BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia dalam bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan secara mudah dan terjangkau dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan kehidupan masyarakat. Peningkatan kualitas hidup manusia ini harus diupayakan sedini mungkin, yaitu ketika bayi dalam kandungan, saat kelahiran dan masa balita (dibawah usia lima tahun). Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia adalah dengan menekan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Upaya tersebut dilakukan melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal). Program
ini
digulirkan
sejak
22
Februari
2011
melalui
Permenkes
631/Menkes/Per/III/2011 disertai dengan petunjuk teknis pelaksanaan Jampersal tahun 2011 melalui Peraturan Menkes No. 2562/MENKES/PER/XII/2011 bagi seluruh ibu hamil, bersalin, dan nifas serta bayi baru lahir. Program Jampersal ini diharapkan dapat mengurangi hambatan finansial (financial barrier) bagi ibu hamil/bersalin yang tidak memiliki jaminan pembiayaan persalinan, dan dapat mengakses pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berkualitas. Pelayanan Jampersal meliputi; pelayanan antenatal, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir, baik
1 Universitas Sumatera Utara
2
untuk keadaan normal maupun kasus-kasus komplikasi yang perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu. Secara khusus program Jampersal ini bertujuan untuk: (i) meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten; (ii) meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir, KB pasca persalinan serta penanganan komplikasi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir, keluarga berencana pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten; serta (iii) terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Indonesia
berkomitmen
untuk
mencapai
tujuan
MDGs
(Millenium
Development Goals), khususnya menurunkan AKI dari 228 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB dari 34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup dan AKN (Angka Kematian Neonatus) dari 19 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007 akan terus menurun di tahun 2015. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) AKI di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia, demikian juga dengan AKB. AKI tahun 2012 adalah 359/100.000 kelahiran hidup dan AKB adalah 32/1.000 kelahiran hidup dan AKN 19/1.000 kelahiran hidup. Ini berarti setiap tahunnya di Indonesia ada lebih dari 10.000 wanita dan 80.000 bayi baru lahir meninggal pada saat atau segera setelah proses melahirkan. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, persalinan oleh tenaga kesehatan pada kelompok sasaran miskin baru mencapai sekitar 69,3%.
Universitas Sumatera Utara
3
Sedangkan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%. Salah satu kendala utama untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah keterbatasan dan ketidak-tersediaan biaya, sehingga diperlukan kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan melalui kebijakan Jampersal. Penyebab langsung kematian ibu terjadi 90% pada saat persalinan dan segera setelah persalinan, yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (8%), partus macet (5%) abortus (5%), trauma obstetrik (5%) emboli (5%) dan lain-lain (11%) (SKRT, 2001). Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor risiko keterlambatan (tiga terlambat), diantaranya terlambat dalam pemeriksaan kehamilan (terlambat mengambil keputusan), terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi. Salah satu upaya pencegahannya adalah melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menurunkan AKI, termasuk di antaranya dengan membuat berbagai kebijakan dalam perbaikan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, seperti pelatihan dukun bayi, pengembangan klinik kesehatan ibu dan anak, pembangunan rumah sakit, pengembangan puskesmas, pondok bersalin desa dan posyandu, serta pendidikan dan penempatan bidan di desa.
Universitas Sumatera Utara
4
Pelayanan Jampersal sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB ini akan sulit terwujud apabila tidak didukung tenaga sumber daya manusia yang terampil dan profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan. Salah satu sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana (KIA-KB) adalah tenaga bidan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di era globalisasi ini maka sumber daya manusia harus profesional dan memiliki keunggulan daya saing. Bidan sebagai ujung tombak dari pembangunan kesehatan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan masyarakat memiliki peran yang besar dalam proses reproduksi dan persalinan, kesehatan ibu dan anak serta program keluarga berencana karena keberadan bidan baik di desa maupun di perkotaan dapat mempermudah akses masyarakat terhadap persalinan oleh tenaga kesehatan. Kebijakan tentang tenaga bidan ini telah diatur dalam Permenkes RI Nomor 1464/MENKES/ PER/X/2010, terkait dengan izin dan penyelenggaraan praktik bidan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sesuai dengan petunjuk teknis (Juknis) pelaksanaan Jampersal menegaskan bahwa penerima manfaat Jampersal dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama pemerintah (puskesmas dan jaringannya) dan swasta serta fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (rumah sakit) pemerintah dan swasta (berdasarkan rujukan) di rawat inap kelas III (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/MENKES/PER/XII/2011). Salah satu sarana pelayanan
Universitas Sumatera Utara
5
kesehatan swasta yang dapat dimanfaatkan masyarakat adalah Bidan Praktik Mandiri (BPM), khususnya bagi masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari puskesmas atau rumah sakit. BPM diharapkan dapat mengambil bagian sebagai provider dalam program Jampersal untuk mendukung pemerintah dalam percepatan penurunan AKI dan AKB. Hal ini didukung oleh hasil riset evaluatif implementasi Jampersal oleh Kementerian Kesehatan RI (2012), mengungkapkan bahwa 94,6% bidan menyatakan setuju dan mendukung program Jampersal dan menyatakan sebaiknya program Jampersal dilanjutkan karena bermanfaat untuk masyarakat miskin. BPM pada prinsipnya memiliki kewenangan sesuai dengan arah dan tujuan program Jampersal, yaitu mencakup pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan pelayanan KB pasca persalinan, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pelayanan persiapan rujukan pada saat terjadinya komplikasi (kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir serta KB pasca persalinan) tingkat pertama (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Keuntungan yang diperoleh atas BPM sebagai provider jampersal adalah penambahan jumlah pasien yang dilayani dan mendapatkan klaim dana sebagai bentuk pembiayaan Jampersal. Fenomena yang terjadi, ternyata kebijakan pemerintah tersebut belum sepenuhnya diminati BPM. BPM sebenarnya sudah mengetahui kebijakan itu namun belum sepenuhnya merespon dengan baik. Padahal dalam dalam Permenkes RI Nomor 1464/MENKES/ PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan
Universitas Sumatera Utara
6
dalam Bab III pasal 18 ayat 3 mengatakan bahwa bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program Pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini diduga karena BPM memiliki persepsi yang belum baik dan motivasi yang rendah sebagai provider dalam program Jampersal, sehingga tidak memiliki minat sebagai provider. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) minat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu ditentukan keyakinan atas pengetahuan yang diperoleh apakah perilaku tersebut akan berakibat positif atau negatif. Norma subyektif terbentuk dari motivasi untuk berperilaku sesuai harapan normatif. Kontrol perilaku berisikan aspek pengetahuan tentang kemudahan dan kesulitan untuk melakukan perilaku tertentu. Hasil penelitian Mandasari (2012) mengungkapkan bahwa dari 120 BPM yang ada di Kota Malang, hanya 20 BPM saja (16,7%) yang ikut berpartisipasi aktif melalui pengikatan perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Malang, karena sebagian besar bidan memiliki kesulitan untuk mendapatkan ijin praktik bidan sebagai syarat administrasi, belum konkritnya regulasi yang menjabarkan operasional pelaksanaan Jampersal dan mengeluhkan sulitnya administrasi pengklaiman Jampersal. Sedangkan hasil riset evaluatif implementasi Jampersal oleh Kementerian Kesehatan RI (2012) menyimpulkan bahwa mekanisme klaim merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan Jampersal karena terlalu lama, hal ini disebabkan persepsi tentang persyaratan yang dianggap membebani. Kendala yang lain seperti terbatasnya tenaga verifikator, sehingga berkas klaim menumpuk di verifikator.
Universitas Sumatera Utara
7
Perbedaan persepsi ini secara aktual berdampak terhadap pelaksanaan pelayanan Jampersal oleh penyedia pelayanan Jampersal di tingkat dasar seperti praktik BPM, sehingga mereka tidak berminat sebagai provider BPM. Menurut Robbins (2006), secara psikologis persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna dari stimulus yang diterima. Kebijakan sebagai provider melalui perjanjian kerja sama oleh BPM merupakan stimulus yang diterima terhadap apa yang diperoleh dari sejumlah keuntungan, dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan kepada peserta Jampersal. Selain faktor persepsi, faktor motivasi juga memengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja. Gibson et al. (2003), menyatakan bahwa secara psikologis motivasi memengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja secara organisasi yang pada akhirnya berpengaruh juga terhadap kinerja secara personal. Kebijakan sebagai provider melalui perjanjian kerja sama merupakan motivasi bagi BPM untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rumah tangga dengan menerima hasil klaim dari Jampersal, dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan kepada peserta Jampersal. Hasil penelitian Rahmah (2012) mengungkapkan bahwa BPM termotivasi dalam penandatanganan perjanjian kerjasama Jampersal terkait dengan faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak
Universitas Sumatera Utara
8
mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman jika menandatangani perjanjian kerjasama Jampersal karena harus mematuhi aturan jampersal, sulitnya mekanisme klaim, dan banyaknya tersita waktu untuk melakukan klaim, sehingga enggan berminat sebagai provider Jampersal. Kota Dumai adalah sebuah kota di Provinsi Riau, sekitar 188 Km dari Kota Pekanbaru. Kota ini memiliki permasalahan dalam pelaksanaan pelayanan Jampersal. AKB cenderung bervariasi setiap tahunnya. Berdasarkan laporan kematian dan PWS-KIA Kota Dumai
tahun 2011 menunjukkan AKB
sebesar 10,49/1000
kelahiran hidup mengalami peningkatan bila di bandingkan dengan pencapaian tahun 2010, AKB sebesar 8/1000 kelahiran hidup, walaupun angka ini masih di bawah target nasional, yaitu sebesar 23/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi diketahui 32,88% akibat BBLR, dan 31,51% karena asfiksia. Demikian juga dengan AKI tahun 2011 sebesar 172,41/100.000 kelahiran hidup mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI tahun 2010 yaitu 88/100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu yang terbanyak disebabkan oleh pendarahan (25%), Eklamsi berat (25%), postpartum hemorrhage dan sisanya disebabkan oleh plasenta previa dan lain lain. Hal ini menjadi salah satu prioritas dalam program peningkatan KIA di Kota Dumai. Upaya yang dilakukan relatif sama dengan daerah kabupaten/kota lainnya, yaitu menyelenggarakan pelayanan Jampersal secara optimal, namun pada pelaksanaannya masih banyak terdapat permasalahan antara lain sosialisasi yang
Universitas Sumatera Utara
9
kurang, rendahnya partisipasi masyarakat dalam rujukan persalinan serta rendahnya akses pelayanan Jampersal terdekat di masyarakat seperti pemanfaatan BPM. Berdasarkan catatatan Dinas Kesehatan Kota Dumai sampai dengan Pebruari 2013, jumlah BPM di Kota Dumai tercatat sebanyak 73 BPM, dari jumlah tersebut hanya 21 BPM (28,8%) berminat sebagai provider melalui perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Dumai dalam hal pelayanan pasien Jampersal. Hal ini menggambarkan bahwa persepsi BPM belum baik dan motivasi yang rendah, sehingga tidak berminat sebagai provider. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Pebruari 2013 terhadap 8 BPM, yakni sebanyak 4 orang BPM sebagai provider Jampersal dan 4 orang BPM belum pernah sebagai provider Jampersal. Sebanyak 4 orang BPM menyatakan alasan ikut sebagai provider karena menghargai peraturan pemerintah saja. Kalau masalah biaya pengganti memang terlalu sedikit, sulitnya mekanisme klaimnya, mengeluhkan paket layanan yang diberikan tidak menyeluruh dan adanya rekomendasi untuk mengutip biaya tambahan diluar paket layanan Jampersal seperti penggunaan infus, oksigen dan paket obat diluar paket Jampersal, sehingga menimbulkan permasalahan persepsi pengguna Jampersal bahwa ada kutipan “liar” diluar paket Jampersal, padahal hal tersebut memang tidak tertampung dalam paket Jampersal. Sedangkan sebanyak 4 orang BPM yang belum pernah menjadi provider beralasan biaya pengganti memang terlalu sedikit, birokrasi rumit dan harus membuat
Universitas Sumatera Utara
10
administrasi untuk proses pengklaiman Jampersal, kalaupun dibayar menunggu 3 (tiga) bulan sekali dan administrasi jika berminat sebagai provider Jampersal rumit karena harus ada Surat Ijin Praktik Bidan (SIPB) serta kelengkapan fasilitas layanan juga harus dipenuhi. Keadaan tersebut di atas secara umum merupakan faktor penyebab BPM tidak bersedia sebagai provider Jampersal. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merasa perlu mengkaji “Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Bidan Praktik Mandiri sebagai Provider Program Jampersal di Kota Dumai.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh persepsi dan motivasi terhadap minat bidan praktik mandiri sebagai provider program Jampersal di Kota Dumai.
1.3 Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh persepsi dan motivasi terhadap minat Bidan Praktik Mandiri sebagai provider program Jampersal di Kota Dumai.
1.4 Hipotesis Persepsi dan motivasi berpengaruh terhadap minat Bidan Praktik Mandiri sebagai provider program Jampersal di Kota Dumai.
Universitas Sumatera Utara
11
1.5 Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Dumai dalam manajemen strategi pelayanan Jampersal. 2. Memberikan masukan bagi Bidan Praktik Mandiri di Kota Dumai dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya terkait dengan pelaksanaan pelayanan Jampersal. 3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi dan kebijakan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan pelayanan bidan praktek mandiri.
Universitas Sumatera Utara