STUDI POTENSI KAMPUNG NAGA SEBAGAI SEBUAH ECOVILLAGE
NOVITA TRESNA WIDIANTI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014 Novita Tresna Widianti NIM A44090071
ABSTRAK NOVITA TRESNA WIDIANTI. Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR. Kampung Naga dikenal sebagai suatu desa atau kampung yang sangat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya. Walaupun dikategorikan sebagai masyarakat adat yang kuat mempertahankan tradisi, masyarakat Kampung Naga bukan merupakan masyarakat yang statis dan primitif. Hal ini dapat menjadi potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Penerapan konsep ecovillage tersebut, bertujuan untuk melestarikan suatu lanskap sebagai kampung tradisional dan mendukung keberlanjutannya. Untuk mengetahui karakteristik lanskap tradisional Kampung Naga adalah observasi langsung dan studi literatur. Metode yang digunakan untuk mengetahui potensi ecovillage di Kampung Naga adalah analisis probabilitas dengan Koefisien Kappa. Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan masyarakat menggunakan Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) dari GEN (Global Ecovillage Network). Dari hasil analisis metode tersebut didapat bahwa Kampung Naga sangat berpotensi untuk penerapan konsep ecovillage dan tingkat penerapannya menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Rekomendasi yang dapat dilakukan adalah optimalisasi potensi konsep ecovillage yang telah diterapkan dan menggunakan aspek legal untuk mempertahankan keberlanjutan kampung. Kata kunci: Kampung Naga, keberlanjutan masyarakat, model ecovillage
ABSTRACT NOVITA TRESNA WIDIANTI. The Study of Potential of Kampung Naga as an Ecovillage. Supervised by ARIS MUNANDAR. Kampung Naga as known as a village that always maintain the inheritance traditions of their ancestors. Although, Kampung Naga has categorized as traditional community that always maintain their inheritance traditions, they are not static and primitive community. It can be a potential to demonstrate ecovillage concept application in Kampung Naga. That concept purposed to conserve the landscape as traditional village and to support the sustainability. To find out the characteristic of traditional landscape of Kampung Naga was conducted obsevation and literature. The method that used to find out the Kampung Naga’s ecovillage potensial is probability analysis with Kappa coefficient. The method that used to find out the level of community sustainability is Community Sustainability Assessment (CSA) from GEN (Global Ecovillage Network). Based on the analysis result, Kampung Naga is very potential for application of ecovillage concept and the level of the application is indicate a good start toward sustainability. The recommendation for sustainability is maximize the potential of ecovillage concept that has been applicated and used the legal aspect to maintain the sustainability of the village. Keywords: community sustainability, ecovillage model, Kampung Naga
STUDI POTENSI KAMPUNG NAGA SEBAGAI SEBUAH ECOVILLAGE
NOVITA TRESNA WIDIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Skripsi : Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage Nama : Novita Tresna Widianti NIM : A44090071
Disetujui oleh
Dr Ir Aris Munandar, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage” ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dalam rangka penyelesaian studi di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi 2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing akademik 3. Pak Tatang selaku pemandu wisata di Kampung Naga yang telah banyak memberikan informasi mengenai Kampung Naga 4. Warga Kampung Naga yang membantu penulis dalam mengumpulkan informasi 5. Pihak pemerintahan Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat 6. Dinas-dinas pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya 7. Segenap keluarga dan teman-teman ARL 46 yang telah memberikan dukungannya terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak Kampung Naga dan dapat menjadi masukan pengelolaan Kampung Naga.
Bogor, April 2014 Novita Tresna Widianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Batasan Penelitian
5
Metode Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Kondisi Umum Kampung Naga
10
Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga
11
Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga
27
Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga
28
Rekomendasi Pengelolaan
49
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
53
Saran
53
DAFTAR PUSTAKA
54
LAMPIRAN
56
Lampiran 1
56
Lampiran 2
56
RIWAYAT HIDUP
79
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kriteria penilaian keberlanjutan masyarakat Koefisien kappa Jenis vegetasi pada area permukiman Jenis vegetasi pada lahan budidaya Jenis vegetasi pada hutan alami yang dapat dimanfaatkan Hasil olahan data potensi ecovillage di Kampung Naga Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek ekologis 8. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek sosial-ekonomi 9. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek spiritual-budaya 10. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari semua aspek
8 9 13 14 15 27 28 39 45 48
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pikir penelitian 2. Lokasi penelitian 3. Tahapan penelitian 4. Diagram comfort zone 5. Retaining wall dari material batu kali 6. Badan air di Kampung Naga 7. Vegetasi pada area permukiman Kampung Naga 8. Fungsi vegetasi di Kampung Naga 9. Ilustrasi keragaman tanaman pada lanskap Kampung Naga 10. Keragaman satwa di Kampung Naga 11. Konsep ruang ecovillage 12. Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga 13. Rumah panggung Kampung Naga 14. Peta pola penggunaan lahan 15. Jenis anyaman pada rumah Kampung Naga 16. Pola umum bangunan rumah Kampung Naga 17. Kegiatan menjemur dan menumbuk padi 18. Kerajinan dari Kampung Naga 19. Upacara adat Hajat Sasih 20. Alat ritual panen padi 21. Tempat memasak (hawu) masyarakat Kampung Naga 22. Penanaman di dalam barang bekas 23. Contoh tata ruang permukiman Kampung Naga 24. Tempat sampah di Kampung Naga 25. Kondisi tempat MCK di Kampung Naga 26. Bagan alir limbah cair (a) dan ilustrasinya (b) 27. Penggunaan panel surya dan aki di Kampung Naga 28. Kegiatan sehari-hari masyarakat Kampung Naga 29. Contoh desain vertikultur bambu dan ilustrasinya
3 4 6 11 12 12 14 15 16 17 18 18 19 20 21 22 23 23 25 26 26 30 32 34 35 37 38 47 50
DAFTAR LAMPIRAN 1. Kuesioner Eksplorasi Potensi Ecovillage Menurut Masyarakat Kampung Naga 2. Panduan Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA)
56 56
PENDAHULUAN Latar Belakang Kampung Naga berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga merupakan salah satu desa adat yang berada di Jawa Barat. Kampung Naga dikenal sebagai suatu desa atau kampung yang sangat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya. Namun, walaupun dikategorikan sebagai masyarakat adat yang kuat mempertahankan tradisi, masyarakat Kampung Naga bukan merupakan masyarakat yang statis dan primitif. Ketradisionalan masyarakat Kampung Naga tidak berarti menggambarkan keterisolasiannya dari dunia luar baik dari aspek geografis, sosial, maupun budaya. Di samping merupakan daerah terbuka untuk dikunjungi, banyak di antara masyarakat Kampung Naga yang selalu keluar masuk kampung seperti untuk keperluan berdagang dan keperluan lainnya. Selain itu, Kampung Naga juga merupakan salah satu daerah kunjungan wisata di daerah Jawa Barat (Aziz, 2002). Sebagai kampung adat yang selalu mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur, Kampung Naga memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang baik dalam mengelola setiap aspek di dalam kampungnya. Di dalam kegiatan sehari-harinya, masyarakat Kampung Naga juga selalu mempertimbangkan lingkungan alamnya. Selain itu, wilayah Kampung Naga dilewati oleh Sungai Ciwulan yang menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciwulan. Sungai Ciwulan merupakan sumber air bersih bagi pertanian masyarakat Kampung Naga dan desa sekitarnya, sehingga kualitas airnya harus dilestarikan. Oleh karena itu, kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga yang selalu selaras dengan alam dapat mendukung kelestarian Sungai Ciwulan tersebut. Hal ini dapat menjadi potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Penerapan konsep ecovillage tersebut, bertujuan untuk melestarikan suatu lanskap dan mendukung keberlanjutannya. Menurut Global Ecovillage Network (GEN) (2000), ecovillage adalah komunitas dari masyarakat di kota maupun di desa yang berusaha untuk mengintegrasikan kehidupan sosial dengan gaya hidup yang minim dampak. Untuk mencapai konsep ecovillage, dapat dipadukan dengan berbagai aspek, seperti aspek desain ekologi, permakultur, bangunan ekologi, produksi ramah lingkungan, energi alternatif, latihan penguatan komunitas, dan banyak lagi. Ecovillage merupakan suatu cara hidup yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam bahwa segala sesuatu dan segala makhluk saling berhubungan. Secara filosofi ecovillage dibangun dari berbagai macam kombinasi dari ketiga prinsip dasar yaitu ekologi, sosial, dan spiritual. Terdapat tiga komponen kunci terkait dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Setiap komponen ini berfokus pada kesetaraan dan kemasadepanan (Benson dan Roe, 2000 dalam Arafat, 2010). Oleh karena itu, diharapkan penerapan konsep ecovillage dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat tanpa menghilangkan budaya dan kearifan lokal, serta tetap mempertahankan keberlanjutan lingkungan. Konsep ecovillage sendiri sangat tepat untuk diterapkan di Kampung Naga. Namun saat ini belum dapat dipastikan bahwa Kampung Naga sudah menerapkan
2 konsep ecovillage atau belum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana penerapan konsep ecovillage yang ada di Kampung Naga dan potensi-potensi kampungnya untuk penerapan konsep ecovillage di masa mendatang. Selanjutnya akan dibuat suatu rekomendasi pengelolaan Kampung Naga berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga tersebut, sehingga Kampung Naga dapat dijadikan sebuah contoh atau model suatu lanskap desa yang berbasis ecovillage. Tujuan Penelitian Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. mengidentifikasi dan menganalisis potensi konsep ecovillage dan tingkat penerapannya di Kampung Naga, dan 2. menyusun rekomendasi pengelolaan Kampung Naga berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutannya. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. diharapkan supaya masyarakat Kampung Naga dapat mempertahankan nilainilai yang telah diterapkan dan dapat memanfaatkan hasil kajian ini untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga itu sendiri, dan 2. dapat menjadikan Kampung Naga sebagai salah satu contoh kampung adat yang berbasis ecovillage. Kerangka Pikir Penelitian Secara umum, penelitian ini mengangkat topik mengenai pelestarian lanskap Kampung Naga dengan mengambil konsep ecovillage. Namun, dalam penelitian ini akan dilakukan ground check terlebih dahulu untuk mempelajari tingkat penerapan ecovillage yang sudah ada. Lalu akan dilakukan pengambilan data persepsi masyarakatnya mengenai konsep ecovillage untuk menilai potensi ecovillage dari sudut pandang masyarakatnya. Setelah itu akan dibuat suatu rekomendasi pengelolaan Kampung Naga yang berbasis ecovillage, dan Kampung Naga juga dapat dijadikan sebagai contoh atau model kampung yang berbasis ecovillage. Kerangka pikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
3 Kampung Naga Kampung Tradisional dan Desa Adat Bagian Hulu DAS Ciwulan Usaha Pelestarian dengan Konsep Ecovillage
Aspek Ekologis
Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga
Aspek SosialEkonomi
Potensi Penerapan Ecovillage menurut Masyarakat
Aspek SpiritualBudaya
Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga
Rekomendasi Pengelolaan Kampung Naga Berbasis Ecovillage
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan selama dua puluh delapan minggu terhitung mulai minggu pertama bulan April hingga bulan Desember 2013. Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4.
1. 2.
3.
Alat yang digunakan pada proses penelitian adalah: Alat tulis untuk mencatat setiap informasi yang didapat selama proses penelitian Kamera untuk mendokumentasikan kondisi di tempat penelitian Alat perekam untuk merekam pembicaraan pada proses wawancara Jenis Software pembantu untuk menunjang pengolahan data antara lain Microsoft Office Word 2007, AutoCAD 2010, dan Adobe Photoshop CS3 Bahan yang digunakan pada proses penelitian adalah: Peta dasar kawasan Kampung Naga untuk digunakan dalam proses analisis pengelolaan secara spasial Kuesioner dan panduan wawancara yang akan diberikan kepada masyarakat, pemuka adat, serta pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan kawasan Kampung Naga Studi pustaka yang terkait Kampung Naga dan ecovillage.
Gambar 2 Lokasi penelitian (Sumber: google earth dan hasil pengolahan penulis)
5 Batasan Penelitian Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. menghasilkan sebuah studi atau kajian mengenai evaluasi potensi penerapan ecovillage di Kampung Naga, baik yang sudah maupun yang belum diterapkan; 2. membuat rekomendasi pengelolaan Kampung Naga yang berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga. Metode Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam empat tahap yaitu tahap persiapan, pengumpulan data (inventarisasi), analisis data, dan sintesis. Tahap persiapan mencakup kegiatan pengumpulan informasi melalui studi pustaka yang diperlukan untuk memulai penelitian. Tahap pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data primer mengenai tapak dengan menggunakan metode pengamatan langsung (survei), wawancara dan kuesioner untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang diaplikasikan masyarakatnya. Kegiatan wawancara dimulai dengan mewawancarai tokoh-tokoh atau pemuka adat yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan di Kampung Naga, selanjutnya wawancara dilakukan kepada masyarakatnya. Tahap selanjutnya yaitu pengolahan data dengan menganalisis setiap aspek yang telah didapatkan, lalu dilakukan tahap sintesis untuk membuat rencana pengelolaan Kampung Naga berbasis ecovillage. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh atau model bagi kampung lain. Berikut adalah penjelasan dari tahapan penelitian yang dilakukan (Gambar 3):
6 Persiapan Penentuan topik (Konsep Desa Berkelanjutan/Ecovillage) dan lokasi penelitian (Kampung Naga) Pengumpulan data sekunder Inventarisasi
Analisis
Karakter lanskap tradisional Kampung Naga
Potensi Ecovillage berdasarkan Persepsi Masyarakat
Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM)
observasi lapang dan studi pustaka
pengisian kuesioner potensi ecovillage
wawancara mendalam dan observasi lapang dengan panduan kuesioner PKM
Analisis deskriptif kondisi fisik dan biofisik
Konsep probabilitas rumus Koefisien Kappa
Analisis deskriptif keberlanjutan masyarakat
Penentuan potensi ecovillage dan tingkat keberlanjutan masyarakat Analisis dan identifikasi potensi dan kendala berdasarkan kosep desa berkelanjutan/Ecovillage Sintesis
Penyusunan rekomendasi pengelolaan Kampung Naga berdasarkan kosep desa berkelanjutan/Ecovillage
Gambar 3 Tahapan penelitian Tahap Persiapan Tahap persiapan mencakup kegiatan pengumpulan informasi melalui studi pustaka yang diperlukan melalui kepustakaan/dokumen yang dapat diperoleh dari beberapa pihak yang terkait. Hasil studi pustaka berupa informasi tentang kondisi lokasi penelitian, sejarah Kampung Naga, budaya/perilaku masyarakat penghuni lokasi penelitian, dan kebijakan-kebijakan yang berlaku di lokasi penelitian. Tahap Pengumpulan Data (Inventarisasi) Tahap pengumpulan data dilakukan untuk mengidentifikasi karakter lanskap tradisional Kampung Naga berupa kondisi fisik dan biofisik Kampung Naga, potensi ecovillage berdasarkan persepsi masyarakat, dan keberlanjutan masyarakat Kampung Naga. Berikut metode yang dilakukan untuk mendapatkan data tersebut:
7 A. Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga Karakter lanskap yang diamati pada penelitian ini berdasarkaan konsep ecovillage, yaitu karakter ekologis berupa kondisi fisik dan biofisik lanskapnya seperti iklim, tanah dan topografi, vegetasi dan satwa, serta pola penggunaan lahan, pola permukiman, dan arsitektur bangunan; karakter sosialekonomi; dan karakter spiritual-budaya yang ada di Kampung Naga. Metode yang dilakukan adalah observasi langsung di lokasi penelitian dan studi pustaka sebagai data sekunder. B. Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga Potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga dinilai berdasarkan persepsi masyarakatnya menggunakan sistem kuesioner, lalu dianalisis menggunakan metode pobabilitas koefisien Kappa (Hengky, 2006). Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai parameter ecovillage yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di tapak. Parameter tersebut adalah adanya nilai-nilai ekologis, sosial, spiritual, dan ekonomi. Responden dari kuesioner tersebut adalah 30 warga Kampung Naga yang dipilih secara acak. Contoh kuesioner untuk eksplorasi potensi ecovillage dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil perhitungan ini didapat suatu nilai statistik Kappa yang menunjukkan kekuatan persetujuan responden terhadap parameter yang disesuaikan dengan konsep ecovillage itu sendiri. Sehingga didapat hasil dimana Kampung Naga tersebut mempunyai potensi atau tidak terhadap penerapan konsep ecovillage berdasarkan persepsi masyarakatnya. C. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga Keberlanjutan masyarakat Kampung Naga menggunakan metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA). Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu masyarakat dalam kerangka ecovillage yang dibuat oleh Global Ecovillage Network (GEN) berupa serangkaian pertanyaan yang diberi pembobotan. Materi yang digunakan adalah panduan wawancara baku PKM dari GEN (2000) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurlaelih (2005) (Lampiran 2). Dalam metode PKM aspek yang akan dinilai adalah aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritualbudaya. Data diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan observasi langsung sesuai dengan materi yang ada di dalam panduan wawancara dan observasi PKM/CSA. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penjumlahan skor tingkat komponen aspek, penjumlahan skor tingkat aspek, dan penjumlahan skor total ketiga aspek. Pada setiap tingkat, nilai dibobot menjadi tiga kategori. Kriteria penilaian dapat pembobotan dapat dilihat pada Tabel 1.
8 Tabel 1 Kriteria penilaian keberlanjutan masyarakat Parameter Aspek Ekologis 1 Sense of place 2 Ketersediaan, produksi, dan distribusi makanan 3 Infrastruktur, bangunan dan transportasi 4 Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat 5 Air-sumber mutu, dan pola penggunaan 6 Limbah cair dan pengelolaan polusi air 7 Sumber dan penggunaa energi Total nilai aspek ekologis Aspek Sosial-Ekonomi 1 Keterbukaan, kepercayaan, keselamatan; ruang bersama 2 Komunikasi, aliran gagasan, dan informasi 3 Jaringan pencapaian dan jasa 4 Keberlanjutan sosial 5 Pendidikan 6 Pelayanan kesehatan 7 Keberlanjutan ekonomi-ekonomi lokal yang sehat Total nilai aspek sosial Aspek Spiritual-Budaya 1 Keberlanjutan budaya 2 Seni dan kesenangan 3 Keberlanjutan spiritual 4 Keterikatan masyarakat 5 Gaya pegas masyarakat 6 Holografik baru, pandangan dunia 7 Perdamaian dan kesadaran global Total nilai aspek spiritual Total nilai aspek keseluruhan
Bobot * * * * * * * ** * * * * * * * ** * * * * * * * ** ***
Keterangan: 1. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (*) 50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan 2. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (**) 333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan 3. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (***) 999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan
Tahap Analisis A. Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga Karakter lanskap tradisional Kampung Naga dianalisis dengan membandingkan keadaan aktual pada lokasi penelitian dan keadaan ideal yang sesuai dengan standar-standar untuk mencapai suatu perkampungan yang berkelanjutan berdasarkan referensi yang dikumpulkan secara deskriptif. Pembandingan ini dapat menjadi gambaran potensi dan kendala pada lokasi penelitian dalam pengembangan konsep keberlanjutan.
9 B. Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga Potensi ecovillage yang dinilai berdasarkan persepsi masyarakat Kampung Naga dianalisis menggunakan konsep probabilitas atau peluang dengan rumus koefisien Kappa menurut Hengky (2006). Dari hasil analisis tersebut, didapat nilai statistik Kappa yang menunjukkan kekuatan persetujuan masyarakatnya mengenai potensi ecovillage dan menghasilkan ada-tidaknya potensi penerapan ecovillage di Kampung Naga berdasarkan persepsi masyarakatnya. Berikut adalah penjelasan dari metode analisis Koefisien Kappa: PA − Pc K= 1 − Pc Keterangan: PA = perbandingan unit yang disetujui responden Pc = perbandingan unit yang dengan persetujuan diharapkan akan berubah, perubahan tersebut berupa keraguan penilaian, persepsi, dan pemahaman responden. Selanjutnya, Landish dan Koch (1977) dalam Hengky (2006) mengartikan kemungkinan beberapa perbandingan untuk menginterpretasikan Koefisien Kappa (Tabel 3): Tabel 2 Koefisien kappa Kappa Statistik <0.00 0.00-0.20 0.21-0.40 0.41-0.60 0.61-0.80 0.81-1.00
Kekuatan Persetujuan Tidak ada potensi Belum ada potensi Kurang ada potensi Hampir ada potensi Cukup ada potensi Ada potensi
C. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga Metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) dianalisis secara deskriptif dengan cara menjabarkan seluruh aspek yang menjadi potensi dan kendala terhadap penerapan konsep ecovillage dalam GEN, 2000, di Kampung Naga sesuai dengan materi yang ada di dalam panduan. Hasil analisis juga disesuaikan dengan standar-standar yang telah ada mengenai desa berkelanjutan (ecovillage). Tahap Sintesis Sintesis dilakukan sebagai tahapan pengolahan hasil analisis. Jika dari hasil analisis menunjukkan bahwa konsep ecovillage belum sepenuhnya diterapkan di Kampung Naga dan menurut persepsi masyarakat ada potensi untuk menerapkan konsep ecovillage, maka dibuat rekomendasi pengelolaan Kampung Naga yang berbasis ecovillage. Jika hasil analisis menunjukkan bahwa ternyata konsep ecovillage sudah diterapkan di Kampung Naga, maka tetap dibuat rekomendasi pengelolaannya yang berbasis ecovillage agar memiliki dampak positif dan tetap berkelanjutan.
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Kampung Naga Nenek moyang (karuhun) yang paling berperan dan berpengaruh bagi masyarakat Kampung Naga, yaitu tokoh yang dianggap mendirikan Kampung Naga oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Sembah Dalem Singaparna atau Eyang Singaparna dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Hingga kini makamnya dikeramatkan dan selalu diziarahi pada saat upacara adat serta mendapat penghormatan dari seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang tinggal di dalam maupun di luar kampung (Herawati, 2001 dalam Yulianingsih, 2002). Secara pasti penduduk Kampung Naga termasuk kuncennya tidak mengetahui berdirinya Kampung Naga, tetapi diperkirakan sekitar abad XII sebelum agama Islam berkembang. Menurut salah seorang pengelola Kampung Naga, leluhur (karuhun) Kampung Naga yaitu Sembah Dalem Singaparna merupakan teureuh Galunggung (keturunan Raja Galunggung) yang terakhir. Sejarah Kerajaan Galunggung sendiri dalam kenyataannya tidak banyak dikenal secara meluas termasuk oleh masyarakat Jawa Barat sendiri. Hal tersebut dikarenakan langkanya bukti tertulis, baik berupa prasasti maupun naskah-naskah kuno lainnya. Salah satu bukti tersebut disimpan di suatu tempat yang disebut bumi ageung, yaitu bangunan yang menyimpan arsip-arsip yang ditulis pada daun lontar dengan huruf Sunda Kuno, yang berisi tulisan-tulisan mengenai leluhur Kampung Naga. Namun, arsip-arsip tersebut ikut terbakar dalam peristiwa pemberontakan DI/TII pada tahun 1956 (Widianingsih, 1996 dalam Yulianingsih, 2002). Tetapi diduga nama Kampung Naga berasal dari nama pasukan Kerajaan Mataram yang diutus oleh Sultan Agung (1628-1629) untuk bertempur melawan penjajah Belanda. Sebagian dari pasukan ini mendirikan basis penyedia makanan bagi pasukan yang sedang bertempur. Lama kelamaan tempat tersebut berkembang menjadi Kampung Naga (Rajagukguk, 1999 dalam Yulianingsih, 2002). Ada pula informasi dari pihak pengelola yang mengatakan bahwa, nama Kampung Naga berasal dari kata na gawir yang berarti berada di tempat yang menggantung, karena letak Kampung Naga yang berada di lembah. Lalu lama-kelamaan kata tersebut menjadi kata naga, dan disisipkan kata “kampung”, lalu terbentuklah kata Kampung Naga. Letak Geografis dan Administratif Kampung Naga Permukiman Kampung Naga secara geografis terletak pada 7°21'49" LS, 107°59'40" BT. Wilayah permukiman Kampung Naga memiliki luas 1.5 ha dengan batas wilayah bagian barat makam dan hutan keramat, bagian timur oleh hutan larangan, sungai Ciwulan dan wilayah Kecamatan Cigalontang, bagian selatan dan utara dibatasi oleh parit kecil dan sawah milik masyarakatnya. Secara administratif permukiman ampung Naga termasuk ke dalam wilayah RT 01 Dusun Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Popinsi Jawa Barat.
11 Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga Karakter Ekologis A. Iklim Suhu rata-rata harian Kampung Naga sekitar 21.5-23°C. Udaranya cukup sejuk, karena kondisinya yang masih alami dan masih banyaknya vegetasi di sekitar kampung. Kelembaban di Kampung Naga berkisar 69-97 % (bmkg.go.id). Lokasi Kampung Naga yang berada di lembah dan tidak adanya kendaraan bermotor menyebabkan kualitas udara masih baik. Curah hujan rata-rata tahunan Kampung Naga sekitar 1600mm/tahun (Profil Desa Neglasari). Aliran udara di sekitar bangunan cukup lancar karena letak bangunan yang saling menghadap Utara-Selatan, sehingga terdapat celah diantara rumah untuk udara yang mengalir. Oleh karena itu kondisi sekitar bangunan cukup nyaman. Dilihat dari suhu udara dan kelembaban di Kampung Naga, maka lanskap Kampung Naga termasuk ke dalam daerah yang nyaman untuk udara berdiam berdasarkan diagram daerah nyaman atau comfort zone manurut Frick dan Suskiyatno (2007) (Gambar 4).
Gambar 4 Diagram comfort zone (Sumber: Frick dan Suskiyatno, 2007) B. Tanah dan Topografi Jenis tanah di Kampung Naga adalah latosol coklat kemerahan. Permukiman Kampung Naga diapit oleh perbukitan yang membujur dari timur ke barat dengan kemiringan 45o dan berada pada suatu lembah dengan ketinggian 690 mdpl. Untuk mencegah longsor, sejak dulu masyarakat Kampung Naga telah membuat undakan seperti terasering untuk mengatasi lahannya yang miring dengan menggunakan retaining wall yang terbuat dari batu kali (Gambar 5). Untuk menghindari longsor pada area dengan kemiringan curam, masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan lahan tersebut untuk pertanian, namun lahan tersebut ditanami vegetasi pohon tinggi dan bambu secara alami. Area pertanian juga berada di lahan yang miring, namun kemiringannya tidak terlalu curam. Oleh karena itu pada area sawah dibuat bertingkat atau terasering.
12
Gambar 5 Retaining wall dari material batu kali (Sumber: Survei lapang) C. Hidrologi Aspek hidrologi ini berkaitan dengan air di dalam lanskap kampung Naga. Menurut Simond dan Starke (2006), air dalam lanskap berfungsi sebagai irigasi, transportasi, mengubah iklim mikro, habitat vegetasi dan satwa, untuk rekreasi, dan terdapat nilai keindahan. Di Kampung Naga, air digunakan untuk irigasi sawah, kebutuhan minum, cuci dan mandi, dan sebagai habitat vegetasi dan satwa. Badan air yang ada di Kampung Naga adalah sungai Ciwulan yang terletak di sebelah Timur permukiman Kampung Naga, dan kolam-kolam ikan yang terletak di sebelah Timur-Utara-Selatan permukiman Kampung Naga yang disebut balong dalam Bahasa Sunda (Gambar 6).
Gambar 6 Badan air di Kampung Naga (Sumber: Survei lapang) Sumber air yang digunakan warga Kampung Naga berasal dari saluran air buatan dari mata air, yang disebut Saluran Garunggang dan ada yang langsung diairi dari Sungai Ciwulan. Air ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari warga seperti minum, cuci, dan mandi. Selain itu, air digunakan untuk mengairi kolamkolam dan sawah warga. Saluran Garunggang dibuat oleh masyarakat Desa Neglasari secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih desanya. Air yang berasal dari Saluran Garunggang biasanya digunakan untuk keperluan air bersih seperti minum, mandi, dan cuci. Sedangkan air yang berasal dari pengairan Sungai Ciwulan biasanya digunakan untuk keperluan irigasi sawah dan kolamkolam ikan. Adanya tanaman-tanaman berupa pepohonan tinggi di sekitar sumber saluran air membuat kelestarian sumber air tersebut tetap terjaga. Pada konsep ekologis, air hujan sebaiknya kembali terserap ke dalam tanah. Aliran permukaan atau run-off sebaiknya dicegah, sehingga air hujan tidak langsung mengalir ke badan air dan dapat kembali ke dalam tanah. Pada area permukiman, masyarakat Kampung Naga membuat selokan atau parit kecil di antara rumah-rumah untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada tapak agar
13 daerah sekitar rumah-rumah tetap kering dan terhindar dari banjir. Air yang mengalir dari area permukiman akan diteruskan hingga ke kolam ikan. Prinsip pengaliran air tersebut sama seperti prinsip sumur resapan, yaitu menyalurkan dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah dan dapat mengatasi masalah run-off (Kusnaedi, 2006). Selain itu, toilet atau kamar mandi tidak berada di sekitar bangunan rumah, melainkan di luar area permukiman, sehingga tanah di sekitar bangunan rumah tetap kering. Namun perlu penelitian lebih lanjut mengenai penyerapan air hujan di Kampung Naga. Selain itu, untuk menghindari adanya genangan akibat air hujan, terdapat saluran seperti parit kecil di area sekitar bangunan juga, sehingga air yang belum terserap ke dalam tanah akan mengalir ke area kolam. Wilayah Kampung Naga berada pada bagian hulu DAS Ciwulan, sehingga kualitas ekologi di Kampung Naga cukup berpengaruh pada area DAS bagian hilir. D. Vegetasi dan Satwa Vegetasi pada lanskap Kampung Naga sebagian besar digunakan untuk kebutuhan pangan. Vegetasi terdapat pada area permukiman, lahan sawah, pematang sawah, dan hutan alami di Kampung Naga. Vegetasi pada area permukiman biasanya untuk keperluan bumbu dapur (Gambar 7). Luas area permukiman hanya 1.5 ha sejak masa leluhur Kampung Naga. Area permukiman seluas 1.5 ha itu disebut sebagai kandang jaga dan merupakan lahan dengan kepemilikan adat. Area 1.5 ha digunakan untuk tempat bangunan rumah, sehingga lahan kosong untuk ditanami vegetasi kurang. Vegetasi yang ditanam di sekitar bangunan rumah juga merupakan milik bersama, karena lahan yang digunakan adalah tanah adat, bukan kepemilikan pribadi. Vegetasi yang terdapat pada area permukiman ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis vegetasi pada area permukiman No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama Lokal Sirih Pepaya Singkong Kembang Sepatu Kunyit Kapulaga Tomat Hanjuang Nanas Pisang
Nama Latin Piper bettle Carica papaya Manihot esculenta Hibiscus rosasinensis Curcuma domestica Amomum Cardamomum Solanum lycopersicum Cordyline terminalis Ananas comosus Musa paradisiacal
Famili Piperaceae Caricaceae Euphorbiaceae Malvaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Solanaceae Laxmanniaceae Bromeliaceae Musaceae
Vegetasi dominan yang terdapat di area permukiman adalah Kapulaga (Amomum Cardamomum). Vegetasi kapulaga cukup banyak ditanam di area permukiman. Menurut salah satu masyarakat Kampung Naga, tanaman kapulaga digunakan untuk kebutuhan dapur dan untuk konsumsi pribadi, namun sebagian hasil panen kapulaga juga dijual ke luar Kampung Naga. Hal ini dapat menjadi potensi nilai ekonomi tanaman untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya.
14
(a) (b) Gambar 7 Vegetasi pada area permukiman Kampung Naga (a) nanas dan (b) kapulaga (Sumber: Survei Lapang) Vegetasi di Kampung Naga juga terdapat pada lahan budidaya. Pada lahan budidaya, vegetasi utama adalah padi, karena lahan budidaya seluruhnya adalah lahan sawah. Namun, masyarakat Kampung Naga memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami vegetasi seperti pisang dan kelapa. Vegetasi padi yang ditanam adalah varietas asli Kampung Naga yang disebut oleh masyarakat Kampung Naga dengan pare ageung. Disebut pare ageung karena bulir padi berukuran agak besar. Padi merupakan vegetasi yang dikonsumsi secara pribadi, namun terdapat masyarakat yang menjual sebagian hasil panennya untuk memperoleh penghasilan tambahan. Menurut prinsip masyarakat Kampung Naga, padi atau beras merupakan hal yang sangat penting. Jika masyarakat mempunyai beras, maka mereka akan merasa tenang dan tercukupi kebutuhan pokoknya, sehingga fungsi utama penanaman padi di Kampung Naga adalah untuk mempertahankan ketahanan pangan kampungnya, bukan untuk meningkatkan nilai ekonomi. Vegetasi pada lahan budidaya ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis vegetasi pada lahan budidaya No 1. 2.
Nama Lokal Sengon Bambu
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Picung/kluwek Kelapa Singkong Kirinyuh Afrika Petai Manggis Aren Pisang Kakao Kapulaga Padi Pangkas Kuning Patah Tulang
(Sumber: Yulianingsih, 2002)
Nama Latin Paraseriantes falcataria Gigantochloa sp. Bambusa sp. Pangium edule Cocos nucifera Manihot esculenta Eupatorium odoratum Maesopsis eminii Parkia speciosa Garcinia mangostana Arenga pinnata Musa paradisiacal Theobroma cacao Amomum cardamomum Oryza sativa Duranta sp. Pedilathus titymaloides
Famili Fabaceae Graminae (Poaceae) Flacourtiaceae Palmae Euphorbiaceae Asteraceae Rhamnaceae Fabaceae Guttiferae Palmae Musaceae Malvaceae Zingiberaceae Poaceae Verbenaceae Euphorbiaceae
15 Vegetasi pada area dengan kemiringan lahan yang curam merupakan vegetasi pohon tinggi yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanaman warga. Vegetasi di lahan hutan alami ini biasanya dimanfaatkan untuk material bangunan di Kampung Naga. Selain itu terdapat vegetasi bambu yang digunakan untuk bangunan rumah, toilet dan kerajinan tangan. Vegetasi pada hutan alami ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis vegetasi pada hutan alami yang dapat dimanfaatkan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Lokal Sembung Durian Bangban Banen Kosta Bambu Apus Bambu Gombong Sengon Suren Kiara Salam Rotan Aren Paku anam Tepus
Nama Latin Blumea balsamifera Durio zibethinus Donax canniformis Cryteronia paniculata Jatropha curcas Gigantochloa apus Gigantochloa verticillata Paraseriantes falcataria Toona sureni Ficus glabela Eugenia polyantha Calamus orratus Arenga pinnata Gleichemia linearis Achasma walanga
Famili Asteraceae Bombaceae Cannaceae Crypteroniceae Euphorbiaceae Graminae Graminae Fabaceae Meliaceae Moraceae Mytaceae Palmae Palmae Shizaceae Zingiberaceae
(Sumber: Yulianingsih, 2002) Di dalam lanskap Kampung Naga, fungsi vegetasi yang dapat diidentifikasi adalah pelindung lereng pada daerah pinggir sungai dan pembatas (border) (Gambar 8). Untuk pelindung lereng, vegetasi yang digunakan adalah vegetasi pohon tinggi atau vegetasi tahunan, dan untuk vegetasi pada border antara lain: pangkas kuning (Duranta sp.) dan kapulaga (Amomum Cardamomum). Area di sekitar permukiman Kampung Naga masih cukup alami, yang berupa sawah yang ditanami tanpa menggunakan bahan kimia dan hutan yang selalu dilindungi dengan kearifan lokal, sehingga keragaman vegetasi masih tinggi, dan hal tersebut dapat menjadi potensi keanekaragaman hayati yang perlu dipertahankan. Masyarakat Kampung Naga juga sudah menerapkan sistem tanam kembali apabila ada tanaman yang diambil untuk digunakan sebagai material bangunan, sehingga kearifan lokal dan sistem ekologis dapat sejalan.
(a) (b) Gambar 8 Fungsi vegetasi di Kampung Naga, sebagai pelindung lereng (a) dan border (b) (Sumber: Survei lapang)
16 Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciwulan, Wilayah Sungai Ciwulan-Cilaki, sehingga keragaman strata vegetasi yang ada harus mendukung keberlanjutan DAS tersebut. Menurut Arifin, Munandar, dan Arifin (2008) pengelolaan daerah hulu DAS diperioritaskan pada upaya penurunan tingkat erosi, perbaikan sistem drainase, penanganan limbah padat dan limbah cair, penataan ruang luar pada lingkungan rumah, penyediaan ruang publik serta pembangunan sistem resapan air untuk penyedia air bersih. Salah satu usaha untuk pengendalian erosi pada lahan miring adalah keragaman tanaman. Berikut adalah ilustrasi keragaman tanaman yang ada di Kampung Naga (Gambar 9). Selain itu, pada daerah hulu DAS, praktik agroforestri sangat cocok untuk diaplikasikan. Di Kampung Naga, konsep agroforestri sudah dilakukan pada area lahan budidaya. Vegetasi di lahan budidaya didominasi dengan padi, namun terdapat tanaman Aren (Arenga pinnata), Kelapa (Cocos nucifera), dan Pisang (Musa paradisiacal).
Gambar 9 Ilustrasi keragaman tanaman pada lanskap Kampung Naga (Sumber: Survei lapang dan hasil pengolahan penulis)
17 Satwa pada lokasi penelitian sebagian besar merupakan hewan ternak (Gambar 10). Hewan ternak yang terdapat di Kampung Naga berupa ayam, domba, kambing, ikan mas, dan ikan bawal air tawar. Hewan ternak tersebut bisa dijadikan sebagai bahan makanan dan ada pula untuk dijual lagi oleh pemiliknya.
Gambar 10 Keragaman satwa di Kampung Naga (Sumber: Survei lapang) E. Pola Penggunaan Lahan, Pola Permukiman dan Arsitektur Bangunan Pola umum lanskap Kampung Naga adalah area permukiman pada bagian tengah kampung, dan lahan budidaya berada di sekeliling area permukiman (Gambar 11). Letak bangunan rumah berkelompok tanpa ada pagar pembatas antar-rumah, sehingga bangunan rumah di Kampung Naga tidak memiliki pekarangan. Vegetasi yang ditanam di lahan kosong di sekitar bangunan rumah menjadi milik bersama. Lahan budidaya terdiri atas kolam-kolam ikan, sawah, dan vegetasi pohon yang dapat dimanfaatkan. Kolam-kolam ikan terletak di sekeliling area permukiman, dan area sawah terletak di sekeliling area kolam ikan. Tidak seperti area permukiman, kepemilikan lahan budidaya merupakan kepemilikan pribadi. Setiap masyarakat Kampung Naga memiliki ukuran sawah dan kolam ikan yang berbeda-beda. Ada juga masyarakat yang tidak mempunyai sawah dan atau kolam ikan. Terdapat sungai di sebelah Timur area permukiman yang disebut Sungai Ciwulan. Area di luar lahan budidaya adalah hutan yang dapat dimanfaatkan hasilnya, seperti kayu dan bambu. Namun, ada bagian hutan yang tidak dapat dimasuki yang disebut hutan larangan atau leuweung larangan dan hutan yang dianggap keramat yang disebut sebagai hutan keramat. Hutan larangan terletak di sebelah Timur area permukiman, yaitu di seberang Sungai Ciwulan. Hutan keramat terletak di sebelah Barat area permukiman. Lueweung larangan atau hutan larangan dianggap sebagai area yang dipenuhi oleh roh jahat, sehingga hutan tersebut dilarang untuk dimasuki dan diambil isinya. Namun, larangan tersebut dapat menjadi salah satu usaha konservasi pada area hutan alami. Hutan keramat di Kampung Naga terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga, sehingga sangat dijaga dan dipelihara. Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Kampung Naga akan masuk ke dalam hutan keramat dan membersihkan makam-makam para leluhur. Tidak semua masyarakat Kampung Naga dapat memasuki hutan keramat, hanya para laki-laki yang dapat memasuki hutan keramat. Peta tata pola penggunaan lahan pada lanskap Kampung Naga dapat dilihat pada Gambar 14. Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga cukup sesuai dengan konsep ruang untuk penerapan ecovillage. Menurut Nasrullah (2009), pembagian runag pada konsep ruang ecovillage dibagi menjadi zona permukiman, zona fasilitas pelayanan publik, zona produksi pertanian, zona greenbelt, sungai, zona
18 konservasi sempadan sungai, irigasi pertanian, dan area konservasi bukit/gunung (Gambar 12)
Gambar 12 Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga (Sumber: Survei lapang dan hasil pengolahan penulis)
Gambar 11 Konsep ruang ecovillage (Sumber: Nasrullah, 2009) Pola permukiman Kampung Naga dibuat secara berkelompok di lahan seluas 1.5 ha. Kepemilikan lahan permukiman seluas 1.5 ha adalah kepemilikan adat, sehingga area tersebut menjadi ruang bersama. Di dalam area permukiman juga terdapat masjid, balai pertemuan atau bale patemon, dan bumi ageung. Bumi
19 ageung adalah bangunan yang berisi benda-benda pusaka di Kampung Naga, dan tidak sembarangan orang yang dapat memasuki bumi ageung. Setiap bangunan rumah dibuat secara berderet dan saling menghadap Utara-Selatan dengan jarak antar-rumah selebar 1 m hingga 1.5 m. Terdapat lorong-lorong yang membelah bangunan rumah dari ujung Barat hingga Timur area permukiman. Lorong-lorong tersebut berfungsi untuk aliran udara, sehingga area sekitar rumah tidak lembab. Selain itu, toilet atau kamar mandi terletak di luar area permukiman, sehingga tidak terdapat genangan-genangan air yang berasal dari toilet dan area sekitar rumah tetap kering. Sumber air yang ada di dalam area permukiman hanya berada di masjid untuk tempat wudhu. Masyarakat memanfaatkan sumber air tersebut untuk mencuci piring. Aktivitas masyarakat berpusat di sekitar masjid dan bale patemon, karena terdapat lahan kosong yang cukup luas untuk berbagai kegiatan masyarakat seperti menjemur padi. Area permukiman Kampung Naga dapat diidentifikasi sebagai area meso atau mesospace di dalam model keteritorialan. Menurut Porteous (1977), mesospace berfungsi sebagai home base, yaitu tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan, bereproduksi, dan beristirahat. Namun, area permukiman hanya seluas 1.5 ha, sehingga masyarakat yang tidak dapat tinggal di area permukiman tersebut harus tinggal di luar kampung, tetapi hal tersebut tidak menjadi kendala, karena setiap perayaan upacara adat, seluruh masyarakat yang berada di dalam kampung maupun di luar kampung akan datang, sehingga nilainilai yang diwariskan leluhur tetap lestari. Menurut Porteous (1977), identitas dari suatu komunitas adalah salah satu fungsi dari keteritorialan sebagai penandaan suatu wilayah. Di Kampung Naga, fungsi penandaan ini tidak dijelaskan secara tertulis, namun ciri khas bangunan yang ada di Kampung Naga tersebut menjadi identitas bangunan Kampung Naga. Selain itu, arsitektur bangunan rumah di Kampung Naga hampir sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga desain bangunan rumah yang hampir sama tersebut dapat dijadikan sebagai identitas dari Kampung Naga itu sendiri. Desain bangunan yang umum digunakan di Kampung Naga mengacu pada desain arsitektur bangunan suku Sunda pada umumnya. Pada arsitektur rumah Sunda, biasanya rumah berbentuk panggung atau kolong bangunan dengan ketinggian 40-60 cm. Rumah Kampung Naga memiliki kolong dengan tinggi sekitar 40-50 cm (Gambar 13). Kolong biasanya digunakan untuk tempat menyimpan kayu bakar atau sebagai kandang ayam. Rumah panggung dimaksudkan agar dasar bangunan tidak kontak langsung dengan tanah, sehingga material bangunan yang terbuat dari kayu tidak cepat lapuk akibat kontak langsung dengan tanah.
Gambar 13 Rumah panggung Kampung Naga (Sumber: Survei lapang)
Gambar 14 Peta pola penggunaan lahan (Sumber: google earth, survei lapang, dan hasil pengolahan penulis)
20
21 Atap atau suhunan rumah Sunda pada umumnya berbentuk jolopong (lurus), tagog anjing (sikap anjing duduk), badak heuay (badak menganga), parahu kumereb (perahu tengkurap), julang ngapak/julang nyanda/julang wirangga (sikap burung merentangkan sayap) buka palayu (menghadap ke bagian panjangnya), dan buka pongpok (menghadap ke bangian pendeknya) (Muanas, 1998 dalam Nurlaelih, 2005). Selain itu, terdapat capit hurang/gagak gunting, yaitu bagian ujung atap berbentuk cabang, tanduk kerbau atau lingkaran, terbuat dari kayu atau bambu dan ijuk yang dibulatkan yang berfungsi untuk mencegah air hujan masuk ke dalam rumah dan juga dianggap mempunyai pengaruh gaib. Atap bangunan rumah Kampung Naga berbentuk jolopong. Lantai dan dinding rumah Kampung Naga juga terbuat dari anyaman bambu, yaitu anyaman palupuh, bilik, dan sasag (Gambar 15). Anyaman palupuh digunakan untuk lantai, anyaman bilik dan sasag digunakan untuk dinding bangunan, dan anyaman sasag digunakan untuk dinding dan pintu dapur. Anyaman sasag vertikal digunakan untuk pintu dapur, dan anyaman sasag horizontal digunakan untuk dinding dapur. Untuk pintu utama rumah, digunakan material kayu tanpa anyaman.
Gambar 15 Jenis anyaman pada rumah Kampung Naga (Sumber: Padma et al, 2001) Ruangan di dalam rumah Sunda dibagi menurut fungsinya, yaitu bagian depan (teras/emper) untuk menerima tamu laki-laki, kamar tidur (enggon/pangkeng) sebagai tempat beristirahat, bagian tengah (tengah imah/patengahan) sebagai tempat berkumpul anggota keluarga atau melakukan upacara adat, bagian belakang yang terdiri dari dapur (pawon), dan gudang penyimpanan (goah). Pembagian ruang di dalam rumah Kampung Naga juga hampir sama dengan ciri arsitektur tradisional Sunda (Gambar 16). Terdapat teras yang disebut golodog yang berfungsi untuk tempat duduk-duduk santai masyarakatnya. Lalu ada ruang seperti ruang tamu yang disebut tepas. Tepas pada umumnya disebut sebagai ruang untuk berkumpulnya laki-laki, karena di dalam masyarakat Kampung Naga, perempuan biasa berkumpul di dapur. Lalu ruang keluarga atau ruang tengah disebut dengan tengah imah yang berfungsi untuk berkumpul khusus keluarga. Kamar tidur disebut dengan pangkeng. Dapur disebut dengan pawon. Lalu terdapat gudang yang berisi beras yang disebut goah.
22
Gambar 16 Pola umum bangunan rumah Kampung Naga (Sumber: Padma et al, 2001) Selain rumah, terdapat bangunan yang ada di Kampung Naga, yaitu masjid, bale patemon atau balai pertemuan, leuit, dan saung lisung. Leuit adalah tempat menyimpan padi pada saat setelah masa panen. Setiap warga yang mempunyai lahan sawah harus menyimpan sebagian hasil panennya ke dalam leuit. Leuit berfungsi sebagai tempat menyimpan padi untuk cadangan makanan masyarakat Kampung Naga pada saat terjadi bencana, paceklik atau gagal panen, dan pada saat ada warga yang sedang kesulitan. Lalu, terdapat bangunan yang disebut saung lisung yang berfungsi sebagai tempat menumbuk padi. Saung lisung biasanya terletak di atas balong atau kolam ikan, karena sisa gabah yang terjatuh ke kolam dapat menjadi pakan ikan. Karakter Sosial-Ekonomi Jumlah penduduk Kampung Naga sampai Agustus 2013 berjumlah 315 jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga 112 kepala keluarga. Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah RT 01 RW 01 Dusun Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat Kampung Naga sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Disamping itu ada juga yang mempunyai pencarian tambahan, yaitu membuat kerajinan tangan bambu dan aren, serta berdagang baik di dalam maupun di luar Kampung Naga. Di Desa Neglasari termasuk di Kampung Naga, sebagian besar pendidikan terakhir masyarakatnya hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Dari 5580 jumlah warga Desa Neglasari, terdapat 2625 jumlah masyarakat dengan pendidikan terakhirnya hanya sampai Sekolah Dasar. Namun, di dalam masyarakat Kampung Naga, pendidikan tidak hanya berasal dari sekolah formal saja. Masyarakat Kampung Naga secara rutin mengadakan pengajian bagi wanita, pria, maupun anak-anak. Selain itu, adanya kunjungan dari masyarakat luar menjadikan masyarakat Kampung Naga selalu mendapat pengetahuan baru, namun tetap pada batasan ajaran dan adat istiadat dari leluhur.
23 Sistem pertanian masyarakat Kampung Naga masih sangat sederhana, tanpa alat-alat pertanian modern seperti traktor. Pengolahan tanah cukup dengan menggunakan peralatan sederhana dan melibatkan tenaga kerja anggota keluarga dan atau anggota masyarakat lainnya. Setelah padi ditanam dan dipanen, padi akan dijemur dan ditumbuk di saung lisung (Gambar 17). Setelah itu padi yang sudah ditumbuk dan menjadi beras dapat dimasak dan menjadi bahan makanan pokok.
Gambar 17 Kegiatan menjemur dan menumbuk padi (Sumber: Survei lapang) Masyarakat Kampung Naga menentukan masa turun ke sawah berdasarkan musim. Selam setahun, mereka membaginya menjadi 12, yaitu kasa, karo, katiga, kapat, kalmia, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasadasa, desta, dan sada. Untuk mengetahui saat yang tepat untuk memulai kegiatan bertani, masyarakat Kampung Naga menggunakan ilmu perbintangan. Jika bintang waluku sudah terlihat di langit Selatan, maka kegiatan bertani sudah dapat dimulai. Bintang waluku adalah rasi bintang yang jika saling dihubungkan akan menyerupai bentuk waluku yang berarti bajak. Munculnya bintang waluku menandakan bahwa musim hujan sudah tiba. Waktu yang diberlakukan oleh masyarakat Kampung Naga dalam bercocok tanam berkaitan erat dengan pemeliharaan padi agar tidak terserang hama penyakit (Suryani dan Charliyan, 2013). Ritual tanam padi tersebut dapat menjadi potensi untuk meningkatkan nilai-nilai kebudayaan di dalam masyarakat Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga juga tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida, sehingga pertaniannya cukup organik. Menurut Suryani dan Charliyan (2013), sistem berdagang masyarakat Kampung Naga dilakukan antar-warga di dalam maupun di luar kampung. Barang-barang yang dijual kepada masyarakat luar adalah hasil kebun dan kerajinan tangan yang umumnya dibuat dari bahan kulit kayu, bambu, batang kayu, dan sabut aren (Gambar 18). Kerajinan tersebut dapat menjadi potensi sebagai industri rumahan (home industry) untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Kampung Naga.
Gambar 18 Kerajinan dari Kampung Naga (Sumber: Survei lapang)
24 Kepemimpinan di Kampung Naga dibagi menjadi kepemimpinan informal atau adat dan formal. Secara informal atau adat, Kampung Naga dipimpin oleh seorang kuncen, punduh, dan lebe, dengan kuncen sebagai jabatan tertinggi. Tugas kuncen adalah mengurusi kegiatan-kegiatan adat yang ada di Kampung Naga, seperti ritual pernikahan, menanam dan memanen padi, dan kegiatan keagamaan, serta keputusan tertinggi berada pada tangan kuncen. Tugas punduh adalah mengurusi kegiatan yang bersifat duniawi, sepeti kegiatan gotong royong, kerja bakti, dan lain-lain. Sedangkan tugas lebe adalah mengurusi kegiatan yang bersifat keagamaan, seperti upacara kematian dan ritual-ritual yang biasanya dilakukan di Kampung Naga. Sebelum dipilih dan ditetapkan sebagai pemangku adat, calon kuncen harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Suryani dan Charliyan (2013), calon kuncen Kampung Naga harus laki-laki dewasa yang usianya sudah mencapai 35 tahun atau sudah menikah, serta menguasai adat-istiadat dan tata cara pelaksanaan upacara adat di Kampung Naga. Kuncen sebagai pemangku adat dan panutan masyarakatnya, harus menjaga ucapan, nasihat, serta saran-saran yang berhubungan dengan adatistiadat dan tradisi dari leluhur. Kuncen Kampung Naga juga memiliki hak khusus dalam menerima tamu, sehingga jika ada masyarakat luar yang ingin berkunjung dalam waktu lama, harus mendapat izin dari kuncen. Secara formal Kampung Naga dipimpin oleh ketua RT yang mengurusi masalah administrasi di luar kegiatan adat. Menyangkut program pemerintah, pihak pemimpin adat dan Ketua RT akan mengadakan pertemuan sebelum disosialisasikan kepada anggota masyarakat. Komunikasi antara pemimpin adat dengan pemimpin formal harus terjalin dengan baik. Pada saat dilaksanakan upacara adat, Ketua RT bertugas membantu menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan upacara adat, sedangkan kuncen sebagai pemimpin upacara adat. Saat ini Kampung Naga merupakan salah satu kunjungan wisata yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dapat menjadi sesuatu yang positif dari aspek ekonomi, karena adanya pengunjung yang datang, maka semakim besar kemungkinan akan membeli cinderamata yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga, sehingga akan ada tambahan penghasilan. Namun, berdasarkan pengelola Kampung Naga, sebenarnya Kampung Naga sendiri tidak diperbolehkan untuk dijadikan tempat wisata karena masyarakat akan merasa tidak nyaman dengan kedatangan masyarakat lain dari luar, tetapi masyarakat luar tetap diperbolehkan masuk dengan izin dari kuncen dan dengan maksud untuk bersilaturahmi. Karakter Spiritual-Budaya Kepercayaan masyarakat Kampung Naga sampai saat ini adalah Islam. Mereka juga masih melaksanakan upacara adat hingga saat ini, namun upacara adat yang dilakukan masih sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Salah satu upacara adat yang dilakukan disebut hajat sasih. Upacara hajat sasih dilakukan 6 kali dalam setahun. Berikut adalah waktu penyelenggaraan upacara adat hajat sasih: 1. Bulan Muharram, pada saat tahun baru Islam, tanggal 26, 27, atau 28 2. Maulud (Bulan Rabiul Awal), pada saat Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12, 13 , atau 14, 3. Bulan Jumadil Akhir, tanggal 16, 17, atau 18, 4. Bulah Ruwah atau Sya’ban, tanggal 14, 15, atau 16,
25 5. Bulan Syawal, pada saat Idul Fitri, tanggal 1, 2, atau 3, 6. Bulan Rayagung atau Dzulhijjah, pada saat Idul Adha, tanggal 10, 11, atau 12. Pada saat upacara adat hajat sasih, seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang tinggal di dalam kampung maupun yang tinggal di luar kampung, akan berkumpul di Kampung Naga untuk melaksanakan upacara adat hajat sasih. Upacara adat tersebut dapat menjadi pemenuhan kebutuhan afiliasi terhadap seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang berada di dalam maupun di luar kampung. Afiliasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berhubungan atau bersatu dengan orang lain dan bersahabat dengan mereka (Siswanto, 2007). Pada setiap upacara adat di Kampung Naga, seluruh masyarakat Kampung Naga akan hadir, sehingga terdapat rasa kebersamaan antar-masyarakatnya. Upacara adat hajat sasih dimulai dengan bebersih (membersihkan diri) di Sungai Ciwulan, yang berarti membersihkan diri baik jasmani mapun rohani dari berbagai sesuatu yang jahat yang menempel dan mengotori tubuh. Setelah itu, masyarakat kembali ke rumah masing-masing untuk berganti pakaian dengan baju jubah panjang yang umumnya berwarna putih, dan memakai tutup kepala yang disebut totopong. Lalu, masyarakat akan berziarah ke makam leluhur yang terletak di hutan keramat sebelah Barat area permukiman, sambil membawa sapu lidi untuk membersihkan makam (Gambar 19). Setelah itu, masyarakat akan kembali ke masjid untuk bersama-sama memakan tumpeng sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (Suryani dan Charliyan, 2013). Selain uapacara adat hajat sasih, masyarakat Kampung Naga juga mengadakan ritual pada saat proses penanaman, pemanenan, penyimpanan, sampai pengolahan padi. Proses penanaman padi diawali dengan pelaksanaan kegiatan yang disebut magawe atau membajak sawah, selanjutnya babut yang merupakan kegiatan pengambilan benih dari dari kebun benih (pabinihan) untuk ditanam di sawah. Pelaksanaan kegiatan tersebut diawali dengan ngadupa kemenyan atau membakar kemenyan dengan sabut kelapa (Yulianingsih, 2002).
Gambar 19 Upacara adat Hajat Sasih (Sumber: google.co.id) Pemanenan padi juga menggunakan alat-alat ritual yang diletakkan di sudut sawah, berupa rumpun padi yang diikat yang dibawahnya diletakkan sesajen (kelapa muda, cerutu, kapur sirih, nasi tumpeng, telur, dan makanan lainnya) (Gambar 20). Rumpun padi yang terpilih sebagai tempat upacara itu disebut pare indung yang dijadikan bibit untuk periode penanaman berikutnya. Setelah padi dipanen, selanjutnya akan dijemur menggunkan tampah (Yulianingsih, 2002).
26
Gambar 20 Alat ritual panen padi (Sumber: Survei lapang) Ritual penyimpanan padi untuk umum dilakukan oleh pawang padi dengan membacakan mantera. Selanjutanya pawang padi menyimpan dan menyusun ikatan padi (geugeusan) ke dalam leuit (tempat penimpanan padi) sampai dengan selesai. Untuk kebutuhan beras pribadi, masing-masing masyarakat Kampung Naga menyimpannya di goah rumah masing-masing, dan menjadi tanggung jawab para wanita. Sebelum dilaksanakan upacara penyimpanan padi, terlebih dahulu dilaksanakan upacara ngaleuseuhan, yaitu upacara dimana padi yang dihasilkan pada salah satu musim panen akan mulai ditumbuk. Upacara tersebut dipimpin oleh pawang padi atau candoli dengan menyiapkan seperangkat sesajen dan dupa yang terdiri atas kelapa muda, kemenyan, dan sabut kelapa. Untuk proses pengolahan beras, masyarakat Kampung Naga memasak beras tersebut di tungku yang disebut hawu yang terletak di dapur rumah masing-masing (Gambar 21). Alat- alat masak yang digunakan juga cukup sederhana, yaitu aseupan (tempat berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu, hihid (kipas tradisional suku Sunda), dulang, dan boboko (tempat yang terbuat dari anyaman bambu untuk tempat nasi) (Yulianingsih, 2002).
Gambar 21 Tempat memasak (hawu) masyarakat Kampung Naga (Sumber: Survei lapang) Seluruh upacara adat dan ritual yang dilaksanakan di Kampung Naga merupakan bentuk ekspresi dari komitmen, warisan budaya dan keunikan Kampung Naga itu sendiri. Berkaitan dengan konsep ecovillage, adanya upacara adat dan ritual, dapat menimbulkan rasa syukur dan hormat terhadap alam dan lingkungan, serta makhluk hidup yang berada di dalamnya. Selain itu, dapat menjadi suatu bentuk pengayaan seni dan ekspresi, serta keragaman spiritual yang ada di Indonesia.
27 Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga Secara umum, potensi ecovillage Kampung Naga menurut masyarakatnya adalah berpotensi. Hasil olahan data (Tabel 6) menunjukkan bahwa Kampung Naga berpotensi untuk dijadikan sebagai kampung yang berbasis ecovillage (K= 0.947 ada potensi). Tabel 6 Hasil olahan data potensi ecovillage di Kampung Naga No Parameter Ecovillage 1 Ekologis
Kriteria Ecovillage Usaha untuk melindungi lingkungan 2 Sosial Usaha untuk mempererat silaturahmi antar-warga 3 Spiritual Usaha untuk mempertahankan kebudayaan dan kegiatan keagamaan 4 Ekonomi Usaha untuk meningkatkan perekonomian kampung yg berasal dari sumber daya kampung itu sendiri Pengulangan yang akan berubah Pengulangan yang disetujui 6
Nilai 30
% Frek 26.31
30
26.31
30
26.31
24
21.07
114
100.00
Koefisien Kappa = K = [(114/120) – (6/120)] / [1- (6/120)] = 0.947 (ada potensi) Sebagian besar masyarakat Kampung Naga secara tidak langsung mengakui bahwa kampungnya sudah menerapkan sebagian besar konsep ecovillage dan berpotensi untuk penerapan ecovillage yang lebih lanjut dalam pengelolaannya. Dalam aspek ekologi, masyarakatnya sangat menjaga lingkungan sekitarnya dengan cara menanam tanaman untuk bumbu dapur dan keperluan ritual menanam padi atau memanen padi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Selain itu, masyarakat Kampung Naga sangat menjaga hutan yang ada di sekitarnya karena hukum yang diberikan leluhurnya untuk tidak mengganggu hutan di sekitar kampung. Aspek sosial merupakan aspek yang sudah diterapkan dan berpotensi untuk kelanjutan konsep ecovillage. Kegiatan sosial yang dilakukan di Kampung Naga merupakan kegiatan sehari-hari, seperti menumbuk padi dan menjemur padi, namun dari aktivitas tersebut dapat timbul stimulasi dan pertukaran informasi antar-masyarakat Kampung Naga. Aspek spiritual yang diterapkan juga sangat intensif, karena setiap perayaan agama Islam di Kampung Naga merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman leluhurnya, sehinggga mereka merasa nilai spiritual yang ada sudah mewakili aspek spiritual dari konsep ecovillage. Untuk aspek ekonomi, masyarakat Kampung Naga mengandalkan hasil pertanian mereka yang berupa padi dan kerajinan-kerajinan yang terbuat dari bambu. Namun, terdapat masyarakat yang kurang yakin dengan aspek ekonomi mereka. Hal ini terjadi karena tidak semua masyarakat memiliki lahan sawah dan kemampuan untuk membuat kerajinan. Masyarakat tersebut hanya mengandalkan tenaganya untuk menjadi buruh tani bagi masyarakat lain yang mempunyai lahan sawah, sehingga mereka merasa kurang dalam aspek ekonomi. Namun, masyarakat Kampung Naga tidak menjadikan hal ini sebagai suatu kemunduran karena mereka selalu berpegang teguh pada dasar kehidupan leluhur mereka, yaitu kesederhanaan.
28 Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu masyarakat di dalam konsep ecovillage. Dalam praktiknya, suatu masyarakat dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana konsep ecovillage diterapkan oleh masyarakatnya sesuai dengan standar-standar yang ada. Hasil penilaian selanjutnya akan dijadikan acuan untuk rencana pengelolaan yang dibuat untuk mencapai kondisi ideal sesuai kondisi tempat tersebut. Aspek Ekologis Berdasarkan hasil penilaian, secara umum aspek ekologi Kampung Naga berada pada kondisi suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan (Tabel 7). Secara umum semua indikator pada aspek ekologis berpotensi untuk penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Tabel 7 Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek ekologis No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Indikator Nilai Sense of place 31/B* Ketersediaan, produksi dan distribusi makanan 36/B* Infrastruktur, bangunan dan transportasi 50/A* Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat 37/B* Air – sumber, mutu dan pola penggunaan 32/B* Limbah cair dan pengelolaan polusi air 34/B* Sumber dan penggunaan energi 47/B* 267/B** Total Ket: * A/50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan B/25-49 C/0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan ** A/333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan
(1) Aspek Ekologis 1: Sense of place Indikator pertama dalam aspek ekologis adalah sense of place; restorasi dan preservasi alam. Indikator sense of place; restorasi dan preservasi sangat penting untuk keberlanjutan konsep ecovillage dalam suatu tempat, karena perasaan tempat yang tinggal dapat menimbulkan perasaan be home pada tempat tinggal, sehingga terdapat rasa memiliki serta kewajiban atau tanggung jawab pada masyarakatnya untuk tetap mempertahankan keberlanjutan kampungnya. Keterikatan masyarakat Kampung Naga terhadap tempat tinggalnya sangat erat, karena masyarakatnya merupakan penduduk asli dari desa tersebut. Karena lahan pemukiman Kampung Naga yang terbatas 1.5 ha saja, banyak masyarakatnya yang tinggal di luar kampung, namun mereka tetap kembali ke kampung jika ada kegiatan atau ritual rutin yang dilakukan di Kampung Naga. Ajaran-ajaran leluhur pun menjadi alasan masyarakat Kampung Naga memiliki keterikatan yang erat satu sama lainnya.
29 Ukuran kepemilikan tempat tinggal sebagian besar masyarakat Kampung Naga adalah sama. Hal ini disebabkan keseragaman bentuk dan pola tempat tinggal masyarakatnya. Berdasarkan kriteria Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) ukuran kepemilikan pada masyarakat Kampung Naga berkisar 20-49 m2. Hal ini kurang sesuai dengan standar ukuran kepemilikan tempat tinggal berdasarkan konsep ecovillage yang berkisar 50-500 m2. Namun, dalam kenyataannya, ukuran kepemilikan rumah masyarakat kampung naga berkisar 30-60 m2. Keseragaman ukuran kepemilikan ini karena prinsip hidup sederhana yang diajarkan oleh leluhur mereka, sehingga tidak terdapat rasa iri karena perbedaan ukuran kepemilikan masyarakat satu dengan yang lainnya. Karena di dalam masyarakat Kampung Naga, setiap warganya mempunyai derajat yang sama. Vegetasi dan satwa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena dalam penggunaannya, vegetasi dan satwa dapat menjadi sumber bahan makanan, bahan bangunan, bahan pakaian dan obat. Di dalam masyarakat Kampung Naga, peranan vegetasi dan satwa juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Secara umum, vegetasi dominan yang ada di Kampung Naga adalah pacing, hanjuang, kapulaga, serta pohon aren untuk kebutuhan ritual tanam dan panen padi. Vegetasi yang biasanya digunakan untuk bahan makanan dan bumbu dapur adalah sayuran hijau dan kapulaga, serta varietas padi yang disebut pare ageung oleh masyarakat Kampung Naga. Vegetasi yang biasanya digunakan untuk obat-obatan adalah bagian dari pohon durian dan hanjuang. Untuk satwa yang ada di Kampung Naga sebagian besar adalah hewan ternak untuk dikonsumsi, seperti ayam, kambing, dan berbagai jenis ikan. Di dalam masyarakat Kampung Naga, keberlanjutan lingkungan sangat dipertahankan. Kegiatan konservasi yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur mereka. Pembagian fungsi lahan untuk produksi dan konservasi juga sudah dilakukan sejak masa leluhur Kampung Naga. Lahan untuk produksi sebagian besar berada di bagian utara kampung yang biasanya ditanami kayu dan bambu. Untuk lahan konservasi berada di sebelah timur kampung yang disebut leuwueng larangan atau hutan larangan. Menurut pengelola Kampung Naga, hutan larangan tersebut tidak boleh dimasuki oleh masyarakatnya, jika ada yang melanggar, maka akan terkena balasan atau hukuman. Peraturan leluhur tersebut dapat menjadi salah satu usaha konservasi lingkungan. (2) Aspek Ekologis 2: Ketersediaan, produksi dan distribusi makanan Berdasarkan hasil penilaian, aspek ekologis 2 atau indikator ketersediaan, produksi dan distribusi makanan menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Sebagian besar masyarakat Kampung Naga mempunyai sawah yang hasilnya untuk dikonsumsi sendiri, sehingga bahan makanan pokok cukup terpenuhi. Namun, dilihat dari pola permukiman masyarakat Kampung Naga, pembuatan lahan pekarangan tidak memungkinkan karena lahan permukiman yang hanya sebatas 1.5 ha, sehingga pola rumah dibuat berderet dengan jarak yang dekat sekitar 1 meter setiap sisi rumah rumah dan sekitar 2 meter untuk bagian depan setiap rumah.
30 Ketersediaan makanan di Kampung Naga secara umum sudah terpenuhi. Lahan sawah dan kolam-kolam ikan menjadi sumber utama dan paling banyak berada di Kampung Naga. Untuk ketersediaan tanaman pangan, masyarakat Kampung Naga menanamnya dengan cara yang lebih sederhana, yaitu dengan menanam pada area dekat kolam menggunakan media pot atau botol bekas (Gambar 22). Namun, hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan secara merata, sehingga pembelian bahan makanan dari pasar masih tetap dilakukan.
Gambar 22 Penanaman di dalam barang bekas (Sumber: Survei lapang) Masa tanam dan panen padi di Kampung Naga dilakukan secara serentak oleh masyarakatnya. Hal ini dilakukan secara turun-temurun sejak masa leluhurnya. Periode penanaman padi yang dilakukan di Kampung Naga adalah 2 kali dalam setahun. Setiap periode tanam hingga panen dilakukan 4 – 5 bulan. Pada bulan kosong atau tidak ada kegiatan tanam padi, dilakukan pemeliharaan kesuburan tanah untuk periode tanam selanjutnya, sehingga kesuburan lahan pertanian di Kampung Naga selalu terjaga. Selain itu, penggunaan pestisida, herbisida dan pupuk kimia tidak diterapkan dalam sistem pertaniannya, serta benih yang digunakan merupakan varietas asli Kampung Naga yang disebut pare ageung, dengan diserbukkan secara terbuka atau tidak menggunakan benih hibrida. Oleh karena itu, dalam sistem pertaniannya, Kampung Naga sudah menerapkan sistem pertanian organik. Menurut Sudradjat (2006) ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari produk pertanian organik, antara lain tidak mengandung pestisida, pengaruh terhadap lingkungan lebih baik karena terhindar dari pencemaran bahan kimia, meningkatkan kesuburan tanah dan sifat fisika kimia tanah, dan meningkatkan perlindungan tanaman terhadap hama penyakit. Dalam hal ketersediaan makanan, para leluhur Kampung Naga sudah menggunakan sistem lumbung padi atau disebut leuit oleh masyarakatnya untuk persediaan makanan selama masa paceklik atau pada saat gagal panen. Setiap warga yang mempunyai sawah wajib memberikan sebagian hasil panennya untuk disimpan di leuit. Selain itu, pada saat ada warga yang mengalami kesulitan dalam hal ketersediaan makanan, maka persediaan makanan di leuit bisa diberikan kepada warga yang membutuhkan tersebut. (3) Aspek Ekologis 3: Infrastruktur, bangunan dan transportasi Penilaian pada indikator ini didasarkan pada ketersediaan tempat berlindung, tingkat penggunaan material bangunan, keselarasan bangunan dengan lingkungan alami dan budaya yang ada, penggunaan metode
31 konservasi pada sistem transportasi, dan mobilitas warga. Berdasarkan konsep ecovillage, bangunan harus dirancang selaras dengan alam baik dari material maupun desain dan pola penempatannya. Material yang digunakan juga harus alami dan ekologis, serta lebih baik diperoleh secara lokal. Pada indikator ini, secara umum penilaian menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Ketersediaan tempat berlindung di Kampung Naga cukup memadai. Namun, lahan permukiman yang ada di Kampung Naga hanya 1.5 ha, dan bangunan rumah yang ada di Kampung Naga berjumlah 108 bangunan. Menurut pengelola Kampung Naga, tidak akan ada lagi penambahan jumlah bangunan karena lahan yang terbatas. Pembukaan lahan baru untuk permukiman tidak diperbolehkan secara hukum adat. Wilayah permukiman 1.5 ha tersebut sudah ditetapkan oleh leluhur Kampung Naga. Secara ekologis, peraturan tersebut dapat menjadi suatu upaya dalam menjaga kelestarian alam sekitar Kampung Naga, agar tidak terjadi degradasi lahan untuk kebutuhan permukiman. Untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan tempat berlindung pada situasi dimana bangunan rumah yang ada di Kampung Naga sudah terisi penuh, maka masyarakat Kampung Naga dapat tinggal di luar Kampung Naga. Hampir setiap bangunan yang ada di Kampung Naga memiliki pola yang sama, baik secara desain, material dan tata letak. Bangunan rumah yang ada di Kampung Naga dibuat seperti panggung dan desain dinding yang sedikit berlubang karena berbentuk anyaman. Hal ini sangat baik secara ekologis karena aliran udara dapat mengalir di sekeliling bangunan dan untuk menjaga kestabilan kelembaban yang berasal dari tanah (Frick dan Suskiyatno, 2007). Material bangunan yang ada di Kampung Naga terbuat dari bahan-bahan alami. Sebagian besar material bangunan di Kampung Naga terbuat dari kayu dan bambu yang berasal dari kebun masyarakatnya sendiri. Material kayu tersebut sangat baik secara ekologis karena dapat menjaga kestabilan suhu yang ada di dalam bangunan, menjadikan suhu dalam bangunan dingin pada siang hari dan hangat pada malam hari, sehingga tidak perlu menggunakan alat-alat seperti kipas angin atau pemanas ruangan. Hal tersebut dapat menjadi upaya untuk penghematan energi. Material kayu yang dipakai biasanya menggunakan kayu suren atau albasia. Material kayu digunakan pada rangka seluruh bagian bangunan, kusen jendela dan pintu, bagian dinding, dan pintu. Material bambu yang dipakai manggunakan jenis bambu tali (awi tali) dan jenis bambu yang dalam bahasa sunda disebut awi surat. Awi tali digunakan pada bagian dinding bangunan dengan menggunakan anyaman sasag dan anyaman bilik. Awi surat digunakan pada bagian lantai dapur atau yang dalam bahasa sunda disebut palupuh. Material bangunan tersebut diperoleh warga dari kebun pribadi yang terletak di bagian utara kampung. Selain itu juga masyarakat Kampung Naga memanfaatkan sempadan sawah yang cukup lebar untuk menanam tanaman kayu. Bahan pelapis dinding bangunan menggunakan kapur putih. Dengan pemakaian kapur putih, dinding rumah lebih tahan lama dan lebih bersih. Dari segi efisiensi, kapur merupakan bahan pelapis dinding yang cukup murah dan tidak mengandung bahan kimia buatan yang dapat merusak alam. Menurut Frick dan Suskiyatno (2007), bahan pelapis dinding kapur putih dapat menyerap panas sebanyak 10-20% dan memantulkan panas sebanyak 90-80%, sehingga pelapis dinding kapur putih
32 dapat menjaga suhu udara yang ada di dalam bangunan. Bahan atap rumah terbuat dari ijuk yang sebelumnya telah dilapisi dengan daun tepus. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap. Dari segi ekologis, ijuk merupakan bahan yang tidak merusak alam dan dapat digunakan kembali jika sudah dibuang. Dari segi keawetan, ijuk merupakan bahan yang termasuk awet karena jika terus terkena air hujan, akan ditumbuhi lumut, sehingga ijuk akan menjadi lebih kokoh. Tata letak bangunan rumah di Kampung Naga menghadap ke arah Utara dan Selatan (Gambar 23). Meskipun hal ini tidak sesuai dengan letak ideal bangunan menurut Frick dan Suskiyatno (2007), yaitu menghadap Barat dan Timur, namun menurut narasumber pihak Kampung Naga, tata letak bangunan rumah di Kampung Naga tidak berubah sejak zaman leluhur mereka. Meskipun bangunan rumah Kampung Naga menghadap Utara-Selatan, namun masyarakatnya tetap memperhatikan intensitas penyinaran matahari terhadap bangunan rumahnya. Setiap bangunan rumah di Kampung Naga dibuat rapat satu dengan yang lainnya. Hal ini karena lahan permukiman yang tidak terlalu luas, yaitu 1.5 ha. Namun, jika dilihat dari penempatan bangunan, terdapat jalan kecil yang membelah setiap rumah. Jalan kecil tersebut menghadap Barat-Timur, sehingga dapat menjadi sirkulasi masuknya sinar matahari di setiap jalan kecil tersebut. Selain itu, jalan kecil yang berada di antara rumahrumah akan melancarkan sirkulasi udara, sehingga kelembaban area bangunan tetap stabil.
Gambar 23 Contoh tata ruang permukiman Kampung Naga (Sumber: Survei lapang dan hasil pengolahan penulis) Sebagai bentuk penghormatan masyarakat Kampung Naga terhadap bumi dan lingkungan alamnya, mereka selalu mengadakan ritual pada saat membangun rumah. Ritual tersebut bertujuan sebagai rasa syukur terhadap Sang Pencipta dan alam atas tempat tinggal yang telah mereka bangun dan dapat menjadi potensi nilai budaya yang harus dipertahankan. Selain pola permukiman, transportasi juga merupakan aspek yang penting dalam menciptakan konsep desa berkelanjutan. Sistem konservasi transportasi yang baik adalah meminimalkan transportasi yang menggunakan banyak energi yang tidak terbarukan dalam penggunaannya. Di dalam masyarakat Kampung Naga, hampir setiap warganya memilih untuk berjalan kaki untuk
33 mobilisasi di dalam kampung, karena ukuran kampung yang tidak terlalu luas dan pola permukiman yang berkelompok. Selain itu faktor utama masyarakat Kampung Naga lebih memilih jalan kaki adalah kondisi kampung yang berkontur dan terletak di area tebing. Oleh karena itu, alat transportasi tidak terlalu diperlukan masyarakat Kampung Naga jika hanya mobilisasi di dalam kampung. (4) Aspek Ekologis 4: Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat Aspek ekologis 4 membahas mengenai pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat. Pada indikator ini, pola konsumsi masyarakat akan mempengaruhi limbah padat yang dihasilkan dan bagaimana sistem pengelolaannya. Sistem ekologis yang ideal adalah meminimalkan limbah padat yang dihasilkan. Hal ini dapat diwujudkan dengan kesederhanaan pola konsumsi dan penggunaan sumber daya, fasilitas, dan pembelian bersama. Pada indikator ini, masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Pola konsumsi masyarakat Kampung Naga masih terbilang sederhana. Bahan makanan yang digunakan juga sebagian besar berasal dari lahan garapan sendiri. Untuk makanan pokok seperti nasi, sebagian besar masyarakat Kampung Naga mengambil dari hasil sawah sendiri. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai sawah, makanan dapat berasal dari upah bekerja di sawah masyarakatnya yang lain, sehingga makanan pokok selalu tersedia. Untuk sayuran dan ikan, masyarakat Kampung Naga juga mempunyai ladang dan kolam ikan, sehingga makanan selalu terpenuhi. Selain itu, prinsip hidup sederhana yang diturunkan dari leluhur masyarakat Kampung Naga juga menjadi alasan pola konsumsi masyarakat Kampung Naga yang terbilang sederhana. Penggunaan sumber daya, fasilitas, dan pembelian bersama dimaksudkan untuk meminimalisir konsumsi dan limbah yang dihasilkan. Untuk penggunaan sumber daya bersama, masyarakat Kampung Naga terbiasa menggunakan sumber daya, seperti bahan makanan, secara pribadi tanpa penggunaan bersama. Setiap masyarakat Kampung Naga mempunyai lahan garapan masing-masing. Setiap kebutuhan yang diperlukan masing-masing individu atau keluarga, dapat diperoleh dari lahannya masing-masing. Namun, leluhur Kampung Naga telah menerapkan sistem lumbung padi atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. Lumbung padi tersebut dimaksudkan untuk penyimpanan bahan makanan bersama jika suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti bencana alam atau masa gagal panen. Sistem tersebut merupakan salah satu penggunaan sumber daya bersama, walaupun waktu penggunaannya tidak telalu pasti. Penggunaan fasilitas bersama juga diterapkan oleh masyarakat Kampung Naga. Namun, fasilitas untuk penggunaan bersama hanya musholla, balai pertemuan (bale patemon), kamar mandi, dan lapangan terbuka yang ada di tengah-tengah permukiman yang berada di area permukiman seluas 1.5 ha. Fasilitas yang digunakan bersama tersebut tidak mempengaruhi produksi limbah padat secara signifikan. Untuk fasilitas dapur dan peralatannya, setiap masyarakat menggunakan fasilitas pribadi dan tidak digunakan secara bersama. Penggunaan fasilitas bersama untuk meminimalkan limbah padat sedikit sulit untuk dilakukan karena setiap
34 individu atau keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal yang dapat dilakukan adalah pengelolaan limbah padat yang baik, sehingga penumpukan limbah dapat dikendalikan. Sistem pengelolaan limbah padat di Kampung Naga dilakukan dengan memisahkan limbah organik, anorganik, dan limbah gelas/kaca. Limbah organik seperti sisa makanan dan sayuran busuk diolah menjadi pupuk kompos. Limbah anorganik akan dibakar. Limbah gelas/kaca akan dibiarkan sampai ada pemulung yang mengambil limbah tersebut. Tempat penampungan limbah anorganik dan limbah kaca berada di tepi Sungai Ciwulan (Gambar 21). Secara umum, masyarakat Kampung Naga sudah mengetahui metode pengelolaan sampah rumah tangga secara sederhana. Dengan memilah sampah organik dan sampah anorganik, maka pengelolaan limbah secara sederhana sudah diterapkan. Hal ini dapat menjadi potensi yang harus depertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Tempat sampah juga tersedia di seluruh bagian kampung baik di depan rumah-rumah maupun di depan bangunan bersama, seperti masjid dan balai pertemuan (Gambar 24). Hal yang menjadi masalah adalah sampah yang berasal dari pengunjung yang melakukan kunjungan ke Kampung Naga. Sebagian besar sampah yang berada tidak pada tempatnya adalah sampah yang berasal dari masyarakat luar. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kesadaran dari masyarakat luar mengenai adat dan kebiasaan masyarakat Kampung Naga.
(a) (b) Gambar 24 Tempat sampah di Kampung Naga, (a) tempat sampah besar limbah anorganik dan limbah kaca dan (b) tempat sampah kecil di area permukiman (Sumber: Survei lapang) (5) Aspek Ekologis 5: Air – sumber, mutu dan pola penggunaan Aspek ekologis 5 membahas mengenai sumber, mutu, dan pola penggunaan air yang ada di Kampung Naga. Pada aspek ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui, menghormati, dan melindungi sumber air yang digunakan. Pada aspek ini masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal menuju keberlanjutan. Sumber air di Kampung Naga berasal dari sungai Ciwulan. Dari sungai Ciwulan terdapat saluran air yang mengairi desa-desa di sekitarnya yang bernama Saluran Garunggang. Saluran Garunggang dibuat secara swadaya oleh masyarakat di beberapa desa yang ada di Kecamatan Salawu. Desa-desa yang diairi oleh saluran Garunggang antara lain Desa Tanjung Sari, Desa Salawu, Desa Karang Mukti, Desa Marga Laksana, dan Desa Neglasari. Area Kampung Naga termasuk daerah yang mengambil air dari saluran Garunggang. Air ini digunakan oleh masyarakat
35 Kampung Naga untuk minum, mandi, cuci, dan untuk kebutuhan air di sawah dan kolam ikan. Air yang berasal dari saluran Garunggang akan dialirkan ke kolam penampungan untuk disaring secara sederhana, lalu air dialirkan ke kolam-kolam, kamar mandi, dan sawah-sawah di Kampung Naga. Menurut narasumber dari pihak penglola Kampung Naga, mutu air yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga masih terbilang baik. Hal ini dibuktikan dengan kesehatan masyarakatnya yang baik dan jarang menderita penyakit karena air yang diminum. Selain itu, sumber air juga berasal dari sungai Ciwulan dari bagian hulu di Gunung Cikuray, sehingga kualitas air juga masih terbilang baik. Namun, harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Penggunaan air di dalam masyarakat Kampung Naga untuk kebutuhan minum, mandi, cuci, pengairan sawah, dan kolam ikan. Air dialirkan dari saluran Garunggang menuju setiap kamar mandi dan kolam ikan. Air dialirkan langsung menuju tempat penggunaannya. Penggunaan air untuk kamar mandi masih menggunakan sistem tradisional, yaitu air langsung mengalir dari pipa saluran, tanpa penggunaan bak penampung air dan/atau kran aerator (Gambar 22). Hal ini kurang baik karena penggunaannya tidak menunjang metode konservasi air. Masyarakat Kampung Naga menganggap bahwa jumlah air yang ada saat ini sudah sangat mencukupi. Oleh karena itu, penggunaan kran aerator atau alat yang dapat mengendalikan laju air sangat diperlukan. Penempatan kamar mandi di Kampung Naga berada di atas kolam-kolam ikan, sehingga limbah dari kamar mandi akan jatuh ke kolam dan dapat digunakan sebagai pakan ikan (Gambar 25). Hal ini dapat menjadi salah satu potensi penerapan konservasi air. Selain itu, masyarakat dapat lebih bijaksana dalam penggunaan sabun baik untuk mandi dan cuci untuk menjaga kualitas air yang jatuh ke kolam, karena di dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang menjadi sumber makanan masyarakatnya.
Gambar 25 Kondisi tempat MCK di Kampung Naga (Sumber: Survei Lapang) (6) Aspek Ekologis 6: Limbah cair dan pengelolaan polusi air Aspek ekologis 6 akan membahas mengenai limbah cair dan pengelolaan polusi air. Menurut kriteria panduan wawancara Penilaian Keberlanjutan Masyarakat, pada aspek ini Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik untuk mencapai keberlanjutan. Di dalam konsep ecovillage, limbah cair yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari
36 masyarakatnya tidak langsung dibuang, melainkan dapat dimanfaatkan lagi, sehingga limbah yang dibuang tidak terlalu mencemari lingkungan. Limbah cair yang dihasilkan oleh masyarakat Kampung Naga berasal dari kamar mandi, kolam ikan, dan sawah. Limbah cair dari kamar mandi biasanya merupakan air sisa mandi dan cuci atau greywater, dan air limbah toilet atau blackwater. Desain kamar mandi di Kampung Naga merupakan bangunan semi permanen yang berada di atas kolam ikan. Greywater dan blackwater dibuang secara langsung ke dalam kolam ikan dan limbah yang dibuang ke kolam ikan tersebut tidak mengalami penyaringan apapun. Hal ini adalah konsep yang dilakukan oleh masyarakat Sunda sejak dulu, termasuk masyarakat Kampung Naga. Penggunaan kolam ikan dapat berpotensi untuk pengendapan limbah yang berasal dari kamar mandi. Selain itu, limbah dari kamar mandi dapat dimanfaatkan untuk pakan ikan, dan air dari kolam ikan dapat digunakan untuk penyiraman tanaman. Pakan ikan yang berasal dari limbah toilet pun bepotensi untuk menghasilkan produksi ikan konsumsi secara organik, karena pakan ikan tidak menggunakan bahan kimia. Limbah cair yang berasal dari kolam ikan akan dibuang ke saluran yang langsung menuju sungai Ciwulan. Pada proses pembuangan limbah dari kolam ikan tersebut penyaringan yang dilakukan hanya secara sederhana dan alami, yaitu memanfaatkan daun-daun yang jatuh sebagai penyaringnya. Hal ini cukup berpengaruh, karena air buangan limbah cair yang menuju sungai Ciwulan tidak terlalu buruk kualitasnya. Kotoran-kotoran dari limbah cair tersebut tidak terbawa hingga ke sungai. Saluran pembuangan limbah cair yang menghubungkan kolam ikan dengan sungai Ciwulan pun dibuat terbuka. Hal ini dimaksudkan agar daun-daun dapat berjatuhan ke saluran tersebut, sehingga terjadi penyaringan limbah secara alami. Untuk limbah cair yang berasal dari area persawahan tidak menunjukkan masalah yang signifikan, karena tanaman padi di sawah-sawah yang berada di Kampung Naga tidak pernah menggunakan bahan-bahan kimia. Tanaman padi di Kampung Naga dapat disebut sebagai padi organik karena masyarakatnya tidak menggunakan pestisida kimia dan bahan-bahan lainnya yang dapat menurunkan kualitas alam dan lingkungan, karena menghasilkan limbah yang tercemar. Berikut bagan alir limbah cair di Kampung Naga (Gambar 26). Sistem pembuangan zat beracun belum diterapkan di Kampung Naga. Limbah dari zat beracun biasanya berasal dari cat, minyak dan baterai. Namun, bahan-bahan beracun tersebut sangat jarang digunakan dan dibuang ke saluran pembuangan oleh masyarakat Kampung Naga. Penggunaan cat sangat jarang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga, karena cat telah diganti oleh bahan lain seperti kapur dalam penggunaannya untuk pelapis rumah. Untuk pembuangan baterai dan minyak, di dalam Kampung Naga belum ada sistem untuk pengolahannya, karena pengolahan limbah beracun membutuhkan sistem yang cukup rumit dan membutuhkan penanganan khusus. Sistem pengelolaan limbah di Kampung Naga masih terbilang sederhana dan tradisional, sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah pemisahan limbah beracun dengan jenis limbah lainnya. Meskipun berdasarkan hasil Penilaian Keberlanjutan Masyarakat menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan, namun secara umum pengelolaan limbah cair di Kampung Naga sudah cukup
37 baik. Limbah yang dihasilkan di Kampung Naga tidak terlalu berat dan pengelolaannya dilakukan secara tradisional, sehingga sistem dapat berjalan secara seimbang. Sungai Ciwulan
Saluran Garunggang
Kamar Mandi
Kolam Ikan
Sawah
Saluran Pembuangan Utama
Keterangan: Air Bersih
Sungai Ciwulan
Air Buangan
(a)
(b) Gambar 26 Bagan alir limbah cair (a) dan ilustrasinya (b) (Sumber: Survei lapang dan Padma et al, 2001) (7) Aspek Ekologis 7: Sumber dan penggunaan energi Aspek ekologis 7 membahas mengenai sumber dan penggunaan energi. Pada konsep ecovillage, masyarakat diharapkan menggunakan sumber energi yang terbarukan, mengetahui informasi mengenai pendidikan konservasi, dan mengaplikasikan usaha konservasinya tersebut terhadap lingkungan alam di dalam kehidupan sehari-harinya. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut (Kementerian PU, 2013). Menurut kriteria panduan wawancara Penilaian Keberlanjutan Masyarakat, pada aspek ini Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik untuk mencapai keberlanjutan.
38 Masyarakat Kampung Naga memiliki gaya hidup tradisional dan sederhana. Hal tersebut sangat baik secara ekologis. Masyarakat Kampung Naga menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Kayu bakar yang digunakan berasal dari kebun milik masyarakatnya sendiri. Untuk sistem pencahayaan di Kampung Naga masih menggunakan lampu minyak dan tidak menggunakan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Masyarakat Kampung Naga dengan sengaja menolak pemasangan listrik dari PLN, karena mereka khawatir dengan kejadian di masa lampau pada saat seluruh kawasan permukiman Kampung Naga hangus terbakar. Penggunaan lampu minyak juga dapat menimbulkan bencana kebakaran dan minyak tanah yang digunakan juga merupakan sumberdaya fosil yang tidak terbarukan. Namun, hal itu menjadikan masyarakat Kampung Naga lebih bijaksana dan hati-hati dalam penggunaan lampu minyak. Keterbatasan pengadaan listrik juga menjadikan masyarakat Kampung Naga tidak banyak menggunakan barang-barang elektronik. Namun, ada beberapa masyarakat yang menggunakan aki dan panel surya sebagai sumber energi untuk kebutuhan energi barang elektronik (Gambar 27). Terdapat 9 rumah yang menggunakan aki dan 2 rumah yang menggunakan panel surya. Penggunaan aki dinilai kurang ekologis karena aki perlu diisi ulang, dan pengisian ulang aki membutuhkan biaya yang harus terus dikeluarkan di setiap pengisiannya. Selain itu, aki merupakan sumber energi yang tidak terbarukan dan hal ini tidak sesuai dengan prinsip konsep ecovillage. Untuk masyarakat yang menggunakan panel surya dinilai cukup ekologis, karena panel surya menggunakan sumber energi matahari yang terbarukan. Hal ini dapat dijadikan potensi untuk penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Penggunaan panel surya dinilai cukup mahal pada saat pemasangan, namun dalam jangka panjang manfaat yang diperolah dapat lebih besar. Penggunaan energi matahari sebagai energi yang terbarukan dapat mengubah kebiasaan masyarakatnya untuk meninggalkan penggunaan energi yang sulit terbarukan. Namun, penggunaan panel surya juga harus dibatasi, karena modernisasi dapat menjadi faktor memudarnya budaya warisan leluhur. Oleh karena itu, prinsip hidup sederhana harus selalu dipegang teguh untuk mempertahankan keberlanjutan budaya di Kampung Naga.
Gambar 27 Penggunaan panel surya dan aki di Kampung Naga (Sumber: Survei lapang) Konservasi energi yang dipertimbangkan di dalam konstruksi bangunan juga sudah diterapkan oleh masyarakat Kampung Naga. setiap bangunan yang ada di Kampung Naga menggunakan material kayu yang didesain seperti panggung. Material kayu yang digunakan dapat menjadikan bagian dalam
39 bangunan menjadi sejuk di siang hari dan hangat di malam hari. Hal ini sangat baik, karena dapat menghemat energi untuk mengatasi perubahan iklim atau cuaca yang tidak nyaman. Bangunan di Kampung Naga juga dilengkapi dengan lubang-lubang udara yang berfungsi sebagai jalan masuknya udara ke dalam bangunan. Selain itu, lubang-lubang udara tersebut juga menjadikan sinar matahari dapat masuk ke dalam bangunan, sehingga pencahayaan pada siang hari didapat secara alami. Hal tersebut dapat menjadi potensi penerapan konsep ecovillage untuk mempertahankan keberlanjutan Kampung Naga. Aspek Sosial-Ekonomi Berdasarkan hasil penilaian, secara umum aspek sosial Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan (Tabel 5). Terdapat aspek yang menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan yaitu aspek keberlanjutan sosial. Tabel 8 Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek sosial-ekonomi No 1.
Indikator Nilai Keterbukaan, kepercayaan dan keselamatan; ruang 39/ B* bersama 2. Komunikasi – aliran gagasan dan informasi 26/B* 3. Jaringan pencapaian dan jasa 42/B* 4. Keberlanjutan sosial 53/A* 5. Pendidikan 38/B* 6. Pelayanan kesehatan 36/B* 7. Keberlanjutan ekonomi – ekonomi lokal yang sehat 26/B* 260/B** Total Ket: * A/50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan ** A/333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan
(1) Aspek Sosial 1: Keterbukaan, kepercayaan dan keselamatan; ruang bersama Aspek sosisal 1 membahas mengenai keterbukaan, kepercayaan dan keselamatan. Pada aspek ini, masyarakat diharapkan memiliki perasaan saling percaya dan merasa aman di lingkungannya sendiri, sehingga tercipta perasaan saling mendukung di setiap masyarakatnya. Selain itu pada konsep ecovillage, terdapat tempat yang mendukung aktivitas yang dapat dilakukan bersama. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Berdasarkan aspek keamanan, Kampung Naga cukup aman untuk wanita maupun anak-anak. Tidak ada catatan kejahatan yang pernah terjadi. Sistem yang dilakukan untuk keamanan yaitu menggunakan sistem ronda yang dilakukan secara bergiliran. Sistem ronda ini merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah desa Neglasari. Selain itu, sirkulasi kampung yang berpola cul-de-sac membuat keamanan kampung lebih terjamin, karena
40 arah pintu masuk dan keluar kampung hanya satu. Tata letak kampung yang berada di lembah dan sedikit tersembunyi juga mendukung sistem keamanan Kampung Naga. Di Kampung Naga terdapat bagian-bagian dari kampung yang dapat mendukung terciptanya komunikasi antar masyarakatnya, yaitu saung lisung dan lapangan terbuka di tengah kampung. Saung lisung adalah tempat untuk menumbuk padi yang baru dipanen. Biasanya yang bertugas menumbuk padi di saung lisung adalah para wanita. Di saung lisung para wanita tersebut dapat teribat komunikasi dengan masyarakat lainnya, sehingga secara tidak langsung saung lisung menjadi media bagi masyarakat Kampung Naga untuk saling berinteraksi. Selain itu, terdapat lapangan terbuka di tengah kampung dapat menjadi tempat untuk saling berinteraksi masyarakat Kampung Naga. Kepemilikan lapangan tersebut adalah milik adat atau milik bersama, sehingga setiap warga dapat menggunakannya. Biasanya masyarakat Kampung Naga menggunakan lapangan itu untuk menjemur padi yang baru dipanen. Karena masa panen di Kampung Naga terjadi secara bersamaan pada setiap sawahnya, maka masa menjemur padi pun dilakukan pada waktu-waktu yang bersamaan. Dari kegiatan menjemur padi tersebut masyarakat Kampung Naga dapat saling berinteraksi satu dengan lainnya. Rumah-rumah di Kampung Naga juga telah didesain ruang-ruang yang dapat menunjang adanya interaksi yang terjadi baik dari setiap anggota keluarga di rumah tersebut, maupun dengan warga lainnya. Setiap rumah di Kampung Naga didesain serupa satu dengan lainnya. Bagianbagian rumah di Kampung Naga terdiri dari tepas, pangkeng, tengah imah, pawon, goah dan golodog. Tepas adalah bagian depang dalam rumah yang menyerupai ruang tamu pada rumah biasa. Biasanya pada lelaki di Kampung Naga akan berkumpul di tepas untuk sekedar mengobrol sambil meminum kopi. Pangkeng adalah ruang tidur. Tengah imah adalah ruang keluarga. Pawon adalah dapur dan menjadi tempat berkumpulnya para wanita sambil memasak atau sekedar menghangatkan diri di depan hawu atau kompor tradisional masyarakat Sunda. Goah adalah lumbung padi yang terletak di dalam rumah. Golodog adalah teras, dan juga sebagai tempat berkumpul warga pada saat siang atau sore hari utnuk sekedar duduk-duduk sambil mengobrol. Frekuensi pergaulan sosial di Kampung Naga terjadi setiap hari, baik di kebun, sawah maupun di dalam Kampung Naga. Selain itu terdapat hari-hari tertentu yang dapat menjadi acara dimana semua masyarakat Kampung Naga baik yang tinggal di dalam kampung maupun di luar kampung, untuk berkumpul di dalam Kampung Naga. acara tersebut disebut hajat sasih. Hajat sasih dilakukan 6 kali dalam setahun dan dilakukan pada waktu-waktu perayaan di dalam agaman Islam. Pada saat upacara hajat sasih, seluruh masyarakat Kampung Naga akan hadir, sehingga pertukaran informasi dan komunikasi akan lebih berkembang karena melibatkan masyarakat Kampung Naga yang tinggal di luar Kampung Naga juga. (2) Aspek Sosial 2: Komunikasi – aliran gagasan dan informasi Aspek sosial 2 berkaitan dengan komunikasi, yaitu penyampaian aliran gagasan dan informasi, serta aksesibilitas untuk mendukung interaksi antaranggota masyarakatnya. Pada aspek ini, Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Untuk interaksi
41 antar-warga di dalam kampung, masyarakat Kampung Naga sudah menerapkan sistem komunikasi yang baik. Sistem pertukaran informasi dan gagasan antar-masyarakat di Kampung Naga dilakukan secara tidak langsung dan tidak teratur. Sistem pertukaran gagasan dan informasi dilakukan pada saat-saat tertentu. Tidak ada jadwal khusus untuk melakukan pertukaran informasi dan gagasan, kecuali pada saat terjadi masalah yang cukup signifikan di dalam kampung. Sistem komunikasi yang meliputi aliran gagasan dan informasi biasanya dilakukan melalui kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat Kampung Naga. Komunikasi di dalam masyarakat Kampung Naga juga didukung oleh tata ruang bangunan rumah yang saling menghadap dan jarak antar-rumah yang cukup rapat, sehingga intensitas komunikasi antarmasyarakatnya juga tinggi. Sistem komunikasi yang digunakan dan bekerja dengan baik di dalam masyarakat adalah pengumuman peristiwa sosial, musyawarah mengenai suatu keputusan di dalam masyarakat, dan dukungan antar-anggota masyarakat saat ada anggota masyarakat yang kekurangan. Sistem komunikasi ini biasanya terjadi saat ada pengumuman penting yang akan disampaikan oleh pemimpin desa atau kuncen dan ketua RT. Pengumuman biasanya dimulai dengan memukul pentungan, lalu warga akan berkumpul di sekitar masjid atau balai pertemuan dan pengumuman disampaikan oleh kuncen ataupun ketua RT. Komunikasi tersebut juga berlaku pada saat terjadi bencana atau peristiwa penting lainnya. Untuk sistem musyawarah, biasanya warga akan melakukannya di balai pertemuan atau di masjid. Namun pertukaran gagasan secara khusus mengenai pengelolaan kampung maupun pertanian kurang diutamakan. Untuk komunikasi dengan masyarakat di luar kampung, sebagian besar masyarakat Kampung Naga mempunyai telepon seluler dan menjadikannya sebagai media komunikasinya. Untuk pelayanan pos dan internet, tidak tersedia di Kampung Naga. Komunikasi yang melibatkan masyarakat Kampung Naga yang tinggal di luar hanya menggunakan telepon seluler. (3) Aspek Sosial 3: Jaringan pencapaian dan jasa Aspek sosial 3, membahas mengenai jaringan pencapaian dan jasa. Pada aspek ini, masyarakat diharapkan dapat menyalurkan bakat dan keterampilan di dalam masyarakat maupun untuk di luar masyarakatnya. Selain itu, masyarakat diharapkan dapat saling memberikan pengetahuan satu dengan yang lainnya, baik di dalam kampung maupun di luar kampung. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Informasi mengenai Kampung Naga telah tersedia untuk khalayak ramai, karena Kampung Naga merupakan kampung adat yang sudah cukup dikenal di masyarakat, dan Kampung Naga merupakan salah satu kunjungan wisata budaya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Informasi tentang Kampung Naga juga dapat diperoleh melalui sistus-situs internet milik pribadi maupun pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, sehingga masyarakat luar dapat dengan mudah mengakses informasi mengenai Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga juga sering terlibat di dalam festival mengenai kampung adat di Indonesia dan melalui festival tersebut, pertukaran informasi mengenai teknologi dan budaya dapat terjadi.
42 Banyak masyarakat Kampung Naga merupakan perajin kayu, dan sering mendapat proyek untuk pembuatan desain-desain bangunan baik di sekitar kampung maupun di luar kampung. Dari proyek-proyek tersebut, banyak masyarakat Kampung Naga yang terlibat, sehingga jaringan jasa yang dilakukan cukup luas. Selain itu, masyarakat Kampung Naga juga sering terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah desa, seperti terlibat di dalam kegiatan pemilihan umum, dan sebagainya. Namun pelayanan masyarakat untuk kaum muda kurang diperhatikan. Tidak ada sarana atau media yang dapat menampung bakat dan keterampilan dari para pemuda, sehingga banyak kaum muda di Kampung Naga yang kurang dapat mengekspresikan bakat dan keterampilannya. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala, karena kehidupan masyarakat Kampung Naga sebagian besar adalah bertani, sehingga mereka cukup menikmati kegiatan rutin yang selalu dilakukan. (4) Aspek Sosial 4: Keberlanjutan sosial Aspek sosial 4 membahas mengenai keberlanjutan sosial, yaitu keanekaragaman dan toleransi, pengambilan keputusan, dan resolusi konflik. Keanekaragaman dihormati sebagai sumber kesehatan, vitality dan kreativitas dalam lingkungan alami dan dalam hubungan masyarakat. Penerimaan, ketertutupan dan keterbukaan membantu perkembangan pemahaman terhadap keuntungan-keuntungan keanekaragaman, memperkaya pengalaman sosial dan lingkungan serta mendukung keadilan. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan kemajuan sempurna menuju keberlanjutan. Di dalam masyarakat Kampung Naga keanekaragaman dan toleransi budaya kurang terlihat, karena setiap masyarakat di Kampung Naga mempunyai budaya yang sama dan memercayai leluhur yang sama. Keanekaragaman agama juga tidak terlihat, karena agama yang dianut oleh seluruh masyarakat Kampung Naga adalah Islam. Namun, masyarakat Kampung Naga tetap memiliki rasa hormat terhadap keanegaragaman dan toleransi terhadap budaya dan agama masyarakat lain. Hal ini dibuktikan dengan keterbukaan masyarakatnya kepada dunia luar atau masyarakat yang berada di luar lingkungan Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga juga tidak menutup diri dari teknologi dan budaya yang dibawa oleh masyarakat luar tanpa menghilangkan budaya sendiri. Oleh karena itu, konflik jarang sekali terjadi di dalam masyarakat Kampung Naga. Keputusan-keputusan yang berhubungan langsung dengan kampung akan diselesaikan dengan musyawarah dan melibatkan masyarakatnya. Perselisihan dan konflik yang terjadi biasanya diselesaikan secara hukum adat. Penyelesaian akan dilakukan secara personal terlebih dahulu, namun jika permasalahan atau perselisihan yang terjadi cukup besar, makan pemimpin adat atau kuncen akan terlibat langsung dalam perselisihan tersebut. Penyelesaian konflik yang terjadi pada anak-anak pun dilakukan secara bijaksana oleh orang tua masing-masing dengan pendekatan agama. (5) Aspek Sosial 5: Pendidikan Aspek sosial 5 membahas mengenai pendidikan, baik secara formal maupun non-formal. Pada aspek ini, kondisi yang diharapkan adalah
43 pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan kreativitas dihargai dan dipelihara, peluang untuk mengajar dan belajar tersedia untuk semua kelompok umur melalui format bidang pendidikan yang bervariasi. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Dalam hal ini, masyarakat meminta dan menghormati masukan dan kontribusi dari masyarakat yang lebih tua, saling bertukar informasi dengan waktu yang tidak teratur, serta pendidikan anak-anak harus melibatkan orang tua. Di Kampung Naga saat ini pendidikan merupakan hal yang penting. Hal ini disebabkan banyaknya pengunjung dan peneliti yang datang ke Kampung Naga, sehingga masyarakat Kampung Naga sering mendapat pengetahuan baru dan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Baik pendidikan formal maupun non-formal dianggap penting bagi masyarakat Kampung Naga. Akses untuk mencapai lembaga pendidikan pun tidak sulit. Meskipun di dalam Kampung Naga tidak terdapat lembaga pendidikan formal, namun lembaga pendidikan formal dari tingkat TK, SD, SLTP, dan SLTA terdapat di desa Neglasari. Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lembaga pendidikan tersebut kurang dari 30 menit, sehingga tidak ada halangan dari segi aksesibilitas untuk mendapatkan pendidikan formal. Di desa Neglasari terdapat 4 TK, 4 SD, 2 SLTP, dan 1 SLTA (Profil Desa Neglasari). Untuk pendidikan non-formal, sudah diterapkan di dalam masyarakat Kampung Naga, antara lain pengajian bagi anak-anak dan dewasa dan pelatihan bahasa Inggris. Pengajian dilakukan setiap minggu di masjid kampung. Untuk pelatihan bahasa Inggris, dikhususkan untuk pemandu wisata di Kampung Naga. Pelatihan ini bertujuan agar masyarakat Kampung Naga dapat memandu pengunjung yang berasal dari mancanegara. Bahasa Inggris yang diajarkan adalah percakapan yang dikhususkan untuk memandu pengunjung. Pelatihan bahasa Inggris di Kampung Naga juga dapat diikuti oleh masyarakat lainnya. Pelatih bahasa Inggris di Kampung Naga adalah ketua dari organisasi pramuwisata di Kampung Naga yang bernama Bapak Ucu Suherlan. (6) Aspek Sosial 6: Pelayanan kesehatan Aspek sosial 6 membahas mengenai pelayanan kesehatan. Pada aspek ini diharapkan adanya kebebasan untuk menyembuhkan, memelihara atau meningkatkan kesehatan fisik, mental, spiritual dan emosional, tersedia dan bisa diusahakan, mencakup kesehatan alternatif dan praktik penyembuhan alami, seperti meditasi. Pada aspek ini masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Pada aspek pelayanan kesehatan, masyarakat Kampung Naga cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan jarangnya kematian akibat bunuh diri, pembunuhan ataupun narkoba. Angka kematian yang tercatat di kantor desa Neglasari adalah 64 orang yang lahir dan 37 orang yang meninggal dalam periode 1 tahun di desa Neglasari. Angka tersebut masih dalam batas wajar. Selain itu, gaya hidup tradisional dan alami juga dapat mendukung kesehatan jasmani. Kondisi ideal menunjukkan pada kesehatan alternatif dan praktik penyembuhan alami. Di Kampung Naga, banyak masyarakatnya menggunakan pengobatan alami dari tanaman untuk tahap awal penyembuhan. Masyarakat Kampung Naga jarang mendatangi dokter ataupun petugas medis
44 jika sakit yang diderita tidak terlalu parah. Mereka banyak menggunakan bahan-bahan alami untuk pengobatannya, seperti daun pohon durian dan pucuk tanaman hanjuang untuk pengobatan tradisional. Untuk proses melahirkan, masyarakat Kampung Naga sudah banyak yang menggunakan jasa bidan desa, namun untuk konsultasi sebelum dan setelah melahirkan, mereka menggunakan jasa dukun beranak atau biasa disebut paraji. Data yang tercatat di kantor desa Neglasari menunjukkan terdapat 1 orang dukun terlatih dan 2 orang bidan desa yang menyediakan pelayanan kesehatan. (7) Aspek Sosial 7: Keberlanjutan ekonomi – ekonomi lokal yang sehat Aspek sosial 7 membahas mengenai keberlanjutan ekonomi, yaitu aliran sumberdaya yang harus memberi dan menerima dana, barang- barang dan jasa secara seimbang agar dapat memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan masyarakat, serta dapat menghasilkan surplus yang dapat dinikmati bersama. Pada aspek ini, Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan suatu awal yang baik untuk mencapai keberlanjutan. Hingga saat ini, masyarakat Kampung Naga dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat berlindung (rumah), dan pakaian. Selain itu, di dalam masyarakat Kampung Naga juga terdapat dorongan untuk menciptakan bisnis yang tetap memperhatikan lingkungan. Sistem ekonomi lokal juga dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar, seperti bertani yang sudah menjadi kebiasaan sejak masa leluhur. Kegiatan bertani tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan makanan. Kebutuhan terhadap makanan tersebut sesuai dengan teori kebutuhan dasar Maslow, pada kebutuhan fisiologis. Masyarakat Kampung Naga sudah memiliki wilayah sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan. Hal ini sesuai dengan teori teritorial menurut Porteous (1977), bahwa kebutuhan akan makanan dapat terpenuhi dengan menempati suatu tempat dan menandai daerah yang menjadi sumber makanan tersebut. Masyarakat Kampung Naga sebagian besar memiliki sawah dan kebun yang dapat ditanami padi dan tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan makanan. Sistem barter juga berlaku di dalam masyarakat Kampung Naga, namun pertukaran yang dilakukan adalah pertukaran barang dengan jasa. Terdapat masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk bertani, sehingga mereka akan menggunakan jasanya untuk berkerja pada masyarakat yang memiliki lahan, lalu sistem bagi hasil dilakukan untuk membayar jasa mereka. Hal ini dapat menjadi potensi sebagai pemenuhan kebutuhan yang dilakukan secara bersama-sama antar-masyarakat Kampung Naga. Selain itu terdapat koperasi warga Kampung Naga yang diketuai oleh bapak Ucu Suherlan yang merangkap sebagai ketua himpunan pemandu wisata Kampung Naga. Banyak juga kaum muda yang meninggalkan Kampung Naga untuk bekerja di luar kampung untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Aspek Spiritual-Budaya Aspek ketiga di dalam konsep ecovillage adalah aspek spiritual. Aspek spiritual meliputi indikator keberlanjutan budaya, seni dan kesenangan, keberlanjutan spirirtual, keterikatan masyarakat, gaya pegas atau ketegaran masyarakat, holografik baru dan pandangan terhadap dunia, serta perdamaian dan kesadaran global. Berdasarkan hasil penilaian, secara umum aspek spiritual
45 masyarakat Kampung Naga berada pada kondisi menunjukkan kemajuan sempurna menuju keberlanjutan. Tabel 9 Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek spiritual-budaya No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Indikator Nilai Keberlanjutan budaya 71/A* Seni dan kesenangan 30/B* Keberlanjutan spiritual 52/A* Keterikatan masyarakat 51/A* Gaya pegas masyarakat 57/A* Holografik baru, pandangan dunia 40/B* Perdamaian dan kesadaran global 66/A* 367/A** Total Ket: * A/50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan B/25-49 C/0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan ** A/333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan
(1) Aspek Spiritual 1: Keberlanjutan budaya Aspek spiritual 1 membahas mengenai keberlanjutan budaya. Pada aspek ini diharapkan kekuatan/vitality budaya dapat selalu dilestarikan melalui aktivitas seni, budaya, serta perayaan-perayaan. Pada aspek ini Kampung Naga menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Kegiatan budaya yang dilakukan di Kampung Naga meliputi upacara-upacara adat dan ritual-ritual yang dilakukan secara rutin pada waktu-waktu tertentu. Upacara adat yang dilakukan di Kampung Naga adalah upacara hajat sasih, Upacara gusaran atau khitanan, dan upacara pernikahan. Setiap upacara adat yang dilakukan di Kampung Naga telah disesuaikan dengan ajaran agama yang dianut, yaitu agama Islam. Ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga adalah ritual pada saat penanaman dan pemanenan padi dan ritual membangunan rumah. Upacara adat dan ritual itu merupakan suatu bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur Kampung Naga. Hingga saat ini, masyarakat Kampung Naga masih mengikuti warisanwarisan budaya dari leluhurnya dan selalu menghormati setiap kebudayaan yang diwariskan. Meskipun banyak masyarakat luar yang berkunjung ke Kampung Naga, namun kegiatan budaya tersebut masih dilakukan, sehingga kebudayaan tersebut tetap lestari. Namun, arsip mengenai sejarah Kampung Naga banyak yang sudah hilang karena peristiwa DI/TII. Pengetahuan mengenai sejarah Kampung Naga tetap terjaga dengan adanya kepemimpinan secara adat oleh kuncen, sehingga pengetahuan disampaikan secara lisan. (2) Aspek Spiritual 2: Seni dan kesenangan Aspek spiritual 2 membahas mengenai seni dan kesenangan. Pada aspek ini diharapkan kreativitas dan seni dilihat sebagai suatu ungkapan kesatuan dan hubungan timbal balik dengan alam semesta, dan dilestarikan melalui berbagai ungkapan seni, kehidupan seni, dan melalui pemeliharaan dan
46 pertukaran nilai-nilai keindahan. Di dalam konsep ecovillage, masyarakat diharapkan menghargai waktu luang untuk mengekspresikan seni dan bakat yang ada di dalamnya. Pada aspek ini, Kampung Naga Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Masyarakat Kampung Naga menganggap bahwa kegiatan yang dilakukan sehari-hari, seperti bertani bukan merupakan hal yang terpaksa dilakukan. Mereka menganggap hal tersebut adalah kewajiban dan mereka menikmatinya, sehingga pengekspresian seni dan bakat tidak dilakukan untuk memperoleh penyegaran dari rutinitas yang selalu dilakukan. Di Kampung Naga, pengekspresian seni ditunjukkan pada saat upacara adat. Seni yang ditampilkan berupa alunan musik yang disebut teureubang gembrung dan teureubang sajak. Seni musik tersebut biasanya ditampilkan pada saat upacara hajat sasih. Musik teureubang gembrung hanya dapat dimainkan di dalam Kampung Naga, sedangkan teureubang sajak dapat dimainkan di luar kampung, seperti pada festival kampung adat. Ruang untuk mengekspresikan seni itu juga terdapat di Kampung Naga, sehingga fasilitas cukup terpenuhi. Seni musik tersebut merupakan salah satu bentuk kebudayaan Kampung Naga yang tidak pernah terpisahkan dari upacara adat yang dilakukan, sehingga keberlanjutan dari kesenian tesebut tetap lestari. (3) Aspek Spiritual 3: Keberlanjutan spiritual Aspek spiritual 3 membahas mengenai keberlanjutan spiritual yang meliputi upacara keagamaan dan perayaan, dukungan untuk pengembangan diri ,dan praktik spiritual. Pada aspek ini, masyarakat diharapkan memiliki rasa hormat dan dukungan untuk menunjukkan kespiritualan dengan berbagai cara, tersedianya peluang/kesempatan untuk pengembangan diri, dan terdapat perasaan gembira dan rasa memiliki yang dikembangkan melalui upacara agama dan perayaan. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Indikator keberlanjutan spiritual dan indikator keberlanjutan budaya selalu sejalan, karena setiap upacara adat untuk kebutuhan spiritual bagi masyarakat Kampung Naga juga merupakan bentuk kebudayaan yang tercermin dari masyarakatnya. Jika kebutuhan spiritual masyarakat Kampung Naga menjadi hal yang tidak penting, maka kebudayaannya pun akan hilang, sehingga setiap kegiatan spiritual yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga selalu menjadi suatu budaya yang harus tetap dilestarikan. Kegiatan atau praktik spiritual yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga tidak hanya pada upacara adat saja. Melaksanakan kewajiban yang dianut dalam agama mereka pun menjadi kegiatan spiritual yang selalu dilakukan. Kegiatan spiritual yang dilakukan secara kelompok ditunjukkan dengan adanya pengajian yang dilakukan rutin setiap minggunya. Fasilitas untuk mendukung kegiatan spiritual yang terdapat di Kampung Naga sudah cukup terpenuhi. Terdapat masjid sebagai tempat ibadah bersama dan bale patemon untuk tempat pengajian atau tempat untuk mendukung kegiatan spiritual lainnya.
47 (4) Aspek Spiritual 4: Keterikatan masyarakat Aspek spiritual 4 membahas mengenai keterikatan masyarakat. Pada aspek ini, diharapkan kualitas dan kebersamaan dalam hati masyarakat membentuk persatuan dan kesatuan dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa menjadi suatu persetujuan dan visi bersama yang menyatakan komitmen, kepercayaan budaya, nilai-nilai, dan praktik yang menggambarkan dan menyatakan keunikan dari tiap masyarakat. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Keterikatan antar– masyarakat Kampung Naga terjalin dari kegiatan sehari-hari mereka, seperti menumbuk padi di saung lisung, menjemur padi di lapangan terbuka di tengah kampung, atau sekedar mengobrol di golodog atau teras rumah (Gambar 28). Rasa kebersamaan juga dapat terjalin karena ukuran kampung yang cukup kecil, sehingga interaksi antar–masyarakat dari seluruh bagian kampung cukup tinggi. Selain itu, pola rumah di Kampung Naga yang saling berhadapan dan tanpa pagar juga memungkinkan adanya interaksi yang cukup tinggi antar– masyarakatnya.
Gambar 28 Kegiatan sehari-hari masyarakat Kampung Naga (Sumber: Survei lapang) (5) Aspek Spiritual 5: Gaya pegas (ketegaran) masyarakat Aspek spiritual 5 membahas mengenai gaya pegas atau rasa ketegaran masyarakat. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga diharapkan mempunyai kapasitas untuk fleksibilitas dan kemampuan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang muncul. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Di dalam masyarakat Kampung Naga, rasa kebersamaan sudah diwariskan oleh para leluhur, sehingga jika ada masyarakat yang sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan, maka masyarakat yang lain akan berusaha untuk mencari solusi secara bersama. Kepemimpinan secara adat oleh kuncen juga mendukung pemecahan solusi terhadap masyarakat yang sedang kesulitan menjadi lebih mudah. Salah satu bentuk usaha untuk mengatasi kesulitan masyarakatnya adalah dengan pengadaan leuit atau lumbung padi. Seluruh masyarakat yang mempunyai sawah dapat menyumbangkan sebagian hasil panennya untuk disimpan di leuit untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana, gagal panen, atau ada masyarakat yang sedang kesulitan. (6) Aspek Spiritual 6: Holografik baru dan sistem pandangan dunia Aspek spiritual 6 membahas mengenai holografik baru dan sistem pandangan dunia, yaitu menyangkut pemahaman masyarakat terhadap
48 hubungan dan saling ketergantungan dari semua unsur-unsur hidup yang ada di bumi. Penekanan diberikan pada komitmen kolektif untuk menerapkan hidup yang berkelanjutan serta kesadaran bahwa setiap tindakan yang dilakukan tidak hanya berpengaruh pada komunitas tetapi global. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Di dalam masyarakat Kampung Naga, rasa kebersamaan sudah terjalin sejak masa leluhur. Rasa kebersamaan tersebut diwariskan oleh leluhurnya dan masih ada sampai saat ini. Konsep keberlajutaan yang ada di Kampung Naga cukup tercapai, karena kearifan lokal dari masyarakat Kampung Naga tersebut sejalan dengan konsep keberlanjutan. Namun, pemahaman secara utuh mengenai konsep keberlanjutan masih sangat kurang. (7) Aspek Spiritual 7: Perdamaian dan kesadaran global Aspek spiritual 7 membahas mengenai perdamaian dan kesadaran global. Pada aspek ini diharapkan masyarakat secara sadar memilih dan berkontribusi untuk menciptakan dunia yang damai, penuh kasih, dan berkelanjutan. Pada aspek ini, masyarakat Kampung Naga menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Di Kampung Naga, rasa kebersamaan terjalin dengan baik, sehingga perselisihan sangat jarang terjadi. Selain itu, prinsip hidup masyarakat Kampung Naga yang selalu hidup selaras dengan alam dan kesederhanaan, sehingga rasa perdamaian dapat muncul karena ketenangan dari kehidupan sehari-hari. Tingkat Keberlanjutan Masyarakat Total Hasil Penilaian Keberlanjutan Masyarakat secara keseluruhan menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Berikut hasil penilaian ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari semua aspek No. 1. 2. 3.
Aspek Nilai Ekologis 267/B** Sosial-Ekonomi 260/B** Spiritual-Budaya 367/A** 894/B*** Total Ket: ** A/333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan *** A/999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan
Pada aspek ekologis dan sosial menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan, sedangkan pada aspek spiritual menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Pada aspek ekologis, konsep keberlanjutan yang sudah diterapkan cukup baik, namun konsep keberlanjutan tersebut terlaksana karena kearifan lokal yang sudah ada sejak masa leluhur. Perlu adanya optimalisasi untuk menunjang konsep keberlanjutan yang lebih baik, namun tetap mengacu pada kearifan lokal masyarakat Kampung Naga. Pada aspek sosial, indikator ecovillage
49 cukup terpenuhi. Aspek sosial yang ada di Kampung Naga juga mengacu pada kearifan lokal dan budaya dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Perlu adanya optimalisasi untuk menunjang konsep keberlanjutan yang lebih baik, namun tetap mengacu pada kearifan lokal masyarakat Kampung Naga. Pada aspek spiritual, masyarakat Kampung Naga sangat baik dalam penerapan konsep keberlanjutan. Kearifan lokal masyarakatnya yang selaras dengan alam, budaya, dan agama membuat setiap indikator dalam aspek spiritual menjadi seimbang. Rekomendasi Pengelolaan Upaya yang dapat dilakukan untuk proses menuju konsep ecovillage yang lebih baik adalah dengan optimalisasi semua aspek yang telah ada di Kampung Naga. Aspek-aspek tersebut perlu dikembangkan agar tercapai keseimbangan antara konsep ecovillage dengan kearifan lokal masyarakat Kampung Naga itu sendiri. Pengembangan dan optimalisasi setiap aspek adalah: Aspek Ekologis: 1. Penyuluhan mengenai konsep desa berkelanjutan atau ecovillage agar konsep ecovillage yang akan dikembangkan seimbang dengan kearifan lokal masyarakat Kampung Naga. 2. Penyuluhan mengenai pengenalan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang bertujuan agar masyarakat memiliki informasi mengenai pentingnya melestarikan keanekaragaman hayati di Kampung Naga dan perlindungan hutan konservasi secara legal yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat Kampung Naga dan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. 3. Optimalisasi pertanian secara organik dan pengembangannya di dalam pekarangan dengan menggunakan sistem vertikultur sebagai solusi dari lahan pekarangan Kampung Naga yang seluas 1.5 ha. Sistem pertanian vertikultur adalah sistem budi daya pertanian yang dilakukan secara vertikal atau bertingkat. Jenis tanaman yang dapat ditanam dengan sistem adalah tanaman buah dan sayur semusim (sawi, selada, kubis, wortel, tomat, terong, cabai dan lain-lainnya), juga bunga seperti anggrek, bougenville, mawar, melati, azelea dan kembang sepatu yang diatur tingginya dengan pemangkasan. Sistem vertikultur dapat diaplikasikan di area sekitar rumah-rumah Kampung Naga. Tanaman yang ditanam dapat digunakan untuk konsumsi pribadi, sehingga kebutuhan pangan selalu terpenuhi di dalam kampung dan tidak perlu untuk membeli di luar kampung. Berikut contoh penerapan vertikultur (Gambar 29). 4. Pembuatan kerajinan tangan dari hasil daur ulang sampah plastik untuk optimalisasi pengelolaan limbah padat. 5. Optimalisasi energi lokal yang menunjang sistem yang berkelanjutan dengan cara mengganti sumber energi dengan energi matahari melalui panel surya. Tetapi, penerapan sumber energi dengan panel surya harus tetap dalam pengawasan ketua adat atau kuncen, agar dampak negatif dari kemajuan teknologi tersebut tidak memudarkan budaya sederhana khas masyarakat Kampung Naga.
50
Gambar 29 Contoh desain vertikultur bambu dan ilustrasinya (Sumber: Hasil pengolahan penulis) Aspek Sosial-Ekonomi 1. Optimalisasi interaksi antar-anggota masyarakat dengan adanya program yang mendukung sistem di dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbagi ilmu mengenai pertanian dan rapat warga mengenai pengelolaan kampung secara rutin. Kegiatan ini dapat didukung dengan banyaknya peneliti yang datang ke Kampung Naga. Peneliti yang datang tersebut dapat menjadi sumber informasi yang diperlukan oleh masyarakat. 2. Pengembangan dan penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan formal dan non-formal untuk pengembangan diri dan bekal untuk keahlian di masa depan. 3. Optimalisasi pelayanan kesehatan secara tradisional dan pelatihan serta penyuluhan mengenai pengobatan tradisional untuk pertolongan pertama terhadap penyakit. 4. Pelatihan pembuatan kerajinan khas Kampung Naga untuk mendukung kegiatan wisata budaya dan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. 5. Kegiatan wisata budaya dapat dikembangkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Wisata budaya yang dikembangkan tidak bertentangan dengan nilai budaya lokal atau menurunkan karakter asli dari Kampung Naga. Wisatawan yang akan mengunjungi Kampung Naga sebaiknya mendapat izin dari kuncen terlebih dahulu. Selain itu, wisatawan yang ingin berkunjung ke Kampung Naga memiliki tujuan untuk memperkaya pengetahuan mengenai kebudayaan Kampung Naga, sehingga jenis wisata yang sesuai dengan Kampung Naga adalah wisata budaya (cultural tourism). Konsep wisata budaya ini dapat didukung dengan adanya pemandu wisata yang sudah tebentuk di Kampung Naga. Organisasi pemandu wisata di
51 Kampung Naga disebut HIPANA (Himpunan Pramuwisata Kampung Naga). Untuk mengatasi dampak negatif dari kunjungan wisatawan terhadap budaya dan masyarakat Kampung Naga, diperlukan peraturan-peraturan dari para pengelola atau pemandu wisata. Batasan-batasan tersebut antara lain: a) Membatasi jumlah kunjungan per harinya agar masyarakat Kampung Naga tidak merasa terganggu. b) Menetapkan hari-hari tertentu dalam satu tahun untuk menolak kunjungan, agar lingkungan alam dan masyarakat Kampung Naga dapat beristirahat dengan tenang tanpa adanya masyarakat luar yang datang untuk berkunjung. c) Menyampaikan peraturan-peraturan mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan di dalam kampung secara jelas kepada wisatawan yang akan berkunjung, dan sebaiknya wisatawan menghormati peraturan-peraturan dan budaya yang ada di Kampung Naga. Aspek Spiritual-Budaya Potensi spiritual dan budaya Kampung Naga sangat kuat, sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah pelestarian seluruh kegiatan yang bersifat spiritual dan budaya. Upaya pelestarian dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan kesenian dan budaya yang ada di Kampung Naga berupa upacara-upacara adat dan ritual-ritual. Upaya pelestarian tersebut dapat didukung sepenuhnya oleh masyarakat Kampung Naga itu sendiri. Selain itu, untuk melestarikan kawasan dan budaya Kampung Naga, dapat dikembangkan program wisata budaya. Program wisata budaya dapat mendukung upaya pelestarian. Menurut UndangUndang No 11 Tahun 2010 mengenai cagar budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Oleh karena itu, kegiatan wisata budaya dapat dioptimalkan agar masyarakat Kampung Naga selalu melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi budaya yang yang telah dimiliki. Program wisata budaya tersebut, harus tetap memperhatikan kearifan lokal, sehingga dampak negatif dari kegiatan wisata budaya dapat diminimalisir. Menurut Prayogi (2011), terdapat upaya untuk menanggulangi dampat negatif dari kegiatan wisata budaya, sebagai berikut: 1. Pendidikan Kemampuan masyarakat dibidang pelayanan jasa pariwisata perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada wisatawan, misalnya terkait dengan kemampuan berbahasa asing. Pendidikan ini bisa dilakukan dengan cara pelatihan ataupun pemberian beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu. 2. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian alam dan budaya Pengembangan pariwisata tidak hanya menuntuk kita untuk mengeksploitasi segala potensi yang dimiliki oleh suatu daerah untuk dijadikan produk ataupun daya tarik wisata. Namun kita juga diwajibkan untuk menjaga kelestarian alam dan budaya tersebut sehingga potensi alam dan budaya ini bersifat berkelanjutan. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan melaksanakan penyuluhanpenyuluhan yang dilakukan oleh pemeritah yang dibantu oleh pihak swasta.
52 3. Pelatihan-pelatihan informal Pelatihan informal dapat dilaksanakan dengan jalan memberikan pelatihan singkat mengenai keterampilan dibidang kerajinan tangan. Hal ini bertujuan agar kesempatan kerja bisa ditingkatkan, sehingga pemerataan pendapat bisa dilaksanakan 4. Peningkatan keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat meningkatkan rasa memiliki, dimana dengan ini diharapkan keinginan mereka untuk menjaga segala potensi yang mereka miliki semakin meningkat. Berdasarkan hasil analisis, indikator dengan nilai terendah di dalam aspek spiritual-budaya adalah indikator seni dan kesenangan. Rekomendasi yang dapat dilakukan adalah pengadaan program untuk meningkatkan potensi kesenian dan budaya di Kampung Naga, serta fasilitas untuk mendukung minat dan bakat para kaum muda untuk mengekspresikan bakat tersebut. Penampilan dari kesenian Kampung Naga dapat menjadi salah satu atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk mendukung kegiatan wisata budaya Kampung Naga. Adanya konsep wisata budaya di Kampung Naga, aspek ekonomi masyarakat dapat meningkat. Hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga dapat menjadi cinderamata dan dapat dijual kepada wisatawan, sehingga terdapat nilai ekonomi dari hasil keseniannya. Selain itu, budaya masyarakat Kampung Naga dapat menjadi suatu pengetahuan untuk masyarakat luas, sehingga kawasan Kampung Naga dapat menjadi kawasan cagar budaya yang dapat dilindungi secara hukum.
53
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis potensi ecovillage menurut masyarakat, Kampung Naga berpotensi untuk penerapan konsep ecovillage. Berdasarkan analisis Penilaian Keberlanjutan Masyarakat, secara keseluruhan masyarakat Kampung Naga sudah menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Pada aspek ekologis, indikator dengan nilai tertinggi adalah infrastruktur, bangunan, dan transportasi, karena semua desain, material, dan pola penempatan bangunan di Kampung Naga sudah mendekati prinsip ekologis, dan transportasi yang dilakukan dengan berjalan kaki, sehingga dapat dikatakan ekologis. Pada aspek sosial-ekonomi, indikator dengan nilai tertinggi adalah keberlanjutan sosial, karena masyarakat Kampung Naga sudah cukup baik dalam hal toleransi dalam banyak hal, pengambilan keputusan dengan musyawarah, dan resolusi konflik yang melibatkan seluruh masyarakat kampung. Pada aspek spiritual-budaya, indikator dengan nilai tertinggi adalah keberlanjutan budaya, karena sebagian besar budaya yang diwariskan oleh leluhur Kampung Naga masih dilakukan hingga saat ini. Nilai keberlanjutan masyarakat paling tinggi berada pada aspek spiritual-budaya, karena kespiritualan masyarakat Kampung Naga yang masih sangat kuat, dan kegiatan kebudayaan yang dilakukan sejalan dengan kegiatan spiritual, sehingga selama kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap keyakinan dan agamanya tidak hilang, maka kegiatan budaya pun tetap ada. Secara umum, masyarakat Kampung Naga sudah menerapkan konsep ecovillage secara baik berdasarkan budaya dan kearifan lokalnya. Oleh karena itu, rekomendasi yang dapat dilakukan adalah optimalisasi potensi konsep ecovillage yang telah diterapkan dan menggunakan aspek legal untuk mempertahankan keberlanjutan kampung. Saran Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga sudah cukup signifikan untuk menuju keberlanjutan, namun masih diperlukan adanya penyuluhan dan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga keberlanjutan suatu tempat dan harus disertai dengan optimalisasi konsep keberlanjutan yang telah diterapkan. Diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat Kampung Naga yang didukung oleh pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, serta semua pihak yang terkait untuk pelaksanaan sistem desa berkelanjutan. Selain itu, Kampung Naga dapat dijadikan model kampung yang berbasis ecovillage untuk diterapkan di tempat lain untuk keberlanjutan sistem ekologi pada DAS Ciwulan.
54
DAFTAR PUSTAKA Arafat P. 2010. Evaluasi keberlanjutan masyarakat pada hulu DAS Kalibekasi berdasarkan konsep ecovillage [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Arifin HS, Munandar A, Arifin NHS. 2008. Harmonisasi pembangunan pertanian berbasis DAS pada lanskap desa-kota kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aziz A. 2002. Analisis jaringan komunikasi dalam masyarakat tradisional Kampung Naga (kasus dalam usahatani padi) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Frick H, Suskiyatno FXB. 2007. Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis: Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan. Yogyakarta (ID): Penerbit Karnisius. GEN. 2000. Ecovillage [internet]. Diakses pada Januari 2013. Tersedia dalam: gen.ecovillage.org Hengky. 2006. Penerapan konsep ekowisata untuk meningkatkan daya saing pariwisata pesisir di Kabupaten Pandeglang, Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kantor Desa Neglasari. 2012. Profil Desa Neglasari. Kabupaten Tasikmalaya (ID): Kantor Desa Neglasari. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2013. Panduan Kota Hijau di Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Kusnaedi. 2006. Sumur Resapan Untuk Permukiman Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Nasrullah N. 2009. Konsep tata ruang dan elemen dalam pengembangan ecovillage. Di dalam: Sunarti E, editor. Pengembangan Model Ecovillage: Pembangunan Kawasan Perdesaan serta Sumbangan Pertanian Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Perdesaan. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. hlm 21-28. Nurlaelih EE. 2005. Aplikasi konsep desa berkelanjutan (ecovillage) dalam pengelolaan lanskap perkampungan tradisional [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Padma A, Aksana B, Wahyuningkasih C, Suhardjono C, Nining G, Indrawati I, Hani LL, Setiawan M, Tjandra R, Gunawan Y. 2001. Kampung Naga: Permukiman Warisan Karuhun. Bandung (ID): Architecture & Communication. Porteous JD. 1977. Environment and Behaviour: Planning and Everyday. Menlo Park, California (US): Addison Wesley Publishing Company. Prayogi PA. 2011. Dampak Perkembangan Pariwisata di Objek Wisata Penglipuran. Di dalam: Jurnal Perhotelan dan Pariwisata. Kuta (ID) : Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya. hlm 64-79. Simond JO, Starke BW. 2006. Landscape Architecture. New York (US): McGraw-Hill. Siswanto. 2007. Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Sudradjat HR. 2006. Mengelola Sampah Kota. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
55 Suryani NS, Charliyan A. 2013. Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung (ID): Dzulmariaz. Yulianingsih D. 2002. Etnobotani pada masyarakat adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
56
LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Eksplorasi Potensi Ecovillage Menurut Masyarakat Kampung Naga Kriteria ecovillage
1 1
2
2 3
3 4
4 5
5 6
Responden 6 7 8 9 7 8 9 10
1 11
1 12
1 13
1 14
1 15
1
Ekologi Sosial Spiritual Ekonomi
Lampiran 2 Panduan Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assesssment( CSA) ASPEK EKOLOGIS 1 1. Perasaan terhadap Tempat- skala dan lokasi masyarakat; restorasi dan preservasi alam a. Berapa orang dalam masyarakat yang mempunyai hubungan dan hidup secara harmonis dengan tempat di mana mereka tinggal: semua, sedikit perkecualian (5) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) b. Jumlah kepemilikan dalam masyarakat (tempat tinggal satu-satunya atau utama): 0-5 (0) 5-19 (1) 20-49 (2) 50-500 (4) 501-1000 (2) 1001-2000 (1) 2001+ (0) c. Perkiraan berapa banyak orang dalam masyarakat yang banyak mengetahui margasatwa dan tumbuhan asli adalah: mayoritas (5) beberapa (3) minoritas (1)sedikit/tidak ada (0) d. Habitat asli dan tumbuhan asli di daerah itu : Secara aktif didukung/ditingkatkan sering (4) kadang-kadang (2) jarang (0) tidak pernah -1) ( Dilindungi sering (4) kadang-kadang (2) jarang (0) tidak pernah -1) ( Dikembalikan jika diganggu oleh aktivitas manusia sering (4) kadang-kadang (2) jarang (0) tidak pernah -1) ( e. Peningkatan kedalaman humus tanah tahunan: Periksa sebanyak penggunaan : seluruh wilayah (5) pada sebagian besar lahan dalam masyarakat (3) dalam area produksi makanan saja (1) tidak ada peningkatan (0) berkurang (-1) f. Keanekaragaman spesies yang sesuai dalam masyarakat adalah: Tumbuh-tumbuhan meningkat (4) tak berubah (1) menurun-1) ( Satwa
57 g.
h.
i.
j.
meningkat (4) tak berubah (1) menurun-1) ( Perubahan kesehatan lingkungan umum dibandingkan tahun lalu: Kualitas Tanah lebih buruk (-1) sama (0) lebih baik (3) Kualitas Air lebih buruk (-1) sama (0) lebih baik (3) Kualitas Udara lebih buruk (-1) sama (0) lebih baik (3) Tingkat gangguan terhadap lingkungan alami masyarakat oleh: Polusi Suara (bunyi tak menyenangkan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan mengganggu ketenangan alami) sering (-1) kadang-kadang (0) jarang (2) sama sekali tidak (4) Polusi Cahaya (sumber cahaya terang tak menyenangkan untuk tetangga dan/atau menghalangi pandangan kepada bintang-bintang) sering (-1) kadang-kadang (0) jarang (2) sama sekali tidak (4) Sampah (sampah manusia, barang-barang tidak layak) sering (-1) kadang-kadang (0) jarang (2) sama sekalitidak (4) Tingkat aktivitas masyarakat dalam merencanakan konservasi (usaha perlindungan) terhadap sumber alam yang berkurang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kenikmatan generasi masa depan: sering (4) kadang-kadang (2) jarang (1) sama sekali tidak (-1) Tingkat partisipasi anggota masyarakat dalam aktivitas pemugaran dan konservasi lingkungan (penanaman pohon, pemindahan jenis tanaman atau satwa tidak asli, dll.): sering (4) kadang-kadang (2) jarang (1) sama sekali tidak -1) (
Sense/Perasaan terhadap Tempat Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 2 2. Ketersediaan, Produksi dan Distribusi Makanan a. Kecukupan makanan, ketersediaan dan kecukupan gizi seimbang : Periksa sebagaimana yang berlaku tersedia di tempat itu (3) dapat diakses dengan mudah (3) bisa usahakan (3) b. Sumber ketersediaan makanan dalam persen (%) - (Jika kurang dari % terendah, dihitung sebagai 0) Yang diproduksi di dalam masyarakat 12% ( 1) 13-25% ( 3) 26-40% atau lebih ( 5) Yang diperoleh dari produsen makanan lokal/wilayah, di luar masyarakat 25% ( 1) 40% ( 3) 55% ( 5) Tumbuh secara organik: 25% ( 1) 50% ( 3) 65% atau lebih ( 5) Dari tanaman wilayah/tradisional/indigenous: 25% ( 1) 50% ( 3) 65% atau lebih ( 5) c. Kegiatan produksi bahan makanan yang mecukupi: Periksa sebagaimana yang berlaku:
58
d.
e.
f.
g.
dalam masyarakat (12) di dalam wilayah (6) tidak ada surplus (cukup/tidak ada lebih) (0) makanan harus dibawa masuk dari luar wilayah untuk kecukupan gizi. (-1) Kelebihan makanan: Periksa sebagaimana yang berlaku: disimpan untuk penggunaan masa depan (1) dijual (1) didermakan (1) diberikan untuk makanan binatang (1) dikomposkan (1) dibuang seperti sampah (-3) Jika ada bahan makanan yang rusak atau busuk, hal yang dilakukan: diberikan/didonasikan (2) dijadikan makanan hewan (2) dijadikan pupuk kompos (2) dibuang (-3) Tingkat penggunaan rumah kaca dan/atau kebun atap atau kebun jendela sepanjang tahun untuk produksi makanan: besar (6) beberapa (3) sedikit (2) tidak ada (0) tidak perlu, produksi makanan di luar sudah cukup (4) Penggunaan pestisida, herbisida, pupuk kimia dalam produksi makanan masyarakat: selalu dilakukan (-3) kadang-kadang (-1) sangat jarang (1) tidak pernah (6) Penggunaan benih dalam produksi makanan: Periksa sebagaimana yang berlaku benih diserbukkan terbuka (6) (varietas yang menghasilkan benih dan melestarikan biodiversitas, secara lokal di tempat itu ditukar dan dibudidayakan) benih hibrida (-2) (benih yang dijual oleh korporasi komersil yang tidak akan bisa berbiak dan oleh karena itu tidak bisa disimpan untuk tanaman tahun berikutnya)
Ketersediaan, Produksi dan Distribusi Makanan Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 3 3. Infrastruktur, Bangunan Fisik dan Transportasi - material metode dan disain ekologis a. Kecukupan perumahan, ketersediaan tempat perlindungan yang memadai: Periksa sebagaimana yang berlaku: tersedia di tempat itu (4) bisa usahakan (4) b. Tingkat penggunaan bahan bangunan adalah: Alami/dapat didaur ulang sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Bahan daur ulang sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Dari wilayah sendiri sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit/tak ada (0)
59 c. Bangunan yang dirancang untuk memperkecil kebutuhan energi dan menyelaraskan dengan penggunaan lingkungan alami: Periksa sebagaimana yang berlaku Ruang bersama ( bangunan umum, rumah bersama, dll.) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Standar penyekat yang tepat dengan tempat itu sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Bahan penyekat alami/tidak beracun sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Orientasi bangunan (untuk mengendalikan suhu dan cahaya) sebagian besar(3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Penciptaan iklim mikro ruang luar yang baik (penanaman untuk mengatur suhu dalam ruang untuk kenyamanan) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Disain untuk memadukan dengan lingkungan (warna, bahan, pemilihan lokasi, dll.) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Disain dan perencanaan konstruksi untuk jangka panjang dan pembaharuan sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tak ada (0) Lainnya ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan: d. Penyesuaian dengan bangunan yang sudah ada sebelumnya untuk keberlanjutan/estetika (keindahan): sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit/tak ada (0) e. Beberapa bentuk penghormatan atau penyesuaian terhadap bumi, digunakan untuk berhubungan dengan lingkungan alami pada waktu perancangan, penggalian atau penataan kembali lanskap (bentang alam), pembangunan infrastruktur dan aktivitas masyarakat: sering (4) kadang-kadang (2) jarang (0) tidak pernah -1) ( f. Sejauh mana disain masyarakat (bangunan, infrastruktur lain, lanskap dan daerah aktivitas) dilakukan dengan sistem permakultur (sesuai dengan budaya yang ada) atau pendekatan sistem utuh lainnya, yang menghormati dan memasukkan kebutuhan akan bumi, fauna dan tumbuh-tumbuhan lokal, seperti halnya kebutuhan manusia: sering (4) kadang-kadang (2) jarang (0) tidak pernah -1) ( g. Seberapa baik masyarakat itu dirancang untuk meminimalkan penggunaan kendaraan bermotor di dalam masyarakat ( sebagai contoh, pengelompokan bangunan): baik sekali (4) cukup (2)secara minimal (1) tidak memadai -1) ( h. Seberapa sering anggota masyarakat harus bepergian keluar untuk kebutuhan mereka: sering (-2) kadang-kadang (1) jarang (2) tidak pernah (4) i. Tingkat penggunaan metode konservasi (usaha perlindungan alam) dalam transportasi : Sistem Jalan kecil ( berjalan, sepeda, kuda, dll.) sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Penggunaan kendaraan bermotor yang digerakkan oleh sumber energi dapat diperbaharui dan bersih (matahari)
60 sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Tempat parkir sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Sarana angkutan bersama sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Ketersediaan tempat pemberhentian sementara untuk perjalanan jarak jauh sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Metode lain yang mendukung (1 angka untuk masing-masing) - uraikan: j. Kesempatan untuk bekerja di rumah dibandingkan dengan bekerja di luar desa: sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah (-1) Infrastruktur, Bangunan Fisik dan Transportasi Total: + 50 Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 4 4. Pola Konsumsidan Pengelolaan Limbah Padat a. Perkiraan berapa banyak orang dalam masyarakat yang menggunakan metode berikut untuk mengurangi konsumsi sumberdaya alam dan menghasilkan limbah padat: Kesederhanaan secara sengaja - konsumsi pribadi diperkecil semua-sangat sedikit perkecualian (10) sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit/tidak ada (0) Sumber daya bersama - Peralatan, Perkakas, Pakaian, dan lain lain semua-sangat sedikit perkecualian (10) sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit/tidak ada (0) Fasilitas bersama- Dapur, Ruang Penyimpanan, Kantor, dan lain lain semua-sangat sedikit perkecualian (10) sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit/tidak ada (0) Bekerjasama dalam pembelian/borongan semua-sangat sedikit perkecualian (10) sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit/tidak ada (0) Lainnya (1 angka untuk masing-masing) tentukan: b. Tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pasar lokal (memperpendek jarak antara produsen dan konsumen): besar (5) sedikit (3)sangat kecil (1) sama sekali tidak -1) ( c. Tunjukkan yang mana sistem berikut yang ada dalam masyarakat dan penggunaannya: Pendaurulangan: gelas/kaca, plastik, aluminum, timah, dan lain lain (2) sering (5) kadang-kadang (3) jarang (0) tidak pernah -5) ( Penggunaan kembali (2) sering (5) kadang-kadang (3) jarang (0) tidak pernah -5) ( Perbaikan atau pembuatan berbagai barang-barang (tidak membeli barang baru) (2) sering (5) kadang-kadang (3) jarang (0) tidak pernah -5) ( Lainnya ( 1 angka untuk masing-masing) Tentukan:
61 d. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang mengetahui metode dan lokasi pengelolaan sampah yang berasal dari masyarakat tersebut (pemindahan sampah, landfill lokasi, dll.): semua, sedikit perkecualian (5) sebagian besar (3)beberapa (1) sedikit/tidak ada (0) Pola Konsumsi dan Pengelolaan Limbah Padat Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 5 5. Air- Sumber, Mutu dan Pola Penggunaan a. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang mengetahui, menghormati dan melindungi sumber air: semua-sedikit perkecualian (6) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada(-1) b. Sumber dan persediaan air : Periksa sesuai yang berlaku lokal dan berlimpah/dapat diperbaharui (4) tangkapan (1) sumur (1) mata air atau saluran air lainnya (1) dipipakan dari jarak jauh, atau mengimport ( dg tangki, botol, dll.) (1) sangatsulit (mahal, jauh, langka/dijatah) (-1) dari sumber yang tidak dapat diperbaharui/pengambilan lebih besar dari pembaharuan (-2) c. Kondisi kualitas air : Periksa sesuai yang berlaku secara alami bersih- tanpa perlakuan, tidak diperlukan penyaringan (5) disaring untuk menghilangkan kotoran kecil (3) perlakuan dengan aditif sehat dan ramah lingkungan untuk menyeimbangkan pH atau ketidak seimbangan mineral (2) perlakuan secara kimiawi diperlakukan dengan khlor, brom, yodium atau fluorine (0) perlakuan dengan bahan-kimia, kemudian penyaringan/pemurnian (1) d. Metode Penyimpanan Air adalah: bersih dan sehat (5) tak sehat, tercemar dan beresiko untuk kesehatan (-5) e. Tingkat penggunaan metode konservasi (usaha perlindungan) air oleh masyarakat: Metode Irigasi yang memelihara air sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Penggunaan kembali greywater (air sisa pembuangan yang berasal dari bekas cucian, mandi, atau cuci piring) sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Penggunaan rumah tangga secara minimal sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Alat yang membatasi jumlah penggunaan air (kran aerator, kepala shower berarus rendah, dll.)
62 sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Xeriscaping (seni taman dengan menggunakan tanaman asli yang tahan/toleran terhadap kekeringan dan membutuhkan pemeliharaan yang sedikit/minimal) sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Penggunaan produk alami/non-racun (pembersihan, berkebun, produk rumah tangga, dll.) sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Perawatan dan pemeliharaan pipa-pipa yang bocor sering (6) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( Lain ( 1 angka untuk masing-masing) tetapkan: Air- Sumber, Kualitas dan pola penggunaan Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 6 6. Limbah Cair dan Pengelolaan Polusi Air a. Sistem pengelolaan limbah yang digunakan masyarakat: Periksa sesuai yang berlaku Pengomposan kamar kecil, kamar kecil kering, pembangunan lahan basah atau hidup dengan sistem mesin semua (7) sebagian besar (5)beberapa (3) sedikit (1) Kamar kecil dengan pembilasan rendah atau kamar kecil baku dengan tanggul (obyek dalam tangki yang mengurangi volume pembilasan) semua (7) sebagian besar (5) beberapa (3) sedikit (1) Kamar kecil dengan pembilasan reguler, tidak ada metode konservasi (-1) Lainnya ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan: Sanitasi tidak dikelola dengan memadai (ancaman pencemaran) (-5) b. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang mengetahui metode dan lokasi perlakuan limbah yang digunakan oleh masyarakat tsb: semua, sedikit perkecualian (6) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (0) c. Efek limbah cair/oleh produksi secara keseluruhan di kampung: hal positif ( mis. pertumbuhan tanaman bermanfaat, aquaculture) (15) hal negatif(mis. emisi/pancaran bahan-kimia atau pencemar lain) (-5) netral (5) d. Kualitas setiap air yang keluar dari masyarakat itu, dibandingkan dengan ketika masuk adalah: meningkat, bersih (10) sama, tanpa perubahan (0) berkurang, kurang bersih (-5) Jika berkurang: Apakah sesuai dengan standar lokal untuk emisi limbah cair ya (2) tidak (0) Apakah sesuai dengan standar lokal untuk air minum ya (3) tidak (0) e. Polusi air (pencemaran air oleh limbah):
63 Tidak ada di tempat itu (10) Ada dan diberi perlakuan untuk mendapatkan kembali air bersih (8) Ada dan tidak dipermasalahkan (-5) f. Sistem yang tepat untuk pembuangan zat beracun tersedia di tempat itu (cat, minyak, baterai): ya (8) tidak (ada) (0) Anggota masyarakat menggunakan ini: ya (8) tidak (ada) (0) Air Limbah dan Pengelolaan Polusi Air Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK EKOLOGIS 7 7. Sumber Energi dan Penggunaannya a. Jumlah energi dari sumber energi dapat diperbaharui (matahari, angin, hidro, biomass atau geothermal) yang ada di masyarakat itu adalah: semua (7) sebagian besar (5) beberapa (3) sedikit (1) tidak ada (0) b. Jumlah energi yang dibawa masuk dari luar masyarakat dari sarana perlengkapan, diturunkan dari sumber yang dapat diperbaharui: semua (5) sebagian besar (3) beberapa (2) sedikit/tidak ada (1) c. Jumlah energi yang dibawa masuk dari luar masyarakat dari sarana perlengkapan dihasilkan oleh nuklir atau sumber bahan bakar fosil (bahan bakar minyak): semua (-6) sebagian besar (-3) beberapa (0) sedikit (1) tidak ada (5) Tingkat kesadaran anggota masyarakat bahwa kebutuhan energi mereka diperoleh dari sumber energi yang tidak dapat diperbaharui: semua, sedikit perkecualian (3) sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit (0) tidak ada -(1) d. Informasi dan pendidikan konservasi (usaha perlindungan alam/lingkungan) energi dalam masyarakat : program dan informasi siap tersedia dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat (7) program dan informasi tersedia, tetapi tidak digunakan dengan baik oleh masyarakat (3) program dan informasi tidak tersedia untuk anggota masyarakat (0) e. Sebagian besar kebutuhan rumah tangga dan aktivitas (mencuci pakaian, pemeliharaan makanan, dll.) terpenuhi dengan menggunakan: Alami, metode non-listrik (5) peralatan efisien energi super (3) peralatan efisien energi dasar (2) peralatan standar dengan praktek konservasi atau adaptasi (1) peralatan standar, tanpa praktek konservasi atau adaptasi (-1) metode lain ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan
64 f. Pemanasan air dan pemanas atau pendingin ruang sebagian besar disediakan oleh : matahari, geothermal, atau, biomass berlanjut (termasuk kayu) dari lahan masyarakat (5) gas-alam, sejenis metan, kayu atau biomass wilayah, atau, pompa pemanas (3) minyak bakar, atau, listrik dari sumber yang tidak dapat diperbaharui (0) metode lain ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan g. Memasak sebagian besar disediakan oleh: matahari, atau, biomass berlanjut dari lahan masyarakat (termasuk kayu) (3) sejenis metan atau gas-alam (1) listrik dari suatu sumber yang tidak dapat diperbaharui (0) metode lain ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan Jika kayu adalah sumber yang penting, tunjukkan bagaimana kayu tersebut diperbaharui: program penanaman pohon dalam masyarakat/wilayah (2) pengumpulan kayu mati dari dalam masyarakat/wilayah (2) didatangkan dari luar wilayah dari sumber yang diperbaharui melalui penanaman pohon (1) dari sumber ( lokal, wilayah atau lebih jauh) tanpa program pembaruan pada tempatnya (-2) tidak berlaku (0) h. Pendinginan sebagian besar disediakan oleh: sistem musiman atau kotak/gudang pendingin (3) listrik dari matahari atau sumber lain yang dapat diperbaharui (2) sejenis metan atau gas-alam (1) listrik dari suatu sumber yang tidak dapat diperbaharui (-2) metode lain ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan i. Konservasi (usaha perlindungan) energi dipertimbangkan dalam konstruksi bangunan masyarakat dengan: Periksa sesuai yang berlaku lokasi dan orientasi bangunan untuk panas, peneduhan, dan lain lain oleh iklim (2) penggunaan bahan/metode konstruksi yang sesuai (isolasi/penyekatan, dll.) (2) konservasi energi tidak dipertimbangkan dalam konstruksi bangunan masyarakat (-2) metode lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan j. Tingkat penggunaan metode efisiensi dan konservasi energi: Pertimbangan konservasi energi dalam perancangan bangunan masyarakat sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah (-1) Peralatan elektronik digunakan bersama oleh anggota masyarakat sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Anggota masyarakat memilih energi peralatan dan perkakas efisien, sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidakpernah (-1) Sistem energi on-demand (hanya menggunakan energi jika diperlukan, seperti alat pemanas air) sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) (
65 Penggunaan energi rumah tangga minimal melalui konservasi dan produk, seperti memadamkan tenaga ketika tidak digunakan, alat pengatur waktu, isolasi sumber panas, dan lain lain sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan perabotan secara teratur sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah (-1) Perawatan dan pemeliharaan bangunan umum-jendela, pintu, dan lain-lain untuk mencegah kehilangan udara dingin atau panas sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Pencahayaan alami untuk ruang dalam rumah sering (2) kadang-kadang (1) jarang (0) tidak pernah -1) ( Penggunaan neon kecil 60% atau lebih banyak cahaya (3) 20-60% (2) 10-20% (1) < 10% cahaya (0) metode lain ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan k. Energi Surplus (berlebih) dihasilkan dari sumber yang dapat diperbaharui dalam masyarakat: ada (2) tidak (0) Energi surplus (berlebih) yang dihasilkan: disimpan untuk penggunaan baru dalam masyarakat ya (2) tidak (0) diberikan kepada tetangga atau jaringan ya (2) tidak (0) Sumber Energi dan Penggunaannya Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 1 1. Keterbukaan, Kepercayaan dan Keselamatan; Ruang Bersama a. Tingkat perasaan/pengertian mendasar mengenai keselamatan dan kepercayaan di dalam masyarakat: sebagian besar (6) beberapa (3) sedikit (0) sama sekali tidak-1) ( b. Tingkat keamanan lingkungan masyarakat untuk para wanita: sepenuhnya (6) sebagian besar (3) kadang-kadang (0) sama sekali tidak (-1) c. Tingkat keamanan lingkungan masyarakat untuk anak-anak: sepenuhnya (6) sebagian besar (3) kadang -kadang (0) sama sekali tidak (-1) d. Tingkat pengetahuan dan dukungan antar tetangga: hampir selalu (6) sering (3) kadang -kadang (0) sama sekali tidak (1) e. Kejahatan orang dewasa dalam masyarakat : jarang (6) sekali-kali (3) sering (-3) tetap (-5) f. Kejahatan remaja dalam masyarakat : jarang (6) sekali-kali (3) sering (-3) tetap(-5) g. Ruang dalam rumah yang tersedia untuk aktivitas dan berkumpul bersama: sempurna (6) cukup (3) minimal (1) tidak ada (0) h. Ruang di luar yang tersedia untuk aktivitas dan berkumpul bersama:
66 sempurna (6) cukup (3) minimal (1) tidak ada (0) i. Tempat yang tersedia untuk kaum muda berkumpul dan melakukan aktivitas yang sehat : sempurna (6) cukup (3) minimal (1) tidak ada (0) j. Frekuensi pergaulan sosial untuk keseluruhan masyarakat: sehari-hari (7) mingguan (5) bulanan (3) musiman (2) tahunan (1) jarang (-1) Keterbukaan, Kepercayaan dan Keselamatan; Ruang Bersama Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 2 2. Komunikasi - aliran gagasan dan informasi a. Sistem masyarakat memberi peluang kepada anggotanya untuk berbagi informasi, menukar gagasan dan menyampaikan kebutuhan secara teratur adalah: sempurna (15) cukup (5) minimal (1) t idak cukup (-5) Anggota masyarakat menggunakan sistem ini: sering (10) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak (0) b. Sistem komunikasi yang digunakan dan bekerja dengan baik dalam masyarakat: Periksa pengumuman peristiwa sosial (3) pengumuman aktivitas kerja kelompok (3) mendorong diskusi mengenai keputusan penting masyarakat (3) pembuatan informasi tentang kebijakan dan keputusan masyarakat pada masa lampau (3) menyediakan peluang untuk berbagi sumber daya, ketrampilan, transportasi, dan lain lain (3) menyediakan dukungan pribadi pada saat anggota masyarakat sedang kekurangan (3) pertukaran diskusi dan gagasan tentang nilai-nilai dan visi (3) Lainnya ( 1 angka untuk masing-masing) - uraikan : c. Terdapat aksesibilitas yang cukup untuk sarana interaksi antar-anggota masyarakat: Bertemu dan berbicara secara langsung: sering (8) kadang-kadang (4) jarang (-3) Telepon: ya (5) tidak (ada) -3) ( Fax: ya (4) tidak (ada) -1) ( Pelayanan Pos Reguler: ya (3) tidak (ada) -1) ( Internet/e-mail: ya (2) tidak (ada) (0) Lainnya (1 angka untuk masing-masing) - uraikan: Komunikasi- aliran gagasan dan informasi Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan
67 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 3 3. Jaringan Pencapaian dan Jasa - Pertukaran Sumber daya (Internal/Eksternal) a. Informasi tentang masyarakat tersedia untuk khalayak ramai dalam beberapa format: ya (7) tidak (ada) (0) b. Masyarakat menyumbangkan program dan jasa dalam mendukung metode hidup, teknologi dan/atau bisnis: Ke anggota masyarakat: ya (7) tidak (ada) (0) Kepada khalayak ramai: ya (7) tidak (ada) (0) c. Masyarakat menyediakan asisten/jasa kepada mereka yang memerlukan: Periksa sesuai yang berlaku di dalam masyarakat (10) di dalam wilayah (5) di dalam negara (5) di dalam bagian lain dunia (5) d. Tingkat keterlibatan anggota masyarakat dalam proyek jasa: Periksa sesuai yang berlaku : Di dalam masyarakat sering (5) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak -1) ( Di dalam wilayah, (masyarakat dekat atau sekitar) sering (5) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak -1) ( Nasional/internasional sering (5) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak -1) ( e. Tingkat ketersediaan kesempatan pelayanan masyarakat untuk kaum muda: sering (7) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak -3) ( f. Masyarakat membangun hubungan dan pertukaran informasi, sumber dan dukungan dengan masyarakat lain dan organisasi yang berhubungan: sering (7) kadang-kadang (3) sangat kecil (1) sama sekali tidak -1) ( Jaringan Pencapaian dan Jasa - Pertukaran Sumber (Internal/Eksternal) Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan
daya
ASPEK SOSIAL 4 4. Keberlanjutan Sosial - Keanekaragaman dan Toleransi; Pengambilan keputusan; Resolusi Konflik a. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang menghargai keanekaragaman sosial maupun budaya dan toleransi : Di dalam masyarakat semua-sedikit perkecualian (3) sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) Di luar masyarakat semua-sedikit perkecualian (3) sebagian besar (2) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1)
68 b. Tingkat kekuatan self-governance (mengatasi sendiri) masyarakat mengenai isu masyarakat: sepenuhnya (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit (0) tidak ada (-1) c. Metode persetujuan yang tidak membedakan masyarakat digunakan untuk arah dan keputusan penting masyarakat (musyawarah): ya (4) pada sebagian atau kadang-kadang (1) tidak (ada) (-1) d. Transparansi pengambilan keputusan: Ketersedian informasi tentang topik-topik keputusan bagi semua selalu, sedikit perkecualian (3) kadang-kadang (2) jarang/tidak pernah (-1) Setiap anggota masyarakat dapat menghadiri pertemuan-pertemuan pengambilan keputusan selalu, sedikit perkecualian (3) kadang-kadang (2) jarang/tidak pernah (-1) e. Proses pengambilan keputusan adalah inklusif: Terdapat suatu sistem di mana setiap anggota masyarakat dewasa dapat memberi masukan dalam proses pengambilan keputusan ya (3) tidak (ada) -2) ( Terdapat suatu sistem di mana anak-anak dapat memberi masukan dalam proses pengambilan keputusan ya (3) tidak (ada) -1) ( f. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang biasa berpartisipasi dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan masyarakat: semua, sedikit perkecualian (4) sebagian besar( 3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) g. Tersedia Informasi/pendidikan dalam pengambilan keputusan dan penguasaan ketrampilan : Untuk anggota masyarakat dewasa ya (3) tidak ada -( 1) Untuk anggota masyarakat anak-anak ya (3) tidak ada -( 1) h. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat akan setuju bahwa sistem pengambilan keputusan berhasil dalam keputusan/situasi yang sulit: semua, sedikit perkecualian (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) i. Perselisihan dan berbagai kesulitan sosial berhasil diatur oleh suatu sistem yang disetujui, yang mendukung, tidak menghukum: hampir selalu (5) pada umumnya (3) kadang -kadang (1) jarang/tidak pernah (-5) j. Anggota masyarakat mempunyai akses yang mudah pada sistem resolusi konflik (penyelesaian masalah) ini: ya (4) tidak (ada) -2) ( k. Tersedia Informasi/pendidikan dalam ketrampilan resolusi konflik (penyelesaian masalah) tanpa kekerasan: Untuk anggota masyarakat dewasa ya (5) tidak ada -1) ( Untuk anak-anak ya (5) tidak ada -1) ( l. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang akan setuju pada sistem resolusi konflik (penyelesaian masalah) ini adalah berhasil dalam menghadapi situasi sulit
69 semua-sedikit perkecualian(4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) usaha perlindungan hak azasi manusia semua-sedikit perkecualian (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) mempertimbangkan persamaan dan keadilan semua-sedikit perkecualian (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-1) Keberlanjutan Sosial Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 5 5. Pendidikan a. Penghargaan masyarakat terhadap pendidikan dan pembelajaran ditunjukkan berikut ini: Periksa sesuai yang berlaku: konsultasi, latihan keahlian dan/atau magang ditawarkan oleh mereka yang mempunyai keterampilan/keahlian khusus (3) masyarakat berkumpul untuk pertukaran informasi dan kelompok belajar (3) masyarakat berkumpul untuk berdiskusi dan belajar dari isu dan kekeliruan serta membuat perubahan untuk meningkatkan sesuatu yang tidak baik (3) meminta dan menghormati masukan dan kontribusi dari masyarakat yang lebih tua (3) melibatkan anak-anak dalam pekerjaan dan aktivitas masyarakat dalam segala bentuk (3) melibatkan orangtua dalam proses pendidikan anak-anak mereka (3) pelajar menentukan isi dan fokus program bidang pendidikan mereka (3) tingkat keluarnya anak-anak dari sistem bidang pendidikan mereka tidak ada atau rendah (3) lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan: b. Ketersediaan peluang bidang pendidikan (sesuai untuk masyarakat) dan akses di dalam masyarakat atau wilayah, termasuk : periksa sesuai yang berlaku Awal pendidikan (aktivitas belajar pra-sekolah) (2) Pendidikan Dasar (2) Pelatihan keterampilan kerja (2) Pendidikan formal/tinggi (2) Workshop minat khusus/Seminar/ Program Group (2) Program bermanfaat/Aktivitas untuk kaum muda, di luar sekolah (2) Kesempatan belajar Pengalaman Hidup (2) lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan: c. Peluang pendidikan tersedia bagi semua kelompok umur: Di (dalam) masyarakat : ya (10) tidak (ada) -1) ( Di (dalam) wilayah : ya (5) tidak (ada) -5) (
70 d. Tingkat sistem pendidikan dan metode pengajaran: Menghormati dan mendukung perbedaan individu pelajar (bakat, kecerdasan, minat dan keterbatasan) besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak-2) ( Mempertimbangkan realisasi diri individu besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak-2) ( Meningkatkan ketrampilan membangun dan kerjasama masyarakat besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak-2) ( Pendidikan Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 6 6. Pelayanan Kesehatan a. Pelayanan kesehatan dasar : Periksa sebanyak yang berlaku tersedia di tempat itu (3) dengan mudah dapat diakses (3) bisa usahakan (3) b. Pilihan pelayanan kesehatan yang tersedia di dalam atau dekat masyarakat: Periksa sebanyak yang berlaku pelayanan kesehatan dasar - jasa medis konvensional (2) perawatan kesehatan sebelum lahir (2) perawatan mengenai gigi - jasa medis konvensional (2) perawatan kesehatan anak-anak (2) perawatan keadaan darurat (2) perawatandan dukungan untuk orang cacat (2) perawatan ibu hamil (2) jasa tradisional (upacara perdukunan, konsultasi, dll.) (2) perawatan manula (2) penyembuhan tradisional ( herbal, perihal gizi, dll.) (2) perawatandan dukungan untuk orang meninggal (2) perawatan/pelatihan pencegahan ( diet, berlatih) (2) homeopathy (2) praktek alternatif (meditasi, yoga, dll.) (2) terapi alternatif (pekerjaan badan, hipnotis, biofeedback, metode energi, dll) (2) lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan c. Seberapa baik kebutuhan kesehatan dijumpai di dalam atau dekat masyarakat: Fisik : baik (2) cukup (1) kurang baik (0)sama sekali tidak (-2) Mental : baik (2) cukup (1) kurang baik (0) sama sekali tidak (-2) Emosional : baik (2) cukup (1) kurang baik (0) sama sekali tidak (-2) Spiritual : baik (2) cukup (1) kurang baik (0) sama sekali tidak (-2)
71 d. Kematian dalam masyarakat dari penyebab yang dapat dicegah: jarang sekali (6) sekali-kali (3) umum (-1) sering (-3) e. Kematian akibat bunuhdiri/pembunuhan/narkoba: jarang sekali (6) sekali-kali (3) umum (-1) sering (-3) f. Penyakit serius dalam masyarakat: jarang sekali (6) sekali-kali (3) umum (-1) sering (-3) g. Tingkat komitmen umum terhadap kesehatan tempat tinggal dalam masyarakat: besar (6) agak banyak (3) kecil (1) sama sekali tidak-3) ( Pelayanan Kesehatan Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SOSIAL 7 7. Keberlanjutan Ekonomi - ekonomi lokal yang sehat a. Terdapat dorongan kuat untuk menciptakan bisnis pada anggota masyarakat: Meningkatkan perekonomian ekonomi lokal : ya (4) tidak (ada) (0) Tidak menghasilkan polusi : ya (4) tidak (ada) (0) Tidak mengeksploitasi sumber daya manusia: ya (4) tidak (ada) (0) Tidak mengeksploitasi sumber alam : ya (4) tidak (ada) (0) b. Bank lokal mendukung proyek keberlanjutan: ya (4) tidak (ada) (0) c. Perkiraan berapa banyak kaum muda yang meninggalkan masyarakat tersebut untuk berusaha: sebagian besar (-5) beberapa (0) sebagian kecil (3) sedi kit/tidak ada (5) d. Pengalaman menganggur atau kehilangan pekerjaan anggota masyarakat: jarang (2) kadang-kadang (1) sering (-1) sering (-2) e. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka (makanan, tempat perlindungan, pakaian, dll.): sebagian besar (-6) beberapa (-1) sedikit (3) tidak ada (6) Jika ada ketidaksamaan ekonomi antar anggota masyarakat, apakah ada sistem untuk berbagi di antara keduanya: ya (3) tidak (ada) (0) f. Sistem ekonomi yang aktif di masyarakat: Periksa sesuai yang berlaku selfsufficiency (usaha untuk mencukupi sendiri) untuk kebutuhan dasar (5) industri rakyat yang ramah lingkungan (2) bisnis kecil berkelanjutan (2) sistem barter dan pertukaran (2) pendidikan/program (2) telekomunikasi atau pekerjaan lain di rumah (2) volunteerism (kontribusi pekerjaan) (2) hari pasar lokal (2) pengumpulan dana untuk memperagakan praktek berkelanjutan (2)
72 sukarelawan dalam masyarakat untuk proyek pengembangan berkelanjutan (2) pertukaran dengan ecovillage dan masyarakat berkelanjutan lain (kerjasama dengan desa/kampung lain) (2) pengumpulan dana untuk kegiatan masyarakat (0) meninggalkan masyarakat untuk bekerja (-2) Lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan: g. Anggota masyarakat terlibat aktif dalam koperasi ekonomi: di dalam wilayah kampung ya (2) tidak (ada) -2) ( di dalam negara ya (1) tidak (ada) -1) ( ya (1) tidak (ada) (0) di luar negeri h. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang akan menguraikan pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang berarti dan memenuhi: semua-sedikit perkecualian (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-2) i. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang akan mengatakan mereka memiliki kelimpahan/kemakmuran dalam hidup mereka: semua, sedikit perkecualian (4) sebagian besar (3) beberapa (1) sedikit/tidak ada (-2) Ekonomi berkelanjutan- ekonomi lokal sehat Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 1 1. Keberlanjutan Budaya a. Warisan etnik atau budaya masyarakat yang masih dipelihara dan diselenggarakan melalui: Periksa sesuai yang berlaku transmisi lisan atau berceritera (5) arsip bersejarah dan laporan tertulis (5) orang yang bertindak sebagai historian (5) pelatihan/magang dalam keahlian yang dikhususkan untuk masyarakat (kerajinan tangan, bahasa daerah, produk rakyat, dll.) (5) visi bersama untuk memastikan kesinambungan budaya di masa datang (5) upacara dan perayaan (5) seni (foto, lukisan dinding, nyanyian, dll.) (5) tidak berlaku (0) Walaupun anggota masyarakat tidak berbagi warisan umum, mereka melakukan: bergabung dalam merayakan warisan rekan anggota masyarakat (15) menghargai dan bertindak untuk memelihara budaya/sejarah masyarakat saat ini dengan satu atau lebih metode di atas (15) b. Penawaran program budaya, festival dan perayaan yang terbuka bagi semua orang: Periksa di dalam masyarakat (10) di dalam wilayah (5)
73 tidak yang dekat (-5) c. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat yang mengetahui sejarah masyarakatnya: sebagian besar (13) beberapa (6) sedikit (1) tidak ada-4) ( d. Siklus/transisi hidup diakui dan dibagi dalam perayaan, upacara dan perjalanan upacara: selalu, sedikit perkecualian (13) pada umumnya (6) kadang -kadang (2) tidak pernah (-5) Keberlanjutan Budaya Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 2 2. Seni dan Kesenangan a. Ketersediaan peluang bagi anggota masyarakat untuk mengembangkan bakat (kelas, magang, dan dukungan untuk pencarian rasa seni individu: hampir selalu (6) pada umumnya (4) kadang -kadang (2) jarang (0) tidak pernah (-2) b. Peluang ini meliputi: Periksa sesuai yang berlaku: lukisan (2) musik (2) penulisan kreatif (2) teater/akting (2) menari (2) tekstil (2) rakyat cerdik (2) fotografi (2) keramik/patung (2) lain (1 angka untuk masing-masing) - uraikan c. Sejauh mana anggota masyarakat menilai dan mendorong pengembangan para penghibur dan pertunjukan lokal: besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak (-1) d. Sejauh mana anggota masyarakat mempunyai waktu untuk berekreasi dan melakukan aktivitas yang bersifat kesenangan (olah raga, hobi, santai, dll.) adalah: besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) kecil/sama sekali tidak (-1) e. Terdapat ruang bersama aktivitas dan peristiwa seni: dalam rumah : ya (6) tidak (ada) -1) ( di luar : ya (4) tidak (ada) -1) ( f. Frekuensi perayaan berkesenian dalam masyarakat: Periksa sesuai yang berlaku: Sehari-Hari (5) Mingguan (3) Bulanan (2) Musiman (2)Tahunan (1) Tidak pernah (-5) g. Disain dan penampilan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai nilai seni, mutu keindahan: dengan jelas (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak (-1)
74 h. Sejauh mana ungkapan dan pengalaman keindahan (dalam- seni, upacara, puisi, taman, arsitektur, dll.) adalah alamiah sebagai bagian dari kehidupan masyarakat: besar (6) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak-1) ( Seni dan Kesenangan Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 3 3. Keberlanjutan Spiritual - upacara keagamaan dan perayaan; dukungan untuk pengembangan diri dan praktek spiritual a. Anggota masyarakat bebas untuk memuja Sang Pencipta, dan merayakan ibadah mereka dengan Ilahi, melalui praktek-praktek pemujaan sesuai pilihan mereka: ya (10) tidak (ada) -5) ( b. Peluang untuk perenungan dan pengembangan diri tersedia dalam masyarakat: Periksa sesuai yang berlaku: melalui pencarian individu (5) melalui program dan aktivitas kelompok (5) tidak (ada) (-5) lainnya (1 angka untuk masing-masing) - uraikan c. Topik dan pengalaman kespiritualan di dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai : nyaman, harmonis dan mendukung kesejahteraan/kesehatan masyarakat secara menyeluruh (2) sumber permasalahan atau kegelisahan/kerusuhan dan berbagai kesulitan hubungan antar pribadi dalam masyarakat (-2) d. Kelompok praktek spiritual yang diselenggarakan dalam masyarakat, meliputi: Periksa sesuai yang berlaku: Meditasi (1) Penyesuaian (1) Tarian sakral/suci (1) Pembicaraan tentang suatu bahasan (1) Makanan yang diberkati (1) Renungan bersama (1) Doa (1) Puji-pujian (1) Doa/Bacaan-bacaan pada aktivitas masyarakat (1) Lainnya (1 angka untuk masing-masing) Tentukan: e. Seberapa sering anggota masyarakat datang bersama untuk praktek spiritual yang menghubungkan mereka kepada tingkatan kesadaran yang lebih dalam di dalam diri mereka dan/atau kepada bumi: secara teratur (5) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -(1) f. Sejauh mana anggota masyarakat berkeinginan untuk mencurahkan diri mereka untuk pemahaman dan pelayanan spiritual: besar (5) agak banyak (3) sebagian kecil (1) sama sekali tidak (-1)
75 g. Sejauh mana kebijaksanaan dan keahlian spiritual sesepuh masyarakat dipandang sebagai sumber daya masyarakat dan digunakan sebagai suatu pemandu dalam berbagai persoalan masyarakat: besar (5) agak banyak (3) sebagian] kecil (1) s ama sekali tidak (-1) h. Terdapat ruang yang diperuntukkan perkumpulan dan praktek spiritual : dalam rumah ya (5) tidak (ada) -1) ( di luar ya (5) tidak (ada) -1) ( i. Perkiraan berapa banyak anggota masyarakat memahami bahwa aspek spiritual ditunjukkan dalam berbagai cara, dan menghormati tatacara anggota masyarakat lainnya: sebagian besar (5) beberapa (3) sedikit (1) tidak ada-1) ( Keberlanjutan Spiritual - upacara keagamaan dan perayaan; dukungan untuk pengembangan diri dan praktek spiritual Total : 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 4 4. Keterikatan Masyarakat a. Sebagian besar anggota masyarakat akan setuju bahwa kualitas hidup dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai: sempurna (5) baik (3) cukup (1) tidak cukup (0) lemah/miskin- ( 2) b. Frekuensi berbagi tentang kepercayaan, nilai-nilai dan pengalaman antar anggota masyarakat: sering (5) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah -1) ( c. Sejauh mana prinsip-prinsip moral (seperti rasa hormat terhadap diri dan orang lain, tanggung jawab dan integritas pribadi) menjadi bagian dari aktivitas dan filosofi masyarakat: besar (5) agak banyak (3) sedikit (0) sama sekali tidak-1) ( d. Sejauh mana tujuan atau visi umum mempersatukan masyarakat: besar (5) agak banyak (3) sedikit (0) sama sekali tidak-1) ( e. Masyarakat meninjau ulang dan memperbaharui tujuan dan visi bersama terjadi: secara teratur (5) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah (0) f. Masyarakat tertawa, bermain, santai dan menikmati hidup bersama-sama: secara teratur (5) kadang-kadang (3) jarang (1) tidak pernah (0) g. Tingkatan keselarasan, kepedulian dan dukungan: Antar wanita dalam masyarakat adalah sempurna (6) baik (4) cukup (2) tidak cukup (0) lemah -2)( Antar pria dalam masyarakat adalah sempurna (6) baik (4) cukup (2) tidak cukup (0) lemah -2)( Antar para laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adalah sempurna (6) baik (4) cukup (2) tidak cukup (0) lemah -2)( Antar anak-anak dalam masyarakat adalah sempurna (6) baik (4) cukup (2) tidak cukup (0) lemah -2)( Antar berbagai kelompok umur dalam masyarakat adalah
76 sempurna (6) baik (4) cukup (2) tidak cukup (0) lemah-2) ( h. Gambaran hubungan seksual dalam masyarakat: sesuai untuk masyarakat dan mendukung keseluruhan kesejahteraan/kesehatan masyarakat (3) sumber permasalahan/kerusuhan dan berbagai kesulitan sosial di dalam masyarakat (-3) i. Usaha masyarakat untuk memperkuat ikatan internal mereka: secara teratur (8) kadang-kadang (4) jarang (2) tidak pernah -(1) Keterikatan Masyarakat Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 5 5. Gaya pegas (ketegaran) Masyarakat a. Tingkat dimana masyarakat bisa menjawab dengan menguntungkan ke anggota masyarakat dalam krisis: seluruhnya, sedikit perkecualian (14) sebagian besar (8) agak banyak (5) sedikit (2) sama sekali tidak -3) ( b. Masyarakat mampu melihat jika keahlian eksternal diperlukan untuk membantu anggota masyarakat yang mengalami krisis: pada umumnya (14) kadang-kadang (5) jarang (2) tidak pernah -3) ( c. Seberapa sering masyarakat dapat membantu anggota masyarakat lain yang menghadapi permasalahan eksistensial atau pribadi, mengubah bentuk krisis itu menjadi kesempatan untuk realisasi dan pengembangan diri: pada umumnya (14) kadang-kadang (5) jarang (2) tidak pernah -3) ( d. Sejauh mana masyarakat dapat menjawab dan mendukung anggota masyarakat marginal (yang lemah/miskin, sakit, meninggal, bermasalah, lumpuh, manula, dll.): seluruhnya-sedikit perkecualian (14) sebagian besar (8) agak banyak (5) sedikit (2) sama sekali tidak -3) ( e. Usaha masyarakat untuk memperkuat kemampuannya untuk keberhasilan menangani tantangan/krisis: secara teratur (15) kadang-kadang (7) jarang (2) tidak pernah -3) ( Gaya Pegas Masyarakat Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 6 6. Holographic Baru, Sistem Pandangan Dunia
77 a. Sejauh mana masyarakat menilai kehidupan secara sadar (tanggung jawab pribadi, pengembangan pribadi dan mempedulikan interaksi dengan orang lain): besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( b. Sejauh mana keragaman (manusia) dihargai dan didukung sama pentingnya dengan keseluruhan kesehatan dan keberhasilan masyarakat : besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( c. Sejauh mana rasa kebersamaan dalam masyarakat dan kontribusinya kepada dunia: besar (14)beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( d. Sejauh mana konsep keberlanjutan ditenerima dan digunakan dalam masyarakat: besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( e. Sejauh mana komitmen bersama dalam masyarakat untuk tujuan yang lebih besar " kita sedang lakukan hal ini untuk sesuatu yang lebih besar dari kita"- untuk sesuatu yang lebih baik: besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( Holographic Baru, Sistem Pandangan Dunia Total: 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan ASPEK SPIRITUAL 7 7. Perdamaian dan Kesadaran Global a. Sejauh mana ada keselarasan dalam karagaman, dinamika perbedaan masyarakat digunakan untuk menciptakan manfaat bagi masyarakat: besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) ( b. Masyarakat terlibat dalam aktivitas untuk berbagi pengalaman yang membuka hati dan pikiran: secara teratur (10) kadang-kadang (6) jarang (2) tidak pernah -2) ( c. Ketika membuat keputusan penting masyarakat, masyarakat terlibat dalam aktivitas yang membuka hati untuk kebenaran yang lebih dalam dan keseimbangan pikiran, badan dan roh: secara teratur (10) kadang-kadang (6) jarang (2) tidak pernah -2) ( d. Sejauh mana anggota masyarakat sadar dan bertanggung jawab bahwa pengaruh emosional dan/atau energi mental mereka berpengaruh terhadap energi kolektif masyarakat: besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sa ma sekali tidak (-3) e. Anggota masyarakat menawarkan jasa secara sukarela: Di dalam masyarakat sering (10) kadang-kadang (6) jarang (2) tidak pernah -2) ( Di luar masyarakat itu sering (10) kadang-kadang (6) jarang (2) tidak pernah -2) ( f. Penilaian kedudukan masyarakat dalam menciptakan perdamaian di dalam: besar (14) beberapa (10) sedikit (5) sama sekali tidak-3) (
78 Kesadaran Global dan Perdamaian Total : 50+ Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 Menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan keberlanjutan
79
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 2 November 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudrajat dan Ibu Yeyes Rochiasih. Penulis memulai pendidikan di TK Tunas Islam Banjar, Jawa Barat pada tahun 1995 sampai tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 060884 Medan, Sumatera Utara dari tahun 1997 hingga tahun 2003. Pada periode 2003-2006, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Medan, Sumatera Utara. Kemudian periode 2006-2009 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 2009, penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujuan Talenta Mandiri IPB (UTMI). Selama di IPB, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman sebagai anggota. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan Himpunan Profesi Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan di Fakultas Pertanian, IPB.