi/psikososiologi orangtua: karena tuntutan jaman sering orangtua menuntut apa yang tak pernah kesampaian dalam dirinya. Akibatnya anak jadi kurban cinta orangtua. Psikologi anak: perkembangan anak membutuhkan orangtua yang memahami psikologi perkembangan dalam diri anak. Contoh paling mudah adalah ketika anak usia remaja. Pada masa itu, anak akan berpikir bahwa orangtuanya “jahat”. Pikiran itulah yang mempengaruhi perilaku anak. Proses ini butuh waktu, dan butuh teman untuk melewatinya. Sayangnya orangtua sering tidak siap untuk menerima kenyataan, apalagi mendampingi anaknya, sebagai teman anaknya. Maka tak heran bahwa yang terjadi bahwa orangtua justru menvonis, menekan, atau mengancam anak. Akibatnya ketegangan orangtua >< anak menjadi makin tajam. Sebagai orang beriman, ilmu pengetahuan tidak cukup. Ia harus mengolahnya dalam pengalaman beriman mereka.
5
4. If only … just in case Adalah kenyataan bahwa tidak semua calon pengantin sebetulnya boleh dibilang “OK”. Kalau saja –if only- kursus ini juga membantu para calon suami-istri untuk berdeskrisi lebih baik, tentu akan membantu pastor dan keluarganya. Konsern kita adalah pada anak-anak yang akan dilahirkan mereka nanti. Kalau pasangan “tidak OK”, apa dapat diharapkan anak-anak akan OK? Bagaimana kalau calon orangtua tersebut relasinya tidak OK ketika mereka menikah. Entah mereka yang menikah karena kecelakaan, karena dijodohkan orangtua, atau karena safety purposes only (daripada jadi perawan tua, mumpung ada yg mencintai dan adore walau sebetulnya dia sendiri nggak pernah cinta pada pasangannya; Atau pasangan yang asal tubruk aja karena nggak kesampaian menikah dengan orang yg dicintainya, lalu memutuskan untuk menikah dengan pasangannya yang sekarang kursus bersama). Pasangan demikian perlu diingatkan dan diperingatkan, akan kemungkinan problematikanya serta resiko yang harus ditanggung oleh mereka, oleh keluarganya dan juga anak-anaknya di kemudian hari. Orangtua yang demikian, karena awalnya mereka menikah secara fungsional saja, maka ketika mereka mendidik dan membesarkan anak pun juga bersifar “fungsional”. Anakdilahirkan, diberi makan, disekolahkan, diberi duit, jadi gede, selesai! Bagaimana mereka mau memikirkan apa yang terbaik yg bisa mereka berikan untuk anak, kalau kehadiran anak itu sendiri tidak pernah menyentuh kehidupan mereka. Bukankah mencintai artinya memberikan yang terbaik bagi pribadi yang dikasihi ? If only, … just in case, ada pasangan yang gak OK, yang istimewa seperti itu, apakah mungkin dalam kursus ini dapat dicegah untuk menikah? Pastur kiranya tidak mungkin melakukannya, apakah di dalam kursus ini calon tersebut dapat diberi lampu kuning?
5. Catatan tentang keteladanan orangtua Orangtua harus memberikan contoh terbaik. Mesti diwaspadai pula bahwa pengertian “terbaik” ini pun relatif. Kalau ibunya lebih senang dugem (dunia gemerlap), jelas yang terbaik adalah kalau anaknya cantik, modis, bergaya, dsb. Kalau ibunya ilmuwan, jelas yang terbaik adalah anak jadi pinter dsb. Demikian juga kalau bapaknya punya prinsipp bersikap adil (terhadap selir-selirnya), ya si anak pasti punya perbendaharaan kalau banyak cewek nggak apa-apa asal adil. Kalau orang tua selingkuh dsb., ya di kamus hidup si anak pasti isinya nggak jauh-jauh dari situ. Intinya, orang tua jelas harus punya perbendaharaan (baca: value) yang banyak (yang baik tentunya), agar bisa juga diberikan ke anaknya. Nemo? quod non habet. Dapatkah Bunda Maria dan Yosef dijadikan teladan para orangtua sepanjang jaman? Semoga!
YR Widadaprayitna, SJ 20. 05. 2003
6