6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Neonatus Neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari (0 – 28 hari).9 Periode
neonatal adalah periode yang paling rentan untuk bayi yang sedang menyempurnakan penyesuaian fisiologis yang dibutuhkan pada kehidupan ekstrauterin. Tingkat morbiditas dan mortalitas neonatus yang tinggi membuktikan kerentanan hidup selama periode ini. Transisi kehidupan bayi dari intrauterin ke ekstrauterin memerlukan banyak perubahan biokimia dan fisiologis. Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan kegagalan penyesuaian yang disebabkan Asfiksia, Prematuritas, kelainan kongenital yang serius, infeksi penyakit, atau pengaruh dari persalinan.10 Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi penyebab kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat dari buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan bersih, dan kurangnya perawatan bayi baru lahir.11 2.2.
Klasifikasi kematian Neonatus12 Kematian neonatus dibagi menjadi :
a.
Kematian neonatus dini(early neonatal deaths) adalah kematian bayi yang terjadi pada masa 7 hari kehidupan pertama (0 – 6 hari).
6
Universitas Sumatera Utara
7 b.
Kematian neonatus lanjut (late neonatal deaths) adalah kematian bayi yang terjadi pada masa setelah 7 hari tetapi belum mencapai 28 hari kehidupan (7 – 27 hari).
2.3.
Epidemiologi Secara global, AKN mengalami penurunan. AKN dunia menurun dari 33 per
1.000 KH pada tahun 1990, menjadi 21 per 1.000 KH pada tahun 2012, atau sekitar 4,6 juta kematian pada tahun 1990, menjadi 2,8 juta kematian pada tahun 2012. Penurunan AKN berjalan lebih lambat, bahkan terjadi peningkatan proporsi kematian neonatus dalam proporsi kematian bayi yaitu 52,2% pada tahun 1990, menjadi 59,4% pada tahun 2012.3 Estimasi AKN oleh WHO pada tahun 2012 menemukan bahwa wilayah Afrika merupakan wilayah dengan AKN tertinggi, yaitu 32 per 1.000 KH, disusul Asia Tenggara dengan 27 per 1.000 KH, dan Mediterania Timur 26 per 1.000 KH, Pasifik Barat 9 per 1.000 KH, Amerika 8 per 1.000 KH, dan paling rendah adalah wilayah Eropa dengan 6 per 1.000 KH.3 AKN di berbagai negara bervariatif. Pada tahun 2012 WHO mengestimasikan AKN di berbagai negara dengan AKN tertinggi terdapat di negara yang berada di wilayah Afrika, seperti; Sierra Leone 50 per 1.000 KH, Guinea Bissau 46 per 1.000 KH, Somalia 46 per 1.000 KH, dan Angola 45 per 1.000 KH. Sementara AKN terendah tercatat kurang dari 1 per 1.000 KH terdapat di negara - negara seperti ; Andorra, Luxembourg, Islandia, Jepang, San Marino, dan Singapura.3 Sementara itu, terdapat 3 pola yang terbentuk di negara – negara ASEAN dalam usaha penurunan Angka kematian ibu, balita, dan bayi. Pola pertama yaitu
Universitas Sumatera Utara
8 negara Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand dengan AKB dan AKABApada tahun 1990 sudah dibawah 20 per 1.000 KH. Negara-negara tersebut merupakan negara dengan perekonomian yang paling maju di kawasan ASEAN.13 Pola kedua yaitu, negara Indonesia, Vietnam, dan Filipina dengan angka kematian yang cukup tinggi tahun 1990. Pada awalnya terjadi penurunan angka kematian yang cukup besar (kecuali angka kematian ibu di Indonesia), namun setelah tahun 2000, terjadi ketersendatan di Indonesia dan Filipina. Berbeda dengan Vietnam, ada peningkatan penurunan angka kematian di Vietnam selama periode ini, dengan rasio dan angka kematian mendekati Thailand.13 Pola ketiga, terjadi di negara Laos, Kamboja, dan Myanmar memiliki angka kematian yang cukup tinggi pada tahun 1990, kemudian terjadi penurunan terusmenerus dari tahun 1990 hingga 2005, kecuali angka kematian ibu di Kamboja. Ketiga negara tersebut dilaporkan dengan angka kematian yang tinggi baik ibu, bayi, dan anak di kawasan ASEAN.13 Berdasarkan estimasi yang di lakukan WHO tahun 2012, AKN di negara ASEAN yaitu; Laos 27 per 1.000 KH, Myanmar 26 per 1.000 KH, Timor Leste 24 per 1.000 KH,Kamboja 18 per 1.000 KH, Indonesia 15 per 1.000 KH,
Filipina
14 per 1.000 KH, Vietnam 12 per 1.000 KH, Thailand 8 per 1.000 KH, Malaysia 5 per 1.000 KH, Brunei Darussalam 4 per 1.000 KH, dan Singapura 1 per 1.000 KH.3 Sementara di ASEAN proporsi kematian neonatus mencapai 38,97% dimana penyebab utama kematian yaitu; komplikasi kelahiran prematur (17,64%), Asfiksia (9,83%), Kelainan bawaan (6,10%) dan Sepsis Neonatorum (5,43%).13
Universitas Sumatera Utara
9 2.4.
Determinan Kematian Neonatus Kematian
neonatus
terjadi
karena
neonatus
komplikasi.
Neonatus
komplikasiadalah neonatus dengan penyakit dan atau kelainan yang didapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat lahir < 2500 gram), sindrom gangguan pernapasan, dan kelainan kongenital.1 Determinan kematian neonatus menurut WHO
pada tahun 2012 yaitu
Permaturitas dan BBLR (30%), Infeksi neonatus (25%), Asfiksia dan trauma lahir (23%), Kelainan kongenital (7%), Tetanus Neonatorum (3%), Diare (3%), dan penyebab lain (9%).4 2.4.1. Faktor Bayi a.
Penyakit pada Neonatus
a.1.
Tetanus Neonatorum Penyakit Tetanus Neonatorum adalah penyakit toksemik akut dan fatal yang
terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu bakteri yang mengeluarkan toksin dan menyerang sistem saraf pusat dengan tanda utama spasme tanpa gangguan kesadaran.14,15 Spora bakteri Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh bayi melalui tali pusat, yang dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatannya sebelum puput (terlepasnya tali pusat). Masa inkubasi 3 – 28 hari, dengan rata-rata 6 hari.16
Universitas Sumatera Utara
10 Pada tahun 2012, Tetanus Neonatorumterjadi di 8 negara ASEAN, dengan jumlah kasus tertinggi di Filipina dan Indonesia yang melebihi 100 orang, dimana Thailand dan Brunei Darussalam dilaporkan tidak ada kasus Tetanus Neonatorum.1 Berdasarkan Vaccine-Preventable Disease Monitoring System 2012,tahun 2012 pada kawasan South East Asia Region (SEARO) jumlah kasus Tetanus Neonatorum yang terjadi di India jauh melebihi kasus di negara lain di kawasan ASEAN, yatu 653 kasus, Bangladesh menempati urutan kedua dengan 109 kasus.1 Berdasarkan data dari Dirjen PP & PL pada tahun 2012, kasus Tetanus Neonatorum tertinggi terjadi di provinsi
Banten, sebesar 32 kasus, dan 17 di
antaranya meninggal.5 a.2.
Sindrom Gawat Napas (Respiratory Distress Syndrome) Sindrom gawat napasdikenal juga sebagai penyakit membran hialin, hampir
terjadi sebagian besar pada bayi kurang bulan.Gangguan napas dapat mengakibatkan gagal napas akut yang mengakibatkan hipoksemia dan/atau hipoventilasi.18 Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan.19 Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang. Pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paruparu menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang
Universitas Sumatera Utara
11 menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.19 Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat suatu substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah suatu substansi molekul yang aktif dipermukaan alveolus paru dan diproduksi oleh sel-sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan permukaan paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu dan dapat ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia kehamilan 35 minggu, sebagian besar bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang cukup.20 Sindrom gawat napas terjadi lebih dari setengahnya pada bayi-bayi yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 28 minggu dan kurang dari sepertiga nya terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan antara usia kehamilan 32 – 36 minggu. Pada umumnya penyakit ini tampak terutama pada bayi baru lahir (neonatus) yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 36 – 38 minggu dan berat badan kurang dari 2500 gram. Di Amerika Serikat kasus ini terjadi sekitar 40.000 bayi setiap tahunnya (1 – 2% dari bayi baru lahir normal atau 14% dari bayi dengan BBLR). Insiden sindrom gawat napas meningkat dari 5% pada usia kehamilan 35 – 36 minggu menjadi 65% pada usia kehamilan 29 – 30 minggu.20 a.3.
Asfiksia Neonatorum Asfiksia Neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir dimana bayi
tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan
Universitas Sumatera Utara
12 makin meningkatkan CO2.14,21 Bila proses ini berlanjut terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.22 Kegagalan pernapasan pada bayi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah hipoksia yang terjadi pada ibu yang dapat menimbulkan hipoksia pada janin. Gangguan aliran darah uterus, sehingga berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta, demikian pula ke janin. Sedangkan faktor neonatus dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu yang berakibat ke janin, trauma persalinan, kelainan kongenital seperti hernia diafragma, atresia/stenosis saluran pernapasan dan hipoplasia paru.19 Berdasarkan laporan WHO tahun 2010, sebanyak 15.133 neonatus terkena asfiksia. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh menemukan bahwa penyebab utama kematian bayi disebabkan oleh Asfiksia (35%), Sepsis (28%), dan Prematuritas (19%).23 Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, menyebutkan penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia di antaranya adalah Asfiksia sebanyak 27%. Sementara itu Depkes RI pada tahun 2004 menyatakan data distribusi pasien keluar mati di rumah sakit bermula pada masa perinatal di Indonesia adalah 23,13% disebabkan karena hipoksia intrauterus dan asfiksia lahir. Diseluruh dunia diperkirakan bahwa sekitar 23% dari seluruh angka kematian neonatus disebabkan oleh Asfiksia Neonatorum.21
Universitas Sumatera Utara
13 a.4.
Sepsis Neonatorum Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang terjadi akibat invasi
mikroorganisme ke dalam aliran darah, dan timbul pada satu bulan pertama kehidupan.15 Sepsis Neonatorum paling sering disebabkan oleh Streptococcus Grup B, kemudian organisme enterik gram-negatif, khususnya Escherichia coli. Listeria monocytogenes, Staphylococcus, dan Haemophilus influenzae.24 Sepsis neonatorum dibedakan atas 2, yaitu Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) dan Sepsis Neonatorum Awitan Lambat (SNAL).15 SNAD terjadi pada masa <72 jam setelah dilahirkan. Infeksi terjadi secara vertikal disebabkan penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama masa persalinan atau kelahiran. sedangkan SNAL, terjadi pada masa >72 jam setelah kelahiran. Infeksi berasal dari lingkungan sekitar, atau infeksi karena kuman nosokomial.23 Angka kejadian di Asia Tenggara berkisar 2,4 – 16 per 1.000 KH, di Amerika Serikat 1 – 8 per 1000 KH.15Laporan angka kejadian di Rumah Sakit menunjukkan jauh lebih tinggi khususnya bila rumah sakit merupakan tempat rujukan. Di RS Cipto Mangunkusumo, angka sepsis neonatorum memperlihatkan angka yang tinggi dan mencapai 13,7% sedangkan angka kematian mencapai 14%.23 Faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum terdiri dari faktor Ibu yang meliputi; persalinan dan kurang bulan, ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam, Chorioamnionitis, persalinan dengan tindakan, demam pada ibu (>38,4°C), infeksi saluran kemih pada ibu, faktor sosial, ekonomi, dan gizi ibu. Sedangkan faktor bayi
Universitas Sumatera Utara
14 meliputi; Asfiksia perinatal, BBLR, Bayi Kurang Bulan (BKB), dan kelainan bawaan.23 b.
Berat Badan Lahir
b.1.
Definisi Berat Badan Lahir Berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir.
Pengukuran ini dilakukan di tempat fasilitas (Rumah Sakit, Puskesmas, dan Polindes), sedangkan bayi yang lahir di rumah waktu pengukuran berat badan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam.25 Berat badan lahir dapat diklasifikasikan menjadi25,26 : i.
Berat badan lahir lebih : Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir > 4000 gram.
ii.
Berat badan lahir cukup / normal : Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir 2500 – 4000 gram.
iii.
Berat badan lahir rendah (BBLR) : Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi.
iv.
Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) : Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 1500 gram.
v.
Berat badan lahir amat sangat rendah (BBLSAR) : bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 1000 gram.
Universitas Sumatera Utara
15 b.2.
Klasifikasi BBLR19 Bayi BBLR dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
i.
Prematuritas murni adalah bayi lahir dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut neonatus kurang bulan-sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).
ii.
Dismaturitas adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasinya. Dapat disimpulkan bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya (KMK). Secara global, pada tahun 2000 WHO memperkirakan lebih dari 20 juta bayi di dunia (15,5%) lahir dengan kondisi BBLR. Jumlah ini terkonsentrasi di wilayah Asia (72%) dan Afrika (22%).27Di Indonesia, menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2005, kematian neonatus yang di sebabkan oleh BBLR sebesar 38,85%. Angka kejadian BBLR di Indonesia berkisar 9 – 20% bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Sebanyak 25% bayi dengan BBLR meninggal pada saat baru lahir dan 50% nya meninggal saat bayi.20 Persentase BBLR tahun 2013 (10,2%) lebih rendah dari tahun 2010 (11,1%). Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).28 b.3.
Masalah Pada BBLR18,20,25 Masalah yang terjadi pada BBLR terutama yang prematur terjadi karena
ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering
Universitas Sumatera Utara
16 terjadi adalah gangguan sistem pernapasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastrointestinal, imunologi, dan termoregulasi. i.
Sistem Pernapasan Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan bernapas segera setelah
lahir oleh karena jumlah alveolus yang berfungsi masih sedikit, dan mengalami defisiensi surfaktan (zat dalam paru yang melapisi alveolus sehingga alveolus tidak kolaps pada saat ekspirasi). ii.
Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat) Bayi dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan saraf
pusaat. Hal ini disebabkan antara lain : pendarahan intracranial karena pembuluh darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses koagulasi, hipoksia, dan hipoglikemia. iii.
Sistem Kardiovaskuler Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan/ kelainan janin, yaitu Patent
Ductus Arteriosus (PDA), yang merupakan akibat dari gangguan adaptasi dan kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterine berupa keterlambatan penutupan ductus arteriosus. Selain itu juga dapat terjadi hipotensi atau hipertensi. iv.
Sistem Gastrointestinal Bayi dengan BBLR terutama bayi kurang bulan (BKB) pada umumnya
saluran pencernaan belum berfungsi sempurna seperti pada bayi yang cukup bulan. v.
Sistem Termoregulasi Bayi dengan BBLR sering mengalami termperatur yang tidak stabil karena
kehilangan panas akibat perbandingan luas permukaan kulit dengan berat badan lebih
Universitas Sumatera Utara
17 besar, kurangnya lemak subkutan (brown fat), kekurangan oksigen yang dapat berpengaruh
pada
penggunaan
kalori,
tidak
memadainya
aktivitas
otot,
ketidakmatangan pusat pengaturan suhu tubuh di otak, dan tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit. vi.
Sistem Hematologi Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi
dibanding
bayi
cukup
bulan
seperti
anemia
(onset
dini
atau
lanjut),
hiperbilirubinemia, koagulasi intravaskuler diseminata, dan penyakit pendarahan pada neonatus. vii.
Sistem Imunologi Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas,
sehingga rentan terhadap infeksi. c.
Kelainan Kongenital
c.1.
Definisi Kelainan kongenital juga dikenal sebagai cacat lahir, kelainan bawaan, atau
cacat bawaan. Didefinisikan sebagai kelainan struktural atau fungsional, termasuk gangguan metabolisme, yang muncul pada saat kelahiran.29 Kelainan kongenital diperkirakan terjadi pada 1 dari 33 bayi dan menyebabkan 3,2 juta kelahiran cacat setiap tahun.Diperkirakan 270.000 neonatus bayi meninggal selama 28 hari pertama kehidupan disebabkan kelainan kongenital setiap tahunnya.29
Universitas Sumatera Utara
18 Cacat lahir adalah masalah global, namun dampak yang sangat parah terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah dimana lebih dari 94% kelahiran dengan cacat yang serius dan 95% kematian akan terjadi.30 Menurut laporan Global Report on Birth Defects, 5 kecacatan serius yang paling umum terjadi pada tahun 2001 adalah ; Congenital Heart Defect (CHD) sebanyak 1.040.835 kelahiran, Neural Tube Defectsebanyak 323.904 kelahiran, kelainan hemoglobin, Thalasemia dan Sickle Cell Diseases kelahiran,
Down Syndrome
sebanyak 307.897
(trisomy 21) sebanyak 217.293 kelahiran,
dan Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase Deficiency sebanyak 177.032 kelahiran.30 Perkiraan prevalensi cacat lahir di kawasan SEARO pada tahun 2006 di Indonesia yaitu 263.154 anak lahir dengan cacat lahir, dimana prevalensinya 59,3 per 1.000 KH dengan Neural Tube Defect 0,7 per 1.000 KH,
kelainan sistem
kardiovaskular 7,9 per 1.000 KH, kelainan patologis haemoglobin 0,8 per 1.000 KH, dan Down Syndrome 1,4 per 1.000 KH.31 c.2.
Penyebab dan Faktor Risiko29 Meskipun 50% dari semua kelainan kongenital tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab spesifik, ada beberapa penyebab yang diketahui sebagai faktor risiko; i.
Faktor Sosial Ekonomi Meskipun bukan penyebab langsung, kelainan kongenital lebih sering terjadi
diantara negara dengan sumber daya terbatas. Diperkirakan 94% cacat lahir terjadi di negara dengan sumber daya menengah hingga kebawah, dimana ibu lebih rentan terhadap makronutrien dan mikronutrien gizi buruk dan kemungkinan mendapatkan peningkatan paparan agen atau faktor-faktor yang mendorong atau meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
19 kejadian perkembangan janin abnormal, terutama infeksi dan alkohol. Ibu lanjut usia juga meningkatkan risiko beberapa kelainan kromosom termasuk down syndrome. ii.
Faktor Genetik Kekerabatan (hubungan darah) meningkatkan prevalensi kelainan bawaan
langka genetik dan hampir dua kali lipat meningkatkan risiko kematian neonatus dan anak, cacat mental dan cacat lahir yang serius. Beberapa komunitas etnis misalnya Yahudi Ashekanzi atau Finlandia memiliki prevalensi mutasi genetik langka sehingga meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital. iii.
Infeksi Infeksi ibu seperti Sifilis dan Rubella adalah penyebab signifikan cacat lahir
di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. iv.
Status Gizi Ibu Kekurangan Iodium, insufisiensi Folat, Obesitas, atau DM terkait dengan
kelainan kongenital. Misalnya insufisiensi Folat meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan cacat tabung saraf. v.
Faktor Lingkungan Maternal yang terpapar pestisida, obat-obatan, alkohol, tembakau, zat
psikoaktif, bahan kimia tertentu, dosis tinggi vitamin A selama kehamilan dini, dan radiasi tingkat tinggi meningkatkan risiko memiliki janin dengan kelainan kongenital. Bekerja atau tinggal didekat atau dilokasi limbah, atau tambang juga dapat meningkatkan risiko.
Universitas Sumatera Utara
20 c.3.
Penyakit Kelainan Kongenital
i.
Cacat Jantung Bawaan (Congenital Heart Defects) Cacat jantung bawaan atau Congenital Heart Defects (CHDs) merupakan
defisit struktural dan fungsional yang muncul selama embriogenesis jantung. CHDs adalah cacat lahir yang paling sering terjadi, menyumbang 1/3 kematian dari seluruh kelainan kongenital. Secara global, 1,35 juta bayi lahir dengan CHDs setiap tahunnya.32 Hampir setengah insiden CHDs didiagnosa pada minggu pertama kehidupan bayi.24 Penelitian epidemiologi di negara berkembang telah mengindikasikan bahwa pervalensi CHDs berkisar antara 4 – 10 per 1.000 kelahiran hidup. Prevalensi CHDs pada janin di perkirakan meningkat, sekitar 14.6 per 1.000 janin. CHDs kompleks paling sering pada janin dan dapat menyebabkan aborsi spontan dan lahir mati.33 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Guandong, China, prevalensi CHDs meningkat dari tahun 2008 ke 2012 baik di daerah perkotaan, maupun daerah pedesaan. Prevalensi kelahiran dengan CHDs di perkotaan meningkat dari 59,33 per 10.000 KH pada tahun 2008, menjadi 107,78 per 1.000 KH. Dan di daerah pedesaan prevalensinya dari 27,24 per 10.000 KH pada tahun 2008, menjadi 69,40 per 10.000 KH pada tahun 2012.33 ii.
Cacat Tabung Saraf (Neural Tube Defects) Cacat tabung saraf atau Neural Tube Defects (NTDs) merupakan salah satu
kelainan kongenital yang paling sering terjadi.34 Saat pembentukan embrio, 2 jaringan tidak menyatu untuk membentuk tabung saraf (diawali dari otak dan sumsum tulang belakang), sehingga otak dan tulang belakang tidak berkembang dengan baik.35
Universitas Sumatera Utara
21 NTDs terjadi rata-rata 1 dari 1000 kehamilan di seluruh dunia.34 Insiden NTD pada populasi umum bervariasi, mulai dari 1 per 1.000 kehamilan di Amerika Serikat, hingga 12 per 1.000 kehamilan di Irlandia dan Wales dan di antara suku Indian dan beberapa etnis di Mesir.36 Di California, NTDs di temukan pada 1 dari 1.480 kehamilan.35 Faktor genetik maupun non-genetik diimplikasikan sebagai penyebab NTDs. Hampir 70% prevalensi NTDs berkaitan dengan faktor genetik.34Tipe NTDs yang paling sering yaitu Spina Bifida, Anencephaly, dan, Encephalocele.35Ibu penderita diabetes berisiko10 kali untuk melahirkan anak dengankelainan seperti Spina Bifida, Anencephaly,Holoprosencephalydibanding populasi ibu lainnya.37 NTDs disebabkan oleh beberapa faktor seperti kekurangaan vitamin dan nutrisi (asam folat, Vitamin B12, dan zinc), dan kelainan kromosom (Trisomy 13 dan 18).24 Asam folat merupakan salah satu vitamin B yang berperan penting dalam perkembangan otak dan sumsum tulang belakang janin pada awal masa kehamilan dimana kebanyakan wanita tidak mengetahui kehamilannya.35 The American Academy of Pediatrics merekomendasikan ibu hamil yang berusia 15 – 44 tahun untuk mengkonsumsi 0,4 mg asam folat setiap hari untuk menurunkan risiko NTDs 50 – 70%. US National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan CDC merekomendasikan ibu hamil dengan risiko tinggi (memiliki kekerabatan dengan penderita NTDs) harus mengkonsumsi 4,0 mg asam folat setiap hari mulai dari 1 bulan sebelum konsepsi hingga 3 bulan pada masa kehamilan.24
Universitas Sumatera Utara
22 iii.
Down Syndrome Down Syndrome merupakan suatu kondisi dimana terjadi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental bayi/anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri pada saat terjadi pembelahan meiosis. Bayi/anak dengan Down Syndrome memiliki kelainan kromosom 21 yang tidak terpisah secara sempurna sehingga menjadi 3 kromosom (trisomi).20 Insiden Down Syndrome 1 dari 700 kelahiran hidup. Insiden pada saat konsepsi lebih besar, tetapi lebih dari 60% mengalami abortus spontan dan 20% lahir mati.35 Angka kejadian meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Ibu yang hamil dengan usia > 35 tahun dapat melakukan pemeriksaan amniosintesis untuk dapat mendeteksi kehamilan dengan Trisomy 21.15 Penampilan klinik sudah mengarah pada diagnosis. Fisura palbebra miring ke atas, hidung pesek, hipotonia, kulit leher longgar, kosiput datar, garis Simian, kelingking bengkok (klinodaktili), serta jarak yang lebar antara jari kaki ke 1 dan ke 2. Retardasi mental merupakan komplikasi yang serius, IQ kurang dari 50. Penyakit jantung bawaan terdapat pada 40% penderita. Komplikasi lain termasuk Katarak (2%), Epilepsi (10%), Hipotiroid (3%), dan Leukemia Akut (1%).38 iv.
Gastroschisis Gastroschisis adalah cacat lahir pada dinding perut, yaitu usus bayi menempel
di luar tubuh, melalui lubang di samping pusar, dan kadang organ lain seperti lambung dan hati, juga dapat menempel di luar tubuh bayi.Gastroschisis terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
23 awal selama kehamilan dimana otot – otot yang membentuk dinding perut bayi tidak terbentuk sempurna. CDC memperkirakan sekitar 1.871 bayi lahir di Amerika Serikat terlahir dengan gastroschisis setiap tahunnya.39 Gastroschisis dikaitkan dengan usia ibu pada saat melahirkan. Angka insiden gastroschisis di antara ibu yang berusia kurang dari 20 tahun adalah 4,71 per 10.000 KH di bandingkan ibu berusia 30 – 34 tahun yaitu 0,26 per 10.000 KH.40 Data terbaru dari British Isles Network of Congenital Anomaly Registers (BINOCAR) menemukan terjadi peningkatan insiden gastroschisis dari 2,5 per 10.000 KH pada tahun 1994, menjadi 4,4 per 10.000 KH pada tahun 2004.40 Studi epidemiologi sebelumnya juga menemukan terjadi peningkatan risiko gastroschisis bagi ibu yang dilaporkan mengkonsumsi obat – obatan seperti pseudoephedrine, fenilpropanolamin, aspirin, ibuprofen, dan acetaminophen.41 2.4.2. Faktor Ibu a.
Umur Ibu Umur dan paritas ibu berkaitan dengan risiko meningkatnya masalah pada
neonatus, seperti Intrauterine Growth Restriction (IUGR), prematuritas, dan kematian neonatus.42 Pola kematian bayi dihubungkan dengan usia ibu, ditunjukkan dengan grafik berbentuk huruf “U” dimana kematian bayi tertinggi terjadi pada kelompok ibu yang berusia <18 tahun dan yang berusia > 35 tahun.42,43 Beberapa penelitian melaporkan terjadi peningkatan risiko kelahiran prematur dan kematian neonatus pada ibu yang lebih muda. Penyebab meningkatnya
Universitas Sumatera Utara
24 risikokematian bayi pada ibu yang berusia <18 tahun disebabkan oleh pertumbuhan panggul yang belum sempurna.43 Risiko kematian neonatus meningkat dua kali pada Nulipara yang berusia < 18 tahun ( Nulipara : wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali, atau wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup).Risiko terjadinya retardasi pertumbuhan intrauterin, kematian janin, dan gawat janin yang terdapat pada golongan ibu hamil yang sangat muda. Risiko ini terutama pada kehamilan pertama.Mortalitas neonatus yang rendah justru ditemukan pada ibu golongan umur 20 – 30 tahun.42 Umur perkawinan pertama ibu merupakan salah satu faktor kematian bayi dan anak.44 Penelitian yang dilakukan di Jakarta dan Indonesia tentang deferensial kematian bayi dan anak menemukan bahwa bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menikah muda memiliki risiko kematian yang lebih tinggi.43 Semakin muda usia seorang ibu dalam perkawinan, maka ibu akan mengalami masa reproduksi yang panjang karena semakin lama rentang antara usia subur dengan usia tidak subur yang dapat menghasilkan kehamilan, sehingga memungkinkan untuk melahirkan lebih dari satu anak.44 Kehamilan pada ibu yang berusia > 40 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian neonatus, maupun komplikasi obstetrik, dan risiko ini di pengaruhi oleh paritas. Sebuah studi yang dilakukan di Turki menemukan insiden Pre-eklamsia, DM Gestasional, Plasenta Previa, kematian janin, Abruptio Placentae, kelahiran prematur, dan IUGR lebih tinggi terjadi pada ibu yang berusia > 40 tahun dibanding ibu yang berusia 20 – 30 Tahun.45
Universitas Sumatera Utara
25 Ibu hamil dengan usia > 35 tahun meningkatkan risiko kelahiran prematur. Kelahiran prematur dapat dikaitkan terhadap insiden kelainan kromosom atau kelainan kongenital yang lebih tinggi.39Selain masalah sosial ekonomi, di negara berkembang ibu-ibu yang sudah berumur lebih dari 35 tahun umumnya mempunyai anak yang lebih banyak.43 Ibu yang melahirkan dengan umur di atas 35 tahun sering dijumpai faktor penyulit dalam persalinan dan mempunyai risiko komplikasi kehamilan terutama disebabkan karena adanya proses menua jaringan reproduksi dan jalan lahir. Pertambahan usia juga ikut mempengaruhi organ vital seperti sistem kardiovaskular dan ginjal. Ibu yang melahirkan pertama kali di atas usia 35 tahun terdapat penyulit karena kekakuan jaringan panggul yang belum pernah dipengaruhi oleh kehamilan dan persalinan.43 b.
Paritas Paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup, yaitu kondisi
yang menggambarkan kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok wanita selama masa reproduksi.46 Paritas telah terbukti memiliki hubunganterhadap gangguan kesehatan ibu baik saat hamil maupun bersalin, di mana faktor tersebut akan turut berpengaruh pula pada kesehatan bayi yang dilahirkan (neonatus).47 Ditinjau dari tingkatannya, paritas dikelompokkan menjadi 3, yaitu ; paritas rendah meliputi nulipara yaitu wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali, atau wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup, dan primara yaitu wanita yang pernah melahirkan hanya sekali. Paritas sedang meliputi multipara yang digolongkan
Universitas Sumatera Utara
26 pada wanita hamil dan bersalin dua sampai empat kali. Paritas tinggi atau grande multipara adalah ibu hamil dan melahirkan 5 kali atau lebih.48 Sebuah penelitian menunjukkan ibu yang merupakan Nulipara ( Nulipara : wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali, atau wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup) dan berusia < 18 tahun serta ibu yang memiliki paritas > 3 dan berusia > 35 tahun meningkatkan risiko kematian neonatus.42 Hal ini sejalan dengan SKRT 2001 yang menyatakan bahwa kematian neonatus banyak terjadi pada ibu dengan paritas > 3.47 Nuliparajuga berhubungan terhadap risiko komplikasi selama kelahiran, seperti partus macet, sedangkan paritas tinggi juga meningkatkan risiko Hipertensi, Placenta Previa, dan Uterine Rupture.42 Grande multipara merupakan faktor risiko dimana komplikasi kehamilan dan persalinan lebih sering terjadi setelah ibu mengalami kelahiran di atas empat kali dan bayi yang dilahirkan setelah mempunyai risiko lebih tinggi untuk dilahirkan prematur atau mati perinatal.43 Kondisi kesehatan ibu karena melahirkan lebih dari empat kali akan mempengaruhi kondisi kehamilan selanjutnya dan akan memberikan risiko tidak saja kepada ibu sendiri, tetapi juga kepada bayi yang dilahirkannya. Sedangkan pada paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman terhadap kematian dan kesakitan baik pada anak maupun pada ibunya, selanjutnya risiko meningkat pada setiap kehamilan berikutnya.43
Universitas Sumatera Utara
27 c.
Komplikasi Obstetrik Risiko kematian neonatus meningkat 81% pada bayi yang dilahirkan dari ibu
yang memiliki riwayat komplikasi selama persalinan, seperti pendarahan, demam, dan kejang. Pada bayi dengan ukuran lebih kecil dibanding ukuran normal, risiko meninggal berkisar 2,8 kali dibanding bayi yang lahir dengan ukuran normal.49 Dalam sebuah studi di perkotaan Pakistan menemukan bahwa komplikasi obstetrik yang paling sering menyebabkan kematian neonatus yaitu, persalinan prematur (34%), asfiksia intrapartum (21%), dan pendarahan antepartum (9%).50 Penelitian di pedesaan Kenya melaporkan bahwa komplikasi persalinan sebagairisiko utama untuk kematian bayi. Komplikasi seperti pendarahan antepartum, partus lama/macet, eklamsia, persalinan prematur dan ketuban pecah dini meningkatkan risiko kematian perinatal 6 – 62 kali, dan 53% kematian perinatal dikaitkan pada komplikasi persalinan.. Kematian perinatal 60 kali berisiko pada wanita dengan pendarahan antepartum dibanding wanita tanpa pendarahan (OR = 61,9; CI 95% = 13,9 – 274,2) dan kematian perinatal 8 kali berisiko pada wanita dengan partus lama/ malpresentasi ( OR= 7,9; CI 95% = 39,2 – 15,94) serta kematian perinatal 13 kali berisiko pada wanita yang pecah ketuban dini / persalinan prematur (OR= 13,6; CI 95% = 5,2 – 35,7).51 Menurut Depkes RI, riwayat obstetrik dikatakan buruk bila gravid > 4, pernah abortus, pernah mengalami persalinan dengan tindakan (forceps, vacuum extractcy, section caesaria), status bayi yang dilahirkan ( lahir mati, bayi besar, BBLR, dan prematur) dan riwayat kehamilan ganda.43
Universitas Sumatera Utara
28
2.5.
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik Neonatus : Penyakit pada neonatus Berat badan lahir Kelainan kongenital
Kematian Neonatus Karakteristik Ibu : Umur Paritas Komplikasi obstetrik
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara