Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi
Selama lebih dari satu dekade ini, pembangunan yang mengacu pada Millenium Development Goals belum sepenuhnya memberikan perhatian ataupun concern terhadap pembangunan yang berkeadilan dan memihak kepada kelompok minoritas termasuk penyandang disabilitas. Kelompok marginal yang jumlahnya jutaan bahkan puluhan juta di negara ini adalah kelompok yang paling tertinggalkan dalam pembangunan. Fokus pembangunan baik dari segi kewilayahan, letak geografi, kesenjangan antara timur dan barat, belum lagi persoalan keberagaman atau diversity menjadi hal-hal penting yang terlewatkan dalam pembangunan. Di beberapa begara maju, disabilitas adalah bagian dari prinsip keberagaman. Persoalan-persoalan yang terjadi:
1. Permasalahan persepsi yang tidak benar dan tidak proper dalam memandang disabilitas. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti pendekatan sosial budaya, pendekatan agama, warisan kolonialisme, pendekatan kesehatan yang selama berabad abad mengendap dalam pola pikir masyarakat pada umumnya. a. Dikotomi normal dan tidak normal, sempurna dan tidak sempurna, berunutung dan tidak beruntung, erat dalam kehidupan penyandang disabilitas. b. Ketidakmampuan dalam konteks bibit, bebet, dan bobottidak dipandang dalam konteks kekhususan sebagai bagian dari perbedaan. c. Akibat kutukan, dosa, dan hal hal supranatural lain menyebabkan penyandang disabilitas dipandang sebagai makhluk aneh dan menakutkan. d. Identik dengan sesuatu yang disandang, dan diderita sebagai penyakit. e. Makhluk yang harus dikasihani. f. Ditempatkan pada posisi yang eksklusif , seperti di Sekolah Luar Biasa, panti, dan lain lain. g. Pada era perang dunia dianggap sebagai beban yang harus dimusnahkan. Beberapa hal di atas terus mempengaruhi pola pikir masyarakat umum dalam memandang dunia disabilitas. Diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas bahkan dimulai dari diskriminasi persepsi, belum lagi jika kita berbicara wanita penyandang disabilitas tentulah mereka mengalami multi diskriminasi atas perspektif gender yang mereka sandang. 2. Ketimpangan, ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan dalam pembangunan bagi disabilitas. Banyak kebijakan pemerintah yang sudah diterbitkan baik dalam bentuk Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, bahkan Peraturan Dearah yang mencoba melindungi eksistensi penyandang disabilitas sebagai subjek dan penerima manfaat pembangunan di Indonesia.
Adapun kebijakan tersebut seperti: 1. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatandan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” 2. UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; 3. UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat; 4. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; 5. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; 6. UU No. 28/ 2002 tentang Bangunan Gedung; 7. UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan; 8. UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 9. UU No. 3/ 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; 10. UU No. 23/ 2007 tentang Perkeretaapian; 11. UU No. 17/2008 tentang Pelayaran; 12. UU No. 1/ 2009 tentang Penerbangan; 13. UU No. 11/ 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 14. UU No. 22/ 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 15. UU No. 25/ 2009 tentang Pelayanan Publik; 16. UU No. 36/ 2009 tentang Kesehatan; 17. UU No. 13/ 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin 18. UU No. 19/2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas
Undang undang no 19 tahun 2011 yang meratifikasi Konverensi PBB tentang hak hak penyandang disabilitas (UNCRPD) merupakan momentum baru bagi penyandang disabilitas Indonesia dimana segala kebijakan, perlindungan, dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pembangunan berbasis pada hak-hak asasi manusia (tidak charitatif). Dari faktor kebijakan semakin sempurna dengan adanya UU no 19 tahun 2011. Namun yang menjadi permasalahan saat ini adalah perubahan Undang Undang no 4 tahun 1997 (berbasis charitatif) yang harmonis dengan Undang Undang no 19 tahun 2011 yang implementatif. Sebagus bagusnya kebijakan tentulah akan sempurna jika dapat dilaksanakan oleh pemangku kewajiban (political wheel) serta adanya konsekuensi logis jika tidak dilaksanakan agar ketidakadilan dan ketimpangan bagi penyandang disabilitas tidak lagi ada di bumi pertiwi.
Sekitar 60 % keluarga penyandang disabilitas di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (PPLS, 2011). Tidak adanya jaminan kebijakan pelayanan hak membuat penyandang disabilitas dan keluarga mengalami diskriminasi dalam berbagai hak dasar, seperti pelayanan kesehatan, aksesibilitas fasilitas umum, aksesibilitas terhadap pendidikan, kesempatan bekerja, dan sebagainya. Jika kita berbicara permasalahan yang dialami penyandang disabillitas setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita kaji bersama: (i)Belum adanya intervensi dan pelayanan dini terhadap keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas, baik di bidang kesehatan, ekonomi, dsb. (ii) Belum adanya dukungan aksesibilitas yang memadai pada sarana prasana dan fasilitas publik yang menyebabkan hambatan mobilitas, transportasi maupun partisipasi sosial penyandang disabilitas. Dalam berbagai hal, kebijakan sudah ada, namun tidak didukung upaya implementasi dan pengawasan yang memadai dan tak ada sanksi. (iii) Kurangnya aspek terhadap informasi dan komunikasi seperti tunarungu yang membutuhkan sarana informasi adaptif berbentuk teks (captioning) dan bahasa isyarat pada berita-berita dan tempat-tempat informasi umum. Atau media informasi adaptif suara bagi tunanetra. Begitu pula kebutuhan kebutuhan alat-alat bantu (assistive device) seperti kursi roda untuk mendukung aksesibilitas bagi penyandang tunadaksa. (iv) Penyandang disabilitas, baik sebagai individu maupun secara stuktural sangat masih rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, maupun tidak terpenuhinya hak-hak, sementara perlindungan hukum masih belum memberikan jaminan yang nyata. Prosedur hukum masih belum sensitif disabilitas, belum berpihak pada upaya penyelesaian hukum yang adil bagi penyandang disabilitas. (v) Perempuan dan anak dengan disabilitas serta penyandang disabilitas yang tinggal di daerah bencana menjadi kelompok disabilitas yang lebih rentan yang belum cukup terlindungi, baik jaminan akses terhadap keadilan maupun pemenuhan hak dasar. (vi) Penyandang disabilitas belum cukup diberikan ruang partisipasi dalam pengambilan kebijakan mulai di tingkat daerah seperti, musrenbang di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya. (vii) Disabilitas masih belum ditangani secara lintas sektoral. Program-program disabilitas masih sangat terpusat di Kementrian Sosial. Penganggaran, mulai dari proses perencanaan yang tidak partisipatif serta alokasi yang terfragmentasi dan terpusat pada sektor tertentu dan belum menjadi mainstream pada setiap sektor. (viii) Kurangnya akses terhadap pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) yang terkait dengan sarana, layanan, kurikulum, pemahaman, beasiswa, serta kebijakan yang masih menolak penyandangan disabilitas (di beberapa sekolah/universitas tertentu). Begitu pula dalam hal olahraga, seni budaya, dan keleluasaan berekspresi, masih sangat minim dan miskin peluang. (ix) Mayoritas penyandang disabilitas tidak berdaya secara ekonomi yang dikarenakan akses dan program pemberdayaan ekonomi yang belum sesuai kebutuhan, kebijakan kuota yang belum proporsional secara persentase serta tidak terimplementasi, juga pemetaan dan
penyaluran tenaga kerja dengan disabilitas secara afirmasi yang belum dilakukan. Begitu pula dalam akses penyandang disabilitas terhadap jaminan kesehatan. (x) Tidak adanya data yang valid. Masing-masing sektor/kementrian menggunakan parameter sendiri dalam pendataan, yang menyebabkan tidak terdistribusinya program secara merata. (xi) Kurang penelitian-penelitian terkait disabilitas yang dapat menunjang inisiatif program pengembangan. Juga kurangnya sumberdaya di tingkat organisasi penyandang disabilitas (DPO) baik dalam hal pengembangan organisasi dan program maupun akses pendanaan.
3. Relevansi Isu Disabilitas Sebagai Mainstream Kebijakan/ Program Pemerintah Periode 2014 – 2019? Peta dan akumulasi permasalahan di atas menuntut perlunya isu dan persoalan disabilitas dimasukkan sebagi mainstream kebijakan dalam program pemerintah Periode 2014 – 2019. Dasarnya: a. Konstitusional Sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945, pemerintah memiliki kewajiban mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, termasuk penyandang disabilitas. Dalam Pasal 28 H (ayat 2) UUD 45 disebut: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dengan demikian, tuntutan agar pemenuhan hak Disabilitas menjadi arus utama dalam agenda pembangunan pemerintahan baru 2014 – 2019 merupakan amanat konstitusi. b. Kebenaran Politik Diantara berbagai kelompok rentan, disabilitas merupakan kelompok yang paling rentan dengan proses marjinalisasi yang berlapis, terutama bagi perempuan dan anak-anak disabilitas. Disabilitas termarginalkan oleh stigma dan perlakuan masyarakat, dan menjadi semakin termarjinalkan dengan tertutupnya akses kelompok disabilitas terhadap berbagai layanan publik dan penyediaan hak dasar lainya. Dengan mempertimbangkan marjinalisasi berlapis tersebut, menjadi sangat penting adanya keberpihakan secara politis. c. Disabilitas Sebagai Aset Pembangunan Kekurangberdayaan masyarakat disabilitas terjadi akibat dari sistem yang belum berpihak. Jika situasi ini tidak diperbaiki, 15 % penduduk negeri ini akan menjadi tanggungan negara dengan konsekuensi biaya yang besar. Sebaliknya, dengan menitik beratkan program pembangunan pada pemberdayaan disabilitas akan meringakan beban pembiayaan jaminan sosial di masa yang akan datang, sekaligus memberdayakan aset warga negara.
4. Usulan perubahan paradigma dalam Pembangunan
1. Right based approach: mengacu pada konvensi hak-hak disabilitas yang telah disepakati dan konvensi-konvensi lain yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. 2. Pembangunan yang inklusi dan berkeadilan : misal adanya twin track approach dimana pendekatan ini difokuskan kepada kelompok yang memiliki kebutuhan tersebut sebagai upaya pemberdayaan dan juga masyarakat serta pemerintah yang bisa memberikan kebijakan yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok masyarakat tersebut. 3. Lintas sektoral. 4. Berbasiskan pada kerentanan sebagai prioritas dalam pembangunan ke depan: Penyandang disabilitas, perempuan, anak, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan. 5. Perlunya strategi advokasi dan keterlibatan disabilitas dalam advokasi pembangunan pasca 2015 dalam jangka pendek maupun panjang. “Revolusi Mental” yang selalu didengungkan oleh pemerintahan baru Indonesia 2014-2019 kiranya memasukkan upaya mengubah persepsi dalam memandang dunia disabilitas agar lebih tepat dan proper. Hal ini penting karena segala sesuatu berawal dari mainset yang benar. Saat ini pun bangsa Indonesia selalu didengungkan dengan “Bonus Demografi” di era 2025. Bisa dibayangkan jika kita tidak bersiap diri termasuk memberdayakan penyandang disabilitas yang berjumlah 15% dari populasi penduduk Indonesia (pendekatan jumlah oleh WHO dan World Bank), entah bagaimana jadinya jika semua aspek kehidupan penyandang disabilitas sebagai warga negara tak terpenuhi hak-hak mendasarnya. Masyarakat Indonesia yang inklusif dan pembangunan untuk semua adalah mimpi kita bersama termasuk penyandang disabilitas yang ingin berperan aktif sebagai subjek pembangunan melalui kontibusi dari kekhususan yang mereka miliki. Lihatlah penyandang disabilitas sebagai bagian dari satu perbedaan yang setara sebagai manusia.
Jakarta 8 Oktober 2014
Jonna Damanik