arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Parkour: Estetika Seni Bergerak dalam Keseharian Meutia Rin Diani Makna Parkour dan Hubungannya dengan Arsitektur Parkour adalah seni bergerak dan metode latihan natural yang membantu Kata Parkour berasal dari kata parcours du combatant (Prancis), yang berarti pelatihan halang rintang untuk sesi milter. Olah raga ini banyak melibatkan gerakan melompat dan memanjat, selain gerakan khusus lainnya. Praktik parkour mengaitkan antara tubuh manusia dan objek-objek yang ada di lingkungan, misalkan pagar, tangga, bangku, dan sebagainya. Orang yang mendalami parkour disebut traceur untuk laki-laki dan traceuse untuk perempuan. Seni bergerak ini diciptakan oleh Geogres Hebret, mantan perwira laut Prancis, yang bermula dari terkesannya Herbet ketika menyaksikan kaum pribumi yang “ resistant, and yet they had no other tutor in gymnastics but their lives in nature” (Geogres Herbet) Penciptaan tersebut dipicu juga oleh pengalamannya saat mengevakuasi 700 orang dari letusan gunung berapi Mount Pelee di sebuah kota bernama Saint Pierre, Martinique. Dari pengalaman tersebut dia menyadari betapa pentingnya disebarkan melalui oleh raga ini. Dia kemudian menciptakan sebuah metode yang dikenal dengan nama methode naturalle dengan moto ‘etre fort pour etre utile’ atau to be strong, to be useful. Sejak itu, parkour mulai berkembang. Perkembangan parkour menjadi lebih pesat saat diperkenalkan oleh David Belle. menghadapi masalah yang ada di dalam hidup manusia, kemampuan untuk melawan rasa takut, tekad untuk bangkit dari kegagalan, bersikap bijaksana dalam menjaga semangat dalam menjalani hidup, dan kreativitas dan kebebasan dalam menciptakan gerakan baru tanpa meninggalkan nilai-nilai kehidupan lainnya. Parkour merupakan contoh yang baik untuk membuktikan adanya hubungan antara arsitektur , keseharian, dan estetika, karena menunjukkan bahwa arsitektur tidak hanya meliputi bangunan saja tetapi juga pengalaman ruang. merancang bangunan berikut strukturnya. Arsitektur adalah produk dan proses penciptaan ruang yang hasil akhirnya dipengaruhi oleh fungsi, imajinasi akan bentuk, dan faktor-faktor lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, arsitektur juga mempertimbangkan hingga penggunaan material dan harga konstruksinya. Secara khusus, bagi saya, arsitektur adalah penciptaan ruang dan hasil respons dari tubuh kita. “Inside our movements are restrained by the limits of the space, we are subject to forces within the space. Outside we are subject to those forces, our movements are not constrained by those limits..” (Franck dan Leporii, 2000 : 11) 16
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Dari kutipan di atas, terkesan bahwa arsitektur itu membatasi gerakan kita di dalam bangunan. Namun kenyataannya tidak. Ini terbukti dari kutipan berikutnya: “A doorway is understood as an opening for the human body to pass through. If the door ornamented in some way or prominatly locaed, we understand that it is the “ front” door or formal entry. A much larger opening, a gateway, is understood as accommodating bodies riding on horses in carriages or cars. The window suggests looking into or out of. The window in the door encourages looking before opening. The tower suggest that the body will move up or down. The most basic kinds of human movement.” (Franck dan Lepori, 2000 : 37) Tubuh manusia yang berupa daging berbungkus kulit, tidak mampu menembus dinding yang masif. Lalu bagaimana cara kita mencapai keinginan kita yaitu menembus dinding? Tentu saja dengan membuat lubang pada dinding. Pintu dipasang untuk membedakan jenis ruang atau menjaga privasi. Dengan demikian, jelas fungsi arsitektur adalah mengakomodasi kebutuhan tubuh kita. Tubuh kita memerlukan tempat bernaung untuk menghindarkan diri dari suhu panas atau dingin dan arsitektur yang menyediakannya, yang disadari nenek moyang dan mempengaruhi mereka dalam menciptakan shelter , baik terdiri dari gua ataupun sculpture dari kayu-kayu dan daun-daun. Lalu apa fungsi ruang luar yang dikatakan tidak memiliki batasan bagi kita? Franck dan Leopori menyatakan bahwa di dalam kita adalah pemakai, sedangkan di luar kita adalah penonton. Pemandangan di sekitar kita yang dipenuhi bangunanbangunan yang beragam bentuk atau pepohonan yang hijau dapat menjadi tontonan bagi mata kita. Namun, sama seperti ruang dalam, ruang luar juga memberikan pengalaman ruang bagi tubuh kita. “it’s hot and humid. The light is harsh and bright on the kind of summer afternoon one fears that the sun may never set. I enter the cool, dim foyer of the silent villa and walk toward the marble stairs but pause before I reach them. I lean on to the freshly plastered wall. Standing up, I lie against wall, pressing one hot, we cheek, and then the other and then my forehead against its cool velvet surface, the color of fresh creamy mik. I run my hands along it. It is deeper then velvet ” (Franck dan Lepori, 2000 : 20) Apabila kita mengubah cara memaknai arsitektur, maka nyata bahwa arsitektur tidak hanya berfungsi sebagai pemuas indera penglihatan kita, tetapi juga keempat indera lainnya yaitu pendengaran, perasa, penciuman, peraba sehingga dapat timbul makna baru bagi arsitektur. Arsitektur adalah pengalaman ruang bagi tubuh manusia. Ini yang dipahami traceurs dan sering dilupakan oleh para arsitek. Arsitek sering kali mendesain bentuk bangunan untuk memberi keindahan visual. Arsitektur hanya menjadi tontonan. Traceurs mencoba mengubah paradigma itu dan memberi pemaknaan baru mengenai arsitektur. Traceur memandang arsitektur sebagai ‘rintangan’ yang harus dilalui oleh tubuh mereka sendiri. Arsitektur adalah sarana pembelajaran “Parkour is an urban sport and as a traceur (people practicing this discipline) you focus on moving from point a to point b as fast, your body to surpass any obstacle in your surrounding whereby you are given complete freedom – physically and mentally.” 17
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Parkour memiliki fokus pada pemindahan dari satu titik ke titik lain. Misalkan ada dua bangunan yang berbeda tinggi, kira-kira 4 m. Traceurs menfokuskan bagaimana cara melompat dari bangunan yang lebih tinggi ke bangunan yang lebih rendah tanpa mencederai tubuh mereka. Tidak hanya bangunan yang menjadi alat pembelajaran parkour, tangga dan pagar juga menjadi sarana yang dapat dimanfaatkan. Tekstur beton atau fasad bangunan yang dirasakan traceurs saat menyentuh juga memperkaya pengalaman ruang mereka, yang merupakan inti bahwa arsitektur adalah pengalaman ruang. Kaitan Parkour dengan Keseharian “An architecture of the everyday may be banal or common” “An architecture of the everyday may therefore be quite ordinary” (Berke, 1997 : 223) Dua kutipan tersebut menimbulkan pertanyaan haruskah kita memandang dan memperlakukan arsitektur pada umumnya? Seperti kita menggunakan tangganya sebagaimana mestinya yaitu menaiki atau menuruni anak tangga dengan kaki. Kita tidak menggunakan tangan atau meloncati tangga itu. Haruskah kita menikmati keindahan arsitektur dari segi visual saja? Tidak bolehkah kita menyentuh atau menjilat dinding? (everyday), sesuai dengan kutipan berikut ini: “Lefevbre stressed that contradiction is intrinstric its ( the everyday’s) very nature. While it is the object of philosohophy, it is in herenty nonphilososphy; while conveying an image of stability and immutability, it is transitory and uncertain; while governed by the repetitive march of linear time, it is redeemed by the renewal of nature’s cyclical time; while unbearable in its monotony, it is festive and playful; and while controlled by technocractic rationalism and capitalism, it stands outside of them” (Mcleod, 1997: 13-14) “…it covers is produced by anonymous nonprofessionals,….as a whole, a critical chalengge to the hierarchies of conventional architecture” (Miles : 2000 : 162) Dapat disimpulkan bahwa keseharian adalah suatu kritik sosial terhadap kondisi sekitarnya, terutama arsitektur. Oleh karena itu keseharian selalu kontras dengan paradigma umum, seperti kehadiran pedagang kaki lima yang dianggap bertentangan dengan paradigma kota bersih yang cenderung bebas dari sesuatu yang kumuh. Pedagang kaki lima dianggap kumuh karena menggunakan gerobak atau tenda yang bukan berasal dari beton. Pakaian lusuh yang dikenakannya turut pula memperkuat kesan kumuhnya. Padahal, sesungguhnya ada makna di baliknya, yakni pemberontakan terhadap pemerintah karena tidak mewadahi mereka untuk berdagang. Pelanggaran aturan kerap terjadi karena mereka benar-benar memerlukan tempat untuk berjualan. Begitu juga dengan parkour. Pada awalnya, parkour dikembangkan untuk menentang kompetisi komersialisasi olah raga. Parkour ditujukan untuk membantu orang lain sehingga manusia mempunyai cara berpikir moderasi (sederhana) dan Namun, tanpa sadar, parkour sebenarnya juga menentang paradigma umum arsitektur. 18
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
“The everyday, as much as great art, offers acces to meaning.” (McLeod, 1997: 15) Parkour memberi makna baru bagi arsitektur, yaitu tidak hanya tempat bermukim tetapi juga tempat ‘bermain’. Mereka membuktikan bahwa ada fungsi lain dari arsitektur sehingga dengan sendirinya memperluas makna arsitektur. Mereka memberi cara pandang baru mengenai arsitektur, yang berasal dari bukan arsitek. Jelaslah parkour memiliki kaitan sangat erat dengan keseharian karena mencoba menembus pandangan umum baik mengenai arsitektur maupun olahraga (anti kompetisi) dan dilakukan oleh rombongan yang sebagian besar bukan arsitek atau olahragawan prosfesional. “…the everyday as a pervasive condition for, rather than an alternative..” (Miles, 2000: 163) Kaitan Parkour dengan Estetika Sebelum mengaitkan parkour dengan estetika, saya terlebih dahulu membahas arti estetika. Banyak orang mengartikan estetika sebagai pandangan individu terhadap baik atau buruknya sebuah objek. Hal tersebut kurang tepat, sebab pandangan tersebut bukanlah estetika, melainkan taste. Taste adalah pandangan seseorang yang dilandasi hasil pembelajarannya sepanjang hidup. Hasil pembelajaran tersebut meliputi kebudayaan dan pendidikan, seperti kutipan berikut: “Taste is a result of education an awareness of elite cultural values…,” Hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam menilai keindahan suatu objek. Jadi, apabila ada orang yang mengomentari suatu objek, seperti “Itu bagus sekali!” atau bisa juga “Jelek! Aku tidak suka!”, maka tidak dapat serta merta langsung dikaitkan dengan estetika. Pandangan orang terhadap suatu objek sesungguhnya merupakan hasil pengaruh dari kebudayaan yang pendidikan yang dijalani selama hidupnya. Sebagai contoh, ada sebuah kampung di mana orang telah terbiasa hidup di dalam rumah yang berbentuk joglo. Suatu hari ada arsitek yang mendirikan bangunan yang bergaya kontemporer. Tentu saja masyarakat memprotes. Tetapi ada juga mengaguminya. Mengapa terjadi reaksi seperti itu? Adanya tentangan terhadap bangunan itu terjadi karena masyarakat telah terbiasa hidup di lingkungan hanya terdiri dari rumah joglo. Bagi yang mengaguminya, bangunan itu dianggap sesuatu yang baru dan menarik. Mereka itu umumnya adalah orang yang terbuka terhadap hal-hal yang baru. Keterbukaan itu mungkin merupakan hasil didikan orang tua atau gurunya. Jadi, hal tersebut tidak dapat dianggap estetika tetapi taste. Lalu apa itu estetika? Berdasarkan kutipan berikut ini, “Aesthetics (also spelled æsthetics or esthetics) is a branch of philosophy dealing with the nature of beauty, art, and taste, and with the creation and appreciation of beauty.” seni dan keindahan dan merupakan buah pemikiran manusia terhadap keindahan. kebudayaan, dan alam yang ada. Berbeda dengan taste, estetika lebih banyak melibatkan akal daripada sensori, dan kenikmatan. Itu dilakukan dengan sadar. Apa kaitan parkour dengan estetika? Sesuai dengan kutipan di bawah: “parkour is the physical discipline of training to overcome any obstacle within one’s path by adapting one’s movements to the environment.” 19
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Parkour adalah suatu cara mengadaptapsikan atau menyesuaikan tubuh manusia terhadap lingkungan sekitarnya dalam kondisi ekstrim tanpa mencelakai tubuh manusia. Cara tersebut tentu memerlukan pemikiran untuk menentukan cara mengkaji seni dan keindahan. yang merupakan bagian dari olahraga parkour. “Art is the process or product of deliberately arranging elements in a way that appeals to the senses or emotions.” Seni merupakan ungkapan emosi dan pemikiran manusia terhadap sesuatu. Begitu juga parkour. Setiap gerakan yang terbentuk merupakan hasil dari pemikiran manusia. Bagi traceur, itu adalah gerakan yang indah, sebab ada makna di dalamnya, yaitu keberhasilan melewati rintangan tanpa harus melanggar aturan (tidak membuat tubuhnya terluka). Keindahan tidak hanya harus berbentuk visual tetapi juga emosi, seperti dinyatakan berikut ini: “Judgments of beauty are sensory, emotional and intellectual all at once.” Rasa senang yang timbul saat menyaksikan atau melakukannya juga menjadi kriteria dalam menilai keindahan, sehingga dapat dikatakan bahwa parkour memiliki hubungan dengan estetika karena pelibatan seni dan pemikiran lain di dalamnya.Lalu apa kaitan keseharian dengan estetika? “The everyday is therefore a concept .The everyday, established and consolidated, remain a sole surviving common sense referent and point of reference “intellectual,” on the other hand, sees their systems political party. The proposition here is to decode the modern world, bloody riddle, according to the everyday” (Lefebvre, 1997) Berdasarkan kutipan di atas, keseharian juga dapat dianggap sebagai estetika karena juga melibatkan pemikiran. Bukankah pembentukan konsep memerlukan pemikiran juga? Dengan demikian, secara ringkas parkour merupakan gabungan antara arsitektur, keseharian, dan estetika, namun bukan dalam bentuk bangunan melainkan pengalaman ruang atau memecahkan masalah. Contoh masalah dalam mendesain bangunan tentu bervariasi, mulai dari sempitnya lahan, kondisi iklim tidak memadai, dam lain-lain. Sebagai arsitek, kita tentu harus dapat memikirkan solusi yang dibutuhkan. Terdapat kepuasan tersendiri saat berhasil memecahkan masalah tanpa mengindahkan konsep desain awalnya. Hal yang sama juga terjadi pada parkour. Kesimpulan Melihat dari uraian di atas, saya menyimpulkan bahwa arsitektur dan keseharian memiliki kaitan dengan estetika asalkan terdapat pemikiran di dalamnya. Apabila ada seseorang membangun sebuah tenda dari bahan seadanya, hal tersebut belum tentu dianggap memiliki kaitan dengan estetika karena tidak ada pemikiran tertentu dalam prosesnya. Dia hanya membangun itu disebabkan oleh adanya desakan kebutuhan. Bentuknya juga biasa dan bukan hasil dari pemikiran tentang kental dengan estetika karena merupakan ungkapan pemikiran mereka akan arti keindahan. Bagi mereka, keindahan tidak harus seragam tetapi juga beraneka ragam. Keberagaman tersebut pada akhirnya justru memperkaya keindahan dan keunikan sebuah kota.
20
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Referensi Franck, Karen A. dan R. Bianca Lepori. 2000. Architecture Inside Out. Great Britain : Wiley-Academy Mcleod, Mary (1997). . Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Berke, Deborah (1997). . Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press. http://en.wikipedia.org/ http://www.parkourindonesia.web.id/
21