Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Desember 2012 Vol. 1 No.1 Hal :55-64 ISSN 2302-6308
MENINGKATKAN PRODUKSI KACANG TANAH DENGAN PENGEMBANGAN KULTIVAR LOKAL ASAL BANTEN DAN PEMANFAATAN MIKORIZA PADA LAHAN KERING Rusmana1*, Suherman2 1Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jalan Raya Jakarta Km 4 Pakupatan Serang Banten *Korespondensi :
[email protected] 2Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jalan Raya Jakarta Km 4 Pakupatan Serang Banten Diterima: 18 Oktober 2012 / Disetujui: 30 November 2012 ABSTRACT
The experiment was conducted in order to assess the response of local groundnut cultivars with different levels of tolerance to drought stress were inoculated FMA. Research has been done on the ground in the village of Sukarame, District Cikeusal, Serang from August 2011 to November 2011. Experiments using a factorial randomized block design pattern, consisting of 2 factors. The first factor: the local peanut cultivar from Banten with different tolerance to drought stress, namely: Lightning cultivars (tolerant), Malingping (quite tolerant), and Cikeusal (sensitive). The second factor: FMA dose 0 g / plant and 20 g / plant. Each treatment combination was repeated 4 times. The results showed that administration of FMA inoculant dose 20 g / plant resulted in a ratio of peanut root pupus (RPA) is lower, the higher the percentage of infected roots, and root density at a depth of 20-30 cm higher than that without giving FMA inoculant for local cultivar peanuts from Banten both tolerant, fairly tolerant, and sensitive to drought stress. Similarly, the weight of pod and seed weight increased with the provision of FMA in both cultivars tolerant, fairly tolerant, and sensitive.
Keywords: Arachis hypogaea L., local cultivars, drought, mycorrhizal fungi arbuskula
PENDAHULUAN Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) mempunyai peran yang sangat penting dalam memperbaiki gizi masyarakat. Kacang tanah sebagai sumber lemak dan protein nabati memiliki kandungan lemak sebesar 45,15% dan protein sebesar 23,97% (Danuwarsa, 2006). Kacang tanah juga memiliki potensi secara luas sebagai bahan baku agroindustri (minyak goreng, oncom, bumbu masak, dan lainlain). Sayangnya sampai saat ini produksi kacang tanah Indonesia belum mencukupi kebutuhan. Ada beberapa kendala dalam upaya peningkatan produksi kacang tanah, atara lain karena belum sempurnanya penerapan teknologi
budidaya, kurangnya ketersediaan varietas unggul termasuk unggul lokal, adanya gangguan iklim, dan terjadinya penurunan luas areal tanam akibat konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Upaya peningkatan produksi di dalam negeri mutlak diperlukan baik melalui usaha perluasan areal tanam maupun melalui usaha intensifikasi untuk meningkatkan hasil dengan menggunakan teknologi budidaya yang sesuai. Propinsi Banten memiliki lahan kering yang luas yaitu sekitar 77% dari luas lahan pertanian secara keseluruhan (Distanak, 2011).dan sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu, Propinsi Banten juga memiliki kekayaan dan
56
RUSMANA, SUHERMAN
sumber keragaman plasma nutfah tanaman pertanian. Salah satu plasma nutfah penting dari Propinsi Banten adalah kacang tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Propinsi Banten bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Serang telah melakukan eksplorasi dan identifikasi kultivar lokal kacang tanah asal Serang sejumlah 10 aksesi (Susilawati et al., 2006). Kacang tanah di Propinsi Banten merupakan komoditas tanaman pangan unggulan kedua setelah padi. Berdasarkan BPS (2011), pada tahun 2010 produksi kacang tanah Propinsi Banten memiliki kontribusi terhadap produksi nasional sebesar 2.61 % (20 381 t) dan ini merupakan urutan kedua setelah padi dengan kontribusi terhadap produksi nasional sebesar 3.08 % (2 048 047 t). Oleh karena itu, usaha-usaha peningkatan produksi kacang tanah di Propinsi Banten sebaiknya diarahkan pada perluasan areal tanam pada lahan-lahan kering dengan disertai teknologi budidaya dalam upaya mengatasi ketersediaan air, diantaranya dengan pemanfaatan mikroorganisme tanah (mikoriza) yang mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. METODE PENELITIAN Percobaan dilaksanakan pada lahan milik petani di Desa Sukarame Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, dengan jenis Tanah Entisol Orthent Haplorthent dan ketinggian lebih kurang 27 m dpl, mulai bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan Nopember 2011. Benih yang digunakan sebagai bahan tanaman percobaan adalah benih kacang tanah kultivar lokal asal Banten yang toleran terhadap cekaman kekeringan (asal Petir), cukup toleran (asal Malingping), dan peka (asal Cikeusal). Tanah Entisol Orthent Haplorthent Cikeusal Serang sebagai media tumbuh. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk Urea (46% N), SP-36 (36% P), dan KCl (58% K); insektisida Furadan 3 G dan Rhonsa; air; inokulan FMA dalam bentuk propagul (mikofer) dengan kandungan
JIPP spora 100-200 buah dalam setiap 10 g propagul yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, dan bahan-bahan untuk menentukan infeksi akar (asam fuchsin, KOH, HCl, asam laktat, akuades). Alat-alat yang digunakan meliputi alat pengolah tanah (cangkul), tugal, timbangan, label, termo-higrometer, handsprayer, kantong plastik, amplop kertas, oven untuk mengeringkan bagian tanaman (pupus,akar, polong, dan biji), satu set alat untuk menentukan persentase akar terinfeksi (erlenmeyer, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, gelas objek, pinset, pipet, penangas air, mikroskop, kamera), alat pengukur suhu tanah, soil moisture tester (potensiometer), dan ring tanah ukuran diameter 10 cm dan 20 cm dengan tinggi 10 cm, martil, pisau, sekop, tali rapia, karet gelang, dan karung untuk keperluan pengamatan kepadatan akar. Percobaan disusun menurut rancangan acak kelompok (RAK) faktorial, terdiri atas dua faktor, dan kombinasi perlakuan diulang empat kali. Faktor pertama, yaitu kacang tanah kultivar lokal asal Banten terpilih (K), terdiri atas tiga taraf, yaitu: k1 = kacang tanah kultivar lokal asal Petir (toleran kekeringan); k2 = kacang tanah kultivar lokal asal Malingping (cukup toleran kekeringan); dan k3 = kacang tanah kultivar lokal asal Cikeusal (peka kekeringan). Faktor kedua, yaitu dosis FMA (M), terdiri atas 2 taraf, yaitu: m0 = tanpa inokulasi FMA; dan m1 = inokulasi FMA 20 g per tanaman. Dengan demikian, terdapat enam kombinasi perlakuan, masing-masing kombinasi perlakuan diulang empat kali sehingga diperoleh 24 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan berupa petakan seluas 2,52 m2 dengan ukuran 1,80 m x 1,40 m. Jarak tanam yang digunakan 30 cm x 20 cm dan populasi tanaman per petak sebanyak 42 tanaman. Variabel respons yang diamati untuk sifat fisiologi tanaman meliputi: rasio pupus akar (RPA) dan distribusi akar (kepadatan akar) dilakukan pada 10 MST terhadap sampel yang ditentukan dari setiap satuan percobaan sebanyak dua
Volume 1 (1), 2012
Meningkatkan Produktivitas Kacang Tanah
tanaman didestruktif. RPA diperoleh dari hasil perbandingan antara bobot kering pupus dengan bobot kering akar. Untuk mengetahui distribusi akar dilakukan pembongkaran zona perakaran sampai dengan kedalaman 30 cm selang 10 cm menggunakan ring tanah masing-masing berdiameter 10 cm dan 20 cm dengan tinggi masing-masing 15 cm dan 10 cm. Pada setiap lapisan/kedalaman (10 cm) diambil volume tanah sebanyak ukuran alat yang digunakan (radius 0-5 cm = 785 cm3 dan radius 5-10 cm = 2355 cm3), dengan tiga kali pembongkaran. Distribusi akar merupakan perbandingan bobot kering akar terhadap volume tanah dari setiap lapisan tanah. Variabel respons yang diamati pada saat tanaman telah dipanen meliputi: komponen hasil dan hasil, yaitu: (1) Jumlah polong per petak ; (2) Jumlah biji per petak; (3) Bobot polong kering per petak (4) Bobot biji kering per petak ; dan (5) Bobot 100 butir biji; serta sifat fisiologi, yaitu persentase akar terinfeksi
57
ditentukan dengan pewarnaan akar dan penghitungan dengan metode panjang slide. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam univariat (ANOVA) terhadap setiap variabel respons dengan uji F pada taraf = 5 %. Hasil analisis data percobaan tahap disajikan dalam tabel dua arah. Uji perbedaan dilakukan dengan uji BNT. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisiologi Tanaman Rasio pupus akar Kacang tanah yang diinokulasi FMA dengan dosis 20 g/tanaman memiliki RPA yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa diinokulasi FMA pada kultivar lokal mana pun, baik kultivar toleran, cukup toleran, dan peka kekeringan (Tabel 1).
Tabel 1 Rasio pupus akar tanaman kacang tanah tiga kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 9,84 7,21 10,11 7,77 11,41 7,92 10,46 b 7,63 a
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M yang teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05.
Hal ini menunjukkan dengan kehadiran FMA akar tanaman berkembang lebih baik dibandingkan dengan tanpa kehadiran FMA. Kehadiran FMA mampu memperbesar daya jelajah akar tanaman. Tanaman yang diinokulasi FMA memiliki akar yang mampu menembus lapisan tanah yang lebih dalam seperti diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4, kepadatan akar pada kedalaman 20 cm – 30 cm yang diinokulasi FMA lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tanpa diinokulasi FMA. Persentase Akar Terinfeksi Persentase akar kacang tanah terinfeksi oleh FMA dengan inokulasi FMA 20 g/tanaman lebih tinggi daripada yang tanpa diinokulasi FMA pada kultivar mana pun (Tabel 2).
58
RUSMANA, SUHERMAN
JIPP
Tabel 2 Persentase akar terinfeksi oleh FMA per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA di lapangan Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 ………….….… (%)..………………… 39,8 68,33 44,8 64,8 30,83 70,00 38,06 a 67,50 b
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M yang teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05
Pada Tabel 2 terlihat bahwa persentase akar terinfeksi oleh FMA pada ketiga kultivar lokal yang diinokulasi FMA dengan dosis 20 g/tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa diinokulasi FMA. Hal Ini menunjukkan bahwa ketiga kultivar lokal kacang tanah memberikan respons dengan pola yang sama terhadap pemberian inokulan FMA. Distribusi Akar Kepadatan panjang akar dan kedalaman perakaran tanaman telah dikenali sebagai penanda bagi tanaman yang mampu beradaptasi terhadap kondisi kekeringan. Penanda ini dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk tanaman toleran kekeringan (Taiz and Sieger, 2006). Pada penelitian ini ternyata distribusi akar tidak sama untuk berbagai kedalaman dan berbagai radius serta kombinasinya yang berbeda. Pada kedalaman 0-10 cm dan lebar (radius) 0-5 cm perbedaan kepadatan akar antara tanaman kacang tanah dengan pemberian dengan tanpa pemberian inokulan FMA ternyata bervariasi di antara ketiga kultivar lokal (Tabel 3). Kepadatan akar kacang tanah kultivar lokal asal Cikeusal (peka) lebih tinggi dibandingkan dengan kedua kultivar lokal asal Malingping (cukup toleran) dan kultivar lokal asal Petir (toleran) terhadap kekeringan tanpa pemberian inokulan FMA, sedangkan dengan pemberian inokulan FMA,
kepadatan akar kacang tanah kultivar lokal asal Cikeusal dan asal Malingping lebih tinggi daripada kultivar lokal asal Petir. Hal ini menunjukkan bahwa kultivar yang peka kekeringan lebih responsif terhadap pemberian inokulan FMA dibandingkan dengan kultivar yang toleran kekeringan. Pada kedalaman yang sama, yaitu 010 cm, tetapi pada lebar (radius) berbeda, yaitu 5-10 cm, kepadatan akar tanaman ketiga kultivar tersebut tidak menunjukkan perbedaan, baik tanpa maupun dengan pemberian inokulan FMA (Tabel 4). Hal serupa terjadi pada kedalaman 10-20 cm. Pada kedalaman 10-20 cm dan lebar radius 0-5 cm atau 5-10 cm kepadatan akar tanaman ketiga kultivar lokal kacang tanah asal Petir, Malingping, dan Cikeusal tidak menunjukkan perbedaan baik dengan atau tanpa pemberian inokulan FMA (Tabel 5 dan Tabel 6). Pada kedalaman 20-30 cm dan lebar radius 0-5 cm atau 5-10 cm, kepadatan akar tanaman lebih tinggi dengan pemberian inokulan FMA dibandingkan dengan tanpa pemberian inokulan FMA pada kultivar lokal kacang tanah mana pun, yang toleran, cukup toleran, atau peka kekeringan (Tabel 7, dan Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian inokulan FMA menyebabkan pertumbuhan akar bertambah pada kedalaman 20 sampai 30 cm dan jarak horisontal sampai radius 10 cm. Adanya akar pada lapisan yang lebih dalam menunjukkan
Volume 1 (1), 2012
Meningkatkan Produktivitas Kacang Tanah
bahwa tanaman masih dapat menyerap air dan unsur hara sehingga tanaman yang diinokulasi FMA menghasilkan jumlah polong (Tabel 9), jumlah biji (Tabel 10), bobot polong (Tabel 11), dan bobot biji (Tabel 12) yang lebih tinggi
59
dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi FMA. Bobot 100 butir biji (Tabel 13) tidak menunjukkan perbedaan antara tanaman yang diberi maupun yang tidak diinokulasi FMA.
Tabel 3 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 0 - 10 cm pada radius 0 – 5 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 ….………… g cm ..…………… 0,001427 a 0,001435 a A A 0,001198 a 0,00906 b A B 0,001578 b 0,001658 ab A A
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, KxM teruji signifikan. Masing-masing angka yang ditandai dengan huruf yang sama (huruf kecil arah vertikal dan huruf besar arah horisontal) teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05.
Tabel 4 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 0 - 10 cm pada radius 5 – 10 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 ….…….… g cm ..…………… 0,000432 0,000453 0,000435 0,000558 0,000462 0,000419
Keterangan: Semua angka tidak berbeda
Tabel 5 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 10 - 20 cm pada radius 0 – 5 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Keterangan: Semua angka tidak berbeda
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 ….…….… g cm ..…………… 0,000663 0,000729 0,000737 0,000784 0,000955 0,000706
60
RUSMANA, SUHERMAN
JIPP
Tabel 6 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 10 - 20 cm pada radius 5 – 10 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 ….…….… g cm ..…………… 0,000396 0,000404 0,000293 0,000411 0,000467 0,00036
Keterangan: Semua angka tidak berbeda
Tabel 7 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 20 - 30 cm pada radius 0 – 5 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 …………….….… g cm ..……………… 0,000347 0,000391 0,000355 0,000390 0,000344 0,000375 0,000348 a 0,000386 b
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05
Tabel 8 Kepadatan akar per tanaman kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan pada kedalaman 20 - 30 cm pada radius 5 – 10 cm yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 -3 …………….….… g cm ..…………… 0,000085 0,000098 0,000083 0,000094 0,000085 0,000088 0,000084 a 0,000094 b
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05
Peneliti Songsri et al. (2008) menyatakan bahwa cekaman kekeringan meningkatkan kepadatan panjang akar pada tanaman kacang tanah pada
lapisan subsoil yang lebih dalam. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan akar lebih dipacu dengan kehadiran FMA pada lapisan tanah yang lebih dalam.
Volume 1 (1), 2012
Meningkatkan Produktivitas Kacang Tanah
Komponen Hasil Tanaman Jumlah Polong Jumlah polong kacang tanah kultivar lokal asal Petir dan asal Malingping lebih tinggi dengan atau tanpa diinokulasi FMA dibandingkan dengan kultivar lokal asal Petir (Tabel 9). Pada Tabel 9 terlihat bahwa kacang tanah kultivar lokal asal Malingping dan asal Petir memiliki jumlah polong yang tidak berbeda, namun keduanya memiliki jumlah polong yang lebih banyak dari pada kacang tanah kultivar lokal asal Cikeusal. Bobot kering dan jumlah polong per tanaman meningkat oleh pemupukan fosfor atau inokulasi FMA. Demikian pula, jumlah polong per tanaman kultivar
61
RRB lebih tinggi dibandingkan dua kultivar lainnya (Ateyese, 2007). Mekanisme FMA dapat meningkatkan ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman inang mencakup banyak aspek kemungkinan (Song, 2005), yaitu: (1) FMA memperbaiki sifat tanah zona rizosfer; (2) FMA memperbesar daerah perakaran tanaman inang dan meningkatkan efisiensi penyerapan air; (3) FMA meningkatkan penyerapan P dan unsur hara lainnya, dan kemudian meningkatkan status gizi tanaman inang, (4) FMA mengaktifkan sistem pertahanan tanaman inang secara cepat; (5) FMA melindungi terhadap kerusakan oksidatif yang ditimbulkan oleh kekeringan; dan (6) FMA mempengaruhi ekspresi genetik.
Tabel 9 Jumlah polong per petak (2,52 m2) kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) Rata-rata 0 20 ………………….buah…………….. 76,38 88,74 82,56 b 76,63 91,28 83,95 b 62,95 72,09 67,52 a
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya K teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05
Jumlah Biji Jumlah biji per petak tidak berbeda di antara ketiga kultivar lokal kacang tanah asal Petir, asal Malingping, dan asal Cikeusal tanpa diberi dan diinokulasi FMA dengan jumlah biji rata-rata 156,8 butir (Tabel 10). Padahal, kultivar lokal asal Cikeusal memproduksi jumlah polong lebih sedikit dibandingkan dengan kultivar lokal asal Malingping dan asal Petir. Adanya peningkatan secara nyata produksi polong per tanaman, biji per polong, dan bobot 1000 biji dengan inokulasi FMA mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah cabang per tanaman yang terbentuk karena pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kacang tanah yang lebih baik dan vigor tanaman dicapai akibat penyerapan nutrisi yang lebih tinggi, terutama fosfor (Bhat et al., 2010). Bobot Polong Inokulasi FMA dengan dosis 5 tha-1 pada ketiga kultivar lokal meningkatkan bobot polong (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa bobot polong kacang tanah kultivar lokal yang diinokulasi FMA lebih tinggi daripada yang tidak diinokulasi FMA. Sene et al. (2010) melaporkan bahwa hasil polong kacang tanah kultivar 55-437 yang diinokulasi FMA dan tanaman dipupuk P, meningkat 11% dibandingkan dengan hasil dari tanaman kontrol. Ada perbedaan yang diamati
62
RUSMANA, SUHERMAN
antara tanaman yang diinokulasikan FMA dan tanaman kontrol. Hasil polong kultivar Fleur 11 lebih tinggi dibandingkan dengan dua varietas lainnya dengan hasil maksimum 12,8 g per tanaman. Bobot Biji Inokulasi FMA dengan dosis 20 g/tanaman pada ketiga kultivar lokal kacang tanah meningkatkan bobot biji dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi FMA (Tabel 12). Bobot biji ketiga kultivar terpilih meningkat, baik yang toleran (Petir) atau cukup toleran (Malingping), maupun yang peka (Cikeusal). Peningkatan dari rata-rata 64,58 g menjadi 75,32 g (Tabel 12). Meningkatnya bobot biji yang lebih tinggi menunjukkan bahwa proses
JIPP pembentukan dan pengisian biji dipengaruhi oleh pemberian FMA. Peran FMA pada tanaman kacang tanah dilaporkan oleh Atayese (2007) yang menyatakan bahwa pemupukan fosfor dan inokulasi FMA meningkatkan hasil biji kultivar kacang tanah pada musim tanam tahun 2003 dan hanya pada kultivar RRB pada musim tanam tahun 2004. Persentase peningkatan hasil biji lebih tinggi pada musim tanam tahun 2003 dibandingkan dengan pada musim tanam tahun 2004. Peningkatan hasil biji rata-rata 90 % pada musim tanam tahun 2003 dan berkurang menjadi 55% pada musim tanam tahun 2004. Namun, ada sekitar 60% peningkatan hasil biji pada kontrol pada musim tanam tahun 2004, sedangkan peningkatan stabil pada semua perlakuan lainnya.
Tabel 10 Jumlah biji per petak (2,52 m2) kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
Dosis FMA (g/tanaman) Rata-rata (M) umum 0 20 ……………...… butir …..……………… 154,7 163,5 166,9 166,0 155,1 134,5 156,8
Keterangan: Semua angka tidak berbeda
Tabel 11 Bobot polong per petak (2,52 m2) kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 ………….…….… g ……………… 94,80 111,35 97,37 112,73 88,77 100,61 93,65 a 108,23 b
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M yang teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05.
Volume 1 (1), 2012
Meningkatkan Produktivitas Kacang Tanah
63
Tabel 12 Bobot biji kacang tanah per petak (2,52 m2) kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) 0 20 ………….……….… g..………..……… 65,27 77,84 67,56 78,66 60,89 69,46 64,58 a 75,32 b
Kacang Tanah Kultivar Lokal (K) Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka) Rata-rata
Keterangan: Berdasarkan sidik ragam, hanya M yang teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada baris yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05
Bobot 100 Butir Biji Kacang tanah kultivar lokal yang berbeda menunjukkan bobot 100 butir biji yang berbeda, baik tanpa maupun dengan pemberian inokulan FMA. Bahkan ternyata pemberian FMA pada ketiga kultivar lokal itu tidak efektif (tidak ada perbedaan dalam bobot 100 butir biji) (Tabel 13). Pada tabel tersebut kacang
tanah kultivar lokal asal Cikeusal memiliki bobot 100 butir biji yang lebih berat dari pada kedua kacang tanah kultivar lokal asal Petir dan asal Malingping. Bobot 100 butir biji menunjukkan ukuran biji. Kultivar yang memiliki bobot 100 butir lebih besar, sehingga ukuran biji kultivar tersebut lebih besar pula.
Tabel 13 Bobot 100 butir biji per petak (2,52 m2) kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi berbeda terhadap cekaman kekeringan yang diinokulasi FMA di lapangan Kacang Tanah Kultivar Lokal (K)
Dosis inokulan FMA (g/tanaman) (M) Rata-rata 0 20 ……………….… g………..…………
Asal Petir (toleran) Asal Malingping (cukup toleran) Asal Cikeusal (peka)
48,68 43,98 51,24
50,77 47,48 54,73
49,73 a 45,73 a 52,98 b
Keterangan Berdasarkan sidik ragam, hanya K teruji signifikan. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama teruji tidak berbeda menurut uji BNT 0,05.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kacang tanah kultivar lokal asal Banten dengan toleransi yang berbeda terhadap cekaman kekeringan dan diinokulasi FMA dosis 20 g/tanaman, memberikan respons yang bervariasi. Tanaman yang diinokulasi FMA dosis 20 g/tanaman memiliki rasio pupus akar (RPA) lebih rendah, persentase akar terinfeksi lebih tinggi, dan kepadatan akar pada kedalaman 20-30 cm lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa diinokulasi
FMA. Demikian pula, bobot polong dan bobot biji meningkat pada tanaman yang diinokulasi FMA baik pada kultivar yang toleran, cukup toleran, maupun peka. Saran Pemberian inokulan FMA dosis 20 g/tanaman serta penggunaan benih kultivar lokal asal Petir dianjurkan dalam budidaya kacang tanah di Wilayah Propinsi Banten, khususnya daerah Cikeusal pada jenis tanah Entisol.
64
RUSMANA, SUHERMAN DAFTAR PUSTAKA
Atayese, M.O. 2007. Field response of groundnut (Arachis hypogaea L.) cultivars to mycorrhizal inoculation and phosporus fertilizer in Abeokuta, South West Nigeria. Am-Euras. J. Agric. & Environ. Sci., 2(1): 16-23 Bhat, M.I., A. Rashid, Faisul-ur-Rasool, S. S. Mahdi, S. A. Haq, and Raies A. Bhat. 2010. Effect of Rhizobium and Vesicular arbuscular mycorrhizae Fungi on Green gram (Vigna radiata L. Wilczek) under Temperate Conditions. Res.J. Agric. Sci., 1(2): 113-118 [BPS] Badan Pusat Statisika. 2011. Produksi padi dan Tanaman Palawija Tahun 2009-2010. http://www.bps.go.id. Diakses 9 Juni 2011. Danuwarsa. 2006. Analisis proksimat dan asam lemak pada beberapa komoditas kacang-kacangan. Buletin Teknik Pertanian 11(1): 5-8. Distanak (Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi Banten). 2011. Luas Lahan dan Produksi Komoditi Tanaman Pangan. Banten
JIPP Sene, G., Mansour Thiao, Ramatoulaye Samba Mbaye, Fatou Ndoye, Aboubacry Kane, Diegane Diouf, and Samba Ndao Sylla. 2010. Response of three peanut cultivars toward inoculation with two Bradyrhizobium strains and Song, H. 2005. Effects of VAM on host plant in the condition of drought stress and its mechanisms. Electronic J. of Biol.1(3):44-48. Songsri, P., S. Jogloy, N. Vorasoot, C. Akkasaeng, A. Patanothai, and C.C. Holbrook. 2008. Root distribution of drought-resistant peanut genotypes in response to drought. J. Agron. Crop Sci., 194: 92-103. Susilawati, P. N., Andy S., dan Andhi N. 2006. Eksplorasi padi, kacang tanah, dan salak lokal Serang. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Makalah Seminar Regional Pemasyarakatan Teknologi Pertanian, 15 Nopember 2006. Taiz, L., and E. Zeiger. 2006. Stress Physiology. In: Plant Physiology, Taiz, L. and E. Zeiger (Eds.). Sinauer Associates, Inc., Sunderland, MA., pp: 671-681.