INSIDEN KRITIS CALON PSIKOLOG: SEBUAH REFLEKSI ATAS PRAKTIK KERJA PROFESI Ignatius Darma Juwono
[email protected] Abstrak Untuk menjadi psikolog di Indonesia, seorang mahasiswa lulusan S1 psikologi harus melanjutkan pendidikan ke jenjang magister di program Psikologi Profesi di mana komponen terbesar dalam pendidikannya adalah melakukan kerja praktik. Selama 560-640 jam mahasiswa melakukan penanganan kasus dengan dibimbing oleh seorang pembimbing kasus. Walau sudah dibimbing secara intensif, namun kompetensi sebagai psikolog tidak dapat dibentuk dalam waktu yang terbatas. Karena itu seorang calon psikolog perlu untuk melihat pengalamannya melakukan kerja praktik dan menemukan sendiri area pengembangan untuk menjadi psikolog yang kompeten. Penelitian ini bertujuan untuk melihat refleksi calon psikolog yang telah menyelesaikan praktik kerja profesi untuk menemukan kejadian-kejadian penting dan pembelajaran yang mereka dapatkan selama praktik kerja profesi menggunakan teknik insiden kritis yang biasa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan praktis atau pembelajaran bagi seseorang. Wawancara kelompok terfokus secara mendalam terhadap 12 mahasiswa menunjukkan bahwa praktik kerja profesi merupakan proses intensif yang menuntut mahasiswa bertemu berbagai pihak (klien, orangtua, pihak sekolah, pembimbing, dan penguji) memberi umpan balik secara nyata mengenai area pengembangan profesional yang masih harus dilakukan oleh para calon psikolog. Pengalaman kegagalan dalam membangun relasi profesional dengan klien, orangtua dan guru ataupun gagal dalam menganalisis kasus secara mendalam memberi dampak kesadaran akan pentingnya membina hubungan baik dengan pihak lain dan peningkatan penguasaan teoritis saat mereka praktik sebagai psikolog. Kata kunci: teknik insiden kritis, pendidikan profesi psikologi Abstract To become a licensed psychologist in Indonesia, a graduate of psychology major student must be enrolled in Master Program of Professional Psychology. Major components of the curriculum in this program is internship where students spend 560-640 hours under direct supervision of experienced psychologists to handle referred cases. Despite being given the chance to learn how to manage psychological cases directly under supervision, the competencies of a psychologist will not be met fully during this period. Hence, it is important for future psychologist to reflect on their internship experience to pinpoint their areas of development and create a development plan for themselves. This article intends to gather students reflection of their internship period: what events are important to them in this period and why they see it as important. Lessons of that experience will also be focus of this article. Using a critical incident technique as method of collecting events that helps participants to learn something, these questions will be explored. Focused group discussion of 12 post graduate students who have finished their internship was conducted. Result shows that during the internship period, the failure to build professional relationship with different parties (clients, parents, teachers, supervisors, and examiners) as well as failure to showcase their theoritical
33
foundation in analyzing the cases gave them insight on what to improve in the future as a practicing psychologist. Keywords: critical incident technique, professional psychology program Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan yang menyiapkan peserta didiknya untuk menjadi seorang tenaga kerja profesional dalam bidang tertentu. Untuk menjadi tenaga kerja profesional, beberapa profesi menuntut seseorang untuk menyelesaikan pendidikannya hingga ke tingkat profesi atau magister sebelum diakui sebagai pemilik profesi tertentu. Salah satu profesi yang menuntut seseorang untuk menyelesaikan pendidikan profesi setelah menempuh pendidikan sarjananya adalah profesi psikolog. Seorang psikolog adalah seorang yang telah menjalani pendidikan tingkat sarjana psikologi yang juga telah menyelesaikan pendidikan di tingkat magister psikologi profesi (Kode Etik Psikologi Indonesia, 2010) sehingga untuk menjadi seorang psikolog, seseorang tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan studi di tingkat sarjana di bidang psikologi, tapi juga menjalani pendidikan profesi yang saat ini diakomodasi oleh program magister psikologi profesi.Untuk menjadi psikolog, seorang calon psikolog diwajibkan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang psikologi dan melanjutkan di jenjang magister psikologi profesi selama 2,5 tahun (Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2013). Pendidikan di jenjang magister psikologi profesi dilaksanakan selama 2,5 tahun. Dalam periode ini seorang mahasiswa calon psikolog dituntut untuk menunjukkan kualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan psikologis dan pengembangan potensi individu, kelompok, dan sistem serta mengelola layanan dan riset psikologis secara profesional dengan berlandaskan kode etik (Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2013). Selama menempuh pendidikan di jenjang magister psikologi profesi, seorang mahasiswa calon psikolog dituntut untuk menyelesaikan pendidikan yang terfokus pada peningkatan kemampuan sebagai seorang peneliti (untuk bidang keilmuan) dan juga meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam bidang psikologi (sebagai psikolog). Karena itu seorang psikolog tidak hanya mendapatkan gelar magister dalam bidang psikologi dari perguruan tinggi penyelenggara, tapi juga gelar psikolog yang diberikan oleh organisasi profesi psikologi, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Seorang psikolog, sebagai seorang magister dan profesional, berbeda dengan ilmuwan psikologi pada umumnya. Hal ini terjadi karena sebagai seorang psikolog, ia memiliki kemampuan dan kewenangan untuk memberikan layanan psikologis kepada masyarakat pengguna jasa dengan menerapkan prinsip-prinsip psikodiagnostik yang terikat oleh kode etik profesi. Untuk itu dalam pendidikan di magister psikologi profesi, mahasiswa dilatihkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan berbagai metode asemen, psikodiagnostik, terapi, dan intervensi psikologis yang sesuai dengan minat tertentu (psikologi klinis, psikologi klinis anak, psikologi klinis dewasa, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi). Pengetahuan dan keterampilan ini diharapkan mampu diterapkan untuk menjawab permasalahan psikologis di tingkat individu, kelompok, organisasi, maupun sistem. Dalam pelaksanaannya, perguruan tinggi penyelenggara pendidikan psikologi membentuk sebuah Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI). AP2TPI bersama dengan HIMPSI, selaku organisasi profesi bekerjasama menentukan batasanbatasan pendidikan untuk beragam tingkatan pendidikan psikologi, termasuk magister psikologi profesi. AP2TPI dan HIMPSI juga memberikan batasan tentang apa yang perlu diberikan untuk
34
mahasiswa psikologi profesi dalam berbagai peminatan, sehingga kompetensi psikolog yang dihasilkan berbagai perguruan tinggi dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Hal ini tertuang dalam Keputusan Bersama AP2TPI nomor 03/Kep/AP2TPI/2013 dan HIMPSI nomor 003/PP-Himpsi/IV/13 yang menyatakan bahwa kurikulum magister psikologi profesi terdiri dari kelompok matakuliah kemagisteran (10-12 sks), kelompok matakuliah dasar praktik psikologi (10 sks), kelompok matakuliah praktik kerja profesi psikologi (18 sks), dan tesis (6 sks) (Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2013). Salah satu bagian yang disepakati bersama adalah jumlah matakuliah yang masuk dalam kelompok Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP) yang terdiri dari matakuliah pendalaman peminatan (4 sks), matakuliah praktik kerja profesi psikologi (10 sks), dan juga matakuliah pilihan (4-9 sks) (Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2013). Dari sebaran matakuliah tersebut tampak bahwa kelompok matakuliah PKPP merupakan bagian paling besar dalam kurikulum magister psikologi profesi dari 48 sks yang harus diambil seorang mahasiswa. Secara spesifik, matakuliah praktik kerja profesi psikologi adalah matakuliah dengan bobot paling besar, bahkan melebihi jumlah kredit untuk tesis (6 sks). Di dalam pelaksanaan matakuliah praktik kerja profesi psikologi, mahasiswa akan dituntut untuk menyelesaikan praktik kerja profesi di institusi selama 560-640 jam (setara dengan 10-12 sks) (Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2013). Selama proses tersebut mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan kasus-kasus permasalahan psikologis individual, kelompok, dan sistem sesuai dengan konteks kekhususan yang diambil. Mereka akan melakukan kontak dengan klien, asesmen psikologis, penegakan diagnosa, penyusunan rancangan intervensi, pelaksanaan intervensi, penyampaian hasil, dan ujian pada beberapa kasus sesuai ketetapan dari HIMPSI dan AP2TPI. Dalam matakuliah ini, seorang mahasiswa dituntut untuk mampu setidaknya memahami gejala dan merumuskan masalah psikologis; menentukan metode asesmen yang digunakan sesuai prinsip psikodiagnostik; melakukan analisis psikologis untuk penegakan diagnosis; memilih dan menentukan intervensi yang sesuai dengan diagnosis; dan melakukan evaluasi atas asesmen dan intervensi yang dilakukan dengan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi. Mereka, dengan dibimbing seorang dosen yang juga psikolog senior, diharapkan mampu menunjukkan kemampuan-kemampuan yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam upaya untuk membentuk kompetensi profesional seorang psikolog, mahasiswa calon psikolog akan dihadapkan pada sejumlah kasus untuk ditangani bersama dengan bimbingan seorang dosen dan psikolog senior. Melalui proses pembimbingan dan ujian berupa presentasi dan tanya jawab dari psikolog lainnya, diharapkan seorang mahasiswa calon psikolog dapat mempertajam kepekaan dan keterampilannya pada berbagai permasalahan psikologis yang ia hadapi. Kompetensi ini kemudian diuji oleh pihak organisasi profesi yang akan menentukan apakah yang bersangkutan layak untuk mendapat gelar psikolog. Walau telah mendapatkan pembimbingan intensif dan diujikan untuk kasus-kasus yang ditangani, pengembangan kompetensi profesional psikolog sangat bergantung pada refleksi pribadi dari mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini disebabkan penguasaan kompetensi psikolog tidak akan tercapai dalam 560 jam praktik dan harus terus dikembangkan sesudah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan profesinya. Dengan kata lain, angka 560-640 jam tentu tidak akan cukup untuk membentuk kompetensi profesional seorang psikolog, walau telah ada proses pembimbingan dalam penanganan kasus. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat untuk menjadi seorang psikolog seseorang dituntut untuk memiliki gelar doktoral di bidang psikologi di mana di dalamnya meliputi 1 tahun praktik tersupervisi yang diikuti dengan 1 tahun kerja praktik sesudah penyelesaian gelar doktoralnya (Association of State and Provincial Psychology
35
Boards, 2012). Walau setiap negara bagian punya aturan berbeda tentang jumlah jam kerja praktik, namun secara umum angka 1.500 jam kerja praktik adalah batasan minimal yang ditetapkan. Di Australia, seorang dinyatakan sebagai psikolog ketika melalui 3.080 jam kerja yang meliputi praktik kerja tersupervisi (2.784 jam), 176 jam bimbingan dengan pembimbing, dan setidaknya 120 jam pengembangan profesional (Psychology Board Australia, 2013). Dengan waktu yang sangat singkat dan jumlah kasus yang sedikit untuk menjadi dasar pembelajaran, maka muncul sebuah pertanyaan: seberapa jauh pengalaman menangani kasus dapat membantu calon psikolog untuk melihat area yang sudah ia kuasai dan area yang maish harus ia kembangkan. Untuk mencapai tujuan ini salah satu hal yang dapat dilakukanadalah melakukan refleksi atas perjalanan pendidikan selama menempuh magister psikologi profesi. Melalui refleksi ini mahasiswa diharapkan mampu melihat kesenjangan antara kemampuannya saat ini dengan apa yang perlu dicapai untuk masa depan sebagai seorang psikolog. Dengan melihat kesenjangan tersebut, maka mahasiswa dan juga calon psikolog dapat melihat area pengembangan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi ideal seorang psikolog. Refleksi mahasiswa calon psikolog merupakan salah satu jalan untuk memastikan bahwa calon psikolog terus mengembangkan kemampuannya untuk dapat memiliki kompetensi profesional dalam praktiknya. Penelitian ini bertujuan menggali refleksi atas perjalanan mahasiswa calon psikolog dalam menjalani matakuliah praktik kerja profesi psikologi. Melalui diskusi dan refleksi yang difasilitasi, peneliti berharap dapat mengumpulkan data tentang penghayatan setiap mahasiswa mengenai kekuatan dan kelemahannya sebagai seorang psikolog. Peneliti juga ingin melihat apa yang terjadi dalam PKPP yang memunculkan pemahaman akan kebutuhan pengembangan kompetensi yang diperlukan oleh setiap psikolog. Sehingga pertanyaan penelitian ini adalah: apa kejadian yang paling berkesan selama kerja praktik kerja profesi psikologi dan apa makna/pembelajaran yang dapat digunakan untuk praktik sebagai psikolog di masa yang akan datang. Kedua hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang apa saja yang dirasakan oleh mahasiswa calon psikolog, kemampuan yang sudah berkembang, dan kemampuan yang masih harus ditingkatkan dalam kaitan profesinya sebagai psikolog di masa mendatang. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi cakupan pembahasan pada praktik kerja profesi psikologi untuk bidang kekhususan pendidikan. Bidang ini dipilih selain karena merupakan bidang kekhususan yang didalami peneliti, tapi juga karena bidang ini cukup banyak berhubungan dengan pihak lain seperti sekolah (guru, konselor, dan kepala sekolah) dan juga keluarga yang memberi banyak pengaruh pada permasalahan klien. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kejadian yang berkesan dan pembelajaran yang didapatkan untuk praktik sebagai psikolog, peneliti menggunakan teknik insiden kritis. Teknik insiden kritis adalah teknik pengumpulan data berupa kejadian atau tingkah laku manusia yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan praktis bagi seseorang (Flanagan dalam Spencer-Oatey, 2013). Walau sering dikaitkan sebagai pengalaman yang dinilai sangat positif atau negatif, namun insiden kritis tidak selalu merupakan kejadian atau pengalaman yang luar biasa (Crisp, Lister, & Dutton, 2005; Tripp dalam Spencer-Oatey, 2003). Dalam teknik insiden kritis, pengumpulan kejadian yang disebut sebagai insiden kritis dapat dilakukan melalui wawancara individual, survey terbuka, melalui wawancara kelompok terfokus atau observasi langsung yang menghasilkan pemahaman akan sebuah masalah secara mendalam (Evardsson & Roos, 2001). Karena itu dalam teknik ini, responden biasa diminta untuk menggambarkan suatu kejadian yang bernilai dalam sebuah kontinum (seperti sebuah kejadian di mana responden merasa berhasil atau gagal; kejadian yang berkesan untuk
36
responden) dan kemudian diperdalam dengan sejumlah pertanyaan yang menggali makna personal kejadian tersebut untuk responden. Teknik insiden kritis awalnya digunakan untuk mempelajari mengapa seorang pilot tidak dapat menerbangkan pesawatnya; namun sekarang berkembang di berbagai bidang termasuk dalam bidang pemasaran dan juga pendidikan (Douglas, McClelland, Davies, & Sudbury, 2009). Melalui teknik insiden kritis, responden diminta untuk menjelaskan pemaknaan atas sebuah pengalaman positif atau negatif yang ia alami. Melalui proses ini, responden diminta untuk menemukan hal-hal penting yang berkontribusi atas keberhasilan atau kegagalan dalam sebuah konteks (Flanagan dalam Douglas, dkk., 2009). Teknik insiden kritis telah banyak digunakan dalam dunia pemasaran untuk menangkap pengalaman positif/negatif konsumen dengan sebuah produk (Evardsson & Roos, 2001), namun juga dapat digunakan untuk proses evaluasi kualitatif dalam pembelajaran (Crisp, Lister, & Dutton, 2005). Crisp, Lister, dan Dutton (2005) bahkan menggunakan teknik insiden kritis untuk mengevaluasi proses kerja praktik untuk mahasiswa Skotlandia yang mengambil jurusan Pekerjaan Sosial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa refleksi dan pemaknaan dari partisipan membantu mereka untuk menemukan kelemahan dan pembelajaran lebih lanjut daripada sekedar ujian dalam bentuk yang konvensional. Teknik insiden kritis ini dirasa sesuai untuk menggali pemaknaan dalam pembentukan kompetensi psikolog karena selama pelaksanaan matakuliah praktik kerja profesi psikologi mahasiswa akan mengalami berbagai kejadian yang unik dan berbeda satu dengan lain yang dapat dimaknai secara personal oleh setiap individu. METODE Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggali pengalaman partisipan dalam menjalankan praktik kerja profesi. Untuk mencapai kedalaman data yang diharapkan, metode wawancara kelompok terfokus digunakan dalam penelitian ini. Wawancara kelompok terfokus, sebagai bagian metode pengambilan data kualitatif, menjadi relevan karena akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang pertanyaan penelitian. Penelitian menggunakan wawancara kelompok terfokus karena metode ini dapat memberikan kesempatan para partisipan untuk memberikan persepsinya dan menanggapi respons dari peserta lain. Hal ini cukup sesuai dengan kebutuhan penelitian, karena bisa saja satu jenis kejadian mempengaruhi beberapa calon partisipan (seperti kesulitan membina relasi dengan pihak keluarga), namun persepsi dan pembelajaran dari masing-masing peserta dapat saja berbeda. Partisipan Penelitian Partisipan dari penelitian ini adalah 12 mahasiswa angkatan 2012 program Magister Psikologi Profesi di Unika Atma Jaya bidang kekhususan Psikologi Pendidikan yang tengah menjalani praktik kerja profesi psikologi. Penelitian ini tidak menggunakan teknik sampling tertentu karena merupakan seluruh anggota populasi mahasiswa Psikologi Pendidikan Anak dan Remaja yang ada di fase akhir kerja praktik. Penelitian juga merupakan penelitian populasi pada bidang kekhususan tertentu dan universitas tertentu yang tidak ditujukan untuk memberi gambaran universal akan proses kerja praktik. Pemilihan partisipan ini dilakukan karena para partisipan sedang berada di fase akhir praktik kerja profesi, sehingga pengalaman mereka masih aktual dan diharapkan dapat
37
memberikan informasi yang lebih kaya dibandingkan dengan para mahasiswa/alumni yang sudah melewati praktik kerja profesi di tahun-tahun sebelumnya. Prosedur Penelitian Partisipan yang telah menjalani kerja praktik profesi selama kurang lebih 10 bulan dikumpulkan di periode-periode tertentu yaitu di akhir bulan ketiga, bulan keenam, dan bulan kesepuluh untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan pengalaman praktik kerja mereka. Mereka dikumpulkan di akhir bulan ketiga, bulan keenam, dan bulan kesepuluh. Pada saat dikumpulkan, mereka diminta menjawab pertanyaan terbuka yang menanyakan mengenai kejadian yang paling berkesan selama periode tersebut serta alasannya. Melalui diskusi dalam periode berikut, para calon psikolog juga memperoleh pertanyaan-pertanyaan terbuka yang sama. Lewat pertanyaan terbuka ini, peneliti berusaha menggali apa yang mereka pelajari dari kejadian tersebut dan manfaatnya untuk mereka saat praktik sebagai psikolog di masa mendatang. Dalam kedua diskusi kelompok terfokus ini, para partisipan diminta untuk menuliskan dulu secara pribadi jawaban atas masing-masing pertanyaan lalu diminta untuk membagikan pengalamannya di dalam kelompok untuk dapat memperkaya hasil. Pada pertemuan terakhir, peneliti meminta para partisipan untuk membuat grafik perjalanan praktik kerja dan kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam praktik kerja. Setelah membuat grafik tersebut, peneliti kemudian meminta para partisipan untuk kembali melihat kejadian-kejadian tersebut dan mengapa kejadian tersebut mereka anggap penting dan dampaknya ke pembelajaran pribadi. Hasil dari tiga pertemuan ini kemudian diolah dan dianalisis untuk melihat refleksi partisipan atas area pengembangan diri yang masih diperlukan untuk menjadi psikolog yang ideal dalam pandangan mereka. Analisis tematik digunakan untuk mencapai tujuan ini. Analisis tematik adalah metode untuk menemukan, menganalisis, dan melaporkan tema-tema dalam data kualitatif (Braun & Clark, 2006). Analisis tematik membantu mengolah dan mendeskripsikan data penelitian secara terperinci. Pendekatan analisis tematik ini dirasa tepat karena peneliti memiliki tujuan mengeksplorasi pembelajaran partisipan dalam penelitian tanpa memiliki dugaan terlebih dahulu. Dengan model ini, peneliti melakukan koding dari data dan hasil koding tersebut diolah menjadi tema-tema yang dianalisis secara mendalam sebelum menentukan tema akhir yang dilaporkan dalam penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Praktik Kerja Profesi Psikologi Pendidikan Anak dan Remaja di Unika Atma Jaya Unika Atma Jaya selaku salah satu perguruan tinggi yang memiliki program pendidikan psikolog profesi memiliki tiga peminatan: psikologi klinis, psikologi industri dan organisasi, serta psikologi pendidikan anak dan remaja. Peminatan psikologi pendidikan anak dan remaja merupakan peminatan termuda yang baru dibuka pada tahun 2010. Untuk menjadi seorang psikolog pendidikan, seorang mahasiswa harus menyelesaikan lima kasus individual di berbagai satuan tingkat pendidikan (PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, dan SLB), satu kasus kelompok, dan satu kasus sistem. Partisipan memulai praktik kerja dengan menangani kasus individu PAUD/TK, lalu berlanjut ke kasus SD, SLB, SMP, dan SMA/SMK. Untuk setiap kasus individual mahasiswa akan datang ke sebuah institusi pendidikan dan diminta menangani siswa yang dirujuk oleh
38
sekolah. Mereka diberikan waktu 2-3 minggu untuk mengambil data (observasi sekolah, wawancara guru, siswa, orangtua), kunjungan ke rumah, dan melakukan pemeriksaan psikologis. Mahasiswa lalu diminta untuk membuat laporan komprehensif dan menyampaikan hasilnya kepada sekolah dalam bentuk konferensi kasus dan juga siswa/orangtua dalam bentuk konseling penyampaian hasil. Di tengah-tengah proses ini, mahasiswa akan diujikan analisisnya oleh dua psikolog senior lain dalam bentuk ujian kasusistik. Semua ini dilakukan mahasiswa secara individual dengan didampingi oleh pembimbing kasus. Setelah menyelesaikan kasus individunya, mahasiswa dituntut untuk melakukan kasus kelompok dan sistem dalam kelompok tiga mahasiswa. Pada kasus kelompok dan sistem ini, mereka dituntut untuk melakukan analisis pada sekelompok kecil bagian dari populasi sekolah yang dirasa perlu untuk mendapatkan bantuan psikologis secara bersama-sama. Untuk itu mereka dituntut untuk melakukan analisis kebutuhan, menyimpulkan hasil analisis kebutuhan, dan membentuk program intervensi dan menjalankannya kepada komunitas yang dituju. Mahasiswa kemudian diminta mengevaluasi pelaksanaan program intervensi tadi dan memberi rekomendasi sistem yang dapat menunjang perubahan yang diharapkan pada komunitas. Usulan sistem ini, walau saling berhubungan, namun dikerjakan secara individual di dalam kelompok partisipan. Seperti juga dalam kasus individu, mahasiswa akan diujikan oleh dua pembimbing kasus dan melaporkan hasil intervensi dan usulan sistem mereka dalam bentuk konferensi kasus. Konseling hasil tidak dilakukan karena tidak sesuai dengan sifat kasus kelompok ini. Gambaran Kejadian-Kejadian Penting dan Pembelajarannya Masalah Membina Relasi Secara Profesional Terhadap Berbagai Pihak Para partisipan menunjukkan beragam kejadian yang mereka nilai penting selama praktik kerja profesi. Pengalaman praktik langsung dan bertemu dengan klien adalah salah satu kejadian penting yang dinilai positif oleh para partisipan. Hal ini terjadi karena para partisipan sebenarnya sangat menantikan menjalani peran sebagai psikolog yang harus menangani individu-individu yang dirujuk oleh pihak sekolah. “Selama ini pembelajaran di kelas rasanya bersifat teoritis dan bertemu hanya sebatas teman, yang juga dari kalangan psikologi. Dengan adanya praktik kerja kasus 1-3 saya mendapatkan pengalaman dan kesempatan berhubungan dengan berbagai pihak. ” Sehubungan dengan hal ini, para partisipan juga menilai pengalaman bertemu dengan klien ataupun wali sebagai pengalaman yang cukup penting. Penerimaan dan keterbukaan dari klien maupun wali akan memberikan pengalaman yang dinilai positif untuk partisipan. Sebaliknya, penolakan dari klien maupun orangtua juga akan memberikan pengalaman yang negatif untuk para partisipan, apalagi bila karena suatu alasan tertentu partisipan harus mengalami pergantian kasus (karena klien sakit berkepanjangan atau karena menolak didampingi). Dalam penanganan kasus, para partisipan sebenarnya menilai positif keberagaman kasus yang mereka temukan selama penerimaan dan respons dari klien maupun lingkungan terdekatnya positif. Sekalipun sifat dasar kasus yang ditangani sulit (seperti anak berkebutuhan khusus), namun penerimaan dari klien dan lingkungan yang positif terhadap partisipan akan memberikan pembelajaran yang dinilai positif oleh mahasiswa. Hal ini akan tampak pada kelegaan yang
39
mereka ekspresikan setelah melakukan konseling hasil yang mampu memberikan pemahaman baru untuk orangtua/klien ataupun konferensi kasus yang dinilai positif oleh pihak sekolah. “.....paling berkesan adalah ketika kita menemui orang yang benarbenar membutuhkan bantuan. Ketika kita, sekolah dan klien (keluarga) dapat menjalin kerjasama yang baik maka jalannya proses pemeriksaan akan berjalan juga dengan baik, terlepas dari hambatan bertubi-tubi yang sangat mungkin akan ditemui.” Hal yang berbeda ketika menghadapi situasi di mana klien, orangtua ataupun sekolah kurang memberi apresiasi atas pendampingan yang dilakukan. Untuk para calon psikolog, pengalaman yang demikian merupakan pengalaman yang negatif . “Saya merasakan . . . . usaha memberikan saran untuk optimalisasi klien dan strategi mengajar di kelas, namun terlihat kurang dimaknai mendalam oleh wali kelas klien saat ini” Berdasarkan pengalaman praktik kerja profesi psikologi yang dijalani, para partisipan melihat beberapa hal yang dapat mereka kembangkan saat sudah praktik mandiri nanti sehubungan dengan kemampuan membina relasi dengan pihak lain. Salah satunya adalah kemampuan untuk menyampaikan hasil secara profesional kepada klien (baik itu siswa, orangtua, maupun sekolah) ataupun profesional lain yang berhubungan dengan kasus. “proses pelaksanaan asesmen . . . . bisa saya pelajari mulai cara membawakan diri pada anak-anak yang memiliki usia dan tipe yang beragam, dan bagaimana cara mengendalikan situasi ketika berhadap dengan anak yang tidak “mood” dan sulit untuk diajak kooperatif selama pengetesan.” Dalam penyampaian hasil kepada klien, orangtua/wali, ataupun profesi lain yang berhubungan dengan kasus, partisipan menyatakan mereka banyak mendapat pemahaman baru melalui kerja praktik. Pengalaman konferensi kasus dan konseling menunjukkan bahwa pemilihan bahasa dan bahasa tubuh yang ditampilkan penting untuk mereka perhatikan sebagai psikolog. Adakalanya sebagai psikolog mereka harus lebih tegas dalam menghadapi orangtua/klien yang menunjukkan penolakan. Hal ini juga merupakan hal baru yang mereka pelajari dari proses bersama pembimbing. Partisipan lain juga menyatakan bahwa membawakan diri untuk menyampaikan hasil yang dapat diterima oleh guru atau orangtua juga merupakan hal yang menantang, sehingga ia belajar untuk lebih fleksibel dan melihat sudut pandang guru untuk dapat memastikan saran yang diajukan dapat diterima oleh pihak lain sebagai mitra kerja. “Saya juga waktu itu bukan orang yang bisa konfrontasi gitu. Namun setelah melihat pembimbing melakukan konseling pada orang tuanya dan memaparkan berbagai fakta yang membuat orang tuanya kaget juga.”
40
“di sana saya diharuskan untuk menyampaikan apa yang sudah saya lakukan selama ini terus juga memberikan beberapa saran kepada orang tua walinya dan kita juga diskusi.” “Itu sih mas pengalaman saya, yaitu bertemu dengan guru-guru sekolah yang sulit sekali untuk menerima masukan.” Selain kemampuan membina relasi secara profesional dengan berbagai pihak, para partisipan (seperti menyampaikan hasil pemeriksaan secara profesional kepada klien, orangtua, dan guru), para calon psikolog juga mendapatkan tambahan pengetahuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam penanganan kasus. Salah satu contoh pengetahuan yang didapatkan adalah pengetahuan tentang berbagai jenis terapi untuk intervensi kasus, utamanya kasus pendidikan anak berkebutuhan khusus. Menurut salah satu calon psikolog, hal ini akan membantunya untuk memberikan rekomendasi intervensi yang sesuai saat praktik sebagai psikolog mandiri nantinya. Masalah Gaya Pembimbingan yang Berbeda Sehubungan dengan proses yang dijalani, para partisipan juga menilai bahwa proses pembimbingan yang dilakukan dengan berbagai pembimbing merupakan pengalaman yang mengasah kemampuan mereka untuk meyesuaikan diri. Para partisipan menilai bahwa gaya kerja yang berbeda dari pembimbing menuntut mereka untuk fleksibel. Terkadang proses pembimbingan ini bisa menjadi sangat membantu untuk mahasiswa, namun ada kalanya mereka juga merasa sangat tertekan dengan gaya pembimbingan psikolog senior tertentu. “Untuk saya kasus ini paling menguras mental dan fisik saya. Pembimbing meminta cara penulisan laporan yang berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, membuat saya agak kewalahan.” “paling berkesan lainnya adalah pembimbingan kasus. Bagi saya, pengalaman ini sangat berkesan. Di sini saya harus belajar bagaimana cara untuk bekerjasama dengan pembimbing yang berbeda-beda. Saya belajar untuk mengimbangi dan mengikuti ritme pembimbing. Di satu sisi terkadang ada beberapa hal yang membuat lelah (selama proses pembimbingan), namun hal ini menjadi pelajaran berharga bagi saya.” Walau pengalaman mendapatkan gaya pembimbingan berbeda dapat dilihat sebagai sesuatu yang menantang bagi para calon psikolog, namun mereka juga melihat bahwa variasi pembimbing ini memperkaya cara dalam melihat sebuah masalah. Mereka menjadi lebih terlatih untuk peka melihat berbagai sudut pandang dan menyesuaikan diri dengan tuntutan yang berbeda. “. . . .adanya variasi dari sekolah yang dikunjungi serta variasi dosen pembimbing dengan berbagai pengalaman yang berbeda, banyak memberikan insight kepada saya dalam melalui proses ini. Contohnya seperti menggunakan berkas rapor sebagai panduan wawancara untuk
41
dikroscek dengan kejadian yang dialami, seandainya ada perubahan nilai yang menonjol” Para partisipan juga mendapatkan pemahaman bahwa dalam praktiknya sebagai psikolog, mereka tetap harus mengembangkan diri sebanyak mungkin. Penguasaan teori dan meningkatkan bacaan adalah hal yang esensial untuk membantu praktik sebagai seorang psikolog. “supervisor kasus meminta saya lebih banyak membaca literatur terlebih dahulu yang terkait dengan kekhususan klien. Ini adalah kelemahan saya dan sedang dalam fase memperbaikinya” Pengaruh Teman dan Dukungan Sosial yang Diterima Para partisipan juga merasa dapat mengamati dan mempelajari banyak hal bukan saja dari proses yang dialami pribadi, namun juga dari pengalaman rekan-rekan yang lain, baik gagal maupun berhasil. “Tadinya saya sangat takut maju kasuistik apalagi dengan kasus yang belum jelas ujung pangkal dan akhirnya tetapi ternyata melalui kasuistik saya malah mendapatkan masukan dan arahan yang berguna untuk kasus tersebut. Selain tegang sebagai peserta kasuistik, ternyata menonton teman yang sedang kasuistik juga menegangkan” “. . . .membuat saya "keteteran" dan merasa cemas mengingat 2 teman dalam tim saya sudah lebih maju dalam hal pengambilan data. Mereka dapat dengan mudah menentukan alat-alat apa saja yang akan digunakan sementara saya masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru dan merasa tidak yakin” Dari kehadiran teman-teman dan pengalaman mereka (baik berhasil maupun tidak), partisipan menyatakan bahwa pengalaman praktik kerja teman-teman yang mengalami keberhasilan dan kegagalan memberi kesempatan baginya untuk lebih menggunakan “hati” dalam bekerja dan mendukung orang di sekitar. Ia menyatakan selama ini ia lebih sibuk fokus pada penyelesaian masalah dan kurang memperhatikan aspek afeksi yang kadang lebih diperlukan untuk membantu teman bangkit. Pengalaman kerja praktik memberikan kesempatan ini baginya. Manajemen Waktu dan Kecemasan Hal lain yang juga dinyatakan sebagai pengalaman menarik adalah perkembangan individual yang dirasakan para partisipan, misalnya dalam pengelolaan waktu dan daya tahan terhadap tekanan. Partisipan menyatakan bahwa tuntutan dan batasan waktu pengambilan data ditambah dengan pengaturan jadwal yang datang pada saat yang hampir bersamaan menyebabkan mereka harus melakukan pengambilan keputusan yang cepat dan meningkatkan manajemen waktu mereka.
42
“saya merasa dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik, berpikir fleksibel, dan cepat dalam mengambil keputusan di mana ketiganya merupakan hal yang menjadi kendala bagi saya” Terbatasnya waktu para partisipan dalam melakukan analisis juga membantu partisipan mengembangkan perencanaan asesmen untuk kasus. Dengan batasan waktu yang dimiliki, mereka dituntut untuk mengambil keputusan yang tepat dan terkadang antar pembimbing punya perbedaan yang cukup besar. Namun demikian, pengalaman ini memberi pemahaman bagi partisipan untuk lebih obyektif melihat argumentasi dan lebih kreatif untuk mengembangkan asesmen. Aspek lain yang berkembang adalah kemampuan dalam melihat suatu masalah. Salah satu partisipan menyebutkan pengalaman gagal di salah satu kasus memberikan kesempatan untuk melihat dirinya lebih jauh dan menemukan kelebihan serta kekurangan diri yang harus diperbaiki melalui diskusi dengan pembimbing maupun teman. Beberapa partisipan juga menyatakan bahwa tuntutan tenggat waktu, ujian, tanggung jawab profesional kepada pihak eksternal yang memberikan tekanan besar membantu diri mereka untuk mengembangkan rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan, serta kemampuan untuk mengelola tugas dan waktu. Hal ini menjadi pembelajaran personal yang mungkin tidak selalu berhubungan dengan praktik sebagai psikolog, tapi mereka melihat manfaatnya besar untuk pengembangan diri. “....Pembimbing membantu saya untuk melihat apa yang sebenarnya menjadi masalah saya saat itu dan membantu saya dalam melakukan relaksasi. Hal tersebut membuat saya lebih tenang dan mampu berpikir lebih jernih daripada sebelumnya. .... pada saat saya pada titik di paling bawah mereka (teman-teman) tetap mengingatkan saya untuk melihat sisi positif yang sering kali saya lupa untuk lihat” “saya harus lebih berani untuk memutuskan, ya walaupun tidak asal memutuskan, harus dipertimbangkan dengan matang.’ “waktu pas membekali diri untuk sidang internal. Waktu itu sangat sibuk sekali, karena dikejar deadline segala macem. Jadi saya sempat ambruk. Namun menurut saya itu membuat saya bisa berproses. Saya mungkin dikasih kesempatan untuk mengenali diri, tidak hanya terpaku pada tugas dan tanggung jawab saja, namun juga diri sendiri” “Selama proses refleksi dalam menjalani kasus ini saya menyadari belum memiliki kepercayaan diri yang cukup. Padahal ketika saya tidak memiliki kepercayaan diri maka akan mengakibatkan saya ragu. . . akhirnya tidak tahu harus melakukan apa dan berbuat apa. Ketika kita sendiri tidak yakin dengan apa yang kita kerjakan maka tidak salah jika orang lain menjadi tidak percaya juga dengan apa yang kita kerjakan. Selain itu kemampuan untuk mengatur waktu juga masih perlu diperbaiki.... juga mengakibatkan beberapa pengerjaan akhirnya keteteran di belakang.
43
Bertukar pikiran dengan orang lain juga termasuk hal yang perlu ditingkatkan" Batasan Wewenang dan Tanggung Jawab Sebagai Psikolog Pendidikan Selain dari kompetensi profesional sebagai seorang psikolog, ada juga pengalaman praktik kerja profesi yang menimbulkan pertanyaan kritis tentang batasan wewenang sebagai psikolog pendidikan. Kebingungan ini muncul terutama ketika para calon psikolog menjalani proses kasus kelompok dan sistem yang menuntut mereka untuk melakukan asesmen kebutuhan dan permasalahan kelompok serta memberikan intervensi yang didukung dengan rekomendasi sistem penunjang. Terkadang intervensi yang mereka buat atau usulkan berupa pelatihan atau usulan sistem yang selama ini kurang terbahas pada pembahasan kelas yang lebih fokus pada perspektif individu. Hal ini kadang membuat calon psikolog mempertanyakan apakah sungguh ini adalah tanggung jawabnya atau merupakan cakupan bidang lain. “...saya masih bingung tentang batasan saya. Jadi kadang guru berekspektasi lebih terhadap saya. Jadi mereka menganggap bahwa saya bisa memberikan suatu kontribusi apa pada mereka. Tapi di sisi lain saya juga butuh batasan tentang hal tersebut, mana yang bukan ranah saya dan mana yang ranah pendidikan karena saya masih nge-blank bahwa terkadang sih masih kalo pengembangan begitu saya terbawa apakah ini PIO atau memang ini psikologi pendidikan” SIMPULAN DAN SARAN Pengalaman praktik kerja profesi psikologis merupakan pengalaman belajar intensif yang meninggalkan berbagai kesan mendalam untuk para partisipan yang merupakan mahasiswa calon psikolog. Kesan mendalam ini muncul mulai dari beragam peristiwa seperti relasi dengan orang lain (klien, orangtua/wali, sekolah, profesional lain, pembimbing, dan penguji), tantangan yang dihadapi dari sifat dasar keluhan/masalah klien, maupun hubungan dengan sesama rekan dalam perjalanan kerja praktik. Variasi kasus, pembimbing, tuntutan sekolah, dan juga perbedaan individu antar partisipan turut memberikan andil pada bagaimana mereka melihat sebuah kejadian dan bagaimana mereka mendapatkan pembelajaran berdasarkan kejadian tersebut. Beberapa insiden atau kejadian yang dinilai penting dan memberi kesan adalah: penerimaan klien dan orangtua (baik itu disambut baik atau ditolak); ketidakyakinan akan proses asesmen dan kesimpulan yang dirancang; kesempatan untuk melakukan konseling maupun konferensi kasus; maupun saat persiapan dan pelaksanaan ujian adalah beberapa kejadian yang disebut memberi kesempatan belajar yang sangat besar bagi para partisipan. Adapun pembelajaran yang mereka dapatkan melalui kegiatan kerja praktik dapat dilihat dari dua bagian besar: (1) pembelajaran yang berhubungan dengan kompetensi psikolog dan (2) pembelajaran yang sifatnya pengembangan personal dan bukan merupakan bagian dari kompetensi profesional psikolog. Kedua bagian ini memberi kontribusi yang sama besarnya untuk partisipan. Dari aspek kompetensi profesional psikolog, para mahasiswa belajar untuk memperluas pengetahuan mereka tentang berbagai kekhususan anak, salah satunya dengan teori dan diskusi bersama rekan lain. Mereka juga belajar untuk berhubungan dengan profesi lain agar dapat membangun kemitraan yang sinergis. Para partisipan juga belajar dari pembimbingan yang bervariasi untuk menemukan dan mengambil sikap atas suatu masalah dan
44
mempertanggungjawabkannya, sehingga asesmen dan hasil yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Dari sisi personal, mahasiswa melihat praktik kerja profesi sebagai proses yang menguras emosi dan fisik mereka. Tuntutan terhadap institusi mitra, tuntutan dari pembimbing, dan ujianujian tidak jarang membuat mereka mengalami kelelahan fisik dan emosional. Dalam hal ini mereka belajar untuk bagaimana mengelola emosi dan tetap bertanggungjawab untuk memenuhi tenggat, tanpa mengabaikan kondisi fisik mereka. Mereka juga belajar untuk lebih peka satu dengan yang lain serta belajar mengelola waktu dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah melihat refleksi calon psikolog melalui insiden kritis dikaitkan dengan pengembangan kompetensi sebagai seorang psikolog. Berdasarkan wawancara ditemukan bahwa para partisipan melihat pengembangan sebagai seorang psikolog tidak terbatas pada kemampuan dasar profesi (mengembangkan tujuan pemeriksaan, perancangan kegiatan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, analisis, penyusunan rancangan intervensi, pelaksanaan intervensi, evaluasi intervensi, dan ketaatan pada kode etik profesi), tapi juga pengembangan aspek personal. Dalam praktiknya, mahasiswa diujikan oleh penguji dari organisasi profesi dengan melihat lebih ke kompetensi sebagai seorang psikolog. Aspek personal dari pengalaman kerja praktik kurang dihargai sebagai bagian yang juga berkontribusi pada kompetensi seorang psikolog. Karena itu peneliti melihat bahwa ke depannya, aspek ini bisa digunakan juga sebagai dasar pertimbangan. Misalnya bagaimana mahasiswa bisa mengatur waktu dalam menyelesaikan kasus, kemampuan untuk bangkit saat gagal, dan pengalaman personal lainnya bisa digunakan sebagai bagian ujian untuk menentukan layak/tidaknya seorang mahasiswa menyandang gelar psikolog. Hasil wawancara kelompok terfokus pada para partisipan menunjukkan bahwa pengalaman selama praktik kerja profesi merupakan pengalaman yang intensif untuk mereka. Para partisipan menilai bahwa pengalaman di berbagai kasus memberikan pembelajaran yang mendalam bagi mereka. Walau demikian, dari wawancara kelompok terfokus ini hal yang sangat menarik adalah para partisipan mengemukakan pemaknaannya lebih dari kasus individual yang pernah mereka tangani. Tidak satupun dari mereka yang membahas mengenai kasus kelompok ataupun sistem. Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa pemahaman mereka mengenai peran psikolog dalam dunia pendidikan terbatas pada penanganan kasus individual. Para partisipan kurang melihat manfaat dari kasus kelompok atau sistem atau gagal melihat peranan psikolog pendidikan dalam penanganan kelompok maupun sistem di sebuah institusi. Hal ini menyebabkan mereka bingung apa yang dituntut dari mereka dari kasus kelompok dan sejauh mana mereka berwenang melakukan usulan intervensi yang dibuat. Para calon psikolog tampaknya cukup terarah bahwa peran serta psikolog pendidikan ada pada bagaimana pembelajaran pada anak (termasuk yang berkebutuhan khusus) dapat terjadi dengan optimal dengan mempertimbangkan tumbuh kembangnya, perbedaan individu, dan motivasi belajarnya. Hal ini sebenarnya sejalan dengan definisi Ormrod (2008) tentang psikologi pendidikan yang merupakan bidang ilmu yang mempelajari bagaimana terjadinya pembelajaran pada manusia. Walau demikian, seorang psikolog pendidikan juga perlu menggali hal-hal terkait pembelajaran yang menghambat maupun memfasilitasi belajar pada siswa (Elliot, Kratochill, Cook, & Travers, 2000), sehingga lingkungan belajar, guru, dan orangtua juga merupakan bagian penting yang harus dipahami dinamikanya satu dengan yang lain. Terlebih tumbuh kembang dan juga pembelajaran pada anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan terdekat (microsystem) seperti sekolah dan rumah dan juga interaksi di antaranya (mesosystem) (Bronfrenbrenner dalam Santrock, 2011).
45
Kebingungan partisipan tentang batasan peran dan tanggung jawab seorang psikolog di dunia pendidikan ini merupakan hal yang harus dipikirkan pengelolaannya ke depan. Program studi perlu mempertimbangkan cara untuk mengembangkan wawasan para mahasiswanya bahwa tugas dan tanggung jawab psikolog pendidikan di sekolah tidak terbatas pada kasus individu siswa saja. Sebagai psikolog pendidikan tidak jarang harus melakukan penanganan pada guru atau karyawan bermasalah dan bekerja sama dengan kepala sekolah untuk mengembangkan sistem dan budaya sekolah yang menunjang atmosfir pembelajaran yang positif. Hal ini tentu perlu dipertimbangkan dalam kurikulum. Hal lain yang menarik dalam penelitian ini adalah para partisipan melihat dari serangkaian kejadian penting yang mereka alami bahwa kejadian-kejadian yang mereka nilai negatif memberikan pembelajaran lebih kepada mereka. Hal ini mungkin saja mengindikasikan bahwa mereka melihat kegagalan atau ketidakberhasilan dalam satu langkah memberi lebih banyak umpan balik daripada keberhasilan. Dari wawancara kelompok terfokus, hanya sedikit refleksi partisipan yang menggambarkan keberhasilan dalam suatu kejadian. Seorang partisipan menyatakan bahwa keberhasilan yang selalu dikenangnya adalah saat ia belajar berbagai jenis terapi pada kasus ABK yang ia tangani dan hal ini membantunya untuk memberi rekomendasi terapi yang tepat bagi kliennya di masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Association of State and Provincial Psychology Board. (2012). An informative look at ASPPB for students, licensure applicants, and licensed psychologist. Georgia: Association of State and Provincial Psychoogy Board Braun, V. dan Clarke, V. (2006) Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3 (2). Hal 77-101. Diunduh pada 25 Februari 2015 dari http://eprints.uwe.ac.uk/11735/2/thematic_analysis_revised... Crisp, B.R., Lister, P.G., dan Dutton, K. (2005). Integrated assessment: New assessment methods (Evaluation of an innovative method of assessment: critical incident analysis). Scottish Institute for Exelence in Social Work Education. Douglas, J.A., McClelland, R., Davies, J., dan Sudbury, L. (2009). Using critical incident technique (CIT) to capture the voice of the student. The TQM Journal, 21(4), 305-318. Emerald Group Publishing Limited Elliot, S.N., Kratochwill, T.R., Cook, J.L., dan Travers, J. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning (3rd edition). Singapore: McGraw-Hill Book, Co. Evardsson, B dan Roos, I. (2001). Towards a framework for analysing the criticality of critical incident. International Journal of Service Industry Management, 12(3), 251-267. MCB University Press. HIMPSI JAYA. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta : Himpsi Jaya. Kurikulum Program Psikologi Profesi. (2013). Surat Keputusan Bersama 03/Kep/AP2TPI/2013 dan HIMPSI nomor 003/PP-Himpsi/IV/13 Ormrod, J.E. (2011). Educational psychology: Developing learners (6th edition). New Jersey: Pearson International Psychology Board of Australia. (2013). Guidelines for 4+2 internship programs for provisional psychologist and supervisors. Melbourne: Psychology Board of Australia. Santrock, J. W. (2011). Life Span Development (13th ed). Singapore: Mc Graw Hill, Inc
46
Spencer-Oatey, H. (2013). Critical incidents: A compilation of quotation for the intercultural field. Artikel diunduh pada 30 November 2013 dari http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/al/globalpad/interculturalskills/
47