BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak 2.1.1
Definisi Anak Menurut Alimul (2005), Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun. Department of Child and Adolescent Health and Development mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia dibawah 20 tahun. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang ada dalam kandungan.
2.1.2
Kelompok Anak Berdasarkan Fase Perkembangan Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) anak dapat dikelompokkan
menurut fase perkembangannya. Fase perkembangan anak menurut Hockenbery dan Wilson (2009) terdiri dari fase prenatal, fase neonatal, fase infant, fase toddler, fase prasekolah, fase sekolah dan fase remaja. Fase prenatal mencakup masa kehamilan sampai anak dilahirkan. Fase neonatal merupakan masa saat bayi lahir sampai usia 28 hari. Fase infant adalah fase saat bayi berusia 1 bulan sampai 12 bulan. Fase toddler merupakan saat anak berusia 1-3 tahun. Setelah fase ini akan memasuki fase pra sekolah yaitu saat anak memesuki usia 3-6 tahun. Fase sekolah merupakan fase anak berusia 6-12 tahun, dan terakhir fase remaja yaitu saat anak memasuki usia 13-18 tahun.
10
11
2.1.3
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah Masa kanak-kanak pertengahan yaitu usia 6 sampai 12 tahun sering
disebut sebagai usia sekolah. Pada tahap perkembangan ini, anak mulai mempelajari ketrampilan fisik serta ketrampilan dasar, penyesuaian diri terhadap teman sebaya, masa luasnya minat dan kegiatan bermain serta membangun image yang positif terhadap diri sendiri dalam masa pertumbuhannya. Anak mulai menyadari jenis kelamin atau peran sosialnya, mengembangkan pengertianpengertian, integritas moral dan nilai-nilai dalam kehidupannya sehari-hari. Anak mengembangkan ketrampilan sosialisasi dikelompoknya dengan cara belajar bekerja sama, belajar bersaing, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab, belajar bersikap sportif, turut berbagi rasa, belajar bermain dan berolah raga. Belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok dan belajar perilaku sosial yang baik serta mencapai kebebasan pribadi untuk berkreasi. Keberhasilan anak menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya meningkatkan kepuasan dari rasa percaya diri (Hurlock, 1980) Anak lebih senang dan mendapat kepuasan bila bermain bersama dengan teman-teman kelompoknya daripada bermain dengan anggota keluarga di rumah. Anak berusaha mengendalikan ungkapan emosi ketika berada di luar rumah bersama kelompoknya, namun akan mengungkapkan emosi dengan lebih leluasa di rumah untuk melepaskan dorongan-dorongan yang belum terlampiaskan. Emosi kekecewaan diungkapkan dengan menangis, mengamuk, cemberut, merajuk, dan menggerutu. Pada periode ini emosi anak dapat meninggi karena keadaan fisik atau perubahan lingkungan. Jika mengalami sakit atau lelah, anak menjadi mudah
12
marah, rewel, dan sulit untuk ditenangkan. Kondisi kesehatan yang buruk menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang. Anak lebih senang mengungkapkan perasaan tidak senang yang dialaminya kepada teman akrabnya (Hurlock, 1980). Pada usia 7 sampai 11 tahun, anak memasuki tahap berpikir konkret. Anak mampu mengklasifikasi, menghubungkan berbagai hal-hal konkret dan membuat kesimpulan logis serta masuk akal. Anak mampu mengurutkan, menyusun, mengelompokkan dan menghubungkan secara sistematis fakta-fakta yang mereka rasakan untuk mencari suatu jawaban. Anak dapat menghadapi sejumlah situasi secara bersamaan dalam beberapa aspek yang berbeda. Anak belum memiliki kemampuan menghadapi sesuatu yang abstrak. Cara berpikir induktif, tidak berpusat pada diri sendiri dan dapat menerima perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri. Cara berpikir menjadi semakin tersosialisasi. Anak memiliki kekhawatiran yang besar terhadap keutuhan secara fisik. Tubuh merupakan hal yang penting dan bernilai khusus bagi anak. Anak menjadi sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang mengancam atau indikasi lain yang menyebabkan cedera secara fisik (Piaget dalam Wong, et al.2009). Pada tahapan operasional konkret dalam perkembangan kognitif, perkembangan moral anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Anak menghargai apa yang dilakukan orang tua terhadapnya, mengerti harapan orang tua tanpa memikirkan konsekuensi yang harus dijalani untuk memenuhi harapan orang tua. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan orang tua dianggap sebagai perilaku yang baik oleh anak sehingga hal tersebut mendorong
13
anak untuk menjadikan orang tua atau orang terdekat sebagai acuan untuk memutuskan segala sesuatunya (Wong, et al. 2009). Perkembangan spiritual anak usia sekolah berada pada tahap mythicalliteral. Perkembangan spiritual pada tahapan ini dibentuk bersamaan dengan perkembangan kognitif, berkaitan erat dengan interaksi sosial dan pengalaman belajar anak. Anak merasa sangat tertarik untuk mempelajari tentang agama dan Tuhan. Anak mempercayai kekuasaan Tuhan dalam kehidupan mereka, oleh karena itu anak mulai memanjatkan doa kepada Tuhan saat mereka menginginkan sesuatu dalam kehidupannya dan sangat memiliki keyakinan yang kuat bahwa doa mereka akan dikabulkan Tuhan. Anak membedakan perilaku baik dan buruk. Perilaku baik layak mendapat penghargaan atau hadiah dan perilaku buruk perlu mendapat hukuman (Wong, et al. 2009). Perkembangan psikososial menurut Erikson, pada usia 6 sampai 12 tahun anak berada pada tahap industri vs inferioritas. Anak mampu menyelesaikan suatu aktivitas sampai selesai. Anak menginginkan pencapaian yang nyata, mau dan mampu bekerja sama dengan orang lain, serta mempelajari aturan-aturan yang ditetapkan (Wong, et al. 2009). Anak usia sekolah merupakan masa belajar atau disebut periode memanjang. Pada masa ini dibutuhkan asupan nutrisi yang adekuat untuk menghindari masalah-masalah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik
perkembangan otak yang menjadi optimal (Wong, 2009).
dan
14
2.2
Kanker
2.2.1
Pengertian Kanker Kanker adalah penyakit proliferasi sel-sel tumor yang mempengaruhi
pertumbuhan sel normal, dimana terdapat gen pengativasi tumor yang mampu menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkendali jika ditransmisikan ke sel normal. Kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak. (Muscari, 2005)
2.2.2
Penyebab Kanker Penyebab kanker sampai saat ini belum diketahui secara pasti termasuk
kanker pada anak. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko anak mengalami kanker, diantaranya adalah faktor genetik, paparan prenatal (seperti ibu hamil yang menjalani pemeriksaan diagnostik dengan radiasi dapat meningkatkan resiko leukemia pada bayi yang dilahirkan), paparan postnatal seperti radiasi dan kemoterapi juga dapat meningkatkan risiko kanker. Selain itu, beberapa faktor risiko juga diindikasikan menyebabkan kanker seperti penggunaan obat dan alkohol, paparan terhadap zat-zat kimia dan polutan (Kathy dalam Baggott, et al.2002)
2.2.3
Jenis dan Manifestasi Klinis Kanker Pada Anak Menurut Children’s Oncology Group (COG) research tahun 2005, tipe
kanker pada anak adalah sebagai berikut:
15
a. Leukemia Leukemia adalah proliferasi sel darah putih yang abnormal. Leukemia dapat didiagnosa pada semua tingkat usia, tetapi memiliki puncak awitan antara usia 3 dan 5 tahun (Muscari, 2005). Anak yang menderita leukemia akan memperlihatkan gejala disfungsi sumsum tulang diantaranya anemia, infeksi dan perdarahan. Organ tubuh juga dapat terganggu akibat leukemia. Organ yang terganggu diantaranya limfa, hati dan kelenjar getah bening (Hockenberry & Wilson, 2007). b. Kanker pada sistem saraf pusat seperti tumor otak dan neuroblastoma. Tumor otak merupakan jenis tumor padat yang paling banyak terjadi pada anak-anak dan merupakan peringkat kanker nomor dua yang paling terjadi pada anak-anak. Tumor otak sering terjadi pada bagian otak kecil, otak tengah dan batang otak (Muscari, 2005). Tumor Otak dimanifestasikan dengan perubahan perilaku dan sistem saraf seperti sakit kepala, mual, muntah, pusing, perubahan fungsi penglihatan dan pendengaran, kelemahan dan gejala yang tidak spesifik lainnya (Ball & Blinder, 2003). Neuroblastoma adalah tumor yang muncul dari sel sistem saraf simpatis dan merupakan sel yang tidak berdeferensiasi dan sangat invasive (Muscari, 2005). Lokasi
tumor
menentukan
gejala
dari
neuroblastoma
yang
dapat
mempengaruhi fungsi sistem perkemihan, sistem pernafasan dan sistem muskuloskeletal.
16
c. Sarkoma Sarkoma meliputi sarkoma osteogenik, ewing’s sarcoma dan sarkoma pada jaringan lunak (rabdomiosarkoma). Sarkoma osteogenik merupakan jenis tumor pada tulang panjang yang mempengaruhi pertumbuhan jaringan tulang (sel dan jaringan mesenkim) dengan cepat. Ewing’s sarcoma merupakan jenis tumor ganas (maligna) yang terjadi pada sumsum tulang di daerah diafisis (bagian tengah tulang panjang) (Muscari, 2005). Keluhan anak yang mengalami tumor tulang akan mengeluhkan nyeri tulang terutama pada waktu melakukan aktivitas (Hockenberry & Wilson, 2007). Rabdomiosarkoma merupakan tumor pada otot yang berasal dari jaringan mesenkim embrionik yang membentuk otot, jaringan penyambung dan vaskuler. Manifestasi klinis pada rabdomiosarkoma tergantung pada organ atau jaringan yang mengalami tumor (Ball & Bindler, 2003). d. Lymphoma Lymphoma terdiri dari Hodgkin’s dan Non Hodgkin’s lymphoma. Penyakit Hodgkin’s merupakan salah satu penyakit yang menyerang kelenjar limfe yang berada dekat dengan area permukaan tubuh seperti leher, ketiak dan lipatan paha. Limfoma Hodgkin dikarakteristikan dengan pembesaran nodus limfe tanpa nyeri. Biasanya ditemukan adalah pembesaran, tegas, tidak lunak, nodus yang bergerak pada area supraklavikula. Manifestasi sistemik yang terjadi antara lain demam, anoreksia, mual, penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari dan pruritus (Muscari, 2005). Non Hodgkin’s
17
lymphoma adalah penyakit yang menyerang kelenjar limfe di bagian terdalam tubuh (COG, 2005). e. Kanker pada hati atau hepatoblastoma Kanker hati atau hepatoblastoma adalah tumor yang paling ganas yang mengenai hati pada anak. Manifestasi dan pemeriksaan yang penting untuk menegakkan diagnosa kanker hati adalah dengan terlihat adanya masa pada abdomen. Beberapa anak dapat melaporkan anoreksia, penurunan berat badan, muntah dan nyeri pada abdomen namun hal ini tergantung pada tipe penyakit dan karsinoma pada sel hati (O’Neill dalam Baggott, et al. 2001). f. Kanker pada ginjal atau Tumor Wilms atau Nefroblastoma Tumor wilms atau nefroblastoma adalah neoplasma ganas pada ginjal. Tumor wilms merupakan tumor intraabdomen yang paling sering terjadi pada anakanak dan merupakan tumor padat yang paling bisa disembuhkan pada anakanak (Muscari, 2005). Tumor wilms merupakan tumor tunggal yang terjadi pada parenkim ginjal. Manifestasi klinis tumor wilms yaitu adanya masa di pinggang, nyeri, hematuria, demam, malaise dan penurunan berat badan serta anoreksia (Betz, 2009). g. Kanker jenis lain seperti retinoblastoma dan germ cell tumors Retinoblastoma merupakan tumor maligna pada retina yang terjadi pada awal kehidupan. Gejala yang khas pada retinoblastoma adalah mata anak terlihat seperti mata kucing (cat’s eye) dan terlihat adanya leukokoria (Hockenberry & Wilson, 2007).
18
Germ cell tumors sering terjadi pada testis, ovarium, bagian bawah tulang belakang (sacrococygeal), bagian tengah otak, dada dan abdomen (COG, 2005).
2.2.4
Manajemen Penanganan Kanker Pada Anak Pada anak, kanker diobati dengan satu atau kombinasi dari terapi seperti
pembedahan, kemoterapi, radiasi, bioterapi dan transplantasi sumsum tulang (Ball & Bindler, 2003; Cameron & Allen, 2009). a. Operasi Operasi merupakan salah satu tindakan penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan kanker pada anak. Ada beberapa kasus tumor padat yang dapat diobati tanpa operasi. Untuk mendapatkan efek yang terapeutik, biasanya operasi dikombinasikan dengan kemoterapi dan radiasi. b. Kemoterapi Kemoterapi adalah pemberian agen kimia atau obat antineoplastik yang bertujuan untuk mengobati penyakit melalui penekanan pertumbuhan organ penyebab dan tidak membahayakan bagi pasien. Kemoterapi adalah fokus dalam manajemen penyakit kanker. Pada saat ini banyak penyakit yang diobati dengan kemoterapi, namun dalam pemberian obat kemoterapi harus dipahami mengenai prinsip pemberian kemoterapi tersebut seperti jenis obat, dosis, rute pemberian, jadwal pemberian dan pengetahuan tentang toksisitas obat baik akut maupun kronik (Guy & Ingram dalam McCorkle et al, 1996). Agen antineoplastik akan lebih efektif jika diberikan secara kombinasi yang aktif melawan tumor dan dapat saling bersinergi dalam regimen terapi. Agen
19
antineoplastik pada kanker dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu Alkylating agents (seperti: siklofosfamid, ifosfamid, busulfin, dacarbazine, carbolpastin, cisplatin dan lain-lain), plants alkaloids (seperti: vinkristin, vinblastin, etoposide, dan paclitaxel), daunorubicin,
dactinomicin,
methotrexate,
5-fluorouracil,
dan dan
antitumor antibiotics (seperti:
bleomicin),
antimetabolic
fazarabine),
dan
(seperti:
miscellaneous
antineoplastic (seperti: asparaginase dan hydroyurea) (Guy & Ingram dalam McCorkle et al, 1996). Selama pemberian kemoterapi, perawat memberikan obat-obat lain seperti obat antiemetik untuk mengontrol mual, supplement vitamin dan antibiotik. Semua obat harus diberikan secara aman (patient safety) dan harus dimonitor terhadap efek samping dari kemoterapi. Banyaknya obat yang diberikan dapat menimbulkan berbagai efek samping pada tubuh yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk metabolisme dan mengekskresikan obat ( Ball & Bindler, 2003). c. Radioterapi Terapi radiasi adalah terapi yang menggunakan sinar atau partikel dengan ion berenergi tinggi untuk mengobati kanker. 60% dari pasien kanker menjalani terapi radiasi sebagai bagian dalam pengobatan penyakit. Radiasi ion energi tinggi (high-energy ionizing radiation), merusak kemampuan sel kanker untuk tumbuh dan berkembang. Beberapa sel tumor dapat ditekan secara langsung oleh partikel-partikel atau ion radiasi. Dalam pemberian terapi radiasi yang
20
bertujuan untuk membunuh sel-sel kanker, maka perlu diperhatikan tindakan dalam meminimalkan kerusakan pada sel normal (Iwamoto dalam Otto, 2001). Terapi radiasi dapat diberikan melalui beberapa cara diantaranya adalah diluar tubuh (external beam radiation), menanamkan sebuah radioaktif pada area tumor atau kanker (brachytherapy) yang memberikan efek lokal dalam pengobatan kanker serta pemberian secara oral atau intravena untuk efek sistemik (Iwamoto dalam Otto, 2001). 2.2.5
Dampak Penyakit dan Pengobatan Kanker Pada Anak Anak dapat mengalami berbagai macam masalah terkait dengan penyakit
dan pengobatan. Pengobatan kanker terutama kemoterapi dapat memberikan efek pada fisik, psikologis anak dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta kualitas hidup anak (Hockenberry & Wilson, 2007)
a.
Dampak Fisik Pada umumnya efek samping agen kemoterapi antara lain infeksi,
perdarahan, anemia, mual dan muntah, gangguan nutrisi, ulserasi mukosa serta alopesia. Efek samping lain misalnya diare, konstipasi, nyeri, kerusakan integritas kulit, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, toksik ginjal, neurotoksik, kelemahan kardiotoksik dan ototoksik terutama pada karboplastin dan cisplatin (Muscari, 2005). Efek samping dari Cisplatin terdiri atas mual dan muntah, penurunan nafsu makan
dan
kebotakan.
Selain
itu
cisplatin
juga
dapat
menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit pada anak yang terdiri atas hipomagnesemia, hipokalemi dan hiperkalsemi. Efek samping serius dari cisplatin adalah
21
nefrotoksik, neuropati perifer, penekanan sumsum tulang dan ototoksik (Cameron & Allen, 2009). Kemoterapi yang signifikan dapat diprediksi menyebabkan terjadinya toksisitas, dimana hal ini menjadi lebih serius apabila gejala toksisitas berkembang pada waktu pasien berada dirumah diantara siklus pengobatan. Kemoterapi dapat menyebabkan terjadinya sepsis neutropeni yang berakibat fatal apabila pengobatannya terlambat dan tidak tepat (Lennan, et al. 2010). Kejadian tumor lysis syndrome (TLS) juga berakibat fatal pada anak dan dapat menimbulkan kematian. TLS merupakan kondisi kelainan metabolic sebagai akibat nekrosis sel-sel tumor atau apoptosis fulminan, baik yang terjadi secara spontan maupun setelah terapi. Kelainan yang terjadi diantaranya hiperkalemia, hiperurisemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia (Ball & Bindler, 2003).
b.
Dampak Psikologis Klien dengan kanker dapat mengalami kecemasan dan depresi akibat
penyakit yang diderita. Hal ini merupakan keadaan yang normal, namun sebagian klien yang menderita kanker membutuhkan intervensi psikologis dalam menjalani pengobatan kanker (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Kecemasan dan depresi merupakan respon yang paling umum terjadi pada anak dengan kanker dan menjalani pengobatan. Secara normal, kecemasan dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit dan pengobatan pada penderita kanker. Kecemasan dapat reaktif dan situasional berhubungan dengan ketakutan setelah terdiagnosa penyakit dan selama menjalani pengobatan. Tanda-tanda kecemasan seperti ketegangan, stress, gangguan
22
perasaan dan gangguan tidur. Nyeri, perasaan mual dan muntah yang tidak terkendali, hipoksia, dan menolak pengobatan juga merupakan tanda-tanda kecemasan (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Kecemasan kronik yang timbul sebelum diagnosis kanker dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan, fobia dan gangguan panik. Hal ini dapat menimbulkan resiko bagi individu, karena klien merasa sudah sembuh dari kanker dan tidak memerlukan pengobatan, klien merasa kelelahan, kurang istirahat, tidak bisa berkonsentrasi, iritabel, tegang, denyut jantung cepat, hilang kontrol dan klien mengalami gangguan jiwa. Peranan perawat yang terpenting terhadap pasien adalah berespon terhadap gejala psikologis pada pasien dengan rasa empati, peduli dan tidak menyalahkan serta mendukung kekuatan keluarga dalam menghadapi krisis (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Depresi (depression) merupakan respon psikologis pada anak kanker. Walaupun perasaan kesedihan dan perasaan yang hampa merupakan reaksi yang normal pada pasien kanker, namun hal ini dapat berkembang menjadi depresi. Depresi biasanya terjadi pada pasien selama proses penyakit dan pengobatan. Penyebab timbulnya depresi sulit untuk ditentukan. Umumnya depresi terjadi karena stres terhadap penyakit, perubahan biologis, dan karena pengobatan. Kejadian depresi meningkat pada pasien yang mendapatkan pengobatan kanker dan yang mengalami efek samping dari pengobatan (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Kegagalan anak dalam beradaptasi dengan kondisi fisik dan pengobatan dapat mempengaruhi fungsi psikososial anak. Penelitian yang dilakukan oleh
23
Enskar dan Von Essen (2008) menunjukkan bahwa pada umumnya anak yang sedang
menjalani
kemoterapi
menunjukkan
distress
psikososial
yang
mempengaruhi kepuasan anak dalam berpartisipasi terhadap kehidupan sosialnya. Selain masalah psikososial, anak yang lebih besar akan memperlihatkan gejala depresi dan berbagai perubahan perilaku akibat dari penyakit dan regimen terapi. Fatique, mual dan muntah serta gangguan tidur yang apabila terjadi bersama-sama berupa suatu kumpulan gejala yang dapat menimbulkan gejala depresi dan perubahan perilaku pada remaja, namun pada anak gejala fatigue saja dapat mengakibatkan timbulnya gejala depresi dan perubahan perilaku. Kluster gejala ini secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup anak dengan kanker (Hockenbery et al.2010).
2.3
Kecemasan atau Ansietas
2.3.1
Pengertian Kecemasan Kecemasan atau ansietas merupakan respon individu terhadap suatu
keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan atau ansietas berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah pengalaman subjektif dari individu dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut adalah adanya objek/sumber yang spesifik dan dapat diidentifikasi serta dijelaskan oleh individu. Rasa takut terbentuk dari proses kognitif yang melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam. Ketakutan
24
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis ketika individu dapat mengidentifikasi dan menggambarkannya (Suliswati, dkk.2005)
2.3.2
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Faktor presipitasi munculnya kecemasan menurut Stuart dan Laraia (2005)
adalah ancaman terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap integritas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan fisiologik atau ketidakmampuan pemenuhan aktivitas sehari-hari dan merasa kehilangan kontrol. Sedangkan ancaman terhadap sistem diri berhubungan dengan ancaman identitas, harga diri dan integrasi fungsi sosial.
2.3.3
Klasifikasi Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (2007), manifestasi cemas dapat meliputi
aspek fisik, emosi, kognitif, dan tingkah laku. Respon terhadap ancaman dapat berkisar dari kecemasan ringan, sedang, berat dan panik. a.
Kecemasan Ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Gejala adanya kecemasan ringan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Tucker, 2007).
25
b.
Kecemasan Sedang Kecemasan sedang merupakan tahap persepsi pada lingkungan yang
semakin menurun. Individu lebih memfokuskan pada hal-hal yang lebih penting pada saat ini dan mengesampingkan hal yang lain. Gejala yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis (Stuart & Sundeen, 2007). c.
Kecemasan Berat Kecemasan berat merupakan tahap persepsi pada lingkungan menjadi
sangat menurun. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Gejala yang muncul pada kecemasan berat diantaranya yaitu mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur atau insomnia, sering buang air kecil, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi. d.
Kecemasan Sangat Berat atau Panik Kecemasan sangat berat atau panik ditandai dengan persepsi individu yang
sudah sangat sempit sehingga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat
26
melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pangarahan dan tuntunan. Keadaan ini terjadi karena peningkatan aktifitas motorik tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu lama dapat terjadi kelelahan yang sangat berat bahkan kematian. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan yang tidak sesuai, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi (Stuart, 2002).
2.3.4
Respon terhadap Kecemasan Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan menurut Suliswati (2005) antara lain: a.
Respon Fisiologis terhadap kecemasan Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh (Muscari, 2005). Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah (Pott & Modleco, 2007). b.
Respon Psikologis terhadap kecemasan Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat
ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada (Stuart, 2002).
27
c.
Respon Kognitif Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir
maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi buruk (Stuart, 2007). d.
Respon Afektif Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan,
gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan (Stuart , 2002). 2.3.5
Kecemasan pada anak yang menjalani kemoterapi Kecemasan merupakan respon yang paling umum terjadi pada anak dengan
kanker. Secara normal, kecemasan dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit dan pengobatan pada penderita kanker. Salah satu pengobatan kanker adalah kemoterapi. Selama pemberian kemoterapi dapat berakibat pada fisik pasien, psikologis, sosial dan spiritual (Ferrer, 2007). Salah satu dampak psikologis pasien adalah kecemasan. Kecemasan dapat reaktif dan situasional berhubungan dengan ketakutan setelah terdiagnosa penyakit dan selama menjalani pengobatan. Kecemasan pada anak akan timbul karena dampak yang terjadi dari pengobatan dan selama prosedur pengobatan maupun diagnosis seperti anemia, stomatitis, malaise, mual, muntah, lesu, lemas, tidak dapat beraktivitas, berat badan menurun, perubahan warna kulit, nyeri, takut untuk dilakukan pemasangan
28
kateter intravena, prosedur pengambilan darah, kerontokan rambut, perubahan citra tubuh pasien, bahkan cemas akan kematian (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Tanda-tanda kecemasan seperti ketegangan, stress, gangguan perasaan dan gangguan tidur. Nyeri, perasaan mual dan muntah yang tidak terkendali, hipoksia, dan menolak pengobatan juga merupakan tanda-tanda kecemasan (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). 2.3.6
Alat ukur kecemasan Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang secara umum
dapat menggunakan alat ukur (instrument) berbentuk kuisioner yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4 yang artinya adalah: 0: tidak ada
(tidak ada gejala sama sekali)
1: ringan
(satu gejala dari pilihan yang ada)
2: sedang
(separuh dari gejala yang ada)
3: berat
(lebih dari separuh dari gejala yang ada)
4: berat sekali
(semua gejala ada)
Alat ukur ini menggunakan teknik wawancara secara langsung. Masingmasing angka dari ke 14 gejala kelompok tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu: Skor <14
(tidak ada kecemasan)
14-20
(kecemasan ringan)
29
21-27
(kecemasan sedang)
28-41
(kecemasan berat)
42-56
(kecemasan berat sekali) Alat yang digunakan untuk mengukur kecemasan pada anak adalah
Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS). RCMAS merupakan alat yang digunakan untuk menilai derajat dan kualitas kecemasan yang dialami oleh anak-anak dan remaja. RCMAS ini didasarkan pada Children Manifest Anxiety Scale (CMAS) yang dirancang oleh Casteneda, McCandless dan Palemo (1956) kemudian dikembangkan oleh Reynold dan Richmond (1978). RCMAS ini cocok digunakan untuk menilai derajat dan kualitas kecemasan pada anak usia 6-19 tahun. Kuisioner ini terdiri dari tiga faktor kecemasan yang dinilai yaitu kecemasan fisiologis (10 item), khawatir/oversensitivity (11 item), konsentrasi dan kepedulian sosial (7 item) dengan jawaban ya (skor 1) dan tidak (skor 0). Jumlah skor butir pernyataan pada kuisioner RCMAS yang diperoleh adalah 0-28 (Asian nursing research, 2009) Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah RCMAS. Hal ini dikarenakan RCMAS sudah sesuai untuk anak usia 6-19 tahun. Selain itu, keuntungan memakai RCMAS adalah tidak perlu memerlukan waktu pemeriksaan yang lama dan hanya memerlukan waktu selama 10-15 menit.
30
2.4
Konsep Terapi Bermain
2.4.1
Pengertian Terapi Bermain Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah
satu alat penting untuk penatalaksanaan stress. Hospitalisasi dapat menimbulkan krisis dalam kehidupan anak dan situasi tersebut sering disertai stress berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stress. Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan anak seperti kebutuhan perkembangan dan kebutuhan bermain tidak juga terhenti pada saat anak sakit atau anak di rumah sakit (Wong, 2009). Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling efektif menurunkan stress pada anak dan penting untuk mensejahterakan mental dan emosional anak (Champbel & Glaser, 1995 dikutip oleh Supartini, 2004). Bermain dapat dijadikan sebagai suatu terapi karena terfokus pada kebutuhan anak untuk mengekspresikan diri mereka melalui penggunaan mainan dalam aktivitas bermain dan dapat juga digunakan untuk membantu anak mengerti tentang penyakitnya (Mc. Guiness, 2001) Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan (Supartini,2004). Bermain merupakan bentuk infantile dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam, 2005).
31
2.4.2
Tujuan Bermain Anak bermain pada dasarnya agar memperoleh kesenangan, sehingga ia
tidak akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makan, perawatan dan cinta kasih. Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan sosial (Soetjiningsih, 1995). Dalam melakukan permainan anak dapat mengungkapkan konflik yang dialaminya, bermain cara yang baik untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran dan kedukaan. Selain itu, dengan bermain anak dapat menyalurkan tenaga yang berlebihan dan ini merupakan kesempatan yang baik untuk bergaul dengan anak lainnya (Soetjiningsih, 1995).
2.4.3
Fungsi Bermain Dunia anak tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bermain. Diharapkan
dengan bermain, anak akan mendapatkan stimulus yang mencukupi agar dapat berkembang secara optimal. Menurut Supartini (2004), fungsi bermain pada anak yaitu: a.
Perkembangan sensoris-motorik: aktivitas sensoris-motorik merupakan
komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembanga fungsi otot. b.
Perkembangan intelektual: anak melakukan eksplorasi dan manipulasi
terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek. Misalnya, anak bermain
32
mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka anak telah belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi, akan melatih kemampuan intelektualnya. c.
Perkembangan sosial: perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan dari hubungan tersebut. Saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman, memahami lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah dan remaja d.
Perkembangan
kreativitas:
berkreasi
adalah
kemampuan
untuk
menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. e.
Perkembangan
kesadaran
diri:
melalui
bermain,
anak
akan
mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari
33
perilakunya terhadap orang lain. Nilai-nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan
diri
dengan
aturan-aturan
kelompok
yang
ada
dalam
lingkungannya. f.
Bermain Sebagai Terapi Pada saat anak dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai
perasaan yang sangat tidak menyenangkan seperti: marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi). 2.4.4
Kategori Bermain
a.
Bermain Aktif Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang dilakukan anak,
apakah dalam bentuk kesenangan bermain alat misalnya mewarnai gambar, melipat kertas origami, puzzle dan menempel gambar. Bermain aktif juga dapat dilakukan dengan bermain peran misalnya bermain dokter-dokteran dan bermain dengan menebak kata (Hurlock, 1998).
34
b.
Bermain Pasif Dalam bermain pasif, hiburan atau kesenangan diperoleh dari kegiatan
orang lain.Pemain menghabiskan sedikit energi, anak hanya menikmati temannya bermain atau menonton televisi dan membaca buku. Bermain tanpa mengeluarkan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hampir sama dengan bermain aktif (Hurlock, 1998).
2.4.5
Klasifikasi Permainan Menurut Wong (1999), bahwa permainan dapat diklasifikasikan:
a. Berdasarkan isinya 1) Bermain afektif sosial (social affective play) Permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapat kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan orangtua dan orang lain. Permainan yang biasa dilakukan adalah “cilukba”, berbicara sambil tersenyum/tertawa atau sekedar memberikan tangan pada bayi untuk menggenggamnya tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa. 2) Bermain untuk senang-senang (sense of pleasure play) Permainan ini menggunakan alat yang bisa menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda-benda apa saja yang dapat dibentuk dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan
35
melakukan bermacam-macam permainan seperti memindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. 3) Permainan Ketrampilan (skill play) Permainan ini akan menimbulkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil akan memegang bendabenda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. 4) Permainan simbolik atau pura-pura (dramatic play role) Permainan anak ini yang memainkan peran orang lain melalui permainannya. Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa. Misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya sebagai yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk memproses/mengindentifikasi anak terhadap peran tertentu. b. Berdasarkan jenis permainan (Supartini, 2004): 1) Permainan (Games) Permainan adalah jenis permainan dengan alat tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini yang dimulai dari sifat tradisional maupun modern seperti ular tangga, congklak, puzzle dan lain-lain. 2) Permainan yang hanya memperhatikan saja (unoccupied behaviour)
36
Pada saat tertentu anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Anak melamun, sibuk dengan bajunya atau benda lain. Jadi sebenernya anak tidak memainkan alat permainan tertenty dan situasi atau objek yang ada di sekelilingnya yang digunakan sebagai alat permainan. Anak memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Peran ini berbeda dengan onlooker, dimana anak aktif mengamati aktivitas anak lain. c. Berdasarkan karakteristik sosial 1)
Solitary play. Dimulai dari bayi (toddler) dan merupakan jenis permainan
sendiri atau independen walaupun ada orang lain disekitarnya. Hal ini karena keterbatasan sosial, ketrampilan fisik dan kognitif. 2)
Paralel play. Dilakukan oleh suatu kelompok anak balita atau prasekolah
yang masing-masing mempunyai permainan yang sama tetapi satu sama lainnya tidak ada interaksi dan tidak saling tergantung. Dan karakteristik khusus pada usia toddler. 3)
Associative play. Permainan kelompok dengan tanpa tujuan kelompok.
Yang mulai dari usia toddler dan dilanjutkan sampai usia prasekolah dan merupakan permainan dimana anak dalam kelompok dengan aktivitas yang sama tetapi belum teroganisir secara formal. 4)
Cooperative play. Suatu permainan yang teroganisir dalam kelompok, ada
tujuan kelompok dan ada memimpin yang di mulai dari usia pra sekolah. Permainan ini dilakukan pada usia sekolah dan remaja.
37
5)
Onlooker play. Anak melihat atau mengobservasi permainan orang lain
tetapi tidak ikut bermain, walaupun anak dapat menanyakan permainan itu dan biasanya dimulai pada usia toddler. 6)
Therapeutic play. Merupakan pedoman bagi tenaga tim kesehatan,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak selama hospitalisasi. Dapat membantu mengurangi stress, memberikan instruksi dan perbaikan kemampuan fisiologis (Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh Supartini, 2004). Permainan dengan menggunakan alat-alat medik dapat menurunkan kecemasan dan untuk pengajaran perawatan diri. Pengajaran dengan melalui permainan dan harus diawasi seperti: menggunakan boneka sebagai alat peraga untuk melakukan kegiatan bermain seperti memperagakan dan melakukan gambar-gambar seperti pasang gips, injeksi, memasang infus dan sebagainya
2.4.6
Prinsip dalam Aktivitas Bermain Menurut Soetjiningsih (1995), agar anak-anak dapat bermain dengan
maksimal, maka diperlukan hal-hal seperti: a.
Ekstra energy, untuk bermain diperlukan energi ekstra. Anak-anak yang
sakit kecil kemungkinan untuk melakukan permainan. b.
Waktu, anak harus mempunyai waktu yang cukup untuk bermain sehingga
stimulus yang diberikan dapat optimal c.
Alat permainan, untuk bermain alat permainan harus disesuaikan dengan
usia dan tahap perkembangan anak serta memiliki unsure edukatif bagi anak.
38
d.
Ruang untuk bermain, bermain dapat dilakukan dimana saja, diruang
tamu, halaman, bahkan di tempat tidur. e.
Pengetahuan cara bermain, dengan mengetahui cara bermain maka anak
akan lebih terarah dan pengetahuan anak akan lebih berkembang dalam menggunakan alat permainan tersebut. f.
Teman bermain, teman bermain diperlukan untuk mengembangkan
sosialisasi anak dan membantu anak dalam menghadapi perbedaan. Bila permainan dilakukan bersama dengan orang tua, maka hubungan orang tua dan anak menjadi lebih akrab.
2.4.7
Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain Menurut Supartini (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak
dalam bermain yaitu: a.
Tahap perkembangan anak, aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak
yaitu harus sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak, karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. b.
Status kesehatan anak, untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan
energi bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat anak sedang sakit. c.
Jenis kelamin anak, semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-
laki atau anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi, permainan adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri
39
d.
Lingkungan yang mendukung, dapat menstimulasi imajinasi anak dan
kreativitas anak dalam bermain e.
Alat dan jenis permainan yang cocok, harus sesuai dengan tahap tumbuh
kembang anak.
2.4.8
Jenis Permainan Anak Usia Sekolah
a.
Ciri-ciri alat permainan untuk anak usia 6-12 tahun Menurut Adriana (2011) ciri-ciri alat permainan untuk anak usia 6-12
tahun yaitu: 1) Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan 2) Mengembangkan kemampuan berbahasa 3) Mengembangkan pengertian tentang berhitung,
yaitu menambah dan
mengurangi 4) Merangsang daya imajinasi 5) Menumbuhkan sportivitas 6) Mengembangkan kepercayaan diri 7) Mengembangkan kreativitas 8) Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan kasar 9) Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang lain. b.
Jenis Alat Permainan yang dianjurkan untuk anak usia 6-12 tahun Menurut Adriana (2011) jenis alat permainan yang dianjurkan untuk anak
usia 6-12 tahun yaitu: 1) Kertas lipat (origami)
40
2) Menggambar dan mewarnai 3) Puzzle 4) Teka-teki/tebak-tebakan 5) Alat permainan musik 6) Buku cerita, majalah 7) Game
2.5
Konsep Menggambar dan Mewarnai
2.5.1
Pengertian Menggambar dan Mewarnai Menggambar adalah membuat gambar. Gambar adalah tiruan barang
(orang, binatang, tumbuhan dan sebagainya) yang dibuat dengan coretan pensil dan kertas. Menggambar dapat diartikan sebagai kegiatan membuat gambar atau melukis. Mewarnai adalah kegiatan memberikan warna pada gambar atau tiruan barang yang dibuat dengan coretan pensil atau pewarna pada kertas (Sudaryat, 2011).
2.5.2
Manfaat Menggambar dan Mewarnai Menurut Sudaryat (2011), warna adalah kesan yang diperoleh dari cahaya
berupa pantulan dari benda-benda yang dikenalnya. Kegunaannya sebagai daya tarik, pembentuk sifat dan karakter, pembuat suasana dan pembangkit emosi. Hasil penelitian para ahli menyatakan bahwa warna yang digunakan anakanak adalah warna-warna primer, dengan kata lain anak masih suka pada warnawarna murni seperti merah, kuning, hijau, dan biru. Adapun anak yang mewarnai
41
gambarnya sesuai dengan warna alam benda , hanyalah terbatas pada warnawarna tertentu, misalnya: hijau untuk daun, coklat untuk tanah dan biru untuk langit atau laut. Sebagian besar anak memilih warna apa saja yang mereka inginkan disamping mereka sendiri sudah memiliki warna kesukaan. Kedua hal ini terjadi disebabkan oleh pengaruh warna secara kejiwaan terhadap seseorang. Pengaruh warna secara kejiwaan ini berbeda dengan pengaruh warna secara inderawi karena hal itu merupakan cita rasa masing-masing individu. Pengaruh warna secara inderawi relatif sama untuk setiap individu, misalnya: warna orange dan kuning yang dapat menyilaukan atau warna hijau yang menyejukkan. Terapi warna dinyatakan bisa membantu menyeimbangkan gangguan fisik, emosional dan spiritual. Setiap warna bergema ke frekuensi berbeda, dan membawa sifat penyembuhan yang spesifik. Warna digunakan untuk menenangkan pikiran dan jiwa adalah hijau dan biru. Warna biru melambangkan ketenangan dan kesedihan. Selain itu, warna biru juga membantu mengatasi peradangan, menghentikan perdarahan, meredakan demam, meredakan stress, rasa nyeri serta menenangkan agresi dan histeria. Warna hijau dapat dikatakan penyembuh yang luar biasa. Hijau digunakan untuk menyeimbangkan dan menstabilisasi energi tubuh. Warna kuning dapat menstimulasi konsentrasi. Warna kuning dapat digunakan untuk mengurangi keluhan penyakit yang berhubungan dengan stress. Warna merah untuk memulihkan pasien dengan amarah (Turana, 2010). Menggambar dan mewarnai sebagai salah satu permainan yang memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik.
42
Anak dapat mengekspresikan perasaanya dengan cara menggambar. Menggambar bagi anak merupakan suatu cara untuk berkomunikasi tanpa menggunakan katakata, dengan menggambar atau mewarnai gambar juga dapat memberikan rasa senang karena pada dasarnya anak usia sekolah sudah sangat aktif dan imajinatif. Selain itu anak masih tetap dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus meskipun masih menjalani perawatan di rumah sakit (Suparto, 2003).
2.6
Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kecemasan Anak
yang
Menjalani Kemoterapi Anak yang menderita kanker dapat mengalami berbagai macam masalah terkait dengan penyakit dan pengobatan. Pengobatan kanker terutama kemoterapi dapat memberikan efek pada fisik, psikologis yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta kualitas hidup anak (Hockenberry & Wilson, 2007). Anak yang menjalani kemoterapi dapat mengalami kecemasan dan depresi. Kecemasan yang dialami dapat reaktif dan situasional berhubungan dengan ketakutan setelah terdiagnosa penyakit dan selama menjalani pengobatan. Selain itu, anak juga akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan seperti: marah,takut, cemas dan nyeri (Shell & Kirsch dalam Otto, 2001). Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaanya. Media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan. Permainan merupakan kegiatan yang sehat dan diperlukan untuk tumbuh
43
kembang. Dalam melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakit pada permainannya (distraksi) dan dapat mengungkapkan perasaannya (Supartini, 2004).