Pendidikan Harmoni
Sebuah Proses untuk Menjadi Indonesia
ii
Pendidikan Harmoni
Sebuah Proses untuk Menjadi Indonesia Tim Penulis: Wiji Suprayogi, Agus Mulyono, Frida Atur Siregar Copyright © 2012, Wahana Visi Indonesia Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh
Penyunting & Desain Grafis: Noel Kurniawan Foto: Wiji Suprayogi Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Cetakan Pertama: September 2012
iii
iv
daftar isi kata Pengantar ................................... vii Prolog ............................................... xi Bagian Pertama Menilik latar belakang ........................1 Bagian Kedua Sebuah teroboSan bernaMa Pendidikan harMoni ........................... 27 Bagian Ketiga Menjadi indoneSia.............................. 67 Bagian Keempat dokuMentaSi berbicara ProSeS Pendidikan harMoni ................. 73 lampiran .......................................... 95 tentang Penulis .................................100
v
Visi kami untuk setiap anak, hidup utuh sepenuhnya. Doa kami untuk setiap hati, tekad kami untuk mewujudkannya. vi
Kata Pengantar SUdah sepantasnya puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas terbitnya buku “Evolusi Pendidikan: Membangun Harmoni Indonesia dari Papote” dan “Pendidikan Harmoni: Sebuah Proses untuk Menjadi Indonesia”. Tidak hanya bersyukur terhadap selesainya proses penu lisan dan penerbitannya, namun terlebih bersyu kur atas proses panjang membangun Pendidikan Harmoni di Bumi Tadulako dan Indonesia yang kita cintai. Wahana Visi Indonesia sangatlah berbahagia menjadi salah satu stakeholder yang turut meng inisiasi proses Pendidikan Harmoni. Inisiasi terse but adalah bagian dari komitmen kami sebagai sebuah lembaga sosial kemanusiaan Kristen untuk terwujudnya kehidupan anak yang utuh sepenuh nya, dengan berupaya memberi kontribusi merajut pendidikan khas Nusantara secara kontekstualtransformatif serta pembagian peran dan tanggung jawab antara orang tua, masyarakat, dan peme rintah sebagai lingkungan ekologis sosial kehidup an anak. Karena setiap anak atau orang hidup dalam lingkungan maupun kebudayaan yang khas, kekhasan itu membentuk kepribadian dan tingkah laku mereka. Inilah yang digali dan distrukturkan dalam Pendidikan Harmoni—yang lebih berorien tasi pada pendidikan nilai (Nilai Harmoni Diri, Har moni Sesama, dan Harmoni Alam)—dalam rangka pembentukan sikap dan karakter hidup berbangsa
vii
melalui pendidikan, baik formal, nonformal, mau pun informal. Pengembangan Pendidikan Harmoni tersebut telah dimulai sejak awal tahun 2009 pada Sekolah Dasar di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Khusus di Kota Palu dan Kabupaten Poso, pengembangan Pendidikan Harmoni dilakukan bersama mitra lokal yang terdiri dari pemerintah daerah dan organisasi non-pemerintah berbasis keagamaan seperti Mu hammadiyah, Al Khairat, dan GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah). Selanjutnya, proses pengembangan Pendi dikan Harmoni telah berevolusi. Dimulai dengan usaha untuk berkontribusi pada penciptaan situasi aman dan damai melalui pendidikan yang terstruk tur; dalam prosesnya dirasakan bahwa Pendidikan Harmoni bisa menjadi salah satu model pendidikan karakter yang kontekstual, khususnya di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pendidikan Harmoni bukanlah sebuah proses singkat, tetapi merupakan sebentuk ketekunan para penggiatnya selama beberapa tahun. Pendi dikan Harmoni sepertinya sudah dirasa lengkap sebagai sebuah model pendidikan karakter karena memiliki buku panduan dengan proses terintegrasi dalam kurikulum, guru yang mengajarkannya, dan bahkan terdapatnya kebijakan pendukung. Keleng kapan tersebut adalah buah dari konsistensi kerja selama bertahun-tahun yang didukung oleh komit men para pemangku kepentingan. Tanpa keterli batan mereka, Pendidikan Harmoni tak akan hadir dan mewujud di Sulawesi Tengah.
viii
Keterlibatan beberapa stakeholder kunci di Sulawesi Tengah merupakan salah satu sukses lain yang berhasil diraih oleh Pendidikan Harmoni. Seperti halnya intensi awalnya, Pendidikan Har moni berhasil membangun harmoni di antara para pemangku kepentingan di Palu, Poso, dan Tentena. Berkumpulnya para pemangku kepentingan terse but merupakan wujud harmoni yang difasilitasi oleh proses panjang dalam membangun pendidik an nilai-nilai harmoni berbasis local wisdom. Buku adalah rekaman proses sejarah yang terwujudkan di dalam bentuk teks. Pendapat demikian akan memposisikan buku ini sebagai bagian dari pen catatan proses sejarah lokal masyarakat Sulawesi Tengah dalam membangun kembali harmoni ber basis nilai lokal yang pernah luluh lantah oleh kon flik. Akhir kata, Pendidikan Harmoni di Sulawesi Tengah masih merupakan proses awal dari sebuah perjalanan panjang. Terwujudnya buku ini hanya lah penutup dari sebuah langkah awal, sehingga proses-proses bersama masih merupakan tang gung jawab bersama para pelaku dan penggiat Pendidikan Harmoni. Kami mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah berkontribusi mengambil bagian, menyumbangkan pemikiran, dan berbagi pengalaman serta pengetahuan dalam proses ter bitnya buku ini. Kiranya buku ini menjadi sebuah referensi bagi para penggiat pendidikan untuk In donesia Harmoni.
ix
Tuhan memberkati - Salam Harmoni
Jakarta, Agustus 2012 Agnes Wulandari Regional Operation Manager Wahana Visi Indonesia Regio Sulawesi Tengah-Maluku Utara
x
Prolog Suatu pagi di sebuah bukit, di atas Danau Poso di Tentena1. Udara pagi serasa lembut menyapa. Bentangan alam Tentena tampak begitu indah dari atas bukit ini. Sungai, gunung, lembah, dan makh luk hidup yang terlihat dalam hamparan keinda han itu tampak berharmoni menciptakan lukisan alam nan menawan. Jernihnya air Danau Poso dan sungai di sekelilingnya menambah keindahan alam tersebut. Cerita tentang kekayaan budaya Tentena dan berbagai upacara adatnya serta merta terba yang dan menambah imaji keindahan daerah ini. Kisah mengenai keharmonisan antarpenduduknya yang berasal dari berbagai suku2 juga serta merta terbayang, menyegarkan jiwa.
Tentena adalah sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah, Indonesia. Kota ini adalah ibu kota Kecamatan Pamona Utara. Letaknya di pinggiran Danau Poso, sekitar 54 km sebelah tenggara Kabupaten Poso dan 258 km sebelah tenggara Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Dari Palu, diperlukan waktu 7 jam untuk mencapai Tentena. Suku asli yang mendiami kota ini adalah suku Pamona. Suku Pamona juga tersebar hampir di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah. Suku Pamona mempunyai gereja suku, yaitu Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Agama Kristen diterima sebagai agama rakyat (public religion). Anggota gereja ini tersebar di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah dan sebagian Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu Timur). Beberapa objek wisata menarik ada di sekitar Tentena, termasuk Danau Poso, Gua Latea, dan Air Terjun Saluopa—disarikan dari www.id.wikipedia.org.
1
Selain suku Pamona, di Tentena hidup berdampingan orang Jawa, Manado, Bugis, Toraja, Bada, Makasar, dan beberapa suku lain dari Indonesia yang jumlahnya tidak terlalu banyak seperti Bali dan Maluku. Suku Pamona sendiri memiliki lebih dari 25 marga yang bisa disebut sebagai sub suku—www.id.wikipedia.org. Cerita-cerita keseharian menggambarkan jika mereka sudah lama saling bersinergi dan bekerja sama. Jika lebaran maka saudara Kristiani (dari suku apa pun) mengunjungi saudara yang Muslim; begitu sebaliknya ketika Natal tiba. Beberapa segi perekonomian saling mengisi, seperti suku Jawa yang kebanyakan berdagang saling bergantung dengan penduduk Pamona dan Bali yang bertani. Semua kebersamaan itu hancur ketika kerusuhan melanda.
2
xi
Tapi keindahan itu pernah ternoda dan tak berbekas. Kerusuhan dan kekerasan pernah me warnai Bumi Tentena nan indah itu. Orang-orang tercerai-berai dan memendam permusuhan yang mendalam selama bertahun-tahun. Keluarga ter pisah, persaudaraan terputus, silaturahmi terpu tus, dan kehidupan seolah mati suri. Sisa-sisanya masih terasa di banyak tem pat. Sektor pariwisata sebagai salah satu andalan daerah ini pun sempat mati suri. Sebuah air terjun indah menjadi tempat sepi dan tak terawat diting gal penikmat keindahan. Danau Poso nan indah itu sempat kehilangan festival kebudayaannya3. Ba ngunan tak berpenghuni akibat kerusuhan juga masih bisa terlihat. Puing-puingnya masih tersisa lewat imaji garis batas yang memisahkan pen duduk Poso dan Tentena berdasarkan keyakinan mereka. Keindahan dan kejernihan alam seolah selimut sebuah kondisi yang rapuh. Dasar sungai memang terlihat karena jernihnya air tapi siapa yang tahu dalamnya dan dinamika kehidupan di dalamnya? Mungkin kesunyian pagi yang kala itu menyeruak menggambarkan sisa-sisa kepedihan itu. Keheningan danau jika dilihat dari atas bukit seolah memadukan kedamaian dan kepedihan yang tersisa—apalagi jika Anda pernah mendengar dan merasakan sendiri kekerasan yang terjadi di bumi ini. 3 Festival Budaya Poso merupakan festival kebudayaan terbesar di Sulawesi Tengah. Hampir semua elemen suku dan budaya di Sulawesi Tengah berkumpul dalam festival ini untuk berpesta bersama merayakan keberagaman dan keberadaan mereka. Ber bagai upacara adat dan kesenian dipresentasikan di dalam festival tersebut. Festival ini diadakan tiap tahun kecuali ketika kerusuhan melanda dan sempat vakum beberapa tahun.
xii
*** Pak Willem Posumah di ruangannya pagi itu memberikan kejernihan dan kedamaian yang ter asa mencerahkan pula. Pak Posumah adalah ketua yayasan pendidikan yang didirikan oleh Gereja Kris ten Sulawesi Tengah. Namanya Yayasan Pengem bangan Pendidikan Kristen. Sekitar 130 sekolah berada di bawah koordinasi yayasan ini. Bersama ratusan guru yang ada di dalamnya, Pak Posumah dengan semangat berjuang menjalankan sebuah model pendidikan yang diharapakan membawa perubahan pada masa depan anak-anak. Pendidik an Harmoni namanya. Sebuah model pendidikan yang pada awalnya digagas oleh banyak kalangan untuk memberikan pembelajaran pendidikan dam ai; tetapi kemudian berkembang menjadi sebuah xiii
model pendidikan karakter dan kewarganegaraan. Bahkan sekarang berkembang menjadi model se buah sistem pendidikan alternatif yang bisa digu nakan dan disebarkan berdampingan dengan kuri kulum nasional. Pencerahan dari Pak Posumah datang dari semangat dan juga dedikasinya serta kejernihan pikirnya untuk mempersiapkan anak-anak me nyongsong kehidupan yang lebih baik. Di tengah trauma akan kerusuhan dan kepedihan akan ke terpisahan dia mengambil inisiatif untuk melaku kan perubahan dengan mengajak guru-guru menerapkan sistem pendidikan yang keluar dari kebiasaan. Berbagai halangan dikesampingan dan berbagai pengorbanan dia lakukan. Ancaman dan tudingan miring dia abaikan dengan semangat: anak-anak harus dibebaskan dari trauma dan ke pedihan akibat kerusuhan di daerah mereka. Jika mereka mewarisi kengerian kerusuhan saja, maka akan ada dua-tiga generasi lagi yang masih tetap tenggelam dalam kekelaman kehidupan. Kejernih an pikirnya membuat dia mampu melihat jauh ke depan akan pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan keberagaman bagi anak-anak Tentena dan tentu saja juga anak-anak di Palu, Poso, dan Indonesia pada umumnya. *** Pak Posumah tidak sendirian, puluhan orang dari berbagai elemen suku, agama, dan strata so sial sedang bersama-sama berjuang mewujudkan bumi Papote—Palu, Poso, Tentena—menjadi bumi yang damai dan maju. Dunia pendidikan mereka pilih sebagai sarana untuk memulai perjuangan xiv
tersebut. Lewat kisah beberapa orang di antara mereka, buku ini berusaha menggambarkan per juangan orang-orang luar biasa tersebut—yang mungkin terlihat sangat biasa—dalam menggarami visi menciptakan kehidupan yang seutuhnya bagi anak-anak dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka. Melalui Pendidikan Harmoni •
xv
xvi
Bagian Pertama
Bagian Pertama
xvii
2
Pendidikan H a r m o n i
Bagian Pertama
Menilik Latar Belakang Untuk menggambarkan peran Pendidikan Harmoni dan se gala proses di dalamnya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dinamika sosial budaya yang terjadi di lokasi tempat dia dilahirkan—bumi Papote4—dan juga konteks kondisi pendidik an di Indonesia secara luas. Pendidikan Harmoni lahir seba gai respons terhadap kondisi sosial budaya daerah tersebut dan kondisi carut marut pendidikan Indonesia secara umum. Pemaparan kondisi sosial budaya Papote sebagai lokasi kela hiran Pendidikan Harmoni dan kondisi pendidikan Indonesia akan memberikan pemahaman mendalam mengapa Pendidik an Harmoni perlu dijalankan sembari memperlihatkan kontri businya bagi perbaikan Indonesia.
a. Bumi Papote: Poros Pertemuan Peradaban Mari kita membayangkan Indonesia sebelum memulai memasuki Bumi Papote. Gugusan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke segera terbayang. Informasi yang kita miliki dan kita bangun sejak kecil menceritakan ada ratusan pulau di dalam gugusan tersebut5. Mungkin karena banyaknya pulau
Untuk selanjutnya, Papote akan dipakai untuk menggantikan penyebutan daerah Palu, Poso, dan Tentena.
4
Indonesia merupakan kepulauan dengan bentangan luas 5.120 km dari timur ke barat dan 1.760 km dari utara ke selatan. Terdiri sekitar 17.508 pulau dan sekitar 6.000 pulau berpenghuni, didiami ribuan suku yang memiliki potensi pengetahuan tak terkira—di
5
3
4
Pendidikan H a r m o n i
maka informasi yang lebih dalam mengenai pulau-pulau terse but kurang tergali dengan baik. Termasuk dalam hal ini infor masi mengenai pulau-pulau besar di gugusan pulau bernama Indonesia ini. Seberapa jauh kita mengenal rimba Kalimantan dan Sulawesi? Seberapa jauh kita mengenal keterkaitan bu daya Jawa dan Sulawesi? Seberapa jauh kita mengenal batik Papua? Kita lebih sering menghafalkan jumlah pulau daripada berusaha memahami kedalaman pengetahuan yang dimiliki pulau-pulau tersebut. Banyak orang juga tidak segera mene mukan letak Papote di peta kognitif mereka tentang Indone sia. Mungkin yang terbayang hanya persoalan kerusuhan yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di kawasan ini. Imaji me dia massa sudah telanjur memberi cap kawasan ini sebagai kawasan yang tidak aman, penuh darah tercecer. Bagaimana peradaban dan kebudayaan Papote terbangun, berapa banyak yang tahu dan peduli? Bahkan perbincangan dengan beberapa akademisi di kawasan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Pa pote sendiri sudah banyak melupakan kebudayaan mereka
sarikan dari www.wikipedia.org.
Bagian Pertama
sendiri6. Berbagai upacara adat dan juga kosakata dalam bahasa asli mereka mulai dilupakan atau hilang mengatas namakan kemajuan zaman. Sopan santun dan semangat bekerja keras mulai dilupakan diganti dengan mabuk dan ugal-ugalan di jalan. Semangat ane moboti, mobutu—ung kapan yang berarti kalau kau rajin, pasti akan mendapatkan hasil—digantikan dengan semangat budaya instan. Orang juga menjadi mudah marah. Semangat kekeluargaan, se perti saling bertandang ketika hari raya keagamaan dan memasak bersama, mulai dilupakan. Teknik-teknik bertani maupun mencari ikan seperti dilakukan nenek moyang juga mulai dilupakan. Pertama kita akan melihat bagaimana kondisi Papote dengan mencoba menggunakan analisa lama yang dikem bangkan oleh Clifford Geertz yang membagi Indonesia men jadi dua ekosistem besar: the inner-Indonesia dan outer Indonesia7. Kemudian akan digabungkan dengan analisis yang disarikan dari tulisan Tamrin Amal Tomagola mengenai Mozaik Kebudayaan Nusantara8. Inner Indonesia merujuk pada Jawa dan Sumatra peda laman yang memiliki ekosistem sawah dan mengembangkan cara hidup serta kebudayaan berdasarkan ekosistem terse Perbincangan terpisah sebagai obrolan biasa dengan beberapa akademisi seperti Prof. Sulaiman Mamar (guru besar Universitas Tadulako), Profesor Juraid (guru besar Universitas Tadulako), dan Syamsuddin H. Chalid, M.Pd. (Ketua PW Muhammadiyah Sulteng) menyiratkan dengan kuat kekhawatiran hilangnya pengetahuan akan kebudayaan lokal di tiap daerah Sulawesi Tengah akibat gempuran teknologi informasi.
6
Dalam Geertz, Clifford (1983), Involusi Pertanian, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Analisis Geertz sering dianggap mengabaikan banyak variasi kebudayaan dan dianggap tidak relevan dengan kondisi sekarang. Hal ini ada benarnya, apalagi mengingat perkembangan zaman yang kian maju. Tetapi sebagai suatu unit analisis, dia berhasil menjelaskan berbagai perubahan yang terjadi dalam dinamika kebudayaan Indonesia. Secara garis besar bisa menjadi dasar penjelaskan proses perubahan peradaban yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
7
8 Dalam Tomagola, Tamrin Amal (2012), Korupsi: Puncak Krisis Peradaban Bangsa, makalah disampaikan pada seminar “Malunya Menjadi Orang Indonesia”, Universitas Kristen Duta Wacana.
5
6
Pendidikan H a r m o n i
but. Basis ekonomi sawah berarti juga pertanian yang intensif dan dikelola sedemikian rupa dengan mengandalkan kema hiran pengetahuan bercocok tanam dan irigasi yang cukup canggih. Surplus pertanian dan juga kehidupan menetap da lam sebuah ekosistem membuat mereka yang tinggal disini mengembangkan sistem kemasyarakatan dan birokrasi yang cukup kuat. Kerajaan-kerajaan di pedalaman Jawa dan Su matra merupakan kerajaan-kerajaan yang berbasis ekonomi sawah. Mereka cukup kuat dan mengembangkan peradaban serta kebudayaan yang cukup rumit dengan tatanan bahasa yang berlapis-lapis. Hierarki kekuasaan menjadi penting di sini karena erat berhubungan dengan penguasaan lahan dan sum ber kehidupan. Kondisi ini melahirkan kasta-kasta dan budaya feodal. Tetapi di sini pula muncul budaya keharmonisan be serta alam dan lingkungannya untuk menjaga dan mengelola sumber kehidupan mereka. Outer Indonesia merujuk pada pulau-pulau di luar Jawa
Bagian Pertama
dan Sumatra yang mengembangan ekosistem perladangan, baik menetap maupun berpindah-pindah. Mereka yang hidup di kawasan ini tidak memerlukan pengelolaan pertanian rumit seperti rekan-rekan mereka yang berbasis sawah. Alam se pertinya menyediakan bagi mereka hasil yang terus melimpah selama mereka bisa terus mengelola perpindahan ladang dan juga tanaman keras yang sudah ada di hutan dengan efektif dan efesien. Berburu dan meramu menjadi cara hidup utama kawasan ini. Perkembangan peradaban dianggap tidak seru mit mereka yang berbasis pertanian sawah. Perpindahan terus menerus membuat mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang memudahkan mereka mengoordinasi kehidupan dan sumber kehidupan. Dalam ekosistem ini, ada banyak ke lompok yang membentuk marga ataupun suku tersendiri de ngan bahasa tersendiri pula. Kondisi perpindahan memuncul kan kebudayaan yang adaptif dan cenderung terbuka pada perubahan. Di antara kedua arus besar itu, muncul juga kebudayaan yang dibangun oleh mereka yang hidup di pesisir utara Jawa dan Sumatra serta pantai-pantai di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Perdagangan menjadi cara hidup dan kebudayaan mereka. Wilayah ini, dalam dikotomi Geertz, masuk sebagai bagian outer Indonesia. Sejak zaman dulu, pantai-pantai di Selat Malaka, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku ter hubung secara intensif dalam jalur perdagangan. Dalam ling karan kebudayaan ini berkembang pesat bahasa Melayu yang menjadi lingua-franca untuk menjembatani komunikasi. Ke budayaan di wilayah ini sangat dinamis, adaptif, dan terbuka terhadap berbagai macam perubahan karena mereka ter hubung dengan orang-orang dari Arab, Cina, India, dan Eropa. Kita bisa melihat sisa-sisa perpaduan itu sekarang di dalam berbagai pakaian adat maupun kesenian yang berkembang di wilayah pesisir ini9. 9
Di Sulawesi Tengah contohnya suku Kaili. Mata pencaharian utama masyarakat Kaili
7
8
Pendidikan H a r m o n i
Perbedaan dikotomik ini sebenarnya mulai memudar perlahan tetapi pasti di sekitar tahun 1870, ketika Belanda yang menguasai perdagangan di Kepulauan Nusantara mulai memasukkan ekonomi pasar bebas dengan model pertanian agrobisnis10. Kebun-kebun dan tambang-tambang didirikan; perlahan namun pasti—bekerja sama dengan para penguasa lokal—Pemerintahan Kolonial membangun kerajaan ekonomi mereka. Sentra-sentra birokrasi dan pengembangan sum ber daya manusia dikembangkan di tempat-tempat strategis untuk mendukung laju roda kemajuan dan perekonomian. Jawa dan Sumatra mendapat keuntungan fasilitas karena pu sat kekuasaan ada di daerah ini sehingga infrastruktur lebih berkembang, termasuk juga dalam hal penguatan sumber adalah bercocok tanam di sawah dan ladang serta menanam kelapa. Di samping itu, masyarakat suku Kaili yang tinggal di dataran tinggi juga mengambil hasil bumi di hutan seperti rotan, damar, dan kemiri, serta beternak. Sedangkan, masyarakat Suku Kaili di pesisir pantai di samping bertani dan berkebun juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antarpulau ke Kalimantan. Ada yang bertani di pegunungan dan ada yang berdagang di pesisir—disarikan dari www.id.wikipedia.org. Disebut pasar bebas karena pada masa itu pertanian, kebun, dan hasil tambang tidak lagi sepenuhnya dikelola oleh kerajaan—yang kadang dijual dengan sistem barter, tetapi mulai dikelola dan dikuasai oleh swasta dan dijalankan dengan sistem pasar modern di mana produksi akan terkait erat dengan permintaan dan kebutuhan. VOC yang berkantor di Nusantara kala itu adalah perusahaan dagang.
10
Bagian Pertama
daya manusia. Pusat penelitian seperti Ke bun Raya Bogor, Insti tut Teknologi Bandung, Observatorium Boscha, dan sekolah-sekolah dibangun di Jawa dan Sumatra. Sistem pen didikan Barat mulai menggantikan sistemsistem pendidikan lo kal. Di daerah inner ini lah misi-misi Kristiani berkembang pesat se iring makin besarnya pemerintahan kolonial di daerah terse but. Sementara di wilayah outer Indonesia, wilayah-wilayah pesisirlah yang mendapatkan jangkauan fasilitas penguatan sumber daya manusia. Dengan begitu, kebudayaan pesisir yang cukup kuat dipengaruhi kebudayaan Islam juga ikut berkembang dengan pesat. Sistem ekonomi pasar bebas membuat mobilisasi dan juga perpindahan makin sering dan tentu saja perjumpaan dan pertukaran kebudayaan makin sering terjadi. Di sinilah berbagai kearifan lokal membangun kekuatan adaptasinya agar tetap bisa hidup berdampingan secara damai. Kita men dapati di banyak daerah di Nusantara sisa-sisa tersebut dalam aneka ragam bangunan bermotif Jawa-Cina, pakaian bermotif Arab-Cina, tarian berirama Eropa dan Papua, demikian sete rusnya. Walaupun sering terjadi konflik pada masa-masa ko lonial, tetapi konflik tersebut lebih sering terjadi karena pere butan kekuasaan dan sumber daya alam. Berbagai perang di masa kolonial merupakan perang yang bermotif ekonomi11.
Lihat misal dalam, Onghokham, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2002.
11
9
10
Pendidikan H a r m o n i
Dalam konteks perjumpaan budaya dan juga perubahan budaya inilah jati diri ke-Indonesiaan dibangun dari semacam gado-gado percampuran kebudayaan. Menurut Tomagola12, gado-gado ini tidak memunculkan kekuatan yang dominan. Pemerintah kolonial sepertinya berhasil meredam berbagai konflik dengan menjalin kerja sama dagang yang menguntung kan dengan para penguasa—walau kadang dilakukan dengan perang. Kondisi inilah yang dengan cerdas dipakai oleh para pendiri bangsa kita untuk memunculkan Sumpah Pemuda. Mereka melihat adanya proses adaptasi pada masing-masing kebudayaan untuk bisa hidup bersama dalam suatu kelompok besar dan pada saat itu sudah ada lingua-franca yang cukup menyatukan bernama Bahasa Melayu. Papote tepat berada pada poros pertemuan berbagai peradaban tersebut. Sebagai daerah pusat pemerintahan dan juga perdagangan Papote menarik pendatang dari berbagai daerah. Pengaruh dari Kebudayaan Muslim dapat dirasakan dari poros Nunukan, Papote, Makasar, Maluku hingga Kepu lauan Moro di Filipina. Semua terhubung juga dengan rekanrekan dari Jawa dan Sumatra sebagai bagian dari outer Indonesia. Kita mendapati berbagai organisasi besar Muslim seperti Muhammadiyah, NU, dan Al-Khairat berada di bumi Papote. Kebudayaan Kristen yang diwakili dari daerah-daerah kebun seperti Toraja juga mulai mendatangi daerah Papote. Dari arah utara, pendatang Kristen dari Manado dan Sangir Talaud juga berdatangan. Sementara suku-suku asli yang su dah lama hidup dalam budaya ladang berpindah ikut berbaur dalam mangkuk gado-gado perjumpaan kebudayaan ini. Maka dengan mudah ditemui di Papote desa-desa dengan berbagai
12 Dalam Tomagola, Tamrin Amal, Korupsi: Puncak Krisis Peradaban Bangsa, makalah disampaikan pada seminar “Malunya Menjadi Orang Indonesia”, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta 2012.
Bagian Pertama
macam kebudayaan dan kepercayaan berselang-seling di sa na-sini. Papote merupakan titip pusat pertemuan dan pe numpukan lapisan-lapisan kebudayaan dari berbagai tempat dan zaman sekaligus. Kondisi ini bisa dilihat sebagai kekayaan, tetapi juga tan tangan. Banyaknya elemen kelompok masyarakat yang mem baur menyebabkan Papote menjadi titik sentrum tektonik konflik komunal. Inilah tantangan terbesarnya. Setiap konflik yang terjadi di daerah ini akan bergulir seperti efek domino— dan itu yang terjadi pada peristiwa konflik di masa lalu. Hal ini berbeda dengan kondisi di Jawa dan Sumatra di mana di wilayah itu ada suku-suku yang cukup dominan seperti Jawa, Batak, dan Bali yang bisa menjadi semacam katalis untuk meredam konflik komunal. Ditambah lagi kebudayaan di Jawa dan Sumatra sudah cukup lama mengembangkan pengeta huan mengenai sistem pemerintahan negara atau kerajaan yang bisa mengatur kehidupan bersama. Dalam konteks outer Indonesia, maka sistem pemerintahan dan kerajaan bukan lah budaya yang mengakar kuat di dalam kehidupan mereka. Memang ada beberapa kerajaan di Sulawesi Tengah, tetapi tampaknya budaya suku-suku yang tersebar di sana lebih kuat mengakar13. Karena itu pemahaman akan keberadaan suatu
13 Menurut catatan di wikipedia, sedikitnya penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu: Etnis Kaili berdiam di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Etnis Kulawi berdiam di Kabupaten Donggala, Etnis Lore berdiam di Kabupaten Poso, Etnis Pamona berdiam di Kabupaten Poso, Etnis Mori berdiam di Kabupaten Morowali, Etnis Bungku berdiam di Kabupaten Morowali, Etnis Saluan atau Loinang berdiam di Kabupaten Banggai, Etnis Balantak berdiam di Kabupaten Banggai, Etnis Mamasa berdiam di Kabupaten Banggai, Etnis Taa berdiam di Kabupaten Banggai, Etnis Bare’e berdiam di Kabupaten Touna, Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan, Etnis Buol mendiami Kabupaten Buol, Etnis Tolitoli berdiam di Kabupaten Tolitoli, Etnis Tomini mendiami Kabupaten Parigi Moutong, Etnis Dampal berdiam di Dampal, Kabupaten Tolitoli, Etnis Dondo berdiam di Dondo, Kabupaten Tolitoli, Etnis Pendau berdiam di Kabupaten Tolitoli, Etnis Dampelas berdiam di Kabupaten Donggala. Masing-masing suku tersebut masih memiliki sub suku dan kelompok-kelompok lain yang tersebar luas di berbagai wilayah. Keragaman bahasa juga mewarnai keberadaan suku-suku ini. Sampai saat ini bahkan masih ada berapa suku yg hidup cukup terasing—disarikan dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tengah
11
12
Pendidikan H a r m o n i
negara bagi sementara orang di wilayah ini mungkin masih membingungkan14. Jika kita melihat titik pusat pertemuan peradaban ini se bagai kekayaan, maka kita akan mendapati berbagai lapis an kebudayaan yang bisa diarahkan sebagai strategi budaya untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Sifat adaptif dari berbagai elemen bisa dipakai untuk membentuk suatu pemerintahan dan jati diri kebudayaan yang kuat. Para pendiri bangsa sudah memberikan contoh terbaiknya lewat Sumpah Pemuda. Ironisnya, kekayaan itu sepertinya dihancurkan sendiri oleh pemerintahan di masa Orde Baru. Keragaman berbagai kebudayaan di Indonesia diberangus dengan pemerintahan otoriter yang menuntut penyeragaman. Pemerintahan Orde Baru, didominasi oleh orang-orang yang memiliki basis bu daya inner indonesia, memaksakan pola budaya miliknya ke pada mereka yang memiliki pola budaya outer indonesia. Maka yang terjadi adalah pemaksaan dan pemberangusan pengeta huan cara bertahan hidup. Alih-alih sebagai alat pemahaman bernegara, maka proses ini justru menjadi alat pembodohan yang paling efektif. Pemukiman para peladang berpindah, pemaksaan se cara tersembuyi agar orang menjadikan padi satu-satunya makanan pokok, program transmigrasi yang tak terarah, penggunaan hutan secara berlebihan, dan pemaksaan cara berpakaian adat secara nasional merupakan contoh peng hancuran kebudayaan yang sangat sistemik. Ubi menjadi tidak laku, diganti beras, dan orang lupa cara menanam ubi, orang Papua tentu saja menjadi tersiksa ketika harus memakai ke baya, dan berkurangnya hutan membuat mata pencaharian sementara orang hilang. 14 Beberapa orang menceritakan bahwa anak-anak di beberapa daerah Papote tidak mengetahui mereka adalah bagian dari Indonesia. Jika anak-anak tidak tahu, maka pasti ada kemungkinan orang tuanya tidak tahu, atau pemahaman mengenai Indonesia memang belum tertanam dengan baik.
Bagian Pertama
Prof. Dr. H. Sulaiman Mamar15, guru besar Universitas Tadulako, mencatat kenyataan di lapangan bahwa fenomena konflik di Indonesia semakin marak terjadi pada era reforma si politik yang digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 1998. Hal itu terjadi karena pada era orde baru (selama 32 tahun) kebebasan warga masyarakat dalam berbicara dan bertindak dibatasi. Pembatasan tersebut seringkali dilakukan dengan pemaksaan kehendak dan penyeragaman baik tingkah laku maupun pola pikir. Ketika era reformasi politik diterapkan, warga masyarakat memaknainya sebagai era kebebasan ber bicara dan bertindak tanpa dibatasi nilai, norma, dan peratur an perundang-undangan yang berlaku. Sehingga konflik ter jadi di berbagai wilayah Indonesia. Proses penyeragaman tersebut di atas, sekarang sadar atau tidak sadar juga dilakukan oleh kekuatan lain bernama teknologi komunikasi. Televisi dan alat-alat komunikasi yang memasuki ruang-ruang keluarga seperti mengontrol kehidup an keseharian para pemakainya. Orang rela melewatkan mo men-momen penting dalam hidup bermasyarakat dan berba gai upacara upacara-upacara adat demi jadwal yang sudah disusun oleh televisi. Orang lebih suka duduk berjam-jam demi acara kesayangan atau bermain jejaring sosial daripada bercengkrama untuk memupuk kebersamaan. Pada titik ini, selain sebagai pusat pertemuan peradab an, secara bersamaan bumi Papote sedang mengalami pe nyeragaman yang lebih serius lagi. Dalam kesempatan ber bagai wawancara di Palu, Poso, dan Tentena, orang semakin sering menceritakan hilangnya berbagai kebiasaan masa lalu. Di tingkat pemerintahan, lewat wawancara dengan beberapa orang di dalamnya, didapat kesan sangat kuat adanya sentral
15 Dalam Mamar, Sulaiman (2012) Budaya Berfikir Positif Suku Bangsa di Sulawesi Tengah, tulisan untuk Buku Evolusi Pendidikan: Membangun Harmoni Indonesia dari Papote.
13
14
Pendidikan H a r m o n i
isasi perintah dan kesamaan gerak sebagai penuntun berbagai kebijakan. Untuk memutuskan pertemuan kecil seperti wa wancara saja mereka kadang tidak berani dan harus menung gu perintah atasan. Jawaban wawancara juga terkesan harus diobrolkan dulu dengan atasan supaya ada kesamaan lang kah16. Polapola penyeragaman ini juga terjadi di ruangruang sekolah sebagai pusat belajar masyarakat. Guru pada prak tiknya diharapkan menjalankan perintah atasan saja; berba gai kreativitas kecil dianggap sebagai pembangkangan. akhir nya, mereka memilih untuk diam dan mengikuti arus saja. Kebudayaan pesisir atau pedagang yang terbuka dan adap tif tibatiba berubah menjadi sangat feodal dan sentralistik. di Papote17, kisahkisah keluarga besar yang saling bertikai mempertahankan posisi dan kedudukan di pemerintahan merupakan contoh gamblang pusaran perbenturan kebudaya an yang tak terkelola dengan baik. akibatnya, pertikaian kecil antarkelompok menjadi salah satu hal yang umum terjadi di sini. Pertikaian tersebut seperti menggambarkan mereka yang belum terbiasa hidup dalam budaya dan kebiasaan birokrasi karena hidup dalam kelompokkelompok tersendiri tibatiba dihadapkan pada kemewahan kekuasaan yang mutlak. alih alih belajar cara mengelola pemerintahan dan masyarakat, kelompok yang menjadi elite ini malah berusaha memperta hankan kekuasaan dengan lebih otoriter. hingga hari ini, perbenturan kebudayaan tersebut ma
16 Sebuah wawancara yang dilakukan di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Palu berlangsung amat kaku karena subjek wawancara sama sekali tidak bersedia berkomentar takut mendapat teguran dari atasan. Sebelumnya, untuk mendapatkan sesi wawancara tersebut, diperlukan perjalanan ke beberapa tempat dan ruang yang memberikan jawaban tidak jelas mengenai siapa yang bisa diwawancarai. Seorang kawan amat kesulitan menemui beberapa petinggi sebuah universitas di Palu; begitu disebut ada orang dari pusat (Jakarta) yang akan datang, serta merta mereka diminta masuk dan bisa langsung bertemu dengan para petinggi tersebut. Jakarta (pusat) ternyata memiliki kuasa yang amat kuat.
17 Kisah pertikaian antarkeluarga besar memperebutkan kekuasaan merupakan kisah keseharian jika kita berada di daerah ini.
Bagian Pertama
sih terjadi. Prosesproses tersebut seolah memperlihatkan ketiadaan ruang belajar yang memadai bagi rakyat Papote untuk mengembangkan potensinya. dengan demikian, tam paknya permasalahannya adalah tiadanya ruang belajar untuk menghadapi benturan budaya yang datang dari ber bagai lini. Sentralisasi kekuasaan dan pengetahuan mem
15
16
Pendidikan H a r m o n i
buat rakyat Papote hanya melihat satu solusi untuk berbagai permasalahan, yaitu solusi dari pusat. Kondisi ini membuat mereka—dan sepertinya sebagian besar masyarakat Indone sia—tidak berhasil memanfaatkan pengetahuan dari kebu dayaan lokal mereka untuk kemajuan bersama. Padahal di dalamnya terkandung nilai nilai demokratis, multikultur, dan keutamaan hidup yang bisa menjadi dasar kuat karakter dan jati diri bangsa18. Bukankah keterbukaan, transparansi dalam dagang, kelenturan menyesuaikan diri, kebersamaan, se mangat kerja keras, dan kejujuran dalam berdagang menjadi nilai utama yang sudah lama tertanam di dalam kebudayaan seperti di Papote ini? Hasil-hasil penelitian para ahli antropologi19, baik dalam dan luar negeri, menunjukkan bukti bahwa maraknya konflik yang terjadi di wilayah Indonesia belakangan ini karena ni lai-nilai budaya atau budaya berpikir positif telah mengalami degradasi, sehingga kurang berfungsi lagi sebagai pedoman tingkah laku manusia. Selain itu, karena semakin kuatnya pengaruh nilai politik (jabatan, kedudukan, dan kekuasaan) dan nilai ekonomis (harta benda) di antara warga masyara kat. Kekerasan dan pertikaian yang terjadi di Papote, dengan 18 Seorang kawan berujar: Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa sudah merangkum semua nilai adiluhung kebudayaan, dan sudah tertanam kuat pada masyarakat sehingga pernyataan ketiadaan ruang belajar berbangsa bernegara tidak terbukti. Permasalahannya nampak pada pemahaman “sudah tertanam kuat”. Pemahaman yang ada mengasumsikan, jika sudah dihafalkan, muncul dalam simbol-simbol di kantor, dan bisa diceritakan, maka hal itu disebut sudah tertanam kuat. Padahal hal-hal itu juga bisa mengindikasikan bahwa Pancasila hanya berhasil dihafalkan saja tanpa dihayati. Tampaknya yang tepat adalah: nilai-nilai yang ada dalam Pancasila memang sudah lama ada di dalam diri manusia Indonesia sehingga masyarakat mudah menerima keberadaan Pancasila, tapi cara pembelajarannya yang otoriter justru membuat konsep tersebut jatuh pada haFalan saja. Jatuh pada formalitas belaka untuk menyenangkan penguasa. Bukankah hal ini berarti ketiadaan dan kegagalan menciptakan ruang belajar?
Dalam Mamar, Sulaiman, Budaya Berfikir Positif Suku Bangsa di Sulawesi Tengah, tulisan untuk Buku Evolusi Pendidikan: Membangun Harmoni Indonesia dari Papote, Palu 2012.
19
Bagian Pertama
demikian, merupakan akumulasi dari proses pelunturan sendisendi kebudayaan di daerah tersebut. Masyarakat tidak siap dengan perubahan, dan mereka memilih jalan tercepat yaitu kekerasan serta pertikaian itu sendiri. Seperti kita tahu, ke kerasan di Papote meluluhlantakkan semua sendi kehidupan. Sekarang semua terasa seperti dari nol kembali20. Pendidikan dan sekolah sebagai sarana untuk member dayakan tampaknya ikut mati suri dan menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya yang otoriter. Pendidik an yang harusnya menjadi salah satu alat mengubah ma syarakat menjadi lebih baik justru tidak memberikan ruang belajar yang terbaik bagi masyarakatnya. Pendidikan terlihat tidak mampu menanamkan rasa toleransi dan penghargaan terhadap hukum sehingga masyarakat kehilangan rasa persa tuan dan membiarkan pelecehan hukum terjadi di mana-ma na. Pemaparan di bawah ini berusaha menggambarkan mati surinya pendidikan dalam masyarakat Papote dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
b. Pendidikan yang Membodohkan Pendidikan sejatinya diarahkan untuk menciptakan ma nusia yang lebih baik dari yang sekarang ada. Pendidikan mengasumsikan sebuah perubahan kondisi yang lebih baik. Sayangnya, tidak selamanya proses pendidikan mengarah ke pada hal-hal tersebut. Pendidikan bahkan sering pula memun culkan manusia-manusia yang serakah dan tidak peduli pada sesama. Manusia-manusia yang rasa kemanusiaannya tumpul
Serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso—dan menyebar ke tetangga terdekat, Tentena, Sulawesi Tengah dan melibatkan kelompok Muslim dan Kristen—dapat dibagi menjadi tiga bagian: Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998), Poso II (17-21 April 2000), dan Poso III (16 Mei - 15 Juni 2000). Ketegangan dan kerusuhan ini menyebar sampai ke Palu di Sulawesi Tengah. Catatan lain menyebutkan konflik horizontal ini memakan korban kurang lebih 1.000 (seribu) jiwa manusia, terbakarnya kurang lebih 30.000 rumah penduduk, dan rusaknya harta benda yang tak ternilai harganya.
20
17
18
Pendidikan H a r m o n i
dan tidak memiliki rasa malu. Jika hal-hal buruk itu yang ter jadi, pasti ada yang keliru dalam proses pendidikan tersebut. Atau mungkin proses yang terjadi adalah proses pembodohan itu sendiri—yang berarti bukan proses pendidikan. Banyak kalangan menilai pendidikan Indonesia berada dalam proses yang belum jelas. Pendidikan yang dibangun di Indonesia belum memaksimalkan potensi budaya bangsa, tetapi ironisnya justru sering kali mengubur potensi tersebut dalam-dalam. Kurangnya pemahaman proses pendidikan yang tepat dengan budaya bangsa dan banyaknya muatan politik menjadi salah satu penyebab mundurnya mutu pendidikan In donesia. Untuk menggambarkannya kita akan mulai dengan se buah puisi yang dibuat oleh salah satu budayawan besar kita Taufik Ismail21.
Seniman (karya seni) sering kali menangkap fenomena sosial budaya dengan lebih jernih dan gamblang, dan kami memilih memulainya dengan menggunakan puisi-puisi ini. Puisi ini pernah dibacakan Taufik Ismail pada Hari Peringatan Anti Korupsi Sedunia, 8 Desember 2011 di Gedung KPK, Jakarta. Naskah diambil dari makalah Tomagola (2012).
21
Bagian Pertama
Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu 1 Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A Dia mengajukan permohonan: “Tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya Jawab Kepala Sekolah: “Wah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu” “Lho kenapa Pak?” “Begini Bu; ketika murid-murid nyontek, Guru-guru kami pura-pura tidak tahu” “Oooo” 2 Ibu itu membawa anaknya ke sekolah B Dia menyebutkan permintaan yang serupa: “Bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Jawab Ibu Kepala Sekolah: “Waduh, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu”. “Lho, bagaimana maksudnya itu Bu Kepala Sekolah?” “Begini-begini, ketika UAN, ada guru ditugaskan, diamdiam kepada murid memberi jawaban ujian.” “Oooo” 3 Ibu yang gigih itu membawa anaknya ke sekolah C Dia mengulang lagi permintaan itu juga “Pak, Pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Jawab Kepala Sekolah: “Yaaahh, kok nggak tahu sih ibu ini, di sekolah kami sudah lama tidak diajarkan rasa malu.” “Lho bagaimana penjelasannya itu, Pak Kepsek?” “Woalah, woalaahhh, sekolah kami ‘kan harus seratus persen lulusnya”.
19
20
Pendidikan H a r m o n i
“Dan itu dicapai dengan segala cara.” “Gimana itu caranya Pak?” “De – ngan – se – ga – la – ca – ra,” “Ooooooooo”
Rasanya puisi tersebut menggambarkan dengan tepat kondisi pendidikan bangsa kita. Dengan tidak mengesamping kan mereka yang sudah berjuang keras dan tetap berdedikasi tinggi di dalam dunia pendidikan Tanah Air, maka harus diakui, pendidikan kita sedang mengalami kemunduran cukup drastis. Kisah yang diungkap dalam sesi wacancara dengan salah satu Guru Besar Universitas Tadulako22 menjelaskan dengan singkat kondisi pendidikan di Papote dan Indonesia: Sebuah SMA di salah satu kepulauan kecil di Su lawesi ini selalu mendapatkan predikat lulus seratus persen. Pada awalnya, sekolah ini menjadi kebanggaan tersendiri mengingat nilai-nilai yang mereka hasilkan cukup fantastis. Namun, kecurigaan muncul di kalang an pejabat Dinas Pendidikan. Persoalannya, sekolah tersebut berada di daerah terpencil dan minim fasilitas. Kemudian performa hariannya juga kurang begitu baik. Maka secara diam-diam dicari cara agar bisa diketahui proses yang sebenarnya terjadi. Sempat diadakan kun jungan mendadak selama ujian, ternyata anak-anak dan guru terlihat menjalankan fungsinya dengan baik. Akhir nya dikirimlah orang dengan tugas khusus—yang ten tu saja tidak diketahui pihak sekolah—diikutkan dalam proses pengambilan naskah soal sampai tiba di sekolah. Rupanya di sinilah kecurangan terjadi, selama perjalan an yang memakan waktu 2-3 jam ke pulau terpencil tersebut, soal-soal dibuka dan dijawab oleh guru-guru yang saling berkomunikasi. Kemudian di dalam soal itu 22
Wawancara di kantor Wahana Visi Indonesia Palu.
Bagian Pertama
ditandailah jawaban yang mereka anggap benar. Ten tu saja soal tersebut dimasukkan lagi kedalam amplop semula dengan kondisi cukup baik. Anak-anak mendapat soal yang sudah diisi oleh gurunya, dan semuanya ter lihat natural. Begitulah cara sekolah tersebut selalu mendapatkan predikat lulus seratus persen. Proses ketidakjujuran tersebut di atas sudah barang ten tu melibatkan hampir semua elemen dalam dunia pendidikan: dari pihak dinas pasti ada pegawainya yang terlibat, sekolah dan semua guru di dalamnya tentu terlibat untuk sepakat ti dak jujur. Dan tentu saja yang paling mengenaskan, generasi muda penerus peradaban, yaitu anak-anak di sekolah tersebut sudah tercuci otaknya, sehingga memiliki pemahaman: tidak jujur itu baik karena meningkatkan prestasi sekolah mereka. Sudah sebegitu parahkah kondisi bangsa ini, sehing ga kujujuran, integritas, kerja keras, dan keutamaan hidup dikesampingkan demi pernyataan lulus seratus persen? Kisah di atas masih disambung oleh beberapa kisah mengenaskan dari guru-guru yang dijumpai di wilayah Papo
21
22
Pendidikan H a r m o n i
te. Seorang guru di Palu menceritakan bagaimana teman-te man seperjuangannya tidak begitu mendalami peran mereka menjadi guru. Kadang mereka hanya bekerja 3 hari dalam seminggu dan menelantarkan anak-anak didik tanpa bimbing an. Seorang Guru di Tentena bercerita bahwa mereka selalu dituntut untuk menuruti atasan tanpa pernah bisa memberi kan alasan jika atasan tersebut salah. Seorang guru dari Jawa dengan geram menceritakan beberapa rekannya yang tega pulang sampai berbulan-bulan ke Jawa meninggalkan muridmurid tanpa merasa berdosa sama sekali. Dia merasa terusik tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Cerita sedih proses pendidikan itu tidak hanya berlang sung di Papote saja, tapi hampir bersamaan di seluruh wilayah Indonesia. Pengabaian pada pentingnya pendidikan sepertinya sudah menjadi semacam kebiasaan. Dengan begitu, kesimpul an yang paling mungkin untuk berbagai proses tadi adalah: saat ini sedang berlangsungnya proses pembodohan yang ironisnya melibatkan proses pendidikan itu sendiri. Halaman-halaman ini sepertinya tidak akan bisa me nampung kisah-kisah pedih menurunnya kualitas pendidikan kita. Berbagai survey yang dilakukan di tingkat internasional makin membuat hati miris dan pikiran tidak karuan. Di tingkat ASEAN, kita sudah jauh tertinggal dari Singapura, Brunei, Malysia, Thailand dan Filipina. Padahal mereka dulu berguru pada kita. Untuk tingkat dunia, peringkat pendidikan Indone sia berada di urutan 69 dunia. Data yang dirilis UNDP terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011, Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara. IPM mengukur in deks pembangunan manusia suatu negara berdasarkan tiga dimensi dasar yang tercermin dalam taraf pendidikan, kese hatan, serta kemampuan daya beli. Dari ketiga dimensi, kon tribusi sektor pendidikan adalah yang tertinggi23. Sumber http://www.umm.ac.id/en/detail-4-benang-kusut-pendidikan-indonesiaopini-umm.html
23
Bagian Pertama
Penyebab kemunduran tersebut oleh Darmaningtyas24 disimpulkan dalam poin-poin berikut ini. 1.
Kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak konsekuen. Kebijakan ini hanya mengan dalkan input yang baik untuk menghasilkan output yang baik, masalah proses jadi terabaikan. Terabaiakannya proses membuat kualitas guru dan infrastruktur pendi dikan ikut terbengkelai.
2.
Penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik dan jawa-sentris. Keputusan birokrasi dalam hal ini hampir menyentuh semua aspek sekolah, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Akibatnya, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan lembaganya. Poin ini menyi
Darmaningtyas (1999), Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, dengan tambahan dari penulis
24
23
24
Pendidikan H a r m o n i
ratkan kuatnya otoriterisme dan penyeragaman dalam proses pendidikan di Indonesia. 3.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan masih kurang. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan hanya bersifat dukungan dana. Padahal yang lebih pen ting adalah partisipasi dalam hal proses pendidikan yang meliputi (1) pengambil keputusan; (2) monitoring; (3) evaluasi; dan (4) akuntabilitas. Dengan demikian, seko lah dan masyarakat secara bersama-sama bertanggung jawab dan berkepentingan terhadap hasil pelaksanaan pendidikan, bukan sekolah yang bertanggungjawab ke pada masyarakat terhadap hasil pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
c. Kesimpulan Kondisi sosial budaya Papote ternyata amat kaya dengan lapisan-lapisan perubahan dan pertemuan berbagai peradab an. Papote bisa dikatakan merupakan sebuah mozaik perte muan berbagai budaya dan peradaban. Bisa disebut misal, di sini bertemu peradaban inner dan outer Indonesia; beragam suku seperti Pamona, Kaili, Bugis, Toraja, Makassar, Jawa, dan Bali menghuni hidup berdampingan sejak lama. Masingmasing menyumbang elemen bagi terciptanya jati diri Papote seperti saat ini. Kekayaan lapisan budaya tersebut ternyata juga me ngandung potensi konflik yang sangat besar, karena masingmasing kebudayaan memiliki akar dan kepentingan berbeda dalam mengupayakan kehidupan di Papote. Orang Bugis yang pedagang tentu memiliki karakter dan kepentingan berbeda dengan orang Pamona yang cenderung berkebun dan ber ladang. Demikian juga orang Jawa pendatang yang memiliki akar budaya sawah sangat kuat. Berdasarkan cerita-cerita lisan, didapati bahwa hubungan antarsuku di Papote selama bertahun-tahun sempat berjalan sangat harmonis. Masing-
Bagian Pertama
masing memahami peran dan kontribusinya bagi Papote. Satu suku menyediakan ternak, suku lain menyediakan bahan per tanian, dan ada suku yang memang menyediakan kebutuhan perdagangan seperti pakaian dan peralatan rumah tangga. Festival Budaya Poso—dengan segala kelemahan dan muatan di dalamnya—merupakan salah satu contoh bentuk kehar monisan hidup tersebut. Di dalam festival ini, semua suku bisa berkontribusi dan menunjukkan identitasnya dalam pertunjuk an dan pesta bersama. Saling mengunjungi sebagai saudara dan berpesta panen bersama merupakan kegembiraan yang menyegarkan penduduk Papote. Keharmonisan tersebut ternyata perlahan mulai terlu pakan karena gusuran kemajuan zaman dan kondisi berne gara yang menekan kebebasan warganya. Orde Baru sebagai penguasa tunggal berusaha menyeragamkan berbagai sendi kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Penyeragaman ini berakibat hilangnya atau terlupakannya berbagai elemen bu daya dari berbagai suku di Indonesia25. Pertumbuhan ekonomi dan teknologi ikut mendorong masyarakat menjadi gila kekua saan dan harta. Proses ini, perlahan namun pasti, melenyap kan akar dan identitas kita sebagai bangsa dan melenyapkan juga wahana untuk menanamkan nilai-nilai. Di Papote, fakta menunjukkan bahwa masyarakat mulai melupakan nilai-nilai positif kebudayaan mereka. Berbagai upacara adat dilupakan; asal usul budaya juga mulai terlupakan. Puncak kondisi rapuh nya ikatan budaya dan mulai hilangnya jati diri adalah mu dahnya masyarakat terprovokasi melakukan tindak kekerasan. Akhirnya, kerusuhan meledak dan meruntuhkan semua sendi kehidupan. 25 Sofian Effendi (2012), dalam “Transformasi Poliko-Birokrasi dan Peradaban Bangsa”—makalah pada seminar Malunya Menjadi Orang Indonesia, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta; mengungkapkan bahwa “peran birokrasi pemerintah yang sangat dominan selama Pemerintahan Orde Baru telah memarginalkan partisipasi civil society dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik”. Dengan kata lain, masyarakat hanya menjalankan apa yang diinginkan dan diprogramkan pemerintah. Hal ini tentu saja membrangus kemampuan masyarakat untuk mandiri dan mengembangkan kebudayaan mereka.
25
26
Pendidikan H a r m o n i
Kondisi ini makin diperparah dengan menurunnya kua litas sistem pendidikan nasional pada titik yang mencemas kan. Pendidikan yang seharusnya bisa menjadi sarana belajar nilai-nilai keutamaan hidup dan pengetahuan hidup bersama secara damai tidak bisa menjalankan perannya karena sen di-sendinya lumpuh oleh otoritarianisme dan terabaikannya proses. Di Papote, kondisi ini terlihat dari kasus penipuan ha sil Ujian Akhir Nasional yang melibatkan oknum siswa, guru, orang tua, dan Dinas Pendidikan sekaligus. Dalam kondisi ini, ikut menyumbang juga ketiadaan ruang belajar bagi masyara kat untuk mengelola kekayaan alami mereka •
Bagian Kedua
Bagian Kedua
27
28
Pendidikan H a r m o n i
Bagian Kedua
Sebuah Terobosan Bernama Pendidikan Harmoni a. Awal Mulanya Siapa yang paling merasakan dampak dari ketidakpas tian di Papote? Siapa yang akan menanggung akibat kerusuh an-kerusuhan yang telah terjadi? Pertanyaan ini datang dari dua orang pendidik di dae rah Papote, Pak Syamsudin Chalid dan Pak Willem Posumah. Keduanya mengajukan pertanyaan retoris—karena mereka sudah tahu jawabannya—tersebut ketika sedang mencerita kan kondisi trauma di Papote. Mereka berdua adalah orangorang yang sudah banyak makan garam melayani di dalam dunia pendidikan. Pak Syam sudah bertahun-tahun menjadi pengajar di sebuah universitas di Makassar dan Pak Posumah bertahun-tahun pula memimpin sebuah yayasan pendidikan di Tentena. Mungkin karena akumulasi pengalaman mere ka, maka jawaban mereka juga lain dari yang dibayangkan orang-orang kebanyakan. Jika banyak orang melihat dam pak kerusuhan hanya terfokus pada korban dan mereka yang mendapatkan akibat langsung, maka kedua orang ini melihat lebih jauh ke depan. Menurut mereka: anak-anaklah pemikul berat semua kejadian zaman ini. Anak-anak dalam segala kepolosannya akan hidup dalam bayang-bayang trauma orang tua yang sadar atau tidak sa dar bisa mewarisi trauma tersebut. Anak-anak yang ikut lang sung mengalami kerusuhan selain menanggung trauma bisa
29
30
Pendidikan H a r m o n i
juga kehilangan identitas mereka. Anak-anak pula yang akan bekerja keras membangun masa depan supaya menjadi lebih baik. Anak-anak dengan demikian akan menanggung akibat dari semua perubahan ini lebih lama dari mereka yang disebut dewasa atau tua pada saat pergolakan terjadi. Mereka tidak mau ada kerusuhan, mereka tidak ingin menanggung beban masa lalu, tetapi pada kenyataanya memang anak-anak ini lah yang terluka paling dalam. Mewarisi sesuatu yang sesung guhnya tidak mereka inginkan. Jadi anak-anaklah yang seha rusnya mendapat perhatian utama dalam proses perbaikan di Papote—dan bahkan di Indonesia, jika melihat kondisi pendi dikan secara umum. Pemikiran kedua pendidik tersebut—yang melampaui pemikiran kebanyakan orang—mendapatkan muaranya ketika dipertemukan dengan berbagai kalangan yang secara bersa maan ternyata memikirkan pentingnya mengubah keadaan melalui pemberdayaan anak-anak. Wahana Visi Indonesia me miliki peran yang sangat besar dalam memfasilitasi berbagai pertemuan dan workshop bagi para penggiat pendidikan yang berasal dari bermacam lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat lintas suku dan kepercayaan. Wahana Visi Indo nesia sebagai organisasi kemanusiaan yang berfokus pada anak juga memiliki visi untuk berkontribusi mewujudkan anak hidup utuh sepenuhnya. Sebelum berinisiatif mengadakan fasilitasi, Wahana Visi Indonesia sendiri telah melakukan beberapa kali penelitian mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Papote. Dari hasil penelitian1 tersebut didapat rekomendasi sebagai berikut. 1.
Perlunya dikembangkan Model Pendidikan yang meng arusutamakan pengembangan Perdamaian dan Perlin dungan Anak .
Baseline riset dilakukan World Vision Indonesia (WVI) bersama mitra lokalnya yakni Wahana Visi Indonesia dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 2009.
1
Bagian Kedua
2.
Pengembangan kapasitas guru, yang bertujuan untuk memastikan kemampuan guru untuk menterjemahkan konsep pendidikan damai ke dalam operasional proses belajar-mengajar.
3.
Pemanfaatan berbagai kearifan lokal yang mendorong kehidupan damai—yang pada dasarnya telah dimiliki masyarakat seperti ”Sintuwu Maroso”—dalam pengem bangan model pendidikan yang mengarusutamakan per damaian.
4.
Model Advokasi yang Berbasis Sistem Ekologi Sosial.
Kesamaan pemikiran tersebut pada akhirnya mengum pulkan Wahana Visi Indonesia, Gereja Kristen Sulawesi Te ngah, Muhammadiyah, Al Khairaat, Universitas Tadulako, dan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah untuk memikirkan langkah strategis yang berdampak panjang bagi anak-anak di Sulawesi Tengah. Kristalisasi dari dialog itu adalah munculnya visi bersama untuk menciptakan Sulawesi Tengah yang aman dan damai melalui pendidikan. Hasil nyata dari visi bersama tadi adalah dikembang kannya model pendidikan damai yang menekankan pengem bangan nilai-nilai perdamaian dan perlindungan anak;
31
32
Pendidikan H a r m o n i
mempertimbangkan pendekatan ekologi sosial dan mengim plementasikannya melalui proses pembelajaran yang menye nangkan. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, model tersebut dipadukan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dua sekolah kemudian dijadikan pilot project ya itu SD Muhammadiyah 3 Palu dan SD GKST 4 Tentena. Untuk lebih memperkuat gerakan ini, maka direkomendasikan juga adanya advokasi dan penyadaran kepada para pemangku ke pentingan yang berada dalam sistem ekologi anak; yaitu ke lompok guru, kelompok orang tua dan anggota masyarakat lainnya, dan instansi terkait dalam tata pemerintahan di Su lawesi Tengah. Gambaran langkah strategis berdampak panjang bagi anak-anak dapat dilihat pada tabel berikut.
Area strategi
Tujuan
Kebijakan
Terdapat kebijakan untuk mendukung terlaksananya pendidikan yang memperhatikan aspek multikultur dan perlindungan anak, baik berupa tim pengembang dan sarana prasarana yang dibutuhkan. Memastikan ada alokasi anggaran untuk pendidikan multikultural dan perlindungan anak dari tiap mitra terkait.
Peningkatan Kapasitas Organisasi
Mitra meningkatkan kapasitas dalam menjalankan kebijakan dan program. Kapasitas tenaga pendidikan, siswa, kelompok anak, masyarakat, pengawas, dan dinas pendidikan secara kontinu meningkat dan semakin kreatif yang bermuara pada peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan mutu pendidikan.
Bagian Kedua
Kemitraan di antara Lembaga. Monitoring dan Evaluasi bersama dengan tim pengembang. Pengembangan Kemitraan
Hubungan antara komunitas semakin berjalan dengan baik dengan kegiatan-kegiatan formal maupun non-formal.
Pengembangan media Informasi, komunikasi dan edukasi
Terdapat media yang dapat digunakan untuk penyebaran informasi (cerita sukses) dan edukasi, tidak hanya mencakup media cetak namun juga media elektronik.
Pengembangan model pendidikan (sekolah harmoni)
Model pendidikan pada level sekolah dasar dapat dikembangan dan dijadikan referensi untuk direplikasi dan dijadikan bahan acuan kebijakan pemerintah daerah.
Dalam perkembangannya, ketika pendidikan damai ini mulai diimplementasikan di Sulawesi Tengah (pada sekitar tahun 2009), istilah pendidikan damai ditolak oleh banyak pemangku kepentingan di Sulawesi Tengah. Istilah “damai” yang mengikuti kata “pendidikan” malahan dianggap men jadi pemicu bangkitnya trauma konflik. Padahal ketika prog ram tersebut dilaksanakan, trauma konflik sudah berkurang. Setelah melalui berbagai pertemuan, maka kelompok kerja sama (MUI, Muhammadiyah, Al Khairat, Wahana Visi Indo nesia, dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah) mengubah nama tersebut menjadi Pendidikan Harmoni. Lahirlah istilah “Pendi dikan Harmoni”. Alasan khusus perubahan nama itu antara lain sebagai berikut.
33
34
Pendidikan H a r m o n i
1.
Ingin menghilangkan kesan agar implementasi pendidik an damai di Sulawesi Tengah tidak dikaitkan dengan kekacauan di Poso saja. Hal ini memberi kesan Sulawesi Tengah selalu rusuh dan kacau sehingga perlu pendidik an damai.
2. Dianggap perlu perluasan konsep pendidikan nilai per damaian, agar tidak saja berorientasi pada aspek sosial politik tetapi juga nilai-nilai budaya filosofi dan psikologi bangsa serta tuntutan perkembangan psikologis anak dengan pendekatan psikologis.
B. Pendidikan Harmoni Berangkat dari kisah awal terbangunnya Model Pendi dikan Harmoni seperti diurai di atas, maka terlihat model ini dibangun dari masukan berbagai elemen dan pemikiran ba nyak orang. Model Pendidikan Harmoni merupakan perpaduan harmonisasi berbagai kebudayaan dalam menyikapi kondisi sosial budaya di Papote dan kelemahan sistem Pendidikan Na sional. Konsep Model Pendidikan Harmoni juga tidak dibangun di atas kertas oleh ahli-ahli pendidikan yang kemudian di implementasikan oleh guru-guru secara langsung. Ada risetriset awal yang melibatkan proses aktif guru dan didampingi oleh fasilitator yang sangat memahami pendidikan anak. Langkah-langkah yang dilakukan adalah assessment pro ses belajar mengajar yang kemudian ditindaklanjuti dengan pendampingan yang kemudian disebut in house training dan pembiasaan dalam praktik belajar mengajar. Lembaga-lem baga terkait memfasilitasinya dengan mengirim orang-orang terbaik dan mempersiapkan elemen dalam lembaganya— seperti sekolah-sekolah dari Muhammadiyah dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah—untuk bersedia menjalankan model tersebut.
Bagian Kedua
Pendidikan Harmoni merupakan kesatuan dari pembel ajaran kompetensi dasar, pembelajaran berbasis budaya, ke arifan lokal, kekayaan alam sekitar, dan pembelajaran karak ter. Pembelajaran tersebut diberikan secara menyenangkan melalui berbagai ragam kegiatan. Inti dari Pendidikan Harmoni adalah olah isi, ya itu mengembangkan metode pembelajaran yang mudah, menggembirakan, kontekstual; serta olah suasana, yaitu menghidupkan suasana yang mendukung berkembangnya karakter anak. Dalam Pendidikan Harmoni terdapat nilai-nilai kompetensi yang disebut kompetensi harmoni, yang tiada lain adalah nilai-nilai karakter utama yang bersumber pada Pan casila. Bisa dikatakan, Pendidikan Harmoni2 adalah sesuatu proses edukatif penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. Tujuannya agar individu yang mempelajarinya atau terlibat dalam pembelajaran ini memiliki sikap hidup dan perilaku individual yang harmonis; dalam arti harmoni hidup dengan sesama; harmonis hidup dengan alam dan lingkungan; dan harmonis dengan Tuhannya. Kata harmoni sendiri mengandung arti sebagai berikut. a. Adanya keselarasan dalam hidup bersama—segi multi kultural. b. Adanya keseimbangan— segi ekosistem dan lingkungan serta. c. Adanya keserasian hidup—segi keilahian. Hasil penggalian kearifan lokal, baik nilai-nilai sosial bu daya maupun kekayaan alam hayati tersebut, telah melahir kan 3 (tiga) Harmoni, yaitu Harmoni Diri, Harmoni Sesama,
2 Definisi ini berasal dari pemikiran Pak Syamsudin Chalid dan penjelasan berikut berasal dari rangkuman paper-paper yang telah dibuat oleh Wahana Visi Indonesia.
35
36
Pendidikan H a r m o n i
dan Harmoni Alam. Harmoni Diri adalah harmoni terhadap diri sendiri sebagai hasil dari olah rasa, hati nurani, dan akal budi. Harmoni Diri merupakan perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan dan menjadi dasar bagi unsur harmoni lainnya. Harmoni Sesama adalah penghargaan, penerimaan, dan ke selarasan hubungan dengan sesama manusia sebagai makh luk ciptaan Tuhan; dan Harmoni Alam adalah penghargaan, pemeliharaan, dan keselarasan hidup dengan alam semesta, tempat di mana manusia hidup dan berkarya. Pengintegrasian nilai-nilai harmoni dalam pendidikan di lakukan selaras dengan pengembangan 3 pilar MBS (Manaje men Berbasis sekolah) yang terdiri dari: (1) olah suasana, yaitu menumbuhkan budaya, lingkungan, dan manajemen sekolah yang mendukung bertumbuh dan kembangnya sikap dan perilaku harmoni warga sekolah dan lingkungan sekitar; (2) olah isi, yaitu pengintegrasian nilai-nilai harmoni ke dalam kurikulum dan proses belajar mengajar yang ber nuansa PAKEM3; dan (3) pemberdayaan partisipasi masyarakat untuk mendu kung pelaksanaan Pendidikan Harmoni, baik di sekolah maupun di rumah.
Melalui berbagai kegiatan refleksi dan workshop, dite mukan bahwa inisiatif Pendidikan Harmoni membawa tandatanda perubahan yang cukup signifikan, baik bagi peningkatan
3 PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar.
Bagian Kedua
pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa dan guru menge nai perdamaian, keterampilan guru dalam merencanakan dan memfasilitasi proses belajar mengajar yang harmonis, serta pemahaman dan dukungan pemangku kepentingan dan ko munitas. Dalam pendampingan 2 tahun ini, awalnya dikem bangkan 7 Sekolah model di Kota Palu dan Kabupaten Poso; sekarang telah diterapkan di 27 sekolah. Pendidikan Harmoni dapat menjadi model kontekstualisasi pelaksanaan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa (Inpres No. 1 tahun 2010) yang berciri khas Sulawesi Tengah. Dalam menjalankan model Pendidikan Harmoni ini ada beberapa prinsip yang harus dipegang teguh, yaitu sebagai berikut.
Integrasi dan Kontekstual
Pendidikan Harmoni dapat mengintegrasikan bebera pa kompetensi dasar, bahkan mata pelajaran di dalam suatu tema. Tema yang dipilih harus kontekstual, agar siswa mendapat gambaran riil atau nyata terhadap suatu keadaan. Manfaat lain secara langsung adalah terpeli haranya budaya daerah dan alam sekitar yang selama ini tidak terajarkan di sekolah, sekaligus memaknai seluruh kearifan yang berasal dari budaya dan alam sekitar itu di dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
Menggali Kearifan Lokal
Karakter suatu bangsa tergantung pada budaya bangsa tersebut. Demikianlah karakter akan lahir dari nilai-nilai kearifan lokalnya. Kearifan lokal hanya lestari jika buda ya daerahnya lestari. Dari sebuah benda budaya, atau pun kegiatan budaya, akan banyak terkandung nilai-ni lai karakter utama. Misalnya tentang pesan kelestarian
37
38
Pendidikan H a r m o n i
alam, tidak boleh serakah, menghormati tamu, dan se bagainya. Setiap cerita memiliki pesan moral. Oleh kare na itu, apabila benda budaya, kegiatan budaya, cerita sastra hilang atau punah, berikutnya akan turut punah karakter masyarakatnya. Karakternya akan tergantikan oleh karakter lain, yang belum tentu sesuai dan selaras dengan masyarakat dan lingkungannya. Pendidikan Har moni melatih para guru mampu mengangkat budaya dan alam sekitar menjadi berbagai ragam kegiatan pembel ajaran sekaligus menanamkan nilai-nilai harmoni.
Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan Dengan menggunakan ragam kegiatan yang berbasis alam dan budaya serta menjadikan seluruh lingkungan hidup menjadi kelas, maka kegiatan pembelajaran akan menjadi asyik dan menyenangkan. Selain itu dalam
Bagian Kedua
proses belajar mengajar yang bernuansa harmoni juga mempromosikan suasana dan tempat yang aman dan nyaman bagi anak serta bebas dari kekerasan (child friendly).
Mengikuti model dan prinsip yang dikembangkan dalam Pendidikan Harmoni, maka bisa dilihat dan dipelajari bersama bahwa pendidikan ini amat fleksibel tetapi juga sekaligus te gas dalam prinsip. Fleksibel karena dia bisa mengakomodasi berbagai kepentingan dan kebutuhan untuk ditarik menjadi pembelajaran, sekaligus tegas dengan menentukan sikap bahwa pendidikan ini selalu mengacu kepada standar kompe tensi dasar kurikulum nasional. Pendidikan Harmoni dengan demikian bisa masuk dalam ranah pendidikan formal ketika dia menjadi satu dengan pembelajaran sehari-hari di sekolah dan sekaligus bisa menjadi model pendidikan alternatif ketika dia berjalan di luar formalitas kelas dan kurikulum. Untuk melihat operasional kegiatan harmoni, lihat lampir an contoh kegiatan Pendidikan Harmoni di halaman belakang.
c. Terobosan Pendidikan Harmoni Biasanya, kita membahas peranan pendidikan dan ber bagai model pendidikan dengan menggunakan pendekatan pedagogi atau psikologi. Melalu pendekatan-pendekatan ini, biasanya kemudian diukur hal-hal seperti proses belajarmengajar; tingkat keberhasilan atau kegagalan atas dasar evaluasi kemampuan menyerap materi yang diajarkan; situ asi psikologi peserta didik atau pengajar; sarana pendidikan; kurikulum; hubungan antara tujuan-tujuan pendidikan; dan pilihan sarana pedagogis proses belajar-mengajar. Kita akan mencoba menggunakan alat analis lain untuk
39
40
Pendidikan H a r m o n i
membahas terobosan yang telah dilakukan oleh Pendidikan Harmoni. Kita akan berusaha memakai pendekatan sosiologis sebagai alat analisis. Tepatnya, kita akan mencoba memba hasnya dengan menggunakan cara pandang Pierre Bourdieu4. Pendekatan psikologis dan pedagogis tentu saja sangat bagus untuk melihat proses yang terjadi dalam model Pendi dikan Harmoni. Tetetapi kita akan berusaha melihat proses dalam Pendidikan Harmoni dari sisi lain. Pendekatan psikolo gis dan pedagogis cenderung melupakan latar belakang sosial para peserta didik serta mereka yang terlibat di dalam proses pendidikan. Dalam pandangan ini, semua orang dianggap me miliki kesempatan dan kemampuan yang sama sehingga ke tika seseorang diberi materi dengan kurikulum tertentu maka orang tersebut akan dengan serta merta bisa mengikuti dan belajar dari sana. Maka kemudian evaluasi belajar dan ke mampuan menyerap jadi acuan keberhasilan pelaksanaan pendidikan ini. Fakta di lapangan tidak selalu begitu. Menu rut Bourdieu, latar belakang sosial akan sangat berpengaruh kepada cara orang tersebut menerima pembelajaran. Tidak semua orang sama dalam hal modal dan kondisi sosialnya. Bagi Bourdieu, sekolah karenanya hanyalah alat untuk seleksi sosial dan amat menguntungkan yang kaya saja. Pendidikan Harmoni sarat dengan proses-proses sosial seperti diungkap oleh Bourdieu. Sebelum membahas lebih jauh, kita akan sekilas mem bahas beberapa konsep yang ada dalam pemikiran Bourdieu5.
Pemahaman mengenai teori Bourdieu disarikan dari Sutrisno, Mudji, dan Putranto Hendar (editor), Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
4
Pembahasan beberapa pokok pikiran Bourdieu ini hampir semua diambil dari tulisan Wattimena, Reza A.A, Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya. Tulisannya dapat dilihat di http://rumahfilsafat.com/author/ rezaantonius/
5
Bagian Kedua
Habitus Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta me lalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, se hingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus se seorang begitu kuat, sampai memengaruhi tubuh fisiknya. Sebagai contoh, ada seorang yang menjadi pengajar di sebuah perguruan tinggi. Ternyata sejak kecil dia terbiasa membaca buku. Dunia bacaan adalah dunia yang telah akrab di matanya sejak kecil. Sewaktu SMA, dia tinggal di asrama. Di waktu-waktu kosong, karena tidak banyak hiburan, dia mulai membaca buku yang tebal-tebal. Akhirnya, kegiatan membaca pun menjadi suatu kebutuhan yang amat penting untuknya. Orang ini seolah tidak bisa hidup tanpa membaca, dia me makai kacamata dan bahkan cenderung bungkuk—pengaruh ke fisik. Sewaktu kuliah, dia diminta banyak menulis paper ilmiah. Dia pun mulai belajar menulis, dan menyukai kegiatan itu. Di sisi lain, kelompok diskusi di kampus adalah tempatnya menghabiskan waktu. Kegiatan itu merangsangnya untuk be rani berpendapat, berargumen, dan mendengarkan pemikiran orang lain. Dari sudut pandang teori Bourdieu tentang habitus, orang ini sudah memiliki habitus yang tepat untuk menjadi seorang pendidik, yakni habitus membaca, menulis, dan berdiskusi. Habitus yang sama memungkinkannya untuk lulus kuliah dengan nilai yang lumayan baik, sehingga kesempatan menjadi pendidik terbuka luas. Habitus tersebut diperoleh dari penghayatan nilai-nilai yang ada di lingkungan dan kemudian mengendap menjadi cara berpikir serta pola perilaku yang dia hayati sebagai manusia.
41
42
Pendidikan H a r m o n i
Kapital Kapital adalah modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh jika orang memiliki habi tus yang tepat dalam hidupnya. Dalam kasus pelajar di atas, habitus membaca, menu lis, dan berdiskusi akan menghasilkan kapital intelektual dan kapital budaya. Sementara dalam kasus wirasusahawan, sikap rajin bekerja dan banyak jaringan bisnis akan menghasilkan kapital ekonomi. Kapital bukanlah sesuatu yang mati, melain kan hidup, dan bisa diubah.
Bagian Kedua
Karena memiliki kapital intelektual (pendidikan), orang bisa bekerja sebagai pendidik, dan memiliki uang (kapital ekonomi) untuk hidup. Kapital intelektual juga bisa diubah menjadi kapital budaya (jaringan yang banyak), sehingga bisa memperkaya kapital intelektual itu sendiri. Kapital ekonomi juga bisa diubah, misalnya dengan investasi, sehingga meng hasilkan kapital ekonomi dan kapital budaya yang lebih besar.
Arena Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyara kat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bis nis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat. Misalnya di dalam arena pendidikan; jika ingin berha sil, orang perlu memiliki habitus pendidikan (belajar, menu lis, berdiskusi, membaca) dan kapital intelektual (pendidikan dan penelitian) yang tepat. Jika ia tidak memiliki habitus dan kapital yang tepat untuk dunia pendidikan, maka ia tidak akan berhasil di dalam arena pendidikan. Hal yang sama berlaku di dalam arena bisnis. Jika orang ingin berhasil dalam bisnis, maka ia harus memiliki habitus yang tepat (ulet bekerja dan hemat) serta kapital bisnis (uang sebagai modal usaha) maupun kapital budaya (jaringan ke nalan yang luas) yang tepat. Jika orang memiliki habitus dan kapital seorang pendidik, dan ia terjun ke dalam dunia bisnis, maka kemungkinan besar, ia tak akan berhasil. Dengan demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan kapital yang tepat untuk arena itu. Jika ia tidak memiliki habitus dan kapi tal yang tepat untuk satu arena, maka ia, kemungkinan besar, akan gagal dalam arena yang telah ia pilih tersebut.
43
44
Pendidikan H a r m o n i
Pendidikan Bagi Bourdieu, pendidikan adalah suatu proses pencip taan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pen didikan menutup pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital sebagai seorang pembelajar. Orangorang yang ditolak ini umumnya adalah kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk belajar secara akademik. Dengan demikian, pendidikan pada hakikatnya bersifat diskriminatif. Secara tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah “kalah”, baik secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara me kanis, nyaris otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si “bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital intelektual). Pendidikan, dengan demikian, menutupi sekaligus meles tarikan ketidakadilan serta kesenjangan sosial yang telah ber langsung lama di masyarakat. Argumen ini diperoleh Bourdieu dari analisis terhadap data-data mahasiswa yang memasuki fakultas-fakultas tenar di Prancis. Ternyata fakultas-fakultas tersebut didominasi oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi sehingga mengakibatkan mereka memiliki habitus dan kapital yang kuat. Jika seseorang berasal dari keluarga yang cukup kaya, dan memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi sejak kecil, maka kemungkinan besar (tidak mutlak), ia akan belajar di fakultas-fakultas tenar di pergu ruan tinggi-perguruan tinggi ternama di negaranya. Tetapi dari sini juga terungkap bahwa bagi Bourdieu sekolah merupakan alat penting untuk menciptakan habitus baru dengan mempertimbangkan segala kapital sosial ma syarakat pendukungnya. Tentang pendidikan moral, Bourdieu berpendapat bahwa
Bagian Kedua
yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tak ternyatakan (implisit), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Singkat kata, dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Maka itu, sarana pengajaran moral yang paling baik bu kanlah ajaran moralitas agama yang penuh dengan pengha rusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam karya sastra, orang secara bebas memilih tokoh apa yang menjadi favoritnya. Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan. Sementara, dalam ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di dalam pola semacam itu tidak ada kebebasan. Adanya adalah paksaan atau dominasi. Sementara itu di mana terdapat dominasi, se lalu ada perlawanan. Itulah sebabnya, mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan pendi dikan moral.
1. Habitus Sekolah di Indonesia6 Pembahasan masalah Peran Pendidikan Harmoni tidak bisa lepas dari pemahaman habitus sekolah di Indonesia. Sua sana kelas merupakan salah satu hal yang paling bisa mem perlihatkan habitus sekolah-sekolah kita. Kondisi keterpu rukan sistem pendidikan Indonesia juga bisa dilihat di sini. Biasanya, kelas-kelas di Indonesia kondisinya seragam; baik itu cat, buku kerja, posisi kursi, dan bahkan proses belajar
Penjelasan habitus sekolah ini tentu saja sedikit mengabaikan sekolah-sekolah elite di kota besar yang memang sudah memiliki kebiasaan atau habitus yang sangat lain daripada sekolah kebanyakan.
6
45
46
Pendidikan H a r m o n i
mengajar pun seragam. Suasana menjadi cukup tegang keti ka guru sedang mengajar atau sedang menerangkan sesuatu. Jika kemudian terjadi keceriaan, maka sering kali hal itu ter jadi karena ada jam kosong atau kondisi saat guru tidak me megang kendali. Proses belajar-mengajar di kelas pun pada akhirnya menghasilkan budaya bisu pada para siswa7. Murid enggan bertanya dan mereka lebih banyak menerima dengan diam. Interaksi tidak terjalin dengan baik. Kelas-kelas di In donesia adalah apa yang disebut Bourdieu: pendidikan yang menindas orang-orang. Bahkan untuk kegiatan berkesenian yang memerlukan kreativitas dan keberagaman interpretasi, ruang-ruang kelas kita memberikan penyeragaman yang akut. Sejak lama di ber bagai daerah Indonesia, menggambar pemandangan adalah: dua gunung dan di tengah-tengahnya ada jalan. Sangat ab surd terlihat oleh mereka yang berasal dari negara atau tem pat yang sudah cukup terbuka pada informasi. Sampai di za man internet ini, kondisi tersebut masih bisa dijumpai. Kondisi ini masih diperparah dengan kenyataan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia ternyata belum merata. Ha rus diakui karena kekuatan fasilitas dan sistem pendidikan yang jawa-sentris seperti diungkap Darmaningtyas (1999) di atas, maka kualitas pendidikan di wilayah Indonesia Timur dalam beberapa hal masih kalah. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari lapisan peradaban outer Indonesia di mana memang masih ada beberapa bagian masyarakat yang masih terbiasa hidup dalam kebiasan berkebun berpindah atau cara hidup tradisional lainnya. Kondisi seperti di atas tentu saja membuat anak-anak tidak mendapatkan ruang bertumbuh seutuhnya. Mereka juga menjadi kelompok yang mudah ditindas serta mudah dising
Lihat misal dalam tulisan Pradipto, Dedy. Y, Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional, Kanisius, Yogyakarta 2007.
7
Bagian Kedua
kirkan. Jika dilihat dari sisi habitus, maka kebiasaan yang dibangun adalah kebiasaan buruk dan jauh dari keharmonisan diri, sesama, dan Tuhan. Dengan demikian, mental spiritual tidak terbangun dengan baik. Di Papote, kondisi ini mendapat tantangan yang lebih berat dengan adanya peristiwa kerusuhan. Trauma, baik itu besar maupun kecil, dirasakan atau tidak, telah menjadi fakta bersama yang tidak bisa dihindarkan. Orang-orang menyim pan ingatan akan kebencian, kematian, dan ketidakpastian. Seharusnyalah sekolah bisa menjadi tempat pembiasaan habi tus baru. Tetapi dengan kondisi umum seperti terungkap pada peristiwa penipuan ujian nasional, harapan itu serasa kosong adanya.
2. Habitus Harmoni Mari bersyukur, tidak semua orang terlena dengan kon disi kosong tanpa harapan. Walau kondisi memang penuh dengan ketidakpastian, masih banyak orang yang peduli dan bersedia memikirkan masa depan yang lebih baik. Pendidikan
47
48
Pendidikan H a r m o n i
Harmoni merupakan salah satu bentuk terobosan luar biasa di tengah lesu dan sukarnya kondisi kehidupan. Lewat Pendidik an Harmoni, terbangun jembatan-jembatan komunikasi an tara mereka yang bertikai, juga jembatan-jembatan pengeta huan untuk belajar habitus baru. Pendidikan Harmoni memberi modal atau kapital sosial baru bagi masyarakt Papote dengan prinsip pendidikan yang mengedepankan kontekstualitas dan budaya lokal. Pendidikan melalui praktik dan pembiasaan dalam ling kungan sosial tertentu menentukan habitus seseorang atau suatu kelompok. Pendidikan Harmoni melalui berbagai prak tik pembiasaan membuat trobosan baik dalam kegiatan bel ajar mengajar maupun dalam kehidupan sehari-hari guru dan anak-anak. Dia juga memberi ruang belajar baru bagi anakanak dan orang dewasa untuk berubah menjadi lebih baik. Kita akan mencoba mengurainya melalui pemaparan berikut. Habitus sekolah yang umum terjadi adalah budaya bisu atau pembodohan dengan contoh yang jelas: perlakuan tidak jujur. Pendidikan Harmoni membongkar semua itu dengan membiasakan setiap peserta didik untuk memahami Harmoni Diri, Harmoni Sesama, dan Harmoni Alam. Pendidikan Har moni menghasilkan juga praktik-praktik untuk menciptakan kebiasaan positif, seperti: saling menghargai, refleksi, diskusi, terbuka, dan penuh tanggung jawab. Prinsip Harmoni selalu mengaitkan suatu fenomena dengan berbagai kondisi, dan pemikiran membuat pikiran terbuka dan memaksa orang—se cara positif—berpikir lebih dewasa. Dengan begitu, Pendidikan Harmoni mengubah struktur-struktur pemaknaan dalam diri setiap orang yang terlibat. Sepertinya sederhana, tetapi kisah anak-anak yang bersedia menuliskan jam mereka masuk kelas dengan jujur menunjukkan perubahan luar biasa di tengah sekolah yang korup dan cenderung tidak begitu mengindahkan disiplin. Bu kankah ini perubahan struktur berpikir dan bertindak? Sebuah
Bagian Kedua
simpul habitus untuk disiplin dan bertanggung jawab mulai tertanam. Mau tidak mau kondisi ini juga memaksa guru-guru mengubah kebiasaan mereka. Beberapa guru menceritakan kalau mereka sekarang mulai berpikir lebih luas. Seorang guru di Palu dengan bangga menceritakan bagaimana dia sekarang lebih menghargai waktu dan panggilan ketika sadar bahwa yang dia lakukan adalah upaya untuk menyiapkan anak-anak menghadapi masa depan mereka. Sekarang dia tidak mau menyepelekan persiapan mengajar. Begitulah prinsip Pendidikan Harmoni—yang kreatif, me nyenangkan, terbuka pada kemungkinan, dan memadukan berbagai elemen— sebenarnya sedang membuat pendidikan ini berjalan menciptakan suatu habitus baru di dalam sistem pendidikan kita. Habitus yang aktif, kreatif, efektif, dan me nyenangkan. Tentu saja ini amat bertentangan dengan ke biasaan sekolah pada umumnya yang seragam dan menurut banyak kalangan cenderung bisu.
49
50
Pendidikan H a r m o n i
Jika kita melihat dari sisi kapital, maka terobosan pa ling mencolok adalah keberanian untuk selalu kontekstual dan menggunakan potensi lokal. Akibat kemajuan zaman dan teknologi, orang kemudian berpikir bahwa yang tradisional bisa ditinggalkan begitu saja. Bahkan kadang dianggap kuno dan tidak bermartabat. Orang lupa, hilangnya sebuah tradisi, kebiasaan, atau peralatan berarti juga hilangnya pengeta huan. Apa yang akan terjadi jika kita tidak bisa memakai pi sau sementara kita harus hidup dengan pisau? Mungkin orang akan membantah, sekarang zaman komputer mengapa harus belajar mamakai pisau? Persoalannya bukan pada memakai pisaunya tetapi pada kemampuan untuk menggunakan alat dan mungkin bertahan hidup. Orang yang memiliki skill lebih banyak biasanya lebih sukses dan bisa menghadapi tantang an zaman. Mari kita bayangkan jika kita enggan memakai dan bahkan mungkin menghilangkan alat bernama cangkul dalam kehidupan kita. Maka yang akan terjadi adalah ini: kita ke hilangan pengetahuan bercocok tanam, mungkin kita tidak bisa lagi bertani. Itulah yang terjadi ketika Padungku mulai dilupakan orang. Kemungkinannya orang akan lupa bersosialisasi, orang lupa bersyukur, lupa menghargai alam, dan seterusnya. Di Papua bisa terjadi kelaparan karena orang sudah melupakan ubi dan cara menanam ubi. Di Toraja, kerajinan tenun Kamandang sudah mulai hilang. Begitulah, hilangnya satu unsur dalam kehidupan berarti hilang pula pengetahuan. Padahal, dengan pengetahuan manusia bisa kreatif, aktif, dan efektif. Apa jadinya jika hal itu hilang? Pendidikan Harmoni memberikan terobosan dengan se lalu mengajak para pelakunya untuk menggunakan potensi lo kal dan menggali kegunaan serta manfaatnya. Dan lebih hebat lagi mengajak orang yang terlibat untuk menentukan serta mempelajari keterkaitannya dengan ilmu lain. Dengan meng ingat kembali sejarah masa lalu dan juga sejarah berkumpul
Bagian Kedua
nya peradaban-peradaban besar di Papote, semangat untuk bisa merevitalisasi berbagai pengetahuan tradisional adalah sebuah upaya untuk mendapatkan kapital yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini juga berarti mempersiapkan generasi mendatang dengan bekal yang lebih baik. Akhirnya, Pendidikan Harmoni memberikan arena atau ruang belajar seutuhnya yang sudah lama hilang di dalam sekolah-sekolah kita. Berbagai kegiatan diskusi memberikan arena untuk mengasah pikiran, terbuka, tidak cepat tersing gung, dan arena untuk mencari habitus terbaik yang akan di gunakan untuk masa depan mereka. Pendidikan Harmoni juga memberikan ruang belajar lewat berbagai workshop dan penguatan bagi guru-guru dan para pengampu kekuasaan. Sejatinya, di sini terjadi dialog saling mengisi di antara para guru itu sendiri. Ketika mereka diminta mengajar harmoni diri kepada anak, mau tidak mau mereka juga harus melakukan harmoni diri. Dengan demikian yang terjadi adalah ada pene ladanan dari guru untuk siswa-siswa. Jadi lingkaran pengaruh-
51
52
Pendidikan H a r m o n i
memengaruhi ini membuat Pendidikan harmoni menjadi se buah tempat belajar yang sangat menyenangkan. Pendidikan Harmoni dengan segala pola pikir dan pem biasaannya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus diakui memberi terobosan yang luar biasa bagi sistem pendidikan kita. Dia mengubah pola pikir siswa, guru, dan berbagai stakeholder pendidikan. Dengan demikian mengembangkan habi tus baru yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Habitus inilah yang akan membentuk generasi muda menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan kuat tak terom bang-ambing oleh zaman. Permasalahan sekarang, sejauh mana kita sadar untuk mempersiapkan generasi mendatang menghadapi perkem bangan zaman?
d. Kesaksian Puluhan orang telah dilatih menjadi guru atau fasilitator Pendidikan Harmoni, dan ada ratusan siswa pun terlibat dalam proses ini. Mereka telah ikut merasakan suka dukanya men jalankan model Pendidikan Harmoni. Berbagai cara mereka ungkapkan untuk menunjukkan kebanggaan mereka pada model yang penuh terobosan ini. Dan hal itu menunjukkan kekayaan metode Pendidikan Harmoni, tidak harus seragam. Maka di dalam kesaksian ini muncul beberapa puisi yang men coba menceritakan nilai-nilai pelajaran yang di dapat dalam Pendidikan armoni.
Bagian Kedua
Bilik-Bilik Semesta Oleh: Gerardus Bibang I. Pan-Kosmisme alam nan raya indah nan sakral maha-besar tak terlawankan aku manusia … hanyalah sepotong kuku dekil di hadapan alam mahaluas aku tidaklah seberapanya … tidak berdaya melawan hukum-hukumnya aku dan alam senantiasa berhadap-hadapan dalam rivalitas kekal II. Antroposentrisme alam nan raya aku manusia … lebih dari nan raya karena aku diciptakan di hari keenam
53
54
Pendidikan H a r m o n i
dimahkotai sebagai puncak segala ciptaan diberikan kedudukan utama di antara ciptaan: “penentu dan penakluk alam!” maka aku sangat percaya pada keunggulan diri dalam menguras alam aku dan alam senantiasa berhadap-hadapan dalam rivalitas kekal III. Holisme aku dan alam sama-sama nan raya menjadi bagian membentuk keseluruhan semesta aku dan alam berhadap-hadapan tapi dalam cumbu rayu dan saling mencinta memperlakukan seorang terhadap yang lain sebagai kekasih saling solider dan menjaga saling merawat hingga masa tua karena yang berlaku hanya hukum cinta yang melampaui logika dan moralitas yang menghormati masing-masing keutuhan: “keperawanan alam tidak digeratak; rahim bumi tidak dikoyak-koyak, dengan demikian nyawa penghuni bumi tidak dihantam gempa, banjir, longsor, dan rupa-rupa bencana; baik yang kelihatan maupun yang tidak keli hatan” maka: kemiskinan alam akan selalu berhubungan dengan kes erakahan dan kesembronoan penghuni alam kekayaan dan kelestarian alam selalu berhubungan den gan tanggung jawab dan kesadaran ekologis penghun inya tidak ada lagi pemisahan antara pengetahuan dan kepu tusan; antara kecerdasan dan tanggung jawab kausalitas dan finalitas bersua logika dan etika berpegangan-erat
Bagian Kedua
cerdas-kritis sekaligus bertanggungjawab yah, dalam holisme: “aku dan alam menjadi mazmur abadi pujian bagi Sang Khalik Pencipta semesta dan ibu bumi!”
Kami Cinta Damai Oleh: Syamsuddin H. Chalid Cemerlangnya sinar mentari di bumi pertiwi Indahnya ideologi kehidupan Bangsaku Negeri damai di bawah lindungan Illahi Tanahnya subur anugerah Tuhanku Aneka kekayaan alam yang masih lestari Kini Dendang perdamaian sayup sayup terdengar Ajaran dan nilai-nilai luhur Bangsa tergadai Muatan pendidikan belum sepenuhnya membentuk karakter anak bangsa Ayo!!!!! Mari kita bangun kehidupan harmoni Inisiasi pendidian harmoni di Sulawesi Tengah Agar bersinar bagai mentari penerang kehidupan Palu, 22 Septembr 2011
Indahnya Kerja Sama Oleh: Syamsuddin H. Chalid Inilah anak Negeri, bangkit dari mimpi-mimpi indah Nafiri menyambut kehidupan harmoni Dari Sulawesi Tengah, kami mendambakan kehidupan
55
56
Pendidikan H a r m o n i
damai Adiwangsa menjadi tujuan kami Hapuskan noda-noda hitam sejarah dan mari memban gun kesucian hati!! Nilai-nilai luhur budaya Bangsa ditampil-hormati Yakinlah!! Kerja sama dalam kebersamaan pasti berhasil Aklimatisasi dan akomodasi dalam kebersamaan pasti tercapai Kini Kerja sama dalam kebersamaan tampil indah Endapkan perbedaan, bersama membangun ideologi Bangsa Republik ini merindukan hidup adam dan harmoni Jalin ikatan batin anak Bangsa dan nilai-nilai luhur Andalkan pendidikan harmoni sebagai pendidik karakter Bangsa Solidaritas, toleransi, dan saling percaya menjadi inti pendidikan harmoni Agama dan keyakinan menjadi landasan pendidikan har moni diri Memelihara dan mencintai alam cita-cita pendidikan harmoni Anggun nian cita-cita pendidikan harmoni membara cin ta dan kasih sayang untuk perdamaian Konseptualisasi Pendidikan Harmoni Oleh: Syamsuddin H. Chalid Ketika pendidikan damai ditawarkan dunia Organisasi pendidikan menyahutinya dengan beragam aksi
Bagian kedua
Nakhoda Negeri ini seperti tak berdaya, ketika Suasana kehidupan damai menggelayut Entah berapa lama lagi Negeri ini dihempas krisis nilai Pendidikan anak Bangsa tidak lagi berwajah Indonesia Tampilkan pendidikan harmoni menjawab tantangan Unggulkan gagasan cerdas, menjadi PERGUBPERda Antara kami pecinta pendidikan anak Bangsa, dari Lintas budaya dan agama menyatu hati Inspirasi dan aspira tertuang ke dalam gagasan cerdas Seminar, workshop, dan pelatihan menjadi ajang pema tangan konsep Amanat Bangsa tertuang menjadi landasan pendidikan Sejarah kehidupan yang kelabu, menjadi Guru masa kini dan menjadi Inspirasi dan pencerah kehidupan masa depan Kini Prakarsa pendidikan harmoni telah berjalan Entenika sudah digagas dengan cerdas Narasumber pendidikan harmoni telah urun pendapat Dilema pendidikan karakter Bangsa diatasi dengan seri us Indikatorindikator keberhasilan telah diidentifikasi Denasi pendidikan moral Bangsa menjadi perhatian Ikatanikatan kebangsaan dirajut kembali Anak Bangsa menjadi sasaran didik Negara dan Pemerintah memberi payung karakter
57
58
Pendidikan H a r m o n i
Hidup harmoni menjadi ukuran martabat bangsa Agama memberi panduan menuju jalan damai Rona budaya mengisi jiwa membentuk karakter Memantul dalam perilaku harmONI, di mana ... norma kehidupan Berbangsa menjadi insan Indonesia yang bermartabat
Deby Dapamerang ... yang penting perubahan karakter.
Deby merupakan salah satu Staf Wahana Visi Indonesia di Tentena. Dia salah satu orang yang ikut memulai gerakan Pendidikan Harmoni dari awal. Deby sangat merasakan perubahan yang terjadi pada para guru yang dia dampingi. Menurut Deby, pada awalnya banyak guru yang ikut program Pendidikan Harmoni sebagai keterpaksaan. Menjalankan tugas sebagai perintah dari atasan. Lewat berbagai workshop
Bagian Kedua
Pendidikan Harmoni, maka mulailah para guru tersebut disadarkan akan perannya sebagai pendidik. Bagi Deby perubahan cara pandang tersebut sangat mengharukan dan melegakan. Bagi dia, dalam Pendidikan Harmoni perubahan yang paling penting adalah perilaku dan karakter. Percuma seorang guru bisa mengajarkan materi harmoni dengan bagus tetapi ternyata kelakuannya tidak menjadi teladan. Pergaulannya dengan para guru membuat dia sangat akrab dengan mereka. Kami mendapati keakraban itu ketika diajak makan malam bersama guru-guru tersebut. Ada kehangatan dan persaudaraan di sana. Deby juga melihat perubahan terjadi pada anak-anak. Dia merasa sangat terharu dan bersyukur ketika diadakan acara kemah Pendidikan Harmoni pertama di Tentena, anakanak dari kalangan Muslim dan Kristiani saling berbaur menjadi satu tanpa sekat sama sekali. Mereka bisa saling bercanda, bermain, dan tertawa bersama. Peristiwa yang hampir mustahil terjadi dalam kondisi konflik ini memecah berbagai belenggu dan tembok prasangka. Kemah ini menyadarkan banyak orang bahwa mereka bersaudara dan saling membutuhkan. Kemah ini juga menunjukkan perubahan besar yang dilakukan oleh Pendidikan Harmoni bagi perilaku anak dan guru. Karakter mereka mulai terbangun dan Deby meneteskan air mata syukur bahagia untuk peristiwa ini.
59
60
Pendidikan H a r m o n i
Ibu Sri Yuningsih Potoe Seperti lahir baru
Ibu Sri memiliki nama seperti orang Jawa. Tapi dia asli Tentena. Bagi Ibu Sri, Pendidikan Harmoni menjadikan dia guru yang lebih dewasa dan penuh kasih sayang. Dia mengingat tahuntahun ketika dia belum mengenal Pendidikan Harmoni; saat itu semua murid akan menunduk jika bertemu dengannya. Semua murid takut karena dia galaknya minta ampun dan emosinya mudah sekali tersulut. Dalam sebuah workshop Pendidikan Harmoni, dia seperti tersadarkan akan pentingnya merawat anak. Dia tersadar bahwa anak-anak adalah subjek dan bukan objek yang bisa diapa-apakan sesuka hati. Dari situ dia mulai mengubah diri untuk lebih lembut dan banyak tersenyum. Alhasil, sakarang dia menjadi salah satu guru kesayangan anak-anak. Menurut dia, perasaan saat dia mau berubah adalah seperti
Bagian Kedua
lahir baru. Perubahan itu memang membawa pembaruan yang sangat signifikan dalam hidupnya. Sekarang dunia menjadi lebih cerah karena ada banyak orang tersenyum pada dirinya. Ibu Sri juga menceritakan perubahan yang terjadi pada anak-anak di sekolahnya. Kekacauan sempat melanda sekolahnya karena kedatangan anak-anak korban konflik. Kondisi menjadi tidak kondusif karena ada orang baru dan anak-anak korban konflik cenderung sulit diatur. Perlahan namun pasti, lewat pengondisian lingkungan, suasana, dan kebiasaan hidup damai, anak-anak berubah menjadi lebih tertib dan bisa diajak berkomunikasi dengan lebih baik. Ibu Sri merasa perubahan itu terjadi karena pola Pendidikan Harmoni membuat anak-anak lebih mawas diri dan berpikir sebelum bertindak. Jika anakanak mau bertengkar, guru segera memberikan perintah “Harmoni Diri, Harmoni Sesama” dan anak-anak sudah mengerti kalau mereka harus menahan emosi. Ibu Sri juga senang karena dia sering mendengar perubahan perilaku anak-anak dari orang tua, ada yang bercerita anak-anak mau membantu di dapur, mau berdoa, tidak marahmarah lagi, dan tahu tanggung jawab.
61
62
Pendidikan H a r m o n i
Ibu Ani Tumakaka Komite yangsiap sedia
Ketika didatangi, Bu Ani ternyata sudah menyediakan buah manggis dan duku bagi kami. Dia sangat ramah dan energik. Bu Ani amat terbantu dengan Pendidikan Harmoni karena dari sana dia mendapatkan pengetahuan untuk mengembangkan rencana pembelajaran. Selain itu, dia juga mendapatkan semangat untuk berkreasi membentuk kelasnya menjadi berwarna-warni. Pengalamannya yang paling berkesan adalah saat komite sekolah memberikan bantuan untuk melengkapi pojok bacanya yang cukup minim buku. Berkat cerita dari anakanak yang senang membaca dan merasakan pengaruhnya, maka komite memutuskan membantu pojok baca tersebut. Saat ini komite sekolah merasakan manfaat lebih dari Pendidikan Harmoni dan menyatakan siap sedia mendukung
Bagian Kedua
pelaksanaannya di sekolah. Anak-anak terlihat sangat akrab dengan dirinya. Beberapa minta dimanja dan disapa oleh Ibu Ani. Suasana kelas sangat menyenangkan. Ketika kami berbincangbincang, Ibu Ani melihat anak-anak terlalu ramai dia kemudian mengajak anak-anak menyanyi dan mereka dengan antusias menyanyi untuk kemudian berkonsentrasi kembali pada tugas yang sudah diberikan. Situasi yang terjadi bukan situasi kaku akibat anak-anak terpaksa brnyanyi, tetapi justru menjadi suasana yang menyegarkan. Ibu Ani berusaha menenangkan anak-anak dengan sebuah tindakan yang mungkin tidak terpikir guru lain: mengajak menyanyi. Baginya, Pendidikan Harmoni memberikan kemampuan tambahan seperti itu..
Ibu Rosdiana Bisa menjadi pembicara
Sekilas Ibu Ros, terkesan kaku. Tetapi setelah berbicara cukup lama, kesan kaku itu hilang.
63
64
Pendidikan H a r m o n i
Bu Ros adalah salah satu guru yang mengikuti pengelolaan Pendidikan Harmoni sejak awal. Dia merasakan manfaatnya ketika dia mendapatkan pembelajaran mind mapping. Dari sana dia tertarik dan terus mengembangkan metode itu untuk cara belajar anak-anaknya di sekolah. Ternyata hal itu membuat anak-anak lebih cepat menangkap pelajaran. Pola belajar anak-anak berubah dan prestasi akademiknya meningkat. Berkat kegigihannya menjalankan pola Pendidikan Harmoni, dia beberapakali diajak tim Wahana Visi Indonesia untuk menjadi pembicara di berbagai seminar.
Jeni & Ryan Siswa SD GKST Tentena
“… Sebelum ada Pendidikan Harmoni, guru-guru suka murung dan suka memaki kalau marah. Guru juga sering memukul anak murid, anak-anak sering berkelahi antara anak Pamona dengan pendatang, kami sering saling menghina. Setelah ada Pendidikan Harmoni, kami tidak sering dipukul guru,dan kami juga sudah tidak suka berkelahi dan teman-teman tidak ada lagi yang merusak tanaman.
Bagian Kedua
Hamidah kelas 5 SD Muhamadiyah 3
“Sebelum ada Pendidikan Harmoni, ruang kelas sering kotor. Guru menyuruh kami untuk membersihkan kelas tetapi dengan marah. Sekarang sudah tidak sering marah lagi.”
Tampa’i Kepala Sekolah SD GKST-II Tentena
“Sebelum ada pendidikan harmoni,hubungan antara guru dan kepala sekolah seperti ada jurang. Karena kepala sekolah merasa kedudukannya lebih tinggi dari guru.Tetapi setelah ada Pendidikan Harmoni, kepala sekolah merasa guru sebagai mitra kerja. Dulu sebelum ada Pendidikan Harmoni, guru cuek saja kalau ada anak murid yang tidak masuk.” •
65
66
Pendidikan H a r m o n i
Bagian Kedua
Bagian Ketiga
67
68
Pendidikan H a r m o n i
Bagian Ketiga
Menjadi Indonesia Pertanyaan ini selalu mengusik orang: siapa yang Anda pikirkan ketika bangun dan melihat diri Anda di depan cermin? Orang Palukah? Orang Bugiskah? Orang Kristen? Orang Mus lim? Atau siapa? Bagi orang Indonesia yang hidup berdampingan dengan orang dari beragam suku, pertanyaan tersebut cukup mengge tarkan, bahkan mungkin mengkhawatirkan. Apakah saya be nar-benar orang Indonesia atau orang Jawa saja sebenarnya? Mungkin kalau dikorek-korek lebih dalam, maka jawabannya adalah: saya orang suku tertentu. Lalu di manakah letak Indo nesia dalam diri saya? Apakah Indonesia itu artinya bagi saya? Jangan-jangan saya malah penganut animisme yang bukan Indonesia atau pun Jawa atau Sulawesi. Identitas memang penting, identitas menunjukkan si apa kita dan keberadaan kita. Dengan identitas pula kita jadi memiliki referensi untuk bertindak dan nilai-nilai yang akan mengatur kita. Ketika kita mengaku sebagai Muslim atau Kris ten, maka nilai-nilai dan cara hidup kepercayaan itulah yang akan memengaruhi kita. Indonesia dengan segala layer sedimentasi kebudayaan di dalamnya menyisakan pertanyaan persoalan kebudayan yang cukup kuat. Benedict Anderson1 pernah mengatakan Anderson meneliti latar belakang historis bangkitnya kesadaran nasionalisme, perkembangannya, hingga bagaimana nasionalisme bisa menjadi seperti saat ini. Anderson menggunakan pendekatan kultural dan ia mendefinisikan bangsa atau nasionalisme sebagai komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang
1
69
70
Pendidikan H a r m o n i
bahwa Bangsa Indonesia itu masih merupakan imajinasi; be lum ada karena masih menjadi. Sampai kapan dia tidak tahu. Negara kita beserta dasar-dasarnya memang telah terben tuk, tetapi apakah hal itu mempunyai arti bagi kita sekalian ketika kekerasan merajalela, hak-hak dirampas, dan bahkan kepercayaan diberangus atas nama Tuhan? Menjadi Indonesia, itu merupakan pernyataaan yang sangat penting kita pertanyakan sekarang karena hal itu akan menentukan siapa jati diri kita. Orang Jepang dengan sega la pakaian ala barat yang dimilikinya tetap memperlihatkan karakter Jepangnya. Mereka membentuk harajuku, sebuah
bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang, karena para anggota yang terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan tidak akan mengenal sebagian besar anggota lainnya; tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di setiap orang yang menjadi anggota bangsa, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Anderson membedakan apa yang dinamakan bangsa (nation) dengan negara (state). Indonesia sebagai negara adalah “warisan kolonial” (product of colonial legacy). Teritorial, administrasi, sistem hukum (walaupun sekarang banyak diubah) Indonesia adalah produk dan kelanjutan dari pemerintahan kolonial Belanda. Mentalitas birokrasi, cara memerintah, sistem administrasi, dan sebagainya adalah warisan kolonial . Sementara bangsa sangat berbeda dari negara. Bangsa Indonesia adalah baru, bukan hasil bentukan Belanda, sekalipun kelahirannya dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Indonesia masih merupakan bangsa yang terbayang dengan segala elemennya—http://id.wikipedia.org/wiki/Benedict_Anderson.
Bagian Ketiga
hasil model pakaian Jepang yang memperlihatkan kesan barat tapi tetap menunjukkan identitas Jepang. Mereka juga bang ga dengan bahasa nasional mereka; semua peralatan yang masuk ke Jepang “harus mengalah” memberi tambahan atau mengubah tulisan menjadi huruf Kanji. Orang Jepang bang ga akan dirinya, karena itu mereka memiliki identitas yang jelas. Sementara mungkin salah satu dari kita malah cende rung malu dan enggan mengaku sebagai orang indonesia. Per nah ada yang mengusulkan bahwa identitas Indonesia akan tercipta jika kita mengumpulkan puncak-puncak kebudayaan Indonesia. Tetapi kemudian muncul pertanyaan: puncak yang seperti apa? Apakah berarti ada yang harus dianggap sebagai sampah karena bukan puncak? Tampaknya, permasalahannya adalah karena kita selalu memandang identitas sebagai sesuatu yang selalu tunggal. Dalam dunia yang tanpa batas sekarang ini, tampaknya ti dak ada identitas tunggal. Satu orang bisa memiliki beberapa identitas—tetwapi bukan penyakit psikologi indentias ganda— entah dia Jawa yang Kristen, atau Budha, atau sebaliknya. Kemajemukan identitas yang kita miliki belum tentu melun turkan juga ke-Indonesiaan kita. Pendidikan Harmoni dengan cerdik—entah disadari atau tidak—sebenarnya memberikan jalan bagi pemahaman akan Indonesia. Lewat kacamata harmoni yang barus berharmoni dengan diri, sesama, dan alam,wa maka sudah selayaknya kita melihat diri kita bukan sebagai orang yang beridentitas tunggal. Indonesia tersusun dari ribuan suku, mengapa kita merasa risih dan harus menyeragamkannya? Kita tahu penye ragaman justru malah membawa bencana yang sangat besar. Menjadi Indonesia dengan demikian dapat kita liat mo delnya dalam Pendidikan Harmoni.
71
72
Pendidikan H a r m o n i
a.
Untuk memahami siapa kita,maka kita harus jujur terha dap diri kita dan siapa pencipta kita. Lewat pemahaman diri yang dalam ini maka kita diajak untuk melihat bah wa dalam diri kita ada lapisan-lapisan kebudayaan yang beraneka ragam. Kita ternyata hidup dalam beragam identitas. Jika kita berhasil menerima ikatan daerah dan menerima peradaban Indonesia yang beragam, maka akan mudah menjadi Indonesia. Kita bisa bangga men jadi Indonesia yang ternyata beraneka ragam. Mengapa ragu memilih identitas yang merupakan tumpukan per adaban?
b.
Begitu kita paham akan tugas kita di dunia lewat pema haman diri yang matang maka akan mudah juga untuk terlibat dengan sesama untuk berkontribusi pada Indo nesia. Tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya dan toleransi menjadi bagian yang langsung menyatu dalam diri.
c.
Pada akhirnya kita harus menjaga alam kita untuk tetap hidup berdampingan dengan damai.
Bukankah tiga proses tersebut menampakkan proses menjadi Indonesia? Proses memaknai kekayaan budaya dan kekayaan pengetahuan. Maka Pendidikan Harmoni, selain se bagai pendidikan karakter, sangat layak disebut juga pendi dikan politik atau kewarganegaraan. Pendidikan yang men ciptakan pribadi yang matang menghadapi lapisan-lapisan sedimentasi kebudayaan dan jutaan orang dari suku yang ber aneka ragam didunia ini. Selamat menjadi Indonesia •
Bagian Keempat
Bagian Keempat
73
74
Pendidikan H a r m o n i
Bagian Keempat
Dokumentasi Berbicara Proses Pendidikan Harmoni Seperti diungkap di dalam uraian di awal-awal bab dari buku ini, Pendidikan Harmoni mendobrak budaya bisu seperti kutipan di bawah dari halaman 45 berikut: Suasana kelas merupakan salah satu hal yang pa ling bisa memperlihatkan kondisi keterpurukan sistem pendidikan Indonesia. Biasanya kelas-kelas di Indonesia kondisinya seragam; baik itu cat, buku kerja, posisi kursi, dan bahkan proses belajar mengajar pun seragam. Suasana menjadi cukup tegang ketika guru sedang mengajar atau sedang menerangkan sesuatu. Jika kemudian terjadi keceriaan, maka sering kali hal itu terjadi karena ada jam kosong atau kondisi saat guru tidak memegang kendali. Proses belajar-mengajar di kelas pun pada akhirnya menghasilkan budaya bisu pada para siswa. Murid enggan bertanya dan mereka lebih banyak menerima dengan diam. Interaksi tidak terjalin dengan baik. Dalam proses Pendidikan Hamoni, kreativitas, diskusi, kerja sama, kesempatan berbicara, keberanian mengeluarkan pendapat, dan proses dialog menjadi bagian penting dalam ke giatan belajar mengajar. Proses-proses tersebut menciptakan ruang belajar untuk memahami keberagaman dan bagaimana
75
76
Pendidikan H a r m o n i
cara mengatasinya, serta juga sebagai tempat anak untuk bertumbuh seutuhnya. Halaman-halaman setelah narasi beri kut berusaha memperlihatkan berbagai proses tersebut dalam bentuk foto-foto. Foto-foto memiliki kisahnya sendiri dan kadang berbi cara lebih kuat daripada kata-kata, semoga bisa belajar dari foto-foto sederhana berikut.
Kreativitas dan Suasana Kelas Kelas-kelas di sekolah yang menjalankan Pendidikan Harmoni selalu penuh warna dan menampilkan banyak krea tivitas. Dinding-dinding dipenuhi poster penuh makna. Siswa dapat melihat karya mereka terpampang di dinding. Betapa senangnya jika semua ruang kelas di seluruh Indonesia penuh warna dan tertata dengan rapi. Suasana belajar tentu akan menjadi menggairahkan. Sering kali fasilitas yang minim men
Bagian Keempat
jadi alasan untuk keluar dari kebiasaan mengelola kelas de ngan semangat seadanya. Dalam Pendidikan Harmoni fasilitas bukan nomor satu. Lihatlah barang-barang yang dipakai untuk menghias kelas; sederhana, murah, dan bahkan sering kali mengambil dari alam sekitar. Proses ini membuat siswa dan guru terpacu untuk berpikir kreatif dan maju. Ruang bukanlah penghalang, ruang adalah sarana mengekspresikan diri dan berkreasi, karena itu kelas-kelas dalam Pendidikan Harmoni selalu terlihat hidup.
Diskusi Berdiskusi merupakan habitus dalam kelas-kelas harmo ni. Oleh karena itu suasana gembira, kursi yang terlihat tidak teratur, suasana saling menimpali, menjadi bagian yang tak terpisahkan. Anak-anak belajar untuk saling terbuka, meng hargai, berpikir kritis, sambil sekaligus menerima dirinya
77
78
Pendidikan H a r m o n i
sendiri. Diskusi menjadi terobosan di tengah kelas-kelas yang bisu dan guru-guru yang tegang. Dengan diskusi, anak-anak belajar lebih banyak dan diajak untuk mandiri. Sementara gu ru-guru belajar terbuka dan melihat anak-anak sebagai subjek yang sejajar untuk diajak berbicara. Guru-guru belajar untuk menghargai hak anak-anak. Lewat diskusi inilah berbagai pe mikiran diuji dan dicoba sehingga bisa memunculkan ide-ide baru. Anak-anak akan belajar bahwa hidup itu harus dihadapi dengan semangat berjuang dan setiap permasalahan bisa di atasi asal ada dialog dan proses belajar untuk memunculkan ide penyelesaian masalah.
Simbol-Simbol Harmoni Simbol merupakan hal yang sangat penting dalam pen ciptaan habitus. Lewat simbol, manusia diingatkan dan di segarkan akan makna dan nilai suatu gerakan atau kebiasaan. Simbol sekaligus merupakan referensi bagi mereka yang ingin
Bagian Keempat
mengerti arti suatu kebiasaan. Pendidikan Harmoni menye diakan simbol yang sangat mudah dimengerti dan dipahami. Simbol-simbol itu bertebaran di seluruh ruang kelas yang menerapkan Pendidikan Harmoni. Hebatnya, simbol-simbol itu dikreasi sedemikian rupa oleh banyak orang sehingga kadang bentuknya menjadi sangat bervariasi. Memang kadang sim bol jatuh menjadi formalitas belaka, karena itu mari berharap agar simbol-simbol ini tidak hanya menjadi slogan.
Perpustakaan Kebiasaan membaca mengubah peradaban. Banyak orang mengakui hal tersebut. Tetapi berapa banyak yang peduli? Sering orang beranggapan begitu mahal untuk mem buat sebuah perpustakaan. Pendidikan Harmoni memperlihat kan fakta yang berbeda. Sediakan pojok baca dan kita bisa mengupayakan buku-buku beraneka ragam dengan mengajak kerja sama komite sekolah. Sangat mencerahkan, mengingat biasanya di tiap kelas di banyak sekolah isi ruang bacanya seragam: buku pelajaran dari sekolah atau penerbit tertentu •
79
80
Pendidikan H a r m o n i
Kreativitas dan suasana kelas
Kreativitas dan suasana kelas
Bagian Keempat
81
82
Pendidikan H a r m o n i
Kreativitas dan suasana kelas
Kreativitas dan suasana kelas
Bagian Keempat
83
84
Pendidikan H a r m o n i
Kreativitas dan suasana kelas
Kreativitas dan suasana kelas
Bagian Keempat
85
86
Pendidikan H a r m o n i
Diskusi
Diskusi
Bagian Keempat
87
88
Pendidikan H a r m o n i
Simbol-Simbol Harmoni
Simbol-Simbol Harmoni
Bagian Keempat
89
90
Pendidikan H a r m o n i
Simbol-Simbol Harmoni
Simbol-Simbol Harmoni
Bagian Keempat
91
92
Pendidikan H a r m o n i
Perpustakaan
Perpustakaan
Bagian Keempat
93
94
Pendidikan H a r m o n i
Perpustakaan
Lampiran
Lampiran
95
96
Pendidikan H a r m o n i
Lampiran
Lampiran Berikut ini beberapa contoh Pembelajaran Tematik yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai harmoni dan kearifan budaya/alam yang mendukung pengembangan karakter dan pencapaian Kompetensi Dasar sesuai dengan tingkatannya yang dihasilkan guru.
Tema Bobo Bobo adalah alat tradisional untuk tempat air minum yang menyiratkan berbagai kearifan ketiga harmoni dan men dukung pencapaian Kompetensi Dasar siswa kelas 3 pada tiap mata pelajaran terhubung seperti: tentang pengenalan alatalat rumah tangga (IPS), mengenal ciri-ciri makhluk hidup (IPA), kerja sama di lingkungan rumah (PPKN), melakukan perintah (Bahasa), dll. Tema Bobo juga dapat menghubung kan beberapa mata pelajaran secara terintegrasi. Integrasi ini akan melatih anak untuk memandang dan menyelesaikan ma salah dari beberapa sisi dan berpikir komprehensif.
97
98
Pendidikan H a r m o n i
LamPiran
teMa “Padungku” Peristiwa budaya “Ucapan Syukur setelah panen” yang syarat akan nilainilai ketiga harmoni. Tema ini juga dapat mendukung pencapaian beberapa Kompetensi dasar tiap mata pelajaran terhubung seperti: mengenal peristiwa (IPS), melakukan klasifikasi tanaman dan hewan (IPa), melakukan estimasi dan membuat grafik sederhana (Matematika), apre siasi sastra dan membuat struktur kegiatan (Bahasa), meng ucap syukur (agama), dll. •
99
100
Pendidikan H a r m o n i
Tentang Penulis Wiji Suprayogi, pekerja sosial yang aktif di berbagai komuni tas pendidikan. Saat ini menjadi pimpinan sebuah lembaga yang bergerak dalam penguatan wacana pendidikan dan tani organik di Yogyakarta. Selain itu, ia juga menjadi peng ajar freelance di sebuah universitas swasta di Jogjakarta dan peneliti freelance untuk berbagai lembaga. Agus Mulyono, pekerja sosial yang aktif di berbagai penelitian. Sekarang sedang menyelesaikan S2-nya di sebuah univer sitas swasta di Jakarta. Frida Siregar, bekerja sebagai Education Officer untuk Wahana Visi Indonesia, Regio Sulawesi-Maluku. Meski tidak asli Su lawesi Tengah, beliau memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Pendidikan Harmoni. Upayanya untuk mengem bangkan Pendidikan Harmoni dilakukan sejak menginisiasi pertemuan awal hingga mendorong adanya payung hu kum.