MENJADI PEMILIK USAHA ATAU KARYAWAN? ANALISIS TENTANG KONFLIK PERAN GANDA DI USAHA KECIL MENENGAH Herlina Dyah Kuswanti, SE, MSi1 Abstract Is being a business owner a way out for balancing work family conflict? This research examined the differences between work- family role and pressure characteristics and work-family conflict among self-employed and organizationally employed, women and men. Sample was 78 owners and 81 employees of small-medium enterprises in Kasongan, Bantul, men and women. Oneway ANOVA was used to test the differences between research variables, among owners and employees, men and women. Results showed that employment type and gender have independent main effects on several of the variables in this study. The owners enjoy greater flexibility at work, and report higher levels of job involvement and time commitment to work than the employees. The findings showed that there are trade-offs between costs and benefits of being owner of a small or medium enterprise, so, being a business owner is not a kind of solution to balance work and family role responsibilities. Key words: work role characteristics and pressures, family role characteristics and pressures, work-family conflict, job satisfaction, small-medium enterprises.
Latar Belakang Masalah Pada saat menghadapi banyak tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga, seringkali karyawan berpikir akan lebih menyenangkan bila menjadi pemimpin atau pemilik usaha, karena bebas mengatur waktu sehingga tuntutan keluarga bisa terpenuhi. Namun, benarkah demikian? Menyeimbangkan tuntutan dan tanggung jawab antara peran pekerjaan dan keluarga merupakan permasalahan yang banyak dialami oleh karyawan. Banyak penelitian menunjukkan konflik kerja-keluarga bisa memberikan efek negatif pada kesehatan dan kesejahteraan psikologis baik pada laki-laki maupun perempuan yang bekerja (Grant-Valone & Donaldson, 2004; O’ Driscoll, Brough, & Kalhath, 2004; Noor, 2006; Hughes & Parkes, 2007). Hanya saja, kebanyakan dari penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada mereka yang bekerja di organisasi milik orang lain. Fenomena yang tampak saat ini menunjukkan semakin banyaknya laki-laki maupun perempuan yang bekerja secara mandiri. Menjadi pekerja mandiri (entrepreneur) dianggap sebagai pilihan karir yang lebih kondusif untuk menyeimbangkan tanggung jawab antara peran kerja dan keluarga. Namun ternyata keluarnya tenaga kerja dari pekerjaannya untuk bekerja secara mandiri menimbulkan permasalahan lain, yaitu meningkatnya keterlibatan terhadap pekerjaan, yang diikuti dengan meningkatnya konflik 1
Staf Pengajar Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
kerja-keluarga yang dialami oleh para entrepreneur (Parasuraman dan Simmers, 2001). Karena itu, mengelola tuntutan untuk memenuhi peran kerja dan keluarga juga terus menjadi tantangan bagi entrepreneur (Shelton, 2006). Hanya saja, sedikitnya penelitian komparatif yang meneliti hubungan peran kerja-keluarga antara entrepreneur dan karyawan organisasi menyulitkan penentuan apakah betul menjadi entrepreneur merupakan jawaban untuk menyeimbangkan peran kerja-keluarga seperti yang banyak dipercaya orang selama ini. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis apakah bentuk ketenagakerjaan (entrepreneur vs karyawan biasa) akan mempengaruhi tekanan dan karakteristik peran pekerjaan-keluarga yang dirasakan serta konflik peran ganda (baik konflik pekerjaan-keluarga maupun konflik keluarga-pekerjaan) yang dialami. Tinjauan Pustaka 1. Tekanan dan Karakteristik Peran Pekerjaan Tekanan dan karakteristik peran pekerjaan terdiri dari otonomi, fleksibilitas jadwal, dan keterlibatan kerja, dan komitmen waktu untuk peran kerja (Parasuraman dan Simmers, 2001). Otonomi meningkatkan kontrol terhadap tuntutan peran kerja dan membuat individu untuk bisa mengatur pekerjaan mereka sehingga bisa menurunkan kemungkinan munculnya konflik kerja-keluarga. Fleksibilitas jadwal bisa mengurangi kemungkinan bertabrakannya pemenuhan tuntutan peran kerja dan keluarga, dan karena itu bisa menurunkan konflik kerja-keluarga. Keterlibatan kerja mengacu pada pentingnya kerja bagi seseorang, dan bagi keterlibatan psikologisnya terhadap peran kerja. Meningkatnya investasi emosional pada peran kerja bisa membawa pada meningkatnya waktu dan energi yang diberikan pada peran kerja, karena itu mengurangi waktu untuk keluarga. Komitmen waktu untuk peran kerja bisa dilihat sebagai indikator yang obyektif pada keluasan tuntutan peran kerja. Panjangnya waktu yang dihabiskan untuk kerja dapat membawa pada kelelahan dan gejala-gejala strain yang lain, yang akhirnya mengganggu pemenuhan peran keluarga. 2. Tekanan dan Karakteristik Peran Keluarga Tekanan dan karakteristik peran keluarga terdiri dari 2 hal, keterlibatan keluarga dan komitmen waktu untuk keluarga (Parasuraman dan Simmers, 2001). Komitmen waktu untuk keluarga mengacu pada pentingnya keluarga bagi seseorang dan seberapa besar investasi psikologis bagi keluarga. Keterlibatan keluarga bisa membangkitkan tekanan internal untuk menginvestasikan lebih banyak energi dan usaha dalam domain keluarga. Semakin banyak waktu yang diinvestasikan dalam domain keluarga, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk domain kerja. Namun 233
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
efek negatif ini bisa dikurangi pada pemilik usaha, yang memiliki otonomi dan fleksibilitas jadwal kerja. Ini bisa membuat mereka bisa menangani tekanan peran kerja (keterlibatan kerja dan komitmen waktu untuk kerja), membuat mereka lebih bisa menyeimbangkan antara tuntutan peran kerja dan keluarga, mengurangi konflik kerja-keluarga dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. 3. Konflik Peran Ganda Konflik peran ganda adalah tekanan yang muncul secara simultan dari interseksi antara dua atau lebih peran, dalam hal ini adalah peran kerja dan keluarga. Pada dasarnya konflik peran ganda bisa dibedakan menjadi 2 bentuk (Gutek et al., 1991), yaitu konflik pekerjaan-keluarga (permasalahan pekerjaan yang mengganggu keluarga) dan konflik keluargapekerjaan (permasalahan keluarga yang mengganggu pekerjaan). Namun secara umum, konflik pekerjaan-keluarga dilaporkan lebih sering muncul daripada konflik keluarga-pekerjaan (Grandey, et al., 2005). Hal ini berkaitan dengan perbedaan karakter antara kedua jenis peran ini. Peran keluarga lebih tidak terstruktur dibandingkan dengan peran pekerjaan, sehingga lebih mudah diatur agar tidak mengganggu pekerjaan. Adanya konflik antara pekerjaan dan keluarga ini mencerminkan suatu sistem yang hanya menawarkan sedikit pilihan baik pada laki-laki maupun perempuan. Pilihan terbaik akan muncul bila saja masyarakat tidak mendorong seseorang untuk masuk pada peran gender tradisional (Wadley, 2006). Sayangnya, masyarakat memberi penekanan yang berbeda pada peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan sebagai provider atau pencari nafkah, sementara perempuan bertanggung jawab atas pemeliharaan keluarga dan perawatan rumah (Gutek et al., 1991). Berdasarkan pandangan ini, laki-laki merasa bahwa mereka bisa memenuhi pengharapan peran keluarga dengan menjadi provider yang baik tanpa perlu mendapat tuntutan tambahan ketika mereka berada di rumah, karena waktu yang dihabiskan untuk memenuhi pengharapan kerja juga merupakan pemuas atas pengharapan keluarga (Duxbury dan Higgins, 1991; Gutek et al., 1991). Jadi, pada laki-laki, peran kerja dan peran keluarga bisa saling mendukung. Pandangan tradisional ini menghubungkan perempuan dengan peran yang memberi lebih banyak kewajiban daripada hak. Seorang istri berkewajiban melayani suaminya serta mengatur rumah tangganya. Ketika dia menjadi ibu, kewajibannya ditambah dengan merawat dan membesarkan anak-anak (Barnett dan Baruch, 1985). Ketika dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kewajiban-kewajiban tadi masih tetap ditanggungnya (Duxbury dan Higgins, 1991). Jadi, perempuan tidak memiliki kontrol yang sama dengan laki-laki terhadap distribusi waktu mereka, karena waktu yang mereka habiskan untuk memuaskan pengharapan kerja dan pengharapan keluarga secara psikologis masing234
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
masing dihitung dalam satu domain (Duxbury dan Higgins, 1991). Gutek et al. (1991) menyimpulkan bahwa istri yang bekerja pada dasarnya melakukan 2 pekerjaan full-time, satu di rumah dan satunya lagi di luar rumah. Berkait dengan teori peran gender, ada tuntutan dari masyarakat pada perempuan untuk lebih melihat peran keluarga sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Meski perempuan juga terjun ke dunia kerja, namun tuntutan untuk melaksanakan peran keluarga tidak berkurang (Gutek, et al., 1991). Karena itu, ketika peran pekerjaan mengganggu pemenuhan peran keluarga, perempuan mengembangkan sikap negatif pada pekerjaan lebih tinggi daripada laki-laki, karena pekerjaan lebih dipandang sebagai hal yang mengancam peran sosial mereka. Laki-laki tidak mengembangkan sikap negatif pada pekerjaan setinggi perempuan, karena mereka tidak merasakan ancaman ini sebanyak perempuan. Ini bukan berarti laki-laki tidak mengalami konflik pekerjaan-keluarga, namun mereka tidak menyalahkan gangguan ini karena tidak begitu merusak identitas sosial (Lazarus, dalam Grandey et al., 2005). Namun penelitian Huffman, et al. (2003) menemukan bahwa lakilaki mengalami konflik peran ganda yang lebih tinggi daripada perempuan. Penjelasannya sebagai berikut: kedua jenis kelamin ini secara tradisional memainkan peranan yang berbeda. Secara tradisional, perempuan dituntut untuk berkomitmen pada peran keluarga. Jadi, meskipun menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, perempuan tetap dapat menemukan energi untuk bisa memenuhi tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Di sisi lain, laki-laki lebih terbiasa dengan perannya sebagai pencari nafkah, sehingga merasa kesulitan untuk beradaptasi ketika ada peningkatan tuntutan untuk peran keluarganya. Yang menjadi masalah kemudian bukanlah perlunya perlakuan khusus bagi tenaga kerja perempuan atau laki-laki. Masalah dasar yang muncul adalah adanya diskriminasi gender, yang mendorong laki-laki maupun perempuan untuk masuk ke dalam peran gender tradisional mereka. Biasanya laki-laki mengalami trade-off pada sisi keluarga, dengan mengikuti norma pekerja ideal. Sebagai hasilnya, laki-laki mengalami peningkatan kecemasan berkaitan dengan kurangnya keterlibatan mereka pada keluarga dan adanya tekanan untuk menjadi provider. Sementara pada perempuan, trade-off ada di sisi pekerjaan. Sebagai hasilnya, perempuan seringkali mengalami marginalisasi di tempat kerja (William, dalam Wadley, 2006). 4. Bentuk Ketenagakerjaan dan Konflik Peran Ganda Pekerja mandiri/pemilik bisnis (selanjutnya disebut pemilik usaha) memiliki karakteristik kerja yang unik seperti lebih besarnya otonomi dan jadwal kerja yang lebih fleksibel dibandingkan mereka yang bekerja di organisasi milik orang lain (selanjutnya disebut karyawan). Karakteristik kerja yang unik pada pemilik usaha ini ditengarai akan memudahkan 235
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
untuk menyeimbangkan peran kerja dan keluarga sehingga mengurangi munculnya konflik peran ganda, dan karenanya meningkatkan kesejahteraan psikologis. Namun keuntungan ini bisa jadi tidak terwujud karena tingginya keterlibatan kerja dan komitmen waktu peran kerja, yang bisa menurunkan keterlibatan pada domain keluarga, meningkatkan konflik kerja-keluarga, dan menurunkan kesejahteraan psikologis (Parasuraman & Simmers, 2001). Pada sisi karyawan, meskipun tidak sefleksibel pemilik usaha dalam menentukan jadwal kerjanya, namun karyawan relatif tidak terbebani dengan pemikiran mendalam tentang perusahaan, seperti bagaimana memenangkan persaingan dengan perusahaan lain, bagaimana bila perusahaan bangkrut, dan sebagainya. Jadi, terkait dengan konflik peran ganda, menjadi karyawan juga memiliki kelebihan, disamping kekurangan-kekurangan yang ada. Hipotesis Hipotesis 1: Terdapat perbedaan pada tekanan dan karakteristik peran kerja (otonomi, fleksibilitas jadwal, keterlibatan kerja, komitmen waktu untuk pekerjaan), tekanan dan karakteristik peran keluarga (keterlibatan keluarga, komitmen waktu untuk keluarga), dan konflik peran ganda (baik konflik pekerjaan-keluarga maupun konflik keluargapekerjaan) antar kedua jenis kelamin dan antar kedua jenis ketenagakerjaan. Hipotesis 2: Dengan membedakan kedua jenis ketenagakerjaan, jenis kelamin berpengaruh pada tekanan dan karakteristik peran kerja (otonomi, fleksibilitas jadwal, keterlibatan kerja, komitmen waktu untuk pekerjaan); tekanan dan karakteristik peran keluarga (keterlibatan keluarga, komitmen waktu untuk keluarga), serta konflik peran ganda (baik konflik pekerjaan-keluarga maupun konflik keluarga-pekerjaan). Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa memberikan bukti empiris sehubungan dengan pemecahan permasalahan konflik pekerjaan-keluarga, khususnya melalui pemilihan bentuk ketenagakerjaan: menjadi entrepreneur atau karyawan? Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi konstribusi yang berarti bagi pengembangan ilmu manajemen, khususnya Manajemen Sumber Daya Manusia, terutama yang berhubungan dengan penanganan konflik peran kerja-keluarga. Metode Penelitian A. Sampel Sampel diambil dari pengusaha dan karyawan Usaha Kecil Menengah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, baik laki-laki maupun perempuan. Pengambilan sampel dengan menggunakan gabungan dari metode convenience dan judgment sampling. Penggunaan judgment sampling dimaksudkan agar sampel dipilih memang berada dalam situasi 236
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
yang memungkinkannya mengalami konflik peran ganda. Untuk itu, subyek harus memenuhi kriteria yang ditetapkan, yaitu sudah menikah, tinggal bersama pasangan (suami/istri) dan/atau anak. Kuesioner disebarkan pada 85 pemilik usaha dan 90 karyawan UKM di Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Kuesioner yang kembali ada 165 eksemplar, namun yang bisa digunakan hanya 159 eksemplar, 78 dari pemilik usaha, dan 81 dari karyawan. Usia responden berkisar antara 23-60 tahun, dengan rata-rata usia 34,23 tahun. Jumlah anak antara 1-7 orang, 59,26% responden masih memiliki anak dibawah usia 6 tahun. Untuk pendidikan terakhir, 30,2% hanya bisa mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar, 24,5% SLTP, 41,5% SLTA, sementara S1 ada 3,8%. B. Pengukuran Variabel Jenis ketenagakerjaan, menilai status ketenagakerjaan responden. Respon diberi kode (1) untuk pemilik usaha, (2) untuk karyawan organisasi. Otonomi, diukur dengan skala 4 item yang dikembangkan oleh Voydanoff (1988). Alpha untuk instrumen ini adalah 0,827; semua item bisa digunakan. Fleksibilitas jadwal kerja diukur dengan skala 5 item yang dikembangkan oleh Glass & Camary (1999). Alpha untuk instrumen ini adalah 0,865; semua item bisa digunakan. Keterlibatan kerja diukur dengan skala 5 item yang dikembangkan oleh Front et al. (1992). Alpha untuk instrumen ini adalah 0,752; semua item bisa digunakan. Keterlibatan keluarga diukur dengan skala 10 item yang dikembangkan oleh Front et al. (1992). Alpha untuk instrumen ini adalah 0,795; semua item bisa digunakan. Komitmen waktu untuk kerja diukur dengan pertanyaan sebagai berikut: Berapa jam rata-rata Anda bekerja setiap minggunya? (termasuk waktu yang dihabiskan di kantor, waktu untuk dinas ke luar kota, dan waktu untuk mengerjakan pekerjaan kantor di rumah). Respon dikategorikan dalam 5 level, dari (1) < 30 jam, sampai (5) 60 jam atau lebih. Komitmen waktu untuk keluarga dinilai dengan pertanyaan “Ratarata, pada hari Anda bekerja, berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak?” Pilihan jawabannya dari (1) kurang dari 1 jam, sampai (5) lebih dari 5 jam. Konflik pekerjaan-keluarga diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Netemeyer, Berles, & McMurrian (1996). Instrumen ini terdiri dari dua bentuk, yaitu instrumen untuk konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan. Masing-masing skala terdiri dari 5 item, respon diukur dengan skala Likert 5 poin dari sangat tidak setuju (1) sampai sangat setuju (5). Alpha untuk instrumen ini adalah 0,851; semua item bisa digunakan.
237
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data akan dilakukan dengan mendistribusikan kuesioner. Peneliti menghubungi secara langsung pengusaha dan karyawan UKM yang diharapkan mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Beberapa kuesioner dibagikan secara personal, dimana responden mengisi langsung di hadapan peneliti. Beberapa lainnya dititipkan pada pemilik/salah satu karyawan UKM. Peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa responden, baik pemilik usaha maupun karyawan, untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi di sekitar lokasi penelitian, yang mungkin akan mempengaruhi hasil penelitian. D. Alat Analisis Hipotesis diuji dengan ANOVA (analyses of variance). ANOVA dipakai untuk menilai main effect dari bentuk ketenagakerjaan dan gender, dan mengeksplor kemungkinan adanya efek interaksi dari bentuk ketenagakerjaan dan gender pada semua variabel yang diteliti, seperti karakteristik dan tekanan peran kerja, karakteristik dan tekanan peran keluarga, konflik konflik keluarga-pekerjaan, dan konflik pekerjaankeluarga. Data dan Pembahasan A. Karakteristik UKM di Kasongan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang banyak berkembang di Kasongan adalah kerajinan keramik, diikuti dengan kerajinan batu. Jenis usaha yang lain adalah distribusi barang-barang kerajinan. Usaha pembuatan keramik sudah turun menurun dilakukan oleh orang-orang di daerah ini. Sebagian besar pengusaha keramik belajar membuat keramik sejak kecil, dimulai dengan membantu orang tua atau tetangga. Berdasarkan pengamatan, ada 2 karakter untuk pemilik usaha. Pertama, pengusaha yang menjalankan usahanya dengan serius. Pengusaha dengan karakter ini berusaha agar usahanya semakin maju, sehingga secara serius memikirkan bagaimana pemasarannya, serta produk-produk apa yang mungkin diminati oleh calon konsumen. Kedua, pengusaha yang menjalankan usahanya dengan santai. Para pengusaha dengan karakter ini lebih bersikap pasif: memproduksi kerajinan, kemudian menunggu konsumen datang untuk membeli hasil produksinya. Kalau tidak ada konsumen datang ya tidak apa-apa. Sebagian pengusaha membuat keramik abangan (belum difinishing), yang merupakan pesanan dari sanggar-sanggar yang di depan (toko-toko yang berlokasi di pinggir jalan utama pasar seni Kasongan). Toko-toko ini yang kemudian memperhalus dan memberi ornamen atau warna pada keramik-keramik abangan, dan kemudian juga memasarkannya. 238
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
Terkait dengan urusan ekspor, hanya sebagian kecil pengusaha yang secara aktif mencari pembeli dari luar, atau mendapatkan pesanan langsung dari luar. Sebagian besar lainnya melalui perantara. Berhubungan dengan jumlah karyawan, sebagian pengusaha memiliki karyawan, sementara sebagian lainnya tidak memiliki karyawan. Jadi mereka membuat sendiri, kemudian menjual sendiri produk yang dihasilkannya. Untuk karyawan juga ada 2 jenis: karyawan yang bekerja sebagai pramuniaga dan karyawan yang bekerja sebagai pengrajin. Karyawan yang bekerja sebagai pengrajin relatif lebih sibuk dibandingkan dengan pramuniaga, dalam arti ada pekerjaan yang dilakukan terus menerus sepanjang waktu kerja. Sebagian besar pengrajin adalah laki-laki. Beberapa pengrajin perempuan bertugas untuk finishing hasil kerajinan. Pramuniaga lebih santai, karena tugasnya hanya menunggu dan melayani pembeli, meski pada hari-hari tertentu (saat ada pengiriman barang untuk ekspor) perlu juga bekerja lembur. Selain itu, berdasarkan statusnya karyawan juga terbagi dalam 2 katagori: karyawan tetap dan karyawan borongan. Karyawan borongan hanya bekerja pada saat pengusaha mendapatkan banyak pesanan, yang tidak mampu ditangani oleh karyawan yang sudah ada. B. Hasil Tabel 1. Hasil Pengujian Hipotesis 1 Jenis Kelamin Variabel
Laki-laki Rerata
Job Autonomy
3,836
SD 0,819
Jenis Ketenagakerjaan
Perempuan Rerata 3,722
SD 0,732 0,462 *** 0,816 **
Pemilik Usaha Rerata 3,865
SD
Karyawan Rerata
0,814
3,694
Flexibility 3,423 0,659 3,644 3,715 0,766 Job Involvement 3,769 0,462 3,467 3,784 0,688 Komitmen Waktu untuk Peran Kerja 3,692 0,872 3,556 1,204 3,769 1,092 Family involvement 4,046 0,360 3,992 0,567 4,077 0,459 Komitmen Waktu untuk 0,825 Keluarga 3,510 0,945 4,204 * 3,740 1,156 Konflik PekerjaanKeluarga 2,400 0,693 2,385 0,643 2,439 0,663 Konflik KeluargaPekerjaan 2,315 0,807 2,192 0,599 2,223 0,642 * sign pada alpha<0,001, ** sign pada alpha <0,05, *** sign pada alpha <0,1
3,362
SD
3,452
0,732 0,774 ** 0,637 **
3,481
1,001 ***
3,963
0,488
3,981
0,681
2,348
0,670
2,281
0,771
239
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Hasil analisis dengan menggunakan ANOVA untuk perbedaan jenis kelamin menunjukkan bahwa perempuan memiliki komitmen waktu untuk keluarga yang lebih banyak daripada laki-laki (4,204 vs 3,510), serta lebih memiliki fleksibilitas dalam waktu kerja dibandingkan dengan laki-laki (3,644 vs 3,423; marginally supported). Laki-laki memiliki keterlibatan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (3, 769 vs 3,467). Berdasarkan jenis ketenagakerjaan, seperti diduga sebelumnya, pemilik usaha memiliki fleksibilitas kerja (3,715 vs 3,362), keterlibatan kerja (3,784 vs 3,452), serta komitmen waktu untuk peran kerja (3,769 vs 3,481; marginally supported) yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan. Tabel 2. Hasil Pengujian Hipotesis 2 Pemilik Usaha
Karyawan
Job Autonomy
3,923
0,885
3,808
0,744
3,750
0,750
Perempuan Rerat a DS 3,643 0,720
Flexibility
3,615
0,735
3,815
3,231
0,514
3,486
Job Involvement Komitmen Waktu untuk Kerja
3,954
0,510
3,615
0,792 0,801 **
3,585
0,322
3,846
0,961
3,692
1,217
3,538
Variabel
Laki-laki Rerata
DS
Perempuan
Laki-laki
Rerata
Rerata
DS
DS
3,329
0,945 0,815 ***
0,756
3,429
1,192
0,300 Family Involvement 4,092 0,410 4,062 0,508 4,000 Komitmen Waktu 0,993 0,680 untuk Keluarga 3,230 1,090 4,250 * 3,788 Konflik Pekerjaan0,618 Keluarga 2,323 0,760 2,215 0,764 2,247 Konflik Keluarga0,847 Pekerjaan 2,554 0,534 2,231 0,502 2,415 * sign pada alpha<0,001, ** sign pada alpha <0,05, *** sign pada alpha <0,1
3,929
0,616 0,639 **
4,161 2,223
0,701
2,157
0,681 ***
Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian dengan menggunakan ANOVA, untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan jenis kelamin pada variabel-variabel Tekanan dan Karakteristik Peran Kerja, baik pada sampel “Pemilik Usaha” dan “Karyawan”. Hasil menunjukkan adanya perbedaan keterlibatan kerja antara kedua jenis kelamin, baik pada sampel “Pemilik Usaha” (3,954 vs 3,615; p<0,05) maupun “Karyawan” (3,585 vs 3,329; p<0,1; marginally supported). Baik pada sampel “Pemilik Usaha” maupun “Karyawan”, laki-laki menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tabel 2 juga menunjukkan hasil pengujian dengan menggunakan ANOVA, untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan jenis kelamin pada variabel-variabel Tekanan dan Karakteristik Peran Keluarga, baik pada sampel “Pemilik Usaha” maupun “Karyawan”. Hasil menunjukkan adanya perbedaan pada komitmen waktu untuk keluarga antara kedua 240
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
jenis kelamin, baik pada sampel “Pemilik Usaha” (3,230 vs 4,250 ; p<0,001) maupun “Karyawan” (3,788 vs 4,161; p<0,05). Pada kedua sampel ini, perempuan menunjukkan komitmen waktu untuk keluarga yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Untuk konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan, pada sampel pemilik usaha hasil pengujian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, meskipun laki-laki menunjukkan tingkat konflik yang relatif lebih tinggi. Namun pada sampel karyawan, perbedaan konflik keluarga-pekerjaan ini cukup signifikan (2,415 vs 2,157 ; p<0,1; marginally supported). Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antar jenis kelamin hanya terlihat pada beberapa variabel saja. Terkait dengan pandangan masyarakat tradisional mengenai pembagian peran antara lakilaki dan perempuan, dimana tuntutan masyarakat terhadap perempuan untuk mengerjakan tugas-tugas domestik cukup tinggi, maka perempuan cenderung memberikan waktu kepada keluarga lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sistem ketenagakerjaan di UKM yang bersifat informal memungkinkan perempuan untuk memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel dibandingkan laki-laki. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Pleck (1985), Greenhaus & Parasuraman (1999), dan Parasuraman & Simmers (2001). Masih berhubungan dengan pandangan masyarakat tradisional, dimana ada tuntutan pada laki-laki untuk menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, maka laki-laki memiliki keterlibatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Konflik peran ganda (baik konflik pekerjaan keluarga maupun konflik keluarga pekerjaan) juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara kedua jenis kelamin. Bahkan, laki-laki sebenarnya mengalami konflik peran ganda yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, walaupun tidak signifikan (perbedaan ini hanya didukung secara marginal pada sampel karyawan). Hampir sama dengan penelitian ini, dimana lakilaki mengalami konflik peran ganda yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, penelitian Parasuraman & Simmers (2001) justru menunjukkan adanya perbedaan ini secara signifikan. Ini tentu saja tidak sesuai dengan anggapan sebelumnya, bahwa perempuan mengalami konflik peran ganda lebih tinggi daripada laki-laki (Duxbury & Higgins, 1991). Hal ini dimungkinkan berhubungan dengan kebutuhan waktu untuk pekerjaan yang lebih tinggi pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan, dan keinginan untuk menghabiskan waktu di rumah yang lebih tinggi pula. Perempuan melaporkan konflik pekerjaan keluarga dan konflik keluarga pekerjaan yang lebih rendah daripada laki-laki, karena fleksibilitas jadwal kerja yang relatif lebih tinggi memudahkan mereka untuk mengatur waktu guna memenuhi tuntutan peran keluarga.
241
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Penelitian ini tidak mendukung anggapan bahwa job autonomy pemilik usaha lebih tinggi daripada karyawan. Ini mungkin terkait dengan pola produksi dalam sebagian besar UKM ini. Sebagian besar pengusaha memproduksi barang berdasarkan pesanan. Pemesan seringkali menyertakan disain dan ukuran tertentu, untuk dibuatkan produk dengan jumlah tertentu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hanya sedikit sekali pengusaha yang mau bermain dengan kreativitasnya dalam menentukan disain, dan menawarkan disainnya secara aktif kepada calon konsumen. Masih berbasis pada anggapan masyarakat terhadap pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara tradisional, dimungkinkan bahwa dampak dari perbedaan jenis ketenagakerjaan pada tekanan dan karakteristik peran kerja serta pada tekanan dan karakteristik peran keluarga tidak akan sama bagi perempuan dan laki-laki. Namun, hasil penelitian menunjukkan kurangnya interaksi antara jenis ketenagakerjaan dengan jenis kelamin, sehingga mendukung penelitian Parasuraman & Simmers (2001). Jadi, tidak terdapat banyak perbedaan antara pemilik usaha laki-laki dan perempuan, serta antara karyawan laki-laki dan perempuan, untuk tekanan dan karakteristik peran kerja serta tekanan dan karakteristik peran keluarga. Sesuai dengan hasil penelitian Parasuraman & Simmers (2001), hasil penelitian ini menemukan adanya trade off antara kelebihan dan kekurangan bila memiliki usaha sendiri. Namun, berbeda dengan temuan Parasuraman dan Simmers, dalam penelitian ini konflik peran ganda yang dirasakan pemilik usaha tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh karyawan. Meski keterlibatan kerja dan komitmen waktu untuk peran kerja pada pemilik usaha lebih tinggi dari karyawan, namun hal ini diimbangi dengan adanya fleksibilitas untuk waktu kerja yang lebih tinggi pula. Karakter responden dalam penelitian ini memang berbeda dengan karakter responden dalam Parasuraman & Simmers (2001). Pada penelitian Parasuraman & Simmers (2001), responden adalah mahasiswa MBA dari beberapa universitas di daerah perkotaan di Amerika Serikat, yang bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan atau memiliki usaha sendiri. Dalam penelitian ini, responden bekerja dalam lingkup usaha kecil menengah, baik pemilik usaha maupun karyawan. Lebih dari 90% tidak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, bahkan sekitar 30% hanya merasakan pendidikan tingkat dasar. Hal ini sedikit banyak bisa mempengaruhi bagaimana persepsi responden atas variabel-variabel dalam penelitian ini. Simpulan dan Saran A. Simpulan Hasil penelitian ini memperluas penelitian sebelumnya berkaitan dengan entrepreneurialship dan dinamika konflik peran ganda. Dalam setting usaha kecil menengah, menjadi pengusaha bukan merupakan jalan keluar bagi penyeimbangan konflik peran ganda. Konflik peran ganda yang dialami pemilik usaha tidak berbeda dengan karyawan, meskipun 242
Herlina Dyah Kuswanti Menjadi Pemilik Usaha atau Karyawan? Analisis tentang Konflik Peran Ganda di Usaha Kecil Menengah
keterlibatan kerja dan komitmen waktu untuk kerja yang relatif lebih tinggi bisa diimbangi dengan fleksibilitas kerja yang tinggi pula.
B. Saran untuk penelitian selanjutnya Penelitian lebih lanjut diperlukan agar temuan ini bisa digeneralisasi lebih luas, dengan populasi yang lebih representatif dibandingkan dengan sampel convenience yang digunakan dalam penelitian ini. Adanya bias dalam pengisian kuesioner juga perlu dipertimbangkan, mengingat sebagian besar responden tidak mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga mungkin tidak memahami pentingnya pengisian kuesioner berdasarkan keadaan yang sesungguhnya. Penelitian selanjutnya sebaiknya juga mempertimbangkan adanya 2 karakter pemilik usaha: yang bekerja keras untuk memajukan usahanya, dan yang menjalankan usaha apa adanya; serta apakah memiliki karyawan atau tidak. Demikian juga dengan jenis pekerjaan yang dilakukan karyawan, apakah pramuniaga atau pengrajin. ___________ Daftar Pustaka Barnett, R. C. & Baruch, G. K. (1985). Women’s Involvement in Multiple Roles and Psychological Distress. Journal of Personality and Social Psychology. 49 (1): 135145. Duxbury, L. E. & Higgins, C. A. (1991). “Gender Differences in Work-Family Conflict”. Journal of Applied Psychology, 76 (1): 60-74. Grandey, A. A., Cordeiro, B. L. & Crouner, A. C. (2005). “A Longitudinal and Multisource Test of the Work Family Conflict and Job Satisfaction Relationship”. Journal of Occupation and Organizational Psychology, 78 (3): 305-323. Grant-Valone, E. G. & Donaldson, S. (2001). Consequences of work-family conflict on employee well-being over time. Work & Stress, 15 (3): 214-226. Gutek, B. A., Searle, S., & Klepa, L. (1991). “Rational versus Gender Role Expalanations for Work-Family Conflict”. Journal of Applied Psychology, 76 (4): 560-568. Huffman, A., Payne, J. & Castro, C. (2003). “When Work and Family Conflict, Men are More Likely than Women to Leave Their Jobs”. [On-line] available http://www.hrmguide.com/worklife/men_more_likely_to_leave.htm. Hughes, E. L. & Parkes, K. R. (2007). Work hours and well-being: The roles of worktime control and work-family interference. Work & Stress, 21(3): 264-278. 243
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Netemeyer, R. G., Boles, J. S., & McMurrian, R. (1996). “Development and Validation of Work-Family Conflict and Family-Work Conflict Scales”. Journal of Applied Psychology. 81 (4): 400-410. Noor, N. M. (2006). Malaysian Women’s State of Well-Being: Empirical Validation of a Conceptual Model. The Journal of Social Psychology, 146(1): 95–115. Parasuraman, S. & Simmers, C. A. (2001). Type of employment, work-family conflict and well-being: A comparative study Journal of Organizational Behavior, 22 (5): 551 Shelton, L. M. (2006). Female Entrepreneurs, Work–Family Conflict, and Venture Performance: New Insights into the Work–Family Interface. Journal of Small Business Management, 44(2): 285–297. Voydanoff (1988). Work Role Characteristics, Family Structure Demands, and Work/Family Conflict, Journal of Marriage and the Family, 50 (3): 749-761. Wadley, J. (2006). “Speaker: Changes Needed to Solve Work-Family Conflict”. [Online] Available http://www.umich.edu/~urecord/0304/Ot06_3/17.shtml
244