28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org)
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Oleh Gita Hastarika Dibuat 07/18/2011 - 08:25 Oleh Gita Hastarika (18 Jul 2011 - 08:25) FOTO_sinopsis_ARTIKEL_DanHari-HariDiAntaranya_GitaHastarika.jpg [1]
Seni membingkai kehidupan, atau kehidupankah yang merangkai seni? Gita Hastarika mencoba menjawab pertanyaan ini lewat sebuah potret roman perkotaan—hasil interaksi pengunjung dengan sebuah karya seni di Galeri Nasional Indonesia. Dengan tidak menonjolkan salah satu pertanyaan tentang mana yang lebih penting, pengalaman subjektif pengunjung atau arti karya sang seniman, tulisan ini mengharapkan setiap orang untuk dapat memilih jawabannya sendiri melalui proses membaca.
Serendipity. Itu yang diharapkan Indira saat memasukkan dua kutub magnet yang bermakna “cantik” dan “cinta” ke dalam amplop putih bertuliskan “dear my future:. …”. Dia sengaja ingin menguji, apakah benda yang selalu ia bawa dalam tasnya itu akan kembali kepadanya 10 tahun kemudian, seperti yang dijanjikan Irwan Ahmett pada pameran Ruru and Friends dalam rangka ulang tahun ruangrupa ke-10 tahun di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.
Gita Hastarika dan Indira di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan. 7 Maret 2011, pukul 17.37 WIB. Gita Hastarika (GH): Setelah hampir tiga bulan berpisah dengan magnet Anda, bagaimana perasaan Anda? Indira (IN): Ternyata biasa saja. Sebelumnya, Anda selalu membawa magnet itu kemana-mana? Iya. Selalu. Sebenarnya benda apa itu? Kenapa begitu berharga? Benda itu adalah magnet yang bertuliskan “cantik” dan “cinta” dalam aksara China. Itu oleh-oleh dari orang yang spesial dalam hidup saya waktu dia liputan ke China. Kata dia, saya adalah jelmaan dua kata itu baginya. Seberapa besar Anda berharap benda itu akan kembali lagi? Kalau memang tidak jodoh, ya sudah. Saya memang sengaja ingin menguji, apa benar jika sesuatu yang kita ikhlaskan akan kembali lagi kepada kita. Apa ada yang berubah selama tiga bulan ini? Hubungan saya dengan orang yang memberikan magnet itu memang berubah. Sedikit demi sedikit saya mulai melepas dia. Mungkin karena itu juga saya makin bisa mengikhlaskan magnet pemberiannya.
Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. 28 Desember 2010, pukul 22.14 WIB. Awalnya Indira tidak terlalu memahami karya Irwan Ahmett (Iwang) “10 Years Later” yang ditampilkan pada pameran Ruru and Friends dalam rangka ulang tahun ruangrupa ke-10 tahun di
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada 28 Desember 2010 - 12 Januari 2011 lalu. Hanya ada amplop-amplop putih berjejer yang disandarkan pada dinding. Secara desain tidak ada yang istimewa, seperti amplop biasa. Tulisan besar di atas amplop-amplop tersebut, “…but I’ll be 45 in 2020, do we still look cool?”, juga tak cukup menarik bagi Indira yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan seni. Tulisan ini ternyata juga tidak terlalu berbicara dan mengundangnya untuk lebih lama berada di sudut itu. Mungkin satu-satunya yang menariknya untuk mendekat ke pojok itu adalah sesi foto-foto antara Iwang dan pengunjung pameran, yang itu pun ia kira tak lebih dari sekadar acara temu artis dengan penggemarnya. Tapi setelah dijelaskan bila amplop-amplop beserta isinya tersebut akan dikembalikan ke pemiliknya 10 tahun mendatang melalui alamat yang tertera di atasnya, ia lantas bertanya, “Apa Iwang bisa dipercaya? Karena kalau iya, saya ingin memasukkan sesuatu yang sifatnya serius.” Menjawab masalah konsistensi, Indira diingatkan pada kampanye Iwang berjudul Change Yourself, sebuah kampanye yang menawarkan dan mengajak individu untuk melakukan suatu perubahan positif melalui perubahan sederhana. Kampanye yang dikerjakan secara masif selama 2005 - 2007 ini bahkan sempat membuat studio grafis Iwang, Perum Design Indonesia (sekarang bernama Ahmett Salina), hampir bangkrut. Dari sini paling tidak Iwang menunjukkan ‘ketahanannya’ menekuni satu karya dalam waktu cukup panjang. Sesaat setelah mempertanyakan keseriusan Iwang untuk meneruskan karya ini, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah benda dari tempat alat tulisnya. Dari situ ia mengeluarkan magnet kotak berwarna merah untuk dicemplungkan ke salah satu amplop putih buatan Iwang. Melihat tingkah ibunya, anak perempuan Indira, Hanum (13), tak mau ketinggalan. Ia memasukkan majalah Gadis yang baru ia beli ke dalam amplop itu juga. Kebetulan siangnya Hanum baru saja mengurus persyaratan-persyaratan untuk mengikuti kontes pemilihan Gadis Sampul. “Kira-kira sepuluh tahun lagi saya sudah seperti apa, ya, Mi?” ujar Hanum kepada ibunya. Sementara itu, anak bungsunya, Aulia (10), malah rewel karena tidak rela ibunya melepaskan magnet merahnya. Ia terus bertanya, ”Jangan, Mi, nanti kalau tidak dikembalikan, bagaimana?” Berulang-ulang sambil menarik-narik tangan ibunya. Indira sendiri kurang mengerti kenapa anak bungsunya itu begitu tak rela ia melepas magnet itu. Padahal magnet itu tak punya hubungan dengan anak-anaknya. Setelah itu, Indira dan dua anaknya yang ikut pada malam itu menulis dengan sangat hati-hati apa yang hendak dikatakannya kepada masa depannya. Mungkin berhubungan dengan magnet, atau majalah Gadis, atau entah apa. Tapi hal tersebut tak tertulis gamblang di atas amplop putih itu. Serupa dengan partisipan lainnya, kalimat yang dituliskan cenderung bersifat umum.
Gita Hastarika kepada Indira melalui Yahoo! Messenger. 27 April 2011, pukul 20.01 WIB. Kenapa di amplop tersebut Anda tidak menulis sesuatu yang berkaitan dengan hubungan pribadi anda? Sepertinya saya tulis, tapi secara implisit. Kenapa? Karena takut meminta sesuatu yang salah? Atau takut tidak tercapai? Saya hanya ingin menyimpannya di hati saja. Bagaimana bisa terpikir untuk memasukkan magnet itu? Sebenarnya awalnya terlintas begitu saja. Tapi sepertinya saya malah terlalu serius. Pasti Iwang juga tidak menyangka ada orang yang menganggap karyanya sebagai bagian dari hukum alam semesta. Sepertinya orang lain yang juga berpartisipasi dalam karya tersebut hanya menganggapnya ‘lucu-lucuan’. Kenapa magnet itu, bukan benda lain, yang Anda masukkan ke dalam amplop?
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) Sebenarnya ada benda lain yang mengingatkan saya pada dia. Tapi saya memilih magnet itu karena saya memiliki dua buah. Magnet yang saya berikan ke karya Iwang itu oleh-oleh dari China. Sudah retak-retak. Saat ini saya masih menyimpan magnet yang dari Jepang. Lalu bagaimana jika Iwang menghilangkan amplop Anda, atau di tahun 2020 dia lupa akan proyek ini, atau lebih jauh lagi, Anda tidak bisa bertemu dengannya lagi? Kalaupun dia konsisten meneruskan karya ini, tetap saja ada kemungkinan barang itu tidak kembali ke saya. Karena belum tentu di tahun 2020 saya masih tinggal di alamat tersebut.
Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. 12 Januari 2011, pukul 16.16 WIB. Suasana hati Indira memang terlalu romantis dibandingkan dengan diksi yang dipakai Iwang pada karyanya. Bisa dibilang, Indira sama sekali tidak cool. Mungkin Iwang tidak berencana membangun sebuah drama. Sepertinya ia juga tak berharap masuk ke area pribadi partisipannya terlalu dalam. Akan tetapi, sebenarnya amplop, yang identik dengan surat, memang sedikit romantis di era digital seperti sekarang ini. Berkirim surat itu langka. Kabar apa yang mungkin datang melalui sebuah amplop pada zaman ini, terlebih 10 tahun mendatang? Selain segala macam tagihan bulanan, tentunya. Tapi sebenarnya karya ini sangat serius bagi Iwang. Ia justru bingung banyak partisipan yang menganggapnya tidak serius. Iwang sendiri mengatakan jika ia menjadi salah satu partisipan, ia akan memasukkan foto, kartu nama, dan pesan-pesan untuk orang yang ia cintai dan sudah membantunya selama ini. Lalu apakah ada jaminan orang akan bertahan tidak berpindah tempat tinggal lebih lama daripada mengganti alamat e-mail? Entahlah. Karena banyak orang sekarang lebih mudah ditemui di dunia maya daripada di dunia nyata. Dan kebetulan Indira adalah salah satu contoh tipe orang seperti itu.
Gita Hastarika kepada Irwan Ahmett melalui e-mail. 29 April 2011, pukul 15.09 WIB. Apa Anda tidak takut lupa mengembalikan amplop-amplop itu ke pemiliknya 10 tahun lagi? Untuk karya yang saya buat dengan sungguh-sungguh, memori saya akan merekamnya dengan baik, jadi kelihatannya tidak takut lupa. Kecuali (saya) mengalami amnesia. Apa yang Anda lakukan supaya tidak lupa? Menyimpannya bersama barang-barang yang selalu saya pantau setiap saat. Apa Anda sadar sudah membuat janji sampai 10 tahun ke depan kepada orang-orang yang tidak Anda kenal dekat? Ya, ini juga menarik, karena dalam 10 tahun bisa terjadi perubahan dramatis pada diri seseorang bahkan diri sendiri. Saya percaya karya ini adalah harta karun terpendam bagi partisipannya. Pernah terlintas niat sok "bermain Tuhan"dengan memilih-milih yang mana yang akan dikembalikan dan yang mana yang tidak? Semua akan dikembalikan. Bahkan saya meminta mereka mencantumkan ahli warisnya, jadi bagaimanapun kondisinya harus saya kembalikan. Saya sudah mengamanatkan kepada beberapa orang agar menyampaikan karya ini apabila terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan saya untuk mengirimkan amplop-amplop tersebut. Apa antisipasinya jika orang tersebut sudah pindah rumah? Minimal amplop tersebut diterima oleh orang yang mengenal pemiliknya. Maksimal saya menghantarkan amplop itu sendiri.
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) Gita Hastarika kepada Indira melalui e-mail. 5 Mei 2011, pukul 16.04 WIB. Sebelumnya Indira memang tidak terlalu mengenal Iwang, sebagai seniman apalagi pribadi. Menjadi partisipan karyanya juga tidak membuat Indira merasa lebih terhubung dengan Iwang. Bukannya merasa menitipkan sesuatu kepada Iwang, ia malah menganggap karya Iwang sebagai momen untuk melepaskan. Mungkin karya itu sendiri juga bukan hal penting bagi Indira. Ia tak pernah mempertanyakan apa tujuan dari karya tersebut. Semua yang ia lakukan hanya didasarkan oleh persepsi yang terbangun di benaknya sendiri, yaitu sebuah teka-teki masa depan yang hanya bisa dijawab oleh takdir. Sebagai partisipan ia sama sekali tidak tahu jika tujuan karya ini adalah menyikapi reaksi orang terhadap sebuah foto. Ya, sesi foto-foto yang tak pernah ia anggap penting itu rupanya justru merupakan titik awal karya “10 Years Later” ini. Semua berawal dari hobi Iwang melihat-lihat album keluarga. “Tahun demi tahun bergulir dan foto tersebut menjadi semakin berharga karena ada peristiwa yang membeku disana. Tapi dunia tetap berjalan sangat cepat. Orang-orang sudah tiada atau tidak jelas keberadaannya kini, membuat banyak situasi yang mustahil direkonstruksi,” ujarnya. Ditambah lagi, Iwang melihat pergeseran perilaku orang saat mengambil sebuah foto dan durasi untuk mengapresiasinya. “Makna visual hanyalah pengakuan beberapa saat saja setelah orang tersebut membuktikan dirinya telah menjadi bagian dari sebuah bentuk visual. Saking banyaknya foto, kita tidak mampu lagi untuk mengingat dan melihat foto yang kita miliki,” ungkap Iwang. Maka baginya, proyek ini adalah investasi visual melalui memori rekam penglihatan. Untuk memperkuat memori tersebut, dimasukkanlah obyek-obyek spesifik yang akan membantu orang untuk mengingatnya di kemudian hari.
Gita Hastarika kepada Irwan Ahmett melalui e-mail. 5 Mei 2011, pukul 16.04 WIB. Jadi sebenarnya yang lebih penting justru fotonya, daripada amplop dan isinya, atau malah pesannya? Foto adalah karya sebenarnya, sementara amplop dan benda-benda pendukung merupakan katalisator yang dapat mengemas karya agar menjadi sesuai dengan apa yang diharapkan. Apa fungsi amplop-amplop itu? Amplop itu berguna baik untuk partisipan dan saya sendiri sebagai seniman, karena memori saya pasti banyak mengalami perubahan terhadap momen pameran tersebut. Tadinya proyek ini lebih ditujukan kepada orang-orang yang saya kenal, minimal saya tahu orang tersebut. Tapi ternyata justru orang yang tidak dikenal lebih antusias untuk merespon karya tersebut. Situasi publik memang terkadang sulit ditebak dan saya harus menyesuaikan dengan perubahan situasi yang terjadi saat itu. Paling tidak mendapat teman baru dan berkenalan di sana dapat menjadi kisah yang tertancap di memori saya. Bagaimana jika ternyata partisipan tidak menangkap bahwa justru foto itulah karyanya? Tidak apa-apa, karena publik biasanya memiliki asumsi sendiri yang kerap kali di luar bayangan kita. Perbedaan persepsi malah akan membuka wilayah pemikiran baru di luar strategi yang sudah disusun sebelumnya. Sebetulnya para partisipan bisa 'meniru' dengan mempraktikkan cara yang sama terhadap dirinya dengan persepsi yang mereka bangun sendiri. Dalam bentuk seperti ini justru karya saya benar-benar dapat menjadi pengalaman yang berkelanjutan dimana 'praktik' berkesenian yang dijalankan dengan mudah diaplikasikan oleh publiknya sendiri tanpa harus ada saya di dalamnya. Apa harapan tertinggi terhadap karya ini? Kebebasan publik untuk mengklaim wilayahnya dalam karya saya adalah sebuah goal yang menarik. Karena apalah artinya sebuah kreativitas jika hanya saya saja yang mampu mengerti?
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org)
Melalui karya itu, apa Anda merasa punya ikatan dengan para partisipan? Yang saya kenal secara pribadi tentu akan memiliki kisah tersendiri. Tapi bagi yang baru saya kenal di pameran, kisah sebenarnya akan terjadi 10 tahun kemudian.
Jakarta, 10 Juni 2011, pukul 20.20 WIB. Mana yang lebih penting? Saat ini, 10 tahun mendatang atau hari-hari menujunya? Bagi banyak seniman, mungkin kemarin lebih penting, karena di situlah proses kreatifnya terjadi. Pernahkah Anda bertanya kepada seorang perupa apakah ia tahu di mana saja karya-karyanya mendekam? Setelah karya tersebut laku keras pada sebuah pameran atau ditaksir begitu tinggi lewat sebuah lelang, bagaimanakah keadaannya kini? Tapi agak berbeda jadinya pada karya Iwang kali ini, karena ia tahu benar di mana karya itu berada: di rumahnya, tersimpan rapi dengan pembungkus plastik yang melindungi karya tersebut dari pengaruh alam. Dalam konteks karya ini, bagi Iwang maupun Indira, hari-hari menuju 10 tahun ke depan mungkin merupakan waktu luang. Iwang kini disibukkan dengan proyek barunya di Belanda, sementara Indira sedang giat-giatnya menyerukan teman-temannya untuk memilih Hanum sebagai Gadis sampul favorit. Setelah melewati banyak tes, Hanum berhasil masuk 20 besar dalam pemilihan Gadis sampul. Bukan berarti mereka tidak memikirkan proyek “10 Years Later” ini. Baik Iwang maupun Indira jelas menyatakan karya ini penting bagi mereka. Penting bagi Iwang karena karya ini merupakan sebuah komitmen besar, jika ia serius. Penting pula bagi Indira karena sedikit harapannya, walau hanya tersirat, ada di dalam karya tersebut.
Gita Hastarika kepada Indira melalui Yahoo! Messenger. 7 Mei 2011, pukul 12.34 WIB. Kira-kira apa yang akan Anda rasakan 10 tahun lagi saat menerima amplop tersebut? Nglangut, mungkin. Kenapa? Karena sedih mengingat hal yang sudah lewat. Kalau begitu lebih baik tidak dikembalikan? Kalau kembali lebih lucu, karena artinya saya tidak konyol saat merespon karya tersebut. Tapi kalau memang sudah ikhlas apa lagi yang ditunggu dari masa depan? Tapi kalau kembali bahagia juga. Hahaha… sepertinya saya sangat ambigu jadinya. Sekarang-sekarang ini, kalau bertemu Iwang apa yang akan Anda katakan padanya? Tidak ada, membicarakan hal lain saja. Kalau 10 tahun lagi ia mengembalikan milik Anda, apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Saya akan memeluknya. Karena ia mengembalikan sepotong ingatan saya.***
Jakarta, Juli 2011
Gita Hastarika lahir di Jakarta, 22 Agustus 1980. Melakukan ekskavasi Situs Kota Majapahit di Trowulan dan bermalam di trotoar Kota Tua pada tahun terakhirnya kuliah arsitektur di Universitas Indonesia telah mengubah pandangannya tentang arsitektur. Hingga akhirnya cita-citanya sejak Sekolah Dasar menjadi arsitek praktisi pun hilang. Mengisi hidupnya, ia lalu menjadi kutu loncat di
28 Desember 2010, 28 Desember 2020, dan hari-hari di antaranya Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) berbagai tempat yang ia percaya masih berhubungan dengan arsitektur. Perkenalannya dengan tulis-menulis diawali dengan menjadi periset sejarah arsitektur di sebuah penerbit Khatolik. Setelah itu ia memaksa dirinya untuk terus menulis dengan menjadi jurnalis di Koran Jakarta dan terakhir di majalah dewi sebagai pengasuh rubrik Ruang. Saat ini, ia menikmati hidupnya sebagai seorang flaneur sambil tetap berusaha menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
“…but I’ll be 45 in 2020, do we still look cool?", Irwan Ahmett, 2010.
URL sumber: http://www.karbonjournal.org/article/28-desember-2010-28-desember-2020-dan-hari-hari-di-antarany a Links: [1] http://www.karbonjournal.org/sites/default/files/images/thumb/FOTO_sinopsis_ARTIKEL_DanHari-H ariDiAntaranya_GitaHastarika.jpg
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)