REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN (Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
GALUH ADRIANA A14204013
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
GALUH ADRIANA. REPRESENTASI SOSIAL TENTANG
KERJA PADA
ANAK JALANAN. STUDI KASUS ANAK JALANAN DI KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT. (Dibawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dengan melihat karakterstik sosial ekonomi serta perilaku kerja pada anak jalanan. Selain itu, tujuan akhir dari penelitian ini adalah menelaah hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja pada anak jalanan. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2009. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif yang ditunjang oleh pendekatan kualitatif. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik incidental sampling yaitu sebanyak 60 anak jalanan. Metode yang digunakan untuk mencari representasi sosial adalah asosiasi bebas. Pernyataan yang diperoleh dari anak jalanan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok dan disajikan dalam kuesioner dengan alat bantu kartu bargambar. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang, dan Micrsoft Office Excell 2003. Analisis kualitatif digunakan untuk menelaah hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja pada anak jalanan. Mengacu pada hasil studi Abric (1976), representasi sosial memiliki dua struktur yaitu central core dan pheriperal core. Central core dari representasi sosial yang ada pada anak jalanan adalah cari uang. Sedangkan pheriperal core dari representasi sosial adalah untuk makan, untuk kehidupan, dan cari teman. Representasi sosial yang ada pada anak jalanan terbagi menjadi tiga tipe, antara lain tipe 1: kerja di jalanan untuk membantu orangtua mencari nafkah, tipe 2: kerja di jalanan untuk menambah teman, dan tipe 3: kerja di jalanan untuk mencari pengalaman.
Pada dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, sebagian besar anak jalanan tipe I kurang memiliki pengetahuan usia kerja. Anak jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan bekerja cari uang. Penilaian terhadap kondisi kerja anak jalanan, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif. Ada perbedaan antara representasi sosial berdasarkan karakteristik sosial ekonomi yang dimiliki. Anak jalanan tipe 1 adalah anak jalanan laki-laki yang berusia dibawah 15 tahun. Sedangkan, anak jalanan yang berusia di atas 15 tahun merepresentasikan bekerja untuk mencari pengalaman. Bagi anak jalanan perempuan, semakin dewasa usianya maka semakin merepresentasikan bekerja untuk mencari teman. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan anak jalanan, semakin merepresentasikan bekerja bukan untuk mencari uang. Terakhir, kedua orangtua anak jalanan tipe II dan III bekerja, sedangkan anak jalanan tipe I hanya bapak saja yang bekerja. Mayoritas anak jalanan berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar anak jalanan sudah tidak sekolah, mereka memiliki pendidikan akhir SD dan sederajat. Sebagian besar alasan seorang anak turun ke jalan karena kurang perhatian dari keluarga dengan motivator atau orang yang mengajak bekerja di jalanan adalah teman. Pendidikan orangtua anak jalanan hanya sampai tingkat SD dan sederajat dan bekerja di sekor informal dan bersifat marjinal seperti buruh terampil, buruh kasar, pedagang pemulung, pengamen dan pengemis. Tingkat penghasilan bapak sebagai keluarga masih berada dibawah UMR Kota Bogor. Sedangkan untuk
ibu anak jalanan, sebagian besar tidak bekerja. Bagi ibu anak jalanan yang bekerja sebagian besar bekerja sebagai pengemis. Sedangkan sisanya bekerja di bidang jasa dan karyawati. Penghasilan ibu sebagai penunjang kebutuhan hidup sehari-hari yaitu kurang dari Rp.400.000, 00 per bulan. Sebagian besar anak jalanan masih memiliki orangtua. Tidak semuanya memiliki tempat tinggal bersama orangtuanya.Anak jalanan termasuk keluarga besar, mereka memiliki jumlah saudara kandung diantara 3-5 orang termasuk diri sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan kurang mendapatkan perhatian dari orangtua. Terdapat perbedaan pula antara reresentasi sosial dengan perilaku kerja anak jalanan. Anak jalanan tipe II dan III memulai aktifitasnya lebih awal dibandingkan tipe I. Anak jalanan tipe I memiliki jenis pekerjaan lebih bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat sekitar satu sampai dua jam. Sedangkan anak jalanan tipe II memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat kurang dari sama dengan empat jam. Anak jalanan tipe III memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja kurang dari lima jam dengan waktu istirahat lebih dari tujuh jam. Penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk program penangan masalah anak jalanan dengan melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN (Kasus Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh:
GALUH ADRIANA A14204013
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi oleh: Nama Mahasiswa
: Galuh Adriana
Nomor Pokok
: A14204013
Judul
: Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan (Studi kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA NIP. 19591114 198811 2001
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 19571222 198203 1 002
Tanggal Pengesahan :
ii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL TENTANG
KERJA PADA ANAK JALANAN
(KASUS ANAK JALANAN DI KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN.
SEMUA
SUMBER
DATA
DAN
INFORMASI
YANG
DIGUNAKAN DALAM TULISAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2009
Galuh Adriana A14204013
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta 1 Oktober 1986.
Penulis adalah anak
pertama dari pasangan suami isteri Muhammad Zulkifli dan Galuh Susilawati. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SDN 01 Cimanggis, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTPN 1 Bojonggede dan SMAN 9 Bogor. Penulis memiliki hobi berolah raga, terutama karate, pencak silat, renang dan atletik. Pada saat sekolah menengah pertama penulis mengikuti pertandingan atletik tingkat kecamatan di lapangan Pemda Cibinong dan pertandingan karate di Jakarta. Pada masa sekolah menengah atas penulis aktif di kegiatan ekstrakulikuler pencak silat, bahkan sampai mengikuti perlombaan PORSENIDA tingkat II wilayah Jawa Barat. Penulis turun sebagai atlit seni untuk tunggal putri dan ganda putri. Setelah lulus dari SMAN 9 Bogor penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK.
Penulis mengambil jurusan
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Pertanian. Pada pertangahan kuliah penulis menikah dengan Saripudin teman satu angkatan. Hingga kini penulis telah memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Ananda Arie Sulaiman Putra Saripudin yang telah berumur tiga tahun.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi dengan judul Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan dengan studi kasus anak jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji kaitan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA atas segala kesediaan dan kesabaranya dalam membimbing, berbagi ide dan pemikiran pada setiap proses penyelesaian skripsi. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Djuara P. Lubis selaku penguji utama dan Ratria Viarianita selaku pembimbing akademik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh civitas akademik sebagai bahan reverensi dalam memperkaya wawasan tentang studi anak jalanan. Selain itu, semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
Bogor, Juli 2009 Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur hanya dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan, dorongan, semangat dan dukungan dari beberapa pihak baik secara langsung atau secara tidak langsung. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada: 1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA, atas kesabarannya membimbing, berdiskusi, dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 2. Kedua orang tua, Mama dan Papa, yang tiada henti memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 3. Saripudin sebagai suami yang telah memberikan motivasi dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini. 4. Ananda Arie Sulaiman Putra Saripudin sebagai anak yang kehadirannya membuat penulis lebih bersemangat untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi. 5. Galuh Adriani sebagai adik yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis ketika mengalami kesulitan. 6. Mba Vera yang telah memberikan kritikan dan masukan yang membangun bagi penulis. 7. Mba Rahma, Mba Hana di Dokis, dan Bu Neni (Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial) yang telah membantu dalam mencari literatur-literatur yang dibutuhkan penulis. 8. Umi dan Bapak sebagai mertua yang telah membantu memberikan dorongan dan do’a agar penulis segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Yunda dan Tina sebagai teman satu perjuangan yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, terutama pada saat kesulitan dalam menemukan literatur.
vi
10. Mba Maria dan Mba Nisa selaku staf administrasi yang telah membantu dalam urusan akademik. 11. Seluruh staf di Stasiun Kota Bogor dan Terminal Baranangsiang atas kesediannya memberikan informasi mengenai gambarean umum lokasi. 12. Jusep, Titin, Yana, Rakhel dan semua teman-teman anak jalanan di Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang, terima kasih atas cerita dan pengalaman yang diberikan selama penelitian. 13. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya proposal penelitian ini.
vii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI…………………………………………………………………… DAFTAR TABEL….…………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR…………...………………………………………………
Halaman viii X xii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah……………………………………………........... 1.3 Tujuan Penelitian……..………………………………………………. 1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………..........
1 1 3 3 4
BAB II TINJAUAN PUSTA………………………………………………....... 2.1 Pemaknaan dan Representasi Sosial………………………………..... 2.2 Representasi Sosial tentang Kerja......................................................... 2.2.1 Pengukuran Makna Kerja.......................................................... 2.3 Karakteristik Anak Jalanan................................................................... 2.3.1 Pengertian Anak Jalanan........................................................... 2.3.2 Karakteristik Sosial Anak Jalanan............................................. 2.3.3 Karakteristik Ekonomi Anak Jalanan……...…………………. 2.3.4 Perilaku Kerja Anak Jalanan………………………………..... 2.4 Kerangka Pemikiran………………………………………….............. 2.5 Hipotesa Penelitian…………………………………………………… 2.6 Definisi Operasional…………………………………………………..
5 5 9 11 14 14 15 18 19 24 29 29
BAB III METODOLOGI PENILITIAN..……………………………………… 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………..…………………………….. 3.2 Tehnik Pemilihan Responden …..……………………………………. 3.3 Tehnik Pengumpulan Data ...…………..…………………………….. 3.4 Tehnik Pengolahan dan Analisis Data ….……………………………
40 40 40 41 44
BAB IV GAMBARA UMUM LOKASI............................................................. 4.1 Lokasi I (Stasiun Kereta Api Bogor)..................................................... 4.2 Lokasi II (Terminal Baranangsiang).....................................................
45 45 50
BAB V REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN............................................................................................ 5.1 Tipe-Tipe Representasi Sosial tentang Kerja 5.1.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan untuk Menbantu Orangtua Mencari Nafkah ........................................................................................ 5.1.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman................... 5.1.3 Tipe III:Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman .............. 5.2 Dimensi-Dimensi Representasi Sosial Tentang Kerja.......................... 5.2.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah ....................................................................................... 5.2.2 Tipe II:Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman.................... 5.2.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman..............
viii
54 54 56 58 61 66 66 70 73
5.3 Ikhtisar............................................................................................
75
BAB VI KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN............. 6.1 Usia Anak Jalanan................................................................................ 6.2 Pengalaman Kerja Menjadi Anak Jalanan ........................................... 6.3 Jenis Kelamin Anak Jalanan ................................................................ 6.4 Status Pendidikan Anak Jalanan........................................................... 6.5 Tingkat Pendidikan Anak Jalanan ....................................................... 6.6 Jumlah Saudara Kandung .................................................................... 6.7 Status Sosial Ekonomi Keluarga Anak Jalanan ................................... 6.8 Status Perkawinan Orangtua Anak Jalanan.......................................... 6.9 Keberadaan Orangtua Anak Jalanan dan Tempat Tinggal................... 6.10 Motivasi Anak Turun Ke Jalanan........................................................ 6.11 Ikhtisar.................................................................................................
78 78 79 79 80 80 81 81 85 86 87 88
BAB VII PERILAKU KERJA ANAK JALANAN ............................................ 7.1 Tipe I:Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah. 7.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman............................. 7.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman........................ 7.4 Ikhtisar...................................................................................................
90 90 91 92 93
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA DENGAN PERILAKU KERJA........................................... 8.1 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe I: Kerja adalah Mencari Nafkah......... 8.2 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe II: Kerja adalah Menambah Teman .. 8.3 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe III: Kerja adalah Mencari Pengalaman........................................................................................... 8.4 Ikhtisar ..................................................................................................
94 96 98 100 103
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 9.1 Kesimpulan............................................................................................ 9.2 Saran......................................................................................................
104 104 107
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
108
LAMPIRAN........................................................................................................
111
ix
DARTAR TABEL Tabel
Teks
Halaman
1.
Contoh Skala Perbedaan Semantik Untuk Mengukur Kondisi Kerja Anak Jalanan........................................................................
43
2.
Waktu Operasional Stasiun Kereta Api Bogor..............................
46
3.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Representasi Sosial Tentang kerja......................................................................
55
4.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Central core dan Pheriperal core..............................................................
56
5.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Ciri Demografis…………………………………………………….....
57
6.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan.............................................
57
7.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga.................................................
58
8.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Central core dan Pheriperal core..................................................
59
9.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Ciri Demografis……………………………………………….............
60
10.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan.............................................
60
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga………………………………. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan 12. Central core dan Pheriperal core..................................................
11.
61 62
13.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Ciri Demografis…………………………………………………….....
62
14.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan.............................................
64
15.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga................................................
65
16.
Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja....................................
66
17.
Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja....................................
70
18.
Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja....................................
73
19. Tabel Perbandingan Tipe I, Tipe II, Tipe III.........................
77
20. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Usia...............
78
x
21.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Pengalaman Kerja...............................................................................................
79
22.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin..........................................................................................
80
23.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status Pendidikan……………………………………………………….
80
24.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan……………………………………………………….
81
25.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Saudara Kandung.........................................................................................
81
26.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Bapak……………………………………………….
82
27.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Bapak…………………………………………...........
83
28. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penghasilan Bapak ........................................................................
83
29.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu...............................................................................
84
30.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu……………………………………………...……..
84
31.
Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penghasilan Ibu..............................................................................
85
32. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Status Perkawinan Orangtua.....................................................................
86
33. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status Keluarga dan Keberadaan Orangtua ............................................. 34. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Alasan...............
86
35. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Motivator.......
88
36.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Perilaku Kerja .......................................................................
91
37.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Perilaku Kerja .......................................................................
92
38.
Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Perilaku Kerja .......................................................................
93
39.
Perbandingan Perilaku Kerja Anak Jalanan Berdasarkan Tipe I, Tipe II, dan Tipe III...................................................
94
xi
87
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 2.
Teks Halaman Kerangka Pemikiran Operasional....................................................... 28 Tipe Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan................................................................................................
xii
55
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintah Indonesia telah menghasilkan kemajuan dibeberapa sektor ekonomi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan tersebut menghasilkan beberapa dampak negatif, salah satunya adalah terciptanya kesenjangan sosialekonomi dalam masyarakat Indonesia. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan pendidikan yang tidak merata, ada masyarakat yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin. Bahkan, adapula diantara mereka yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Waluyo, 2000). Kesenjangan
sosial
ekonomi
tersebut
menghasilkan
permasalahan-
permasalahan sosial ekonomi, baik itu di perdesaan ataupun di perkotaan. Permasalahan yang muncul di perkotaan salah satunya ialah munculnya fenomena anak jalanan. Fenomena anak jalanan ini terdapat di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan bahkan sampai di kota Malang (Waluyo, 2000). Dampak krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1997 dilihat sebagai penyebab semakin meningkatnya jumlah anak jalanan. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 anak yang mulai terjun ke jalanan jumlahnya paling besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari 100 responden yang
2
diwawancarai mengaku bahwa sebagian besar mulai terjun ke jalanan di mulai tahun 1998, jumlahnya mencapai 35 anak (35,0 persen) dan pada tahun berikutnya (1999) bertambah 34,0 persen sehingga dapat diperkirakan bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997 jumlah anak jalanan meningkat menjadi 69,0 persen (Karnaji dkk, 2001 dan Astuti, 2005). Menurut data Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya (2001) yang bekerja sama dengan organisasi asing non pemerintah dalam programnya Save the Children, terdapat 10.000 anak jalanan di Jakarta yang tersebar di 312 'kantong'. Diantaranya ialah terminal luar kota Pulo Gadung,Lampu Merah Pramuka, Stasion Beos, Prapatan Cawang, dan Pasar Minggu. Dengan rata-rata terhitung 100 lebih anak mangkal per harinya. Umumnya, anak-anak jalanan melakukan pekerjaan sebagai pengamen, pengasong, pencuci mobil, menyemir sepatu, tukang parkir mobil, kernet dan menjadi joki, dan ojek payung.1 Sedangkan untuk di Bogor, Pemerintah Kota Bogor mencatat terdapat 640 anak jalanan yang tersebar di wilayah Kota Bogor pada tahun 20092. Biasanya anak jalanan di Bogor dapat ditemukan disetiap perempatan jalan, lampu merah, kolong jembatan, di bawah pohon, pusat perbelanjaan, dan paling banyak terdapat di jalan Pajajaran (di dekat hotel Pangrango)3. Penanganan masalah anak jalanan masih terbatas. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi anak jalanan tetapi mereka masih tetap tetap terlihat di jalanan. Untuk itu, perlu diadakan kegiatan pemberdayaan anak 1
Anonim. http://smu.net.com. Diakses tanggal 8 juni 2008. Anonim. http://ahnadheryawan.com/lintas-kabupaten/kotabogor. diakses tanggal 13 Maret 2009 3 Anonim. http://radar-bogor.co.id. Diakses tanggal 13 Maret 2009 2
3
jalanan yang tepat sasaran. Sebagai penunjang kegiatan pemberdayaan anak jalanan tersebut, perlu diketahui apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh anak jalanan mengenai pekerjaannya. Penelitian kali ini akan melihat bagaimana hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi. Mengacu pada hasil studi Abric (1976), representasi sosial merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan tentang obyek maupun kejadian. Terkait dengan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, jika diketahui representasi sosial yang dimiliki maka akan diketahui apakah yang mereka representasikan mengenai bekerja. Sehingga, jika kita ingin merubah perilaku kerja anak jalanan maka kita harus merubah representasi sosial mereka terutama central core mengenai bekerja. Ketika ada perubahan pada central core maka hal itu akan berdampak pada representasi sosial secara keseluruhan.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi anak jalanan? 2. Bagaimanakah reprentasi sosial tentang kerja pada anak jalanan? 3. Bagaimanakah perilaku kerja yang terbentuk pada anak jalanan? 4. Bagaimanakah hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan?
4
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi anak jalanan. 2. Mengidentifiksi representasi sosial tentang kerja bagi anak jalanan. 3. Mengidentifikasi perilaku kerja yang terbentuk pada anak jalanan. 4. Mengetahui hubungan antara representasi sosial tentang
kerja dengan
perilaku kerja anak jalanan.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan informasi mengenai anak jalanan. Bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan anak jalanan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat suatu solusi dalam melakukan upaya pemberdayaan untuk mengatasi bertambahnya jumlah anak jalanan.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemaknaan dan Representasi Sosial Manusia merupakan makhluk yang tidak hanya menggunakan naluri namun juga menggunakan akalnya dalam menafsirkan segala sesuatu yang berada di lingkungannya. Veeger dalam Fauziyah (2002) mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang dikenal sebagai proses pemaknaan. Proses pemaknaan merupakan inti dari hakekat kehidupan sosial, dimana perilaku manusia bukan merupakan reaksi yang langsung merespon terhadap stimulus yang datang, melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti
terhadap stimulus untuk
mengambil suatu tindakan untuk merespon stimulus tadi. Pemaknaan menurut Blumer dalam Rahayu (2004) yaitu proses interaksi diantara manusia (interaction) atas dasar makna (meaning) yang dimiliki terhadap suatu objek. Makna berasal atau muncul dari interaksi sosial antar manusia dengan sesamanya. Proses sosial dan interaksi sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memandang objek yang ada. Dalam kehidupan, pandangan masyarakat terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh proses penafsiran yang mereka lakukan. Blumer seperti dikutip Poloma (2004) menyatakan aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Dapat pula dikatakan “tindakan
6
manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut”. Kemampuan manusia untuk memaknai arti dan simbol merupakan hasil berpikir mereka yang diperoleh melalui interaksi sosial. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa kemampuan manusia memaknai suatu obyek akan mempengaruhi perilakunya terhadap obyek tersebut. Blumer membedakan objek menjadi tiga jenis yaitu objek fisik seperti pohon atau kursi; objek sosial seperti seorang ibu; dan objek abstrak seperti gagasan atau prinsip moral. Setiap individu memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai suatu objek yang sama (Blumer dalam Ritzer, 2004). Mengenai makna tersebut, Blumer seperti dikutip oleh Sunarto (2000) menyatakan tiga premis yang menyatakan tentang makna. Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka. Kedua, makna merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Ketiga, penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses penafsiran. Teori makna telah mengalami perkembangan, dimana makna tidak hanya dimiliki perorangan, tetapi terdapat makna yang dibagi bersama sesama komunitas ataupun masyarakat yang dinamakan makna sosial atau representasi sosial. Representasi sosial adalah suatu pendekatan struktural yang pertama kali diupayakan oleh Serge Muscovici pada tahun 1961. Dalam representasi sosial terdapat pengetahuan yang dimiliki bersama dan pemahaman tentang realita sosial yang ada di
7
masyarakat. Representasi sosial sebagai suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut (Abric, 1976). Representasi sosial dapat berperan sebagai jembatan antara individu dengan dunia sosialnya. Sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, representasi sosial memiliki 2 keutamaan, yaitu sebagai hasil dari pikiran sosial, penyusunan keyakinan, dan pengetahuan tentang fenomena yang berpengaruh secara signifikan di komunitas tertentu; serta sebagai sebuah proses individu dalam membangun kenyataan yang ada. Dalam kerangka psikologi sosial, maka representasi sosial merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan tentang obyek maupun kejadian. Dengan kata lain representasi sosial merupakan hasil dari interaksi individu satu sama lain dan merupakan suatu proses dalam memahami dunianya (Abric, 1976 dalam Deaux dan Philogene, 2001). Abric (1976) seperti dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari elemen informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Bagian-bagian ini terorganisasi dan terstruktur sehingga kemudian menjadi sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Central core ditentukan oleh obyek yang dimunculkan itu sendiri, oleh jenis hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai dan norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu
8
dalam suatu kelompok tersebut. Fungsi utamanya adalah mengorganisasi fungsi menyeluruh dari seluruh elemen yang menghasilkan representasi atau mengubahnya. Jadi dari central core inilah elemen-elemen ini akan memperoleh makna atau nilainya. Fungsi kedua adalah menentukan hubungan dan menyatukan elemen-elemen dari representasi sosial satu sama lain. Dari kedua fungsi yang dijalankannya tersebut maka central core dapat menjadi elemen dari representasi yang sangat tahan terhadap perubahan karena dia juga yang berfungsi menyatukan dan menstabilkan elemenelemen di dalamnya. Jadi ketika ada suatu perubahan pada central core maka hal itu akan berdampak pada perubahan representasi seseorang secara keseluruhan. Jadi, jika terdapat dua representasi yang berbeda disebabkan oleh central core yang berbeda. Elemen peripheral dapat ditemui di sekitar central core, bersifat konkret dan merupakan elemen yang paling bisa diakses secara langsung. Elemen ini juga memiliki fungsi, yaitu menjadikan konkret sesuatu, adaptasi, dan defense. Peripheral core merupakan hasil dari anchoring representasi ke dalam kenyataan. Elemen inilah yang menyambungkan antara central core dan situasi konkret dalam suatu konteks representasi. Dengan adanya hal tersebut, maka memperlihatkan bukti bahwa elemen ini lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core. Ketika informasi baru atau suatu perubahan baru masuk dan menyatu dalam suatu proses representasi, maka elemen ini akan dimarginalkan kehadirannya, mengartikannya kembali pada pola keberpusatan yang ada, atau dengan memberinya karakter tertentu. Hal ini dapat mendukung perkembangan dan pergerakan dari suatu representasi. Sehingga tidak
9
salah jika elemen ini disebut Abric (1993) sebagai suatu sistem defense dari representasi. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Dan itu menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut.
2.2 Representasi Sosial Tentang Kerja Penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja masih belum banyak diteliti. Maka dari itu digunakanlah hasil penelitian makna kerja untuk memberikan informasi mengenai makna kerja yang melekat pada diri individu. Diasumsikan makna kerja yang berada pada level individu berada pula pada level masyarakat atau disebut sebagai representasi sosial. Pada masyarakat modern makna bekerja menjadi bersifat ekonomis, dimana bekerja lebih sering diartikan sebagai aktivitas seseorang yang bertujuan untuk memperoleh imbalan uang atau barang nyata lainnya. Menurut Brief (1990) dalam Amananty (1997) kebanyakan penulis menggunakan definisi yang bersifat ekonomis tersebut. Penilaian terhadap makna dapat dilakukan dengan melihat aspek sejarah atau dimensi waktu. Dengan berjalannya waktu, maka penelitian mengenai bekerja tidak
10
hanya terfokus pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok atau aspek ekonomisnya. Pemahaman terhadap makna bekerja semakin dipengaruhi oleh banyak aspek sesuai dengan perkembangan sosial yang ada. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tim MOW (Meaning of Working Team) bahwa perkembangan sosial budaya yang tengah berlangsung dalam masyarakat mempunyai pengaruh terhadap makna bekerja bagi individu. Dimana, setiap individu berbeda dalam menghayati konsep dan makna bekerja. Ada yang menganggap bahwa bekerja merupakan sarana untuk mencukupi kebutuhan pokoknya, ada pula yang beranggapan bahwa dengan bekerja kebutuhan-kebutuhan
sosial
seperti
memperoleh
kepuasan,
mengembangkan
kemampuan, dapat terpenuhi (Amanaty, 1997). Tim MOW mengungkapkan bahwa makna bekerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi orang lain,“an activity that produce something of value for other people” (MOW international research team, 1987:160)
Pengertian bekerja disampaikan pula oleh Watson (1995), bekerja tidak hanya usaha untuk bertahan hidup melainkan merupakan sarana dimana seseorang dapat menemukan konsep diri di dalam proses bekerja. Watson (1995) mendefinisikan kerja adalah “the carrying out of tasks which enable people to make a living... but in the process people bound up with their conception of self” (Watson, 1995:112). Sementara itu, menurut
Amanaty (1997) menyatakan bekerja adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri, baik yang bersifat fisik maupun psikologisnya.
11
Jadi secara konseptual, representasi sosial tentang kerja adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai kerja. Berdasarkan makna kerja yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa representasi sosial tentang kerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, memperoleh kepuasan, mengembangkan kemampuan, dapat menemukan konsep diri, serta untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
2.2.1 Pengukuran Makna Kerja Pemahaman dan penghayatan terhadap makna bekerja menjadi relatif terkait dengan situasi dan sudut pandang tertentu. Salah satunya ialah pendekatan yang digunakan oleh Kaplan dan Tausky (dalam Rasyid, 1987) pada Amanaty (1997) mengajukan konsep mengenai tipologi mengenai makna bekerja yang intinya dengan bekerja individu mampu mendapatkan sarana untuk: 1. Memenuhi status dan prestisenya 2. Mendapatkan penghasilan 3. Dapat mengisi waktunya secara lebih berarti 4. Mendapatkan sarana untuk melakukan kontak sosial atau interpersonal 5. Memberikan layanan atau pengabdian yang bersifat sosial 6. Mengekspresikan diri atau memperoleh kepuasan secara intrinsik, diantaranya memperoleh pengalaman, mempelajari sesuatu yang baru, aktualisasi diri, dan mengembangkan kemampuan diri.
12
Secara singkat dalam konsep tipologi tersebut, bekerja mempunyai dua fungsi, baik bersifat instrumental maupun ekspresif. Dalam fungsi ekspresif bekerja mempunyai makna sebagai sarana untuk mengekspresikan jati diri individu dalam konteks sosialnya. Makna ekspresif tergambar dalam bentuk keinginan untuk mendapatkan kepuasan dari penerapan kemampuan dan keahlian yang dimiliki, kepuasan karena dapat membantu orang lain. Sementara itu, makna instrumental dapat dilihat dari fungsi bekerja sebagai sarana untuk mencari penghasilan, bertahan hidup, dan mendapatkan rekan untuk usaha. Lebih jauh mengenai dimensi makna bekerja, Tim MOW (Meaning Of Working International Research Team, 1987) mengadakan penelitian mengenai makna bekerja pada sektor formal (perusahaan) di sejumlah negara. Penelitian tersebut berlandaskan pada kerangka pemikiran yang melibatkan lima dimensi makna bekerja yaitu sentralitas kerja (work centrality), norma-norma sosial mengenai bekerja (societal norms about working), hasil-hasil bekerja yang bernilai (valued working outcomes), kepentingan tujuan bekerja (importance of work goals), dan identifikasi peran bekerja (working role identifications). Didalam model yang dikemukakan oleh Tim MOW (1987), ada seperangkat variabel yang berpengaruh didalam proses pemberian makna terhadap bekerja pada seseorang, yaitu variabel yang tergolong pribadi dan situasi keluarga (personal and family situation),antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan formal, agama; pekerjaan saat ini dan sejarah karir (present job and career history), seperti status pekerjaan dan
13
masa kerja; lingkungan sosial ekonomi secara makro (macro socio-economic environment). Hasil penelitian Amanaty (1997) yang dilakukan pada karyawati yang bekerja pada sektor industri dan manufaktur menemukan hal yang berbeda mengenai dimensi-dimensi makna bekerja. Ternyata hasil penelitiannya mengungkapkan terdapat delapan dimensi makna bekerja yang berbeda dengan hasil penelitian MOW. Delapan dimensi tersebut diurutkan sebagai berikut: 1. Dimensi Peningkatan Ketrampilan dan Jaringan Sosial 2. Dimensi Pemenuhan Kebutuhan Hidup 3. Dimensi Penerapan Pengetahuan 4. Dimensi Jenjang Karir 5. Dimensi Kemandirian dan Kesejajaran Dengan Pria 6. Dimensi Ibadah dan Tanggung Jawab Sosial 7. Dimensi Peningkatan Status Sosial 8. Dimensi Pencarian Pasangan Hidup Dari delapan dimensi tersebut, terdapat dua dimensi yang paling bermakna bagi karyawati yaitu dimensi peningkatan ketrampilan dan jaringan sosial serta dimensi pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan dua dimensi yang dirasakan kurang bermakna adalah dimensi pencarian pasangan hidup dan dimensi peningkatan status sosial. Dari penjelasan di atas, terdapat variasi dimensi makna. Hal ini disebabkan siapa yang memberikan makna tersebut terkait dengan karakteristik individu yang
14
mempengaruhi
pemberian
makna,
tingkat
pendidikan,
dan
sektor
bekerja
(formal/informal). Sedangkan lingkungan sosial, tugas dalam pekerjaan, dan tujuan hidup nampaknya berperan dalam pembentukan representasi sosial. Maka untuk representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan mungkin saja mempunyai dimensi yang berbeda dengan dimensi di atas.
2.3 Karakteristik Anak Jalanan 2.3.1 Pengertian Anak Jalanan Anak jalanan menurut Depsos (2006) adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya, mempumyai indikasi usia berada dibawah 18 tahun, memiliki orientasi hubungan dengan keluarga sekedarnya, serta tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka. Unicef dalam Garliah (2004) menyatakan anak jalan adalah anak-anak yang pergi meninggalkan rumah, sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya sebelum mencapai usia 16 tahun. Adapun pengertian anak jalanan lainnya terdapat dalam jurnal psikologi sosial sebagimana dikutip Garliah (2004), yaitu anakanak yang meminta-minta di tempat umum, mengemis dengan pakaian kumal, kotor, dan penampilan tidak terawat. Dari pengertian anak jalanan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian anak jalanan adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun, sebagian besar waktunya dihabiskan di tempa-tempat umum untuk mencari nafkah atau berkeliaran,
15
penampilan mereka biasanya kumal, kotor serta tidak terawat dan memiliki hubungan yang kurang dekat dengan keluarga.
2.3.2 Karakteristik Sosial Anak Jalanan Karakteristik sosial anak jalanan dapat dilihat dari ciri-ciri fisik, jenis kelamin, usia, kondisi lingkungan baik fisik dan sosial, kondisi sosial-psikologis keluarga dan status pendidikan. Anak jalanan mempunyai ciri fisik dan psikis yang khas. Ciri fisik dapat dilihat dari warna kulit yang kusam, rambut kemerah-merahan, memiliki badan yang kurus, dan memakai pakaian yang kotor. Ciri psikis dapat dilihat dari mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, tidak perduli dengan lingkungan, selalu curiga dengan keberadaan orang asing, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang tinggi, berpikir pendek, dan mandiri (Depsos, 2006). Hasil penelitian Suhartini (2008) menemukan bahwa sebagian besar anak jalanan adalah laki-laki, terutama pada usia 16 sampai 18 tahun. Sedangkan anak jalanan perempuan lebih banyak ditemui pada usia 13-15 tahun, kebanyakan anak jalanan perempuan yang ditemui berada pada usia dibawah 13 tahun. Anak jalanan perempuan yang telah berusia
16-18 tahun sudah tidak lagi di jalanan karena malu
sehingga anak jalanan perempuan lebih memilih untuk bekerja di pabrik. Setiap harinya anak jalanan biasanya berada di daerah yang kotor, banyak sisa makanan, ataupun ditempat-tempat keramaian. Karena mereka sering berada di
16
tempat-tempat yang kotor dan penuh debu membuat mereka malas menjaga kebersihan tubuh seperti jarang mandi, tidak pernah menyisir rambut, malas untuk mencuci pakaian atau menyimpan pakaian (Garliah, 2004). Namun, terdapat hal positif dari anak jalanan yaitu mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makan (Garliah 2004). Keberadaan anak jalanan yang berada jauh dari orang tua menyebabkan anak jalanan rentan untuk mendapatkan tindak kekerasan dari orang-orang yang berada di sekeliling mereka. Tindak kekerasan tersebut terbagi menjadi empat jenis yaitu kekerasan ekonomi seperti ”dipalak” oleh preman, serta dipaksa bekerja oleh orang tua; kekerasan psikis seperti ancaman tidak boleh mengamen atau mengemis, dimakimaki dengan kata-kata yang kasar, sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam; kekerasan fisik seperti tamparan, tendangan, pukulan, benturan dengan benda keras, serta pertengkaran dengan teman karena perebutan wilayah kekuasaan; dan kekerasan seksual seperti segala perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual ataupun eksploitasi seks (Sutinah, 2001; Garliah, 2004; dan Depsos, 2006). Keberadaan anak jalanan dipengaruhi juga oleh latar belakang keluarga. Hasil penelitian Sutinah (2001) dan Handoyo (2004) menemukan bahwa kondisi keluarga anak jalanan perempuan berasal dari keluarga yang tidak mampu (miskin) sehingga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Suhartini (2008) menenemukan bahwa pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya samapai tingkat SD. Karena pendidikan yang rendah tersebut, menyebabkan orang tua anak jalanan hanya bisa melakukan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus di bidang
17
pengetahuan (science) ataupun keterampilan khusus. Biasanya orang tua anak jalanan memiliki pekerjaan sebagai buruh bangunan, tukang sampah, pedagang, tukang becak, buruh pabrik dan ada pula yang menganggur. Hal tersebut membuat orang tua anak jalanan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan anak-anak mereka, sehingga anak-anak pun harus turun ke jalan untuk mencari uang demi sesuap nasi. Bagi anak jalanan perempuan menjadi anak jalanan merupakan ajakan dan tuntutan orang tua (sejak dalam gendongan ibunya) atau orang yang lebih besar/kakak. Hubungan anak jalanan dengan keluarganya kurang dekat. Bagi anak jalanan, orang tua bukanlah orang terdekat buat mereka. Orang yang terdekat bagi mereka adalah teman di jalanan. Pada sebagian anak jalanan perempuan yang telah berusia sepuluh tahun ke atas dan secara kebetulan memiliki wajah dan tubuh yang bagus memiliki teman lelaki yang sangat intim. Berdasarkan kondisi psiko-sosial keluarga anak jalanan maka alasan seorang anak menjadi anak jalanan dapat digolongkan menjadi tiga tipe. Tipe pertama, alasan seorang anak turun ke jalan karena faktor ekonomi atau mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tipe kedua, alasan seorang anak turun ke jalan karena kurang kasih sayang keluarga atau disharmoni keluarga. Tipe ketiga, alasan
seorang anak turun ke jalan karena iseng atau hanya sekedar
menambah uang saku. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan memiliki karakteristik sosial seperti warna kulit yang kusam, penampilan yang tidak rapih serta
18
kotor, jumlah anak jalanan lebih banyak laki-laki pada usia 16 sampai 18 tahun dan pada perempuan pada usia 13 sampai 15 tahun, berada ditempat-tempat keramaian dan banyak makanan, sangat rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan bekerja, berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan pendidikan kepala keluarga hanya sampai SD, memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga, orang tua bukan merupakan orang terdekat bagi anak jalanan, dan penyebab terjadinya anak jalanan dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan faktor ekonomi, keluarga, dan iseng.
2.3.3 Karakteristik Ekonomi Anak Jalanan Karakteristik ekonomi anak jalanan dapat dilihat dari lokasi bekerja, aktivitas yang dilakukan, kondisi ekonomi keluarga, dan modal untuk melakukan pekerjaan. Menurut hasil penelitian Sutinah (2001), bagi anak jalanan perempuan yang sudah tidak memiliki orang tua atau ibu menjadikan jalanan sebagai tempat untuk mencari uang agar dapat bertahan hidup dan hanya sebagian anak jalanan perempuan mencari uang untuk kekayaan, foya-foya, dan dianggap sebagai pekerjaan (Handoyo dkk, 2004). Lokasi bekerja anak jalanan biasanya berada di pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalanan atau jalan raya terutama daerah lampu merah (traffic light), di kendaraan umum, dan tempat pembuangan sampah. Aktivitas yang mereka lakukan biasanya hanya membutuhkan sedikit keterampilan dan tidak membutuhkan banyak tenaga seperti, menyemir
19
sepatu, mengasong, menjual koran atau majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut, menjadi penghubung atau penjual jasa, bersih-bersih makam, pekerja seks, pencari kerang (di pantai), dan ojek payung (Depsos, 2006 dan Sutinah, 2001). Biasanya modal untuk melakukan pekerjaannya menggunakan modal sendiri, berkelompok, berasal dari majikan/patron atau pun dari bantuan/stimulan (Depsos, 2006). Modal untuk melakukan pekerjaan sebagai anak jalanan dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk melakukan pekerjaan. Alat yang digunakan oleh anak jalanan tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Penjelasan lebih lanjut mengenai alat yang digunakan dalam bekerja akan dibahas pada bab perilaku kerja. Jadi dapat disimpulkan bahwa lokasi anak jalanan bekerja biasanya berada di daerah terminal, stasiun kereta api, lampu merah serta tempat keramaian lainnya, jenis pekerjaan yang dilakukan adalah yang memiliki tingkat keterampilan yang rendah serta tidak membutuhkan banyak tenaga, dan alat yang digunakan disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
2.3.4 Perilaku Kerja Pada Anak Jalanan Hasil penelitian psikososial4 mengenai anak jalan menerangkan mengenai faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan pola perilaku anak jalanan yaitu: 1. Kehadiran keluarga. Bagi anak jalnan yang lepas hubungan dengan keluarganya, cenderung lebih banyak memperlihatkan perilaku antisosial. 4
Anonim. http://psikososial.com . Perilaku Sosial Anak Jalanan. Diakses rabu, 9 April 2008.
20
2. Struktur keluarga. Bagi anak jalanan yang berasal dari keluarga besar, cenderung kurang dapat perhatian dari orang tua dan cenderung lebih rentan terlibat gangguan tingkah laku. 3. Lamanya terlibat dalam kehidupan jalanan. Semakin lama dan semakin banyak waktunya menggeluti dunia jalanan, semakin akrab dengan nilai-nilai kultur jalanan/budaya jalanan seperti, nilai moralitas yang longgar, nilai perjuangan untuk bertahan hidup, penuh kekerasan, penonjolan kekuatan, ketiadaan figur orangtua, peranan kelompok sebaya yang besar. 4. Faktor pendidikan. Bagi anak jalanan yang masih bersekolah, tampak lebih mampu mempertahankan nilai-nilai yang serasi dengan konformitas sosial masyarakat umum. 5. Lingkungan tempat tinggal. Anak jalanan “murni”, cenderung lebih banyak memperlihatkan perilaku antisosial. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan perilaku dan mental emosional, antara lain: kecenderungan berperilaku agresif-impulsif, gangguan tingkah laku, seks bebas, penyalahgunaan zat dan berkembangnya berbagai perilaku antisosial. Pola perilaku yang ada pada anak jalanan salah satunya ialah perilaku kerja. Perilaku kerja yang dilakukan oleh anak jalanan dapat terlihat dari waktu memulai pekerjaan, lama bekerja, pekerjaan yang dilakukan, tempat bekerja, dan alat yang digunakan untuk bekerja.
21
Waktu memulai pekerjaan di jalanan dipengaruhi oleh status pendidikan, usia, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin anak jalanan. Menurut hasil penelitian Karnaji (2001), anak jalanan perempuan yang masih sekolah melakukan kegiatan setelah pulang sekolah diantara pukul 10.00-14.00 WIB bagi mereka yang bersekolah siang hari, dan pukul 14.00-18.00 WIB bagi mereka yang bersekolah pagi hari. Kecuali pada hari Minggu/libur mereka memulai kegiatannya sejak pagi hari (07.00 WIB – sore). Lain halnya dengan anak jalanan perempuan yang tidak bersekolah, mereka bekerja setiap hari dari pukul 07.00 – 22.00 WIB. Biasanya mereka yang bekerja pada sore hari mengakhiri aktivitasnya pada pukul 23.00-24.00 WIB. Jadi, rata-rata anak jalanan bekerja selama 5-12 jam per hari. Hasil penelitian Handoyo dkk (2004) menemukan hal yang berbeda mengenai pola kerja anak jalananan. Pola kerja yang terbentuk pada anak jalanan berbeda-beda tergantung pada usia mereka mulai turun ke jalan. Pada kelompok anak jalanan yang mulai turun ke jalan pada umur 3 sampai 10 tahun, biasanya berada di perempatanperempatan jalan dan mereka bergerak pada saat traffic light berwarna merah. Mereka mulai beraktivitas sore hari sekitar jam 16.00 WIB sampai malam hari jam 21.00 WIB. Sedangkan pada kelompok anak jalanan perempuan yang turun ke jalan pada usia remaja (di atas 10 tahun), mereka turun ke jalan karena mengikuti ajakan temantemannya. Intensitas mereka berada di jalanan lebih tinggi, hampir setiap saat, dari pagi sampai sore dan malam hari. Daerah yang dirambah pun tidak terbatas
22
perempatan jalan saja melainkan juga pasar dan pusat-pusat keramaian seperti simpang lima dan pasar Johar Semarang. Hasil penelitian Tauran (2000) menyatakan bahwa anak jalanan yang bekerja sebagai pedagang, memiliki waktu bekerja yang lebih teratur dan menyelesaikan pekerjaanya ketika barang dagangan mereka habis. Sedangkan anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen tidak memiliki keteraturan waktu bekerja. Mereka memulai dan mengakhiri pekerjaannya tergantung pada keinginannya sendiri. Walaupun pekerjaan yang mereka lakukan berbeda, namun terdapat kesamaan yaitu mereka dapat bekerja sekaligus bermain dalam aktivitasnya. Pemilihan lokasi kerja pada anak jalanan terkait dengan strategi bertahan hidup anak jalananan. Hasil penelitian Suhartini (2008) menyatakan bahwa anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup kompleks memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam maupun antar kota, dan rute lokasi kerja tidak sama setiap hari. Sedangkan anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sedang memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam kota, dan lokasi kerja sama setiap hari. Terakhir, anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup sederhana memiliki lokasi kerja di angkot dan rute lokasi kerja sama setiap hari. Kemudian untuk jenis pekerjaan yang dilakukan, anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang memiliki jenis pekerjaan ganda, sedangkan bagi anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sederhana tidak memiliki pekerjaan ganda. Selanjutnya untuk tipe kelompok kerja tidak ada perbedaan diantara perbedaan tipe strategi bertahan hidup.
23
Alat yang digunakan oleh anak jalanan dalam bekerja tergantung pada jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Bagi mereka yang bekerja sebagai pengamen biasanya menggunakan salah satu alat bantu seperti gitar kecil, kecrekan, dan gendang. Bagi mereka yang bekerja sebagi tukang semir biasanya menggunakan sikat sepatu, semir sepatu, dan kain untuk menggosok sepatu. Bagi mereka yang bekerja sebagai pemulung biasanya menggunakan karung untuk membawa benda pulungannya. Bagi mereka yang bekerja sebagai pembersih makam biasanya menggunakan alat bantu seperti sapu, arit, dan cangkul. Bagi mereka yang bekerja sebagai ojek payung biasanya menggunakan alat bantu payung. Dan bagi mereka yang bekerja membersihkan kendaraan bisanya menggunakan kemoceng. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak jalanan yang masih bersekolah memulai aktivitasnya setelah pulang sekolah yaitu pada pukul 10.00-14.00 WIB, sedangkan anak jalanan yang tidak bersekolah akan memulai aktifitasnya sejak pukul 07.00 WIB, rata-rata anak jalanan bekerja 5-12 jam per hari, pekerjaan yang dilakukan hanya memerlukan sedikit keterampilan dan tenaga, megenai tempat bekerja biasanya berada di terminal bus, stasiun kereta api, ataupun di tempat-tempat keramaian lainnya, dan alat yang digunakan untuk bekerja disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
24
2.4 Kerangka Pemikiran Representasi sosial berarti pemahaman bersama tentang suatu hal di kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum yang dimiliki oleh anak jalanan mengenai pekerjaannya. Dimana representasi sosial memiliki dua struktur yaitu central core dan peripheral core. Central core bersifat lebih memusat, berakar pada individu dan merupakan hasil dari sistem nilai yang dibagi bersama oleh anggota suatu kelompok sehingga relatif lebih sulit untuk diubah dibanding peripheral core (Abric, 1976). Bentuk pengetahuan dalam representasi sosial pada anak jalanan dapat dibentuk dari komunikasi yang ada di antara anak jalanan. Anak jalanan dapat berkomunikasi satu sama lain tentang pekerjaan yang dilakukannya sekarang melalui informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap mereka. Dari hasil komunikasi tersebut maka anak jalanan akan memiliki suatu pengetahuan sosial tentang kerja yang hampir sama diantara mereka. Namun, meskipun perubahan pada kebudayaan terasa cukup kuat, namun hal itu tidak akan berarti banyak jika central core representasi seseorang tidak terpengaruh (Abric, 1976). Jika anak jalanan memiliki representasi sosial tertentu tentang kerja, maka meskipun kebudayaan cenderung berubah selama central core mereka tidak berubah, tetap saja representasi sosial anak jalanan tentang kerja cenderung tidak akan berubah. Perubahan ini mungkin saja hanya akan mengenai peripheral core dari representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.
25
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa representasi sosial merupakan sintesis baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Dan itu menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut. Representasi sosial yang terbentuk pada anak jalanan dipengaruhi oleh berbagai macam karakteristik individu dan faktor eksternal. Karakteristik indidvidu yang termasuk dalam karakteristik sosial ekonomi anak jalanan terdiri dari usia, jenis kelamin, status pendidikan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja menjadi anak jalanan, motivasi menjadi anak jalanan, status ekonomi keluarga, dan status sosial keluarga. Karakteristik individu anak jalanan ini akan dilihat pengaruhnya dengan representasi sosial tentang kerja yang ada pada anak jalanan. Dimana, semakin bertambah usia anak jalanan, maka akan semakin tinggi nilai representasi sosial mereka mengenai bekerja. Selain itu, terdapat perbedaan representasi sosial tentang kerja antara laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan status pendidikan dan tingkat pendidikan anak jalanan, representasi sosial tentang kerja yang dimiliki oleh anak jalanan yang masih sekolah akan berbeda dengan anak jalanan yang tidak sekolah. Untuk pengalaman kerja menjadi anak jalanan, semakin lama waktu mereka berada di jalanan maka representasi sosial tentang kerja yang dimiliki oleh anak jalanan semakin seragam. Status
sosial
ekonomi
ekonomi
keluarga ikut
mempengaruhi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. Anak jalanan
26
berasal dari kelurga dengan kondisi ekonomi kurang mampu akan merepresentasikan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan anak jalanan yang berasal dari kondisi ekonomi sudah mampu memiliki representasi bekerja untuk memperoleh hiburan atau kesenangan. Faktor eksternal juga mempengaruhi representasi sosial tentang kerja. Faktor eksternal diantaranya jenis kekerasan, kondisi kerja, dan kebijakan pemerintah. Jenis kekerasan menyangkut segala bentuk tindakan yang merugikan dan menyakiti anak jalanan. Bila anak jalanan sering mendapatkan kekerasan dari lingkungan bekerjanya maka mereka akan memiliki representasi sosial tentang bekerja yang negatif. Kondisi kerja yaitu suatu keadaan dan sifat pekerjaan bagi anak jalanan. Dimana kondisi kerja yang positif akan mengahsilkan representasi sosial tentang kerja yang positif pula. Sedangkan kondisi kerja yang negatif akan menyebabkan representasi sosial yang negatif pula. Sedangkan kebijakan pemerintah terkait dengan anak jalanan, menyangkut segala peraturan yang mengatur mengenai keberadaan anak jalanan, baik berupa larangan, ancaman, ataupun teguran-teguran yang disampaikan pada saat razia anak jalanan. Kebijakan dari pemerintah akan berhubungan terhadap dimensi representasi sosial tentang kerja yaitu pada aspek pengetahuan mengenai peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan akan berpengaruh terhadap representasi sosial anak jalanan mengenai bekerja. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan berhubungan erat dengan perilaku kerja anak jalanan. Parameter perilaku kerja pada anak jalanan dapat dilihat dari jam kerja, lama bekerja, lama beristirahat, lokasi bekerja, jenis pekerjaan, dan tipe kelompok kerja anak jalanan. Dimana anak jalanan yang merepresentasikan
27
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan bekerja lebih giat dengan alokasi waktu bekerja di jalanan yang lebih panjang dan waktu beristirahat yang singkat dibandingkan dengan anak jalanan yang merepresentasikan bekerja untuk mencari hiburan atau kesenangan. Menurut hasil penelitian MOW (1987), seseorang yang memiliki sentralitas terhadap kerja akan bekerja lebih giat dengan alokasi waktu bekerja lebih dari delapan jam. Sedangkan seseorang yang tidak memiliki sentralitas terhadap kerja akan bekerja kurang dari delapan jam. Selanjutnya lokasi kerja, hasil penelitian Suhartini (2008) menyatakan bahwa anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup kompleks memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam maupun antar kota, dan rute lokasi kerja tidak sama setiap hari. Sedangkan anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sedang memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam kota, dan lokasi kerja sama setiap hari. Terakhir, anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup sederhana memiliki lokasi kerja di angkot dan rute lokasi kerja sama setiap hari. Kemudian untuk jenis pekerjaan yang dilakukan, anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang memiliki jenis pekerjaan ganda, sedangkan bagi anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sederhana tidak memiliki pekerjaan ganda. Selanjutnya untuk tipe kelompok kerja tidak ada perbedaan diantara perbedaan tipe strategi bertahan hidup. Secara sederhana penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
28
Karakteristik Individu:
Faktor Eksternal
1. Usia
1.Jenis kekerasan
2. Jenis kelamin
2.Kondisi Kerja
3. Status pendidikan
3.Kebijakan dari pemerintah
4. Tingkat pendidikan 5. Pengalaman kerja menjadi anak jalanan 6. Motivasi menjadi anak jalanan 7. Status ekonomi keluarga 8. Status sosial keluarga
Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan
Perilaku Kerja:
Jam kerja
Lama bekerja
Lama beristirahat
Lokasi bekerja
Jenis pekerjaan
Tipe kelompok kerja
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan: : mempengaruhi
29
2.5 Hipotesa Penelitian 1. Diduga karakteristik sosial ekonomi
anak jalanan berhubungan dengan
representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. 2. Diduga representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan berhubungan dengan perilaku kerja anak jalanan.
2.6 Definisi Operasional 1. Anak jalanan adalah seorang anak yang berusia dibawah 18 tahun menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dan tempat umum lainnya. 2. Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai ketika diwawancarai, kategori yang digunakan adalah: 1) Antara 9 – 11 tahun 2) Antara 12 – 14 tahun 3) Antara 15 – 17 tahun 3. Jenis kelamin adalah struktur biologis yang ada pada diri anak jalanan. Kategorinya adalah: 1) Laki-laki 2) Perempuan 4. Status pendidikan adalah pernah atau tidaknya masuk pendidikan formal/nonformal. Kategorinya adalah: 1) Tidak pernah sekolah 2) Pernah sekolah
30
5. Tingkat pendidikan anak jalanan adalah pendidikan terakhir yang dilalui oleh anak jalanan. Kategorinya adalah sebagai berikut: 1) Belum sekolah 2) SD dan sederajat 3) SLTP dan sederajat 4) SLTA dan sederajat 6. Pengalaman kerja menjadi anak jalanan adalah lama bekerja menjadi anak jalanan. Dikategorikan sebagai berikut: 1) Kurang dari 1 tahun 2) Antara 1 – 2 tahun 3) Lebih dari 2 tahun 7. Motivasi menjadi anak jalanan dilihat dari alasan menjadi anak jalanan dan motivator seorang anak menjadi anak jalanan. 8. Alasan menjadi anak jalanan adalah segala hal yang menyebabkan seorang anak mau bekerja sebagai anak jalanan. Dikategorikan sebagai berikut: 1) Ekonomi, mencari uang membantu orangtua 2) Disharmoni keluarga, kurang kasih sayang dan perhatian orangtua 3) Tambahan uang saku/jajan 9. Motivator menjadi anak jalanan adalah seseorang yang mengajak atau menyuruh seorang anak untuk bekerja di jalanan. Kategoriny adalah sebagai berikut: 1) Orangtua 2) Teman
31
3) Anggota keluarga lainnya seperti kakak, adik, paman, bibi, dan sejenisnya 4) Sendiri 5) Orang Lain 10. Status ekonomi keluarga dilihat dari tingkat pendapatan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua. 11. Tingkat pendapatan orang tua adalah jumlah uang yang didapat oleh orang tua dalam satu bulan terakhir. Tingkat pendapatan orangtua dikategorikan berdasarkan hasil survey di lapangan. 1) Tidak berpenghasilan 2) Tidak Tahu 3) < Rp 200.000,00 4) Rp 200.000,00 – Rp 400.000,00 5) Rp 400.000,00 – Rp 600.000,00 6) Rp 600.000,00 – Rp 800.000,00 7) > Rp 800.000,00 12. Jenis pekerjaan orangtua
adalah aktivitas
yang
mendapatkan uang dalam satu bukan terakhir. Jenis pekerjaan bapak, dikategorikan sebagai berikut: 1) Tidak bekerja 2) Tidak tahu 3) Pedagang 4) P2: Pengemis dan Pengamen 5) Pemulung
dilakukan untuk
32
6) Buruh kasar:serabutan, tukang bangunan, kuli panggul, tukang sampah 7) Buruh terampil:pembantu rumahtangga(PRT), satpam, supir, karyawan 8) Lainnya: tukang sol sepatu, tukang ojek, ustad Jenis pekerjaan ibu, dikategorikan sebagai berikut: 1) Tidak bekerja 2) Pengemis 3) Jasa: tukang cuci botol kecap, PRT, guru ngaji 4) Karyawati 13. Status sosial keluarga dilihat dari status perkawinan orang tua, keberadaan orang tua, tingkat pendidikan serta tempat tinggal. 14. Status perkawinan orang tua adalah kondisi perkawinan orang tua yang legal baik secara hukum dan agama. Dikategorikan: 1) Menikah, memiliki status yang resmi dimata hukum 2) Cerai, telah berpisah secara hukum atau orangtua telah meninggal 3) Tidak tahu 15. Keberadaan orang tua adalah apakah orang tua anak jalanan masih hidup atau tidak. Dikategorikan: 1) Memiliki ayah dan ibu 2) Yatim/Piatu 3) Yatim-Piatu 4) Tidak tahu 16. Tingkat pendidikan orangtua anak jalanan yaitu pendidikan terakhir yang dilalui oleh orangtua anak jalanan. Dikategorikan:
33
1) Tidak Sekolah (TS) 2) SD dan sederajat 3) SLTP dan sederajat 4) SLTA dan sederajat 5) Perguruan Tinggi 6) Tidak Tahu 17. Tempat tinggal adalah dengan siapa mereka tinggal. Kategorinya adalah: 1) Bersama orang tua kandung 2) Bersama orang tua asuh (angkat) 3) Bersama saudara 4) Bersama teman sekelompok 5) Menggelandang di jalanan 18. Jenis kekerasan adalah segala bentuk bahaya yang terdapat di jalanan baik berupa tindakan yang tidak menyenangkan dari orang lain maupun kecelakaan lalu lintas. Jenis kekerasan yang diterima oleh anak jalanan berdasarkan hasil survei di lapangan dikategorikan sebagai berikut. 1) Kecelakaan lalu lintas seperti tersrempet dan atau jatuh dari kendaraan mobil/kereta api 2) Kekrasan ekonomi seperti dipalak oleh ”preman” atau orang yang lebih tua 3) Kekrasan fisik seperti dipukul, ditampar oleh orang lain (preman) atau oleh teman sebaya
34
4) Pelecehan seksual seperti dicolek dan di ”suit-suitin” (bagi anak jalanan perempuan) 19. Kondisi kerja adalah suatu keadaan dan sifat pekerjaan yang anak jalanan miliki sekarang. Kondisi kerja akan dilihat dengan menggunakan metode skala perbedaan semantik yang berisikan karakteristik bipolar (dua kutub) dari suatu pekerjaan. Kategorinya ialah sebagai berikut: 1) Menyedihkan - Menyenangkan 2) Keterpaksaan - Kemauan sendiri 3) Penuh resiko - Aman 4) Melelahkan - Ringan 5) Tidak mencukupi - Mencukupi kebutuhan 6) Pekerjaan rendah - Setara dengan pekerjaan lain Selanjutnya, diantara dua kutub ini akan diberi skor nilai antara 1-5, dimana setiap responden harus memberikan penilaian dengan menggunakan rentangan skor tersebut. Jika skor yang diberikan semakin ke kiri mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja anak jalanan sangat negatif, dan sebaliknya jika skor yang diberikan semakin ke kanan atau mendekati angka 5 maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja anak jalanan sangat posisif. 20. Kebijakan pemerintah adalah segala peraturan yang mengatur mengenai keberadaan anak jalanan. Variabel akan dilihat secara kualitatif dan akan dijelaskan pada dimensi-dimensi representasi sosial.
35
21. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai kerja yang ada pada anak jalanan. Dalam representasi sosial terdapat empat elemen yaittu informasi, keyakinan, pendapat dan sikap yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Informasi adalah segala pengetahuan yang miliki anak jalanan mengenai kerja 2) Keyakinan adalah suatu hal yang dipercaya mengenai kerja bagi anak jalanan 3) Pendapat
adalah
suatu
hasil
pemikiran
mengenai
kerja
yang
dikomunikasikan kepada anak jalanan lainnya 4) Sikap adalah kecenderungan respon suka atau tidak suka pada kerja yang hasil akhirnya bisa posistif atau negatif. Penyusunan instrumen untuk melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama yaitu yahap pada pra-survei diperoleh 9 kelompok representasi sosial tentang kerja seperti untuk kehidupan, cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, cari teman, bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah. Mengacu pada hasil studi Abric (1976) bahwa pengelompokkan representasi sosial tentang kerja harus kelipatan tiga. Mengenai representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dijelaskan sebagai berikut: 1) Untuk kehidupan yaitu bekerja direpresentasikan sebagai alat untuk bisa bertahan hidup
36
2) Cari kebebasan yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh kemerdekaan terhadap tindakan apa yang akan diambil, dan bisa mandiri. 3) Cari pengalaman yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh wawasan, menambah pengetahuan tentang kehidupan, dan mengetahui informasi tentang kehidupan jalananan. 4) Cari hiburan yaitu bekerja direpresentasikan untuk menghilangkan sters, mencari hiburan dan cuci mata,tidak bosan, mencari ketenangan dan memperoleh kesenangan. 5) Cari teman yaitu bekerja direpresentasikan sebagai wadah untuk mencari sahabat, cari pergaulan, cari persahabatan, kenal banyak orang dan cari pacar. 6) Bantu orangtua yaitu bekerja direpresentasikan untuk memberi uang kepada orangtua, menambah penghasilan keluarga, dan untuk membantu membeli obat adik. 7) Cari uang yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh atau menghasilkan uang. 8) Untuk makan yaitu bekerja direpresentasikan untuk bisa membeli makanan untuk dimakan sendiri dan anggota keluarga lainnya. 9) Untuk sekolah yaitu bekerja direpresentasikan sebagai alat agar bisa melanjutkan pendidikan formal, bisa membeli buku sekolah dan peralatan tulis, bisa membayar sekolah dan bisa menyekolahkan adik. Dari 9 kelompok representasi tentang kerja pada anak jalanan di atas, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu netral, positif dan
37
negatif. Representasi sosial tentang kerja yang bersifat netral artinya makna kerja tersebut dimiliki oleh semua orang, seperti untuk kehidupan. Representasi sosial tentang kerja kerja positif artinya bekerja untuk memenuhi kepentingan pribadi, tidak ada beban dalam menjalankannya, seperti cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, dan cari teman. Representasi sosial tentang kerja bersifat negatif artinya bekerja bukan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi tetapi juga orang lain, serta bekerja merupakan suatu tanggungjawab didalam kehidupan seperti bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah. Selanjutnya, untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, Abric (1976) merumuskan sebagai berikut: responden diminta untuk memilih tiga kata yang sesuai dengan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dan diberi kode 3, 3 kata lainnya yang dirasakan paling tidak mewakili makna kerja bagi anak jalanan, dan 3 kata terakhir dianggap netral dan diberi kode 2. Untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dilihat dari Jumlah kumulatif dari masing-masing item. Dikategorikan sebagai berikut: 1) Central core: dipilih berdasarkan jumlah tertinggi pertama dari representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan yang diberi skor 3 2) Peripheral core: melihat representasi sosial tentang kerja yang diberi skor 2 Terakhir, central core dan pheriperal core dijadikan dasar untuk pengelompokkan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.
38
22. Perilaku kerja adalah segala aktivitas yang dapat menghasilkan uang. Dalam perilaku kerja akan dilihat dari jam kerja, lama bekerja, lokasi kerja, jenis pekerjaan, dan tipe kelompok kerja. 23. Jam kerja adalah waktu dimana anak jalanan melakukan kegiatan mencari uang. Dikategorikan: 1) Pagi: 07.00 – 11.00 WIB 2) Siang: 11.01 – 15.00 WIB 3) Sore: > 15.00 WIB 24. Lama bekerja adalah jumlah waktu yang digunakan oleh anak jalanan untuk bekerja (Tidak termasuk waktu bermain dan rekreasi). Dikategorikan: 1) < 5 jam 2) ≥ 5 jam 25. Lokasi kerja adalah tempat dimana anak jalanan bekerja. Pada penelitian lokasi penelitian dibatasi yaitu di Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang. Berdaasrkan hasil survei lokasi kerja anak jalanan dikategorikan sebagai berikut. 1) Stasiun kereta api: di dalam gerbong dan wilayah stasiun 2) Terminal Baranangsiang: terminal bus, angkutan umum, lampu merah (traffic light) 26. Jenis pekerjaan anak jalanan adalah cara-cara yang dilakukan oleh anak jalanan untuk mendapatkan uang. Dikategorikan: 1) Bidang jasa seperti kuli panggul dan menyapu kereta
39
2) Berdagang seperti pedagang koran atau majalah, pedagang asongan dan penjual makanan ringan 3) Pengamen 4) Pengemis 5) Pemulung 27. Tipe kelompok kerja adalah apakah anak jalanan bekerja berkelompok atau tidak. Kategorinya adalah: 1) Tidak tentu, kadang sendiri dan kadang berkelompok 2) Selalu sendiri 3) Selalu berdua 4) Selalau berkelompok (lebih dari dua orang)
40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan tempat ini didasarkan wilayah yang strategis bagi anak jalanan untuk mencari uang karena merupakan salah satu tempat keramaian sehingga di daerah ini akan sangat banyak terdapat anak jalanan. Selain itu, pada daerah ini banyak terdapat variasi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan mulai dari pengamen, pengemis, tukang sapu, pemulung, pedagang asongan, penjual koran, dan lainnya. Diharapkan dari perbedaan jenis pekerjaan akan terdapat perbedaan karakteristik anak jalanan. Perbedaan karakteristik nantinya akan menghasilkan makna kerja yang berbeda pula, sehingga sangat mendukung atas kebutuhan data yang dibutuhkan pada penggalian makna kerja pada anak jalanan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2009. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan selanjutnya dilakukan pada bulan bulan Mei – Juni 2009.
3.2 Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan yang berada di Terminal Baranangsiang, Stasiun Kerta Api Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden yang diambil adalah 60 orang. Responden sejumlah 60 orang diambil dengan menggunakan teknik incidental sampling dengan pertimbangan bahwa pada
41
waktu penelitian anak jalanan yang dijadikan responden adalah anak yang berada di daerah tersebut dan sedang melakukan kegiatan mencari uang di jalanan. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap akan dipilih reponden untuk dijadikan informan. Informan dipilih tiga anak jalanan yang mewakili ke tiga tipe representasi sosial tentang kerja.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Proses penyusunan instrumen penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja bagi anak jalanan melalui beberapa tahap. Karakteristik sosial ekonomi anak jalanan dicari dengan menggunakan kuesioner dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup. Untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan menggunakan metode asosiasi bebas dan skala perbedaan semantik. Perilaku kerja pada anak jalanan telah dicari dengan menggunakan kuesioner berupa pertanyaan terbuka dan tertutup serta panduan pertanyaan dengan melakukan wawancara mendalam. Untuk faktor eksternal jenis kekerasan yang dialami anak jalanan dan kebijakan pemerintah telah dicari dengan menggunakan kuesioner yang tergabung didalam kuesioner dimensi-dimensi representasi sosial, sehingga pada saat pembahasan juga akan digabungkan ke dalam sub bab tersebut. Lebih lenjut mengenai instrumen untuk melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan didahului dengan tahap pra-survei. Dimana pada tahap ini mengumpulkan kalimat pendek atau kata-kata mengenai representasi tentang kerja pada anak jalanan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh item-item yang benar-benar hidup pada lingkungan anak jalanan dengan menggunakan metode asosiasi bebas.
42
Metode ini ditempuh dengan cara memberikan sebuah pertanyaan terbuka mengenai arti bekerja menurut anak jalanan, apa yang dibayangkan ketika mendengar kata bekerja dan apa yang disimpulkan dari bekerja. Jumlah responden yang dibutuhkan pada langkah asosiasi bebas tergantung variasi respon yang didapat. Jika dianggap penambahan responden tidak memunculkan respon baru (hanya berupa pengulanganpengulangan dari respon yang telah diperoleh sebelumnya) maka penambahan respon dihentikan. Pada penelitian, langkah asosiasi bebas dihentikan setelah responden ke 55 yang menghasilkan 100 pernyataan dan kata-kata yang menggambarkan representasi sosial tentang kerja. Mengacu pada hasil studi Abric (1976) bahwa pengelompokkan representasi sosial tentang kerja harus kelipatan tiga. Selanjutnya, pernyataan dan kata-kata tersebut dikelompokkan menjadi 9 kelompok representasi sosial tentang kerja yaitu untuk kehidupan, cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, cari teman, bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah. Akhirnya, reprsentasi sosial tentang kerja disajikan dalam bentuk kuesioner dan dibantu dengan menggunakan kartu bergambar. Dimana kartu bergambar tersebut merupakan ilustrasi terhadap representasi sosial tentang kerja sehingga responden bisa memahami representasi sosial tentang kerja yang dimaksud. Penggunaan kartu bergambar ini dimaksudkan untuk mengurangi bias karena responden belum bisa baca dan kurang mengerti mengenai representasi sosial tentang kerja. Responden akan memilih 3 kata melalui gambar yang dianggap paling mewakili makna kerja akan diberi kode 3, 3 kata melalui gambar yang dianggap paling tidak mewakili akan
43
diberi kode 1, dan 3 gambar lainnya akan diberi kode 2 dan dianggap netral (Abric, 1976). Selanjutnya, untuk menilai kondisi kerja anak jalanan digunakan metode skala diferensial semantik atau skala perbedaan semantik. Iskandar (2000) seperti dikutip oleh Riduwan (2006) menyatakan bahwa skala perbedaan semantik berisikan serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub) yang memiliki 3 dimensi dasar sikap seseorang terhadap obyek, yaitu: potensi (kekuatan/atraksi fisik suatu obyek), evaluasi (hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari suatu obyek), dan aktifitas (tingkatan gerakan suatu objek). Pada skala perbedaan semantik, responden diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap suatu konsep atau objek tertentu yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada angka yang sesuai. Skala ini menunjukkan suatu keadaan yang saling bertentangan. Skala yang akan digunakan seperti menyenangkan-menyedihkan, kemauan sendiri-keterpaksaan, aman-penuh resiko, ringan-melelahkan, mencukupi kebutuhan-tidak mencukupi, dan setara dengan pekerjaan lain-pekerjaan rendah. Seperti dicontohkan pada Tabel 2. Tabel 1. Contoh Skala Perbedaan Semantik Untuk Mengukur Kondisi Kerja Anak Jalanan Kondisi kerja positif Menyenangkan
5 x
4
Skor 3
2
1
Kondisi kerja negatif Menyedihkan
44
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer diperoleh melalui kuesioner dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi tentang jumlah responden berdasarkan karakteristik individu. Selain itu, tabel frekuensi juga digunakan untuk menganalisis faktor eksternal dan perilaku kerja. Data yang diperoleh mengenai representasi sosial tentang kerja diolah dengan menggunakan tabel frekuensi. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat frekuensi tertinggi dari kategori representasi sosial tentang kerja. Kemudian, kategori tersebut dijadikan dasar untuk merumuskan suatu tipologi. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara digunakan untuk mendukung data-data dari pengisian kuesioner yang disajikan, diintegrasikan dengan hasil kuesioner lalu ditarik suatu kesimpulan.
45
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Stasiun Kereta Api Bogor Stasiun Kereta Api Bogor didirikan sejak tahun 1881 pada masa kolonial Belanda. Stasiun Kereta Api Bogor secara geografi berada +246 M dpl yang memiliki luas bangunan ± 5.955 m2 dan luas tanah ± 43.267 m2. Stasiun Kereta Api Bogor memiliki tujuh buah jalur atau lintasan. Setiap malam terdapat 15 rangkaian kereta api yang menginap untuk pemberangkatan pada hari berikutnya. Stasiun Kereta Api Bogor memiliki batasan wilayah sebagai berikut:5
Sebelah utara : Jalan M.A. Salamun, Pertokoan, dan Pemukiman
Sebelah selatan: Jalan Kapten Muslihat dan Pertokoan
Sebelah timur : Jalan Nyi Raja Permas dan Pertoloan
Sebelah barat : Pemukiman Stasiun Kereta Api Bogor secara dinas beroperasi selama 24 jam. Namun,
untuk pelayanan masyarakat dimulai pada pukul 04.30 – 22.12 WIB. Pemberangkatan kereta dilakukan kurang lebih setiap 15 menit sekali. Penjelasan mengenai waktu operasional Stasiun Kereta Api Bogor dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3. Stasiun Kereta Api Bogor dalam waktu satu hari memiliki 39 kali keberangkatan untuk trayek Bogor-Jakarta dan 6kali keberangkatan untuk trayek Bogor-Tanah Abang. Tetapi pada hari Minggi/Libur maka pemberangkatan hanya 34 5
PT.KERTA API. http://www.keretaapi.com/info-ka. Stasiun Kereta Api Bogor. Diakses tamggal 24 April 2009
46
kali keberangkatan dengan kereta terakhir pada pukul 20.50 WIB dan hanya sampai stasiun Manggarai. Stasiun Kereta Api Bogor memiliki jadwal kedatangan kereta api dari tujuan Jakarta-Bogor sebanyak 48 kali dan trayek Tanah Abang-Bogor sebanyak 10 kali. Kedatangan Kereta Api (KA) penumpang untuk pertama kali tiba di Bogor pada pukul 06.07 WIB dan terakhir pada pukul 24.02 WIB, tetapi pada hari Minggu/Libur hanya sampai pukul 22.12 WIB6. Tabel 2. Waktu Operasional Stasiun Kereta Api Bogor Waktu Keberangkatan Pertama Terakhir
Bogor – Jakarta 04.30 WIB 22.12 WIB
Jurusan Bogor – Tanah Abang 05.00 WIB 20.29 WIB
Sumber: PT.KERETA API – Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Jadwal Perjalanan KRL Ekonomi Jakarta-Bogor. Diperoleh tanggal 23 April 2009
Waktu tempuh trayek Bogor – Kota adalah 1 jam 30 menit dan untuk trayek Bogor – Tanah Abang adalah 1 jam 20 menit untuk keadaan normal7. Namun, pada keadaan tidak normal bisa melebihi dari waktu yang dijadwalkan. Pada tahun 2001 jadwal perjalanan Kereta Api (KA) Penumpang rata-rata terlambat berangkat 36,33 menit dan rata-rata terlambat datang 59,33 menit. Beberapa faktor yang mengakibatkan tidak tepatnya jadwal perjalanan KA meliputi:8 1. Adanya beberapa bagian jalan KA yang memerlukan pembatasan kecepatan (Taspat) karena adanya pekerjaan Proyek Prasarana KA 6
PT.KERETA API – Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Jadwal Perjalanan KRL Ekonomi Jakarta-Bogor. Diperoleh tanggal 23 April 2009 7 PT.KERETA API – Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Jadwal Perjalanan KRL Ekonomi Bogor-Jakarta. Diperoleh tanggal 23 April 2009. 8 PT.KERTA API. http://www.keretaapi.com/info-ka. Stasiun Kereta Api Bogor. Diakses tamggal 23 April 2009
47
2. Adanya bagian jalan yang terkena bencana alam (banjir/longsor) dan menantikan dukungan dana perbaikan melalui komitmen Net PSO, IMO dan TAC dari Pemerintah 3. Beberapa KA dioperasikan secara pulang pergi (V-slag), sehingga kelambatan satu KA berakibat pada kelambatan KA berikutnya 4. Banyaknya bagian jalan yang memerlukan pembatasan kecepatan KA akibat menuanya prasarana jalan KA. Dinamika orang di Stasiun Kereta Api Bogor dapat terlihat dari jumlah penumpang yang datang dari dan akan menuju stasiun Bogor, yaitu terutama pengguna jasa Kereta Rangkaian Listrik (KRL). Lonjakan penumpang terjadi di pagi hari sekitar pukul 08.00 – 10.00 WIB dan sore hari dimulai sejak pukul 14.00 WIB9. Pada pagi hari, biasanya penumpang KRL merupakan karyawan baik buruh maupun pegawai kantor serta ada juga anak sekolah, dimana mereka saling berdesak-desakan dan berebut untuk naik ke dalam kereta. Sedangkan, pada siang hari sekitar pukul 11.00 – 13.00 WIB tidak terlalu padat hanya dipenuhi oleh anak sekolah yang akan berangkat atau pulang dari sekolah. Menurut Dian, salah satu petugas stasiun, biasanya setiap sore pada hari kerja penumpang dari Jakarta yang turun di Bogor jumlahnya mencapai 10 ribu penumpang10. Sementara itu, sumber lainnya mengungkapkan bahwa selama musim liburan jumlah penumpang KRL di Stasiun Bogor juga meningkat drastis sekitar 10,0 persen. Menurut Sunarto, salah satu 9
Anonim. http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009 10 Anonim. http://tempointeraktif.com. Ratusan Penumpang KRL Bogor Terhambat. Terbit kamis, 30 juni 2005. diakses tanggal 25 Juni 2009.
48
pegawai Stasiun Kereta Api Bogor, menyatakan bahwa pada hari biasa jumlah penumpang perhari rata-rata mencapai 100 ribu orang, tetapi selama liburan jumlah penumpang melonjak sekitar 110 ribu penumpang/hari. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat waktu anak jalanan paling banyak berada di Stasiun Kereta Api Bogor untuk bekerja. Anak jalanan pada hari kerja biasanya mulai bekerja sejak pukul 08.00 – 20.00 WIB, bahkan ada yang bekerja hingga kereta terakhir yaitu pada pukul 22.12 WIB menunggu KRL terakhir. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan seperti mengamen, mengemis, memulung, dan menyapu kereta Biasanya yang bekerja sampai larut malam adalah anak jalanan yang bekerja sebagai pemulung dan tukang sapu kereta. Namun, anak jalanan tidak mudah masuk ke dalam KRL untuk bekerja. Karena terdapat peraturan dari PT. Kereta Api Indonesia (PT.KAI) yang melarang keberadaan mereka di stasiun. Peraturan tersebut berisi larangan kepada siapapun untuk berdagang, mengamen, mengemis atau melakukan pekerjaan lainnya karena dapat mengganggu ketertiban umum. Maka dari itu, terdapat pengawasan yang ketat dari TNI dan Polri untuk KRL Pakuan dan Express. Jika ada TNI atau Polri di depan pintu kereta maka anak jalanan dan pedagang lainnya tidak bisa masuk untuk berdagang ataupun mengamen. Karena jika ketahuan mereka akan dibawa ke kantor untuk diberi peringatan bahkan adapula yang sudah beberapa kali ditangkap akan disita semua barang dagangan atau alat musik yang digunakan untuk mengamen. Demi alasan uang dan sesuap nasi, mereka tetap saja nekad untuk masuk ke dalam KRL. Umumnya, anak jalanan di stasiun Bogor ditemui di sepanjang peron depan
49
Dunkin Donuts, tempat duduk penumpang, pinggiran toko/kios, dalam gerbong KRL, dan di bawah pohon. Bebrapa fasilitas yang ada di Stasiun Kereta Api Bogor dijelaskan sebagai berikut: 1. Ruang informasi berfungsi untuk memberikan informasi mengenai jadwal keberangkatan dan keterlambatan kereta api. Menurut pengamatan di lapanagn ruang informasi berfungsi dengan baik. Biasanya anak jalanan banyak ditemui di depan ruang informasi untuk beristirahat. 2. Ruang dipo berfungsi sebagai tempat perbaikan dan pencucian kereta api, pencucian kereta api rutin dilakukan setiap minggu yang dilakukan secara bergilir antara kereta yang satu dengan kereta lainnya. 3. Loket karcis berfungsi sebagai tempat membeli karcis sesuai dengan tujuan penumpang. Pengawasan yang dilakukan di pintu masuk dan keluar tidak terlalu ketat karena masih ada juga penumpang tanpa karcis yang keluar dan masuk stasiun kereta api Bogor. 4. Toilet berfungsi sebagai tempat mandi cuci kakus (MCK) bagi penumpang atau
pengelola stasiun. Keadaan tidak terlalu baik, agak jorok dan bau pesing.
Walaupun terdapat pemungutan yang diperuntukkan bagi perawatan toilet, tetapi tidak terlihat manfaatnya. Mushola berfungsi sebagai tempat beribadah bagi penumpang yang beragama islam. Biasanya digunakan pulasebagai tempat beristirahat sementara penumpang untuk sementara sambil menuggu KRL datang dari Jakarta.
50
5. Minimarket berfungsi sebagai tempat berbelanja bagi penumpang dan pengelola. Ternyata anak jalanan pun terkadang berbelanja makanan ringan atau rokok di minimarket tesebut. 6. Kios atau Warung merupakan tempat berjualan bagi pengusaha besar maupun kecil. Biasanya jika ingin menempati kios atau warung tersebut penjual harus menghubungi bagian keuangan dari stasiun untuk mengikat kontrak terkait dengan penyewaan kios atau warung tersebut. Biasanya anak jalanan banyak ditemui di depan warung atau kios dan berkumpul pada saat mulai bekerja dan ketika beristirahat. 7. Tempat duduk terletak di peron dua berfungsi sebagai tempat duduk penumpang ketika menuggu kedatangan KRL dari Jakarta. Tetapi jumlahnya masih sangat kurang, banyak penumpang yang duduk di rel kereta api yang berada di jalur satu dan dua. Hal ini sangat berbahaya karena pada jalur tersebut merupakan jalur keluar dari ruang dipo. Terkadang penumpukan penumpang di jalur tersebut menghambat keluar masuknya kereta dari dan akan menuju ruang dipo.
4.2 Terminal Baranangsiang (TB) Terminal Baranangsiang memiliki luas 18.350 m2. Seharusnya luas TB sebesar 5 Ha karena merupakan model terminal dengan tipe pelayanan A (melayani rute antar-kota, antar-propinsi, antar dalam kota dan antar dalam propinsi)tetapi luas terminal tipe C. Terminal Baranangsiang memiliki batas – batas wilayah sebagai berikut.
51
Sebelah utara : Kelurahan Tegelega
Sebelah selatan: Katulampa
Sebelah timur :Sukasari
Sebelah barat : Jalan tol Jagorawi Secara operasional atau teknis Terminal Baranangsiang beroperasi selama 24
jam, selama masyarakat masih membutuhkan. Biasanya terminal beroperasi selama 24 jam pada saat menjelang dan sesudah lebaran Idul Fitri, tetapi pada hari kerja / biasa diupayakan dari pukul 22.00 – 03.00 WIB tidak ada bis yang menginap. Hal ini dilakukan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan seperti tindak kriminal, aktifitas PSK, ”mabuk-mabukan” dan sejenisnya. TB melayani trayek antar kota dan antar propinsi (AKAP) dengan jumlah 32 trayek, dan 18 trayek antar kota dalam propinsi. Berikut dapat dilihat contoh trayek yang dilayani oleh Terminal Baranangsiang adalah sebagai berikut: Contoh trayek AKAP: Bogor – Kp.Rambutan; Bogor – Kalideres; Bogor – Tj. Priok; Bogor – Pulogadung; Bogor – Merak. Contoh trayek antar kota dalam propinsi:Bogor – Sukabumi; Bogor – Pl. Ratu; Bogor – Sukabumi; Bogor – Jonggol. Dinamika orang yang berada di Terminal Baranangsiang sangat padat. Kepala Terrminal Baranangsiang mengungkapkan bahwa biasanya terminal melayani sekitar 1800 penumpang setiap harinya. Namun, pada hari libur bersama jumlahnya bisa mencapai lebih dari 1900 penumpang tiap harinya11. Lonjakan yang paling signifikan terjadi pada penumpang yang menuju ke Bandung, Merak, Cirebon dan 11
Anonim. http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009
52
Rangkas Bitung. Sebagian besar dari mereka yang datang ke Bogor bertujuan untuk berlibur bersama keluarga di kawasan Puncak, Kebun Raya dan Pelabuhan Ratu Sukabumi. Sedangkan untuk ke luar kota biasanya mereka hanya transit. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya anak jalanan di dalam ataudi luar terminal. Karena semakin banyak penumpang akan semakin besar peluang anak jalanan untuk mendapatkan uang baik dari hasil mengamen, mengemis dan memulung. Anak jalanan yang berada di TB memiliki beberapa titik. Titik pertama berada di pintu keluar dua. Dimana, anak jalanan dapat ditemui di halte di dekat pintu keluar. Biasanya anak jalanan yang akan ikut bus untuk mengawal ke Jakarta harus ikut membantu menaikkan penumpang ke dalam bus. Bagi anak jalanan yang berlokasi di Terminal Baranangsiang (TB) terutama yang berada di angkot dan lampu merah dekat Tugu Kujang, pada hari kerja biasa mulai bekerja pada siang hari sekitar pukul 11siang. Mereka tidak bisa untuk bekerja pada pagi hari karena terdapat Satpol PP yang berjaga pergi. Berdasarkan informasi salah satu anak jalanan, biasanya Satpol PP berjaga sejak pukul 08.00 – 11.00 WIB, maka dari itu anak jalanan yang berada di TB mulai turun ke jalan setelah pukul 11.00 WIB. Namun, ada juga yang secara sembunyi-sembunyi untuk mengamen dipagi hari, walaupun terkadang jika ketahuan diusir atau diberi peringatan. Umumnya anak jalanan melakukan pekerjaan sebagai pengamen, pengemis dan pemulung. Beberapa fasilitas yang berada di Terminal Baranangsiang adalah sebagai berikut. 1. Parkir motor, dimana didalam penggunaan fasilitas tersebut harus membayar Rp1.000,00 untuk sekali parkir.
53
2. Toilet yang befungsi untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK), didalam penggunaan fasilitas tersebut untuk buang air kecil membayar Rp1.000,00, BAB membayar Rp1.500,00 dan untuk mandi membayar Rp2.500,00. 3. Warung/kios berfungsi menjual makanan dan minuman yang digunakan untuk para pengelola dan penumpang. Biasanya anak jalanan suka berkumpul di depan warung/kios sebelum bekerja dan ketika beristirahat. Pemiliki warung atau kios sudah terbiasa dan tidak terganggu dengan anak jalanan tersebut, karena mereka tidak melakukan hal-hal yang mengganggu kenyamanan pemilik warung. 4. Mushola berfungsi untuk para penumpang untuk sholat dan beristirahat sejenak. Terkadang sesekali terlihat anak jalanan yang masih kecil datang untuk mengemis ketika waktu sholat tiba. Mereka biasanya hanya sebentar, tidak terlalu lama karena jika waktu sholat telah usai keadaan di mushola sepi. Maka dari itu mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih ramai untuk mengemis.
54
BAB V REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN
Pada bab ini akan di bahas mengenai tipe-tipe representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan terkait dengan ciri demografis, kondisi sosial ekonomi keluarga, dan motivasi menjadi anak jalanan. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dibangun oleh empat dimensi yaitu informasi yang dimiliki, keyakinan, opini, dan sikap terhadap kerja yang dimiliki oleh anak jalanan. Penjelasan mengenai dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan akan dibahas secara deskriptif.
5.1 Tipe-Tipe Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai kerja yang ada pada anak jalanan yang diperoleh dari hasil interaksi sesama kelompok anak jalanan. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dikategorikan ke dalam 9 kategori (Tabel 3) yaitu untuk kehidupan, cari kebebasan, cari hiburan, cari teman, cari pengalaman, untuk sekolah, bantu orangtua, cari uang, dan untuk makan. Berdasarkan tabel 3, central core dari representasi sosial yang ada pada anak jalanan adalah cari uang. Sedangkan pheriperal core dari representasi sosial adalah untuk makan, untuk kehidupan, dan cari teman. Representasi sosial yang ada pada anak jalanan dibagi menjadi tiga tipe, antara lain tipe I: kerja di jalanan untuk
55
membantu orangtua mencari nafkah, tipe II: kerja di jalanan untuk menambah teman, dan tipe III: kerja di jalanan untuk mencari pengalaman. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Representasi Sosial Tentang kerja Representasi Sosial Untuk Kehidupan Cari Kebebasan Cari Hiburan Cari Teman Cari Pengalaman Untuk Sekolah Bantu Orangtua Cari Uang Untuk Makan
Kode 2
1
Total (%)
n
%
n
%
n
3 %
15
25
29
48
16
27
60 (100)
37
62
6
10
17
28
60 (100)
36 13
60 22
12 28
20 47
12 19
20 31
60 (100) 60 (100)
32
53
17
28
11
19
60 (100)
30
50
12
20
18
30
60 (100)
7
12
24
40
29
48
60 (100)
4 6
7 10
18 34
30 57
38 20
63 33
60 (100) 60 (100)
Keterangan (1) paling tidak mewakili; (2) netral; (3) paling mewakili
Tipe representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dapat dilihat dengan jelas pada gambar di bawah ini:
Tipe Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan
Tipe I: “Kerja di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah” (63 persen atau 38 orang)
Tipe II: “Kerja di Jalanan Untuk Menambah Teman” (30 persen atau 18 orang)
Tipe III: “Kerja di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman” (7 persen atau 4 orang)
Gambar 2. Tipe Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan
56
5.1.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah Tipe representasi sosial tentang kerja pencari nafkah dicirikan oleh anak jalanan yang memiliki central core yaitu cari uang dan bantu orangtua. Makna kerja yang dimiliki oleh anak jalanan mengindikasikan bahwa anak jalanan berasal dari keluarga miskin. Hal tersebut dapat terlihat pada dari representasi sosial tentang kerja yang dimiliki merupakan suatu usaha untuk mencari uang guna membantu orangtua demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penegasan terhadap tipe ini terlihat pula pada pheriperal core yang dimiliki yaitu untuk makan dan untuk kehidupan. Dan bagi mereka bekerja bukanlah mencari kebebasan, cari hiburan dan cari pengalaman (Tabel 4). Tabel 4. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Central core dan Pheriperal core Representasi Sosial Cari uang Cental core Bantu orangtua Untuk makan Pheriperal core Untuk kehidupan
n 38 21 24 19
% 100 55 63 50
Anak jalanan tipe I memiliki ciri demografi yaitu sebagian besar berusia di atas 12 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian dari anak jalanan tipe I memiliki pengalaman kerja lebih dari satu tahun. Jika dilihat usia sekarang mereka bekerja (12 tahun) dikurangi dengan lama bekerja (>1 tahun) dapat diperkirakan bahwa anak jalanan tipe I sudah mulai bekerja di jalanan sejak usia dibawah 11 tahun. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang miskin sehingga orangtua turut mempekerjakan anak-anak mereka untuk mencari uang.
57
Sebagian besar anak jalanan tipe I memiliki tempat tinggal bersama orangtua, walaupun ada pula yang tinggal bersama teman sekelompok, menggelandang di jalanan, dan tinggal bersama saudara. Anak jalanan tipe ini sudah tidak sekolah dan hanya memiliki pendidikan terakhir yaitu SD dan sederajat (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Ciri Demografis Ciri Demografis Usia 12-17 tahun Pengalaman kerja > 1 tahun Jenis kelamin Laki-laki Tempat tinggal Bersama orangtua Status sekolah Tidak sekolah Pendidikan terakhir SD dan sederajat Keberadaan orangtua Memiliki bapak dan ibu
n 32 35 32 19 26 24 30
% 84 92 84 50 68 63 79
Motivasi menjadi anak jalanan tipe I berasal dari diri sendiri, artinya anak jalanan bekerja atas kemauan mereka sendiri. Ternyata setelah ditanyakan kembali alasan mereka turun ke jalan karena kurang kasih sayang atau perhatian dari keluarga. Seperti diungkapkan oleh Wl (15 tahun). ”Saya kerja atas kemauan sendiri, ngapain juga di rumah ’bete’. Mendingan ngamen di sini bisa dapet duit. Lumayan kak, bisa bantuin ma’ beli beras. Ma’ sama bapak pagi-pagi udah gawe jadi saya sendirian, sepi di rumah kak.(Wl,15 tahun)” Tabel 6. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan Aspek
n
%
Motivasi
Sendiri
17
45
Alasan turun ke jalan
Kurang kasih sayang kelarga
16
42
Kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan merupakan salah satu faktor pendukung lainnya yang menyebabkan seorang anak bekerja di jalanan. Berdasarkan
58
Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar anak jalanan tipe I memiliki jumlah saudara antara 3 sampai 5 orang, hal ini berarti keluarga anak jalanan termasuk keluarga besar. Jumlah anggota keluarga menggambarkan jumlah perut yang harus diisi oleh makanan. Dapat dipahami bahwa keberadaan jumlah anggota keluarga yang besar mengakibatkan orangtua turut mempekerjakan anak-anak mereka untuk mencari uang. Jenis pekerjaan bapak sebagai kepala keluarga adalah buruh terampil seperti PRT, supir angkutan, satpam dan karyawan. Sedangkan ibu, sebagian besar tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Keadaan tersebut semakin mempersulit keadaan ekonomi keluarga anak jalanan. Pendidikan terakhir orangtua anak jalanan hanya sampai tingkat SD dan sederajat. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan bekerja pada sektor formal (Tabel 7). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Jumlah saudara 3-5 orang Pendidikan bapak SD dan sederajat Pekerjaan bapak Buruh halus Penghasilan bapak Tidak tahu Pendidikan ibu SD dan sederajat Pekerjaan ibu Tidak bekerja Penghasilan ibu Tidak berpenghasilan
n 27 20 12 19 21 26 26
% 71 53 32 50 55 68 68
5.1.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman Anak jalanan tipe II memiliki central core yaitu cari teman, cari hiburan dan bantu orangtua (Tabel 8). Pheriperal core dari representasi sosial tentang kerja adalah untuk makan. Jika dilihat dari makna kerja yang dimiliki oleh tipe II bersifat sosial.
59
Artinya didalam bekerja anak jalanan mementingkan untuk mengembangkan dunia sosialnya seperti memperbanyak teman, menambah pergaulan, mencari hiburan untuk menghilangkan stres dan ’bete’ karena kurangnya perhatian dari orangtua di rumah. Tabel 8. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Central core dan Pheriperal core
Central core Pheriperal core
Representasi Sosial Cari teman Cari hiburan Bantu orangtua Untuk makan
n 11 9 9 10
% 61 50 50 56
Anak jalanan tipe II memiliki ciri demografis (Tabel 9) seperti usia sebagian besar diatas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Mereka memiliki preferensi yang kuat untuk mencari teman didalam bekerja. Sebagian dari anak jalanan tipe II memiliki pengalaman kerja lebih dari 1 tahun. Hal tersebut berarti mereka bekerja sejak usia mereka dibawah 13 tahun. Anak jalanan tersebut memiliki tempat tinggal bersama orangtua dan sudah tidak sekolah karena orangtua tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan mereka. Mereka bersekolah sampai tingkat SD dan sederajat, tetapi bagi mereka itu sudah cukup. Minimal mereka tidak buta huruf. Hal ini seperti yang diungkapkan An (15 tahun) yang bersekolah samapi tingkat SD. ”Biarin cuma sekolah sampe SD, itu udah cukup kak. Yang penting bisa baca dan ngitung dikit-dikit...”
60
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Ciri Demografis Ciri Demografis Usia 15-17 tahun Jenis kelamin Perempuan Tempat tinggal Bersama orangtua Status sekolah Tidak sekolah Pendidikan terakhir SD dan sederajat Keberadaan orangtua Memiliki bapak dan ibu Pengalaman kerja >1 tahun
n 10 14 13 14 13 15 16
% 56 78 72 78 72 83 89
Motivator anak jalanan tipe II berasal dari teman. Bagi mereka teman adalah orang terdekat bukan orangtua. Ternyata setelah ditanyakan kembali, mereka memiliki alasan khusus untuk turun ke jalan yaitu kurang kasih sayang dan perhatian dari keluarga. Orangtua yang terlalu sibuk bekerja karena kurang menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dan berinteraksi dengan mereka. Oleh karena itu, mereka keluar dari rumah dan mencari oranglain yang bisa mendengarkan dan berbagi bersama mereka. Seperti yang diungkakpkan oleh Ttn (15 tahun) yang turun ke jalan karena kurang perhatian dari orangtua. ”Dirumah orangtua, terutama ma’ ga pernah mau dengerin kalo saya mau curhat. Katanya ntar aja lagi sibuk dengan kerjaan rumah...” Tabel 10. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan Motivasi Alasan turun ke jalan
Aspek Teman Kurang kasih sayang kelarga
n 9 8
% 50 44
Kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan tipe II (Tabel 11) lebih baik dibandingkan tipe I. Walaupun jumlah saudara kandung sama yaitu diantara 3-5 orang tetapi kedua orangtua anak jalanan bekerja walaupun disektor informal. Orangtua anak jalanan tipe II memiliki pendidikan terakhir SD dan sederajat. Hal
61
tersebut membuat orangtua anak jalanan hanya dapat melakukan pekerjaan yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit keterampilan. Sebagian besar jenis pekerjaan bapak sebagai kepala keluarga adalah pengemis dan pengamen. Sedangkan ibu, sebagian besar bekerja sebagai pengemis. Mengenai penghasilan yang diperoleh hanya sebagian kecil yang diketahui. Sebagian besar penghasilan bapak yang diketahui berkisar antara Rp 200.000,00 – Rp 600.00,00 per bulan. Sedangkan ibu, besar penghasilan yang diketahui kurang dari Rp 400. 000,00 per bulan. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Jumlah saudara 3-5 orang Pendidikan bapak SD dan sederajat Pekerjaan bapak Pemulung dan Pengemis Penghasilan bapak Rp 200.000,00-Rp 600.000,00 Pendidikan ibu SD dan sederajat Pekerjaan ibu Pengemis Penghasilan ibu < Rp 400 000,00
n 12 12 6 6 8 8 6
% 67 67 33 33 44 44 33
5.1.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman Anak jalanan tipe III memiliki central core yaitu cari kebebasan. Sedangkan, pheriperal core yang dimiliki oleh anak jalanan tipe ini adalah untuk sekolah, cari teman, cari pengalaman. Jika dilihat dari central core dan pheriperal core yang dimiliki, semuanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan pengembangan diri (Tabel 12).
62
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Central core dan Pheriperal core Representasi Sosial Cari kebebasan Untuk sekolah Pheriperal core Cari teman Cari pengalaman Central core
n 3 3 3 2
% 75 75 75 50
Anak jalanan tipe III memiliki ciri demografis (Tabel 13) yaitu usia sebagian besar diatas 15 tahun, kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar anak jalanan masih memiliki bapak dan ibu dan memiliki tempat tinggal bersama orangtua. Anak jalanan tipe ini ada yang masih berstatus sekolah dan tidak sekolah, bagi mereka yang masih sekolah sedang menempuh pendidikan di tingkat SLTP dan sederajat dan mereka yang sudah tidak sekolah memiliki pendidikan terakhir SD dan sederajat. Mengenai pengalaman kerja, anak jalanan tipe III telah bekerja di jalanan lebih dari 1 tahun, berarti anak jalanan tipe III mulai bekerja sejak umur dibawah 14 tahun. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Ciri Demografis Ciri Demografis 15-17 tahun Laki-laki Bersama orangtua Tempat tinggal Teman sekelompok Sekolah Status sekolah Tidak sekolah SD dan sederajat Pendidikan terakhir SLTP dan sederajat Keberadaan orangtua Memiliki bapak dan ibu 1-2 tahun Pengalaman kerja >2 tahun Usia Jenis kelamin
n 4 4 2 2 2 2 2 2 4 2 2
% 100 100 50 50 50 50 50 50 100 50 50
63
Berdasarkan tabel 13, dapat dikatakan bahwa tipe III dimiliki oleh anak-anak yang berusia diatas 15 tahun dan memasuki usia remaja. Pada usia ini mereka sudah mulai ingin bebas dan mencari jati diri mereka, hal ini sesuai dengan makna kerja pinggiran tipe ini yaitu cari pengalaman. Mereka mencoba hal-hal baru demi mengekspresikan keinginan mereka untuk mencari kebebasan. Seperti diungkapkan oleh Al (17 tahun). ”Jadi anak jalanan enak kak bebas, bebas mau ngapain aja, ga ada yang nngatur. Disini awal saya ngerokok dan ’minum’ karena pengaruh teman yang menawari saya untuk ngerokok dan minum pas lagi nongkrong. Ga enak kan kak kalo ga di ambil tuh rokok, jadi aja sekarang jadi pecandu rokok....”
Motivasi anak jalanan tipe III menjadi anak jalanan berasal dari teman karena bagi anak jalanan orang terdekat bagi mereka bukanlah orangtua. Alasan seorang anak turun ke jalan pada tipe III ada dua yaitu kurang kasih sayang keluarga (kondisi rumah yang tidak harmonis) dan mencari tambahan uang jajan. Anak jalanan yang bekerja di jalanan untuk tambahan uang jajan merupakan anak jalanan yang masih bersekolah, sehingga mereka bekerja untuk membayar uang sekolah atau membeli perlengkapan sekolah (Tabel 14). Seperti yang diungkapkan oleh Rw (16 tahun) yang bekerja untuk mencari tambahan uang jajan. ”Alasan saya kerja untuk nyari tambahan uang jajan buat bayaran sekolah dan membeli perlengkapan sekolah lainnya. Kasihan kan kak, kalo harus minta sama orangtua. Biar saya sekolah kak, tapi ga boleh nyusahain orangtua...”
Sedangkan, bagi anak jalanan yang sudah tidak sekolah, bekerja di jalanan merupakan suatu kompensasi dari kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Hal tersebut disebabkan oleh orangtua terlalu sibuk bekerja dan kurang
64
menyediakan waktu untuk berbagi dan bercerita dengan anak-anak mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Am (16 tahun). ”Saya jadi anak jalanan kaya gini karena ga dapet perhatian dari orangtua. Jadi saya pergi keluar rumah untuk mencari teman dan pengalaman, biar punya pengalaman hidup aja..”
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan Motivasi Alasan turun ke jalan
Aspek Teman Kurang kasih sayang kelarga Iseng/mencari tambahan uang jajan
n 3 2 2
% 75 50 50
Kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan tipe III lebih baik dibandingkan kedua tipe lainnya. Walaupun jumlah saudara kandung yang dimiliki sama yaitu antara 3-5 orang, tetapi semua responden memiliki bapak bekerja. Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh bapak dari anak jalanan tipe III sebagai buruh kasar atau pekerja serabutan. Sedangkan untuk ibu, hanya sebagian yang bekerja yaitu di bidang jasa yaitu sebagai PRT dan tukang cuci botol kecap dengan penghasilan yang diketahui antara Rp 200.000,00 – Rp 400.000,00 per bulan. Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh orangtua anak jalanan tidak lepas dari pengaruh pendidikan yang dimiliki. Sebagian besar pendidikan terakhir orangtua anak jalanan adalah SD dan sederajat (Tabel 15).
65
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Jumlah saudara 3-5 orang SD dan sederajat Pendidikan bapak SLTP dan sederajat Pekerjaan bapak Buruh kasar Penghasilan bapak Tidak tahu Pendidikan ibu SD dan sederajat Tidak bekerja Pekerjaan ibu Jasa Penghasilan ibu Tidak berpenghasilan
n 3 2 2 2 3 3 2 2 2
% 75 50 50 50 75 75 50 50 50
66
5.2 Dimensi – Dimensi Representasi Sosial tentang Kerja Pada Anak Jalanan Terdapat empat dimensi yang membentuk represetasi sosial tentang kerja pada anak jalanan yaitu informasi, keyakinan, opini dan sikap yang akan dijelaskan dibawah ini. Pembahasan mengenai dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja akan dibahas per tipe.
5.2.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah Berikut akan disajikan tabel mengenai jumlah dan persentase anak jalanan tipe I berdasarkan dimensi-dimensi mengenai bekerja yang diketahui. Tabel 16. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja Peraturan usia kerja Bekerja dilarang Terdapat razia anak jalanan Waktu razia: satu bulan sekali Waktu razia: tidak tentu Keyakinan akan bahaya Bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan Bekerja di jalanan tidak baik untuk keselamatan jiwa Bekerja di jalanan membantu perekonomian keluarga Bekerja di jalanan tidak baik untuk masa depan Terdapat sanksi yang diberikan pada saat razia Tidak akan selamanya kerja di jalanan Bahaya yang dihadapi: kecelakaan lalu lintas Bahaya yang dihadapi: kekerasan ekonomi Bahaya yang dihadapi: kekerasan fisik Bahaya yang dihadapi: pelecehan seksual Bekerja merupakan hal yang menyenangkan Sesungguhnya tidak ingin bekerja di jalanan Setuju dengan peraturan larangan bekerja Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bersekolah Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bermain Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bekerja cari uang Aktivitas yang seharusnya dilakukan: membantu orangtua di rumah Kondisi kerja positif (skor 19 – 30)
n 6 20 38 12 12 37 38 34 20 37 35 38 38 32 27 0 25 36 6 38 31 9
% 16 53 100 32 32 97 100 90 52 97 92 100 100 84 71 0 66 95 16 100 82 24
8
21
28
74
67
5.2.1.1 Informasi Berdasarkan Tabel 16, umumnya anak jalanan tipe I memiliki pengetahuan mengenai peraturan larangan bekerja di jalanan dan pelaksanaan razia, hanya sebagian kecil yang memiliki pengetahuan peraturan usia kerja. Waktu pelaksanan razia yang diketahui oleh anak jalanan tidak pasti. Ada yang mengetahui razia diadakan satu bulan sekali dan tidak tentu. Berdasarkan Tabel 16 , dapat disimpulkan bahwa pengetahuan anak jalanan mengenai pekerjaan yang dilakukannya sekarang masih sangat kurang, pengetahuan tersebut hanya dimiliki oleh sebagian kecil anak jalanan.
5.2.1.2 Keyakinan (Belief) Berdasarkan Tabel 16, anak jalanan tipe I meyakini bahwa bekerja di jalanan berbahaya, tetapi mereka tetap melakukannya untuk membantu perekonomian keluarga. Mereka sangat menyadari bahwa bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan karena banyak polusi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ad (14 tahun) di bawah ini: “bekerja di jalanan banyak debu sehingga muka menjadi kotor dan timbul jerawat” Anak jalanan mengakui bahwa bekerja di jalanan tidak baik untuk masa depan karena bisa salah pergaulan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Uj (17 tahun) di bawah ini. “Bekerja di jalanan rentan untuk meniru kebiasaan dari orang yang lebih tua yang ga bener seperti merokok, “ngaibon”, dan minuman keras...”
68
Mereka mengatakan bahwa jika terkena razia maka mereka akan mendapatkan sanksi, sebagian besar anak jalanan meyakini bahwa sanksi yang diterima pada saat razia adalah sanksi ringan dan berat. Sanksi ringan hanya berupa peringatan dan sanksi berat terdiri dari peringatan, dipukul agar jera dan disita gitar atau barang dagangannya. Berdasarkan keyakinan di atas, anak jalanan tipe I meyakini bahwa mereka tidak akan selamanya kerja di jalanan. Bentuk bahaya yang diyakini oleh anak jalanan tipe I adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasa ekonomi, dan kekerasan fisik. Tidak satupun dari mereka yang meyakini adanya bahaya pelecehan seksual (Tabel 16)
5.2.1.3 Opini Sebagian besar anak jalanan memiliki opini bahwa kerja di jalanan itu menyenangkan, walaupun sebenarnya mereka tidak ingin bekerja di jalanan karena sesungguhnya terdapat perasaan malu jika keberadaan mereka di jalanan diketahui oleh teman-teman sebaya di sekolah. Berikut adalah ungkapan Wl (14 tahun) salah satu anaak jalanan yang menyatakan hal tersebut. “Bekerja di jalanan itu menyenangkan, soalnya kita bisa sambil main, cari teman, tambah pergaulan. Selain dapet uang kita bisa cari hiburan lah kak. Tapi sebenarnya kita ga pada mau kerja kaya gini, tapi kalo ga kerja ga bisa dapet uang untuk sekolah dan ngebantuin ibu ...” Opini mengenai peraturan yang melarang seseorang untuk bekerja di jalanan, sebagian besar menyatakan tidak setuju dengan alasan tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mencari uang (lihat Tabel 33). Hal ini seperti ungkapan
69
dari Rkl (17 tahun), salah satu anak jalanan yang tidak menyetujui mengenai larangan bekerja di jalanan. “Seandainya ada larangan sebaiknya ada solusi bagi anak jalanan untuk menghasilkan uang selain bekerja di jalanan. Kalo kita dilarang nyari duit, bisa-bisa kita mati kelaparan, kalo bisa jangan cuma ngelarang aja, kasih dong pekerjaan ke kita biar ga usah kerja di jalanan ...” Anak jalanan tipe I menyatakan bahwa aktifitas yang seharusnya dilakukan pada usia mereka hanyalah bersekolah dan bermain (Tabel 16). Bekerja mencari uang dan membantu orangtua di rumah bukanlah aktifitas yang seharusnya mereka lakukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ab (13 tahun) dibawah ini. ”kalo seusia kita gini, seharusnya kita cuma sekolah dan bermain. Untuk bekerja mencari uang dan membantu orangtua di rumah saya ngerasa ga usah dilakuin...”
5.2.1.4 Sikap Pengukuran sikap tentang kerja pada anak jalanan dilakukan dengan menggunakan skala likert. Pengukuran tersebut digunakan untuk melihat kondisi kerja anak jalanan. Kondisi kerja pada anak jalanan terbagi menjadi dua yaitu bersifat negatif dan positif. Berdasarkan Tabel 16, sebagian besar anak jalanan menilai kondisi kerja bersifat positif. Anak jalanan yang memiliki kondisi kerja positif menyatakan bahwa bekerja di jalanan menyenangkan. Selain itu, bekerja merupakan kemauan sendiri, aman, ringan, mencukupi kebutuhan dan setara dengan pekerjaan lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu anak jalanan di bawah ini.
70
“Kerja disini kak, aman-aman aja. Lagian yang dikerjan juga ga butuh banyak tenaga. Contohnya aja saya ngamen, kan cuma modal suara sama kecrekan. Kalo cape ya istirahat”. Wl-St (15th) 5.2.2Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman Berikut akan disajikan tabel mengenai jumlah dan persentase anak jalanan tipe II berdasarkan dimensi-dimensi mengenai bekerja yang diketahui. Tabel 17. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan DimensiDimensi Mengenai Bekerja Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja Peraturan usia kerja Bekerja dilarang Terdapat razia anak jalanan Waktu razia: satu bulan sekali Waktu razia: tidak tentu Keyakinan akan bahaya Bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan Bekerja di jalanan tidak baik untuk keselamatan jiwa Bekerja di jalanan membantu perekonomian keluarga Bekerja di jalanan tidak baik untuk masa depan Terdapat sanksi yang diberikan pada saat razia Tidak akan selamanya kerja di jalanan Bahaya yang dihadapi: kecelakaan lalu lintas Bahaya yang dihadapi: kekerasan ekonomi Bahaya yang dihadapi: kekerasan fisik Bahaya yang dihadapi: pelecehan seksual Bekerja merupakan hal yang menyenangkan Sesungguhnya tidak ingin bekerja di jalanan Setuju dengan peraturan larangan bekerja Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bersekolah Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bermain Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bekerja cari uang Aktivitas yang seharusnya dilakukan: membantu orangtua di rumah Kondisi kerja positif (skor 19 – 30)
n 4 11 18 6 2 2 18 12 9 12 15 16 16 10 9 0 18 15 1 13 8 7 0 15
% 22 61 100 33 11 11 100 67 50 67 83 89 89 56 50 0 100 83 6 72 44 39 0 83
71
5.2.2.1 Informasi Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa anak jalanan tipe II kurang memiliki informasi mengenai peraturan usia kerja, tetapi sebagian besar dari mereka mengetahui peraturan yang melarang untuk berjualan, mengemis dan mengamen ataupun melakukan pekerjaan lainnya. Anak jalanan tipe II mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia, persentase anak jalanan yang mengetahui dan tidak mengetahui waktu razia tidak jauh berbeda.
5.2.2.2 Keyakinan (Belief) Berdasarkan Tabel 17, sebagian besar anak jalanan meyakini bahwa bekerja di jalanan tidak berbahaya karena menurut mereka bisa menjaga diri. Seperti yang diungkapkan oleh Yn (17 tahun). “Menurut saya kerja di jalanan ga berbahaya soalnya kita bisa jaga diri” Anak jalanan tipe II menyatakan bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, walaupun terdapat sanksi yang didapat jika terjaring razia. Umumnya mereka mengetahu bahwa sanksi yang diterima pada saat razia adalah sanksi ringan berupa peringatan. Bagi anak jalanan tipe II bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan, keselamatan jiwa, dan masa depan. Berdasarkan keyakinan yang dimiliki mereka menyatakan tidak akan selamanya bekerja di jalanan. Bentuk bahaya yang dihadapi oleh anak jalanan tipe II umumnya adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan ekonomi, dan kekerasan fisik. Tidak ada anak jalanan yang meyakini adanya pelecehan seksual (Tabel 17).
72
5.2.2.3 Opini Sebagian besar anak jalanan (Tabel 17) menyatakan kerja di jalanan itu menyenangkan, walaupun sebenarnya mereka tidak ingin bekerja karena terdapat perasaan malu jika keberadaan mereka di jalanan diketahui oleh teman-teman sebaya. Sedangkan untuk peraturan yang melarang bekerja di jalanan, sebagian besar anak jalanan tidak setuju. Alasan mereka adalah tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mencari uang. Seperti yang diungkapkan oleh Tj (15 tahun) di bawah ini. “Saya ga setuju kak dengan larangan bekerja di jalanan, soalnya kalo kita ga kerja gimana nyari duit. Emang kalo kita kelaperan yang ngelarang ngerasain apa?” Menurut anak jalanan sebaiknya aktifitas yang dilakukan anak seusia mereka adalah bersekolah, sedangkan hanya sebagaian kecil yang menyatakan bahwa anak seusia mereka seharusnya bermain dan bekerja mencari uang. Sementara itu, seluruh anak jalanan tidak mengetahui adanya keharusan untuk membantu orangtua di rumah (Tabel 16).
5.2.2.4 Sikap Berdasarkan Tabel 17, sebagian besar anak jalanan menilai kondisi kerja bersifat positif. Anak jalanan yang memiliki kondisi kerja positif menyatakan bahwa bekerja di jalanan menyenangkan. Bagi anak jalanan bekerja merupakan hal yang menyenangkan karena di dalam bekerja mereka bisa sambil bermain dan berbagi cerita dengan teman sebaya. Selain itu, bekerja merupakan kemauan sendiri, aman,
73
ringan, mencukupi kebutuhan dan setara dengan pekerjaan lainnya. Berikut adalah pernyataan Kx (14 tahun) mengenai kondisi kerja. “Kerja di jalanan menyenangkan, bisa main dapet duit lagi. Disini mah aman-aman aja kak ga ada yang rese, asal kita ga rese…” 5.2.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman Berikut akan disajikan tabel mengenai jumlah dan persentase anak jalanan tipe II berdasarkan dimensi-dimensi mengenai bekerja yang diketahui. Tabel 18. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan DimensiDimensi Mengenai Bekerja Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja Peraturan usia kerja Bekerja dilarang Terdapat razia anak jalanan Waktu razia: tidak tentu Keyakinan akan bahaya Bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan Bekerja di jalanan tidak baik untuk keselamatan jiwa Bekerja di jalanan membantu perekonomian keluarga Bekerja di jalanan tidak baik untuk masa depan Terdapat sanksi yang diberikan pada saat razia Tidak akan selamanya kerja di jalanan Bahaya yang dihadapi: kecelakaan lalu lintas Bahaya yang dihadapi: kekerasan ekonomi Bahaya yang dihadapi: kekerasan fisik Bahaya yang dihadapi: pelecehan seksual Bekerja merupakan hal yang menyenangkan Sesungguhnya tidak ingin bekerja di jalanan Setuju dengan peraturan larangan bekerja Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bersekolah Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bermain Aktivitas yang seharusnya dilakukan: bekerja cari uang Aktivitas yang seharusnya dilakukan: membantu orangtua di rumah Kondisi kerja positif (skor 19 – 30)
n 1 0 4 2 4 3 4 4 2 3 3 4 4 2 1 4 0 1 4 4 3 0 3
% 25 0 100 50 100 75 100 100 50 75 75 100 100 50 25 100 0 25 100 100 75 0 75
74
5.2.3.1 Informasi Berdasarkan Tabel 18, diketahui bahwa sebagian kecil anak jalanan tipe III memiliki informasi mengenai peraturan usia kerja. Mereka tidak mengetahui peraturan yang berisi larangan untuk bekerja di jalanan. Mengenai razia, seluruh anak jalanan tipe III mengetahui informasi bahwa terdapat razia anak jalanan. Namun, mereka tidak mengetahui waktu pelaksanaan razia tersebut.
5.2.3.2 Keyakinan (Belief) Berdasarkan Tabel 18, sebagian besar anak jalanan meyakini bahwa bekerja di jalanan berbahaya tetapi demi membantu perekonomian keluarga mereka tetap bekerja di jalanan. Selain itu, sebagian besar dari anak jalanan meyakini bahwa terdapat sanksi yang diberikan pada saat razia yaitu berupa peringatan. Selain itu, mereka menyadari bahwa bekerja dijalanan tidak baik untuk kesehatan, keselamatan jiwa, dan hanya sebagian yang menyatakan baik untuk masa depan. Bentuk bahaya yang dihadapi oleh anak jalanan tipe III seperti kecelakaan lalu lintas dan kekerasan ekonomi. Sebagian dari anak jalanan meyakini adanya kekerasan fisik dan hanya sebagian kecil saja yang meyakini adanya pelecehan seksual.
5.2.3.3 Opini Sebagian besar anak jalanan menyatakan bekerja di jalanan menyenangkan, walaupun sebenarnya mereka tidak ingin bekerja di jalanan karena perasaan malu jika keberadaan mereka di jalanan diketahui oleh teman-teman sebaya. Sebagian besar anak jalanan menyatakan tidak setuju dengan peraturan yang berisi larangan bekerja
75
di jalanan. Alasannya adalah tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mencari uang (Tabel 18). Berikut adalah ungkapan dari Eg (17 tahun) yang tidak menyetujui mengenai larangan bekerja di jalanan. “Kenapa sih pake dilarang-larang, ntar kalo kita kelaperan apa mereka mau nanggung? Kasih kita dong kerjaan biar ga usah jadi gembel kaya gini.” Bagi anak jalanan sebaiknya aktifitas yang dilakukan anak seusia mereka adalah bersekolah, bermain, dan bekerja mencari uang. Sementara itu, mereka tidak tahu jika anak seusia mereka harus membantu orangtua di rumah (Tabel 18).
5.2.3.4 Sikap Berdasarkan Tabel 18, sebagian besar anak jalanan menilai kondisi kerja bersifat positif. Anak jalanan yang memiliki kondisi kerja positif menyatakan bahwa bekerja di jalanan menyenangkan, bekerja merupakan kemauan sendiri, aman, ringan, mencukupi kebutuhan dan setara dengan pekerjaan lainnya.
5.3 Ikhtisar Central core dari representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah cari uang. Sedangkan pheriperal core nya adalah untuk makan, untuk kehidupan, dan cari teman. Berikut akan disajikan Tabel perbandingan (Tabel 19) mengenai representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan berdasarkan central core, pheriperal core, ciri demografis, motivasi menjadi anak jalanan serta kondisi sosial ekonomi keluarga.
76
Keadaan sosial ekonomi anak jalanan mempengaruhi representasi sosial. Hanya pada variabel usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan jenis pekerjaan orangtua yang memiliki hubungan terhadap pembentukan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. Pada anak jalanan tipe I, usianya relatif lebih muda yaitu dibawah 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, anak jalanan tipe II usia berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan, dan anak jalanan tipe III berusia diatas lima belas tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan anak jalanan semakin besar kecenderungan untuk memilih tipe III. Sedangkan untuk kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan, anak jalanan tipe II dan III memiliki kondisi ekonomi kelurga yang lebih baik dibandingkan tipe I karena kedua orangtua mereka bekerja. Orangtua anak jalanan tipe I hanya bapaknya saja yang bekerja, sedangkan anak jalanan tipe II dan III kedua orangtuanya bekerja. Pada dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, sebagian besar anak jalanan tipe I kurang memiliki pengetahuan usia kerja. Anak jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan
77
bekerja cari uang. Penilaian terhadap kondisi kerja, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif. Tabel 19. Tabel Perbandingan Tipe I, Tipe II, dan Tipe III Tipe 1
Tipe 2 Cari teman Bantu orangtua Cari hiburan
Tipe 3:
Cental core
Cari uang Bantu orangtua
Pheriperal core
Untuk makan Untuk kehidupan
Untuk makan Cari uang
Usia Jenis kelamin Tempat tinggal Status sekolah Pendidikan terakhir Keberadaan orangtua Status kawin orangtua Alasan jadi anak jalanan Motivator Jumlah saudara Pendidikan bapak Pekerjaan bapak Penghasilan bapak Pendidikan ibu Pekerjaan ibu Penghasilan ibu
Dibawah 15 tahun
Diatas 15 tahun
Cari teman Untuk sekolah Cari pengalaman Diatas 15 tahun
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Orangtua
Orangtua
Tidak sekolah
Tidak sekolah
SD
SD
SD dan SLTP
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Menikah
Menikah
Menikah
Kurang kasih sayang keluarga Sendiri
Kurang kasih sayang keluarga Teman
Kurang kasih sayang keluarga dan Iseng Teman
3-5 orang
3-5 orang
3-5 orang
SD
SD
SD
Buruh halus
Pengemis dan Pengamen
Buruh kasar
Tidak tahu
Tidak tahu
Tidak tahu
SD
SD
SD
Tidak bekerja
Pengemis
Jasa
Tidak berpenghasilan
Tidak berpenghasilan
Tidak berpenghasilan
Cari kebebasan
Teman sekelompok Orangtua Sekolah Tidak sekolah
78
BAB VI KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN
Karakteristik sosial ekonomi anak jalanan dapat dilihat dari usia, pengalaman kerja menjadi anak jalanan, jenis kelamin, status pendidikan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, motivasi menjadi anak jalanan, status sosial ekonomi keluarga. Untuk jenis pekerjaan anak jalanan akan di bahas pada bab perilaku kerja.
6.1 Usia Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 20, anak jalanan yang berusia 15-17 tahun lebih besar persentasenya (52 persen) dibandingkan anak jalanan yang berusia dibawah 15 tahun. Hal ini disebabkan anak jalanan yang berusia di bawah 15 tahun dan masih bersekolah tidak diizinkan oleh orangtua untuk ikut bekerja karena takut terjadi halhal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan lalu lintas, diperas oleh preman atau orang yang lebih tua. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari An (35 tahun) ibu dari anak jalanan sebagai berikut: ”Saya tidak mengizinkan anak saya yang masih sekolah SD untuk bekerja mencari uang karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan lalu lintas, ‘dipalak’ atau di peras oleh orang yang lebih tua atau ‘preman’ setempat. (An, 35 tahun) Sedangkan bagi anak jalanan yang berusia dibawah 15 tahun dan tidak bersekolah, bekerja merupakan tuntutan orangtua yang disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan.
79
Tabel 20. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Usia Usia 9-11 tahun 12-14 tahun 15-17 tahun Total
n 7 22 31 60
% 12 36 52 100
6.2 Pengalaman Kerja Menjadi Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 21, sebagian besar anak jalanan telah bekerja lebih dari satu tahun (90 persen) dan hanya 10 persen yang bekerja kurang dari satu tahun. Anak jalanan yang memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun merupakan anak jalanan yang sejak usia 10 tahun sudah bekerja di jalanan. Biasanya pada awal bekerja mereka didampingi oleh orangtua atau telah dititipkan kepada orang yang lebih tua atau kenalan orangtua mereka yang ada di jalanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mt (12 tahun) yang bekerja sejak usianya 10 tahun. “Waktu pertama kali kerja diajak oleh tetangga, temennya ma’. Kata ma’ saya disuruh kerja ikut ngamen di jalanan buat bantuin ma’ cari uang buat makan sehari-hari...” Tabel 21. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Pengalaman Kerja Pengalaman Kerja menjadi Anak Jalanan < 1 tahun Antara 1 – 2 tahun > 2 tahun Total
n 6 25 29 60
% 10 42 48 100
6.3 Jenis Kelamin Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 22, terlihat bahwa anak jalanan yang berjenis kelamin lakilaki persentasenya lebih besar (82 persen) dibandingkan anak jalanan yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan anak laki-laki bisa menjaga diri dibandingkan
80
perempuan. Biasanya anak jalanan perempuan rentan untuk mendapatkan tindak kekerasan dari orang lain seperti ‘preman’ atau anak laki-laki sebaya. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan dari Jr (25 tahun), kakak angkat anak jalanan. “Anak jalanan laki-laki lebih bisa jaga diri daripada yang perempuan. Soalnya biasanya anak perempuan mah lemah dan cengeng…” Tabel 22. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
n 49 11 60
% 82 18 100
6.4 Status Pendidikan Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 23, terlihat bahwa anak jalanan yang memiliki status pendidikan tidak sekolah persentasenya lebih besar (70 persen) dibandingkan anak jalanan yang sekolah. Anak jalanan yang berstatus tidak sekolah merupakan anak jalanan yang mengalami putus sekolah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Tabel 23. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status Pendidikan Status Pendidikan Masih Sekolah Tidak Sekolah Total
n 18 42 60
% 30 70 100
6.5 Tingkat Pendidikan Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar anak jalanan (98 persen) pernah bersekolah di sekolah formal, dimana sebesar 95 persen telah memperoleh pendidikan dasar 9 tahun dan sisanya memiliki pendidikan lanjutan.
81
Tabel 24. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Belum sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat Total
n 1 39 18 2 60
% 2 65 30 3 100
6.6 Jumlah Saudara Kandung Berdasarkan Tabel 25, sebagian besar anak jalanan (68 persen) memiliki jumlah saudara kandung antara 3 – 5 orang termasuk dirinya. Jika dilihat dari jumlah saudara kandung yang dimiliki, anak jalanan termasuk kedalam kategori keluarga besar yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 orang termasuk orangtua. Hal tesebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seorang anak bekerja di jalanan. Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Saudara Kandung Jumlah Saudara Kandung 0 – 2 orang 3 – 5 orang > 5 orang Total
n 6 41 13 60
% 10 68 22 100
6.7 Status Sosial Ekonomi Keluarga Anak Jalanan Status sosial ekonomi keluarga anak jalanan dilihat dari beberapa variabel yaitu tingkat pendidikan, penghasilan dan jenis pekerjaan orangtua anak jalanan yang akan di bahas secara terpisah antara bapak dan ibu.
82
6.7.1 Bapak Berdasarkan Tabel 26, sebagian besar (65 persen) pendidikan terakhir bapak dari anak jalanan adalah pendidikan dasar (wajib belajar 9 tahun) dan hanya sebagian kecil yang memiliki pendidikan terakhir lanjutan (15 persen). Tingkat pendidikan bapak dari anak jalanan yang rendah menyebabkan mereka bekerja disektor informal dan merupakan pekerjaan yang bersifat marjinal. Tabel 26. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Bapak Tingkat Pendidikan Bapak Tidak Sekolah SD dan Sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan Sederajat PT Tidak Tahu Total
n 0 34 5 9 0 12 60
% 0 57 8 15 0 20 100
Umumnya jenis pekerjaan yang dilakukan oleh bapak (55 persen) yaitu buruh kasar, pedagang, pemulung, pengemis, pengamen, ustad, tukang ojek dan tukang semir sepatu. Anak jalanan yang memiliki bapak tidak bekerja hanya 5 persen dan mereka yang tidak mengetahui jenis pekerjaan bapaknya hanya 6 persen. Sisanya (27 persen) bekerja sebagai buruh terampil yaitu pembantu rumah tangga (PRT), supir angkutan umum, satpam dan karyawan (lihat Tabel 27). Menurut Js (17 tahun), faktor usia yang sudah tua dan kondisi kesehatan yang mulai menurun merupakan penyebab bapak tidak bisa bekerja sehingga ibu harus bekerja mencari uang.
83
Tabel 27. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Bapak Jenis Pekerjaan Bapak Tidak bekerja Tidak tahu Buruh kasar Buruh terampil Pedagang Pemulung Pengemis dan Pengamen Lainnya Total
n 3 4 10 16 9 8 6 4 60
% 5 7 17 27 15 13 10 6 100
Pekerjaan bapak yang bersifat marjinal tersebut menghasilkan pendapatan yang rendah. Berdasarkan Tabel 28, sebagian besar anak jalanan tidak mengetahui penghasilan bapak selama satu bulan (55 persen) dan selebihnya (38 persen) mengaku bapaknya bekerja dengan penghasilan kurang dari Rp 800.000,00 (dibawah UMR Kota Bogor Rp. 830.000,00). Sedangkan bapak yang memiliki penghasilan diatas Rp. 800.000,00 per bulan hanya 2 persen. Anak jalanan yang tidak mengetahui besar penghasilan bapak selama satu bulan hanya 5 persen. Tabel 28. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penghasilan Bapak Tingkat Penghasilan Bapak per Bulan Tidak tahu Tidak Berpenghasilan < Rp 200.000,00 Rp 200.000,00 – Rp 400. 000,00 Rp 401.000,00 – Rp 600.000,00 Rp 601.000,00 – Rp 800.000,00 Rp 800.000,00 Total
n 33 3 8 7 3 5 1 60
% 55 5 13 12 5 8 2 100
84
6.7.2 Ibu Berdasarkan Tabel 29, sebagian besar (56 persen) tingkat pendidikan ibu dari anak jalanan hanya sampai tingkat SLTP (wajib belajar 9 tahun), sisanya (13 persen) meneruskan hingga tahap lanjutan (SLTA dan Perguruan Tinggi). Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan ibu dari anak jalanan hanya dapat bekerja disektor informal, dimana didalam bekerja hanya membutuhkan sedikit keterampilan. Tabel 29. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Tingkat Pendidikan Ibu Tidak Sekolah SD dan Sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan Sederajat PT Tidak Tahu Total
n 7 32 2 6 2 11 60
% 12 53 3 10 3 19 100
Berdasarkan Tabel 30, terlihat bahwa sebagian besar ibu dari anak jalanan tidak bekerja (55 persen) dan sisanya (42 persen) bekerja disektor informal seperti tukang cuci botol kecap, pembantu rumah tangga (PRT), guru ngaji, pengemis dan hanya 3 persen yang bekerja disektor formal yaitu sebagai karyawati. Tabel 30. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu Jenis Pekerjaan Ibu Bidang Jasa Pengemis Karyawati Tidak Bekerja Total
n 12 13 2 33 60
% 20 22 3 55 100
85
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ibu dari anak jalanan hanya memperoleh penghasilan yang minim. Sebagian besar ibu dari anak jalanan yang penghasilannya diketahui (18 persen), memiliki penghasilan antara Rp 200.000,00 – Rp 400 000,00 per bulan dan sisanya (20 persen) tidak diketahui (Tabel 31). Tabel 31. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat Penghasilan Ibu Tingkat Penghasilan Ibu per Bulan Tidak Tahu Tidak Berpenghasilan < Rp 200 000, 00 Rp 200 000,00 – Rp 400 000,00 Total
n 12 33 4 11 60
% 20 55 7 18 100
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar ibu dari anak jalanan tidak memiliki penghasilan untuk membantu keadaan ekonomi rumah tangga. Dengan demikian, dapat dipahami bila seorang anak terpaksa turun ke jalanan baik karena kemauan sendiri ataupun disuruh oleh orangtua untuk mencari uang
6.8 Status Perkawinan Orangtua Anak Jalanan Sebagian besar status perkawinan orangtua anak jalanan (Tabel 32) adalah menikah (82 persen). Sisanya, memiliki status perkawinan orangtua cerai (telah kehilangan salah satu diantara orangtua mereka atau bahkan keduanya) dan tidak tahu (karena sejak usia 9 tahun telah kabur dari rumah).
86
Tabel 32. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Status perkawinan Orangtua Status Perkawinan Orangtua Anak Jalanan Menikah Cerai Tidak tahu Total
n
%
49 10 1 60
82 16 2 100
6.9 Keberadaan Orangtua dan Tempat Tinggal Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 33, sebagian besar anak jalanan yang masih memiliki bapak dan ibu (57 persen) memiliki tempat tinggal bersama orangtua, sisanya (25 persen) ada yang tinggal bersama orangtua asuh, bersama saudara, bersama teman sekelompok dan menggeladang dijalanan. Sedangkan bagi anak jalanan yang orangtuanya tidak lengkap (18 persen), dengan persentase tidak jauh berbeda ada yang tetap tinggal dengan orangtua yang belum meninggal (8 persen), dan adapula yang tinggal bersama saudara, teman sekelompok dan menggelandang di jalanan sebesar 10 persen. Tabel 33. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status Keluarga dan Keberadaan Orangtua Tempat Tinggal Orangtua Orangtua Asuh Saudara Teman sekelompok Menggelandang di jalanan Total
Orangtua Lengkap n % 29 48 1 2 2 3
Status Keluarga YatimYatim/Piatu Piatu n % n % 5 8 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2
Tidak Jelas n % 0 0 0 0 0 0
Total (%) 34 (56) 1 (2) 3 (5)
14
23
1
2
0
0
1
2
16 (27)
3
5
3
5
0
0
0
0
6 (10)
49
81
9
15
1
2
1
2
60 (100)
87
6.10 Motivasi Anak Turun ke Jalan Motivasi seorang anak turun ke jalanan dapat dilihat dari dua variabel yaitu alasan menjadi anak jalanan dan motivator menjadi anak jalanan. 6.10.1 Alasan Menjadi Anak Jalanan Berdasarkan Tabel 34, terlihat bahwa sebagian besar alasan seseorang anak turun ke jalan adalah uang (57 persen) baik yang menganggap bekerja di jalanan adalah suatu pekerjaan uantuk mencari nafkah ataupun sekedar mencari tambahan uang jajan. Sisanya adalah karena faktor keluarga yang tidak harmonis (43 persen). Anak jalanan yang memiliki keluarga yang tidak harmonis memiliki hubungan komunikasi yang kurang baik dengan keluarga, salah satunya dipengaruhi oleh kurang perhatian dari orangtua karena orangtua yang terlalu sibuk, banyak anak dan sering bertengkar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yn (17) yang bekerja karena faktor keluarga: “Saya kerja di jalanan karena bosen di rumah. Ga diperhatiin, Cuma ada pembantu. Orangtua Cuma kerja dan kerja tidak pernah memberikan perhatian dan kasih sayang...” Tabel 34. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Alasan Turun Ke Jalanan Alasan Turun ke Jalanan Ekonomi/Mencari nafkah Disharmoni keluarga/ Kurang perhatian Tambahan uang saku Total
n 19 26 15 60
% 32 43 25 100
6.10.2 Motivator Menjadi Anak Jalanan Motivator adalah seseorang yang mengajak atau menyuruh seorang anak untuk bekerja di jalanan. Berdasarkan Tabel 35, terlihat bahwa motivator untuk
88
menjadi anak jalanan yang berasal dari diri sendiri hanya 35 persen, sedangkan sisanya (65 persen) berasal dari luar diri individu (orang lain). Sebagian besar motivator yang berasal dari luar individu adalah teman (38 persen) dan diketahui bahwa motivator yang berasal dari oranglain selain anggota keluarga dan teman ialah pemilik lapak atau pedagang pengumpul. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa motivator teman memiliki persentase sedikit lebih tinggi dibandingkan orangtua. Hal tersebut disebabkan teman merupakan orang terdekat bagi anak jalanan dan bukan orangtua. Berikut adalah ungkapan Agl (16 tahun) yang menjadi anak jalanan karena motivator teman. “ Teman adalah orang yang paling dekat bagi saya. Pada mulanya saya hanya nongkrong saja sesudah pulang sekolah, tapi lama-lama melihat keasyikan menjadi anak jalanan yaitu disamping bermain juga bisa menghasilkan uang, saya menjadi tertarik untuk menjadi anak jalanan. Selain itu, teman saya juga ngajakin daripada bengong di rumah mendingan disini bisa nongkrong...” Tabel 35. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Motivator Motivator Orangtua Teman Anggota keluarga lainnya Sendiri Orang lain Total
n 11 23 1 21 4 60
% 18 38 2 35 7 100
6.11 Ikhtisar Mayoritas anak jalanan berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar anak jalanan sudah tidak sekolah, mereka memiliki pendidikan akhir SD dan sederajat. Sebagian besar alasan seorang anak turun ke jalan karena kurang
89
perhatian dari keluarga dengan motivator atau orang yang mengajak bekerja di jalanan adalah teman. Pendidikan orangtua anak jalanan hanya sampai tingkat SD dan sederajat dan bekerja di sekor informal dan bersifat marjinal seperti buruh terampil, buruh kasar, pedagang pemulung, pengamen dan pengemis. Tingkat penghasilan bapak sebagai keluarga masih berada dibawah UMR Kota Bogor. Sedangkan untuk ibu anak jalanan, sebagian besar tidak bekerja. Bagi ibu anak jalanan yang bekerja sebagian besar bekerja sebagai pengemis. Sedangkan sisanya bekerja di bidang jasa dan karyawati. Penghasilan ibu sebagai penunjang kebutuhan hidup sehari-hari yaitu kurang dari Rp 400.000, 00 per bulan. Sebagian besar anak jalanan masih memiliki orangtua. Tidak semuanya memiliki tempat tinggal bersama orangtuanya.Anak jalanan termasuk keluarga besar, mereka memiliki jumlah saudara kandung diantara 3-5 orang termasuk diri sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan kurang mendapatkan perhatian dari orangtua.
90
BAB VII PERILAKU KERJA ANAK JALANAN
Perilaku kerja anak jalanan dapat dilihat dari jam kerja, lama bekerja, lokasi bekerja, jenis pekerjaan, serta tipe kelompok kerja yang akan dijelaskan berdasarkan tipe representasi sosial tentang kerja.
7.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah Anak jalanan tipe I mulai bekerja sekitar pukul 11.00 – 15.00 WIB. Alasannya adalah pada jam tersebut banyak orang yang menggunakan jasa kereta api untuk berangkat dan pulang sekolah. Selain itu, keberadaan Satpol PP menjadi alasan lain memulai aktifitas pada siang hari. Satpol PP adalah petugas resmi PT. KAI yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan kenyamana penumpang terutama KRL Express dan AC-Ekonomi. Padahal pendapatan yang diperoleh jika bekerja di KRL Express dan AC-Ekonomi jauh lebih besar dibandingkan KRL Ekonomi biasa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wl (14 tahun) yang bekerja pada pukul 11.00 WIB: ”Kalo pagi banyak Satpol PP kak, kita ga bisa masuk ke rangkaian kereta Express/Pakuan. Padahal uang yang di dapat bisa lebih banyak dibandingkan rangkaian ekonomi biasa...”
Anak jalanan tipe I, sebagian besar bekerja lebih dari 5 jam, dengan lama istirahat sekitar 1 – 2 jam. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan tipe I lebih bervariatif dibandingkan kedua tipe lainnya. Pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan antara lain pengamen, pengemis, pegang kue, pemulung dan tukang
91
sapu kereta. Sebagian besar dar mereka bekerja sebagai pengamen, karena pekerjaan ini mudah dilakukan. Pada umumnya, anak jalanan bekerja sendiri. Hal tersebut dilakukan karena keuntungan yang diperoleh dari bekerja sendiri jauh lebih besar dibandingkan bekerja berkelompok. Namun pada saat beristirahat mereka berkumpul dengan teman-teman. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ad (14 tahun) yang bekerja lebih dari lima jam dengan tipe kelompok kerja sendiri. ”Biasanya kita mulai kerja sekitar jam sebelasan hingga pukul lima sore, paling kalo istirahat pas waktu sholat ashar itu juga paling cuma duduk aja dan ngobrol bareng anak-anak lainnya tapi pas lagi kerja kita sendiri-sendiri kak, biar uangnya ga usah ndibagi dua. Kan jadi dapet lebih gede.(Ad,14 tahun)”
Tabel 36. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Perilaku Kerja Perilaku Kerja Jam kerja 11.01 – 15.00 WIB Lama bekerja > 5 jam Lama istirahat 1 – 2 jam Jenis pekerjaan Pengamen Lokasi kerja Stasiun kereta Tipe kelompok kerja Selalu sendiri
n 24 24 30 22 21 23
% 63 63 79 58 55 61
7.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman Anak jalanan tipe II mulai bekerja sekitar pukul 07.00 – 11.00 WIB. Biasanya mereka tidak langsung bekerja, melainkan duduk dan mengobrol. Waktu yang dibutuhkan untuk beristirahat tidak terlalu lama sekitar 1 – 2 jam. Anak jalanan tipe II memiliki lama kerja yang sama dengan tipe I yaitu lebih besar dari 5 jam. Anak jalanan tipe II bekerja lebih santai dibandingkan anak jalanan tipe I. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, anak jalanan tipe II lebih banyak bercanda didalam bekerja (Tabel 37).
92
Tabel 37. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Perilaku Kerja Perilaku Kerja Jam kerja 07.00 – 11.00 WIB Lama bekerja > 5 jam Lama istirahat ≤ 4 jam Jenis pekerjaan Pengemis Lokasi kerja Terminal Baranangsiang Tipe kelompok kerja Selalu sendiri
n 11 10 12 7 14 8
% 61 56 67 39 78 44
Jenis pekerjaan yang dilakukan anak jalanan tipe II cukup bervariatif antara lain pengemis, pengamen, pedagang koran dan pemulung. Sebagian dari mereka memiliki pekerjaan sebagai pengemis. Anak jalanan tersebut memiliki lokasi kerja di Terminal Baranangsiang yang terbagi menjadi tiga tempat yaitu angkot (ngawal), lampu merah serta memiliki rute tertentu. Anak jalanan yang bekerja dengan rute tertentu bergerak dari Terminal Baranangsiang menuju Giant kemudian Damri dan berakhir di Pakuan. Sebagian dari anak jalanan tipe II bekerja sendiri. Ketika beristirahat, mereka berkumpul dengan anak-anak jalanan lainnya (Tabel 37).
7.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman Anak jalanan tipe III mulai bekerja sekitar pukul 07.00 – 11.00 WIB. Sama dengan anak jalanan tipe II, biasanya mereka tidak langsung bekerja tetapi duduk dan mengobrol dengan anak jalanan lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk beristirahat ≥ 7 jam dan memiliki waktu bekerja ≤ 5 jam Jenis pekerjaan yang dilakukan anak jalanan tipe III tidak terlalu bervariatif yaitu pemulung dan pengamen. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pengamen dan memiliki tipe kelompok kerja sendiri. Umumnya, mereka berlokasi di stasiun kereta api Bogor. Ketika beristirahat mereka
93
kembali berkumpul bersama anak jalanan lainnya (Tabel 38). Seperti diungkapkan oleh Uj (17 tahun). ”Kalo lagi ngamen, biasanya kita kerja sendiri-sendiri. Ntar kalo udah waktunya istirahat kita ngumpul lagi di tempat biasa, bareng anak jalanan lainnya...”
Tabel 38. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Perilaku Kerja Perilaku Kerja Jam kerja 07.00 – 11.00 WIB Lama bekerja ≤ 5 jam Lama istirahat ≥ 7 jam Jenis pekerjaan Pengamen Lokasi kerja Stasiun Kereta Tipe kelompok kerja Selalu sendiri
n 3 4 2 3 4 4
% 75 100 100 75 100 100
7.4 Ikhtisar Terdapat perbedaan pula antara reresentasi sosial dengan perilaku kerja anak jalanan. Anak jalanan tipe II dan III memulai aktifitasnya lebih awal dibandingkan tipe I. Anak jalanan tipe I memiliki jenis pekerjaan lebih bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat sekitar satu sampai dua jam. Sedangkan anak jalanan tipe II memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat kurang dari sama dengan empat jam. Anak jalanan tipe III memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja kurang dari lima jam dengan waktu istirahat lebih dari tujuh jam.
94
BAB VIII REPRSENTASI SOSIAL TENTANG KERJA DAN PERILAKU KERJA ANAK JALANAN
Hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanana dapat terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 39. Perbandingan Perilaku Kerja Anak Jalanan Berdasarkan Tipe I, Tipe II, dan Tipe III Perilaku Kerja Jam mulai bekerja Lama bekerja Lama istirahat Pekerjaan anak jalanan
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Siang > 5jam 1-2 jam
Pagi >5jam ≤ 4jam
Pagi ≤5 jam 7-8 jam
Pengamen
Pengemis
Pengamen
Lokasi kerja
Stasiun Kereta Api Bogor
Terminal Baranangsiang (angkot+rute)
Stasiun Kereta Api Bogor
Tipe kelompok kerja
Sendiri
Sendiri
Sendiri
Berdasarkan tabel 39, terlihat bahwa anak jalanan tipe I yang memiliki central core yaitu mencari uang lebih bersungguh-sungguh didalam bekerja. Dapat dilihat dari alokasi waktu yang dibutuhkan untuk bekerja yaitu lebih besar dari lima jam. Dengan alokasi waktu istirahat yang lebih singkat sekitar satu sampai dua jam. Anak jalanan tipe I memiliki jenis pekerjaan yang lebih bervariasi. Sebagian besar dari anak jalanan tipe I memiliki lokasi kerja di Stasiun Kereta Api Bogor. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, anak jalanan tipe I didalam bekerja lebih giat, tidak terlalu banyak bermain. Faktor usia yang masih berada dibawah lima belas tahun menyebabkan mereka masih bergantung kepada orangtua.
95
Anak jalanan tipe II memiliki karena central core yaitu cari teman, bantu orangtua dan cari hiburan. Anak jalanan tipe II bekerja lebih santai karena mereka lebih mementingkan pergaulan, sehingga didalam bekerja mereka lebh santai. Walaupun waktu bekerja yang dibutuhkan sama dengan tipe anak jalanan tipe I, yaitu lebih besar dari lima jam. Anak jalanan tipe II mencari teman untuk mendapatkan perhatian dari kurangnya perhatian dari keluarga. Anak jalanan yang memiliki tipe ini sudah mulai mandiri. Anak jalanan tipe III memiliki central core yaitu cari kebebasan. Anak jalanan tipe III bekerja lebih santai dibandingkan kedua tipe lainnya. Hal ini disebabkan oleh representasi sosial tentang kerja yang dimiliki bukan untuk mencari uang, melainkan memperoleh kebebasan (berpetualang). Selain itu, anak jalanan tipe III dari segi usia lebih dewasa dibandingkan ke 2 tipe lainnya, sehingga mereka sudah lebih mandiri dan tidak lagi bergantung kepada orangtua.
96
8.1 Studi Kasus: Anak Jalanan Tipe I (Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah) Js adalah anak laki-laki yang berasal dari Garut. Js berusia 17 tahun yang memiliki tempat tinggal bersama teman sekelompok. Js bersekolah sampai tingkat SLTP. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu menyebabkan Js tidak bisa melanjutkan sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi. Js adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Hal tersebut membuat Js memiliki tanggung jawab untuk membantu keluarganya dan membiayai adik-adiknya bersekolah. Js memiliki orangtua yang lengkap. Kedua orangtua Js memiliki pendidikan terakhir sampai SD. Karena tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan orangtua Js terutama bapak bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan rata-rata per bulannya Rp 90.000,00 perbulan, sedangkan ibu tidak bekerja. Kondisi kesehatan bapak yang terus menurun dan sering sakit-sakitan menyebabkan Js merantau ke Bogor untuk mencari pekerjaan demi membantu perekonomian keluarga. Js telah melakukan segala jenis pekerjaan dari menjadi tukang bangunan, tukang sampah, dan pemulung. Selain itu, Js pernah melamar ke pabrik namun karena usia yang masih kurang dari 18 tahun, tidak ada satupun pabrik yang mau menerimanya. Akhirnya Js mencoba bekerja di jalanan sebagai pengamen mengikuti ajakan temannya. Menurutnya ia akan melakukan apa saja yang halal agar bisa mengirimkan uang kepada orangtuanya di Garut dan membiayai adik-adiknya sekolah. Js melakukan pekerjaan sebagi pengamen sejak pukul 09.00-21.00 WIB dan bekerja seorang diri. Biasanya Js memiliki lokasi kerja di angkot dan lampu merah, Terminal Baranangsiang. Js adalah salah seorang anak jalanan yang mengkonsumsi minuman keras sebelum mengamen. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa malu. Berdasarkan latar belakang di atas, Js memiliki makna kerja yaitu untuk sekolah, cari uang dan bantu orangtua. Js memiliki makna kerja utama untuk sekolah karena ingin adiknya memiliki kehidupan yang lebih baik dengan bekal ilmu yang dimiliki. Seperti yang diungkapkan olehnya.
97
”Adik saya pinter kak, sapa tau aja dia bisa hidup yang lebih baik dengan ilmu yang dimiliki puunya nasih yang lebih baik, maju dan berkembang. Sapa tau kalo udah sukses bisa bantu sodara yang lainnya. Saya tidak mau adik saya menjadi seperti saya, saya ingin dia maju, sebenarnya saya malu untuk melakukan pekerjaan ini..”. Selain makna kerja untuk sekolah, Js memiliki makna kerja bantu orangtua. Menurutnya dengan ia bekerja menjadi pengamen ia dapat membantu menambah penghasilan keluarga. Sebagian uang yang diperoleh dikirimkan ke Garut untuk biaya bapak berobat, belanja sehari-hari dan sebagai simpanan ibunya jika ada keperluan mendadak. Seperti ungkapan Js sebagai berikut. ”Orangtua yang sudah tua dan sakit-sakitan, membuat saya harus bekerja mencari uang membantu penghasilan keluarga. Bapak yang bekerja sebagai buruh tani memiliki penghasilan yang sangat kurang belum untuk berobat, belanja sehari-hari, untuk sekolah adik, maka dari itu saya ingin bekerja untuk mencari uang agar bisa diberikan kepada ibu...” Sedangkan makna kerja utama lainnya adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti membeli rokok, minuman keras, dan sebagian adapula yang ditabung untuk dikirimkan kepada orangtua di Garut. Seperti yang diungkapkan oleh Js. ” Saya bekerja untuk cari uang agar bisa memnuhi kebutuhan hidup sehari hari seperti beli rokok, beli ’miras’, ada juga sih yang ditabung untuk ngirimin ma’ di kampung...” Js memiliki makna kerja yang bersifat negatif. Dimana dalam melakukan pekerjaan terdapat beban dan tanggung jawab. Menurut Js bekerja di jalanan merupakan hal yang menyadihkan, suatu keterpaksaan, sangat beresiko, melelahkan, kurang mencukupi kebutuhan hidup, dan merupakan pekerjaan yang hina. Js
mengetahui
informasi
mengenai
bekerja
seperti
dilarang
mengamen/mengemis/berdagang dan melakukan pekerjaan lainnya. Selain itu, Js mengetahui bahwasanya di jalanan sering dilakukan razia oleh Satpol PP yang berjaga di lampu merah setiap hari sejak pukul 07.00 – 11.00 WIB.
98
Tidak hanya itu, Js meyakini bahwa bekerja di jalanan berbahaya diantaranya mudah terjadi kecelakaan seperti terserempet atau bahkan tertabrak mobil. Selain itu, bekerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan, jika terlalu lama terkena sinar matahari bisa menyebabkan pusing dan jika terlalu lama bernyanyi dengan suara keras bisa menyebabkan suara habis atau ’serak’. Js meyakini juga bahwa dengan bekerja di jalanan ia dapat membantu keadaan ekonomi keluarga, hal ini dapat dilihat dari rutinitas Js yang selalu mengirimkan uang tiap bulan kepada ibunya untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Menurut pengakuan Js bekerja di jalanan tidak baik untuk masa depan karena hidup di jalanan keras dan penuh penderitaan. Jika Js terkena razia ia biasanya diberi peringatan agar tidak bekerja di jalanan lagi, dan tidak jarang dipukul karena saat di razia Js sedang mabuk. Berdasarkan hal tersebut sebagaimana disebutkan diatas Js tidak akan selamanya kerja di jalanan, ia ingin mencari pekerjaan lain dengan penghasilan yang lebih baik. Terkait dengan aktivitas anak seusianya, menurut Js aktifitas yang dilakukan anak seusia Js adalah sekolah. Js juga memiliki opini bahwa bekerja di jalanan tidak menyenangkan. Sementara itu, mengenai peraturan tentang larangan bekerja di jalanan Js menyatakan tidak setuju. Hal tersebut dilakukan karena jika tidak mengamen ia tidak akan mendapatkan uang. Seperti penuturan Js di bawah ini. ”Saya ga setuju kak dengan larangan bekerja di jalanan, karena bisa ga dapet uang. Kalo mau di larang seharusenya ada kebijakan lainnya, gimana caranya kita bisa dapet uang dan ga di larang...” 8.2 Studi Kasus: Anak Jalanan Tipe II (Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman) Yn (16 tahun) adalah anak laki-laki yang menjadi anak jalanan karena orangtuanya terlalu sibuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk dirinya berbagi suka cita. Hal ini membuat Yn lebih memilih untuk tinggal bersama dengan kakaknya di sebuah kontrakan. Kakak Yn berusia 25 tahun dan sudah bekerja di salah satu supermarket di Bogor. Ketika hari libur, kakaknya juga ikut mengamen bersama Yn di TB. Menurut pengakuan Yn, kondisi ini merupakan wujud perhatian kakaknya
99
terhadapnya. Selain itu, jika bekerja bersama kakaknya tidak ada orang yang berani mengganggu. Yn bekerja sebagai pengamen di Bus dan ikut mengawal hingga terminal UKI. Adapun syaratnya adalah ia harus membantu ’kenek’ untuk mencarikan penumpang. Setelah itu, barulah ia boleh ikut mengawal Bus ke UKI Jakarta. Kondisi ini terungkap seperi penuturan Yn dibawah ini. ”Pertama kali kita dateng kak, kita kudu daftar dulu buat antri giliran ngamen. Selain itu, jika kita udah dapet giliran bus, kita kudu bantuin kenek untuk cari penumpang. Nah kalo udah penuh baru deh tuh kita bolah ngawal bus ampe terminal di Jakarta. Biasanya, tiap harinya kita kudu bayar uang kas sebesar Rp2.000,00. Selain itu, ada juga peraturan, kita ga boleh mabok atau minum di daerah TB kalo mau diizinin ngawal bus, ga boleh songong atau tengil kudu permisi-permisi dulu ama yang udah duluan di sini. Kecuali yang kecil-kecil, biasanya ga terikat dengan peraturan ini. Lagian mereka juga ga ngawal bus...” Yn memperoleh penghasilan dalam sehari sekitar Rp 20.000,00 – Rp 30.000,00. Dalam bekerja Yn memiliki tipe kelompok kerja selalu berdua bersama teman sesama pengamen, walaupun kadang-kadang bersama abangnya. Yn mendaftar untuk mengamen sejak pukul delapan pagi, dan jika sedang sepi dia bisa bisa mengawal bis sampai 2 rit atau 2 kali Bogor – UKI. Saat bekerja bisanya lebih banyak nongkrong, ngobrol dan merokok. Hal ini terkait dengan representasi sosial tentang kerja yang dimiliki. Bagi Yn bekerja dapat menambah pergaulan/memperbanyak teman untuk di ajak ’ngobrol’, walaupun di sekolah banyak teman tetapi lebih menyenangkan berada di jalanan. Kerja di jalanan dapat memperoleh banyak pengalaman, misalnya pengalaman hidup, cara bersosialisasi dengan lingkungan, dan pengalaman cari uang. Jika di rumah tidak ada yang memperhatikan, cuma ada pembantu. Seperti yang dnyatakan oleh Yn.
100
”Kerja di jalanan kita bisa belajar pengalaman hidup. Dimana kita harus tahu diri dan bisa bawa diri. Bisa bertukar pengalaman dengan pengamen lainnya, gimana caranya masuk ke wilayah orang, gimana cara bersikap di bus, pokoknya jangan sombong dan belagu deh di jalanan, kalo mau di terima di jalanan. Soalnya, tiap wilayah anak jalanan pasti ada aja aturan mainnya kak...” Yn memiliki pendidikan terakhir sampai SLTP. Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena lebih memilih untuk mengamen di jalanan. Yn memiliki cita-cita ingin menjadi musisi. Walaupun berangkat dari jalanan, tapi ia yakin bahwa impiannya akan terwujud. Memiliki orangtua yang lengkap tidak menjadikan Yn betah tinggal di rumah. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtu membuat Yn keluar dari rumah dan mencari hiburan di jalanan. Kedua orangtua Yn merupakan pegawai swasta di Jakarta dengan pendidikan terakhir bapak SLTA dan ibu Perguruan Tinggi. Menurut
pengakuan
Yn,
orangtua
sebenarya
tidak
setuju
dengan
keputusannya untuk bekerja menjadi pengamen di jalanan, tapi karena Yn tidak bisa dilarang, jadi orangtua tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi kerja yang dirasakan oleh Yn positf, menurutnya bekerja di jalanan adalah hal yang menyenangkan, merupakan kemauan sendiri, aman, ringan, dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan menurutnya menjadi pengamne bukanlah pekerjaan yang hina. ”Bekerja apa aja, sama saja. Yang penting halal. Ga ada pekerjaan yang hina, kecuali melakukan tindakan kriminal. Saya ga mali tuh ka, sapa tahu dari sini saya bisa jadi musisi terkenal”. Mengenai informasi tentang bekerja, Yn mengetahui bahwa usia kerja adalah diatas 17 tahun, dan bahwasanya bekerja di jalanan itu melanggar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, terutama pemerintah Kota Bogor. Untuk penegasan peraturan tersebut telah dilakukan razia setiap bulannya, tapi razia tersebut tidak dilaksanakan di dalam TB. Hal ini karena komunitas anak jalanan di TB di bawah tanggung jawab Brimop. Dari sisni terlihat bahwa pelaksanaan undang-undang oleh aparat pemerintah kurang tegas, disatu sisi melarang dan disisi lain ada yang melindungi. Mengenai sanksi yang diberikan pada saat terjaring razia hanya berupa
101
peringatan agar tidak bekerja di jalanan lagi. Apabila kedapatan memegang gitar atau alat musik lainnya, maka alat musik tersebut akan di sita dan harus ditebus dengan sejumlah uang jika ingin dikembalikan. Selain itu, Yn memiliki keyakinan bahwa kerja di jalanan memang berbahaya jika tidak bisa menjaga diri. Seperti pembagian wilayah kerja anak jalanan, jika seorang anak jalanan memasuki wilayah kerja anak jalanan lainnya, maka akan ditanyakan identitas anak jalanan yang melakukan pelanggaran dan diberi peringatan tidak boleh ke daerah tersebut lagi. Menurut Yn, kerja di jalanan tidak baik untuk kesehatan, karena banyak debu dan polusi sehingga menyebabkan munculnya jerawat di muka. Menurut Yn bekerja di jalanan sama sekali tidak membantu keadaan ekonomi keluarga, karena kedua orangtuanya sudah hidup berkecukupan. Bekerja di jalanan adalah jalan agar cita-citanya menjadi musisi terwujud. Pada akhirnya Yn mengatakan bahwa sesungguhnya Yn tidak akan selamanya kerja di jalanan, ia ingin bekerja di pabrik ketika usianya telah mencapai 18 tahun. 8.3 Studi Kasus: Anak Jalanan Tipe III (Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman) Abd adalah anak jalanan laki-laki yang berasal dari Bogor. Abd berusia 15 tahun yang masih tinggal bersama orangtua. Abd masih bersekolah dan saat ini ia sedang mengambil pendidikan kejar paket B setara dengan SLTP. Rendahnya kondisi ekonimi keluarga tidak membuat Abd putus harapan untuk melanjutkan pendidikannya. Menurutnya pendidikan merupakan bekal untuk masa yang akan datang agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Seperti diungkapkan olehnya sebagai berikut: ”Biarin orang susa, tapi saya tetap harus sekolah. Pendidikan itu penting kak, buat bekal kita di masa depan. Dengan sekolah kita ga gampang dibodohin sama orang...” Abd adalah anak tertua dari lima bersaudara. Orangtua Abd memiliki pendidikan terakhir SD dan sederajat. Bapak Abd bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dengan besar penghasilan yang tidak diketahui, sedangkan ibu tidak
102
bekerja. Memiliki orangtua yang tidak menentu penghasilannya membuat Abd turun ke jalan untuk mencari tambahan uang jajan agar ia tetap bisa sekolah. Abd memiliki pekerjaan sebagai pengamen dengan alat bantu gitar kecil. Tiap harinya Abd bisa menghasilkan uang antara Rp50.000,00 – Rp80.000,00. Abd bekerja sendiri dan mulai bekerja pada siang hari yaitu pukul 13.00 – 23.00 WIB. Abd memiliki makna kerja utama yaitu cari kebebasan, cari teman dan cari pengalaman. Abd memiliki makna kerja pinggiran yaitu untuk kehidupan, untuk sekolah dan untuk makan. Mengenai informasi tentang bekerja, Abd mengetahui bahwa usia kerja adalah diatas 17 tahun, dan bahwasanya bekerja di jalanan itu melanggar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk penegasan peraturan tersebut dilakukan setiap hari dengan cara razia. Mengenai sanksi yang diberikan pada saat razia bisanya berupa peringatan agar tidak bekerja di jalanan lagi dan apabila kedapatan memegang gitar atau alat musik lainnya, maka alat musik tersebut akan di sita dan harus ditebus dengan sejumlah uang jika ingin dikembalikan. Selain itu, Abd memiliki keyakinan bahwa kerja di jalanan memang berbahaya karena bisa jatuh dari kereta, tidak baik untuk kesehatan karena banyak debu dan polusi shingga Abd menganggap kondisi kerja di jalanan bersifat negatif. Menurut Abd bekerja di jalanan sangat membantu perekonomian keluarga. Pada akhirnya Abd mengatakan bahwa dirinya tidak akan selamanya kerja di jalanan, ia ingin mencari pekerjaan lain dan tetap melanjutkan sekolahnya. Abd memiliki opini tentang bekerja di jalanan merupakan hal yang menyenangkan, tetapi sebenarnya Abd tidak ingin bekerja di jalanan jika orangtua memiliki penghasilan yang lumayan. Abd tidak setuju dengan peraturan yang melarang bekerja di jalanan karena jika tidak bekerja ia tidak akan mendapatkan uang. Menurutnya, aktifitas anak seusianya adalah bersekolah dan bekerja cari uang.
103
8.4 Ikhtisar Anak jalanan tipe II dan III memulai aktifitas sejak pagi hari, sedangkan anak jalanan tipe I memulai aktifitas pada siang hari. Waktu yang dibutuhkan untuk bekerja anak jalanan tipe I dan II lebih panjang dibandingkan tipe III, yaitu lebih besar dari lima jam. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan tipe I lebih bervariatif dibandingkan tipe II dan III. Umumnya, anak jalanan tipe I bekerja sebagai pengamen, sedangkan anak jalanan tipe II bekerja sebagai pengemis dan anak jalanan tipe III bekerja sebagai pengamen. Mengenai tipe kelompok kerja, anak jalanan memiliki kelompok kerja selalau sendiri
104
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: 1. Central core dari representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah cari uang dengan pheriperal core nya adalah untuk makan, untuk kehidupan dan cari teman. Berdasarkan central core dan pheriperal core, representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan terbagi menjadi tiga yaitu tipe I dimiliki oleh anak jalanan yang merepresentasikan bekerja di jalanan untuk membantu orangtua mencari nafkah, tipe II dimiliki oleh anak jalanan yang merepresentasikan bekerja di jalanan untuk manambah teman, dan tipe III merepresentasikan bekerja di jalanan untuk mencari pengalaman. Pada dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, sebagian besar anak jalanan tipe I kurang memiliki pengetahuan usia kerja. Anak jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan bekerja cari
105
uang. Penilaian terhadap kondisi kerja, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif. 2. Umumnya, anak jalanan berasal dari keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang regolong miskin, berusia diatas lima belas tahun, berjenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai pengamen, sekolah sampai tingkat SD, memiliki orangtua yang lengkap, dan memiliki jumlah saudara antara tiga sampai lima orang. Keadaan sosial ekonomi anak jalanan mempengaruhi representasi sosial. Hanya variabel usia, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir yang mempengaruhi anak jalanan untuk memilih representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. Pada anak jalanan tipe I, usianya relatif lebih muda yaitu dibawah 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, anak jalanan tipe II usia berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan, dan anak jalanan tipe III berusia diatas lima belas tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Selainitu, semakin tinggi tingkat pendidikan anak jalanan semakin besar kecenderungan untuk memilih tipe III. Pada dimensidimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, sebagian besar anak jalanan tipe I kurang memiliki pengetahuan usia kerja. Anak jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang
106
seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan bekerja cari uang. Penilaian terhadap kondisi kerja anak jalanan, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif. Penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk program penangan masalah anak jalanan dengan melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. 3. Perilaku kerja pada anak jalanan hanya dipengaruhi empat variabel, diantaranya jam kerja, jenis pekerjaan, lama bekerja dan lama istirahat. Anak jalanan tipe I memulai aktivitas pada siang hari, sedangkan tipe lainnya mulai bekerja pada pagi hari. Jenis pekerjaan yang dilakukan tipe I lebih bervariatif dibandingkan tipe lainnya. Tipe I dan II memiliki waktu bekerja yang lebih panjang dibandingkan tipe III, yaitu lebih besar dari lima jam. Lama istirahat tipe III lebih panjang dibandingkan tipe I dan II yaitu lebih besar sama dengan tujuh jam. 4. Anak jalanan tipe I memiliki central core yaitu mencari uang. Mereka bekerja lebih bersungguh-sungguh. Memiliki alokasi waktu untuk bekerja lebih panjang dengan waktu beristirahat yang lebih singkat. Berbeda dengan anak jalanan tipe II yang memiliki representasi bekerja untuk mencari teman, akan bekerja lebih santai dibandingkan tipe I dengan waktu istirahat yang relatif lebih panjang. Sedangkan anak jalanan tipe III bekerja untuk mencari pengalaman. Mereka bekerja paling santai dengan alokasi waktu untuk beristirahat lebih panjang dibandingkan kedua tipe alinnya. Anak jalanan tipe III jauh lebih dewasa dibandingkan ke 2 tipe lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor usia dan
107
keadaan ekonomi lebih baik dibandingkan tipe I dan II. Umumnya, anak jalanan tipe III tidak lagi bergantung kepada orangtua
9.2 SARAN Adapun saran yang diajukan sehubungan dengan penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah: 1. Dalam setiap upaya penanggulangan terhadap masalah anak jalanan sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. 2. Bagi anak jalanan tipe I perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan mereka baik ketrampilan memainkan musik, dan membuat kerajinan tangan dari limbah botol air kemasan. 3. Bagi anak jalanan tipe II, perlu disiapkan arena tempat bermain yang lebih ekonomis dan mudah dijangkau oleh kalangan anak jalanan. 4. Bagi anak jalanan tipe III perlu dibentuk perkumpulan perkumpulan-perkumpulan yang dapat mewadahi aspirasi anak jalanan. Misalnya, perkumpulan pecinta bola bagi anak jalanan penggemar bola sehingga mereka mereka bisa berbagi pengalaman. 5. Pada penelitian selanjutnya, perlu dilakukan uji statistik untuk melihat hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja anak jalanan, apakah berpengaruh secara siginifikan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Abric, Jean-Claude. 1976. A Structural Approach of the social representations: The theory of the the central core. 9th International Conference on Social Representation. Juli.2008. Bali. Amanaty, Ati. 1997. Makna Bekerja Bagi Karyawati. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok. Anonim. 2008. www.smunet.com .Anak Jalanan Belajar Sopan Santun. Diakses Rabu 9 April 2008. Anonim. 2008. www.psikososial perilaku anak jalanan.com. Diakses Rabu 9 April 2008. Anonim. 2009. www.radar-bogor.co.id . Diakses 13 Maret 2009. Anonim. 2009. http://ahmadheryawan.com/lintas-kabupaten-kota/kotabogor. Diakses 13 Maret 2009. Anonim. http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009 Anonim .http://tempointeraktif.com. Ratusan Penumpang KRL Bogor Terhambat. Terbit kamis, 30 juni 2005. diakses tanggal 25 Juni 2009. Anonim . http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009 Deaux, Kay dan Gina Philogene. 2001. Representation of The Social: Bridging Theoritical Traditions. Blackwell Publisher. Massachusets. Departemen Sosial. 2006. Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan. Jakarta. Fauziyah, Elis.2002. Makna Tanah Bagi Petani. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
109
Garliah, Lili. 2004. ”Program Intervensi Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan”. Jurnal. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara Handoyo, Eko dkk. 2004. Profil Anak Jalanan Perempuan di Kota Semarang (Kebutuhan, Motivasi dan Aspirasinya). Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Karnaji dkk. 2001. Studi Tentang Penyusunan Model Pembinaan dan Pemberdayaan Anak jalanan. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial dan Ilmu Politik volume 2 Nomor 3.. Univesitas Airlangga. MOW
International
Research
Team.
1987.
The
Meaning
of
Working.
London:Academic Press, Inc. Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. PT.KERETA API – Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Jadwal Perjalanan KRL Ekonomi
Jakarta-Bogor. Diperoleh tanggal 23 April 2009
PT.KERTA API. http://www.keretaapi.com/info-ka. Stasiun Kereta Api Bogor. Diakses tamggal 23 April 2009 Rahayu, Siti Sri. 2004. Makna Hutan Bagi Bagi Masyarakat Adat. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Riduwan, dan Akdon. 2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika untuk Penelitian
(Administrasi
Pendidikan-Bisnis-Pemerintah-Sosial-Kebijakan-
Ekonomi-Hukum-Manajemen-Kesehatan). Ed. Bukhori Alma. Alfabeta. Bandung. Ritzer, George dan Douglas J.Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Suhartini, Tina. 2008. Strategi bertahan hidup anak jalanan. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
110
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sutinah. 2001. ”Anak Jalanan Perempuan: Studi Kualitatif Tentang Strategi Mempertahankan Hidup dan Tindak Kekerasan Seksual yang Dialami Anak Jalanan Perempuan di Kota Surabaya”. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial volume 2 nomor 3 Desember. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.Universitas Airlangga Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT.Bina Rina Prawira: Jakarta Selatan. Tauran. 2000. Studi Profil Anak Jalanan Sebagai Upaya Perumusan Model Kebijakan. Jurnal Administrasi Negara volume 1 nomor 1. Waluyo, Dwi Eko. 2000. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Anak Jalanan di Kota Madya Malang. Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. Dept. Economic and Development Studies. Watson, Toni. J. 1995. Sociology, Work, Industry. T.J Press Ltd. Great Britain.