BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Teori 2.1.1 Neonatus Bayi baru lahir (Neonatus) adalah bayi dari lahir sampai usia 4 minggu,lahir biasanya dengan usia gestasi 38-42 minggu (Reeder, 2003). Bobak (2005) mengatakan Neonatus harus memenuhi sejumlah tugas perkembangan untuk memperoleh dan mempertahankan eksistensi fisik secara terpisahdari ibunya. Perubahan biologis besar yang terjadi pada saat lahir memungkinkan transisi dari lingkungan intra uterin ke ekstra uterin.
Periode neonatal yang berlangsung sejak bayi lahir sampai usia 28 hari merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis pada bayi baru lahir. Hurlock (2009) mengatakan, beberapa ciri penting untuk periode bayi baru lahir yaitu: a. Merupakan periode tersingkat dibandingkan periode lainnya (berlangsung hanya sekitar 2 minggu sejak kelahiran) b. Masa terjadinya perubahan yang radikal (peralihan dari kehidupan dilingkungan dalam kandungan kelingkungan luar) c. Menjadi landasan/petunjuk untuk perkembangan selanjutnya (kondisi bayi diawal kehidupan dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya) d. Masa terhentinya perkembangan (beberapa hari mengalami penurunan berat badan dan cenderung kurang sehat)
9
10
e. Merupakan periode yang berbahaya (harus melakukan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis pada lingkungan yang baru dan berbeda dibandingkan sebelumnya sehinga tingkat kematian bayi pada peiode ini cukup tinggi).
Selain neonatus yang dilahirkan sempurna pada kehamilan cukup bulan, Bobak (2005) menjelaskan terdapat pula bayi yang lahir dengan tingkat perkembangan dan fungsi yang belum memungkinkan terpisah dari ibunya, diantaranya bayi berat lahir rendah. Masalah lain yang timbul pada periode neonatus yaitu gangguan-gangguan seperti asfiksia, gangguan pernapasan, obstuksi saluran pencernaan, hernia diafragmatika, omfalocell, penyakit jantung bawaan, atresia ani dan lain-lain.
Bayi baru lahir yang memiliki masalah kesehatan berkontribusi terhadap kejadian kematian
neonatus. Angka kematian bayi di Indonesia menurut Survey
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) mengalami penurunan dari 46 per 1000 kelahiran hidup (SDKI,1997) menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Penyebab kematian neonatal utama adalah asfiksia neonatal sebesar 37%, prematuritas 34%,sepsis 12%, hipotermi 7%, kelainan darah 6%, postmatur 3%, dan kelainan kongenital sebesar 1% (Riset Kesehatan Dasar, 2007). a.Tumbuh kembang neonatus usia 0-30 hari Tumbuh kembang masa neonatus (0-30 hari) yaitu masa terjadinya kehidupan yang baru dalam ekstra uteri. Pada masa ini terjadi proses adaptasi semua sistem organ tubuh, dimulai dari aktivitas pernapasan, pertukaran gas dengan pernapasan antara 35-50 kali permenit, penyesuaian denyut jantung antara 120-160 kali
11
permenit. Perubahan ukuran jantung menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan rongga dada, kemudian gerakan bayi mulai meningkat untuk memenuhi kebutuhan gizi seperti menangis, memutar-mutar kepala, mengisap (rooting reflek) dan menelan. Perubahan selanjutnya adalah pada proses pengeluaran feses/tinja yang terjadi dalam waktu 24 jam serta adanya mekonium (isi usus janin yang terdiri atas getah kelenjar usus dan air ketuban berwarna hijau kehitam hitaman). Perubahan pada fungsi organ yang lain seperti ginjal belum sempurna, urine masih mengandung sedikit protein. Pada minggu pertama urine berwarna merah muda karena banyak mengandung
senyawa urat. Kemudian
kadar
hemoglobin darah tepi pada neonatus berkisar antara 17-19 g/dl, kadar hematokrit saat lahir adalah 52 %, terjadi peningkatan kadar leukosit sekitar 25.000-30.000/μl dan setelah umur satu minggu akan terjadi penurunan hingga kurang dari 14 000/μl. Fungsi hati pun masih relatif belum matang dalam memproduksi faktor pembekuan karena belum terbentuknya flora usus yang berperan dalam absorbsi vitamin K. Selain itu bayi juga memiliki imunoglobulin yang didapat sejak lahir yang berfungsi sebagai zat kekebalan.
Pada masa neonatus, perkembangan motorik kasar diawali dengan gerakan seimbang pada tubuh seperti mengangkat kepala. Perkembangan motorik halus ditandai dengan kemampuan untuk mengikuti garis tengah bila kita memberikan rangsangan terhadap gerakan jari atau tangan. Perkembangan bahasa ditunjukkan dengan adanya kemampauan bersuara (menangis) dan bereaksi terhadap suara atau bunyi. Perkembangan adaptasi sosial ditandai dengan adanya tanda-tanda tersenyum dan mulai menatap muka untuk mengenali seseorang.
12
b.Bayi Baru Lahir Normal dan Masalah yang Muncul Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram. Ciri-ciri pada bayi normal yaitu: 1. Berat badan 2500 gram - 4000 gram 2. Panjang badan lahir 48 cm - 52 cm 3. Lingkar dada30 cm - 38 cm 4. Lingkar kepala 33 cm - 35 cm 5. Frekuensi jantung 180 denyut/menit, kemudian menurun sampai 120-140 denyut/menit 6. Pernapasan pada beberapa menit pertama cepat, kira-kira 80 kali/menit, kemudian menurun setelah tenang kira-kira 40 kali/menit 7. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subcutan cukup terbentuk dan diliputi verniks kaseosa 8. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya sempurna 9. Kuku agak panjang dan lemas 10. Genetalia, labia mayora sudah menutupi labia minora (pada perempuan), testis sudah turun (pada laki-laki). Hal-hal yang perlu dipantau pada bayi baru lahir: 1. Suhu badan dan lingkungan 2. Tanda-tanda vital 3. Berat badan 4. Mandi dan perawatan kulit
13
5. Pakaian 6. Perawatan tali pusat 7. Pemantauan tanda-tanda vital 8. Suhu tubuh bayi diukur melalui aksila dan telinga 9. Pada pernapasan normal, perut dan dada bergerak hampir bersamaan tanpa adanya retraksi, tanpa terdengar suara pada waktu inspirasi maupun ekspirasi. Frekuensi pernapasan 30-50 kali permenit 10. Nadi dapat dipantau disemua titik-titik nadi perifer 11. Tekanan darah dipantau jika ada indikasi Masalah bayi baru lahir yaitu : 1. Trauma lahir, yaitu kondisi ketika bayi mengalami trauma mekanis/luka yang disebabkan oleh proses persalinan/kelahiran yang meliputi; caput sucedaneum, cefalhematoma, perdarahan intacranial, fraktur klavikula, fraktur humerus, paralisis brakhial. 2. Kelainan kongenital
atau bawaan adalah kelainan morfologik
pada
pertumbuhan struktur tubuh yang dijumpai sejak bayi lahir. Jenis kelainan bawaan berdasarkan penangannya ada tiga yaitu: a) Kelainan bawaan yang memerlukan tindakan segera (untuk menyelamatkan kehidupan bayi),meliputi: hernia diafragmatika, atresia koana posterior, obstruksi jalan napas atas. b) Kelainan bawaan yang memerlukan tindakan dini (seawal mungkin untuk meningkatkan/memperbaiki kondisi fisik bayi yang dapat mengganggu
14
perkembangannya) meliputi; omfalocell, atresia oesofagus, hischprung, atresia ani, meningocell, ensefalocell, hidrosefalus, obstruksi biliaris. c) Kelainan bawaan yang dapat dijumpai diklinik yang tidak memerlukan penanganan segera meliputi; labioskizis, labiopalatoskizis, hipospadia, fimosis. 2.1.2 Neonatus Intensive Care Unit (NICU) a. Pengertian NICU NICU merupakan suatu unit perawatan intensif untuk bayi yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital (Victor,1997). Depkes (2003) menjelaskan NICU sebagai unit perawatan untuk bayi baru lahir yang memerlukan perawatan khusus seperti BBLR, fungsi pernapasan kurang sempurna, prematur dan bayi yang mengalami
kesulitan
dalam
pesalinan
serta
menunjukkan
tanda-tanda
menghkhawatirkan dalam beberapa hari pertama kehidupan.
Bayi yang harus dirawat di NICU antara lain bayi dengan sindrom gawat napas derajat tiga atau empat yang memerlukan support alat bantu napas mekanik, aspirasi air ketuban (Miconium Aspirasi Sindrom), bayi berat lahir rendah atau berat bayi lahir amat sangat rendah atau bayi dengan umur kehamilan kurang dari 34 minggu yang belum mendapatkan obat pematangan paru.
15
b. Fasilitas dan Kompetensi pada Ruang NICU Penanganan pasien neonatus pada dasarnya tidak bisa disamakan atau disatukan dengan pasien dengan keluhan dan penyakit lain. Pasien neonatus harus mendapatkan penanganan dan perlakuan ekstra khusus karena
resiko
kematiannya sangat tinggi. Meski demikian, beberapa rumah-sakit tetap melakukan perawatan terhadap pasien neonatus, dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. Akibatnya, penanganan yang dilakukan tidak maksimal.Inilah yang menyebabkan angka kematian pasien neonatus tetap tinggi.
Idealnya, penanganan kasus neonatus harus dilakukan dalam ruang perawatan khusus yang terdiri dari tiga level, berdasarkan derajat kesakitan, risiko masalah dan kebutuhan pengawasannya. Level I adalah untuk bayi risiko rendah, dengan kata lain bayi normal yang sering digunakan istilah rawat gabung ( perawatan bersama ibu) atau Level II untuk bayi risiko tinggi tetapi pengawasan belum perlu intensif. Pada level ini bayi diawasi oleh perawat 24 jam, akan tetapi perbandingan perawat dan bayi tidak perlu 1:1. Sedangkan pada level III, pengawasan yang dilakukan benar-benar ekstra ketat. Satu orang perawat yang bertugas hanya boleh menangani satu pasien selama 24 jam penuh. Pada ketiga level peran dokter boleh dibagi, artinya satu orang dokter pada ketiga level, akan tetapi dengan ketrampilan dan pengetahuan khusus mengenai masalah gawat darurat pada neonatus.
Sesuai dengan namanya, perawatan intensif harus dilakukan secara khusus oleh seorang perawat terus menerus selama 24 jam.Tapi kalau perawatan dilakukan
16
terhadap beberapa pasien, itu namanya bukan intensif. Tujuannya, agar kita bisa merawat bayi-bayi risiko tinggi secara baik dan benar. Sehingga bayi yang sakit itu jangan sampai meninggal. Setelah dirawat, dia harus sembuh.
Selain pengawasan oleh dokter dan perawat secara intensif, dukungan peralatan juga sangat membantu kesembuhan pasien. Sebab perubahan klinis pasien neonatus sangat cepat, sehingga membutuhkan peralatan bantuan monitor, mesin dan peralatan penunjang lainnya seperti, Ventilator, Inkubator, Infusion pump, CPAP, Fototherapi, Siringe pump.
2.1.3 Konsep Terapi Intravena a. Pengertian Terapi Intravena Perry dan Potter (2005) menjelaskan bahwa terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui pemasangan infus. Terapi Intravena adalah menempatkan cairan steril melalui jarum langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrien (biasanya glukosa), vitamin atau obat. Prinsip pemasangan terapi intravena (infus) memperhatikan prinsip steril, hal ini yang paling penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi jarum intravena (infus). 1.
Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus) a) Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral.
17
b) Memperbaiki keseimbangan asam-basa. c)
Memperbaiki volume komponen-komponen darah.
d) Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh. e)
Memonitor tekanan vena sentral (CVP).
f) Memberikan nutrisi pada saat system pencernaan diistirahatkan (Setyorini, 2006) 2. Tipe-tipe Cairan Intravena a)
Isotonik Suatu cairan yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan yang ada didalam plasma, misalnya Nacl 0,9%, Ringer Laktat, komponen darah (albumin 5%, plasma)
b) Hipotonik Suatu larutan yang memiliki osmotik yang lebih kecil dari pada yang ada didalam plasma darah. Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di Intrasel dan Ekstrasel, sel-sel tersebut akan membesar atau membengkak. Yang termasuk cairan hipotonik yaitu dextrose 2,5% dalam NaCl 0,45%, NaCl 0,45%, NaCl 0,2% dan lain-lain. c)
Hipertonik Suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih tinggi dari pada yang ada dalam plasma darah. Pemberian cairan ini meningkatkan konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk kedalam sel untuk memperbaiki keseimbangan osmotik, sel kemudian akan menyusut. Misalnya Dextrose
18
5% dalam NaCl 0,9%, Dextrose 10%, Dextrose 20%,
NaCl 3%, atau
Albumin 25%. 3. Metode Pemberian Terapi Intravena Cara pemberian terapi intra vena melalui dua jalur yaitu : a) Terapi Intravena Perifer Pemberian terapi intravena melalui vena perifer atau superficial yang terletak dalam facia subkutan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Biasanya pemasangan melalui vena perifer adalah pemasangan untuk jangka waktu yang pendek. b) Terapi Intravena Sentral Pemberian terapi intravena melalui vena sentral karena akses intravena perifer terlalu sulit, adanya total parenteral nutrition, kebutuhan obat-obatan inotropik, kebutuhan pemantauan cairan intravaskuler, dan obat-obat yang iritatif. Pilihan lokasi untuk vena sentral antara lain vena jugular interna kiri dan kanan, vena subklavia kiri dan kanan serta vena femoralis kiri dan kanan (Ramzi, 2009).
2.1.4 Konsep Infus Vena Perifer a. Pengertian Infus Vena Perifer Pemasangan infus vena perifer merupakan sebuah tehnik yang digunakan untuk memungsi vena secara transcutan dengan menggunakan teknik steril seperti angeochateter
atau
dengan
jarum
yang
disambungkan
dengan
spuit
(Kusyati,2006). Pemasangan infus adalah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien ( Darmawan, 2008).
19
Prosedur pemasangan infus merupakan suatu tata cara pemasangan jalur pemberian cairan infus dan obat melalui pembuluh vena perifer menggunakan infus set. Penetapan prosedur ini bertujuan untuk mendapatkan jalur pemberian cairan dan obat yang aman, aseptik, dan benar. b.Tujuan Pemasangan Infus Tujuan utama pemasangan infus adalah mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah, menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu pemberian nutrisi parenteral (Hidayat, 2008). c.Keuntungan dan Kerugian Pemasangan Infus Perifer 1. Keuntungan Keuntungan pemasangan infus intravena antara lain; efek terapiutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapiutik dapat dipertahankan atau dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari. 2. Kerugian Kerugian pemasangan infus intravena adalah tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi, kontrol pemberian yang tidak baikbisa menyebabkan ‘speed
20
shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul yaitu; kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular, misalnya flebitis kimia,inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan. d. Lokasi Pemasangan Infus Perifer Perry dan Potter (2005) mengatakan tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak didalam fasia subkutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah: 1. Permukaan dorsal tangan, misalnya vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika 2. Lengan bagian dalam, misalnya vena kubiti median, vena median lengan bawah dan vena radialis 3. Permukaan dorsal, misalnya vena safena magna, vena pada ramus dorsalis. e. Prosedur Pemasangan Infus Perifer. Adapun prosedur pemasangan infus pada bayi dan anak di RSUP Sanglah Denpasar adalah: 1. Persiapan peralatan a) Standar infus b) Kateter intravena abocath no G 24 c) Infuset pediatrik (pada bayi dan anak kecil memerlukan selang mikrodrip, yang memberikan 60 tetes permenit) terbungkus steril. d) Cairan infus yang di perlukan. e) NaCl 0,9 %.
21
f) Bengkok. g) Torniquet. h) Sarung tangan steril. i) Plester yang sudah dipotong dan siap digunakan. j) Gunting. k) Pengalas. l) Pisau Cukur. 2 Persiapan pasien a) Mengidentifikasi pasien b) Mengatur posisi pasien c) Mencari akses vena yang akan dipasang IV line d) Menjaga kehangatan bayi e) Atur pencahayaan dengan baik f) Atur suhu ruangan dengan temperatur yang tidak terlalu dingin. g) Atur peralatan di meja tindakan, dekatkan dengan pasien 3 Pelaksanaan pemasangan infus a) Cuci tangan dan memakai sarung tangan b) Memberitahu kepada pasien sebelum dan sesudah melakukan tindakan c) Memilih vena yang tepat d) Mencukur rambut bila pemasangan di kulit kepala e) Memasang pengalas f) Memasang torniket bila vena telah di tentukan g) Membersikan lokasi dengan antiseptik secara melingkar
22
h) Memegang jarum diantara ibu jari pertama i) Menekan dan mengurut vena dengan telunjuk yang bebas untuk melebarkan vena ( bila di kepala) j) Memegang jarum sejajar vena searah aliran darah k) Menusuk jarum pada kulit beberapa milimeter distal dari tempat masuknya jarum l) Memasuknya jarum perlahan sampai darah muncul pada tabung jarum atau kanula pada saat menarik stilet. Bila perlu injeksikan NaCl 0,9% pada pembuluh darah yang sangat kecil. m) Menarik sedikit stilet sambil memasukkan kanulanya. Jangan menarik seluruh stilet sebelum kanula masuk semua ke pembuluh darah. n) Memasang kanula sejauh mungkin o) Melepaskan torniket p) Mengalirkan cairan infus perlahan untuk mengetahui posisi intra vasculer q) Melakukan fiksasi jarum atau kanula r) Melepaskan sarung tangan dan cuci tangan s) Merapikan alat-alat yang sudah di pakai t) Mendokumentasikan tindakan pada rekam medis. Setelah dilakukan pemasangan infus observasi keperawatan diperlukan untuk mempertahankan kecepatan tetesan infus dan melakukan observasi terhadap adanya komplikasi atau masalah yang timbul akibat pemasangan infus. Perry dan Potter (2005) mengatakan peran perawat dalam terapi intravena adalah:
23
1) Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas, misalnya plebitis. 2) Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infus maupun kemasannya. 3) Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian). 4) Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten. 5) Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi. 6) Monitor kondisi pasien dan melaporkan setiap perubahan. f. Komplikasi Pemasangan Infus Perifer Pemasangan infus intravena pada neonatus yang diberikan secara perifer sering mengalami kegagalan atau dilakukan berulang kali karena vena bayi masih sangat kecil dan tipis. Penusukan yang berulang kali dapat menimbulkan terjadinya resiko infeksi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu flebitis, hematom, infiltrasi, tromboflebitis dan emboli udara (Hinley,2006). 1. Flebitis Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik . 2. Hematom Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan disekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya vena yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena dan tekanan yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau chateter dilepaskan. Tanda
24
dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan dan kebocoran darah pada tempat penusukan. 3. Infiltrasi Infiltrasi terjadi ketika cairan intravena memasuki ruang subkutan disekeliling tempat insersi vena. 4. Tromboflebitis Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat dan pembengkakan
disekitar area insersi atau
sepanjang vena. 5). Emboli udara Emboli udara merupakan masuknya udara kedalam sirkulasi
darah, terjadi
akibat masukya udara yang ada dalam cairan infus kedalam pembuluh darah.
2.1.5 Konsep Central Venous Chateter (CVC) a. Pengertian Central Venous Chateter (CVC) Central Venous Chateter (CVC) adalah merupakan
prosedur
memasukkan
kateter intravena yang fleksibel kedalam vena sentral pasien dalam rangka memberikan terapi melalui vena sentral. Dari 250 vena diseluruh tubuh manusia, yang dianggap sebagai vena sentral adalah vena-vena yang dekat dengan jantung sebagai pusat sirkulasi. Semakin dekat kejantung, ukuran vena semakin besar dan aliran darahnya semakin tinggi. Vena yang berdiameter besar dan beraliran darah cepat seperti itu adalah vena kava superior, vena kava inferior, vena brakiosefalika, vena subklavia, vena iliaka komunis, vena iliaka eksterna.
25
b. Indikasi Central Venous Chateter (CVC) Indikasi dari Central Venous Chateter (CVC) ini yaitu, hiperalimentasi, penatalaksanaan nyeri, preparat kemoterapeutik, antibiotika, hidrasi intravena, pengambilan darah. Kemudian keuntungannya ialah dapat menurunkan biaya dan menghindari penusukan vena berulang. Central Venous Chateter (CVC) dapat digunakan untuk infus apapun, berapa pun osmolaritas, pH, atau sifat kimia lainnya pengobatan.
Indikasi dan kegunaan dipasangnya kateter vena sentral adalah:
1. Tempat pengukuran tekanan vena sentral pada kegawatdaruratan guna mengetahui kecukupan cairan 2. Sebagai jalur infus bila akses vena perifer sulit dilakukan untuk memberikan obat yang bersifat kaustik atau sklerosan dan juga untuk memberikan nutrisi parenteral baik jangka pendek ataupun jangka panjang. 3. Sebagai akses untuk pengambilan sampel darah berulang 4. Sebagai jalur untuk melakukan dialisis dan kemoterapi 5. Sebagai jalur pemberian antibiotika dan anti nyeri jangka panjang c. Komplikasi atau Kerugian Central Venous Chateter (CVC) Pemasangan Central Venous Chateter (CVC) juga mempunyai beberapa komplikasi baik mekanis, infeksi, maupun komplikasi thrombosis. 1. Komplikasi infeksi Kateter sebagai akses vena sentral, merupakan jalur masuk kuman yang sangat potensial karena menghubungkan dunia luar langsung ke sirkulasi darah.
26
Komplikasi pada penggunaan CVC berkisar dari 5-26%. Di Amerika Serikat saja,dengan asumsi setiap tahunnya terdapat 15 juta hari penggunaan CVC di ICU ,diperkirakan terjadi 80.000 kasus infeksi terkait CVC. Infeksi terkait kateter bisa terjadi karena infeksi lokal dari tempat insersi, kolonisasi kuman kateter dan hematogen 2. Komplikasi mekanik Komplikasi mekanik saat pemasangan kateter mencakup arterial puncture, hematoma, pneumothorax, hemothorax, arhytmia dan malposisi kateter. Komplikasi mekanis seperti tertinggalnya mandrin/wire juga bisa terjadi. 3. Komplikasi thrombosis Kanulasi vena sentral rentan dengan resiko thrombosis vena sentral yang potensial memicu tromboembolisme vena. Trombosis bisa terjadi pada hari pertama kanulasi. Jika kateter tidak diperlukan lagi, lebih baik segera dikeluarkan untuk mengurangi resiko thrombosis yang berkaitan dengan kateter. d. Prosedur Pemasangan Central Venous Chateter (CVC) Adapun prosedur pemasangan kateter vena sentral (SPO), yaitu: 1. Persiapan alat a) 1 set chateter CVC b)
Mandrin/wire
c) Set steril yang berisi; 1 buah duk lubang, 2 buah kom,1 buah gunting, 1 buah nalpoeder, 2 buah pinset, 4 buah pinset sirurgis, 1 buah duk steril d) Abocath sesuai ukuran
27
e) 1 buah spuit 3 ml f) 1 buah spuit 1 ml g) Benang dan jarum h) Gaas i) Alkohol swab j) Desinfektan k) 1 ampul lidocain l) 1 vial heparin m) Cairan isotonik/NaCl 0,9% n) Baju steril o) Masker p) 2 buah handscone steril 2. Pelaksanaan a) Tentukan daerah yang akan dipasang; vena yang biasa digunakan sebagai tempat pemasangan adalah vena subklavia atau internal jugularis, pada bayi lebih sering pada vena femoralis b) Posisikan pasien trenddelenberg, atur posisi kepala agar vena jugularis interna maupun vena subklavia lebih jelas, untuk mempermudah pemasangan pada vena femoralis luruskan kaki bayi c) Lakukan cuci tangan steril d) Gunakan APD e) Lakukan desinfeksi pada daerah penusukan dengan cairan desinfektan f) Pasang duk lubang yang steril pada daerah pemasangan
28
g) Siapkan heparin yang diencerkan dengan larutan isotonik ( pengenceran heparin 50 IU dalam 50 cc NaCl 0,9% ) didalam kom kecil h) Lakukan anastesi lokal dengan pemberian lidokain diarea penusukan i) Masukan jarum /abocath pada vena yang telah dipilih j) Setelah darah tampak keluar dijarum/abocath, keluarkan jarum kemudian ganti dengan mandrin k) Setelah mandrin/wire masuk dengan lancar, lepaskan abocath l) Kemudian masukkan chateter vena sentral melalui mandrin/wire sampai ukuran yang sudah ditentukan setelah itu mandrin/wire dikeluarkan m) Kemudian sambungkan dengan infuset yang sudah diisi dengan cairan infus n) Lakukan fiksasi dengan
melakukan heating ditempat insersi supaya
kateter tidak berubah posisi o) Lakukan dressing pada daerah pemasangan agar posisi kateter terjaga dengan baik p) Rapikan peralatan dan cuci tangan kembali q) Setelah dipasang sebaiknya dilakukan foto rontgent untuk memastikan posisi ujung kateter yang dimasukkan, serta memastikan tidak adanya hematothorax atau pneumothorax sebagai akibat dari pemasangan.
2.1.6 Konsep Plebitis a. Pengertian Plebitis Smeltzer & Bare dikutip Mulyani (2010) mendefinisikan plebitis sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Sedangkan
29
menurut Hafifah (2010) dikutip dari Hankins (2001) menjelaskan bahwa plebitis adalah suatu peradangan atau inflamasi pada pembuluh darah vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik, yang mengakibatkan kerusakan pada endotelium dinding-dinding pembuluh darah khususnya vena. Brunner & Sudarth (2002) menyatakan bahwa plebitis merupakan inflamasi pada vena yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Plebitis Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam terjadinya plebitis. Faktor tersebut terdiri dari faktor internal (usia, status nutrisi, stress, keadaan vena, kondisi penyakit pasien seperti DM) dan faktor eksternal (Perry dan Potter, 2005). Sementara pada neonatus faktor internal lebih dipengaruhi oleh usia, imunitas, keadaan vena, dan juga gerakan reflek bayi (Daugherty, 2010). Faktor eksternal terdiri dari: 1. Faktor Kimia Terry (1995) menyatakan bahwa PH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem, mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran, bahan kateter, kecepatan pemberian infus dan obat (kecepatan yang tidak cepat kurang menyebabkan iritasi daripada pemberian cepat). 2. Faktor mekanis Faktor mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Kateter yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan plebitis mekanis, dalam
30
hal ini ukuran kateter disesuaikan dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik ( Terry, 1995). 3. Faktor bakterial Salah satu yang berkontribusi dalam faktor bakterial adalah tehnik aseptik dressing yang tidak baik (Terry, 1995). Pendeteksian dan penilain plebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pencegahan adanya plebitis dengan cara melakukan pendeteksian dan penilaian adanya plebitis akibat infeksi bakteri, sehingga kejadian plebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Sedangkan menurut Perry dan Potter (2005) infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi dengan mempertahankan sterilisasi sistem intravena saat mengganti larutan dan balutan, penggantian larutan dan balutan sekurang-kurangnya setiap 24 jam.
Intervensi yang perlu dilakukan saat terjadi plebitis adalah dengan memindahkan kateter ke area insersi yang lain, jika parah dilakukan kompres hangat. Jika pasien mengalami peningkatan suhu (suhu meninggi secara tibatiba atau bertahap), menggigil dan gemetar, frekuensi napas dan nadi meningkat maka intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan kultur bakteri (diambil dari kateter dan vena) dan melakukan insersi ditempat lain untuk pemberian obat (Joanne, 1998).
Penggunaan kateter pada pemasangan infus yang tidak memperhatikan standar medis menimbulkan masalah seperti plebitis. Menurut Ariningsih (2010) pada
31
kejadian plebitis mikroorganisme terbanyak adalah kolonisasi Staphylococcus. Semua kateter dapat memasukkan bakteri ke dalam aliran darah, mekanisme infeksi oleh bakteri dapat berupa infeksi lokal saat insersi yang masuk ke dalam kateter atau kolonisasi yang diikuti oleh infeksi lewat rute insersi. Ariningsih (2010) juga menjelaskan bahwa kultur darah yang diambil dari kateter dan vena dilakukan saat dijumpai tanda-tanda infeksi sistemik. Dari hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan tidak ada pengaruh umur, jenis kelamin, kecepatan tetesan, pemberian obat intravena, lokasi pemasangan dan lama pemasangan terhadap kolonisasi bakteri. Sebaliknya penggunaan sarung tangan dan aseptik dressing menunjukkan ada hubungan terhadap kolonisasi bakteri. Faktor Internal Terdiri dari: 1. Usia Usia berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan fisologis jaringan dan seluruh sistem pada tubuh manusia. Seperti pernyataan Perry dan Potter (2005) pengaruh usia pada kejadian plebitis terjadi karena pertahanan tubuh seseorang terhadap infeksi dapat beubah sesuai usia. 2. Sistem Imun Bayi yang Belum Matang. Secara sederhana plebitis berarti peradangan vena. Terjadinya peradangan dipengaruhi oleh sistem imun tubuh seseorang. Darmawan (2008), mengatakan bahwa imun berkembang sesuai dengan perkembangan tubuh kita, pada waktu bayi umumya sistem imun masih belum banyak berkembang, beberapa komponen masih belum dapat bekerja optimal. Hal
32
ini akan menyebabkan risiko terjadinya plebitis semakin besar. Dengan bertambahnya usia dari anak-anak menuju remaja hingga dewasa, sistem imun berkembang untuk bekerja lebih optimal. Pada prinsipnya, orang dengan kondisi sistem imun dalam keadaan prima, tidak mudah terkena infeksi yang sangat erat kaitannya dengan plebitis. Sistem imun yang belum bekerja dengan baik pada bayi ini akan memicu terjadinya plebitis dari agen infeksius sebagai penyebab terjadinya plebitis. 3. Struktur Pembuluh Darah Vena Bayi yang Masih Rentan Rejeki (2012), menjelaskan bahwa struktur tubuh bayi belum berkembang sempurna, temasuk struktur pembuluh darah vena. Pembuluh darah vena memiliki struktur yang lembut dan berdinding tipis (Medicastore, tahun tidak dipublikasikan). Tentunya kondisi tersebut lebih lembut dan berdinding jauh lebih tipis pada tubuh bayi. Strukur pembuluh darah vena yang tipis dan lembut akan lebih mudah pecah yang bisa berakibat terjadinya peningkatan plebitis pada bayi. Semakin meningkat usia bayi, maka secara perlahan struktur pembuluh darah venanya juga akan semakin baik. 4. Gerak Refleks pada Bayi Gerak refleks merupakan gerak alami diluar kesadaran bayi yang bersifat normal dan berguna untuk melindungi tubuh bayi (Informasitips, 2012). Gerak refleks juga merupakan cara bayi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan diawal kehidupannya yang masih sangat lemah. Apabila pada bayi sudah dipasang kanula infus, maka gerakan refleks ini sewaktu-waktu
33
dapat menggangu konsistensi kanula tersebut. Gangguan-gangguan yang diakibatkan gerakan spontan ini dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan insiden plebitis.
b. Tanda dan Gejala Plebitis Jackson (2008) dalam Wening (2013) mengatakan vena pada daerah pemasangan infus dikatakan plebitis apabila terdapat dua tanda atau lebih dari tanda berikut, yaitu: nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi (pengerasan jaringan atau organ yang abnormal), vena cord (struktur mirip tali/benang). Brunner dan Sudarth (2002) mengatakan plebitis ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.
Terry (1995) menjelaskan bahwa tanda dari plebitis adalah terdapat dua atau lebih dari tanda plebitis, yang terdiri dari: nyeri pada lokasi pemasangan kateter, erytema, edema, terdapat garis merah pada vena yang terpasang infus, teraba keras. Skala plebitis menurut Terry (1995) adalah sebagai berikut: 1. 0: tidak terdapat tanda plebitis 2. 1+: terdapat satu tanda plebitis 3. 2+ : terdapat lebih dari satu tanda plebitis 4. 3+: terdapat jelas semua tanda dari plebitis Skor visual untuk plebitis yang telah dikembangkan oleh Jakson (2008) adalah: 1. Tempat insersi tampak sehat, skor 0 = tidak ada tanda plebitis. 2. Terdapat salah satu tanda (nyeri atau kemerahan) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 1 = mungkin tanda dini plebitis.
34
3. Terdapat dua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 2 = stadium dini plebitis. 4. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 3 = stadium moderat plebitis. 5. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord) pada daerah insersi terlihat jelas, skor 4 = stadium lanjut atau awal tromboplebitis. 6. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord, demam) terlihat jelas, skor 5 = stadium lanjut tromboplebitis
2.1.7 Perbedaan Kejadian Plebitis pada Pasien yang Dipasang AksesVena Central dengan Akses Vena Perifer. Pemasangan infus vena perifer merupakan suatu tehnik yang digunakan untuk memungsi vena secara transcutan dengan menggunakan teknik steril seperti angeochateter atau dengan jarum yang disambungkan dengan spuit (Kusyati, 2006). Pemasangan Central Venous Chateter (CVC) adalah merupakan prosedur memasukkan kateter intravena yang fleksibel kedalam vena sentral pasien dalam rangka memberikan terapi melalui vena sentral.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebagian besar menyatakan ada perbedaan antara pemasangan IV
Perifer dengan IV Sentral. Saleem (2009)
menyatakan bahwa terjadi komplikasi infeksi yang lebih tinggi pada pasien yang dilakukan pemasangan vena perifer dibandingkan pada pemasangan akses vena sentral. Hal ini disebabkan karena terjadi kontaminasi kuman pada saat dilakukan pemasangan akses vena perifer.
35
Sementara pada penelitian Halton (2009) menemukan bahwa ada perbedaan pemasangan IV Sentral dengan IV perifer dari segi biaya. Ditemukan bahwa dari segi biaya pemasangan akses IV sentral lebih efektif dibandingkan dengan akses IV perifer. Satu kali pemasangan IV Sentral bisa digunakan untuk pemberian terapi intravena selama kurang lebih 14 hari.Sedangkan untuk pemasangan IV perifer pada neonatus hanya bertahan satu sampai dengan dua hari,yang apabila diakomulasikan biayanya akan lebih besar daripada pemasangan IV Sentral.
Setiasih (2013), menyatakan bahwa dengan pemakaian akses vena sentral yang berupa Peripherally Inserted Central Catheter (PICC) mempunyai multi fungsi yaitu selain untuk pemberian parenteral nutrisi juga bisa sebagai akses untuk pengambilan sampel laboratorium. Sedangkan akses IV perifer hanya mempunyai satu fungsi saja yaitu sebagai akses untuk memberi terapi intravean. Selain itu juga dapat mengurangi dilakukannya insersi secara berulang–ulang pada neonatus.