BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan kasus yang sering ditemui pada praktik dokter umum maupun di unit gawat darurat. Infeksi virus dengue memiliki beberapa manifestasi dari asimtomatik hingga kasus yang berat seperti syok yang dapat berakibat fatal (Suhendro, 2009). Indonesia merupakan salah satu negara endemis DBD dengan angka pelaporan kasus paling tinggi dibandingkan negaranegara lain di Asia Tenggara. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi
DBD
oleh
World
Health
Organization
(WHO)
2001
yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab dan nyamuk penyebabnya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum. Pada saat ini seluruh provinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun di desa terutama di tempat yang pada penduduknya dan lancar arus transportasi (Siregar, 2004). Demam berdarah dengue pertama kali dikenal pada tahun 1950 saat epidemik di Filipina dan Thailand. Sebelum tahun 1970, hanya 90 negara yang pernah mengalami epidemik DBD, namun dalam beberapa dekade terakhir lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat yang mengalami epidemik. Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global, terutama di area tropis dan subtropis. Saat ini, di dunia diperkirakan 50-100 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya, dan dari 2,5 miliar jiwa yang berisiko tinggi, sekitar 75% tinggal di Asia Pasifik (WHO, 2011). Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007) (Chen et al, 2009). Kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa tempat di daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak
1
menimbulkan kematian pada anak, 90% diantaranya menyerang anak dibawah 15 tahun (Malavinge et al, 2004). Berdasarkan laporan dari Departemen Kesehatan Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih (Kusriastuti, 2005). Tercatat bahwa pada tahun 2002, 2003, 2004 dan 2005 terjadi kasus dalam jumlah masing-masing 40.377, 52.000, 79.462 dan 80.837. Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi pada tahun 2005, dengan Case Fatality Rate (CFR) mencapai 2%. Tahun 2006, total kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 104.656 kasus dengan CFR = 1,03% dan tahun 2007 mencapai angka 140.000 kasus dengan CFR = 1%. Berdasarkan data Depkes Sumbar, pada tahun 2007 di Kota Padang ditemukan jumlah kasus DBD per 1000 penduduk adalah 2,13 dengan jumlah kasus DBD 1.743. Sedangkan menurut Indikator Indonesia Sehat 2010 target kasus DBD per 100.000 adalah 2. Jadi pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus DBD melebihi angka yang ditetapkan. Pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah kasus DBD yaitu 0,01 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus 11. Di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tahun 2008 diperoleh data penderita DBD sebanyak 34 kasus, pada tahun 2009 terjadi peningkatan kasus mencapai 60 kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus. Pada tahun 2011 didapatkan data adalah 26 kasus dengan 2 kematian. Jumlah ini masih diatas angka Kesakitan Nasional ( >2/100.000 penduduk). Dari 4 kelurahan di wilayah kerja puskesmas Ambacang ( Pasar Ambacang, Lubuk Lintah, Anduring dan Ampang ), kelurahan Pasar Ambacang tercatat memiliki kasus terbanyak yaitu 10 kasus. Tercatat dalam laporan tahunan puskesmas Ambacang, untuk tahun 2013 terdapat total kejadian DBD sebanyak 38 kasus. Dan pada Januari 2014 sudah tercatat 2 kasus kematian dikarenakan DBD berdasarkan hasil pencatatan di lokakarya mini puskesmas Ambacang. Masih kurangnya kepedulian masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungannya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya kejadian DBD. Oleh karena itu, Puskesmas Ambacang sebagai unit pelaksana fungsional
2
berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama memiliki peranan yang penting dalam menurunkan angka kejadian penyakit DBD. Selain karena peningkatan kasus di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dari tahun sebelumnya, wilayah kerja Puskesmas Ambacang adalah salah satu wilayah endemic DBD di Sumatra Barat. Maka sangat perlulah ditingkatkan upaya pemberantasan DBD, khususnya di wilayah kerja Puskesmas Ambacang.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
bagaimana upaya penurunan kasus demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tahun 2014.
1.3
Tujuan Penulisan 1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang tahun 2013
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas Ambacang 2. Mntuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan kejadian Demam Berdarah Dengue 3. Mengetahui upaya pencegahan kasus Demam Berdarah Dengue
1.4
Manfaat Penulisan 1.4.1
Bagi Mahasiswa
1. Meningkatkan kemampuan analisa terhadap masalah kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas serta cara mengatasinya
3
2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penulisan Plan of Action (POA) di Puskesmas wilayah kerja 1.4.2 Bagi Puskesmas 1. Teridentifikasinya faktor risiko DBD yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ambacang. 2. Diperolehnya upaya pengendalian faktor risiko DBD yang bertujuan agar angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang menurun. 3. Tersusunnya rencana pelaksanaan kegiatan atau POA untuk kegiatan pengendalian DBD di wilayah kerja Puskesmas Ambacang. 1.4.3 Bagi Masyarakat 1. Mencegah serta melindungi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang dari serangan DBD 2. Meningkatkan pengetahuan serta kesadaran masyarakat wilayah kerja Puskesmas Ambacang akan pentingnya upaya pencegahan DBD
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Overview Infeksi Dengue 2.1.1. Virus Dengue Demam berdarah dengue (DBD) merupakanpenyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu jenis serotipe tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat (Suhendro, 2009). Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yakni dua hari sebelum panas hingga 5 hari setelah demam timbul. Virus yang terdapat pada kelenjar liur kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10 haridan selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus (infektif) sepanjang hidupnya (Suhendro, 2009).
2.1.2. Patogenesis Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu dan menyebabkan kenaikan titer tinggi
IgG antidengue.
Replikasi virus
denguemengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular.
5
Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam dan bila tidak ditangani secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakibat fatal (Suhednro, 2009). Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-
antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suhendro, 2009).
2.1.3. Perjalanan Penyakit Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan recovery (penyembuhan) (Pohan, 2009).
Gambar 2.1 Perjalanan Penyakit DBD
6
Fase Febris Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas. Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan ataumata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat penting untuk mengenali progresi ke arah fase kritis (Pohan, 2009). Warning signs meliputi (Pohan, 2009):
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan mukosa, pembesaran hati >2 cm
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih jarang. Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan adanya peningkatan fragilitas kapiler (Pohan, 2009). Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai hasil positif (Suhendro, 2009). Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam. Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue (Pohan, 2009).
7
Fase Kritis Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam (Pohan, 2009) Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi. Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma (Pohan, 2009) Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat (Pohan, 2009) Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya kebocoran plasma (Pohan, 2009)
8
Fase Penyembuhan (Recovery) Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien membaik,
nafsu
makan
kembali,
gejala
gastrointestinal
berkurang,
status
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan edema paru atau gagal jantung kongestif (Pohan, 2009)
2.2. Manajemen Kasus DBD Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni (Pohan, 2009): 1. Penilaian:
Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat keluarga
Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan 3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan halhal terkait lainnya:
Rawat jalan (kelompok A)
Rawat inap (kelompok B)
Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)
2.2.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis harus meliputi (Pohan, 2009): (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake oral, (3) Warning signs, (4) Diare, (5) Perubahan status mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output (frekuensi, volume, dan waktu terakhir 9
kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami DBD, riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas, diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun (mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks bebas (HIV serokonversi akut). Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi (Pohan, 2009): (1) Status mental, (2) Status hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura, (5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan, (7) Uji torniquet. 2.2.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3). Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya trombosit terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit <100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun (Suhendro, 2009). Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan perdarahan (Suhendro, 2009). Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
10
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Pohan, 2009).
2.2.3. Pemeriksaan Radiologi Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
2.2.4. Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue (WHO, 2005). Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima seelah onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan seumur hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder (WHO, 2005) Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
11
dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
2.2.5. Diagnosis Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal di bawah ini terpenuhi(Harrison, 2008): 1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik. 2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan melena. 3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml). 4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, dan hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu (Harrison, 2008): •
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
•
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
•
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
•
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan dengan 12
melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan), menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta apakah pasien memerlukan rawat (Pohan, 2009). Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau trombositopenia ± uji torniquet positif.
2.2.6. Penatalaksanaan Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur intravena (SEA Region, 2007). Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).
Kelompok-A Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda. Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:
Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang akibat demam.
13
Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam. Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah (Pohan, 2009): 1. Adanya warning signs 2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin. 3. Perdarahan 4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis). 5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites 6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik, overweight/ obese, bayi, dan usia tua 7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor memadai. Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit, lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–10
14
ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa kecepatan cairan infus berkala.
Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat. Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.
Kelompok-C Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).
15
Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi
Gambar 2.2. Algoritma Pasien Syok Terkompensasi
16
Terapi pada Syok Hipotensi
Gambar 2.3 Algoritma Pasien Syok Hipotensi
17
2.2.7. Indikasi Pulang Pasien DBD Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut (WHO, 2009):
Klinis: o Bebas demam selama minimal 48 jam o Terdapat perbaikan ststus klinis (keadaan umum baik, nafsu makan makan membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak ada gangguan pernapasan)
Laboratoris: o Peningkatan jumlah trombosit o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena
18
BAB III ANALISIS SITUASI
3.1 Sejarah Puskesmas Puskesmas Ambacang terletak di salah satu Kelurahan pada Kecamatan Kuranji kota Padang yaitu kelurahan Pasar Ambacang. Karena terletaknya Puskesmas di kelurahan tersebut maka diberi nama Puskesmas Ambacang Kuranji sesuai dengan masukan dari berbagai pihak antara lain Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang dengan sebutan ” Puskesmas Ambacang Kuranji ” Awalnya pelaksanaan program puskesmas ini masih bekerja sama dengan Puskesmas Kuranji, karena 4 kelurahan sebagai wilayah kerja Puskesmas Kuranji. Pada tahun 2006 telah berdiri sendiri dapat dilaksanakan secara mandiri dan berkesinambungan. Puskesmas Ambacang Kuranji diresmikan pada 5 Juli 2006 dengan 15 orang staf, dipimpin oleh Dr. Dewi Susanti Febri. Pada Maret 2009, beliau digantikan dengan Dr. Hj. May Happy, kemudian pada September 2012 digantikan lagi oleh Trice Erwiza, SKM dengan 46 orang staf. Awalnya, pelaksanaan program puskesmas ini masih bekerja sama dengan Puskesmas Kuranji, karena empat kelurahan sebagai wilayah kerjanya sebelumnya merupakan wilayah kerja Puskesmas Kuranji. Akan tetapi, sekarang program kerja Puskesmas Ambacang Kuranji telah dilaksanakan secara mandiri dan berkesinambungan. Misi dari puskesmas ini sendiri yaitu menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan. Sedangkan strateginya adalah mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat, menyelenggarakan pelayanan kesehatan bermutu dan terjangkau, meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga, dan masyarakat.
19
3.2 Gambaran Umum Puskesmas Ambacang terletak di salah satu Kelurahan di Kecamatan Kuranji Kota Padang yaitu Kelurahan Pasar Ambacang,
Karena terletak di Kelurahan
tersebutlah maka nama Puskesmaspun diberikan dengan nama yang sama yaitu Puskesmas Ambacang Kuranji yang untuk selanjutnya sesuai dengan masukan dari berbagai pihak antara lain dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang disebut dengan ”Puskesmas Ambacang” saja, Puskesmas ini pada awalnya merupakan bagian dari Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat terbatas dalam bentuk ”Puskesmas Pembantu ”yang berinduk ke Puskesmas Kuranji, dan sejak tahun 2006 dikembangkan menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat dengan pelayanan penuh dan terlepas dari Puskesmas Kuranji sendiri. 3.2.1 Geografi Secara geografis wilayah kerja Puskesmas Ambacang berbatasan kecamatan dan kelurahan yang menjadi tanggung jawab wilayah Puskesmas Ambacang. Batas batas wilayah kerja Puskesmas Ambacang yaitu : Utara
: Kelurahan Korong Gadang Kec. Kuranji.
Timur
: Kecamatan Pauh,
Selatan
: Kecamatan Pauh dan Lubuk Begalung.
Barat
: Kecamatan Padang Timur dan Kecamatan Nanggalo.
Puskesmas Ambacang terletak pada 0° 55' 25.15", Lintang Selatan dan +100° 23' 50.14" Lintang Utara dengan Luas wilayah kerja Puskesmas Ambacang sekitar 12 Km2, mewilayahi 4 Kelurahan
yaitu : Pasar Ambacang, Kelurahan Anduring,
Kelurahan Ampang dan Kelurahan Lubuk Lintah yang umumnya masayarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan mempunyai aksesibilitas yang mudah dari dan ke Kelurahan
20
Bila dilihat dengan menggunakan Google Map maka Wilayah kerja Puskesmas Ambacang terlihat sebagaimana dalam gambar berikut:
Gambar 3.1. Foto dari Google Map wilayah Kerja Puskesmas Ambacang
21
Sedangkan bila dilihat dengan menggunakan Google Satelit adalah sbb :
Gambar 3.2. Foto dari Google Satelit wilayah Kerja Puskesmas Ambacang
22
Gambar 3.3. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang
3.2.2
Kondisi Demografis
Jumlah penduduk wilayah Puskesmas Ambacangadalah 48.518 jiwa, dengan perincian sebagai berikut :
KelurahanPasarAmbacang
: 17.399 jiwa
KelurahanAnduring
: 13.875 jiwa
KelurahanLubukLintah
: 10.075 jiwa
KelurahanAmpang
: 7.172 jiwa
3.3 Sarana danPrasarana Puskesmas Ambacang pada saat ini telah memiliki prasarana dan sarana yang relatif lebih baik bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prasarana gedung dengan
2
lantai
mampu
dimanfaatkan
untuk
pelayanan
dan
kegiatan
administrasi/manajemen. Begitu pula prasaranakendaraan roda 4 dan roda 2 telah mampu menjangkau pelayanan terutama luar gedung seperti posyandu, UKS dan UKGS serta pembinaan desa siaga.
23
Tabel 3.1 Data fasilitas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Ambacang menurut kelurahan KELU-
PUSKES-
KLINIK
B.
RAHAN
MAS
BERSALIN
P
Pasar
4
1
1
1
-
-
-
-
1
-
-
-
-
1
1
-
1
-
1
1
4
4
2
1
PUSTU
POSKESKEL
RODA 2
1
-
4
Anduring
-
-
Ampang
-
Lubuk
Ambacang
Lintah Jumlah
Tabel 3.2 Data Upaya Kesehatan Bersumber daya masyarakat wilayah kerja Puskesmas Ambacang POSYANDU
POSYANDU
KELURAHAN
BALITA
LANSIA
SIAGA
Pasar Ambacang
9
2
1
Anduring
7
1
1
Ampang
5
2
1
Lubuk Lintah
7
1
1
Jumlah
29
6
4
KELURAHAN
24
Tabel 3.3 Data fasilitas pendidikan di wilayah kerja Puskesmas Ambacang menurut Kelurahan KELURAHAN
TK
SD
SMP
SMU/K
PT
3
10
3
2
-
Anduring
2
6
1
-
-
Ampang
1
3
-
-
-
Lubuk Lintah
2
3
1
1
1
Jumlah
8
22
5
3
1
Pasar Ambacang
Data Sasaran Puskesmas a. Jumlahpenduduk
: 48.518 jiwa
b. Ibuhamil
: 1.110 orang
c. Ibubersalin
: 1.060 orang
d. Bayi
: 1.009 orang
e. Balita
: 4.803 orang
f. TK
: 8 buah
g. SD
: 22 buah
h. SMP/MTsN
: 5 buah
i. SMA/SMK
: 3 buah
j. PT
: 1 buah
k. Rumahibadah
: 65 buah
l. Pantiasuhan
: 2 buah
m. Restoran/rumahmakan
: 19 buah
n. Sarana air bersih
: 6.726 buah
25
KET
3.4 Ketenagaan Tabel 3.4 Data ketenagakerjaan di Puskesmas Ambacang Status Pegawai NO
JenisPetugas
PendidikanTerakhir
Suka
Sederajat
PNS PTT Rela/ S 2 S1 D IV D III D I
SLTA
Jumlah
Honor 1 DokterUmum
3
-
-
-
3
-
-
-
-
3
2 Dokter Gigi
2
-
-
-
2
-
-
-
-
2
3 SarjanaKesmas
2
-
-
2
-
-
-
-
-
2
4 Bidan
12
6
1
-
1
2
14
2
-
19
5 Perawat
5
-
-
-
-
4
-
1
5
6 Perawat Gigi
1
-
-
-
-
-
-
-
1
1
7 Kesling
3
-
-
-
-
1
2
-
-
3
8 Analis
2
-
-
-
-
-
-
-
2
2
9 AsistenApoteker
2
-
-
-
-
-
-
-
2
2
10 Nutrition/SKM
2
-
-
-
-
-
2
-
-
2
11 RR
1
-
1
-
-
1
-
2
2
-
1
Survelans/SKM
1
12 Sopir
-
-
1
13 Volunteer
-
-
3
36
6
6
Jumlah
-
-
1 -
-
-
1
3 2
26
7
3
19
1 3
5
9
48
Ket
3.5 Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi Penduduk 3.5.1. Kondisi Sosial dan Budaya Suku terbesar yang ada di KecamatanKuranjiadalahSukuMinang, juga ada beberapa sukulainny ayaitu Jawa dan Batak. Mayoritas agama yang dianut masyarakatnya adalah Islam.
3.5.2. Kondisi Ekonomi Mata Pencaharian Penduduk: a. Tani
: 45%
b. Pegawai Negeri
: 20%
c. Buruh
: 5%
d. Swasta
: 2%
e. Lain-lain
: 18%
3.6 Visi, Misi, Strategi Dan Tujuan 3.6.1 Visi dan Misi Dalam fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan kuranji, Puskesmas Ambacang mempunyai VISI: Kecamatan Kuranji Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan tercapainya visi ini dinilai dari 4 indikator utama yaitu: Lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta derajat kesehatan penduduk kecamatan Kuranji yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi ini Puskesmas Ambacang mengusung misi pembangunan kesehatan diwilayah kecamatan Kuranji yang akan memberi dukungan agar tercapainya visi pembangunan nasional yaitu:
27
Puskesmas Ambacang menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah
Mendorong kemandirian untuk hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan
Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat serta lingkungannya
3.6.2 Strategi Visi dan misi Puskesmas Ambacang akan dicapai dengan beberapa strategi yang
diwujudkan
melalui
kegiatan-kegiatan
yang
terencana,
terarah
dan
berkesinambungan. Beberapa strategi tersebut antara lain: Meningkatkan Upaya Promosi Kesehatan Meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang lebih baik dengan Lintas sektor Meningkatkan kwalitas SDM Puskesmas
Fungsi
Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yaitu Puskesmas selalu memantau pelaksanaan pembangunan di wilayah kerjanya agar senantiasa memperhatikan segi aspek / dampak kesehatan.
Pusat Pemberdayaan Masyarakat, yaitu membina masyarakat di wilayah kerja untuk berperan serta aktif dan diharapkan mampu menolong diri sendiri dibidang kesehatan.
Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama, yaitu memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh yang bermutu, merata, berkesinambungan dan terjangkau oleh masyarakat.
28
Sejak awal berdirinya Puskesmas Ambacang tahun 2006 , sesuai dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai Pusat Pemberi Pelayanan kesehatan maka Puskesmas Ambacang telah memberikan pelayanan secara optimal meliputi upaya : Peningkatan / Promotif. Pencegahan / Preventif Pengobatan / Kuratif. Pemulihan / Rehabilitatif. Bertolak dari keempat pelayanan tersebut diatas maka usaha pokok Puskesmas Ambacang bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni: 1. Upaya Kesehatan Wajib Upaya Kesehatan Wajib meliputi: * . Upaya Promosi Kesehatan Upaya Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana. Upaya Perbaikan Gizi. Upaya Kesehatan Lingkungan. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Upaya Pengobatan 2.Upaya Kesehatan Pengembangan. Upaya Kesehatan Pengembangan meliputi: Upaya Kesehatan Sekolah Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut Upaya Kesehatan Jiwa
29
Upaya Kesehatan Mata Upaya Kesehatan Usia Lanjut
Pelayanan UGD. Upaya pelayanan penunjang dari kedua upaya tersebut di atas antara lain upaya laboratorium medis sederhana dan upaya laboratorium kesehatan masyarakat serta upaya pencatatan pelaporan.
3.6.3 Tujuan Sebagai tujuan akhir yang dicapai dari penjabaran visi, misi dan strategi Puskesmas Ambacang adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas Ambacang sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
30