0
INOVASI: SEBUAH SKETSA UMUM UNTUK INDONESIA1 Oleh Antonius Galih Prasetyo A. Inovasi: Antara Praktek dan Ilmu Diskursus mengenai inovasi terbelah antara inovasi sebagai praktek atau seni dengan inovasi sebagai suatu disiplin ilmu. Pembelahan ini berakar pada ciri penting inovasi sebagai praktek yang memberikan dampak luas. Ciri kepraktekannya mensyaratkan praksis dari para praktisi inovasi. Ada pun sifatnya yang memberikan dampak luas mendorong para ahli untuk menyelidikinya dan mensistematisasinya demi suatu pemahaman yang utuh, koheren, dan ilmiah. Jika inovasi bukanlah hal yang signifikan atau tidak memilik dampak yang luas, maka niscaya para ahli akan mengabaikannya. Penjelasan di atas membawa kita kepada konklusi bahwa inovasi tidaklah terlepas dari praktek. Dalam lensa inovasi sebagai ilmu, studi inovasi (innovation studies) dapat dikatakan sebagai ilmu terapan. Pengembangan ilmu inovasi tidaklah ditujukan untuk kepentingan keilmuan epistemologis murni (science for the sake of science itself) laiknya ilmu filsafat atau matematika, melainkan ditujukan untuk memandu para (calon) inovator agar inovasi yang akan dilakukannya memiliki landasan ilmiah, tertata secara logisrasional, dan terhindar dari subyektivisme yang banal. Dua dimensi dari inovasi tersebut, yakni inovasi sebagai praktek dan inovasi sebagai ilmu, hendaknya diposisikan secara seimbang.2 Artinya, orang yang mendaku sebagai pakar inovasi harus memiliki kapasitas inovasi dalam dua dimensi tersebut: dia harus memahami ilmu inovasi secara mendalam sekaligus mampu atau pernah melakukan inovasi secara riil. Ini dapat dibandingkan dengan profesi pelukis. Seorang pelukis yang baik idealnya tidak hanya mampu melukis secara indah dengan teknik yang mumpuni, namun juga memahami dasar-dasar teori kepelukisan dan teori estetika. Di negeri ini, harus diakui bahwa keseimbangan ini belumlah tercapai. Klaim kepakaran mengenai inovasi diperoleh hanya dari satu dari dua sumber, entah itu inovasi sebagai
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang memberikan masukan dan komentar berharga atas versi awal dari tulisan ini: Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo (Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN), Dr. Basseng (Kepala Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN), dan Agung Nugroho, M.Ed. (Kabid Pengembangan Kapasitas Pusat Promosi Inovasi dan Pengembangan Kapasitas LAN). Meski demikian, segala kekurangan dalam tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. 2 Bandingkan Cynthia Barton Rabe, 2014, The Innovation Killer, Jakarta: Elex Media Komputindo, hal. 4. 1
1
ilmu (akademisi inovasi) maupun inovasi sebagai praktek (praktisi inovasi atau inovator). Bahkan, tidak jarang klaim tersebut didapatkan di luar dari dua sumber legitimasi di atas. Inovasi diajarkan, diceramahkan, dan difasilitasi hanya berbekal kepada common sense dan nalar subyektif kelompok atau organisasi, bukannya dari landasan ilmiah yang jelas atau setidaknya hasil pengendapan atas praktek-praktek inovasi yang berhasil dijalankan sendiri oleh individu atau organisasi. Jika kita menginginkan inovasi di negeri ini berjalan secara lebih tertata dan sistemik, tentu pendekatan seperti ini merupakan sebuah kesalahkaprahan dan kesesatan. Apa yang harus disentuh secara lebih serius adalah sisi inovasi sebagai ilmu. Berbagai universitas di luar negeri, baik di negara maju maupun berkembang, telah menjadikan inovasi sebagai bagian dari program studi atau pusat studi yang mandiri, baik menggunakan nama inovasi secara tunggal maupun dikaitkan dengan studi-studi lain yang berkaitan seperti teknologi, entrepeneurship, kebijakan, dan manajemen, misalnya Manchester Institute of Innovation Research di The University of Manchester3, Science, Technology, and Innovation Studies di The University of Edinburgh, Innovation Studies Centre di Imperial College London, Graduate School of Innovation Studies di Tokyo University of Science, Centre for Knowledge Innovation and Culture Studies di University of Hyderabad, Center for Science and Innovation Studies di UC Davis, MM in Innovation Studies di University of the Witwatersrand, dan sebagainya. Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia. Di negeri ini, belum ada program studi yang mengkhususkan diri pada ilmu inovasi, baik di universitas negeri maupun swasta. Yang ada adalah sebuah pusat studi inovasi yang digabungkan dengan kewirausahaan, yakni Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan di Institut Teknologi Bandung. Sementara dari kalangan masyarakat sipil, lembaga yang patut diberi perhatian adalah Yayasan Planet Inovasi yang dipimpin oleh Dr. Avanti Fontana, pakar manajemen inovasi lulusan ESSEC Business School Paris. Minimnya kampus inovasi di negeri ini yang dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah tentang inovasi patut disayangkan. Sementara di sisi lain inovasi sesungguhnya telah mengalami pasang naik di negeri ini, yang ditandai dengan semakin meningkatnya kesadaran berinovasi baik di kalangan sektor publik maupun privat. Penghargaan inovasi Salah satu putra Indonesia, Yanuar Nugroho, lama menjadi peneliti di tempat ini dengan produktivitas ilmiah yang tinggi. Kini dia menjadi Deputi Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas pada Kantor Staf Presiden. 3
2
juga semakin marak diberikan seperti Sinovik oleh Kemenpan-RB, IGA oleh Kemendagri, Kontes Inovasi Solusi oleh UKP4, Inagara Award oleh LAN, dan Black Innovation Award oleh perusahaan Djarum. Organ kelembagaan pemerintah yang dibentuk untuk mengurusi inovasi juga telah banyak dibentuk seperti Deputi Inovasi Administrasi Negara di Lembaga Administrasi Negara, Pusat Inovasi LIPI, Dirjen Penguatan Inovasi pada Kemenristekdikti, Puslitbang Inovasi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Pusat Teknologi Inovasi daerah di BPPT, dan Dewan Inovasi Nasional. Banyaknya praktik inovasi yang ditanggapi dengan penciptaan berbagai penghargaan dan institusi terkait inovasi menunjukkan adanya kesenjangan antara dimensi inovasi sebagai praktek dengan dimensi inovasi sebagai ilmu. Ini merupakan suatu hal yang patut disayangkan karena jika sumber penciptaan ilmu inovasi sama melimpahnya dengan praktek inovasi, maka dapat dipastikan inovasi di negeri ini akan lebih terarah dengan ekologi yang sehat. Meskipun demikian, penciptaan program studi inovasi di perguruan tinggi atau komunitas akademik yang khusus mempelajari inovasi bukanlah solusi satu-satunya terhadap kurangnya sumber pengetahuan inovasi yang kontekstual. Berbagai lembaga dan praktisi inovasi yang biasa melakukan inovasi atau memfasilitasi inovasi dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber pengetahuan. Praktek inovasi, baik yang berhasil maupun gagal, dapat pula menjadi sumber inspirasi untuk menelurkan ide-ide dan konsep-konsep baru mengenai inovasi. Namun, untuk itu dibutuhkan kemampuan untuk mengolah, mengendapkan, dan mengabstraksikan pengalaman inovasi ke dalam konstruksi teoretis dan konseptual yang solid dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemerolehan pengetahuan menjadi hal yang krusial untuk dipelajari di sini. Bagi lembaga non-akademis yang berurusan dengan inovasi yang mau mentransformasi dirinya menjadi sumber pengetahuan inovasi yang bonafide, karakter sebagai learning organization yang memanfaatkan knowledge management secara efektif harus ditempa sejak dini dan diinternalisasi kepada seluruh pegawainya.
B. Catatan mengenai “Framework” Inovasi Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kurangnya institusi penghasil pengetahuan ilmiah mengenai inovasi adalah melakukan pembelajaran mandiri (selfdirected learning) atas literatur-literatur inovasi. Namun, cara ini bukannya tanpa kekurangan. Setiap konstruksi teori dan konsep yang dibangun adalah hasil dari 3
dinamika, praktik, dan proses inovasi yang telah terjadi. Teori inovasi didapatkan dengan cara induktif. Umumnya, teori-teori tersebut dibangun di negara-negara Barat yang konteksnya berbeda jauh dengan Indonesia, baik dari sisi infrastruktur, teknologi, sosial, budaya, dan politik. Maka, teori tersebut bisa jadi tidak relevan atau meleset jika diterapkan di Indonesia. Padahal, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, ilmu inovasi adalah ilmu terapan. Konsep dan teori yang dibangun diciptakan untuk menjadi pedoman bagi inovator di masa depan dalam menciptakan, mengimplementasikan, dan mengembangkan inovasi. Apa yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah teori inovasi yang kontekstual. Untuk itulah urgensi dari adanya lembaga pendidikan dan pusat studi dalam bidang inovasi, agar praktik inovasi yang melimpah di Indonesia dapat diolah dan dikembangkan ke dalam berbagai teori yang kontekstual. Dari situ dapat diperoleh landasan teoretik yang kompatibel dan berakar pada realitas inovasi di negeri ini.4 Pada dasarnya tidak ada teori yang bebas konteks. Teori inovasi terikat dengan ruangwaktu (time-place bounded) karena didasarkan atas praktek inovasi khas negara atau daerah tertentu yang tidak semuanya ada di Indonesia. Misalnya, teori-teori mengenai sistem inovasi yang didasarkan pada fakta sinergisitas elemen pemerintah, swasta dan akademisi (triple helix) dalam ruang khusus penciptaan inovasi seperti Silicon Valley di AS.5 Untuk teori-teori jenis ini, peranannya bagi kita adalah sebagai sumber ilham (insight) dan perbandingan. Penerapan secara mentah tidak dapat dilakukan karena Indonesia masih baru dalam tahap merintis triple helix dan belum tentu apa yang berjalan dengan baik di luar negeri dapat berlangsung dengan hasil yang sama di negeri ini karena konteks sosial yang berbeda. Sementara itu, beberapa teori inovasi yang sifatnya lebih umum seperti karakteristik organisasi inovatif dan karakteristik pemimpin inovatif pun perlu dikritisi karena kebanyakan mengambil sampel organisasi, pemimpin, dan manajer dari luar negeri yang memiliki budaya, cara pandang kehidupan, dan lingkungan sosio-politiklegal yang berbeda. Jika suatu teori inovasi mau mendaku sebagai universal, maka dia harus beranjak dari studi kasus yang memiliki cakupan global.
Mengenai pentingnya teori inovasi yang kontekstual, khususnya dalam hal inovasi organisasional, lihat Stephen L. Elkin, 1983, “Towards a Contextual Theory of Innovation”, Policy Sciences, Vol. 15, hal. 367387. 5 Tentang sistem inovasi, lihat misalnya Richard R. Nelson (ed), 1993, National Innovation Systems: A Comparative Analysis, New York: Oxford University Press; Charles Edquist (ed), 2012, Systems of Innovation: Technologies, Institutions and Organizations, London: Routledge. Lihat juga http://inovasi.lan.go.id/index.php?r=post/read&id=204 (diakses 9 Januari 2016). 4
4
Dengan memandang inovasi sebagai sebuah fakta sosial, maka tinjauan atas literatur inovasi dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan level analisisnya, yakni pendekatan makro, meso, dan mikro. Pendekatan makro berbicara mengenai proses sosial berskala besar pada level sistem, pendekatan meso berbicara mengenai fenomena pada level organisasi dan jaringan, dan pendekatan mikro berbicara mengenai fenomena pada level individu dan interaksional.6 Jika dikontekstualkan dengan isu-isu inovasi, maka pendekatan makro bisanya berbicara tentang sistem inovasi, kebijakan inovasi, budaya inovasi, dan jenis atau tipe inovasi, pendekatan meso berbicara mengenai organisasi inovatif, jaringan inovasi, manajemen atau tata kelola inovasi, dan pendekatan mikro berbicara mengenai individu dan pemimpin inovatif. Untuk setiap klaster level analisis di atas, telah tersedia literatur yang melimpah yang dapat menjadi sumber referensi yang berharga. Maka, jika kita berusaha mencari sebuah kerangka (framework) teoretis mengenai inovasi, terlebih dahulu harus dispesifikasi, inovasi pada tataran atau level manakah yang mau disasar. Inovasi merupakan sebuah terminologi dan konsep yang terlalu luas, kaya, dan kompleks untuk diringkus ke dalam sebuah framework tunggal yang mampu mencakup dan menjelaskan segalanya. Dalam pandangan penulis, apa yang penting untuk dipromosikan dan dikembangkan adalah framework inovasi pada level meso atau organisasional. Inovasi yang banyak berkembang di Indonesia adalah inovasi pada tataran organisasi. Namun, persis dalam hal inovasi organisasional inilah banyak pihak yang tidak mengerti mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Banyak inovasi yang dilakukan secara kebetulan atau tidak sengaja atau tercipta karena dipicu oleh krisis yang memaksa organisasi untuk berubah. Pada organisasi sektor publik, inovasi lebih banyak muncul atas dasar inisiatif pimpinan yang kreatif dan berkomitmen tinggi, jadi tidak timbul sebagai efek dari manajemen pengetahuan (knowledge management) yang dikembangkan organisasi. Untuk menciptakan inovasi organisasional yang tercipta secara sistemik sekaligus ilmiah, maka dibutuhkan framework tertentu. Dalam hal ini, Dasgupta dan Gupta telah menciptakan framework dimaksud. Setelah melakukan review atas puluhan literatur terkait, mereka mensintesakan sebuah framework untuk mendorong dan menciptakan inovasi di tingkat organisasi. Mereka mengidentifikasi empat faktor kunci yang perlu diperkuat di dalam organisasi dalam kerangka manajemen pengetahuan agar inovasi
6
Bandingkan Kamanto Sunarto, 2000, Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, Jakarta: LPFE-UI, hal. 227.
5
dapat terbentuk secara deras setiap kali organisasi membutuhkannya, yakni struktur, kultur, teknologi, dan kepemimpinan.7 Gambar 1 di bawah menskemakan empat hal tersebut, berikut rincian atas masing-masing faktor: Gambar 1. Faktor Pendorong Inovasi di Organisasi
KULTUR STRUKTUR •benchmarking untuk meningkatkan kinerja internal & eksternal •Penghargaan & pengakuan bagi yang berprestasi •Struktur yang fleksibel & adaptif terhadap perubahan •Jaringan dan pengetahuan yang diperoleh dari stakeholders
•Manajemen SDM •Pelatihan jangka panjang •Komunikasi yang terbuka •Iklim belajar dan kultur partisipatif/peduli yang mempromosikan trust •Pengembangan pekerja pengetahuan (kognitariat) melalui program diklat •Komunitas pembelajar •Kepuasan pribadi dan kesenangan membantu orang lain; Tingkat pendidikan pegawai •Mindset yang berubah •Pengetahuan yang terintegrasi •Visi yang dibagi bersama (shared vision)
INOVASI TEKNOLOGI
KEPEMIMPINAN
•Peran penting teknologi dalam transfer pengetahuan dan pembagian pengetahuan •Peran penting kompetensi teknologi informasi dalam promosi informasi dan manajemen pengetahuan, kolaborasi, komunikasi, dan bisnis
•Kepemimpinan yang berkomitmen dan kemitraan strategis •Dukungan top management
Sumber: Dasgupta dan Gupta, 2009: 216-217
Meeta Dasgupta & R.K. Gupta, 2009, “Innovation in Organizations: A Review of the Role of Organizational Learning and Knowledge Management”, Global Business Review, Vol. 10, No. 2, hal. 203-224. 7
6
Setiap organisasi yang berkomitmen dan memiliki kesadaran mengenai arti penting inovasi wajib mengembangkan empat hal di atas: struktur, kultur, teknologi, dan kepemimpinan. Dengan memahami framework di atas, maka organisasi memiliki panduan, arah, dan peta yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan di dalam organisasi. Dasgupta dan Gupta mendesain framework tersebut untuk organisasi secara umum. Artinya, faktor-faktor di atas relevan baik bagi organisasi di sektor publik maupun privat. Identifikasi yang saksama dan menyeluruh atas keempat faktor di atas perlu dilakukan agar organisasi mengetahui apa yang menjadi kekurangan dan kelebihannya dan dari situ, strategi untuk mengungkit kekuatan dapat dipikirkan.
C. Benefit Inovasi Inovasi adalah kata penting (buzzword) dalam berbagai bidang di dunia kontemporer, baik itu bisnis, sosial, budaya, administrasi negara, dan sebagainya. Frankelius mendefinisikan inovasi sebagai “suatu hal baru dengan tingkat orisinalitas yang tinggi dalam bidang apa pun, yang masuk ke dalam (atau mempunyai landasan di dalam) masyarakat, seringkali melalui pasar, dan bermakna revolusioner bagi orang-orang” (something new with highlevel of originality in whatever area that also breaks in to (or obtains a foothold in) society, often via the market, and mean something revolutionary for the people). 8 Berseiring dengan maraknya penggunaan kata inovasi adalah maraknya klaim akan benefit inovasi. Inovasi seringkali dikatakan menghasilkan berbagai manfaat positif seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penjualan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kesejahteraan, dan sebagainya. Apakah semua klaim tersebut memiliki dasar legitimasi dan bukti yang jelas? Sesungguhnya, sulit untuk mengatakannya secara pasti. Inovasi adalah bagian dari tindakan sosial. Dalam ilmu sosial, sebuah sebab belum tentu menghasilkan akibat yang dikehendaki. Dalam inovasi tidak berlaku ketentuan laiknya hukum alam di mana sebuah benda yang dilempar di bumi akan jatuh ke bawah karena daya gravitasi. Begitu inovasi dilempar ke dunia nyata, ada faktor dan variabel yang terlalu banyak untuk dihitung yang turut berkontribusi dalam menentukan
Per Frankelius, 2009, “Questioning Two Myths in Innovation Literature”, Journal of High Technology Management Research, Vol. 20, No. 1, hal. 49. 8
7
“nasib” dari inovasi, yakni apakah dia akan membawa perubahan positif, perubahan negatif, atau bahkan tidak membawa perubahan yang berarti. Memang pada kenyataannya inovasi tidak selalu menguntungkan, dan konsekuensinya tidak bisa diramalkan dengan penuh kepastian. Contohnya adalah produk-produk keuangan derivatif yang diperkenalkan industri keuangan Amerika. Jika mengacu pada definisi Frankelius mengenai inovasi yang cukup sistematis di atas, produk tersebut memenuhi semua syarat untuk disebut sebagai inovasi karena baru, orisinal, laku, dan memberikan solusi bagi kekurangan dana dan terbatasnya peluang investasi. Namun ternyata produk itu justru memicu krisis ekonomi besar-besaran pada tahun 2008/2009 yang membuat ekonomi Amerika hampir runtuh dan merembet ke seantero dunia. Atau kasus lain sebagai berikut. Inovasi bisa jadi memberikan manfaat namun ternyata mempunyai efek samping. Misalnya, obat bernama thalidomide yang merupakan penemuan relatif baru dapat membuat ibu hamil tidak merasakan mual-mual di pagi hari (morning sickness), namun obat tersebut dapat menimbulkan cacat pada bayi yang dilahirkan.9 Premis bahwa inovasi belum tentu membawa manfaat positif tidak berlaku hanya untuk inovasi yang rawan disusupi oleh free rider atau penyalahguna seperti kasus produk keuangan derivatif atau penemuan bom atom. Bahkan, untuk inovasi yang pada pandangan pertama manfaatnya terlihat sangat jelas seperti e-government pun bisa jadi berakibat negatif jika disalahgunakan pihak tertentu. Misalnya, ada aplikasi bernama Qlue yang memungkinkan warga Jakarta untuk melapor ke aparatur bila ada masalah di lingkungannya. Ternyata, ada warga yang membuat laporan palsu sehingga justru malah merepotkan dan membuang waktu aparatur pemerintah jika kemudian benar-benar ditindaklanjuti. Atau inovasi berupa produk-produk gadget Apple ternyata membawa ekses negatif dalam bidang budaya ketika anak-anak muda dengan cara apa pun berusaha memilikinya demi gengsi dan prestise. Maka dalam menera manfaat inovasi, harus dihindari adanya paham determinisme kausal, yakni ide bahwa sebuah peristiwa akan dipastikan terjadi akibat adanya peristiwa atau kondisi tertentu yang mendahuluinya.10 Inovasi belum pasti akan menumbuhkan daya saing, pendapatan,
Mark Dodgson & David Gann, 2010, Innovation: A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, hal. 136. 10 http://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/#DetHumAct (diakses 10 Januari 2016). 9
8
popularitas, kesejahteraan, atau apa pun, jika ada faktor yang tak terperkirakan sebelumnya. Meskipun belum pasti menghasilkan manfaat positif seperti yang diangankan, bukan berarti bahwa kita harus berhenti memperjuangkan dan mengusahakan inovasi. Inovasi tetap dibutuhkan dan perlu, bahkan wajib, untuk dilakukan. Apa yang ingin ditekankan adalah bahwa inovasi bisa jadi mengalami kegagalan setelah dihasilkan karena manfaatnya tidak seperti yang diharapkan. Dengan kata lain, tidak semua inovasi membawa manfaat. Jika kita bersikeras bahwa yang disebut inovasi hanyalah sesuatu yang bermanfaat, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan penilaian secara retrospektif: inovasi baru sah disebut inovasi setelah terbukti menghasilkan manfaat nyata. Penilaian ini membutuhkan jeda antara saat inovasi pertama kali diperkenalkan dengan ketika inovasi mulai memunculkan efek-efeknya yang dapat diamati secara meluas. Untuk itu dokumentasi atas pelaksanaan dan efek inovasi menjadi penting. Dokumentasi tersebut mencatat secara apa adanya data-data sebelum dan setelah inovasi dihasilkan. Dari perbandingkan kedua data itu maka dapat dikatakan secara sahih apakah inovasi menghasilkan manfaat positif atau tidak. Dalam pelaksanaan laboratorium inovasi di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), fasilitator dari LAN mengharuskan SKPD pelaksana inovasi untuk mendokumentasikan data-data sebelum dan sesudah inovasi dilakukan untuk menilai dan mengukur manfaat dari inovasi. Dengan demikian, klaim bahwa inovasi membawa manfaat tertentu didasarkan oleh bukti yang riil. Misalnya adalah inovasi pelayanan perizinan usaha secara paralel yang dilakukan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Inovasi ini membuat waktu pembuatan izin yang diurus di Dinas Perizinan menjadi lebih singkat. Hal ini dilakukan dengan penggabungan beberapa izin yang dapat didaftarkan dalam satu kali dan diproses secara terpadu dan bersamaan. Pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi sehingga input data cukup dilakukan sekali saja dan proses administasi bisa dilakukan secara simultan. Sebelum inovasi ini dilakukan, pengurusan izin memakan waktu 18 hari dan setelah inovasi dilakukan hanya memakan 12 hari. Maka inovasi terbukti memotong proses izin
9
selama 6 hari sehingga klaim bahwa inovasi mempercepat pelayanan terbukti dengan nyata.11 Apa yang bisa ditarik dari bahasan mengenai benefit inovasi adalah bahwa klaim mengenai manfaat inovasi harus dibuktikan secara nyata melalui data kuantitatif dan terukur. Mengenai manfaat tersebut bisa beragam bentuknya, bergantung pada desain dan rancangan dari sang pembuat inovasi, entah apakah itu untuk mempercepat pelayanan, mempermurah biaya pelayanan, menurunkan skor indeks perspeksi korupsi, meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, dan sebagainya. Namun, bisa juga manfaat inovasi berbeda dengan yang dirancang. Kejadian seperti ini disebut dengan happy accident, suatu peristiwa mengejutkan di mana solusi atas suatu masalah muncul secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas atau tanpa diperkirakan sebelumnya.12
D. Studi Kasus Inovasi Internasional: “Telemedicine” Hal lain yang juga kurang dari wacana mengenai inovasi di Indonesia adalah ketersediaan studi kasus inovasi di level internasional. Selama ini, studi kasus yang banyak diangkat oleh media massa dan para fasilitator inovasi adalah inovasi yang ada di Indonesia dengan daerah yang itu-itu saja seperti Bandung, Surabaya, Banyuwangi, dan Bantaeng. Dengan mendapatkan referensi yang memadai mengenai inovasi di luar negeri, maka bisa didapatkan perspektif lain yang lebih kaya dan segar. Inovasi di luar negeri yang patut untuk diangkat salah satunya adalah apa yang disebut dengan telemedicine. Telemedicine merupakan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer dan internet untuk menyediakan pelayanan kesehatan secara jarak jauh. Pelayanan ini telah diterapkan oleh sektor publik di beberapa negara seperti Australia, Inggris, dan India. Di Australia, pelayanan ini ditujukan untuk komunitas terpencil yang jauh dari akses pelayanan kesehatan. Melalui teknologi informasi komunikasi, kendala jarak dan akses tersebut dapat dihilangkan sehingga mereka yang tidak tersentuh pelayanan kesehatan jadi dapat menikmatinya. Sementara di Inggris, Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN, 2015, 20 Inagara Inovasi Administrasi Negara Laboratorium Inovasi Kota Yogyakarta, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN, hal. 95. 12 Mengenai inovasi sebagai happy accident, lihat http://www.ideachampions.com/weblogs/archives/2014/08/innovation_as_a.shtml (diakses 10 Januari 2016). Lihat juga Elias G. Carayannis, David F.J. Campbell & Scheherazade S. Rehman, 2015, ““Happy Accidents”: Innovation-Driven Opportunities and Perspectives for Development in the Knowledge Economy”, Journal of Innovation and Entrepreneurship, Vol. 4, No. 7, hal. 1-16. 11
10
telemedicine digunakan untuk memonitor pasien lanjut usia untuk mencegah mereka menginap di rumah sakit. Ada pun di India, pelayanan ini memanfaatkan teknologi telepon seluler yang didistribusikan ke desa-desa miskin. Orang sakit di wilayah itu didiagnosis penyakitnya dan hasil diagnosis tersebut diberikan kepada rumah sakit yang ada di kota. Dengan cara itu pelayanan kesehatan dapat diberikan dengan lebih efektif dan pada akhirnya level kesehatan masyarakat meningkat.13 Penulis akan berbicara lebih jauh mengenai telemedicine atau yang juga disebut dengan telehealth di Australia.14 Pemerintah Australia mengembangkan telehealth karena menyadari bahwa negaranya sangat luas dengan karakteristik masyarakat yang berbedabeda. Tantangan kesehatan masyarakat juga semakin tinggi dengan populasi yang semakin menua, anggaran publik yang menipis, dan hambatan-hambatan tenaga kerja. Di Australia, ada masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Sydney, Melbourne, Canberra, namun ada juga masyarakat yang hidup di wilayah terpencil dan pedalaman. Mereka yang hidup di wilayah yang disebut belakangan tentunya juga membutuhkan layanan kesehatan. Telehealth dikembangkan untuk mengatasi masalah ini, meskipun layanan ini juga dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tinggal di kota. Telehealth dimungkinkan untuk dikembangkan karena Australia mempunyai sumber daya medis kelas satu dan infrastruktur teknologi yang tinggi. Australia memahami telehealth sebagai pelayanan kesehatan yang memberdayakan (enabling health care services) dan proses-proses terkait lainnya yang diselenggarakan secara jarak jauh menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa aktivitas klinis dan medis yang diselenggarakan dalam scope telehealth di Australia sangat beragam, di antaranya: pelayanan kesehatan berbasis kelompok, telemonitoring, telecare, manajemen kesehatan diri/partisipatoris, kesehatan dan kesejahteraan preventif, dan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok kesehatan tertentu seperti manula dan penderita penyakit kronis. Penyelenggaraan telehealth di Australia terintegrasi dengan sistem-sistem penunjang seperti catatan kesehatan elektronis, sistem informasi kesehatan, layanan pendukung keputusan medis, proses manajemen perawatan, dan pendidikan kesehatan serta
Mark Dodgson & David Gann, 2010, Innovation: A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, hal. 127. 14 Uraian mengenai telehealth ini didasarkan pada http://aths.org.au/wpcontent/uploads/2013/05/TelehealthStrategy.pdf (diakses 10 Januari 2016). 13
11
pemberdayaan diri. Telehealth merupakan model kontemporer pelayanan kesehatan yang diselengarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut, di antaranya: 1. Memindahan fokus pelayanan kesehatan lebih dekat kepada konsumen dan fasilitas kesehatan primer yang terdekat 2. Meningkatkan akses dan persamaan pelayanan 3. Meningkatkan kualitas pelayanan melalui kontinuitas yang lebih terjamin dan manejemen pasien 4. Menyediakan solusi yang terukur dan berkelanjutan yang dapat diintegrasikan dengan pelayanan yang selama ini berlaku Dengan demikian, rentang atau cakupan dari pelayanan telehealth di Australia sangat luas dan beragam. Baru-baru ini, pemerintah Australia merancang strategi untuk meningkatkan manfaat dari telehealth melalui hal-hal berikut. Pertama, memberikan layanan yang lebih fokus (targeted) kepada kelompok prioritas, yakni lansia, kaum difabel, dan komunitas wilayah terpencil. Kedua, memberikan layanan yang lebih purposeful dengan mengadopsi pendekatan dan solusi yang berbasis bukti (evidence-based). Ketiga, memberikan layanan yang lebih efisien. Untuk melaksanakan strategi tersebut, maka dilakukan beberapa hal strategis seperti: pembangunan instansi pelayanan telehealth mandiri yang lebih merata dan kompetitif, pemberian pelayanan melalui skema kemitraan publik dan privat, dan menambah variasi supplier dan provider sehingga tercipta lingkungan pelayanan yang lebih baik. Apa yang dilakukan sektor publik di Australia dengan telehealth-nya merupakan sebuah contoh dari studi kasus di luar negeri yang patut untuk dijadikan bahan pertimbangan di negeri ini. Layanan serupa telehealth sebenarnya juga telah dilakukan di Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat. Dengan dukungan dan kerjasama dari PT Philips Indonesia dan PT Telkom, Pemerintah Kabupaten Sijunjung mengimplementasikan layanan telehealth yang dinamakan Mobile Obstetrical Monitoring (MOM). Layanan ini ditujukan untuk mencegah kematian ibu akibat melahirkan yang prevalensinya masih cukup tinggi di Indonesia. Telehealth berbasis smartphone ini dikenalkan di Sijunjung karena di wilayah itu banyak ibu hamil yang mengandalkan dukun untuk menangani kehamilannya akibat jauhnya jarak puskesmas dan RSUD. Melalui MOM, deteksi atas kehamilan berisiko dan komplikasi kehamilan dapat dilakukan secara dini untuk kemudian ditangani secara cepat. Mekanismenya, dengan menggunakan smarthone, bidan melaporkan kondisi kehamilan dari ibu-ibu hamil yang sulit untuk mengakses pelayanan dokter spesialis 12
kebidanan. Laporan tersebut dapat dibaca oleh dokter yang berada di tempat yang berbeda secara real time kondisi kehamilan dapat segera diketahui untuk selanjutnya mendapatkan pengawasan medis dan perawatan yang diperlukan.15 Apa yang dilakukan di Sijunjung tersebut perlu ditiru dan direplikasi lebih luas di berbagai tempat lain di Indonesia. Ini mengingat layanan semacam ini tidak kurang dibutuhkannya di negeri ini dibandingkan Australia, jika bukan lebih dibutuhkan mengingat kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan dengan banyak masyarakat yang tinggal di pedalaman dan tidak tersentuh oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Namun, cukup besar tantangan yang dihadapi untuk memperluas layanan serupa ke daerah lain. Infrastruktur teknologi informasi dan kesehatan yang tidak merata harus dibenahi terlebih dulu jika layanan telehealth akan diterapkan secara meluas dan merata. Telehealth di Sijunjung juga dapat dilakukan karena dukungan dari korporasi dan BUMN besar. Masih menjadi pertanyaan apakah dukungan serupa sanggup dilakukan pihak-pihak di luar pemerintah tersebut ke seluruh Indonesia, mengingat untuk itu tentu dibutuhkan modal yang sangat tinggi. Jika tidak, sanggupkah pemerintah daerah melakukannya secara mandiri? Ini masih menjadi pertanyaan besar. Selain itu, apa yang dilakukan di Sijunjung juga masih merupakan embrio awal karena cakupannya yang masih terbatas kepada pelayanan untuk ibu hamil. Sementara di Australia cakupan pelayanan telehealth-nya sudah jauh lebih lengkap dan luas. Inilah pentingnya belajar dari studi kasus inovasi di luar negeri. Dari situ kita memiliki referensi baru yang membukakakan cakrawala berpikir dan mendobrak batas kemungkinan. Apa yang telah dicapai Australia selayaknya menjadi benchmark yang harus dikejar Indonesia, meskipun untuk itu tentu tidak bisa dilakukan secara serta-merta, melainkan secara bertahap sesuai kesiapan kondisi infrastruktur dan SDM.
E. Metode Inovasi Sisi keilmuan dari diskursus inovasi yang juga patut untuk dibicarakan adalah mengenai metode inovasi. Selama ini, fasilitasi inovasi seringkali dilakukan tanpa berdasar pada metode yang jelas dan saintifik. Di sisi lain, perbincangan mengenai metode inovasi juga membawa kepada paradoks dan dilema tersendiri. Karena hakikatnya sebagai suatu hal
http://m.wartaekonomi.co.id/berita86559/philips-perkenalkan-mom-di-sijunjung-scan-kehamilanfortable-berbasis-mobile.html (diakses 21 Januari 2016). 15
13
yang tercipta dari proses yang kreatif dan elusif, maka inovasi pada dasarnya tidak bisa dikerangkeng ke dalam suatu metode yang baku dan tunggal. Beberapa pakar telah merumuskan metode inovasi. Dalam tulisan ini akan dikemukakan tiga metode inovasi yang menurut penulis relevan. Pertama adalah metode inovasi yang diciptakan Bank Dunia yang disebut berkebun inovasi (gardening innovation). Metode ini berkaitan dengan pertanyaan peran apa yang sebaiknya dimainkan pemerintah untuk menumbuhkembangkan inovasi secara subur di suatu negara. Dalam metode ini, pemerintah memerankan diri selaiknya seorang pekebun (lihat Gambar 2). Dalam peran sebagai pekebun tersebut, ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, melakukan penyiraman dengan cara memberikan dana dan dukungan yang dibutuhkan untuk inisiatif dan berbagai proyek inovasi yang diinisiasi masyarakat. Kedua, menyingkirkan hama, yang dimaknai sebagai menyingkirkan berbagai peraturan yang menghambat inovasi. Ketiga, memupuk dan merawat tanah dengan mengembangkan basis pengetahuan dan pendidikan yang relevan dengan inovasi.16 Gambar 2. Metode Gardening Innovation
Sumber: Aubert, 2010: 8
Aubert, Jean-Eric. 2010. “Innovation Policy for the Developing World : Success Stories and Promising Approaches”. Development Outreach. World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/6061, hal. 8. 16
14
Gardening innovation sesungguhnya tidak lain dari metode untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk inovasi. Selama ini pemerintah banyak disibukkan dengan pertanyaan mengenai peran dan intervensi apa yang dapat dilakukannya untuk mendorong inovasi secara kolektif dan masif. Pemahaman akan proses inovasi yang unik menjadi kunci dari dimunculkannya metode gardening innovation. Inovasi berawal dari kerja inovator yang mendesain produk atau proses baru, mencari pendanaannya, dan mengeksplorasi pasar untuk produknya. Dalam keseluruhan rangkaian kerja tersebut, inovator berinteraksi dengan entitas-entitas lain dalam wahana yang disebut sistem inovasi. Entitas-entitas tersebut misalnya laboratorium, bank, asosiasi konsumen, universitas, dan korporasi. Selanjutnya, sistem inovasi itu sendiri juga dipengaruhi secara kuat oleh faktor-faktor yang lebih luas seperti kondisi makroekonomi, kualitas governance, tingkat pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Inovasi tidak dapat berjalan secara linear dan mekanistik: mempromosikan ide yang didapatkan dari penelitian untuk diditribuskan ke pasar atau mengidentifikasi kebutuhan baru untuk kemudian melakukan penelitian untuk mendapatkan basis ilmiahnya.17 Karena inovasi adalah proses yang kompleks dengan melibatkan multilevel, multiaktor, dan multikepentingan, maka untuk memastikan proses tersebut dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah perlu melakukan perannya dengan tepat sesuai dengan level atau ranah yang akan disasar, antara lain dengan tiga jenis peran sebagaimana dijelaskan dalam metode gardening innovation di atas. Metode inovasi kedua yang ditampilkan di sini adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh praktisi inovasi terkemuka Yoris Sebastian. Jika metode pertama dapat dianggap sebagai metode makro karena berkaitan dengan peran dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan inovasi, maka metode kedua ini sifatnya lebih mikro karena berkaitan dengan langkah-langkah praktis yang dijalani inovator dalam prosesnya berinovasi. Dalam bukunya Biang Inovasi, Sebastian merumuskan sebuah metode inovasi yang merupakan hasil dari abstraksi atas pengamatannya terhadap berbagai inovasi yang dilakukan di Indonesia, baik yang dilakukannya sendiri, maupun dilakukan oleh orang lain dalam kompetisi inovasi di mana dia menjadi jurinya. Dengan demikian, metode inovasi yang dirumuskannya bersifat kontekstual karena bersumber dari berbagai praktek dan pengalaman inovasi terbaik di Indonesia.
Aubert, Jean-Eric. 2010. “Innovation Policy for the Developing World : Success Stories and Promising Approaches”. Development Outreach. World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/6061, hal. 8. 17
15
Metode tersebut terdiri atas empat langkah berikut.18 Pertama, identifikasi masalah, kebutuhan, atau peluang. Kedua, menciptakan ide-ide untuk memecahkan masalah, kebutuhan, atau peluang. Ketiga, memilih dan mewujudkan ide-ide yang dianggap baik. Keempat, menghasilkan nilai (value) dari ide (lihat Gambar 3). Gambar 3. Metode Inovasi Yoris Sebastian
Identifikasi masalah, kebutuhan, atau peluang
Memilih dan mewujudkan ide-ide yang dianggap baik
Menciptakan ide-ide untuk memecahkan masalah, kebutuhan, atau peluang
Menghasilkan nilai (value) dari ide
Sumber: Sebastian, 2014: 42-43
Langkah-langkah di atas mampu menerangi secara sistematis logika dari penciptaan inovasi. Inovasi selalu berawal dari kesadaran akan adanya suatu hal yang negatif, baik karena adanya masalah yang menimpa organisasi, kebutuhan baru yang tidak dapat dipenuhi, maupun peluang yang tidak dapat ditindaklanjuti. Dari keadaan tersebut, diciptakan ide untuk menghilangkan hal yang negatif tersebut. Kemudian di antara pilihan alternatif ide yang muncul di kepala, dipilih satu ide yang dirasa paling baik, efektif, dan manjur. Akhirnya, ide yang terbaik tersebut direalisasikan dan diperkaya dengan nilai tambah. Nilai tambah tersebut berupa manfaat positif yang dirasakan orang-orang yang terkena dampak dari inovasi. Selain metode gardening innovation dan metode empat langkah dari Yoris Sebastian di atas, ada lagi metode inovasi yang secara mandiri dikembangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Pada tahun 2015, Kedeputian Inovasi Administrasi Negara 18
Yoris Sebastian, 2014, Biang Inovasi, Jakarta: Gramedia.
16
(DIAN) LAN menciptakan metode inovasi yang disebut dengan 5D yang merupakan akronim dari lima langkah berinovasi yang diawali dengan huruf D, yakni secara berturutturut Drum-up, Diagnose, Design, Deliver, dan Display (lihat Gambar 4). Metode 5D diterapkan pertama kali pada tahun 2015 melalui program laboratorium inovasi, suatu program yang ditujukan untuk mengakselerasi penciptaan inovasi administrasi negara di tingkat pemerintah daerah, di mana diharapkan setiap SKPD yang berpartisipasi mampu menghasilkan dan menjalankan dengan sukses setidaknya satu buah inovasi. Berikut adalah penjelasan atas masing-masing tahap: 1. Drum-up: Tahap pemberian motivasi dan semangat kepada peserta. Setelah mengikuti tahap ini, tidak ada lagi keraguan untuk melakukan inovasi. Inovasi disadari tidak hanya baik untuk dilakukan, namun juga urgen untuk dilakukan sekarang juga. 2. Diagnose: Tahap menemukan ide inovasi. Diawali dengan diagnosis atas organisasi untuk menemukan masalah yang akan dicari penyelesaiannya. Masalah tersebut menunjukkan gap antara harapan atau target dengan kenyataan. Ide inovasi adalah jawaban untuk menjembatani gap tersebut. 3. Design: Tahap mendesain ide inovasi. Ide inovasi yang telah ditemukan pada tahap Diagnose diterjemahkan ke dalam rencana aksi yang memuat tahapan-tahapan inovasi yang akan dijalankan. Setiap tahap memuat secara jelas waktu pelaksanaan, aktor pelaksana, output, dan metode yang akan digunakan. 4. Deliver: Pada tahap ini ide inovasi yang telah diterjemahkan ke dalam rencana aksi mulai diimplementasikan. Rencana aksi yang telah disusun menjadi panduan untuk melakukan Deliver. Di tahap ini juga dilakukan monitoring untuk mengontrol pelaksanaan inovasi. 5. Display: Merupakan tahap di mana hasil dan manfaat dari ide inovasi ditampilkan kepada khalayak dalam bentuk pameran atau festival. Melalui Display, inovasi didiseminasikan kepada masyarakat dan sektor publik lainnya sehingga terbuka peluang untuk ditindaklanjuti dengan replikasi inovasi.
17
Gambar 4. Metode 5D Laboratorium Inovasi
Di tahun 2015, laboratorium inovasi dilaksanakan di tiga daerah, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Majalengka. Dengan mengaplikasikan metode 5D, program laboratorium inovasi di tiga daerah tersebut berjalan dengan baik dan sukses. Hal ini terbukti dari banyaknya inovasi yang dihasilkan oleh setiap daerah, di mana Yogyakarta menghasilkan 120 inovasi, Muara Enim 79 inovasi, dan Majalengka 56 inovasi. Semua tahap mulai dari Drum-up sampai Display pun dapat dijalani dengan baik oleh peserta. Mengacu pada keberhasilan tersebut, maka program laboratorium inovasi dengan metode 5D-nya pun dilanjutkan pada tahun 2016 (dan tahun-tahun selanjutnya) dengan merambah daerah-daerah baru. Dengan demikian inovasi diharapkan dapat terjadi semakn meluas dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Metode 5D menunjukkan bahwa sebuah institusi non-akademis, dalam hal ini LAN yang merupakan institusi pemerintah, dapat secara mandiri menciptakan metode inovasi yang otentik. Tidak hanya menciptakan metode baru, LAN juga berhasil dalam menjalankan metode tersebut ke dalam praktek pembimbingan inovasi dengan hasil yang cukup memuaskan. Kasus ini menunjukkan bahwa produksi pengetahuan baru mengenai inovasi tidak harus muncul dari lembaga yang mengkhususkan diri dalam produksi pengetahuan seperti universitas atau lembaga penelitian. Pengetahuan mengenai inovasi dapat muncul dari mana saja karena inovasi itu sendiri pada dasarnya merupakan sebuah wacana yang cair dan menyebar. Organisasi apa pun yang berkomitmen untuk mendalami inovasi akan menghasilkan pengetahuan tentang inovasi dengan caranya sendiri. Namun, pengetahuan tersebut baru akan lengkap dan tervalidasi manfaatnya ketika diujikan ke dalam praktek nyata, seperti yang terjadi di DIAN dengan metode 5D-nya. 18
Daftar Pustaka Buku, Jurnal, dan Artikel Aubert, Jean-Eric. 2010. “Innovation Policy for the Developing World : Success Stories and Promising Approaches”. Development Outreach. World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/6061 Carayannis, Elias G., David F.J. Campbell & Scheherazade S. Rehman. 2015. ““Happy Accidents”: Innovation-Driven Opportunities and Perspectives for Development in the Knowledge Economy”. Journal of Innovation and Entrepreneurship, Vol. 4, No. 7, hal. 1-16. Dasgupta, Meeta & R.K. Gupta. 2009. “Innovation in Organizations: A Review of the Role of Organizational Learning and Knowledge Management”. Global Business Review, Vol. 10, No. 2, hal. 203-224. Mark Dodgson & David Gann. 2010. Innovation: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. Edquist, Charles (ed). 2012. Systems of Innovation: Technologies, Institutions and Organizations. London: Routledge. Elkin, Stephen L. 1983. “Towards a Contextual Theory of Innovation”. Policy Sciences, Vol. 15, hal. 367-387. Frankelius, Per. 2009. “Questioning Two Myths in Innovation Literature”. Journal of High Technology Management Research, Vol. 20, No. 1, hal. 40-51. Nelson, Richard R. (ed). 1993. National Innovation Systems: A Comparative Analysis. New York: Oxford University Press. Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN. 2015. 20 Inagara Inovasi Administrasi Negara Laboratorium Inovasi Kota Yogyakarta. Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN. Rabe, Cynthia Barton. 2014. The Innovation Killer. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sebastian, Yoris. 2014. Biang Inovasi. Jakarta: Gramedia. Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: LPFE-UI. Website http://aths.org.au/wp-content/uploads/2013/05/TelehealthStrategy.pdf (diakses 10 Januari 2016). http://inovasi.lan.go.id/index.php?r=post/read&id=204 (diakses 9 Januari 2016).
19
http://m.wartaekonomi.co.id/berita86559/philips-perkenalkan-mom-di-sijunjung-scankehamilan-fortable-berbasis-mobile.html (diakses 21 Januari 2016). http://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/#DetHumAct (diakses 10 Januari 2016). http://www.ideachampions.com/weblogs/archives/2014/08/innovation_as_a.shtml (diakses 10 Januari 2016).
20