BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF, 2010). Namun faktanya, tidak semua anak lahir dalam kondisi normal. Anak yang lahir dalam kondisi berkebutuhan khusus seringkali menimbulkan dinamika tersendiri pada keluarga. Orangtua diliputi rasa bersalah terhadap kelahiran anak berkebutuhan khusus (ABK) (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2012). Data menunjukkan bahwa kelahiran anak dalam kondisi tidak normal atau kelahiran anak berkebutuhan khusus (ABK) masih banyak terjadi di Indonesia. Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup besar. Catatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan terdapat 4,2 juta jiwa anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia yaitu presentase 10% anak usia sekolah (5-14 tahun) (Republika, 2014). Melihat pertumbuhan dan peningkatan jumlah penduduk Indonesia setiap tahun nya mengalami peningkatan, pemerintah memprediksi angka anak berkebutuhan khusus akan meningkat. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi anak, yaitu masa sebelum kelahiran (prenatal), saat kelahiran (perinatal) dan setelah kelahiran (postnatal). Winick (dalam Sternberg & Taylor, 1989) menjelaskan faktor yang perlu diperhatikan oleh ibu sebelum kelahiran (prenatal) adalah nutrisi yang diberikan oleh ibu selama mengandung. Brack (dalam Sternberg & Taylor, 1989) menjelaskan bahwa makanan, asupan gizi, penggunaan obat dan, konsumsi alkohol oleh ibu merupakan faktor-faktor pada fase prenatal (sebelum kelahiran) yang dapat mempengaruhi kondisi anak ketika lahir. Selain itu, usia kandungan,
gizi yang dikonsumsi serta ketegangan emosi yang dirasakan ibu dapat mempengaruhi kondisi kelahiran anak (Santrock, 2011). Anak berkebutuhan khusus (ABK) terdiri dari beberapa macam. Kirk, dkk. (2012) mengkategorikan ke dalam enam perbedaan, yaitu perbedaan intelektual, cara berkomunikasi,
proses
pembelajaran,
fungsi
penginderaan,
kondisi
fisik,
dan
ketidakmampuan atau kelainan ganda lainnya. Kelahiran anak dalam kondisi berkebutuhan khusus dapat memunculkan berbagai macam reaksi dari orangtua. Reaksi yang ditunjukkan orang tua dapat berupa reaksi negatif maupun reaksi positif. Reaksi negatif antara lain penolakan atau penyangkalan (Baskiewicz dkk. dalam Hallahan dkk., 2012; Kandel & Merick, 2007; Mangunsong, 1998), rasa bersalah, kesedihan (Kandel & Merick, 2007; Mangunsong, 1998), kecenderungan untuk meminta perlindungan, depresi (Kandel & Merick, 2007), kaget, marah (Baskiewicz dkk. dalam Hallahan dkk., 2012; Mangunsong, 1998), kacau, cemas, takut (Baskiewicz dkk. dalam Hallahan dkk., 2012), gejolak batin, tidak percaya, dan kecewa (Mangunsong, 1998). Reaksi positif yang pada akhirnya dapat muncul adalah penerimaan (Baskiewicz dkk. dalam Hallahan dkk., 2012; Kandel & Merick, 2007). Peran ibu saat melahirkan mengakibatkan figur seorang ibu rentan terhadap masalah penyesuaian dengan kondisi anak (Mangunsong dkk., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosok ibu dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) cenderung memiliki masalah dengan kesehatan mental dibandingkan dengan sosok ayah (Mangunsong dkk., 1998). Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki pengalaman stres yang lebih tinggi dibandingkan orangtua dengan anak normal. Stres yang dialami orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) dikarenakan adanya rasa bersalah, rendahnya
harga diri, tidak menerima kenyataan dan tidak adanya dukungan sosial (Fathi, Zolfaghari & Hashemi, 2011). Menurut Chalidah (2005) anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang menyimpang dari kriteria normal. Kriteria yang dimaksud adalah dari segi mental, sensori, fisik, perilaku sosial, emosional, komunikasi, maupun gabungan dari beberapa variabel. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang mengalami keterbatasan secara fisik, mental, intelektual, sosial dan, emosional. Keterbatasan tersebut dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak (Undang-undang RI, 2011). Anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki hak yang sama seperti anak yang lain meskipun memiliki keterbatasan baik dalam hal pertumbuhan maupun perkembangan. Hak anak berkebutuhan khusus (ABK) tercantum dalam undang-undang No. 19 Tahun 2011. Anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki hak untuk dilindungi, dihormati, dan hak-hak yang lain (Undang-undang RI, 2011). Beberapa waktu yang lalu terjadi kasus reaksi penolakan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di Cikarang Barat. Orangtua diduga sengaja membuang anak karena lahir dalam keadaan bibir sumbing (Kompas, 2014). Bu Wulan adalah guru SLB N di Yogyakarta. Bu Wulan menceritakan bahwa banyak terjadi reaksi penolakan yang ditunjukkan oleh orangtua kepada anak berkebutuhan khusus (ABK) (dalam komunikasi personal dengan peneliti, 2014). Penolakan tersebut terlihat dari beberapa sikap orangtua terhadap anak. Sikap tersebut antara lain orangtua tidak terlihat menemani anak di sekolah, orangtua tidak terlihat hadir saat pengambilan rapor, dan anak diantar oleh sopir dan babysitter. Tidak hanya di sekolah, fenomena penolakan anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh orangtua juga sering ditemui dalam kehidupan sehari-
hari. Fakta yang ada menggambarkan sikap orangtua berat untuk menerima keadaan anak dalam kondisi kekurangan. Selain penolakan, reaksi lain yang ditunjukkan orangtua terhadap kelahiran anak adalah penerimaan. Penelitian Setiyowati (2011), menghasilkan bahwa adanya penerimaan yang dilakukan orangtua terhadap anak tunagrahita. Anak tunagrahita merupakan salah satu kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Orangtua dapat mengatasi kesulitan dalam mendidik dan mengarahkan anak dengan cara memahami kondisi anak dan mengenali karakteristik anak. Selain itu, orangtua menunjukkan sikap penerimaan dengan menjalin komunikasi, memberikan perhatian dan kasih sayang, serta melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang dilakukan anak. Peneliti melakukan observasi di salah satu SLB N di Yogyakarta. Peneliti mengamati perilaku orangtua dan anak ketika di sekolah. Peneliti melihat seorang ayah mengantarkan anak ke sekolah menggunakan motor. Sang ayah membawa selendang untuk menggendong anak dan papan plastik dipasang di bagian belakang motor sebagai tempat anak bersandar. Ayah menunggu di luar kelas, mengantar ke kamar kecil, dan menggendong anak sampai ke motor ketika pelajaran telah selesai. Perilaku seorang ayah tersebut menunjukkaan penerimaan terhadap kondisi anak. Fenomena-fenomena di atas menunjukkan adanya reaksi penolakan dan penerimaan orangtua, dimulai dari kelahiran anak hingga anak berada di bangku sekolah. Oleh karena itu, peneliti merumuskan masalah “Bagaimana Dinamika Psikologis Penerimaan Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?”. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis penerimaan orangtua terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam Bidang Klinis dan Perkembangan. 2. Manfaat secara Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan gambaran tentang dinamika psikologis penerimaan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) kepada orangtua yang lain dan pembaca. Informasi dan gambaran mengenai dinamika psikologis penerimaan orangtua dapat membantu pembaca dan orangtua lain untuk mengurangi faktor resiko pemicu stres dalam menghadapi dan merawat anak sehari-hari.