See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/291766349
Menggali Jati Diri Melalui Estetika Seni Tradisi CONFERENCE PAPER · NOVEMBER 2012 DOI: 10.13140/RG.2.1.2857.0645
1 AUTHOR: Julia Universitas Pendidikan Indonesia Kampus … 9 PUBLICATIONS 0 CITATIONS SEE PROFILE
Available from: Julia Retrieved on: 25 January 2016
Menggali Jati Diri Melalui Estetika Seni Tradisi Julia Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang
Abstrak Berbagai fenomena yang melanda bangsa Indonesia telah memberikan arti baru terhadap kredibilitas dan identitas bangsa. Untuk memunculkan dan menghadirkan kembali ciri spesifik dan tipikal dari jati diri dan karakter bangsa, salah satu cara adalah dengan menelusuri dan mengidentifikasinya melalui seni tradisi sebagai salah satu bagian atau unsur kebudayaan, karena di sinilah kemurnian dari jati diri bangsa ini tersembunyi. Pengkajian dilakukan melalui pengamatan yang dikolaborasikan dengan pendekatan hermeneutik dan semiotik, untuk kemudian diinterpretasikan dan disandingkan ke dalam teori-teori yang relevan. Berdasarkan hasil kajian, didapatkan kesimpulan bahwa jika dimulai dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam seni dan budaya setempat, maka bangsa ini akan berbuat sesuai dengan kebaikan yang hidup dalam budayanya tersebut, karena budaya merupakan pakaian yang semestinya melekat dalam diri setiap bangsa, sehingga insan Indonesia dikatakan berkarakter dan memiliki jati diri manakala pakaian budayanya melekat dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Kata Kunci: Jati diri, karakter, seni tradisi, budaya.
Pendahuluan Adalah kenyataan bahwa bangsa Indonesia yang konsep hidupnya diatur atau bahkan berlandaskan atau berfalsafah pada nilai-nilai pancasila sebagai kolektivitas jati diri bangsa, ternyata banyak dikabarkan memiliki karakter yang buruk dalam kehidupan kesehariannya. Mulai dari siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terlibat genggeng motor seperti dikatakan oleh Imam Prasodjo bahwa siswa-siswa yang punya 'geng' inilah yang umumnya menjadi 'motor' tawuran pelajar (Supri, 2012), mahasiswa Perguruan Tinggi (PT) yang asik dengan demo tidak terpuji yang selalu disertai dan diwarnai dengan aktivitas pengrusakan bangunan dan fasilitas 1
umum, sampai pada pegawai negara yang sulit menghindar dari perbuatan tidak bermoral seperti korupsi yang tiada henti dan malah semakin menjadi-jadi. Gambaran tersebut dirasa cukup untuk menjelaskan bahwa dari mulai kader bangsa sebagai generasi penerus sampai pada manusia-manusia terpilih kepercayaan bangsa, semuanya terjerumus pada jurang kenistaan yang pada akhirnya memberikan sebuah representasi buruk dari karakter bangsa Indonesia sendiri kehadapan bangsa-bangsa di dunia pada umumnya, dan kehadapan masyarakat Indonesia sendiri pada khususnya. Ini memang sungguh memalukan dan memilukan, bahkan menjadi ironi dikala satu pihak berupaya habis-habisan supaya pendidikan memberikan arti dan berdampak mulia kepada manusia agar memiliki akhlak dan budi pekerti yang baik sehingga berbuat hal-hal yang baik pula, dan pihak lainnya sebagai manusiamanusia yang terdidik namun terus saja mengamalkan perbuatan tidak terpujinya yang justru bertentangan dengan semua nilai-nilai kebaikan yang diperolehnya melalui pendidikan. Realita inilah yang sekarang perlu dikhawatirkan, karena jika terus terjadi secara berkala, maka dapat mengakibatkan terbentuknya budaya baru di dalam kehidupan bangsa Indonesia, karena budaya merupakan habituasi sekaligus manifestasi nilai-nilai keseharian yang hidup di dalam masyarakat, dan budaya dapat terbentuk dengan tidak mengenal sifat yang dikandungnya. Artinya, baik ataupun buruk nilai-nilai di dalamnya, jika sudah menjadi adat dan kebiasaan dari masyarakat tertentu, maka dapat menjadi budaya dari masyarakat tersebut. Sementara itu, suatu bangsa relatif cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain melalui budayanya - tentu saja bangsa Indonesia tidak mau dikenal sebagai bangsa berkarakter buruk yang disebabkan oleh budayanya yang buruk. Maka dari itu, tulisan ini berupaya mengkaji pola-pola budaya yang hidup di Indonesia sebagai representasi jati diri bangsa Indonesia melalui salah satu unsur kebudayaan yakni kesenian, atau yang disebut Edi Sedyawati (2011:3) sebagai identitas budaya bangsa Indonesia dari sisi kebudayaan yang diangkat dari berbagai tradisi suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Fokus kajiannya adalah mencari keterkaitan antara nilai-nilai yang terkandung dalam seni tradisi dengan
2
karakter bangsa Indonesia yang baru-baru ini diisukan sedang mengalami degradasi moral. Melalui kajian tersebut, diharapkan dapat diidentifikasi karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan seharusnya, atau yang sekarang disebut sebagai ‘jati diri’ bangsa. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik untuk menjabarkan berbagai fenomena yang sarat dengan simbol-simbol, dan pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan berbagai gejala sosial yang terjadi supaya didapatkan berbagai makna beserta dengan kesimpulannya. Sumber data adalah realitas sosial yang dicermati melalui pengamatan dan disandingkan kepada sumber-sumber rujukan yang relevan.
Pembahasan Seni Tradisi dan Budi Pekerti Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan telah memberikan pengaruh cukup besar terhadap perkembangan karakter bangsa Indonesia. Dengan kata lain, sifat dan perilaku sejati bangsa Indonesia dapat dilacak salah satunya melalui kesenian,
terutama
seni-seni
tradisi,
karena
seni
tradisi
lebih
murni
merepresentasikan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Melalui seni tradisi, dapat diidentifikasi pula berbagai persoalan potensi sifat manusia yang melekat di dalamnya sebagai konsekuensi dari syarat belajar seni tradisi dan sekaligus dampak dari belajar seni tradisi. Jika demikian, lantas apa kaitan antara seni tradisi dengan budi pekerti? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dijelaskan melalui paparan berikut.
-
Kehalusan Rasa Siti Gazalba mengartikan budaya sebagai cara berpikir dan merasa untuk
kemudian dinyatakan dalam seluruh kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan waktu tertentu (AnneAhira.com, 2012). Maka dari itu, salah satu aspek yang tidak bisa lepas dan mutlak harus ada dalam belajar dan praktek seni tradisi adalah masalah ‘rasa’. Setidaknya ada dua jenis rasa yang digunakan manusia sebagai bahan mempelajari seni tradisi dan
3
sebagai dampak mempelajari seni tradisi. Pertama, rasa yang digunakan untuk merasakan berbagai unsur musik seperti ritmik dan melodi, sebut saja sebagai ‘kepekaan rasa’. Seorang calon seniman tidak akan bisa menjadi seniman profesional atau seniman sejati apabila ia memiliki masalah dalam kepekaan rasa. Misalnya, tidak dapat menirukan suara dengan pitc yang tepat sesuai dengan frekuensi suara yang dibunyikan - sebagian kalangan menyebutnya sebagai penyakit kebutaan, yakni buta nada, atau tidak dapat menyajikan ritmik dengan tepat sesuai dengan tempo dan nilai ritmik yang harus disajikan - sebagian kalangan juga menyebutnya sebagai penyakit kebutaan, yakni buta ritmik. Jenis rasa ini merupakan kebutuhan mutlak dalam belajar seni tradisi. Maka dari itu, salah satu faktor penunjang keberhasilan seorang seniman dalam mempelajari seni tradisi adalah memiliki kepekaan rasa. Dengan kata lain, tidak peka perasaannya maka tidak akan berhasil pula pembelajarannya. Kedua, rasa yang digunakan untuk merasakan berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar seperti munculnya iba seandainya ada orang yang memerlukan pertolongan atau terkena musibah, sebut saja ‘sensitivitas rasa’. Apabila seseorang berkecimpung dalam dunia rasa seperti halnya seorang seniman dalam kurun waktu yang relatif lama, maka kepekaan rasanya akan semakin tinggi. Manusia yang selalu bersentuhan dengan rasa kelanjutannya adalah munculnya sensitivitas rasa, sehingga manusia yang memiliki sensitivitas rasa pasangannya adalah berbuat kebaikan. Jenis rasa ini merupakan dampak dari belajar seni tradisi. Maka dari itu, salah satu faktor penunjang seseorang memiliki kebaikan, karena perasaannya sensitif terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, tidak sensitif perasaannya maka tidak peduli terhadap lingkungannya. Apa yang menyebabkan manusia kurang memiliki sensitivitas rasa? Setidaknya ada dua penjelasan singkat: 1) karena manusia kurang bersentuhan dengan dunia seni apalagi sebagai praktisi seni. Kelemahannya adalah bangsa Indonesia senantiasa mengkotak-kotakan antara bidang seni dengan bidangbidang ilmu lainnya, sehingga jarang sekali muncul seorang ilmuwan yang juga seorang seniman. Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang membabi buta dengan keilmuannya, tanpa memedulikan keadaan di sekitarnya, karena memang dalam
4
separuh kehidupannya hanya diisi dengan ilmu-ilmu yang mencerdaskan pikiran tanpa diimbangi dengan ilmu-ilmu yang menyentuh dan mengasah perasaan, dengan kata lain aspek kognitif didewakan sementara aspek afektif dilupakan. 2) karena manusia sejak dini mulai bersentuhan dengan seni yang bukan berasal dari habitatnya. Setiap bangsa memiliki seni tradisi yang tercipta dan lahir sesuai dengan kondisi lingkungan, karakter masyarakat dan latarbelakang budayanya, sehingga setiap genre seni yang lahir akan sangat tepat apabila dipelajari dan dikonsumsi lagi oleh masyarakatnya sendiri sebagai bahan pondasi wawasan dan perasaan budayanya. Sebagai contohnya, bangsa Indonesia kaya akan kekayaan alamnya seperti kayu dan bambu, sehingga masyarakatnya pun senantiasa berkreasi dan memiliki daya cipta sesuai dengan kondisi alam tersebut. Sebut saja masyarakat Priangan atau tatar Sunda, karena salah satu kekayaan alamnya terdiri atas hutan-hutan bambu, maka adalah wajar apabila di Priangan tercipta instrumen musik yang terbuat dari bambu, contohnya seperti suling. Instrumen yang terbuat dari bambu tersebut secara implisit memiliki karakter bunyi yang tercipta dengan sendirinya, seperti melankolis, syahdu, dan lembut karena memang bahan bambu tersebut memiliki keterbatasan untuk mengeluarkan bunyi-bunyi yang berfrekuensi tinggi atau bunyi keras. Selaras dengan karakter bunyi tersebut, implikasinya adalah pada pembentukan karakter masyarakat pemiliknya yang pada akhirnya juga memiliki karakter lembut, cinta damai, tidak haus kekuasaan, serta perilaku dan bahasanya yang santun, sehingga muncul kesan tidak keras dan tidak tegas yang notabene representasi dari kelembutan budayanya. Oleh sebab itu, masyarakat Priangan yang lahir di Priangan atau tinggal di Priangan, akan sangat tepat apabila memulai pengembaraannya dengan mempelajari seni tradisi masyarakatnya sendiri, sehingga akan timbul jati dirinya yang lembut dan berjiwa Priangan. Bahkan, terasa kontras manakala ada masyarakat Priangan yang berkarakter keras dan tegas, atau berperilaku dan berbahasa kasar. Seperti halnya anak-anak remaja yang semestinya belajar seniseni tradisi sendiri, namun malah belajar seni-seni tradisi bangsa lain yang
5
menampilkan kekerasan dan kemetalan, yang seharusnya belajar lagu-lagu daerah namun malah belajar lagu-lagu rock ‘n’ roll.
-
Keikhlasan Hati Salah satu hal yang menarik adalah ihwal keikhlasan hati masyarakat yang
memegang seni tradisi. Artinya, diperlukan kerelaan hati untuk mengakui bahwa inilah budaya sendiri, yang dipandang kampungan oleh manusia modern namun itulah sebenarnya jati diri budaya sendiri, karena manisfestasi nilai-nilai kebaikan masyarakat itu berada dalam budayanya sendiri. Tenggelam dalam seni tradisi itu sama saja dengan mengikhlaskan diri untuk menjadi bagian minoritas dalam dunia seni, karena yang mayoritas itu adalah seni-seni modern atau populer, sehingga seni-seni populer itu dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai media dan para peminatnya senantiasa melimpah-ruah. Dalam pergulatan seni tradisi dan populer memang terdapat kesenjangan pandangan di masyarakat, dimana seni tradisi itu identik dengan kampung, orang tua atau para manula, sementara seni populer itu identik dengan kota, para remaja atau kawula muda, sehingga dipandang unik dan antik manakala ada generasi muda yang justru tergiur dengan seni-seni tradisi. Yang juga jadi masalah adalah kesiapan sikap dan mental untuk menghadapi pandangan masyarakat yang menganggap unik dan antik tersebut, karena keunikan tersebut dipandang pula sebagai ketidak modernan yang hidup di zaman modern atau ‘kampungan’. Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Dieter Mack (2010:10), bahwa budaya desa/kampung dinilai seperti tertinggal, sedangkan budaya kota dianggap modern dan ditawarkan sebagai teladan. Maka dari itu, dalam hal inilah pentingnya kehadiran keikhlasan hati untuk dipandang sebagai manusia yang unik dan antik karena
memertahankan
ketradisian
di
kemodernan.
6
tengah
hiruk-pikuknya
gemerlap
Seni Tradisi dan Jati Diri -
Jati Diri adalah Orisinalitas Bagi seniman seni tradisi
yang senantiasa menjaga orisinalitas
ketradisiannya, mengubah karya seni tradisi yang telah ada dapat dianggap merusak tatanan nilai-nilai ketradisian sehingga menjadi tabu bagi mereka untuk mengubah seni-seni tradisi. Bahkan demi memertahankan orisinalitas tradisi itu, sebagian kalangan seniman tradisi di tatar Sunda lebih memilih untuk tidak menurunkan atau menyebarkan ilmu pengetahuannya daripada diturunkan namun kemudian diubah oleh generasi selanjutnya. Disatu sisi sikap ini dapat saja terkesan berlebihan, karena pada akhirnya ilmu tradisi terbawa mati tanpa sempat diwariskan terlebih dahulu, namun di sisi lain inilah kepatuhan yang timbul sebagai akibat dari kekecewaan terhadap usaha-usaha yang mengarah pada pengrusakan keorisinalitasan tradisi. Sikap ini tentu saja bertentangan dengan pemikiran di dunia modern, dimana manusia terkadang siap melakukan apa saja demi mendapatkan popularitas, dengan berbekal sedikit talenta pun manusia sekarang sudah berani melakukan publikasi, sementara manusia-manusia pemegang tradisi, mereka senantiasa tidak memerlukan kepopuleran, karena bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana supaya kemurnian tradisi dapat terjaga di tengah arus globalisasi, sehingga tidak diwariskan pun tidak jadi masalah karena tetap murni daripada diwariskan namun justru menimbulkan masalah karena tercemari. Maka dalam jagat seni tradisi, sistem regenerasi itu nampaknya lebih tepat jika dikatakan mengacu pada falsafah “jika muncul murid yang siap akan muncul guru yang hebat”. Artinya, guru dalam seni tradisi itu tidak perlu mencari-cari murid yang pintar untuk meneruskan ilmunya, namun mereka justru akan muncul manakala ada murid yang dipandang gencar dalam menggali seni tradisi, secara talenta siap untuk diwarisi ilmu, dan dari pemikiran memiliki komitmen yang kuat dan siap untuk menjaga kemurnian tradisi. Jika sang guru sudah merasa pas dalam menemukenali muridnya, maka sudah dapat dipastikan kehebatan gurunya akan menjadi kehebatan muridnya. Seperti dituturkan oleh seorang seniman tradisi, Rukmana (Julia, 2011:94), jika seorang guru menyukai muridnya maka guru
7
tersebut akan sepenuh hati dalam mewariskan ilmunya. Artinya, menyukai karena kecerdasan, konsistensi dan kebaikan perilaku muridnya.
-
Budaya adalah Representasi Jiwa Setiap bangsa bisa saling memahami dan menghargai antara lain karena
keunikan dan keragaman budayanya. Bahkan untuk bisa mengenali suatu bangsa dapat dilakukan dengan cara memahami budayanya, karena budaya bukan hanya sekedar kebiasaan yang terakumulasi melalui tampilan fisik saja, tapi juga akumulasi dari alam pemikiran. Maka dari itu, bangsa timur bisa mengenali bangsa barat melalui seni-seni atau hasil karya ciptanya, begitu pula bangsa barat bisa mengenali bangsa timur karena keragaman seni dan budayanya. Sebagai contohnya, dalam budaya barat mempelajari karya musik itu adalah dengan membaca notasi, sehingga bangsa timur takjub kepada mereka akan kemahirannya dalam membaca notasi (sight reading), karena dalam setiap pertunjukan para pemain selalu berhadapan dengan partitur, bahkan mungkin saja mereka tidak dapat lepas dari partitur. Begitu pula sebaliknya, dalam budaya timur mempelajari karya musik itu adalah dengan mendengar, sehingga bangsa barat takjub kepada mereka akan kemahirannya dalam belajar dan melakukan pertunjukan musik tanpa melihat atau menggunakan partitur. Dari sini, dapatlah kedua bangsa saling mengenali bahwa barat itu tidak pernah lepas dari partitur karena mereka berbudaya literat (baca-tulis), sementara timur itu lepas dari partitur karena mereka berbudaya oral tradisi (ucap-dengar). Maka dari itu, tidaklah mengherankan manakala kedua bangsa mengalami kesulitan disaat bertukar cara dalam belajar dan melakukan pertunjukan, karena memang jiwanya terkondisikan untuk berbuat sesuai dengan latarbelakang budayanya. Bahkan perlu waktu relatif lama untuk menjadi terbiasa berbuat sesuai dengan budaya bangsa lain, malah terkadang budaya asli sebagai representasi dari bangsanya justru muncul kembali setelah lama bersentuhan dengan budaya bangsa lain pun. Misalnya, ketika orang barat mempelajari gamelan di Indonesia, untuk sesaat bisa lepas dari budaya baca-tulisnya, karena mesti mengikuti tata cara orang Indonesia dalam mempelajari gamelan, namun setelah pembelajaran
8
selesai, mereka kembali ke budaya asalnya sehingga musik gamelan yang dipelajari ditulis kembali ke dalam bentuk notasi dan diajarkan lagi dengan menggunakan partitur. Dengan demikian, budaya memang representasi dari jiwa yang relatif sulit untuk diubah karena telah menjadi jati diri bangsa.
Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam seni tradisi merupakan bagian dari jati diri bangsa yang terakumulasi dari proses kehidupan sehari-hari, sehingga jika bangsa Indonesia memulai kebudayaan dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam seni dan budaya setempat, maka bangsa ini akan berbuat sesuai dengan kebaikan yang hidup dalam budayanya tersebut, karena budaya merupakan pakaian yang semestinya melekat dalam diri setiap bangsa, sehingga insan Indonesia dikatakan berkarakter dan memiliki jati diri manakala pakaian budayanya melekat dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Begitupula masyarakat Sumedang, seandainya pendidikan budaya diabaikan begitu saja, maka itu merupakan suatu jalan untuk menjauhkan generasi mendatang dari nilainilai budayanya sendiri. Karena sampai saat ini, belum ada implementasi pendidikan budaya yang pasti di kabupaten Sumedang, sehingga diperlukan berbagai strategi implementasi pendidikan budaya yang jelas dan terarah di sekolah-sekolah.
Daftar Pustaka AnneAhira: Arti Budaya - Pakar Budaya, Bahasa, dan Makna Budaya. (2012, 25 Oktober).
AnneAhira
Online.
Diambil
25
Oktober
2012
dari:
www.anneahira.com. 25 Oktober 2012. Julia. (2011). Gaya Petikan Kacapi Tembang: Seputar Biografi Seniman Tembang Sunda. Bandung: Prodi Pendidikan Seni SPs UPI bekerjasama dengan CV. BintangWarliArtika. Mack, Dieter. (2010). Pendidikan Seni: Representasi Mental serta Konteks Budaya. Dalam Narawati, T & Masunah, J (Ed). (2010). Quo Vadis Seni
9
Tradisional V: Meningkatkan Pemahaman Silang Budaya Melalui Pendidikan Seni. Bandung: Prodi Pendidikan Seni SPs UPI. Sedyawati, Edi. (2011). Tradisi Sebagai Potensi Lokal Dalam Memperkuat Identitas Budaya Bangsa. Dalam Nurgaheni, T & Narawati, T (Ed). (2011). Quo Vadis Seni Tradisi 6: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Seni di Masyarakat. Bandung: Prodi Pendidikan Seni SPs UPI. Supri, Agung. (2012, 24 Oktober). Menjamurnya 'Geng', Picu Tawuran Antarpelajar.
Republika
[Online],
kolom
nasional.
Tersedia:
http://www.republika.co.id. [25 Oktober 2012].
Makalah disajikan dalam seminar internasional “Budaya Membentuk Jati Diri dan Karakter Bangsa” pada tanggal 13 November 2012 di FIB Universitas Andalas.
10