53
BAB IV PROFIL DAN SEJARAH KAMPUNG NAGA
A. Profil Masyarakat Kampung Naga 1. Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Naga mempunyai dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi formal dan komunikasi informal. Komunikasi formal yaitu yang berkaitan dengan adat, misalnya interaksi yang terjadi dalam sebuah upacara adat, sedangkan komunikasi informal adalah komunikasi yang mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya berbincang-bincang dengan tetangga rumahnya. Saat berkomunikasi, sebagian besar mereka tidak bersuara keras tapi dengan suara halus dan pelan, hal ini diperkirakan karena jarak rumah satu dengan lainnya berdekatan, sehingga bila seseorang berbicara di sebuah rumah akan terdengar ke rumah sebelahnya. Selain hal tersebut beberapa kali saat peneliti melakukan wawancara atau sekedar mengobrol seringkali mereka (laki-laki) tidak menatap langsung kepada lawan bicara, atau mengalihkan pandangan. Hal ini tentunya mempunyai tujuan, sebagaimana yang telah menjadi palsafah pegangan mereka, itu untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Komunikasi formal mereka salah satunya mereka praktekkan dalam upacara adat. Salah satu upacara adat yang biasa diadakan di sana adalah hajat sasih. Nyaris keseluruhan acara ini dipimpin oleh kuncen. Mulai mempersiapkan sesajen, memimpin jalan menuju tempat ziarah, dan memimpin prosesi saat ziarah, semuanya dipimpin oleh kuncen. Acara ini diakhiri dengan munjungan
54
atau menyalami kuncen dengan terbungkuk-bungkuk. Selama memimpin acara, kata-kata yang diisampaikan kuncen sepenuhnya disampaikan dengan sangat serius dan sakral dengan materi kata-kata seoralah-olah sudah dia hafal di luar kepala, karena begitu seringnya dia memimpin. Berbeda dengan itu, acara khitanan tidak semua prosesi acara dipimpin oleh kuncen, namun ada pembagian tugas kepada beberapa orang yang telah ditentukan. Misalnya sawer dipimpin oleh seorang kartisah, ngisikan (mencuci beras) dipimpin oleh indung goah, sedangkan kuncen mempimpin pada upacara adat keliling kampung. Dan semua kata-kata yang disampaikan, baik oleh kartisah, indung goah dan kuncen, disampaikan dengan sangat serius dan sakral. Dua jenis komunikasi dapat diamati dari komunikadi verbal dan non verbal mereka. Komunikasi verbal itu berupa percakapan di berbagai kesempatan maupun tulisan-tulisan dalam berbagai kepentingan dan dokumen. Sedangkan komunikasi nonverbal mereka dapat diamati dalam berbagai ekspresi simbolik adat istiadat, kebiasaan, dan budaya masyarakat Kampung Naga. Dalam
berkomunikasi
sehari-hari
masyarakat
Kampung
Naga
menggunakan bahasa Sunda yang juga menjadi bahasa ibu bagi mereka. Tidak hanya dengan lingkungan intern, kepada pengunjung yang berasal dari tatar Sunda dan bisa berbahasa Sunda merekapun menggunakan bahasa yang sama. Selama ini dalam penggunaan bahasa Sunda tidak ada perbedaan yang mencolok dengan masyarakat sekitar (wilayah Kabupaten Tasikmalaya), baik dalam hal penggunaan kata maupun dialek (logat). Namun bedanya mereka tidak mengenal perbedaan tingkatan penggunaan bahasa sebagaimana yang dtetapkan dalam tata
55
bahasa Sunda umumnya, sebagaimana yang pernah ditulis Morisson, pemakaian bahasa Sunda dibedakan menjadi tiga tingkatan bahasa, yaitu bahasa Sunda halus, bahasa sedang dan bahasa kasar. Bahasa halus digunakan untuk berbicara kepada orang tua, bahasa Sunda sedang digunakan untuk berbicara kepada orang-orang yang setaraf, baik dari segi sosial maupun usia, dan bahasa Sunda kasar digunakan oleh majikan kepada pesuruhnya atau atasan kepada bawahan. Meski ada kesamaan dengan bahasa Sunda umumnya, ada beberapa kata yang tidak bisa mereka gunakan dan diganti dengan kata lain yang maknanya serupa diantaranya : kata garing diganti dengan tuhur, Singaparna (salah satu Kecamatan di Tasikmalaya) diganti dengan kata Galunggung (nama sebuah gunung berapi yang cukup terkenal di Kabupaten Tasikmalaya). Alasan mengapa mereka tidak bisa menggunakan bahasa itu di jelaskan oleh Ahman Sya dan Mutakin, bahwa bagi mereka kata garing mempunyai arti kering kerontang, sedangkan tuhur mengandung arti sekedar tidak basah dan tidak sampai kering kerontang. Juga dengan kata Singaparna, mereka pantang menyebutnya karena Singaparna bagi mereka adalah nama leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Singaparna. Mereka memegang betul sopan santun kepada leluhur atau orang tua, bahwa bila seorang anak menyebut nama bapaknya sendiri, itu sebuah tindakan tidak terpuji atau istilah Sundanya cologog. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pola komunikasi masyarakat Kampung Naga tidak mengenal perbedaan tingkatan penggunaan bahasa antara individu dengan individu lainnya baik secara sosial maupun usia. Kepada anakanak, kepada teman sebaya, kepada orang yang lebih tua, bahasa yang dipakai
56
sama saja, dan umumnya mereka menggunakan bahasa sedang. Pola komunikasi ini mencerminkan pandangan hidup mereka bahwa manusia itu sama.
2.
Rutinitas Keseharian dan Cara Berpakaian Aktifitas di kampung ini lebih banyak dilakukan pada sore hari, karena
tidak sedikit dari mereka yang memiliki lahan garapan di luar kampung. Pada siang hari Kampung Naga tampak lenggang, sementara orang tua pergi ke sawah dan ladang, anak-anak mereka pergi ke sekolah. Kebanyakan hanya wanitanya yang yang tinggal di rumah, bila mereka tidak membantu para suiami mereka di sawah dan ladang. Pada sore hari kegiatan-kegiatan lain yang umum dilakukan oleh warga Kampung Naga selain yang tersebut diatas adalah olah raga bulu tangkis bagi laki-laki baik anak-anak maupun dewasa dihalaman depan masjid dan bale. Sebagian anak-anak juga bermain dihalaman dan pemandangan ini akan terlihat pertama kali ketika mulai memasuki wilayah Kampung Naga. Sore hari pun tidak sedikit pria dewasa yang masih kerja di lahan pertaniannya, sedangkan kaum perempuannya mulai menyiapkan santapan untuk makan malam, dan mencari anaknya untuk segera dimandikan, dan ketika hari semakin petang kaum pria mulai menyalakan lampu petromak yang menjadi sumber penerangan pada malam hari, yang juga menjadi waktu bagi mereka untuk menonton Televisi. Sebagian besar lain menghabiskan waktu sore dengan menganyam bersama-sama di depan rumah (gelodog-teras) sambil mengobrol ataupun hanya
57
sekedar mengobrol dalam bentuk lain dari forum-forum informal. obrolan-obrolan yang sempat terekam dalam ingatan peneliti adalah mengenai gempa Tasikmalaya dan Pangandaran, Piala Dunia, Kontes Dangdut Indonesia (KDI), rangkaian upacara adat yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat, masalah pendidikan (memperkirakan anaknya akan masuk rangking atau tidak di sekolahnya dan juga mengenai biaya), dan kesehatan pak henhen yang terkena tipus. Dalam menjalani rutinitas sehari-hari, masyarakat Kampung Naga terbiasa dengan segala sesuatu yang menurut pandangan mereka sederhana. Hal ini nampak dari perkakas rumah yang dimiliki, pakaian, dan makanan yaitu berkaitan dengan menu yang dihidangkan begitu pula dengan kegiatan mereka sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ahman dan Mutakin: “Pakaian adat harian masyarakat Kampung Naga adalah kain pelekat, celana komprang, baju kampret, totopong (iket).” Namun yang menjadi ciri khas paling menonjol dari mereka adalah iket, dan bila di jalan bertemu dengan seorang yang berikat kepala bisa dipastikan mereka berasal dari keturunan Naga, karena untuk masyarakat Sunda lainnya iket sudah sangat jarang digunakan. Iket ini digunakan oleh masyarakat Kampung Naga, sedangkan untuk atasan dan bawahan mereka memakai pakaian sebagaimana layaknya masyarakat umum. Kaum perempuan umunya memakai bawahan sarung, beberapa memakai rok dan sangat jarang yang memakai celana panjang, dan sebagian mereka menutup kepala dengan kerudung. Apabila bepergian kebanyakan mereka memakai rok, kecuali anak-anak mudanya, beberapa dari mereka menggunakan celana panjang. Identitas pakaian ini menjadi
58
salah satu ciri yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga. Tidak ada aturan yang mengharuskan mereka memakai pakaian tertentu. Identitas ini digunakan hanya berdasarkan pada hati nurani dan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya. Pakaian sebagai salah satu simbol mempunyai peran dalam membangun pola komunikasi di lingkungan masyarakat Kampung Naga. Pakaian yang biasa dikenalan oleh mereka satu sisi memberikan gambaran yang jelas (perbedaan) antara apa yang dikenakan oleh laki-laki dan apa yang dikenakan oleh perempuan (laki-laki memakai iket dan perempuan memakai rok atau kain sarung), di samping itu juga memperjelas mana warga asli Kampung Naga dan pengunjung, sehingga komunikasi yang terjadi antara warga dan pengunjung berusaha berpakaian seperti layaknya masyarakat Kampung Naga untuk menipiskan perbedaan dan bisa berbaur dengan warga tanpa merasa canggung. Identitas pakaian ini juga mampu menyembunyikan keadaan ekonomi di antara mereka dan menjadi simbol kesederhanaan yang selama ini telah mereka anut. Kesederhanaan dan keseragaman dalam pakaian labih tampak lagi dalam pakaian adapt (hajat sasih), yaitu berupa baju putih, kain sarung dan iket. Dalam pelaksanaan upacara hajat sasih tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, perhiasan dan pakaian dalam. Terdapat sedikit perbedaan iket yang digunakan dalam upacara adar dan iket yang digunakan dalam kehdiupan sehari-hari. pada saat upacara adapt betuknya seragam yaitu berbetuk segi tiga terbalik , sedangkan dalam kehidupan sehari-hari iket boleh digunakan dengan sembarang bentuk.
59
3. Makanan dan Keunikan Mereka Dalam Menerima Tamu Keunikan mereka yang lain adalah saat mereka menerima tamu. Cara mereka menyuguhkan air minum tidak seperti masyarakat pada umumnya yaitu menyuguhkan gelas yang telah berisi air. Warga Kampung Naga menyuguhkan dengan cara gelas dalam keadaan tertelungkup ditaruh di atas baki dan air masih dalam ceret. Tamu kemudian menuang sendiri air yang akan mereka minum. Dan cara ini berlaku di setiap rumah. Selain itu kepada tamu merekapun terbiasa langsung menawari makan meskipun teeman nasi yang ada hanya ikan asin saja. Dua perilaku di atas mencerminkan, bahwa tidak ada perbedaan antara manusia datu dengan lainnya sehingga mereka tidak bersikap melayani saat seorang tamu berkunjung ke rumah mereka (kasus menuang air minum sendiri), begitu juga saat mereka menyuguhkan makanan seadanya. Tetapi di sisi lain hal itu adalah suatu bentuk kepercayaan yang mereka berikan kepada tamu, sehingga mereka nerasa tidak perlu lagi melayani atau berusaha menyediakan sesuatu yang lebih; mereka mempercayai bahwa tamu tersebut adalah bagian dari keluarga mereka. Menu special akan mereka hidangkan pada saat upacara adat, hajatan, atau diantara warga da yang mengadakan syukuran. Sebagai contoh saat dilakukan sawala pada 10 Juni 2006 menu makanan yang disediakan adalah ikan kolam goring, tempe goreng, tempe goreng, oseng-oseng serta kerupuk.untuk konsumsi ikan seringkali mereka mengambil dari kolam sendiri. Berbeda dengan menu untuk makan sehari-hari, mereka tidak mengadakan bermacam lauk pauk itu, namun cukup dengan ikan asin dan satu macam sayur saja. Bila musim marak
60
(mencari ikan di sungai dengan cara membendungnya) maka hidangan makanan pasti bertemankan ikan sungai. Marak ini menjadi salah satu forum tidak resmi warga Kampung Naga untuk berkumpul. Kegiatan ini dipimpin oleh kuncen atau wakilnya diikuti oleh hampir seluruh warga Kampung Naga baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan. Senang berbaur dengan alam dan mendapatkan hasil yang dapat dikonsumsi sebagai lauk tampak dalam aktivitas ini, semua orang tampak terlepas dari bebasn hidup mereka. Bila salah satu dari mereka mendapat hasil yang lain ikut gembira dan sangat mungkin akan ikut menikmati hasil tersebut. Karena saling memberi adalah salah satu kebiasaan warga Kampung Naga yang telah mendarah daging.
4. Budaya Gotong Royong Tidak hanya saling memberi, sifat yang masih kental di Kampung Naga adalah gotong-royong. Apabila salah satu warga mengadakan resepsi, maka warga lain akan ikut serta terlibat membantu dalam bentuk tenaga, ataupun materi. Begitu pula apabila ada acara kampung seperti khitanan masal maka seluruh warga akan bertanggungjawab ambil bagian dalam persiapan acara tersebut. Seorang Wakil Kuncen mengatakan: ”Mereka tidak disuruh, namun kesadaran diri masing-masing”. Gotong-royong membuat balandongan ataupun makanan untuk salah satu warga yang akan punya resepsi menjadi salah satu bentuk informal. Kebiasaan gotong royong mereka yang lain adalah dalam membangun, memperbaiki dan memindahkan rumah. Jiwa kerja sama mereka begitu tinggi,
61
dank arena begitu tingginya, sampai terkadang rumah itu bisa mereka pindahkan tanpa harus membongkarnya. Mereka gotong royong memindahkan rumah itu dalam keadaan utuh, dengan hanya dibuka atap dan peralatan di dalamnya saja. Mereka bekerja sama menggotongnya dari semua sisi memindahkannya sedikit demi sedikit kearah tempat yang dituju. Sebuah pemandangan yang akan mengingatkan kita pada gotong royong semut membawa sepotong roti ke kandangnya.
Gambar 3.1 Budaya Gotong Royong Masyarakat Kampung Naga Sumber Dep.Pariwisata Tsm, ( 2002: 63 ), Sejarah Budaya Adat Kampung Naga
5. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Kampung Naga. Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang
62
adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Duhur, Asyar, Mahrib, dan solat Isa, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka. Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa"
63
yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga. Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
64
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak
silat, dan
kesenian
yang lain
yang
mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan diluar wilayah Kampung Naga. Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna,
Masyarakat
Kampung
Naga
menyebutnya
nama
tersebut
65
Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga. Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji). Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan kepada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
66
Muharam (Muharram) hari Sabtu-Minggu tanggal 11,14 Sapar (Safar) hari Sabtu-Minggu tanggal 1,20 Maulud hari (Rabiul Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15 Silih Mulud (Rabi'ul Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14 Jumalid Awal (Jumadil Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20 Jumalid Akhir (Jumadil Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14 Rajab hari (Rajab) Rabu-Kamis tanggal 12,13 Rewah hari (Sya'ban) Rabu-Kamis tanggal 19,20 Puasa/Ramadhan (Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11 Syawal (Syawal) hari Jumat tanggal 10,11 Hapit (Dzulqaidah) hari Jumat tanggal 2,12 Rayagung (Dzulhijjah) hari Jumat tanggal 6,20 Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan kepada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya.
6. Kepeminpinan Khas Kampung Naga Sistem pemerintah dalam masyarakat Naga terbagi menjadi dua, yaitu pemerintahan adapt dan pemerintahan formal. Pemerintahan adat dipinpin oleh
67
seorang yang disebut kuncen (ketua adat), dibantu oleh punduh keturunan. Adapun pengertian dan tugas dari masing-masing unsur tersebut adalah: Kuncen:
Kepala adat yang dipilih menurut adat dan berlaku secara turun temurun, dan hanya boleh dijabat oleh seorang lakilaki. Tugasnya adalah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan adapt. Misalnya meminpin upacara adapt Hajat Sasih.
Punduh adat:
Mengatur segala sesuatu yang berhubungn dengan keamanan dan ketentuan serta pembangunan kampung (Nurus laku, meres gawe).
Lebe (amil):
Bertugas sebagai peminpin upacara ritual kematian selain Kuncen, Punduh, dan Lebe, mereka juga dibantu oleh seorang yang disebut dengan Patunggon Bumi Ageung (Penunggu Bumi Ageung) yaitu seseorang yang bertugas memelihara dan menunggu Bumi Ageung dengan segala isinya, biasanya yang ditugaskan adalah seorang wanita yang sudah tua dan dianggap suci, karena sudah tidak mendapat haid.
Seorang
kuncen bisa menjalankan tugasnya selama hayat dikandung
badan. Tidak ada yang membatasi berapa lama seorang kuncen, lebe, punduh, maupun patunggon bumi ageung memegang jabatan tersebut. Layaknya didalam sebuah kerajaan selagi orang (raja) tersebut masih mampu maka ia akan menjadi
68
raja selamanya. Begitu pula pemerintah adat yang terjadi dikampung Naga, selama tidak ada halangan maka ia akan tetap menduduki jabatannya. Sedangkan pemerintahan formal di Kampung Naga dipegang oleh ketua RT, karena luas lokasi Kampung Naga dan jumlah warganya hanya merupakan bagian dari satu RT saja, ketua RT ini bertugas seperti ketua RT pada umumnya yaitu salah satunya adalah sebagai media informasi dari pemerintah terhadap masyarakat Kampung Naga. Namun perbedaannya informasi-informasi yang berasal dari pemerintah terlebih dahulu disampaikan kepada pemerintah adat sebelum disampaikan kepada warga. Hal ini dilakukan sebagai filter apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan adapt yang semestinya berjalan di Kampung Naga. Namun apabila hanya berupa himbauan, misalnya warga Kampung Naga diharapkan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka pemerintah adat berfungsi sebagai penguat (mendukung) dan membantu peruses penyampaian himbauan tersebut kepada warganya. Begitu pula halnya dengan proses izin penelitian, terlebih dahulu menghubungi ketua RT, baru kemudian diantar menemui kuncen. Apabila kuncen mengijinkan maka peneliti membuat permohonan ijin terhadappemerintah setempat (Pemerintah Desa), namun apabila sebaliknya kuncen tidak berkenan untuk menerima maka pemerintah tidak dapat memeksakan.
7. Kesenian Khas Kampung Naga Ada kesan bahwa kesenian kurang banyak berkembang kepada masyarakat Kampung Naga baik dari jenis pertunjukannya maupun waditra (alat) yang
69
digunakan. Hal demikian terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Kampung Naga adalah pekerja keras. Aktivitas kehidupan sehari-hari mulai dari pagi sampai dengan sore hari banyak dihabiskan diluar rumah. Pada pagi hari perempuan-perempuan Kampung Naga telah sibuk didapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya dilanjutkan dengan membersihkan rumah dan mencuci. Setelah itu pada umumnya mereka bersama suami pergi kesawah atau ke lading. Sedangkan beberapa diantaranya yang berprofesi sebagai pedagang seperti membuka kiosnya. Beberapa pedagang mempunyai kios diluar wilayah kampung dan pada umumnya mereka mulai membuka kios pukul 08.00-16.00 WIB. Pada sore hari aktivitas di sawah atau diladang tidak otomatis berhenti begitu saja, terutama apabila memasuki masa tanam lahan yang digunakan memerlukan perawatan ekstra. Saat mendatangi kampung Naga pada sore hari terkadang dijalan berpapasan dengan orang yang sedang mencangkul disawah dan sustu waktu saat berkunjung kerumah pak RT, beliau sedang tidak ada dirumah tetapi di sawah padahal saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17.00 WIB. Apabila sedang tidak ada pekerjaan diluar (sawah, ladang) laki-laki Kampung Naga pun lebih sering terlihat bermain bulutangkis di halamandepan masjid dan bale sedangkan untuk perempuan-perempuannya lebih sering menganyam didepan rumah mereka untuk mengisi waktu sore. Dengan aktivitas yang demikian bias dikatakan bahwa masyarakat
Kampung Naga tidak
mempunyai waktu untuk mengembangkan kesenian yang telah ada, disamping adanya larangan untuk mengadakan pertunjukan kesenian selain sejak.
70
Kesenian sejak yaitu satu-satunya jenis kesenian yang boleh ditampilkan di lingkungan Kampung Naga. Kesenian ini menampilkan rangkaian lagu-lagu sunda baik yang bersifat tradisional atau pun pop yang dinyanyikan oleh seorang sinden dengan iringan terbang, terkadang diselipi oleh bobodoran (melawak). Masyarakat yang melihat pun boleh ikut serta ngibing (menari) dan melemparkan uang (sawer) baik ditujukan untuk penabuh terbang, sinden maupun bagi pelawaknya. Warga tampak sangat bersuka cita saat menyaksikan jenis kesenian ini; dan ini membuktikan bahwa jenis kesenian ini sangat digemari di kalangan warga Kampung Naga. Tidak hanya menarik bagi warga Kampung Naga tetapi juga kesenian ini cukup menarik bagi warga masyarakat lain (dari luar). Mereka berdatangan untuk menyaksikan kesenian tersebut. Sebagian dari warga masyarakat luar ini tidak hanya menonton tetapi juga berjualan, mulai dari berjualan makanan sampai dengan mainan anak-anak. Kesenian ini umumnya ditampilkan pada malam hari. Alat musik yang digunakan sebagai pendukung kesenian sejak adalah seperangkat terbang (semacam rebana tetapi lebih besar). Selain alatmusik tersebut masyarakat Kampung Naga juga menggunakan angklung dalam upacara adapt khitan. Sedangkan suling dan kecapi adalah alat musik yang terkadang dimainkan oleh masyarakat Kampung Naga tapi tidak ditampilkan secara umum dan untuk kepentingan upacara adat.
71
8. Corak Arsitektur dan Peralatan Tidak ada gapura yang khas saat kita masuk kepemukiman Kampung Naga (lihat lampiran gambar 3) hanya sebuah jalan selebar + 1,5 M yang kanan kirinya tersambung dengan kandang jaga, yaitu pagar yang terbuat dari bamboo dipercayai sebagai pembatas bagi pengaruh-pengaruh jelek yang akan masuk. Hal ini menunjukan salah satu sifat mereka yang sederhana tidak menunjukan kemegahan melalui sebuah gapura sebagai sebuah petunjuk gerbang utama. Kandang jaga ini mengelilingi seluruh komplek pemuluman masyarakat Kampung Naga dan dianjurkan bagi mereka untuk tidak mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal diluar pembatas ini.
Gambar 3.2 Perumahan Kampung Naga Sumber Dep.Pariwisata Tsm, ( 2002: 63 ), Sejarah Budaya Adat Kampung Naga
72
Pemasangan bambu untuk kandang jaga dan pagar bisa tidak sama. Untuk kandang jaga, bambu-bambu itu nampak berkaitan satu dengan yang lainnya (lampiran gambar 5), sedangkan untuk pagar potongan-potongan bambu hanya diberdirikan biasa tanpa ada pertautan satu dengan yang lainnya. Kandang jaga yang dimaksud ini hanya berlaku untuk kawasan pemukiman saja. Sedangkan untuk tempat-tempat khusus yaitu Bumi Ageung dan padepokan (sebuah bambu yang dipercayai sebagai tempat sembahyang pada jaman dulu sebelum ada mesjid) dipasangi kandang jaga tersendiri, meskipun sudah ada di dalam lingkungan pemukiman, sehungga mereka memiliki dua kandang jaga. Ini terjadi karna makna penting yang tersimpan dalam bangunan-bangunan tersebut, dengan kata lain bukan bangunan/tempat biasa. Setelah memasuki wilayah pemukiman masyarakat Kampung Naga kitaq akan menemukan rumah-rumah yang seolah-olah disusun dengan rapih dan mempunyai bentuk dan bahan bangunan yang seragam, yaitu terdiri dari kayu, bambu, dan ijuk. Rumah masyarakat Kampung Naga bentuk bangunan panggung yang mana bagian-bagian yang dimiliki pun hamper sama, hanya luasnya saja yang berbeda karena berkaitan dengan lahan yang dimiliki. Bagian rumah pada umumnya adalah tepas (ruang tamu), dapur, tengah imah (ruang tengah), kamar tidur dan golodog teras. Sebagian rumah menyatukan antara ruang tamu dan ruang tengah, sehingga diantara ruang tersebut tidak ada sekat pemisah dan apabila mereka hanya mempunyai satu kamar tidur maka ruang tengah ini pun digunakan untuk ruang tidur bagi anak-anaknya. Sedangkan untuk dapur sebagian kecil sepace-nya di gunakan untuk goah. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 4 di bawah
73
ini. Gambar tersebut diambil dari arah depan, terlihat bahwa rumah tersebut mempunyai dua pintu yaitu pintu yang menuju dapur dan ruang tamu. Atapnya hitam tertutup ijuk yang ditumpuk dengan rapi, dan tak ada setupun warna yang melekat pasa dinding yang terbuat dari kayu dan bambu selain warna putih yang berasal dari kapur Kesederhanaan dan keseragaman bentuk rumah ini menghilangkan batas antara warga. Semuanya nampak sederajat tidak ada berbeda sehingga satu dengan yang lainnya dapat selalu bahu membantu dalam suka maupun duka. Rumah-rumah yang terdapat di Kampung Naga semuanya mempunyai dua pintu yang berdampingan. Pintu yang menuju ruang tamu umumnya terbuat dari kayu papan sedangkan yang menuju dapur harus ada bagian yang menggunakan bambu dan dianyam. Selain itu didepan tersebut ada beberapa macam tanaman yang tampak mongering digantungkan. Tanaman-tanaman ini dipercaya sebagai penolak bala yang diganti setiap tahun sekali pada bulan muharam. Bericara mengenai dapur sangat erat kaitannya dengan kegiatan memasak. Aktivitas ini tentunya menjadi rutinitas sebagian besar ibu-ibu rumah tangga pada umumnya begitu pula yang terjadi dikampung Naga. Disini mereka tidak panik apabila harga gas naik, karena sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum ada yang menggunakan media gas sebagai bahan baker. Rata-rata mereka memasak dihawu (tungku) dengan bahan baker kayu dan sebagai pelengkap mereka juga menyiapkan kompor. Kompor adalah media nomor dua hanya digunakan apabila terdesak. Menyalakan api dihawu, bagi mereka yang belum terbiasa bukan pekerjaan yang mudah seringkali harus dibantu dengan media minyak tanah,
74
tetapi bagi yang sudah cukup lihai hal ini tidak lagi dipergunakan hanya dengan menggunakan sampah keretas atau kayu-kayu keciol sudah dapat menyala. Hawu ini mempunyai peran ganda selain untuk memasak juga bias digunakan sebagai media untuk menghangatkan badan apabila udara dingin, atau bagi anak-anak setelah mandi pagi hari. Rumah-rumah di Kampung Naga tidak dilengkapi dengan kamar mandi (jamban) pribadi. Mereka menggunakan jamban bersama-sama secara bergantian. Jamban-jamban tersebut mendapat sumber air dari sungai dan hanya digunakan kepentingan MCK (Mandi Cuci Kakus), sedangkan untuk memasak dan minum mengandalkan air dari mata airletaknya di sebelah selatan pemukiman. Biasanya mereka menampung air di rumah dalam ember besar. Sebagian MCK ini terletak disebelah timur pemukiman diluar kandang jaga tepatnya di bangun diatas kolamkolam ikan milik warga Kampung Naga. Jamban-jamban ini tidak tertutup seluruhnya, sebagian ada yang menggunakan atap tetapi juga da yang tidak. Bahkan yang digunakan untuk membuat jamban tidak harus dari material yang paling sederhana yang ada di lingkungan Kampung Naga. Salah satu keuntungan dengan system jamban seperti ini adalah sampah rumah yang dapat langsung termanfaatkan yaitu sebagai pakan ikan yang berarti secara tidak langsung telah mengurangi produksi sampah organik dan mengurangi biaya pemeliharaan ikan. B. Geografi dan Kependudukan Kampung Naga 1. Geografis Kampung Naga Kampung Naga adalah bagian dari kapunduhan (kelurahan/dusun) Naga, Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Berada di
75
sebuah lembah yang setengahnya dikelilingi oleh hutan membuat Kampung Naga seakan bersembunyi dari dunia luar. Namun sebenarnya lokasi ini dapat dengan mudah ditemukan, yaitu dengan menempuh setengah perjalanan lalu lintas jalur selatan Tasikmalaya – Garut, yang kemudian dilanjutkan dengan menuruni sekitar 400 anak tangga kita akan telah tiba di kampung ini. Luas area Kampung Naga yang di gunakan sebagai pemukiman adalah 1,5 Ha, yang kini di atasnya telah berdiri 110 bangunan yang terdiri dari rumah penduduk, mesjid, blale (balai, tempat masyarakat Naga melakukan pertemuan) Bumi Ageung ( Rumah Besar, yaitu sebuah bangunan tidak berjendela digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka dan memulai ritual saat akan melakukan upacara adapt) dan Leuit (lumbung pada). Kampung seluas 1,5 Ha ini sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Keramat (salah satu hutan lindung, dimana terdapat makna leluhur masyarakat Naga). Sebelah Utara dan Timur kampung ini di batasi oleh sungai Ciwulan dan di Sebelah Selatan di batasi oleh sawah-sawah penduduk. Kondisi alam wilayah Kampung Naga yang berundak-undak menyebabkan masyarakat harus membuat sengkedan ( tangga) untuk menghubungkan tempat yang berbeda ketinggiannya. Sengkedan ini kemudian diperkuat dengan susunan batu kali yang tertata cukup rapid an dapan menghindarkan dari bahaya erosi (terkikisnya tanah). Tidak hanya sengkedan yang diperkuat dengan batu, tetapi juga terbing rendah yang membatasi dua daratan yang berbeda.
76
2. Demografis Kampung Naga Jumlah masyarakat kampung Naga pada tahun 2009, yaitu berjumlah 327 jiwa terdiri atas laki-laki 158 jiwa perempuan 169 jiwa. Jumlah ini diperkirakan tidak akan terlalu bergeser jauh pada tahun-tahun berikutnya, karena kebanyakan masyarakat Kampung Naga setelah berkeluarga diantaranya tinggal diluar. Hal demikian disebabkan lahan yang terbatas dan sangat kecil. Kemungkinan untuk mendirikan bangunan lagi atau mengikuti suami yang tidak berasal dari Kampung Naga. Jumlah bangunan rumah pada tahun 2009 tercatat 110 buah dengan jumlah penduduk 320 jiwa (102 KK)2 +. Jumlah tersebut menjadi bukti bahwa dari tahun 1999 sampai dengan 2009 belum ad pertambahan penduduk Kampung Naga. Jumlah masyarakat Kampung Naga ini bukan keseluruhan dari jumlah masyarakat suku Naga, tetapi hanya sekitar seperpuluh dari seluruh keturunan Naga. Banyak dari mereka yang pergi keluar dari komplek pemukiman tersebut karena alas an bekerja, mengikuti keluarga dan tidak adanya lahan lagi yang dapat dijadikan pemukiman. Namun, apabila ada upacara adapt mereka tetap datang dan ikut serta dalam rangkaian upacara tersebut. Terbatasnya lahan yang mereka miliki sedikit berpengaruh pada tingkat perekonomian mereka. Mata pencaharian masyarakat kampung Naga sebagian besar mengandalkan hasil tani, yang meliputi hasil sawah, kebun dan kolam ikan. Tidak semua diantara mereka petani pemilik, beberapa berperan sebagai buruh tani atau menggarap sawah orang lain. Rata-rata lahan pertanian yang dimiliki hanya sekitar 0,10-1,0 hektar. Selain mengandalkan hasil tani, beberapa dari
77
mereka membuat kerajinan tangan berupa anyaman dari bamboo yang kemudian hasilnya dijual langsung kepada pengunjung. Masalah
ekonomi
seringkali
berhubungan
erat
dengan
masalah
pendidikan. Begitu puls kira-kira yang terjati dikalangan masyarakt Kampung Naga. Mereka pada umumnya menyekolahkan anaknya paling tidak sampai denan Sekolah Menengah Pertama (SMP) meskipun tidak mencapai angka 100%. Setelah menyelesaikan SMP sebagian dari mereka langsung mencari kerja ke kota besar mengikuti saudara-saudara yang telah berangkat lebih dahulu dan berhasil dan sebagian lagi membantu orang tuanya bertani. Saat ini jumlah terbesar usia sekolah jatuh pada usia SD, yaitu kurang lebih mencapai 30 anak dan semuanya bersekolah. Sedangkan untuk usia SMP hanya tiga orang, satu diantaranya tidak melanjutkan. Saat ini mereka duduk di kelas delapan dan keduanya adalah lakilaki. Dilihat dari peresentase jumlah ini cukup baik, melebihi angka 50%. Sedangkan yang melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) saat ini satu orang, perempuan. Dengan melihat data tersebut, semakin tinggi tingkat pendidikan semakian sedikait anak yang terlibat didalamnya. Ini bias saja terjadi karena tingkat perekonomian yang tidak terlalu tinggi, sedangkan untuk mencapai sekolah (tingkat SMP dan SMA) saja mereka membutuhkan niaya transportasi yang tidak sedikit. C. Sejarah Kampung Naga Setelah mengenal masyarakat Kampung Naga beserta segala aspek kehidupannya, kini saatnya kita mengenal sejarah keberadaan mereka. Bagaimanakah masa lalu mereka dan mengapa mendapatkan sebutan Kampung
78
Naga. Berdasarkan keterangan wakil Kuncen (Pak Henhen) Kampung Naga telah ada sejak sebelum agama Islam masik ke tatar (daerah) Sunda (Jawa Barat). Masyarakat Naga mempercayai bahwa Sembah Dalem Singaparna adalah leluhur mereka, dan makamnya saat ini dipercayai berada disebelah Barat kampung Naga. Makam ini dianggap (…) sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara bagi semua keturunannya. Sembah
Dalem
Singaparna
(seseorang
yang
dipercayai
sebagai
leluhur/nenek moyang masyarakat Kampung Naga), berasal dari Kerajaan Galuh. Setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah dari kalangan kerajaan Tiga Utusan untuk menyebarkan agama ke daerah lainnya. (…) yang pertama menuju Tatar Kaler atau daerah utara, yang menurut mereka ke daerah Cirebon sekarang. Utusan yang pertama ini di warisi watek atau bakat (sifat) Kabeungharan (kaya) dengan jalan tatanen (bertani). Utusan kedua menuju tatarkulon atau daerah barat, yang menurut mereka ke daerah Banten sekarang. Utusan kedua ini di warisi watek kawedukan (sifat kekuatan/kekebalan), watek kapinteran (sifat kepintaran), (…). Utusan yang ketiga menuju tatar-tengah, yang menurut mereka daerah itu adalah tempat dimana mereka berada sekarang. Utusan yang ketiga ini hanya diwarisi watek kabodoan (sifat bodo) dan sekaligus watek kajujuran (sifat jujur)”. Keterangan mengenai sejarah kampung Naga saat ini tidak dapat diperoleh secara mendetail, cerita hanya disampailan dari lisan ke lisan tidak ada bukti tertulis. Hal ini disebabkan karena semua dokumen (yang umumnya ditulis dengan bahasa sangsekerta) dan benda-benda pusaka telah hangus terbakar pada
79
tahun 1956 saat DI/TII Kartosuwiryo menyerang membumihanguskan kampung Naga. Pak Henhen mengatakan “sebenarnya masyarakat kampung Naga saat ini pareumen obor (mati obor, atau tidak mendapat keterangan yang jelas) mengenai sejarah kampung Naga, hanya berasal dari cerita orang tua saja”. Keterangan yang ada saat ini hanya merupakan garis besarnya saja yang diwariskan secara turun temurun dalam limhkungan keturunan kuncen (ketua adat) meliputi pedoman yang dianut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan tata upacara adapt. Mereka tidak mengetahui kapan tepatnya kampung ini berdiri, berikut siapa yang menjadi kuncen pertama. Nama kampung ini sebenarnya banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat luar. Namun sejauh ini belum dapat diperoleh bukti keterangan mengenai alasan atau asal usul mengapa kampung ini dinamakan kampung Naga. Kita hanya bias menebak segala kemungkinannya dengan menghubungkan ciriciri yang nampak dan untuk sementara waktu membiarkan prasangka tersebut menggantung. Karena, setiap ditanyakan kemungkinan-kemungkinan kenapa kata Naga dipilih sebagai nama kampung mereka hanya berkata “tidak ada hubungan apa-apa”. Mereka mengatakan bahwa nama Kampung Naga sekedar menunjukan nama sebuah kampong, tempat untuk memudahkan bagi pengunjung yang ingin silaturahmi, tidak mempunyai makna apa-apa.