BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Balita Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia dibawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia prasekolah (Proverawati dan wati, 2010). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya sehingga anak batita sebaiknya diperkenalkan dengan berbagai bahan makanan. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi sering karena perut balita masih lebih kecil sehingga tidak mampu menerima jumlah makanan dalam sekali makan. Pada usia prasekolah akan menjadi konsumen aktif yaitu mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Perilaku makan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis, kesehatan dan sosial anak. Oleh karena itu keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makan pada anak agar anak tidak cemas dan khawatir terhadap makanannya (Proverawati dan wati, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makan pada Balita Faktor- faktor yang mempengaruhi pemberian makan pada balita diantaranya adalah sebagai berikut : a. Genetik Genetik menentukan bentuk tubuh. Pada tubuh tinggi dan lebar akan memerlukan energi yang lebih besar dari pada yang pendek dan kurus. Hal ini disebabkan karena pada tubuh yang permukaan lebih luas diperlukan suplai sel-sel untuk tumbuh dan berkembang lebih dari pada yang kurang lebar permukaan tubuhnya. b. Kecenderungan pada Tahap Perkembangan Pada tahap perkembangan anak balita cenderung sulit untuk mendapatkan makanan yang sesuai keinginan sehingga mencoba memilih-milih makanan yang disukainya saja. c. Hormon Kelenjar hormon mempengaruhi pertumbuhan tubuh. d. Gizi Kebutuhan kalori anak balita bahkan juga manusia berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangan. e. Kecenderungan Sekuler Ada kecenderung saat ini anak-anak tumbuh lebih tinggi dibanding era sebelumnya. Hal seperti ini disebut dengan istilah kecenderungan sekuler.
Universitas Sumatera Utara
f. Status Sosial Ekonomi Jenis makanan sangat ditentukan oleh kemampuan daya beli. Oleh karena itu biasakan membeli bahan yang murah dengan kandungan yang sama dengan yang mahal. g. Tingkat Aktivitas Pada anak yang aktif akan banyak membakar lemak, sebaliknya lemak akan menumpuk dan bisa jadi kegemukan. h. Penyakit Pengaruh buruk penyakit, malas makan, nafsu makan berkurang oleh karena itu anak yang sakit segera diobati pada tenaga kesehatan agar dapat ditanggulangi sedini mungkin (Angria R, dkk, 2012). 2.3 Kebutuhan Gizi Balita Setiap anak memerlukan nutrisi yang baik dan seimbang. Artinya, setiap balita memerlukan nutrisi dengan menu seimbang dan porsi yang tepat, tidak berlebihan dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuhnya. Jika pemberian nutrisi pada anak balita kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya maka pertumbuhan dan perkembangan anak balita akan berjalan lambat. Sebaliknya, jika pemberian nutrisi melebihi kapasitas yang dibutuhkan akan menyebabkan kegemukan yang mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan anak balita terganggu (Asydhad, 2006). Kebutuhan energi dan protein anak balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata perhari yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IV (2004) dapat dilihat pada tabel berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata per hari No
Golongan Berat Tinggi Energi Umur Badan (Kg) Badan (cm) (Kkal) (Tahun) 1 0-6 bulan 6,0 60 550 2 7-11 bulan 8,5 71 650 3 1-3 tahun 12 90 1.000 4 4-6 tahun 17 110 1.550 Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IV, 2004
Protein (gr)
10 16 25 39
Energi atau kalori sangat dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Apabila terjadi kekurangan energi maka akan dapat menghambat pertumbuhan, penurunan berat badan serta kerusakan jaringan (Almatsier, 2004). Protein merupakan zat pembangun utama yang sangat diperlukan oleh balita untuk pembuatan sel-sel baru serta merupakan unsur pembentuk berbagai struktur organ tubuh (Asydhad, 2006). 2.4 Menu Seimbang Balita Masa balita adalah periode perkembangan fisik dan mental yang pesat. Kesehatan seorang balita sangat dipengaruhi oleh gizi yang terserap didalam tubuh. Kurangnya gizi yang diserap oleh tubuh mengakibatkan mudah terserang penyakit karena gizi memberi pengaruh yang besar terhadap kekebalan tubuh. Gizi bukan hanya mempengaruhi kesehatan tubuh, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan. Apabila gizi yang diperlukan oleh otak tidak terpenuhi, otak akan mengalami pengaruh sehingga tidak dapat berkembang (Ellya Sibagariang, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Menu seimbang balita tidak jauh berbeda dengan menu seimbang orang dewasa, hanya saja balita membutuhkan lebih banyak lemak dan lebih sedikit serat. Menu seimbang untuk balita yaitu : a. Gula dan Garam Konsumsi garam untuk balita tidak lebih dari 1/6 jumlah maksimal orang dewasa sehari atau kurang dari 1 gram. b. Porsi Makan Porsi makan anak balita berbeda dengan orang dewasa. Mereka membutuhkan makanan sumber energi yang lengkap gizi dalam jumlah lebih kecil namun sering. c. Kebutuhan Energi dan Nutrisi Bahan makanan sumber energi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan serat wajib dikonsumsi balita setiap hari. d. Susu Pertumbuhan Susu merupakan salah satu sumber kalsium sehingga penting juga dikonsumsi oleh balita. Sedikitnya balita butuh 350 ml/12 ons per hari. Susu pertumbuhan merupakan susu lengkap gizi yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisi anak usia 12 tahun keatas (Angria R, dkk, 2012). 2.5 Status Gizi Baik tidaknya pemenuhan gizi keluarga dapat dilihat dari status gizi anggota keluarga tersebut. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa status gizi merupakan indikator baik buruknya penyediaan makanan sehari-hari (Irianto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2004). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). 2.6 Penilaian Status Gizi Status gizi dapat dinilai melalui beberapa cara yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik yang disebut dengan penilaian status fizi secara langsung. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang paling sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dilakukan terhadap Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) dan lingkaran bagian-bagian tubuh serta Lemak di Bawah Kulit (Supariasa, 2002). Cara pengukuran dengan antropometri menggunakan beberapa indeks seperti : Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Pada saat sekarang untuk mengukur status gizi anak balita menggunakan WHO Antro 2005. 2.7 Perilaku Menurut Blum (1974) dalam Soekidjo (2003) mengemukakan bahwa perilaku merupakan faktor yang dominan mempengaruhi kesehatan setelah lingkungan, dimana perilaku selalu berperan dalam lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, juga sosial budaya dan kemudian baru ditunjang oleh tersedianya fasilitas kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
terjangkau oleh masyarakat, dan terakhir adalah faktor keturunan, dimana faktor ini erat kaitannya dengan gen yang diturunkan terhadap individu. Perilaku menurut Notoatmodjo (2003), adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku diartikan sebagai suatu reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan dan rangsangan tersebut dapat menimbulkan suatu perubahan perilaku (Ensiklopedi Amerika, Notoadmodjo, 2003). Blum (1908) membedakan menjadi tiga bentuk perilaku yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ahli lain menyebut pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan (practice). Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan. Skiner (1983) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar. Oleh karena peilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skiner membedakan respons ini dalam dua bentuk yaitu : 1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. 2. Operant respon atau Instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau rein-forcer, karena memperkuat respon. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua antara lain : 1. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap orang yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003). 2.7.1 Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “What”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab apa sesuatu itu (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni : 1.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lainnya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. 2.7.2 Sikap (attitude) Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakkan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2007). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni : 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespons (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Universitas Sumatera Utara
3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sampai tingkat tinggi. 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.7.3 Tindakan atau Praktik (Practice) Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2007). Tindakan praktik mempunyai beberapa tingkatan, yakni : 1. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respons terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. 3. Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
Universitas Sumatera Utara
4. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.7.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kesehatan Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku ditentukan 3 faktor yaitu: 1. Faktor Predisposisi (Predisforsing Factors) Faktor yang dapat memudahkan atau memprodisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. 2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. 3. Faktor Penguat (Reinforsing Factors) Tokoh masyarakat merupakan faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, peraturan perundang-undangan, Surat Keputusan dari para pejabat pemerintah daerah atau pusat juga termasuk faktor penguat perilaku.
Universitas Sumatera Utara
2.8 Perilaku ibu Perilaku
adalah
segala
bentuk
tanggapan
dari
individu
terhadap
lingkungannya dan merupakan suatu perwujudan dari adanya kebutuhan. Untuk mewujudkan sikap dalam pemberian makanan bergizi menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Tingkatan praktik adalah mulai dari persepsi, respon terpimpin, mekanisme dan adaptasi. Dimana dalam perilaku pemberian makanan bergizi ini dapat terlihat dari ibu bisa memilih makanan yang bergizi bagi keluarganya terutama balita, serta ibu dapat pula memilih bahan makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan yang murah dan sederhana (Notoatmodjo, 2002). 2.8.1 Pengetahuan Ibu Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.( Notoatmodjo, 2003) Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan ibu antara lain sebagai berikut : 1. Umur ibu Umur ibu sangat berpengaruh karena semakin muda umur ibu pada saat mempunyai anak maka pengalaman yang dimiliki tentang pemenuhan gizi balita
Universitas Sumatera Utara
semakin sedikit, ibu yang masih muda cenderung kurang peduli pada kebutuhan gizi balita (Suhardjo, 1996). 2. Pekerjaan ibu Ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah diluar rumah akan menyita waktunya dalam mempersiapkan makanan bagi keluarganya, sehingga terpaksa dialihkan kepada orang lain demikian juga dalam pemberian makan kepada balita (Suhardjo, 1996). 3. Pendapatan keluarga Masalah gizi selain dipengaruhi oleh asupan zat gizi, keadaan kesehatan individu juga berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Pada umumnya kekurangan zat gizi berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. 4. Pendidikan ibu Pendidikan ibu memberikan pengaruh terhadap perilaku perawatan anak, khususnya tanggung jawab dalam memilih makanan. Tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi termasuk gizi, sehingga pengetahuan akan terbatas (Sediaoetama, 2004). Tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan keadaan gizi anak. Hal ini disebabkan karena ibu rumah tangga mempunyai peranan penting dalam menentukan dan mengatur belanja keluarga, karena makin tinggi pendidikan ibu maka makin baik status gizi anak (Hasanah, 2012). 2.8.2 Sikap ibu Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
Universitas Sumatera Utara
belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan suatu kedaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya dan bersifat dinamis (Widayatun, 2004). Dalam penentuan sikap, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah kepribadian, intelegensia, minat dan motivasi individu tersebut (faktor intrinsik). Sedang faktor ekstrinsik adalah faktor lingkungan, pendidikan, idiologi, ekonomi, politik serta pertahanan dan keamanan (Hankam). Sikap dapat dipelajari dan dibentuk sehingga sikap akan mencerminkan kepribadian dan karakter seseorang. Kebutuhan sikap yang cenderung dinamis tentu dibarengi dengan perubahan sikap melalui beberapa tahapan yaitu perhatian, mengerti, menerima dan keyakinan (proses rasional). Sikap ibu terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian ibu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. Merespon dengan memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Kemudian mengajak tetangga untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu adalah menunjukkan ibu mempunyai sikap positif terhadap gizi anaknya. Sehingga diharapkan kepada ibu-ibu dapat meningkatan atau mempertahankan gizi dengan baik yang meliputi : 1. Ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi balita. 2. Ibu dapat memasak dan memilih makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan- bahan yang murah dan sederhana. 3. Timbulnya kebiasaan makan yang baik.
Universitas Sumatera Utara
4. Semua bayi disusui ibunya sampai berusia 2 tahun dan mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan kebutuhannya. 5. Pemanfaatan pekarangan untuk meningkatkan gizi keluarga.
2.9 Pernikahan Pernikahan adalah hubungan yang sah dari dua orang yang berlainan jenis kelamin. Sahnya hubungan tersebut berdasarkan atas hukum perdata yang berlaku, agama atau peraturan-peraturan lain yang dianggap sah dalam negara bersangkutan. Sedangkan di Indonesia perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bukan merupakan komponen yang langsung memengaruhi pertambahan penduduk akan tetapi mempunyai pengaruh cukup besar terhadap fertilitas yang merupakan salah satu unsur pertumbuhan penduduk (Lembaga Demografi FEUI, 2007). Perkawinan/pernikahan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No1 Tahun 1974) (Sudarsono, 2005). 2.9.1 Pernikahan Usia Dini Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi
Universitas Sumatera Utara
dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh (Fatawie, 2012). Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diizinkan bila laki-laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkn kebijakan upaya penyelenggaraan Keluarga Berencana (Yeni, 2011). 2.9.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Usia Dini Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia dini antara lain : 1. Faktor Ekonomi Persoalan ekonomi keluarga, orang tua menganggap jika anak gadisnya telah ada yang melamar dan mengajak menikah, setidaknya ia diharapkan akan mandiri tidak lagi bergantung kepada orang tua karena sudah ada suami yang siap menafkahinya. Sekalipun usia anak perempuannya belum mencapai kematangan, baik secara fisik terlebih mental. Sayangnya, para gadis ini juga menikah dengan pria berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan kemiskinan baru. 2. Faktor Sosial Budaya Di suatu desa di pantai utara Pulau Jawa, biasa menikah diusia muda, biarpun bercerai tak lama kemudian. Di daerah tersebut perempuan yang berumur 17 tahun apabila belum kawin dianggap perawan tua yang tidak laku. Di kabupaten Bantul masih ada anggapan perempuan tak laku karena tak kunjung menikah di usia 20-an tahun.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor Lingkungan dan Pergaulan Tidak bisa dipungkiri, masih ada pula perkawinan usia muda yang terjadi karena hamil dimasa pacaran. 4. Faktor Pendidikan Remaja khususnya wanita mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dari pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan (Ellya Sibagariang, dkk, 2010). 2.9.3 Risiko Pernikahan Usia Dini 1. Risiko Sosial Pernikahan Usia Dini Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas diri dan membutuhkan pergaulan dengan teman-teman sebaya. Pernikahan dini secara sosial akan menjadi bahan pembicaraan teman-teman remaja dan masyarakat. Pernikahan dini mengakibatkan remaja berhenti sekolah sehingga kehilangan kesempatan untuk menuntut ilmu sebagai bekal hidup di masa depan. Pernikahan dini memberi pengaruh bagi kesejahteraan keluarga dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Wanita yang kurang berpendidikan dan tidak siap menjalankan perannya sebagai ibu akan kurang mampu untuk mendidik anaknya sehingga anak akan tumbuh dan berkembang secara kurang baik, yang dapat merugikan masa depan anak tersebut. 2. Risiko Kejiwaan Pernikahan Usia Dini Perkawinan pada umumnya merupakan peralihan dalam kehidupan seseorang dan oleh karenanya mengandung stres. Untuk itu menghadapi perkawinan diperlukan kesiapan mental dari suami maupun istri, yaitu bahwa dia mulai beralih dari masa
Universitas Sumatera Utara
hidup sendiri kemasa hidup bersama dan berkeluarga. Kesiapan dan kematangan mental ini biasanya belum dicapai pada umur di bawah 20 tahun. Apabila wanita pada masa perkawinan usia muda menjadi hamil dan secara mental belum mantap, maka janin yang di kandungnya akan menjadi anak yang tidak dikehendaki ini berakibat jauh terhadap perkembangan jiwa anak sejak dalam kandungan. Bila anak lahir, ibu biasanya kurang memberikan perhatian dan kasih sayang malahan anak dianggap sebagai beban. Sebagai akibat kurang matangnya kejiwaan dan emosi remaja, maka pernikahan dini akan menimbulkan perasaan gelisah kadang-kadang mudah timbul rasa curiga dan pertengkaran suami istri sering terjadi ketika masa bulan madu sudah berakhir. Masalah tersebut akan bertambah apabila pasangan tersebut
terpaksa
tinggal
ditempat
orang
tua
dan
belum
memiliki
pekerjaan/penghasilan yang memadai. Tidak jarang pasangan ini mengalami ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga, sehingga pernikahan tidak bahagia, bahkan dapat berakhir dengan perceraian. Dalam hal ini maka remaja wanita lebih menderita dari remaja pria. 3. Risiko Kesehatan Pernikahan Usia Dini Risiko kesehatan terutama terjadi pada pasangan wanita pada saat mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya ia belum siap mental untuk hamil, namun karena keadaan ia terpaksa menerima kehamilan dengan risiko.
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa risiko kehamilan dan persalinan yang dapat dialami oleh remaja (usia kurang dari 20 tahun) : a. Kurang darah (anemia) ada masa kehamilan dengan akibat yang buruk bagi janin yang dikandungnya seperti pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur. b. Kurang gizi pada masa kehamilan yang dapat mengakibatkan perkembangan biologis dan kecerdasan janin terhambat. Bayi lahir dengan berat badan rendah. c. Penyulit pada saat melahirkan seperti perdarahan dan persalinan lama. d. Preeklampsi dan eklampsi yang dapat membawa maut bagi ibu maupun bayinya. e. Ketidakseimbangan besar bayi dengan lebar panggul. Biasanya ini akan menyebabkan macetnya persalinan. Bila tidak diakhiri dengan operasi caesar maka keadaan ini akan menyebabkan kematian ibu maupun janinnya. f. Pasangan yang kurang siap untuk menerima kehamilan untuk mencoba melakukan pengguguran kandungan (aborsi) yang dapat berakibat kematian bagi wanita. g. Pada wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun mempunyai risiko kira-kira dua kali lipat untuk mendapatkan kanker servik dibanding wanita yang menikah pada umur yang lebih tua (Ellya Sibagariang, dkk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Kerangka konsep
Menikah Dini : -
Pendapatan
Sikap Ibu
-
Pekerjaan
-
Pengetahuan tentang gizi balita
Praktek Pola
Status gizi
makan balita
balita
Gambar 2.1 Kerangka konsep Kerangka konsep diatas, dapat dijelaskan bahwa ibu yang menikah di usia dini dalam pemenuhan gizi balita dilatarbelakangi oleh pendapatan, pekerjaan dan pengetahuan tentang gizi balita yang dapat mempengaruhi sikap ibu dalam pemenuhan gizi balita yang dapat dilihat dari praktek pola makan balita berdasarkan jenis, jumlah dan frekuensi makan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi balita.
Universitas Sumatera Utara