Sebuah Nostalgia (The Pilgrimage, Cacing Menjadi Naga)
Mukadimah Jogjakarta 15 Januari 2011, aku mulai merangkai puzzel-puzzel kisah hidup ku yang sudah lama tercerai-berai dan berserakan di melekul-melekul otak yang berukuran sedang, masih tersimpan rapih dan aman di tempurung kepala yang menyimpan sejuta kisah inspiratif untuk anak cucu ku kelak. Diruangan yang berukuran 2 x 1,5 mater berdinding triplek tipis nan berbolong serta dilapisi lembaran koran yang di design khusus untuk menutupi privacy nan beratapkan sawang sangkar laba-laba yang telah terlebih dahulu ada sebelum kehadiran aku, ku sewa dengan harga 800 ribu/tahun dalam rangka untuk menempuh study S2 dengan diterangi cahaya lampu 5 watt, aku mulai menulis cerita tentang perjalanan seorang pemuda yang tidak ambisius mencapai kejayaan, namun merasa memiliki kewajiban untuk berjuang dalam merubah karakter dan nasib-nya. Sebuah cerita yang sudah lama ingin ku abadikan dalam bentuk cerita wasiat untuk anak cucu yang tercinta. Tersadarkan pada permulaan peristiwa yang masih ku ingat segar bagaikan seorang perawan yang masih menaburkan aromah khasnya, adalah sekitar umur 5 tahun, masa dimana anak-anak sedang asyik bermain hingga lupa waktu yang dimana kebanyakan orang menjadikannya (waktu) sebagai tolak ukur untuk memulai dan berhenti dalam melakukan sebuah pekerjaan. Dan bahkan jika malam tiba, mata ini ingin cepat terpejam berharap pagi cepat menjelang, lalu pertualanganpun dimulai kembali. Masa kecil ku, awalnya tidak jauh beda dengan anak-anak seusia ku. Banyak hal-hal yang menarik didalam keluarga ku, salah satunya adalah antara saudara satu dengan yang lain wajahnya nyaris tidak ada yang mirip. Mungkin inilah yang dinamakan miniatur “Bhineka Tunggal Ika” Indonesia. Aku Akbar, anak laki-laki dari 4 saudara dan 1 saudari, mendiami tubuh yang lemah dengan sifat sangat ceroboh, grasak-gerusuk dan sangat tak sabaran. Aku sendiri memiliki beberapa nama alias yakni Anton, Ibrahim Manaf, Mail dan sampai sekarang keponakan-keponakan mamanggil ku cik Mail, dan berikutnya yang terakhir ialah Lefi. Bisa dibanyangkan dengan jarak umur satu dengan yang lain yang tidak berjauhan, betapa repot dan sangat menguras tanaga mamak dalam membesarkan aku, kakak, ayuk serta adik ku, yang pada mulanya ia menjadikan aku sebagai pelindungnya dimasa kecil, namun sekarang sudah mulai berani melawanku. Perubahan phychologis dan emosi lambat laun pasti terjadi seiring berjalannya waktu, aku tahu itu. Jadi ku biarkan waktu yang mendewasakan dan menasehatinya. Kami hijrah ke kota Palembang dari hutan kopi yang pada masa itu masih didominasi siamang dan monyet yang bergelantungan di perbukitan perbatasan wilayah Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Lampung. Ayah ku bernama Hamid yang hanya memiliki 2 saudara yang sama-sama berakhir dengan tragis dimasa tuanya, padahal mereka adalah orang-orang yang kaya pada masanya, seperti kata orang bijak “setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya” aku rasa kalimat bijak itu cocok dengan corak keluarga bapak ku. Apel jatuh tidak jauh dari pohonnya, terkadang benar dan terkadang juga tidak. Harta yang dimiliki oleh bapak dan saudara-saudaranya tidak dengan serta merta membuat anak-anak mereka dapat mengenyam pedidikan tinggi, tahu kenapa. Yang kupahami bapak ku dan saudaranya tidak berniat untuk menjadikan anak-anaknya menjadi pintar atau bapak ku ingin 1
kami berusaha sendiri. Selain itu, kakak-kakak ku pun tak pernah ada yang serius untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau yang akrab disebut kuliah, “ya...setidaknya sudah memenuhi rasa kebijakan pemerintah akan sekolah wajib 9 tahun” kalimat inilah yang kedengar langsung dari bapak ku dan menanggapi itupun aku pun tak bisa berharap banyak. Itulah bapak ku, nah.., sekarang ku perkenalkan wanita yang melahirkan dan menyusui sekaligus menjadi motivasi tunggal dalam hidup ku. Ialah mamak yang bernama Maidah, wanita yang ditakdirkan sulit untuk bahagia. Kenapa tidak, baru lahir saja sudah menderita. Sempat besar ditangan neneknya yang kasihan dan perduli dengannya karena telah ditinggal mati sang ibu kandung. Menurut beliau, ia ditinggal pergi ibunya alias nenek ku yang tak pernah kembali lagi pada usia belum genap 40 hari. Hal itu membuat mamak ku tidak pernah tahu seperti apa wajah yang tegah meninggalkannya tanpa memberikan kasih sayang seperti anak-anak yang lain, walau hanya setetes embun pun. Di dusun pedalaman Semendo Cahaya Alam, mamak ku dilahirkan, di dusun itu pula mamak sempat diasuh oleh neneknya yang iba dan kasihan kerena bapaknya menikah lagi. Anak Umang, itulah gelar yang melakat pada mamak yang memiliki arti anak sebatangkara. Pernah bercerita kepada kami bertapa sayangnya nenek kepada mamak sampai-sampai membuat cucu yang lain menjadi cemburu. Sebelum menutup matanya, nenek pernah bernazar, bahwa ia akan menyembelih kambing sebagai ungkapan rasa sayang dan syukur jikalau mamak ku memukan jodohnya. Sayang, itu tidak pernah terjadi dan tetap menjadi nazar keramat selamanya.( “Ya Allah, siapa pun dia, seperti apa wajahnya dan walaupun aku tidak kenal dan tidak penah mendengar kisahnya secara langsung. Aku memohon kepada Mu, dengan segenap darah yang mengalir sampai ke detak jantung ku dan setiap kebaikan yang kulakukan, sudihlah aku memberikan pahala yang ada padaku untuk-nya. Apunilah dosa-dosanya dan masukkanlah ia kesyurga Mu. Dan sampaikanlah rasa terima kasih ku padanya atas semua kebaikannya terhadap mamak ku dan izinkan aku dapat melihatnya kelak di alam Mu, amin”) Setelah ditinggal oleh Puyang (sebutan untuk nenek dari mamak). Mamak dibujuk oleh bapak dan ibu barunya untuk tinggal serumah “ayo lah tinggal dirumah bersama,” bujuk mereka. Mamak ku pun tidak punya pilihan lain karena dengan siapa lagi ia akan tinggal. Setelah itu hari – hari ternyata lebih berat bagi mamak untuk dilalui. Mamak mulai mendapatkan prilaku yang tidak menyenangkan dari ibu baru yang keras dan memperlakukan dengan tidak adil sedangkan bapak dari mamak ku seolah-olah tidak tahu akan penderitaan seorang anak perempuan kecil yang kurang beruntung. Namun atas semua kejadian itu tidak serta merta membuat mamak ku dendam bahkan mamak ku sangat hormat kepada mereka (ibu barunya) dan menganggap adik-adik tirinya seperti adik kandung sendiri sebaliknyapun begitu, mereka memperlakukan mamak ku seperti ayuk (ayuk=kakak perempuan dalam bahasa Palembang) kandung sendiri. Dulu semasa nenek tiri masih hidup, ia pernah beberapa kali datang ke Palembang. Kedatangan nenek pun disambut dengan hangat oleh mamak dan dihormati serta dilayani seperti orang tua kandung. Sedang dikala itu, aku masih kecil jadi gak tahu kalau itu nenek tiri, bagi ku ia seperti nenek kandung sendiri walaupun kami tak pernah merasakan kasih sayang dari kakek dan nenek baik dari sebelah bapak muapun mamak, karna saat aku lahir mereka semua sudah pergi kembali ke rumah besar. Mamak sangat dekat dan tetap sayang dengan mereka semua tanpa ada rasa kekecewa atau sakit hati. Untuk itu aku mengucapkan salut dan meberikan apresiasi yang sangat dalam untuk nenek, bibik dan paman-paman ku kerena mereka sangat sayang kepada kami dan perduli dengan keadaan kami terlebih terhadap mamak ku.
2
Matahari yang terik namun tidak terasa panas. Dusun yang kerap diselimuti awan hitam yang pekat yang menghembuskan hawa dinginnya setiap waktu karena berada diketinggian bukit yang berbaris mengitari kampung halaman tempat kelahiran mamak yang sempat aku singgahi beberapa waktu silam, bentuknya seperti stadion bola kaki. Sangking dinginnya, kalau mandi airnya terasa mandi air es, kalau membuat kopi dengan air sanggat hangat lalu langsung diminum maka airnya sama sekali tidak terasa hanggat lagi, laaa!...minyak sayur aja beku apa lagi cairan-cairan yang lain, harus terus dipanasin tuh...hummmm? Hidup diperbukitan dimana PLN belum masuk, hanya mengadalakan swasembada masyarakat mandiri yakni dengan memanfaatkan derasnya arus anak sungai dari perbukitan dengan mengunkan kincir air besar dan sebuah mesin diesel yang karatnya 24 karat, listrik pun dapat dihasilakan dan didistribusikan ke rumahrumah, namun sangat terbatas. Listrik hanya bisa dipakai pada jam 6 sore sampai jam 11 malam. Yang namanya pembangkit listrik tenaga air dengan mengunakan kincir, terkadang listrik tidak bisa dinikmati karena air nya surut atau kecil akan tetapi jika arusnya tiba-tiba saja deras, terang saja lampu penerangan dirumah pada terbakar. Maklum listrik hasil karya penduduk setempat yang terpaksa mandiri kerena sudah bosan dengan janji pemerintah untuk mengaliri listri yang tak kunjung terealisasi. Sistem transportasi juga kala itu tidak lancar seperti saat ini, jadi penduduk setempat kalau masuk-keluar kampung harus menepuh jarak bermil-mil jauhnya dikala itu. Terikat dengan kondisi tersebut, tentunya lepas bekerja mengarap sawah dan kebun baik milik sendiri atau upahan, tidak banyak yang mereka lakukan dimalam hari. Setelah sholat, dan dilanjutkan makan malam seterusnya......, apa lagi kalau bukan memperbanyak keturunan.... hehehe! Disela-sela perbukitan yang jarak bermil-mil jauhnya dari keramaian, disitu juga mamak bertemu dengan pria muda, tampan nan gagah berasal dari Desa Tanjung yang pada akhirnya menjadi bapak ku. Ia hadir di bumi dan bertemu dengan mamak ku, mungkin karena kakak-kakak dan aku mengemis dan memohon kepada Allah SWT untuk segera hadir ke bumi dan berjanji akan menepati janji yang telah disepakati sebelum diterbitkan di pangung dunia ini untuk ikut berperan dalam mementaskan perwatakan yang telah ditentukan. Seperti halnya aku, hadir dibumi mungkin karena anak ku juga ingin hadir kebumi dan terus begitu sampai “the end of the day”. Jadi menurut ku, hadirnya kita dibumi itu juga karena anak-anak kita dan itu seperti serkulasi yang memang harus dilewati oleh setiap manusia sebelum kembali lagi kepada sang pencipta. Akan tetapi, setelah diterbitkan ke bumi semua manusia lupa terhadap apa yang telah dijanjikan. Seperti bayi yang datang dengan polos lalu datang kembali dengan berbagai macam cara, rupa dan bentuk. Atas semua itu, dengan Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah SWT menetapkan mereka berdua sebagai pasangan suami-istri. Berumah tangga diusia muda dengan semangat yang masih sangat menyala-nyala, bapak rela banting-tulang untuk mencari nafkah dengan cara membuka hutan belukar di ketingian bukit yang masih perawan yang sesekali terlihat jejek kaki Harimau Sumatera yang masih segar membuat sensasi tersendiri bagi sang kepala rumah tangga untuk terus memaikan perannya dalam mencari nafkah. Dengan bantuan asisten pribadi yakni mamak, dari satu tempat ketempat lain, mereka bersama-sama membuka lahan untuk ditanami kopi. Bapak ialah sosok orang yang sangat jujur, penyabar dan berambisi sangat besar, tapi.........dalam berkebun kopi!. Ia punya keinginan suatu hari nanti dari hasil kopi ia bisa beli rumah di kota Palembang dan menetap disana. Dengan usia yang masih produktif, orangtua kami bekerja siang dan malam dan hal itu akhirnya membuahkan hasil. Dengan uang dari hasil penjualan kopi dengan harga relatif murah bapak 3
membeli rumah di Palembang yang telah lama diidam-idamkan dan seiringan dengan itu pula kami pun bermunculan satu-persatu. Rumah itu tepatnya di kota Pelambang dan akupun masih sangat kecil sehingga aku tak ingat persis tahun berepa tepatnya, kami hijarah ke kota dengan lendmark Jembatan Ampera. Pada saat itu mamak sempat keberatan karena hidup dikota tidak menyenangkan dan aneh. “buat apa tinggal di kota orangnya sombong-sombong,” ujar mamak kepada bapak dikala itu, kepada kami ia menceritakan. Namun sekarang malah sebaliknya, mamak sudah lebih betah hidup dikota Palembang, karena di kota listrik on terus dan air bersih pun dengan mudahnya mengelir kerumah tanpa bersusah payah untuk mengangkut air bermil-mil juahnya dan tentunya selain banyak hiburan yang dapat dinikmati di Palembang juga fasilitas infrastruktur sudah sangat baik seperti Mall, festival seni budaya, pengajian dan ceramah yang sering diselengarakan oleh pemuda/i masjid setempat dan juga bisa merasakan nikmatnya makan di lestoran dan KCF bersama-sama serta bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang. Selain itu semua yang paling membuatnya senang yakni dikelilingi cucu-cucu tercinta yang seakan-akan berlomba-lomba untuk menja seperti kami kecil dahulu. Setelah memutuskan untuk tinggal di Palembang, kebun kopi diupahkan ke orang lain untuk mengurusnya. Dan jika panen tiba, bapak menyempatkan diri untuk datang kesana untuk mengambil hasil. Kepergian bapak ke kebun kopi kadang-kadang lebih dari satu bulan. Karena seringnya kejadian itu terus berlangsung setiap tahunnya, memberikan peluang bagi bapak untuk bermain api. Terkadang harta membuat orang menjadi lupa diri sehingga menjadi rakus untuk menikmati yang sebenarnya meraka tidak mampu, singkat kata dimana ada kekuasaan disitu ada skandal. Hal itulah yang akhirnya terjadi pada keluarga kami. Saat masih kecil, aku melihat bapak dan mamak bertengkar hebat dan terasa dinding rumah seakan mau pecah karena home theater tersebut. Dimasa masuknya Magrib yang ditandai suara azan, tapi kali ini kok agar beda. Ku dengar suara bapak dan mamak saling berbantah-bantahan. Dalam keadaan masih demam, rasa penasaran menyuruh ku untuk melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Berangkat dari tempat tidur, kudapatkan mamak sedang menangis dan bapak terus memainkan peran wajah dibalik topeng yang sesekali diwarnai suara gaduh yang membuat telinga kecil ini mau gak mau harus mendengar apa yang seharusnya tak patut ku dengar. Sejenak aku ketakutan menyaksikan pristiwa itu langsung di TKP, akupun menangis dan tak dihiraukan. Tangisan ku memberikan pesan ketakutan dan ketidak mengertian apa yang terjadi karena aku belum mengerti mengapa mereka seolah-olah bukan lagi sepasang suami istri yang pernah mengikat janji untuk saling mencintai dan setia sampai mati. Semenjak malam itu, keributan menjadi sering menghiasi rumah kami. Didewasakan oleh keadaan, belakangan aku tahu walaupun tak mengerti bahwa bapak telah berbini dua tanpa sepengetahuan mamak. Betina murahan itu adalah betina yang berasal dari pulau Jawa yang datang untuk mengemis pekerjaan di kebun kopi kami. Mungkin sudah menjadi keahlian dimana betina itu mahir dalam merusak rumah tangga orang dan hidup kenyang dengan menjadi simpanan lalu menguasai harta hidung belang, persis seperti linta penghisap darah yang menempel di tubuh buaya darat. Sedikit phenobarbitone, buaya pun tak sadar kalau darahnya sedang dihisap pelan-pelan sampai lemas...hahhahhah!. Menghadapi situasi itu pun mamak lebih keras mendidik kami, namun keresahan tetap saja menghantui dalam setiap solat dan tidurnya “ akan jadi apa nasip anak-anak ku kelak” itu yang mamak katakan pada ku setelah beranjak dewasa. Belakangan aku menduga, pemikiran yang diambil bapak beberapa tahun silam untuk memiliki rumah di Palembang kemungkinan untuk memuluskan rencananya, yaitu untuk 4
beristri lagi. Terlepas dari itu semua, aku tetap mengucapkan rasa terimakasih banyak dan menghaturkan rasa hormat setinggi-tingginya kepada bapak karena idenya merupakan papan acuan awal dan merupakan lembaran baru untuk keluarga kami selanjutnya. Jikalau tidak maka kami akan menjadi petani selamanya dan tinggal di dusun yang terisolir, dinggin, minim hiburan, transportasi yang sulit dan tanpa mengenyam pendidikan yang tinggi. Anak Badung Masa kecil ku dipenuhi cerita yang menyenangkan, seperti halnya cerita-cerita anak pada umumnya, walaupun sedikit pahit. Dimulai dari mandi hujan jika hujan turun dengan lebat, menangkap ikan kopi-kopi digot, main bola kaki dikubangan lumpur, main masak-masakan, main selodor, main benteng-bentengan hingga main petasan jika Ramadhan tiba. Apa-apa yang terkait dengan dunia anak-anak, tak satupun yang luput dari masa kecil ku yang penuh dengan pertualangan kosong. Di rumah, mamak membuka toko kelontongan atau toko manisan dalam bahasa Pelembang, yang lumayan besar pada saat itu. Hampir semua jenis kebutuhan sehari-hari ada di toko mamak dan sampat menjadi agen minyak tanah satusatunya di perumahan dimana tempat kami tinggal. Masa itu, kalau masalah makanan kami tidak kekurangan. Dengan toko yang sebesar itu, tentunya sulit bagi mamak untuk mengawasi semuanya. Mamak berjualan kelontongan dengan mengharap untung akan tetapi anak-anaknya malah mencuri jajanan dan terkadang uang dalam laci. Kami sering jalanjalan ke tempat mainan anak-anak bersama-sama dengan kakak-kakak ku dengan mengunakan uang hasil mencungkil laci uang mamak tentunya. Pernah suatu hari, kami jalan-jalan ke pasar dan melihat indahnya sungai musi diatas landmark kota Palembang apa lagi kalau bukan Jembatan Ampera atau dengan nama lain Jembatan Musi. Sepulangnya dari sana, kami kembali kerumah. Tiba dirumah aku yang kekenyangan karena habis jajan di luar, tak tahan lagi ingin buang air besar. Ku lepaskan celana ku, dan langsung masuk WC. Naasnya, aku melepaskan celana ku diluar WC dan kebetulan mamak lewat dan memunggut celana ku, tak sengaja mamak merogoh kantong celana dan mendapatkan sejumlah uang. Selepas itu mamak langsung mengintrogasi aku dan akhirnya terseret semua pelaku pencurian. Mamak sudah sering memergoki kami mencuri uang atau jajanan dan mamak pun-sering memberi kami hukuman, ya....namanya juga kenakalan anak-anak mamak pun memaklumi. Ada lagi hal yang tak pernah kulupakan hingga sekarang yakni ketika aku mencuri chiki (makanan ringan) diwarung mamak. Dikala itu aku berpikir dimanakah tempat yang paling aman agar aku dapat menyantap barang curian tersebut tanpa diketahui mamak, karena tempat-tempat biasanya aku bersembunyi sudah diketahui semua. Dan akhinya ku putuskan untuk memanjat lonteng rumah dan ternyata tanpa sadar disaksikan oleh anak laki-laki kecil yang umurnya sekitar 3 tahun, ia merupakan anak dari orang yang mendiami salah satu kamar kos-kosan yang kami sewakan. Setelah berada diatas loteng setelah bersusah payah menaiki dinding, setiba diatas dengan keringat yang masih mengalir deras, aku pun menyantap makanan ringan itu sembil memandang langit yang teduh sore itu. Sangking nikmatnya makan chiki dan hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa tubuh ku, membuat diri ku gak sadar ternyata sedari tadi mamak mamanggil dan mencari ku. Setelah mengitari rumah dan tak mendapatkan diri ku baik didepan maupun dibelakang rumah, akhirnya anak kecil itu menunjukan jarinya keatas loteng dimana tempat persembunyian ku. Mamak pada awalnya gak mengerti maksud dari anak tersebut namun setelah mengikuti arah tangan anak itu, mamak melihat sesosok kaki yang terlihat dari bawah yang lain tak bukan kaki ku sendiri yang menjuntai kebawah. “Hey!..ngapain kamu diatas!,”teriak mamak. Mendengar itu, aku pun terkejut dan langsung parnok dan lalu kemudian berkata “mintak maaf mak, aku 5
tidak maling chiki!”. Mamak yang pada awanya hanya menanyakan kenapa aku berada diatas lonteng, akhirnya tahu kalau aku sedang makan chiki curian diatas loteng karena sikap ku yang penuh kepanikan. “Turun!,”teriak mamak lagi, lalu kemudian mamak mengambil selang yang keras dan disebatkan alias dicambukannya selang itu kearah ku. Tak pelak cambukan ala mamak mengenai ujung kaki ku yang kemudian membuat ku menangis karena sakit dan ketakutan atas kesalahan yang telah ku perbuat. “Apesssssssss!, tak pikir sudah aman. Sudah capek-capek naik keatas loteng, ehh..masih ketahuan juga. Dasar sial!,”gumam ku dalam hati, setelah mendapatkan wejangan dari mamak. Mengencingi Sungai Musi dari atas Jemabatan Ampera Bersama kakak-kakak ku, kami sering bermain rumah-rumahan diatas pohon Belimbing yang besar nan tinggi. Kami mamanjat dan bermain diatasnya tanpa memperdulikan bahaya yang akan terjadi jika terjatuh dari pohon yang lebih dulu lahir kedunia dari pada aku. kami sering menghabiskan waktu bermain-mian dipohon itu dikarnakan selain pohonnya rimbun, juga sangat gampang untuk dinaiki. Terkait mengenai pohon yang sering kami naiki tersebut, tingginya melebihi ketinggian rumah 2 lantai, jadi diatas ketinggian pohon tersebut kami bisa melihat puncak tower Jembatan Musi dari jauh. Mungkin karena sering melihat dari kejauhan membuat kami penasaran seperti apa bentuk sebenarnya jembatan itu jika dilihat dari dekat, sehingga kemudian entah siapa yang mulai dan memiliki ide untuk melihat jembatan tersebut dengan mata telanjang. Lalu, kami pergi menuju ke landmark kota Palembang, apalagi kalau bukan Jembatan Musi/Ampera, sebuah jembatan gerak yang mulai dibangun pada bulan April 1962, didanai dari dana rampasan perang jepang. Semula, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter, dinamai jembatan Bung Karno. Landmark kota Pelembang ini pernah direnovasi pada tahun 1981, berketepatan dengan tahun kelahiran ku, dengan dana sekitar Rp 850 juta. Bersama bekal dikantong (uang), kemudian kami naik angkot dari rumah menuju jembatan Ampera dan tak sabar untuk segera melihat Sungai Musi dari atas jembatan. Sesampainnya disana, kami semua menjadi takjub setelah melihat bangunan bersejarah peningalan penjajah Jepang yang katanya dahulu ditenggah-tenggahnya dapat diangkat keatas. “wah..ini ya jembatan Ampera itu, sangat menakjubkan walaupun kurang dirawat,”sebut ku dalam hati. Sambil berjalan menelusuri Jembatan Ampera, kami bisa memandangi Sungai Musi dari atas jembatan yang menjadi kebanggaan kota Palembang. Dibawah sana, banyak aktivitas kapal tongkang yang sedang bongkar muat barang, juga jasa perahu ketek (perahu ketek=perahu kecil untuk penyeberangan dari Hulu dan Hilir) dan ada juga para nelayan sungai yang sibuk meramaikan perairan Sungai Musi dengan melempar jaring-jaring rezekinya dengan sejuta nikmat yang Allah berikan terdapat disepanjang sungai Musi baik dipermuakan maupun dikedalaman air. Diatas jembatan itu, tiba-tiba aku pingin buang air kecil “kakak aku mau buang air kecil,” ucap ku merengek. Melihat muka ku sudah seperti orang yang mau melahirkan, kakak ku pun menyuruh kencing (buang air) diatas jembatan Musi dan moncongnya diarahkan kebawah alias langsung dibuang kesungai dari atas jembatan “udah kamu kencing dari atas jembatan ini saja”. Tanpa berpikir lama, aku pun membuka celana dan mengencingi Sungai Musi dari atas jembatan Ampera. “serrrr...serrrr, ehhh..legahhhh,”ucap ku puas. Tak lama kemudian, terdengar ada suara orang yang berteriak dari bawah “oiiii!!!!, anak kurang ajar! apa yang kau lakukan diatas sana!,” teriak nelayan sungai sambil mengusap mukanya yang terkena air kecing ku. “wah...gawat! kecing mu mengenai nelayan itu, cepat lari,”ujar kakak ku, menyelamatkan diri. Setelah berlari cukup jauh dan telah merasa aman, kakak ku mengatakan “kenapa kamu kencing gak lihat-lihat”. “Gima mau lihat, waktu aku kencing aku gak berani membuaka mata, karena
6
aku takut akan ketingian jadi main kencing aja tanpa melihat kira-kira ada orang atau tidak dibawah sana,”jawab ku innocent.
Tukang pajak dan pengemar jempol Semasa kecil juga aku juga sering membuat mamak ku malu karena ulah ku yang sering meminta uang terhadap siapa saja yang datang kerumah. Entah itu keluarga jauh yang main kerumah ataupun tetanga sekitar yang sekedar mampir. Sifat jelek ku itu sekarang menurun kesalah satu keponakan, tapi aksinnya lebih cerdik dan cangih dari pada aku, walau tak berlangsung lama. Setiap ada orang yang datang kerumah langsung ku pajaki dengan menadahkan tanggan kepada mereka. Jujur dikala itu, aku masih kecil jadi gak tahu apa-apa, tapi memori ku tetap ingat dengan kejadian yang mengelikan itu. “mintak duit,”kata ku seraya menadahkan tangan kepada tamu yang datang. Dalam mengatasi hal itu, biasanya mamak langsung mendekati ku dan kemudian tangannya menyelip disekitar badan belakang ku dan menyubit sekeras-kerasnya dengan mimik wajah tetap tersenyum kepada tamu yang datang. Terhadap cubitan yang keras itu, walau sakit aku tetap saja terus mintak uang ke tamu yang berkunjung. Sesudahnya, setelah tamu beranjak dari rumah, tak jarang mamak memarahi ku dan memberikan cubitan tambahan sebagai bonus. Dalam melakukan aksi itu, terkadang membuahkan hasil dan terkadang juga tidak tentunya dengan resiko mendapatkan cubitan yang menyakitkan, hahahaha. “kamu ini bikin malu mamak saja, nanti dikira mereka seakan-akan ku gak kasih kamu makan. Jangan lagi kamu lakukan itu, mengerti!,”pinta mamak seraya menasehatiku yang sesekali diwarnai cubitan-cibutan kekesalan. Pernah sangking parahnya, suatu ketika ada mamang tukang somai yang berteduh sejenak di rumah karena hujan turun lebat. Mengetahui diluar sana hujan turun, tentunya naluri anak-anak terpanggil untuk ingin bermian hujan. Nah.....ketika hendak main hujan, diluar rumah ku dapatkan ada mamang somai yang sedang bertuduh di perkarangan rumah kami. Melihat kesempatan itu, langsung saja mamang somai tersebut ku mintai uang dengan megatakan “mintak duit” bak preman yang majak pedagang. Terhadap kelakuan ku, tukang jual somai pun hanya bisa tersenyum dan aku balas dengan tanggan yang tetap menadah. Kelakuan itu diketahui ayuk dan kemudian lansung dilaporkan ke mamak “mak...lihat mak Akbar masih minta-minta ke orang!,”teriak ayuk melapor ke mamak. Senjutnya, iya..tahu sendirilah seperti apa?. Setelah aku ditarik masuk kedalam rumah oleh mamak, tak lupa ayuk menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan tidak menyengkan itu kepada si penjual somai “mang maaf ya, atas perbuatan adik ku tadi” mamang somai hanya tersenyum gak keenakan lalu pergi melajutkan perjalanannya untuk mengais rezeki ditengah-tengah hujan yang terus mendera. Insting kekanak-kanakan ku lah menuntun ku seperti itu, sama halnya aku mengedot/mengemut jari jempol tangan ku sendiri yang ku lakukan hingga sampai kelas 5 SD. Kebiasaan buruk ku satu ini mendapatkan perlawanan sangat sengit oleh bapak yang kesal melihat ulah ku seperti anak idiot yang selalu ngemutngemut jempol sendir hingga jempol ku terlihat lebih putih sendiri ketimbang jari-jari yang lain. Dimarah bekali-kali agar jangan mengemut jempol, aku pun tak memperdulikan ancaman itu dan terus melakukan aksi mengemut jempol. Aksi mengemut jempol kebanyakan ku lakukan dirumah jika disekolah maka aku melakukan aksi itu secara sembunyi-sembunyi. Karena kekesalan bapak udah memuncak, setelah diperingati dan dimarahi tak kunjung berubah. Akhirnya bapak mengikat jari jempol ku dengan sobekan kain yang telah direndam minyak tanah terlebih dahulu dan lalu jari jempol ku dililit dengan kain yang sudah berlumur minyak tanah yang diperkuat dengan tali plastik. Mendapatkan perlakukan itu, tentunya aku tak terima namun tak bisa berbuat banyak. Pada saat itu yang ku lakukan hanya bisa menangis karena hal yang ku senangi telah dibajak oleh bapak. 7
Setelah terikat rapi, kemudian aku lari masuk ke kamar mandi selanjutnya ku lepaskan ikatan tersebut dangan susah payah. Setelah terlepas, jempol ku cuci dengan sabun mandi lalu ku siram dengan air berkali-kali sampai terasa benar-benar bersih dari bau minyak tanah. Yakin jempol ku sudah terlepas dari aromah minyak tanah, kontan saja jempol ku masukan ke mulut dan langsung ku emut-emut walau rasanya sudah agak sedikit berbeda. Melihat itu, bapak, mamak dan kakak ku tertawa terbahak-bahak dan aku pun tak memperdulikan mereka, terus saja mengemut jempol sambil sesekali melihat kearah mereka yang sedang menertawai ku. Lambat laun seiring dengan berubahnya waktu yang diiringi dengan perubahan tubuh ku, sedikit demi sedikit aku tinggalkan kebiasaan buruk itu karena merasa malu dengan teman-teman. “Masak sudah kelas 5 SD masih saja ngemut jempol, malu donk sama cewek!,”ejek ku dalam hati dan kesenangan itu pun ku tinggalkan untuk selama-lamanya. Sengatan Lebah dan Bongkol Jika melihat Lebah aku sering parnok sendiri, apalagi jika mendengar suaranya yang mendengung di telinga persisi seperti pesawat tempur yang sedang latihan terbang. sikap ku itu disebabkan karena aku memiliki historis tersendiri dengan mahluk kecil yang beraninya main keroyokan. Entah apa salah dan dosa ku dikala itu, sehingga mereka berani menghujani tubuh ku dengan tembakan-tembakan pesawat perang dunia ke-2 yang meyerang secara bertubi-tubi sehingga aku dibuatnya terguling-guling persis seperti orang yang kebakaran dan yang bisa kulakukan hanya teriak mintak tolong tanpa bisa berbuat apa-apa, skak mat! aku kalah telak. Persitiwa itu terjadi sekitar 24 tahun silam dimana postur tubuh ku masih sangat imut dengan paras sawo kematangan karena sering main terus tanpa mengenal lelah, ya....begitulah anak kecil. Hari dimana hari naas bagi ku saat itu, terjadi sekitar menjelang sore hari namun matahari masih tampak terik dan awan pun masih melebarkan sayapnya terbang kesana kemari. Aku pun pulang kerumah sehabis main seharian dan ketika mau sampai menuju rumah, tinggal melewati 1 rumah lagi yakni rumah tetangga kami yang begitu tak bersahabat dengan kami tanpa alasan yang jelas. Terlihat diatas rumahnya terdapat ribuan lebah yang mengatung bak kantong pelastik berwarna hitam besar yang mejulur kebawah. Melihat itu, aku pun menjadi ketakutan dan berusaha menghindar dengan cara menjauh. Maka aku pun berjalan dengan mengendap-endap dipinggir sebelah kanan jalan karena rumahnya sendiri berada sebelah kiri jalan. “mak...banyak sekali lebahnya!, ngapain juga sih lebahnya mau bersarang disitu kayak agak ada pohon lagi dibumi ini,”racau ku dalam hati terhadap lebah datangan tersebut. Sambil berjalan pelan-pelan dan sangat hatihati aku tetap berjalan dengan sorot mata yang tek lepas dari grombolan yang beraninya hanya main keroyokan. Karena sorot mata ku yang terus focus terhadap grombolan lebah itu, aku tidak begitu memeperhatikan kaki ku kemana ia melangkah dan tiba-tiba kaki ku tersandung batu bata bekas menganjal mobil yang biasa parkir disitu “bletakkk, aduhhh!,” teriak ku pelan dan itu kontan saja membuat ku terkejut lalu langkah ku sedikit terjengkal. Hanya meleng sedikit saja untuk melihat apakah gerangan yang membuat langkah ku terhenti dan lalu kemudian ketika mata ini melihat kembali kearah pasukan berani mati itu, tiba-tiba para lebah sudah ada mengeliligi dan lansung memberikan suntikan-suntikan yang aku tak tahu lagi berapa jarum suntik alami yang menepel dibadan ku dengan dosis tingkat tinggi yang bisa mematikan. “ennggnngg...cup...ennngg...cup...enggg!,”bunyi suara lebah yang menyelimuti tubuh kecil ku itu. Mendapatkan serangan yang bertubi-tubi tanpa peringatan terlebih dahulu, aku menjadi panik dan hanya berteriak mintak tolong seraya berlari-lari tanpa melihat lagi. Ehhh.....ketika berlari, aku malah jatuh karena tersandung batu yang sama dan kali ini membuat badan ku tersungkur mencium bumi. Sangking histerisnya atas serangan brutal yang tak seimbang itu, aku terus teriak mintak tolong dan berguling-guling seperti orang kepanasan karena terbakar api. 8
“tolong..tolang..tolong!,”teriak ku terus sambil berguling-guling bak cacing kepanasan. Tak lama setelah itu, pemilik rumah keluar dan melihat siapakah gerangan yang mintak tolong. Mendapatkan aku yang sedang berguling-guling diatas aspal yang panas, ia sempat mengusir gerombolan lebah dari dalam rumah. Entah karena diusir si pemilik rumah atau mungkin gerombolan lebah tersebut telah puas memperkosa ku, dan kemudian lebah itu pergi kembali ke sarangnya meninggalkan aku yang tergeletak sendirian. Mendapatkan kesempatan itu, dengan sisa-sisa tenaga yang ku miliki aku langsung berlari masuk kerumah sambil menangis-nagis. “mak..enghemmm...mak...enghemmm!,”tangis ku seraya memanggil mamak Mamak pun terkejut mendapatkan aku lagi menangis dan berkata “kamu berkelahi dengan siapa, nak!”. “Aku disengat lebah, mak!,” jawab ku dengan tangis tersengal-sengal. Mendengar jawaban ku, mamak langsung membuka baju yang ku kenakan dan kemudian memeriksa bandan ku dan ternyata banyak terdapat duri-duri sengatan lebah yang menempel ditubuh kecil itu. Sekujur tubuh ku panas, perih dan ngilu semua akibat serangan tak berimbang tersebut. Sambil terus menangis, mamak mulai mencabut jarum yang tersisa ditubuh ku satu persatu dan aku pun mejerit kesakitan diiringi air mata ketakutan “sakit...mak!,”teriak ku histeris. Melihat reaksi ku yang tak sendang bercanda, mamak pergi kedapur sejenak untuk mengambil seswatu “kamu duduk aja disini, mamak kedapur sebentar!,”ujar mamak sambil berjalan tergesah-gesah. Aku pun hanya ngangukan kepala dan terus menangis karena tak kuasa menahan perih yang ku alami dan berkata dalam hati “mungkin mamak ingin membuat obat untuk ku, cepat mak jangan lama-lama!”. Benar saja, mamak dengan cekatan menghampiri ku seraya menyodorkan Bongkol (makanan yang terbuat dari ketan yang digulung lalu dibungkus daun kelapa) lalu kemudian bongkol tersebut langsung ku buka lalu ku makan, sedangkan mamak lansung mencabuti duri sengatan lebah tersebut satu-persatu dibadan ku. “ehmm..yam2x..ehmm..yam2x,”tangis ku sambil mengunya Bongkol. Anehnya saat makan Bongkol, perih yang kurasakan sedikit berkurang walau hanya untuk semantara waktu atau mungkin karena aku menjerit terus sehingga membuat perut ku menjadi lapar dan ketika makan, aku mendapatkan energi ku kembali sehingga dapat menahan rasa sakit yang teramat sangat, masak sih? Setelah aku bisa menguasai diri ku kembali yang berketepatan dengan habisnya Bongkol ditangan dan jarum-jarum kecil sudah tercabut semua, aku pun berdiri dengan tubuh yang sangat lemah kerena diperkosa habis-habisan oleh para lebah. Kemudian mamak menyuruh ku untuk mandi “sudah mandi sana, biar cepat sembuh” lalu akupun berjalan menuju kamar mandi untuk menguyur tubuh ini dengan air segar agar tubuh ini segar kembali dengan langkah yang masih lemah melayang-layang sambil mengeret baju. Masuk kamar mandi “byur...byur..byur”bunyi air yang asyik bermain ditubuh ku yang sesekali diiringi rasa nyeri bekas sengatan lebah. Selepas mandi, aku pun ganti pakian dikamar. Dikamar yang terdapat kaca besar yang menempel dilemari baju, ku perhatikan dicerimin seluruh tubuh ku hampir dipenuhi bentol-bentol bak bisul yang siap meletus. Mulai di badan, paha, kaki dan yang paling parah adalah diwajah ku. Lebih kurang 1 minggu, bengkak-bengkak tersebut menemani ku dangan sisa-sisa perih yang masih tertinggal. Nah..teman, semenjak kejadian dihari yang naas itu, aku suka parnok dan takut (phobia) jika melihat lebah atau sejenisnya, walau hanya satu lebah yang sedang terbang yang seakan sedang berpatroli untuk mencari seswatu untuk dimakan. Dan percaya atau tidak kawan, disaat aku telah selesai menulis cerita bab ini, masuklah seeokor lebah yang cukup besar dari ukuran yang biasa ku lihat sebelumnya ke kamar kos ku. Aku pun hanya diam tak memberikan reaksi apapun agar ia tak terkejut dan merasa terancam lalu kemudian menyerang ku lagi, dan akhirnya lebah itu pun pergi meninggalkan kamar kos ku yang pintunya sengaja ku buka, selamat aku bisa!. Pelan-pelan suaranya #$#?^%#*#!
9
Pada zaman aku kecil dahulu, pendididkan agama sangatlah penting. Anak-anak harus bisa sholat dan ngaji. Selain mengapatkan pelajaran di sekolah, kami juga belajar ngaji di masjid yang tak jauh dari tempat aku tinggal. Disana biasanya terdapat beberapa ustad dan ustazah yang dengan sukarela dan iklas menjagar ngaji. Di masjid itu kami berlajar ngaji tanpa dikenakan biaya sepeserpun dan ngajinya pakai kitab yang disebut turutan bukan iqro seperti sekarang ini. Bersama teman-teman satu komplek, aku masuk ngaji. Setiba di masjid, aku dan yang lain mulai membanca Al-qur‟an yang sebelumnya telah membaca do‟a terlebih dahulu sebagai pembuka. Satu-persatu teman ku membaca Al-qur‟an, semantara aku hanya diam tak membaca apa-apa. Didepan ku terdapat kita suci dan aku tak tahu cara membacanya jadi aku cuma bisa diam dan terpaku binggung. Setelah ustadzah membantu muridnya satu persatu, tibalah giliran ku dan ustadzah berkata “kenapa kamu gak mulai mambaca Al-qur‟an?,”tanya nya. Mendapat petanyaan itu, keringat ku seketika terbentuk bak awan hitam yang terbentuk mengumpal pertanda bahwa hujan akan tiba dan perlahanlahan membanjiri jidad ku. Setelah ditanya oleh ustazah dan aku tak bisa menjawab dan hanya bisa menunjukan kepanikan, untunglah teman ku menjelaskan pada ustazah kalau aku merupakan murid baru dan belum bisa membaca Al-qur‟an. Setelah mengetahui kebenarannya, si ustazah yang cantik itu langsung membimbing ku dan mengajari ku dengan sabar walau tak berlansung lama. Walau tak berlangsung lama maksudnya, aku malu ngaji di masjid karena cuma aku yang baca turutan dan sementara yang lain sudah membaca Al-qur‟an semua, jadi ku putuskan untuk berhenti. Nah...disaat aku sudah tak lagi ngaji lagi di masjid, di rumah ada wanita yang ngekos dirumah dan pandai mengaji. Karena sudah merasa dekat, aku pun merasa tak malu untuk belajar dengan nya dan begitupun dia. Aku diajari ngaji dari yang paling dasar yaitu Alif, Ba, Ta...dst. Melihat aku tak ada kemajuan dalam belajar membaca huruh arab, ia tetap tekun dan sabar mengajari dan membimbing ku. “Ayo sekarang ikuti ayuk, Alif, Ba, Ta,” sebutnya seraya meminta ku mengikuti suaranya. “Alif, Ba, Ta,”sebut ku sambil mengikuti suara nya. “Sekarang sekali lagi, Alif, Ba, Ta,”pinta nya lagi dan akupun mengikuti persis seperti apa yang diucapkannya. Karena aku mengucapkannya dengan suara yang kecil, ia meminta ku untuk mengeraskan suara biar terdengar jelas “keres-keras suaranya,” ujarnya. “keras-keras suaranya,”aku mengulangi apa yang dikatakannya. Mendapatkan keluguan ku itu ia langsung tertawa terbahak-bahak “hik..hik..hiikk! hei, ayuk mintak kamu mengeraskan suara mu bukan mengikuti terus apa yang ayuk omongkan,”terangnya sembil tertawa puas. Nampak betul kebodohan ku itu dan karena keluguan ku sendiri aku jadi malu dan akhirnya ikut juga tertawa. Kayaknya mamang aku gak ada bakat untuk jadi ustad, persis seperti theory nativism. Lembaran lama Ditahun-tahun yang sama dikala kopi belum panen, bapak memiliki perkerjaan menarik angkot dalam kota, milik sendiri. Setiap kali pulang dari narik angkot, kami disuruh mencuci mobil beramai-ramai. Setelah selesai, kami pun berdiri berbaris untuk meminta upah karena telah membantu mencuci mobil dan bapak pun dengan senang hati memberi kami uang Rp 150 per orang. Dasar masih anak-anak, kami sering mencuri uang bapak didalam mobil dengan cara mencongkel jendela kaca mobil depan dengan mengunakan besi tipis nan panjang. Semua kami lakukan tanpa berpikir bertapa susahnya orangtua kami mencari uang. Yang ada dalam benak kami pada saat itu hanya untuk bisa jajan, jajan dan jajan makanan diluar, walaupun sebenarnya dirumah sendiri lumayan ada banyak makanan. Lambat laun toko mamak pun ditutup karena bangkrut. Penyebabnya tak lain tak bukan karena kami sering mencuri jajanan, selain itu juga bapak sering mengunakan uang toko untuk keperluan nya dalam mencari harta karun dan mencari ilmu kesaktian yang hingga sekarang tak kunjung terbukti dan kemudian juga diperparah oleh hutang-hutang tetangga yang jumlahnya kalau 10
ditotalkan lumayan besar sehingga mamak nyerah dan memutuskan untuk menutup tokonya. Berat memang bagi mamak untuk berdiri dan bertarung sendirian. (“Maafkan kami mak, kami sewaktu kecil tak tahu apa-apa. Yang ada hanya untuk berladas-ladas sehingga membuat toko mamak bangkrut. Aku anak mu, berusaha sepenuh tenaga untuk membahagiankan mu, walau tak sepadan dengan apa yang telah kau berikan kepada kami, sekali lagi mohan maaf yang sebesar-besarnya, dan yang pasti kami semua cinta mamak”) Dahulu, dibelakang rumah ada pohon Nangka yang besar dan berbuah tanpa mengenal musim. Sangking lebatnya, terkadang Nangka tersebut jatuh sendiri dari tangkainya karena sudah kelewat matang tanpa kami ketahui. Pohon Nangka itu, sangat akrab dengan kami. Daunnya yang ribun dan bantangnya yang gampang dinaiki, membuat kami sering main di bawahnya. Terkadang main ayunan yang dibuat dari seutas tali dan terkadang juga kami bermain petak-umpet, setelah kakak-kakak ku pulang dari sekolah tentunya. Selain pohon nangka yang menemani pertumbuhan kami, terdapat juga pohon Melinjo yang berdiri kokoh dibelakang rumah. Pohon Melinjo itu, baik buah dan daunnya mamancar keluar dari bantangnya dengan lebat. Bersama kakak-kakak ku, kami sering memetik buah dan daun Melinjo lalu kemudian kami jual ke pasar pagi. “Melinjo-Melinjo,”teriak salah satu kakak ku menawarkan bawaannya di pasar pagi yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Tak lama menjajakkan dagangan, Melinjo pun diminati dan hasilnya sangat memuaskan, setelah dibungkus rapih-rapih, semuanya habis terjual. Sementara uangnya, kembali lagi kami beli jajanan, gak ada yang disimpan atau ditabung, ya...namanya juga masih anak-anak maunya jajan terussssssss!!!!. Mahluk yang lemah Selain pohon Nangka dan Melinjo yang pernah menjadi saksi pertubuhan kami dikala itu, dibelakang rumah terdapat kubangan comberan yang airnya hitam pekat yang mengeluarkan aroma yang khas. Kubangan kecil yang dikelilingi pagar bambu itu, sengaja dibuat oleh bapak ku untuk ternak bebek. Nah...disinilah aku sering bermain-main mengejar bebek, sangking asyiknya tanpa sadar pakaian ku kotor semua. Ya..namanya juga masih anak-anak, jadi tak tahu arti jorok yang ia tahu hanyalah bermain, bermain dan bermain. Suatu ketika dipinggir kubangan itu, aku menemukan seekor cacing tanah yang sedang mengeliat dengan luka disekujur tubuh. Terlihat seakan-akan ia sangat menderita dan kesusahan untuk berjalan menuju arah yang tak jelas, sebentar kekanan dan sebentar berbalik arah menuju arah lain. Aku pun duduk dipingir kubangan itu dan terus menperhatikan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini. Walaupun masih kecil, aku tahu kalau bebek gemar makan cacing. Jika mereka (bebek) melihat cacing dikubangan tersebut, babek langsung berlomba dan berebut untuk memangsanya dangan megeluarkan suara yang berisik “kwek..kwek...kwek!” Berada dikubangan kecil itu terhadapat banyak bebek yang kelaparan dan bertubuh sangat besar ketimbang tubuh cacing tersebut, dengan tubuh yang lemah ia terus mencoba untuk pergi dan menghilang dengan cara menbenamkan tubuhnya untuk menyelamatkan diri. Tapi nasnya, meski ia berusaha keras untuk menyelamatkan diri dengan berjuang sekuat tenaga tanpa kata menyerah, akhirnya cacing itu pun menjadi santapan lezat para bebek. “cep....cep....cep...cept!” suara mulut bebek yang berisik, ketika memakan cacing dengan menjulurkan kepala ke kubangan. Menyaksikan hal itu, sejenak aku berpikir kalau cacing itu adalah mahluk yang sangat lemah yang pernah ada dimuka bumi ini. Mahluk berlendir yang menjijikan yang bergerak sangat lamban tanpa ada senjata rahasia untuk pertahanan terakhir. “Dasar mahluk yang lemah!” gumam ku dalam hati seraya menanyakan, kenapa cacing itu lemah? Setelah hari itu, hari demi hari terus ku lewati selayaknya anakanak kabanyakan.
11
Si Roy Bule Tahun 1988 aku masuk sekolah dasar disalah satu SD N di Palembang, saat itu usia ku 6th. Didalam kelas aku termasuk orang yang cengeng, penakut dan sangat tidak berprestasi. Dimasa SD banyak kenangan yang masih segar dalam ingatan ku yang mulai buruk. Pagi itu, setelah belajar pada jam pertama kami pun istirahat dan biasanya anak-anak pada main, akan tetapi disaat aku ingin gabung mereka tidak mau mengajak ku main “Akbar kami gak mau main sama kamu, cari teman lain aja,” ujar salah satu teman yang tak suka dengan aku tampa alasan yang jelas. Selain itu, ada seorang anak yang barnama Roy (si Roy kecil, yang punya paras persis seperti orang bule) suka berkelahi. Dia adalah anak pindahan dari sekolah lain. Sementara aku anak yang pengecut dan cengeng walaupun berbadan agak besar untuk anak seumuran ku dengan wajah lelaki sejati. Aku pernah berkelahi dengannya walaupun dalam pertarungan aku yang menang tapi anehnya aku malah yang menagis karena ketakutan. Melihat itu si Roy pun menjadi aneh dan berujar kepada ku setalah perkelahian selesai “aku yang sering kena pukul, ehhh......malah kau yang nangis....heeemm...aneh!!!!. Semenjak hari itu, aku pun takut untuk masuk sekolah lagi. Tapi aku harus tetap pergi sekolah karena dirumah ternyata lebih menakutkan dari pada si Roy yang setiap kali ketemu dan melihat wajahnya memaksa diri ku untuk menelan ludah ketakutan. Syukurlah, si Roy akhirnya pindah sekolah ke SD lain dan hari itu aku merasakan kebebasan yang murni “ merdeka,” teriak ku laga seraya menghirup udara segar sebanyak-banyaknya di kelas. Sejenak aku teringat terhadap peristiwa cacing lamah yang tak bisa mempertahankan dirinya, dan sejenak aku pun meras seperti cacing yang lemah itu, yang tidak memiliki kelebihan dan keberanian untuk melawan. “Dasar mahluk yang lemah!,” ucap ku dalam hati, tapi kali ini ucapan itu ditujukan untuk diri ku sendiri. Seperti geng kecil, pertarungan satu lawan satu. Haris namanya, anak SD yang jarak sekolahnya tidak jauh dengan sekaloh ku. Suatu ketika, ia berkelahi dengan teman sekelasnya. Pada saat berkelahi ia kalah jumlah kerena dikeroyok oleh lawannya yang lain. Atas kejadian itu Haris menemui kerabatnya yang kebetulan satu kelas dengan ku. Seseorang yang membuat ku iri karena ia duduk sebangku dengan wanita yang ku sukai, ialah Ramdan. Bertemulah mereka dan Haris pun mulai bercerita kalau ia dikeroyok oleh teman kelasnya dan kemudian mintak bantuan ke Ramdan. Aku pun yang tak tahu-menahu tiba-tiba saja aku terlibat dalam permasalahannya, hal itu terjadi karena rasa keinggin tahuan ku terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Dengan niatan hanya untuk nonton pertunjukan pertarungan balasan antar Haris dan musuhnya, setelah pulang sekolah, mereka secara beramai-ramai menuju lampangan terbuka. Namun sebelum menuju lapangan terbuka sempat beberapa kali ditenggah perjalanan perkelahian terjadi dan tak terelakan. Dalam pertarungan harga diri itu, ada salah satu dari mereka (pihak musuh) membawa obeng yang akan dipakai sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan. Luar bias saat itu, adernalin ku mengalir dengan deras karena saat itu akulah yang ditantang berkelahi oleh anak yang memabawa obang “hey.. kamu lawan aku, kita satu lawan satu,”tentangnya pada ku yang pada saat itu, padahal aku hanya melihat saja. Tehadap tantangan itu, karena disaksikan oleh orang banyak akupun tak mungkin berlari dari tantangan bagi pria sejati. Tantangan tersebut lalu ku sambut dengan ½ hati dan kemuadian aku berkelahi dengannya. Sebelum berkelahi dengan nya aku menyambut tantangan itu dengan sayarat tidak mengunakan senjata tajam, satu lawan satu dengan tangan kosong. Lo jual gua beli, akhirnya perkelahian itupun dimulai. Bukk,...Parrr,...Dukkk! kami pun saling beradu dan mengeluarkan jurus andalan masing-masing. Ia mengeluarkan jurus tekwondo sementara aku mengeluarkan jurus tangan 12
agin puyuh alias sembarang pukul dan sekenanya saja. Saat sedang berkelahi di atas ring aspal yang panas kerena terik Matahari dengan tenaga yang lemas karena lapar belum makan siang, kami pun dipisahkan oleh bapak-bapak yang kebetulan lewat dijalan itu. Aku pun berpikir untung ada bapak ini yang perduli kalau tidak aku gak tahu apa yang terjadi. “perasaan Ramdan yang seharusnya berkelahi, kok malah aku sih,” tanya ku dalam hati atas keterlibatan ku yang semestinya Ramdan lah yang terlibat, kerena Ramdan adalah kerabat dari Haris. Perkelahian itu ternyata tak selesai disitu. Setelah terusik oleh bapak-bapak yang lewat, kami pun menuju ketempat lapangan terbuka yang terbebas dari ganguan. Sesampainya disana, pertarungan yang adil seperti geng kecil alias satu lawan satu dimulai kembali. Pertama Haris berkelahi dengan musuhnya, perkelahian itu dimenangkan oleh Haris. Kemudian berikutnya aku ditantang lagi oleh anak yang lain. Kepalang basah ya... mandi sekalian dan akhirnyapun aku berkelahi lagi. Padahal kondisiku pada saat tidak fit kerena masih demam dan pekelahian berakhir dengan seri. Sampai akhir perkelahian, Ramdan hanya menonton saja malahan tidak sama sekali ditantang atau menantang untuk berkelahi, heemmmm.....capek deh! Esoknya setelah perkelahian selesai, belakangan aku tahu kalau mereka salah alamat, tapi bukan alamat palsunya Ayu Ting-Ting yang kesanakemari membawa alamat, teaeat2x! Mereka pikir aku teman Haris, ahh....sial, apes wajar saja kok aku terus ditantang bekelahi. Niatan hanya nonton orang berkelahi, eehhh..malahan ditonton orang kerena berkelahi. Semenjak kejadian itu aku belajar banyak, walau aku tak tahu persis apa yang bisa ku petik pada kejadian konyol dan bodoh tersebut. Barisan pasukan Merah Putih dan sepatu rapuh Setiap kali bangun pagi dan ingin pergi kesekolah, rumah selalu ramai seperti pasar kaget. Berangkat sekolah dengan penuh semangat, tepat pada hari Senin, seperti biasa sekolah kami pun mengelar upacara bendera. Nahh....teman, terkait menganai upacara bendera aku punya cerita yang menbuat dengkul ku keras. Yakni pada saat upacara bendera, waktu itu aku duduk di bangku kelas 3 kalau gak salah. Aku berdiri tegak di lapangan upacara yang becek karena hujan tadi malam. Sangking beceknya saat kami bejalan dari kelas menuju lapangan upacara, langkah kami pun terasa berat kerena tanah-tanah yang menempel ditelapak sepatu layaknya serbuk besi yang melekat dimagnet. Upacara berlangsung dengan hikmat sampai akhirnya upacara selasai, pimimpin upacara mengatakan “lapor upacara selesai”, lapor pemimpin upacara. “Bubarkan,” saut kepala sekolah selaku pembina upacara saat itu.“Siap, bubarkan,” sambutnya. Selang kemudian, pemimpin upcara menginstruksikan semua pasukan merah putih dengan satu komando “upacara selesai, bubar jalan,” teriaknya lantang. Mendengar kata “bubarkan” semua pasukan merah-putih serentak menghela nafas legah dan mengibaskan topi yang dikenakan untuk menghusir penat nan gerah kerena panas sembari melangkahkan kaki menuju kelas masing-masing. Nah....pada saat itu, ketika hendak ku langkahkan kaki ini yang sudah lama menancap ketanah yang becek, tiba-tiba kudengar suara “kreeek” yang membuat ku menghentikan langkah dengan segera. Kuperhatikan ternyata telapak sepatu ku lepas, mengetahui ada yang tak beres langsung saja naluri ku berjalan dan aku pun diam berdiri tampa mengeserkan tubuh ku sedikit pun. “Akbar, kenapa kamu belum bubar dari barisan!,” teriak salah satu teman ku. “langit hari ini sangat indah, aku masih belum puas memandangnya,” jawab ku diplomatis seraya memalingkan muka dari pandangan guru yang melihat ku dari kontor sekolah. Setelah semuanya ku rasakan aman, baru kulihat sepatu baru ku yang polanya seperti sepatu orang tua, warna coklat kehitam-hitaman yang terbuat dari kulit,...... kelihatannya. Setalah ku amati dengan 13
mengerutkan kening ternyata telapak sepatu ku memang lepas. Secara spontan, aku pun melangkahkan kaki ku yang satunya, eh....kompak, habat..! telapaknya pun copot seperti gigi emak cepot yang copot. Dengan gerakan cepat, aku ambil kedua telapak sepatuku lalu berlari kencang seperti dikejar anjing dan aku berharap tidak ada teman ku yang menyaksikan insiden tersebut. Sambil berlari kencang menuju rumah, aku ingin marah dan kesal dengan mamak dan ingin bertanya padahal sepatu yang ku pakai ini masih baru dan sengaja ku pakai pada hari upacara perdana bagi sepatu ku, pembelian mamak di pasar. Setelah sampai rumah, mamak bertanya ada apa dengan mu? Kenapa kau pulang sekolah padahal belum waktunya? Sambil merajuk aku pun mengatakan “aku malu dengan teman-teman, sepatu baru yang mamak beli rusak , padahal masih baru”. mamak ku pun diam sejenak dan mengatakan “iya...nanti mamak jahit ya”. Setelah itu, belakangan baru aku tahu, kalau mamak beli sepatu di loakan. Yahh.....nasib menanjadi anak tengah memang sudah bagiannya kurang perhatian dan kasih sayang. Keesokan harinya aku ditanya oleh teman-teman dan guru kelas, kenapa selepas upacara terus pulang dan aku pun menjawab sekenanya saja “mules”. Karena ibunya aku jadi suka Kenaikan kelas dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi telah ku lalui dan akhirnya tibalah aku masuk ke kelas 6 SD. Di kelas 6 SD, tempat duduk kami diacak yakni anak perempuan dipasangkan duduk sebangku dengan anak laki-laki oleh guru wali kelas 6, yakni ibu Dewi yang memiliki perawakan besar dan montok serta memiliki anak di kelas yang sama. Itu dilakukan nya agar murid-mirid bisa belajar dengan fokus dan tidak sering bercanda pada jam belajar. Dengan pembagian pasangan tempat duduk itu membuat ku merasa iri dengan salah satu teman ku yang bernama Ramdan, dia mendapatkan pasangan sebangku dengan wanita yang ku sukai. Jangan salah taman....tubuh beleh kecil tapi hati dewasa, hhhhaaaa!. Ketika itu, aku duduk dipasangkan dengan cewek yang bernama Titin, wanita kurus, kulit pitih mulus tapi tidak rakus, namun sedikit jutek nan pencemburuan. Lia, itulah nama cewek yang ku taksir itu. Dia adalah anak guru wali kelas 4, ibu Mega namanya dan bagi ku namanya sesuai dengan hatinya karena itulah yang aku pahami selama menjadi murid nya. Ibu Mega adalah orang baik, ramah, perhatian dan sangat keibuan. Aku melihat sesosok ibu guru yang ideal yang pernah ku temui. Atas pertimbangan itulah, kenapa aku menyukai Lia. Pernah pada suatu peristiwa yang bodoh, adik ku yang duduk di kelas 3 di sekolah yang sama, dibikin nangis sama temannya. Mengetahui hal itu, spontan emosi ku pun memuncak. Aku dikala itu duduk di bangku SD kelas 5, langsung menghampiri kakak dari teman adik ku yang membuat adik ku nengis. Saat itu aku berpikir tak mungkin aku membalas ke orang yang dibawah umur dan aku tahu kalau ia (anak kecil yang gendut dan hitam yang memukul adik ku memiliki kakak di sekolah sebelah, berbeda sekolahan tapi masih dalam satu komplek alias berhadapan). Kudapati E‟et, nama akrabnya sedang asyik berbincang dengan teman sekelasnya dan nyata saja aku lansung meninju mukanya “bletakk..dukk..derrr”. E‟et yang tak tahu apa-apa jadi syok, walaupun begitu E‟et tetap melakukan perlawanan dan hasilnya hidung ku pun berdarah sedangkan Eet bibirnya pecah. Atas perkelahian bodoh itu, membuat aku dijadikan tahanan sekolah di sekolah dimana E‟et belajar yang tempatnya berhadapan langsung dengan sekolah ku alias satu komplek. Aku sudah gelap mata, sehingga aku lupa kalau E‟et merupakan taman akrab kakak ku didalam kelas, apes...s! Setelah ditahan dan di introgasi hampir 1 jam lamanya, bahkan sempat ada seorang guru olah raga yang kesal melihat ulah ku lalu kemudian menampar ku degan keras seraya mengatakan “kamu pikir kamu ini siapa, apa salah anak didik 14
saya sehingga kamu pukul!” mendengar bentakan itu aku pun hanya menundukan kepala mengunci rapat-rapat mulut karena malu dengan ulah ku yang bodoh itu dengan menahan tangis ketakutan lalu kemudian aku berkata dalam hati “aku bukanlah mahluk yang lamah, aku gak boleh nangis!” Selang kemudian, tersiarlah kabar tersebut ditelinga ibu Mega bahwa aku disetrap dan disekap di sekolahan lain. Kedatangannya bagaikan malaikat penyelamat bagi ku, karena aku sudah sangat ketakutan dan merasa seakan berada dipenjara. “Ia hanya anak kecil, jangan diperlakukan seperti ini, bukan seperti ini prilaku jiwa seorang pendidik!” hardiknya seraya membawa ku pergi keluar dari ketakutan. Hal itu membuat ku merasa lega, dan yang membuat ku tersentuh ialah ia tidak sedikit pun marah atau meperlihatkan muka kesal kepada ku. Pada saat itu, seingat ku, ia bukan lagi wali kelas ku. Tapi sayang, untuk orang sebaik ibu Mega mengalami ketidak beruntungan karena tidak akan pernah bisa menyaksikan atau mendampingi ke dua anak perawannya yang cantik-cantik ke pelaminan. Wajah yang penuh kesan keibuan dan kearifan itu, talah bercampur dengan tanah dan kembali ketempat dimana ia berasal. Ibu Mega meninggal dengan meninggalkan dua putri yang cantik-cantik yakni Lia (cewek dengan cubitan yang ngagenin) dan adiknya Ayu (se-ayu wajahnya). Peristiwa mengharukan tersebut terjadi pada saat Lia sudah remaja dan tercatat sebagai mahasiswi disalah satu Perguruan Tinggi Swasta di Palembang. Sementara, bapaknya sudah pergi lebih dulu. Tragis, orang sebaik itu ternyata umurnya tidak panjang dan yang ku pahami sekarang orang baik itu cepat meninggal dunia, kenapa...ya? “Magic word, Selamat jalan ibu Mega. Semoga engkau mendapatkan tempat yang layak dan megah, disurga. Apa yang telah kau berikan terhadap kami para murid mu tidak akan pernah terlupakan, khusunya aku. Pesan dan nasehat yang kau sampaikan melalui tingkah laku dan budi pekerti yang baik, bukan cuma retorika dan kata-kata mutiara yang basi. Nasehat itu, akan ku ingat selalu dan kelak jika aku menjadi seorang pengajar, aku tahu harus berbuat apa. Sekali lagi, selamat jalan ibu Mega dan sampai jumpa kembali dilain waktu” Cubitan ngangenin Balik lagi ke usaha ku untuk menaklukan hatinya, aku selalu berusaha untuk mencuri hatinya dengan cara lelaki sejati. Beberapa kali aku dekati tapi responnya terhadapku selalu tidak romantis. Baru ku dekati, Lia pun langsung menghindar atau kalau aku goda dia mencubit ku dengan keras sampai-sampai tertinggal goresan lecet di kulit lengan ku karena kuku-kukunya yang tajam menghujam daging ku yang berwarna sawo kematangan yang terbakar Matahari. Walau pun begitu, aku menikmati cubitannya yang liar, hahaha!. Biasanya setalah pulang sekolah, kami tidak langsung pulang kerumah masingmasing. Kami ngumpul di rumah pasangan sebangku ku Titin, itu karena rumah Titin dekat dengan sekolah SD kami. Ibu Titin sangat baik, setiap kami ngumpul selapas pulang sekolah ibu tua dengan perawakan besar dan gemuk itu selalu mempersilahkan kami untuk makan siang dirumahnya. Willy, Hendro, Ningsi, Dewi, Lia, Ade Albani, aku dan tentunya yang punya rumah, makan siang bersama sambil nonton TV. Dengan situasi itu, muncul dalam benak kecil ku untuk menembaknya saat berada dirumah Titin. Akal ku tersenbut tidak diketahui oleh teman-teman. Di sofa panjang yang menghadap ke TV. Mereka, Dewi, Ningsi dan Lia asik menikmati santap siang sambil menyaksiakan program acara TV. Sementara, Titin sedang sibuk membantu ibunya didapur kala itu. Melihat situasi yang mendukung, tampa ragu aku menjalankan rencana ku. Aku melihat mereka duduk berhimpitan, lalu aku meminta Dewi pindah dari tempat 15
duduknya. Pinta ku pun berhasil, namun posisi ku belum cukup aman karena masih terhalang oleh Ningsi dan kemudian aku pun membisikan ke telinga Ningsih dan mengatakan “Ningsih, tukaran donk posisinya,”tawar ku sambil menjelaskan kepadanya kalau aku mau menembak Lia. Kulihat raut wajah Ningsih biasa saja, tidak menampakan ekspresi terkejut lalu kemuadian dengan santai Ningsi mempersilahkan aku untuk duduk lebih dekat lagi dengan Lia. Setelah aku berhasil mendekatinya dan hendak menyatakan cinta, ehh ia pun langsung mengeluarkan jurus andalannya yang sekaligus kesukaan ku, selang kemudian ia pun beranjak dari tempat duduk untuk menghampiri teman-teman perempuannya. Kontan saja kejadian itu diketahui semua teman-teman ku yang lain. Mendapatkan diri ku yang seperti maling tertangkap basah, aku pun berusaha untuk menutupi rasa malu dengan pura-pura keluar sejenak untuk menghirup udara segar. Naasnya ketika hendak keluar, aku berpapasan langsung dengan Titin yang ku lihat wajahnya merah seakan tidak suka terhadap apa yang telah ku perbuat barusan dan Titin pun dengan fasih melontarkan kata-kata ekspresi kekesalanya kepada ku dan mengatakan satu kalimat cemburu “kanjian!” tepat dimuka ku pada saat berpapasan dengan nya. Dasar aku yang tak tahu kalau Lia hanyalah anak kecil kelas 6 SD jadi mana tahu ia dengan cinta, hehheh!. Pagi berikutnya, setalah selesai bermain dengan teman-teman sekelas dilapangan sekolah pada jam istirahat aku pun tak sengaja melempar tanah kering berbungkah. Ehh...kebetulan serpihan tanah itu mengenai teman ku yang bernama Adi yang berbadan pendek, kerena postur tubuhnya yang pendek itu lah kami pun memangilnya Adi pendek dan celakanya Adi pendek ini merupakan anak dari wali kelas ku. Pada kejadian itu, aku jelas aku melihat Adi tidak apa-apa dan aku pun telah mintak maaf, ya.... namanya juga kenakalan anak kecil. Bell sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat habis dan masuk lagi ke kelas untuk belajar. Masuk kelas tampa rasa takut, setelah masuk dan ibu Dewi pun masuk. Tak perlu menunggu waktu lama, ibu Dewi langsung memanggil ku ke dapan kelas. Aku pun maju kedapan, pikir ku, ahhh paling banter disuruh lagi ke kantor untuk mengambil kapur tulis. Ops....s! perkiraan ku salah, aku disetrap didepan kelas dan ibu Dewi langsung mamarahi ku. Dengan postur tubuh yang besar serta mistar kayu yang panjang ibu Dewi marah besar karena anaknya sudah saya lempar, walaupun tidak sengaja. Aku tak menyangka, kalau Adi pendek mengadu ke ibunya padahal aku sudah mintak maaf. Marah yang tak terbendung, dengan sangat lihainya ibu Dewi mengayunkan mistar kayu yang panjang itu ke betis ku yang dibungkus kaos kaki melar yang diperkuat dengan karet gelang agar tidak melorot. Sangking lihainya ibu Dewi mamainkan pedang kayu, mistar kayu itupun patah. Aku hanya menahan sakit dan berusaha tidak menagis, karena bagi ku kalau aku menangis di kelas yang disaksikan oleh teman-teman, sama saja menunjukan tertapa lemahnya aku, dan lagi, aku berkata pada diri ku sendiri “aku bukanlah mahluk yang lemah.” Sudah menjadi kebiasaan, kalau aku mau nangis selalu sembunyi-sembunyi karena aku tidak tahu harus mengadu kesiapa, hhhem....lagian siapa yang mau perduli dengan aku. “kamu pikir gampang jadi orang!!!” teriak ibu Dewi kepada ku dengan penuh amarah yang jaraknya sangat tipis dengan keangkuhan. Kalimat ini terus terniang-niang dalam benak ku sampai detik ini. Namun atas perlakuannya itu, aku pun berusaha memahami, kalau itu adalah reaksi atau naluri wajar seorang ibu yang sayang dan cinta terhadap anaknya. Tetapi apa yang terjadi kawan, lama setelah kejadian itu selepas tamat kuliah aku pun diteriman bekerja disalah satu Bank Pemerintah tentu saja masih dalam status kontrak. Suatu ketika, Adi pendek yang sudah tidak pendek lagi main kerumah dan menanyakan lowangan pekerjaan. “Akbar, ada lokak gak untuk ku. Setress ni dirumah terus gak ada pekerjaan, malu dengan orang tua,”pinta Adi kepada ku. Sayang aku orangnya tak tegahan dan bukan tipe orang yang pendendam, jadi melihat semangatnya yang mulai redup aku pun merekomendasikan ia ke tempat ku bekerja. 16
Sebelum itu, rasanya ingin ku katakan kalimat yang terniang-niang di kuping dan benak ku, tapi..., yah sudahlah angap saja aku berbuat baik terhadap diri ku sendiri. Anak Durhaka Dimasa meranjak dewasa, kenangan indah walaupun hidup pahit dialtar rumah yang penghuninya orang dari kampung yang hidup dikota besar seperti Palembang yang selalu diwarnai abuse membuat ku selalu menitiskan air mata dikala terbayang dikala mamak menangis karena ulah anak-anaknya termasuk aku yang sangat menyesal dan berdosa besar kerena pernah membuat hati mamak sedih sampai-sampai ia menyematkan kalimat “anak durhaka” kepada ku dan itu terjadi pada saat bulan yang sakaral yakni bulan Ramadhan. Setiap kali bangun malam pada bulan puasa untuk masak syahur, aku pun ikut bangun untuk sekedar menemani, bercerita sembari nonton TV tayangan spesial Bulan Rammadhan dan terkadang membantunya masak sempai menghidangkan makanan. Hal itu aku lakukan karena aku takut kalau terjadi seswatu pada nya, entah terpeleset, tersiram air panas atau berdiam diri dan merenung sendirian, semetara yang lain belum banggun. Jadi dengan ngorbrol sembari masak syahur jadi tidak terasa berat. Pernah juga beberapa kali mamak belum banggun dari tidur lelapnya sedangkan aku sudah banggun terlebih dahulu dan kulihat jam udah menunjukan pukul 2 malam aku pun segera membangunkan Mamak dengan mengusap keningnya beberapa kali, ku lakukan itu sebanyak 3 kali dengan lembut tanpa mengeluarkan suara. Jikalau ia telah membuka mata dan banggun barulah aku mengatakan “bangun udah jam 2” atau “bangun mak, solat Subuh (pada bulan-bulan biasa)”. Namun terkadang setelah ku usap kening mamak sebanyak 3 kali dan ternyata belum juga bangun, selanjutnya aku dengarkan hembusan nafasnya sekedar memastikan bahwa semuanya baikbaik saja. Jujur aku belum siap jika untuk kehilangan sosok ibu, aku masih ingin membahagiakannya walaupun aku tak tahu apakah aku bisa tau tidak. Setelah semuanya baik-baik saja lalu aku pun berinisiatif untuk masak sebisa ku. Aku berinisiatif seperti itu karena aku tahu betul mamak ku itu susah tidur, mengkin kerena tekanan hidup plus memasuki usia senja, jadi kalu ia tertidur lelap aku tak mau membangunkannya apa lagi sampai membangunkan dengan mengoyang, menepuk, dan mendorong agar bangun. Aku tak tega untuk melakukan itu, bukannya anak laki-laki itu seharusnya bisa diandalakan jikalau orangtua telah kelelahan. Dimulai dari masak nasi, sayur dan sambel dengan sedikit lauk, taraaaaaa....! akhirnya selesai juga menu dadakan untuk syahur. Kemudian pintu kamar kakak-ayuk diketok seraya mengucapkan “bangun-bangun , waktunya syahur. Dengan sedikit malas-malas mereka pun bangun satu-persatu. Sementra kamar tidur ku tidak ada pintunaya, ya....terang saja karena kamar ku paling luas sendiri yakni ruang tamu, jadi aku kamar ku ialah ruang tamu. Mengesalkan sih kadang-kadang, ketika mata ini benarbenar terasa berat dan kecapean, aku terpaksa sedikit menahan hasrat ku sampai mereka semuanya tidur dan masuk kamar masing-masing setelah nononton TV. terlebih kalau ada tamu, teman dari kakak-kakak ku yang terkadang pulang sampai larut malam, dengan sangat terpaksa aku harus menunda untuk membentangkan tikar tempat aku merebahkan tubuh lemah ku ini. Ketika semuannya usai, aku pun tidur dan berharap mimpi indah dan tak bangun-bangun lagi. Kembali kecerita kebiasaan Bulan Ramadhan, kerana aku tidak tega melihat mamak ku melakukan semua itu sendirian maka aku temani dan lama-kelamaan aku pun senang 17
dengan kondisi seperti itu. Sebagai anak aku rasa kita semua sepakat kalau kita ingin orangtua kita bahagia dimasa tuannya dan begitu juga kita kelak mengharapkan hal yang sama, ingin bahagia dan hidup tenang agar bisa focus beribadah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang memiliki hak. Fajar itu, setelah makan syahur selesai, sebagian dari kami melanjutkan tidur memanfaatkan sisa waktu sebelum solat subuh tiba. Aku mendengar mamak masih sibuk dan aku pun segera melihatnya. Kudapatkan mamak sedang sibuk menyalakan kayu bakar untuk masak air minum. “Mak istirahatlah dulu, ini masih jam 4 subuh,” sebut ku mengajak mamak untuk istirahat. “aku gak bisa tidur, dari pada melamun mending masak banyu (banyu=air, dalam bahasa Pelembang),” jawab mamak. Dengan keluarga besar dan ekonomi semakin memburuk, jadi kami mengunakan kayu bakar yang didapat dari sampah atau bekas orang membokar rumah dan terdapat kayu yang tidak berguna maka kami mintak untuk dijadikan bahan bakar. Setiap kali mengangkut kayu bekas untuk dijadikan kayu bakar, tentunya sebagai anak aku tidak akan mebiarkan mamak ku melakukan itu sendirian, aku dan kakak–ayuk ku ikut membantu membawa kayu tersebut kerumah. Hal itu terus belangsung meskipun sudah ada beberapa dari kami telah menikah bahkan sampai aku aku telah mendapatkan pekerjaan pun hal itu terus kulakukan. Terkadang aku mengatakan kepada mamak “Mak ambil kayunya malam aja ya...biar gak terasa panas nanti biar aku yang angkat semua sampai selesai,” bujuk ku kepada mamak yang sebenarnya karena aku merasa malu kalau sedang mengangkat kayu pada waktu siang atau sore hari dilihat tetangga seperti hari-hari biasanya. Tinggal dikompleks perumahan PU sangatlah menjadi beban bagi kami karena rata-rata mereka orang kaya dari kalangan perjabat. Sentak dalam benak ku mengatakan ya “Allah sampai kapan ini terus begini” dan andaikan kami orang kaya atau aku sukses mungkin kami tidak hidup sehina ini. Dan aku berani mengatakan “mak jangan memungut kayu bakar lagi, ini uang untuk keperluan sehari-hari” Tapi aku sadar, sesadar-sadarnya kalau itu tiada mungkin terjadi dan aku hanya bisa menatap langit malam dengan bintang bertaburan yang seolah menertawai ku atau sekedar untuk menghibur. “Andai cacing bisa berubah menjadi naga,”harap ku dalam hati. Lanjut pada fajar itu, mamak terus menyalakan api untuk masak air dengan mengunakan dandang yang besar. “Membawa air dan memindahkan air panas dari dandang besar ketempat penyimpanan air minum bersih sendirian dan masaknya sampai 8 dandang besar, hawatir nanti terjadi apa-apa dengan mamak ku seandainya lagi membawa air panas terus terpeleset wah..bisa jadi balak (=masalah) nih,” aku berujar dalam benak ku seraya mengerutkan kening karena kesal. “Mak , pagi nanti saja masak airnya jangan sekarang. Nanti biar aku yang melakukan itu semua, tapi jangan sekarang. Biasnya aku juga yang melakukan itu kok! Orang-orang masih tidur, mamak istirahat dulu!,”pinta ku kemudian. Mamak memang orangnya keras kepala, kalau udah menjadi keiginannya tidak mau dirubah lagi dan sifatnya itu juga menurun kepada ku. Puas aku membujuknya, akhirnya aku pun mambantu Mamak masak air tapi dengan emosi. Semua kayu bakar ku belah semua dengan mengunakan parang, tak puas dengan mengunakan parang, kayu papan panjang pun aku belah dengan cara menghantamkan ke ujung batu besar agar kayu nya belah. Ehhh...bukannya belah malahan menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Aku pun terus mengeluarkan kata-kata yang nandanya tinggi. Sudah menjadi sifat ku, kalau emosi suka memukul tembok atau apalah yang bisa melampiaskan emosi ku. Melihat sikap ku, Memak pun marah dan meminta ku untuk tidak membantunya. “gak usah, aku bisa sendiri. Kamu kalau gak mau bantu ya..udah, sana pergi!,”teriak Mamak mengusir ku. 18
Mendengar itu aku malah emosi, kayu bakarnya malah aku benturkan ke batu keras-keras, dan ahkhirnya puncak dari kekesalan Mamak, Ia pun menangis seraya menyumpahi ku “anak durhaka!”. Bulan Rammadhan yang penuh dengan ampunan dan rahmat, aku malah mendapatkan sumpah serapah dari ibu kandung ku sendiri yang mengorbankan hidupnya untuk anakanaknya dan aku telah membuat ia menangis kerena ulah ku. Maksud ku baik tapi cara ku yang tidak baik, dari situpun aku belajar ternyata hal yang baik jika tidak dikemas dengan baik pula maka hasilnya belum tentu baik. Hari itu aku merasa iman ku seperti kayu bakar yang habis dilalap api, persis seperti kayu bakar yang ada dihadapan ku yang hangus dilalap api, tinggal abu kayu yang ditiup angin lalu hilang, untuk selamnya. Hari itu aku gagal menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk. Yang ku rasakan ujian pada bulan puasa begitu berat dan emosi begitu gampang terpicu. Kenangan buruk bulan puasa yang selalu teringat karena aku membuat mamak ku menangis lalu kemudian menyumpai aku anak durhaka di bulan puasa. Semenjak kejadian itu, aku selalu dihantui rasa bersalah walau setiap lebaran dan solatnya aku sering minta maaf jikalau sebagai anak aku tidak bisa diandalkan. Safari Rammadhan yang aneh Setiap kali puasa dan terutama menjelang labaran ada-ada saja keributan dalam keluarga kami. Tidak aku, kakak dan adik sering membuat membuat mamak sedih dan menangis. Satu kisah lagi kerap terjadi menjelang lebaran Idul Fitri alias hari-hari terakhir puasa. Yakni kedua kakak ku berkelahi yang kemudian dilerai oleh kakak ku yang satunya lagi, tapi ketika melerai perkelahian malah tambah seru dan rumah pun menjadi ramai, padahal mamak belum lama pulang dari pasar untuk membeli daging. Sambil memotong-motong daging menjadi beberapa bagian yang dibantu oleh ayuk untuk masak rendang yang akan dimakan pada hari nan bahagia yakni hari kemenangan “Idhul Fitri”. Menyaksikan anakanaknya berkalahi bak perang antar suku, membuat mamak menangis sejadi-jadinya yang diikuti oleh ayuk ku sambil mengiris-iris daging. Melihat itu, aku pun ketakutan dan bertanya dalam hati “dimana kamu bapak?”. Pikir ku kalau ada bapak disini mungkin mereka bisa dilerai atau apalah, kala itu bapak sedang pergi entah keman. “ Kapan lagi mamak bisa merasakan bahagia. Sudahlah menderita hamil berbulan-bulan lamanya, menahan rasa sakit, mual, pusing kepala, susah tidur dan akhirnya bertaruh nyawa untuk melahirkan dan akhirnya lahir kemudian dijaga dan dirawat, disekolahkan dan bahkan sampai-sampai nikah pun masih mengunakan uang orangtua, alangkah malangnya orangtua seperti itu medapatkan anak-anak yang mentalnya kecil yang hanya bisa menyusahkan orangtua. Mulai sekarang aku gak mau lagi menjadi cacing kecil yang lemah. Mungkin aku mahluk yang lemah seperti cacing tapi aku yakin aku adalah cacing yang mau dan ingin berubah menjadi Naga. Nanti..suatu ketika nanti aku yakin hari itu akan datang!” terbesit renungan yang merubah sikap ku terhadap mamak untuk selama-lamanya, dan saat itu juga aku berjanji dalam hati akan berusaha membahagiankannya, menjaganya, menjadi pelidungnya jika ada yang menyakitinya, memperhatikannya, menemaninya kemanapun ia pergi dan akan menikah jika aku benar-benar sudah mampu. Aku gak mau menikah dengan mengunkan uang orangtua barang sepeser pun, karena bagi ku menikahi wanita dengan mengunakan uang orangtua itu artinya aku belum siap menafkahkan istri lahir maupun batin. Itulah salah satu perinsip hidup yang ku pegang dan berharap perinsip ini dapat diteruskan oleh anak-anak ku kelak yang memiliki mental seperti bapak dan ibunya, amin. Dimasa-masa itu, terkadang membuat ku iri dengan keluarga sekitar kami yang terlihat hangat, harmonis, damai, penuh kasih sayang dengan segudang cerita sukses. Tapi belakangan aku sadar kalau semua ini merupakan ketetapan Ilahi yang tak bisa berubah 19
dan harus tetap ku jalani walau dengan nafas sesak. Dan ternyata hidup dengan warna-warni kegetiran membuat ku lebih dewasa dalam berpikir dan mensyukuri kesehatan dan kewasaran yang masih dijaga oleh Allah serta yakin kalau manusia sudah ada rezekinya masing-masing, tinggal bagai mana cara kita untuk menjemput rezeki itu. Selain kenangan pahit tersebut, ada juga kenangan yang indah selama menjalankan puasa pada masa kecil. Hari-hari pertama memang terasa berat akan tetapi setalah melalui puasa 1 minggu, maka tubuh seolah-olah telah terbiasa dengan kondisi tersebut. Namun terkadang aku juga maling-maling ke kemar mandi, pura-pura berkumur, meleng sedikit langsung ku teguk air yang langsung dari selang. Tentunya hanya bisa minum air tapi tidak untuk makan, jadi walaupun badan sedikit seger, tetap saja masih lemas karena menahan lapar. Merupakan kebiasaan dalam keluarga kami, kalau ada yang tidak puasa maka makannya belakangan dan jatah untuk berbuka pun dikurangi, sementara anak seumuran ku lagi kuat-kautnya makan. Jadi bagai manapun aku harus tetap nampak berpuasa agar tak mendapatkan penguragan jatah buka puasa, hehehe!. Selain itu juga dikala menjelang buka puasa, kami duduk tidak jauh dari menu khas buka puasa apalagi kalau bukan kolak, es dawet, kurma dan beberapa makanan pelengkap lainnya. Yang menarik ketika suara azan telah dikumandangkan yang ditandai “Dukkk....dukkk..,”suara beduk. Belum sempat suara azan berkumandang, serentak kami memanjatkan do‟a “Allahhuma Laka Sumtu, Wabika Amantu, Warizkikafatortu Birohmatikaya Arahmanirohim,”amin, ucap kami berbalapan seraya menyapu wajah dan secara serentak melakukan balas dendam, khususnya aku yang makan seperti orang yang sudah kelaparan berhari-hari. Dengan menyentongkan nasi terlebih dahulu sebelum suara azan tiba aku langsung menambahkan berbagai macam lauk, sayur dan sambel yang didampingin es dawet penghilang rasa dahaga dan gerah. Setalah mamanjatkan do‟a makan, langusung saja ku santap tanpa sedikitpun memberikan ruang didalam perut ku. Piring ku angkat mendekati mulut agar memudahkan untuk makan ala tentara alias makan dengan cepat dan tanpa sisa. “wah...giman mau tambah lauk ikan lagi nih.....? sementara lauk ku masih ada, tapi kalau lamban ikan itu bisa disambar duluan,”gumam ku dalam hati, seraya memandang tajam ke lauk ikan yang tinggal sedikit, bagaikan mata elang dengan sorot yang tajam melihat dari ketinggian mengincar mangsanya. Yang paling kesal kepada ku adalah ayuk (kakak perempan) karena biasanya ia dan aku yang beramuan (dalam bahasa Palembang sayur atau lauk dalam 1 piring untuk jatah 2 orang atau lebih). Kalau lagi makan aku seperti orang kesurupan. Aku makan dengan lahap dan cepat, entah mengapa bagi ku kalau makan seperti itu seru dan nikmat saja. Sementara ayuk, ya...namanya juga perempuan makannya lembat, jadi sering kecolongan lauk oleh ku. Akan tetapi ia sering mengalah kepada ku dan membiarkan aku menyantap habis semuanya. “kau ini makan atau marah sih? kok gak ingat-ingat dengan jatah orang lain,” ucapnya kesal, namun jua merelakan jatahnya dimakan adiknya. Tapi itu masa kecil teman, kalau sekarang, ya....masih sih sedikit, hehehe. Terkait kakak perempuan ku satu ini, aku sangat protektif terhadap pergaulannya dan masa depannya. Entah karna apa, aku bersikap sangat keras terhadapnya, padahal aku adalah adiknya dan sementara kakak-kakak dan orangtua ku tidak begitu ketat dalam memperhaatikan pergaulan masa remaja satu-satunya saudara perempuan kami satu ini. Pernah suatu peristiwa dimana ayuk ku ini pulang larut malam pergi bersama teman pria yang baru dikenalnya satu minggu. Karena waktu sudah menunjukan jam 10 malama lewat, kami pun tampak cemas dan gelisah menanti kenapa sampai sekarang belum juga pulang. Menit demi menit mulai berlalu meninggalkan angka jam sepuluh malam, akhirnya tampaklah ia bersama dengan teman prianya pulang kerumah. Melihat kami sudah menunggu semua kakak perempuan ku ini pun ini tampak ketakutan dan 20
merasa bersalah karena pulang larut malam. “Assalammualaikum,”sapa mereka dan disambut salam oleh kedua orangtua ku “walaikumsalam”. Setelah mereka masuk dan duduk diruang tamu, tanpa basa-basi aku langsung naikpitam memarahi mereka berdua sampai pria tersebut hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun “kamu ini padahal orang terpelajar, mambawa anak orang seenaknya saja. Kami ini keluarga baik-baik, punya aturan, jangan kamu angap remah kami!,” ujar ku marah. Karena sikap ku yang begitu keras dan emosian, ayuk pun menangis karena meresa malu kepada laki-laki tersebut atas ulah ku dan ayuk pun berlari mesuk ke kamarnya dan semetera pria itu aku suruh pulang dengan alasan sudah larut malam dan kami mau istirahat. Sebelum pulang pria itu sempat menghaturkan maaf nya kepada ku dan juga orangtua ku. Setelah pria itu pulang, bapak dan mamak sempat menegur ku agar jangan terlalu kasar dan bahkan mamak mengatakan “jangan terlalu keras terhadap ayuk mu, nanti dia tak mau pacaran lagi” masih dalam emosi tinggi aku menjawab “biar.....! dia hanya memikirkan perasaan laki-laki yang baru dikenalnya dalam satu minggu, tapi tidak memikirkan perasaan kita yang sudah bertahuntahun berasama dia, yang selalu khawatir kalau terjadi apa-apa dengan dia!” Tahu memang watak ku keras mamak pun tak mau berdebat dengan ku dan lebih memilih menghibur ayuk yang terus menangis dikamar. Ada lagi peristiwa ketika ayuk menjalin hubungan dengan pria asal merenjat (salah satu desa yang terletak di Kabupatan Ogan Ilir yang di Palembang). Menurut ku pria satu ini sangat dewasa dan sopan terhadap keluarga kami, akan tetapi tetap aku membatasi kujungannya bila datang kerumah untuk mengapel. Pria ini sering datang disiang hari khusunya pada hari sabtu dan minggu siang dan tak jarang juga ia bergabung makan dirumah kami. Mereka sering duduk diteras depan hanya untuk ngobrol dan bercanda tawa. Karena sangking asyiknya seperti biasa tak terasa waktu sudah sekitar jam lima sore dan jika aku berada didalam rumah, langsung saja aku yang melantangkan Azan Magrib walaupun waktu Magrib masih lama sebagai isyarat waktu berkunjung telah habis “wah...! adik mu sudah Azan, ya..udah aku pamit dulu, gak enak dengan keluarga mu, nanti kumu dimarah lagi,” ucapnya kepada ayuk ku. Terus begitu selanjutnya hingga ayuk ku benar-berar menadapatkan jodoh yang telah menjadi pelihan hidup untuk membina rumah tangga. Untuk itu, aku mengucapkan selamat dan aku rasa tugas ku mejaganya sudah selesai karena ada yang lebih berhak untuk menjaga, merawat dan melindunginya. Aku sangat dekat dengan mamak dan ayuk ku, jikalau mereka sakit aku lah yang selalu cepat untuk mengajaknya untuk berobat dan tak jarang jika mamak dan ayuk masuk angin aku yang mengerok badan mereka agar angin dibadannya kelaur dan kembali sehat lagi, tanpa rasa canggung san sungkan dan begitupun mereka terhadap ku. Pernah ia (ayuk) sakit demam tinggi dan setalah minum obat dari dokter tak kunjung sembut, mungkin karena ikatan batin melihat itu aku pun mengambil segelas air putih lalu ku bacakan ayat Al-Qur‟an dan ajaibnya air itu berubah rasa menjadi pahit ketika diminum oleh ayuk “kok air putihnya pahit”. Penasaran dengan apa yang ia katakan, aku pun mencoba mencicipi sisa air didalam gelas dan ternyata rasanya memang berubah menjadi pahit, tetap tak percaya dengan apa yang terjadi kemudian aku mengabil air minum dimana tempat aku mengambil air semula dan ternyata airnya sama sekali tidak pahit. Alhamdullilahnya tak lama setalah itu ayuk berangsur-angsur pulih kembali dan sehat lagi. Lanjut kecerita puasa. Lepas buka puasa kami istirahat sejenak lalu kemudian bersiap untuk sholat Magrib dan dilanjutkan dengan terawih. Di Masjid tak jauh dari rumah, aku pergi ke Masjid tapi bukan untuk sholat terawih, melaikan main pertasan atau kalu tidak main sembunyi-sembunyian bersama teman-taman sekampung. Karena sering menggangu orang lagi sholat terawih dengan suara petasan, tak jarang kami dikejar-kejar oleh pak RT yang rumahnya tepat didepan Masjid dengan membawa kayu. Terang saja kami pun berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. “awas pak RT ngamuk....! lari,” teriak 21
kami serentak. Atau kalu tidak sedang main petasan kami suka mengoda anak-anak perempuan yang sedang sholat dari luar. Terlebih lagi kalau ada yang kami kenal, lantang saja kami goda seraya memangil nama cewek tersebut, hahahaha!, dasar anak-anak!. Nah..inilah saat yang paling menyenangkan bagi ku. Sejenak aku merasa tenang, merdeka dan bebas berimajinasi dan takkan terlupakan. Adalah ketika 1 hari menjelang hari H yakni Idhul Fitri. Kala itu kami masih kecil-kecil, tapi aku sudah masuk SD. Seperti keluarga pada umumnya, mamak yang dibantu oleh ayuk masak Ketupat, Opor Ayam, Kue Delapan Jam (kue khas kota Palembang), Pecel (menu yang tak pernah tinggal setiap kali lebaran) dan Kue Kering lainnya. Biasanya semuanya itu dikerjakan 3 hari sebelum hari H. Kami pun sangat riang, terlebih lagi pada malam yang esok harinya telah lebaran. Mamak dan ayuk, masak ager-ager terkadang hingga jam 10 malam. Nah...ketika itu kakak, adik dan aku main superman-supermannan. Dengan mengunakan sarung sholat masing-masing yang kedua ujungnya dikalungkan lalu diikat dileher, maka terciptalah sayap superman kecil. Kami pun saling kejar satu sama lain. Dari ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga hingga sampai ruang makan. Ketika itu diruang makan dipakai ayuk untuk masak ager, menurutnya hal itu dilakukan supayah mempermudah proses pembuatan ager karena diruang makan disamping ruangannya cukup luas, lampunya juga terang tidak seperti didapur yang hanya diterangi lampu 5 watt. Maka dari itu diputuskan masaknya dirungan makan sambil nononton TV. Setelah berlari kesana-kemari, melihat setting itu kontan saja kami pun mengitari mereka (mamak dan ayuk) sambil tertawa terbahak-bahak kesenangan dan mereka pun merasa terhibur walaupun sekali-kali marah dan menyuruh kami untuk berhati-hati. Kami terus mengitari, persis seperti sekawanan burung elang yang mengelilinggi mangsanya dari ketinggian. Sejenak terasa indah dan aku merasa agin berhembus disekujur tubuh ku dengan sangat lembut. Tak pernah kurasakan perasaan ini sebelumnya, sambil berlari-lari mengejar kakak dan adik, aku terus berlari seraya mengangkat kain sarung bagian bawah ke belakang seolah-olah benar-benar terbang dan terkadang sangking senangnya aku pun berlari sambil memejamkan mata. “wahahhah...wahhha..hikhikhikkk,”tawa ku terbahak-bahak melepaskan semua ketakutan. Waktu biasanya telah menunjukan jam 10 malam, karena kelelahan kami pun tidur dengan nyenyak. Harap ku sebelum tidur “ini jangan cepat berlalu dan jangan pernah pergi dalam keluarga kami”. Pada hari Idul Fitri, biasanya aku tidak pernah mengunkan baju baru karena mamang tidak dibelikan dan kami pun jarang mintak untuk dibelikan. Kerena tidak pernah mengunakan baju pada hari istimewa, ketika dibelikan aku malah menolak untuk memakainya. “Ndak ah..mak, malu makai baju baru,”tolak ku kepada mamak. Dengan saudara banyak dan jaraknya pun tidak berjauhan, jadi mungkin terasa berat bagi orangtua kami untuk membelikan pakain labaran satu-persatu yang belum lagi untuk membeli makanan dan minuman untuk perayaan hari besar Idhul Fitri. Terhadap itu, kami pun bisa memahami dan tak pernah memaksa orangtua untuk membelikan baju lebaran. Bagi ku saat itu cukup dengan kesenangan dimasa menjelang lebaran yang ku rasakan. Tak ada baju baru tak apa-apa yang penting bisa makan kenyang sepuas-puasnya, asyik!. Melanjutkan sekolah ke MTS N Palembang Lulus dengan nilai yang memperhatinkan dengan penuh rasa kecewa aku pun terus ingin sekolah. Aku masuk MTS N Palembang pada tahun 1993. Selama sekolah disekolah tersebut, tantangan pun bertambah dengan teman-teman yang nakal dan suka berkelahi. Melihat perawakan ku yang cukup besar teman-teman mengangapku sama seperti mereka (anak nakal) padahal sebenarnya aku anak yang pengecut dan tidak suka kekerasan. Ada 22
yang menarik tapi bodoh, dimasa sekolah tingkat menengah pertama ini yakni MTS adalah sekolah yang berbasis agama, yakni setalah tamat dari situ aku sama sekali tak pandai membaca Al-Quar‟an dan membaca bacaan Sholat, dan yang paling parah teman, ternyata selama ini urutan bacaan dalam sholat ku salah. Ku tahu itu salah, saat seorang sahabat ku waktu masih kuliah dan satu kampus yang memberitahu kalau itu salah, dan benar saja apa yang kulakukan itu memang salah. Dia merupakan sahabat yang baik dan selalu sabar menghadapi cobaan dan ku berharap Allah memberikan keberuntungan dan kebahagiaan untuk hidup dan masa depannya. Seorang wanita, tempat aku belajar mengenai wanita dan perasaannya. Wanita ini merupakan bagian dari hidup ku, akan tetapi bukan bagian dari masa depan ku. Balik lagi ke cerita disekolah tingkat menengah itu. Aku sempat dekat dengan cewek-cewek yang lumayan cantik, tapi aku tak berani untuk mengutarakan rasa suka ku. Pernah ada seorang cewek yang suka pada ku saat itu, tapi karena keluguan ku, aku pun malah pergi menghindar dari cewek yang mendekati ku, padahal ia lumayan cantik sih. Sekolah ini sekarang telah menjadi sekolah unggulan di Palembang, terkadang jikalau sedang pulang ke Palembang dan melewati sekolah itu, aku sering teringat dengan wajah teman-teman lama ku, dan entah apa kabar dimana keberadaan mereka sekarang. Prajurit dari Lampung Disamping sekolah yang tak bersahabat kondisi dirumah pun terus memanas. Kakak pertama ku sangatlah tempramen gampang marah, terkadang aku pun bertanya dalam hati ini kakak ku atau bukan? Dia memperlalukan kami, para adiknya bagai kan musuh. Di ibaratkan adik-adiknya itu bagaikan duri dalam daging yang harus disingkirkan. Kakak ku pertama pernah berkelahi dengan kakak ku yang kedua. Perkelahian itu pun luar biasa sampai-sampai mereka mengunakan senjata tajam, tapi kakak kedua ku melih memili untuk mengalah. Perkelahian kedua antara kakak pertama dengan kakak kedua masih sering terjadi. Seorang tentara yang telah lama ngekos dirumah kontrakan kami menjadi pemisa saat mereka tengah berkelahi dan pada saat itu aku pun ikut menyaksikannya tapi apalah daya ku, karena aku adik yang penakut dan tak mungkin berani melerainya. Setelah behasil ditenangi Lismidar, tentara yang sudah seperti keluarga bagi kami mengatakan pada ku “tenaga mereka sangat kuat, aku hampir kualahan melerainya”. Mendengar ucapan seorang Prajurit tentara yang berpostur tubuh besar dan gempal, aku tak bisa membayankan seandainya aku yang melerai perkelahian itu. Wahh...bisa-bisa aku hanya menjadi korban yang sia-sia. Aku pun memiliki kesan yang baik dengan tentara satu ini. Dia ngekos di rumah kami sedari masih bujang hingga sampai memiliki anak satu. Lismidar merupakan putra kelahiran Lampung tulen. Setiap kali ia pulang dari kampungnya, tak lupa ia membawa oleh-oleh buat adik-adiknya yang tak ada hubungan darah. Aku sering mengasuh anak pertamanya yakni Yolanda. Pernah Yolanda aku gendong dan terjatuh sampai bibirnya pecah. Melihat itu kak Lis pun tak marah pada ku, ia hanya mengambil anaknya dan mengobatinya. Sebenarnya saat itu aku merasa ketakutan kalau-kalau ia marah, tapi ku tunggu sampai besok ia pun tidak memarahiku, mengetahui itu aku pun legah ternyata orang berseragam loreng ternyata tak selalu garang dan menakutkan. Melihat kebaikan dan kedekatan keluarga kami dengan kak Lis aku pun tak merasa segan, pernah sekali waktu ia sedang minum-minuman yang ku pikir itu sirop, kak Lis menawarkan minuman tersebut kepada ku. Tak menyiakan kesemapatan aku pun masuk kedalam rumah untuk mengambil cankir plastik yang lumayan besar. “nih kak , cangkirnya,” ucapku dengan penuh semangat ingin medapatkan gratisan selaras dengan cangkir yang ku sodorkan. Mendengar pinta ku, kak Lis pun tanpa ragu menuagkan minuman itu, setelah merasa cukup aku pun langsung meminumnya”wahhh sirop apa ini, kok pahit dan kecut. Rasanya kok beda dengan warnanya,” terawang ku dalam hati menahan rasa penasaran minuman apa kah gerangan yang sedang ku minum ini. Merasa ada yang tak wajar 23
aku pun pura-pura minum padahal minuman tersebut sama sekali tidak aku teguk. Setelah ku perhatikan tulisan yang ada di botol minuman tersebut terbaca jelas oleh ku “Anggur Merah”. Wah...hhhh apes! Aku pikir mimuman enak ehh....ternyata minuman keras. Tak ingin meyinggun perasaan, aku pun tetap tersenyum dan terus mengangukan kepala dan sedikit ada kesempatan aku pun langsung melayang ke rumah untuk memuntahkan cairan yang masih ada dimulut ku yang telah membuat lidah ku kaku. Sebagai seorang anak, sangatlah wajar kalau kak Lismidar sayang dengan ibunya sama seperti aku. Hampir setiap dua sampai tiga kali dalam setahun ibu Lismidar datang ke Palembang dari Lampung, sengaja untuk menemui ananda tercinta. Setiap kali ibu kak Lis datang tak lupa ia membawa oleh-oleh khas lampung berupa keripik pisang untuk keluarga kami. Sepanjang di Palembang, aku lah yang ditugaskan oleh kak Lis untuk menemani ibu nya untuk jalan-jalan mengelilinggi kota Palembang yang masih semeraut pada kala itu. Aku pun senang dengan tugas itu, berjalan-jalan dengan ibu tua dengan langkah yang tertatih karena kegemukan. Namun demikian, nenek aku memenggilnya selalu baik kepada ku. Setiap kali jalan-jalan nenek selalu meminta ku untuk mencicipi makanan khas Palembang apa lagi kalu bukan Pempek dan Tekwan. Setalah menelusuri jalan-jalan nan sempit plus becek, disebuah kedai tepat di tenggahtenggah keramaian pasar, nikmatnya Pempek dan Tekwan pun kami santap walaupun dihiasi aromah comberan yang busuk serta kecoak yang sedang siaga 1 karena musim kemarau tampak akan berlalu. Jalan Menuju Naga. Masa-masa pertumbuhan yang tak wajar namun harus tetap dikarbitkan, aku pun dibesarkan dengan abuse dari bapak dan kakak-kakak ku. Istimewa atau mamang sudah menjadi takdirku menjadi pelampiasan mereka yang melahirkan trouma di nadi dan syaraf otak ku. Dimulai dari kekerasan yang dilakukan oleh babak ku yang menghajar aku habishabisan dengan kepalan tangan yang perkasa dan besar nan dihiasi batu cincin kecubung ulung hitam, menghantam kepala ku berkali-kali. Akibat dari seni kasih yang bapak ciptakan di kepalaku melahirkan aku menjadi anak yang pendiam, introvert dan menjadi anak yang baik karena takut, itu menurut ku! Kenangan indah itu terjadi pada saat aku masih masih duduk sekolah MTS klas 2. Alhasil, mata ku mengeluarkan buih-buih kecil, gigi ku mengigit kuat antara gigi bumi dan langit, dan center cirkuit otak ku sentak tergangu karena mamar kepala akibat dari aksi brutal tersebut. Mungkin inilah cara bapak ku mengasihi ku atau mungkin aku anak yang sangat mengemaskan sehingga mereka lepas kontrol dalam melampiaskan kegemasannya pada ku, hahahahah!. Walaupun demikian ia tetap saja seseorang yang ku kagumi dan ku hormati karena beliau lah aku jua mulai mengerti sifat laki-laki sejati itu seperti apa dan beliau juga selalu berpesan kepada anakanak nya untuk selalu jujur dimana pun berada. Adapun peristiwa itu terjadi dikarnakan oleh aku dan kakak ke-4 ku pulang dari pasar untuk membeli buku. Selepas pulang dari pasar buku yang rencananya akan dibeli tidak ketemu. sebagai adik terang saja aku mengandalkan kakak ku untuk mencari nya dan itu wajar. Naas memang, jiwa anak-anak masih sangat dominan yang semula berencana mencari buku ....ehh malah main ding-dong. Itu pun sekedar acara hiburan tambahan karena buku yang ku cari tak ketemu. “kanapa bukunya tidak kamu beli,” bentak bapak kepada ku seraya melancarkan serangan perang dunia ke-2 kepada anak kecil yang memang mengemaskan untuk diperlakukan timpang. Sementara kakak ku, jangankan dipukul ditanya pun tidak. Nangis.....,nangis....dan....nangis, hanya itulah yang bisa menghibur ku. Semenjak kejadian itu, aku tak berani lagi meminta uang ke orangtua untuk membeli buku pelajaran sampai tamat SMA ”trauma” itulah jawabannya. Jadi ketika guru menjual buku pelajaran aku mulai ketakutan dan terpaksa harus ku tolak 24
dengan 1001 cara, alasan yang sering ku pakai, yaaaa.. paling banter ku bilang ke guru bahwa aku orang miskin dan aku juga punya banyak adik sehingga berat bagi orangtua ku untuk membayarnya. Dengan alasan itu biasanya ada beberapa guru yang perduli kepada ku dan mengeratiskan buku tersebut dan jika tidak paling banter pinjam punya teman atau mencatat hal-hal yang diangap penting, yaa..semacam ringkasanlah. Dan akhirnya aku pun behasil membuktikan kepada bapak ku yang tak pernah terungkap kalau akau berhasil membeli buku pelajaran ku sendiri dimasa duduk di perguruan tinggi swasta. Dari mana uangnya kawan....? Yahh...dari jalanlah alias ngamen. Dengan cara mengamen di bus kota, tak hanya dapat bertahan untuk tetap kuliah dan beli buku tapi aku juga dapat dapat membeli Martabak dan Bakso untuk mamak ku karena saat itu cuma mamak ku lah harta yang berharga bagi ku dan aku merasa senang ada seseorang yang selalu ingin ku bahagiakan walau dengan cara yang sederhana, lagian cuma itu yang bisa kulakun saat itu kawan. Nah... teman nanti aku akan gelar perkara banyak tentang “Sang Kramat Hidup” yang mana disetiap sholatnya aku selalu menitip do‟a agar aku sukses dan bagai mana aku bisa terjun ke jalan dengan menjadi pengamen jalanan yang tergabung dengan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ). Lanjut dengan abuse lain yang ku nikmati dari kakak-kakak ku. Pernah salah satu senior ku yang paling disegani dirumah meminta ku untuk membeli rokok. Rokok yang ia ingin kan ternyata tidak ada, lugunya aku langsung pulang dan mengatakan kalau rokoknya tidak ada. Dengan ekspresi sedikit senyum ia menarik tangan ku yang memang sudah ku ulurkan untuk mengembalikan uang yang ia berikan. Dan “Paaarrrr” tamparan telak menghampir dipipi ku, aku pun sontak terkejut dan tak bisa berbuat apaapa, yang bisa kulakukan hanyalah lari dan lari sambil menagis menuju septic-tank alias kakus tempat pembuangan kotoran dibelakan rumah. Diatas altar kakus yang bau yang dipenuhi dengan assesoris kakus, apalagi kalau bukan kecoak-kecoak busuk dan cacing tanah yang lemah, saat itu aku merasa lebih hina dan rendah dari pada kecoak tersebut dan lebih lemah dari cacing yang lemah. Mereka (kecoak dan cacing) tidak sendirian, sementara aku sendiri menanggis dan menahan semua rasa takut. Kerana sangking seringnya aku diperlaukan dengan tidak ramah aku pun berpikir dia ini kakak atau musuh ku, kenapa seolah-oleh dimatanya aku ini bagaikan duri dalam daging yang harus dilenyapkan. Kebenciannya dengan ku terus berlangsung walaupun aku sekarang telah berkeluarga. Aku tak tahu kenapa, tapi biarlah. Bagi ku hal itu tidak lah sangat berpengaruh dalam hidup ku dan masa depan ku. Aku terus maju melangkah tanpa henti untuk mencari ketenangan. Sebagai adik aku hanya berusaha menjalankan peran ku dengan baik, itulah yang hanya bisa kulakukan. Selain itu juga, aku tak mengerti kenapa kakak-kakak ku lebih perhatian dan baik dengan orang lain ketimbang saudara sendiri. Jawabannya sampai sekarang pun tak ku temui kawan. Tapi, darah lebih kental dari air dan aku pun sepakat dengan kata-kata itu seribu persen. Dalam hal ini, aku sangat lemah kalau dihadapkan dengan ajaran agama. Dimana Islam mengajarkan kita tidak boleh memutus tali persaudaraan kalau tidak neraka lah tempatnya. Sempat terniat dalam benak ku untuk memutuskan tali persaudaraan yang tak pernah terucap. Pertentangan dalam batin ku pun terus berkecamuk lama sampai akhirnya aku benar-benar sadar kalau itu sudah menjadi bagian dari hidup kami dan aku harus tetap mengahadapinya bukan malah menghindar dari masalah karena hakikat nya masalah tidak akan pernah pergi dari kita. Perlakuanya terhadap ku tidak dengan sertamerta membuat aku benci dengan mertua, istri dan putrinya. Aku selalu berusah untuk bersikap baik dan ramah terhadap mereka. Kalau ia pernah tidak menganggap mertua ku maka setiap lebaran aku menyempatkan diri untuk silahturahmi ke mertuannya. Kalau ia tidak menganggap istri ku maka akau selalu berusaha untuk ramah menyapanya dan juga istrinya. Dan terhadap purtinya sama sekali aku tidak 25
menaruh rasa benci, karna bagi ku ia sama saja anak ku sendiri sehingga tidak berat bagi ku untuk menghibur keponakan ku yang cantik ketika lagi ditinggal ayahnya untuk waktu yang lumayan lama karena berurusan dengan pihak berwajib. Aku selalu berusaha untuk menghiburnya, bernyayi lagu kesukaan, memetik bunga, mengajaknya makan KFC bersama ponakan-ponakan yang lain, membuat dia tetap tersenyum dan selalu berdusta kepada nya kalau ayah nya sekarang lagi dirumah sakit untuk dirawat padahal lagi dalam proses menjalani hukuman. Waktu itu, umurnya hampir 2 tahun dan akupun baru mendapatkan pekerjaan setelah 1 tahun lama ngangur setelah lulus S1. “mana teman-teman yang selalu ia banggakan, disaat seperti ini siapa lagi yang perduli kalau bukan saudara sendiri, ya....berharap dengan kejadian ini ada hikmanya mudah-mudahan ia berubah,” celoteh ku kepada mamak ku. Hari demi hari hukuman terus dilalui. Sebelum diponis, kami berharap mendapatkan keringanan dengan cara minta tolong dengan jaksa yang menangani kasusnya dengan dimintai uang Rp 3 juta, eeh...ternyata hasilnya kosong. Uang hilang dan hukuman pun tidak mendapatkan keringanan. Sebenarnya menurut ku, kasus yang menimpa kakak ku itu, tidak cukup bukti dan cendrung dipaksakan dengan cara menjebaknya. Aku sendiri tak paham kok ada orang yang tidak suka dengan keluarga kami. Dasar orang awam tak mengerti mengenai hukum, jadi santapan empuk oleh oknum yang tak sedikitpun punya rasa malu dan iba terhadap orang yang tertimpa musibah. Kedekatan dengan keponakan ku yang cantik, membuat mamak ku refleks mengucapkan kata “senang betul, dikirain Ayahnya sendiri”. Kata itu membuat keponakan ku menjahui dan aku pun sempat menugur mamak ku dengan mengatakan “ kenapa mamak bicara seperti itu, dia menjadi sedih. Aku tak tegah melihat wajahnya yang menahan tangis dengan muka memerah,” Ucap ku dengan nada sedikit tinggi walaupun aku sadar dan yakin kalau mamak tidak sedikit pun bermaksud untuk melukai hati cucunya. Lain lagi dengan kakak yang satu ini, abuse pun jua ku rasakan walau aku sempat ingin mengikuti jejaknya, karena menurutku ia lah yang pertama kali yang bekerja diperusahaan besar automotif sebagai mechanik setelah tamat STM. Kakak ku satu ini ikut mewarnai wajah ku degan bogem mentah sehingga pipi ku kembung sebelah. Ada suatu kalimat yang sampai saat ini masih ku inggat dari dia yakni “kalau mau melawan aku, besarkan dulu badan mu,”ucapnya sambil menertawakan aku agar membuat ku bertambah kesal lagi. Sementara, kakak ku satunya lagi pernah meninju telak di ulu hati ku yang membuat tubuh ku roboh dan rasanya mau pingsan. Dan sampai sekarang masih ada bukti nya di kepala ku yang tak pernah hilang bahkan akupun tak tahu apa penyebebnya, yaa...angap aja warisan kenangan masa kecil. Dari semua saudara ku, pada saat berkelahi sama sekali aku tak mampu untuk memukul balik. Tangan ini terasa berat dan terkunci untuk melakukan pukulan balasan. Hal itu sangat terasa oleh ku, hati ini rasan nya tidak mengizinkan utuk membalas. Timbul pertannyaan dalam benak ku, kenapa ya? Jelas–jelas dalam ingatan ku, waktu berkelahi dengan salah satu kakak ku, dimana aku telah duduk di bangku SMA yang tak jelas permasalahannya apa. Ia langsug meninju jidat ku, dikala aku sedang duduk sembari makan dan nonton TV bareng keluarga lainnya setelah keluar dari kamar selepas tidur malam, ya....sudah menjadi kabiasaanya kalau malam berkeliaran dan tidur bangun nya siang hari pada saat itu. Waktu menunjukan sekitar jam 11-12 an, sementara saat itu aku baru selesai mengecet rumah. Istirahat sejenak lalu makan siang, ia keluar dari kamar dan langsung memarahi ku 26
seraya berkata “kenapa kamu makan diruang tamu” mendengar bentakan itu spontan saja aku tersentak dan mengalihkan pandangan mata ku semula ke TV langsung ke matanya. Tak terima dengan sorot mata yang menurutnya melotot sebagai reaksi tidak suka langsung saja aku ditinju tepat di jidat. Sepontan atas kejadian itu nasi yang masih dalam mulut ku yang kulumat dengan rakus lansung berlomba-lomba dan melarikan diri semua. Tak terima diperlakukan begitu terus, aku pun bangkit dengan amarah dengan naluri pembunuh. Kami pun bergulat seperti pegulat profesional dan akhirnya kepala kakak ku berada didalam cengkraman ku dan tangan kanan ku dalam posisi bebas untuk menghantam kapalaknya. Dengan emosi yang memuncak dengan kepalan tangan kanan bak godam yang hangat siap untuk mengahancurkan batu yang keras sekalipun. Pada akhirnya hal itu tak terjadi , hati ku tak mengizinkan untuk melakukan itu. Ada ikatan kuat yang membuat aku tak mampu untuk membalas dan akhirnya tangan kanan ku lemah dan lemah untuk selamanya. Abus-abuse yang dulu terjadi masih tersimpan segar dalam ingantan ku, tekadang hal itu masih berefek pada kepribadian ku singga sekarang. Setiap kali kalu ada keributan rasanya aku ingin bersembunyi dalam tanah atau mungkin berlari dari keributan itu. Aku tahu itu salah, masalah tak akan pernah berhenti mengahampiri kita, jadi aku berusaha untuk mengkokohkan kaki dan menarik nafas panjang agar tidak panik meskipun demikian tetap saja keringat ketakutan mengkristal keras di badan yang memaksa keluar melewati pori-pori ku yang gemetar. Jalan Menuju Naga , Posisi dalam keluarga Sebagai anak urutan nomor 5, jelas aku bukanlah anak yang beruntung karena dibawah ku masih ada 1 lagi. Posisi tersubut membuatku harus mandiri dengan terpaksa karena orang tua dan kakak-kakak ku selalu meminta ku utuk melakukan seswatu. Dikala sedang berkumpul, saudara-saudara ku asyik bercerita sekedar mencairkan keadaan yang selalu tegang pada waktu bapak ku pulang ke rumah dari manarik angkot, menjelang Magrib. Sambil membantu bapak dalam menghitung uang hasil tarikan dikala itu. Saudara-saudara ku becerita tentang apa yang menjadi pemikiran meraka. Semuanya berjalan degan wajar, namun ketika aku ingin mengutarakan pendapat seperti mereka meremehkan dan cendrung menganggap keberadaan ku tidak ada. Dari situ aku mulai mengerti kalau hirarki dan senioritas dalam keluarga ini sangat kental dan akhirnya aku lebih memilih diam dan tak pernah mengutarakan pendapat lagi. Namun dalam benak ku, aku bekata “biarlah apa yang menjadi pendapat ku, ku utarakan dalam tidakan ( speak less do more) dan ku simpan sampai saatnya tiba dan berharap ada yang mendengarkan dan menghargai pendapat ku dengan penuh harap, someday”. Setelah megalami semua abuse dengan sejarah kelam yang telah menfosil dibenak ku, hari itu aku berjanji kepada diri ku sendiri untuk tidak mengulang sejarah yang sama. Akan ku ciptakan keluarga yang sederhana, penuh dengan kehangatan dan ketenangan tanpa sedikitpun kekerasan serta berusaha untuk menjadi pendengar yang baik buat anak-anak ku kelak. Tak ku relakan anak dan istri ku menangis karena ulah ku dan juga tak ku relakan jika anak-anak ku tidak bangga dengan bapaknya sendiri. Tiada kemalangan yang paling malang jika anak kita merasa tidak bangga dan takut lalu kemudian menjauh dari kita dan tiada kesuksesan yang paling sukses melainkan membuat anak-anak kita merasa bangga terhadap kita dan membuat mereka selalu nyaman jika selalu berada disisi kita. Semua rangkaian abuse yang telah ku alami itu telah membuat ku menjadi pria yang ramah, bisa menghormati pendapat orang lain, mau mendengarkan nasehat meskipun dari 27
anak kecil sekali pun, dapat banyak pelajaran dan pengalaman dan yang paling terpenting adalah bisa menghantar ku untuk mewujudkan rumah tangga yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kehangatan yang akan ku wujudkan kelak. Begitulah cara Allah mendidik ku dengan caranya unik yang mulai tersadarkan oleh ku baru-baru ini. Terhadap mereka aku tetap menghormati dan bangga dengan mereka, sebab jika tidak mungkin aku tidak bisa sampai seperti sekarang ini. Mungkin tanpa mereka, bisa jadi aku hanyalah mahluk yang lemah persis seperti cacing, memiliki mental yang kerdil, dan hanya bisa menyusahkan keluarga saja. Jadi, aku ucapkan banyak termakasih untuk kebersamaannya salama ini. Ingin rasanya terus ngumpul bareng dengan kalian dan berbincang-bincang lagi, terlebih lagi melihat keponakan-keponkan ku yang tercinta yang makin tumbuh besar, pintar-pintar dan mulai beranjak dewasa. Untuk keponakan-keponakan ku tercinta; Yd (si stiker football), Rg (si pelawak yang memiliki beberapa keidentikan sifat dengan cik), Da (si dokter cantik), Rauh (satu garis tangan sama dengan cik), Zl (si imut-1), Vn (si imut-2), dan Al (calon Imam Masjid Agung Palembang berikutnya), jadilah anak-anak yang baik, rajinlah beribadah dan harus bisa menghormati dan berbakti kepada orangtua, karena ridho orangtua adalah juga ridho Allah. Kejar cita-cita kalian dengan mengeluarkan kemapuan terbaik dari diri kalian masing-masing, cik yakin kalian pasti bisa. Buatlah sejarah baru dalam dinasti keluarga kita agar nama harum kalian tercatat dalam hierarchy keluarga besar Hamid dan akan dikenang oleh generasi-generasi setelah kalian. Amin...ya...robal..Alamin. Dan buat calon keponakan-keponakan cik yang belum muncul, kalau tertarik ingin bergabung dengan keluarga besar kami, maka silahkan bergabung dan cik ucapkan selamat datang dan selamat bergabung dengan keluarga besar Hamid. Yakinlah, kasih sayang kami sebagai orangtua tak kan pernah habis untuk kalian dan kalian berhak atas kasih sayang yang utuh dan bermanja-manja dengan cik karena cik suka dengan itu semua. Jalan Menuju Naga , Aku ingin cepat besar dan menacari jalan ku sendiri Dengan posisi yang terjepit alias bungsu engak jadi, membuat diri ku sering dijadikan object abuse-abuse para senior. Selain abuse-abuse yang akrab terjadi terhadap ku, juga sering kali pendapat-pendapat ku dipatahkan alias omongan ku tak didengar karena dianggap masih anak kecil, jadi tahu apa!. Karena seringnya hal itu terjadi terhadap ku, aku pun gak sabaran ingin cepat tumbuh besar dan berusaha mencari jalan hidup ku sendiri. selain itu, aku tak menumukan contoh ideal sebagai panutan yang bisa membimbing ku menuju pria dewas yang bermental naga, dirumah. Juga aku merasa keberadaan ku tak berarti di keluarga ini. Aku sering berencana kalau ketika besar nanti aku ingin merantau kemana saja yang terpenting bisa keluar di rumah ini dan menata masa depan ku yang lebih indah dan mencari panutan yang ideal buat ku. Bahkan pernah sewaktu ketika ku mengambil foto kedua orangtua ku dari foto album keluarga, lalu kemudian foto tersebut aku gunting menjadi seukuran foto dompet tentunya untuk bisa ditaruh didompet. Hal tersebut aku lakukan bertujuan jika nanti aku merantua dan sewaktu-waktu merasa kangen dengan orangtua, hanyalah foto bisu yang menjadi pengobat rindu ku didalam perantauan dinegeri orang. Masa-masa ini sangat rawan, sedikit saja aku salah langkah, maka masa depan ku akan kelam salamnya. Namun ketika meranjak dewasa, sekuat-kuatnya keinginan ku untuk pergi dari rumah dan mencari jalan hidup ku sendiri setelah tamat SMA, semuanya terpatahkan jika melihat mamak ku yang sering merenung dan sering sedih dalam menghadapi coabaan hidup ini, jadi akhirnya dengan sangat berat hati aku harus tetap bertahan dirumah ini sembari berusaha untuk membahagiankan mamak dengan cara ku sendiri dan kulanjutkan jalan hidup ku di kota Palembang, kota dengan jargon “Palembang kota Internasional” serta mencari nafkah tanpa memilih-milih perkerjaan. Kalau pun akan pergi, aku akan pergi jika memang sudah waktunya. Pernah pada saat-saat itu, salah satu 28
kakak ku menawarkan kepada ku untuk ikut bekerja di bengkel motor yang dibukanya. “udah dari pada ngangur mending ikut aku saja belajar montir,”tawar kakak kepada ku. Terhadap niat baik itu pun, ku sambut dengan senang hati dan mengatakan “untuk saat ini belum dulu, aku mau berusaha sendiri dahulu dan mencari jalan hidup ku sendiri, sekalian cari pengalaman diluar”. Terhadap itu pun kakak ku bisa memahami atas keinginan ku, biasa darah mudah. Jalan Menuju Naga , Kernet Angkot Awal-awal aktive masuk SMA, aku tak begitu bersemangat belajar karena sekolah SMA yang ku jalani sekarang bukanlah pilihan ku. Setelah lulus MTS aku berkeinginan melajutkan sekolah ke STM, namun gak lulus test penerimaan. Akan tetapi ketika menjelang kelas 3 SMA, semangat ku bangkit dan mulai serius menekuni pelajaran walaupun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Sangking semangatnya sekolah, sekalipun hujan lebat tetap ku terobos berlari-lari dari rumah menuju sekolah. Tas sekolah yang ku bawa ku lapisi dengan pelastik lebar sedangkan kepala, ku pakaikan kantong pelastik dan setiba di sekolahan tentunya badan ku basah kuyub semua. Kalau udah begitu, paling baju dan sepatu aku lepas dan lalu kemudian aku angin-anginkan dijendela kelas. Menjelang kelulusan, sadar kalau fisik ku tidak sekuat lelaki pada umumnya maka aku pun kebingungan akan menjadi apa aku kelak setelah tamat SMA. Aku pun memulai langkah pertama ku dengan memberanikan diri untuk berbuat seswatu lalu dengan langkah kecil. Pada awalnya, aku hanya ingin bekerja sebagai buruh angkut di kapal. Tak tahu kenapa cuma itu pekerjaan yang terlintas dalam benak ku, ya....mungkin aku bukanlah “Good Dreamer”. Serendah itukah cita-cita ku. Jujur ku akui kalau aku bukanlah pemimpi yang baik. Aku hanya mengharapkan untuk hidup sederhana dan tenang di gubuk kecil bersama istri dan anak-anak tercinta yang selalu ada disekitar ku. Tak pernah terlintas dalam benak ku ingin mejadi orang yang sukses, karana bagi ku itu tak akan pernah terjadi dan kesuksesan itu tergantung kita yang merasakan. Sukses menurut pandangan kita tentunya berbeda sukses menurut pandangan orang lain. Mengetahui bahwa aku lulus SMA. Sentak aku dan bersama teman-teman, tak luput dari coret mencoret baju sebagai perwaujudan rasa bangga karena telah lulus dan merasa bahwa tekanan hidup telah berakhir. Padahal sesungguhnya disitulah tantangan hidup sesengguhnya. Sambil menunggu ijzah keluar, pemuda seusia ku pasti memiliki semangat 45 untuk mencari uang. Sembari menunggu, aku mendapatkan pekerjaan sebagai kernet angkutan dalam kota. Kami mendapatkan ship sore yakni dari jam 2 sampai jam 10 malam.Uangnya lumayan, hanya dalam setengah hari aku mendapatkan uang rata-rata 6 ribu dan setelah uangnya kukumpulkan, aku pun membeli celana dasar panjang hitam dan baju kemeja untuk modal melamar kerja kelak kalau ijazah ku keluar. Nah selama menjadi kernet angkot, ada cerita yang mengelikan teman. Waktu itu lagi menunggu penumpang aku mintak waktu sejenak pada Awi (Pria berpostur kecil dari daerah sekayu yang gemar sekali mengkomsumsi minuman-minuman keras. Bahkan sangking gemarnya, hampir setiap malam ia mabuk karna terlalu banyak minum angur merah) untuk membeli es, haus kerena teriak-teriak habis mangil penumpang. Duga ku mungkin karena kebanyakan minum, setalah penumpang baru berisi beberapa orang, ia pun langsung seja menstater mobil dan laju tanpa ingat kalau aku masih beli es yang kemudian dibungkus dengan maksud bisa dibawah. Habis dari beli sekantong es, aku mendapatkan mobil dengan nomor 181 dengan trayek Masjid Agung-Pakjo Pelembang sudah lepas dari kandangnya alisa sudah gak ada lagi ditempat. Sentak akupun terkejut dengan hal itu, langsung saja aku cari dan ku kejar 29
siapa tahu gak terlalu jauh dari tempat semula. Melihat kejadian itu akupun tertawa karena yang uangnya aku yang pegang semua. Hahahah.......itu lah jadinya kalau otak udah banyak disiram minuman keres jadi gak fokus. Pekerjaan ini pada awalnya tidak diketahui oleh saudara ku yang lain, tapi lama-kelamaan mereka pun tahu akan itu dan sedikit heran dengan apa yang mereka saksikan, duga ku. Jalan Menuju Naga, Tawaf di kota Palembang Hampir 5 bulan aku melakoni propesi kernet angkot, uangnya pun ku simpan. Sebenarnya aku sangat tertarik dengan dunia bisnis tapi dengan cara apa aku memulainya. “seandainya saja ada teman yang bisa mengajari ku bagai mana cara dan strategi bisni,”ucapku sambil menghela nafas. Setalah tak lagi melakoni peran sebagai kernet angkot dalam kota, aku terus mencaricari kerja dari satu tempat ketempat lain. Dengan modal ijazah SMU yang dilengkapi seragam hitam-putih, ciri khas orang yang ingin mencari kerja, aku pun terus mengayuh kaki yang berat ini. Berangkat dari rumah sekitar jam 8 pagi dengan semangat yang hampir redup, aku memulai langkah pertama ku dari rumah menuju pasar, perkantoran dan pabrik. Start dari Jalan Demang Lebar Daun lalu ke Jalan Jend. Sudirman terus Jalan Perintis Kemerdekaan kemudian Jalan Merdeka selanjutnya Jalan Balap Sepeda dan kembali lagi ke Jalan Demang Lebar Daun yang sebelumnya melewati Jalan Angkatan 45 terlebih dahulu. Setiap kantor, baik swasta maupun negeri, pertokoan, pabrik dan pasar yang kulewati langsung aku hampiri dan menanyakan lowongan pekerjaan. “permisi, ada lowangan pekerjaan tidak pak?,” Tanya ku lugu. “maaf dik, gak ada lowongan pekerjaan. Kalaupun ada biasanya kita beritahukan melalui media masa,”jawab seorang security sebuah perusahaan. “kerja apa saja pak, gak apa-apa yang penting saya mendapkan pekerjaan,”tanya ku lagi seraya memohon. “kamu tamatan apa?,”tanya security lanjut. “SMU pak,”jawab ku senang. “wah...tamat SMU, susah dik. Kamu kalau mau tahu lowongan perkerjaan sering-sering baca koran, biasanya ada tuh, siapa tahu kamu dapat pekerjaan,”ucap nya menasehati ku seraya mengakhiri percakapan. Dan semangat ku tambah redup lagi. Dari rumah, aku terus berjalan kaki bermil-mil jauhnya dan hanya membawa bekal uang sebesar Rp 1500. Hidup di kota besar seperti Palembang tentunya banyak kendaraan umum. Dengan modal segitu tidak mungkin aku naik angkot. Hal itu terus kulakukan hampir selama satu bulan lamanya dan jika ada perusahanan yang belum sempat kumasuki akan ku petakan untuk rencana keesokan harinya. Pergi pagi, pulangnya menjelang malam. Dengan langkah yang lemas, badan sempoyongan dan pandangan mata yang berbayangbayang karena kecapek-an berjalan kaki bermil-mil jauhnya ditambah lagi perut ini belum terisi nasi, aku melepaskan sepatu kusam setelah merobohkan tubuh di korsi depan teras rumah. Capek, gerah, haus dan sangat lapar. Setelah melepaskan sepatu plus kaos kaki yang memiliki khas orang pejalan kaki alias bolong di ujung jempol kaki dan bau masam pekat hasil campuran keringat dan uap panas kaki, aku langsung masuk kamar dan bersiap untuk mandi. “byuuuuurrrrr......byurrrrr...rrrr” suara air asyik ku mainkan ke tubuh ku yang gersang. Selepas mandi, lalu minum air untuk menahan lapar sejenak. Setalah Sholat Magrib, aku pun makan bersama-sama keluarga. Melihat ku yang tampak rakus dan kemudian setalah makan lalu lansung tidur, mamak pun memperhatikan tingkah anaknya dengan sorot mata yang aneh. Sejenak ku rebahkan tubuh ini yang telah berjalan bermil-mil jauhnya dibawah terik Matahari, pekatnya asap kenalpot kedaraan yang memadati kota Palembang, kelakson mobil yang nyaring menyerang ku saat mau menyemberang jalan dan congkaknya gedung30
gedung tinggi yang selalu membuat dengkul gemetar ketika untuk melangkah masuk hanya untuk menanyakan lowongan perkerjaan. Kira-kira jauh jaraknya mencapai 20 kilo pulang pergi, dengan jarak seperti mungkin aku telah tawaf alias mengelilingi kota Pelembang. Walaupun dengan kondisi yang kecapek-an dan rasannya ingin cepat tidur dan mimpi yang indah, aku malah melamun dan susah tidur. Kupaksakan pejamkan mata agar cepat tidur dan melanjutkan perjalanan lagi besok, akan tapi mata ini malah mamandangi langit-langit rumah dan otak ini malah memikirkan perusahaan mana lagi yang akan ku temui nanti esok pagi. Sampai mata ini berbusa-busa dan mengeluarkan air mata tapi bukannya menangis aku tatap tak bisa tidur. Otak ku terus berontak memikirkan besok bagaimana carannya agar supaya mendapatkan pekerjaan. Pertanyaan-pertanyaan terus-menerus timbul dalam benak ku dan akhirnya aku pun tertidur tanpa sadar. Esok paginya, aku melanjutkan lagi mencari kerja dengan cara yang sangat bodoh kerena ketidak tahuan ku. Sulit, bahkan tidak akan pernah mendapatkan perkerjaan dengan cara seperti itu. Langkah yang belum kokoh sempurna, pagi dan pada jam yang sama kulangkahkan kaki ku dengan membawa map merah. Terus ku ulangi lagi dengan mananyakan lowongan perkerjaan kesetiap kesempatan yang ku temui diperjalanan. Dibawah terik Matahari, terkadang sejenak aku numpang berteduh di perkantoran setelah menanyakan lowongan pekerjaan. Semangat terkumpul lagi, lanjut ke perusahaan berikutnya. Terus melangkah, walau terkadang hujan turun rintik-rintik. Biasnya dalam kondisi tersebut map yang berisikan surat lamaran pekerjaan, ku masukan dalam baju. Namun, kalu bidadari diatas sana sedang mandi, maka tidak mungkin aku melanjutkan langkah ku. Tentunya mecari tempat yang teduh. “Alangkah enaknya seandainya sekarang ada secangkir teh panas, sepiring pisang goreng manis sambil duduk didepan TV dan rokok kretek ditangan, huuuuupt.....huusssss,” banyang ku seraya memperagakan orang yang sedang merokok kerena hujan turun sedikit lebih lama dari biasanya. Kala itu, aku sering menciptakan ilusi yang kebalikan dari nasip buruk ku ini, hal itu sekedar menghilangkan rasa lapar, haus, panas dan kedinginan dan atau ketika terik Matahari terlalu terik, aku pun merasa haus atau lapar maka dengan uang seadanya, kadang Rp 1500, kadang Rp 1000 ku belikan gorengan dan segelas es. Itu lah yang ku makan dan ku minum selama aku mencari kerja dengan cara yang konyol. Jalan Menuju Naga, Penyiar radio Dengan mata yang redup dan keluguan mencari kerja, aku juga sempat melangkahkan kaki ke salah satu stasiun radio anak muda di Palembang. Aku mendapatkan kabar kalau stasiun radio tersebut membutuhkan penyiar, hanya itu informasi yang kudengar. Kualifikasinya seperti apa aku tidak tahu persis. Dengan penampilan ciri khas pencari kerja yakni pakaian hitam putih dengan map merah berisikan lembaran surat lamaran pekerjaan, kulangkahan kaki ku menuju gerbang masuk yang ada penjaganya. “permisi pak, saya mau melamar pekerjaan sebagai penyiar,”tanya ku kepada penjaga tersebut. “oh....mau melamar kerja ya? Silahkan saja masuk kedalam, udah banyak tuh yang lagi test nyiar,”jawabnya. Mendapatkan izin, aku pun segera masuk kedalam ruangan penyiar yang disana kudapatkan ada beberapa orang yang sedang test nyiar. Aku pun sempat syok melihat penampilan mereka. Rabutnya dicet, pakai celana lepis dengan sedikit ornamen persis celana koyak. Nah.....sementara aku, mengunakan pakaian kemeja dan calana panjang dasar (hitam-putih) dengan model rambut persis seperti model rambut Pak JK atau Jend. Wiranto. Sesaat aku merasa minder dan hilang percaya diri, namun udah kepalang 31
basah gak bisa langsung kabur dari situ dan aku pun meneruskan misi ku untuk mencari kerja. “Pak maaf, saya mau melamar keja sebagai penyiar,” tanya ku lagi kepada salah seorang panitia penerimaan tersebut. “wahhh....maaf dik, lamarannya udah ditutup dari 3 hari yang lalu. Sekarang kita sedang melakukan pengetesan mengudara terhadap beberapa kandidat yang kami nyatakan layak menjadi penyiar radio. Maaf ya...lain kali aja,” terangnya kepada ku. Lagi, kegagalan demi kegagalan dan penolakan yang ku dapatkan. Walaupun demikian aku tak mau menyerah, sampai mana pun akan kukejar. “Masak sih, sebanyak perusahaan yang ada dan dunia sebesar ini gak ada satu pun yang menjadi milik ku, mustahil. Semangatttttttttt!!!!,” teriak ku lantang, tapi hanya dalam hati. Jalan Menuju Naga, Gedung Bank BI dan officer BI Setiap kali menelusuri Jalan Jend. Sudirman, aku selalu melemparkan pandangan ke gedung yang berdiri kokoh dan besar dengan didominasi cet warna putih. “wahh...seandainyan aku bekeja disini alangkah bangganya orang tua ku,”racau ku menghayal. Gedung itu ialah Bank Indonesia. Saat itu, aku sangat minim informasi mengenai perbankan. Baik cara melamar dan strategy untuk mendapatkan perkerjaan di perbankkan. Yang belakangankan aku ketahui kalau mau melamar di Bank jika tidak ada relasi orang dalam, maka jangan pernah berharap bisa diterima kerja. Mata ku selalu terbelangak lebar persis seperti orang yang berada diatas puncak kenikmatan jika melihat gedung BI tersebut dan selalu menghayal untuk dapat bekerja disana. Setelah puas menghayal maka kuputuskan untuk melamar kesana. Setelah menjual pelastik-pelastik bekas dari ember, gayung pecah dan botol shompo yang ku kumpulkan lalu uang hasil pejualan limbah rumahtangga tersebut ku belikan kertas doble pelio, map mereh, cuci photo dan foto capy KTP dan KK. Selanjutnya ku ramu menjadi sebuah surat lamaran yang tak Standard Nasional Indonesia (SNI). Setalah semuanya siap, dengan bantuan do‟a ketika Sholat Subuh tadi. Maka aku melangkahkan kaki langsung ke BI, karena hari ini BI lah menjadi target ku berikutnya. Sesampainya disana, aku melapor ke bagi keamanan dan mengatakan untuk menyerahkan lamaran pekejaan. “pagi pak! Permisi, saya mau masukan lamaran perkerjaan,”sapa ku ramah seraya ingin melamar pekerjaan. “oh..mau melamar pekerjaan ya? Yah ..silahkan dik langsung saja ke atas,”jawab penjaga pos keamanan tersebut. “makasih pak, terus diatas saya nemui siapa ya?,”tanya ku lanjut. “adik naik ke lantai 2. Dilantai 2, persis didepan tangga naik, kamu masuk saja kedalam ruangan itu dan sampikanlah maksud kedatangan mu,”jelasnya. Setalah mendapatkan penjelasan yang singkat namun padat, aku pun berjalan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan. Dari lantai 1 kemudian naik kelantai 2, kudapatkan persis seperti yang diberitahukan. Didepan tangga ada ruangan yang dindingnya dari kaca tebal seperti aquarium besar dan bisa dilihat dari luar ruangan. Ku lihat ada 1 orang didalam sana lagi mondar-mandir seolah-oleh mencari seswatu dan bersamanya ada map tebal berisi berkas-berkas. “mungkin ini yang dimanksud oleh petugas keamanan tadi,” ucap ku dalam hati. “Bismilahirohmanirohim, ya Allah bantu aku,”mohon ku kepada Allah seraya menguatkan kaki untuk melangkah. “tok-tok, permisi pak. Maaf pak mengangu sebentar,”pinta ku pada officer tersebut untuk sejenak memberikan perhatian. Dengan pandangan yang kurang bersahabat lalu ia berkata “ada apa dik, ada yang saya bisa bantu?”. “Maaf pak, saya mau masukkan lamaran pekerjaan,”kata ku sambil menyodorkan map 32
merah berisikan surat lamaran pekerjaan. Kemudian map itu pun diterima oleh officer dan mengatakan “ya..sudah ditinggal saja diatas meja”. Setalah meletakan map diatas meja, aku pun izin pamit dan merasa senang seraya berhayal seandainya aku dapat bekerja disini didalam ruangan yang nyaman dan sejuk dan besar yang dipenuhi semua fasilitas kantor, alankah bangganya orangtua ku. Belum jauh melangkah keluar dari ruangan itu, kira-kira baru 5 langkah, aku pun menoleh kedalam rungan keca besar dan melihat dari luar ruangan, ku saksikan map yang berisikan lamaran pekerjaan dimabil oleh officer tersebut. Sejenak aku merasa senang, mungkin ia mau melihat lamaran ku. Sejenak itu adalah sebentar, sobat. Seketika juga aku menjadi sedih dan lemas kerena officer tersebut memuggut surat lamaran ku diatas meja bukan untuk dibaca melainkan langsung dibuang ke scrapbasket alias tong sampah tanpa melihat lagi apa isinya tepat didepan mata ku. “brukkkk!..., masuk dalam kota sampah dan menjadi sampah selamanya”. Kadang-kadang jika teringat kembali kejadian itu, aku hanya bisa tersenyum dan tertawa geli. Karena setalah aku kerja disalah satu Bank Pemerintah dengan status gentayangan, baru aku tahu kalau melamar kerja di Bank atau perusahaan yang lain, ya...harus ada sesi penerimaan dan biasanya dimumkan di media masa dan surat lamaran disampaikan melalui via pos dan tidak melayani antar langsung. Jadi, aku bisa memahami sikap officer tersbut, dikala itu. Dan Bank tidak menerima lulusan SMU melainkan minimal S1 dan itu dikompetisikan seperti halnya di BI. Tapi terkadang juga jabatan itu bisa didapatkan dan dimenangkan di tingkat lobi, seperti yang marak terjadi dan banyak terungkap belakangan ini termasuk untuk menjadi pembesar BI. Walaupun begitu aku tetap berambisi untuk masuk dan bergabung di BI, tapi sekarang hal itu tidak mungkin lagi terjadi dan berharap ada salah satu dari keturunan ku kelak dapat mewujud kan cita-cita ku yang tertunda. Jalan Menuju Naga, Menjadi kuli banggunan Setelah puas mengunjungi dari pintu ke pintu, akhirnya aku memutuskan untuk menceri pekerjaan serabutan. Masih dalam rencana, aku berkeinginan untuk melanjutkan kuliah karena ingin belajar bisnis dengan teman-teman kuliah nantinya. Tentunya aku perlu uang untuk itu dan tak mungkin aku memaksa orangtua untuk membiayai kuliah kerena ya..tahu sendiri lah namanya juga keluarga besar, banyak saudara-saudara lainnya yang juga perlu diperhatikan walaupun sebenarnya jika aku memaksa untuk kuliah orangtua ku mampu kok, tapi aku tidak tega. Tahu kalau fisik ku tidak kuat untuk melakoni peran sebagai kuli bangunan, akan tetapi karena aku butuh uang untuk masuk kuliah, terpaksa aku harus melakukannya. Fisik ku lemah, terhirup debu yang bertebaran hasil dari menyapu rumah saja aku udah bersin-bersin sampai hidung ini meler. Ya...namanya juga kuli bangunan mau gak mau harus kena debu. Selaku kenek tukang, aku bertugas mengaduk cemen, mengangkat batu bata, pasir dan juga mengecat. Nah...setelah menikan batu bata satu persatu. Oleh karena sudah kena debu semen dan material lainnya masuk ke hidung sepontan membuat fisik ku ngedrop. Tubuh ku meriang dan kedinginan. Setalah pulang ke rumah, aku istirahat dan tubuh ku terasa demam tinggi namun terasa dingin dan meriang sejadi-jadinya. “hum!!!hum!!!hum!!!hum,”aku mengigil nenahan panas dingin. Keesokan harinya, aku memaksakan diri untuk terus bekerja. Dengan mengunakan jaket parasut yang super tebal aku tetap melangkah ke lokasi bangunan. Hari itu, setelah membuat dinding rumah, kami pun ngeflour alias bikin lantai dan harus diselesaikan dalam satu hari. Tentunya sebagai kenek tukang aku bertugas memix alias mengadon semen dan pasir menjadi satu. Dalam sekali ngadon, 5 sak semen dituangkan ke bak pengadonan yang terbuat dari papan. Karena dilakukan masih secara 33
manual, jadi banyak tanaga yang tersita. Satu persatu cemen aku tuang ke bak pengadonan yang sebelumnya pasir telah ku masuki duluan, debu semen pun bertebaran dari setiap sak semen yang kumasukan. Debu-debu itu terhirup segar oleh ku, sehingga membuat kepala ku terasa mau pecah dan itu memperparah kondisi ku. Kemudian lanjut mengodon semen dan pasir yang telah dicapur air, persis seperti demo masak tapi masak semen. Sekujur tubuh ku mengigil hebat dan mengucurkan keringat dingin yang deras seperti banjir bandang “srekkkk....herrrrrrr...hemmmmmm,”tubuh ku menggigil karena demam akibat terhirup debu, padahla aku telah mengunakan sampul tanggan untuk menutupi hidung ku dan telah mengunakan jaket parasut tebal yang ada penutup kepalanya, namun demikian terus ku lakukan. Tenyata tenaga ku diperas dan dihargai hanya dengan Rp 9.000 perhari. Setelah kurang-lebih 3 bulan lamanya pekerjaan membangun rumah pun hampir kelar dan hanya finising, sambil membersihkan ruanggan sejenak dalam benak ku berkata “ya Allah setelah ini, kemana lagi aku mencari uang,”pinta ku kepada Allah sambil menghela nafas panjang. Setelah beberapa kali melamar pekerjaan yang tak kunjung dapat, yang pada akhirnya memaksa ku untuk terus dan terus berlabuh disektor informal. Terhadap situasi itu, aku pun mulai meragukan keyakinan ku, kalau cacing bisa mejadi naga dan berucap dalam hati “sepertinya diri ini tak akan dan tak pernah bisa menjadi naga. Ya....namanya cacing tatap aja cacing, gak akan pernah bisa berubah menjadi naga. Kalau ular sih...mugkin, karena ular memiliki sisik dengan charakter tubuh yang mirip naga. Nahh....kalau cacing? jalannya aja nyut..nyut..nyut!,” sambil menirukan cacing berjalan dengan mimik jengkel. Jalan menuju Naga, Dari kuli menjadi kuliah untuk bisa belajar bisnis Setalah merasa cukup mengumpulkan uang untuk mendaftar masuk kuliah, aku pun menunjukan uang yang ku kumpulkan tersebut ke mamak sebesar Rp 900 ribu. “mak, ini uang hasil simpanan ku selama ini. Aku mau masuk kuliah, jadi mohon bantuan do‟anya,” ucap ku ke mamak, berharap medapatkan support untuk mandaftar kuliah yang pada saat itu saudara-saudara ku sempat menyangsikan aku. “kamu serius mau kuliah?,” tanya mamak kepada ku. “Ia mak, aku mau kuliah,” jawab ku yakin. Mamak memandang dengan pandangan yang binar dan kemuadian memberikan dukungan sepenuhnya kepada anak satusatunya yang bertekat untuk melanjutkan sekolah keperguran tinggi. “aku hanya bisa mendo‟a kan. Aku sangat senang sekali kalau ada salah satu anak ku yang masih bersemangat untuk kuliah, mamak akan mendukung mu sepenuhnya,” ucap mamak seraya merestui langkah ku. Sebenarnya tujuan ku untuk kuliah sangatlah simpel sekali yaitu ingin belajar tentang ilmu bisnis dari teman-taman. Aku rasa banyak orang pintar disana kelak yang bisa mengajarkan ku strategi dan ilmu bisnis. Sebelumnya aku pernah ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan gak lulus maka ku putuskan untuk masuk keperguran tinggi swasta, walaupun terkadang pernah terbesit rasa cemburu dibenak ku melihat mahasisiwa/i Universitas Sriwijaya (UNSRI) dengan antusia berangkat kuliah setiap kali aka melihat mereka menaiki bus mahasiswa. Keesokan harinya, aku mulai mencari informasi perguruan tinggi mana yang bagus dengan biaya administrasi yang terjangkau dengan kantong ku. Setalah puas mencari, akhirnya aku putuskan untuk mendaftar masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang lumayan murah dan berbobot di Palembang dengan jarak tempuh bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari rumah. Uang dikantong hanya cukup untuk membayar biaya administrasi masuk selama 1 semester awal. Seterusnya aku harus bisa memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang agar kuliah ku tidak putus ditenggah jalan. “ ahhh, yang penting masuk dulu, kedepannya gimana, 34
entar aja dipikirin. Kalaupun seandainya, ternyata nanti kuliah ku putus ditenggah jalan ya....apa boleh buat. Setidaknya aku pernah merasakan kuliah itu seperti apa,”gumam ku dalam hati seraya meyakinkan diri semuanya akan baik-baik saja. Jalan menuju Naga, Wanita Ekstrem Setalah test dan dinyatakan lulus, akupun membeli beberapa pakaian khusus untuk dipakai saat kuliah. Waktu itu pakaian yang ku beli seperti baju kemeja dan celana jens kubeli dipasar BJ (pasar dimana menjual pakian bekas namun masih layak pakai). Berikutnya ikut orientasi kampus dan seterusnya aku pun masuk kuliah seperti biasanya. Disini pula aku menemukan sesosok wajah yang samar-samar namun masuk kealam mimpi ku dengan sangat extrem. Wajah itu sempat kubenci karena sering membawa sial bagi hidup ku. Riska adalah namanya, wanita yang cantik, anggun, low profile dan ia memiliki saudari kembar yang bernama Riski. Awal-awal kenal dengannya banyak kejadian-kejadian yang tidak masuk akal dan kemudian membuat ku bertanya “siapa wanita ini?”. Pertamakali melihat wajahnya yakni pada awal masuk sekolah perguran tinggi, kami mengambil jurusan yang sama tapi beda program, aku mengabil program S1 sementara ia D3. Saat itu, masa-masa dimana semua mahasiswa/i menebar pesona dan tak terkecuali wanita bernama Riska, yang belakangan aku tahu kalau dia menghidap penyakit asma, jadi jika gerah karena kepanasan atau kedinginan sedikit saja sudah hik..hki.hik!!!! susah bernapas, hahahahh...hihihihih.....hukhuhkhuk...uhuk!..uhuk!..uhuk!(malah jadi batuk!). Riska itu sangat ramah dan santun terhadap siapa saja, tapi tidak dengan ku. Mungkin sudah menjadi karekternya ramah dan selalu tersenyum atau mungkin hanya sekedar menebar pesona. Waktu itu gue (ehh..gue? biar agak lebih gaul ceritanya!) duduk didepan taman kampus besama-sama teman sekelas, kami pun asik bercanda dan bercerita tetang cewek-cewek cantik di kampus yang menjadi incaran kegelisahan masa muda. “eh....Akbar, ada cewek cantik di kampus kita, dia anak D3 dan kembar lagi,”kata salah satu teman bernama Darius, yang mengusik lamunan ku akan berpikir tentang mancari uang. “Siapa,”saut ku pelan. “Itu loh...namanya Riska dan suadari kebarnya Riski, incaran teman-teman,”jelas teman ku seraya memancing ku untuk membuat ku penasaran. Namun saat itu, aku sangat tidak tertarik untuk mencintai seseorang wanita dan menjalin hubungan dengannya karena akan manambah beban bagi ku. Kenapa tidak, yang namanya pacaran pastilah mau jalan-jalan, nonton bioskop dan sebagainya yang kesemuanya itu memerlukan uang, sementara aku saja mengalami kesulitan uang untuk membiayai sekolah ku. Selang kemudian, dua saudari kembar tersebut melintas ditempat kami nongkrong dan kontan saja teman-teman ku langsung mengoda mereka. “akbar itu Riska/Riski cawek yang aku ceritakan barusan,” teriak Darius. Dengan rasa penasaran, aku pun beranjak dari singasana keras ku dan melihatnya melewati kami dan sempat ia melempar kan senyum keteman-teman. Saat itu aku tak tahu yang mana Riska dan yang mana Riski, mana yang lebih tua dan mana yang muda. “ohhh....itu Riska/Riski,”ujar ku kepada Darius. “gimana lumayan kan,”sautnya. Kemuadian aku pun berkata “ya....lumayanlah buat menghilangkan kantuk.....aouhhhhh!!!!,”jawab ku seadanya seraya menguap karena jenuh. Hari-hari berikutnya, perkuliahan tembah banyak tantangan dan aku mau gak mau harus menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Ada satu dosen yang pelit dengan nilai, kondisi tersebut membuat aku harus mengikuti Semester Pendek (SP) atau yang dikenal sekaran 35
dengan sebutan remedial dan ternyata saudari kembar itu pun ikut serta dalam SP. “Wah kebetulan nihhh...,” ujar ku dalam hati. Hari pertama mengikuti kelas SP, aku melihat wajahnya yang cantik nan anggun. Dia duduk dibelakang, sementara aku duduk didepan. Sesekali aku curi-curi pandang menoleh kebelakang dan kudapatkan wajahnya yang bermimik bersahabat dengan pipih memerah tersipu-sipu, tapi bukan siput!. Aku dan tamantaman geng ku yang dijuluki kelas STM karena isinya hampir laki-laki semua, bercanda dalam kelas mengisi canda sambil menunggu dosen masuk. Sangking kocaknya kami bercanda, ku geser sedikit kepala ku dan memandang ke arahnya, dia ikut tersenyum menahan untuk ikut tertawa. Tak lama kemudian, dosen masuk kelas dan memberikan materi kuliah SP. Semuanya terasa capat saat itu, tak terasa SP jam pertama usai dan kami pun istirahat sholat dan makan (isoma) sebelum kemudian perkuliahan dilanjutkan kembali. Setelah “isoma” ada sedikit watu renggang sebelum perkuliahan dimulai kembali. Anak-anak asik dengan kesibukannya masing-masing, ada yang berbincang-bincang dan ada yang sibuk untuk melakukan PDKT (pendekatan) yaitu aku. Ketika itu, kulihat ia bebas dari serigala-serigala kampus yang gentayangan mencari mangsa umpuk untuk dijadikan koleksi buruannya, dan itu merupakan kesempatan bagus bagi ku untuk berkenalan dengan nya. Berdiri sendirian di keramaian, langsung saja aku hampiri ia dan “ikut SP juga ya?” tanya ku padanya sok akrab. Dengan nada yang agak ragu ia menjawab “ehh..iya nih, dosen mata kuliah ini pelit banget dengan nilai”. Tanya ku lanjut “Kok sendirian”. Wajahnya mulai menaruh curiga terhadap ku, itu tampak jelas terlukis diwajahnya dan menjawab seadanya “engak..lagi pengen sendiri aja”. Pembicaraan pancingan sudah ku lemparkan dan akhirnya masuk ketujuan utama “eh..nama kumu Riska atau Riski sih,” tanya ku penasaran. Dan lalu ia memperkenalkan diri tanpa menjulurkan tangan kepada ku “nama ku Riska”. Kerena kepiawayan ku dalam membuat orang tertawa membuat ia merasa nyaman dan ia pun tak segan-segan lagi ngobrol dan shering yang dipenuhi tatapan liar mata ku. Situasi itu membuat kami berdua tampak akrab sampai dan waktupun tak berlangsung lama karena kemudian ia masuk ke kelas kembali setelah berpamitan. Mendekati wanita cantik bagi ku bukanlah hal yang sulit dan ia bukanlah wanita yang pertama. Aku pernah menghadapi wanita-wanita cantik sebelumnya, anehnya sulit bagi ku untuk merasakan cinta dan aku dimasa-masa itu termasuk lelaki playboy, sangking parahnya dalam satu minggu aku bisa mendapatkan pacar baru sebanyak 3-5 cewek dan umurnya pun tak pernah berlangsung lama. Satu bulan pacaran terus putus dikarnakan bosan, tiga bulan pacaran terus putus dikarnakan hal yang sama dan yang paling parah pernah dalam seminggu aku memutuskan hubungan dengan cewek. Kondisi tersebut sangat yang berlawanan dengan diri ku dimasa SMA yang cenderung pendiam dan introvert. Perubahan itu dimungkinkan karena aku dikala itu telah bergabung menjadi anak jalanan alias pengamen di bus kota. Jadi karena tempa-an nyali jalanan yang keras dan seringnya bersinggungan dengan penumpang yang cantik-cantik, dimulai dengan percakapan kecil yang akhirnya melahirkan jalinan hubungan pacaran. Untuk menaklukan wanita tidak lah sulit, cukup dirayu-rayu wanita pun bisa dengan mudah dijinakan meskipun mereka tahu kalau itu rayuan gombal tetapi tetap tergoda juga, hahaha. Dalam mendekati perempuan aku memiliki theory sendiri dan bagi ku sangat ampuh yakni “bahwa dalam mendekati perempuan jangan mengedepankan perasaan melainkan mengedepankan pikiran, jika tidak maka kau akan kalah dalam bercinta dan itu sangat sakit dan menyedihkan”. Jadi jika kita mendekati wanita yang kita sukai, maka jangan mengedepankan perasaan. Jika itu terjadi maka kamu akan kalah, hal itu dikarnakan tubuh mu akan didominasi oleh perasaan, dan sementara perasaan sangatlah sensitif dan rapuh. Kondisi tersebut membuat kita berusaha tampil sempurna didepan wanita, dengan kata lain sudah gak original lagi yang pada akhirnya kita 36
terlihat bodoh didepannya, serbah salah dan salah tinggkah yang akhirnya kita dikendalikan oleh keadaan. Tapi sangat berbeda hasilnya jika kita mengedepan pikiran, kita bisa berekspresi dengan bebas tanpa tekanan dan tidak berpikir takut salah ngomong atau apalah....dan yang terpenting kita lah yang akan mengendalikan keadaan dan kemenangan akan berada dipihak kita. Menarik bukan ....! Selain itu, dalam jalinan asmara aku penganut faham “putus satu jadian seribu” hari ini putus dengan satu cewek cari lagi yang lebih cantik dan sexy. Pernah berberapa kali aku bekenalan dengan perumpuan, bertemu pada hari itu dan bisa jadian pada saat itu juga, amazing bukan? Apakah mungkin karena sifat playboy ku yang sudah dititik puncak membuat aku tak tahu sebenarnya rasa cinta itu seperti apa, karena setiap kali pacaran aku tidak sama sekali meresakan cinta sedikitpun. Seperti apa sensasinya, seperti apa nikmatnya aku belum tahu dan bahkan sebagian orang mengatakan kalau sudah dimabuk cinta maka “tai kucing dimakan terasa chocolate” apa iya? atau kalau sudah merasakan cinta maka membuat hidup jauh lebih bersemangat dan bergairah!, yang lebih hebat lagi pelakunya bisa berkorban apapun demi cinta, baik itu waktu, harta, tenaga dan bahkan keluarga dan bahkan masih ada yang lebih nekat lagi, pelakunya bisa sampai bunuh diri karena cinta. Wow....! sedemikian asyikah rasa cinta itu sehingga bisa membawa pengaruh yang begitu kuat bagi penggagumnya? aku menjadi penasaran dan pingin juga merasakan sensasinya. Karena itulah aku juga ingin merasakan cinta bukan dicintai, akan tapi tatap saja hal tersebut masih dirahasiakan oleh sang pemilik ketetapan hati. Hari-hari berikutnya didalam kelas SP, aku tambah gencar mamandangnya dan setelah break aku pun menghampirinya kembali dan berkata tampa ragu kerena sebelumnya sudah pernah terlibat percakapan yang singkat tapi merupakan awal penjajakan selanjutnya bagi ku. “Hi Riska, apa kabar?,” tanya ku. “ehhhh..emmmm”, dia hanya diam dan binggung. “wah...! ini anak, amnesia juga,”gumam ku dalam hati karena melihat dia seperti orang pelupa. “hai! itu bukan Riska, itu saudari kembar ku,”teriak Riska dari sisi lain yang tidak jauh dari TKP, setelah melihat ku mendekati adiknya. “wahhh...sory salah alamat,”jawab ku kontan seraya salting alias salah tingkah. Percakapanpun aku lanjutkan dengan Riska dan bertanya “kamu tinggal dimana sih? dan nomor teleponya berapa?” aku tinggal dikos-kosan dan gak ada nomor hendphone (hp) yang ada nomor telepon ibu kos,”jawabnya tampa ragu lagi. “Boleh donk minta nomor telepon ibu kosnya,”pinta ku lanjut. “Sebenarnya sih boleh, tapi...gak enak sama ibu kos nanti jadi masalah”tolaknya diplomatis. Pada masa-masa itu, handphone masih merupakan komoditi yang terbilang mahal gak kayak sekarang. Dikala itu aku sama sekali tak ada perasaan dengan dia karena fokus ku pada saat itu hanya kuliah dan mencari uang untuk biaya sekolah. Dan perkenalan itu ku anggap angin lalu dan tak kulanjutkan lagi untuk mendekatinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan semester berganti semenster aku selalu dihantui rasa ketakutan karena takut tak mampu menlanjutkan kuliah dengan alasan biaya. Betapa setiap kali menjelang masuk semester baru, membuat bulu kuduk ku merinding dan tak bisa tidur memikirkannya. Namun Allah SWT sayang terhadap ku, DIA selalu hadir membela ku disaat tak ada lagi yang membela. Bagi ku, bukan aku yang berusaha melainkan Allah yang mengusahakan segala hal buat ku. DIA selalu memberi dengan cukup apa yang aku butuhkan, hanya untuk biaya semester dan tak memberi lebih....maunya sih lebih, hehehehehe. Mungkin aku termasuk orang-orang yang beruntung yang selalu mendapatkan pertolongan dari Nya. Semester berikutnya kami sudah jarang ketemu karen aku pindah waktu kuliah malam, sementara ia tetap pada jadwal biasanya namun ada yang berubah dari penampilannya yakni 37
ia pada waktu itu telah mengenakan penutup kepala alias jilbab dalam kesehariannya. Walau pun begitu ada satu mata kuliah yang jadwalnya pagi dan itu terkadang membuat kami ada kemungkinan untuk ketemu lagi tapi hanya sebatas kenalan biasa (mutual friend). Pernah suatu peristiwa dimana ia berbincang-bincang dengan teman ku yang temasuk kutu buku di depan perpus, aku pun ikut nimbrung disitu, namun kemudian aku melihat ia sudah menampakan wajah tak bersahabatnya terhadap ku dan setelah habis berbincang-bincang dengan si kutu buku Jimi, ia berlalu begitu saja setelah pamit kepada Jimi dan membuang mukanya dari muka ku. Hal tersebut membuat ku tersinggung dan marah karena sikapnya itu sangatlah tak sopan, kanapa tidak, jelas-jelas aku berada didepannya dan ia langsung berpaling muka dan belalu begitu saja tanpa menyapa ku. Sambil melihatnya berjalan menjauhi ku, aku pun bergumam dalam hati “lihatlah suatu saat nanti” kusebutkan tanpa sadar dan dari situ aku berniat untuk memacarinya dan setelah itu membuangnya seperti barang yang tak berguna persis seperti ia membuangkan mukanya dari pandangan ku. Ke esokan harinya dimana lagit di pagi hari terlihat cerah, membuat aku bersemangat melangkahkan kaki untuk berangkat kuliah dari rumah yang kutempuh dengan jalan kaki yang jaraknya lebih kurang 1 kilo mater. Setibanya di kampus, aktivitas perkuliahan berlangsung seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang, secara kebetulan aku bersama teman mengisi hari dengan canda dan ternyata saat itu Riska sedang duduk bersama temannya tak jauh dari tempat kami berkumpul. Melihat kondisi itu, aku makin lihai memaninkan kata-kata canda atau yang disebut “kelakar” dalam bahasa Palembang. Sangking ramainya, ku perhatikan ia pun ikut tertawa dengan kelakar khas pemuda Palembang yang kocak. Tak lama setalah itu, aku pun menghampiri nya dan menyapa selanjutnya mengajaknya ngobrol. Buah dari percakapan kami, aku mendapatkan alamat tempat dimana ia tinggal. Aku orangnya suka bertualangan sendiri, namun kali ini aku berniat mengajak teman ku Darius untuk menemani ku main kerumahnya nanti malam. Hal itu dikarnakan Darius memiliki motor yang lumayan bagus dan alasan lain untuk mengalihkan perhatian Riski, saudari dari Riska, jadi aku bisa focus untuk merayu dan terus merayu. Setelah merasa cukup percaya diri dan sekarang atau tidak sama sekali, tibalah malam dimana telah ku nanti-nantikan. Ditemani sahabat ku yang culun dan super pelit, kami berdua pergi untuk berkunjung ke rumah target (hem...,rumah target? reality show kali!). Tentunya saat itu penampilan ku biasa-biasa saja, sedangkan sohib ku berpenampilan anak kuliahan tulen. Sebelum tiba ditempat kediaman Riska, aku telah mendoktrin Darius untuk mengaliahkan perhatian saudari kembarnya tersebut dan terjadilah kesepakatan 2 pemuda jomblo untuk sama-sama mendekati 2 saudari kembar cantik itu. Rabu malam sekitar pertengahan bulan jam 19:30, tibalah kami didepan rumah kos-kosan mereka. “permisi, Asalammualaikum” sapa kami kepada penguhuni rumah. Tak lama kemudian muncullah wanita berjilbab yang semula aku pikir itu Riska, membuka pintu dan menyambut kedatangan kami seraya menjawab salam “Walaikum salam, cari siapa ya? Sesaat pikiran ku ngebleng, karena yang buka pintu bukanlah wanita yang ku kenal. “maaf, Riska nya ada?,” tanya ku langsung. “Ohhhhh, temannya Riska ya, dianya belum pulang dari tempat kursus bahasa inggris di brotherhood. Kira-kira satu jam lagi baru pulang dari kursus, gimana mau tunggu atau........????,”terangnya jelas kapada kami. Bagi orang telah kesurupan cinta, menunggu 1 jam itu adalah waktu yang sangat lama. Maka dari itu, aku memutuskan untuk langsung ketempat kursus yang kebetulan tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Dengan detak jantung yang berdebar-debar, aku dan Darius berdiri menunggu di halaman parkir brotherhood seraya melihat satu-persatu pesertanya keluar dari gedung tersebut. Beberapa saat kemudian nampaklah si kembar itu dipandangan mata ku. “ Yus itu meraka!,”teriak ku ke Darius. Dan kemudian langsung kuhampiri tanpa basa38
basi. “Riska!,”pangil ku dengan gelombang suara yang cukup tinggi. Mendengar teriakan itu, sepontan Riska menoleh kearah sumber suara dan mendapatkan aku sedang berdiri tidak jauh tempat ia berdiri. “ehh, Akbar. Ngapain disini? Tanya nya sedikit heran. “nunggu kamu la,” jawab ku lugas seraya menjelaskan padanya kalau kami sebelumnya telah kerumah dia. Setelah menerima penjelasan dari ku yang cukup meyakinkan, Riska pun langsung mengundang kami kerumahnya lagi seketika itu juga. Dikarnakan jarak tempat kursusnya tidak begitu jauh dari tempat tinggal, aku dan Riska pun berjalan kaki bersama-sama sembari berbincang-bincang kecil. Tak selang beberapa lama sampailah kami ditempat tujuan dan si kembar itu pun mempersilakan kami masuk. “silakan masuk, maaf sedikit berantakan. Maklum kalau datangnya tidak janjian ya gini jadinya,” culas Riska seraya merapikan ruang tunggu. Menyambut tawawaran itu Darius dan aku pun langsung mencari posisi yang nyaman. Bak serigala berbulu domba, aku menjalankan aksi ku sebaik mungkin. Ku buat suasana saat sangat menyenangkan dan dipenuhi dengan canda dan tawa. Ku kondisikan posisi ku dekat dengan Riska, sementara teman ku ku paksakan untuk duduk dekat dengan kembarannya. Rencanya pun berjalan sesuai dengan ke ingginan ku, akan tetapi teman ku tidak memiliki percaya diri yang tinggi untuk mendekati saudari kembarnya, jadi saat itu hanya aku yang memanikan peran dengan baik. Setelah tertawa terbahak-bahak karena candaan yang ku mainkan, aku mencuri-curi pandang ke wanita ekstrem itu dan ku dapatkan ia menangkap manksud dari kedatangan ku dan mulai menunjukan rasa malu dan tawa pun sempat terhentikan sejenak. “sungguh, memang menawan wanita satu ini di mata ku. Akankah bisa aku membawanya pergi dari sini,” khayal ku dalam relung jiwa yang tersadarkan oleh hujan yang turun tiba-tiba. Nah....! disaat hujan turun tiba-tiba, ada kejadian aneh terjadi, yakni motor yang kami tambatkan didalam pagar dibawah pohon, terkena air hujan dan setelah itu kontan saja mereka (si kembar) masuk kedalam dan mengambil sebuah payung dan kemudian mamayungi motor yang basah kena air hujan. Meliahat kejadian itu, sejenak aku berpikiran dalam hati “wahhh......cewek matrek ni!. Masak, motor yang kebasahan karena air hujan langsung di payunggi, sementara hujan sendiri masih sangat lebat. Yang ada juga kalau motor basah karena hujan, paling banter dilap-lap saja udah cukup. Nahhh.....ini dipayunggin!, orang yang aneh?”. Malam-malam berikutnya, aku pun datang kerumahnya sendirian tanpa ditemani Darius lagi. Hal itu kalakukan agar lebih leluasa untuk mendekatinya dan mencuri perhatian dia sepenuhnya. Suatu malam kami duduk diteras rumah, di situ kebetulan ada gitar ngangur, kepunyaan anak ibu kos. Lalu kemudian aku ambil gitar itu dan ku mainkan beberapa lagu pembuka sekedar berusaha membuat malam menjadi romantis, harap ku. Melihat kepiawaian ku dalam memainkan gitar, ia pun mintak aku mengajarinya cara main gitar. Mendapatkan tawaran itu kontan saja aku memanfaatkan moment tersebut dan bergaya seperti ahli gitar, dan kursus pun dimulai. Tak beberepa lama setelah itu, ia meminta ku menyayikan lagu lagi, ya sekedar untuk menghibur suasana. “mau lagu apa nih?,”tawar ku. “Lagu apa aja deh asalkan jangan lagu melo,” sautnya. Mendengar request tersebut, aku malah mendendangkan lagu melankolis alias lagu sedih, yakni lagu “Ibu” karya Iwan Fals. Beberapa menit setelah kudendangkan lagu itu, tampak kesedihan keadaan diwajahnya. Menyaksikan itu, aku pun berhenti bernyanyi dan menanyakan “kenapa sedih sih.....apa aku salah ya!” Sambil mengusap airmata yang terbendung ia pun mejawab “engak kok”. Jiwa ku jadi penasaran dan bertanya-tanya dalam hati sebenarnya gerangan apa yang terjadi, sejenak aku berusaha untuk menghiburnya dan membuatnya tersenyum kembali. Setelah itu ku tanya lebih lanjut “ada masalah apa sih?” dengan wajah masih memerah, ia pun menjawab “engak cuma ingat sama ibu aja di Bangka, kangen!”. Melihat itu aku pun berusaha memberikan pegertian kepadanya walaupun sebenarnya aku 39
gak tahu makna dari kesedihan itu dan apa sebenarnnya yang ia alami. Terus dan terus aku berusaha menghiburnya, aku pun bercerita tentang sekilas hidup ku, ya....,sekedar untuk mengimbangi perasaannya. Namun yang terjadi malah aku pun teseret kedalam suasana sedih karena cerita ku sendiri. Sebaliknya, melihat itu Riska pun jua berusaha untuk menghibur ku. Sejenak aku merasa kalau kami sama-sama bisa menjadi air untuk menyirami jiwa masing-masing jika dilanda kesediahan dangan kata lain kami bisa saling mengerti (mutual understanding), memahami (mutual conceiving) dan melengkapi satu sama lain (mutual completing). Mungkingkah.....? Semenjak malam itu, kedekatan kami pun makin erat. Akan tetapi aku belum sempat mengutarakan maksund dan tujuan dari kedekatan itu dan bagi ku perlu waktu yang tepat untuk mengutarakan keinginan ku, welaupun sembenarnya dia juga memiliki rasa suka, menurut insting ku begitu. Kedekatan demi kedekatan terus ku rajut yakni seperti ikut demo sama-sama, walaupun aku gak tahu apa yang dituntut oleh mahasiswa/i gabungan, dan menyapanya setiap kali bertemu. Namun seiring dengan kedekatan itu lama-kalamaan yang terjadi aku merasa ia tidak lagi merespon keberadaan ku. Pernah beberapa kali ditaman kampus, aku dan teman ku ngobrol bareng dengan teman-temanya. Yang ku perhatikan, kalau aku ngomong ia hanya diam dan tidak menunjukan rasa suka dan cenderung cuek terhadap ku. Sementara kalau yang ngomong orang lain ia mau merespon. Sikap seperti ini membuat ku bosan dan berniat untuk berhenti untuk mendekatinya. Akan tetapi jikalau akau melihat ia sedih, hati ku spontan ikut merasakan sedih dan terpangil untuk menghiburnya dan jika aku melihat ada yang menyakitinya secara spontan juga emosi ku memuncak dan ingin melabrak siapa saja yang telah menyakitinya. Perubahan sikap yang kualami itu diluar dari kontrol ku, tak tahu mengapa aku begitu ingin melindungi, menghibur dan menjaganya. Dari sinilah bermula semuanya menjadi misterius dan tak dapat diterima oleh nalar dari apa yang menimpa diri ku. Setelah ku panjatkan niat ku untuk tidak lagi mendekatinya, terjadilah hal yang tidak masuk akal bagi ku yakni dikala aku dilanda mimpi dalam tidur malam ku yang dimulai dengan kegelisahan. Dalam mimpi tersebut, kami bertemu dan kemuadian ia berlari menghampiri dan memeluk ku, seraya berucap pada “Kak kenapa lama sekali datang, Riska sudah lama nunggu”. Esok paginya, setelah terbangun mimpi tersebut masih menempel dengan segar di ingatan ku dan aku pun mulai menganalisah apakah maksud dari mimpi itu, apakah merupakan rislah ILLAHI atau hanya bungan tidur belaka? Setelah mengalami mimipi itu, aku pun mendapatkan lagi semangat ku untuk mendekatinya lagi. Fajar tiba, aku yang memang sudah bangun terlebih dahulu karena tak bisa mejanjutkan tidur lelap disebakan mimpi yang menurut ku syarat akan tafsir. Dengan rasa penasaran yang masih belum terjawab, aku langsung mandi, lalu sholat subuh dan kemudian salin pakain siap untuk berangkat sekolah (kuliah), setelah sarapan terlebih dahulu tentunya dan berangkat ke kampus bersama bekal restu dari orang tua. Sesampainya dikampus, aku terus memperhatikan setiap jengkal halaman kompleks kampus kalau-kalau ada wanita yang membuat ku tak bisa tidur nyak semalam. Berjalan naik tangga dari lantai satu ke lantai yang lainnya, ku lihat ia sedang konsentrasi dengan pelajaran dan itu terlihat dari raut wajahnya yang seruis menyimak bahan ajar didalam kelas. Tak lama kemudian kuliah jam pertama pun usai, ia bersama teman-teman dekatnya pergi ke kantin lalu kemudian istirahat ditaman. Aku yang sedari tadi asyik bencanda dengan teman-teman, sejenak perhatian ku tertuju ke taman kampus dimana tempat anak-anak istirahat sambil bercerita. Melihat itu, ku kuatkan langkah untuk menuju ke taman. Karena didorong rasa penasaran yang sangat kuat, membuat rasa malu ku sudah habis dan langsung saja ku hampiri kerumunan wanita yang memiliki hobby ngerumpi. Cewek kalau udah ngumpul, ya...ujung-ujungnya pasti ngebahas masalah cowok. Seperti biasa, aku ditemani oleh sahabat yang selalu setia untuk ku 40
manfaatkan. “hai Riska apa kabar? Sapa ku dengan semangat, walau dengan nada yang sedikit parau karena gugup. “baik,” jawabnya singkat. Selanjutnya percakapan dengannya pun menjadi garing, segaring dedaunan yang berserakan di taman dan tidak seperti yang aku harapkan. Pertemuan hari itu, hasilnya sama dengan pertemuan berikutnya. Dan kemudian, lagi aku memutuskan untuk berhenti untuk mendekatinya. Walaupun demikian aku puas, setidaknya rasa penasaran ku sedikit terjawab. “Alhamdullilah, ternyata hanya bunga tidur,” ucap ku seraya menghela nafas kosong. Tak selang berapa lama, sekitar 3 hari setelah mimpi yang pertama. Lagi, malam berikutnya aku mimipi dan kali ini mimpinya jauh lebih ekstrem. Tepatnya menjelang subuh aku mimpi tentang dia dan semunanya tergambarkan dimata ku dengan jelas, walaupun hanya mimpi. Didalam mimipi aku melihat, ia berada dikerumunan banyak orang yang kesemuanya itu tidak terlihat dengan jelas wajah-wajah mereka, akan tetapi hanya keberadaannya yang sangat jelas dimata ku. Dan kemudian ia mamanggil nama ku sebanyak 3 kali. Akbar,.........Akbar,......dan tepat pada pangilan yang ke 3 (Akabr) aku langsung kontan bangun dari tidur ku dan kemudian langsung disusul dengan kumandang suara azan Subuh. Keadaan ku saat itu sangat ketakutan seperti habis mimpi dikejar hantu. Sekujur tubuh ku dipenuhi dengan keringat jagung yang bercucuran keluar dari badan ku yang mamang tak mamakai baju. Sejenak aku berpikir sebenarnya apa yang terjadi pada ku. Mimipi ini persis kaya disinetron yang pernah ku tonton di TV, apakah ini isyarat atau apa?. Masih dalam keadaan tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan, aku berdiri dan melangkah dari tempat ridur lalu kemudian mengambil air wudhuk dan kemudian mendirikan sholat. Usai sholat, akupun memanjatkan do‟a dan menanyakan kepada ALLAH, SWT sebarnya apa yang terjadi pada ku dan kenapa ini terjadi pada ku, apa maksud dari semua ini, dan akupun belum menemukan jawabannya. Lagi, ke esokan harinya aku pun terus mendekatinya dan juga lagi aku pun dicuwekin . Reseponya terhadap ku tetap seperti hari kemarin, sedikit aku berpikir sejenak kemarinkemarin responnya sangat baik terhadap ku dan bahkan menurut ku ia juga merasakan hal sama seperti apa yang ku rasakan, namun belakangan semuanya telah berubah. Sementara disisi lain, ALLAH SWT terus membuat ku binggun atas apa yang nemimpa diri ku terus, terus dan terus. Niat ku pun diselimuti ketidak pastian, apakah harus kuteruskan atau hanya cukup sampai disini. Tapi apa yang terjadi, aku mendapatkan kenyataan yang sangat mengejutkan diri ku, namun demikian aku senang setidaknya ada titik cerah dari misteri mimpi yang tak diundang. Sore itu, dimana aku kuliah malam yang dimulai dari jam 16:30 sampai jam 22:00, aku ketemu dengan teman sekelasnya yang kebetulan aku kenal yakni bernama Alex di kampus. Kala itu, Alex ikut club basket dan latihannyapun sore hari. Saat sedang asyik melihat mereka latihan, Alex menghampiri ku dan berkata “Akbar, bisa ngomong sebentar gak,” ucap Alex dengan nada agak berat. “wah...kayaknya serius betul nih,” respon ku sambil tersenyum. “ aku cuma mau menyampaikan, tapi kamu jangan marah ya?,” melihat situasi itu aku pun mulai berpikir jauh “kira-kira apa sih permasalahannya, kayaknya serius banar dan kayaknya aku gak punya hutang dan gak punya musuh...deh,” terawang ku dalam hati. “masalah Riska,” tegas Alex. Mendengar nama itu, aku pun jadi ikut serius dan berkata “emang ada apa Lex,” tanya ku balik karena penasaran. “didalam kelas, aku melihat ia lagi merenung sendirian dan aku lansung ngajakin ia ngobrol. Lalu Riska bertanya pada ku, kalau aku berteman dekat engak dengan Akbar anak S1 dan kujawab saja iya,” cerita Alex. Dipenuhi rasa penasaran yang liar, aku pun menanyakan 41
kelanjutannya “terus Riska ngomong apa sama kamu,”tanya ku sambil ngotot. “ia mintak tolang sama aku, untuk memberi tahu kamu kalau ia sudah punya pacar dan ia tak bisa mengatakan itu kepada mu secara langsung karena memang ia tak bisa melakukan itu,” jelas Alex singkat, padat dan sangking padanya membuat dada ku sesak. Perasaan ku berkecamuk kuat dan buas, hampir 100% tubuh ku dikendalikan oleh nafsu amarah karena kenapa ia tidak dari awal mengatakan kepada ku dan malah mengunakan jasa orang lain untuk menyampaikannya. Sekarang ini bukan lagi masalah perasaan tapi masalah harga diri, jujur untuk masalah pribadi aku tidak mau orang yang menurut ku tidak berkempentingan tahu. “Lex makasih atas infonya, sorry udah ngerepotin,”ucap ku seraya mengakhiri pembicaraan saat itu. Masih dalam Lingkaran Sesak Imaginasi (LSI) yang juga dipadati rasa marah. Didalam kelas aku sudah tak menyimak lagi materi apa yang disampaikan oleh lecturer. Bayang ku, selapas pelajaran ini selasai aku langsung menemuinya dan meminta kebenaran pesan tersebut. Akan tetapi setelah memghatur nafas dengan perlahan-lahan, aku pun mulai bisa mengendalikan emosi dan akal sehat ku berkata “biarkan semua ini berlalu, kalau memang harus berlalu. Kalau masih dalam keadaan emosi tentunya tidak baik untuk mu”. Lalu kuputuskan untuk menemuinya 3 hari dari hari senin itu artinya hari rabu setelah usai kuliah malam. Hari demi hari belalu, sampailah dimana hari yang menurut ku tepat untuk menanyakan prihal isi pesan tersebut. Selesai kuliah jam pertama usai, kami langsung istirahat yang kemudian dilanjutkan dengan sholat Magrib di mesjid diseberang jalan kampus. Maklum namanya juga sekolah tinggi keristen tentunya tidak ada fasilitas Musolah dalam kampus untuk umat muslim mendirikan sholat. Setelah sholat Magrib usai, teman-teman kembali ke kampus dan aku masih didalam masjid. Sengaja aku menyepi dari teman-teman karena aku memerlukan ruang untuk sendirian untuk mengatasi permasalahan yang sedang ku hadapi. Setelah merasa sudah yakin, dengan mamakai sepatu yang ku injak bagain belakannya, akupun menuju ketempat kos-kosan Riska yang kebetulan tidak jauh dari masjid tempat biasa aku sholot. “tok...tok...tok...Assalammualaikum,” kata ku menyapa sambil mengetok pintu. Setelah berulang-ulang kali ku lakukan akhirnya pintu pun terbuka, namun yang membuka pintu bukanlah si pujaan hati melainkan ibu kos dan berkata “maaf mau cari siapa ya!?” walaupun dengan wajah sedikit agak tidak ramah yang tampak dimuka ibu kos aku berkata “Riska ada buk” sebentar ya aku lihat dulu,”jawabnya tanpa mempersilahkan aku duduk terlebih dahulu. Tak lama kemudian, Riska pun muncul dengan pakain khas muslimah dan ia keluar dengan wajah yang agak sedikit gugup, menurut ku. “Hai Na, ngak lagi sibuk nih” tanya ku terlebih dahulu. “engak, barusan saja sudah sholat, eh...maaf ya kalau tadi sambutan ibu kos agak kurang menyenangkan. Ehh..ngomong-ngomong ada apa nih, tumben datang jam sekarang,”tanya Riska akrab. “engak...ah, cuma pengen ngobrol aja. Heeemmm...sebenarnya ada yang ingin ku tanyakan......... apa benar yang disampaikan Alex kepada ku,”tanya ku tanpa basa-basi seraya minta kejelasan dengan mimik tenang. Ia pun menjawab “emang Alex ngomong apa? “udah deh jangan pura-pura gak tahu, kita jujurjujuran aja,”ajak ku. “Aku senang mengetahui kenyataanya, sayangnya kenapa tidak kamu langsung ngomong sama aku kalau kamu udah punya pacar. Seandainya aku tahu, tak mengkin aku mau mendekati mu karena pantang bagi ku untuk merusak hubungan orang dan tidak ada dalam kamus hidup ku, sebab itu bukan style dan cara hidup ku. Aku datang kesini hanya untuk mengetahui yang sebenarnya dan ehhh....ternyata benar. Tolong sampaikan maaf ku kepacar mu, aku tidak tahu kalau kau udah punya pacar,” tegas ku. Melihat pembicaraan sudah menjurus serius Riska hanya diam seribu bahasa dan hanya menampakan muka merah karena mungkin menahan tangis haru. “sejujurnya saat ini 42
perasaan ku persis seperti lirik lagu yang pernah dipopulerkan oleh Ari Laso; aku jatuh cinta pada mu, sejak pertama kali bertemu, diam menghuni relung hati, kau tak pernah perduli. Tuhan mengapa kau anugrahkan cinta yang tak mungkin tuk bersatu, kau yang tlah lama ku cintai ada yang memiliki,” cerita ku sambil menyayikan lagu yang menyertai keadaan ku dikala itu. Tepat diteras depan rumah kos-kosan, duduk berdampingan namun terpisahkan oleh meja bundar yang dipercantik dengan vas bunga dengan setting sinar cahaya lembayung rembulan malam dan langit yang cerah bertaburan bintang-bintang kesuksesan lalu kemudian kulanjutkan syair pilu ku dan mengatakan kepadanya “mungkin dimata mu aku bukan pria yang baik dan tak memiliki banyak materi, tapi aku memiliki keberanian dan keberanian itu pula membuat ku selalu berani untuk berbuat lebih dari batas kemapuan ku, dan malam ini meskipun aku tahu kalau kau sudah punya pacar, aku tetap mengatakan kepada mu kalau “aku cinta pada mu” Kalimat cinta yang dibaluti hawa dingin angin malam tersebut, makin membuat malam menjadi lebih lama terasa. Sementara itu Riska hanya diam terpaku, hanya ekspresi wajah yang makin memerah mendengar pengakuan cinta dari ku. Lanjut ku katakan “sebenarnya aku pernah menjalin kedekatan dengan beberapa wanita, namun aku tidak meresakan cinta. Tapi entah mengapa dengan mu semuanya tampak berbeda. Seswatu yang tak dapat ku jelaskan dan ini membuat ku tersiksa maka dari itu perlu kau ketahui kalau aku akan selalau mencintai mu, walau sampai kapan pun (I alwasy love you, whenever and never)”. Mendengar aku mengatakan hal yang sepontan tersebut entah benar-benar dari hati atau karena emosi perasaan, dengan nanda sendu Riska pun langsung mengatakan “kenapa seperti itu, masih banyak kok wanita lain yang lebih baik dari aku” hal itu langsung aku tangapi dengan mengatakan kalau “itu urusan ku!” Sejenak keadaan menjadi hening dan waktu saat itu jam 19:30, masih telalu dini untuk pulang dari kencan kalau itu disebut pacaran. Naman keberadaan ku disana juga sudah tak nyaman lagi. Setidaknya aku cukup puas sudah bisa menyatakan apa yang perlu dinyatakan dan dada ku sudah plonggggggg.! Kemudian, aku yang memang sedari dulu penganut paham “tiada kesedihan walau sedetik pun (no sadness, inspite a second)” jadi ku ubah suasana menjadi lebih cair agar tidak tegang dan berusaha membuat semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dirasakannya, aku melihat ia sedih dan berusahan untuk menahan tanggis dengan tidak menangis, namun ekspresi kejiwaan dan mungkin tekanan dari sang penyair begitu mendalam sehingga ia tak kuasa menahan air matanya yang jatuh ke bumi tanpa permisi yang terukir jelas diwajahnya yang pilu memerah. Melihat itu aku tak bisa berkutik lagi, ingin rasanya kupeluk dan mencium keningnya dan mengatakan “aku akan selalu ada untuk mu (I always be with you)” tapi itu mustahil dan tak akan mungkin terjadi, tak akan pernah. Masih dalam posisi duduk dengan kaki selonjor dengan tulang-tulang yang sudah pada lemas. Aku memulai lagi pembicaraan sebagai kalimat penutup, mengatakan “malas rasanya jalan kaki untuk kembali kekampus lagi, rasanya pengen menghilang dan tringggg!, lalu sudah berada didalam kelas. Huuuf..., ya sudah aku pergi dulu, terima kasih atas waktunya,” ucap ku beriringan dengan menghela nafas sambil berdiri dan terus melanjutkan langkah ku ke depan pagar tanpa ditemani. Malam makin larut dan aku terus melangkah menembus dinginnya angin malam yang makin pekat yang dipenuhi dengan kehampaan, yang bisa kulakukan saat itu hanya tersenyum dan menertawai diri ku sendiri sambil melihat bintang kesuksesan yang bertaburan di langit nan indah. Samar-samar ditengah langkah ku yang belum jauh, aku mendengar suara yang dibawa oleh semilir 43
angin. Riska mengucapkan “terima kasih” sambil teriak memanggil nama ku dan aku pun terus berlalu tanpa memalingkan muka. Karena bagi ku semuanya telah jelas kalau cinta tak harus memiliki (love doesn’t mean to possess), dan aku tak tahu apa maksud dari kalimat tersebut (terima kasih). Masih dimalam itu. Setelah perkuliahan berakhir kami pun beranjak pulang. Sementara aku masih terdiam dan duduk dikelas, entah mengapa semuanya menjadi malas dan membuat langkah ku bertambah berat untuk menuju pulang. Namun demikian biarpun rapuh kaki ini tetap harus melangkah, terus maju meyongsong masa depan (the show must goes on). Berangkat dari sisa-sisa kepingan semangat yang berserakan namun jua ku kumpulakan untuk memulai langkah kecil menuju rumah dengan berjalan kaki, sembil menatapi bintang kesuksesan ku yang bersinar terang dilangit yang mulai gelap, membuat ku tertawa sendiri mengingat apa yang terjadi terhadap diri ku barusan dan lagi aku berkata dalam hati sekedar untuk memotivasi diri “akbar........jangan pernah ada kesedihan walau sedetik pun (no sadness despite a second)”. Waktu pun berlalu, liburan semesteran pun tiba dan sementara waktu kami tidak bertemu lagi, namun aku tatap terus dibayang-bayangi wajah perempuan yang ku benci. Pernah beberapa kali aku berusahan untuk menghapus dirinya dalam ingatan ku namun yang terjadi mala tumbuh subur dan makin segar dalam ingatan. Hal itu disebabkan oleh beberapa kejadian yang membuat ku tetap ingat dan selalu ingat akan wajah yang cantik nan menawan. Adalah ketika aku sedang naik mobil angkot yang menju pusat keramaian kota Palembang. Angkot yang berwarna merah yang oleh orang Palembang menyebut angkot Pal 5. Setelah naik angkot tersebut tak lama kemudian naiklah seorang cewek yang sempat membuat ku tersentak karena samar-samar aku pikir itu Riska, namun ternyata bukan. Dia duduk membelakangi didepan ku persis. Kuperhatikan dari belakang dari postur tubuh memang mirip apalagi dengan rambut panjang hitam terurai membuat ku makin penasaran. Sesekali ia melihat keluar kearah jendela mobil dan itu makin memperlihatkan lengkuk wajahnya dari samping makin terlihat dan menurut ku persisi mirip Ana, bedanya cewek itu mengunakan kacamata. Kejadian itu pun berlalu, namun ada lagi peristiwa yang ku alami yakni waktu aku berada di Bengkulu untuk beberapa bulan. Disana aku bersama teman satu kampus pergi ke Bengkulu untuk menjual buku keterampilan ke sekolahsekolah khususnya SMP. Menjelang akhir-akhir kami disitu, kami sibukan dengan megunjungi pantai-pantai yang menarik di Bengkulu seperti Pantai Panjang, Tapak Padri, pantai kampung Bali dan Pelabuhan Bay. Tepatnya setelah kami pulang dari Pantai Tapak Padri, sore itu didalam angkot aku juga dikejutkan dengan keberadaan seorang cewek yang lebih dulu berada didalam angkot. Wanita itu hanya senyum menyapa ku dan karena hospitality nya aku jadi berani untuk berkenalan dengan dia lalu mengajaknya bebincangbincang seraya mempekenalkan diri. Tahukah kawan, rupanya namanya pun mirip-mirip, yakni Rista. Entah ini merupakan sebuah kebetulan atau apa? aku memiliki keyakinan kalau semua melekul hidup yang ada, baik bertemu dan berpisah tak ada yang kebetulan. Asyik terbawa percakapan diantara kami lama –kalamaan makin ku perhatikan, gaya bicara dan gerak tubuhnya hampir sama dengan wanita yang ku benci. Sejenak aku menyandarkan tubuh ku dinding ankgot dan melamun dan berkata dalam hati “sebenarnya apa yang dimau sama ALLAH, sampai-sampai aku harus mengalami hal-hal yang tak bisa kumengerti dan sampai kapan aku harus mengalami ini? Bahkan sudah jauh-jauh ke Bengkulu masih saja bayang-bayang wajahnya terus mengikuti ” Yang paling parah dan sudah gak masuk akal lagi, pernah suatu ketika aku lagi ngamen didalam bus antar kota. Sambil mendendangkan tembang kenangan mata ku melihat keluar dan memandangi awan-awan yang terlalui. Seperti orang yang berhalusinasi atau apa, aku melihat banyangan wajahnya diawan dan wajah yang muncul di awan itu seolah-olah terbang mengikuti kemana ku pergi dan seakan–akan ia terus 44
melihat dan menemani aku. Mengalami kejadian itu, berkali-kali aku memejamkan dan membuka mata sekedar mayakinkan apakah benar yang kulihat ini. Setelah selesai mendendangkan lagu bak arti papan atas, tapi ini diatas papan bus mahasiswa UNSRI Palembang, aku pun kemudian mengedarkan kontong kecil (pelastik polibek warna hitamred) kesetiap penumpang. Ada yang memberikan uang, memberikan rokok dan ada juga hanya memberikan senyum. Karena aku melihat ada rokok 1 batang batang di kantong pelastik yang ku gunakan untuk menaruh uang hasil ngaman, langsung saja rokok tersebut ku ambil dan ku nyalakan. Berdiri di pintu belakang bus tersebut, aku dapat dengan bebas memainkan asap rokok hingga membuat perasaan ini sedikit tenang dan kembali tersadarkan kalu semuanya itu hanyalah hayalan ku saja, mungkin!. Dimasa-masa liburan semester, kebanyakan mahasiswa/i memanfaatkan waktu tersebut dengan jalan-jalan, liburan keluar kota dan bersantai-santai dirumah. Sementara liburan semester bagi ku itu hanya namannya saja, karena dimasa-masa liburan semester kalender kampus tersebut, aku tak pernah libur aku tak pernah meliburkan diri untuk berhenti mencari uang untuk biaya sekolah dengan cara mengamen, kenek angkot dan jual buku. Dengan libur semester, maka aku dapat mencari uang dengan leluasa siang dan malam. Ku lakukan apa saja asalkan dapat menghasilkan uang, tapi halal bos!. Pernah pada waktu awal-awal semester, aku berjualan sendal anak gaul merek terkenal yakni rebok, menurut ku barangnya bagus baik bentuk, corak dan kualitasnya dan belum ada di kota Palembang pada saat itu. Sendal itu didatangkan dari Jakarta oleh kakak ipar dari kakak ku. Sendal itu kujual dengan harga Rp 35.000,- perpasang dengan setoran Rp 15.000,perpasang. Bisa dibayangkan berapa untung yang ku dapat jika banyak yang laku terjual dan aku yakin barang ini bakal laris manis dipasaran. Disaat kuliah, aku membawa beberapa sendal untuk ku jual ke anak-anak di kampus. Disaat dosen belum masuk memberikan kuliah, dari kelas ke kelas aku masuk dan menawarkan prodak dadakan tersebut dan ternyata peminatnya pun lumayan yakni dari adik tingkat sampai ke kakak tingkat. Senjenak nama ku terkenal di kampus karena ulah yang tidak biasa dimata mereka. Aku mendapatkan lumayan banyak pesanan. Sementara untuk sistem pembayaran ada yang membayar cash ada juga yang 2 kali bayar, bagi ku tak masalah yang penting barang keluar dan uang pun masuk. Bisanya setelah kuliah usai, aku pun melanjutkan aksi ku dengan berjualan di emperan pasar. Eh...baru laku 2 udah diusir sama satpam mall. Di usir dari satu tempat, pindah ke tempat lain dan begitu seterusnya. Setelah hampir 1 bulan berjualan sendal, stok barang pun habis dan tidak diorder lagi. Namun demikian aku cukup puas dengan untung yang kedapat. Untung kotor yang kudapat kurang-lebih Rp 1 juta dan lansung ku gunakan untuk membayar biaya kuliah tampa sedikit pun ku cicipi hasil dari jerih payah ini. Kalu tidak salah saat itu terjadi pada bulan puas, hemmmm..bulan yang penuh dengan berkah. Setelah liburan semester selesai, aku pun masuk kuliah lagi, kalau gak salah ketika itu masuk sementer 5. Di semester-semester atas tentunya perkuliahan makin menantang, makin banyak tugas dari dosen yang harus diselesaikan diwaktu hampir bersamaan. Diselasela kesibukan menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa yang jika setiap kali mau ujian akhir semester kebanyakan dari mereka mempersipkan diri dengan belajar tapi aku malah dibebankan pikiran bagai mana mencari uang untuk biaya semester berikutnya, saat-saat seperti itu sering kali membuat ku merinding dan nafas tercekik tersangkut ditengorokan memikirkannya, jelas konsentrasi ku buyar dan aku tak bisa fokus terhadap pelajaran sehingga hal tersebut membuat aku manjadi mahasiswa yang memiliki prestasi tidak begitu cemerlang, tapi....lumayanlah hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
45
Tak lama setelah beberapa hari masuk kuliah semester 5, aku mendapatkan kabar dari salah satu teman ku yang lain kalau sekarang Riska sedang lagi sendiri, alias lagi gak punya pacar. Mendengar berita gembira itu terbesit dalam benak ku untuk mencoba keberuntungan ku sekali lagi “hemmmmm....kali ini mungkin berhasil,” hayal dalam benak ku. Berat untuk ku untuk memulainya lagi, aku gak tahu harus dimulai dari mana, karena kemarin aku udah campah (gagal) jadi aku masih gugup jangan-jangan campah lagi. Sungguh perasaan ini sangat menyiksa dan menyita waktu, namun jua tetap ku korbankan untuk mencari jawaban dari apa yang sebenarnya ku alami. Dorongan gejolak didalam hati makin terus, terus dan bahkan makin kuat, tak hayal ku beranikan diri untuk mendekatinya lagi, dan segera ku susun rencana untuk mendekatinya untuk yang kedua kainya. Tapi kali ini aku memulainya tidak begitu agresif, ya...supaya tidak sakit kalaukalau gagal lagi. Jadi ku putuskan untuk mengajaknya ketemuan di kampus hari jum‟at jam 2 sore. Melalui teman dekat ku, surat ajakan untuk janji ketemu ditaman kampus pun ku kirimkan. Surat tanpa amplop, tanpa parfum dari Paris dan hanya merupakan kertas double folio biasa yang terpenuhi oleh kata-kata punjanga ku. Entah polos atau kasar, aku mengirimi surat cinta mengunakan kertas double folio, tidak seperti khalayak kebanyakan. Mungkin ini sangat tidak memenuhi rasa eastetika dalam membuat surat cinta, namun itulah aku. Didalam kertas tersebut, ku tuliskan semua kisah yang ku alami, lengkap dengan kronologis awal bertemu, mimpi, bayangan wajah dan rasa ingin selalu melindungi sehingga membuat ku sampai harus seperti ini. Di akhir surat itupun ku tuliskan syair lagu yang aku tak ingat lagi siapa penyayinya, yakini “engkau adalah bagian hidup ku, bagian yang terindah, sepanjang waktu ku, sampai diujung waktu menutup mata” dan ditutup dengan kata-kata “jika kau Ana ku, kau pasti datang”. Hari itu, teman dekat ku mengirikan surat cinta yang dilipat-lipat seperti kertas contekan saat ujian. “Riska, ini ada surat dari Akbar,” ucap teman yang kupercaya dapat menjalankan amanat ku seraya menyerahkan secarik kertas kusut, sekusut pemikiran ku. “surat apa nih?,” tanya Riska penasaran. “gak tahu tuh, kayaknya surat cinta,” jawab teman ku sambil menyudahi pembicaraan setelah suratnya sampai ketempat tujuan. Dikejauhan aku mengintip dibalik dinding kampus yang menjadi saksi bisu kegugupan ku saat itu, ku lihat reaksi Riska agak sedikit penasaran lalu surat tersebut tidak langsung dibukannya melainkan dimasukan kedalam tasnya. Tak lama setelah itu, teman ku menghampiri ku seraya melaporkan kalau tugasnya telah berjalan sesuai dengan rencana. “Bar..udah sampai tuh surat lo, ayo mana teraktirannya,” pinta teman ku setelah melakukan apa yang ku minta. “sip bro, tenang aja, yuk kita ngerokok dulu,” ajak ku. Ke esokan harinya, tepatnya hari Jum‟at jam 2 p.m, aku mengajak ia ketemuan ditaman kampus. Setelah sholat Jum‟at, aku makan lalu kemudian bersiap untuk berangkat menuju kampus untuk bertemu dengan pujaan hati. Satu jam kurang dari jam 2 p.m, aku telah tiba di kampus dengan mengendari sepeda motor kepunyaan kakak. Seperti biasa, kalau Jum‟at sore biasanya kampus sepi dan aku dapat dengan bebas berekspresi. Duduk sendiri ditaman, sebelum kedatangannya aku sudah menghayal jauh. Khayal ku, seolaholah dia sudah ada duduk dekat disamping ku, dan kami pun asyik bercanda lalu kemudian saling berpandangan, hemmmmm?
46
Hembusan angin terasa sejuk mengitari diri ku dan seakan-akan angin juga gak sabaran pingin ikut menyaksikan peristiwa yang indah ini seperti apa jadinya nanti. Sangking sunyinya, suara hembusan angin di pohon dan di dedaunan terdengar jelas di telinga ku. Daun yang kering gugur ketanah bersama debu-debu kecil berangsur-angsur mengelompok seolah-olah bergandengan dan bertautan tangan lalu kemudian perlahanlahan membuat lingkaran kecil dan berputar-putar dihadapan ku, seirama mengikuti irama tarian angin yang berhembus. Sejenak aku tersadarkan bahwa waktu telah menunjukan jam 2 tepat, namun dia tidak menunjukan batang hidungnya dihadapan ku. Menyadiari itu aku menjadi gugup dan berusaha untuk tetap sabar menunggunya sampai ia datang. Menit demi menit berpamitan melewati jam 2 p.m, akupun beranjak dari tempat duduk taman dan berjalan menuju gerbang kampus seraya melihat-lihat ke luar kalau-kalau ia datang. “nah....akhirnya datang juga!,” teriak ku senang dalam hati, karena terlihat dari kejahuan ia sedang berjalan diatas jembatan penyemberangan menuju kampus. Makin dekat, makin dekat.....kening ku pun mengerut seketika aku tahu kalau itu bukan dia, melainkan wanita lain yang berjilbab kebetulan lewat diatas jembatan itu. “sial, aku pikir dia,”grutu ku dalam hati. Masih dengan sisa-sisa kepingan kesabaran, ku pertahankan kaki ini untuk tetap menunggunya siapa tahu ia masih dalam perjalanan. Karena jarak pandang yang cukup jauh, lagi aku mengira kalau ia datang dan berjalan diatas jembatan penyeberangan jalan menuju kampus (jebatan untuk menyeberangi jalan raya didepan kampus), ehhhh.... ternyata bukan lagi. Disaat itu ku lihat waktu di jam tangan ku, telah menunjukan jam 16:00 pm. Aku benar-benar sadar kalau ia tak mungkin datang untuk memenuhi ajakan ku dan itu berarti ia bukan Riska ku, karena kalau benar dia, aku yakin dia pasti datang. Menghadapi kenyataan itu, aku pun cukup senang karena sudah jelas bagi ku kalau ia bukan Riska ku. Wanita berjilbab yang datang ke dalam hidup dengan sangat ekstrem, wanita yang membuat aku mulai merasakan apa itu cinta dan arti sebuh perasaan, kegelisahan dan rasa penasaran. Kemudian setelah bediri didepan gerbang kampus, aku kembali lagi ke taman dan duduk sendiri sambil mengusap kepala dengan kedua tangan yang lemas. Samar-samar aku mendegar angin yang bertiup menjadi seperti suara tawa, mungkin untuk menghibur ku atau mungkin melengkapi penderitaan ku. “ah...sudahlah...aku gak mau rapuh hanya karena ini semua. Jelas sudah semuanya kalau cinta tak harus memiliki (love doesn’t mean to possess), atau mungkin aku terkena batunya ya? gara-gara ulah ku yang sering mempermainkan perempuan, ah...meskipun begitu aku kan tetap menjaga kehormatan setiap wanita yang ku pacari!,” celoteh ku dalam hati. Hal ini bukanlah yang pertama, tapi kali ini lumayan menyakitkan akan tapi ini bukan akhir hidup ku, aku harus terus berjalan dan mencari Riska ku yang sebenarnya karena aku yakin ia ada untuk ku, disuatu tempat disana. Hari itu, tidak menghasilkan seperti apa yang kuingikan, hanya melahirkan deretan syair yang terangkum menjadi lagu. Diatas motor menuju pulang kerumah dari kampus, masih terpikir oleh ku apa yang terjadi barusan dan tak sadar aku pun hampir tiba dirumah. Sesampai dirumah, aku ganti baju lalu ku rebahkan tubuh ini diatas ranjang dan kemudian melanjutkan lamunan didalam kamar seraya menatap langit-langit atap rumah. “akbar! kamu itu laki-laki. Harga diri mu lebih penting dari segalanya. Inilah waktu mu untuk melupakan dia untuk selama-lamanya dan cari lagi wanita yang jauh lebih cantik dari dia,”suara ku dalam hati. Setelah hari Jum‟at itu, senin berikutnya kami masuk kuliah seperti biasa. “akbar giman, sukses?,” tanya teman yang menjadi kurir surat ku. “gatot, gagal total,” jawab ku singkat dengan mimik wajah yang tak bersahabat. Darius pun melajutkan pertanyaan “kenapa, ia gak 47
datang ya?” aku pun mejawabnya dengan enteng “iya yus....udah..ah jangan bicarakan dia lagi”. Selanjutnya aku dan Darius pun bersama-sama masuk kelas, mengikuti perkuliahan yang membosankan. Setelah jam pertama usai, aku bersama teman-teman lain pergi ke kantin mencari es teh manis sekedar untuk membasahi tenggorokan. “Wah...Darius dimana ya?,”tanya ku dalam hati sembari melihat sekeliling ku. Tak selang beberapa lama, Darius pun menampakan hidungnya. “oi....dari mana cek?,” teriak ku (cek = khas pangilan akrab orang Palembang). “biasa ada urusan sedikit. Eh..ya, aku tadi ketemu dengan Riska. Terus aku tanya, kenapa gak datang kemarin?,” ucap Darius memberi tahu. Dengan nada yang tak antusias lagi, aku pun menayakan “jawabannya apa yus?”. Dengan nada yang datar Darius menjawab “kata Riska sih, dia gak tahu kalau kamu benar-benar nunggu dia ditaman. Lalu ku jawab kalau akbar memang datang dan menunggu Riska cukup lama ditaman itu, hampir menjelang malam loh...ia menunggu. Mendengar aku mengatakan itu, Riska pun hanya bisa diam seribu bahasa dan lalu kemudian ia pergi setelah berpamitan kepada ku”. “Oh..begitu ya? ya bagus deh, tanks ya udah ngerepoti,”ucap ku enteng sambil menepuk pundaknya. Semangat ku untuk nya sudah tak ada lagi dan kali ini benar-benar ku putuskan untuk tidak perduli lagi apapun yang terjadi terhadap nya. Sangking ingin melupakan dia, setiap kali ingin berpapasan, aku lebih memilih menghidar dan mencari jalan yang lain karena tak mau melaihat mukanya lagi dalam hidup ku. Itu terus ku lakukan berulang-ulang setiap kali betermu dengan nya. Pernah, ketika aku pingin ke TU (tata usaha) karena ada urusan, saat melihat ia sudah ada disana duluan, langsung ku batalkan niat ku untuk ke TU pada hari itu. Pokoknya aku gak mau melihat wajahnya lagi, lagi dan lagi, walaupun cama banyangannya. Semuanya itu kulakukan bukan karena benci terhadap nya melainkan sekedar untuk melupakan nya dan membuang kisah nya didalam kisah ku. Pada akhir semester 6, Riska sendiri dikala itu sedang disibukan membuat paper/skripsi untuk tugas akhir kuliah. Sementera aku pun sibuk dengan tugas-tugas dari dosen yang harus dikerjakan sehingga membuat kami pun sudah sangat jarang bertemu, apa lagi jika berpapasan aku langsung menghidar dan itu ternyata lamayan membantu karena perlahanlahan aku mulai bisa melupakan dia. Pagi itu, dengan persiapan seadaanya aku siap untuk menghadapi ujian akhir semester 6. Berangkat dari rumah dengan semangat gejolak anak muda, kulangkahkan kaki ini menuju kampus. Entang malang atau apa, air yang mengenang di tepian badan jalan disebabkan hujan tadi malam yang agak deras, menyambar tubuh ku yang kebetulan lewat dipinggir jalan genangan air tersebut setelah disambar mobil dengan kecepatan tinggi. “byurrrrrr” baju ku pun basah. Mendapatkan kesialan itu, malahan secara spontan aku mamaki wanita yang bernama Riska bukan orang yang mengendarai mobil yang melintas barusan “sialan wanita itu benar-benar membawa sial” umpat ku dalam hati karena kesal terkena sial gara-gara sebelumnya aku tampa sadar memanggil namanya dalam hati. Karena jarak rumah dari kampus lumayan jauh dan ku temupuh dengan berjalan kaki, baju yang basah menjadi kering dibadan. Sesampainya di kampus, ketika aku mau masuk gedung lewat pintu parkiran, aku dihadang oleh Alex lalu ia mengatakan “akbar aku mau ngomong sebentar sama kamu” sambil menarik ku. “wah..kayaknya serius benar Lex,” jawab ku santai. Dengan sangat antusias Alex pun mulai mengutarakan “ini loh...masalah Riska, kamu tembak aja dia sekarang, aku yakin ia pasti mau, kayaknya ia butuh perhatian mu!,” pinta Alex, seraya menyakinkan ku. “waduh...maaf ....Lex, aku bukan keluarganya, bukan temannya dan bukan siapa-siapanya lagi, jadi gak ada urusan lagi dengan ku. Permisi Lex aku mau masuk, ujian sebentar lagi dimulai nih,”tegas ku, sembari menepuk pundaknya dan berlalu melewatinya. Dengan menaiki tangga menuju lantai 2 , aku pun 48
masuk ke kelas dan mengikuti ujian akhir semeter. Setelah ujian matakuliah yang pertema selesai, kami pun break sebenter. Aku dan Darius bersama-sama ingin memphoto coppy berkas di seberang jalan kampus. Sebelum sampai ditempat tujuan, sejenak tanpa sadar aku memanggil namanya lagi didalam hati dan seketika itu pula kaki ku terdandung ke batu yang tergeletak dipingir jalan “bletakkk” dan nyata-nyata kaki terluka. Memang aku mamakai sepatu, tapi sepatu khas anak S1 alias sepatu cat yang belakangnya diinjak dan diujungnya bolong, sehingga sebagian besar jari jempol kaki ku terlihat dari luar. Sebab itu kaki ku terluka walaupun mengunakan sepatu dan kejadian itu tak hanya membuat kaki ku terlukan akan tetapi juga membuat sobekan diujung sepatu ku pun makin melebar. “wah..parah nih, bener-bener wanita ini membawa sial dalam hidup ku. Hanya ingat dia saja aku sudah ditimpa kesialan seperti ini, apa lagi menjadi pacar atau apalah, bisa-bisa sial sepanjangan aku,” gumam ku dalam hati, selelah melihat darah kecil yang mengalir keluar dari kaki ku. Setelah photo coppy selesai, kami pun masuk ke kelas lagi untuk mengikuti ujian matakuliah yang paling membosankan yakni Grammar. Beberapa menit sebelum masuk kelas, teman ku yang lain bernama Dendi menghampiri dan mengatakan kepada ku “Akbar, itu bik cik mu (Riska), dia lagi duduk bibawah sendirian, kayak lagi nunggu seseorang saja”. “oh..dia ya, biarin aja Den,”saut ku lembut. Hari itu aku tidak menyangka bakal seperti itu, tapi karena mamang aku sudah menggangap semuanya telah berlalu dan merasa takut tertimpa sial terus-menerus jika terus dekat dengan nya, jadi semunya tak ku hiraukan dan sudah males untuk membicarakan dia lagi. Setelah masuk ujian yang kedua dan yang terakhir untuk hari itu, selang beberapa menit ujian pun selasai. Waktu telah menunjukan jam 11 siang, dan aku pun terburu-buru ingin pulang karena perut sudah keroncongan. Karena perut sifatnya tak bisa diajak kompromi, aku pun berjalan tergesah-gesah tampa menghiraukan orang-orang disamping ku. Turun dari tangga atas menuju lantai dasar, lalu kemudian melewati pintu keluar kampus, ku dapati Riska sendang duduk bersama teman-temannya. Mereka duduk dipinggir parkiran yang dimana cuma ada 1 akses jalan keluar dan sementara aku udah terlanjur malangkah ke arah sana. “Mau balik lagi ke atas tanggung, ahh...tunggu teman aja dulu, siap tahu ada yang mau keluar dari kampus bareng-bareng, jadi aku bisa menghindar dari nya,” ucap ku dalam hati. “akbar, udah mau pulang ya!,” teriak wanita yang suaranya masih femiliar ditelinga, seraya memanggil ku. Karena aku udah illfeel, aku berusaha untuk tidak memperdulikannya akan tetapi gak enak jika aku langsung membuang muka “wah...gimana nih, kalau kutinggal pergi dan pura-pura tak mendengar gak enak nih...kayak anak kecil aja. Ah...udah..ah, hadapi aja, toh aku sudah tak menaruh hati lagi dengannya, jadi santai aja,” bisik ku dalam hati. Ia pun berdiri dan menatap kearah ku, seakan-akan ingin mengatakan seswatu. Karena dipanggil, tentu saja aku yang menghampiri dia. Entah sudah direncanakan atau tidak, setelah aku menghampirinya, teman-temannya secara satu persatu langsung memberikan ruang kepada kami untuk berbicara alias beranjak dari temapat duduk mereka masing-masing meningalkan kami berdua. Melihat situasi itu pun aku bertambah illfeel dan sentimen terhadap dia walau tak tampak jelas diwajah. Aku dan dia duduk bersama dengan jarak yang agak berjauhan dan Riska pun berinisiatif untuk memulai pembicaraan dengan bertanya “apa kabar Akbar, kemana aja selama ini gak kelihatan?”. Dengan mimik seperti orang pengangguran kelas berat, aku pun menjawab seadanya dan mengatakan “ada kok, gak kemana-mana!”. Sambil berbincan-bincang, aku terus memikirkan bagaimana untuk menyudahi pembicaraan, disamping perut keroncongan aku juga sudah gak nyaman lagi ada didekatnya. Tak lama kemudian, diawal-awal percakapan munculah Darius dan kelihatannya ia mau pulang. “Yus, nanti dulu pulang, temani aku dulu!,” pinta ku kepada Darius untuk menemani aku agar suasana lebih nyaman, menurut ku sih. “wah...maaf Bar, aku lagi terburu-buru nih, aku udah ditelephon sama bapak ku untuk 49
segera pulang karena katanya motor mau dipakai,” jawab Darius terburu-buru dan tak bisa dihalangi lagi. Menyaksikan tingkah ku, Riska hanya bisa diam dan tersenyum walau sebenarnya ia tahu kalau aku jalas-jelas sudah tak mau lagi bertemu. Ia terus berusaha tersenyum dan seakan-akan ingin mengatakan seswatu tetapi entah itu apa. “Aku pikir kamu udah berubah,” tanya Riska untuk memulai lagi pembicaraan yang terhentikan sejenak. Masih dengan nada yang sinis aku menjawab “gak ada yang berubah dari diri ku, orang seperti aku apanya yang berubah!”. Pembicaraan ku buat segaring-garing mungkin, sehingga ia tak mau berlama-lama lagi untuk berbicara dengan ku, namun jua ia terus berusaha dan berinisiatif untuk terus membuka pembicaraan. Dingah-tengah pembicaran, lewatlah salah seorang teman kelas ku yang lain bernama Trian, melihat kami duduk berdua agak berjauhan, ia pun mengomentari dengan mengatakan “kok duduknya berjauhan, marahan ya?” aku pun langsung meyambar komentar itu dengan menjawab “bukan marahan, memang gak kenal kok!” mendengar perkataan ku, Riska hanya bisa diam dan tetap berusaha tersenyum. Si Trian melanjutkan pertanyaannya “ini Riska/Riski yang kembar itu ya? mana Riska dan Riski nih?”. Lagi lontaran pertanyaan itu lansung ku patahkan sehingga Riska tidak bisa berbicara “oh....ini ya orangnya!, kayak terkenal aja!”. “eh...jadi ngangu ni..ya udah selamat ngobrol aja,” ucap Trian seraya berpamitan dengan kami. Setelah itu obrolan seadanyapun diteruskan dan akhirnya saudari kebarnya datang dan menghampiri untuk mengajak kakak nya pulang “kak ayo pulang,” ajak saudarinya. “sebentar dik Riski,” jawab Riska yang sepertinya masih ingin mengomong dan ingin menyampaikan seswatu kepada ku. Karena adiknya merengek untuk mengajak pulang berkali-kali, aku pun mengatakan “udah pulang sana, kesian dengan adik mu entar pingsan lagi” karena desakan adiknya yang terus merengek untuk mengajak pulang, akhirnya pembicaraan hari itu usai dan aku pun merasa legah dan Riska pun berpamintan dan yang ke-2 kalinya ia menagatakan “aku pukir kamu udah berubah”. Dengan berdiri secara bersamaan aku pun menjawab “tak ada yang berubah dari diri ku!”. Setelah itu, ke 2 sudari kembar itu pun pulang dengan dibonceng oleh pria yang aku gak tahu itu siapa. Mungkin saat itu, Riska dibonceng sama temanya yang mau mengatarnya langsung pulang atau kerumah sakit untuk memeriksa penyakitnya yang kambuh beberapa hari lalu sehingga membuatnya jatuh pingsan. Aku tahu hal itu sebelumnya dari Alex, teman sekelasnya, sebelum ia memintak ku untuk menembak Riska. Ketika itu aku pun berjalan kaki keluar dari kampus menuju pulang, bersama teman lainnya yang kebetulan searah. Ditengah perjalan yang berlum begitu jauh dari kampus, Deki namanya mengatakan “Bar kenapa your girl dibonceng oleh orang lain”. “oh..itu, engak kok kami cuma hanya teman bisa,” jawab ku, sambil berjalan menuju rumah. Semenjak hari itu kami tak pernah bertemu lagi sampai dihari dimana ia diwisudah. Seperti kampus–kanpus lain, jika ada acara wisudah maka banyak tukang photo yang memphoto para wisudawan/i. Pada hari dimana ia diwisudah aku pun datang tapi bukan untuk melihat dia diwisudah melainkan untuk melihat teman-teman D3 lainnya yang diwisudah. Setelah menyimak pehelatan itu, kemudian aku bersama teman ku yang kebetulan cewek, berdiri dihadapan ratusan photo-photo hasil jepretan para photografer. Kami melihat photo-photo perhelatan itu satu persatu dan tak sengaja terlihatlah photo saudari kembar dengan mengunakan toga wisudah, lalu kemudian teman ku mengatakan “Bar ini photo Riska, belilah, entar kamu nyesal loh kalau gak dibeli”. Aku pun hanya diam mendengar ia mengatakan itu. “cantik ya, dia,” lanjut teman ku. “iya sih...emang cantik,” jawab ku dalam hati. Karena bagi ku semuanya telah berlalu, maka tak perlu lagi untuk menyimpan lembaran gambaran masa lalu. Tamat sudah buku eddisi lama, aku mau membuka buku eddisi baru. Atas kejadian-kejadian itu, sempat membuat ku memohon kepada ALLAH, SWT agar jauh kan ia dari ku untuk selama-lamanya. Tak lama setelah kejadian itu, aku 50
mengetahui sebuah rahasia tentang perasaan Riska terhadap ku dari seorang teman sekelas bernama Etak yang kebetulan karena suatu hal perempuan ini sempat dekat dengan saudari kembar Riska. Dalam perbincangan mereka, teman ku ini sepat menanyakan tetang kedekatan ku dengan Riska. Kapada ku, ia (Etak) menceritakan kalau saat aku mendekati Riska pada waktu itu ia gak punya pacar, yang ada adalah ada pria yang sama seperti ku yang ingin mendekatinya atau dalam kata lain lagi melakukan pendekatan. Pada saat itu Riska bimbang untuk memilih siapa, sesungguhnya Riska lebih berat perasaannya kepada ku, tapi karena masukkan dari saudari kembarnya akhinya Riska tidak memilih untuk menerima cinta ku. Tanpa bertanya lebih lanjut aku tahu sebabnya yakni tak lain tak bukan karena penampilan ku yang agak urak-urakan dan tidak berpenampilan seperti anak kuliahan pada umumnya. Mengetahui itu aku cukup senang, walau aku tidak memenangkan orangnnya setidaknya aku telah memenangkan hatinya dan itu terbukti pada saat terakhir ia menemui ku untuk terakhir kalinya, tapi semuanya sudah terlambat. Aku tahu apa yang ia rasakan, tapi harga diri ku jauh lebih utama maka ku putuskan untuk membuang kisahnya dalam hidup ku untuk selama-lamanya. Dia Riska, wanita berjilbab yang merasuk kedalam hidup ku dengan sangat ekstrem. Setelah wisudah, kabarnya ia langsung pulang ke Bangka-Belitung dan berkeinginan untuk mengabdi disana untuk memajukan pembangunan didaerah sendiri. Ia pergi bersama bayang-bayangnya dan kami pun tak ada contact sama sekali. Dan aku cuma bisa mendoakan semoga ia sukses dalam mencapai cita-citanya dan mendapatkan pasangan yang benar-benar dicintainya dimasa depan, semoga. Jalan menuju Naga, KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) Seiring dengan waktu berjalan setalah beberapa bulan telah masuk sekolah perguruan tinggi, tentunya aku memerlukan pekerjaan untuk membiayai sekolah ku. Sembari kuliah, aku sering melamar pekerjaan, namun jawaban yang ku terima tetaplah sama “pengalaman pekerjaan mu apa?,” tanya para interviewer. Bagai mana mungkin aku memiliki surat pengalaman pekerja kalau setiap kali melamar pekerjaan ditolak melulu, aku memiliki banyak pengalaman tapi semuanya disektor informal dan itu tak berlaku bagi perusahaan yang bergerak dibidang sektor formal. Dan akhirnya aku memutuskan untuk bergabung di KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) alis pengamen jalanan di Palambang. Dengan modal gitar butut yang ku beli dari seorang kenalan dengan harga Rp 30.000,- Gitar itu sudah lama tak terpakai lagi dan diistirahatkan oleh yang punya didalam gudang tempat penyimpanan kayu bekas. Kondisinya sangat mengenaskan persis seperti tuan barunya. Dengan sisa uang yang kupunya, aku cet dengan ala kadarnya dan senar gitarnya pun diganti dengan yang baru karena senar yang lama sudah tak berdawai indah lagi. Dari sini aku pun bisa lega sejenak karena aku dapat mengumpulkan uang untuk biaya sekolah dengan cara mengamen di bus kota, tapi menurut ku ngamen tak ubahnya dengan mengemis, sama-sama rendah dan hina. Namun setidak-tidaknya satu masalah, sementara waktu dapat diatasi, hanya saja aku harus mempersiapkan “mental tambeng” alias putus urat malu. Seiring bersamaan dengan cerita sesosok wajah yang samar-samar namun masuk kealam mimpi dengan sangat ekstrem. Aku pun mulai aktive bergabung menjadi KPJ alis pengamen jalanan dan mengunakan nama samaran yakni Mail. Hal itu aku lakukan untuk menghilangkan jejek kalau-kalau nanti aku tesandung kasus dijalan, jadi mereka gak bisa melacak ku kalau berdasarkan nama atau alamat karena semuanya itu palsu, ya pahamlah hidup dijalanan, keadaannya gak bisa diprediksi. Ide untuk bergabung di KPJ sendiri yakni 51
timbul kerena sering kali melihat para pengamen di bus kota yang dengan hanya menyanyi mereka bisa mengumpulkan uang receh “ah..dari pada selalu mengharapkan pekerjaan disektor formal terus mending aku ngamen aja, kali ya!,” ide ku karena udah buntu akal. Sebelum Biasanya aku berangkat dari rumah jam 8 pagi dan pulang jam 14:30 lalu kemudian berangkat kuliah. Rutinitas ini terus ku lakukan sampai memasuki awal semerter 7. Awal-awal bergabung menjadi KPJ Palembang sangatlah menantang dan membuat aku selalu tetap waspada terhadap semua kemungkinan yang terjadi, seperti razia yang dilakukan oleh polisi atau Pol PP dan juga perkelahian antar sesama pengamen di jalan, biasa senioritas. Sebelum memulai ngamen, pada pagi hari biasanya kami ngumpul disebuah kedai didekat perempatan lampu merah jalan Jend Sudirman. Itu rutin kami lakukan setiap hari sebelum ngamen. Sebelum menaiki bus kota Palembang sekedar untuk menjual suara, terlebih dahulu kami minum-minuman yang berakohol alias minuman keras. Hal itu dilakukan agar supaya percaya diri saat ngamen alias tambeng, muka tembok dan putus urat malu. Numun tak sedikit dari mereka melakukan itu untuk kesenangan atau dengan kata lain sudah kecanduan. Selain minuman keras, banyak juga dari mereka mengunakan obatan-obatan terlarang sebelum beraksi. Kata mereka sih...bukan hanya untuk meningkatkan percaya diri akan tetapi juga untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Semua itu telah akrab dengan ku, namun niat ku ngamen bukan untuk senang-senang melainkan untuk mencari uang untuk membiayai kuliah, maka semua itu bisa aku hindari dengan berbagai macam cara walaupun sempat beberapan kali tak bisa mengelak untuk sekedar menuguk minuman keras. Sebenarnya pada saat itu, jangankan minuman keras atau pun obat-obatan terlarang, merokok pun aku tak pernah karena dikala itu aku bukan perokok. Melihat hal itu, aku pun harus pintar memainkan peran ku di jalanan, jika tidak hati-hati maka banyak hal-hal yang membahayakan diri tanpa diketahui. Dijalanan itu keras dan benar-benar menguji nyali sehingga gara-gara minuman keras banyak dari mereka berantem satu sama lain dan tak jarang juga dari mereka harus berurusan dengan pihak berwajib. Ada juga beberapa dari mereka yang berstatus sama dengan ku alias anak kuliahan. Berawal dari iseng-iseng akhirnya ketagihan dan akhirnya kuliahnya pun ditinggalkan alias berhenti dan memilih untuk menjadi pengamen selamanya dan ada juga yang sama dengan ku, ngamen hanya untuk membiyayai kuliah, bukan sebaliknya ngamen malahan meningalkan kuliah. Masa-masa ini telah membuat pribadi dan karakter ku berubah, semula hanya anak yang pendiam, introvert dan pemalu sekarang menjadi anak yang berani, pengomong dan bermental anak jalanan dengan status anak kuliahan. Pernah tetangga dekat rumah mengomentari ku dengan mengatakan “Akbar, sifat telah berubah, gak seperti dulu lagi” dan terhadap pernyataanya itu, aku sadar kalau memang aku telah mengalami perubahan karakter yang sangat kontras dengan sifat ku dulu, persis seperti ulat yang dulunya terbungkus kepompong dengan sangat rapih dan sekarang telah bermetamofosis menjadi kupu-kupu yang bebas bergerak dan terbang kesana-kemari tanpa mengenal waktu. Dengan ngamen aku bisa kerja kapan pun dan tak perlu repot-repot menbuat lamaran dan mengikuti sejumlah interview...ya..setidaknya untuk sementara. Semasa ngamen banyak peristiwa yang ku alami, kadang-kadang memicu andernalin dan kadang-kadang juga bisa membuat ku tertawa sendiri ketika mengingatnya. Dan jika teringat ingin rasanya ngamen lagi diatas bus kota dan diatas kerata api, hanya sekedar untuk bernolstagia. Awal-awal ngamen diatas bus kota Palembang memang penuh dengan tantangan. Selain antar sesama pengamen yang saling berebutan untuk ngamen di bus kota dan kadang-kadang harus berlari mengejar bus kota yang laju dengan kencang, tantangan datang juga dari penumpang bus kota yang sering merasa risih dengan hadirnya kami. Kebanyakan dari mereka bermuka masam jika ada pengamen yang naik bus kota untuk mengamen, menangapi hal itu pun aku berusaha untuk memaklumi, tapi mau giman lagi itulah adanya. Selain itu juga 52
bernyanyi dihadapan orang bayak melahirkan tantangan tersendiri karena sebagai seniman jalanan haruslah menyugukan yang terbaik baik dari sisi suara maupun keahlian bermain gitar agar penumpang yang tadinya bermuka masam bisa berubah menjadi mimik wajah yang bersahabat. Setelah beberapa hari ngamen, hari-hari berikutnya aku pun sudah tak merasa cangung lagi. Akan tetapi jika ada penumpang yang cantik didalam bus kota, aku sering gerogi sendiri alias salah tingkah....ya...wajarlah namanya juga manusia dan menurut ku hal tersebut lumrah...hahahahah! Dalam memilih lagu, biasanya aku melihat para penumpang terlebih dahulu. Jika para penumpang banyak didominasi oleh orang dewasa sampai orangtua, maka aku memaikan tembang kenangan dan sebaliknya jika penumpang banyak didominasi oleh para remaja maka aku memainkan lagu yang lagi ngetren pada masa itu. “Asalammualaikum!, Samat pagi para penumpang yang terhormat!. Jumpa lagi dengan saya seniman jalanan yang selalu ada untuk menemani perjalanan anda. Sebelumnya saya mitak maaf jika kehadiran saya mengangu perjalanan anda dan kepada bang sopir saya ucap kan terima kasih atau kerjasamannya,” mukadimah telah diucapkan setelah naik keatas bus kota dan lalu kemudian menyanyikan lagu. Setelah selasai menyanyikan lagu, pertemuan hari itu ditutup dengan mengucapkan “sekianlah lagu dari saya, semoga terhibur dan jika kesalahan saya mohon maaf. Kepada penumpang saya ucapkan terimakasih dan selamat jalan, semoga selamat sampai ditempat tujuan. Untuk bang sopir, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih dan saya akhiri dengan Wasalammualaikim w.b.r,” sambil mengolek (mengedarkan kantong kecil kepumpang) dan jika ada yang memberi saya ucapkan termikasih begitupun yang tidak memberik dengan kata lain memberi seiklasnya tanpa paksaan. Begitu terus selanjutnya, turun dari satu bus kota, naik ke bus kota yang lainnya tanpa mengenal lelah dan malu. Menjelang siang, aku pun istirahat dan kemudian makan siang di kedai makan didekat pasar. Dijalan itu banyak gembel, dan musafir yang kelaparan. Bukannya baik, tapi kalau masalah perut aku orangnya suka gak tega, karena aku pernah menjadi gembel yang kelaparan di kota orang, jadi aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Bedanya saat itu, tak ada orang yang perduli terhadap ku, tapi Allah tetap perduli kepada ku. Mereka hanya memikirkan bagai mana bisa mengisi perut hari ini, bukan seperti kebanyakan orang yang terpelajar yang berpikir untuk memiliki semua apa yang dilihatnya. Maka jika bertemu atau melihat mereka ada disekitar ku, lansung ku belikan nasi bungkus atau makanaan ringan sekedar untuk melanjutkan hidup dihari itu, selanjutnya biarkanlah Allah yang mengurusnya. Dalam pendangan ku, banyak orang yang kurang beruntung yang terlantar dijalanan akan tetapi negara tak memeliharanya seperti yang diamanatkan dalam UUD 45 bahwa “pakir miskin dan orang-orang yang terlantar dilindungi dan dipelihara oleh negara” tapi nyatanya itu hanya hafalan di bangku sekolah. Mereka (pemerintah, dalam hal ini dinsos) beralasan kalau anggaranya terbatas, tapi herannya mereka memiliki rumah yang cukup megah dengan mobil pribadi yang terparkir dirumah. Hari berikutnya, di pagi yang cerah dengan semangat 86 aku melangkahkan kaki kiri ku keatas pintu masuk bus kota. Setelah mintak izin dan izin pun diberikan, langsung saja ku nyanyikan lagu tembang kenangan yang sebelumnya mememberikan salam terhadap para penumpang. Tembang kenangan yang ku mainkan nandanya lumayan tinggi. Sangking tingginya nada, tiba-tiba suara ku hilang ditengah-tengah reff sehingga membuat suara ku seperti terdengar suara tercekik, “ngikk”. Melihat itu, para penumpangpun ada yang tersenyum dan ada juga yang tertawa. Dengan muka yang penuh dengan rasa malu, dengan sisa percaya diri aku pun melanjutkan tembang tersebut sampai habis, lalu kemudian mengedarkan kantong kecil kesetiap penumapang setelah ditutup dengan salam “nih 53
uang...sana ngopi dulu biar suaranya gak tersisksa,” ledek ibu lanjut usia yang tertawa melihat aksi ku sembari menyodorkan uang kedalam kantong ku. Terkait mengenai sopir bus, mereka ada yang pengertian ada juga yang tidak....yang pengertian bang sopir dengan rela membiarkan kami naik dan ngamen dan jika sedang menghidupkan tape atau radio maka mereka langsung mematikan atau sekedar mengecilkan volume....yang tidak pengertian biasanya tidak membiarkan kami (pengamen-red) naik dengan cara memacu bus nya dengan kencang dan bahkan pernah volume suara lagu dari tape atau radionya tidak dimatikan atau dikecilkan. Kalau aku sudah behadapan dengan sutuasi itu, akupun tak mau melanjut untuk mengamen di bus tersebut dan lalu kemudian turun dipersimpangan. Ya....namanya juga manusia ada yang baik dan ada juga yang tidak dan sementera yang numapang itu pengamen bukan sopir, jadi harap maklum. Adi Madura Tahun berganti dan aku tetap bergabung dengan KPJ, tentunya tak luput dengan petemuan dengan anggota KPJ lainnya, tapi pria satu ini sedikit berbeda. Dia, Adi Madura yang memiliki darah Madura asli. Dengan gitar benjonya, terkadang ia ngamen duet bareng dengan aku. pergaulan pria satu ini lumayan luas, hampir disemua daerah oprasi para pengamen seperti di seputaran jalan Jend Sudirman, Terminal Karya Jaya, dan Stasion Kereta Api Kertapati Palembang, ia tahu dan cukup dikenal oleh para pengamen lainnya ditempat-tempat itu. Selama ngamen bareng dengan dia, gak ada hal yang jangal terhadap dirinya. Bahkan, ia termasuk teman yang menyenangkan, walau sering kali ia bercerita kalau banyak teman-temanya yang sering berurusan dengan polisi dan bahkan ada yang sampai tewas diterjang oleh panasnya proytektik polisi. Pernah juga ia bercerita kepada ku, kalau ia pernah nodong orang pejalan kaki di pasar. Melihat orang tersebut, seperti orang yang datang dari pulau jawa. Maka ia dan temanya menodong orang tersebut yang kebetulan berjalan sendirian. Sesekali diiringi dengan tertawa lalu ia menceritakan, kejadian ketika itu. Dengan sergapan cepat “mas..serahkan dompet dan jam tanggan mu segera, kalau mau selamat!,” ucap Adi yang menusuknya belati dari belakang dan sementara temanya menahannya dari depan agar orang tersebut tidak bisa melarikan diri. Dengan santai, orang dengan keperwakan jawa itupun merelakan dirinya untuk digeledah. Selang kemudian, Adi langsung merogoh kantong dan mengambil dompet. Ketika itu, ia sempat membuka dompet tersebut dan terlihatlah kartu anggota TNI milik bapak itu. Menemukan identitas keanggotaan TNI di dompet bapak tersebut, Adi pun menurunkan belatinya dan megembalikan dompetnya seraya mintak maaf “maaf pak, saya gak tahu kalau bapak ini TNI,” sembari mengembalikan dompet ke bapak tersebut. Teman pun Adi heran, kenapa ia mintak maaf. Setelah melihat Adi seketika menjadi ramah, temannyapun sadar kalau mereka salah sasaran. “oh...baguslah kalau begitu, tapi kalau mau yang berharga lagi, tuh ada didalam baju ku,” ucapnya yang kemudian mengeluarkan pistol standar TNI kepada mereka. Untungnya dikala itu, anggota tersebut tidak memperpanjang masalah dan hanya memberikan nasehat terhadap kedua pesakitan itu. “hahahaha, semula kami yang berencana nodong, bisa-bisa kami yang malah ditodong,” ungkap Adi Madura yang tertawa karena terkenang dangan peristiwa dikala itu. Hari demi hari kami pun makin akrab, karena sangking akrabnya ia pun mengajak aku untuk melakukan aksi perampok di salah satu rumah yang sering ditinggalkan oleh pemiliknya, yang kebetulan pemilik rumah masih keturunan Thionghua. Sabtu, sekitar jam 1 siang, setelah berbincang cukup lama Adi Madura pun menyampaikan maksudnya lalu kemudian menawarkan rencananya kepada ku untuk bergabung dalam kelompoknya. “Mail aku ada rencan nih...mau gak ikut gabung dengan kami,”tawar Adi kepada ku. 54
“wah...rencana apa nih, serius betul kayaknya,”jawab ku santai. Didalam gang kecil yang jauh dari keramaian diseputar pasar, Adi pun menjelaskan maksudnya “begini,...aku dan teman ku berencana untuk merampok rumah yang sering ditinggalkan oleh pemiliknya dan sasarannya udah kami tentukan. Recananya kami akan bergerak dalam minggu-minggu ini. Kami hanya berdua, jadi saya masih memerlukan satu anggota lagi. Entar masalah hasil kita bagi rata aja,” sambil meyakinkan ku. “Adi, jangan-jangan kita dijebak lagi,” tanya ku waspada. Dengan tegas Adi Madura mengatakan “tenang aja Mail, kelompok ini aku yang memimpin, jadi kami tak perlu khawatir!”. Sejenak aku berpikir kalau ia bercanda, tapi tak lama setelah itu aku pun tahu kalau ia benar-benar serius dengan ucapannya, karena ia telah memperlihatkan pistol rakitan lengkap dengan pelurunya kepada ku. Karena penasaran dan berusaha meyakinkan diri apakah itu benar-benar senpi (senjata api-red), aku pun memegang dan melihat secara langsung dan yakin kalau itu benar-benar senpi. “gila ini benar-benar senpi! dapat dari mana?,”tanya ku lanjut. “Dari mananya kamu gak usah tahu, yang penting kamu mau atau engak? Tegas Adi. “Aku bisa sampai terjun ke hidupan keras ini hanya semata-mata untuk mempertahankan kuliah ku. Kuliah yang sedari awal telah ku perjuang-juangkan bisa hancur dengan sekecap. Siang dan malam aku cari uang hanya untuk kuliah. Dan jika aku ikut dalam aksi ini maka semuanya akan sia-sia saja.Seswatu yang telah ku bangun bertahun-tahun akan hancur hanya dalam satu hari,”ungkap ku dalam hati. Setelah berpikir cukup lama, aku pun memutuskan untuk tidak bergabung dalam kelompok perampok specialist rumah kosong. “Adi, maaf aku gak bisa gabung. Kamu tahu kalau sekarang aku masih kuliah, dan karena kuliah itulah aku disini, jadi aku harap kamu bisa mengerti,”tolak ku seraya memberikan penjelasan agar ia mengerti. “ya..sudah kalau kamu gak mau ikut, aku juga tak mau memaksa,”jawab Adi yang kemudian berpamitan. Keesokan harinya, seperti bisa aku ngamen di bus dalam kota Palembang. Sepanjang ngamen pada hari itu, ku perhatikan dari tadi aku tidak melihat batang hindung Adi Madura, sampai aku pulang. Ternyata pertemuan kami yang kemarin adalah pertemuan yang terakhir, semenjak hari itu ia tak muncul-muncul lagi. “Entah ia mati juga karena diterjang peluru panas atau suksek menjadi orang kaya dengan cara merampok,”pikir ku. Indra Padang Mengeluti profesi ngamen, bagi ku sangatlah tidak menyenangkan banyak pelajarang yang tidak baik ditemui dan sangat tidak baik untuk perkembangan kareakter ku. Seperti pertemanan aku dengan pria dari Padang yakni Indra Padang yang nyalinya sangat berani tapi dikala mabok. Untuk beberapa saat kami sering terjun kejalan bersama, duet bak Iwan Fals and Frangky. Setiap kali mau ngamen ia meyempatkan diri untuk minum-minuman keras dahulu atau kalau tidak menegak obat-obatan terlarang yang bertujuan untuk meninggkatkan nyali dan percaya diri. Ia memiliki suara yang nyaring, tak jarang kalau lagi nyanyi aku memejamkan mata ku karena kuping ku kesakitan mendengarkan teriakannya sambil bermain gitar seraya mengikuti ayun-ayunan laju bus kota. Ulahnya yang sudah dalam pengaruh obat, membuat aku sedikit ekstra hati-hati terhadapnya. Terkadang didalam bus kota ia suka berbuat yang tidak sopan dan suka mengeluarkan kata-kata yang kasar. Terhadap itu, aku sering menenangkan dirinya dan menegurnya agar jangan bertindak tak sopan terhadap penumpang. “wah...capek nih kalua ngamen dengan orang sawan, bisa jadi masalah entar?,”keluh ku dalam hati. Melihat wataknya yang suka meledak-ledak karena pengaruh minuman keras, aku pun berusaha untuk menghindar tapi ia terus mau bergabung dengan ku untuk ngamen di bus, dan aku pu tak bisa ngelak karena ia merupakan senior, jadi ya..suka gak suka jalani aja. Ia suka sekali dengan laku Malaysia, setiap kali ngamen lagu yang dinynyikan tak jauh dari lagu negeri seberang dengan nada yang tinggi “kita yang terlena, hingga musim pun berubah, mentari menyepi, memyalala api cinta! oh..Isabelaaaa!. 55
Semua!,”ajaknya kepada penumpang untuk sama-sama bernyanyi lagu Isabela di tengah reff nya. Melihat tingkahnya itu, membuat perut ku sakit karena menahan tawa yang akhinya tak terbendung juga. “edan ni orang, dia pikir lagi konser apa?,” pikir ku sambil tertawa. Masih dalam pengaruh minuman keras dan obat-obatan, siang itu kami ngumpul dengan pengamen lainnya. Disana banyak para senior yang sibuk menunjukan tajinya masing-masing termasuk si Indra Padang. Jum‟at siang dimana umat muslim mendirikan sholat Jum‟at, kami malah minum-minuman keras tampa memeperdulikan suara pangilan ALLAH. Sementara aku sangat sulit untuk beranjak dari situ karena mereka selalu mengajak ku untuk ngumul dahulu dengan alasan ada rapat KPJ. Adapun minumannya dibeli hari hasil uang para pengamen yang dimintai oleh salah satu senior disana. Disamping minuman keras ada juga pilasan (pilsan adalah istilah makanan atau kacang untuk teman minum). Dikala itu aku sudah merasakan bakal ada perkelahian, karena sedari tadi ku perhatikan si Indra terus bertengkar mulut dengan salah satu anggota KPJ yang tak lain tak bukan saudara angkatnya sendiri. Dahulu katanya, mereka pernah melukai diri mereka sendiri untuk mengeluarkan darah dan kemudian dimasukan di gelas yang sudah berisi minuman keras lalu kemudian mereka saling menuguk minuman itu sebagai upacara pengangkatan persaudaraan. Dijalanan hal itu udah biasa ditemukan, karena mereka merasa senasib dan berkeingginan untuk saling melindungi satu sama lain. Pertengkaran mulut itu pun disaksikan oleh anggota KPJ lain yang yakni Roby yang kemudian kesal terhadap Indra. Melihat itu, Indra langsung menantang nya untuk berkelahi dan tantangan itu disambut dengan tangan terbuka oleh Roby. Ditengah-tengah lapangan yang tak terlalu sempit mereka sudah siap-siap untuk mengadu otot. Aku dan Roby juga akrab, sama akbarnya dengan Indra Padang, jadi yang bisa kulakukan hanyalah melerainya diatas ring tinju yang tak ada arenanya yang ada hanyalah batu-batu kerikil dan pecahan kaca. Adu ayam pun bisa aku lerai untuk sementara tanpa memikirkan apakah mereka akan balik menyerang ku atau tidak. Seteleh pekelahain berhasil ku relai, sepertinya emosi antara mereka belum bisa reda malahan atmosfir nya tambah panas dan akhinya perkerlahianpun tak dapat terelakan. Indra yang memang sudah terpengaruh minuman keras, selalu ngomong sesumbar dengan mengatakan “aku dikampung aja berani menghadapi 30 orang, kalau cuma tiga orang aku gak takut,”tantangnya kepada mereka serayara mengajak mereka untuk meju semua. Tak pelak ia pun dikeroyok habis-habisan oleh sudara angkat dan temannya yang lain. “bak.,buk..bak...buk!,”keras dan bertubi-tubinya pukulan yang diterima Indra secara tibatiaba membuatnya tersungkur ke bumi. Dalam situasi itu, aku hari berhati-hati melerai mereka, karena jika tidak salah-salah aku juga bisa menjadi sasaran emosi mereka yang memang sudah memuncak dan akupun gak mau terlibat dalam perkelahian yang bodoh itu. Walupun tersungkur Indra tatap melakukan perlawanan meski tak seimbang. Terbaring diatas tanah keras yang dikelilingi debu yang bertebaran kerena pergulantan antar mereka, ku lihat Roby lansung mengambil batu besar lalu kemudian diangkatnya dan hendak dipukulkan ke kepala Indra, saat itu aku langsung bertindak untuk melerai dan langsung ku ambil batu yang akan digunakan oleh Roby untuk memukul kepala Indra dan berhasil ku ambil lalu ku buang jauh-jauh dan kemudian Roby melanjutkan dengan menginjak-injak kepala Indra dari atas. Sementara temanya yang lain sudah siap dengan kayu besar yang juga hendak menghantam kepala Indra. Lagi, ku lerai ia dan mengambil kayu yang sempat dipengannya dan berhasil kuraih dan ku jauhkan dari arena pertempuan yang tak seimbang bak matador dengan banteng kurus nan lemah. Tak selang berapa lama menjauhkan kayu itu, si Roby kembali lagi meraih batu lain yang ukurannya jauh lebih besar dari yang tadi “wah...gawat, bisa mati Indra kalau kepalanya dihantam batu sebesar itu,”pikir ku singkat dan kemudian dengan cekatan menahan Roby yang berniat untuk memecahkan kepala Indra dengan mengabil batu ditanggannya dan lagi, berhasil. Setelah ku buang batu besar itu jauhjauh, ditangan Roby sudah ada batubata dan kemudian langsung dihantamkan ke kepala 56
Indra dan kekerasan yang tak simbang itupun terus terjadi dan malah makin berutal. Semunya terjadi sangat cepat dan karena kalah jumlah dan lansung pisahkan mereka. Setelah tak berapa lama perkelahian pun selesai dan kudapatkan Indra sudah tergolek lemah dengan wajah yang tak ku kenali lagi. Wajahnya bengkak semua dengan darah segar yang mengucur kuluar dari tubuhnya. Untunya saat itu gak ada yang membawa senjata tajam, kalau ada ku pastikan Indra sudah mati ditempat. Walau dengan wajah bengkak dan penuh luka disekujur tubuh, nyali Indra tak kendor dan terus ingin berkelahi “In..sudah..jangan diteruskan!,”pinta ku. “kepalang...!kalau memang mati..ya mati hari ini,”jawab Indra berapi-api seraya menantang meraka lagi. Atas ajakan itu pun mereka terpancing lagi dan langsung kemudian ku minta untuk tidak meneruskan dan Indra pun ku ajak pergi untuk mengobati luka-lukanya. Bukan untuk mengobati luka-lalukannya, ia malahan mengambil kayu lalu kemudian berlari menuju mereka untuk membalas. Aku yang otaknya masih waras, tahu kalau jika ini diteruskan Indra bisa tinggal nama dan tak dikenang sama sekali karena mati konyol. Mati sudah yang penting ngetop! Semboyan itulah yang sering dipakai oleh orang Palembang , tapi kalau udah mati apanya yang ngetop? apa lagi mati konyol. Seketika itu juga Indra ku tahan dan ku pegang agar ia jangan melanjutkan pekelahian yang tak seimbang. Ia pun berontak seraya mengatakan “lepaskan, atau kalau tidak kamu yang saya pukul pakai kayu”. Mendengar itu, dari pada aku yang menjadi sasaran dengan penuh rasa kasihan terpaksa ia ku lepaskan dan ia pun dengan sigat berlari kearah mereka dan untungnya kala itu polisi sudah ada ditempat dan mereka semuanya dapat dilerai. Sementara aku masih berdiri meratapi kejadian barusan dengan baju putih yang bersimbah darah Indra Padang. Keesokan harinya setelah kejadian itu, baik Indra, saudara angktnya, Roby dan ipul yang ikut membantu mengeroyok, gak nongol lagi. Entah kemana mereka, mungkin melanjutkan dendam diarena lain, kali? Tamparan, antara harga diri dan masa depan Hidup memang keras, kalau kita lamah maka kita akan digilas habis oleh zaman dan kita hanya menjadi manusia yang tak berarti selamanya. Akan tetapi menurut ku dalam menyikapi kerasnya kehidupan tak selalu kita meresponnya dengan kekerasan otot, karena banyak kasus yang apa bila diselesaikan dengan otot atau menyelesaikan masalah dalam keadaan emosi maka fatal hasilnya. Aku banyak belajar dari pendahulu-pendahulu ku, terdahulu tentang bagaimana mereka bereaksi terhadap masalah yang menghampiri disetiap tikungan jalan. Dan aku telah merasa banyak mendapatkan refferensi yang lengkap dari perjalanan yang telah ku tempuh, jadi pun untuk bersikap dan merespon semua permasalahan yang menghampiri aku berusaha untuk tenang dan berpikir jernih, kira-kira mana yang lebih banyak mendatangkan mudoratnya ketimbang kebaikannya. Dan ini pernah terjadi dalam hidup ku berkali-kali, salah satunya kejadian ketika aku sendang ngamen di bus kota dimana tempat aku dan teman-teman beroprasi. Sore itu ketika awalawal menjadi pengamen, aku dengan bersemangat loncat dan berpindah dari satu bus ke bus yang lainnya persis seperti kera-kera kota, dan.....ketika turun dari bus yang kesekian kalinya aku pun memutuskan untuk istirahat dan menghela nafas sejenak dibawah pohon paru-paru kota, tiba-tiba datang seorang pria yang bertubuh lebih kecil dari ku dengan kaki yang tak sempurna lalu kemudian ia menapar ku “parrrrrr” Kejadian itu kontan membuat ku terkejut dan mendapatkan perhatian dari teman-taman lainnya. Melihat kejadian itu mereka lansung bereaksi untuk melerai kami agar pertengkaran tidak berlanjut. Memang aku belum sepat membalas tamparan itu, datang menghapiri ku salah seorang senior yang kebetulan rumahnya tak jauh dari rumah dimana aku tinggal. Disitu dia mengatakan “akbar sabar, tapi kalau kamu dendam dan ingin balas ini belati, tujah (tusuk) dia,”sambil menyodorkan belati. Sejenak aku pun mendapatkan agin segar dan ingin rasanya ku raih belati yang disodorkan tersebut untuk membunuhnya, sayangnya nyali ku pun mendadak menjadi lemah karena 57
dengan singkat dan sangat cepat hati ini menasihati ku seraya berbisik “akbar sabar, tahan dulu. Ingat! kamu disini hanya mencari uang untuk biaya kuliah mu, jika kamu turuti emosi dan napsu membunuh mu, maka apa yang kamu perjuangkan selama ini akan sia-sia. Kuliah yang selama ini kamu bela-bela dan kamu rintis sedari dulu, maka akan sirna bak debu ditiup angin. Sakit memang, tapi pikirkan masa depan dan keluarga mu” baiknya dikala itu, aku berusaha untuk bisa tenang dan berpikir jernih dan akhirnya ku putuskan untuk tidak memperpanjang permasalahan tersebut dan lebih memilih untuk mengamen lagi untuk mecari nafkah karena hari itu uang yang ku kumpulkan belum genap 20 ribu. Salah satu dari teman ku mangatakan “akbar kenapa kamu biarkan saja dia” dan aku pun sambut dengan dingin “mungkin ia lagi punya masalah rumah tangga, aku yakin besok ia sudah mintak maaf kepada ku” akupun pergi dan berlalu mengejar bus kota yang sudah tak sabaran untuk mendengarkan suara sumbang yang keluar dari mulut bau ku, khas orang jalanan. Benar saja dugaan ku tak meleset, keesokan harinya saat aku lagi asik-asik ngamen dengan perasaan nothing to loss pria yang masih diberi umur panjang tersebut datang menghampiri ku dan menghaturkan maaf seraya mengatakan kalau ia punya masalah dalam rumah tangga dan khilaf karena hanya melihat ku mengamen dengan mengunakan sendal tidak mengunakan sepatu seperti dia. Aku berangapan disaat itu ia berani melakukan itu terhadap ku kerena aku merupakan pendatang baru sehingga ia hanya berani dengan ku tapi tidak dengan pengaman yang memang sudah terbilang senior, karena banyak juga diantara mereka (senior) yang ngamen pakai sendal, hemm.....pengamen diharuskan memakai sepatu saat ngamen, PNS aja kerja kadang-kadang kerja pakai sendal...terlalu! Mendengar penjelas itu, aku tak mau ambil pusing karena bagi ku perjuangan dan hidup ku tak akan berhenti hanya karena pria pincang satu ini. Lagi, saat ngumpul yang dilanjutkan dengan minuman keras disalah satu puing ruko area pasar yang roboh kerena terbakar dan tak dihuni lagi, teman-teman senasib asyik menikmati cairan yang bisa membuat manusia bisa berekspresi dengan bebas tanpa ada rasa malu dan tekanan kejiwaan. Sudah lumrah jika sudah ngumpul mereka saling unjuk kebolehan siapa yang paling banyak minum dan tanpa mabok. Sadar kalu aku berada disekelompok anak jalanan yang lebih mengedepankan emosi bukan pikiran, aku pun tak mau terlibat lebih jauh. Memang dalam sebuah pergaulan sangatlah sulit untuk terlepas dari pengaruh teman yang selalu mengongong untuk mengikuti arus yang deras. “ayolah Akbar, minumlah sedikit gak bakal mobok kok,”tawar salah satu teman ku. Jika aku menolok untuk minum-minuman yang dahulu sempat dihalalkan, maka aku dicap anak penakut dan gak layak untuk menjadi penguhuni jalanan. Memang tak mungkin bagi ku untuk menolak, jadi ku sambut tarawan itu dengan menyambar botol minuman dan langsung ku minum langsung tanpa gelas namun hanya satu teguk gak lebih. “mending langsung minum dari botolnya biar kelihatan gagah,” ucap ku dalam hati seraya berencana hanya mimun satu teguk agar gak mabuk. Ada yang lebih hebat, pria kurus dengan perawakan kurang gizi, nekat langusung minum 1 botol besar sekaligus. Dia tetap kelihatan gagah, tapi tak berlangsung lama, seperti pahon yang tumbang ia jatuh ke bumi dan lalu menjadi bulanbulanan oleh teman yang lain untuk diamainkan. Disisi lain, dua pemuda yang sedari tadi telah mengadu keahlian siapa yang paling banyak minum dan akhirnya diakhiri dengan perkelahian setelah saling mengejek satu sama lain. “wah...isinya orang sawan semua nih! kalau lama-lama aku disini bisa-bisa aku ikut sawan. Mending gua cabut dari pada terus disini,”papar dalam benak ku dan kemudian meningalkan arena bodoh itu untuk lanjut memungut uang receh di bus kota dan seketika itu juga aku mengadu kepada Sang Pemilik Hati didalam hati “ya ALLAH, kapan semua ini berakhir? Merangkai uang-uang receh didalam bus kota untuk menjadi sebuah sertifikat dan gelar S1, membuat ku terus dan terus
58
bertahan walau sehina apapun dan seberbahaya apapun resiko yang ku temui dijalan. Kapan ya ALLAH?” Pacaran dengan istri orang Terkadang aku menganti rute dan mencari lahan baru, karena ngamen di bus dalam kota sudah dipadati oleh para pengamen baru yang bermunculan. Ada satu tempat di ujung sebarang Hulu Jembatan Musi. Orang Palembang biasa menyebutnya 7 ulu atau pangkal. Disana biasnya ada bus mahasiswa Universitas Sriwijaya yang mangkal dengan rute Indralaya-Palambang. Awal permulaan ngamen disana hasilnya cukup lumayan, ya..perhari bisa rata-rata 25-30 ribu, namun tak berlangsung lama, kemudian bermuculah bibit baru mengais rezeki ditempat itu “bang saya ingin gabung ngamen disini, boleh gak bang?,” ucap salah satu dari mereka. Memang aku yang merintis tempat itu, tapi kalau masalah mencari rezeki dijalanan semua orang punya hak untuk ikut andil. “silahkan saja, gak ada yang melarang kamu yang ngamen disini, tapi tolong ngamennya yang baik-baik jangan maksa penumpang dan bla...bla...bla...bla ,” nasehat ku seraya memberikan izin. Nah teman, disitu juga aku kenal dengan seorang perempaun yang merupakan warga setempat yang aku gak tahu persis rumahnya dimana. Awal pertemuan dengan wanita ini, ketika aku sedang istiraha setelah makan siang baru saja usai. Duduk santai dibangku panjang disamping luar kedai makan sambil menyetem gitar yang suratnya sedikit bergeser dari jalur nada, tak sadar disamping ku berdiri seorang wanita muda bertubuh tinggi semampai nan langsing, berambut panjang dan berpakian layaknya cewek masa kini, lalu kemudian duduk dibangku yang sama. Tenyata wanita ini adalah teman dari salah satu warga yang rumahnya dekat kedai tempat biasa aku makan. Tak selang berapa lama , wanita ini masuk kerumah temannya yang terlebih dahulu melewati aku. “wah...cewek ni,”kata ku dalam hati yang pada saat itu gak tahu kalau itu istri orang. Setelah berada didalam rumah itu, wanita itu sesekali memandang ku yang sebelumnya telah ku pandang duluan dan kemudian kami pun terlibat percakapan bak orang yang lagi pacaran. “lagi sendirian nih?,”tanya ku singkat. “iya..bosan dirumah terus,”jawabnya memancing. Percakapanpun terus makin melebar dan saat itu naluri laki-laki ku tak bisa dibendung lagi dan kami pun makin akrab, bahkan aku nekatnya dengan beraninkan diri untuk memegang tangannya dan ia pun hanya diam membiarkan tangannya diperkosa oleh tangan ku. “wah..cewek gampangan ni, lumayan!,”setan berbisik di benak ku. Setelah hari itu, ia pun sering datang ke tempat dimana aku suka ngetem. Sejauh ini semuanya baik-baik saja dan berjalan dengan normal tanpa sedikitpun menaruh curiga terhadap wanita racun dunia itu. Hampir satu minggu sudah aku akrab dengan nya dan kemudian datanglah disuatu hari Sabtu malam Minggu dimana malam yang sering dipakai oleh kaum muda/i untuk memadu kasih dan begitupun aku setelah sorenya ia megajak ku nonton acara pagelaran Sriwijaya Ekspo di Jakabaring yang udah berjalan selam 3 hari dan rencananya akan dibuka selam 1 minggu. Mendapatkan tawaran itu, tentunya ku sambut dengan senang hati, jadi ku rencanakan hari Sabtu aku gak langsung pulang ke rumah setelah habis ngamen. Gitar biasanya aku titip di kedai makan dimana aku biasa makan. Masih memakai pakaian yang ku kenakan sedari pagi, aku dengan sejuta imaginasi liar, tetap dengan sabar menunggunya ditempat yang telah dijanjikan. Badan ku sangat gerah kerena belum mandi, namun dinginnya angin malam cukup membantu meghilangkan kegerahan dibadan ku. Tak lama kemudian ia pun muncul dengan mengunakan pakian yang sexy, menurut ku sih. “wah..bakal menjadi malam yang indah ini buat ku,”ucap ku senang karena mendapatkan mangsa. Setelah ia berjalan hampir mendekati ku, aku tambah kagum melihat ia dimalam hari yang disinari sinar lampu jalan yang hanya menyala dimalam hari, membuatnya tampak lebih cantik. Sebelum ia sampai ditangan ku, dari kejauhan aku mendengar teriakan seorang laki-laki. Dan karena terikan itu pula wanita langsung menoleh ke sumber suara dan tiba-tiba wanita itu berlari melarikan 59
diri dari tempat yang telah dijanjikan. Aku yang sedari awal memang tak tahu rahasia perempuan itu, berdiri kebingungan melihat ia berlari melarikan diri. Hanya hitungan detik wanita itu tak tahu kemana arah perginya dan kemudin kulihat samar-samar ada seorang pria bertubuh sedikit pendek dari ku, belari kearah ku. Saat itu aku belum mengeri apa yang terjadi barusan dan tetap diam ditempat sambil menyaksikan peristiwa yang aku masih gak tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Tak menunggu berapa lama, langsung saja pria itu melabrak ku dan langsung mencengkram baju ku seraya mengatakan “ada hubungan apa kamu dengan dia”. Mendengarkan perkataannya itu membuat aku malah makin binggung dan hanya memberikan jawaban aman “maksud mu cewek yang barusan lari tadi, kalau dia, aku hanya teman kok. Nah kami memang siapanya,”tanya ku setelah menjawab pertannyaannya. “asal kamu tahu ya, saya ini suaminya,”jawab nya dengan amarah yang berapi-api dengan tangan yang tetap menarik baju ku. “sial..!!!! ternyata ku kena tipu, ku pikir aku yang bakal mempermainkan dia,eh..malahan aku yang dijadikan bahan permainan nafsunya,” geram ku dalam hati. “ayo..kalau kamu berani kita berkelahi,”tantangnya. “Sabar pak, jangan emosi dahulu. Jujur saya gak tahu kalau sudah memiliki istri. Kalau tahu mana mau saja jalan dengan dia. Gini-gini saya ini mahasiswa,”terang ku seraya menunjukan kartu mahasiswa ku. Orang kalau sudah cemburu dan sudah dibakar api emosi gak gampang untuk diredahkan, ia malah terus menantang ku untuk bekelahi. “berkelahi karena dituduh merebut istri orang dan jika ku tanggapi tantangannya, pastilah aku ditonton oleh para tunkang becak. Enak aja mereka mendapatkan tontonan geratis,”akal sehat ku terus berjalan walau dalam keadaan panik dan berusaha terus memberikan pengertian kepadanya. “pak...bapak dalam keadaan emosi, mending kita bicarakan ini baik-baik. Saya ini mahasiswa yang ngamen dibus mahasiswa yang mangkal diseberang sana,”terang ku lebih lanjut. “saya gak tahu kalu ia sudah memiliki suami. Ia mengaku masih gadis sewaktu berkenalan dengan ku dan tak mengaku kalau sadah memiliki suami,”jelas ku lanjut. “sudah, kamu ikut kerumah ku saja dan menjelaskan suanya ke keluarga ku,”ajaknya. “enak aja!, aku yang gak tahu apa-apa malah disuruh menjelaskan ke keluargannya. Bukannya situasi makin membaik, malahan tamba buruk dan bisa-bisa aku jadi bulan-bulanan keluarga mereka dan memukuli ku beramai-ramai,”pikir ku. “pak bukannya saya nolak untuk kerumah bapak untuk menjernikan suasana, tapi bapak masih dalam keadaan emosi nanti masalah malah tamba runyam. Mending bapak pulang saja dulu dan nasehati istri bapak baik-baik agar jangan lagi berbuat seperti itu, dan saya akan mendo‟akan agar keluarga bapak rukun-rukun saja,”tolak ku seraya meberikan masukan kepadanya. Setelah berpayah-payah menjelaskan kepada suami yang gelap mata, ia pun mulai bisa menerima dan emosinya pun perlahan mulai redah. Akhirnya ia pun pulang setalah kami berjabat tanggan sebagai tanda damai dan ku pastikan kalau aku gak tahu menahu kalau ia sudah memiliki suami, tapi aku tetap mintak maaf kepada nya kerena ketidak tahuan ku. Setelah ia pulang, aku pun pulang kerumah dengan menumpang bus kota menuju ke rumah. Sepanjang didalam bus kota aku terus kepikiran yang terjadi barusan. “Seandainya tantangannya tadi ku tanggapi dengan emosi, maka bisa jadi balak (balak=masalah besar), apalagi berkelahi karena menganggu istri orang. Bisa-bisa jadi berita hangat dan lalu masuk koran harian, halaman depan lagi! “seorang mahasiswa....digebuk masa karena gangu istri orang” tidak @#*#&^tobat!!!!!!, mau ditaruh kemana muka ku,”racau ku histeris sendiri karena merasa tak percaya terhadap apa yang menimpa ku barusan. Semenjak kejadian itu, aku sempat troma untuk mendekati perempuan untuk beberapa bulan lamanya. Kalau pun ingin mendekati wanita lagi dan ingin mengajaknya berkenalan, ku sempat-sempatkan bertanya kepada nya “sudah menikah belum” takut-takut jika tidak, bisa terulang kembali kalau tidak waspada. Sial! 60
Sari dan Terminal Karya Jaya Menjadi pengamen juga sempat membawa ku ke terminal Karya Jaya yakni terminal antar kota/provinsi kota Palembang dengan status tetap sebagai pengamen. Awal-awal gabung disana seperti halnya gabung pertama kali di KPJ juga penuh dengan tantangan. Namanya juga daerah terminal, banyak bajingan yang bergentayangan baik yang berseragam maupun yang tak jelas statusnya. Ngamen di bus antar kota/provinsi tidaklah seperti ngamen di bus dalam kota. Kalua dibus dalam kota nyanyi 1 lagu udah cukup, tapi kalau diatas bus antar kota/provinsi bisa 3 sampai 4 lagu, hal itu kerena rute yang ditempuh lumayan jauh dan hasilnya pun tidak begitu buruk. Badan gak terasa capek naik turun, naik turun bus kota dan terkadang berlari ngejar nya. Kalau di bus antar kota/provinsi kita tak perlu naik-turun2x dan berlari tergesah-gesah berlari mengejar bus kota karena bus biasanya ngetem dahulu dan akan berangkat jika penumumpang dirasa sudah penuh. Namun yang membut bosan yakni menunggu penumpangnya penuh dan lamanya diperjalanan. Terminal itu juga memperkenalkan aku dengan seorang wanita yang bernama Sari yang bertubuh imut, rambut panjang dan baru saja lulus SMU. Sehari-hari kerjanya menjaga jualan minuman dan makanan ringan kepunyaan orangtuanya. Tempat dimana ia berjualan, sering ku tongkrongi sembari menunggu penumpang bus antar kota/pervinsi penuh. Perkenalan aku dengannya masih seumur jagung yakni sekitar 3 hari. Dengan waktu sesingkat itupula aku merayu dan terus lansung menembaknya alias mengatakan cinta gombal kepadanya. Meskipun gombal, tapi kenapa ya gombal itu tetap laris manis diminati perempuan?. Ah...sudah menjadi kodratnya kali. “Sari mau gak kamu jadi pacar aku,”tembak ku tanpa ada rasa beban. “bukannya terlalu cepat, aku gak bisa menjawabnya sekarang. Aku butuh waktu untuk berpikir jadi gak bisa ku jawab hari ini juga,”respon nya yang telah ramah terdengar ditelingga ku jika aku tembak wanita dangan pdkt singkat. Aku yang gak mua berbasa-basi, terus saja menekannya dan lalu kemudian mengatakan “hari ini ataupun besok apa bedanya, jika sebenarnya yang kau rasakan itu A ya tatap saja A gak akan bisa berubah menjadi B. Jadi hari ini lebih baik bagi ku untuk tahu jawabannya dari pada hari esok, kerena kalau sudah pakai acara pikir-pikir segala artinya cinta mu gak murni lagi”. Setelah berusaha meyakinkannya dengan kata-kata ala pujangga jalanan, ia pun luluh dan bertekuklutut dihadapan ku yang diisyaratkan dengan menganguk-angukkan kepala sebagai tanda penyerahan dirinya kepada ku. Memang dasar laki-laki gak pernah merasa puas dan selalu diselimuti rasa penasaran, jadi untuk sekedar mamastikan isyarat nya itu, aku minta penggakuan dari mulutnya langsung. “aku pengen mendengar pengakuan dari mulut kamu, kalau hanya mengangukan kepala aku gak tahu apa maksud mu,”sebut ku, pura-pura gak mengerti. Dengan suara yang sedikit agak terjepit ia mengatakan “ia..aku mau jadi pacar kamu.” Sudah dalam prediksi ku, kalau ia pasti mu menerima cinta gombal ku. Kerena itu aku tak begitu senang kalau ia menerima cinta ku, walaupun aku menampakan wajah pura-pura senang. “makasih ya, kamu sudah mau menerima cinta ku,”rayu ku senang sembari memegang tangannya dan lalu kemesraan hari itu terhenti sejenak karena bus antar kota/provinsi sudah mau berangkat dan aku gak mau menyiayiakan rezeki. Hari-hari kemudian, aku dan ia makin mesra dan tak jarang tanggan ini bergeliria dibawah koran yang sengaja ku tutupi untuk sekedar meremas tanggannya saat duduk bersama menemani ia menjaga jualan. “wah lumayan nih..menghilangkan rasa jenuh sambil nunggu penumpang penuh,”pikir ku. Aku bak raja baru disitu yang dapat menyingkairkan pesaing-pesaing lainnya, tentunya masih dalam kalangan pengamen. Seperti halnya raja, aku mendapatkan perlakuan istimewa dari dia saat berdua-duaan. Singking seringnya kami berduan, akhirnya memancing reaksi keluarga Sari yang sepertinya tidak suka dengan ulah kami. Dan lewatlah seorang ibu-ibu yang lumyan tua dan aku tak tahu itu siapa kemudian ia mengatakan “Sari nya juga mau aja, kalau ia gak mau pasti laki-laki itu 61
udah pergi,” sambil berlalu. Aku tampak keheranan dan tak mengerti apa maksud dari ibu tersebut dan setelah ku lihat reaksi Sari yang tiba-tiba saja kepanikan barulah aku sadar kalau itu tadi mungkin mamaknya. “Sari, aku ngamen dulu ya....., gak enak nih udah ditegur sama keluarga mu,”ucap ku sambil berdiri lalu mengabil gitar yang sedari tadi sudah siaga 1 menunggu untuk beraksi. Usai pada hari itu, keesokan paginya aku kembali lagi ngamen di terminal yang dipenuhi serigala-serigala lapar dan selalu mencari mangsa. Setiba disana, ku lihat wajah Sari agak berbeda hari ini, seperti wajah orang yang sudah habis nangis semalaman. Dan lalu ke dekati dan menyapa nya, ia tak membalas sapaan yang ku lemparkan dan malahan ia berusaha untuk menghindar dari cengkraman yang biasa ku persiapan special untuk dia. Mendapatkan itu, aku mulai mengerti kalau ia sudah tak mau lagi dengan ku, entah karena apa penyebabnya dan lalu aku pun pergi menjuahinya. Sambil menyetem gitar untuk menyatuhkan suara dengan dawai senar gitar yang mulai berkarat serta ditemani secangkir kopi hangat agar gak ngantuk yang ku pesan dikantin terminal. Ku lihat sesekali ia bercanda sama teman-teman pengamen lain yang sudah lebih dalu akrab ketimbang dengan ku. Sedari awal memang aku gak ada perasaan sama sekali dengannya, jadi aku gak mempermasalahkan semua itu dan ku anggap biasa-biasa saja “ya..paling hilang satu lagi mainan baru ku,”tutur ku sambil memainkan gitar yang mulai tak berdawai segar lagi. Setelah menunggu cukup lama dan antara suara dan gitar sudah menemukan kata sepakat “samakan suara#$^!(##@&^#$&*!^!, sudah sama!” aku kemudian naik bus pertama dipagi itu walau waktu sudah menunjukan jam 10 siang. Setelah naik bus dan menyapa para penumpang dan bang sopir, aku mulai mendendangkan tembang pertama pagi itu meskipun bus belum berangkat. Berdiri dipingir pintu bus, ku lihat Sari terus menatap ku dengan sorot mata yang memelas dan hanya ku balas dengan senyuman. Sebuah senyuman terakhir dari ku untuk dia dan juga sebagai simbolis rasa terima kasih ku kepadanya atas semua kebaikan dan kehangatan semu. Semenjak hari itu, aku tak pernah lagi mengujungi Terminal Kaya Jaya, sebagai pengamen. Pria pelit, ehh...! ternyata masih keluarga Ada lagi kejadian yang lucu ketika lagi ngamen. Seperti biasanya, pagi aku berangkat dari rumah ke lokasi dan sore baru pulang lalu dilanjutkan dengan sekolah malam (kuliah). Nah..dihari itu, didalam bus kota yang tak begitu banyak penumpangnya, ada seorang pria sekilas tampak berpakaian rapi duduk dikursi paling belakang. Saat ngamen, aku jarang memperhatikan atau melihat wajah penumpang. Jadi disaat nyanyi aku hanya menundukan kepala atau melemparkan pandangan ke luar bus. Setelah usia menjual sura dan dibeli dengan harga seiklasnya, dengan setengah berteriak-teriak aku mengatakan “demikianlah tembang yang saya nyanyikan semoga dapat terhibur bapak/ibu semua. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada bang supir yang telah mengizinkan saya dan juga kepada para penumpang, saya ucapkan banyak terimah kasih dan saya akhiri Wassalammualaiku Warohmatulahi Wabarakatu. Setelah kalimat penutup disampaikan, kantong pelastik bekas bungkus permen ku pakai untuk mengolek (mengolek=mengedarkan kantong atau tempat untuk memungut uang dari penumpang) langsung ku edarkan. “permisa pak/buk,”sapa ku seraya menyodorkan kontong palastik tempat menada uang dari pemberian penumpang. Ada yang memberi dan banyak juga yang hanya memberikan senyuman. Meskipun begitu aku tetap mengucapkan terima kasih setelah menyodorkan kantong ke tiap penumpang. Setelah satu-persatu penumpang yang duduk didepang dan ditengah bus ku kutip uangnya, tibalah ke penumpang yang duduk di bangku atau korsi paling belakang dan hanya ditempati oleh 1 orang. Dengan posisi kepala 62
mendunduk kebawah, lalu kontong pelastik bekas permen pun ku sodorkan kepada dia “dilihatan dari celana dan sepatunya yang dikenakannya, pastilah orang ini orang baik yang banyak duitnya dan pasti ia akan memberikan uang,”duga ku dalam hati. Tapi setelah kantong pelastik itu ku sodorkan, tampaknya ia tak menunjukan gerak-gerik untuk memberikan uang dan benar ia tak memberikan uang sepeser pun “ops..duga ku salah, tak pikir orang ini baik, ehh..ternyata sama saja dengan penumpang lain yang kere, dasar pelit!,”serapah ku dalam hati. Seketika itu juga, aku langsung mau turun dari bus kota untuk lanjut ke bus kota yang lain. Ketika hendak melangkah keluar bus tersebut yang kebetulan terhenti sejenak karena lampu merah, ia menarik tangan dan lansung mamangil nama asli ku. Aku sempat tersentak dan terkejut karena ulah nya “Akbar, kamu gak ngelihat ya kalau ini aku,”ujarnya pada ku. Setelah menoleh kearahnya, ehhh..ternyata pria itu adalah adik ipar kakak ku. Ahh..sial, aku sempat megrutui keluarga ku sendiri. “oh kamu toh Wir, tak kirain siapa,”jawab ku sambil tetawa sendiri atas apa yang terjadi barusan dan kami pun bercakap-cakap sejenak dan kemudian ia menuruskan perjalanan, sementara aku juga menuruskan perjalanan sebagai pengamen jalanan yang terlantar dijalan, tapi kalau bisa jangan sampi jadi hantu jalanan. Sudah jatuh terjengkang, tertimpa gitar lagi Nah inilah peristiwa yang benar-benar membuat ku malu karena disaksikan banyak penumpang. Peristiwa dimana aku seperti orang yang telanjang bulat padahal baju yang melekat ditubuh ku lengkap. Disuatu sore hari yang pada awal pemulaannya lancar-lancar saja, membuat ku sangat, sangat dan sangat bersemangat menyanyikan lagu yang lagi trend dikala itu. Fisik yang sehat, hati yang tenang, pikirang tak terbebani dan semangat yang bernyala-nyala membuat ku over percaya diri dan terus bernyanyi di bus kota. Melompat, melompat dan melompat pindah dari satu bus ke bus yang lain persis seperti siamang yang melompat dari satu pohon ke pohon yang berada disekitarnya. Kerena kebiasan itupula para pengamen sering dijuluki Kera Jalanan oleh sebagian kelompok orang. Apapun julukan yang mereka berikan, kami terus ngamen tanpa rasa malu dan yakin kalau masih ada kelompak masyarakat yang masih mengingginkan keberadaan kami, walau tak banyak. Sebenarnya jadi pengamen itu tak begitu buruk kalau tak bergantung dengan narkoba atau minuman keras. Selain mendapatkan uang, badan kita juga sehat karena olehraga terus tiap hari, tuh...lari-lari terus mengerjar bus kota! Sangking semangatnya ngamen disaat itu, aku tak begitu memperhatikan sandaran dan kuda-kuda kaki ku yang menapak dengan kuat diatas bus. Terombang-ambing mengikuti gerankan bus, menambah kenikmatan alunan lagu yang ku mainkan, seperti biasa sebelumnya terlebih dahulu memintak izin dan menyapa kepada semua penumpang yang ada. Nah..disaat mau masuk nada reff, tiba-tiba saja ada motor bebek yang dikenadarai oleh seorang ibu setengah baya menyalip dari sisi sebelah kiri, mau ke sisi kesebelah kanan tanpa memberikan lampu lighting terlebih dahulu, lansung menerobos tampat melihat dan sementara bus dalam laju yang cukup kencang. Refleks, abang sopir langsung menginjak tuas rem alias ngerem ngejut tampat ada tempo peringatan kalau mau ngerim. Refleks itu wajar dilakukan, jika tidak pengedara motor itu bisa terpental karena diseruduk dari belakang oleh benteng besi karena jaraknya hanya hitungan senti. “ciitt..ciitt.ciitt,”suara rem yang terinjak lirih dan lalu kemudian membunyikan kelakson keras-keras “tinn...tinn...tinn!”. Karena dadakan aku tak bisa berpegangan dengan sempurna dan otomatis membuat tubuh ku terjatuh “kedubarakkk..keduburk...dubrakkkkk, aduh! ” sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga dan terjengkang diatas lantai besi bus kota yang panas karena deru mesin dan sialnya selelah jatuh terjengkang, ditimpa gitar lagi. Spontan semua penumpang menjadi panik berkata “Allahuaklabar!, hati-hati pak!” dan selang kemudian mata mereka secara serentak tertuju kepada ku. Dengan mamakai celanan jens panjang yang super ketat, 63
memakai sepatu jungel dan tangan yang satu dalam keadaan memegang gitar mengkondisikan aku sulit untuk berdiri kembali sempurna dan berkata “sial! sudah jatuh ditimpa gitar lagi”. Dengan bersusah payah aku terus berusaha berdiri dari jatuh yang disebabkan bus yang mengerim tiba-tiba membuat aku jatuh terlentang didepan penumpang dan hanya bisa menahan sakit karena jatuh dan malu yang amat sangat karena disaksikan oleh banyak orang, akhirnya mampu berdiri tegak tapi kelapa ini menjadi tertunduk karena malu “untung celana ku gak koyak. Nah...! coba kalau koyak bisa jadi bahan tertawaan penumpang nih,”ujur ku kesal. Setelah berdiri, aku sudah gak mood lagi untuk mengutip uang ke penumpang, tapi karena udah telanjur tetap saja ku kutip dengan menundukan kepala. Entah karena suara ku memang bagus atau mungkin meraka terhibur karena aku sudah jatuh ditimpa gitar, sehingga hampir semua penumpang memberikan uang receh kepada ku. Ku perhatikan semua wajah mereka, tersenyum yang seakan-akan menahan tawa dan saat itu juga aku pun ikut tersenyum tapi bedanya karena menahan rasa malu sebab peristiwa barusan. Tak menunggu berapa lama, seleh selesai memberikan salam penutup aku lansung turun dari bus tersebut dengan mengunakan ilmu angin alias langkah seribu menuju perpohonan besar dipinggir jalan yang disebut orang sebagai paru-paru jalan didepan pertokoan tempat anak-anak biasa nongkrong. “Aduhhh..sakit!,” aku meringis kesakitan karena luka lecet disekitar tangan. Meskipun sakit, ku sempatkan untuk melihat hasil uang yang ku dapat kan barusan dikantong pelastik tempat menadah uang. “hemmnm.., lamayan,”ucap ku sambil tersenyum dan terlupakan sejenak rasa sakit ditangan. Kemudian uang receh ku pilah-pilah yang pecahan lima ratus dan seratus ku bedakan dan ku tumpukantumpuknan agar gampang untuk menghitungnya begitupun dengan uang kertas. Seratus, dua ratus, tiga ratus dan seterusnya aku menghitung uang recehan perolehan hari ini. Setelah itu, uang recehan tersebut ditukarkan ke warung atau wartel yang memerlukan recehan untuk kembalian. Hebusan angin sudah bertambah berat, matahari sudah mulai menutup matanya, dan perih dibadan makin terasa, akhirnya hari itu kuputuskan untuk mengakhiri pertualangan dan kembali pulang ke pangkuan ibu. Sesampai dirumah sudah hampir Magrib. Setelah istirahat sejenak kemudin aku bergegas untuk mandi untuk memulihkan tenaga dan kemudian mendirikan sholat. Selapas sholat, dilanjutkan dengan makan malam bersama keluarga dengan menu seadanya. Sudah makan aku istirahat diteras depan rumah dan teringat kembali kejadian yang lucu sekaligus memalukan dan aku pun cuma bisa tersenyum sendiri mengenang peristiwa itu. Udara malam makin merangsang tubuh sehingga aku pun merinding kedinginan karena hembusan angin yang selalu tak bersahabat dengan ku, ku putuskan untuk masuk kedalam rumah dan melanjutkan renungan diatas tikar kesayangan. Sangking asyiknya merenung, tak sadar aku sudah tertidur dan tanpa sedikit pun membuka buku pelajaran untuk hari esok, tanpa kepastian. Bergelut dijalanan, dikala setiap kali sepulang dari ngamen dengan menumpang bus dalam kota, aku sering memperhatikan tiap rumah yang ku lewati. Rumah-rumah yang megah dengan pagar-pagar yang menjulang tinggi. Sambil berjalan dengan sisa-sisa tenaga dangan pakaian yang lusuh nan berdebu aku bergumam “jangankan rumah, untuk membeli pagarnya saja aku gak mampu,”keluh ku sambil membayakangkan bertapa nikmatnya tinggal dirumah yang besar. Terkait hasil uang dari ngamen yang ku dapat perhari rata-rata 15 sd 20 ribu, tapi tak jarang juga aku mendapatkan penghasilan dibawah 10 ribu dan uang pun kebawa pulang beserta tubuh yang lelah ini untuk kemudian bersiap-siap kuliah dan akan pulang agak lebih malam jika tidak ada kuliah. Sebelum sampai dirumah ku sempatkan untuk sekedar membeli Martabak atau Bakso, makanan kesukaan mamak.
64
Tahun-tahun berikutnya yakni pada akhir pengujung semester-semester akhir, rezeki yang ku dapat dari mengamen sudah tidak bisa diandalkan lagi. Untuk mencari uang sebesar 10 ribu saja sangat sulit, bahkan tak jarang aku pulang dengan tanggan kosong. Yang kudapatkan hanya sepiring nasi untuk makan siang. Karena kondisi itu terus ku alami, aku pun mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain, tapi apa? tak gampang untuk mencari perkerjaan, sementara kuliah ku udah tanggung satu tahun lagi akan selesai. Duduk dibangku panjang, mata ini terus memperhatikan suasan disekitar dimana aku berada. Sambil menunggu penumpang bus mahasiswa Unsri penuh, aku terus merenung dan memutar otak kira-kira pekerjaan apa lagi yang dapat aku dapatkan tanpa harus membuat surat lamaran kerja dan mengikuti serangkaian test yang terstruktur. Pernah juga dikarnakan prustasi karena kesultian untuk mencari uang untuk biaya kuliah, terbesit dalam benak ku untuk menjual diri. Jadi gigolo mungkin, atau....menjadi simpanan tante-tante yang senang mengkoleksi brondong. Tapi, dilihat dari tampang ku kayaknya gak mungkin deh. Hal yang paling mungkin ku lakukan adalah memacari anak orang kaya, walau tak cantik. “Apa aku harus mencari pacar yang orangtua nya kaya ya?,”tanya ku dalam hati yang kemudian merencanakan untuk memacari cewek anak kaya meskipun wajahnya tak cantik dan terpenting dapat ku mamfaatkan untuk kebutuhan kuliah ku. Saat itu hanya pikiran itu yang sempat terlintas dibenak ku yang tak memberikan opsi lain yang lebih baik. Sebuah cara yang instan, tak begitu sulit mendapatkan dua burung dengan mengunakan satu anak panah, mendapatkan kenikmatan sekaligus kemudahan. Walaupun tak menemukan kata sepakat antara pikiran dan hati, Aksi itu pun ku lakukan dengan imbalan membunuh prinsip hidup yang ku junjung selama ini “jangan pernah bergantung kepada manusia, jika iya maka kau akan lemah dan hilang harga diri.” Dikampus ada beberapa calon korban yang telah ku bidik, baik dari teman sekelas maupun adik tinggkat yang telah lulus seleksi. Agak aneh sih pada awalnya, tapi karena sebuah misi jangka panjang terpaksa aku harus mementaskan peran yang tak pernah ku sukai. Saat itu aku tak berpikir akan perasaan mereka yang ku pacari jika mereka tahu yang sebenarnya, yang ku pikirkan hanyalah diri ku semata “selfish.” Pada awalnya berjalan dengan lancar dan kedekatan ku pada mereka terus erat, bahkan ada yang memberikan perhatian lebih terhadap ku. Melihat mereka makin hari makin menaruh rasa lebih terhadap ku, aku pun mulai gentar dan merasa bersalah kerena telah menipu perasaan wanita yang halus nan lebut dengan kata-kata rayuan pujangga khas jalanan. “Akbar mereka itu juga manusia biasa seperti kamu, ingin mencintai dan dicintai. Seandainya kamu mencintai tapi kenyataannya tak dicintai, maka apa yang kau rasakan? Bertahun-tahun kamu bisa kok bertahan, eh..hanya tinggal satu tahun lagi malah kamu kendor, gimana? Mau aja menjatuhkan harga diri mu sendiri,”Timbul kontradiksi yang kuat dalam batin ku dan akhirnya sepakat semua melekul yang berada didalam tubuh ini untuk mengelar voting untuk mencari suara yang terbanyak guna menentukan kebijakan selanjutnya, walau terkadang tak bijak jua. Sedari awal, hal ini telah berseberangan dengan perinsi hidup yang ku anut selama ini, maka pupus sudah rencana keji itu. Perlahan-lahan aku mulai menarik diri dari bingkai hidup mereka dan mulai kembali menghadapi realita yang terang-menderang.
65
Jalan Menuju Naga, Penjual koran Hari berikutnya, masih ditempat biasa aku sering mangkal (tapi bukan benconggg!), dari pojok jalan ku perhatikan semua manusia sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ku lihat mereka satu-persatu dan aku memulai mengandaikan diri ini adalah mereka lalu meniru percakapan antar mereka, tapi dalam versi ku. Tehadap mahasiswa dan mahasiswi yang berpasangan yang telibat percakapan yang mengisyaratkan kalau mereka adalah sepasang kekasih, dari jauh aku menirukan percakapan antar mereka versi imaginasi ku tentunya. “Lk; kamu cantik hari ini? (“lumayan nih cewek, dari bodynya ok juga nih. Wah..bakal ada mainan baru nih, asyikkkk!,”bicara dalam hati) Pr; ah...abang bisa aja, tapi makasih ya atas pujiannya. Sebenarnya abang juga ganteng kok? (“uwekkk...! mau muntah aku ngomongnya. Kalau bukan karena mobilnya yang keren ogah gua diajaknya ketemuan,”gumam cewek dengan sifat yang tak original lagi) Lk; eh..iya, nanti malam kita nonton bioskop yuk, ada film bagus loh kayaknya Pr; gimana ya bang, kalau malam ini kayaknya aku ada tugas (“gue pura-pura gak mau dulu, biar ia penasaran dan gak menganggap aku wanita gampangan. Aku akan gampangan kalau ada cowok yang juga gampang menyerahkan hartanya untuk ku, hikhikhik!,”ujarnya dalam hati) Lk; wah..jangan gitu donk, film nya bagus banget nih dan sekalian aku mau mengatakan seswatu nanti malam (“sial nih cewek, sok jual mahal banget. Padahal wajah nya pas pas-an, awas ya entar kalau udah dapat tak nyut-nyut nanti,”gumamnya dalam hati) Pr; emmmmm, gimana ya? ya udah deh kalau gitu tapi jemput aku ya. Lk; Gampang urusannya, yuk masuk ke mobil kita jalan-jalan Pr; ayok, emmmm....tapi nanti kita makan dulu ya, laper nih. Lk; apa kata loh deh, abang ikut aja (“sekarang memang waktu loh untuk makan makanan yang elo suka, tapi nanti giliran gue yang makan elo,”niat nya pun terpetakan.) dan mereka pun belalu, aku pun mengakhiri menirukan percakapan antar mereka dengan gaya dan imaginasi ku sendiri. Setelah pemandangan sepasangan kekasih berlalu, kemudian hal serupa ku teruskan ke objek lainya yang berada dijarak pandangan ku. Hal itu kulakukan hanya untuk memperlajari watak asli manusia dan juga hanya untuk menghilangkan kejenuhan dalam hidup. Disebarang jalan sana ada anak kecil dengan umur sekitar 13 tahun sedang menjajakan koran kepada semua orang yang dihampirinya dan aku mulai bicara dan berperan seolah-olah itu aku. Anak itu; koran-koran, Sriwijaya Pos , Monitor, Kompas. Duit 250 pas! Pejalan kaki; ada koran Sriwijaya Pos dik? Anak itu; ada pak, mau berapa kilo? Pejalan kaki; saya mau beli satu gram saja, boleh? Anak itu; ah..bapak suka bercanda deh!. Pejalan kaki; lah..! kamu yang mulai bercanda duluan. Coba aku lihat dahulu beritanya, kalau menarik aku beli, kalau engak aku numpang baca aja. Anak itu; boleh pak, asal jangan numpang makan aja. Pejalan kaki; yahh..udah ku beli, berapa? Anak itu; gak mahal pak cuma 2 ribu, tapi kalau mau ngasih lebih boleh kok, aku juga membuka jasa menerima sedekah, hehehe. Pejalan kaki; ah..kamu bisa aja, nih uangnya. Anak itu; gak ada uang lebih pak? Pejalan kaki; apa mau uangnya aku kurangi. Anak itu; engak pak udah cukup, makasih. Dan transaksi antar mereka pun berlalu bersamaan dengan berlalunya percakapan antar mereka dengan gaya dan imaginasi ku sendiri. Dan lalu ku teruskan dengan menyanyikan lagu karya Iwan Fals “sore tugu pancaoran” si Budi kecil yang berjualan koran pada sore hari lalu sekolah dipagi harinya. “tungu dulu, tungu dulu. “Tunkang koran” kenapa aku tak mencoba menekuni profesi itu ya, siapa tahu hasilnya lumayan. Tak salahnya aku mencoba, hitung-hitung mencari suasana baru,”rencana baru yang timbul hasil dari imaginasi yang gila-gila-an. Seperti ayam yang pulang kekandang jika menjelang senja dan seperti burung yang pulang ke sangkar setelah 66
terbang jauh untuk mencari nafka, seperti itupula aku pulang ke rumah dengan membawa rencana baru. Keesokan harinya mulailah aku mencari agen koran dan mensurvey kira-kira lampu merah mana yang prospect untuk menjual koran. Setelah semuanya sudah ditentukan, aku pun memulai mengeluti pekerjaan baru ku dengan semangat yang tak menyala lagi seperti lilin tampa sumbu. Skema profesi buru ini memaksa ku untuk rajin bangun pagi, beda dengan profesi lama ku. Sekitar jam 4:30 am, aku sudah bangun dari mimpi yang menampakan gambar tak jelas dimemory ku. Seiring itu pula, kumandang suara azan sholat Subuh terdengar dan mengajak ku untuk segera mendirikan sholat sebelum berangkat beraksi menjual koran. Setalah sholat dan minum teh, aku pun bersiap berangkat untuk menjual koran dengan ditemani si kumbang alias cipirili atau alias motor Yamaha V-80 dengan fisik yang berantakan. Biasnya jika aku keluar rumah pagi-pagi, yang lainnya masih tidur, jadi pintu ku kunci dari luar walau kuncinya sendiri berada didalam. Dengan cara menahan ujung pengunci dibawah pintu dengan mengunakan ujung jari, lalu kemudian pintu pun ku dorong dan clik, pengunci pun masuk ke lubang tempat ujung pengunci yang berbentuk seperti paku. Selain suka mengotori lantai, motor itu juga suka mengeluarkan suara bising yang keluar dari kenalpot. Jadi jika hendak menghidupakan motor, aku dorong motor itu menjauh dari rumah dan lalu ku hidupakan dengan cara memasukan gigi disaat motor meluncur dan trem..dem3x motor pun nyala. Laju dibawah remang-remang lampu jalan, aku dan cipirili menembus udara pagi yang sejuk. Tak memerlukan waktu lama, tibalah aku ditempat mengambil koran. Sebagai orang baru, tentunya aku harus melapor terlebih dahulu dan kemudian didata untuk keperluan administrasi. “permisi kak, saya mau jualan koran,”pinta ku kepada seorang pria yang berkerja di agent koran. “kamu mau jual koran ya?,”responnya balik bertanya. Dengan wajah sedikit memelas, aku menjawab “ia kak”. “ Baiklah kalau begitu, setiap koran yang kamu jual, untungnya hanya 150-300 rupiah persatu korannya, itupun tergantung koran yang laku kau jual,”papar pria tersebut sambil menerangkan lebih detail berapa harga koran dan majalah yang harus dijual ke pelangan alias harga eceran tertinggi (HET). Setelah semuanya clear, aku diperbolehkan membawa 10 koran untuk setiap penerbitnya dengan perhitungan harus habis terjual, jika tidak maka akan dikenakan potongan dari untung yang didapat. Dibawah pohon rimbun dengan disinari lapu jalan yang masih menyala, beberapa tukang koran lainnya menata rapi koran yang akan dijual. Sementara aku sedikit mengalami kesulitan untuk manata koran bedasarkan urutan halamannya dan kemudian memasukannya kedalam kontong pelastik putih transfaran. Setelah semuanya dinggap selesai, koran ku taruh dimotor dan setelahnya motor pun kunyalakan. Kerena masih sangat pagi, lampu mereh pun ku terobus karena jarang ada kedaraan yang lewat dilintasan pada jam-jam segitu. Kecepatan motor yang sangat lamban karena memang sebatas itulah kemampuan laju motor itu, sebelum ke on the spot yakni lampu mereh perempatan Jalan Ahmad Yani, ku sempatkan melewati perumahan yang ku anggap mewah dan lalu “koran-koran!, koran pak!,”teriak ku kesetiap rumah yang ku lewati dengan mengendarai motor. Waktu itu sekitar jam 5 subuh dan seiring jarum jam berjalan, sekitar jam 5:30 subuh, aku tiba di tempat mangkal baru ku. Cipirili ku pakirkan dibawah pohon yang rimbun agar ia bisa istirahat sejenak dan sementara aku bersiap-siap menjajakan koran ke penguna jalan, baik itu pengendara motor maupun mobil yang kebetulan tersangkut lampu merah. Jam 5:30, tentunya masih sangat pagi bagi mereka untuk berangkat kerja atau menghantar anak-anak mereka sekolah. Sembari menunggu kendaraan yang akan memadati jalan, aku duduk sendirian ditepi jalan sambil merenungkan bakal seperti apa hari ini. Ini merupakan hari pertama buat ku dalam menjual koran, yang jelas-jelas dimata masyarkat ini bukanlah pekerjaan yang iseng-iseng atau dengan kata lain adalah merupakan pekerjaan orang yang tidak 67
mengenyam pendidikan alias hina. Secara berangsur-angsur, kendaraan mulai bermunculan dan melewati lampu mereh dimana tempat aku mangkal. Lamunan ku hentikan sejenak dan langsung beraksi menjual koran yang telah ku baca terlebih dahulu sebelum ku jual ke pembeli. Disaat lampu merah menyala, kedaraan pada berhenti semua, dengan sigat aku menjajakan koran dengan cara menawarkan kesetiap penguna jalan yang terjerat lampu merah. “koran pak, koran pak”tawar ku sembil berjalan melewati penguna jalan yang behenti karena lampu merah. Ada yang beli dan banyak juga yang tidak, ya seperti biasalah, hanya orang-orang tertentu yang hobi baca koran. Biasanya koran akan laris manis jika ada lowongan perkerjaan atau ada pengumuman pembukaan CPNS dan atau pengumuman yang lulus test CPNS. Seberapa pun banyak koran yang dibawa pasti akan ludes terjual. Disamping koran, bersama ku, turut juga ku bawa manjala dewasa “KISS” dan juga manjala Bola. Jika lagi jenuh terlebih lagi saat hujan, tak jarang aku sendiri yang mambaca majalah dewasa tersebut, ya lumayanlah bisa mengusir kantuk dan mengisir hawa dinggin udara hujan. Setelah berkutak-katik menjajakan koran, tentunya sangat sulit menjual koran sampai habis, sementara waktu sudah mendekati siang. Jadi untuk hari itu, ku cukupkan dahulu untuk menjual koran dan kuhitung-hitung untung yang kudapat berkisar 5-7 ribu, lumayan ada pemasukan. Pulang dengan sisa koran ditangan, aku pun langsung nyetor ke agent tempat aku mengabil koran. Setalah hitunghitungan selesai, aku pun beranjak pulang kerumah dengan wajah sedikit bercahaya karena titik cahaya mulia terbuka lagi bagi hidup ku. Sasampainya dirumah, aku simpan uang tersebut dan ku lanjutkan dengan mandi untuk mengusir penat ditubuh. Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa, namun ada hal-hal yang menarik untuk ku ceritakan selama menjalani profesi penjajak koran. Pernah diwaktu subuh, dimana matahari belum menampakan sosoknya. Seperti biasa, aku terbangun untuk berkativitas mencari nafkah. Setelah rutinitas telah dilakukan, dari sholat Subuh sampai mengambil koran di agent langanan, bersama dengan kuda besi yang selalu senantiasa menyertai ku, melajulah roda-roda gundulnya dengan arah yang tak lurus lagi. Pagi itu, disaat aku memacu kuda besi ku dengan kecepatan penjual koran, pas di perempatan lampu merah jalan Radial, disaat aku melewati jalan itu, tiba-tiba meluncurlah sebuah kendaraan mewah dengan kecepatan tinggi. Sangking capatnya, bahkan aku tak tahu dari arah mana datangnya mobil tersebut dan tiba-tiba saja menabrak kami berdua “kedubarkkk!” dan aku pun terpelanting bergelinding-gelinding. Tabrakan itu membuat tubuh ku terpisah dari kuda besi ku bersama-an dengan helm pelindung kepala non SNI yang ku kenakan. Setelah tubuh ini mengelinding-ngelinding, tubuh ku terlentang bebas dibawah lampu jalan yang remangremang dengan mata menatap kelangit. Sejenak otak ku bleng, hanya nafas yang keluar dari mulut ku yang bisa ku rasakan. Masih dalam posisi terlentang, perlahan kepala ku menoleh kearah mobil itu malaju pergi. Melihat mobil itu pergi tanpa berhenti sejenak sekedar untuk melihat apakah gerangan yang ditumburnya barusan, aku hanya bisa diam dan berkata-kata dalam hati “enak ya jadi orang kaya”. Dengan nafas yang tak beraturan dan rasa sakit yang menyelimuti badan ini dipagi hari, aku pun berusaha untuk bangkit berdiri dari tidur lelap ku diatas aspal yang keras nan dingin. Berdiri dengan menahan rasa sakit lalu aku melangkah dengan langkah tertatih-tatih menghampiri motor kesayangan ku. Ku dapatkan ia juga terlentang dan tak bergerak karena mesinnya mati. Tubuh ku mengeluarkan darah karena lecat-lecet hasil dari keasyikan berguling-guling, sementara si cipirili juga mengeluarkan darah, tapi darah putih alias bensin (premium) yang mengalir keluar dari tenki motor yang memang penutupnya sudah tidak dalam kondisi yang baik. Ku raih ia dan mengatakan “ayo teman, kita masih ada perkejaan yang harus dilakukan,”ku ucapkan seolah-olah ia bisa berbicara dengan ku, sambil tersenyum. Ajaibnya, meskipun begitu, semangat cipiril seakan tak kendur. Setelah penutup tenki minyak ku pungut dari tempat kejadian perkara (TKP) dan lalu ku pasangkan lagi ke tenki 68
minyak, ku engkol motor tersebut, langsung nyala. Luar biasa! bisanya cipirili sulit untuk dinyalakan, biasnya diperlukan engkolan berkali-kali baru bisa nyala. Kaca spion pecah, kapala motor tambah penyot dan tubuh penuh dengan rasa perih yang membelit badan, tapi aku terus melanjutkan perjalanan ketempat bisa aku mangkal, dan hari itu, aku sedikit terlambat ke on the spot karena tertimpa musibah “tabrak lari”. Profesi itu terus ku lakoni sampai akhir perkuliahan dan tentunya pekerjaan ini diketahui oleh teman-teman kuliah ku, dan terhadap itu pun aku tak ambil pusing dan berusaha bersikap santai dan cuek. Profesi menjual koran bersamaan dengan menyusun skripsi, tidak sulit bagi ku untuk mengatur itu semua, karena dengan menjula koran aku tak perlu memerlukan waktu seharian untuk mecari nafkah, jadi aku agak bisa sedikit konsen untuk menyelesaikan skiprsi ku. Terkait mengenai cipiril yakni motor Yamaha V-80 dengan body tak jelas lagi, motor yang turut jua mewarnai kisah yang membuat malu diri ku. Pernah disuatu pertistiwa dijalan raya Jend. Sudirman kota Palembang, motor ku terhenti dikarnakan lampu merah. Pagi itu banyak kendaraan yang memadati jalan protokol tersebut, termasuk aku dengan motor butut serta helm non SNI dengan suara mesin kenalpot yang paling keras sendiri yang disertai asap pitih tebal yang keluar dari lubang kenalpot. Biar pun sedang tidak melaju, motor ini harus tetap digas agar supaya mesinnya tak mati dan al-hasil asap putih pekat dihasilkan, biasa motor tua. Berada dikendaraan yang beda sendiri, tiba-tiba mesinnya mati, sementara lampu merah sebentar lagi hijau. Menghadapi itu pun aku lansung dengan sigat mengenkol tuas motor berkali-kali tapi mesinnya tak nyala. Detikdetik waktu lampu merah yang akan berpindah warna menjadi hijau semakin dekat, membuat ku bertambah panik dan motor terus ku engkol dengan keras dan “kedubarkkk!” suara jok motor terlepas dari tempatnya lalu jatuh diatas aspal. Bertapa merah padamnya muka ku dikarnakan peristiwa dikala itu, setelah itu lansung motor ku berdirikan dengan memasankan standar motor dan kemudian memungut jok motor yang kulit joknya sudah dipenuhi dengan sobekan zaman. Selanjutnya, jok ku taruh lagi ketempat asalnya dan motor ku dorong ke tepi jalan agar tak menganggu penguna jalan lainnya dan “kamu ini membuat malu aku, sial motor butut,”ucap ku kesal kepada motor yang mempermalukan ku setelah ku pakirkan dipinggir jalan. Sangking kesalnya tak jarang si cipirili menjadi bulanbulanan ku hingga sampai ku tendang dan bahkan pernah ku pukul kepalanya yang sudah tak berbentuk sempurna lagi. Selain jok motornya yang sering lapas karena memang besi pengaitnya sudah tak berfugsi lagi alias rusak, cipirili juga sering meninggalkan tinta hitam dicelana yang kupakai. Tinta hitam itu berasal dari campuran premium dan oli yang muncrat keluar dari tengkinya karena guncangan disaat kedaraan itu melaju, maklum tutup tenkinya sudah gak ngepress lagi. Terhadap hal itu aku hanya bisa bersabar dan tak bisa berbut banyak, dan jika ingin diperbaiki tentunya memerlukan uang yang tak sedikit, menurut ukuran ku sih. Tapi ada hal yang paling tak bisa ku lupakan tentang cipirili yakni ketika aku mau wisudah. Wisudah merupakan hari dimana kebangaan dan kemerdekaan bagi setiap mahasisiwa yang menjalaninya. Maka dari itu tak jarang keluarga atau kerabat dari wisudawan/i datang beramai-rami untuk menghadiri perhelatan tersebut dengan mengendarai kendaraan mewah. Teman, setelah apa yang ku lewati, jujur saja aku tak menyangka bisa menyelesaikan kuliah ku dan bisa mendapatkan gelar S1. Terkadang kalau diigat-ingat sepertinya tak mungkin aku dapat menyelesaikan kuliah ku, tapi ternyata jalan itu ada juga untuk ku. Merasa senang bisa menyelesaikan kuliah, tapi tak sama sekali aku merasa bangga terhadap perhelatan itu, entah mengapa. Pagi itu, aku sudah besiap-siap untuk menghadiri dan mengikuti wisudah yang diselengarakan di kampus. Berangkat dari rumah dengan mengunakan toga dan jubah hitam khas wisudah, aku dan mamak ku bersama-sama naik cipirili (motor yamaha V-80) ke kampus. Mamak yang telah 69
berdandan seperti dandanan orang yang mau menghadiri acara pernikahan berada dibelakan ku. Sementara aku dengan jubah hitam yang menjuntai dan togah dikepala, membonceng mamak menuju kekampus dengan melewati jalan raya kota Palembang. Pada saat itu, aku sama sekali tak menghiraukan pandangan orang-orang yang merasa aneh melihat kami ketika dilampu merah. Setelah sampai dikampus, mamak ku suruh turun dan menunggu ditaman tempat dulu aku pernah menunggu sang kekasih. Sementara aku memutar balik motor melaju kearah rumah untuk menjemput ayuk yang dirumah sudah siap-siap untuk berangkat menghadiri wisuda adiknya yang pertama. Melaju dengan membelah keramaian jalan raya kota Pelambang dangan pakain jubah wisudah yang melekat dibadan yang beribar-kibar bak bendera kalah perang yang ditiup angin, mendadak membuat aku seperti sirkus ditenggah jalan raya karena menjadi pusat perhatian penguna jalan raya lainnya. Sesampai dirumah, ayuk ku sudah sedari tadi menunggu, siap untuk berangkat dengan kendaraan istimewa kami. “ayu yuk capat, acara mau segera dimuali,”tutur ku tergesa-gesa kepada ayuk, yang sedari tadi sudah menunggu. Tak lama setelah itu, dengan melawati jalan yang sama akhirya tiba juga aku dikampus dengan membonceng ayuk. “Ayuk temui mamak ditaman sana, aku parkir motor dulu,”suruh ku. Disaat mau memakirkan motor, aku binggung mau pakir motor dimana karena dikampus banyak mobil yang pakir, sementara pakir motor nyaris tak ada dan akhirnya motor ku pakirkan di pinggir jalan disela-sela perbatasan pakir mobil. Setelah tahap pertama beres, tibalah ke tahap inti yakni peresmian wisudah. Aku duduk dikorsi yang telah ditentukan berdasarkan nomor yang tertera disurat undangan wisudah, sementara mamak dan ayuk duduk ditempat korsi tamu yang telah dipersiapkan oleh panitia. Perhelatan yang dinanti-nanti akhirnya dimulai juga. Pertama dimulai dengan kata sambutan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan kemudian dilanjutkan dengan pemindahan dan penyerahan ijazah kepada mahasiswa/i secara simbolik. Setelah namanama para peserta dipanggil satu persatu, tibalah nama ku dipanggil “Akbar” mendengar nama ku dipanggil, aku pun naik keatas podium dengan perasaan bercampur aduk antara senang dan sedih. Diatas podium aku melangkahkan kaki yang lelah ini, menuju dosen yang akan memindahkan kuncir ditoga dan dilanjutkan dengan pemberikan ijazah secara simbolik. Moment pada saat itu tentunya diabadikan oleh para photograper dan kemudian untuk dijual. Dalam hati aku berucap disaat aku menundukan kepala karena prosesi pemindahan kuncir “ya Allah, Alhamdulilah terima kasih atas apa yang telah Engkau berikan kepada ku, walaupun keluarga ku tak lengkap Engkau hadirkan. Sekali lagi ya Allah, terima kasih banyak” dan hari itupun berlalu dan aku mendapatkan predikat sangat memuskan, bahkan sangat memuskan hari itu bagi ku, puas hasilnya puas juga menahan rasa malu. Setelah tamat kuliah dan kemudian mendapatkan pekerjaan, si cipirili yang malang berakhir menjadi besi kiloan alias besi tua yang dijual oleh adik ku dengan harga Rp 200 ribu. Sempat aku ingin menyipan motor itu untuk koleksi pribadi ku, karena ia telah ikut berjasa dalam menemani perjalanan ku untuk menata kehidupan yang lebih baik, tapi takdir berkata lain, ia pergi bersama tuan barunya, yakni tukang pembeli besi tua. Rentetan pristiwa telah menemani ku dan mejadikan aku Akbar yang over percaya diri sehingga apapun yang ku lakukan dilaur sana, jika diketahui teman sekampus atau tetangga dirumah aku pun sama sekali tidak minder dan merasa rendah diri. Semuanya ku nikmati dan ku jalani dengan senang hati walaupun tak sedikit diantara mereka sepertinya tidak suka berteman dan merendahkan ku. Saat-saat itu, aku selalu berteman dan bemain dengan imaginasi ku sendiri. Jadi aku tak perduli apa kata mereka tentang ku, pokoknya ku nikmati
70
saja kehinaan ini tanpa harus merasa iri dan mengeluh, karena bagi ku semuanya telah berlalu. Jalan menuju Naga, Ku cium tangan mu sebagai penghormatan terakhir ku, karena ku tahu kau tak akan kembali lagi. Tak tahu apa yang ada dibenak bapak dikala itu. Ketika kuliah ku hampir rampung, ia pergi kembali setelah menghadiri dan mendampingi pernikahan kakak perempuan ku satusatunya. Memang sebelum-sebelumnya, bapak telah meninggalkan kami sekeluarga dan ia mutuskan untuk menjalani hidupnya dengan betina pilihannya, walau tanpa ikrar terlebih dahulu terhadap keluarga kami. Bapak pergi tanpa mengutarakan maksud kepergiannya kepada kami, ia hanya berangkat dengan beralasan untuk mengurus kebun kopi sendiri. Mungkin bapak berangapan kalau kami telah dewasa dan dapat hidup mandiri dan bisa menjaga dan merawat mamak. Sebelum keberangkatannya, aku merasa bapak mengalami perubahan sifat. Dahulu bapak sangat taat beribadah dan sangat keras terhadap kami dalam menegakan disiplin mendirikan sholat lima waktu. Sangking kerasnya dalam menegakan kedisiplinan, bapak sering menyiramkan air jika ada diantara kamu yang tidak sholat. Namun semuanya itu, ku rasakan telah berubah. Bapak dikalau itu sibuk dengan amalanamalan yang tak jalas dan pecaya dengan perkataan betina yang mengaku memiliki leluhur yang sakti yang disebut mereka „embah‟. Ia sering mintak pertolongan dan petunjuk dengan arwah yang gak jelas yang mengaku embah dengan cara memangilnya alias kesurupan melalui ritual yang dilalukan oleh si betina itu. Disinilah bapak mulai menunjukan prilaku yang mulai jauh dari akidah ajaran Islam yang telah ia pegang dan anut selama ini, meskipun begitu babak tetap menunaikan sholat lima waktu. Tak heran bagi ku jika bapak berpilaku seperti itu, karena sedari dulu bapak memang suka dengan dunia yang berbau mistis. Sempat ia mengatakan kepada mamak kalau ia mendapatkan petunjuk dari embah, bahwa ada harta karun disebuh goa yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Didalam goa itu terdapat banyak harta karun dan juga sarang burung walet dan untuk mengambilnya pelakunya harus melakukan ritual tertentu. Selain puasa yang disaratkan ada juga dana oprasional yang harus dikeluarkan untuk menempuh ke tempat itu, maka dari itu bapak memujuk mamak untuk menjual tanah untuk memodali pencarian harta karun tersebut. “kalau nanti berhasil, nanti anak-anak ku belikan motor semua,” bujuk bapak kepada mamak. Mendengar itu langsung aku mengatakan “dosa besar kalau kita percaya dengan dukun, kalau mau mintak pertolongan cukup hanya kepada Allah, bukan ke dukun. Bukanya dulu bapak sering menyirami kami dengan air jika kami belum terbangun untuk mendirikan sholat Subuh, ehhh.....sekarang malah percaya dengan dukun”. Mendengar respon ku yang tak enak ditelinga bapak, ia lansung naik pitam dan berujar “kamu sekarang sudah berani nasehati orangtua, ya!” dengan tersenyun aku pun mengatakan “percuma bak sholat jika kita percaya dengan dukun, kalau mau mintak petunjuk dengan Allah bukan dengan orang yang telah mati”. “Percumah ngomong dengan kamu, buat aku kesal saja!,” tegas bapak seraya mengakhiri pertengkaran. Melihat perdebatan itu, mamak hanya bisa diam dan tak bisa berbuat banyak. Aku rasa mamak sepakat dengan pendapat ku, tapi disisi lain mamak hanyalah seorang istri yang baru bertemu dengan suaminya lagi karena untuk pernikahan anak perempuannya. Setelah pernikahan kakak perempuan ku selesai, tak lama setelah itu babak ingin kembali lagi ke kebun kopi yang disana telah menunggu keluarganya yang lain. Pagi itu, aku yang menghantar bapak ke stasiun kereta api yang menuju ke Lampung. Selelah membeli tiket dari loket, kemudian kami naik gerbong dan mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Sampainya disana setelah tas ku taruh ke tempat menaruh barang, aku 71
pun pamit dan menyambut tangganya lalu kucium agak lama seraya mengatakan dalam hati “aku minta restunya pak, aku mau nikah. Dan aku mintak maaf kalau sebagai anak, aku tak bisa membuat mu bangga. Selamat jalan, semoga kita berjumpa lagi dari akherat kelak. Hati-hati dijalan dan jaga diri baik-baik, semoga Allah selalu bersama mu” lalu selesai berpamitan, kemudian roda besi kereta pun mulai bergerak menjauh dari pandangan ku, begitu juga dengan keberadaan bapak. Batin ku berkata kalau ini adalah pertemuan yang terakhir antara aku dan bapak, ia telah memilih jalan hidupnya dengan memutuskan untuk hidup bersama keluarga pilihannya, semoga engkau hidup bahagia disana. Aku anak mu, berusaha untuk bisa memahami perasaan mu dan juga berusaha untuk selalu mendo‟akan mu disetiap sholat yang ku dirikan agar kau dapat hidup bahagia. Selamat jalan bapak, terima kasih telah menjadi orangtua ku dan sampai jumpa di waktu yang berbeda. Tiba waktunya kelak giliran ku untuk memilih jalan hidup ku sendiri, maka dari itu aku mintak restu kepada mu untuk menikah dengan wanita pilihan ku, walau aku tak tahu kapan dan dengan siapa aku akan menikah kelak. Selamat jalan wahai wajah yang gagah, terimalah salam bakti ku untuk yang terakhir kalinya dengan air mata yang mengalir tanpa baban seiring kepergian mu meniggalkan kota ini. Jalan menuju Naga, Sang Keramat Hidup Dimasa-masa dimana aku udah mendapatkan pekerjaan, aku mulai mengaktifkan untuk membiasakan diri untuk mencoba membudayakan kembali kebiasaan ketika masih kecil yakni selalu mencium tanggan mamak ketika akan pergi dan pulang kerja. Memang pada awalnya terasa berat dan aneh membiasakan hal tersebut. Saudara-saudara yang lain yang menyaksikan tingkah ku, memandang aneh. Namun demikian, hal tersebut terus saja aku terapkan setiap kali mau pergi dan pulang dari kerja. Kalau bukan kita anaknya, siapa lagi yang menghormati orangtua. Kelihatan sederhana memang, tapi bagi ku itulah salah satu cara untuk menghormati, menyayanggi orangtua. “kapan lagi membahagiakan orangtua, mumpung masih ada waktu. aku tidak mau menyesal kemudian hari dan tak tegah melihat mamak menderita terus. Aku gak puya apa-apa, sementara inilah yang bisa aku lakukan. Percumah kalau kemudian aku mepermegah kuburannya sebagai rasa bakti kepada orangtua, setalah mamak telah tiada. Lagian kapan jadi kayanya aku gak tahu pasti, jadi selagi masih ada waktu, sebagai anak aku berusaha untuk memberikan perhatian, membuatnya tertawa dan bahagia sebisa mungkin,”janji ku dalam hati. Selain itu, aku juga kalau mau makan, sebelumnya aku menyentongkan (menaruh) nasi kepiring mamak kemudian baru aku. Hal itu sering aku lakukan, tak lain hanya mengambil berkat dari keramat hidup yang puas menahan derita sepanjang hidup dan sebagai bentuk perhatian sebagai anak karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Itu pun aku lakukan setelah lulus kuliah S1 dan telah medapatkan pekerjaan yang lumayan menjanjikan. Sepanjang menjadi pelajar di salah satu perguruan tinggi swasta dan juga sepanjang menjadi penganguran setelah lulus sekolah S1, aku terus meminta mamak didalam untuk terus mendoakan aku agar aku bisa mendapatkan pekerjaan dan hidup sukses. Dan setiap kali ia selesai menderikan sholat, aku selalu mencium tanggannya untuk mengharapkan restu dari nya untuk setiap langkah yang ku tempuh. Sebagai orangtua, tentunya tak hanya aku yang dido‟akan setelah selasai sholat juga menyertakan semua anak-anaknya agar menjadi anak yang sukses. Wanita yang bertubuh bertambah tua dangan rambut perlahan mulai memutih, aku selalu berdo‟a agar mamak sehat selalu dan panjang umur agar aku dapat berbakti lebih lama, terlebih lagi setelah aku mendapatkan pekerjaan. Wajah yang lelah, yang selalau senantiasi memasakan kami makanan untuk sarapan pagi, hingga makan 72
siang dan malam. Didalam kelelahannya, tak jarang mamak tertidur saat istirahat sembari baring menonton TV. Melihat itu, aku hanya bisa mengambil selimut dan menyelimuitinya seraya menatap wajahnya yang penuh guratan kegelisahan. Mamak ku orangnya susah tidur, jadi jika ia tertidur aku biarkan ia tertidur dan berusaha membuatnya nyaman dengan menyelimutinya dengan selimut tebal. Dikarnakan sulit untuk tidur, mamak suka terbangun malam hari, terlebih lagi jika ada permasalahan yang menerpa hidupnya. “ya Allah, kenapa aku susah sekali tidur,”teriak mamak dengan nada kesal. Aku yang tidur diruang tamu tentunya terdengar keluhan mamak tersebut dan langsung menanyakan “kenapa mak? susah tidur?”. “entahlah, susah sekali tidur, badan pegal-pegal semua,”saut mamak pada waktu tengah 2 malam. Dalam keadaan setengah sadar, aku berusah berdiri dari tikar empuk ku dan menghampiri mamak, lalu mengatakan “yang mana yang pegal mak, sinih aku pijitin”. Setelah aku pijit, mamak pun dapat melanjutkan tidur dengan pulas. Menatap wajah yang kelelahan aku hanya bisa mendangarkan keluahannya ditengah malam dan juga memberikan saran “kalau mamak suka bangun tidur tengah malam dan susah untuk melanjutkan tidur lagi, mending mamak sholat Tahjud saja, biar pikiran tenang” sementara aku sampai saat itu hanya bisa meminta mamak sholat Tahjud tapi jua tak bisa mendirikan solat sunat yang menurut beberapa riwayat bahwa dengan mendirikan sholat itu, Allah akan melapangkan dan mendatangkan rezeki yang tek disangka-sangka. Tahuntahun berikutnya setelah mendapatkan pekerjaan, tentunya aku telah memiliki kesibukan dan sebagai karyawan berkewajiban untuk memenuhi tuntutan perusahaan yang telah ditetapkan. Melihat kesibukan ku yang terkadang pulang sampai larut malam, yang tadi biasanya mamak tak segan-segan meminta ku untuk memijitinya jika badannya dipenuhi rasa pegal, tapi semenjak itu mamak tak pernah meminta ku secara langsung untuk memijitinya. Meskipun begitu, terlihat jelas raut kelelahan dan kecapean diwajah yang sering diisi lamunan, oleh ku dikala pulang dari kerja. Sambil nonton TV, mamak dengan tanggannya yang tak gagah lagi, memijiti tubuhnya sendiri dan terkadang sangking kelelahan, mamak biasanya hanya memukul-mukul bagian tubuhnya yang terasa pegal. Sebuah melodrama yang terpotret oleh lensa mata ku disaat pulang dari kerja, menghasilkan gambar yang membuat diri ini terpangil untuk memijitinya. Setelah mandi dan seterusnya mendirikan sholat, lalu kemudian dilanjutkan dengan makan malam. Aku pun memanggi mamak dengan alasan ada yang mau diomongin “mak sini sebentar, aku mau ngomong seswatu,”panggil ku. “Ada apa?,”jawab mamak singkat dengan nada palan seraya menghampiri ku. “Sini mak, mamak baring dulu. Biar aku pijitin mamak, agar tidunya nenyak malam ini,”pinta ku dan kemudian ku pijiti sampai badannya merasa bugar kembali. Walau Aku tak bisa megantikan peran bapak dirumah ini, setidaknya sebagai anak aku terus berusaha untuk membahagiankan keluarga, khusunya mamak yang tercinta. Aku rasa hampir setiap ibu dunia ini, khusunya ibu-ibu di Indonesia jika mendapkan masalah dan tak tahu harus berbuat apa, maka yang bisa mereka lakukan hanya melamun sebagai pelarian, begitupun dengan mamak. Sering ku dapatkan ia sedang duduk sendirian dan melamun yang isi lamunannya sudah bisa ku terka, apa lagi kalau bukan memikirkan masa depan anak-anaknya. Aku tahu melamun itu tak salah dan sangat manusiawi jika kita melakukannya, walau tanpa sadar. Akan tetapi, tak jarang melamun juga bisa membawa effek buruk bagi pelakunya, untuk itu disetiap kali ku dapatkan mamak sedang melamun duduk sendirian, ku hampiri dan mengajaknya ngobrol sekedar untuk memecahkan lamunnnya. “Sudah, mak. Jangan banyak pikiran, nanti malah sakit dan bla..bla..bla,”ujar ku seraya mengarahkan pokok pembicaraan agar lamunan mamak terhenti.
73
Dengan pekerjaan yang ku dapat saat itu dan dengan gaji yang ku dapat, mamak sering ku ajak jalan-jalan keluar rumah, entah itu ke Mall, ke pameran dan atau ketika ada acara besar seperti HUT Pelembang dengan festival Sriwijaya yang selalu diselengarakan pemprov setempat setiap tahunnya. Menghadiri perhelatan yang diselengarakan oleh pemprov yakni festival dan pameran-pameran seni budaya dimalam hari di Benteng Kuto Besak, aku dan mamak menikmati pertunjukan tarian tradisional dari berbagai macam provinsi dan daerah yang sangat memukau. Berduaan dengan mamak, tak bisa membuat diri ku leluasa mencari cewek dimalam itu dan hanya menahan hasrat untuk mendekati cewek jika ada cewek cantik. Pernah disaat mengunjungi pameran yang tetentunya dipadati oleh ribuan orang dan bahkan juga ada dari luar kota Palembang, jalan menjadi sempit dan sesak. Pengunjungpun hanya bisa bejalan perlahan-lahan, dan tak jarang sambil dorongdorongan. Aku dan mamak pun terjebak didalam macet yang dikarnakan pengunjung telah tumpah ruah diarea pemeran. Pemeran yang banyak dikunjungi oleh kaum hawa itu, membuat tanggan ku refleks memagan pinggul cewek yang lewat, sebagai puncak kegeraman ku karena tak bisa mendekati cawek disaat jalan besama mamak. Untungnya cewek itupun hanya diam dan tidak menunjukan mimik marah atau kesal kepada ku, mungkin ia menikmatinya kali, hahahaha! Begitu juga disaat berjalan di salah satu Mall yang ada dikota Palembang, mamak ku rangkul atau ku gandeng bak orang sedang pacaran. Atas prilaku ku itu, tak jarang kami mendapatkan respon aneh dari pengunjung lainnya yang terlihat dijawah mereka disaat kebetulan berpapasan melihat pemandangan yang tak lazim itu. “Apa tak malu kami dilihat cewek-cewek,”ujar mamak ku. Dalam hati jujur sih malu, tapi inilah salah satu cara ku untuk menghibur dan membahagiakan mamak. Aku hanya bisa melakukan apa yang ku bisa, jadi rasa malu pun terbunuh oleh rasa bakti ku kepada orangtua “ah..mak, ngapain malu. Namanya juga orangtua dan anak, wajar kalau jalan bergandengan, tak ada yang salah kok,”jawab ku santai dan kemudian mamak pun menyenderkan kepalanya dipundak ku, setelah mendengar perkataan ku. Sembari berjalan, didalam hati kau bertutur “mungkin gak ya aku bisa memberangkatkan mamak ku ketanah suci untuk mendirkan rukun Islam yang ke lima, hemm....kayaknya gak mengkin.” Itulah Sang keramat hidup yang do‟a dan restunya selalu menyertai setiap langkah ku dalam mencapai kesuksesan, selalu dengan sabar dan tak henti-hentinya untuk medo‟akan anak-anak nya agar mendapatkan pekerjaan dan dapat hidup lebih baik. Sebuah kekuatan yang tak terlihat, yang telah membuka jalan jika aku mendapatkan jalan buntu dan membuat Allah selalu membantu ku dikarenakan do‟a nya. Tanpa sadar aku merasakan kalau aku tak akan bisa sampai seperti sekarang ini jika tanpa do‟a dan restunya yang selalu menyertai ku. Benar apa yang disabdakan oleh nabi besar Muhammad SAW “surga itu berada ditelapak kaki ibu”. Wahai ibu, terima kasih atas pengorbanan mu selama ini. Memang aku tak akan pernah sangup membalas semua jasa dan kebaikan mu, aku hanya bisa mendo‟akan agar engkau bahagia dihari tua mu dan memohon kepada Allah untuk menjaga dan memberikan tempat yang terbaik disurga. Jalan menuju Naga, Kujual gitar kesayang ku, yang sempat menyertai perjalanan ku Setelah menamatkan study S1 dengan predikat sangat memuaskan, aku pun kembali berjibaku mencari pekerjaan. Masa-masa itu, aku disibukan dengan mencari informasi mengenai loker (lowangan Pekerjaan). Setipa kali memdapatkan informasi langsung ku buat surat lamaran perkerjaan yang berakhir dengan penolakan, begitu juga dengan test CPNS, berulang-ulang kali aku mencoba namun gagal jua. Ya...mugkin formasi yang 74
dibuka sudah merupakan pesanan para elit dan oknum yang memiliki kebijakan namun diselewenkan. Jadi orang-orang seperti ku hanya bisa ikut serta dalam memeriahkan prosess penerimaan CPNS. Para pajabat disana tidak mungkin memikirkan rakyat yang benar-benar berjuang untuk mendapatkan formasi CPNS. Tekanan Kolega, Partai-partai Penyungsung, Tim Sukses, DPRD, LSM dan kekuatan kapitalis lah yang membuat para pemimpin daerah tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Estimasi ku, kalaupun ada yang lulus dengan murni, paling 10 persen dari kuato yang dikompetisikan. Inilah Indonesia negeri ku yang tercinta, negeri yang makmur yang katanya orang-orangnya memiliki hati nurani dan tata keramah yang tinggi. Aku sangat yakin sekali kalau Indonesia ini negeri yang kaya raya, buktinya di Indonesia banyak terkandung minyak yang tak hanya di lautan lepas muapun didaratan melaikan juga disetiap wajah orang Indonesia banyak mengadung minyak, hahahahahah! Karena berkah dari ALLAH itulah membuat para pejabat kita persis seperti artis propesional. Sebentar-sebentar pakai jas mewah, meleng sedikit...ehh...udah pakai pakain perempuan. Pejabat yang perempuan juga sama saja, semua asyik dengan jabatan yang didapatnya. Sementara yang memberikan atau yang menghatarkan mereka ke tampuk pimpinan adalah rakyat, tapi apa balasannya? Rakyat miskin yang selalu menjadi tumbal atas semua kebijakan yang berpihak terhadap rakyat menegah keatas. Berjalan angkuh tanpa rasa malu didepan rakyat kecil dengan mengunakan fasilitas yang mewah. Padahal itu semua didapat dari rakyat kecil yang selalu menjadi tumbal atas segala kebijakan. Hemmmmm,....terlalu!. Dengan gelar S1 yang melekat di sertifikat menjadi beban tersendiri bagi siapa saja yang menyandangnya jika tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Hal itu juga terjadi pada ku dan bahkan aku juga mendapatkan ejekan diri tetangga, ia berujar “percuma S1 kalau cuma jadi penganguran,”dengan niat meremahkan. Mendengar perkataan itu, membuat telinga ku panas dan langsung ku katakan “biarpun sekarang aku penganguran, tapi aku tetap S1. Lah kamu!, biarpun udah kerja cuma sopir barang, kamu tak akan pernah menjadi S1”. Melihat kenyataan yang sulit, dengan sabar aku terus berkutak-katik melamar pekerjaan tanpa perhitungan. Entah sudah berapa banyak surat lamaran yang ku kirimkan namun tak jua menghasilkan dan uang yang kupunya pun sudah habis. Lalu kemudian timbul pimikiran untuk menjual gitar kesayangan ku, yang terkadang pernah ku ajak ngobrol dikala lagi sendirian. Gitar yang menjadi sahabat dikala hati ini gundah dan menjadi saksi bisu disetiap aksi ku diatas bus. Kenangan yang melekat disetiap goresan yang terukir dibadan gitar dan disetiap dawai senar gitar yang putus membuat ku sangat berat untuk merelakan gitar yang telah berjasa terhadap ku. Namun dalam sejarah kehidupan manusia, semenjak dari zaman nabi Adam selalu ada yang dikorbankan untuk melanjutkan cerita yang berikutnya serta demi keberlangsungan hidup yang lebih baik. Maka dari itu ku putuskan untuk menjual gitar tersebut dengan harga 50 ribu. Lagi, uangnya tidak lain tidak bukan untuk modal melamar pekerjaan yang tak kunjung dapat. Sebelum memutuskan untuk menjual gitar kesayangan ku itu, aku sempat berpikir untuk kembali lagi terjun ke jalan untuk menekuni profesi lama ku. “wah...kalau terus begini...sepertinya aku harus turun ke jalan lagi nih,”kata ku. Namun setelah bermusyawarah antara 2 buah pikiran yang ada didalam diri, akhirnya dengan berat hati aku harus merelakan gitar tersebut untuk dijual dengan berpandangan kalau dulu bolehlah aku ngamen, tapi sekarang aku sudah lulus kuliah, masak sih harus ngamen lagi. Itu artinya aku yang belum bergelar S1 dan yang bergelar S1 sama saja, gak ada kemajuan. Dengan harga 50 ribu, gitar pun laku ku jual. Seakan sia-sia apa yang telah aku lakukan, uang hasil menjula gitar itu tak bertahan lama, dengan sekejab habis untuk membuat beberapa surat lamaran perkerjaan tanpa hasil. “ya ALLAH...sekarang apa lagi yang harus ku lakukan, mau ngamen lagi tapi gitar sudah lenyap, mau kerja serabutan nanti ditertawai tetangga. Ya ALLAH tolong lah aku, berilah kemudahan bagi ku untuk 75
menjalani hidup ini,”pinta ku memelas. Hari demi hari, bulan demi bulan terus berlalu dan menjadi penganguran kelas berat sehingga membuat wajah ku tampak kelihatan tua karena kebanyakan berpikir sehingga membuat kening ku mengkerut. Karena ngangur terusmenerus dan bertapa sulitnya mecari perkerjaan yang tak kunjung dapat, dirumah malah hanya menjadi beban orangtua. Aku pun merasa tak enak numpang hidup terus menerus dan sementara diluar sana sangatlah sulit untuk mendapatkan perkerjaan. Kondisi itu membuat ku mengatakan mengatakan kepada makmak jikalau hingga saat ini aku masih numpang makan dirumah, aku mintak maaf, karena tak nyaman hanya bisa numpang makan dan terlebih lagi porsi makan ku lamayan banyak. “mak aku mintak maaf, kalau sampai saat ini aku masih numpang makan,”ucap ku kepada mamak karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Mendengar itu mungkin mamak merasa aneh dan kemudian berkata “kamu ini ngomong apa!, makanlah selagi ada yang dimakan!. Kamu harus bersabar dan jangan mudah menyerah. Teruslah berusaha dan jangan tinggalkan sholat. Mamak hanya bisa membantu do‟a, semoga anak-anak ku menjadi orang yang beruntung dan menjadi orang kelak,”jawab mamak menyemangatkan ku. Mendengar itu, hati ku pun menjadi legah dan seakan-akan mendapatkan energi baru untuk memulai kembali mencari kerja. Jalan menuju Naga, Wanita perantara dan Bank Mandiri Hampir 1 tahun lebih aku tidak mendapatkan perkerjaan setelah melamar kesana-kemari dan pada sutu hari aku bertemu dengan seorang wanita yang baik dan ia merupakan sahabat lama ku. Setelah bebincang-bincang lumayan lama, ia memberikan informasi lowongan pekerjaan yang kemudian merupakan awal dari keberuntungan ku. Dari dia aku mendapatkan informasi tentang lowongan perkerjaan di perbankan. Ia mengatakan “cobacoba kamu melamar di Bank Mandiri, aku ada teman yang sudah bekerja disana tapi aku gak tahu dimana dan di unit apa? tapi kalau gak salah kantornya dekat pasar 16. Siapa tahu kamu diterima disitu,”sarannya. Mendaptkan informasi tersebut langsung ku sambut dengan semangat 86 dan beberapa hari setelah pertemuan yang tak kunjung bertemu kembali untuk selama-lamanya, aku lansung membuat lamaran pekerjaan lalu mengantarkan surat lamaran dengan mengedarai sepeda motor butut yamaha V-80. Sesampainya disana, aku bertanya kepada satpam bank. “selama pagi pak,”sapa ku. “ya..selamat pagi juga dik, ada apa? ada yang bisa saya bantu?,”jawabnya seraya menanyakan manksud kedatangan ku. “emhh..ini, pak. Saya mau melamar pekerjaan disini,”ucap ku seraya menyodorkan surat lamaran pekerjaan dengan format agak lebih bagus ketimbang dahulu. Surat lamaran, tersebut kemudian disambut satpam tersebut lalu kemudian dibuka dan dibacanya. “oh..kalau ini, bukan disini dik. Ini mugkin consummer loan, tempatnya di bank Mandiri arah pasar Sayangan,”ujarnya seraya menunjukan alamat yang seharusnya ku datangi. “oh...salah pak ya? kalau begitu saya mintak maaf, terima kasih pak atas informasinya,”respon ku dan lalu pergi setelah berpamintan. Setelah dari tempat itu, aku langsung menuju alamat yang seharusnya ku tuju. Sempai disana aku bertanya lagi kepada satpam bank. “permisi pak apa benar disini unit consummer loan?,”tanya ku kepada satpam sembari menyodorkan surat lamaran pekerjaan. “oh...iya dik, silahkan saja langsung lewat belakang di tempat tempat pakir kendaraan karyawan, terus naik kelantai 2. Sampai disitu kamu sampaikan maksud kedatangan mu,”terangnya. Setelah menuruti instruksinya yang persis seperti dikatakan satpam tersebut, tibalah aku dilantai 2 dan disana aku bertemu lagi dengan seorang officeboy dan surat lamaranpun diterimanya lalu kemudian berkata “suratnya ditinggal aja dulu, seandainya jika ada penerimaan segera kita hubungi”. Sepulang dari sana, aka pun sempat bergumam dalam hati “ah...., paling juga surat lamaran ku dilempar lagi ke tong sampah.” Setelah hari itu, aku pun terus menunggu dengan penuh harap dan sempat 76
kecewa karena pangilan tak kujung datang. Sudah hampir 1 bulan lamanya sehingga aku sendiri lupa dan tidak lagi menunggu untuk dipanggil untuk mengikuti serangkaian test. Setelah hampir 1 bulan lamanya, aku pun mendapatkan berita gembira. Kabar gembira itu dikirim melalui jasa tunkang pos pada waktu siang hari, sementara saat itu kebetulan aku tidak berada dirumah. Menjelang sore aku pulang kerumah dari tempat teman. Ku dapatkan mamak riang gembira dan memeluk ku seraya mengatakan “ada pangilan pekerjaan dari bank nak!” melihat tingkah mamak yang begitu riang sampai loncat-loncat sehingga lupa akan umurnya, akupun menanggapinya dengan serius “yang bener mak!,”kata terkejut sambil melihat surat panggilan tersebut dan didalamnya tertulis pangilan untuk wawancara pada keesokan harinya. Hal ini telah aku nantikan sejak lama tapi surat ini bukanlah berarti aku telah diterima bekerja ditempat tersebut dan aku sama sekali tidak bayangan pekerjaan itu seperti apa. keesokan paginya, walau dengan perasaan pesimis aku teteap melangkah untuk memenuhi panggilan wawancara pada hari dan waktu yang telah ditentukan. Berangkat dengan restu orang tua, aku pun mengehadiri test tersebut dan sesampainya disana, kudapatkan sudah banyak orang yang datang lebih dahulu untuk menggikuti test serupa. Menyaksikan hal itu, sempat membuat nyali ku kecil dan rasa pesimis pun bertambah besar. “wah.....banyak sekali yang ikut!. Penampilan meraka pun meyakinkan ketimbang aku. Ya..sudahlah kepalang datang, jadi pantang untuk mundur,”ucap ku dalam hati. Setelah dipanggil satu-persatu, menjelang jam 12 tepat tibalah giliran ku. “saudara Akbar, silahkan masuk,”ucap selah seorang yang menjadi panitia penerimaan. Diruangan yang berukuran kira-kira 5x5 meter yang dikelilingi kaca yang gelap, aku disuruh masuk kesana. “tok...tok..tok, Assalammualaikum,”sapa ku sambari mengetok pintu kaca khas ruang kerja para manager bank. “silahkan masuk,”jawab manager tersebut. Mendengar dipersilahkan masuk, aku langsung mendorong pintu dan kemudian masuk sambil menyapa “selamat pagi pak” dan disusul dengan berjabat tanggan. “silahkan duduk,”ujar manager tersebut seraya mengarahkan tanggannya ke kursi yang berada tepat didepannya. Dengan mendapatkan skor 6 dari segi kerapian pakain yang ku kenakan, aku duduk menegakkan bandan agar kelihatan bersemangat dengan senyum yang munafik. Sejenak keadaan menjadi hening diruangan kaca yang tertutup dari dunia laur itu. Sang manager membuka dan membolok-balikan surat lamaran yang beberapa lalau aku kirimkan lalu kemudian dengan raut kening yang menkerut, ia memulai mewawancarai ku. “setelah saya lihat CV, ternyata kamu lulusan pergurun tinggi bahasa Inggris, nah sekarang saya mau kamu perkenalkan diri mu tapi harus dengan bahasa Inggirs,”tatang sang manager. Bak penyiar radio yang belajar secara otodidak, aku mulai memperkenalkan diri dengan mengunakan bahasa Inggris yang aku sediri gak tahu persisi grammaticalnya benar atau tidak. “Right sir! First of all, I would like to say thank you vary much to you by giving me a chance to introduce my short curriculum vitea. My name is Akbar, with last degree of education is S1 and then..bla....bla..bla...bla! Melihat aksi ku yang terbilang memukau dikalau itu, ia pun mulai tetarik lalu kemudian ia menanyakan hal-hal yang sifatnya memotivasi dan akhirnya ia memitak ku nanti kalau udah bergabung disini harus mengunakan pakian yang rapi-rapi “so far so good! Saya suka dengan semangat mu yang menyala-nyala. Tapi kalau ngomong jagan terburu-buru, santai saja. Besok silahkan datang lagi untuk mengikuit pembelakan dan pelatihan mengenai pekerjaan apa yang akan kamu lakukan kelak, tapi tolong ya besok pakianya yang rapi, pakai baju kemeja tanggan panjang warna putih dan celana dasar hitam panjang jangan kayak ini,”nasehatnya kepada ku sebagai isyarat kalau aku diterima bekerja. Mendapatkan kenyataan itu, walau aku tak tahu persis pekerjaan itu seperti apa dan posisi ku sebagai apa, aku sangat senang dan rasanya tak sabar ingin cepat sampai kerumah untuk memberitahukan kabar gembira tersebut. Dengan mengendarai motor butut, aku membelah jalan protokol kota Palembang. Setibanya dirumah setelah turun dari motor, aku langsung berlari masuk kedalam rumah seraya mencari-cari mamak “mamak mana, mamak 77
mana?”tanya ku terhadap kakak. “mamak dibelakang, kenapa diterima ya?,”jawab kakak yang kemudian balik bertanya pada ku. Sambil berlari-lari kebelakang rumah aku terus berteriak memanggil mamak dan kemudian kudapatkan mamak lagi cuci piring. “mak aku diterima bekerja di bank!,”ucap ku senang sembil memeluk mamak. Mendengar itu, mamak pun menjadi senang dan kemudian ia memberikan nasehat “bekerjalah baik-baik, jangan malas dan jangan melawan atasan. Dan ingat, jangan lupa pesan bapak mu, kalau berkarja haruslah jujur karena itulah modal keberhasilan mu kelak”. Setelah nasehat singkat namaun berarti yang diberikan mamak kepada ku, malam pun tiba dengan langit gelap yang menyelimuti siang hari. Makin malam, aku makin susah tidur karena asyik dengan fantasifantasi yang ku ciptakan sendiri akan pekerjaan yang kuhadapi nanati. Minggu-minggu pertama masuk kerja, tentunya dengan semangat yang menyala-nyala aku sangat senang dengan pengalaman pertama ku disektor formal. Setiap paginya, aku sering datang lebih pagi dari teman-teman yang lain dan jika mau keluar dari kantor untuk terjun kelapangan, aku malah keluar paling akhir. Hal itu kulakukan agar mereka tak melihat aku dengan motor butut ku. Jadi, pagi-pagi sekali aku datang ke kantor lalu menyembunyikan motor atau dengan kata lain memarkirkan motor jauh dari parkiran tempat aku bekerja agar mereka tak mengetahui transportasi jenis apa yang ku pakai dalam menunjang pekerjaan. Alhamdulilah nya, selama aku terlibat bekerja di unit Loan salah satu Bank BUMN tersebut, tak satupun dari mereka mengetahui atau memergoki ku sedang mengendarai motor Yamaha V-80 yang seper butut itu. Menurut ku sih. Pekerjaan ini tak seindah yang ku banyangkan sebelumnya, dikarnakan pekerjaan yang ku dapat berprofesi sebagai tenaga makerting dengan status outsourcing dengan gaji Rp 800 ribu perbulan tanpa ansuransi kesehatan atau jiwa. Gaji sebasar itu sudah termasuk uang makan dan transport selama berkerja untuk mencari nasabah yang ingin membeli rumah secara kredit atau hanya untuk meminjam uang untuk modal usaha. Walaupun bagitu, bagi ku gaji yang ditawarkan cukup lumayan. Sebelum terjun kelapangan, kami diberikan training yang cenderung ke pengenalan produk. Selama menjalani pelatihan diruangan ber-AC bersama beberapa teman-teman yang lain, tentunya aku yang pada awalnya tak bisa berada diruangan ber-AC mendapatkan shock berat dan terkena masuk angin, tapi setelah beberapa minggu tubuh ku pun mulai bisa menyesuaikan dengan suhu orang kantoran. Perkerjaan ini sangat menantang kerena selain persaingan dengan BankBank serupa diluar sana, persaingan ketat juga terjadi antar sesama rekan kerja. Menyikapi itu, aku memaklumi sikap beberapa dari mereka yang ku kenal yang bersaing dengan tidak sehat. Beban target yang ditentukan oleh perusahaanlah yang membuat sebagian besar dari mereka melakukan berbagai macam trik untuk mencapai kesuksesan. Dan jika selama masa trening yakni selama 3 bulan tidak mencapai target secara berturut-turut maka akan diresign alias diberhentikan dari pekerjaan tanpa pesangon sepeser pun. Sayangnya aku tak punya bakat untuk bersaing secara licik, namun untuk beberapa bulan aku terselamatkan oleh target yang tercapai, tapi selanjutnya setelah hampir 8 bulan kerja akhirnya giliran ku yang akan diresign karena target tak kunjung terpenuhi dan bahkan nama ku telah dihapus dari data based mereka (management). Namun lagi, ALLAH datang menyelamatkan keberadaan ku disana dengan tercapainya target dipengujung resign. Terhadap pencapaian itu pun management memberikan ku kesempatan sekali lagi “Anton, sebenarnya nama mu sudah dihapus didata besed, tapi karena pada pengujung bulan target mu tercapai maka kami memberikan kesempatan dengan memperpanjang kontrak kerja,”papar salah satu managemant yang dikala itu aku sering dipanggil Anton oleh mereka karena permintaan ku untuk dipanggil dengan nama tersebut, karena menurut ku nama tersebut hoki. 78
Mengetahui pekerjaan kami sangat retan dengan pemecatan, maka sangat lazim jika selama kerja di bank tersebut kami juga menebar surat lamaran kerja kesemua perbankan yang ada di kota yang selalu ingin ku kunjungi karena banyak guratan kenangan indah disetiap sendi-sendi kota tersebut. Tak terkecuali aku, setiap ada informasi lowangan perkerjaan di perbangkan, tanpa pikir panjang lansung ku masukan lamaran perkerjaan, kali ini sedikit percaya diri karena aku memiliki pengalaman pekerjaan, walau tak banyak. Di Bank BUMN dimana tempat ku kerja, sebenarnya banyak terdiri dari unit-unit kerja. Unit kerja yang ku lakoni adalah merupakan unit yang rendah, dikarnakan unit kami merupakan unit sales lepas dan tak akan pernah diangkat mejadi karyawan tetap, dikala itu. Jadi selain mengirim lamaran ke Bank lain, aku juga mengirimkan surat lamaran ke unit yang lumayan menjanjikan yakni unit Micro. Setelah beberapa minggu aku melayangkan surat lamaran tersebut, akhirnya disuatu sore hari setelah aku pulang kerja, mamak menuturkan kepada ku “nak tadi datang dua orang mencari mu, katanya mereka dari unit Micro dan menyuruh mu untuk datang besok pagi”. Mendengarkan berita gembira itu, aku merasa tak menyangka lamaran ku dipanggil juga. Aku merasa senang karena selain masuknya susah, unit ini juga lamayan menjanjikan dan ada peluang untuk diangkat menjadi karyawan tetap. Esok paginya sesuai dengan jam yang ditentukan, aku datang dengan mengendarai....ya, apa lagi kalau bukan....? setelah menghadap security dan menyampaikan maksud kedatangan ku, aku dipersilahkan masuk dan langsung disuruhnya naik ke lantai-2. Setelah menaiki anak tangga, ternyata disana telah ada seseorang yang telah menunggu terlebih dahulu. Ruparupanya aku tak sendirian,ternyata ada kandidat lain yang dipanggil untuk ikut wawancara. Setelah beberapa menit menunggu, kami pun dipanggil secara bergantian oleh sekertaris pejabat Bank yang berwenang. Setelah menggikuti serangkaian test, akhirnya kami pun diterima kerja sebagai dept collector degan gaji Rp 1 juta, tapi dengan catatan aku harus mengundurkan diri ditempat unit ku sebelumnya dengan dibuktikan surat pengunduran diri yang ditandatangani pejabat yang berweneng. Untuk berhenti dari unit yang lama tak sulit bagi ku, tapi yang bikin sulit yaitu mengajukan surat pengunduran diri secara formal yang dibubuhi tendatangan pejabat Bank yang berwenang di unit tersebut. Kode etik yang berlaku di Bank BUMN tesebut, unit lain tak boleh menerima karyawan dari unit lain dengan status masih aktive bekerja. Tapi karena untuk kepentingan kehidupan yang lebih baik, mau tak mau aku harus mengajukan surat pengunduran diri dan pindah ke unit Micro yang telah memberikan jaminan untuk memperkerjakan aku jika telah mudur dari unit sebelumnya. Setelah melakukan pendekatan, akhirnya aku bisa mendapatkan surat pengunduran diri (salinannya) degan alasan mendapatkan pekerjaan ditempat lain. Awalnya semuanya berjalan dengan lancar, tapi belakangan Manager lama ku tahu kalau aku diterima bekerja di unit Micro. Terhadap itu ia pun sempat marah terhadap Cluster Manager dan terjadilah argumen antar mereka melalui pesawat telephon. Sering berjalannya waktu, lambat laun perdebatan itu berlalu dan aku diterima masuk bekerja sebagai dept collector. Sama dengan unit sebelumnya, sebelum terjun kelapangan kami berdua diberikan pembekalan materi dan pengetahuan tentang dept collector selama satu minggu. Setelah beberapa hari pembekalan kami dapatkan, sialnya managemant Bank pusat memutuskan untuk mempekerjakan satu orang saja dengan assumsi dept collector yang lama masih ada. Padahal jelas-jelas managemet pusat meminta tambahan dua orang lagi untuk memperkuat tenaga collector, tapi tiba-tiba menyusut menjadi satu orang tenaga. Sementara Cluster Manger telah menyatakan menerima kami berkerja di unit Micro sebagai dept collector “giman sih orang pusat ini, kok jadi plin-plan gitu. Aku sudah terlanjur menerima mereka, gak mungkin salah satu dari mereka keberhentikan begitu saja,”ujar nya kesal. Mendengar itu aku menjadi panik, bisa-bisa aku yang diberhentikan “wah....jadi pengganguran lagi nih,”ucap ku cemas. Tapi setelah ku renung-renungkan lagi, melihat teman ku bernama Adi telah bekeluarga dan memiliki anak, tentunya pekerjaan ini 79
jauh lebih berarti ketimbang diri ku, maka dari itu aku memutuskan untuk mengalah “Adi, kalau seandainya salah satu dari kita harus ada yang mengundurkan diri, maka biarlah aku saja yang mengundurkan diri,”ujar ku pada Adi. “Ahh....kamu jangan pesimis dulu, kita tunggu dulu perkembangannya,”jawabnya seraya menenangkan ku. Selang beberapa menit kemudian, aku dipanggil untuk menghadap keruang kerja Cluster Manager. “wah...kayaknya benar nih, aku yang diberhentikan tanpa bekerja terlebih dahulu,”pikir ku dalam hati, sambil melangkah menuju kantor Cluster Manager. “tok..tok..tok, permisi pak Assalmualaikum,”sapa ku. “Walaikumsalam, silahkan masuk,”saut Cluster Manager yang masih keturunan Tiong-hua yang telah menjadi mualaf. Lalu kemudian aku masuk dan duduk setelah dipersilahkan duduk oleh nya “berhubung management pusat yang memiliki wewenang dan memutuskan untuk memperkerjakan salah satu dari kamu, maka aku tarik kamu ke MKS (Micro Kresit Salse) dengan gaji pertama Rp 1300.000,- perbulan. Tapi nanti setelah ini kamu menghadap pak Budi diatas lantai-3,”terannya dan kemudian meminta ku untuk segera menemui pak Budi. Orang Sunda satu ini adalah sosok Manager yang baik dan ramah. Walaupun dengan gaya agak sedikit lemah gemulai, tak jarang ia sering berdiri didepan jika ada anak buahnya melakukan kesalahan, dan juga membiarkan kami bekerja tanpa tekanan dan jika ada yang mau disampaikannya baik itu terkait mengenai kinerja, maka ia akan memanggil yang bersangkutan dan lalu berbicara sacara terbuka diruang kerjanya yang tertutup. Orang yang berasal dari Purwakerta ini, sepertinya sangat memahami dan menjaga perasaan anak buahnya, maka ia tak pernah mengeluarkan killer statement didepan orang lain terkait masalah kinerja bawahnnya. Setelah keluar dari ruang kerja Cluster Manager, dengan menaiki tangga kemudian aku menuju ruangan kerja pak Budi “permisi pak, saya dimintak untuk menemui bapak,”sapa ku. “Oh...ya, silahkan duduk,”suruhnya. “Kira-kira kamu tahu gak kenapa kamu disuruh kemari,”tanyanya. “Maaf , pak saya tidak tahu,”jawab ku singkat. “Memang, sebenarnya kami kekurangan 1 orang tenaga MKS, nah...apa itu MKS, dan apa saja tugas-tugasnya nanti aku jelaskan, tapi yang terpenting syarat kerja disini adalah kejujuran. Itu saja pinta ku, soal ilmu perbankan nanti akan ku beritahu semua. Bagai mana sangup,”pinta pak Budi. Terhadap syarat yang ajukan tersebut pun aku setujui dengan mengucapkan “Insyaallah, saya siap pak”. Di unit ini, aku benar-benar mendapatkan pembekalan pengetahuan mengenai penkreditan secara utuh, tidak seperti diunit sebelumnya, kami hanya disuruh mencara nasabah sebanyaknya tanpa memiliki wewenang untuk mensurvey, mengecek IDBI dan tanpa mengetahui proses dari awal sampai akhir keputusan apakah pengajuan kredit tersebut diapprove atau tidak. Di unit ini juga aku mengetahui, bahwa kebanyakan dari mereka yang diterima berkerja tak luput dari recomendasi dari pejabat bank alias backing orang dalam. Alhamdulilahnya, aku juga memiliki backing yang sangat kuat dan dan sangat berpengaruh didunia ini yakni “Allah”. Disini tak hanya gaji yang kudapatkan tapi bulannya melainkan juga jiwa dicover asuransi serta bonus tahunan. Disaat itu, aku merasa Allah telah menolong dan mengangkat derajad ku, karena tak terbayangkan oleh ku sebulumnya bisa mendapat pekerjaan seperti ini dengan fasilitas komputer, meja kerja dan name desk yang tertera nama ku disana. Selain mendapatkan wawasan dan pengetahuan baru, disini juga aku bertemu dengan Iwan, seorang senior yang tidak sombong dan suka berbagi pengalaman. Bulan-bulan pertama pertemanan aku dengan ia biasa-biasa saja, tapi lamakelamaan keakraban diatara kamipun terjalin. Pria satu ini berpesan kepada ku “jika kamu inggin sukses disini, maka pandai-pandailah menjilat. Lihat mereka yang pandai mecari muka, mereka mendapatkan posisi yang bagus diperusahaan ini. Ya..aku hanya memberikan masukan saja kalau kamu mau sukses, jangan kayak aku.” Sedari awal aku sudah merasakan pekerjaan ini kental dengan aksi sikut-menyikut dan aksi menjilat atasan, membuat ku gerah dan berkata ke Iwan “wahh..sayang Wan, aku gak punya bakat dalam 80
mencari muka dan menjilat atasan. Bagi ku kinerja dan kejujuranlah yang ku kedepankan, walaupun kinerja ku dipandang mereka tidak qualified dikarnakan aku tak pandai menyikut dan menjilat.” Awal-awal masuk kerja di unit ini, tak beda jauh dengan awal masuk kerja diunit lama, dalam hal kendaraan motor yang ku kendarai untuk berangkat kerja seperti datang pagipagi sekali dan memarkirkan motor butut ku jauh dari kantor, tapi disini terjadi peristiwa yang lucu. Pernah disutu pagi, aku memarkirkan motor ku ditempat bisa ku parkir dan setelah masuk dan mengikuti serangkaian brieffing, aku hendak survey ke tempat nasabah dan tahu-tahu aku tak menemukan kendaraan yang ku pakirkan sedari tadi. Mendatkan itu aku sempat panik dan berkata “masak sih motor sejelek itu masih aja dicolong” kemudian aku terus mencari keberadaan motor tersebut dan pencarian ku sampailah dibawah gedung (eks pasar accessories) yang ditinggal pedagang karena musibah kebakaran beberapa waktu lalu. Untunglah disana aku ketumu dengan teman ku semasa ngamen dahulu dan langsung ku sampaikan kepadanya tentang apa yang telah menimpa ku “Joe lihat motor butut Yamaha yang diparkir disana gak?,”tanya ku padanya. “Oh..itu tadi motor mu ya? tadi aku lihat ada tukang pakir wilayah ini yang menyembunyikan motor itu karena itu bukan tempat pakir motor, tapi tempat parkir mobil. Dari tadi ia menanyakan, ini motor siapa, jadi motor kamu disembunyikannya dibawah gedung ini,”ungkap Joe dan kemudian ia mengajak ku mengambil motor butut ku yang sengaja disembunyikan oleh tukang parkir diwilayah itu. Selain cerita motor ku yang sengaja disembunyikan oleh tukang pakir ada juga cerita yang lebih lucu dan membuat teman-teman sekantor kesal terhadap ulah ku, walaupun itu tak sengaja ku lakukan. Dikarnakan sudah tidak memungkinkan untuk memakai motor tersebut, jadi aku meminjam motor vespa kakak ku sebagai transportasi kerja. Dihari yang dibuka dengan pagi yang cerah, aku berangkat kerja dari rumah menuju kantor dengan penuh semangat. Setelah membelah jalan raya kota Palembang, tibalah aku dikantor dan lalu memarkirkan motor diarea parkit motor yang telah disediakan. Motor vespa yang ku pakai, memiliki bobot yang sangat berat, jadi sangat sulit untuk mendirikan motor tersebut dengan menarik tuas standard dengan mengunakan kaki. Nah..disaat aku mendirikan motor vespa dengan susah payah akhirnya berhasil, akan tetapi tak sengaja tubuh ku mendorong motor yang parkir disamping motor vespa ku dan seketika itu juga motor tesebut jatuh dan menimpa motor yang disampingnya dan lalu motor yang ditimpa pun jatuh dan menimpa motor yang berada disampinnya juga, terus sampai satu baris pakiran motor tersebut tubang semua karena ulah ku yang sempat disaksikan oleh salah seorang teman sekantor ku. Terhadap kejadian itu, panik dan capat –cepat mendirikan motor yang berjatuhan dan bantu oleh teman ku yang juga motornya ikut tumbang dengan wajah sedikit kesal. Setelah semunya dapat ku rapihkan lagi, terlihat ada satu motor yang kulit jok nya koyak dan sementara motor-motor lain hanya lecet-lecet kecil. Untung mereka tak mintak ganti rugi, coba kalau mereka semua mintak ganti rugi perbaikan motor, bisa berabe aku. Apessss!. Hadir nya aku ditengah-tengah mereka memberikan warna tersendiri dan membuat suasana lebih ramai dikarnaka aku orangnya kocak, ramai dan tak menerapkan istilah senioritas dalam perkerjaan. Setiap kali ada trainee yang mau dididik oleh para senior termasuk aku. aku sangat welcome dan tak segan-segan sharing ilmu dan fasilitas kantor untuk dipakai keperluan kerja. Karena aku membiarkan mereka memakai komputer yang ada dimeja kerja ku. Karena sifat ku yang mau berbagi dan terbuka itupula tak jarang komputer ku terserang virus yang langsung menyerang system karena tertular dari flashdisk para trainee yang bebas mencolok untuk sekedar mengcopy data based kepunyaan ku atau untuk mengerjakan garapan mereka. Pernah suatu ketika, teman sekantor ku memakai komputer kerja ku dan tak lama setelah itu komputer ku lagunsung terserang virus berat 81
hingga semua file tak bisa terbuka. Dikarnakan kompuer di bank ngelink satu sama lain, jadi semuanya terkontaminasi oleh virus sehingga melumpuhkan aktivitas perbankan secara total. Untungnya saat kejadian itu ketika bank sudah tutup, jadi tak melayani nasabah. Mengatasi hal tersebut, pihak management memanggil IT baik dari pusat maupun dari Palembang sendiri dan akhirnya komputer kembali dalam keadaan baik setelah diperbaiki oleh teknisi hingga sampai jam 3 subuh. Keesokan paginya, tentunya kami semua kena tegur dan mendapatkan peringatan agar jangan kejadian tersebut terulang kembali, khususnya komputer dimeja kerja ku jika ingin memakai flashdisk terlebih dahulu harus discan, jangan langsung main colok dan membuka folder, dsb. Hari-hari berikutnya belalu seperti hari-hari sebelumnya, tapi jujur kerja di sektor perbankan membuat ku tak bisa tidur nyenyak karena selalu terikat mengenai target yang harus dicapai setiap tahunnya. Selain itu juga menurut ku kerja dibank akan mematikan kreatifitas dan potensial yang ada pada kita karena budaya di bank selalu menuntut pekerja selalu tersenyum dan menurut dengan atasan, tak boleh mengeluarkan pendapat, apa lagi mau demo bisa-bisa langsung kena pecat. Kita sebenarnya memiliki potensi lebih dari sekedar tersenyum pada atasan hanya sekedar untuk memuaskan nafsu atasan yang gila hormat dan kaku, jika kita mengenal sekor lain yang jauh lebih asyik dan mengugah kita untuk selalu mengeksplor kemampuan, tentunya kita akan banyak menumukan ide-ide gila yang bisa mendobrak kebuntuan. Terkadang keberhasilan juga datang dari ide-ide gila yang dapat dipertanggungjawabkan, itulah yang disebut dengan istilah kreative. Meskipun begitu, aku tetap merasa senang dan bersyukur dapat bergabung bekerja disana. Ya....setidaknya aku tahu perbankan itu apa, maksudnya apa bedanya dengan rentenir yang ada disekitar kita. Jalan menuju Naga, Kenangan bersama keponakan-keponakan ku Berkerja berbulan-bulan, seiring dengan itu aku mendapatkan gaji atas kinerja ku. Dengan uang yang ku dapat, sejenak aku inggin memanjakan keluarga ku dengan mengajak mereka makan di KFC disalah satu Mall kota Palembang. Bersama mamak, ayuk, adik dan semua keponakan ku. Hari itu tepatnya pada hari minggu adalah merupakan hari pertama bagi mamak, ayuk, adik, keponakan-keponakan dan aku makan siang di KFC. Dikarnakan merupakan yang pertama bagi kami, tentunya aku secara pribadi sedikit belum pengalaman makan ditempat makanan siap jadi tersebut. Berangkat beramai-ramai dari rumah dengan naik angkot yang jarak tempuhnya hanya sekitar 15 menit tibalah kami di Mall yang teletak dijalan Angkatan 45. Sesampai disana, keponokan-keponakan ku dengan semangat lansung berlomba-lomba masuk ke Mall tersebut. Sebelum makan, keponakankeponakan kami manjakan dengan mengajak mereka main games dan melihat-lihat pemeran lainnya yang kebelulan diselengarakan disana pada hari itu. Setelah puas main dan berlajanjalan mengelilinggi Mall yang hanya terdiri dari 3 lantai dangan luas lebih kurang 5 kali lopat lapangan bola kaki, akhirnya kami langsung menuju ke KCF. Sesampai disana, kami lansung mencari tempat duduk dan kemudian memesan makanan. Awalnya kami kira memesan makanan di KFC sama seperti di lestoran yang lain, yakni makan dulu selehnya baru bayar, tapi ternyata di KFC dan sejenisnya disaat kita mesan disaat itupula kita membayar apa yang kita pesan. Sebagian keponakan-keponakan ku sudah gak sabar menungu KFC tiba “ayo cik, kok lama sekali datangnya udah laper nih,”ucap salah satu keponakan ku. “Sabar, sebentar lagi datang kok, tante lagi mesan KFC nya. Tapi ingat, saat makan jangan ribut dan jangan malu-maluin cik ya!,” ujar ku kepada keponakan-keponakan agar jangan membuat seswatu yang memalukan didepan orang. Tak lama setelah itu, datanglah ayuk yang dibantu adik ku dengan KFC yang dibawa oleh mereka beserta minuman ringan. Kami pun tak sabaran lagi untuk melahap KFC yang sebenarnya yang kami 82
makan itu, ya..ayam-ayam juga, tapi yang membuat menyenangkan adalah makannya di Mall, itu tu tempat makannya orang-orang kaya. Setelah makanannya datang kami langsung dengan ramai makan bersama-sama yang dimulai dengan membaca do‟a makan terlebih dahulu. Namanya anak-anak kalau udah ngumpul pasti ramai. Melihat itu mamak, ayuk dan aku pun sangat senang yang turut juga diwarnai riak tawa kegembiraan. Nah...disaat tengah asik-asik makan, aku yang sedari tadi udah selesai makannya dan ketika hendak minum dengan berniat untuk meraih cankir pelastik lembut yang beisi minuman ringan dingin yang telah tersedia diatas meja makan kami dan “cpurrrrr!” minumannya tumpah semua membasahi meja makan kami karena disaat aku mengenggam cangkir pelastik itu terlalu keras yang akhirnya membuat isinya berhamburan semua membasahi meja. Kejadian itu sempat dilihat oleh pengunjung lainya dan aku hanya bisa menahan rasa malu “sial ku pikir cangkirnya keras atau tebal. Ehh..ternyata lebut dan licin, wahh...jadi tumpah tuh!,” gumam ku dalam hati seraya menyalahkan cangkir yang licin dan lembut. Masih diatas meja yang dipenuhi tumpahan air cola, sepontan salah satu keponakan ku mengatakan “santai cik, slow. Kayak orang katrok aja cik nih” mendengar kata-kata itu aku hanya bisa diam seribu bahasa kerena sedari awal aku lah yang mencemaskan mereka jika mereka nantinya mereka menumpahkan atau apalah yang membuat ku malu, ehh...malahan aku yang membut mereka malu, apess!. Dikarnakan perbuatan ku tadi, terpaksa kami pun pindah meja yang lain dan sementara ayuk ku sibuk membersihkan meja yang telah basah tersebut dengan cara mengelapnya dengan tisu yang tersedia diatas meja. Kejadian kecil tapi cukup memalukan itu, tak menyurutkan yang lainnya untuk terus menyantap makan siang mereka dan kegembiraan pun dilanjutkan. Setelah ayuk selesai membersihkan meja tersebut, kemudian ayuk kembali bergabung ke riuhan dimeja tempat kami makan. Melihat minuman ku tumpah semua dan belum sempat ku minum barang setegukpun, ayuk merelakan minumannya untuk diberikan kepada ku “sudah minum saja bagian ayuk,” ujurnya seraya menyodorkan minuman. Jujur sih, tenggorokan ku memang kering dan lumayan haus, jadi dengan refleks tangan ku meraih cangkir pelastik lembut yang berisi cola dingin itu tanpa ada rasa takut akan terjadi hal yang serupa, ehh..sialnya disaat keponakan-keponakan dan mamak ku sedang asyik melanjutkan santap siangnya yang sempat tergangu oleh ulah ku, ehh...hal serupa terjadi kembali dan “cpurrrrr!” minuman cola pun berhamburan keluar kembali dari wadahnya dan lalu membasahi meja, meskipun tak sebanyak kejadian yang pertama. “Sabar cik, pelan-pelan saja,” ucap spontan oleh salah satu keponakan ku. Sejenak aku pun kembali menjadi pusat perhatian para pengunjung lainnya yang terkesima karena ulah ku yang cerobah. Agar kejadian tersebut tak semakin parah, akhirnya ku gengam cangkir tersebut dengan mengunakan ke dua tangan lalu secara perlahan-lahan ku arahkan moncong cangkir tersebut ke mulut ku. Setelah mengalami rasa malu yang amat sangat, air dingin cola itu akhirnya membasahi tengorokan ku juga yang sedari tadi sudah terasa kering. Setelah hari itu, bulan-bulan berikutnya kami pun sering meyempatkan diri untuk makan siang kembali ke KFC, setelah aku gajian tentunya. Itulah kenangan bersama keponakan dan keluarga tercinta yang mengelikan. Selain kenangan yang mengelikan itu, ada lagi peristiwa yang membuat ku tertawa sendiri, yakni ketika takbiran lebaran Idul Fitri bersama kedua keponakan ku. Aku menyebutnya takbiran yang mengelikan, kenapa tidak kejadian itu sangat diluar dugaan ku. Malam, setelah melewati puasa pada bulan suci Ramadhan selama 1 bulan penuh, aku dan kedua ponakan ku ikut mereyakan lebaran dengan takbiran dimalam hari. Sebelum berangkat takbiran, malam setelah waktu Magrib berlalu aku mengajak kedua keponakan ku untuk takbiran. Jika aku datang kerumah mereka atau mereka datang ke rumah dan ku ajak mereka jalan-jalan, mereka tak pernah menolak, karena mereka tahu, kalau ciknya banyak uang, menurut mereka sih. “ehhh..pasukan bodrek, mau ikut cik takbiran gak?,”tawar ku kepada mereka. “Takbiran kemana cik,”ucap keponakan ku dan lalu ku jawab “kita takbiran diluar sambil jalan-jalan, motor sudah full 83
tank jadi aman”. Terhadap tawaran itu, tentunya ke dua keponakan ku langsung mau dan kemudian mereka ganti baju dan bersiap-siap untuk berangkat untuk ikut takbiran petamanya. Malam kemenangan bagi umat muslim yang diwarnai takbiran yang sahutmenyahut dari berbagai penjuru dunia, khususnya kota Palembang. Bersama kedua keponakan ku yang masih berstatus sekolah dasar di MIN kota Palembang, malam itu kami ikut memeriahkan malam tekbiran bersama-sama warga Palembang lainnya. “ALLAHUAKBAR............ALLAHUAKBAR...........ALLAHUAKBAR, LA.......ILA......HA ..ILLAULAH..HUWAWLA.....HUAKBAR, ALLAHUAKBAR WALILAH ILHAM.” Suara takbir ter dengar dimana-mana. Berangkat dari rumah dengan mengendarai motor, ditengahtengah keremaian, keponakan ku yang pertama curhat kepada ku “cik lemak (lemak=senang/enak dalam bahasa Palembang) dengan cik nih, suka ngajakin jalan-jalan, apa lagi takbiran malam-malam mengelilingi kota Palembang, kalau yang lain gak pernah, apa lagi ayah,”ujarnya senang. Mendengar itu aku pun tersentuh dan senang, bagi ku keponakan tak lain tak bukan seperti anak ku sendiri, dan lalu aku memberikan jawaban yang mereka bisa pahami “mereka bukannya gak mau ngajakin kalian jalan-jalan, mungkin yang lain termasuk ayah mu lagi sibuk dengan pekerjaannya, lagian kamu gak mintak sama yang lain untuk diajak jalan-jalan, ya...salah sendiri,” tutur ku kepada keponakan yang sudah bisa membuat pertanyaan yang terkadang aku sulit untuk menjawabnya. Nah teman, disaat asyik mengikuti iring-iringan kendaraan yang mulai beranjak memadati hampir disemua sudut jalan-jalan utama kota Palembang, kami bertemu iring-iringan kedaraan yang didominasi kedaraan roda dua yang rata-rata pengendaranya mengunakan peci atau kopiyah disaat takbiran berlangsung yang dikawal oleh satuan keamanan masyarakat alias polisi. Melihat iring-iringan itu, setir/setang motor langsung saja ku arahkan ke iringiringan tersebut tanpa menaruh rasa curiga sama sekali. Selama sepanjang mengikuti iringiringan itu, ku perhatikan semua pengendara motor tak satupun yang mengucapkan lafas takbiran untuk memuji-muji kebesaran ALLAH, SWT. Menyaksikan itu, aku pun berinisiatif untuk melafaskan kalimat takbiran sendirian dengan suara yang agak keras, walaupun mereka tak melafaskannya. Masih dalam iring-iringan itu, aku terus dan terus mengucapkan kalimat takbir sepanjang iring-irigan itu melaju ke arah yang tak ku ketahui, aku cama takbir dan mengikuti kemana arah iring-irigan itu menuju tanpa sedikitpun mengetahui dan curiga, ini sebenarnya iring-iringan apa. Atas tingkah ku yang lain sendiri itu, membuat para iring-iringan lainnya yang ada disekitar ku sedikit merasa risih atas prilaku ku itu. Meskipun begitu mereka tak berani menegur dan hanya menampakan raut wajah yang dipenuhi rasa keheran-heranan. “Bagai mana sih orang-orang ini, iringiringan takbiran tapi tak satupun dari mereka mengucapkan kalimat takbir,”gumam ku dalam hati, tapi jua terus mengucapkan kalimat takbir dengan penuh hikmat. Lamakalamaan, iring-iringan kendaraan tersebut terus mengarah ketempat daerah yang aku kenal. “ loh...kok, kenapa iring-iringan ini menuju jalan ini,”kata ku yang mulai menaruh curiga. Semakin lama semakin jelas sudah, iring-iringan ini memang menuju ke tempat pemakaman umum Puncak Sekuning, namun pada saat itu aku belum mengetahui sebenarnya yang ku ikuti ini iring-iringan kendaraan apa. Sentak aku tak melanjutkan kalimat takbir ku karena aku mulai curiga sepertinya kami telah salah mengikuti iringiringan kendaraan tersebut. Dengan laju motor yang lamban, didepan sana kecurigaan ku akhirnya terjawab sudah. Didepan sana dipinggir jalan pemakaman umun, terlihat banyak kerumunan orang yang menurunkan kerandan mayat dari atas mobil jenazah. “pantas saja, sedari tadi tak ada satupun dari mereka melafaskan kalimat takbir, aku pikir mereka yang aneh, ehhh...rupanya aku sendiri yang diangap aneh oleh mereka,”kata ku mengumal dalam hati seraya jua tak menyangka ada prosesi pemakaman di malam hari, wabilkhusus dimalam lebaran Idul Fitri. Malam itu ternyata kami telah salah mengikuti iring-iringan, ku pikir itu merupakan iring-iringan takbiran, ehhh ternyata iring-iringan tersebut adalah iringan 84
kendaraan pengantar jenazah untuk dikebumikan di pemakaman umum Puncak Sekuning. Menyadari hal itu, aku hanya bisa tertawa sendiri, hahahaha! kemudian keponakan ku pun ikut tertawa ringan setelah ku jelaskan kepada mereka kalau kita salah mengikuti iringiringan dan lalu keponakan ku berkata “cik...cik, ada-ada aja cik nih.” Jalan menuju Naga, Lembayung bayangan masa lalu merasuk kembali Mengukur usia ku sudah bertambah matang dan sudah merasa siap lahir mupun batin baik secara keuangan dan juga secara pemikiran, maka aku memutuskan untuk menikah “umur udah 28 tahun nih, kalau dibiarin bisa-bisa jadi bujang tua,” kata ku resah. Senjak mendapatkan pekerjaan, wacana mau menikah sudah ku lontarkan ke mamak berkali-kali. Namun yang terjadi mala ia belum mengizinkan ku untuk menikah “untuk apa nikah cepatcapat, kamu kan masih muda,”ujarnya. “mamak nih! kakak-kakak mau nikah mamak gak menghalang-halangi, tapi giliran aku malah dilarang-larang,”papar ku membela diri karena kesal, namun kemudian aku terdiam karena mamak berujar agar aku membahagiakan ia dahulu. Ia takut nanti jikalau aku udah menikah, aku tak lagi perhatian dan bakal jauh darinya. Mamak berkeinginan agar semua anaknya tetap berada disekitarnya dan kalupun berumah tangga jangan keluar dari kota Palembang. Menikah dan membina rumah tangga yang sederhan nan bahagia merupakan impian ku sejak lama. Dengan menikah dan memiliki anak, nantinya aku akan mewariskan pemahaman-pemahaman tentang kehidupan dan perinsip-perinsip hidup ku. Selain itu juga sebagai suami, nantinya aku beniat untuk membahagiakannya dan menjaganya serta memperlakukannya selayaknya perempuan yang bermartabat yang selalu mendampingi ku dalam suka dan duka. Juga sebagai bapak, tentunya aku gak mau mengecewakan anak-anak ku. Kan ku berikan yang terbaik untuk mereka, ketenangan, kehangatan, perlindungan, kasih sayang dan perhatian 24 jam untuk mereka. Sebuah impian yang tak pasti apakah terwujud atau tidak, dan yang jelas aku tak kan mewariskan rezim-rezim lama dalam rumah tangga ku, semuanya berdiri atas azas demokrasi. Kala itu, aku tak terikat dengan wanita manapun, naman ada sebuah nama yang masuk dalam daftar ku untuk ku jadikan calon istri, yakni seorang wanita yang pernah menemani hari-hari ku yang kelam. Dengan dia, aku sempat belajar dan memahami apa itu wanita dan perasaannya. Dahulu terhadapnya, aku pernah menanyakan masalah pernikahan menurut adat dia, tapi ku tanya melalui sepupunya gak nanya langsung ke dia. “Gimana sih adat pernikahan daerah kamu ini,”tanya ku terhadap sepupu dari mantan pacar ku tanpa sepengetahuan dia. “Kalau adat kami, mesti gini dan mesti gitu dan lalu..bla..bla...bla,”terang nya lengkap. Mendengar penjelasannya itu, membuat kening ku mengkerut dan berpikir kayaknya rumit betul dan tak mungkin aku bisa memenuhi itu semua dengan kondisi keluarga ku yang seperti saat ini. Saat itu aku merasa dipersulit oleh keadaan dan sepertinya aku tak bisa masuk menembus batas dinding yang tinggi yang tek terlihat itu. Waktu pun belalu, aku dan dia pun sudah tak pacaran lagi. Namun, walaupun begitu kami tetap menjalin tali silahturahmi walau hanya sekedar SMS atau yang lainnya. Lama tak berjumpa, membuat ku bebas untuk membuka peluang setiap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. Aku sudah bertekat dan memutuskan untuk menikah diakhir-akhir tahun 2008 atau diawal-awal tahun 2009 dengan kata lain sekarang atau tidak sama sekali. Sebelumnya, aku pernah mengajak nikah terhadap wanitawanita yang menurut ku baik untuk dijadikan istri, tapi tawaran ku itu tak disambut dengan baik oleh mereka. Mau tahu kawan kenapa mereka gak mau dinikahi oleh aku, walaupun sebenarnya mereka pada dasarnya suka pada ku?. Ini dia penyebabnya, Nikah Masal, ya..nikah masal, itulah kenampa mereka tak menerima peningan ku terhadap para calon istri. Mereka menolaknya dengan alasan malu, dan sementara aku benar-benar serius 85
tentang itu. Kebetulan saat itu, pemerintah setempat sedang lagi gencar-gencarnya menyelengarakan acara nikah masal. Terhadap perhelatan itu, aku sudah mencari-cari informasi keman daftanya dan syaratnya apa saja yang harus dipenuhi. Menurut ku acara tersebut sangat membantu dan menarik. Kenapa tidak, acara besar itu dibuka oleh Wali kota Palembang langsung, lalu diberikan mas kawin dan bulan madu satu hari di salah satu hotel yang lumayan terkemuka di Palembang, semuanya diberikan cuma-cuma alias geratis, dan yang lebih menarik lagi tentunya acara itu diliput dan diberitakan di media-media lokal. Bagi ku, itu merupakan kesempatan emas dan jarang terjadi, kan lumayan bisa menghemat uang dan uangnya bisa disimpan untuk keperlaun setelah menikah nantinya. Tapi, setelah ku tawarkan ke mereka satu-persatu, tak ada satupun dari mereka yang sejalan dengan keingginan ku. Mereka tak mau karena merasa malu untuk nikah secara masal. Setelah kejadian itu berlalu cukup lama, aku memerdekakan diri dengan cara tak terikat dengan wanita mana pun. Dengan situasi itu, tapi tetap saja ada satu wanita yang masuk dalam daftar utama ku untuk dijadikan sebagai istri pendamping hidup. Secara financial dan spiritual aku sudah siap, maka dari itu aku menantang waktu dan realita yang nyata, bahwa aku sudah bertekat untuk menikah dan tak perduli dengan siapa yang nantinya menjadi istri ku, mau dia anak tukang sayur sejenisnya aku gak perduli. Dengan posisi ku yang telah bekerja, tentunya tak sulit bagi ku untuk mencari perempuan. Dan karena pekerjaan ku pula, tak jarang aku dijodohkan atau ditaksir oleh para nasabah ku. Menangapi itu, aku hanya bersikap profesional dalam mejalankan pekerjaan. Niat ku tak terbendung lagi dan seiring dengan itu, perlahan-lahan perasaan yang dulu pernah ku rasakan kini hadir kembali. Perasaan itu datang dengan lembutnya membuai hati ku yang dulu pernah bertatah di hati, pada hal perasaan itu talah ku kubur dalam-dalam didalam hati ku. Salahnya aku, dahulu perasaan itu ku kubur dalam hati, coba dahulu ku buang jauh-jauh, mungkin ia tak akan pernah bangkit lagi didalam hati ku. Awalnya perasaan itu aku abaikan saja dan mengangap itu hanya angin lalu. Perlahan namun pasti, perasaan itu mulai merasuk ku hati ku tanpa ku undang, ia datang dan bangkit dengan sendirinya. Sebuah perasaan yang pernah menyiksa dan masa depan hidup ku. Wanita berjilbab yang masuk dalam kehidupan ku dengan sangat ekstrem, wanita yang entah mengapa jika aku melihatnya bersedih aku selalu ingin menghibur, mendekap dan menjaganya. Riska, bayangan wajah nya hadir kembali setelah sekian lama tak ada kabar berita sama sekali. Sudah 3 tahun lebih aku tak bertemu dengannya, jangankan untuk bertemu, memikirkannya pun tidak sepanjang rentang waktu itu. Namun sekarang, tiba-tiba saja bayangan wajahnya hadir kembali dalam hidup ku dan perlahan-lahan mulai merasuk dalam jiwa ku. Saat itu aku tak tahu apakah ia sudah menikah atau belum dan tinggal dimana. Informasi terakhir disaat kami berpisah, ia mengatakan akan kembali ke Bangka dan akan membangun negeri sendiri. Disaat perasaan itu hadir, entah mengapa aku berkeyakinan kalau ia belum menikah dan masih sendiri disana. “Ahhh....sudalah, kenapa aku jadi memikirkannya terus ya?,”racau ku dalam hati, dan lalu berusaha untuk menghadapi kenyataan. “Ahh..mungkin ini hanya perasaan sekilas aja, sebentar lagi akan pergi dengan sendirinya seiring waktu berjalan. Tapi kenapa ya, setelah 3 tahun lebih tak ada kisahnya lagi, ehhh..tiba-tiba perasaan ini hadir kembali,”tanya ku dalam hati yang tak mengerti akan maksud ini semua. Hari demi hari perasaan itu makin kuat mewarnai hati ku, dan aku pun makin kuat untuk melakukan perlawanan untuk membuang bayangan wajahnya dalam benak ku. Setelah pertikaian dalam hati cukup sengit dan lumayan lama, akhirnya aku mengalah dan mengikuti apa maunya ALLAH. Aku teringat akan surat Yasin yakni KUN kata ALLAH, maka FAYAKUN. Terhadap itu aku takkuasa melawan perasaan yang ALLAH hadirkan lagi untuk ku. “Ya ALLAH kalau ini memang kehendak mu, baiklah aku ikuti,”rintih ku dalam hati, karena tak berdayanya aku membendung perasaan yang datang dengan sangat lembut bak angin sejuk yang masuk disela-sela lubang kecil hati, dan lalu merasuk dalam jiwa ku, tepi kenapa baru sekarang?, 86
disaat aku ingin memutuskan ingin menikah dengan wanita yang ku kenal dan kepada ialah rencana semula akan ku wujudkan, tapi....? Untuk itu, aku mulai mencari-cari informasi tentang keberadaannya. Dimanakah ia sekarang dan dengan siapakah dia saat ini? Selanjutnya, aku mulai mencari info tentang dia dengan cara menanyakan ke teman-teman sekelasnya dahulu, akan tetapi tak satupun yang tahu. Tak sampai disitu, pencarian akan dia terus ku kembangkan dari satu informasi ke informasi yang ku dapat bak seorang detektive ulung yang berusaha keras dalam memecahkan sebuah kasus. Sempat aku mendapatkan nomor handphon nya dari salah satu teman kelas nya yang ku kenal, tetapi setelah saya hubungi nomor tersebut yang terdengar hanyalah kata “maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktive atau sedang berada diluar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Setelah mendapatkan saran “cobalah beberapa saat lagi” aku pun terus mencoba dan mencoba, hasilnya nil. Tak putus arang, naluri detaktive ku bertambah tajam dan lalu munculah ide untuk menanyakan buku alumnus kepada mereka (taman Riska) namun kebanyakan dari mereka mengaku buku alumni nya sudah hilang entah kemana. Puas aku mencari informasi tentang keberadaanya, membuat ku menyerah dan berkata “ya ALLAH, aku telah menuruti kehendak mu, dan aku telah berusahan mencari informasi tentang keberadaanya, jadi bukan salah ku lagi,”lapor ku kepada Sang Pemilik hati. Saat itu, aku merasa bak kapal layar yang berlayar dilautan luas dan seketika akan berlabuh dipelabuhan yang telah terlihat oleh pandangan mata ku, akan tetapi ALLAH meniupkan layar kapal ku sehingga aku malah menjauh dari pelabuhan yang telah berada dekat dengan kapal layar ku, ALLAH malah mengarahkan kapal layar ku ke tempat pelabuhan yang lain yang aku sampai saat itu tak tahu dimanakah pelabuhan itu berada. Dalam pencarian, hari-hari berikutnya aku bertemu dengan teman sekelas ku yang kebetulan datang ke rumah dimalam hari dengan mengendarai motor, berpakaian rapi serta parfum yang wangi menyengat. “Asalammualaikum,” sapa teman ku Heri yang datang kerumah. “Seperinya ada orang yang mengucapakan salam diluar,” kata ku sembil berjalan kearah pintu luar untuk menengok siapakah gerangan yang mengucapakan salam. “Oh..kamu Her! Masuk-masuk,”ajak ku kepada Heri untuk masuk kerumah. “Wah...lama gak kelihatan dari mana aja nih?,”sapa ku akrab sembari mempersilahkan ia duduk dan percakapan kami pun bertambah seru selayaknya bertemu teman lama. “Ngomong-ngomong, ada apa nih? Tumben datang kesini pakai-pakian rapi, pakai minyak wangi lagi,”tanya ku kepada Heri. “Ehh..iya nih, mau gak nemanin aku ke tempat cewek,”jelasnya kepada ku. Terhadap ajakan itu, aku iya kan saja karena dari pada dirumah, mending keluar ngilangin suntuk. Setelah sepakat, sabtu malam minggu itu, kami beranjak dari rumah ketempat tujuan dengan menungangi kendaraan roda dua yang dibawah nya. Melaju dengan kecepatan lumyan kecang (biasa, ada yang lagi kesem-sem) tak membutuhkan waktu lama, kami pun hampir tiba dirumah cewek tersebut. Diperjalanan, pikiran ku sudah tak lagi focus untuk mencari informasi akan keberadaan Riska, meskipun perasaan ini terus memaksa diri ku untuk terus mencari dimanakah ia berada? Sesampainya disana, ternyata wanita yang akan kencani oleh teman ku ini adalah kakak tingkat kami S1 dahulu yang wisudahnya barengan dengan Riska. Mengetahui hal itu, setelah berbican-bincang ringan antara kami bertiga, aku mulai menanyakan “ehh..Linda, masih nyimpan buku alumni mu gak?,”tanya ku padanya disela-sela percakapan. Linda menyambut pertanyaan ku dengan wajah santai tanpa menaruh curiga apa gerangan maksud dari pertannyaan ku itu dan berkata “ada tuh..., masih ku simpan dengan rapih di lemari buku, entar ya aku ambil dulu. Eh...sambil diminum donk!,”ucap Linda seraya mempersilahkan kami untuk menikmati suguan yang telah disapkannya sedari awal, dan lalu pergi meninggalkan kami sejenak untuk mengambil buku yang ku pinta. Hanya beberapa menit, Linda muncul kembali dihadapan kami dengan membawa buku alumni ditangan “ada perlu apa nih, tumben-tumbenan nanyain buku alumni,”tutur Linda santai sambil menyodorkan buku tersebut ketangan ku. “Ahh....engak kok, cuma ada yang pengen aku cari aja,”jawab 87
ku. “Buku ini aku cari kemana-mana gak ketemu, giliran gak disengaja dicari ehh...malahan ketemu disini,”ucap ku dalam hati sambil membuka buku tersebut lembar demi lembar. Setelah membuka lembar demi lembar, tampaklah lembaran yang memaparkan photo dan biodata Riska. Salain photo, disitu juga tercatat alamat dan telephon rumah, dan setelah ku baca ternyata yang tertera itu alamat dan nomor telephon rumah dimana ia ngekos dahulu. Dengan infomasi yang ku dapat itu sangatlah tidak membantu dalam pencarian ku, akan tetapi akal ku tak hanya sampai disitu. Aku tahu kalau ia juga memiliki teman dekat yang bernama Risma yang urutannya gak jauh dari daftar yang tertera dilembar tersebut. Kudapatkan info tentang Risma lengkap dengan alamat serta telephon rumah. Akhirnya titik terangpun mulai terlihat dan aku pun dapat tersenyum sejenak. “Ehhh...Lin, boleh gak aku minta kertas bagian ini,” pinta ku kepada Linda. “Boleh, sobekin aja kalau kamu mau. Emang siapa sih yang kamu cari?,”tanya Linda kepada ku, seraya melihat lembar kertas yang akan ku sobekin. “Ini loh..si Riska, dulu aku ada hutang dengannya, jadi pengen bayar, tapi gak tahu orangnya dimana,”jawab ku diplomatis. Sepulang dari rumah Linda, keesokan harinya aku langsung menghubungi Risma melalui via telepon. “Halloooo, ini benar nomor telepon rumahnya Risma?,”tanya ku. “Iya benar, ini siapa ya?,”tanya nya balik. Mendengar nada suara Risma bak orang yang penasaran, tentunya aku harus berhati-hati dan bersikap ramah agar aku mendapatkan apa yang ku harapkan. “Ini aku Alex, teman sekelas mu waktu di Perguruan Tinggi Bahasa Asing”jawab ku dengan menyamar nama orang lain yang dikenal nya. “Oh..kamu Lex, ada apa perlu apa ya?,”tanya nya lanjut. Ditodong dengan pertanyaan itu, lansung saja ku sampaikan maksud ku “Risma, kamu masih kontak-kontakan gak sama si Riska?,” ku mengintrogasi. “Masih sih, walaupun gak sering. Kenapa emangnya?,”tanya nya lagi. “Engak, dulu waktu kuliah sebenarnya aku ada hutang sama dia, waktu itu aku belum bisa membayarnya. Nahh...sekarang aku mau membayar hutang tersebut, tapi gak tahu harus kemana aku mencari orangnya,”terang ku singkat. “Ohh...masalah itu, jadi apa nih yang saya bisa bantu,”tawar Risma kepada ku. Mendapatkan tawaran tersebut langsung saya ku menanyakan “kamu punya nomor Riska gak?,”tanya ku lanjutan. “Oh...kalau itu gampang, sebentar ya aku sms aja nomornya,”jawab Risma, dan kemudian kami mengakhiri pecakapan saat itu. Tak lama dari situ aku mendapatkan sms dari HP Risma yang kontennya berisi nomor HP Riska. Semantara ini satu masalah sudah teratasi, dan besok pagi barulah ku hubungi nomor Riska yang diberikan oleh Risma. Pagi yang cerah nan dihiasi berbagai macam wajah-wajah yang mencerminkan karakter masing-masing, aku memulai pagi itu dengan semangat 86 menuju kantor tempat ku bekerja untuk menjalankan kewajiban ku sebagai karyawan dengan kata lain routinitas yang harus dipenuhi. Setelah briffing dikantor, suasana masih terbilang pagi yakni sekitar jam 9, aku mencoba untuk men-dial nomor yang ku dapat dari Risma. Setelah men-dial nomor HP Riska yang ku dapat dari Risma, ternyata nyambung dan bunyi “tuuuuut.....tuuuuuuut”panjang dan sejenak aku berhayal seperti apa suara wanita yang selama ini telah menghilang dari hidup ku dan sedang apa kah gerang disana. “Hallo, Asalammualaikum, siapa ini,”sambut Riksa sambil menanyakan siapakah gerangan yang menelephon. Pada awalnya aku tak mengaku kalau aku adalah Akbar, aku tetap menyamar dengan mengunakan nama Alex “walaikumsalam, ini Alex. Maaf ini benar Riska?,”tanya ku kemudian. “Maaf Alex mana ya?.”tanya nya lanjut dan selanjutnya ku jelaskan aku Alex dan bla...bla..bla. Ini yang pertama kalinya aku mendengar suara wanita yang pernah masuk kedalam hidup ku dengan sangat ekstrem dahulu setelah sekian lama tak berjumpa. Saat itu ada rasa senang dan juga rasa legah didada akhirnya terjawab sudah perasaan ku ini, mungking aku hanya kangen atau apalah aku gak mengerti, tapi aku rasa sudah cukup dengan telah mendengar suaranya, jadi gak perlu kulanjutkan lagi untuk mengetahuinya lebih dalam. Penyamaran ku sebagai Alex bejalan 88
selama 3 hari, dan hari berikutnya aku pun membuka kedok ku kalau aku bukanlah Alex, melainkan seseorang yang dahulu pernah tertarik kepada nya. Karena menurut ku udah cukup mendengar suaranya dan sedikit terobati rasa penasaran ini, aku pun tak berniat untuk melanjutkan dan juga tak perlu membuka kedok ku sepenuhnya alias ia tak perlu tahu siapa aku yang sebarnya dan ingin kembali mejalani hidup seperti orang normal. Setelah hari itu kami tak saling menghubungi lagi dan aku pun berangsur-angsur untuk berusaha melupakan nya dengan dasar kalau sudah cukup dengan mendengar suara nya saja. Bagaikan untaian pajang rantai yang saling berhubungan erat yang tak putus, begitu juga dengan hari yang datang silih berganti tanpa jedah sampai waktu yang telah ditentukan oleh Sang Pemutus waktu, aku mulai meresakan kalau ada seswatu tentang kisahnya yang aku tak tahu. Perasaan itu muncul persisi seperti waktu dahulu aku berkenalan dengan nya, datang dengan lebut, seakan-akan perasaan lebut itu ingin memberitahukan tentang keadaan sebenarnya yang selama ini belum teruak ke permukaan dan menjadi misteri panjang yang belum terjawab dan terus melahirkan tanda tanya besar....siapakah wanita ini? Digelitik oleh bisikan-bisikan yang terus menderuh dihati, akhirnya ku putuskan untuk menghubungi nya kembali setelah sempat beberapa hari hilang contact. “Hallo, Assalammualaikum, apa kabar ? sapa ku ramah kepada nya dipagi itu. “Walaikumsalam, kemu kemana sih, kok menghilang gak ada kabar?,”tanya nya penasaran. “Ada kok, kebetulan aku ada kerjaan yang numpuk, jadi hurus segera cepat diselesaikan karena sudah hampir deadline,”jawab ku diplomatis. “Sebenarnya kamu ini siapa sih?,”tanya Riska ngotot. “Ya..kebetulan, mamang hari ini aku ingin memberitahu siapa aku sebernya. Aku lah pria yang pernah mengatakan pada mu kalau aku akan selalu tetap mencintai mu, walau sampai kapan pun,”terang ku seraya mengorek-ngorek ingatannya. Setelah ia mendengar kalimat yang terucap dari lidah yang jelas tak bertulang, sejenak ia terdiam seribu bahasa dan atmosphere di line telepon menjadi berawan kelabu. “Tentunya sekarang kamu sudah ingat siapa aku kan?,”tanya ku. “Iya,” tawab nya singkat. Dengan nada bicara yang telah berubah, ia bertanya “Akbar apa kabar?” Aku pun ikut terbawa suasana, dengan nada berat mengatakan “baik, kamu bagai mana?” “Aku juga baik,” jawab nya singkat. Seterusnya, semenjak hari itu, percakapan kami pun bertambah intense dan mulai mengorek-ngorek tentang infomasi keadaan kami masing-masing..., biasalah penjajakan ulang. Riska saat itu bekerja sebagai guru bahasa Inggris disalah satu SMA negeri di Bangka-Belitung dengan status honor, layaknya guru honor kabanyakan, disaat ujian kenaikan kelas selesai, bersama ibunya ia menyempatkan diri liburan ke Palembang dan pergi kesana tanpa sepengetahuan ku. Disamping liburan, kepergiannya ke Palembang juga dikarnakan ingin melihat kaadaan rumah yang dibeli oleh bapaknya beberapa waktu silam. Sudah hampir 1 minggu lamanya ia berada di Palembang, dan ketika 1 hari lagi menjelang akan pulang kembali ke Bangka-Belitung, ku sempatkan menelepon nya. Didalam percakapan telepon itu pula aku baru tahu kalau ia sekarang telah berada di Palembang, kota dimana aku pun berada. Singkat cerita, aku mengajaknya ketemuan setelah aku pulang dari kerja pada hari itu. Sore itu, setelah pulang dari kerja, dengan bergegas aku memacu motor menuju tempat yang telah dijanjikan, dan hanya ditempuh kurang-lebih setengah jam, aku sudah sampai di tujuan. Ditempat itu, aku tak melihat tandatanda keberadaanya. Diatas motor yang sudah pasang standard, kepala ku bagaikan bangau yang melengak-melengok ke kiri dan ke kanan untuk ingin melihat wujud yang sekarang ini seperti apa, setelah 3 tahun lamanya tak bertemu. Setelah terus memperhatikan suasana sekitar, aku belum juga menemukan angsa putih yang mamakai mahkota putri kerajaan diatas kepalanya. Hampir 5 menit aku menunggu, akhirnya ku putuskan untuk menelepon ia “ udah dimana?” Dengan tergesah-gesah, Riska pun menjawab telephon ku “iya sebentar lagi aku kesana” saat itu aku sengaja berhenti dan menambatkan motor ku agak jauh dari tempat yang telah dijanjikan sebelumnya dengan tujuan agar aku dapat melihatnya 89
lebih dulu apakah ia wanita yang selama ini ku telepon alias Riska yang ku kenala dulu, ya siapa tahu selama ini saya telepon-teleponan dengan orang yang salah. Tak lama setelah itu, munculah ia dari sisi jalan, yakni gang kecil tempat dimana di tinggal dan menginap di rumah salah satu kerabat nya sepanjang liburan di Palembang. Dari kejauhan, tampak ia kebingungan mencari keberadaan ku yang tak ada ditempat perjanjian tersebut. Dari kejauhan juga, aku menikmati wajah nya yang cantik, tetap masih seperti dahulu walaupun sudah 3 tahun lamanya tak bertemu. Setelah merasa puas memandanginya dan tak tegah melihat nya seperti orang kebingungan mencari arah jalan pulang, akhirnya ku lambaikan tangan ku kearahnya, tepat disaat matanya mengarah tepat ke arah dimana aku berdiri. Setelah mengetahui keberadaan ku, ia langsung berjalan menuju ke arah ku dan menghampiri tanpa rasa cangung lagi, akan tetapi tetap saja terlihat jalas ronah merah diwajahnya sebagai tanda kalau ia juga merasa malu sekaligus senang bisa bertemu kembali setelah 3 tahun tak bertemu. Tanpa jabat tangan, kami pun langsung naik motor dan lalu berbincang riang, menghabiskan waktu di senja hari. Saking asyiknya, tak terasa waktu Magrib tiba dan ku putuskan untuk pulang ke rumah ku, karena sepulang dari kerja aku gak langsung pulang kerumah, jadi tentunya juga aku belum mandi, ya sekalian sholat Magrib dirumah sekaligus memperkenalkan wanita ini ke keluarga ku. Setibanya dirumah, Riska ku perkenalkan dengan mamak ku dan percakapan antar mereka pun terjadi, sementara aku mandi dan lulu dilanjutkan dengan sholat Magrib, yang tentunya mamak sudah sholat magrib duluan, sedangkan Riska memang lagi berhalangan. Setalah aku selesai mendirikan sholat Magrib, aku pun ikut bergabung dengan mereka dan lalu kemudian aku mengajak nya untuk melihat keindahan sungai musi yang dibingkai apik dengan Jebatan Ampera yang dipenuhi dengan lampu yang menyala indah di malam hari. Setelah berpamitan dengan orangtua ku, kami pun menuju lokasi wisata Benteng Kota Besak yang terletak tepat dipingiran sungai Musi, tempat dimana banyak muda/i dan keluarga menghabiskan waktu hanya sekedar untuk melihat keindahan sungai musi dibawah terpaan lampu warna-warni Jembatan Ampera. Dengan mengendarai motor dan hanya menempuh waktu 15 menit, kami sudah sampai ditujuan. Malam ini tampak sempurna dan sangat indah bagi ku, karena disampingku ada wanita yang dahulu pernah membuat ku mengenal apa itu cinta. Malam itu, kurasakan ia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang ku rasakan, itu terlihat jelas dengan prilakunya saat bersama ku. Auranya terasa sangat damai, tenang, hangat dan terduh sejak bertemu kembali dengan ku. Keceriaannya pun mulai tampak lagi diwajahnya setelah sekian lama meredup karena telah lama menunggu secercah kepastian dalam hidup. Setelah kami turun dari motor, lalu kami pun duduk dibangku yang memang telah siapkan oleh pemerintah setempat untuk menunjang fasilitas tempat wisata. Berbincag-bincang sambil menikmati indahnya pancaran cahaya yang dipantulkan oleh air sungai Musi, aku mencoba memberanikan diri untuk menantap wajahnya dan secara reflecks aku pun mengedipkan mata kearahnya seraya dalam hati berkata “kau begitu cantik dan anggun malam ini” Ia menyambut reaksi teduh ku dengan tersenyum malu seraya menundukan kepala dengan ronah merah di pipi yang dibingkai cantik dengan jilbab yang merangkai wajah cantik nya. Tak terasa, di tepi sungai Musi itu kami terus bercanda, tertawa riang dan menikmati tuduhnya malam indah yang disirami sinar bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Menghadap ke sungai, hati ku pun bersuara kalau “malam ini, malam yang terindah dalam hidup ku, karena aku bisa duduk bersanding dengan wanita yang dulu sempat ku cintai, tapi mungking hari esok kami tak akan berjumpa lagi. Aku harus bisa menghadapi kenyataan kalau, aku tak bisa bersama dia.” Situasi malam itu persis seperti kisah lagu yang lagi ku senangi dan lagi ngehits kala itu yang dipopulerkan by James Blunt “you are beautiful”. Waktu pada malam itu telah menunjukan jam 9:30 aku pun mengajaknya untuk pulang karena gak enak sama keluarganya kalau pulangnya kemalaman “ehhh..udah malam, kita pulang yuk, kan kamu besok mau balik lagi ke Bangka,”bujuk 90
ku untuk mengajak nya pulang. Terlihat diwajah nya kalau ia masih ingin berlama-lama menikmati indahnya malam yang dingin tapi terasa hangat, seolah-olah ingin melepaskan semua beban pikiran, tapi aku tak tahu itu apa. Dengan satu tarikan nafas panjang dan kemudian ia hembuskan kembali, seakan-akan ingin membuang keluar semua kegelisahan, ketakutan dan pendiritaan yang sudah lama memfosil disetiap sendi-sedi tulang yang tersusun rapih membentuk sebuah bangunan yang disebut dengan mahluk, ia pun berdiri menyabut ajakan ku untuk pulang seraya ku papah tangan nya sekedar membantu nya berdiri mengkokohkan wujudnya agar ia merasakan kalau ia tak sendirian. Melewati lampu jalan raya yang remang-remang dengan udara yang semakin dingin nan berat, dengan kecepatan slowmotion, sampailah kami ke rumah dimana Riska menginap. Ternyata disana, karena khawatir akan anak perempuan nya yang pergi dengan lelaki yang mereka tidak kenal, ibu berserta bibik nya udah menunggu di depan pintu menanti kedatangan kami. “Assalammualaikum” sapa ku kepada mereka. “Walaikumsalam,”jawab mereka rentak. Tanpa sempat memperkenalkan diri lebih jauh, dikarnakan waktu sudah larut malam, aku pun berpamitan pulang “permisi buk, saya pulang dulu, udah malam.” Disaat aku sudah berada diatas motor, bibik nya berkata “kapan kamu main ke Bangka,”tawarnya. Mendengar ramah-tamah itu, aku pun menjawab kalau “aku akan ke Bangka jika Riska nanti menikah, asalkan diundang aku pasti datang,” ku ucapkan seraya menatap wajah Riska. Entah apa yang ia rasakan saat itu, seketika aku mengucapakan kata-kata itu, ia hanya terdiam, namun matanya yang berbicara, mata teduh itu berkacakaca seakan-akan menahan sedih setelah mendengar tutur ku. Isyarat itu pun ku sambut dengan senyum kebahagiaan yang mengisyaratkan kalau aku akan bahagia kalau melihat dia bahagia, aku ingin melihat dia tersenyum bahagia diatas pelaminan bersanding dengan pria yang telah menjadi jodoh nya, dan akhirnya pekerjaan ku sudah selesai, barulah nanti aku mulai menata masa depan ku sendiri, walau aku sendiri tak tahu akan seperti apa. Setelah berpamitan, aku pun langsung pulang ke rumah. Sesampai dirumah, aku pun mengambil posisi nyaman untuk tidur malam, tentunya setelah mendirikan sholat Isya terlebih dahulu. Malam itu, meskipun ku paksakan untuk memejamkan mata, tetap aku tak bisa tidur, malahan ada seswatu yang aneh terjadi pada ku, yang aku sendiri tak bisa menjelaskan. Aku merasa berada disuatu tempat yang berbeda walaupun sama, seswatu seperti diawang-awang yang selalu merasa bersama nya, dan sampai fajar pun tiba, aku tatap tak bisa tidur, akhirnya pagi itu aku kerja dengan mata yang sembab karena tidak bisa tidur semalam. Di pagi itu pula Riska pergi menginggalkan kota Palembang kembali menuju Bangka besama ibu nya. Dengan pertemuan kami yang pertama, setelah sekian tahun tak bertemu, kami pun bertambah akrab dan mulai saling cemburu jika ada salah satu dari kami yang membicarakan tentang mantan masing-masing. Hari demi hari, aku pun mulai berusaha menghadapi kenyataan kalau aku tak mungkin untuk bisa bersama nya terus, dikarnakan jarak, juga sepertinya keluarga ku tak begitu setuju jika aku bersanding dengan nya. Atas prilaku keluarga ku, bisa ku pahami, karena semuanya terjadi begitu capat, wanita ini tiba-tiba datang dan mulai mewarnai hidup ku, sementara mereka telah familiar dengan sosok wanita sebelum Riska. Jadi, malam itu sudah ku putuskan untuk mengakhiri semuanya, agar antara aku dan dia tidak masuk terlalu dalam dalam hubungan cinta dan malam itu juga sesuai dengan rencana kami pun terlibat pembicaraan melaui via phone seperti hari-hari biasanya. Setelah kalimat pembuka terlewati, dan disaat ingin ku sampaikan tekad ku, malam itu ia malah memceritakan sebuah kisah kelam keluarga nya yang seharusnya tak ku dengar. Larut dengan perasaan ia sendiri, dengan tangis yang terseduh-seduh, ia mengatakan “aku ini berasal dari keluarga “brokenhome” bapak ku menikah lagi semenjak kami masih duduk dibangku sekolah menengah atas. Bertapa malunya kami diejek teman-teman dan juga tetangga lain atas apa yang menimpa keluarga kami, dirumah kami selalu diwarnai ketakutan yang diciptakan oleh bapak ku, yang jika 91
mendengar suara bapak marah saja, rasanya ingin lari kabur dari rumah, pergi untuk meniggalkan semua ketakutan yang telah mengkirstal, tapi karena tak tegah melihat ibu ku, jadi kami pun tak punya pilihan, kami hanya bisa bertahan dengan rasa ketakutan yang terus meyelimuti dalam tidur kami, heemmm...hikkh..hikk,”sambil menangis. “Allah gak sayang sama kami, sampai kapan ini berakhir, aku tak tahu harus berbuat apa, wajah ku selalu berusaha tersenyum jika bertemu dengan orang-orang, seolah-olah tak terjadi apa-apa dikeluarga kami yang mengisyaratkan kalau kami adalah keluarga bahagia,”ujar Riska haru yang sesekali terhenti oleh tangis yang tak bendung. Mendengar pengakuan nya yang sangat brutal itu, aku sempat tak berkata-kata beberapa menit lamanya dan hanya bisa diam terpaku mendangarkan ia mencurahkan semua kegalauan hati yang tersimpan selama ini. Dalam hati berkata “ini apa? kenapa semuanya menjadi seperti ini? Kalau sudah begini tak mungkin aku kuasa mengatakan kalau hubungan kita cukup sampai disini saja. Berarti, selama ini yang menjadi pertanyaan besar dalam benak ku, terjawab sudah. Semenjak pertama kali kenal dengan nya aku merasa ada seswatu yang menganjal yang selalu membuatnya gelisah yang selama ini disimpan rapih walaupun tetap tertulis jelas rasa kegelisahan, ketakutan, dan hilangnya kehangatan keluarga diraut wajah dan mata indahnya. Tenyata selama ini ia bernasib sama dengan ku, andai saja ia mengatakan ini 3 tahun lalu, pastinya ia akan ku bawa serta dalam pelukan ku dengan cara apapun, karena aku tahu persisi apa yang ia rasakan. Aku akan ada untuk menghibur nya dan akan ada untuk mendampinginya selalu.” Aku sangat paham apa yang ia rasakan, sekedar untuk menenangkannya aku pun berkata “Riska, jangan kau bersedih, sesungguhnya kamu tak sendirian didunia ini. Sesungguhnya juga Allah itu sangat sayang sama kita, karena apa yang kau alami aku juga mengalaminya, jadi kau jangan sedih lagi, sekarang Allah telah mempertemukan kita agar bisa saling menghibur dan saling menghapus kesedihan yang selama ini ada,” tutur ku menghiburnya. Karena memang aku sangat faham dan tahu apa yang ia rasakan, aku pun terbawa emosi dan tanpa sadar air mata pun mengalir ke wajah ku tanpa suara tanggis. Mendengar pengakuan ku, ia pun terkejut dan tak menyangka ternyata aku juga mengalami apa yang dia alami, lalu berkata “aku tak tahu ternyata selama ini Akbar juga sama dengan Riska, selama ini aku kira Akbar berasal dari keluarga yang bahagia dan tak ada masalah, karena memang selama aku kenal Akbar tak pernah sedikit pun aku melihat Akbar bersedih, yang terlihat hanyalah candatawa, riang gembira, seakan hidup mu baik-baik saja dan tak ada masalah dalam keluarga.” Aku pun menjawab “aku gak mau larut dalam kesedihan, bagi ku hidup terus tetap berjalan walaupun apa yang terjadi (the show must go on). Tapi sesungguhnya tak layak Riska menceritakan hal itu terhadap aku yang kamu sendiri belum tahu persis siapa aku dan aku hanyalah orang luar yang sepatutnya tak berhak tahu tentang prahara keluarga mu.” Riska pun menjawab “sebenar nya iya, tapi.........., aku tak tahu mau curhat dengan siapa, setidaknya dengan seperti ini dapat sedikit meringankan baban dalam hidup ku,” dengan nada yang sedikit legah. Sejak kejadian itu, lagi dan lagi, aku berpikir mungkin ini sudah menjadi takdir kami, bertemu dan berpisah dan kemudian bertemu kembali tapi dengan kenyataan kalau kami memiliki kisah background keluarga yang sama, badanya aku laki-laki dan ia peremuan, jadi mengkin aku lebih tegar menghadapi prahara ini. Yang tadinya niat ku ingin mengakhiri semua kisah, akhirnya aku berpikir kalau ia lebih memerlukan diri ku ketimbang wanita lain. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mempersunting nya, dengan azas cinta. Semenjak itu hubungan kami terus berlanjut dan makin dekat walau hanya melalui via telepon dan tak terasa bulan demi bulan berlalu, tibalah bulan suci Ramadhan bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan bagi yang mejalankan ibadah puasa. Alhamdulilahnya, aku dapat menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh dengan rasa nikmat yang tak bisa terlukiskan. Nah....ketika menjelang hari raya Idul Fitri, Riska mengundang ku untuk main ke Bangka ketika lebaran tiba dengan alasan bahawa keluarga 92
besarnya penasaran dengan sosok pria yang dibela-belanya yang konon katanya mereka merasa tak yakin dengan apa yang Riska rasakan dan nyatakan bahwa Riska sudah punya pacar tapi tinggal di Palembang, dan akhirnya terjadilah janji manis kalau aku akan ke Bangka pada lebaran hari ketiga, ya....hitung-hitung silahturahmi dan kenalan dengan keluarga dia. Tibalah lebaran hari ketiga, dimana aku berangkat ketempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya. Pukul 2 am, sampailah aku dikota Pangkalpinang dan bus berhenti tepat didepan gerbang jalan menuju masuk perumahan dimana Riska dan keluarganya tinggal. Dik Riska, aku udah sampai nih....sekarang aku berada didepan gerbang persis yang kamu instruksikan,” ucap ku kepada Riska via HP. “Oh.....udah sampai ya, iya...iya...tunggu sebentar aku akan segera kesana,” balas Riska antusias. Sempat duduk termengung dipinggir kedai yang tak terpakai lagi aku menceramahi diri ku sendiri “suara baik; Akbar..Akbar..., sudah sampai sejauh ini kamu melangkah, apa kamu yakin dengan semua ini?.......hemmmmmm.......suara baik; sudah, semunya sudah di atur oleh Allah....sebagai laki-laki kamu harus berpendirian mantap dan yakin kalau ini semua kehendak Allah, lagian Riska lebih membutuhkan mu ketimbang perempuan lain dan kamu juga tak bisa membohongi dan menghianati perasaan mu, kalau kamu cinta dia iya kan. Suara hati ku; iya...juga sih, lama aku tak bertemu dengannya tapi tiba-tiba perasaan ini muncul dan tak terkendali, tak ku pungkiri memang aku cinta dia sedari dulu, lagian aku juga ingin membuktikan siapakah wanita yang sebenarnya layak menjadi pendamping ku kelak. Bismillah, Allah aku ikut jalan mu.” Tak lama setelah itu, lamunan ku pun terhenti karena mata ini terpusatkan ke sosok wanita yang ku bicarakan dalam lamunan ku beberapa menit lalu. “Kakak, sudah lama nunggu,” sapa Riska seraya menghampiri dan mencium tanggan ku sebagai tanda baktinya setelah datang untuk menjemput dengan mengunakan kendaraan roda dua. Melihatnya datang dan menghampiri lalu mencim tangan ku sebagai tanda bakti kecil, aku pun berdiri menyambut kedatanganya lalu berkata “lumayanlah.....nunggunya, sampai-sampai sempat gali semur sejenak,”sapa canda ku. Setelah saling menyapa, aku dan dia pun duduk sejenak di bangku yang memang tersedia disana...., dan kami pun saling bertatapan dan sama-sama menahan rasa malu....wabilkhusus aku yang memang baru pertama kali ke Bangka dan juga baru pertama kali melihat dia begitu cantik dengan gaun muslim yang dikenakannya khusus dihari raya Idul Fitri dan juga gaun khusus yang dipakainya hanya untuk menyambut kedatangan perdana ku. Sejenak kami diam tanpa kata-kata, hanya bisa tersenyum kecil sebagai lukisan tanda bahagia dan tak tahu apakah rasa bahagia ini bisa abadi atau hanya sementara. Suara ku sedikit tercekik untuk memulai percakapan lagi...tapi karena tubuh ku sudah sangat gerah dan kelelahan, akhirnya ku mulai percakapan yang dimulai dengan kalimat pertanyaan “dirumah sudah siapa saja yang sudah menunggu,”tanya ku. Sama, dengan suara yang agak serak karena grogi Riksa menjawab “di rumah ada orangtua dan adik-adik ku, mereka udah gak sabaran ingin bertemu dengan kakak.” Mendengar jawaban Riska, membuat ku bertambah gugup dan berkata dalam hati “santai saja, toh pertemuan ini hanya untuk memperkenalkan diri ke keluarga Riska dan mengiyakan kalau memang aku sekarang adalah pacarnya...........untuk kedepan-kedepannya ya...lihat saja nanti akan seperti apa dan yang jelas sampai detik ini niat ku baik dalam artian pingin menjalin hubungan serius, apakah jodoh atau tidak semuanya terserah Allah,” sambil berenjak dari bangku dan bersiap-siap untuk menuju rumah nya dengan menunggangi kendaraan roda dua yang dibawanya. Naik motor berboncengan dengan jarak tempuh hanya memakan waktu tak lima menit, tibalah kami dirumah dimana keluarga besarnya sudah berkumpul dan menanti-nanti kedatangan ku. Sesampai disana, teranglah mereka semu sedang asyik mengobrol dan suasana saat itu tampak biasa-biasa saja tak ada sambutan istimewa seperti disambut dengan tarian selamat datang dengan karpet merah membentang layaknya di film sinetron,......hemmmm......... ngarep! “Asalammualaikum,” sapa ku. “Walaikumsalam,” jawab mereka ramai dan akhirnya aku pun 93
berkenalan dengan keluarga besar Riska dengan berbagai macam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Setelah terlibat percakapan yang lumayan panjang dan lama, aku pun dipersilahkan untuk mencicipi makanan khas hari raya dan ternyata masakan ala Palembang dan Bangka tak jauh berbeda cuma ada yang lain yakni lempah kuning. Didepan meja makan, kami makan bersama “wah....banyak sekali jenis masakannya,” ujar ku senang. “Engak...ah....biasa kok, namanya juga lebaran,” jawab Riska dengan penuh rasa senang karena telah memperkenalkan aku ke keluarga nya. Dalalm hati ku bersuara “sebenarnya yang buat ku senang bukan karena masakannya, tapi karena makan berdua dengan wanita ekstreem yang pernah mampir dalam hati ku dulu. Setelah acara makan-makan selesai kemudian ramah-tamah dengan keluarganya pun dilajutkan lagi. Sebagai orang baru dan masih asing bagi mereka, tentunya mereka melemparkan beberapa pertanyaan yang sifatnya personal dan langsung menusuk. Ayah Riska menanyakan tentang hubungan kami dan berkata “ kau cinta gak sama anak ku?” Menyabut pertanyaan itu, ku jawab dengan santai dan sangat diplomatis “kalau cinta sih engak, tapi aku sanyang sama Riska, karena menurut ku cinta itu hanya sesaat, tapi kalau sayang itu abadi. Kalau kita cinta dengan seseorang biasanya tak bertahan lama, disaat masa-masa mudah telah berlalu dan datang masa tua maka cita itu bisa berkurang dan bahkan hilang untuk selamanya. Akan tetapi jika kita sayang sama seseorang, Insayaallah akan bertahan lama walau sampai kakek/nenek sekalipun, itu artinya jika kita sayang sama seseorang, maka cinta pun akan mengiringgi dan melengkapi rasa sayang kita terhadap seseorang.” Mendapatkan jawaban yang membingunkan tersebut, orangtua Riska kembali bertanya dan terus bertanya sehingga terjalinlah keakraban diantara kami. Setelah penjajakan usia, aku pun memutuskan untuk menginap dipenginapan yang ada dikota tersebut, akan tetapi keinginan itu pun dipatahkan oleh orangtua Riska dan lalu meminta ku untuk menginap dirumah mereka selama aku berada di Bangka. Tiga hari lamanya aku berada disana, membuat ku seperti berada ditengah-tengah mahluk asing, asing dari segi bahasa dan juga asing dari segi hubungan, tapi karena keberadaan Riska membuat ku tetap bertahan dan menikmati setiap waktu yang terlewati selama ku berada diantara mereka. Waktu berjalan bagitu cepat dan tak terasa aku harus kembali lagi ke Palembang karena masa libur udah usai. Sebelum aku pulang ke Palembang keesokan harinya, malam itu orangtua Riska mengajak ku ngobrol lagi dan tanpa basa-basi lagi orangtua Riska langsung membahas acara lamaran hingga sampai acara pernikahan. Menyaksikan hal tersebut, aku hanya bisa terdiam dan tak bisa berkomentar banyak, hanya mengikuti keingginan dari keluarga mereka, namun dalam hati ku berkata “wah...ini apa? padahal aku datang kemari hanya untuk memperkenalkan diri, tapi malah langsung membahas masalah pernikahan. Memang aku serius ingin mejalani hubungan dengan Riska dan bahkan ingin mempersuntingnya, tapi pembahasan ini tidak ada dalam perjanjian atau dalam rencana kami, karena masih banyak yang harus kami bicarakan kedepan.” Terhadap itu, aku mintak Riska mengklarifikasi atas apa yang meraka rencanakan kepada ku dan Riksa menjawab “aku gak tahu kak, aku aja terkejut kok mereka membahas mesalah lamaran, padahal aku belum ngomong kepada mereka tentang kedapannya seperti apa,” sambil memastikan kalau ia juga tak tahu akan rencana orangtuanya. Merespon situasi itu, aku pun bersikap santai dan berusaha memaklumi sikap mereka. Aku ambil positive nya saja, mungkin karena mereka melihat keseriusan ku karena datang jauh-jauh dari Palembang ke Bangka untuk menemui Riska dan keluarganya, jadi mereka tanpa jedah langsung membahas langkah kami berikutnya. Setelah pembahasan pertama telah dipicu, kami pun mulai rajin merangkai-rangkai kapan hari, tanggal, bulan dan tahun yang baik untuk memadukan cinta kami yang sangat sakral dan suci.
94
Jalan menuju Naga, 17 Januari 2009, Kalender baru hidupku Niat untuk mempersunting nya, memang bukan pekerjaan mudah, disamping karena background keluarga tak memungkinkan, juga karena kami terpisah oleh pulau. Sebenarnya sih, jarak antara Palembang-Pangkalpinang tidak lah begitu jauh, hanya bisa ditempuh selama 6 jam, 3 jam perjalanan darat dan selebihnya 3 jam perjalanan dilaut. Namun perjalanan akan praktis ditempuh dengan singkat, hanya kurang lebih 20 menit jika ditempuh dengan mengunakan pesawat terbang komersil Palembang-Pangkalpinang. Dengan sedikit uang yang ku miliki namun kurasa cukup, aku dapat mempersunting dirinya. Niat ku ini, pada awalnya medapat dukungan moril dari keluarga yang tidak begitu bagus, meskipun demikian aku berusaha meyakinkan mereka kalau ia adalah wanita yang akan memengkapi hidup ku. “Kanapa harus nikah sama dia, kan masih banyak wanita cantik di Palembang ini, ehhh....., malah cari istri yang jaraknya jauh,”ujar mamak ku menolak setelah ku katakan kalau aku mau nikah dengan wanita yang tinggal dan lahir di Bangka-Belitung. aku sadar betul bahwa restu orangtua sangatlah penting, maka dari itu aku berusaha memberikan pengertian kepada keluarga terutama mamak kalau ini sudah menjadi ketetapan ku dan aku mohon agar dapat dihargai. “Sungguh kalian tak tahu apa yang ku alami, mamak tenang saja aku akan selalu tetap sayang sama mamak dan Isyaallah aku anak mu tak akan berubah kasih sayang ku pada mu,”tegas ku seraya meyakinkan mamak. Melihat keseriusan ku, mamak akhirnya merestui hajat ku itu dan hanya itu yang ku butuhkan. Adapun masalah biaya aku tak mau menyusahkan mamak, sedari awal aku memang bertekat kalau suatu ketika nanti aku menikah aku gak mau mengunakan uang orangtua walau hanya sepeser pun, bagi ku itu adalah perinsip hidup. Bagai mana bisa aka menikahi wanita sementara masih mintak bantuan biaya kepada orangtua, itu artinya aku memaksakan diri sementara aku sendiri belum siap dan mampu untuk menafkahi istri lahir maupun bathin. “Aku gak keberatan kamu menikah dengan siapa saja, cuma yang aku inginkan semua anak ku jangan pergi jauh-jauh dari ku. Tapi sekarang, kamu telah memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan mu, maka pesan mamak sayangilah dia, didik dia dengan baik, jangan sakiti dia dan cintailah dia karena dia telah menjadi pilihan mu. Mamak merestui keinginan mu dan semoga kamu bahagia, sukses dan selamat dunia dan akhirat untuk istri dan anak mu kelak,”wasiat mamak kepada ku. Gerbang dunia baru perlahan mulai terbuka dan akupun harus terus melangkah maju untuk memastikan semuanya kalau ini semua telah menjadi ketentuan Tuhan. Untuk itu aku pun berencana untuk menemui keluarganya, namun dengan kapasitas untuk melamar dia dengan gaya dan cara ku. Aku berangkat dari Palembang ke Pangkalpinang sendirian untuk mewujudkan keinginan yang sudah bulat, tanpa didampingi orangtua dan keluarga. Tidak etis mamang, tapi apa boleh buat karena kondisi ekonomi, keluarga dan jarak, terpaksa ku tempuh jalur ini. Desember, awal bulan yang berketepatan dengan cuaca ekstrem, tentunya gelombang laut tidak begitu bersahabat untuk diajak bercanda, tapi karena hajat besar dan mudah-mudahan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, aku harus terus tetap melangkah diatas kapal menapaki air laut menuju pulau Bangka tempat yang tidak ku prediksi sebelumnya. Dari pelabuhan Boom Baru, pukul 7 pagi, kapal capat jetfoil melepaskan talinya yang tertambat di demarga dan lalu kemudian perlahan bergerak memecah ombak sugai Musi menuju lautan. Walaupun ombak dilaut lumayan ekstrem, akhirnya tiba juga aku di pulau itu dengan selamat yang kemudian dilajutkan dengan perjalanan darat menuju kota Pangkalpinang. Setibanya disana, aku disambut dengan senyum hangat oleh wanita yang ingin dinikahi dan meginaplah aku dirumah saudari kembarnya yang telah menikah duluan. Ke esokan harinya, pagi yang begitu cerah nan bersahabat, semua mahluk melata yang menapak dimuka bumi ini, tak terkecuali mahluk 95
yang disebut lebih sempurna dari ciptaan Allah yakni manusia, sibuk dengan hajat mereka masing-masing. Mulanya aku hanya mau melamar secara pribadi ke Riska dengan mengatakan maksud dan tujuan kedatangan ku terhadap orangtua Riska. Namun mereka rupanya sudah tahu maksud kedatangan ku kali ini. Untuk itu mereka telah menyiapkan acara lamaran yang dimana aku didampingi oleh keluarga lain yang masih ada hubangan kerabat dengan suami dari sudari kembar Riska. Praktis, aku bagaikan berada di tengahtengah orang-orang asing yang tak satupun aku kenal kecuali calon istri ku. Menghadapi itu aku berusaha untuk mengikuti arus melodarma dan harus cepat bisa menyesuaikan dengan keadaan yang telah diseting untuk acara dimalam itu. Melodrama tersebut membicarakan tetang kedatangan maksud ku dan membicarakan hari dan tanggal yang baik untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan fenomenal itu. Setelah pembicaraan yang bersifat formalitas telah dilakukan, karena pada dasarnya tanggal, bulan dan tahun telah kami tentukan sebelumnya. Pada pertemuan itu, lahirlah kesepakatan bahwa tanggal 17 Januari 2009 waktu yang baik untuk melakukan akad dan 18 Januari 2009 resepsi pernikahannya yang berketempatan di salah satu gedung yang terlatak di Pangkalpinang. Selang pada hari itu, setelah semua hajat tersampaikan dan tercapainya semua kesepakatan, aku pun beranjak pulang ke Palembang untuk memberitahukan ke keluarga besar tentang kabar gembira tersebut, ya setidaknya untuk ku. Dalam perjalanan menuju pulang, waktu terasa berjalan begitu lambat namun jua waktu menunjukan jam yang sama setiba aku sampai di rumah. Sebenernya, keluarga ku tak tahu kalau aku sudah melamar anak orang sendirian, akan tetapi setelah ku jelaskan pangjang lebar mereka pun terkejut dan menyambut dengan gembira karena aku akan menikah dengan wanita yang aku cintai. Mengetahui itu, keluarga ku segera mengadakan rapat kecil untuk membahas mempersiapkan segala seswatu untuk hari itu. Lagi dalam rapat kecil itu, akhirnya kami memutuskan bahwa yang akan berangkat ke Pangkalpinang ialah mamak dan ke dua kakak ku. Sayangnya pada hari mejelang hari H, alam dilautan sangat tidak bersahabat yang semula beberapa keluarga ku berangkat terlebih dahulu dengan menaiki perahu penyemberangan cepat jetfoil menuju Pangkalpinang, pagi itu didermaga Boom Baru terlihat sangat lengang dan senyap seakan tidak ada aktivitas kehidupan sama sekali dan setelah dikonfirmasi ke petugas pelabuhan ternyata perahu cepat jetfoil tidak beroprasi kerena ombak dilautan mengamuk sehingga ketinggian ombak sampai mencapai 10 meter dan itu peringatan agar jangan berlayar atau melaut pada cuaca ekstrem seperti itu, dan memeng sebelumnya telah terdengar ada satu jetfoil dan kapal ferry yang tengelam diterjang ombak ganas. Dengan tidak dioprasikannya perahu penyembarangan cepat jetfoil rute Palembang-Pangkalpinang otomatis membuat harga tiket pesawat terbang melambung tinggi. Menghadapi situasi itu, mau tidak mau aku mulai hunting tiket pesawat dan naasnya tiket pesawat yang langsung menuju Pangkalpinang sudah habis dibooking dan yang tersedinya hanya tiket transit dari Palembang menuju Jakarta dan baru perjalanan diteruskan menuju Pangkalpinang. Sungguh berat situasi saat itu untuk ku hadapi, dan aku pun berkata dalam hati “ ya Allah, apakah memang ia bukan jodoh ku. Sudah sejauh ini mengapa engkau membuat ku ragu. Kalaulah ia memang milik ku, maka mudahkanlah hajat dan mantapkanlah hati ku ini ya Allah.” Seiring dengan kesibukan ku mencari tiket pesawat, sebagai karyawan bank, aku harus tetap konsen dalam memberikan pelayanan terbaik terhadap nasabah. Waktu makin dekat hanya tinggal hitungan kurang dari lima jari tangan, aku melayani nasabah ku yang mau top-up dari pinjaman 50 menjadi 100 juta. Nasabah satu ini adalah pengusaha mudah keturunan suku Tiong-hua. Sebelum penandatanganan kredit dilaksanakan, aku membuat berita acara penandatanganan akad kredit dan segala seswatunya seperti biasa, namun kali ini aku terjadi beberapa koreksi yang dilakukan atasan sebelum penandatangan akad kredit dilakukan, dan itu sangat melelahkan bagi ku. Ditengah-tengah mau penandatanganan akad kredit mobile phone alias hp ku terus 96
berbunyi dan ternyata itu telephon dari calon istri ku, namun karena saat itu aku sedang sibuk jadi sementara aku abaikan terlebih dahulu. Puas aku mengabaikan suara telepon tersebut, akhirnya ku angkat “hallo, Asalammualaikum. Ada apa dik,” tanya ku tergesah-gesah. “Ini kak, ayah mau ngomong,” jawabnya tergesah-gesah juga. Merespon itu aku pun berkata “nanti saya, nanti kakak telephon balik ya.” Riska pun dengan gesit memita ku untuk ngomong dengan calon ayah mertua “ayah mau ngomong sentar saja kak, kakak sambut dulu ya?,”pintanya. Merasakan seakan-akan ada hal penting yang mau dibicarakan akhirnya aku pun mengiayakan “iya udah sekarang mana ayah.” Tak lama setelah, disaluran HP terdengar suara laki-laki dengan logat khasnya lalu berkata “Akbar, aku mendaptakan berita kalau ombak laut lagi menganas dan kapal cepat penyemberangan jetfoil tidak beroprasi, jadi kamu naik pesawat terbang saja. Kalau memang keluarga mu gak bisa diajak serta yang penting kamunya yang harus datang, hehehehehe,” pintanya sambil bercanda. “iya, Yah...mudahmudahan aku dan keluarga ku bisa datang tepat waktu,”jawab ku singkat dan sejenak aku berpikir kalaupun ternyata aku pun gak bisa berangkat maka alternatif yang lain yang bisa dilakukan yakni ijabkabul melalui pesawat selluler......alamak......bisa aneh saja rasanya, kalau sinyanya kecang dan suranya terdengar jernih sih enak, semunya bisa berjalan dengan lancar, nah...klau tidak...suranya yang seharusnya berbunyi “saya terima nikahnya” bisa-bisa terdengar “saya terima ningkiknya” aiiitt!!!!........bisa runyam semuanya dan bisa menjadi bahan tertwaan para undangan kerena menyaksikan hal tersebut, hahahaha. Setelah semuanya selesai dan penandatangananpun usai, aku lanjut berkata kepada nasabuh yang sedang kuhadapi “Deny aku mintak maaf, kalu kali ini kamu agak lama menunggu. Bisa hari ini aku agak kurang konsen karena memikirkan masalah penikahan.” Pria bermata sipit ini dengan santai dan bersahabat mengtakan “santi saja, memang siapa yang mau menikah?,”sambil bertanya. “aku sendiri Den,”jawab ku singakat. “loh kenapa gak ngundang,”respon Deny sedikit terkejut. “Aku bukannya gak mua ngundang, tapi acara pernikahannya akan diselengarakan di Bangka, jadi gak mungkin aku mintak kamu datang jauh-jauh ke Bangka, ”terang ku sambil tertawa kecil. “ya sudah, kalu begitu selamat untuk mu dan maaf aku gak bisa datang, tapi nanti sebelum berangkat kamu mampir dulu kerumah ya,”pinta Deny kepada ku, setelah memahami cerita ku. Ternyata buah dari ajakannya untuk mampir ke rumah ia hanya mengucapkan selamat sekali lagi dan memberikan kado dan berkata “Akbar, aku mintak maaf kalau aku gak bisa hadir ke pesta pernikahan mu, jadi cuma ini yang bisa ku berikan dan sekali lagi selamat ya.” Aku sangat senang atas pemberian Deny, menurut ku kado yang berupa masih mentah tersebut sangat membantu ku dikala itu. Keesokan harinya dimana mamang aku sudah mengajukan cuti dan mendapatkan izin cuti, maka aku dapat dengan bebas hunting tiket pesawat terbang.....,untungnya salah satu maskapai komersil menyediakan tiket ekstra namun dengan harga yang lumayan tinggi untuk kantong ku, akan tetapi karena kebutuhan, semahal apapun tetap harus ku beli dan akhirnya aku hanya bisa beli tiga tiket pesawat dan itu artinya yang berangkat hanya tiga orang yakni mamak, kakak dan aku “sang pengantin cemas”. Tibalah hari yang dinantinanti, setelah menempuh waktu 30 menit lamanya dengan menumpang jasa pesawat terbang tujuan Palembang-Pangkalpinang sampai juga rombongan mempelai laki-laki di tanah Bangka dan setibannya aku disana langsung disambut dengan keramaian khas orang ingin mengadakan resepsi pernikahan. 17 Januari 2009, pada malam hari selepas Magrib dan menjelang Isya, dengan disaksikan para tamu undangan, aku mengucapakan Ijab Kabul yang dilanjutkan dengan membacakan ikrar pernikahan lalu diteruskan dengan penyematan cincin mas kawin dan penyerahan mas kawin berupa seperangkat alat sholat. Setelah melewati serangkaian rukun nikah, malam itu kami pun telah secara sah dan meyakinkan kalau kami telah menjadi pasangan suami-istri. Malam itu, malam yang sangat 97
menyengankan bagi kedua keluarga besar dan khusunya aku dan istri ku. Malam itu, aku tidur satu kamar dengannya dan didalam kamar kami masih tampak malu-malu seakanakan tak percaya dengan semua keindahan ini, seteleh sekian lama tak bertemu dan akhirnya bertemu kembali dan tidur bersama di satu ranjang pernikahan. Ku tutup malam itu dengan mencium kening nya sebagai tanda sayang dan cinta ku terhadap istri yang ku cintai. Keesokan harinya acara resepsi atau perayaan pernikahan digelar, kami merasa seakan-akan kami benar-benar menjadi raja sehari, kami diarak dan didampingi hingga menuju pelaminan tempat yang indah bagi para pujanga. Disambut dengan tarian daerah dan dimulai dengan melafaskan “Basmallah” aku dan istri menaiki pelaminan yang diikuti kedua keluarga pihak mempelai laki-laki dan perempuan. Sangking senangnya kami dalam buaian asmara, hingga pada saat duduk dipelaminan kami berdua asyik bercerita tanpa memperdulikan para tamu undangan yang terus berdatangan. Acara tersebut berlangsung dengan sangat ramai dan hikmat yang ditutup dengan lagu duet antara aku dan istri ku, tentunya setelah mendapatkan ucapan selamat dari para tamu undangan. Setelah acar selesai, hari-hari berikutnya kehidupan kami pun dipenuhi dengan warna-warna keindahan asmara dunia dan hasil dari buah cinta kami lahirlah bayi laki-laki yang tampan nan gagah dengan wajah copy-an dari wajah ku tapi jauh lebih ganteng dari paras babaknya. Ia Muamar Xeander lahir pada hari Kamis mejelang Magrib, tanggal 6 Januari 2012 dengan berat 3,5 kilo. Semasa kecil ia sangat bermanjah riah dan sangat dekat dengan ku, hadirnya ia dalam kehidupan kami menambah indah dan gairah hidup kami. Anak ini adalah pelitah harapan hidup ku karena ia adalah penurus cita-cita ku yang tertunda. Terasa lengkap sudah semua yang ku ingin-inginkan selama ini. Aku sangat sayang kepadanya, karena itu aku yakin dengan darah daging ku kalau ia adalah penganti ku kelak dan juga sebagai wakil ku untuk menjaga dan juga sebagai tauladan bagi adik-adiknya nanti. Dan untuk anak-anak ku kelak jadilah anak yang bermental naga jangan bermental cacing. Bersabarlah dalam menapaki hidup, menghadapi semua cobaan dan rintangan, karena pada hakekatnya cobaan itu dihadirkan oleh Allah SWT untuk manusia tidak lain tidak bukan untuk menempa karakter, jiwa, kematangan dalam berpikir dan bertindak dan juga menempa kedewasaan kita sebagai calon pemimpin masa mendatang. Maka jangan sekalikali lepas dari keyakinan dan tetaplah selalu berpegang teguh dengan tali agama yakni Islam. Kalau manusia tidak sabar sehingga mereka berani merampas semua ketentuan dari Allah, maka celakalah dia. Rezeki, jodoh dan maut semuanya telah Allah tentukan untuk manusia dan yang perlu dilakukan hanyalah menjemput semua kenikmatan itu dengan alami, jemput semuanya itu dengan berusahan dan berjuang tanpa kenel lalah dan menyerah, karena itu hukumnya wajib. Sungguh, janganlah kamu mengambil dengan cara merampas atau melampaui seswatu sementara itu belum sampai masa mu, bersabar dan tetap berusahalah singga benar-benar telah sampai masa mu. Sekali lagi jangan pernah merampas semua ketentuan dari Allah. Rezeki, jodoh dan maut, semuanya telah Allah siapkan dan tentukan dengan sangat indah dan manis untuk kita umat manusia. Aku sebagai orangtua akan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik dan menjadi panutan untuk kalian. Jangan sungkan-sungkan untuk mengekspresikan semua kemampuan kalian untuk mencapai citacita kalian dan berusahalah untuk mewujudkan cita-cita itu. Apapun cita-cita kalian, sebagai orangtua aku tetap bangga asalkan tidak bertentangan dengan norma agama dan negara, bagi ku yang terpenting adalah Agama nomor satu. Aku berusaha menghidangkan hidangan yang terbaik dan akan berusaha menjadikan dan menghadirkan syurga ditengah-tengah keluarga kita, karena hakikatnya keluarga seharusnya menjadi tempat anak-anak kita berlindung dan bermanja-manja ria saat mereka masih kecil dan menjadi tempat mereka berkeluh kesah dan curhat apa bila mereka mendapatkan masalah diluar sana. Selain sebagai fasilitator keluarga juga sebagai partner atau teman bagi mereka yang ingin mencari jati diri dalam mengasah semua potensi yang ada pada diri mereka. 98
Keluarga, terkadang bagaikan busur yang bertugas mendorong anak panah melesat terbang menuju target yang mereka inginkan dan terkadang juga sebagai sayap lebar yang menerbangkan dan mengangkat tinggi semua cita-cita dan kehormatan keluarga se-tinggi angkasa. Menjadikan Matahari dan Bulan sebagai lampunya yang cahayanya menerangi rumah siang dan malam, menjadikan bintang-bintang yang bertaburan di angkasa menjadi hiasan dekorasi didalam rumah dan menjadikan Islam sebagai pegangan hidup dunia dan akhirat. Maka jadikanlah keluarga sebagai segala seswatu untuk mereka hingga mereka menjadi seswatu dan mereka bisa menjadi manusia seutuhnya yang berjalan dengan hakikat dan kodrat yang telah ditentukan oleh Allah. Teruntuk istri ku, terimakasih kerena telah menjadi pandamping sekaligus teman dalam hidup ku dan tetaplah menjadi bidadari ku di dunia dan di syurga untuk selama-lamanya. Sering waktu yang berjalan, setelah puzzel-puzzel mesteri kehidupan ku cari, lalu ku kumpulkan, dan ku rangkai dan ku sulam dengan sederhana. Tanpa sadar aku telah melampaui batas kemampuan ku. Aku yang tahu persis dengan kemampuan yang ku miliki ternyata apa yang ku miliki sekarang sudah lebih dari cukup. Bagi ku semua impian yang tak pernah termimpikan telah tercapai semuanya, yakni istri yang cantik nan soleha dan anak yang tampan yang selalu manja kepada aku. Selain orangtua dan keluarga, hadirnya mereka dalam hidup ku, telah membuat ku seperti hidup dan tinggal disyurga “baiti min janati” Maka dari itu bagi ku Cacing ataupun Naga itu hanyalah sebuah wujud. Tak masalah siapa pun diri kita, dari keturunan mana kita berasal dan seperti apa wujud kita, yang terpenting ialah jiwa dalam wujud itu. Sebagus apapun wujud kita, sehebat apapun wujud kita, tapi jika tidak memiliki jiwa yang besar, maka celakalah. Hidup adalah pilihan, maka perindahkanlah hidup ini dengan memilih seswatu yang benar dan indah. Hidup adalah misteri, manusia adalah sang pencari misteri. Samahalnya takdir, selagi belum terwujud maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk mewujudkan takdirnya. Persisi dengan apa yang ku alami saat ini, sekarang aku sedang melanjutkan sekolah ke jenjang Magister (S2) di Yogyakarta, tempat dimana dahulu aku pernah berandai-andai untuk menlanjutkan sekolah ku kejejang perguruan tinggi S1 disana. Begitu nikmanya derita yang ku alami, terkadang hati ini menjerit dan mengatakan bahwa Allah tidak adil terhadap ku. Namun setelah itu berlalu, baru aku sadar kalau itu adalah kenikmatan yang tak terhingga untuk diri ku, kenapa tidak, karena semua hal yang ku alami merupakan proses perjalana yang penuh dengan warna-warni cerita tentang kehidupan sebelum mati yang terbentang panjang yang harus ku lalui. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan hidup ku. Banyak peristiwa yang penting yang terlewati begitu saja, yang itu membuat ku sering merasa menyesal karena kelalaian ku yang tidak menghargai waktu yang Allah berikan. Waktu ialah hidup ku, mati ku dan ibadah ku hanya karna Allah. Dan jika suatu hajat dimulai benar-benar dari bawah, maka kenikmatan yang Allah berikan benar-benar tiada batas, persis seperti Firman Allah “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan dari KU.” Walau aku tidak bangga terhadap diri ku sendiri, tapi aku tetap bangga terhadap apa yang Allah berikan untuk ku. Karena tak semua orang mengalami yang ku alami dan juga tak semua orang yang beruntung bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan yang membelit erat dileher. Sebuah proses yang menempa karakter dan juga cara pandang hidup ku dalam menapaki hidup serta menjadikan aku sebagai anak untuk berusaha lebih baik, juga sebagai seorang suami dan orangtua. Terimakasih semuanya, kerena telah menyertai perjalanan hidup ku dan mohon maaf jika aku tidak bisa sepenuhnya membahagiakan kalian dan Izinkan aku untuk kembali
kecil lagi, seperti dahulu.
99