BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Perkembangan Kota Medan Dalam riwayat Hamparan Perak, tercatat Guru Patimpus, tokoh
masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka’desa’ yang diberi nama Medan. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di kampung Pekan. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karna itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan. Kota Medan berdiri pada tahun 1590 sebagai kota pelabuhan, dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (Tengku Luckman Sinar, 1991), dituliskan bahwa menurut “Hikayat Aceh”, Medan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Dalam Syahrum (2004), Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda. Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno disitu
5 Universitas Sumatera Utara
sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari Hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1950. Setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945 Kota Medan ditetapkan sebagai Ibukota Propoinsi Sumatera Utara, dan wilayahnya diperluas dari 1.583 hektar menjadi 5.130 hektar, yang terdiri dari 4 (empat) daerah kecamatan yaitu kecamatan Medan Deli, kecamatan Medan Sunggal, kecamatan Medan Timur, dan Kemacamatn Medan Barat. Pada tahun 1986 kota Medan berkembang lagi menjadi 21 kecamatan dengan 144 Kelurahan dan luas keseluruhan adalah 26.500 Km2. Sejak tahun 1990 penduduk Kota Medan mengalami kenaikan yang cukup nyata hingga ke tahun 2001 yaitu berdasarkan Sensus Penduduk dari 1.730.725 jiwa pada tahun 1990 menjadi 1.926.520 jiwa di tahun 2001.
6 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Skala perkembangan kota Medan tahun 1862-1972 Sumber: Bapeda Pemprop Sumatera Utara 2.2.
Sejarah Perkembangan Kawasan Kesultanana Deli
2.2.1. Terbentuknya Bangunan Peninggalan Kesultanan Deli Dalam Syahrum (2004), pada periode 1873 sampai dengan 1900 merupakan periode perkembangan dari penanaman tembakau oleh perkebunanperkebunan asing di Deli, terutama dibawah pimpinan J.T.Cremer. Tembakau yang ditanam di daerah Deli adalah tembakau terbaik yang laku terjual dengan harga pasaran tertinggi di Eropa sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Dari hasil pembayaran atas konsesi perkebunan (CIJNS), kerajaan Deli mengalami masa kemakmurannya. Tuanku Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah naik tahta kerajaan Deli menggantikan ayahanda Baginda Sultan Mahmud yang mangkat pada tahun 1873, saat itu Sultan Makmun masih berusia 16 tahun. Setelah berusia 18 tahun, yaitu pada tahun 1875, beliau berangkat ke ibukota Sumatera Timur, Bengkalis. Di Istana Siak beliau meminta Sultan Siak melakukan upacara sehingga beliau menerima cap dari Siak. Berdasarkan akte van erkening (akte pengakuan) yang
7 Universitas Sumatera Utara
dibuat oleh Sultan Mahmud Deli kepada Residen Riau, E.Neicher, tahun 1862, Deli dianggap tunduk kepada Belanda (Tengku Luckman Sinar, 2004). Maka sebagai kompromi secara adat Melayu, Sultan Siak dianggap pangkatnya sedikit lebih tinggi dalam upacara penerimaan akte van verband yang ditanda tangani pada tanggal 26 Juli 1876. Sultan Makmun menjunjung sembah kepada Sultan Siak dalam upacara adat Melayu. Sebagai Sultan Deli Sultan Makmun Alrasyid pada tanggal 8 Djulhijjah 1306 H (1888) melakukan peletakan batu pertama Istana Agung Kota Maimun di atas tanah pertapakan kota Maksun, bekas konsesi Mabar-Deli Tua yang dikembalikan oleh Deli Mijn kepada Sultan Deli. Pembangunan Istana yang memakan biaya FI. 1.000.000 yang dananya diambil dari Royalti sewa tanah perkebunan ini menggantikan Istana Kampong Bahari di daerah Labuhan deli sebagai Istana Kesultanan Deli.
Gambar 2.2. Istana Maimun pada tahun 1890-1905 Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Maimun_Palace
8 Universitas Sumatera Utara
Istana Agung Kota Maimun resmi ditempati oleh Sultan Deli pada tanggal 9 Syawal 1308 H (1891) dengan ditandai kepindahan Sultan dari Istana Kampung Bahari ke Istana Kota Maimun. Sebagai pelengkap di lingkungan kota Maimun maka pada hari Sabtu, 16 Mei 1903, dibangun Mahmakah Kantor Kerapatan Besar Kerajaan Deli di jalan Mahkamah. Menuyusul pada tanggal 1 Rajab 1324 H (1906) dimulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun. Sebagai arsitek Istana Agong Kota Maimun dan Masjid Raya Al Mahsun adalah seorang arsitek tentara KNIL dari eni KNIL Batavia yang bernama Kapiten TH. Van Erp. Masjid yang bergaya arsitektur tradisional Melayu yang dikombinasikan dengan arsitektur India Islam (Moghul) dan Eropa diresmikan pada hari Jumat 25 Sya’ban 1327 H (1909) yang ditandai dengan shalat Jumat yang dihadiri oleh Sultan Deli, Sultan Serdang, Sultan Langkat, dan pembesar lainnya.
Gambar 2.3. Masjid Raya Al Mahsun tahun 1931 Sumber: commons.wikimedia.org
9 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan akte Notaris No.97 tanggal 30 November 1918 tanah kerajaan Deli dirubah statusnya menjadi gementee (kota praja Medan) oleh Walikota pertama Medan Daniel Baron Mackay tetapi Istana Maimun dan Masjid Raya Al Mahsun beserta kompleksnya tidak termasuk dalam tanah gementee. Selanjutnya pada tahun 1924 setelah mangkatnya Sultan Makmun Perkasa Alam oleh anaknya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alam, dibangun sebuah Taman yang diberi nama seperti nama isterinya yaitu Taman Tengku Chadijah. Taman Tengku Chadijah dibangun untuk tempat Keluarga Sultan menunggu saat shalat maghrib yang berlokasi di seberang Masjid Raya Al Mahsun. Setelah revolusi sosial tahun 1946 dan berakhirnya dinasti Sultan deli Taman Tengku Chadijah berganti nama menjadi Taman Sri Deli.
Gambar 2.4. Taman Sri Deli Sumber: archive.kaskus.co.id Kompleks Istana Maimun dibangun sebagai titik sentra kerajaan Deli. Bila dilihat dari pola-pola letak istana seperti halnya keraton di Jawa. Halaman depan istana adalah sebuah alun-alun dan Masjid Raya adalah masjid istana. Disekitar istana dibangun rumah-rumah pangeran dan pejabat istana.
10 Universitas Sumatera Utara
Tetapi bila ditinjau dari sudut pandang arsitektur, gaya arsitektur eropa terlihat sangat dominan baik pada langgam arsitektur Istana Maimun, Masjid Raya maupun rumah-rumah pejabat istana.
Gambar 2.5. Puri Kesultanan Melayu Deli Sumber: puakmelayu.blogspot.com
Gambar 2.6. Istana Putra Mahkota Sumber: puakmelayu.blogspot.com
11 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7. Denah Lokasi Gedung-gedung Kawasan Istana Maimun Sumber : Badan Warisan Sumatera 2.2.2. Perkembangan kawasan Kesultanan Deli pada masa Pemerintahan kolonial Pada tahun 1918 wilayah Kota Medan masih meliputi dua kecamatan yaitu kecamatan Medan Maimun dan Medan Polonia. Kawasan Medan Maimun adalah kawasan Istana yang dikuasai oleh pemerintahan kerajaan Deli, walaupun secara Undang-undang kolonial dibawah Residen Sumatera Timur. Sedangkan kawasan Medan Polonia adalah kawasan yang dikuasai oleh Belanda. Kawasan Maimun pada masa kolonial adalah daerah pusat administrasi kesultanan dimana terdapat bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai kantor-kantor pelayanan kesultanan Deli. Syahrum (2004) Sebagai penguasa daerah Sumatera Timur keresidenan Sumatera Timur mendirikan wilayah kepemerintahannya sendiri sekaligus sebagai usaha untuk mengaburkan kekuasaan dan wibawa dari kesultanan deli. Sebagai Walikota Medan pertama, Daniel Baron Mackay pada tahun 1908 membangun Balaikota
12 Universitas Sumatera Utara
Medan sebagai kantor pusat administrasi di kawasan Lapangan Merdeka sebelah timur kawasan Istana Maimun.
Gambar 2.8. Lapangan Merdeka tahun 1900 Sumber : commons.wikimedia.org Untuk menegaskan Balaikota sebagai pusat pemerintahan maka di depan Balaikota dibuat alun-alun tandingan yang besarnya lebih luas dari tanah lapang (alun-alun) di depan Istana Maimun. Alun-alun ini meniru konsep alun-alun di Jawa dengan penanaman pohon beringin di sekitar alun-alun. Sebagai pelengkkap dari kegiatan administrasi, pemerintah kota Medan membangun Kantor Pos Pusat pada tahun 1909 di kawasan tersebut. Kemudian di kawasan tersebut dibangun pula sebuah hotel yang bernama Hotel de Boer dimana pengusaha-pengusaha tembakau dan karet dari Eropa menginap. Seiring dengan dibangunnya jalur kereta api deli dari Medan menuju Rantau Prapat oleh DSM (Deli Spoorweig Maatschapaij) pada tahun 1911 di bangun Stasiun Besar Kereta Api Medan diseberang Balaikota.
13 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Peta Medan Tahun 1936 (atas) Gambar 2.10. Kawasan Istana Maimun (kanan) Sumber: Syahrum Disebelah barat kawasan Istana Maimun dibangun Kantor Pusat Perkebunan yang dikenal dengan nama Gedung Avros (Algemeene Vereeging Van Rubber Planter Ookust Van Sumatra, 1919). Setelah itu dibangun jalan poros antara Gedung Risva dengan kawasan Balaikota yang memotong kawasan Istana
14 Universitas Sumatera Utara
Maimun sehingga tepat di depan Istana Maimun terdapat jalan poros antara pusat pemerintahan Belanda dengan kantor pusat perkebunan, sehingga di sebelah timur kawasan Maimun berkembang menjadi pusat perdagangan yang membentang sepanjang jalan poros seperti Gedung Mega Eltra, yang dibangun oleh sebuah perusahaan perkebunan
Belanda
yang berfungsi
sebagai
Kantor
Pusat
perdagangan tembakau wilayah Timur Jauh, dan juga kawasan Kesawan sebagai pusat pelayanan dan jasa bagi orang-orang asing di Medan. Sebagai kerajaan yang diakui kedaulatannya oleh pemerintahan kolonial Belanda, Kesultanan Deli diberi hak istimewa untuk mengatur wilayah istana dan sekitarnya, termasuk tepian sungai Deli yang membatasi kawasan Istana Maimun dengan kawasan Polonia. Kawasan Maimun pada masa pemerintahan kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan masih berkembang sebagai kawasan urban space bagi penduduk pribumi. Perbedaan antara public space dengan private space sudah jelas dengan dibangunnya jalan poros yang melintas didepan istana dan jalan penghubung yang menghubungkan Masjid Raya Al Mashun dengan kawasan Istana. Persimpangan antara jalan poros dengan jalan penghubung menunjukkan secara tegas pola aksis dari arah masjid menuju istana. Dibangunnya jalan penghubung yang tegak lurus dengan jalan poros, memperlihatkan kesan visual yang tegas karena jalan penghubung berada tepat di tengah Istana Maimun yang berbentuk simetris. Taman Sri Deli walaupun berfungsi sebagai open space tetapi peruntukkannya masih bersifat private karena hanya dapat digunakan oleh keluarga kerjaan. Dalam peta lay out Istana Maimun yang menghadap kepada
15 Universitas Sumatera Utara
open space, lapangan di depan Istana, Taman Sri Deli, dan Mesjid Raya berbentuk segitiga, sedangkan public spacenya adalah jalur pejalan kaki dipinggir jalan poros maupun di jalan penghubung. Walaupun secara konsep ajaran Islam Masjid adalah public space, tetapi sampai pada akhir masa dinasti kesultanan deli rakyat kebanyakan enggan untuk menggunakan Masjid Raya sebagai tempat ibadah kecuali pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri atau atas undangan Sultan, selebihnya hanya digunakan oleh lingkungan kesultanan, kerabat dan tamu dari kerajaan lain. 2.2.3. Perkembangan Kawasan Kesultanan Deli di Masa Sekarang Istana Maimun, Masjid Raya Al Mahsun dan Taman Sri Deli menjadi bangunan bersejarah di kawasan ini. Gabungan antara ketiga bangunan tersebut dapat dijadikan landmark bagi kota Medan. Syahrum (2004). Istana Maimun sekarang ini tidak dipergunakan lagi sebagai pusat pemerintahahn kesultanan Deli, melainkan hanya sebagai tempat tinggal keturunan Sultan deli, dan sebagai salah satu tujuan wisata di Medan. Walaupun Pemda Kotamadya Medan telah menetapkan Istana Maimun sebagai bangunan konservasi dengan dasar Undang-undang Monumenten Ordonantic 238/1981, kenyataannya istana ini masih dimiliki oleh keluarga Kesultanan Deli.
16 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11. Istana Maimun (2015) Sumber : warrockclothing.wordpress.com Pada kawasan Istana Maimun ini juga terdapat bangunan Masjid Raya Al Mashun yang masih berfungsi sampai saat ini. Walaupun kepemilikan tanahnya masih dikuasai oleh Kesultanan Deli, pemanfaatannya telah diserahkan kepada masyarakat umum melalui sebuah Badan Kemakmuran Masjid.
Gambar 2.12. Masjid Raya Al Mashun sekarang Sumber: Pribadi (2015) Pada kawasan ini terdapat juga Taman Sri Deli yang telah banyak mengalami perubahan baik fungsi maupun fisik. Taman Sri Deli sejak awal kemerdekaan telah menjadi public space dan pernah dikelola oleh pohak swasta
17 Universitas Sumatera Utara
sebagai pusat penjualan makanan. Saat ini pada kawasan Taman Sri Deli hanya tersisa kolam dan jalur pejalan kaki yang mengelilingi kolan dan dilengkapi dengan pergola. Taman ini sudah ditutup untuk umum dan dalam proses revitalisasi.
Gambar 2.13. Taman Sri Deli sekarang Sumber : Pribadi (2015) Pada masa sekarang akibat perkembangan kebutuhan dan aktivitas dibangun gedung-gedung atau bangunan baru yang mempengaruhi visual kawasan, yaitu bangunan Perpustakaan Daerah yang fasadnya tidak sesuai dengan fasad istana. Disamping itu juga dibangun ruko-ruko berlantai tiga di depan istana yang mempengaruhi visual istana dan terlihat tidak berintegrasi dengan istana. Disekitar komplek Istana tumbuh rumah-rumah semi permanen dan rukoruko yang dihuni oleh penduduk pendatang dan kaum keturunan yang menyebabkan pola masa bangunan menjadi tidak teratur.
18 Universitas Sumatera Utara
2.3.
Tinjauan Arsitektur Masjid
2.3.1. Pengertian Masjid Secara Etimologi, kata “masjid” berasal dari sebuah kata pokok dalam bahasa Arab, sajada (tempat sujud). Kata sajada ini lalu mendapatkan awalan ma, sehingga terbentuklah kata masjid. Dalam lafal orang Indonesia, kata masjid ini kebanyakan diucapkan menjadi “mesjid”. Barangkali hal tersebut dikarenakan pengaruh pemakain awalan me pada kebanyakan bahasa Indonesia. Dengan demikian kata masjid tidak selalu menunjukkan sebuah gedung/tempat ibadah khusus umat Islam. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ia biasa melakukan shalat berjamaah dirumah sahabatnya di bukit Safa, Arqom, ketika awal syiar Islam ditentang dan dihadang dengan kekerasan oleh kafir Quraisy. Demikian pula pada peristiwa hijrah, sesampainya di Madinah yang mula-mula dikerjakannya sesudah datang waktu Dzuhur ialah meletakkan dahinya ke bumi, sebagai rasa syukur ke hadirat Ilahirabbi. Kemudian di suatu lapangan terbuka dekat tasik (danau), beliau pun mengerjakan shalat Jum’at berjamaah dengan golongan Anshor dan Muhajirin, kira-kira sebanyak seratus orang. Pada masa awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, sebetulnya pengertian masjid secara materi berupa sebuah bangunan tempat ibadah sudah dikenal, karena sudah terdapat Masjidil Haram di Mekkah meskipun bangunannya belum megah seperti sekarang. Masjid ini sangat terkenal, sebab selain arsitekturnya yang monumental, juga diyakini sebagai salah satu tempat yang disinggahi Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj.
19 Universitas Sumatera Utara
Pengertian kata masjid, seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya mengalami perubahan. Saat ini masjid lebih sering diartikan sebagai bangunan yang dipergunakan sebagai tempat ibadah shalat.Menurut fungsi dan bentuknya, masjid mempunyai beberapa nama pula. Masjid Jami adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat Jumat yaitu shalat berjamaah yang wajib dilakukan pada hari Jum’at menggantikan shalat Dzuhur. 2.3.2. Fungsi Masjid Membahas fungsi masjid tidak bisa terlepas dari pengertian masjid itu sendiri serta konteks tradisi Islam yang bersumber dari sejarah dan hadist Nabi Muhammad SAW, yang masih dapat kita temui sampai saat ini. Fungsi masjid adalah sebagai tempat shalat. Masjid dipakai untuk shalat berjamaah sehari-hari, shalat Jum’at, shalat jenazah maupun aktivitas lainnya. Masjid berfungsi juga sebagai tempat bermusyawarah dan memutuskan berbagai
permasalahan,
baik
yang
bersifat
aqidah
maupun
muamalah
(kemasyarakatan). Fungsi lain dari masjid adalah tempat pendidikan agama atau madrasah. Masjid diramaikan oleh berbagai kegiatan ibadah seperti kegiatan pesantren kilat, maulid, isra’ mi’raj, maupun pengajian. Aktivitas ibadah yang lain bersifat sosial dipusatkan di masjid seperti pembayaran zakat mal dan zakat fitrah, tempat bagi para musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) untuk digunakan sebagai tempat menginap atau beristirahat sementara. Pelaksanaan akad
nikah pun sering dilakukan di masjid. Masjid juga menjadi pusat
kebudayaan karena menjadi pusat kegiatan umat Islam baik yang bersifat spiritual
20 Universitas Sumatera Utara
maupun material, sehingga keberadaannya sangat penting dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. 2.3.3. Arsitektur Masjid di Indonesia Arsitektur masjid di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya serta arsitek yang merancangnya. Hal ini berpengaruh terhadap karakteristik perwujudan arsitektur masjid di Indonesia.
Gambar 2.14. Masjid Raya Sumatera Barat Sumber: googleimage.com Tempat ibadah agama Islam tertua di Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan berpengaruh ke bagian lain Indonesia. Pengaruh ini berkembang melalui perdagangan dan penyebaran ulama di wilayah Nusantara. Semua masjid yang dibangun pertama kali di Indonesia terbuat dari bahan kayu, bukan dari batu dan bata. Sebagian besar masjid di Indonesia selain dipengaruhi tradisi Jawa, juga dipengaruhi oleh arsitektur Timur Tengah, yaitu bentuk kubah dengan lengkungan panjang. Bagian dalam arsitektur masjid selalu menggunakan media keramik untuk mendesain bagian dalam masjid. Lalu ditambah pula kolam air yang terletak di dekat masjid.
21 Universitas Sumatera Utara
Selama abad 19, arsitektur masjid di Indonesia mulai dipengaruhi oleh bangsa Arab. Menara masjid mulai mengikuti bentuk umum menara daerah Hadramaut, di bagian selatan Saudi Arabia. Menara Hadramaut, biasanya berbentuk bulat, tetapi kadang-kadang juga persegi, makin keatas semakin kecil, dan puncaknya tumpul. Pada umumnya menara itu dicat putih. Batang tubuhnya tanpa perhiasan. Persamaan ini hanya dibedakan di dekat puncaknya dengan adanya jendela yang kadang-kadang diisi dengan terali kecil. Bentuk menara seperti ini terdapat di kampung Pekojan Jakarta dan di Surabaya pada masjid Ampel yang bertanggalkan sebelum tahun 1862.
Gambar 2.15. Masjid Ampel di Surabaya Sumber : googleimage.com Menurut Anom (1999), umumnya bentuk arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia kontruksinya dari bahan kayu atau bambu, berdenah persegi empat dan memiliki atap yang bertingkat-tingkat dari rumbia atau ijuk. Atapnya ditopang oleh beberapa tiang kayu, empat tiang besar terletak di tengah-tengah ruangan untuk menopang atap, sampai atap yang tertinggi. Dindingnya ada pula yang terbuka dan menggunakan bahan dari papan atau tembok. Terdapat mihrab dan
22 Universitas Sumatera Utara
mimbar pada ruangan utama. Pintu dan jendelanya sempit-sempit sehingga udara serta cahaya yang masuk sangat terbatas. 2.4.
Masjid Raya Al-Mashun Bangunan masjid berdiri diatas sebidang tanah yang cukup luas meliputi
13.200 m2. Masjid Raya Al-Mashun Medan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Kerajaam Sultan Deli ini didirikan pada tanggal 21 Agustus 1906, sedangkan pembangunannya dimulai dari tahun 1906 dan pembangunan masjid selesai dalam tiga tahun. Bangunan Masjid Raya Al-Mashun ini dirancang dengan bantuan seorang arsitek yang berasal dari tentara KNIL yang bernama TH. Van Erp. Setelah pembangunan masjid mulai selesai, diberilah nama Masjid Raya AlMashun yang mempunyai arti masjid yang mendapat pemeliharaan dari Allah SWT. Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 10 September 1909. Dalam rangka peresmiannya itu dilaksanakan shalat jum’at yang dihadiri oleh pembesar-pembesar Kerajan termasuk Sri Paduka Alumarsyun, Tuanku Sultan Aziz, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman Alamsyah dari Negeri Serdang. Pada masa lalu masjid ini merupakan tempat shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultan Deli. Hal ini menunjukkan Masjid Raya Al-Ma’shun Medan merupakan masjid Kesultanan tetapi tidak terdapat tempat sembahyang khusus untuk Sultan (maksurah) seperti pada umumnya masjid-masjid Kesultanan. Masjid ini dibangun atas perintah sultan yang berkuasa saat itu guna memperoleh wujud yang representatif dari masjid negara, dan melalui perencanaan seorang arsitek Belanda.
23 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.16. Denah Masjid Raya Al Mashun Sumber : Amin (2004) Pengaruh gaya arsitekur Timur Tengah tampak pada kubah-kubahnya yang tampak dominan, sehingga menjadi corak utama dari masjid tersebut sebagai masjid berkubah. Kubah-kubah pada masjid tersebut diperkuat dengan bentukbentuk lengkung dari elemen-elemen seperti pintu dan jendela, dan sebagai kelengkapannya adalah menara yang berbentuk bulat yang juga beratapkan kubah.
Gambar 2.17. Perspektif Masjid Raya Al-Mashun Sumber : skyscanner.co.id Karakter yang diperlihatkannya adalah masjid sebagai bangunan suci sebagaimana layaknya sebuah gedung formal lambang dari negara dan sultannya. Penampilan ini lebih terdukung lagi dengan kemewahan dekorasinya yang berupa ornamen-ornamen megah dan meriah. Gaya dekoratif ini memang serupa dengan
24 Universitas Sumatera Utara
penampilan masjid-masjid di Timur-Tengah yang juga kebanyakan berfungsi sebagai lambang kekuasaan Sultan. Ornamen yang menghiasi bangunan masjid tersebut hampir terdapat di seluruh bagian bangunan, termasuk alat perlengkapannya yang dipergunakan di dalam ruangan masjid itu, misalnya lampu penerangan yang berbentuk lampu gantung. Pada tahun 1970 M dilakukan pengecatan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata pada bagian luar dengan menyesuaikan warna aslinya. Tahun 1991 dilaksanakan perbaikan yang meliputi perbaikan jalan, taman, pekarangan, halaman, dan pergantian bola-bola lampu yang rusak. Perbaikan ini dilakukan oleh Proyek rehabilitasi, Dinas Bangunan Kotamadia Daerah Tingkat II Medan. 2.5.
Identitas Kota Lynch (1960) mengatakan bahwa identitas kota adalah citra mental yang
terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu, yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosialekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri. Identitas adalah suatu kondisi saat seseorangmampu mengenali atau membedakan suatu tempat dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Lynch (1960) Menurut Lynch terdapat tiga komponen yang sangat mempengaruhi gambaran mental terhadap suatu kawasan (kota) yaitu :
25 Universitas Sumatera Utara
1.
Identitas,
artinya
orang
dapat
memahami
gambaran
perkotaan
melaluiidentifikasi obyek, perbedaan antara obyek dan hal-hal yang diketahui tentang obyek tersebut. 2.
Struktur,
artinya
orang
dapat
memelihara
pola
perkotaan
melalui
perkotaan
dengan
hubunganantar obyek-subyek melalui pola yang dapat dilihat. 3.
Makna,
artinya
segalaperkembangan
orang fisik,
dapat sosial
mengalami maupun
ruang
rohani
subyeknya
sehingga
mendapatkanrasa yang dapat dialami. Utomo (2005) berpendapat bahwa kota memerlukan identitas, baik dalam skala lingkungan maupun skala kota. Ciri atau identitas yang mudah diamati adalah bentukan-bentukan fisik kota. Kesan visual suatu benda atau bangunan mudah dicerna atau diserap oleh ingatan manusia. Ciri-ciri spesifik dari elemenfisik pembentuk kota, diperkuat dengan struktur yang memisahkannya dengan elemen-elemen di sekitarnya. Oleh karena itu, elemen-elemen fisik tersebut mampu menanamkan citra pada setiap pengamatnya, serta dapat menambah makna bagi keberadaannya. Pemahaman suatu makna identitas berguna terhadap penanaman citra bagi pengamatnya, sehingga pesan yang disampaikan dapat dengan mudah diserap oleh ingatannya. Elemen-elemen fisik yang tercipta dapat menjadi karakter bagi lingkungan di sekitarnya. Hal ini lebih banyak ditentukan oleh perwujudan rancangan maupun perletakan yang dikaitkan dengan hubungan antara elemen fisik yang satu dengan lainnya. Sebuah kota mempunyai kesan yang tidak sama dengan kota lainnya bagi
26 Universitas Sumatera Utara
orang yang berada didalamnya. Kesan ini timbul dari adanya persepsi manusia terhadap apa yang dilihatnya didalam tersebut. Pesan yang disampaikan oleh suatu lingkungan maupun kota melalui komunikasi visual, menyebabkan seseorang mempunyai kesan yang spesifik terhadap kota dan lingkungan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan sebuah kota sering diwujudkan dalam bentuk kekhasan yang dimasukkan dalam elemen-elemen fisik pembentuknya. Arsitektur juga dapat menjadi salah satu bagian penanda suatu tempat, misalnya membuat landmarkbagi sebuah kawasan yang dapat menunjang identitas suatu kota. Arsitektur diintisarikan agar dapat merepresentasikan keberadaan identitas kota dapat dilestarikan sebagai benda cagar budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas dari sebuah kota berawal dari nilai budaya yang meliputi nilai historis perjuangan dan perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial, arstitektur, struktur masyarakat, tata kota serta karakteristik khusus kotanya. Sedangkan identitas psikis kota, masih perlu upaya penggalian dan pengenalan jati diri yang lebih mendalam. Mengingat identitas psikis merupakan identitas kehidupan masyarakat kota secara psikis yang mempengaruhi wajah kota tersebut, berupa ritme kehidupan masyarakatnya maupun spirit yang dimiliki masyarakat sehingga memberikan identitas kota atau budaya yang hidup dalam keselarasan kota yang menjadi simbol suatu kehidupan kota membentuk identitas kota itu sendiri. Identitas merupakan pengenalan bentuk ruang dan kuantitas yang paling sederhana, pengertian tersebut disebut pula “A Sense of Place”. Pemahaman
27 Universitas Sumatera Utara
tentang nilai dari tempat, merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu tempat secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain.. Identitas dapat juga berupa peristiwa-peristiwa, yang disebut “Sense of Occasion”, yakni tempat dan peristiwa akan saling menguatkan satu dengan yang lain dan menciptakan suatu keberadaan. Purwanto (2001). Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan yang perlu mendapat perhatian dalam usaha membangun identitas suatu kawasan adalah bentuk, massa serta fungsi bangunan, dan ruang luar kawasan yang terbentuk. Dari unsur-unsur pembentuk kawasan tersebut, makna kawasan (image) manusia tentang suatu kawasan dapat terbentuk, kesan suatu kawasan adalah hasil dari proses dua arah antara manusia dengan lingkungannya. Suatu kawasan menyediakan objek-objek tertentu dan manusia mengorganisasikannya di dalam otak dan memberikan pengertian khusus. Keragaman budaya menuntut karya arsitektur harus dirancang semakin serius agar kawasan terhindar dari polusi visual yang kacau, untuk itu rancangan arsitektur yang kontekstual akan memberikan kemungkinan tampilan kawasan yang lebih harmonis secara visual, baik melalui rancangan bangunan maupun perkotaan. Kontinuitas visual kawasan dapat dijaga dengan memperhatikan elemen tampilan seperti bentuk dasar yang sama, namun tampak berbeda, pemakaian bahan, warna, tekstur, serta ornamentasi bangunan. Pemahaman lain yaitu Shirvani (1985) membedakan antara identitas dan sense, dimana sense adalah makna yang ditangkap oleh manusia yang ada di
28 Universitas Sumatera Utara
dalam lingkungan tersebut, terkait dengan makna kultural dan budaya masyarakat, sedangkan identitas dapat diwujudkan melalui bentuk arsitektur, elemen estetik dan nilai yang membuat sebuah kota dapat dipahami secara visual. Ayu Diya (2001) menyimpulkan bahwa identitas kawasan adalah dimana sebuah ruang mampu mewakili lingkungan, budaya masyarakat dan kegiatan di dalamnya yang sifatnya tidak terukur, yang ketiganya kemudian membentuk seting lingkungan. Seting lingkungan tersebut kemudian ditangkap oleh pengamat untuk selanjutnya diolah dalam pikiran dan diberi pemaknaan, dan pemaknaan yang ditangkap oleh rata rata masyarakat tersebutlah yang kemudian disebut identitas kawasan. Oleh karena itu agar identitas yang sifatnya tidak terukur tersebut dapat ditangkap oleh pengamat secara visual adalah dengan mengaplikasikan nilai budaya, ciri lingkungan ke dalam elemen-elemen fisik kota.
Gambar 2.18. Sense of place dan elemen fisik yang ditangkap oleh pengamat. Sumber: Jurnal Ayu Ditya, dkk Hamid Shirvani (1985) menentukan elemen urban desain dalam delapan kategori sebagai berikut: 1. Tata guna Lahan (Land Use) Land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara
29 Universitas Sumatera Utara
umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing) Dalam bentuk dan massa bangunan, seharusnya diperhatikan berbagai aspek, meliputi: a. Ketinggian Bangunan Ketinggian bangunan berkaitan dengan jarak pandang pemerhati, baik yang berada dalam bangunan maupun yang berada pada jalur pejalan kaki. Ketinggian bangunan pada suatu kawasan membentuk skyline. Skyline dalam skala kota mempunyai makna:
Sebagai simbol kota
Sebagai indeks sosial
Sebagai alat orientasi
Sebagai perangkat estetis
Sebagai perangkat ritual
Spreiregen (1965), bila tinggi muka bangunan sama dengan jarak dari tempat kita berdiri ke bangunan, maka sudut yang terjadi antara garis puncak muka bangunan dan garis horizontal pandangan adalah 45°. Jika jarak orang ke bangunan = tinggi bangunan atau pandangan membentuk sudut 45°, merupakan pandangan normal manusia, pada jarak tersebut pengamat dapat memperhatikan keseluruhan muka
30 Universitas Sumatera Utara
obyek/bangunan. Demikian pula menurut Panero (2003), sudut pandang yang nyaman adalah sebesar 45 derajat. Jika bangunan lebih tinggi daripada batas atas daerah pandangan kita kedepan, maka kita akan merasa tertutup. b. Kepejalan Bangunan (Bulky) Arti dari kepejalan adalah tebal, besar, dan gemuk. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah penampakan gedung dalam konteks kota. Kepejalan suatu gedung ditentukan oleh tinggi, luas, lebar panjang, olahan massanya, dan variasi penggunaan material. c. Koefisien Lantai Bangunan Koefisien lantai bangunan adalah jumlah luas lantai bangunan dibagi dengan luas tapak. Koefisien lantai bangunan dipengaruhi oleh daya dukung tanah, daya dukung lingkungan, nilai harga tanah dan faktorfaktor khusus tertentu sesuai dengan peraturan atau kepercayaan daerah setempat. d. Koefisien Dasar Bangunan (Building Coverage) Koefisien
dasar
bangunan
adalah
luas
tapak
yang
tertutup
dibandingkan dengan luas tapak keseluruhan. Koefisien dasar bangunan dimaksudkan untuk menyediakan area terbuka yang cukup di kawasan perkotaan agar tidak keseluruhan tapak diisi dengan bangunan sehingga daur lingkungan menjadi terhambat. e. Garis Sempadan Bangunan
31 Universitas Sumatera Utara
Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bangunan terhadap as jalan. Garis ini sangat peting dalam mengatur keteraturan bangunan di tepi jalan kota.
f. Langgam Langgam atau gaya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan karakteristik
bangunan
dimanastuktur,
kesatuan
dan
ekspresi
digabungkan di dalam satu periode atau wilayah tertentu. Peran dari langgam ini dalam skala urban jika direncanakan dengan baik dapat menjadi guideline yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan fragment-fragment kota. g. Skala Rasa akan skala dan perubahan-perubahan dalam ketinggian ruang atau bangunan dapat memainkan peranan dalam menciptakan kontras visual yang dapat membangkitkan daya hidup dan kedinamisan h. Material Peran material berkenaan dengan komposisi visual dalam perancangan. Komposisi yang dimaksud diwujudkan oleh hubungan antar elemn visual. i. Tekstur
32 Universitas Sumatera Utara
Dalam sebuah komposisi yang lebih besar (skala urban) sesuatu yang dilihat dari jarak tertentu maka elemen yang lebih besar dapat menimbulkan efek-efek tekstur. j. Warna Dengan adanya warna (kepadatan warna, kejernihan warna), dapat memperluas kemungkinan ragam komposisi yang dihasilkan.
3. Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking) a. Sirkulasi Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat berupa bentuk, hubungan atau satu pola bagi yang dapat mengontrol aktivitas kawasan seperti aktivitas jalan raya, jalur pejalan kaki, dan pusat-pusat kegiatan yang bergerak. b. Tempat Parkir Unsur yang sangat penting dapat sirkulasi kota adalah tempat parkir kendaraan. Keberadaan tempat parkir sangat menentukan hidup tidaknya suatu kawasan komersial. 4. Ruang Terbuka (Open Space) Ruang terbuka bisa menyangkut semua lansekap : elemen keras (hardscape, yang meliputi jalan, trotoar dan sebagainya), taman dan ruang rekreasi di kawasan kota.
33 Universitas Sumatera Utara
Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang hijau kota, pepohonan, pagar, tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios, tempat sampah, air minum, sculpture, jam dan sebagainya. Secara keseluruhan, elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan dalam perancangan kota. Dan ruang terbuka merupakan elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota. Desain ruang terbuka harus dipertimbangkan secara terintegral terhadap bagian dari perancangan kota. Rustam Hakim (1987) membagi ruang terbuka berdasarkan kegiatan yang terjadi sebagai berikut: a. Ruang terbuka aktif, yaitu ruang terbuka yang mengundang unsurunsur kegiatan di dalamnya, misalnya plaza, tempat bermain. b. Ruang terbuka pasif, yaitu ruang terbuka yang di dalamnya tidak mengandung kegiatan manusia 5. Area Pedestrian (Pedestrian Area) Pedestrian merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena tidak lagi hanya berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga masalah kenyamanan dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran yang dapat memperkuat kehidupan ruang kota yang ada. Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi keterkaitan terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan penggunaan pejalan kaki, mempertinggi kualitas lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kali lima yang lebih banyak dan akhirnya akan
34 Universitas Sumatera Utara
membantu dalam meningkatkan interaksi antara dasar-dasar elemen perancangan kota dalam suatu kawasan hunian dengan berbagai bentuk kegiatan pendukungnya. 6. Penanda (Signage) Tanda adalah suatu tulisan (huruf, angka, atau gambar), gambar (ilustrasi atau dekorasi), lambang (simbol atau merek dagang), bendera, atau sesuatu gambar yang: a. Ditempelkan atau digambar pada suatu bangunan atau struktur lain b. Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, iklan c. Terlihat di luar bangunan Papan reklame merupakan elemen visual yang semakin penting artinya dalam perancangan kota. Perkembangan papan-papan reklame terutama, mengalami persaingan yang berlebihan baik dalam penempatan titiktitiknya, dimensi atau ukuran billboardnya, kecocokan bentuk, dan pengaruh visual terhadap lingkungan kota. Pedoman teknis mengenai signages menurut Richardson (2003), meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan tanda-tanda harus merefleksikan karakter kawasan tersebut. b. Jarak dan ukuran tanda-tanda harus memadai dan diatur sedemikian rupa agar menjamin jarak penglihatan dan menghindari kepadatan signage.
35 Universitas Sumatera Utara
c. Penggunaan penanda harus harmonis dengan bangunanarsitektur di sekitar lokasi tersebut. d. Pembatasan penanda dengan lampu hias, kecuali penggunaan khusus seperti theater dan tempat pertunjukan. 7. Kegiatan Pendukung (Activity Support) Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ruang-ruang publik suatu kawasan kota. Antara kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang fisik selalu memiliki keterkaitan satu sama lain. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang memiliki ciri khusus akan berpengaruh pula terhadap fungsi peggunaan lahan dan kegiatan-kegiatannya. Sebaiknya kegiatan yang memperhatikan lokasi tapak yang layak dan baik tergantung seberapa besar aktivitas penggunaan lahan tersebut. 8. Konservasi (Conservation) Konservasi suatu bangunan individual harus dikaitkan secara keseluruhan kota, agar meyakinkan bahwa konservasi akan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan beberapa aspek yakni: bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal-hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau kelayakan bangunan. Identitas merupakan aspek yang sifatnya tidak terukur dan tergantung dari persepsi pengamat terhadap setting lingkungannya. Dalam upaya membentuk identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap
36 Universitas Sumatera Utara
elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman akan ditangkap oleh pengamat secara visual untuk kemudian diolah dalam pikiran dan diberi pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut (land use, ruang luar dan bangunan) dalam konteks kawasan Kesultanan Deli. Lynch (1960) melihat landmark sebagai sebuah konstruksi fisik yang dapat menyatakan suatu identitas wilayah atau lingkungan karena landmark memiliki entitas bentuk fisik yang berbeda dan terpisah dengan sekitarnya. Landmark dapat berperan menjadi identitas karena ia berperan sebagai basis atau dasar dalam mengenal suatu lingkungan. Ketika landmark dapat menyatakan identitas suatu wilayah, landmark kemudian juga membawa karekter, atmosfir, dan ambience keberadaannya terhadap manusia yang merasaknnya. Landmark yang dapat menyatakan identitas dan karakter suatu wilayah kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai suatu elemen fisik secara visual saja. Narita (2010) Untuk menetapkan elemen-elemen yang akan digunakan dalam upaya pembentukan identitas sebuah kawasan adalah dengan melihat elemen apa saja yang menonjol dan dapat dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan, tentunya yang sesuai dengan tema (estetika ataupun budaya), yang dalam konteks penelitian ini adalah elemen-elemen fisik yang terdapat pada bangunan Masjid Raya. 2.6.
Citra Kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota
37 Universitas Sumatera Utara
yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan simplifikasi. Lynch berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atributatirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengetahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya,kelembagaan, adat isitiadat serta politik yangpada akhirnya akan berpengaruh pula dalampenampilan fisiknya. Menurut Budihardjo (1991), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota, sebagai berikut: 1.Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta) 2. Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran) 3. Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng) 4. Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain) 5.Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya; dan 6. Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki. Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan
38 Universitas Sumatera Utara
imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibility (legibilitas), atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat). Kota dapat dikatakan menyediakan ruang untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter untuk identifikasi. Purwanto(2001). Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place. Dalam gambar berikut dijelaskan hubungan antara citra kota, karakter kota dan identitas kota.
Gambar 2.19. Hubungan antara Citra, Identitas dan Karakter Kota Sumber: Purwanto (2001) 2.7.Landmark Dalammemahami
elemen-elemen
fisik
pembentuk
kota
dan
yangmembantu pengamat dalam menangkap gambaran tentang sebuahkota (image content), secara fisik terdapat sebuah pandanganoleh Kevin Lynch, yaitu dalam melihat elemen-elemensebuah kota, Kevin Lynch membagi dalam lima elemen yaitu Paths, Edges, Districts, Nodes, dan Landmark.
39 Universitas Sumatera Utara
Lynch (1960), mengatakan bahwa landmarkmerupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik perhatian. Biasanya Landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya. Beberapa Landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan Landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmarkadalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah. Selain itu Landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan.
Gambar 2.20. Landmark Sumber: google image Menurut Lynch (1960), dalam bukunya The Image of the City,3 unsur penting dalam Landmark, yaitu: 1. Tanda fisik Landmark merupakan obyek fisik yang dapat ditangkap dengan indera penglihatan secara mudah. 2. Informasi
40 Universitas Sumatera Utara
Landmark merupakan gambran dengan cepat dan pasti tentang suatu tempat kepada pengamat sehingga membentuk image fisik dan non fisik lokasi Landmark dan sekitarnya. 3. Jarak Landmark harus dapat dikenali dari suatu jarak, dimana pengamat berada diluar lingkup proyek. Proses pembentukan suatu obyek yang mempunyai potensi sebagai landmark dapat diwujudkan dengan 2 cara dalam hal posisi, yaitu:
a. Memperluas arah pandang Dengan cara menjadikan obyek dapat terlihat dari arah yang lebih banyak atau luas sehingga arah pandang menjadi lebih terbuka dan medan pengenalan visual lebih luas. b. Tampilan Obyek Dengan cara membentuk obyek menjadi kontras dalam komposisi bersama elemen-elemen fisik di sekitarnya, misal menciptakan variasi setback. Menurut Lynch (1960),
ditinjau dari aspek jarak, Landmark dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:
DistantLandmark
Merupakan obyek landmark yang dapat dilihat dari banyak arah atau posisi dengan suatu jarak yang relatif jauh. “Some landmarks are distant ones, typically seen from many angles and distances, over the tops of smaller elements,
41 Universitas Sumatera Utara
and used as radial references”. Lynch (1960). Pengamat dapat melihat distant landmark tidak hanya pada saat ia berada di dalam ruang kota tetapi juga ketika ia berada di luar kota. Contohnya seperti menara, monumen, gunung, bangunan, dan lain-lain. Penggunaan distant landmark sebagai pusat orientasi lebih cenderung untuk manusia yang tidak famiiar terhadap lingkungan. “People who used distant landmarks did so only for very general directional orientation, or, more frequently, in symbolic ways.”
Gambar 2.21. The Duomo, Florence sebagai distant landmark Sumber: www.paradoxplace.com Distant Landmark dengan bentuk fisik yang dapat dilihat dari jauh juga dapt berperan menjadi simbol yang mewakili suatu wilayah. Seperti yang dicontohkan oleh Lynch, Duomo of Flourence, sebagai salah satu distant landmark yang memiliki bentuk fisik sebagai simbol juga identitas yang mencirikan wilayah kota Florence. Suatu bentuk fisik yang tidak dapat dihilangkan. Distant Landmark memiliki potensi untuk dimaknai sebagai sesuatu yang dapat mewakili identitas suatu wilayah tertentu.
LocalLandmark
42 Universitas Sumatera Utara
Merupakan obyek fisik yang penampilan fisiknya terlihat istimewa apabila terlihat dari arah, jarak atau jangkauan yang terbatas. Kehadirannya sebagai landmark di dalam suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh seberapa pengamat mengenal lingkungannya. “The number of local elements that become landmarks appears to depend as much upon how familiar the observer is with his surroundings as upon the elements themselves” Lynch (1960). Semakin tinggi tingkat familiritas seseorang terhadap lingkungannya, maka akan semakin banyak pula elemen dalam lingkungan yang dapat berperan sebagai local landmark. Contoh dari local landmark adalah seperi tampak depan toko, papan iklan, dan detil-detil kecil lainnya dalam suatu wilayah. Pada contoh diatas, The “Little Gray Lady” sebuah toko yang berada di Los Angeles meski tidak dapat dilihat dari kejauhan sekalipun namun ia tetap berperan sebagai landmark karena karakter ruang intim yang ada di halaman depan toko tersebut.
Gambar 2.22. The Little Gray Lady, Los Angeles sebagai Local Landmark Sumber: Narita (2010) Kehadiran local landmark seringkali lebih diingat dalam bentuk rangkaian atau kelompok beberapa titik landmark, dimana satu elemen local landmark dengan elemen lainnya saling membentuk rangkaian yang kemudian dapat
43 Universitas Sumatera Utara
memudahkan proses identifikasi lingkungan. “More often, local points were remembered as cluster, in which they reinforced each othe by repietition, and were recognizable partly by context” Lynch (1960). Sebuah wilayah atau sebuah tempat kemudian dapat memiliki lebih dari satu landmark, terutama pada jenis locallandmark yang dipengaruhi oleh tingkat familiaritas seseorang. Menurut Lynch (1960),
fungsi Landmark dalam perancangan dan
pembentukan lingkungan fisik urban adalah: a. Landmark sebagai sarana informasi Sarana informasi langsung mapun tidak langsung dalam jarak dekat maupun jarak jauh, baik fisik maupun non fisik dimana Landmark berada
DistantLandmark memberikan informasi secara langsung dari jarak jauh mengenai aspek fisik berupa bangunan Landmark, maupun non fisik berupa kegiatan di sekitar Landmark
LocalLandmark memberi informasi secara langsung maupun tidak langsung dari jarak dekat mengenai aspek fisik dan non fisik
b. Landmark sebagai orientasi lingkungan Landmark dapat dijadikan patokan arah apabila dikaitkan dengan elemen atau proses alam yang berlangsung secara kontinyu. Orientasi arah dapat dibentuk dari kombinasi Landmark dengan suatu jalan atau jalur menuju atau mendekati Landmark.
44 Universitas Sumatera Utara
Menurut Lynch (1960), Pengendalian keberadaan Landmark dalam perancangan dan pembentukan lingkungan fisik urban dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Berdasarkan bentuk
Distant Landmark pada proses pengendalian dalam perancangan dan pembentukan lingkungan urban berkaitan dengan skala kota, meliputi konfigurasi bangunan, sky line bangunan dan penataan fungsi lahan kota
Local Landmark pada proses pengendalian ini berpengaruh dalam radius tertentu; seperti komposisi fasade bangunan, arah pandang, dan arah capai
b. Berdasarkan waktu keberadaannya Ditinjau berdasarkan waktu maka Landmark dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
Bangunan Landmark lama (old building), yaitu obyek Landmark yang lebih dahulu ada dari proses perancangan kota.
Bangunan Landmark baru (new building), yaitu obyek Landmark yang keberdaaanya bersamaan atau sesudah proses perancangan kota.
Menurut Lynch (1960), terdapat beberapa kriteria untuk menjadikan suatu obyek sebagai Landmark:
Mempunyai karakter fisik lain dari obyek fisik di sekitarnya, mempunyai unsur unik dan mudah diingat.
45 Universitas Sumatera Utara
Mudah diidentifikasikan, hal ini berkaitan dengan tuntutan bahwa Landmark harus mudah dikenali pengamat.
Mempunyai bentuk yang jelas dalam luasan atau benteng yang relatif besar. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk kontras antara obyek Landmark dengan latar belakangnya.
Mempunyai nilai lebih dalam suatu lingkup atau luasan tempat berupa nilai historis atau nilai estetis. Nilai historis menyangkut proses terbentuknya obyek tersebut dan kaitannya dengan lingkup tempat dimana Landmark berada. Nilai estetis dapat pula nilai historis menyangkut kurun waktu terbentuknya bangunan, karena nilai estetik tiap kurun waktu dapat berlainan.
Tabel 2.1. Citra Kawasan menurut teori Citra Kota dari penelitian Syahrum (2004) Elemen kota Periode sebelum menurut teori
Periode setelah
Periode saat ini
Kemerdekaan 1945-2002
2003-2004
Kemerdekaan Citra Kevin 1896-1945 Lynch Landmark
Istana
Maimun Istana Maimun sebagai Pemerintahan daerah
sebagai Landmark Landmark dari Deli
kota mulai
mencoba
Kerajaan Medan mulai berkurang, untuk
menjadikan
saat
itu juga
dari
pengaruh
politik Istana
Maimun
46 Universitas Sumatera Utara
sangat selain
tegas, saat itu yang mengangkat sebagai
Landmark
sebagai Balaikota Lama sebagai Kota Medan, karena
pusat
Landmark Kota Medan dianggap
sebagai
pemerintahan
karena
budaya
juga
keberpihakan warisan
merupakan Kerajaan
deli
bangunan terbesar pemerintahan dan termegah di pada
saat
kolonial dengan kebudayaan yang
Medan pada saat menyebabkaan itu
kepada Melayu yang identik
lalu lokal.
Kebijakan
istana Politik Pemerintahan
maimun menjadi simbol Kerajaan Deli pada kolonialisme
dan masa
imperialisme masa lalu
lalu
mulai
dilupakan masyarakat
47 Universitas Sumatera Utara