Hadirkan Cinta dalam Rumah Tangga
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
Highlight Isi
Menikah, Antara Keinginan dan Tujuan ... 5 Salah satu bentuk kesabarannya adalah dengan melakukan evaluasi diri, siapa tahu niatnya untuk menikah belum benar. Niat yang benar akan sangat mendukung terwujudnya pernikahan yang berkah.
Dahsyatnya Otak si Kecil ... 6 Dapat dikatakan, otak si kecil masih sangat orisinil dan menyimpan kekuatan serta aneka potensi yang menunggu untuk diberdayakan.
Menjadi Ibu Rumahtangga Profesional Oleh: Teh Ninih Muthmainnah “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar (berada) dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati agar menaati kebenaran dan saling menasihati agar menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr, 103:1-3)
M
enjadi “ibu rumahtangga”, seharusnya, menjadi sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan bagi kaum wanita. Inilah satu profesi yang sangat unik. Dia tidak ada sekolahnya. Waktu kerjanya 24 jam. Tidak ada standar gajinya, selain jaminan pahala berlimpah dari Zat Yang Mahakaya. Produk yang coba dihasilkannya sangat tidak main-main: rumahtangga sakinah, mawaddah, wa rahmah, dengan anak keturunan yang saleh salehah sehingga mereka layak menjadi penghuni jannah.
Maka, menjadi ibu rumahtangga membutuhkan profesionalisme tingkat tinggi, melebihi profesionalisme dalam bidang pekerjaan apapun. Tanpa profesionalisme, menjadi “ibu rumahtangga” adalah ritunitas yang membosankan, melelahkan, bahkan menjadi sumber stres yang paling “menyebalkan”. Para ibu tentu sangat akrab dengan kondisi berikut: bangun paling pagi, beres-beres rumah, memandikan anak, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, belanja, menyetrika baju, mengasuh anak, dan sejenisnya. Pagi hari beres, siang hari tumpukan pekerjaan sudah menunggu, demikian pula dengan sore dan malam hari. Itu kewajiban rutin, terkhusus bagi yang tidak punya khadimat (pembantu). Belum lagi kewajiban lain yang tidak kalah penting, bahkan lebih penting, semisal bersosialiasi, mencari ilmu, mendidik anak, ataupun berolahraga. Hmmm ... kapan waktu istirahatnya? Nyaris, tidak ada waktu untuk beristirahat di luar waktu tidur yang itu pun sangat mepet. Bahkan, badan bisa beristirahat, akan tetapi pikiran tetap saja bekerja. Kita putar otak agar semua hal di dalam rumah bisa sesuai harapan. Kondisi semacam ini kerap membuat sebagian hal penting dalam hidup jadi terbengkalai. Sebelum menikah, kita bisa menikmati malam-malam dengan Tahajud, zikir, tilawah, dan belajar. Setelah berumahtangga, apalagi dengan hadirnya anak-anak, kita mulai sulit mengatur waktu untuk menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Sayangnya, hal ini menjadi alasan untuk tidak melakukan aktivitas lain selain rutinitas di rumah: tidak sempat ke majelis taklim, membaca buku, olahraga, dan aktivitas penting lainnya. Padahal, seharusnya kita yang harus mengatur waktu, bukan waktu yang mengatur kita. Kitalah yang harus mengatur kesibukan, bukan kesibukan yang mengatur kita. Nah, di sinilah profesionalitas sebagai seorang ibu rumahtangga amat dibutuhkan. Salah satunya dalam hal mengelola atau memenej waktu. Keterampilan dalam memenej waktu adalah kunci sukses dalam hidup. Tanpa pengelolaan waktu yang baik, kualitas hidup kita, pasangan, dan anak-anak tidak bisa ditingkatkan. Hidup akan berjalan di tempat. Kita pun akan menua tanpa prestasi apa-apa. Dalam hal memenej waktu ini, ada lima hal yang harus sangat kita perhatikan. Pertama, seorang ibu harus memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Kemampuan memenej waktu sangat bergantung dari jelasnya tujuan hidup. Semakin jelas tujuan hidup kita, akan semakin sedikit waktu yang kita gunakan untuk hal yang sia-sia. Apa itu hal yang sia-sia? Dalam pandangan ketauhidan, semua kesibukan yang kita lakukan, sejak bangun tidur sampai tidur kembali, akan dihukumi sia-sia apabila tidak kita niatkan karena Allah. Dia hanya akan menjadi rutinitas tanpa bernilai ibadah di sisi Allah. Capeknya dapat, tapi pahalanya
2
hilang. Upah berupa uang belum tentu didapat, upah berupa pahala sudah pasti menguap. Maka, penting bagi kita untuk memastikan agar tujuan hidup kita, terkhusus sebagai ibu rumahtangga, adalah untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala. Cukup itu saja. Semua ucap, gerak, dan langkah kita niatkan sebagai ibadah kepada Allah. Adapun memiliki anak keturunan yang saleh, hapal AlQuran, dan lainnya, itu adalah penjabaran dari tujuan untuk meraih mardhatillah tersebut. Kedua, susun rencana sesuai tujuan hidup. Sebaik apapun tujuan hidup yang kita miliki, kalau tidak didukung dengan perencanaan yang matang dalam merealisasikannya, tujuan itu akan sangat sulit digapai. Pergi ke pasar saja butuh perencanaan: pasar mana yang akan kita tuju, kendaraan apa yang akan kita gunakan, apa yang akan dibeli, berapa biaya yang harus disediakan, dan lainnya. Bagaimana mungkin kita menjalani hidup berkeluarga, dengan orientasi bahagia dunia akhirat, tanpa disertai oleh perencanaan yang matang? Ketiga, miliki kesungguhan atau keseriusan dalam menjalankan setiap rencana. Dalam surah Al-Baqarah ayat 218, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orangorang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kata “hijrah” dan “jihad” dalam ayat itu menunjukkan kesungguhan. Hijrah dari kebiasaan buruk menuju kebiasaan yang baik tentu membutuhkan kesungguhan. Demikian pula menjadi sosok ibu yang menjad kebanggaan keluarga, sebagai sebetuk jihad di jalan-Nya, juga memerlukan kesungguhan. Maka, pastikan kita memiliki rencana dan targetan yang terukur dalam hidup, baik harian, mingguan, bulanan, atau tahunan; menyangkut diri sendiri ataupun suami dan anak-anak. Misal, dalam sebulan kita sekeluarga sudah harus hapal surah Ar-Rahmân. Bagaimana caranya? Kita susun dalam rencana dan target harian. Kapan menghapalnya dan kapan muraja’ahnya. Keempat, kita harus siap dengan hambatan. Hidup adalah lautan masalah. Maka, dalam situasi apapun kita akan selalu menghadapi masalah, termasuk saat menjalankan rencana kita. Namun, kalau sejak awal kita sudah siap, masalah justru akan mendewasakan dan menjadi titian bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita. Kelima, lakukan evaluasi. Kalau kita belum berhasil menjalankan rencana, atau malah berhasil menunaikannya, ada baiknya tetap dievaluasi. Apa hambatan yang kita dapatkan? Mengapa hal itu terjadi? Sebaliknya, kalau berhasil apa penyebab keberhasilan kita? Sesungguhnya, dengan terus melakukan evaluasi, kita akan semakin dekat dengan keberhasilan dan sesuai dengan apa yang diperintahkan Al-Quran. “Hai orangorang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS Al-Hasyr, 59:18). ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
SHIRAH NABI
Manusia Terbaik di Antara yang Terbaik “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’, 21:107
P
ara nabi dan rasul adalah orang-orang pilihan yang terlahir sebagai pembawa risalah agung dari Allah Swt. Mereka hadir untuk membawa cahaya terang bagi manusia lainnya. Jumlahnya tidak kurang dari 124.000 orang. Sebanyak 313 dari mereka bergelar rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al-Quran ada 25 orang, yaitu: Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Yunus, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayub, Syu’aib, Musa, Harun, Yasa’, Zulkifli, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Ilyas, Yahya, Isa dan Muhammad saw. Islam mewajibkan umatnya untuk mengimani semua utusan Allah itu dan mengakui kebenaran risalah yang mereka bawa. Rasul Ulul Azmi Allah Swt. kemudian “memeras” kedua puluh lima nabi tersebut menjadi lima orang ulul-azmi minarrasul. Ulul Azmi berarti tabah dan teguh. Rasul Ulul Azmi adalah rasul-rasul yang mempunyai keteguhan dan kesabaran yang luar biasa dalam menanggung penderitaan. Mereka adalah Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. Masuknya mereka ke dalam golongan Ulul Azmi dikuatkan oleh firman Allah Swt. “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS Al-Ahzab, 33:7) Kelima utusan Allah ini mendapatkan gelar Ulul Azmi karena keteguhan, kesabaran dan ketabahan mereka dalam menyebarkan risalah Ilahi di muka bumi. Mereka pernah tidak dipercaya, ditentang, diganggu, disakiti, dan diancam dengan pembunuhan oleh kaumnya. Bagaimana pun berat godaan, gangguan, dan tantangan itu, mereka tetap tabah dalam menekuni tugasnya, yaitu dalam menyampaikan risalah Allah Swt. kepada umatnya. Mereka pun diberi mukjizat oleh Allah Swt. sebagai penguat dan bukti dari kebenaran risalah yang dibawanya. Perbedaan antara rasul Ulul Azmi dan rasul lainnya terletak pada beratnya cobaan serta kesabaran dalam menghadapi cobaan. Nabi Yunus as. misalnya, beliau kurang sabar dalam menghadapi umatnya sehingga dia marah dan pergi dari umatnya (QS Al-Anbiyä’, 21:87). Sesungguhnya, hal ini sangat wajar karena para rasul pun mempunyai tingkat kesabaran yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang membuat setiap dari mereka mempunyai tingkatan yang berbeda-beda di sisi Allah Swt. (Lihat QS Al-Isrâ’, 17:55)
Rasul Uswatun Hasanah Dengan kehendak dan ilmu-Nya, Allah Swt. memilih dua dari lima manusia pilihan ini sebagai yang paling istimewa. Mereka adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Allah Swt. menganugerahkan gelar keistimewaan kepadanya sebagai uswatun hasanah atau teladan yang baik bagi umat manusia. ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab, 33:21) Dalam ayat lain, Allah Swt. pun berfirman, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian ...” (QS Al-Mumtahanah, 60:6) Nabi Ibrahim as. adalah manusia yang hanif, sempurna imannya, serta imam yang dapat dijadikan teladan bagi manusia sepanjang zaman. Oleh karena itu, Allah Swt. memerintahkan Rasulullah saw. dan umatnya untuk mengikuti millah-nya. (QS An-Nahl, 16:120-123) Rasul Rahmatan lil ‘Âlamîn Di antara dua rasul yang menjadi teladan kebaikan tersebut, terpilihlah Rasulullah Muhammad saw. sebagai manusia paling mulia. Puncak penghargaan Allah Swt. kepada beliau adalah mengangkatnya menjadi nabi akhir zaman. Ajaran yang dibawa Rasulullah saw. menjadi penutup ajaran nabinabi sebelumnya sehingga nilainya paling sempurna. Ajaran beliau tidak hanya berlaku bagi segolongan umat, akan tetapi berlaku bagi umat-umat sesudahnya sampai akhir zaman. Itulah mengapa, Allah Swt. menggelarinya sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam; rahmatan lil ‘alamin. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’, 21:107) Gelar yang disandang Rasulullah saw. sebagai nabi, rasul, ulul azmi minar-rasul, uswatun hasanah, dan pembawa rahmatan lil ‘alamin, menjadikan beliau sebagai makhluk paling mulia yang Allah Swt. ciptakan. Karena posisinya ini, Zat Yang Mahakuasa mendesain serta memandu sejarah kehidupan beliau sedemikian rupa. Penampilan fisik, ucapan, perbuatan, sampai pada tahaptahap kehidupan Rasulullah saw., sejak dalam kandungan sampai wafat, penuh dengan hikmah yang layak dikaji dan diteladani semua orang. Tempat beliau dilahirkan, orang-orang yang berinteraksi dengan beliau, sampai zaman tatkala beliau hidup, penuh dengan dinamika pembelajaran. (Abie Tsuraya/TasQ) ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
3
FIKIH IBADAH
Air Sebagai Media untuk Bersuci
“... dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (QS Al-Anfâl, 8:11)
D
alam berbagai bentuknya, baik yang masih murni maupun yang sudah tercampur, air senantiasa memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh zat-zat lain di muka bumi. Akan tetapi, tidak semua jenis air dapat digunakan sebagai media untuk bersuci. Hanya air dengan syarat-syarat tertentu sajalah yang boleh dipakai untuk berwudhu. Para ulama menyebutnya sebagai ”air yang suci lagi mensucikan” alias ”air mutlak”. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya kita mengenal jenis-jenis air yang berkaitan dengan prosesi wudhu. Para ulama fikih membagi air ke dalam empat lima: Pertama, air mutlak atau air yang suci lagi mensucikan. Air mutlak ini dapat kita pergunakan untuk berwudhu, hukumnya sah dan tidak makruh, selama dia tidak berubah dalam sifat-sifatnya dan tidak musta’mal. Air mutlak pada umumnya berasal dari alam, baik yang turun dari langit, yang berada di dalam bumi, maupun yang mengalir di permukaan bumi. Adapun jenis air yang termasuk air mutlak, antara lain: air hujan, air laut, air sungai, air telaga atau danau, air sumur, air embun, air salju, air yang keluar dari mata air.
Kedua, air musta’mal, yaitu air yang suci akan tetapi tidak mensucikan. Jenis air yang tergolong musta’mal adalah (1) air yang jumlah sedikit sehingga tidak mencukupi apabila dipakai berwudhu, dan (2) air dari bekas bersuci, seperti air bekas wudhu atau mandi. Ketiga, air musyammas, yaitu air yang suci dan dapat mensucikan, akan tetapi makruh apabila digunakan untuk bersuci. Contoh terbaik dari air musyammas ini adalah air yang terjemur. Keempat, air mutanajjis, yaitu air yang terkena atau mengandung najis. Air jenis ini awalnya boleh jadi suci lagi mensucikan, tetapi kemudian terkena najis sehingga dia tidak sah digunakan untuk wudhu.
4
Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan: • Apabila air tersebut jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari 216 liter atau 2 qullah, dan kemasukan najis, air tersebut tidak sah untuk dipakai berwudhu dan hukumnya tetap najis, baik itu berubah sifatnya maupun tidak. • Apabila air tersebut jumlahnya banyak, yaitu lebih dari 216 liter atau 2 qullah, lalu kemasukan najis, akan tetapi tidak berubah sifatnya; baik pada warna, rasa, dan bau, air tersebut tetap dianggap suci sehingga dapat dipergunakan untuk bersuci. Namun, apabila berubah sifatnya, baik warna, rasa, maupun baunya, air tersebut tidak lagi suci sehingga tidak boleh dipakai untuk bersuci. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. “Air itu suci, kecuali apabila berubah bau, rasa dan warnanya.” (HR Al-Baihaqi) Kelima, air yang suci akan tetapi tidak mensucikan karena sudah bercampur dengan benda yang suci, semisal air teh, air kopi, air susu, dan sebagainya. Air jenis ini tidak boleh dipakai untuk berwudhu karena sifatnya tidak lagi mensucikan. (Abie Tsuraya/TasQ) *** Sumber: •
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. 2014. Fikih Sunnah Wanita. Qisthi Press.
•
H. Sulaiman Rasjid. 2005. Fikh Islam. Sinar Baru Algensindo.
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
Cakrawala Hati
Menikah, Antara Keinginan dan Tujuan (Inayati Ashriyah)
S
abar ... sabar ... sabar! Memang klise. Namun, kata itulah yang dapat menolong kita untuk bisa menjalani hidup dengan tegar dan terarah. Sebagai orang beriman, kita tidak punya pilihan lain selain bersabar dan bertawakal ketika ditimpa ujian dan musibah. Bagi para akhwat yang sampai saat ini belum dikaruniai jodoh, padahal usia terus bertambah, desakan dari orangtua semakin kuat, pastikan untuk terus bersabar. Salah satu bentuk kesabarannya adalah dengan melakukan evaluasi diri, siapa tahu niatnya untuk menikah belum benar. Niat yang benar akan sangat mendukung terwujudnya pernikahan yang berkah. Seorang ustaz pernah menerangkan bahwa nikah yang berkah itu diawali dengan niat yang benar dan doa. Tapi, cukupkah? Dalam hal ini, kita perlu membahas tentang tujuan menikah. Motivasi dan tujuan seseorang untuk menikah bisa jadi berbeda dengan yang lainnya. Ada yang mengaku bahwa dorongan usia lebih mendominasinya untuk menikah. Ada juga yang merasa bahwa dia membutuhkan seseorang yang dapat mendampingi hidupnya, berbagi suka dan duka. Ada juga yang berpandangan bahwa tujuannya menikah adalah untuk regenerasi. Apakah hanya itu tujuan menikah? Ada tujuan yang lebih utama daripada hanya sekadar memiliki seseorang untuk dipanggil Mama atau Papa, Ummi atau Abi. Pertama, melaksanakan perintah Allah. Anjuran untuk menikah ini tertuang dalam surah An-Nuur ayat 32, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Kedua, Melaksanakan perintah Rasulullah saw. “Barangsiapa yang mampu menikah, akan tetapi tidak menikah, maka dia bukanlah termasuk golonganku.” (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi) Ketiga, ada pernyataan bahwa tujuan menikah itu untuk ‘al-wadûd wal walûd’, yaitu sebagai cerminan kasih sayang dan melahirkan banyak anak. Artinya, tujuan memelihara keturunan dan memperbanyak umat bisa tercapai melalui sebuah pernikahan. Nabi kita bersabda, “Menikahlah kamu dengan beranak turun, sungguh aku bangga dengan banyaknya kamu sebagai umatku di hari kiamat nanti.” (HR Al-Baihaqi) Keempat, memelihara akhlak diri. Terungkap dalam sebuah hadis, “Pernikahan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu menikah, maka
hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya berpuasa itu dapat jadi tameng mengalahkan hawa nafsu.” (HR AlBukhari dan Muslim) Kelima, menumbuhkan ketenangan jiwa. Untuk tujuan yang satu ini pastinya banyak orang yang mengetahui termasuk yang lajang sekalipun. Ayat yang menerangkan tentang hal ini kerap mengisi undangan pernikahan. Memang betul bahwa pernikahan itu merupakan salah satu jawaban dari masalah kegalauan hati karena Allah Ta’ala menjanjikan hal itu. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS Ar-Rûm, 30:21) Masih banyak lagi tujuan mulia lainnya, seperti mempertebal rasa kebapakkan dan keibuan, memperluas dan memperkokoh persaudaraan, serta menjadi media ujian kualitas diri. Dengan tujuan-tujuan tersebut, semoga Allah menganugerahkan kepada kita pernikahan yang barokah. Tentu saja, untuk mencapai itu kita harus menyiapkannya dari sekarang. Jalan yang bisa kita lakukan adalah dengan memilih pasangan berdasarkan agamanya, keturunan dan kemuliaannya, mengutamakan orang jauh dalam kekerabatan, dan mengutamakan perawan yang subur. Demikan Rasulullah saw. menjelaskan langkah-langkah menuju pernikahan barokah. Semoga, yang “masih sendiri” segera mendapatkan apa yang dicita-citakan, yaitu pernikahan yang berkah. Billâhi fî sabilil haq. ***
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
5
Tafakur
Dahsyatnya
Otak
si Kecil Dr. Tauhid Nur Azhar
A
llah Ta’ala bentangkan kuasa-Nya di alam semesta agar manusia berpikir. Dari berpikir itulah dia bisa mengenal keagungan-Nya, untuk kemudiaan dekat dan senantiasa taat. Sahabat RSQ, mari kita lihat salah satu kuasa Ilahi yang ada pada bayi kecil, terkhusus pada otaknya, pusat kendali kehidupannya. Jangan salah lho, kekuatan otak anak tidak kalah hebat dengan otak orang dewasa. Dapat dikatakan, otak si kecil masih sangat orisinil dan menyimpan kekuatan serta aneka potensi yang menunggu untuk diberdayakan. Bahkan, ada banyak kekuatan dalam otak anak yang tidak ada pada otak orang dewasa. Untuk lebih jelasnya, simak kembali data-data berikut: • Pada awal kelahiran, otak seorang bayi memiliki sekitar 100 miliar sel neuron yang aktif dan 900 miliar sel otak pendukung (sel glia). • Sebagian sel-sel tersebut sudah terhubung pada sel-sel lain sebelum masa kelahiran.
• Sel-sel tersebut mengendalikan detak jantung, pernapasan, gerak refleks, dan mengatur fungsifungsi lain yang memunginkannya bertahan hidup. • Sebuah sel dapat berhubungan dengan sebanyak 15.000 sel lain. Hubungan antar sel (neuron) tersebut disebut sinaps. • Cabang reseptif sel saraf, yang disebut dendrit, dapat tumbuh dan berkembang membentuk triliunan sinaps. • Setiap neuron mempunyai cabang sampai 10.000 cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion (angka 1 diikuti 15 angka nol) koneksi.
6
• Pada dua tahun pertama, otak sang bayi meningkat tiga kali lipat, akibat terbentuknya sinaps-sinaps, sehingga menyerupai otak orang dewasa. • Pada akhir tahun ketiga, dalam otaknya telah terbentuk sekitar 1000 trilun jaringan koneksi yang aktif. • Otak anak dua kali lebih aktif daripada otak orang dewasa.
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
Tafakur • Dengan demikian, otak anak mampu menyerap informasi informasi baru lebih cepat daripada otak seorang mahasiswa. Hanya satu kata: Allâhu Akbar! Ya, kita pantas takjub, terkesima, dan berdecak kagum melihat kemampuan otak sosok-sosok mungil yang selama ini kita anggap lemah dan belum bisa apa-apa. Memang, sebelum tahun 1970-an orang tidak menduga bahwa otak manusia, apalagi anak yang baru lahir, memiliki kapasitas dan kemampuan yang sangat luar biasa. Orang menganggap bahwa otak hanya sekadar penerima pesan-pesan dasar yang masuk dan lalu menempatkannya ke dalam kotak-kotak atau bagianbagian yang sesuai. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Apa yang ditemukan oleh Andrew Meltzoff, Ph.D, seorang profesor psikologi di University of Washington, telah membuktikan bahwa otak bayi memang luar biasa. Penemuannya telah mengagetkan banyak orang. Betapa tidak, dia membuktikan bahwa bayi mampu menirukan gerak manusia, bahkan sejak hari pertama dari kelahirannya. Awalnya dia melakukan percobaan terhadap bayi usia 3 minggu.
Agar dia yakin sekali bahwa bayi benar-benar melakukan peniruan, bukan “salah perkiraan” karena memang sulit membedakan ekspresi wajah bayi yang terus menerus berubah, Andrew merekam wajahwajah bayi itu dalam videotape. Lalu dia menunjukkan rekaman-rekaman wajah bayi kepada orang lain, seseorang yang netral dan objektif yang sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilihat oleh bayi ketika mereka memunculkan berbagai ekspresi wajah. Profesor Andrew berhasil membuktikan bahwa ada hubungan sistematis antara apa yang dilakukan bayi (yang dinilai oleh pengamat netral) dengan apa yang dilihat oleh si bayi (sehingga ia berekspresi tertentu). Lebih jauh lagi, dia menunjukkan bahwa kemampuan meniru ini benar-benar adalah bawaan sejak lahir. Maka dia pun menyiapkan sebuah laboratorium di sebelah ruang pekerja di rumah sakit setempat dan meminta orangtua bayi agar memanggil dirinya jika si bayi hampir lahir. Selama setahun, dia disibukkan dengan proyek penelitian tersebut. Akhirnya, dia berhasil menguji banyak bayi sebelum mereka berumur satu hari. Bayi termuda yang dia uji berusia hanya 42 menit. Bayi-bayi tersebut terbukti meniru gerak manusia! ***
Berita Foto RS
Senin, 19 September 2016, Teh Ninih selaku penulis mewakili Tasdiqiya Publisher menyerahkan 10% hasil penjualan buku Selalu Ada Jalan periode Juli-Agustus sebesar Rp4.284.000 kepada Pimpinan Santri Penghafal al-Quran Daarul Muthmainnah.
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016
7
Advetorial
8
e-Newsletter Rumahku Surgaku | Edisi 02 | September 2016