BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi yang memungkinkan bayi lahir dalam keadaan tidak normal dan berisiko meninggal sebelum usia lima tahun didominasi oleh kelahiran prematur dan kelahiran bayi dengan berat lahir rendah. Di Indonesia, persentase kelahiran prematur ini cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5 per 100 kelahiran (15,5%), atau satu dari enam bayi. Data tersebut merupakan data WHO di tahun 2013. Angka di atas menjadikan Indonesia lima besar kelahiran prematur dunia (Republika, 2015). Beberapa kasus kelainan yang terjadi pada bayi umumnya berhubungan dengan fisik, salah satunya adalah lumpuh otak atau cerebral palsy. Definisi dari cerebral palsy (selanjutnya akan disebut CP) adalah suatu bentuk kelumpuhan otak yang disebabkan adanya luka atau kerusakan di otak yang mengakibatkan disfungsi pada anggota gerak (Miller, 2005). Penyebab CP bisa beragam dan dapat terjadi sejak anak berada dalam kandungan (Miller, 2005; Hallahan & Kauffman, 2006). Jika ibu mengalami berbagai macam penyakit, trauma fisik, hingga paparan radiasi ketika mengandung, maka hal itu dapat merusak otak janin dan mengakibatkan anak terlahir CP. Proses kelahiran juga dapat mengakibatkan CP pada anak, seperti sulit lahir, lahir prematur, dan adanya kemungkinan bayi kurang mendapat oksigen. Sementara ketika anak sudah lahir, CP dapat disebabkan oleh kecelakaan dan/atau kekerasan pada anak secara kontak langsung dengan kepalanya (Hallahan & Kauffman, 2006). CP menyerang bagian otak dan mengakibatkan disfungsi pada anggota fisik, dengan adanya kemungkinan disfungsi lain pada psikis, emosi, dan perilaku.
1
2 CP memiliki berbagai macam klasifikasi dan tingkat keparahan, meskipunkategori dan tingkat keparahan ini hanya berfungsi sebagai pembeda. Kenyataannya, sekecil apa pun tingkat keparahan CP pada anak, CP merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan mampu mengakibatkan kecacatan permanen (Miller, 2005). Pentingnya mengetahui klasifikasi CP hanya sebatas pada langkah preventif pada kehamilan selanjutnya, bukan pada penyembuhan secara total. Fakta ini tentunya membuat CP menjadi penyakit pada anak yang mengerikan bagi semua orangtua. Merawat anak dengan CP menjadi suatu tantangan tersendiri. Pada dasarnya, merawat anak normal merupakan pekerjaan yang sulit, terlebih jika anak yang dirawat memiliki keterbatasan dan perlakuan khusus seperti CP. Ada biaya lebih yang harus dikeluarkan untuk pengobatan dan terapi, serta kondisinya yang pasti terlambat dalam tumbuh kembangnya dibanding anak normal (Fernández-Alcántara, et al., 2015). Anak CP juga rentan terhadap berbagai penyakit sehingga perlu pengawasan intens dari orangtua atau pengasuhnya (Fernández-Alcántara, García-Caro, Berrocal-Castellano, Benítez, RoblesVizcaíno, & Laynez-Rubio, 2013). Sulitnya merawat anak CP juga diikuti dengan perubahan pada kondisi psikologis orangtua. Ada beberapa peristiwa yang memicu perubahan kondisi psikologis orangtua seperti ketika menerima diagnosis awal mengenai anaknya, melihat anaknya berbeda dengan anak normal lain, dan kendala-kendala lain yang mengikuti seiring tumbuh dan berkembangnya anak CP. Perubahan kondisi psikologis pada orangtua ini disebabkan adanya feelings of loss (Fernández-Alcántara, et al., 2015). Feelings of loss (selanjutnya akan disebut dengan perasaan kehilangan) dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk perasaan konkret yang mengakibatkan munculnya duka yang disebabkan sebuah peristiwa kehilangan sesuatu atau seseorang untuk selama-lamanya (Wittingham, Wee, Sanders, & Boyd, 2013). Perasaan ini dianalogikan seperti sesuatu yang
3 penuh secara tiba-tiba menjadi kosong, dengan tidak adanya jaminan akan terisi kembali. Dalam kasus orangtua yang merawat anak dengan CP, perasaan kehilangan bukan merupakan sebuah bentuk perasaan kehilangan pada umumnya. Istilah perasaan kehilangan digunakan untuk menjelaskan adanya bentuk kehilangan pada orangtua atas munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Fernández-Alcántara, et al., 2015). Harapan yang tumbuh pada orangtua untuk anak sejak masa kehamilan seketika hilang begitu mengetahui bahwa anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan tersebut. Oleh karena itu, istilah perasaan kehilangan merujuk pada sesuatu yang khusus seperti hilangnya harapan dan kesempatan. Penelitian yang sama juga menemukan adanya perubahan pada gaya hidup orangtua yang memiliki anak dengan CP (Fernández-Alcántara, et al., 2015). Perubahan terjadi ketika orangtua mengetahui diagnosis dari dokter tentang kondisi anaknya dan seberapa besar tingkat keparahan CP yang dialami. Perubahan gaya hidup dipengaruhi karena adanya dominasi perasaan kehilangan dan bayangan akan beban yang harus dihadapi. Perasaan kehilangan ini kemudian dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku-perilaku orangtua dalam merawat anak yang mengalami CP. Pada kasus di Indonesia, penelitian Farza (2008) menemukan bahwa orangtua membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan terdapat kesulitan untuk dapat menerima anaknya dengan kondisi CP. Kesulitan tersebut mengakibatkan penolakan yang nyata dari orangtua seperti rasa tidak peduli dengan tidak memberikan perlakuan yang berarti, hingga pada kondisi orangtua yang lepas tangan dan tidak mau tahu tentang kondisi anaknya. Pada wawancara awal yang telah dilakukan oleh peneliti, menurut koordinator klinik tumbuh kembang dan salah satu fisioterapis di Rumah Sakit Hermina Podomoro (selanjutnya akan disebut dengan RSHP), Jakarta Utara, merawat anak dengan CP adalah hal yang sulit dan membutuhkan sumber daya materi yang cukup besar. Hal yang sulit karena anak dengan
4 CP memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dan butuh perhatian intens setiap saat. Membutuhkan sumber daya materi yang cukup besar karena setiap perlakuan yang diberikan kepada anak dengan CP membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang terus-menerus harus dikeluarkan. Terlebih, setiap perlakuan yang diberikan tidak menjamin kondisi anak dengan CP akan membaik pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, dokter anak di RSHP cenderung memberikan diagnosis global delay development (GDD) pada anak yang memiliki lebih dari dua keterlambatan atau gangguan, bukan diagnosis pada penyakit yang spesifik. Staf administrasi klinik tumbuh kembang RSHP menyatakan bahwa ada diagnosis berbeda antara terapis dengan dokter anak. Autisme dan CP adalah dua contoh gangguan pada anak yang sering didiagnosis sebagai GDD oleh dokter dan menghasilkan perbedaan diagnosis antara dokter dan terapis ke depannya. Perbedaan diagnosis tersebut merupakan kondisi yang memperburuk dalam melakukan perawatan pada anak berkebutuhan khusus (selanjutnya disebut ABK) karena orangtua tidak sejak awal mengetahui diagnosis yang sesungguhnya terjadi pada anak. Fakta lain yang didapat dari wawancara awal adalah tidak adanya rujukan dalam penanganan psikologis pada orangtua yang memiliki ABK. Orangtua hanya konsultasi ke dokter terkait gangguan pada anaknya, mendapatkan diagnosis dan keterangan butuh atau tidaknya terapi, dan apa saja obat-obatan yang diperlukan. Menurut psikolog anak di RSHP, orangtua seharusnya mendapatkan rujukan untuk bertemu dengan psikolog sebagai bekal dalam merawat ABK. Tentunya langkah ini sangat penting dalam mempersiapkan kondisi psikologis dalam merawat dan mengasuh ABK sehari-hari. Dari data awal di lapangan yang telah didapat, disimpulkan bahwa merawat dan mengasuh anak dengan CP merupakan sebuah tantangan bagi orangtua. Anak dengan CP butuh atensi yang besar, biaya yang tidak sedikit, dan perkembangan yang dipastikan
5 terlambat dibanding anak-anak normal. Hal-hal tersebut menuntut kesiapan orangtua yang melakukan perawatan dan pengasuhan dengan segala sesuatunya. Di Indonesia, belum ada penelitian yang dilakukan untuk melihat bentuk dari perasaan kehilangan yang dimiliki orangtua yang merawat anak dengan CP. Dari penjabaran di atas, karena perasaan kehilangan dapat mempengaruhi perilaku merawat dan mengasuh orangtua yang memiliki anak dengan CP, maka, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apa saja bentuk perasaan kehilangan dan bagaimana hal-hal tersebut memberikan pengaruh pada orangtua yang merawat dan mengasuh anak dengan CP.
B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dari perasaan kehilangan pada orangtua yang merawat anak dengan CP dan pengaruh yang ditimbulkannya dalam merawat anak dengan CP.
C.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Secara teoritis, hasil penelitian dapat menambah khazanah psikologi dalam hal perasaan dan emosi konkret yang berkaitan dengan merawat ABK, lebih khusus pada anak dengan CP. 2. Secara praktis, hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi orangtua yang merawat ABK, lebih khusus pada anak dengan CP.