1 Judul Nama/NPM Pembimbing
: Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang Mengalami Kekerasan : Adhi Widya Permana/10503004 : Mahargyantari Purwani Dewi, S.Psi., M.Si.
ABSTRAK Kasus kekerasan anak jalanan di Indonesia setiap tahun meningkat sebesar 50%, hal itu membuat Indonesia menempati peringkat tertinggi di Asia Pasifik dalam hal kekerasan terhadap anak-anak. Kekerasan pada anak terhadap berbagai aspek kehidupan anak sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, berdampak langsung pada kecacatan fisik dan yang terberat yaitu depresi akibat tekanan. Depresi merupakan gejala kehilangan gairah, semangat dan menurunnya daya fikir, hal ini selain dialami oleh orangtua juga sering terjadi pada anak, dari gejalanya ini akan menimbulkan stress, gelisah dan cemas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan serta apa saja penyebab depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang sifatnya studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara berstruktur tetapi fleksibel. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi dengan menggunakan catatan lapangan. Observasi catatan lapangan dilakukan pada saat berlangsungnya wawancara. Isi dari catatan lapangan tersebut yaitu kutipan-kutipan langsung apa yang dikatakan subjek pada saat proses wawancara berlangsung, catatan lapangan juga berisi perasaanperasaan peneliti, reaksi terhadap pengalaman yang dilalui, dan refleksi mengenai makna personal dan arti kejadian tersebut dari sisi peneliti. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 1 remaja jalanan yang mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian subjek mengalami gejala depresi seperti gangguan pola tidur, menurunnya efisiensi kerja, menurunnya tingkat aktivitas, menurunnya produktivitas kerja, merasa mudah letih dan sakit, kehilangan rasa percaya diri, sensitif, merasa diri tidak berguna, perasan bersalah, perasaan terbebani, komunikasi yang jarang. Dan penyebab depresi pada anak jalanan seperti kekerasan secara fisik, kekerasan seksual, pengabaian secara fisik, kekerasan secara psikologis. Saran untuk anak jalanan diharapkan berhati-hati dan menghindari tempat-tempat yang rawan terjadinya kejahatan. Kata kunci : gejala depresi, anak jalanan, kekerasan
BAB I A. Latar Belakang Masalah
Menurut Departemen Sosial RI (2004b) situasi kehidupan di jalanan memang memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan nafkah atau sekedar untuk bergaul dan bermain bersama dengan teman sebaya. Namun situasi kehidupan jalanan juga sangat membahayakan bagi kehidupan anak-anak, baik ancaman kecelakaan, maupun ancaman terhadap kesehatan.
Menurut Departemen Sosial RI (2004b) krisis ekonomi yang diperberat oleh bencana alam yang melanda negara Indonesia pada saat ini telah menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli serta harga barang-barang yang melambung, sehingga tidak lagi memenuhi hak dan kebutuhan anak di atas. Akibat lebih jauh yaitu banyaknya anak yang terpaksa harus meninggalkan orang tua dan rumah serta meninggalkan sekolah guna mencari nafkah di jalanan.
Data dari Departemen Sosial RI (2005a) anak jalanan masih menjadi masalah kesejahteraan sosial yang serius di Indonesia. Data dari Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan
1
2 Sosial Depertemen Sosial jumlah anak jalanan tahun 2004 sebesar 98.113 anak, jumlah tersebut tersebar di 30 Provinsi. Selanjutnya Departemen Sosial RI (2005a) sebagai perbandingan pada tahun 1999, berdasarkan hasil survey dan pemetaan sosial anak jalanan yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 anak yang tersebar di 12 kota besar (Medan, Padang, Palembang, Lampung, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, dan Mataram). Besarnya angka ini mencerminkan bahwa masalah kemiskinan yang diperparah oleh krisis ekonomi pada tahun 1997 telah menambah permasalahan anak jalanan semakin kompleks. Data dari Departemen Sosial RI (2005a) anak jalanan masih menjadi masalah kesejahteraan sosial yang serius di Indonesia. Data dari Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Depertemen Sosial jumlah anak jalanan tahun 2004 sebesar 98.113 anak, jumlah tersebut tersebar di 30 Provinsi. Selanjutnya Departemen Sosial RI (2005a) sebagai perbandingan pada tahun 1999, berdasarkan hasil survey dan pemetaan sosial anak jalanan yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 anak yang tersebar di 12 kota besar (Medan, Padang, Palembang, Lampung, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, dan Mataram). Besarnya angka ini mencerminkan bahwa masalah kemiskinan yang diperparah oleh krisis ekonomi pada tahun 1997 telah menambah permasalahan anak jalanan semakin kompleks. Menurut Windhu (1992) kasus kekerasan anak jalanan di Indonesia setiap tahun meningkat sebesar 50%, hal itu membuat Indonesia menempati peringkat tertinggi di Asia Pasifik dalam hal kekerasan terhadap anak-anak. Tingginya kekerasan terhadap anak jalanan dipengaruhi rendahnya perhatian pemerintah. Bahkan, UU Perlindungan Anak belum mampu menghentikan dan memberi efek jera pelaku. Angka kasus kekerasan terhadap anak juga masih memprihatinkan, kekerasan dari tahun meningkat 2008 dari 1 Januari
hingga Juni Komnas maupun di 33 lembaga perlindungan anak menerima laporan 21 ribu kasus kekerasan anak. 62,7 % kekerasan seksual, atau 12 ribu anak mengalami kekerasan seksual. Menurut Prasadja dan Agustian (2000) anak jalanan memang tidak jauh dari kekerasan baik dari lingkungan fisik maupun dari orangorang di sekitarnya. Jalanan yang banyak diisi lalu lalang kendaraan pribadi maupun kendaraan umum memungkinkan anak terserempet, tertabrak atau jatuh dari kendaraan. Resiko anak jalanan laki-laki terserempet kendaraan relatif lebih besar dibanding anak jalanan perempuan. Di kalangan anak jalanan laki-laki resiko tersebut sekitar 25 %, sedang di kalangan anak perempuan sekitar 20 %. Dengan kata lain, satu dari 4 anak jalanan laki-laki dan satu dari 5 anak perempuan pernah terserempet kendaraan. Resiko ini menjadi lebih besar saat mereka ditanya tentang pengalaman temanteman sesama anak jalanan, di atas 30 % anak jalanan menyatakan bahwa mereka pernah melihat teman sesama anak jalanan terserempet kendaraan (Prasadja & Agustian, 2000). Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992) ada dua bentuk kekerasan yang sering dialami anak jalanan yakni kekerasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah (torture) maupun kekerasan yang dilakukan senior atau premanpreman, pemerintah pusat atau pun daerah sudah seharusnya menghentikan kekerasan struktural terhadap anak-anak jalanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penerapan kekerasan terhadap anak-anak jalanan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 disebutkan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Komisi Nasional Perempuan (2002) dampak kekerasan
3 pada anak terhadap berbagai aspek kehidupan anak sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, baik yang berdampak langsung pada kecacatan fisik dan yang terberat yaitu depresi akibat tekanan. Menurut Kasuda (1996) gejala depresi merupakan gejala kehilangan gairah, semangat dan menurunnya daya fikir, hal ini selain dialami oleh orangtua juga sering terjadi pada anak, dari gejalanya ini akan menimbulkan stress, gelisah dan cemas. Menurut Pujiastuti (2001) Ciri-ciri anak mengalami gejala depresi, seperti malas untuk belajar atau tidak mau bertemu dengan temannya dan cenderung menarik diri dari lingkungan. Sehingga tidak sedikit penyakit ini bisa mengarah ke bunuh diri.salah satu ciri anak yang mudah terkena depresi yakni punya kepribadian yang tertutup, sukar bergaul, tidak mudah bersosialisasi. Menurut Kasuda (1996) gejala depresi pada anak biasanya bisa dilihat dan diamati dari tingkah laku sehari-hari. Gejala yang paling mudah dilihat itu antara lain, anak selalu merasa sedih atau cepat marah, fisiknya menjadi lemah karena tidak bergairah untuk bermain dan mengerjakan sesuatu. Bahkan, anak yang mengidap gejala depresi biasanya juga selalu merasa rendah diri, serta menganggap segala sesuatu berat untuk dilakukan. Anak-anak depresi mengalami episode depresi yang biasanya bertahan dari tujuh sampai sembilan bulan, meskipun beberapa ahli perkembangan anak yang mengatakan bahwa perilaku depresi yang bertahan lebih dari dua minggu memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Menurut Pujiastuti (2001) kepribadian anak yang tertutup dan terbuka tergantung pada lingkungan. Jika lingkungan tidak mendukung maka rentan terkena depresi. Meskipun dia tertutup karena dia dikondisikan untuk bergaul dia akan berkembang meskipun dia tidak kehilangan cirinya, orang tua hendaknya memperhatikan kemampuan anak, jangan sampai memaksakan kehendak pada anak-anak yang tidak sesuai dengan kemampuannya, karena anak yang dipaksa, maka anak tersebut akan memerlukan daya saing yang kuat. Menurut Siswanto (2007) kedekatan orangtua dengan anak ketika anak depresi sangat dibutuhkan, umumnya anak-anak yang memperlihatkan gejala depresi selalu
membutuhkan perhatian yang lebih dari orangtuanya dan mereka ingin selalu disayang Langkah awal yang harus dilakukan orangtua, ketika anak-anaknya terdiagnosis mengalami depresi adalah orangtua haruslah telah menguasai semua permasalahan tentang depresi dan lebih baik jika orangtua belajar bagaimana menanganinya, luangkanlah waktu lebih banyak untuk anak. Mungkin akan sulit bagi orangtua yang sangat sibuk dengan rutinitas kerja padat. Tapi, hal ini bisa membantu pemulihan mental anak. Menurut Berne dan Savary (1994) anak-anak yang mengalami stress, mengalami kehilangan (orang atau barang atau apapun), anak yang sedang belajar, atau anak yang mengalami kekerasan berada pada risiko yang lebih tinggi untuk menderita gejala depresi. Gejala depresi juga cenderung untuk terjadi dalam keluarga. Perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami depresi mungkin berbeda dari perilaku orang dewasa yang depresi. Untuk itulah peneliti ingin mengetahui bagaimana gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan, dan bagaimana dampak dari depresi yang diterima anak jalanan dari tindak kekerasan. Dalam penelitian ini akan menggunakan istilah gejala depresi, karena tidak dilakukan penegakan diagnosis. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di muka, maka penulis tertarik untuk meneliti : 1. Bagaimana gambaran gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan? 2. Apa saja penyebab munculnya gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan. Serta untuk mengetahui penyebab munculnya
4 gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya psikologi sosial dan psikologi perkembangan tentang gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar upaya perlindungan bagi anak-anak jalanan yang telah bekerja dan berada di jalanan. Serta diharapkan dapat menjadi acuan umum kepada berbagai pihak yang menangani permasalahan sosial anak jalanan baik pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). BAB II A. Gejala Depresi 1. Pengertian Depresi Menurut Lumongga (2009) depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) disertai dengan gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan. 2. Gejala-gejala Depresi Menurut Lumongga (2009) gejala depresi adalah sekumpulan peristiwa, perilaku, atau perasan yang sering (namun tidak selalu) muncul pada waktu yang bersamaan, gejala ini depresi dapat lihat dari tiga segi yaitu : a. Gejala fisik, memiliki beberapa yang dapat dideteksi yaitu: 1) Gangguan pola tidur, misalnya, sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur 2) Menurunnya efesiensi kerja, orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan energi pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak
efisien dan tidak berguna, seperti memakan makanan kecil, melamun, merokok terus-menerus, sering menelepon yang tak perlu. Yang jelas orang terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi kurang terstruktur, sistematiknya kerjanya jadi kacau atau kerjaannya jadi lamban. 3) Menurunnya tingkat aktivitas, pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukan perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti menonton televisi, makan, dan tidur. 4) Menurunnya produktivitas kerja, orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya, kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas membuatnya kehilangan energi yang ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya. Mudah sekali lelah, capek padahal belum melakukan aktivitas yang berarti. 5) Mudah merasa letih dan sakit, jika seseorang menyimpan perasaan negatif, maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan, dan harus memikulnya di mana saja dan kapan saja, suka tidak suka. b. Gejala Psikologis, ada beberapa tanda gejala psikologis yaitu :
5 1) Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu dari segi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Senang sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain lebih dinilai sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan, dan pikiran negatifnya. 2) Sensitif. Orang yang mengalami depresi senang sekali mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali sehingga sering peristiwa yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh merek, bahkan disalah artikan. Akibatnya mereka mudah tersinggung mudah marah, perasa, curiga akan maksud orang (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung dan lebih suka menyendiri. 3) Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. Misalnya seorang manager mengalami depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam persepinya, pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja dan pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang diharapkan. 4) Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban orang lain dan menyalahan diri mereka atas situasi tersebut. 5) Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang
dialaminya. Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani tanggung jawab yang berat. c.
Gejala Sosial. Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal Dalam penelitian gejala depresi yang digunakan adalah gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala sosial
3. Jenis-jenis Depresi Penggolongan atau klasifikasi depresi hingga saat ini diakui masih sukar diterima kalangan psikiater. Depresi dikenal sebagai sindroma yang secara klinik heterogen, dalam arti tidak terdapat satu cara kasifikasi untuk penggolongan depersi yang diterima secara universal. Menurut Lumongga (2009) ada beberapa jenis-jenis depresi : a. Depresi Berdasarkan Tingkat Penyakit Menurut klasifikasi organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) (dalam Lumongga, 2009), berdasarkan tingkat penyakitnya, depresi menjadi: 1) Mild depression / minor depression dan dysthymic disorder Pada depresi ringan, mood yang rendah datang dan pergi dan penyakit datang setelah kejadian sterssfull yang spesifik. Individu akan merasa cemas dan juga tidak bersemangat. Perubahan gaya hidup biasanya dibutuhkan untuk mengurangi depersi jenis ini
6 Minor depression ditandai dengan adanya dua gejala pada Depressive episode namun tidak lebih dari lima gejala depresi muncul selama dua minggu berturut-turut, dan gejala itu bukan karena pengaruh obatan-obatan atau penyakit. Bentuk depresi yang kurang parah disebut distimia (Dystymic disorder). Depresi ini menimbulkan gangguan Minor Depression ringan dalam jangka waktu yang lama sehingga seseorang tidak dapat bekerja optimal. Gejala depresi ringan ada gangguan distimia dirasakan minimal dalam jangka waktu dua tahun. 2) Moderate Depression Pada depresi sedang mood yang rendah berlangsung terus dan individu mengalami simtom fisik juga walaupun berbeda-beda tiap individu. Perubahan gaya hidup saja tidak cukup dan bantuan diperlukan untuk mengatasinya. 3) Severe depression/major deperssion Depresi berat adalah penyakit yang tingkat depresinya parah. Individu akan mengalami gangguan dalam kemampuan untuk bekerja, tidur, makan, dan menikmati hal yang menyenangkan dan penting untuk mendapatkan bantuan medis secepat mungkin. Deperesi ini dapat muncul sekali atau dua kali dan beberapa kali selama hdup. Major depression ditandai dengan adanya lima atau lebih simtom yang ditunjukan dalam major depressive episode dan berlangsung selama 2 minggu berturut-turut. b. Depresi Nosologi
Berdasarkan
Klasifikasi
Kasifiasi nosologi dari keadaan depresi telah terbukti bernilai dalam praktik klinik dan telah dibakukan oleh World Health Organization (WHO). Menentukan suatu kasus depresi pada kategori nosologi yang tepat merupakan hal yang penting. Untuk mencapai hal itu diperlukan penilaian
yang menyeluruh dari semua fakta yang diperoleh dari eksplorasi keadaan psikologisnya. Dan tidak kurang pentingnya adalah yang disebut miieu situation seperti hubungan penderita dengan lingkungan di mana dia tinggal dan bekerja. (Lumongga, 2009). Jenis-jenis depresi menurut World Health Organization (WHO) (dalam Lumongga, 2009), berdasarkan tingkat penyakitnya, dibagi menjadi: 1) Depresi Psikogenik – Depresi ini karena pengaruh psikologis individu. Biasanya terjadi akibat adanya kejadian yang dapat membuat seseorang sedih atau stress berat. Berdasarkan pada gejala dan tanda-tanda, terbagi menjadi : a). Depresi reaktif Merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan mood depresi yang ditandai oleh apati dan retardasi atau oleh kecemasan dan agtasi. Dan yang ditimbukan sebagai reaksi dari suatu pengalaman hidup yang menyedihkan. Dibandingan dengan kesedihan biasa, depresi ini lebih mendalam berlangsung lama tetapi jarang melampaui beberapa minggu. b). Exhaustion depression Merupakan depresi yang ditimbulkan setelah bertahun-bertahun masa laten, akibat tekanan perasaan yang berlarutlarut, goncangan jiwa yang berturut atau engaaman berulang yang menyakitkan. c). Depresi neurotik Asal mulanya adalah konflik-konflik psikologis
7 masa anak-anak (seperti keadaan perpisahan dengan ibu pada masa bayi, hubungan orang tua anak yang tidak menyenangkan) yang selama ini disimpan dan membekas dalam jiwa penderita. Proses represi baik yang sebagian maupun yang seluruhnya dari konfik-konflik tadi merupakan sumber kesulitan yang menetap dan potensial bagi timbulnya depresi di kemudian hari. Jauh sebelum timbulnya depresi sudah tampak adanya gejala-gejala kecemasan, tidak percaya diri, gagap, sering mimpi buruk, dan enuresis. Juga gejala jasmaniah seperti banyak berkeringat, gemetar, berdebar-debar, gangguan pencernaan seperti diare dan spasm 2). Depresi endogenik Depresi ini diturunkan, biasanya timbul tanpa didahului oleh masalah psikologis atau fisik tertentu, tetap bisa juga dicetuskan oleh trauma fisik maupun psikis, kebanyakan depresi endogen berupa suatu depresi unipolar. 3). Depresi somatogenik Pada depresi ini dianggap bahwa faktor-faktor jasmani berperan dalam timbulnya depresi, terbagi dalam beberapa tipe : a) Depresi organik Disebabkan oleh perubahanperubahan morfologi dari otak seperti arteriosklerosis serebri, demensia senelis, tumor otak, defisiensi mental, dan lain-lain. Gejala-gejalanya dapat berupa kekosongan emosional disertai ide-ide hipokondrik. Biasanya disertai dengan suatu psychosyndrome akibat kelainan lokal atau difusi di otak dengan gejala kerusakan short term memory, disorientasi waktu, tempat, dan situasi disertai tingkah laku eksplosif dan mudah terharu.
b) Depresi simptomatik Merupakan depresi akibat atau bersamaan dengan penyakit jasmaniah seperti: (1) Penyakit infeksi : hepatitis, influenza, pneumonia (2) Penyakit endokrin : diabetes mellitus, hipotiroid (3) Akibat tindakan pembedahan. (4) Pengobatan jangka anjang dengan obatobatan antihipertensi (5) Pada fase penghentian kecanduan narkotika, alkohol dan obat penenang d. Depresi menurut penyebab, gejala, dan arah penyakit 4. Penyebab Depresi Gangguan depresi pada umumnya dicetuskan oleh peristiwa hidup tertentu. Kenyataannya peristiwa hidup tersebut tidak selalu diikuti depresi, hal ini mungkin disebabkan karena ada faktor-faktor lain yang ikut berperan mengubah atau mempengaruhi hubungan tersebut (Lumongga, 2009), faktor-faktor tersebut adalah : a. Faktor Fisik – terbagi beberapa faktor yaitu: 1) Faktor Genetik Seseorang yang dalam kelurganya diketahui menderita depresi berat memiliki risiko lebih besar menderita gangguan depresi daripada masyarakat pada umumnya. Gen (kode biologis yang diwariskan dari orang tua) berpengaruh dalam terjadinya depresi, tetapi ada banyak gen di dalam tubuh kita dan tidak ada seorangpun peneliti yang mengetahui secara pasti bagaimana gen bekerja dan tidak ada bukti langsung
8 bahwa penyakit depresi yang disebabkan oleh faktor keturunan (McKenzie, 1999). Pengaruh gen lebih penting pada depresi berat daripada depersi ringan dan lebih penting pada indvidu muda yang menderita depresi daripada individu yang lebih tua. Gen lebih berpengaruh pada orang-orang yang punya periode di mana mood mereka tinggi dan mood rendah atau gangguan bipolar. Tidak semua orang biasa terkena depresi, bahkan ada depresi dalam keluarga, biasanya diperlukan suatu kejadian hidup yang memicu terjadinya depresi (Kendler, 1992). 2) Susunan Kimia Otak dan Tubuh Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memegang peranan yang besar dalam mengendalikan emosi kita. Pada orang depresi ditemukan adanya perubahan dalam jumlah bahan kimia tersebut. Hormon noradrenalin yang memegang peranan utama dalam mengendalikan otak dan aktivitas tubuh, tampaknya berkurang pada mereka yang mengalami depresi. Pada wanita, perubahan hormon dihubungkan dengan kelahiran anak dan menopause juga data meningkatkan risiko terjadinya depresi (McKenzie, 1999). 3) Faktor usia Berbagai penelitan mengungkapkan bahwa golongan usia muda yaitu remaja dan orang dewasa lebih banyak terkena depresi. Hal ini dapat terjadi karena pada usia tersebut terdapat tahaptahap serta tugas perkembangan yang penting, yaitu peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa kuliah atau bekerja, serta masa pubertas ke masa pernikahan. Namun sekarang ini usia rata-rata penderita depresi semakin menurun yang menunjukan bahwa remaja dan anak-anak semakin banyak yang terkena depresi. Survey masyarakat terakhir melaporkan
prevalensi yang tinggi dari gejala-gejala depersi pada golongan usia dengan dewasa muda 18-44 tahun (Wikinson, 1995). 4) Gender Adanya perubahan hormonal dalam siklus menstruasi yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran dan juga menopause yang membuat wanita lebih rentan menjadi depresi. Penelitan Angold (1998) menunjukan bahwa periode meningkatkan risiko deresi pada wanita terjadi ketika masa pertengahan pubertas. Data yang dihimpun oleh World Bank menyebutkan prevalensi terjadinya depresi sekitar 30% terjadi pada wanita dan 12,6% dialami oleh pria (Desjarlis, 1995). Radloff dan Rae (1979) berpendapat bahwa adanya perbedaan tingkat depresi pada pria dan wanita lebih ditentukan oleh faktor biologis dan lingkungan, yaitu adanya perubahan peran sosial sehingga menimbulkan berbagai konflik serta membutuhkan penyesuaian diri yang lebih intens, adanya kondisi yang penuh stressor bagi kaum wanita, misalnya penghasilan dan tingkat pendidikan yang rendah dibandingkan pria, serta adanya perbedaan fisiolog dan hormonal dibanding pria, seperti masalah reproduksi serta berbagai perubahan hormone yang dialami wanita sesuai kodratnya. Lebih jauh lagi jumlah wanita tercatat mengalami depersi biasa juga disebabkan oleh pola komunikasinya. Menurut Pease dan Pease (2001),
9 pola komunikasi wanita berbeda dengan pria. Jika seorang wanita mendapatkan masalah, maka wanita tersebut ingin mengkomunikasikannya dengan orang lain dan memerlukan dukungan atau bantuan orang lain, sedangkan pria cenderung untuk memikirkan masalahnya, pria juga jarang menunjukan emosinya sehingga kasus depresi ringan dan sedang pada pria jarang diketahui 5) Gaya Hidup Banyak kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat berdampak pada penyakit misalnya penyakit jantung juga dapat memicu kecemasan dan depresi. Tingginya tingkat stress dan kecemasan digabung dengan makanan yang tidak sehat dan kebiasaan tidur serta olahraga untuk jangka waktu yang lama dapat menjadi faktor beberapa orang mengalami depresi (lumongga, 2009). Penelitian menunjukan bahwa kecemasan dan depresi berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat pada pasien berisiko jantung. Gaya hidup yang tidak sehat misalnya tidur tidak teratur, makan tidak teratur, mengkonsumsi jenis makanan fast food atau makanan yang mengandung perasa, pengawet dan perwarna buatan, kurang berolahraga, merokok dan minum-minuman keras (Hendranata, 2004). 6) Penyakit fisik Penyakit fisik dapat menyebabkan penyakit. Perasaan terkejut karena mengetahui kita memiliki penyakit serius dapat mengarahkan pada hilangnya kepercayaan diri dan penghargaan diri juga depresi, alasan terjadinya cukup kompleks (Ebrahim, 1987). 7) Obat-obatan Beberapa obat-obatan untuk pengobatan dapat menyebabkan depersi. Namun bukan berarti obat tersebut menyebabkan depresi, dan menghentikan pengobatan dapat lebih berbahaya daripada depresi. Menurut McKenzie (1999)
a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k)
ada beberapa obat yang menyebabkan depresi yaitu: Tablet antieplipsy Obat anti tekanan darah tinggi Obat antimalaria-melfloquine (lariam) Obat antiparkinson Obat kemotrapi Pil kontrasepsi Digitalis Diuretic (jantung dan tekanan darah tinggi) Interferon-alfa (hepatitis c) Obat penenang Terapi steroid
8) Obat-obatan terlarang Obat-obatan terlarang telah terbukti dapat menyebabkan depresi karena mempengaruhi kimia dalam otak dan menimbukan ketergantungan. Menurut Brees (2008) di antara obatobatan terlarang yang menyebabkan depresi seperti mariyuana, heroin, kokain, ekstasi, sabu-sabu. 9) Kurang Cahaya Matahari Kebanyakan orang merasa lebih baik di bawah sinar matahari daripada hari mendung, tetapi hal ini sangat berpengaruh pada beberapa individu. Mereka baik-baik saja ketika musim panas tetapi menjadi depresi ketika musim dingin. Mereka disebut menderita seasonal affective disorder (SAD). SAD berhubungan dengan tingkat hormon yang disebut melatonin yang dilepaskan dari kelenjar pineal ke otak. Pelepasannya sensitifnya terhadap cahaya yaitu memberikan cahaya sebesar 10.000 luc kadangkadang efektif menghilangkan simtom dari seasonal affective disorder, empat jam terkena cahaya terang dalam sehari dapat mengurangi seresi dalam waktu seminggu (Ebrahim, 1987).
10 b.
Faktor psikologis Ada beberapa faktor penyebab depresi yaitu :
psikologis
1) Kepribadian Aspek-aspek kepribadian ikut mempengaruhi tinggi rendahnya depresi yang dialami serta kerentanan terhadap depresi. Ada indvidu-individu yang lebih rentan terhadap depersi yaitu mempunyai konsep diri serta pola pikir yang negatif, pesimis, juga tipe kepribadian introvert (Retnowati, 1990). Tampaknya ada hubungan antara karakteristik kepribadian tertentu dengan depresi. Menurut Gordon (dalam Lumongga, 2009), seseorang yang menunjukan hal-hal berikut memiliki risiko terkena depresi : a) Mengalami kecemasan tingkat tinggi, seorang pencemas atau mudah terpengaruh b) Seorang pemalu atau minder c) Seseorang yang suka mengkritik diri sendiri atau memiliki harga diri yang rendah d) Seseorang yang hipersensitif e) Seseorang yang perfeksionis f) Seseorang dengan gaya memusatkan perhatian pada diri sendiri (self-focused). 2) Pola Pikir Beck (1980) mengatakan gambaran pola pemikiran yang umum pada depresi dan dipercaya membuat seseorang rentan terkena depresi. Seseorang yang merasa negative mengenai diri sendiri rentan terkena depresi. 3) Harga Diri (self-esteem) Harga diri merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu. Setiap orang menginginkan penghargaan diri positif terhadap dirinya, sehingga seseorang akan merasa dirinya berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya memiliki kelemahan mental dan fisik. Terpenuhinya keperluan penghargaan diri aan menghasikan sikap dan rasa percaya diri, rasa kuat menghadapi sakit, rasa damai, namun sebaiknya apabila keperluan penghargaan diri ini tidak terpenuhi, maka akan membuat seseorang individu mempunyai mental-
mental lemah dan berpikir negatif sehingga cenderung terkena depresi (Maslow dalam Petri, 2004). 4) Stres Kematian orang dicintai, kehilangan pekerjaan, pindah rumah, atau stress berat yang lain dianggap dapat menyebabkan depresi (lumongga, 2009). Orang yang depresi dapat merasa sangat negative dan cenderung mengingat dan melaporkan halhal negativ begitu pula dampak suatu peristiwa terhadap seseorang sulit diramalkan, beberapa orang lebih mampu menanggulangi stress daripada yang lain dan apa yang membuat stress seseorang belum tentu menganggu yang lain (Mckenzie, 1999). 5) Lingkungan keluarga Ada beberapa penyebabnya yaitu : a) Kehilangan orang tua ketika masih anak-anak Ada bukti bahwa indivdu yang kehilangan ibu mereka ketika muda memiliki risiko lebih besar terserang depresi. Kehilangan yang besar ini akan membekas secara psikologis dan membuat seseorang lebih mudah terserang depresi tetapi, di satu sisi, mungkn saja membuat orang lebih tabah. Akibat psikologis, sosial, dan keuangan yang ditimbulkan oleh kehilangan orang tua yang lebih penting daripada kehilangan itu sendiri (Lumongga, 2009). b) Jenis Pengasuhan Psikolog menemukan bahwa orang tua yang sangat menuntut dan kritis, yang menghargai kesuksesan dan menolak semua kegagalan membuat anak-anak lebih mudah terserang depresi di masa depan (Lumongga, 2009).
11 c) Penyiksaan fisik dan seksual ketika kecil Penyiksaan fisik atau seksual dapat membuat seseorang berisiko terserang depresi berat sewaktu dewasa (Lumongga, 2009). 6) Penyakit Jangka panjang Ketidaknyamanan, ketidakmampuan, ketergantungan, dan ketidakamanan dapat membuat seseorang cenderung menjadi depresi. Kebanyakan orang suka bertemu orang. Orang yang sakit keras menjadi rentan terhadap depresi saat mereka dipaksa dalam posisi di mana mereka tidak berdaya atau karena energi yang mereka perlukan untuk melawan depresi sudah habis untuk penyakit jangka panjang (Lumongga, 2009). 5. Dampak Depresi a. Bunuh Diri Walaupun banyak orang yang depresi yang tidak bunuh diri, depresi yang tidak ditangani dapat meningkatkan resiko percobaan bunuh diri. Sangat sering bagi individu yang mengalami depresi memiliki pikiran untuk bunuh diri (Lumongga, 2009). b.Gangguan Tidur : Insomnia dan Hypersomnia Insomnia atau kesulitan tidur bukanlah suatu penyakit, insomnia adalah cara tubuh bereaksi terhadap stress, jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh tiap orang berbedabeda, kebanyakan orang dewasa memerlukan tidur delapan jam setiap malam, jika kita tidak mendapatkan cukup tidur, kita akan merasa mengantuk di siang harinya. Pola tidur berubah sesuai dengan usia, misalnya, orang yang lebih tua tidur siang dan lebih sedikit di malam hari (Kusumawardhani, 2006) c. Gangguan dalam Hubungan Sebagai akibat dari depresi, seseorang cenderung mudah tersinggung, senantiasa sedih sehingga lebih banyak menjauhkan diri dari orang lain atau dalam situasi lain menyalahkan orang lain, hal ini menyebabkan hubungan dengan orang lain menjadi tidak baik (Lumongga, 2009).
d. Gangguan dalam Pekerjaan Pengaruh depresi sangat terasa dalam kehidupan pekerjaan seseorang. Depresi meningkatkan kemungkinan dipecat dan pendapatan yang lebih rendah. Depresi mengakibatkan kerugian dalam produksi karena absenteisme ataupun performa yang sangat buruk. Pekerja dengan depresi juga kehilangan lebih banyak waktu karena kesehatan yang buruk daripada pekerja yang tidak mengalami depresi (Lumongga, 2009). e. Gangguan Pola Makan Depresi dapat menyebabkan gangguan pola makan dan gangguan pola makan dapat menyebabkan depresi, pada orang yang menderita depresi terdapat dua kecenderungan umum mengenai pola makan yang secara nyata mempengaruhi berat tubuh badan yaitu, tidak selera makan dan keinginan makan-makanan yang manis bertambah. Beberapa gangguan pola makan yang diakibatkan oleh depresi adalah bulimia nervosa, anoreksia nervosa dan obesitas (Kusumawardhani, 2006). f. Perilaku-perilaku Merusak Beberapa perilaku yang merusak yang disebabkan oleh depresi menurut Lumongga (2009) adalah : 1) Agresivitas dan kekerasan Pada individu yang terkena depresi perilaku yang ditimbulkan bukan hanya berbentuk kesedihan, namun bisa juga dalam bentuk mudah tersinggung dan agresif. Perilaku agresif lebih cenderung ditunjukan oleh individu pria yang mengalami depresi. Hal ini karena pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi perilaku, testosterone mempengaruhi perilaku pria. Perilaku menjadi berbahaya dan dapat berakibat melukai orang yang
12 dicintai, dan juga diri sendiri. Pada kasus yang ekstrem, agresi yang meningkat dapat menyebabkan tindak pembunuhan. Namun walaupun lebih banyak agresivitas oleh pria, wanita yang serius, misalnya merusak barang-barang bahkan melukai dan membunuh anaknya sendiri. 2) Penggunaan Alkohol dan Obatobatan Terlarang Telah diketahui bahwa penggunaan alkohol dan obatobatan terlarang pada remaja selain karena pengaruh teman kelompok, motivasi dari diri individu untuk menggunakan alkohol dan obatobatan terlarang dapat disebakan oleh keadaan depresi sebagai cara untuk mencari pelepasan semetara keadaan yang tidak menyenangkan. 3) Perilaku Merokok Penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara emosi negatif yang ditimbulkan oleh depresi dengan frekuensi merokok. Seseorang yang mengalami depresi merokok lebih banyak dari biasanya. Telah diketahui bahwa beberapa zat kimia dari rokok dapat meredakan stress untuk sementara sehingga merokok bagi beberapa orang dianggap dapat menanggulangi stress B. Kekerasan 1. Definisi Kekerasan Menurut Harkrisnowo (dalam Martha, 2003) kekerasan adalah bentuk perilaku yang menimbulkan penderitaan fisik maupun psikologis pada korban. 2. Jenis-jenis Kekerasan Menurut Santoso (2002) ada empat jenis kekerasan yang dapat diindentifikasi: a. Kekerasan terbuka yaitu, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. b. Kekerasan tertutup yaitu, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam. c. Kekerasan agresif yaitu, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu. d. Kekerasan defensif yaitu, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan
agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup. 3. Dimensi Kekerasan Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992) menguraikan ada enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu: a. Kekerasan fisik dan psikologis Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak. b. Pengaruh positif dan negatif Sistem orientasi imbalan. Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah, tetapi juga dengan memberi imbalan. c.
Ada objek atau tidak Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.
d. Ada subjek atau tidak Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. e. Disengaja atau tidak Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
13 f.
Yang tampak dan tersembunyi Kekerasan yang tampak, nyata, baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah.
C. Dampak Kekerasan Pada Anak Jalanan Menurut Komnas Perempuan (2002) beberapa dampak emosi yang muncul pada anak yang mengalami tindak kekerasan, yaitu: a. Ketakutan 1) Kepada si penganiaya dan waktu serta tempat tertentu. 2) Akan kehilangan kasih sayang orang dewasa yang berarti penting bagi mereka. 3) Akan adanya kemungkinan ia terpaksa keluar dan harus meninggalkan rumah. 4) Akan diketahui orang lain rahasianya yang dirasakan ”janggal”. b.
c.
Kemarahan 1) Kepada si penganiaya dan orang dewasa lain yang dipercayai dan seharusnya mampu memberikan perlindungan, bahkan ia pun marah pada dirinya sendiri karena tak mampu menghindar dan menolak. 2) Akan terjadinya tindak kekerasan yang terjadi pada dirinya. 3) Akan tercerai-berainya keutuhan keluarga ketika tindak kekerasan terungkap. Sedih 1) Kepada dirinya karena tidak mampu menggungkapkan ketidak nyamanan yang dialaminya kepada orang lain. 2) Akan hilangnya kepercayaan kepada seseorang yang sepatutnya dapat melindungi tetapi justru menekannya. 3) Akan hilangnya ”sesuatu” dari dirinya dan merasa terisolasi dari lingkungan sosialnya.
d.
Bersalah 1) Kepada dirinya sendiri karena tidak berhasil untuk menghentikan penganiayaan. 2) Terus-menerus telah merahasiakan penganiayaan karena tak mampu menggungkapkan atau lebih merasa tertekan bila telah mengutarakan. 3) Telah terpaksa menceritakan kapada orang lain sesuatu yang menjadi ”aib” dirinya padahal pelaku penganiayaan adalah mungkin juga orang yang dekat dalam kehidupannya.
e.
Malu 1) Kepada dirinya dan terhadap lingkungan sosial anak. 2) Akan terjadinya penganiayaan terhadap dirinya. 3) Akan kenyataan bahwa dirinya ”terlibat” dalam masalah ini. 4) Akan perasaan yang mendua dan mudah berubah terhadap penganiaya.
f.
Bingung 1) Kepada dirinya sendiri, apakah perlu menceritakan penganiayaan ini terhadap orang lain. 2) Akan kemungkinan orang lain tidak percaya ceritanya. 3) Akan perasaannya yang sering berubah-ubah terhadap pelaku penganiayaan karena anak memiliki keterlibatan emosional (tali kasih) terhadap pelaku, disatu pihak si penganiaya adalah orang dewasa yang disayanginya dilain pihak benci pada penganiaya karena telah merusak kepercayaannya.
14 C. Anak Jalanan 1. Pengertian Anak Jalanan Menurut Peserta Lokakarya Nasional Anak Jalanan (dalam Departemen Sosial RI, 2006a) anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mancari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Menurut Irwanto dan Anwar (1999) mereka yang biasanya disebut sebagai anak jalanan ”sejati” adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja dan bersosialisasi dengan orang lain. 2. Ciri-ciri Anak Jalanan Menurut Departemen Sosial RI (2006b) ciri anak jalanan terbagi dalam dua katagori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan mempunyai warna kulit kusam, rambut kemerahmerahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang tinggi, tidak berfikir panjang (berani menanggung resiko), dan mandiri. 3. Kategori Anak Jalanan Menurut Anwar (dalam Prasadja & Agustian, 2000) ada dua kategori anak jalanan yakni: a. Anak yang hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, namun hanya sedikit waktu yang mereka pergunakan untuk bekerja. b. Anak yang bekerja di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya dipergunakan untuk membantu keluarga. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi anak jalanan Menurut Irwanto dan Anwar (1999) ada empat faktor yang mempengaruhi anak jalanan, yakni: a. Faktor sosio-ekonomi makro. Fenomena anak jalanan merupakan kenyataan yang bersifat kompleks. Kegagalan kebijakan ekonomi makro dalam menempatkan kebutuhan keluarga dan anak-anak sebagai prioritas. Dan secara umum tidak memperhitungkan mengenai keluarga dan anak-anak
sebagai subjek pembangunan nasional. Keluarga miskin seringkali tidak tahu kemana mereka harus mencari bantuan ketika mereka menghadapi kesulitan keuangan. Mereka yang telah kehilangan pekerjaan atau tanahnya, seringkali terdesak oleh keadaan mereka untuk melakukan apa saja di sektor informal agar dapat bertahan hidup. b. Kejadian traumatik. Analisis sejarah anak jalanan juga mengungkapkan bahwa sejumlah anak berasal dari keluarga yang mengalami trauma akibat bencana alam (kemarau panjang, banjir, dan gempa bumi) atau akibat kerusakan yang disebabkan manusia. Kotakota besar di Jawa, Bali, dan Sumatera telah mengalami perubahan besar yang memaksa keluarga-keluarga miskin (termasuk anak-anak) yang berada di daerah kumuh, harus dipindahkan. c. Sektor ekonomi informal di daerah perkotaan. Sektor informal di kota seakan merupakan magnet kuat yang menarik anak-anak, khususnya mereka yang miskin dan terabaikan, untuk membantu keluarga mencari nafkah. Keterlibatan dalam aktivitas ekonomi guna membantu keluarga, telah menempatkan anak-anak tersebut dalam resiko bahwa mereka dipaksa untuk mempertahankan jumlah pendapatannya dan akhirnya meninggalkan sekolah. d. Keberadaan subkultur jalanan. Bagi anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua atau melarikan diri dari keluarga, komunitas jalanan menyediakan subkultur alternatif bagi mereka. Dalam subkultur ini, seorang anak dapat menjadi ”tuan” atas dirinya sendiri. Mereka mempunyai kelompok kecil tersendiri yang tidak terlalu terikat, dengan budaya yang memadukan kebebasan dan kesetiaan (terhadap pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya). 5. Masalah Anak Jalanan Menurut Moeliono dan Dananto (2004) masalah yang dihadapi oleh
15 anak jalanan berdasarkan dengan siapa anak jalanan berhubungan. Ada lima sumber yakni: a. Anak jalanan dengan anak jalanan. Kesan yang dimunculkan oleh anak jalanan high risk sebagai sosok yang bebas, tidak dikontrol orang tua, tidak wajib setor uang, bebas jajan, merokok, bergaya hidup santai sering menjadi daya tarik sendiri bagi anak jalanan Vulnerable untuk mengikuti jejak anak jalanan high risk. Kekerasan antar anak jalanan juga sering terjadi dalam berbagai bentuk: perkelahian, penggunaan senjata tajam, pengeroyokan, pengompasan atau pemerasan, intimidasi psikis dan bahkan seksual. Akibat kekerasan terwujud dalam trauma psikis dan lingkaran setan kekerasan. b. Anak jalanan dengan orang tua. Kemiskinan sering dituding sebagai biang keterlibatan anak dalam ekonomi keluarga. Dengan dalih kemiskinan anak diperlakukan secara salah dengan dipaksa bekerja untuk membantu ekonomi orang tua. c. Anak jalanan dengan masyarakat. Masyarakat cenderung memberi stigma buruk pada anak jalanan. Anak jalanan dianggap sebagai pengganggu kenyamanan lingkungan, pelaku kriminalitas dan kekerasan. d. Anak jalanan dengan LSM pendamping anak jalanan. Terkadang terjadi persaingan antar LSM, sehingga untuk menarik perhatian anak, LSM memberikan iming-iming, janji-janji atau bingkisan dan uang saku. Anak jalanan tiba-tiba merasa jadi idola yang diperebutkan, bahkan menuduh LSM ”menjual kemiskinan anak jalanan”. e. Anak jalanan dengan negara. Negara berkewajiban menjamin hak asasi anak. Tiga persoalan besar yang dialami anak jalanan adalah masalah indentitas dan akte kelahiran, terbatasnya akses anak pada berbagai fasilitas pelayanan umum, serta diskriminasi dan kekerasan aparat pemerintah (negara) terhadap anak jalanan.
D. Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang Mengalami Kekerasan Departemen Sosial RI (2005b) kecenderungan semakin meningkatnya
jumlah anak jalanan merupakan fenomena yang perlu segera ditingkatkan penanganannya secara lebih baik, sebab jika permasalahan tidak segera ditangani maka dikhawatirkan menimbulkan permasalahan sosial baru. Sebagaimana diketahui situasi dan kondisi jalanan sangat keras dan membahayakan bagi kehidupan anakanak, seperti, ancaman kecelakaan, eksploitasi, penyakit, kekerasan, perdagangan anak, dan pelecehan seksual. Pandangan yang lebih dominan menempatkan anak jalanan pada sisi pelaku tindak kekerasan, dan pelaku pelanggaran ketertiban dan keamanan seringkali mengesampingkan kepentingan terbaik bagi si anak itu sendiri. Padahal, proses anak ke jalanan merupakan proses panjang beserta berbagai peristiwa pahit yang harus mereka alami. Tak jarang anak berada di jalanan karena berbagai keterpaksaan yang tak dapat mereka hindarkan. Jika hal ini yang mengemuka, jelas anak jalanan merupakan korban dari berbagai peristiwa yang dialami si anak, keluarga, masyarakat maupun Negara (Prasadja & Agustian, 2000). Anak jalanan memang tidak jauh dari kekerasan baik dari lingkungan fisik maupun dari orang-orang di sekitarnya. Jalanan yang banyak diisi lalu lalang kendaraan pribadi maupun kendaraan umum memungkinkan anak terserempet, tertabrak atau jatuh dari kendaraan. Resiko anak jalanan laki-laki terserempet kendaraan relatif lebih besar dibanding anak jalanan perempuan. Di kalangan anak jalanan laki-laki resiko tersebut sekitar 25 %. Dengan kata lain, satu dari 4 anak jalanan laki-laki dan satu dari 5 anak perempuan pernah terserempet kendaraan (Prasadja & Agustian, 2000). Menurut Departemen Sosial RI (2004a) persoalan dasar yang dialami oleh anak-anak ini adalah terjadinya kekerasan fisik. Anak seringkali mendapat tindak kekerasan fisik berupa pukulan dari orang tuanya, atau psikologis berupa amarah, makian dari orang tuanya dengan
16 alasan untuk mendidik anak Menipu, menyekap, menganiaya, dan kemudian memperdagangkan anak-anak perempuan untuk kepentingan eksploitasi seksual komersial sesungguhnya adalah bentuk tindak kejahatan kemanusiaan yang paling keji dan sangat melukai perasaan (Suyanto, 2004). Menurut Komisi Nasional Perempuan (2002) dampak kekerasan pada anak terhadap berbagai aspek kehidupan anak sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, baik yang berdampak langsung pada kecacatan fisik dan yang terberat yaitu depresi akibat tekanan. Depresi adalah perasaan sangat sedih, bisa disertai baru kehilangan atau peristiwa sedih lainnya namun kadarnya melebihi peristiwa tersebut dan berlangsung melebihi jangka waktu yang semestinya, kesedihan dan ketidakgembiraan adalah emosi manusia yang umum, terutama sekali reaksi terhadap keadaan bermasalah. Untuk anak, beberapa situasi bisa termasuk kematian orangtua, perceraian, seorang teman pindah rumah, kesulitan menyesuaikan diri di sekolah, dan kesulitan berteman (McKenzie, 1999). Menurut Komisi Nasional Perempuan (2002) ketakutan kepada si penganiaya dan waktu serta tempat tertentu, akan kehilangan kasih sayang orang dewasa yang berarti penting bagi mereka, akan adanya kemungkinan ia terpaksa keluar dan harus meninggalkan rumah, akan diketahui orang lain rahasianya yang dirasakan ”janggal”, kemarahan kepada si penganiaya dan orang dewasa lain yang dipercayai dan seharusnya mampu memberikan perlindungan, bahkan ia pun marah pada dirinya sendiri karena tak mampu menghindar dan menolak, akan terjadinya tindak kekerasan yang terjadi pada dirinya, akan tercerai-berainya keutuhan keluarga ketika tindak kekerasan terungkap, sedih kepada dirinya karena tidak mampu menggungkapkan ketidak nyamanan yang dialaminya kepada orang lain, akan hilangnya kepercayaan kepada seseorang yang sepatutnya dapat melindungi tetapi justru menekannya, akan hilangnya ”sesuatu” dari dirinya dan merasa terisolasi dari lingkungan sosialnya, bersalah kepada dirinya sendiri karena tidak berhasil untuk menghentikan penganiayaan, terus-menerus telah merahasiakan penganiayaan karena tak mampu menggungkapkan atau lebih merasa tertekan bila telah mengutarakan, telah terpaksa menceritakan kapada orang lain sesuatu yang menjadi ”aib” dirinya padahal
pelaku penganiayaan adalah mungkin juga orang yang dekat dalam kehidupannya, malu kepada dirinya dan terhadap lingkungan sosial anak, akan terjadinya penganiayaan terhadap dirinya, akan kenyataan bahwa dirinya ”terlibat” dalam masalah ini, akan perasaan yang mendua dan mudah berubah terhadap penganiaya, bingung kepada dirinya sendiri, apakah perlu menceritakan penganiayaan ini terhadap orang lain, akan kemungkinan orang lain tidak percaya ceritanya, akan perasaannya yang sering berubah-ubah terhadap pelaku penganiayaan karena anak memiliki keterlibatan emosional (tali kasih) terhadap pelaku, disatu pihak si penganiaya adalah orang dewasa yang disayanginya dilain pihak benci pada penganiaya karena telah merusak kepercayaannya. Gejala-gejala depresi pada anak berhubungan dengan perasaan sedih berlebihan, perasaan sangat tidak berharga, dan perasaan bersalah. Anak tersebut kehilangan minat pada aktifitas yang secara normal memberikan kesenangan, seperti bermain sambil berolah raga, menonton televisi, memainkan video games, atau bermain dengan temanteman, anak yang depresi seringkali tidak energik atau aktif secara fisik. Meskipun begitu, terutama sekali pada anak yang lebih kecil, depresi kadangkala disembunyikan oleh gejala bertentangan nampaknya, seperti overaktif dan agresif, perilaku anti sosial. (McKenzie, 1999).
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan. Subjek penelitian adalah anak jalanan laki-laki yang pernah mengalami kekerasan dan menunjukkan gejala depresi. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur tetapi fleksibel.
17 BAB IV HASIL OBSERVASI
subjek sering pulang malam dan jarang bertemu dengan subjek.
Subjek
Subjek mengamen tidak dipaksa oleh kedua orang tuanya melainkan pamannya yang menyuruh subjek mengamen dikarenakan waktu itu subjek sulit mencari kerja dan subjek ingin mandiri. Hubungan keluarga dengan tetangga cukup baik, keluarga sering bermain dan bergaul dengan tetangga, sebaliknya tetangga sering memberikan makanan pada keluarga subjek. Keluarga subjek punya saudara yang tinggal di Jakarta tapi tidak pernah mengunjungi keluarga subjek dikarenakan kurang bersahabat dengan keluarga subjek.
Pertemuan antara peneliti dengan Subjek pertama kali terjadi pada bulan Juni 2010, Pertemuan peneliti dengan subjek dikarenakan teman peneliti yang mempertemukan peneliti dengan subjek di Mall Kalibata. Pada saat itu juga peneliti meminta subjek untuk meminta kesediaannya diwawancarai pada saat dibutuhkan, dan subjek pun bersedia diwawancarai. Pada waktu wawancara petama peneliti dan subjek berjanji bertemu di terminal pulo gadung pada pukul sembilan pagi. Setelah bertemu subjek mengajak peneliti ke warung kopi dan wawancara pertama dilakukan diwarung kopi. Sebelum wawancara dimulai peneliti mengajak subjek berbincang-bincang untuk lebih saling kenal dan akrab dan akhirnya peneliti memutuskan untuk memulai wawancara pada pukul sepuluh pagi. Pengamatan pada fisik subjek saat di wawancara, rambut pendek keriting dan kering. Wajah subjek terdapat bekas luka disamping mata kirinya dan kaki kiri subjek terdapat bekas luka yang didapat dari kekerasan fisik yang dialami subjek di daerah UKI saat subjek sedang ingin pulang. Subjek mengenakan kaos abu-abu polos yang sedikit kusam kecil di kaos bagian atas pundak. Sedangkan untuk bawahan, subjek menggunakan celana levis panjang berwarna biru, kantong celana belakang subjek sudah robek dan bagian bawah celana subjek sudah rusak. Subjek membawa gitar kecil sebagai alat pengiring lagu saat mengamen dan di dalamnya terdapat uang receh hasil subjek mengamen dipagi hari. Subjek tinggal dengan ayah, ibu, dan kedua orang adiknya. Ayah subjek bekerja sebagai supir bajaj, dan ibu subjek bekerja sebagai ibu rumah tangga dan menjaga warung. Pendidikan terakhir subjek sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hubungan subjek dengan keluarganya setelah mengalami kekerasan tidak cukup baik dikarenakan subjek merasa kesal dengan keluarganya yang tidak mau menuruti permintaan subjek. Tetapi pada sekarang ini sudah membaik dan hubungan subjek dengan saudara-saudara yang lain sekarang cukup baik terutama dengan ibunya yang sering subjek ajak berkomunikas dan sering membantu pekerjaan ibunya seperti menjaga warung komunikasi dengan ayahnya kurang baik dikarenakan intensitas subjek bertemu dengan ayahnya kurang terjadi, ayah
Hubungan subjek dengan temanteman dirumah cukup baik walaupun saat setelah subjek mengalami kekeraan fisik hubungannya dengan temen-teman kurang harmonis dikarenakan subjek malu bertemu dengan teman-temannya. Subjek sejak lahir sudah tinggal di Jakarta. C. Pembahasan 1. Gejala Depresi Pada Anak Jalanan yang Mengalami kekerasan Subjek mengalami sulit tidur, Subjek waktu mengamennya berkurang dan selalu pulang cepat. Subjek sering dirumah dan hanya main gitar nonton televisi, makan, tidur, dan nongkrong dipinggir jalan, dan subjek melakukannya sendiri, tidak mau bergaul, sering bengong, sering menyendiri didalam kamar. Subjek sudah tidak mengamen lagi di UKI dikarenakan trauma, dan takut tapi karena ada temannya yang mengajak subjek untuk mengamen subjek pun mencoba mengamen lagi di terminal pulogadung.. Subjek stres jika memikirkan kekerasan yang dialaminya dan itu membuat subjek tambah sakit. Subjek tidak mengamen lagi dikarenakan masih membayangkan akan terjadi lagi kekerasan yang dialami subjek. Subjek sering marah-marah jika disuruh-suruh oleh SO, subjek juga sering terlihat sedih dan murung, bila subjek mengamen subjek sering curiga dengan preman-preman yang ada disekitarnya dan subjek sering memutuskan pulang. Hal Kekerasan yang dialami subjek membuat subjek tidak berguna bagi dirinya sendiri
18 dan membuat orang tua subjek sedih, subjek meminta maaf kepada keluarga. Subjek merasa gagal karena tidak bisa membela dirinya sendiri dan menjadi beban bagi keluarganya, subjek juga menyalahkan orang tuanya karena orang tua subjek orang tua yang kurang mampu dalam ekonomi sehingga subjek harus menjadi pengamen di jalanan. Subjek mengamen lagi karena ajakan om nya yang juga preman di terminal pulogadung. Setelah pulang dari rumah sakit komunikasi subjek dengan keluarga sangat jarang, dengan teman-teman subjek juga jarang dikarenakan subjek malu dengan kejadian kekerasan yang dialaminya diketahui oleh teman-temannya. 2. Apa Saja Penyebab Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang Mengalami Kekerasan Penyebab depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan sangat beragam mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan verbalemosional. a. Kekerasan fisik Menurut subjek kekerasan fisik yang sering subjek alami adalah dipukul, ditendangi hingga mukanya luka-luka oleh tiga orang preman hingga jatuh pingsan. Hal ini sesuai dengan penelitian Komisi Nasional Perempuan (2002) kekerasan fisik merupakan tindakan yang mengakibatkan luka fisik pada anak. Biasanya dijadikan sebagai suatu alasan pelepasan tindakan dalam mendisiplinkan anak. Bentuk luka fisik yang tampak seperti: sembab, lebam, terbakar, patah tulang, teriris, luka gigitan, bahkan bisa saja terjadi luka dalam. Menurut Baron dan Byrne (2000) kekerasan secara fisik berupa serangan yang dialami seorang anak sehingga membuatnya terluka secara fisik. b. Kekerasan seksual Menurut subjek kekerasan seksual subjek alami saat masih mengamen di UKI dan pelakunya preman-preman di UKI, bagi subjek kekerasan seksual yang dialami subjek merupakan hal yang menjijikan, tapi menurut subjek itu merupakan resiko kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Komisi Nasional Perempuan (2000) Ekploitasi seksual terhadap anak-anak oleh seseorang yang lebih kuat darinya baik secara fisik maupun otoritas psikologik, biasanya terjadi pada anak yang lebih tua atau
orang dewasa yang memaksakan kehendaknya untuk melakukan kontak seksual. Tindakan kekerasan seksual ini seperti mencabuli anak dengan penyentuhan pada alat kelamin anak, tindakan masturbasi, seks oral, bahkan penetrasi baik dengan tangan ataupun penis serta objek lain ke vagina atau anus anak. Menurut Baron dan Byrne (2000) kekerasan seksual berupa fondling intercourse dan berbagai macam bentuk kedekatan dalam menjalin hubungan yang didasari oleh adanya suatu dorongan seksual. c. Pengabaian secara fisik Menurut subjek pertama kali subjek mengamen dijalan disuruh om nya dikarenakan susah mencari pekerjaan. Hal ini sesuai dengan penelitan Baron dan Byrne (2000) berupa kondisi kehidupan seorang anak yang tidak cukup memperoleh makanan, pakaian, perhatian, secara medis dan berbagai perawatan yang dibutuhkan. d. Kekerasan secara psikologis Menurut subjek sering mengalami kekerasan secara psikologis berupa ancaman, ditampar, ditempeleng, diludahin dikarenakan subjek tidak sengaja mengambil lahan pengamen lain, dan subjek hanya diam karena itu juga salah subjek, walaupun terkadang subjek merasa kesal dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Baron dan Byrne (2000) Berupa suatu tindakan yang dapat merusak emosi seorang anak sebagai contoh: merasa ditolak dan mendapat kekerasan secara verbal.
BAB V A. Kesimpulan 1. Gejala depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan dapat dilihat dari gejala-gejala yang dapat menyebabkan subjek menjadi depresi diantaranya gejala fisik, gejala psikis, gejala sosial.
19 a. Gejala fisik Gejala fisik terdiri gangguan pola tidur, menurunnya efisiensi kerja, menurunnya tingkat aktivitas, menurunnya produktivitas kerja, merasa mudah letih dan sakit. 1) Gangguan pola tidur, setelah pulang dari rumah sakit subjek sulit tidur karena teringat terus kejadian kekerasan yang dilakukan premanpreman di daerah UKI, biasanya subjek tertidur setelah shubuh dan bangun pada siang hari hal ini terjadi selama dua minggu dan kegiatan yang dilakukan subjek menjelang tidur main gitar dan menonton televisi.
sering curiga dengan premanpreman yang ada disekitarnya dan subjek sering memutuskan pulang dikarenakan takut uang hasil mengamennya dirampas preman. Subjek merasa sedih setelah mengalami kekerasan di daerah UKI dan subjek tidak bisa menahan kesedihannya bila ada orang yang membicarakan kekerasan yang dialami subjek pada saat subjek ada. 3) Merasa diri tidak berguna, kekerasan yang dialami subjek membuat subjek tidak berguna bagi dirinya sendiri dan membuat orang tua subjek sedih.
2) Menurunnya efesiensi kerja, waktu mengamennya berkurang dan selalu pulang cepat dikarenakan subjek takut bertemu dengan preman-preman yang memukuli subjek. Dan subjek mengamen paling lama hanya lima jam.
4) Perasaan bersalah, subjek merasa gagal karena tidak bias membela dirinya sendiri dan menjadi beban bagi keluarganya. Subjek juga menyalahkan orang tuanya karena orang tua subjek orang tua yang kurang mampu dalam ekonomi sehingga subjek harus menjadi pengamen di jalanan untuk membantu kedua orang tuanya.
3) Menurunnya tingkat aktivitas, subjek sering dirumah dan hanya main gitar nonton televisi, makan, tidur, dan nongkrong dipinggir jalan. Dan subjek melakukannya sendiri. 4) Menurunnya produktivitas kerja, sejak terjadinya kekerasan pada subjek di daerah UKI, subjek sudah tidak mengamen lagi dikarenakan trauma, dan takut tapi karena ada temannya yang mengajak subjek untuk mengamen subjek pun mencoba mengamen lagi. 5) Merasa mudah letih dan sakit, subjek stres jika memikirkan kekerasan yang dialaminya dan itu membuat subjek tambah sakit. b. Gejala psikis Gejala psikis diantaranya adalah, kehilangan rasa percaya diri, sensitif, merasa diri tidak berguna, perasaan bersalah, perasaan terbebani. 1) Kehilangan rasa percaya diri, subjek tidak mengamen lagi dikarenakan masih membayangkan akan terjadi lagi kekerasan yang dialami subjek. 2) Sensitif, subjek suka marah-marah tidak jelas, mudah tersinggung, mudah ngomong kata-kata kasar. Dan bila subjek mengamen subjek
5) Perasaan terbebani, perasaan subjek terhadap kejadian kekerasan di daerah UKI bermacam-macam takut, sedih, marah, putus asa, dan subjek ingin membunuh preman-preman yang memukulinya. c.
Gejala Sosial, setelah pulang dari rumah sakit komunikasi subjek dengan keluarga sangat jarang dan lebih banyak menyendiri, dengan teman-teman subjek juga jarang dikarenakan subjek malu dengan kejadian kekerasan yang dialaminya diketahui oleh temantemannya.
2. Penyebab depresi pada anak jalanan yang mengalami kekerasan Dapat dilihat dari jenis-jenis tindak kekerasan yang dialami anak jalanan ditemukan hasil sebagai berikut: kekerasan secara fisik, kekerasan seksual, pengabaian secara fisik, kekerasan
20 secara psikologis. Kekerasan secara fisik, dialami subjek di daerah UKI, subjek dipukuli dan ditendangi oleh tiga orang preman hingga jatuh pingsan kekerasan tersebut terjadi pada malam hari pukul 12an sewaktu subjek ingin pulang, subjek berusaha bertahan untuk melindungi uangnya yang akan diambil oleh preman. Subjek sangat kesal sekali dan ingin balas dendam tapi subjek takut karena tidak ada yang membantu subjek. Kekerasan seksual yang subjek alami saat masih mengamen di daerah UKI dan yang melakukan kekerasan seksual kepada subjek yaitu preman-preman di daerah UKI, subjek juga melakukan perlawanan dengan mengacungkan jari tengahnya pada pelaku pelecehan seksual. Bagi subjek kekerasan seksual yang dialami subjek seperti dipegang alat vitalnya. Pengabaian secara fisik pertama kali subjek mengamen dijalan disuruh om nya dikarmerasa jijik terhadap perbuatan itu, tapi menurut subjek itu merupakan resiko kerja dijalaenakan susah mencari pekerjaan dan subjek diberikan gitar kecil untuk mengamen oleh om subjek. Kekerasan secara psikologis, subjek sering mengalami kekerasan secara psikologis berupa ancaman, ditampar, ditempeleng, diludahin dikarenakan subjek tidak sengaja mengambil lahan pengamen lain, dan subjek hanya diam karena itu juga salah subjek, walaupun terkadang subjek merasa kesal dengan perlakuan kasar yang diterimanya.
B. Saran 1. Untuk anak jalanan Kepada anak jalanan yang melakukan aktivitas bekerja (mengamen) dijalanan, diharapkan berhati-hati dan menghindari tempat terjadinya kejadian kekerasan yang dialami subjek untuk menghilangkan trauma pada subjek dan tempat-tempat yang rawan akan terjadinya kejahatan dan menjauhi pelaku-pelaku kejahatan seperti preman. Serta berhati-hati dalam mengamen di mobil angkot, bus-bus sedang dan besar, diharapkan juga lebih sering untuk berkunjung kerumah singgah dimana subjek diharapkan akan mendapatkan banyak pengetahuan, pengalaman, dan teman. 2. Untuk orang tua dari anak jalanan Kepada orang tua untuk lebih memperhatikan anak yang bekerja dijalanan dan apa saja yang mereka lakukan di jalanan, dan menjadi orang tua yang aktif dalam memperhatikan tingkah laku anak jalanan
setelah mereka pulang ke rumah dari bekerja di jalanan. Serta membawa anak pada orang yang ahli untuk menghilangkan trauma pada anak yang mengalami depresi akibat kekerasan seperti psikolog. 3. Untuk Pemerintah dan LSM Pelayanan kepada anak jalanan sudah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun LSM, dan juga pemerintah sebaiknya melindungi anak-anak yang bekerja dijalanan untuk menghindari kekerasan yang akan mereka alami. 4. Untuk peneliti selanjutnya Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari hasil yang memuaskan, untuk itu bagi peneliti yang akan mengadakan penelitian dengan topik yang sama, disarankan hendaknya meneliti dari sisi keluarga anak jalanan dan pelaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA Arief, A. (2009). Anak jalanan sekolah. http://anjal.blogdrive.com (diakses pada bulan April tahun 2010). Angold, A. (1998). Puberty and depression : The roles of age, pubertal status and pubertal timing. New York : W. H. Freeman. Atkinson, R. L. (1991). Pengantar psikologi (alih bahasa : Nurjanah). Jakarta : Penerbit Erlangga. Baihaqi, M. (1998). Anak Indonesia teraniaya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Bandura, A. (1997). Self-efficacy : The exercise of control. New York : W. H. Freeman. Barne, P. H., & Savary, L. M. (1994). Membangun harga diri anak. Yogyakarta : Kanisius. Baron, R. A. & Byrne, D. (2000). Social psychology. United State America : Allyn and Bacon Company. Basuki, A. M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma.
21 Beck, A. T. (1987). Depression : Causes and treatment. Philadelphia : University of Pensylvania Press. Brees, K. K. (2008) The everything health guide to depression. Avon : Adams Media. Cox, H. R. (2002). Sport psychology : Concepts th and applications (5 ed.). New York : McGraw Hill. Departement Sosial RI. (1999). Pedoman penyelenggaraan pembinaan anak jalanan melalui rumah singgah. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesejagteraan Sosial. Departemen Sosial RI. (2004a). Pedoman penanganan anak jalanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Departeman Sosial RI. (2004b). Kebijakan penanganan anak jalanan terpadu. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Departemen Sosial RI. (2005a). Petunjuk pelaksanaan anak jalanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Departemen Sosial RI (2005b). Petunjuk teknis pelayanan sosial anak jalanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
100
Departeman Sosial RI. (2006a). Modul pelayanan sosial anak jalanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
Departemen Sosial RI. (2006b). Pedoman penanganan anak jalanan korban eksploitasi ekonomi. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Desjarlais, R. (1995). World mental health : Problem and priorities in low-income countries. New York : Oxford University Press. Ebrahim, S., (1987). Affective illness after stroke. The British Journal of Psychiatry 151: 5256. Hendranata, L. (2004). Melepaskan diri dari kanker dengan menyehatkan aura. Jakarta : Nirmala.
Innasswasti. (2004). Catatan kecil berkawan dengan anak jalanan perempuan. http://www.humana.20m.com (diakses pada bulan Januari tahun 2006). Irwanto & Anwar, J. (1999). Anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Indonesia. Jakarta : Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Kasuda, M. K. (1996). Hidup tenteram dan bahagia tanpa stres. Medan : CV Garda. Kendler, S. K. (1992). The prediction of major depression in women : Toward an integrated etiologic model. New York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta kekerasan pengalaman perempuan Indonesia. Jakarta : Ameepro. Kusumawardhani, A. A. (2006). Depresi perimenopause. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lumongga, L. N. (2009). Depresi tinjauan psikologis. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. Martha,
A. E. (2003). Perempuan : Kekerasan dan hukum. Yogyakarta : Universitas Indonesia Press.
Masrukhi, M. (2003). Anak jalanan. http://www.penulislepas.com (diakses pada bulan Januari tahun 2006). McKenzie, K. (1999). Understanding depression. London : Family Doctor Publications Ltd. Messwati, D. E. (2008). Anak jalanan tetap “ogah” kesekolah. http://www.gpansor.org (diakses pada bulan Agustus tahun 2009). Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1992). Analisis data kualitatif (Alih Bahasa oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : Universitas Indonesia Press.
22 Moeliono, L. & Dananto, A. (2004). Pendampingan anak jalanan menurut para pendamping anak jalanan. Jakarta : Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, D. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Pease, A., & Pease, B. (2001). Why men don’t listen and women can’t read map. Great Britain : Orion Publishing Group. Petri, H. L. (2004). Motivation : Theory, research th and applications (5 ed.). Belmont, CA : Wads-worth/Thompson. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekaran kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Prasadja, H. & Agustian, M. (2000). Anak jalanan dan kekerasan. Jakarta : Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Priest, R. (1994). Bagaimana cara mencegah dan mengatasi stress dan depresi. Semarang : Dahara Prize. Pujiastuti, E. (2001). Hubungan antara kepuasan pernikahan dengan depresi pada kelompok wanita nikah yang bekerja dan yang tidak bekerja di perumahan taman bumyagara; Bantar gebang, Bekasi. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Retnowati, S. (1990). Efektivitas terapi kognitif dan terapi perilaku pada penanganan gangguan depresi. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Sanie, S. Y. R. & Agustian, M. (2000). Potret anak jalanan perempuan. Jakarta : Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Santoso, T. (2002). Teori-teori kekerasan. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia. Shalahudin, O. (2004). Kekerasan terhadap anak jalanan. http://www.hearthsouls.com (diakses pada bulan Januari tahun 2006). Siswanto .(2007). Kesehatan mental : Konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta : Andi Off-set. Susiladiharti. (2009). Kisah sekolah anak jalanan. http://bocahbanjar.wordpress.com (diakses pada bulan agustus tahun 2009). Suyanto, B. (2004). Perempuan dan anak Indonesia : Perdagangan dan eksploitasi seksual komersial anak perempuan. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Wibawa. (1999). Anak jalanan dan waktu luangnya (Studi Kasus Pada Anak Jalanan di Jakarta). Tesis (Tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Wilkinson, G. (1995). Depresi (terjemahan oleh meitasari Tjandrasa), Buku pintar kesehatan. Jakarta : Arcan.
Radloff, L. S., & Rae, D. S. (1979). Susceptibility and precipitating factors in depression : Sex differences and similarities. Journal of Abnormal Psychology, 88, 174-181.
Windhu, I. M. (1992). Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius.
Rathus, S. A. & Nevid, J. S. (1991). Abnormal Psychology. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Yuwono, S. (2008). Bunuh diri dan latar belakangnya. Jakarta : Arcan.