Menjadi Ibu-Ibu: Sebuah Refleksi Semangat Pengasuhan dalam Praktik Arsitektur Keseharian Agus S. Ekomadyo Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung e-mail:
[email protected] Makalah disampaikan pada Seminar Ekologis: Rumah Tangga – Masa Depan Dunia Institut Francais Indonesia – Komunitas Menjadi Ekologis Jakarta, 10 Juni 2015
Abstrak Pendekatan “menjadi” (becoming) digunakan pada artikel ini untuk memahami isu “menjadi ekologis” melalui telaah praktik arsitektur keseharian (everyday architectural practice). Keseharian arsitektur diletakkan dalam kerangka pencarian makna dalam kehidupan arsitektur pada masa industrialisasi hingga pasca-industrialisasi kini. Pencarian ini mencoba menggali peran “ibu” dalam tatakelola arsitektur keseharian, terutama perannya untuk menjaga masyarakat dalam semangat untuk terus bertahan hidup. Artikel ini menawarkan paradigma pengasuhan lebih dari sekadar relasi transaksional -sekaligus untuk merevitalisasi nilai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan- dalam praktik arsitektur ini agar menjadi lebih ekologis demi keberlangsungan hidup manusia. Kata kunci: kemenjadian, keseharian, praktik arsitektural, tatakelola, pengasuhan.
Pendahuluan Makalah ini ditulis dengan semangat “kemenjadian” (becoming). Kemenjadian adalah sebuah kesadaran akan proses perubahan terus menerus untuk menjadi sesuatu. Dengan perspektif kemenjadian, maka proses menjadi ekologis dalam arsitektur dilihat sebagai sebuah perhatian pada suatu gerakan pada suatu tujuan tertentu, dalam hal ini adalah keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Makalah ini menawarkan sebuah perspektif arsitektur bukan sekadar karya dari seorang arsitek, tetapi pada keseharian lingkungan fisik tempat manusia beraktivitas dan membangun eksistensi dirinya. Tatakelola arsitektur ditawarkan sebagai sebuah sudut pandang untuk melihat hal-hal yang mungkin tersembunyi, namun bisa jadi ia memegang peran penting bagi suatu kinerja arsitektural. Menjadi ibu-ibu (becoming motherness) dipilih sebagai exercise untuk melihat tata kelola arsitektur keseharian. Dalam pengamatan penulis, ada kekuatan yang membuat suatu masyarakat stabil. Kekuatan ini tidak terlihat secara kasat mata, tetapi bersifat esensial. Kekuatan ini coba dirumuskan penulis sebagai kekuatan “pengasuhan”, dan dalam sehari-hari terepresentasikan dalam peran ibu-ibu yang mengurus semua hal agar bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Dalam praktik arsitektur keseharian, kekuatan “ibu-ibu” ini berperan penting yang menjaga agar para pelaku dalam suatu dunia arsitektural berada dalam relasi yang stabil, yang menjaga agar produk arsitektural bisa tetap melayani kebutuhan manusia secara berkesinambungan. Termasuk ketika sebuah proses arsitektural diharapkan menjadi suatu proses yang ekologis
1
Keseharian dalam Arsitektur: Sebuah Refleksi Telaah tentang keseharian dalam arsitektur dalam artikel ini diawali dikotomi terminologi arsitek dan arsitektur. Lebih mudah untuk mendefinisikan arsitek daripada arsitektur: arsitek adalah sosok yang menjadi “master” dalam seni pertukangan dan seni bangunan. Akar kata arsitek adalah “archi” dan “tekton” (dari bahasa Yunani) yang berarti kepala tukang batu (Mangunwijaya, 2004), pengertian yang mirip dengan sosok undagi dalam masyarakat Bali. Dari definisi arsitek kemudian istilah arsitektur berkembang, sebagai aneka produk yang dihasilkan oleh para arsitek. Dengan demikian wajar bila konotasi arsitektur adalah sebuah karya (grand architecture), yang dihasilkan oleh olah pemikiran seorang “master”, beserta seperangkat kaidah arsitektural yang diterapkan. Namun, apakah arsitektur harus merupakan karya seorang arsitek? Adalah Bernard Rudofski (1987), yang menuliskan banyak “karya arsitektur” yang lahir oleh masyarakat, tanpa otoritas institusional, sebagai dialog antara produk-produk fisik dengan lingkungan alam. Dari sinilah kemudian muncul kajian mengenai arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular dipahami sebagai arsitektur orang kebanyakan, terutama pada masyarakat pra modern, yang dibedakan dari grand architecture seperti istana atau bangunan peribadatan (Widiastuti, 2004). Arsitektur vernakular menjelma menjadi artifak budaya yang menyimpan daya hidup suatu masyarakat, karena telah teruji oleh waktu (Saliya, 2005). Didalamnya tersimpan nilai-nilai hasil dialog manusia dengan lingkungan dalam rangka untuk bisa bertahan hidup dan membangun eksistensi dalam kehidupan (Ekomadyo, 2014). Dalam kajian arsitektur, keberadaan arsitektur vernakular menjadi objek kajian untuk menelusuri makna manusia di dunia (being). Romo Mangunwijaya adalah salah seorang yang menjadikan arsitektur vernakular untuk mengangkat lagi kesadaran akan ragawi dalam arsitektur (Mangunwijaya, 2001), yang mulai terlupakan terutama oleh penetrasi arsitektur modern dengan kekuatan industrialisasi yang berada di belakangnya. Kesadaran ini didukung oleh berkembangnya filsafat fenomenologi, yang melihat bahwa suatu subjek dimaknai dari yang terlihat (atau tersembunyi) melalui pengalaman manusia dalam suatu ruang. Melalui filsafat fenomenologi, maka kajian arsitektur mengenal ruang-ruang yang bermakna, dan dikenal dengan konsep “place” (Sharr, 2004; Norberg-Schultz, 1991). Namun pada kenyataannya, praktik arsitektural –sebagaimana praktik kehidupan manusia pada umumnya- tidaklah selalu didasarkan pada sesuatu yang hadir (being) – kesadaran subjektif pengamat- tetapi pada seuatu yang menjadi (becoming) – rajutan dari kekuatan-kekuatan tak tampak. Konsep rajutan (assemblage) digunakan oleh Dovey (2010) untuk melihat realitas praktik arsitekur dan urbanitas. Kekuatan-kekuatan tak tampak, yang digerakkan oleh bawah sadar manusia, diadopsi oleh Dovey dari filsafat kemenjadian dari Delueze dan Guattari untuk menggantikan pendekatan fenomenologi dari Heideger yang dianggap tidak memadai lagi untuk membaca realitas praktik arsitektur sehari-hari. Pendekatan kemanjadian dari Deleuze dan Guattari juga digunakan oleh Widiastuti (2014) untuk mengungkap rahasia ruang kreasi Arsitektur Nusantara. Lewat penjelahan terhadap mitos-mitos yang terjadi secara berulang sebagai wujud pemikiran bawah sadar masyarakat Nusantara, Widiastuti menemukan konsep “naga-patala”, yaitu mitos ibu yang menjadi rahim persemaian kreasi-kreasi akibat perkawinannya dengan pangeran dari India (simbol silang budaya India – Nusantara pada masa Hindu-Budha). Konsep “naga-patala”, karena merupakan representasi bawah sadar yang terus berulang, diyakini masih menjadi sumber daya hidup arsitektur Nusantara hingga kini. Bahkan, semangat keibuan, masih bisa ditelusuri –meskipun acapkali tersembunyi dan terabaikan- dalam praktik arsitektur keseharian Nusantara saat ini, seperti di pasar rakyat, kampung kota, ruang-ruang komunitas, dan lain-lainnya. Semangat keibuan ini terbentuk untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dalam penggunaan produk-produk arsitektural.
2
Metafora Ibu-ibu: Semangat Pengasuhan dalam Praktik Arsitektur Istilah “pengasuhan” yang dipilih di dalam judul makalah ini merupakan interpretasi penulis terhadap semangat keibuan dalam tatakelola keseharian. Dalam arsitektur, semangat “ibu-ibu” ini penulis temukan pada nasihat Romo Mangun saat Pak Eko Budihardjo akan membangun rumah tinggalnya yang baru: “Yen mbangun omah iku kudu gawe bojomu seneng” (kalau membangun rumah harus membuat istri merasa senang). Ada apa dengan “ibu-ibu”, mengapa ia harus diistimewakan di dalam sebuah rumah tinggal? Kekuatan “ibu-ibu” memang tidak kasat mata, namun akan muncul dalam kondisi terdesak. Dalam sebuah talkshow di radio saat akan ada pengumuman kenaikan harga BBM, muncul pertanyaan siapa yang paling berperan agar tidak terjadi gejolak masyarakat. Jawabannya adalah: ibu-ibu. Dengan naluri yang dimiliki, ibu-ibu akan mampu menata kembali pengeluaran rumah tangganya agar semua kebutuhan rumah tangga tetap tercukupi. Ada dua sifat yang tercermin di sini, yaitu sikap gesit dan adaptif (ubet – bahasa jawa) dan mengasuh (open – bahasa jawa). Naluri keibuan akan mendorong para “ibu-ibu” untuk gesit menyiasati keadaan agar semua anggota keluarga bisa beraktivitas dengan baik. Secara teoretis, Widiastuti (2015) kembali menemukan peran keibuan dalam persilangan pengetahuan antara India dan Asia Tenggara pada masa pra modern di Nusantara. Lembaga “ibu-ibu” ini ditemukan dalam konsep Tavazhi di Kerala (India), Bundo Kanduang di Minangkabau, dan Jero Kahyangan di Bali Aga. Kekuatan ini menjadi rahim tempat persemaian berbagai kekuatan-kekuatan yang terajut. Dalam citra masa kini, peran ini disimbolkan oleh sosok Nick Fury dalam film “the Avengers”: tanpa keberadaannya mustahil para superhero bisa menjadi satu tim yang stabil. Semangat pengasuhan (ala “ibu-ibu”) akan mempunyai arti penting saat arsitektur dilihat dalam perspektif tatakelola. Tatakelola dalam bahasa inggris disebut governance, yang ini dibedakan dengan pengelolaan sebagai terjemahan dari management. Kalau manajement lebih berorientasi pada pengelolaan perkerjaan agar sesuai tujuan yang telah ditetapkan, maka governance mempunyai aspek lebih luas karena menyangkut hasrat (desire) dari pelakupelaku yang terlibat. Governance punya terjemahan lain yaitu “tata pamong” (misalnya digunakan dalam akreditasi oleh BAN-PT), sehingga to govern (menatakelola) akan mempunyai konotasi dengan mengasuh. Melalui perspektif tatakelola, arsitektur akan lebih dilihat sebagi proses yang berkesinambungan dan menyangkut aspek-aspek yang luas. Perspektif ini tidak akan didapatkan, jika arsitektur masih dilihat sebagai karya semata atau hasil dari relasi transaksional antara arsitek dan klien dalam sebuah proyek. Perspektif tatakelola akan berguna saat arsitektur dikembangkan sebagai sebuah ilmu. Dalam konsep “ilmu yang bermanfaat” (ilman nafi-an – bahasa Arab), maka perspektif tatakelola akan berguna bagaimana praktik arsitektural bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dalam praktik keseharian, tatakelola arsitektur bisa dilihat dalam banyak hal. Misalnya dalam mengerjaan proyek arsitektural secara tim, tatakelola berperan bagaimana tim bisa tetap kompak agar bisa menghasilkan karya yang terbaik. Atau dalam proyek yang melibatkan banyak pelaku, tatakelola akan berperan untuk mengatur keseimbangan kepentingan agar proses desain tetap bisa berjalan secara efektif. Atau saat arsitek mencari proyek, maka klien perlu di-maintain, dan ini juga melibatkan tatakelola. Dari kasis-kasus di atas, semangat pengasuhan bisa ditempatkan sebagai salah satu prinsip penciptaan rasa kebersamaan (sense-making), agar tatakelola arsitektur bisa berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan bersama.
3
“Menjadi ibu-ibu” adalah tawaran pada level paradigmatik untuk praktik arsitektur. Sebuah tawaran yang memfokuskan diri pada perubahan pola pikir. Sebuah pola pikir ketika para arsitek dihadapkan pada pilihan menjadi terkenal (berorientasi pada mahakarya), atau berperan bagi kelangsungan hidup manusia. Menjadi ibu-ibu adalah pilihan yang tidak membuat langsung mendapatkan apresiasi, bahkan bisa menjadi yang terabaikan, seperti halnya peran ibu rumah tangga dalam masyarakat industri. Namun praktik keseharian menunjukkan, tanpa peran ibu rumah tangga, keluarga sulit akan stabil dan bertahan. Dan ketika arsitektur dihadapkan pada tantangan untuk tetap bertahan hidup dengan menjadi ekologis, menjadi ibu-ibu menjadi suatu tawaran yang layak diperhitungkan. Sebagai catatan akhir, penulis berbagi cerita sebuah pengalaman “menjadi ibu-ibu” saat menjadi pembimbing pada studio perancangan di ITB tahun 2005 yang melibatkan simulasi klien nyata. Klien saat itu adalah seorang Ibu, yang juga menjadi staf pengajar salah satu program studi di ITB. Ada dua orang mahasiswa yang menonjol dalam proses pembelajaran studio arsitektur tersebut. Yang satu bernama Ani, yang mengeksplorasi rancangan arsitektural dengan estetika penuh (bahkan puitis) dengan menggunakan aneka literatur arsitektur. Yang kedua bernama Aboy, yang mengeksplorasi rancangan dengan lebih banyak menggali kebutuhan sang klien. Hasil akhirnya, Ani mendapat nilai A plus, karena karyanya memenuhi syarat kekokohan dan fungsi, dengan eksplorasi estetika yang maksimal. Aboy mendapatkan A minus, kekokohan fungsi bangunannya terpenuhi dengan eksplorasi estetika yang hanya sedikit di atas rata-rata. Namun bagi sang klien, karya Aboy yang dipilih sebagai karya favorit, karena lebih mengakomodasi kebutuhannya. Dan salah satu yang paling diingat penulis (sebagai mentor), penemuan Aboy dalam perancangan yang menghormati ibu-ibu adalah menyediakan ruang kerja bagi klien yang terbuka dan berhubungan langsung dengan ruang keluarga, dengan alasan bahwa sang ibu bisa tetap bekerja di rumah (karena profesinya sebagai pengajar) dengan tetap bisa memperhatikan anak-anaknya yang bermain. Sebuah temuan mahasiswa yang membuat mentornya belajar untuk “menjadi ibu-ibu” dalam arsitektur.
Penutup: Mencari Keseimbangan untuk Menjadi Ekologis Menafsirkan kembali peran Ibu dalam peradaban masa kini adalah mencari keseimbangan dengan peran Ayah. Penulis merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan siapa orang yang paling pantas dihormati, dan beliau menyebut Ibu sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya menyebut Ayah. Jika ibu menjadi simbol esensi dan ayah simbol eksistensi, maka esensi (meskipun tidak terlihat) mempunyai kekuatan (tiga kali) lebih besar daripada eksistensi. Seperti mangkok dan isi, mangkok tidak akan ada maknanya tanpa isi, namun isi membutuhkan mangkok untuk bisa bermanfaat. Ini merupakan sebuah relasi mutual natural antara esensi dan eksistensi. Masyarakat masa kini adalah masyarakat yang mengalami krisis eksistensi. Keniscayaan sistem dalam industri, membuat hubungan manusia semakin menjadi transaksional dan berkerja tak ubahnya seperti mesin. Relasi-relasi antarmanusia semakin berorientasi pada “persona” (topeng) dengan mesin kapital sebagai kekuatan utama penggeraknya. Padahal mendapatkan perhatian (memperoleh eksistensi) merupakan hasrat naluriah manusia. Fenomena media sosial menunjukkan semakin banyak orang mencari eksistensi, yang sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat pascaindustri adalah masyarakat yang kurang perhatian.
4
Jika dilihat dari hukum sebab akibat, maka perhatian akan didapatkan jika seseorang akan memberikan perhatian bagi orang lain. Hasrat untuk mendapatkan perhatian yang coba dipenuhi dengan cara mencari perhatian tak ubahnya cerita Nasruddin Hoja yang mencari uangnya yang hilang di luar rumah karena lebih terang, padahal uangnya hilang di dalam rumahnya yang gelap. Berkembangnya industri media sebagai representasi peradaban pascaindustri, termasuk media sosial, benarkah menyediakan ruang-ruang eksistensi yang nyata? Ataukah kita coba kembali merenung akan eksistensi para ibu kita, yang haribaannya selalu kita rindukan untuk kembali saat kita lelah menghadapi permasalahan hidup? Suatu gagasan arsitektural, termasuk gagasan untuk menjadi ekologis, membutuhkan kekuatan (power) untuk bisa terlaksana. Dovey (2010) menyebutkan, suatu kekuasaan akan bekerja efektif jika ia menyentuh hasrat dari pihak-pihak yang ada dalam wilayah kendali kekuasaan itu. Hasrat masyarakat adalah pascaindustri adalah hasrat untuk mendapatkan perhatian. Menjadi ibu-ibu adalah tawaran untuk menjawab hasrat tersebut, yang tengah diexercise oleh penulis ke dalam pernyataan yang lebih teoretis dengan pernyataan “care is control”. Maka, menjadi ibu-ibu merupakan tawaran paradigmatis agar praktik arsitektur bisa menjadi nyata untuk semakin menjadi ekologis. Secara pribadi, penulis memulainya dengan meyakini bahwa “memikirkan orang lain itu indah”. Terima kasih.
Daftar Pustaka Dovey, K. (2010). Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. London: Routledge Ekomadyo, A. S. (2014). Arsitektur sebagai Media Transformasi Budaya Lokal dalam Pengembangan Potensi Ekonomi Masyarakat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Merah Putih: Tempat dan Ruang dalam Latar Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana dan Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia Mangunwijaya, Y.B. (2004) Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya, Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya, beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Mangunwijaya, Y.B. (2001) Ragawidya: Religiositas Hal-hal Sehari-hari. Jakarta: Kanisius. Norberg schultz, C. (1991). Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli, Rudofski, B. (1987) Architecture without Architect: A Short Introduction to Non-Pedigreed Architecture. Mexico city: University of Mexico Press. Sharr, A. (2007). Heidegger for Architect. London: Routledge Saliya, Y. (2005). Pragmatik Estetiko-Religius dalam Arsitektur Vernakular di Bali. Disertasi Doktoral. Institut Teknologi Bandung Widiastuti I. (2006). Hubungan Arstektur dan Budaya. Monografi Kuliah Arsitektur Pramodern. Bandung: Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Widiastuti, I. (2014). Naga-Patala: Konsep Ruang Kreasi bagi Persentuhan Arsitektur India dan Nusantara. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Merah Putih: Tempat dan Ruang dalam Latar Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana dan Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia Widiastuti, I. (2015). The Vernacular Architecture Of Kerala, South India: An Architecture Knowledge On The Crossroad Between Southeast Asia And South Asia. Paper Presented in 1st South East Asian Architecture Research Community Symposium, Singapore: the Natonal University of Singapore.
5