REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Oleh: Wina Ekawati I34070049
Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. 19681121 199702 2 001
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
ABSTRACT This research is focused on social representations about fish auction center in fisher community. Social representation is a psychosocial assessment that refers to the outcome and the process of a common sense. Conceptually, the fish auction center is provided by the government to assist the fishers in selling their fishes. The goals of fish auction center are to increase the fishers’ income, as the price controler, and as a place for fishers to selling their fishes. But the goals were not necessarily making the fishers utilize fish auction center optimally. In fact, many fishers prefer to utilize the broker instead of fish auction center. Thus interesting to examine about how the social representation that fishers had about the fish auction center, find out whether there is any relationship between the characteristics of the fishers, the characteristics of fish auction center and the presence of broker with the fishers’ social representations. This is an explanatory research that also looking for words that represent fish auction center in fishers’ way of thought. The words will elaborate the fishers’ common sense about fish auction center.
Key words: social representation, fishers community, fishers characteristic, coastal community, common sense
ii
RINGKASAN WINA EKAWATI. Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten). Di bawah bimbingan ANNA FATCHIYA Usaha nelayan sangat bergantung kepada keberadaan pasar atau konsumen. Keberadaan pasar yang tetap untuk menjual hasil tangkapan menjadi salah satu kesulitan yang dihadapi oleh nelayan, sehingga banyak nelayan yang memilih untuk melakukan sistem patron-klien agar hasil tangkapan mereka dapat memiliki pasar yang tetap. Namun sistem ini dianggap merugikan nelayan karena penetapan harga cenderung bersifat sepihak, yaitu oleh pihak patron (tengkulak). Tidak jarang harga yang didapatkan nelayan lebih rendah dari harga pasar. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sekaligus memberikan pasar yang pasti bagi nelayan, pemerintah memberi bimbingan dan dorongan agar nelayan menjual hasil tangkapannya melalui proses pelelangan, yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkaji representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan; (2) Mengkaji hubungan karakteristik nelayan dengan representasi sosial nelayan tentang TPI Cituis pada nelayan; (3) Mengkaji hubungan karakteristik TPI dan interaksi nelayan dengan tengkulak dengan representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan. Penelitian ini menggunakan metode analisis data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumentasi kantor pemerintahan, hasil studi dan penelitian ilmiah (skripsi dan tesis), laporan penelitian ilmiah, serta berbagai sumber dokumen lainnya baik cetak maupun elektronik. Representasi sosial nelayan tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan kajian utama dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi sosial responden terhadap TPI cenderung netral. Representasi sosial tentang TPI pada responden dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor yang berasal dari internal responden adalah jenis alat tangkap yang dipakai, status nelayan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, pengalaman, dan umur. Faktor yang berasal dari
iii
eksternal responden lebih kepada faktor yang berasal dari TPI, seperti fasilitas TPI, letak TPI, pegawai TPI, sistem retribusi dan sistem lelang yang berlaku. Uji Chi-Square dan Korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak semua aspek karakteristik responden memiliki kaitan dengan representasi sosial tentang TPI. Jenis alat tangkap yang digunakan dan status responden terbukti memiliki kaitan dengan sikap dan keyakinan nelayan terhadap TPI. Terdapat perbedaan representasi sosial pada responden dengan status dan jenis alat tangkap yang berbeda, sedangkan tingkat pendidikan, pengalaman dan usia responden tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada hubungan antara tingkat interaksi responden-tengkulak dengan representasi sosialnya. Opini yang muncul pada responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa keberadaan TPI memiliki manfaat bagi nelayan yang ada di sekitar TPI Cituis, namun para responden juga mengakui bahwa keberadaan tengkulak masih mereka butuhkan. Hasil asosiasi kata menunjukkan bahwa responden menganggap kata yang paling tepat untuk mewakili TPI Cituis adalah Tempat Lelang, yang berarti sesuai dengan fungsi pokok dari TPI. Kata berikutnya yang dianggap mewakili adalah kata pasar. Selain itu responden juga memaknai tengkulak sebagai tempat jual ikan dan tempat mendapat pinjaman. Hasil observasi menunjukkan bahwa banyak responden yang selain memanfaatkan TPI juga memanfaatkan tengkulak untuk menyalurkan hasil tangkapannya. Mereka akan menjual cumi, corak (sotong) dan udang kepada tengkulak, sedangkan hasil tangkapan lain akan dilelang di TPI Cituis. Sebagian besar dari mereka merasa nyaman dengan pola distribusi tersebut.
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Oleh
Wina Ekawati I34070049
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011
v
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN (KASUS TPI CITUIS, DESA SURYA BAHARI, KECAMATAN PAKUHAJI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Oktober 2011
WINA EKAWATI NRP. I34070049
iv
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Wina Ekawati
NRP
: I34070049
Judul
: Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. NIP. 19681121 199702 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Kelulusan:
vi
RIWAYAT HIDUP
Wina Ekawati dilahirkan di Kota Hujan yang kini disebut juga sebagai Kota Sejuta Angkot, yaitu Kota Bogor, pada hari Senin tanggal 23 Januari 1989. Sulung dari dua bersaudara ini merupakan buah cinta dari pasangan suami istri Heri Kusaeri Lesmana dan Rohati, S.Pd. Penulis telah menempuh pendidikan formal dari tahun 1994 hingga saat ini. Langkah awal penulis dalam menempuh pendidikan formal dimulai dari TK Raudhatu-Nur selama satu tahun, lalu berlanjut di SDN Cijahe Curug IV selama enam tahun. Kemudian, penulis menempuh tiga tahun selanjutnya di SMPN 4 Bogor. Lulus dari jenjang SMP, penulis berkesempatan untuk menuntut ilmu di SMAN 1 Bogor selama tiga tahun. Kini penulis sedang menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor setelah mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), yaitu di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Penulis meraih prestasi sebagai Siswa Terbaik SDN Cijahe Curug IV tahun ajaran 2000/2001. Prestasi lain yang pernah diraih penulis lebih banyak berasal dari bidang luar akademis, salah satunya juara 2 lomba nasyid bersama kelompok nasyid Harmoni pada acara Ekspresi Muslimah 2010. Penulis mulai aktif berorganisasi pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Organisasi yang diikuti oleh penulis di SMAN 1 Bogor adalah organisasi rohani islam, yaitu DKM Ar-Rahmah. Setelah memasuki perguruan tinggi penulis mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di kesenian Sunda yaitu Gentra Kaheman. Kutipan yang menjadi inspirasi Penulis adalah “be the change you want to see in the world” yang merupakan kutipan dari salah satu inspirator dunia, Mahatma Gandhi.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten). Skripsi ini ditujukan sebagai pemenuhan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji representasi sosial pada nelayan. Tujuan lainnya ialah mengkaji hubungan yang terjadi antara variabel-variabel, yaitu variabel karakteristik nelayan, karakteristik TPI, tingkat interaksi nelayan dengan tengkulak, dan representasi sosial nelayan tentang TPI Cituis. Peneliti mengetahui bahwa penelitian ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat menghasilkan manfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Oktober 2011
Wina Ekawati NRP. I34070049
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat nikmat iman, rahmat, dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak, yaitu dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. sebagai dosen pembimbing penulis atas saran, kritik, kepercayaan dan semangatnya. 2. Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. sebagai dosen pembimbing akademik yang membantu penulis dalam mengarahkan rencana studi. 3. Bapak Heri Kusaeri Lesmana dan Mama Rohati, S.Pd. yang telah sabar membesarkan penulis, serta kepada kepada Adinda, Widya Agustina. 4. Bapak Suryadi, Bapak Al-Wani dan Ibu Ning yang telah membantu penulis dalam pencarian data di lokasi penelitian. 5. Anggi, Didi, Ira, Mabu, Mari, Vivi, Yos, Desy, Ima, Uty, Linda, Risma, Karin, Asih, Ami, Ayu, Pia, Mba Chalim dan seluruh KPM 44 atas semangat, tawa canda, saran, kritik dan “cambukan”nya kepada penulis. 6. Hadianti Nurfitri dan Dini Aprilia yang telah menjadi sahabat penulis sedari SMA, penulis beruntung bertemu kalian. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xv
1.
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Masalah Penelitian ...................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ....................................................................
1 1 3 4 4
2.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS............................................... 2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................... 2.1.1 Representasi Sosial ............................................................ 2.1.2 Nelayan .............................................................................. 2.1.3 Tempat Pelelangan Ikan .................................................... 2.1.4 Hubungan Patron Klien ..................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................... 2.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran...........................................
5 5 5 8 9 12 13 15 16
3.
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ......................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 3.2 Teknik Pemilihan Responden ....................................................... 3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 3.4 Teknik Analisis Data ....................................................................
20 20 20 21 22
4.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............. 4.1 Keadaan Umum Desa Surya Bahari ............................................. 4.1.1 Keadaan Geografis ............................................................. 4.1.2 Kependudukan ................................................................... 4.2 Keadaan Umum TPI Cituis ..........................................................
24 24 24 24 27
5.
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN KONTEKS SITUASIONAL TPI ........................................................................ 5.1 Karakteristik Responden ............................................................. 5.1.1 Jenis Alat Tangkap ............................................................. 5.1.2 Status Responden ............................................................... 5.1.3 Tingkat Pendapatan ............................................................ 5.1.4 Tingkat Pendidikan ............................................................ 5.1.5 Tingkat Pengalaman ........................................................... 5.1.6 Tingkat Usia ...................................................................... 5.2 Konteks Situasional TPI Cituis .................................................... 5.2.1 Fasilitas TPI ....................................................................... 5.2.2 Letak TPI ...........................................................................
31 31 31 32 33 34 35 35 36 36 36
x
6.
7.
8.
5.2.3 Sistem Lelang .................................................................... 5.2.4 Sistem Retribusi ................................................................. 5.3 Hubungan Patron-Klien pada Responden ....................................
37 38 39
BAB VI REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TPI CITUIS .... 6.1 Tipologi Representasi Sosial tentang TPI Cituis ......................... 6.1.1 Representasi Sosial pada Tipologi I: Lelang ...................... 6.1.2 Representasi Sosial pada Tipologi II: Pasar dan Lelang .... 6.2 Tipologi Representasi Sosial tentang Tengkulak ....................... 6.2.1 Represemtasi Sosial pada Tipologi I: Tempat Jual Ikan..... 6.2.2 Representasi Sosial pada Tipologi II: Tempat Pinjam Uang ...................................................................................
41 41 45 49 53 57
BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL............................................ 7.1 Hubungan antara Alat Tangkap dengan Representasi Sosial........ 7.2 Hubungan antara Status Responden dengan Representasi Sosial............................................................................................ 7.3 Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Representasi Sosial ........................................................................................... 7.4 Hubungan antara Tingkat Pengalaman dengan Representasi Sosial.......................... ................................................................. 7.5 Hubungan antara Tingkat Usia dengan Representasi Sosial ........ 7.6 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Representasi Sosial .......................................................................................... 7.7 Ikhtisar .........................................................................................
61 66 66 69 72 72 73 73 74
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA FAKTOR EKSTERNAL DENGAN REPRESENTASI SOSIAL............................................ 8.1 Hubungan Karakteristik TPI dengan Repsentasi Sosial ............... 8.2 Hubungan Tingkat Interaksi Responden-Tengkulak dengan Representasi Sosial ......................................................................
77
BAB IX PENUTUP ........................................................................... 9.1 Kesimpulan .................................................................................. 9.2 Saran ............................................................................................
79 79 79
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
81
LAMPIRAN..............................................................................................
83
9.
75 75
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang Tahun 2011............................................................
25
Tabel 2. Komposisi Penduduk Desa Surya Bahari Menurut Mata Pencaharian Tahun 2011.........................................................
26
Tabel 3. Jumlah Produksi dan Raman TPI Cituis Selama Tahun 2010.........................................................................................
28
Tabel 4. Jenis Ikan Dominan yang Mendarat di PPI Cituis selama Tahun 2010..............................................................................
28
Tabel 5. Fasilitas-Fasilitas di Sekitar TPI Cituis...................................
29
Tabel 6. Persentase Responden Berdasarkan Alat Tangkap..................
31
Tabel 7. Persentase Responden Berdasarkan Status..............................
32
Tabel 8. Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Alat Tangkap...................................................................................
33
Tabel 9. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan........
33
Tabel 10. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan........
34
Tabel 11. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengalaman.......
35
Tabel 12. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Usia...................
35
Tabel 13. Persentase Responden Berdasarkan Penyaluran Hasil Tangkap...................................................................................
39
Tabel 14. Perbandingan Karakteristik Responden pada Tipologi Representasi Sosial terhadap TPI............................................
43
Tabel 15. Perbandingan Karakteristik Responden pada Tipologi Representasi Sosial terhadap Tengkulak.................................
56
Tabel 16. Nilai Probabilitas antara Karakteristik Responden dengan Sikap, Keyakinan dan Informasi tentang TPI.........................
66
Tabel 17. Sikap Responden terhadap TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan.......................................................................
67
Tabel 18. Keyakinan Responden terhadap TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan........................................................
68
Tabel 19. Tingkat Pengetahuan Responden tentang TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan................................................
68
Tabel 20. Sikap Responden terhadap TPI Berdasarkan Status................
70
Tabel 21. Keyakinan terhadap TPI Berdasarkan Status..........................
70
xii
Tabel 22. Tingkat Pengetahuan Responden tentang TPI Berdasarkan Tingkat Pendapatan.................................................................
72
Tabel 23. Nilai Probabilitas dan Koefisien Korelasi antara Tingkat Pengetahuan dengan Aspek Representasi Sosial (Sikap, Keyakinan, Informasi).............................................................
75
Tabel 24. Jumlah Ikan yang Dilelang Beserta Raman TPI Cituis Tahun 2007- 2010...............................................................................
76
Tabel 25. Nilai Probabilitas dan Koefisien Korelasi antara Tingkat Interaksi Responden-Tengkulak dengan Aspek Representasi Sosial (Sikap, Keyakinan, Informasi).....................................
77
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan.......................................
15
Gambar 2.
Denah Lokasi TPI Cituis.........................................................
37
Gambar 3.
Perbandingan Frekuensi Responden pada Tiap Tipe Representasi Sosial terhadap TPI............................................
42
Perbandingan Sikap Responden terhadap TPI dengan Sikap Responden terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang).............
45
Perbandingan Keyakinan Responden terhadap TPI dengan Keyakinan Responden terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang)....................................................................................
46
Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi I: Lelang)....................................................................................
48
Perbandingan Sikap Responden terhadap TPI dengan Sikap Responden terhadap Tengkulak (Tipologi II: Pasar dan Lelang)....................................................................................
50
Perbandingan Keyakinan Responden terhadap TPI dengan Keyakinan Responden terhadap Tengkulak (Tipologi II: Pasar dan Lelang)....................................................................
51
Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi II: Pasar dan Lelang)....................................................................................
53
Gambar 10. Perbandingan Frekuensi Responden pada Tiap Tipe Representasi Sosial terhadap Tengkulak.................................
54
Gambar 11. Perbandingan Sikap Responden terhadap TPI dengan Sikap Responden terhadap Tengkulak (Tipologi I: Tempat Jual Ikan)........................................................................................
58
Gambar 12. Perbandingan Keyakinan Responden terhadap TPI dengan Keyakinan Responden terhadap Tengkulak (Tipologi I: Tempat Jual Ikan)....................................................................
59
Gambar 13. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi I: Tempat Jual Ikan)........................................................................................
61
Gambar 14. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan Sikap Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang)...........................................................................
62
Gambar 4. Gambar 5.
Gambar 6. Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
xiv
Gambar 15. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI dengan Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang).............................................................
63
Gambar 16. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang)...........................................................................
64
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Daftar Istilah (Glossary)..........................................................
84
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian............................................................
85
Lampiran 3. Daftar Responden...................................................................
86
Lampiran 4. Contoh Output Uji Statistik....................................................
87
Lampiran 6. Foto Dokumentasi..................................................................
88
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang
mencakup17.504 pulau, 6.000 diantaranya berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), luas total wilayah Indonesia adalah 7,7 juta km2 terdiri dari 1,9 juta km2 daratan, 2,3 juta km2 laut nusantara, 0,8 juta km2 laut teritorial dan 2,7 juta km2 perairan ZEE. Jumlah penduduk Indonesia menurut data statistik pada tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa. Nyaris seluruhnya (95,9 persen) berdiam di kawasan yang berada dalam jarak 100 km dari garis pantai. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95.180,8 km adalah terpanjang kelima di dunia. Di sepanjang garis pantai inilah terdapat daerah pesisir. Daerah pesisir memiliki ciri khas sosial budaya dan ekonomi tersendiri. Kekhasan daerah pesisir adalah hasil dari interaksi penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dapat kita sebut sebagai masyarakat pesisir. Salah satu komponen dari masyarakat pesisir adalah nelayan. Jumlah masyarakat pesisir di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan sekitar 16.420.000 jiwa, sekitar 4.015.320 jiwa diantaranya adalah nelayan. Data yang bersumber dari Kementrian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa persentase masyarakat pesisir yang hidup di bawah garis kemiskinan (berdasarkan Poverty Headcount Index) masih tinggi, yaitu sebesar 32,14 persen atau sekitar 5.254.400 jiwa. Kemiskinan yang dialami nelayan di Indonesia adalah hasil dari permasalahan yang ada di berbagai bidang, seperti rendahnya pendidikan, pembangunan yang tidak merata, kurangnya kepemilikan modal usaha, masalah pada faktor geografis hingga kebijakan-kebijakan yang kurang memperhatikan
2
kesejahteraan nelayan (Satria, 2009). Salah satu hal yang menarik adalah nelayan justru
banyak
mengalami
masalah
dalam
pengembangan
usahanya.
Pengembangan usaha nelayan salah satunya sangat bergantung kepada keberadaan pasar (konsumen), untuk memiliki pasar yang sudah tetap adalah salah satu kesulitan yang dihadapi nelayan. Kesulitan tersebut membuat nelayan yang telah bekerja keras menangkap ikan, kadang tetap saja memiliki pendapatan yang kecil. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa mereka akan mendapat pendapatan yang besar, walaupun hasil tangkapan mereka berlimpah. Jika ikan yang mereka tangkap tidak segera disalurkan kepada konsumen maka ikan tersebut dapat menjadi busuk dan malah menjadi sia-sia. Sistem ijon adalah cara yang banyak dipilih nelayan untuk menjamin hasil tangkapan mereka terjual. Namun sistem ini lebih banyak merugikan nelayan karena penetapan harga lebih cenderung bersifat sepihak, sehingga harga yang berlaku lebih rendah dari harga pasar. Di lain pihak, harga ikan pada tingkat konsumen relatif tinggi karena panjangnya mata rantai pemasaran. Oleh karena itu untuk mewujudkan harga yang wajar dan menguntungkan bagi nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus memberikan pasar yang pasti bagi nelayan dalam menjual hasil tangkapannya, pemerintah memberi bimbingan dan dorongan agar hasil tangkapan nelayan dijual melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Tempat Pelelangan Ikan pada dasarnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah karena termasuk kepada kewenangan otonomi daerah, sehingga pada tiap daerah dapat ditemukan TPI dengan sistem yang agak berbeda satu sama lain. Berdasarkan UU No 31 tahun 2004, disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membangun dan membina prasarana perikanan (pelabuhan perikanan dan saluran irigasi tambak) (Pramitasari, 2005). Menurut sejarahnya Pelelangan Ikan telah dikenal sejak tahun 1922, didirikan dan diselenggarakan oleh Koperasi Perikanan terutama di Pulau Jawa, dengan tujuan untuk melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, membantu nelayan mendapatkan harga yang layak dan juga membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya (Pramitasari, 2005). TPI di beberapa daerah bahkan tidak berfungsi sebagaimana konsep awalnya. Hasil penelitian Silalahi (2006) menunjukkan bahwa ketidakefektifan TPI
3
disebabkan oleh tidak dapat dicapainya tujuan dari TPI, yaitu dalam meningkatkan pendapatan nelayan, mengendalikan harga ikan, dan sebagai tempat nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapannya.Tidak berjalannya fungsi TPI ini diduga karena banyak nelayan yang tetap mengandalkan keberadaan tengkulak, sehingga mengabaikan keberadaan TPI. Tengkulak dianggap sebagai jaminan sosial ekonomi yang sudah umum bagi nelayan. Keberadaan TPI harus bersaing dengan keberadaan tengkulak yang dapat dikatakan telah menjadi suatu tradisi dalam masyarakat nelayan. Berdasarkan latar belakang di atas, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai bagaimana representasi sosial nelayan terhadap TPI, mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara karakteristik nelayan, karakteristik TPI dan keberadaan tengkulak dengan representasi sosial tentang TPI yang dimiliki oleh nelayan, dan mencari tahu tentang ada atau tidaknya hubungan antara representasi sosial yang dimiliki nelayan dengan tingkat pemanfaatan TPI pada nelayan. Pengkajian terhadap representasi sosial tentang TPI pada nelayan ini terkait dengan teori tentang representasi sosial yaitu representasi sosial dapat merubah perlaku seserang, atau dengan kata lain representasi sosial dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Representasi sosial yang berbeda akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki representasi yang berbeda mengenai suatu obyek. 1.2
Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan? 2. Bagaimana hubungan karakteristik nelayan responden dengan representasi sosial nelayan tentang TPI Cituis? 3. Bagaimana hubungan faktor eksternal (karakteristik TPI dan interaksi nelayantengkulak) dengan representasi sosial tentang TPI Cituis?
4
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan responden. 2. Menganalisis hubungan karakteristik nelayan responden dengan representasi sosial tentang TPI Cituis. 3. Menganalisis hubungan faktor eksternal (karakteristik TPI dan interaksi nelayan-tengkulak) dengan representasi sosial tentang TPI Cituis. 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menjadi pembelajaran dalam memahami kehidupan nelayan terutama dalam bidang representasi sosial mereka. 2. Masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penambah pengetahuan mengenai representasi sosial nelayan. 3. Civitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan representasi sosial. 4. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terkait kebijakan-kebijakan dan perancanaan program yang berhubungan dengan representasi sosial nelayan.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Representasi Sosial Representasi sosial merupakan suatu teori yang dirintis oleh pemikiran seorang peneliti Psikologi Sosial, Serge Moscovici, sehingga teori representasi sosial berada di bawah teori besar psikologi sosial. Menurut Hollander (1981) dalam Pidarta (2007), psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. Jodelet (2005) dalam Putera dkk (2009) menjelaskan istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran umum (common sense). Pikiran umum adalah cara berpikir „rasional‟ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari (Putera dkk, 2009). Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik (central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik (periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core. Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, yang mana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara individu dan dibagikan secara kolektif (Johar, 2011). Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang.
6
Sesuai dengan pernyataan Abric (1989) sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan (2010): “... Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa tingkah laku para subyek ataupun kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situai tersebut. ...” (Abric, 1989, seperti dikutip Padjaitan 2010). Kesimpulannya adalah representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut. a.
Fungsi Representasi Sosial Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) menyebutkan bahwa representasi
sosial memiliki dua fungsi sekaligus, antara lain: 1. Representasi sosial berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya. 2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran sosial
mereka,
dan sebagai kode untuk menamai serta
mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejahteraan individu dan kesejarahan kelompoknya. Bergman (1998) dalam Wesman (2011) juga menyatakan bahwa teori sosial terlihat pada pemikiran subyektif seseorang individu yang menciptakan sebuah kenyataan dari kenyataan yang tidak diketahui sebelumnya. Oleh sebab itu, representasi sosial memiliki fungsi sebagai alat untuk memberikan arti bagi setiap istilah yang asing atau abstrak bagi mereka.
7
b.
Pembentukan Representasi Sosial Menurut Moscovici (1984) dalam Deaux dan Philogene (2001)
representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan objectifying. 1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. 2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut. c.
Pengukuran Representasi Sosial Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa
metode, di antaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Dalam Wagner dan Hayes (2005) sebagaimana dikutip oleh Johar (2011) dikatakan bahwa pada percobaan, variabel percobaan yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) dalam Johar (2011) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata, representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek. Pada asosiasi kata, para subjek akan memberikan secara spontan jawaban atau pandangan nya dari suatu objek yang diberikan dan mereka diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata mengenai objek tersebut. Selanjutnya, kata-kata yang didapatkan dari subjek diurutkan mulai dari kata-kata yang paling menggambarkan objek sampai kata-
8
kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Pada penelitian ini, responden hanya diminta untuk menyebutkan minimal satu kata yang dianggap paling mewakili objek penelitian, yaitu TPI Cituis. Hal ini dilakukan karena responden menemukan kesulitan ketika diminta untuk menyebutkan lima kata untuk mewakili TPI Cituis. Skala Likert digunakan untuk mengukur elemen sikap dan keyakinan dalam representasi sosial. 2.1.2 Nelayan Menurut Imron (2003) sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau pun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi. Berikut adalah tingkatannya: 1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada kebutuhan sendiri (subsisten), nelayan ini mengalokasikan hasil jual tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk pengembangan skala usaha. 2. Post-fisher yaitu nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkap ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor semakin membuka peluang nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan
9
tersebut karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. 3. Commercial-fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dan dicirikan dengan status tenaga kerja yang beragam, dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan lebih modern sehingga diperlukan keahlian tersendiri dalam pengoperasiannya. 4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah: a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju; b. Secara relatif lebih padat modal; c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikan serderhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Hanson (1984) dalam Amanah dkk (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah. 2.1.3 Tempat Pelelangan Ikan Menurut Biro Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1993), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Biasanya Tempat Pelelangan Ikan ini dikoordinasi oleh Dinas Perikanan atau Pemerintahan Daerah. Tempat Pelelangan Ikan tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) tempat tetap (tidak berpindah-pindah); (b) mempunyai
10
bangunan tempat transaksi penjualan ikan; (c) ada yang mengkoordinasi prosedur lelang/penjualan; (d) mendapat izin dari instansi yang berwenang (Dinas Perikanan/Pemerintah Daerah). TPI
merupakan
pusat
dari
seluruh
kegiatan
perikanan,
yang
mengumpulkan semua hasil tangkapan untuk dijual melalui sistem lelang (Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Yunizar, 1989. Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989) mengatakan bahwa secara umum pelelangan ikan diartikan sebagai suatu metode transaksi di pusat produksi yang diselenggarakan di TPI antara nelayan dan bakul dengan tujuan agar dapat diperoleh harga yang wajar serta pembayaran secara tunai kepada nelayan. Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997; 902/Kpts/PL.420/9/97; 03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang penyelengaraan tempat pelelangan ikan, bahwa yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat (Pramitasari, 2005). a.
Fungsi Tempat Pelelangan Ikan Fungsi TPI menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1985) sebagaimana
dikutip Yunizar (1989) adalah sebagai: 1. Tempat pelelangan; 2. Tempat menyortir, mencuci, dan menimbang sebelum ikan dilelang; 3. Tempat pengepakkan sebelum ikan dikirim ke daerah pemasaran. TPI pada hakekatnya adalah pasar induk dari segi institusi. Manfaat dari pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Adi (1995) adalah sebagai berikut: 1. Sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan; 2. Sebagai sumber data statistik yang akurat baik untuk keperluan perencanaan pembangunan maupun pengelolaan kelestarian sumber daya perikanan;
11
3. Sebagai sarana melepaskan ketergantungan nelayan kepada pemilik modal dan penghapusan sistem ijon; 4. Sebagai sarana pembinaan mutu hasil perikanan sekaligus pengaturan harga yang layak bagi konsumen; 5. Sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah yang sekaligus dapat melakukan fungsi kontrol terhadap penghimpunan dan penggunaan dana retribusi. Pada pelaksanaan pelelangan ikan juga terdapat hambatan-hambatan, berikut adalah hambatan pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989), antara lain: 1. Belum dilakukannya sistem lelang dengan penawaran terbuka dan bebas, sehingga banyak merugikan nelayan; 2. Administrasi pengelolaan dan pengawasan pelelangan belum berjalan sempurna; 3. Petugas-petugas TPI umumnya masih belum memiliki persyaratan (job qualification) untuk pelaksanaan tugasnya; 4. Pelelangan ikan banyak didominasi oleh pedagang-pedagang ikan yang juga adalah tengkulak-tengkulak atau pelepas uang; 5. Praktek-praktek penjualan ikan di tengah laut masih banyak terjadi; 6. Hasil tangkapan nelayan kecil, sering tidak dijual di TPI karena adanya pembatasan jumlah minimal ikan yang boleh dilelang; 7. Pembayaran harga ikan kepada nelayan tidak secara tunai; 8. KUD sebagai pelaksana pelelangan ikan kebanyakan belum mampu melaksanakan tugasnya terutama untuk menjamin berlangsungnya penawaran secara bebas dan terbuka; 9. Sarana-sarana pemasaran seperti: penyediaan es, cool box, cool room, dan sebagainya, khususnya di PPI banyak yang belum memadai; 10. Banyak Pemerintah Daerah Tingkat I lebih mengutamakan TPI sebagai sumber pendapatn, sehingga melupakan sebagai fungsi pokok TPI sebagai sarana untuk mengusahakan harga yang layak dan pembayaran secara tunai kepada nelayan.
12
b.
Karakteristik Tempat Pelelangan Ikan Tempat Pelelangan Ikan idealnya memiliki fasilitas yang baik agar dapat
mendukung fungsinya secara optimal. Sarana seperti tempat penyediaan es, cool box, dan cool room seharusnya telah dapat terpenuhi mengingat fokus dari TPI adalah ikan yang merupakan komoditas yang cepat rusak. Kelengkapan fasilitas pada suatu TPI adalah karakter dari masing-masing TPI, karena ternyata tidak semua TPI telah memiliki fasilitas yang memadai. Karakter lain yang dapat dilihat pada suatu TPI adalah letaknya. TPI yang baik adalah TPI yang letaknya berdekatan dengan PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) sehingga ketika nelayan pulang dari melaut dapat langsung membawa hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini tentu saja akan sangat mengefisienkan waktu dan tenaga para nelayan. TPI adalah tanggung jawab dari pemerintahan daerah sehingga dapat terjadi perbedaan kebijakan antara TPI yang satu dengan TPI yang lainnya atau bergantung kepada kebijakan pemerintahan daerah tempat TPI tersebut berdiri. Dengan demikian kebijakan yang berlaku pada suatu TPI dapat dikategorikan sebagai karakteristik TPI. Perbedaan kebijakan ini dapat terlihat misalnya pada pengimplementasian biaya retribusi dan sistem lelang yang belaku. 2.1.4 Hubungan Patron-Klien Salah satu ciri dari masyarakat nelayan adalah adanya hubungan patronklien. Ikatan patron-klien muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan nelayan akan jaminan atas kelancaran kegiatan pencarian nafkah mereka. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan menjalin sebuah hubungan patron-klien dengan seorang tengkulak. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria, 2002). “... Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak menentu. Kondisi alam (musim/cuaca) mempengaruhi kondisi perekonomian para nelayan. jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka akan berdampak pada putusnya sumber penghasilan nelayan. situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa melakukan pinjaman atau kredit, berhutang barang kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasanya. ...” (Layn, 2008).
13
Scot (1972) dalam Layn (2008) menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron. Ketidakseimbangan pertukaran pada hubungan patron-klien dapat dengan mudah ditemukan. Ketidakseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan. Namun dalam pandangan individu yang terlibat dalam hubungan patron-klien pertukaran yang mereka lakukan dapat saja dianggap seimbang. Gouldner (1977) dalam Layn (2008) menyatakan bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut denga heteromorphic reciprocity. Menurut Mulyadi (2007), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang secara konseptual disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil, ternyata belum optimal. Kendala yang dihadapi TPI dalam mengundang nelayan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia ternyata terjadi karena alasan sosiologis di mana nelayan telah menjalin hubungan dengan tengkulak dalam suatu hubungan patron-klien, yaitu tengkulak memberikan fasilitas kredit kepada nelayan.
Sebaliknya
nelayan
memiliki
kewajiban untuk
menjual
hasil
tengkapannya kepada tengkulak. 2.2
Kerangka Pemikiran Representasi sosial tentang TPI pada nelayan dipengaruhi oleh faktor
internal (karakteristik individu nelayan) dan faktor eksternal. Karakteristik individu meliputi status nelayan, jenis alat tangkap yang digunakan, tingkat
14
pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat usia dan tingkat pengalaman. Faktor eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini berasal dari TPI sendiri yaiu karakteristik dari TPI Cituis dan faktor eksternal lain yang berasal dari kehidupan sosial ekonomi nelayan, yaitu hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan. Karakteristik TPI yang diduga dapat mempengaruhi representasi sosial nelayan terhadap TPI, antara lain: kelengkapan fasilitas, letak, sistem lelang, sistem retribusi dan pegawai dari TPI tersebut. Tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan dapat dilihat dari frekuensi mengikuti kegiatan lelang, persentasi jumlah ikan yang dilelang dari hasil tangkapan, dan kegiatan yang diikuti nelayan di TPI selain dari kegiatan lelang. Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah imej, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai TPI yang ada pada nelayan. Representasi sosial berarti pemahaman bersama tentang suatu hal di kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Nelayan dapat berkomunikasi satu sama lain tentang TPI melalui informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap mereka. Komunikasi tersebut akan menghasilkan suatu pengetahuan sosial tentang TPI yang hampir sama di antara nelayan. Representasi sosial merupakan suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut. Maka representasi sosial individu mengenai suatu hal akan mempengaruhi perilaku individu terhadap hal tersebut. Jadi, representasi sosial tentang TPI pada nelayan akan mempengaruhi perilaku nelayan. Namun pada penelitian ini tidak akan mengkaji mengenai tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan karena berada di luar tujuan penelitian. Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
15
Faktor Internal Karakteristik Nelayan: 1. Jenis alat tangkap 2. Status nelayan 3. Tingkat pendapatan 4. Tingkat pendidikan 5. Tingkat pengalaman 6. Tingkat usia
Faktor Eksternal Tingkat interaksi dengan tengkulak (hubungan patronklien)
Karakteristik TPI: 1. Fasilitas TPI 2. Letak TPI 3. Sistem retribusi 4. Sistem lelang
Representasi Sosial tentang TPI pada Nelayan
1. 2. 3. 4.
Elemen: Informasi Sikap Opini Keyakinan
Tingkat Pemanfaatan TPI oleh Nelayan
Keterangan Gambar: : hubungan
Gambar 1. 2.3
: batas penelitian
Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka
hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang menggunakan alat tangkap gardan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus. 2. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang berstatus nelayan buruh, nelayan perorangan dan nelayan juragan. 3. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendapatan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.
16
4. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendidikan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 5. Terdapat hubungan positif nyata pada pengalaman nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 6. Terdapat hubungan positif nyata pada usia nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 7. Terdapat hubungan negatif nyata pada tingkat interaksi nelayan dengan tengkulak terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 2.4
Definisi Operasional dan Pengukuran Berdasarkan variabel-variabel yang terdapat pada kerangka pemikiran
yang telah dirumuskan di atas, maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik Nelayan adalah berbagai karakter yang terdapat pada responden dan bersifat personal. 1) Usia adalah jawaban responden tentang lama hidup responden sampai ketika diwawancarai. Usia dikategorikan menjadi tiga kategori yang mengurutkan tingkat usia responden dari yang paling muda hingga yang paling tua. Berikut batasan pada tiap kategori: a. Muda =
-½ standar deviasi (x < 32 tahun)
b. Sedang =
- ½ standar deviasi ≤ x ≤
+ ½ standar deviasi
(32 ≤ x ≤ 40 tahun) c. Tua =
Skor = 0
+½ standar deviasi (x > 40 tahun)
Skor = 1 Skor = 2
2) Tingkat pendidikan adalah jawaban responden tentang pendidikan terakhir yang telah mereka capai. Kategorinya adalah sebagai berikut: a. tidak sekolah b. SD / sederajat c. SMP / sederajat d. SMA / sederajat e. PT / sederajat
17
Namun pada saat penelitian, tingkat pendidikan responden tidak terlalu heterogen dehingga pengkategoriannya diubah sesuai data yang terkumpul saat penelitian, yaitu: a. Tidak sekolah
Skor = 0
b. SD
Skor = 1
c. > SD
Skor = 2
3) Tingkat pendapatan adalah jawaban responden tentang jumlah uang yang mereka dapatkan dari hasil menangkap ikan setiap bulannya. Kategorinya adalah: a. Rendah (x < Rp 755.000,00)
Skor = 0
b. Sedang (Rp 755.000,00 ≤ x ≤ Rp 1.111.000,00)
Skor = 1
c. Tinggi (x > Rp 1.111.000,00)
Skor = 2
4) Status nelayan adalah jawaban responden tentang kedudukan mereka sebagai seorang nelayan. Kategori yang digunakan adalah: a. Anak Buah Kapal (ABK) b. Nakhoda c. Juragan 5) Jenis alat tangkap adalah jawaban responden tentang alat yang mereka gunakan ketika menangkap ikan. Jenis alat tangkap dikategorikan sesuai dengan hasil dari pengumpulan data, yaitu: a. Pancing b. Gardan c. Jaring rampus d. Jaring apollo e. Payang 6) Pengalaman adalah jawaban responden tentang lamanya mereka berkecimpung sebagai nelayan. Kategorinya adalah: a. Rendah (x < 16 tahun)
Skor: 0
b. Sedang (16 ≤ x ≤ 24 tahun)
Skor: 1
c. Tinggi (x > 24 tahun)
Skor: 2
18
2. Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu nelayan, yang terdiri dari karakteristik TPI dan tingkat interaksi dengan tengkulak. Karakteristik TPI adalah jawaban responden tentang berbagai informasi tentang TPI Cituis yang mereka ketahui, meliputi: 1) Fasilitas TPI adalah kelengkapan sarana yang ada pada TPI Cituis. 2) Letak TPI adalah jarak yang harus ditempuh nelayan untuk mencapai TPI dari pendaratan ikan. 3) Sistem retribusi adalah sistem penarikan uang yang wajib dilakukan TPI kepada nelayan anggota lelang. 4) Sistem lelang adalah aturan main yang berlaku dalam kegiatan lelang. Tingkat interaksi dengan tengkulak adalah jawaban responden tentang seberapa sering mereka melakukan perjanjian dengan tengkulak. Kategorinya adalah: a. Selalu
Skor: 0
b. Kadang-kadang
Skor: 1
c. Tidak pernah
Skor: 2
Variabel faktor eksternal juga diukur melalui pendekatan kualitatif. 3.Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman nelayan tentang TPI. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Informasi adalah segala pengetahuan mengenai TPI yang dimiliki responden, diukur dengan melihat tingkat pengetahuan tentang variabel karakteristik TPI, kategorinya adalah: a. Rendah (x < 4) b. Sedang (4 ≤ x ≤ 7) c. Tinggi (x > 7) 2) Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari responden terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam TPI, kategorinya adalah: a. Negatif (x < 9) b. Netral (9 ≤ x ≤ 10)
19
c. Positif (x > 10) 3) Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh responden mengenai TPI Cituis, kategorinya adalah: a. Negatif (x < 8) b. Netral (8 ≤ x ≤ 9) c. Positif (x > 9) 4) Opini adalah suatu hasil dari pemikiran responden mengenai TPI, yang berdasarkan pada informasi-informasi yang mereka dapatkan (diukur secara kualitatif).
20
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji,
Kabupaten Tangerang, Banten. Pemilihan lokasi penelitian melalui pendekatan purposive. Desa Surya Bahari dipilih karena pada lokasi ini terdapat TPI Cituis. TPI Cituis adalah objek dari representasi sosial nelayan yang dikaji pada penelitian ini. Berikut adalah batas-batas Desa Surya Bahari, yaitu: (1) Sebelah Utara: Perairan Kepulauan Seribu; (2) Sebelah Selatan: Desa Buaran Wangah; (3) Sebelah Timur: Desa Kramat; (4) Sebelah Barat: Desa Karang Serang. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (unpublished), TPI Cituis adalah salah satu TPI yang masih aktif dalam kegiatan pelelangan ikan di daerah Kabupaten Tangerang. TPI Cituis ini merupakan milik pemerintah Kabupaten Tangerang yang pengelolaannya oleh koperasi, yaitu KUD Mina Samudera. Pengumpulan data dilakukan pada periode Maret-April 2011. Pengolahan data dan hasil penelitian dilakukan pada periode Mei-September 2011. 3.2
Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah nelayan Desa Surya Bahari yang pernah
atau sedang memanfaatkan TPI Cituis maupun yang belum memanfaatkan TPI Cituis, Desa Suryabahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Pemilihan responden dilakukan dengan pendekatan purposive. Unit penelitiannya adalah individu nelayan yang dipilih secara accidental, yaitu nelayan yang pernah atau sedang dan nelayan yang belum memanfaatkan TPI Cituis. Terdapat 40 responden yang terbagi atas 20 responden nelayan yang pernah dan sedang memanfaatkan TPI dan 20 responden lainnya yang belum pernah memanfaatkan TPI. Informan dari pihak TPI diambil untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai TPI Cituis, sedangkan informan yang berasal dari pihak tengkulak diambil untuk mengetahui hubungan patron-klien dan interaksi antara tengkulak dan nelayan.
21
3.3
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai dengan bentuk
penelitian eksplanatory (penelitian penjelasan). Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), pada penelitian eksplanatory dilakukan penjelasan mengenai hubunganhubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian terhadap hipotesa. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Proses penyusunan instrumen penelitian mengenai representasi sosial tentang TPI pada nelayan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: 1. Kuesioner: menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup untuk mengetahui karakteristik, pengetahuan dan pendapat responden dalam representasi sosial dan tingkat pemanfaatan TPI oleh responden. Selain itu, pada kuesioner jugadigunakan beberapa teknik berikut: a. Teknik asosiasi kata: instruksi disampaikan secara lisan dan dituliskan juga dalam kuesioner. Partisipan diminta untuk menyebutkan kata yang terlintas di benak mereka ketika mendengar kata TPI Cituis. Partisipan juga diminta untuk menjelaskan arti dan maksud asosiasi kata yang telah mereka tuliskan dalam kuesioner. Teknik pengukuran ini dapat menjelaskan representasi mental yang ada dalam sebuah masyarakat mengenai sebuah obyek tertentu, dalam hal ini adalah makna dari TPI Cituis. Dalam wawancara responden juga diminta untuk menyebutkan kata yang dianggap dapat mewakili tengkulak, sehingga didapatkan hasil asosiasi kata berupa tipologi-tipologi representasi sosial tentang TPI dan tengkulak. b. Skala Likert: digunakan untuk mengukur elemen sikap dan keyakinan dalam representasi sosial, alat ukur ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang memiliki empat alternatif jawaban atau tanggapan atas suatu pernyataan. Responden diminta untuk memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang disediakan, yaitu: sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Pada penelitian ini hanya digunakan empat alternatif jawaban dari lima alternatif jawaban pada ketentuan umum Skala Likert. Hal ini dilakukan untuk menghindari data yang tidak valid.
22
2. Wawancara mendalam: untuk mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan TPI, hubungan patron-klien yang terjadi, dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian. 3. Studi literatur: untuk mendapatkan data yang bersifat data sekunder seperti gambaran umum lokasi penelitian, data kependudukan, dan data lain yang terkait dengan penelitian. 3.4
Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data digunakan beberapa teknik analisis data, yaitu:
1.
Tabel frekuensi digunakan untuk analisis data primer, yaitu deskripsi karakteristik nelayan dan tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan.
2.
Pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 16.0. Program SPSS 16.0 digunakan untuk melakukan uji Korelasi Spearman dan uji Chi-Square. Uji Korelasi Spearman digunakan untuk mengukur hubungan antara tingkat pendapatan, tingkat pengalaman, tingkat usia, tingkat pendidikan dan tingkat interaksi nelayan-tengkulak dengan representasi sosial pada responden. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan representasi sosial pada nelayan yang berbeda status dan jenis alat tangkap. Apabila hasil uji menunjukkan nilai probabilitas < 0,05 maka terdapat perbedaan representasi sosial antara responden yang memiliki karakteristik berbeda. Jika nilai probabilitas > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan representasi sosial antara responden yang memiliki karakteristik berbeda. Ada atau tidak adanya korelasi pada hasil uji korelasi Spearman dapat dilihat melalui nilai probabilitasnya. Jika hasil uji menunjukkan nilai probabilitas < 0,05, maka terdapat korelasi antara variabel yang diuji, sedangkan jika nilai probabilitasnya > 0,05 maka tidak terdapat korelasi. Nilai koefisien korelasi pada uji korelasi Spearman menunjukkan arah hubungan. Jika nilai probabilitas yang muncul kurang dari 0,05 dan koefisien korelasinya bernilai positif, maka terdapat hubungan positif nyata antara kedua variabel.
23
3.
Tabulasi silang digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel yang memiliki hubungan.
4.
Teknik kualitatif untuk analisis data tentang karakteristik TPI dan aspek pendapat pada representasi sosial. Untuk menganalis data mengenai tingkat pengetahuan maka digunakan data TPI yang berasal dari informan sebagai acuan.
24
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Keadaan Umum Desa Surya Bahari
4.1.1 Keadaan Geografis Desa Surya Bahari terletak di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Menurut data monografi dari Pemerintahan Desa, Luas wilayah Desa Surya Bahari adalah 272 Ha. Secara geografis, Desa Surya Bahari berada pada koordinat 03o46‟51” N Latitude dan 98o42‟44” E Longitude. Desa Surya Bahari berbatasan dengan beberapa wilayah, berikut wilayah perbatasannya: (1) Sebelah utara Desa Surya Bahari berbatasan dengan Laut Jawa, (2) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Buaran Mangga, (3) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukawali, dan (4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Serang. Orbitasi atau jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan dengan Ibukota Provinsi Banten sejauh 110 km, dengan Ibukota Kabupaten Tangerang sejauh 25 km dan berjarak 14 km dari Ibukota Kecamatan Pakuhaji. 4.1.2 Kependudukan a.
Jumlah Penduduk Desa Surya Bahari Desa Surya Bahari terdiri dari enam dusun, yaitu: Dusun Cituis I, Dusun
Cituis II, Dusun Rawasaban III, Dusun Rawasaban IV, Dusun Rawasaban BTN, dan Dusun Encle-Sugri. Keenam dusun tersebut terdiri dari 6 Rukun Warga dan 18 Rukun Tetangga. Pemukiman Desa Surya Bahari tersebar sepanjang jalan raya yang menghubungkan beberapa desa. Jumlah seluruh penduduk Desa Surya Bahari sebanyak 7.350 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 3.745 orang dan jumlah perempuan sebanyak 3.605 orang. Jumlah kepala keluarga Desa Surya Bahari sebanyak 1.796 kepala keluarga. Desa Surya Bahari mempunyai 18 unit RT dan 6 unit RW. Masyarakat terdiri dari penduduk asli dan pendatang yang berasal dari berbagai daerah. Masyarakat di Desa Surya Bahari juga terdiri dari berbagai etnis, seperti Etnis Sunda, Betawi, Jawa, China dan lain-lain. Agama mayoritas penduduk Desa Surya Bahari adalah Islam. Agama lain yang juga dianut oleh beberapa penduduk di Desa Surya Bahari adalah agama Kristen dan Budha.
25
b.
Tingkat Pendidikan Menurut tingkat pendidikannya, mayoritas penduduk Desa Surya Bahari
berpendidikan minimal hingga pada tingkat Sekolah Dasar. Berdasarkan data yang berasal dari Pemerintahan Desa Surya Bahari tahun 2011, dapat diketahui bahwa hanya 2.081 jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk yang tercatat telah mengecap pendidikan, 912 orang diantaranya adalah lulusan SD, selanjutnya 567 orang merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu terdapat sebanyak 345 orang penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk kategori pendidikan tinggi, hanya terdapat 2 orang diantaranya yang merupakan lulusan akademi (D3) dan 5 orang yang merupakan lulusan S1. Tabel 1 menunjukkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan masyarakat Desa Surya Bahari. Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang Tahun 2011. Jumlah Persentase No Jenis Pendidikan (Jiwa) (%) 1. Tidak tamat SD/MI Sederajat 250 12,0 2. Tamat SD/MI Sederajat 912 43,8 3. Tamat SMP/MTs Sederajat 567 27,3 4. Tamat SMA/MA Sederajat 345 16,6 5. Tamat Akademi/Sederajat 2 0,1 6. Tamat Sarjana/Sederajat 5 0,2 Jumlah 2081 100,0 Sumber: Data Monografi Desa Surya Bahari, 2011
Data di atas menunjukkan bahwa penduduk di Desa Surya Bahari masih banyak yang belum mengecap pendidikan, karena dari jumlah keseluruhan penduduk, yaitu 7.350 orang, masih banyak yang belum tercatat tingkat pendidikannya. Penduduk yang tidak tercatat tingkat pendidikannya dapat dikarenakan memang belum atau tidak mengecap pendidikan. Selain dari itu, dari data yang dimiliki Pemerintah Desa Surya Bahari juga dapat diketahui bahwa terdapat 490 orang penduduk yang tidak memiliki kemampuan baca tulis atau buta huruf.
26
c.
Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Desa Surya Bahari sebagian besar adalah
sebagai nelayan dengan jumlah 2.750 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Surya Bahari memiliki ketergantungan yang besar terhadap sektor perikanan. Selain itu, penduduk Desa Surya Bahari juga bekerja pada sektor-sektor lainnya secara rinci akan dijelaskan pada tabel berikut. Tabel 2. Komposisi Penduduk Desa Surya Bahari Menurut Mata Pencaharian Tahun 2011. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Mata Pencaharian Petani Penggarap Buruh Tani Nelayan Pedagang Industri Kecil Buruh Industri Pertukangan Pegawai Negeri Sipil Pensiunan PNS Perangkat Desa Jumlah
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
45 100 75 2750 300 100 45 16 8 1 18 3458
1,30 2,90 2,17 79,50 8,68 2,90 1,30 0,47 0,23 0,03 0,52 100,00
Sumber: Data Monografi Desa Surya Bahari, 2011
Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa mata pencaharian terbesar ada di sektor perikanan atau lebih spesifik lagi terdapat pada sektor perikanan tangkap yaitu sebagai nelayan. Mata pencaharian dominan selanjutnya adalah pekerjaan di sektor perdagangan dan pertanian. Banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian menyebabkan masih banyaknya areal persawahan di daerah ini. Berdasarkan sumber monografi Desa Surya Bahari, penduduk yang masuk ke dalam golongan angkatan kerja adalah sebanyak 3.683 orang, namun yang tercatat sebagai penduduk yang memiliki mata pencaharian adalah sebanyak 3.458 orang, sedangkan 150 orang penduduk tercatat sebagai pengangguran kentara dan 75 orang lainnya sebagai pengangguran tidak kentara. d.
Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Desa Surya Bahari rata-rata memiliki tingkat pendidikan
yang masih rendah. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk bekerja
27
dibandingkan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan nelayan telah menekuni pekerjaannya semenjak usia sekolah, hal ini membuat tingginya tingkat putus sekolah di kalangan nelayan. Keberadaan jalan raya yang menjadi penghubung antara Desa Surya Bahari dengan desa lainnya membuat akses ke Desa Surya Bahari seharusnya menjadi hal yang mudah. Namun keberadaan kendaraan angkutan umum yang terbatas membuat akses ke Desa Surya Bahari agak sulit, terutama jika sudah lewat sore hari. Memanfaatkan jasa ojeg motor menjadi satu-satunya cara untuk mengakses Desa Surya Bahari jika hari sudah sore. Kesulitan transportasi tersebut tidak menjadikan Desa Surya Bahari sepi akan aktivitas. Salah satu aktivitas yang masih dapat ditemukan selepas sore hari adalah aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan, beberapa nelayan bahkan baru mulai melaut ketika hari sudah malam. Keadaan sosial masyarakat nelayan di Desa Surya Bahari tidak jauh beda dengan keadaan sosial masyarakat nelayan di desa pesisir lainnya. Hubungan patron-klien masih dapat dengan mudah ditemukan, terutama pada nelayan yang merupakan penduduk asli Desa Surya Bahari. Hampir seluruh nelayan tersebut memiliki hubungan dengan tengkulak atau dalam bahasa lokal disebut langgan. Langgan biasanya telah dikenal baik oleh nelayan, sehingga hubungan patronklien yang terjadi terkesan lebih akrab. Selain nelayan yang merupakan penduduk asli, di Desa Surya Bahari juga terdapat banyak nelayan pendatang yang akhirnya menjadi penduduk tetap ataupun hanya menjadi penduduk musiman. Daerah asal dari nelayan pendatang ini beragam, misalnya dari: Brebes, Indramayu, dan Cirebon. 4.2
Keadaan Umum TPI Cituis TPI Cituis adalah tempat pelelangan ikan yang dikelola oleh KUD Mina
Samudera yang merupakan kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tangerang. TPI Cituis dibangun pada tahun 1979, pada saat awal pendiriannya, TPI ini hanya dikelola oleh DKP Kabupaten Tangerang. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis yang merupakan tempat beradanya TPI Cituis termasuk ke dalam pelabuhan tipe D. TPI Cituis hingga saat ini masih tercatat sebagai TPI dengan pemberian kontribusi PAD (Pendapatan Asli Daerah) tertinggi dalam bentuk retribusi pelelangan ikan di Kabupaten Tangerang.
28
Tabel 3. Jumlah Produksi dan Raman TPI Cituis Selama Tahun 2010. Bulan Produksi (Kg) Raman (Rp) Januari
69.652
373.579.000
Februari
51.112
255.159.000
Maret
55.742
302.218.000
April
58.053
351.461.000
Mei
71.862
419.168.000
Juni
87.249
484.002.000
Juli
80.264
480.699.000
Agustus
78.394
484.843.000
September
46.337
295.745.000
Oktober
77.295
459.273.000
November
54.199
307.855.000
Desember
53.558
322.164.000
783.717
4.516.166.000
Total
Sumber: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KUD Mina Samudra, 2011
Jenis alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di sekitar TPI Cituis adalah jaring gardan, jaring rampus, jaring apollo, payang dan pancing. Masing-masing alat tangkap memiliki operasional penangkapan ikan yang berbeda. Tabel 4. Jenis Ikan Dominan yang Mendarat di PPI Cituis selama Tahun 2010. Jenis Ikan Dominan Jumlah Produksi Nilai Produksi (ton) (rupiah) Kurisi/Kuniran 10 470.000.000 Biji Nangka
5
189.000.000
Pari
4,5
265.000.000
Kembung
2,5
390.000.000
Kuwe
2,2
361.000.000
Sumber: PPI Cituis 2010
Ikan yang menjadi hasil tangkap dominan adalah ikan jenis kurisi/kuniran. Selain ikan kurisi/kuniran, masih banyak jenis ikan lain yang dapat ditemukan di perairan sekitar TPI Cituis. Menurut keterangan responden, tiap alat tangkap
29
memiliki spesialisasi dalam menangkap suatu jenis ikan tertentu, misalnya alat tangkap jaring gardan lebih banyak menangkap ikan jenis pari dan kurisi/kuniran, sedangkan jaring rampus lebih banyak menangkap ikan jenis kembung. TPI Cituis merupakan salah satu fasilitas fungsional yang dimiliki oleh PPI Cituis. Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, TPI Cituis didukung oleh beberapa fasilitas, seperti gedung lelang, tempat penjemuran ikan, instalasi air tawar, instalasi listrik, SPDN (tangki BBM), pos keamanan, toko, dan balai pertemuan nelayan (BPN). Selain fasilitas yang langsung dikelola oleh KUD Mina Samudera, terdapat beberapa fasilitas lain yang mendukung kegiatan nelayan di sekitar TPI, berikut tabel yang menunjukkan rincian fasilitas tersebut. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 5. Fasilitas-Fasilitas di Sekitar TPI Cituis. Fasilitas Kapasitas Pemanfaatan 2 Areal Daratan Pelabuhan 5000 m dimanfaatkan Jetty 215 m dimanfaatkan Dinding Penahan Tanah 80 m dimanfaatkan Jalan 200 m dimanfaatkan 2 Drainase 5000 m dimanfaatkan Tempat Pelelangan Ikan 400 m2 dimanfaatkan Lampu Suar 1 unit dimanfaatkan Penampung/tangki air 1.000 l dimanfaatkan Sumber air 2 unit dimanfaatkan Daya listrik 1200 watt dimanfaatkan SPBN 16.000 l dimanfaatkan
12 13 14 15
Syahbandar Tempat Parkir Balai Pertemuan Nelayan Koperasi
60 m2 400 m2 300 m2 150 m2
dimanfaatkan dimanfaatkan dimanfaatkan dimanfaatkan
Kondisi Baik Baik Baik Baik Baik Rusak baik Baik Baik Baik rusak berat baik baik baik baik
Sumber: PPI Cituis, 2010
KUD Mina Samudera sebagai pihak pengelola TPI memiliki empat bidang usaha, yaitu: a. Unit Simpan Pinjam (USP) Swamitra: unit usaha yang melayani kegiatan simpan pinjam. Dalam menjalankan kegiatannya, unit ini bekerja sama dengan Bank Bukopin. Selain melayani kegiatan simpan pinjam, unit ini juga melayani pembayaran rekening listrik, telepon, air, jasa telekomunikasi, dan pembayaran kredit kendaraan.
30
b. Unit Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN): unit ini merupakan kerja sama antara KUD dengan PT. Pertamina (Persero). c. Unit Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cituis: unit yang merupakan kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang. d. Unit Kedai Pesisir: unit yang melayani anggota KUD maupun masyarakat sekitar dengan menjual kebutuhan sehari-hari.
31
BAB V KARAKTERISTIK NELAYAN DAN KONTEKS SITUASIONAL TPI 5.1
Karakteristik Responden
5.1.1 Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Surya Bahari terbagi atas beberapa kelompok nelayan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, yaitu: jaring rampus, jaring apollo, payang, gardan dan pancing. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing. Hampir semua nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing adalah nelayan yang berasal dari penduduk setempat (lokal), sedangkan nelayan yang menggunakan alat tangkap selain pancing, kebanyakan merupakan nelayan pendatang. Nelayan lokal lebih memilih untuk mempergunakan alat tangkap pancing karena dianggap tidak memerlukan modal yang besar jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Ukuran dari kapal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus adalah 2-5 Gross Ton (GT), gardan 5-20 GT, pancing 2-3 GT, payang 2-3 GT, dan jaring apollo 2-5 GT. Persentase responden berdasarkan alat tangkapnya, didominasi oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing (50.0 persen). Nelayan pancing di Desa Surya Bahari memang belum memanfaatkan keberadaan TPI, mereka selalu menyalurkan hasil tangkapnya kepada tengkulak. Tabel 6. Persentase Responden Berdasarkan Alat tangkap. Alat Tangkap n (orang) n (%) Pancing 20 50,0 Gardan 4 10,0 Jaring Rampus 11 27,5 Jaring Apollo 4 10,0 Payang 1 2,5 Jumlah 40 100,0 Nelayan juga dapat dikategorikan berdasarkan lamanya mereka melaut, yaitu: nelayan harian dan nelayan babangan. Nelayan harian adalah nelayan yang biasanya pergi melaut pada dini hari dan pulang pada pukul 11 siang. Daerah yang dicapai nelayan harian untuk menangkap ikan biasanya tidak terlalu jauh dari garis pantai. Nelayan babangan adalah nelayan yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari bahkan mingguan untuk melaut. Nelayan ini memilih daerah yang
32
agak jauh jika dibandingkan dengan nelayan harian, bahkan dapat mendekati daerah Lampung. Pada kapal nelayan babangan harus ada persediaan es agar ikan hasil tangkapan dapat tetap segar walaupun harus berada di kapal untuk beberapa hari. 5.1.2 Status Responden Status nelayan di Desa Surya Bahari dibagi menjadi tiga berdasarkan atas peran masing-masing nelayan dalam kegiatan melaut, yaitu: juragan, nakhoda dan anak buah kapal (ABK) . Persentase responden berdasarkan statusnya didominasi oleh nelayan yang berstatus sebagai ABK (65,0 persen), karena jumlah nelayan yang berstatus sebagai ABK memang lebih banyak jika dibandingkan dengan nelayan yang berstatus sebagai nakhoda maupun juragan.
Status ABK Nakhoda Juragan Jumlah
Tabel 7. Persentase Responden Berdasarkan Status. n (orang) n (%) 26 65,0 2 5,0 12 30,0 40 100,0
Status juragan diberikan kepada nelayan yang memiliki modal melaut. Modal melaut adalah hal-hal dasar yang sangat diperlukan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan, seperti kapal dan alat tangkap. Seorang juragan dapat ikut melaut bersama anak buahnya maupun tidak. Nelayan yang berstatus sebagai nakhoda bertindak memberikan komando dan mengambil keputusan ketika melaut. Ketika seorang juragan ikut melaut maka biasanya ia akan mendapatkan peran ganda, yaitu sebagai juragan maupun sebagai nakhoda. Juragan yang tidak ikut melaut biasa disebut sebagai “juragan darat”, sedangkan seorang nakhoda biasa disebut juga sebagai “juragan laut”. Nelayan dengan status sebagai ABK adalah nelayan yang paling banyak jumlahnya. Biasanya setiap ABK telah memiliki tugasnya masing-masing saat melaut. Dalam satu buah kapal terdiri dari satu nakhoda dan beberapa ABK. Banyaknya ABK dalam kapal tergantung kepada ukuran kapal yang digunakan untuk melaut, jumlahnya berkisar antara dua hingga belasan ABK dalam satu kapal.
33
Sebagian besar responden menggunakan alat tangkap milik orang lain ketika melaut. Hal ini karena banyaknya responden yang berstatus sebagai ABK. Nelayan ABK memang biasanya tidak memiliki alat tangkap, sehingga mereka bergabung dengan nelayan yang memiliki alat tangkap ketika melaut. Tabel 8. Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Alat Tangkap. Status Kepemilikan Alat Tangkap n (orang) n (%) Milik sendiri 12 30,0 Milik orang lain 28 70,0 Jumlah 40 100,0 Peran sebagai pemilik kapal atau modal melaut biasanya tidak hanya dilakoni oleh satu orang saja. Dalam masyarakat pesisir sangat mudah ditemui hubungan kerja sama yang disebut sebagai hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien adalah hubungan yang sering terjadi dalam upaya pemenuhan modal untuk melaut. Pihak yang berperan sebagai patron biasa disebut sebagai langgan atau tengkulak. Seorang tengkulak memberikan dana yang dimilikinya kepada juragan untuk modal, modal ini dapat berjumlah penuh maupun hanya sebagiannya saja. Besarnya modal yang akan diberikan oleh tengkulak disesuaikan dengan kebutuhan dari pihak peminjam. Hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya. 5.1.3 Tingkat Pendapatan Pendapatan seorang nelayan sangat bergantung kepada faktor alam, sehingga besarnya tidak dapat ditetapkan. Pada penelitian ini digunakan jumlah pendapatan yang paling sering didapatkan responden dalam sebulan. Untuk mengkategorikan pendapatan responden menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi maka digunakan batasan yang diperoleh berdasarkan pendapatan rata-rata dari semua responden. Tabel 9. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan. Tingkat Pendapatan n (orang) n (%) Rendah (x < Rp 755.000,00) 29 72,5 Sedang (Rp 755.000,00 ≤ x ≤ Rp 1.111.000,00) 10 25,0 Tinggi (x > Rp 1.111.000,00) 1 2,5 Jumlah 40 100,0
34
Setelah dikategorikan, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Responden yang berpendapatan rendah adalah nelayan yang berstatus sebagai ABK. Pendapatan responden yang berstatus sebagai ABK memang lebih rendah dari responden yang berstatus sebagai nakhoda dan juragan. Responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah nelayan juragan. 5.1.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan nelayan di Desa Surya Bahari dapat dikategorikan masih rendah. Pendidikan memang belum begitu dianggap penting oleh nelayan di Surya Bahari. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya anak nelayan yang putus sekolah, mereka sudah ikut melaut sedari SD. Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikannya, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu hanya mencapai tingkat sekolah dasar. Responden yang memiliki pendidikan cukup tinggi yaitu tingkat SMA merupakan pencilan. Tabel 10. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan. Tingkat Pendidikan n (orang) n (%) Tidak Sekolah 6 15,0 SD 33 82,5 > SD 1 2,5 Jumlah 40 100,0 Rendahnya tingkat pendidikan pada masyarakat nelayan di Desa Surya Bahari disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran untuk bersekolah. Banyak dari nelayan yang telah memulai pekerjaannya sedari usia sekolah dasar. Dari hasil pengamatan di lapangan, dana pendidikan bukan faktor satu-satunya dari kurangnya kesadaran para nelayan akan pendidikan. Faktor lainnya adalah adanya anggapan bahwa bersekolah hanya akan membuang-buang waktu saja, sehingga mereka memilih untuk bekerja sebagai nelayan karena dapat menghasilkan uang meskipun tidak banyak. Status sebagai juragan dan berpenghasilan di atas rata-rata, tidak menjamin bahwa seorang nelayan akan memiliki kesadaran yang tinggi kepada pendidikan, seperti yang dikatakan oleh responden berikut:
35
“Penghasilan bersih saya minimal satu juta, sekali ngelaut, tapi kalau lagi bagus ya bisa sampai enam juta... saya punya empat orang anak, yang paling tua sekolahnya cuma sampai SD, ya sekarang paling kerjaannya bantubantu aja di rumah.” (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan) 5.1.5 Pengalaman Pengalaman responden diukur berdasarkan lamanya responden menjadi nelayan. Variabel pengalaman responden dikategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi. Persentase responden berdasarkan pengalamannya hampir merata di semua kategori, responden dengan tingkat pengalaman rendah adalah responden yang paling banyak, yaitu mencapai 40,0 persen. Tabel 11. Persentase Berdasarkan Tingkat Pengalaman. Tingkat Pengalaman (tahun) n (orang) Rendah (x < 16) 16 Sedang (16 ≤ x ≤ 24) 10 Tinggi (x > 24) 14 Jumlah 40
n (%) 40,0 25,0 35,0 100,0
Pengalaman selama kira-kira 35 tahun adalah pengalaman paling lama yang dimiliki beberapa responden, sedangkan pengalaman yang paling singkat adalah responden yang telah menjadi nelayan selama 5 tahun. 5.1.6 Usia Pada saat wawancara berlangsung, usia responden berkisar dari umur 19 hingga 50 tahun. Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah nelayan yang masih muda, yaitu berkisar pada usia 30 tahun. Persentase responden yang berusia kurang dari 31 tahun mencapa 37,5 persen. Persentase yang sama besar menunjukkan responden yang berusia antara 31 hingga 41 tahun. Tabel 12. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Usia. Tingkat Usia (tahun) n (orang) n (%) Rendah (x < 31) 15 37,5 Sedang (31 ≤ x ≤ 41) 15 37,5 Tinggi (x > 41) 10 25,0 Jumlah 40 100,0
36
5.2
Konteks Situasional TPI Cituis
5.2.1 Fasilitas TPI TPI Cituis adalah salah satu TPI yang masih berfungsi dengan baik di kawasan Kabupaten Tangerang. Fasilitas yang disediakan TPI Cituis dapat dikategorikan cukup lengkap. Beberapa fasilitas yang terdapat di TPI Cituis adalah: gedung TPI, balai pertemuan nelayan, mess karyawan, pos jaga, guest house, tempat peribadatan, warung serba ada, toko sarana penangkapan, solar packed dealer nelayan (SPDN) dan koperasi. Gedung TPI Cituis memiliki bangunan seluas 290,62 m2. Di dalam gedung ini terdapat kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola, toilet dan ruang lelang. Luas ruang lelang adalah 206,64 m2 dan jumlah luas ruangan lainnya (kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola, toilet) adalah 83,98 m2. Tempat lelang yang berfungsi ketika penelitian dilakukan letaknya memang agak jauh dari tempat pendaratan ikan. Rencananya pelaksanaan lelang akan segera dipindahkan ke tempat lelang yang baru, dengan letak yang lebih dekat ke tempat pendaratan. Tempat lelang yang baru sudah berdiri, kira-kira 100 meter dari tempat lelang yang dulu, namun tempat ini belum dapat difungsikan karena terkendala pelabuhan kapal yang dangkal. Pendangkalan ini membuat kapal tidak bisa berlabuh karena jika dipaksakan dapat menyebabkan lambung kapal kandas. 5.2.2 Letak TPI TPI Cituis terletak di dalam kompleks pemukiman penduduk Dusun Cituis I, Desa Surya Bahari. Letak TPI Cituis yang berada di tengah pemukiman nelayan ini membuat letaknya sangat mudah untuk diakses nelayan. Keberadaan jalan yang menghubungkan TPI Cituis dengan jalan raya lintas desa juga membuat TPI Cituis mudah diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Sebuah sungai yang difungsikan sebagai kolam tambat labuh oleh nelayan berada sekitar 20 meter dari TPI Cituis. Pada sungai ini nelayan yang baru saja pulang melaut biasa menambatkan kapalnya, sehingga kegiatan bongkar muatan sering dilakukan di sungai ini. Sungai ini dimanfaatkan oleh hampir seluruh
37
nelayan di sekitar TPI Cituis, baik yang memanfaatkan TPI maupun tidak. Namun keadaan sungai yang sempit, kotor dan rawan pendangkalan membuat nelayan tidak begitu nyaman ketika harus menambatkan kapalnya.
Gambar 2. Denah Lokasi TPI Cituis Pendangkalan dasar sungai dapat menyebabkan lambung kapal menjadi kandas atau pun bocor jika nelayan tidak berhati-hati saat melabuhkan kapalnya. Pengelola sungai tersebut adalah Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang, bukan TPI Cituis. TPI Cituis sendiri belum menyediakan fasilitas kolam tambat labuh untuk mendukung kegiatan nelayan yang akan mengikuti lelang. 5.2.3 Sistem Lelang TPI Cituis memiliki sistem lelang yang hampir sama dengan sistem yang berlaku di TPI lain. Tidak ada syarat khusus bagi nelayan yang akan melakukan lelang, kecuali ikan yang akan dilelang harus sudah mencapai nilai standar lelang minimal yaitu Rp 50.000,00. Pembeli dalam kegiatan lelang di TPI Cituis harus memenuhi syarat tertentu, yaitu tercatat sebagai anggota aktif KUD Mina Samudera. Untuk menjadi anggota aktif dari KUD Mina Samudera maka harus memenuhi
beberapa
kewajiban,
yaitu
membayar
simpanan
wajib
dan
berpartisipasi dalam unit usaha yang dimiliki oleh KUD. Besar simpanan wajib
38
yang harus dibayar oleh calon anggota aktif adalah sebesar Rp 10.000,00 per bulan. Anggota baru wajib memenuhi pembayaran simpanan wajib yang jumlahnya sama dengan simpanan wajib yang telah dibayarkan anggota lama, yaitu terhitung dari tahun 2000, lalu selanjutnya anggota tersebut cukup membayar simpanan wajib sebesar Rp 10.000,00. Simpanan wajib yang harus dipenuhi anggota koperasi yang baru bergabung pada bulan Agustus tahun 2011 adalah Rp 1.280.000,00 dengan rincian perhitungan sebagai berikut: Simpanan Wajib = Rp 10.000,00 x (jumlah bulan dari Januari 2000-Agustus 2011) = Rp 10.000,00 x 128 = Rp 1.280.000,00 Hingga saat ini masih ada beberapa orang yang tercatat sebagai anggota aktif KUD Mina Samudera namun masih belum dapat memenuhi simpanan wajib. Simpanan wajib ini bersifat rutin sehingga setiap bulannya harus dibayar. Bagi nelayan yang ingin meminjam uang di USP Swamitra maka akan dilakukan penyeleksian oleh pihak USP, selain itu karena KUD Mina Samudera bekerja sama dengan Bank Bukopin, maka terdapat syarat-syarat tertentu yang berasal dari pihak bank dan harus dipenuhi oleh anggota aktif yang mau meminjam uang di USP Swamitra. 5.2.4 Sistem Retribusi Besar retribusi yang ditarik oleh TPI Cituis mengikuti peraturan tentang penarikan retribusi yang telah diatur dalam Perda No. 18-19, yaitu 3 persen bagi pembeli dan 2 persen bagi nelayan. Dana retribusi yang ditarik dari pihak pelelang (nelayan) akan dialokasikan sebesar 1,4 persen untuk penyelenggara dan 0,6 persen untuk dana sosial. Dana sosial tersebut kemudian akan digunakan sebagai bantuan untuk nelayan pada musim paceklik maupun bantuan bagi nelayan yang sedang mengalami musibah. Bantuan ini dapat diterima oleh nelayan yang telah ikut serta dalam kegiatan pelelangan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden: “Walaupun bukan anggota (KUD Mina Samudra) tapi bisa tetap dapat dana paceklik sama dana musibah”. (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan).
39
5.3
Hubungan Patron-Klien pada Responden Hubungan patron-klien merupakan hubungan yang sudah tidak asing lagi
untuk para nelayan, begitupun dengan nelayan yang bertempat tinggal di sekitar TPI Cituis. Hubungan patron-klien yang terjadi antara nelayan dengan tengkulak dapat dengan mudah ditemukan. Sebuah hubungan patron-klien dapat terbentuk ketika nelayan membutuhkan sejumlah dana untuk modal melaut. Tengkulak biasanya dapat dengan mudah dapat memberikan pinjaman kepada nelayan tanpa memerlukan jaminan. Kepercayaan adalah landasan utama yang digunakan nelayan dan tengkulak dalam menjalankan hubungan ini. Setelah uang didapatkan oleh nelayan dari tengkulak maka secara otomatis terjalin sebuah ikatan antara nelayan dan tengkulak. Ikatan ini selanjutnya membentuk beberapa pola interaksi antara nelayan dengan tengkulak. Pada pola interaksi ini terdapat aturan tidak tertulis yang harus ditaati kedua belah pihak. Beberapa bentuk dari pola interaksi yang terjadi antara nelayan dan tengkulak, antara lain: 1. Nelayan harus menyerahkan hasil tangkapannya kepada tengkulak. Hasil tangkapan ini kemudian akan diikutsertakan ke dalam kegiatan lelang oleh tengkulak yang bersangkutan. Komisi sebesar 2,5-5 persen akan langsung dipotong oleh tengkulak dari hasil pelelangan tersebut. 2. Nelayan harus menjual beberapa jenis ikan tertentu kepada tengkulak. Jenis ikan yang biasanya diharuskan dijual kepada tengkulak adalah cumi dan corak. 3. Nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapannya kepada tengkulak. Pada pola ini tengkulak berperan sebagai pembeli. Tengkulak biasanya lebih kuat dalam posisi menentukan harga. Tabel 13. Persentase Responden Berdasarkan Penyaluran Hasil Tangkap. Penyaluran Hasil Tangkap n (orang) n (%) TPI 5 12,5 Tengkulak 20 50,0 TPI dan Tengkulak 15 37,5 Jumlah 40 100,0 Ikatan yang terjalin antara nelayan dan tengkulak ini akan terus berlangsung tanpa adanya batas waktu. Jika nelayan ingin memutuskan ikatan tersebut maka ia harus melunasi hutangnya kepada tengkulak. Uniknya, banyak
40
nelayan yang memilih untuk meneruskan hubungannya dengan tengkulak. Hubungan antara tengkulak dan nelayan sangatlah dekat secara ekonomi maupun sosial. Pada kehidupan sosial, nelayan dan tengkulak biasanya sudah mengenal satu sama lain, tidak jarang jika nelayan dan tengkulaknya masih memiliki hubungan darah. Hal tersebut membuat hubungan antara nelayan dan tengkulak terkesan akrab dan penuh rasa kekeluargaan. Rasa kekeluargaan ini menjadi salah satu alasan bagi nelayan untuk enggan memutuskan ikatan dengan tengkulaknya.
41
BAB VI REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TPI CITUIS Representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) representasi sosial tentang TPI, dan (2) representasi sosial tentang tengkulak. Representasi sosial pada responden terbagi ke dalam beberapa tipologi. Tipologi ini ditentukan dengan mengacu kepada hasil asosiasi kata yang dilakukan oleh responden. Responden memberikan beberapa kata yang dianggap dapat mewakili TPI Cituis untuk mengetahui representasi sosial mereka tentang TPI Cituis, responden diminta melakukan hal yang sama untuk mengetahui representasi sosial mereka tentang tengkulak. Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai elemen-elemen representasi sosial pada tiap tipologi. 6.1
Tipologi Representasi Sosial tentang TPI Cituis Penetapan tipe representasi sosial tentang TPI yang dominan adalah
dengan cara melihat jumlah responden yang ada pada setiap tipe representasi, tipe dengan jumlah responden terbanyak menjadi tipe dominan dari representasi sosial yang dimiliki oleh nelayan di desa Surya Bahari. Hasil dari asosiasi kata menunjukkan bahwa responden banyak menyebutkan kata „lelang‟ dan „pasar‟ sebagai kata yang dianggap dapat mewakili TPI Cituis. Pada saat penelitian responden mengalami kesulitan ketika diminta untuk menyebutkan lima kata untuk mewakili TPI Cituis. Sebanyak 31 responden hanya menyebutkan satu kata yaitu „lelang‟, sedangkat 9 responden lainnya menyebutkan dua kata yaitu „lelang‟ dan „pasar‟. Dengan demikian terbentuklah dua tipologi representasi sosial tentang TPI Cituis, tipologi I terdiri atas responden yang memaknai TPI Cituis sebagai tempat terjadinya kegiatan lelang, sedangkan tipologi II terdiri atas responden yang memaknai TPI Cituis sebagai pasar selain dimaknai sebagai tempat lelang. Responden pada tipologi II memiliki pemaknaan tentang TPI Cituis yang lebih banyak.
42
Kata-kata yang disebutkan oleh responden menunjukkan bagaimana cara mereka memaknai TPI dengan mengaitkannya kepada obyek-obyek yang telah dianggap lebih sederhana dan familiar. Proses pengenalan dan pengaitan suatu obyek tertentu dalam pikiran individu inilah yang disebut sebagai anchoring. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. Perbandingan Tipe Representasi Sosial Terhadap TPI 40
31 (77,5%)
30 9 (22,5%)
20 10 0 Lelang
Pasar dan Lelang
Gambar 3. Perbandingan Frekuensi Responden pada Tiap Tipe Representasi Sosial Terhadap TPI Kata „lelang‟ disebutkan oleh semua responden, hal ini menunjukkan bahwa responden memang sudah akrab dengan fungsi TPI Cituis sebagai tempat lelang. Ketika wawancara dilakukan, peneliti dapat mengetahui bahwa responden lebih banyak menggunakan kata „lelang‟ sebagai kata ganti dari TPI Cituis, sehingga didapatkan kesan bahwa „lelang‟ adalah nama dari sebuah lembaga fungsional (kata benda), bukan sebuah kata kerja. Kata „pasar‟ disebutkan oleh 9 orang responden untuk memaknai TPI Cituis, disamping kata „lelang‟. Kata „pasar‟ muncul pada karakteristik responden tertentu, yaitu didominasi oleh responden yang berstatus sebagai juragan. “Di TPI (Cituis) itu banyak yang ngeteng, jadi seperti tempat ngeteng.” (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan). Kegiatan ngeteng atau menjual ikan secara eceran dapat dengan mudah ditemukan di sekitar TPI Cituis. Kegiatan ini terjadi karena banyaknya pihak bakul atau pembeli ikan hasil lelangan yang langsung menjual kembali ikan yang telah dibelinya. Jika dilihat secara sekilas kegiatan ini membuat TPI Cituis terlihat seperti area pasar ikan.
43
Munculnya kata „pasar‟ untuk merepresentasikan TPI Cituis sejalan dengan makna dari TPI menurut Biro Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1993), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Tabel 14. Perbandingan Karakteristik Responden pada Tipologi Representasi Sosial Terhadap TPI. Karakteristik Responden Tipologi I (Lelang) Tipologi II (Pasar n = 31 dan Lelang) n=9 orang % Orang % Status ABK 25 80,6 1 11,0 Nakhoda 2 6,5 0 0,0 Juragan 4 12,9 8 88,9 Tingkat Usia
< 31 tahun 31- 41 tahun > 41 tahun
12 11 8
38,7 35,5 25,8
3 4 2
33,3 44,4 22,2
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah SD > SD
4 26 1
12,9 83,9 3,2
2 7 0
22,2 77,8 0,0
Tingkat Pendapatan
Rendah Sedang Tinggi
24 7 0
77,4 22,6 0,0
5 3 1
55,6 33,3 11,1
Alat Tangkap
Pancing Gardan Jaring Rampus Jaring Apollo Payang
20 2 7 1 1
64,5 6,5 22,6 3,2 3,2
0 2 4 3 0
0,0 22,2 44,4 33,3 0,0
Tingkat Pengalaman
Rendah Sedang Tinggi
13 7 11
41,9 22,6 35,5
3 3 3
33,3 33,3 33,3
Penyaluran Hasil Tangkap
TPI TPI dan Tengkulak Tengkulak
2 9 20
6,5 29,0 64,5
3 6 0
33,3 66,7 0,0
44
Karakteristik responden yang dominan adalah yang frekuensinya paling banyak, dapat diketahui bahwa pada tiap tipologi memiliki karakteristik respondennya masing-masing. Status responden yang dominan pada tipologi I adalah ABK, yaitu mencapai 80,6 persen dari 31 responden. Pada tipologi II, status juragan merupakan status yang paling dominan, yaitu sebanyak 88,9 persen dari 9 orang responden. Tingkat usia dominan pada tipologi I adalah kurang dari 31 tahun, sedangkan pada tipologi II adalah antara 31 hingga 41 tahun. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai penggunaan alat tangkap oleh responden pada tiap tipologi. Responden pada tipologi I, mayoritas adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing (64,5 persen), sedangkan pada tipologi II, alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jaring rampus (44,4 persen), kemudian disusul oleh jaring apollo (33,3 persen). Responden pada tipologi I juga didominasi oleh nelayan yang lebih memilih menyalurkan hasil tangkapnya kepada tengkulak (64,5 persen). Pada tipologi II, didominasi oleh nelayan yang memanfaatkan TPI dan tengkulak untuk penyaluran hasil tangkapnya (66,7 persen). Kesimpulannya, tipologi I didominasi oleh responden yang berstatus sebagai ABK, usia kurang dari 31 tahun, menggunakan alat tangkap pancing dan memanfaatkan tengkulak untuk penyaluran hasil tangkapnya. Tipologi II didominasi oleh responden yang berstatus sebagai juragan, berusia antara 31 hingga 41 tahun, menggunakan alat tangkap jaring rampus dan menyalurkan hasil tangkapnya kepada dua pihak, yaitu TPI dan tengkulak. Dengan demikian, terlihat bahwa responden yang berstatus lebih tinggi, memiliki pemaknaan yang lebih kompleks tentang TPI Cituis. Pemaknaan yang lebih kompleks juga dapat disebabkan responden pada tipologi II lebih banyak berinteraksi dengan kegiatan yang ada di TPI, karena mereka memang memanfaatkan TPI sebagai salah satu alternatif untuk menyalurkan hasil tangkapnya. Pembahasan tentang elemenelemen representasi sosial pada tiap tipologi akan dijelaskan pada subbab berikutnya.
45
6.1.1 Representasi Sosial pada Tipologi I: Lelang a.
Elemen Representasi Sosial: Sikap Sikap responden terhadap TPI mayoritas berada pada kategori netral, yaitu
mencapai 20 responden (64,5 persen). Dari data kuesioner diketahui bahwa sikap netral ini menunjukkan apa yang responden rasakan terhadap TPI. Keberadaan TPI ternyata dianggap biasa saja oleh responden. Responden yang memiliki sikap negatif tercatat mencapai 9 responden atau 29,0 persen. Responden yang memiliki sikap negatif adalah responden yang memang dalam kesehariannya tidak memanfaatkan TPI Cituis. Meskipun demikian, sebagian besar responden memiliki skor yang cukup baik ketika ditanyakan sikapnya kepada pegawai TPI, hal ini menunjukkan bahwa sikap responden kepada pegawai TPI dapat dikatakan positif. Responden menganggap pegawai TPI Cituis ramah terhadap nelayan. Faktor lain yang mendorong munculnya sikap positif tersebut adalah memang pada kenyataan pegawai TPI Cituis banyak yang berasal dari warga sekitar atau dapat dikatakan bahwa responden telah mengenal para pegawai TPI Cituis. Sikap pada Tipologi I: Lelang 31 30 20 (64,5%)
20
10
16 (51,6%)
15 (48,4%)
9 (29,0%) 2 (6,5%)
0 (0%)
sikap terhadap TPI sikap terhadap tengkulak
0 negatif
netral
positif
Gambar 4. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan Sikap Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang) Sikap nelayan terhadap tengkulak pada tipologi ini, cenderung bersikap netral (51,6 persen), sedangkan 48,4 persen responden lainnya memiliki sikap yang positif terhadap tengkulak. Tidak adanya sikap negatif terhadap tengkulak menunjukkan bahwa memang responden masih mempercayai kinerja tengkulak. Mereka mengaku bahwa tidak begitu keberatan dengan konsekuensi yang harus mereka terima setelah membuat perjanjian dengan tengkulak. Pada Tipologi ini terlihat bahwa responden yang memaknai TPI dengan kata „lelang‟ memiliki
46
kecenderungan untuk bersikap netral terhadap TPI dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap tengkulak. Responden pada tipologi ini memang hanya mengenal TPI secara umum, yaitu hanya sebagai tempat lelang. b.
Elemen Representasi Sosial: Keyakinan Mayoritas responden memiliki keyakinan yang netral terhadap TPI.
Keyakinan yang netral ini muncul sejalan dengan sikap yang dimiliki responden pada tipologi ini. Responden tidak memiliki ekspektasi yang terlalu banyak kepada TPI Cituis. Pada umumnya responden merasa keberadaan TPI berguna, yaitu untuk membantu pendistribusian hasil tangkapan mereka, namun mereka tidak begitu berharap bahwa dengan melelangkan hasil tangkapnya di TPI dapat menambah penghasilan mereka. Keyakinan pada Tipologi I: Lelang 30 31 20 10
14 (45,2%) 10 (32,3%)
19 (61,3%)
15 (48,4%)
2 2 (6,5%) (6,5%)
keyakinan terhadap TPI keyakinan terhadap tengkulak
0 negatif
netral
positif
Gambar 5. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI dengan Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang) Nelayan menilai, banyak program yang ditawarkan KUD Mina Samudera, sebagai pengelola TPI Cituis, yang dianggap masih sulit untuk direalisasikan. Salah satu unit usaha yang dimiliki KUD adalah Unit Simpan Pinjam SWAMITRA, namun dari hasil wawancara masih banyak responden yang merasa kesulitan untuk meminjam uang di unit usaha tersebut walaupun sudah menjadi anggota dari koperasi. Keyakinan nelayan terhadap tengkulak menunjukkan dua kecenderungan yang saling bertolak belakang, 10 responden (32,3 persen) memiliki keyakinan yang negatif terhadap tengkulak, sedangkan 15 responden (48,4 persen) memiliki keyakinan yang positif kepada tengkulak. Responden yang memiliki keyakinan negatif kepada tengkulak adalah responden yang menyalurkan sebagian besar
47
hasil tangkapannya ke TPI, sedangkan responden yang memiliki keyakinan sebaliknya adalah responden yang menyalurkan hasil tangkapannya kepada tengkulak. Banyaknya responden yang memiliki keyakinan negatif kepada tengkulak, menciptakan fenomena yang cukup menarik. Sikap reponden pada tipologi ini yang cenderung netral dan bahkan sama sekali tidak ada yang bersikap negatif ternyata tidak sejalan dengan keyakinan para responden
terhadap tengkulak.
Sebagian responden mengaku bahwa dengan menerima konsekuensi atas perjanjian yang mereka buat dengan tengkulak, yaitu harus selalu menyalurkan hasil tangkapannya kepada tengkulak yang bersangkutan dan membayar komisi kepada tengkulak, mereka merasa keberadaan tengkulak tidak akan mengubah pendapatan mereka menjadi lebih baik dan tidak pula memperburuknya. Hal ini menunjukkan adanya suatu fenomena comfort zone pada diri responden sehingga mereka seolah tidak tertarik untuk mengubah kesejahteraan hidupnya atau sudah nyaman dengan kehidupan ekonomi yang mereka miliki, sehingga mereka tetap memanfaatkan tengkulak walaupun tahu bahwa langkah tersebut tidak memberikan keuntungan bagi mereka. c.
Elemen Representasi Sosial: Opini Muncul berbagai opini yang datang dari responden terhadap TPI Cituis,
baik opini yang positif maupun negatif. Tetapi keseluruhan responden mengakui bahwa
TPI
memiliki
manfaat.
Keberadaan
TPI
sebagai
tempat
diselenggarakannya kegiatan lelang dianggap dapat memberikan manfaat kepada nelayan yang ada di Desa Surya Bahari. Namun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak semua responden merasa keberadaan TPI dibutuhkan. Hanya 18 responden atau 45,0 persen yang merasa butuh atas keberadaan TPI Cituis. Berikut opini dari salah satu responden: “Menurut saya sih lebih bermanfaat langgan (tengkulak) karena kalau jual ke langgan ga perlu ada retribusi lagi.” (Bapak MS, 42 tahun, nelayan jaring rampus). Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa ada responden yang masih keberatan atas pemberlakuan retribusi di TPI. Mereka menganggap menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak dapat lebih menguntungkan karena tidak ditarik
48
retribusi. Namun ada juga responden yang beropini sebaliknya. Pernyataan berikut datang dari salah satu nelayan pancing yang memang selalu menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak: “Ya kalau menurut saya sih harga di lelang (TPI Cituis) lebih bagus daripada di langgan (tengkulak), cuma karena kita udah ada janji sama langgan jadi ya harus jual ke langgan.” (Bapak KM, 50 tahun, nelayan pancing). Beberapa nelayan pancing menganggap harga yang ditawarkan oleh TPI Cituis lebih baik daripada harga yang ditawarkan oleh tengkulak, namun karena mereka sudah memiliki ikatan dengan pihak tengkulak maka mereka tidak punya pilihan lain selain menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak. d.
Elemen Representasi Sosial: Informasi Informasi mengenai TPI seperti apa saja fasilitas yang ada pada TPI
Cituis, siapa saja pengelolanya,dan aturan-aturan yang berlaku pada TPI (sistem lelang dan sistem retribusi) ternyata belum seluruhnya diketahui dengan baik oleh responden. Mayoritas responden mengaku mendapatkan informasi tentang TPI Cituis dari sesama nelayan. Mereka bertukar informasi mengenai TPI melalui interaksi sehari-hari. Keadaan TPI yang terbuka, membuat kegiatan TPI seperti kegiatan pelelangan ikan dapat diamati oleh siapa pun, sehingga responden yang tidak memanfaatkan TPI, dapat mengetahui bagaimana kegiatan lelang dilakukan secara umum. Tingkat Pengetahuan tentang TPI pada Tipologi I: Lelang 31 30
21 (67,7%)
20 10
6
4
(19,4%)
(12,9%)
0
kurang
cukup
baik
Gambar 6. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi I: Lelang) Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12,9 persen responden memiliki tingkat pengetahuan yang masih kurang, 67,7 persen responden memiliki tingkat
49
pengetahuan yang cukup dan 19,4 persen responden memiliki tingkat pengetahuan yang dapat dikategorikan baik. Kesalahan banyak dilakukan responden ketika diminta untuk menjawab pertanyaan tentang peraturan yang berlaku di TPI Cituis, yaitu mengenai besarnya retribusi yang berlaku. Banyak responden yang hanya sekedar tahu bahwa pihak TPI memberlakukan sistem penarikan retribusi. Mereka tidak mencari tahu lebih lanjut untuk memastikan berapa besar retribusi yang diberlakukan. Pengetahuan mengenai pegawai TPI adalah pengetahuan yang paling baik diterima oleh responden. Sebanyak 25 orang responden atau 80,6 persen responden dapat menyebutkan minimal satu nama pegawai TPI Cituis. Seperti yang telah dijelaskan, hal ini dapat terjadi karena banyak pegawai TPI yang berasal dari penduduk sekitar, sehingga sudah cukup akrab dengan para responden. Responden yang selalu ikut dalam kegiatan lelang di TPI Cituis memiliki tingkat keterdedahan informasi yang cukup baik, sedangkan responden yang tidak pernah mengikuti lelang di TPI Cituis memiliki tingkat keterdedahan informasi yang kurang. Responden yang selalu ikut dalam kegiatan lelang cenderung lebih sigap untuk mencari tahu lebih banyak mengenai informasi tentang TPI karena secara langsung akan mempengaruhi penghasilannya, sedangkan nelayan yang tidak pernah ikut dalam kegiatan lelang, cenderung tidak begitu peduli untuk mencari tahu info tentang TPI Cituis, karena memang tidak berpengaruh terhadap kehidupan ekonominya. 6.1.2 Representasi Sosial pada Tipologi II: Pasar dan Lelang Kata selanjutnya yang paling banyak disebutkan oleh responden untuk mewakili TPI Cituis adalah kata pasar. Kata Pasar menjadi kata kedua yang banyak disebutkan oleh responden, yaitu mencapai 9 responden. Munculnya kata pasar disebabkan oleh banyaknya
kegiatan jual beli di sekitar TPI Cituis.
Beberapa pembeli ikan yang dilelang langsung menjual kembali ikan hasil pembeliannya di tempat, sehingga terbentuk suatu area seperti pasar ikan di dekat tempat pelelangan. Peraturan yang berlaku di TPI Cituis yang membatasi jumlah pembeli pada kegiatan lelang membuat kegiatan lelang tidak bisa diikuti oleh calon pembeli yang berasal dari kalangan umum. Pembeli hanya bisa berasal dari anggota aktif
50
KUD Mina Samudera. Banyak pembeli yang kemudian langsung menjual kembali ikan yang telah dibelinya di sekitar lokasi lelang atau dalam istilah lokal disebut “ngeteng”. Banyaknya kegiatan ngeteng yang dilakukan di sekitar TPI Cituis menciptakan suasana jual beli layaknya di pasar. a.
Elemen Representasi Sosial: Sikap Responden yang menyebutkan kata „pasar‟ dan‟ lelang‟ sebagai kata yang
mewakili TPI Cituis didominasi oleh responden yang
memang telah
memanfaatkan keberadaan TPI Cituis. Responden pada tipologi ini memiliki sikap yang cukup positif kepada TPI Cituis, sedangkan sikap responden terhadap tengkulak cenderung lebih negatif. Namun ada juga responden yang memiliki sikap positif kepada tengkulak, sikap ini muncul karena responden yang bersangkutan selain menyalurkan hasil tangkapannya kepada TPI, ternyata menyalurkan sebagian hasil tangkapannya yang berupa cumi dan corak kepada tengkulak.
Sikap pada Tipologi II: Pasar dan Lelang 9 6 (66,7%)
6
4 (44,4%)
3
3 3 (33,3%) (33,3%)
2 (22,2%)
TPI Tengkulak
0 (0%)
0
negatif
netral
positif
Gambar 7. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan Sikap Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Pasar dan Lelang) Persentase responden yang memiliki sikap positif terhadap TPI adalah sebanyak 66,7 persen, sedangkan sisanya memiliki sikap yang netral. Pada tipologi II ini tidak ada responden yang memiliki sikap negatif terhadap TPI. Persentase responden yang memiliki sikap negatif terhadap tengkulak adalah sebanyak 44,4 persen, sedangkan sisanya yaitu 33,3 persen memiliki sikap netral dan 22,2 persen bersikap positif. Sebaran jumlah responden pada sikap terhadap tengkulak dapat dikatakan cukup beragam, meskipun sikap yang paling banyak
51
dimiliki adalah sikap negatif. Responden yang memiliki sikap negatif terhadap tengkulak adalah nelayan yang memang dalam kesehariannya tidak pernah memanfaatkan keberadaan tengkulak atau selalu menyalurkan hasil tangkapannya untuk dilelang di TPI Cituis. b.
Elemen Representasi Sosial: Keyakinan Pada elemen keyakinan ini, pola sebaran respondennya tidak jauh beda
dengan pola sebaran responden pada elemen sikap. Hal tersebut menunjukkan keyakinan responden pada tipologi ini berkaitan erat dengan sikapnya. Grafik pada gambar 7 mepmperlihatkan bahwa keyakinan responden terhadap TPI cenderung positif sedangkan keyakinan mereka terhadap tengkulak tersebar merata pada kategori positif, netral, dan negatif. Keyakinan pada Tipologi II: Pasar dan Lelang 9 6 (66,7%)
6 3
3 (33,3%)
3 3 (33,3%) (33,3%)
3 (33,3%)
TPI Tengkulak
0 (0%)
0 negatif
netral
positif
Gambar 8. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI dengan Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Pasar dan Lelang) Persentase responden yang memiliki keyakinan positif kepada TPI adalah sebanyak 66,7 persen, sedangkan sisanya yaitu 33,3 persen merupakan responden yang bersikap netral. Keyakinan responden pada tipologi ini cukup besar kepada manfaat yang ditawarkan TPI. Sebagian besar dari mereka adalah anggota aktif pada KUD Mina Samudera.dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka memang sering memanfaatkan keberadaan TPI. Responden yang memiliki sikap positif terhadap tengkulak adalah responden yang selain memanfaatkan TPI untuk menyalurkan hasil tangkapnnya, juga memanfaatkan tengkulak.
52
c.
Elemen Representasi Sosial: Opini Opini terhadap TPI Cituis yang datang dari responden pada tipologi II ini
sebagian besar merupakan opini yang positif. Delapan orang responden pada tipe ini memiliki status sebagai juragan. Selain itu, mereka juga rutin memanfaatkan TPI, karena mayoritas dari mereka (88,9 persen) merupakan anggota aktif KUD Mina Samudera. Ketika responden diminta untuk membandingkan antara manfaat dari keberadaan TPI dan tengkulak, delapan orang di antaranya menyatakan bahwa keberadaan TPI lebih bermanfaat dibandingkan dengan adanya tengkulak. Harga lelang yang cukup stabil menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi opini positif mereka. Selain itu, program bantuan pada masa paceklik yang diberikan pengelola TPI kepada nelayan dianggap sebagai nilai tambahan bagi TPI Cituis. berikut pernyataan dari salah satu responden yang pernah mendapatkan bantuan meskipun bukan anggota aktif dari KUD Mina Samudera: “Walaupun bukan anggota (KUD Mina Samudra) tapi saya tetap bisa dapat dana paceklik sama dana musibah.” (Bapak DJ, 37 Tahun, nelayan gardan). Sebagian besar responden pada tipe ini tidak keberatan atas adanya retribusi yang ditarik oleh TPI. Hal ini dapat dikarenakan mereka mengetahui alokasi dari dana retribusi yang ditarik oleh TPI. Hanya terdapat satu orang responden yang keberatan terhadap penarikan retribusi yang diberlakukan TPI. d.
Elemen Representasi Sosial: Informasi Tingkat pengetahuan ditentukan dengan memberikan skor kepada hasil
jawaban responden atas pertanyaan seputar TPI Cituis, seperti tentang fasilitas, peraturan, dan pengelola TPI. Sebanyak tujuh orang responden (77,8 persen) memiliki tingkat pengetahuan tentang TPI yang cukup baik, sedangkan sisanya memiliki pengetahuan yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang sering berinteraksi dengan kegiatan TPI cenderung dapat mengakses informasi yang lebih lengkap karena mereka dapat mencari tahu lebih dalam tentang TPI Cituis kepada pihak yang bersangkutan. Akses informasi yang lebih lengkap membuat tingkat pengetahuan mereka lebih baik, jika dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki akses informasi lengkap.
53
Tingkat Pengetahuan tentang TPI pada Tipologi II: Pasar dan Lelang 9
7 (77,8%)
6 2 (22,2%)
3 0 (0%)
0 kurang
cukup
baik
Gambar 9. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi II: Pasar dan Lelang) Munculnya kata „pasar‟ dan „lelang‟ pada tipologi ini diduga karena responden lebih paham akan kegiatan yang terjadi di sekitar TPI Cituis. mereka mengetahui bahwa selain kegiatan lelang, juga banyak terdapat bakul (pembeli ikan yang dilelang) yang menjual ikan hasil lelangan di sekitar TPI Cituis. 6.2
Tipologi Representasi Sosial tentang Tengkulak Pengumpulan data untuk mengetahui representasi sosial tentang tengkulak
dilakukan menggunakan teknik asosiasi kata seperti yang diberlakukan untuk mengetahui representasi sosial tentang TPI. Penetapan tipe representasi sosial tentang tengkulak yang dominan adalah dengan melihat jumlah responden yang ada pada setiap tipe representasi sosial. Tipe dengan jumlah responden terbanyak merupakan tipe dominan. Dari hasil asosiasi kata maka didapatkan dua tipe representasi sosial tentang tengkulak pada nelayan di Desa Surya Bahari, responden pada tipologi I memaknai tengkulak sebagai „tempat jual ikan‟, sedangkan responden pada tipologi II memaknai tengkulak sebagai „tempat pinjam uang‟. Responden yang termasuk ke dalam tipe I (tengkulak sebagai tempat menjual ikan) terdapat 23 orang atau 57,5 persen dari keseluruhan jumlah responden. Responden yang masuk ke dalam kelompok representasi sosial tipe II (tengkulak sebagai tempat pinjam uang) sebanyak 17 orang atau 42,5 persen dari semua responden.
54
Perbandingan Tipe Representasi Sosial Terhadap Tengkulak 40 23 (57,5%)
30 20
17 (42,5%)
10 0 Tempat Jual Ikan
Tempat Pinjam Uang
Gambar 10. Perbandingan Frekuensi Responden pada Tiap Tipe Representasi Sosial Terhadap Tengkulak Representasi sosial tipe I muncul pada responden yang selalu memanfaatkan tengkulak untuk menjual hasil tangkapannya. Menjual ikan kepada tengkulak dianggap banyak membantu nelayan, karena nelayan tidak perlu bingung untuk mencari konsumen ikan hasil tangkapannya. Tidak lama setelah sampai di daratan, nelayan pancing yang ada di Desa Surya Bahari akan segera menyerahkan hasil melautnya kepada tengkulak, untuk kemudian dijual oleh tengkulak ataupun diikutsertakan pada kegiatan lelang, tergantung kepada kebijakan pihak tengkulak. Seperti yang dijelaskan oleh informan yang berprofesi sebagai tengkulak berikut: “Kalau tengkulak ngasih utang ke nelayan sifatnya itu seperti tanam modal. Jadi nelayan tidak langsung dituntut buat membayar uang yang sudah dipinjamkan oleh tengkulak. Tetapi nelayan berkewajiban untuk menyerahkan hasil tangkapannya kepada tengkulak untuk dijual atau dilelang.” (Bapak AD, 50 tahun, tengkulak). Tengkulak biasanya sudah menunggu tidak jauh dari tempat kapal nelayan berlabuh, kemudian tengkulak menentukan harga ikan yang akan dibeli dari nelayan. Sebagian besar nelayan, terutama nelayan pancing mengaku tidak keberatan atas penentuan harga secara sepihak oleh tengkulak tersebut, karena mereka memang tidak memiliki pilihan lain selain menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak. Tipologi selanjutnya adalah pemaknaan tengkulak sebagai tempat pinjam uang. Nelayan memang sering menemukan kesulitan dalam penyedian modal untuk melaut. Untuk itu, banyak nelayan yang memilih untuk meminjam uang
55
kepada tengkulak, karena dianggap lebih mudah dan prosesnya tidak rumit. Berbeda dengan proses yang harus dilalui ketika akan meminjam uang di suatu lembaga keuangan, yang biasanya memerlukan banyak persyaratan yang bersifat birokratif. Hubungan patron-klien yang terjadi antara nelayan dan tengkulak di Desa Surya Bahari diakui baik oleh pihak nelayan maupun pihak tengkulak sebagai hubungan yang didasari oleh rasa kepercayaan dan kekeluargaan. Biasanya, nelayan sudah mengenal tengkulak yang akan menjadi pemberi pinjaman modal. Bahkan tidak jarang, nelayan dan tengkulaknya masih memiliki hubungan saudara. Rasa saling percaya dan kekeluargaan ini telah membuat banyak nelayan merasa nyaman dengan tengkulaknya.
56
Tabel 15. Perbandingan Karakteristik Responden pada Tipologi Representasi Sosial Terhadap Tengkulak. Karakteristik Responden Tipologi I (Tempat Tipologi II (Tempat Jual Ikan) Pinjam Uang) n = 23 n = 17 orang % orang % Status ABK 21 91,3 5 29,4 Nakhoda 2 8,7 0 0,0 Juragan 0 0,0 12 70,6 Tingkat Usia
< 31 tahun 31- 41 tahun > 41 tahun
11 6 6
47,8 26,1 26,1
4 9 4
23,5 52,9 23,5
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah SD > SD
2 20 1
8,7 87,0 4,3
4 13 0
23,5 76,5 0,0
Tingkat Pendapatan
Rendah Sedang Tinggi
19 4 0
82,6 17,4 0,0
10 6 1
58,8 35,3 5,9
Alat Tangkap
Pancing Gardan Jaring Rampus Jaring Apollo Payang
17 0 5 0 1
73,9 0,0 21,7 0,0 4,3
3 4 6 4 0
17,6 23,5 35,3 23,5 0,0
Tingkat Pengalaman
Rendah Sedang Tinggi
12 3 8
52,2 13,0 34,8
4 7 6
23,5 41,2 35,3
Penyaluran Hasil Tangkap
TPI TPI dan Tengkulak Tengkulak
0 6 17
0,0 26,1 73,9
5 9 3
29,4 52,9 17,6
Pada tipologi I, mayoritas responden adalah nelayan dengan status sebagai ABK (91,3 persen), sedangkan tipologi II didominasi oleh responden dengan status sebagai juragan (70,6 persen). Sebanyak 47,8 persen responden pada tipologi I adalah nelayan yang usianya masih di bawah 31 tahun, dengan usia responden yang paling muda sekitar berumur 19 tahun. Karakterisik usia pada tipologi II didominasi oleh nelayan yang berusia antara 31 sampai 41 tahun, yaitu mencapai 52,9 persen. Usia responden pada tipologi I yang dapat dikategorikan
57
sebagai usia muda, ternyata sejalan dengan dominasi tingkat pengalaman sebagai nelayan yang masih rendah, yaitu sebanyak 52,2 persen. Tingkat pengalaman responden pada tipologi II berada pada kategori sedang, dengan persentase sebesar 41,2 persen. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh responden pada tipologi I adalah pancing, dengan persentase sebesar 73,9 persen, sedangkan pada tipologi II, alat tangkap yang dominan digunakan oleh responden adalah jaring rampus (35,3 persen). Selain itu, responden pada kelompok tipologi I, sebanyak 73,9 persen menyalurkan hasil tangkapnya hanya kepada tengkulak, sedangkan 52,9 persen
responden pada tipologi II lebih banyak menyalurkan hasil
tangkapnya kepada dua pihak, yaitu TPI dan tengkulak. Ternyata responden yang memaknai tengkulak sebagai „tempat jual ikan‟ didominasi oleh responden yang berstatus sebagai ABK, sisanya adalah nakhoda. Pemaknaan tengkulak sebagai „tempat pinjam uang‟ didominasi oleh responden yang berstatus sebagai juragan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemaknaan tengkulak sebagai „tempat jual ikan‟ banyak muncul pada responden yang ketika dalam kegiatan melaut umunya tidak berhubungan langsung dengan masalah pendanaan. Nelayan yang berstatus sebagai ABK dan nakhoda adalah nelayan yang lebih banyak berkutat dengan hal-hal teknis, berbeda dengan nelayan juragan yang memang sudah tanggung jawabnya untuk memikirkan pendanaan. Pemaknaan tengkulak sebagai „tempat pinjam uang‟ menunjukkan bahwa responden pada tipologi II lebih memandang tengkulak sebagai sumber pendanaan. 6.2.1 Representasi Sosial pada Tipologi I: Tempat Jual Ikan a.
Elemen Representasi Sosial: Sikap Kelompok representasi sosial yang pertama ini, memiliki sikap yang
cukup positif kepada tengkulak. Sebanyak 17 orang responden atau (73,9 persen) memiliki sikap yang positif terhadap tengkulak, sedangkan sikap kepada TPI didominasi oleh sikap netral, yaitu sebanyak 20 responden (87,0 persen). Positifnya sikap responden kepada tengkulak diduga karena adanya pengaruh kebergantungan mereka terhadap keberadaan tengkulak.
58
Sikap pada Tipologi I: Tempat Jual Ikan 23 24
20 (87,0%)
17 (73,9%)
16
8
6 3 (26,1%) (13,0%)
TPI Tengkulak 0 (0%)
0 (0%)
0
negatif
netral
positif
Gambar 11. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan Sikap Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Tempat Jual Ikan) Nelayan yang menyalurkan hasil tangkapannya kepada tengkulak biasanya telah memiliki perjanjian sebelumnya, sehingga kegiatan menjual hasil melaut kepada tengkulak menjadi suatu kewajiban bagi para nelayan. Perjanjian agar nelayan menjual ikannya kepada tengkulak akan muncul ketika nelayan meminjam uang kepada tengkulak. Tengkulak akan memberikan uang yang dibutuhkan nelayan dengan syarat nelayan selalu menjual ikan hasil tangkapannya kepada tengkulak. Tengkulak biasanya berasal dari warga setempat sehingga nelayan dan tengkulak biasanya sudah mengenal satu sama lain. Hal ini menyebabkan hubungan nelayan dan tengkulak menjadi lebih terkesan akrab. Bahkan tidak jarang nelayan dan tengkulak masih memiliki hubungan keluarga. Kedekatan antara nelayan dan tengkulak di kehidupan sehari-hari diduga menjadi salah satu alasan terjadinya kecenderungan positif pada sikap nelayan terhadap tengkulak. Sikap yang cenderung netral kepada TPI diduga karena responden pada kelompok representasi ini tidak pernah memiliki pengalaman yang buruk maupun positif dengan TPI karena memang mereka tidak pernah mengikuti kegiatan lelang. Seorang responden mengaku walaupun secara pribadi tidak pernah mengikuti lelang di TPI Cituis tetapi melihat antusias nelayan lain yang mengikuti lelang di TPI Cituis membuat Ia menganggap keberadaan TPI Cituis cukup bermanfaat.
59
b.
Elemen Representasi Sosial: Keyakinan Hasil yang tidak terlalu jauh berbeda terjadi pada aspek keyakinan kepada
tengkulak. Sebanyak 17 orang responden (73,9 persen) memiliki keyakinan yang positif kepada tengkulak. Responden yang memiliki keyakinan positif kepada tengkulak berasal dari nelayan pancing. Keyakinan kepada TPI didominasi oleh keyakinan netral, yaitu sebanyak 18 orang reponden (78,3 persen). Keyakinan pada Tipologi I: Tempat Jual Ikan 23 24
18 (78.3%)
17 (73,9%)
16 8
TPI
6 5 (26,1%) (21,7%)
Tengkulak 0 (0%)
0 (0%)
0 negatif
netral
positif
Gambar 12. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI dengan Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Tempat Jual Ikan) Responden menganggap bahwa dengan menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak maka dapat memberikan kemudahan bagi mereka karena tidak perlu repot
mencari pembeli
hasil tangkapannya.
Sebagian responden
beranggapan bahwa tengkulak adalah pihak yang dapat dipercaya, sehingga mereka tidak merasa khawatir ketika harus membuat suatu perjanjian patron-klien dengan pihak tengkulak. Hal ini mungkin dapat terjadi karena sebelumnya memang telah ada suatu kedekatan secara personal antara responden dan tengkulak. Kepercayaan ini membuat nelayan tidak begitu keberatan atas konsekuensi yang akan mereka terima dari perjanjian yang mereka buat dengan nelayan, salah satunya penentuan harga yang dilakukan secara sepihak oleh tengkulak. Berikut pernyataan dari salah satu responden yang memanfaatkan tengkulak untuk menjual hasil tangkapannya yang berupa cumi dan corak: “Kalau jual ke Bos (tengkulak), yang nentuin harga ya si Bos, kita tinggal terima harga aja. Tapi walau begitu saya ga keberatan.” (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan).
60
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa responden telah mengetahui resiko jika melakukan suatu perjanjian dengan tengkulak. Responden di atas selain menyalurkan hasil tangkapnnya kepada tengkulak juga selalu ikut dalam kegiatan lelang di TPI. Responden yang menggunakan alat tangkap selain pancing, sebagian besar memanfaatkan TPI maupun tengkulak untuk menyalurkan hasil tangkapannya. Hasil tangkapan berupa cumi, udang dan corak (sotong), biasanya dijual kepada tengkulak, sedangkan hasil tangkapan lainnya akan dilelang di TPI. c.
Elemen Representasi Sosial: Opini Responden pada kelompok ini sebagian besar memiliki opini yang positif
terhadap tengkulak, sedangkan opini terhadap TPI cenderung negatif. Tengkulak dianggap lebih memberikan manfaat dibandingkan TPI. Hubungan antara nelayan dan tengkulak yang berdasarkan hubungan pertemanan menimbulkan opini yang cukup baik bagi tengkulak. Keberadaan tengkulak dirasa lebih dibutuhkan dibandingkan dengan keberadaan TPI oleh sebagian besar responden pada kelompok ini. Beberapa nelayan bahkan menganggap harga yang diberikan oleh tengkulak dapat lebih menguntungkan mereka, seperti yang dikatakan oleh responden berikut ini: “Kalo harga di langgan justru lebih bagus daripada di TPI, jadi kita bisa lebih untung. Harganya ngikutin kualitas ikan kita gitu. Kalo di TPI kan harganya istilahnya udah dipatok gitu ya.” (Bapak DM, 35 tahun, nelayan jaring rampus). Bapak DM menyatakan bahwa harga di tengkulak lebih baik jika dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh TPI. Harga ikan yang ditentukan tengkulak dianggap dapat lebih menyesuaikan dengan kualitas ikan. Jika ikan yang didapatkan nelayan memiliki kualitas yang baik maka harga yang diberikan biasanya lebih tinggi. Harga di TPI dianggap tidak begitu fleksibel, karena harga yang diberikan cenderung sama kepada satu jenis ikan, tanpa mempertimbangkan kualitasnya. d.
Elemen Representasi Sosial: Informasi Tingkat pengetahuan nelayan tengtang TPI pada kelompok representasi ini
mayoritas berada pada kategori kurang, yaitu sebanyak 12 responden (50 persen).
61
Responden tidak begitu paham atas peraturan yang berlaku di TPI. Selain itu responden juga meendapatkan informasi tentang TPI hanya dari mulut ke mulut saja yaitu dari sesama nelayan. Tingkat Pengetahuan tentang TPI pada Tipologi I: Tempat Jual Ikan 24 23 12 (52,2%)
12
7 (30,4%)
4 (17,4%)
0 kurang
cukup
baik
Gambar 13. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi I: Tempat Jual Ikan) Kurangnya informasi tentang TPI yang didapatkan oleh nelayan diduga telah menimbulkan opini yang kurang baik tentang TPI. Responden pada kelompok ini secara umum hanya mengenal TPI sebagai tempat berjalannya kegiatan lelang. Banyak dari mereka yang belum paham akan program-program lain yang ditawarkan oleh pengelola TPI Cituis yaitu KUD Mina Samudera. 6.2.2 Representasi Sosial pada Tipologi II: Tempat Pinjam Uang a.
Elemen Representasi Sosial: Sikap Sikap reponden terhadap tengkulak sebagian besar berada pada kategori
negatif, yaitu sebanyak 76,5 persen, sedangkan sikap responden terhadap TPI cukup beragam, dengan persentase sebesar 47,1 persen bersikap positif, 17,6 persen memiliki sikap netral dan 35,3 persen berikap negatif. Beberapa responden pada kelompok ini merasa keberatan dengan besarnya komisi yang ditarik oleh tengkulak, sedangkan retribusi yang ditarik oleh TPI dianggap wajar oleh responden yang memiliki sikap positif kepada TPI.
62
Sikap pada Tipologi II: Tempat Pinjam Uang 17 18
9
13 (76,5%) 6 (35,3%)
8 (47,1%) 4 (23,5%)
3 (17,6%) 0 (0%)
TPI Tengkulak
0 negatif
netral
positif
Gambar 14. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan SikapResponden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang) Walaupun responden pada kelompok ini lebih banyak yang menunjukkan sikap negatif kepada tengkulak namun mereka mengakui bahwa meminjam uang kepada tengkulak memang lebih mudah jika dibandingkan dengan meminjam uang kepada pengelola TPI. Fasilitas TPI juga dianggap kurang memadai, sehingga membuat nelayan merasa kegiatannya kurang terlayani dengan baik. “Kalau menurut saya sih fasilitas yang ada di TPI (Cituis) kurang bisa dirasain sama nelayan ya. Coba kalau ada fasilitas diesel sama ini nih kali (sungai yang difungsikan sebagai sarana tambat labuh) udah dangkal banget, jadi kapal gampang kandas kan.. pengennya sih diperbaiki gitu biar enggak dangkal lagi.” (Bapak TR, 45 tahun, nelayan gardan). Permasalahan sungai yang dijadikan sarana kolam tambat labuh dianggap responden sebagai hal penting yang harus diperhatikan oleh pihak TPI. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pihak TPI merasa permasalahan ini bukan tanggung jawab mereka secara penuh karena pada dasarnya sungai tersebut merupakan tanggung jawab dari pengelolanya yaitu Dinas Perhubungan. b.
Elemen Representasi Sosial: Keyakinan Keadaan yang hampir serupa dengan yang terjadi pada aspek sikap,
berlaku pada aspek keyakinan.
Responden pada kelompok representasi ini
memiliki keyakinan yang mayoritas negatif, yaitu mencapai 64,7 persen. Keyakinan terhadap TPI cenderung tersebar pada tiap kategori, yaitu 47,1 persen
63
memiliki keyakinan yang positif, 23,5 persen berkeyakinan netral dan 29,4 persen memiliki keyakinan yang negatif.
Keyakinan pada Tipologi II: Tempat Pinjam Uang 17 18 11 (64,7%)
9
5 (29,4%)
5 4 29,4%) (23,5%)
8 (47,1%) 1 (5,9%)
TPI Tengkulak
0 negatif
netral
positif
Gambar 15. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI denga Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang) Responden menyadari bahwa dengan menjual ikannya kepada tengkulak tidak akan memberikan banyak keuntungan. Di sisi lain, mereka butuh tengkulak untuk meminjam uang karena merasa kesulitan jika akan meminjam uang ke KUD Mina Samudera sebagai pengelola TPI. Walaupun, meminjam uang kepada pihak KUD dianggap sulit namun beberapa responden memiliki keyakinan bahwa TPI dapat membantumereka ketika musim paceklik tiba, yaitu dengan adanya program bantuan yang diselenggarakan oleh KUD Mina Samudera dengan sasaran semua nelayan yang mengikuti kegiatan lelang di TPI. Bantuan biasanya berupa bahanbahan kebutuhan pokok. c.
Elemen Representasi Sosial: Opini Opini yang muncul dari responden pada kelompok representasi ini cukup
beragam. Ada yang merasa bahwa TPI lebih bermanfaat dibandingkan tengkulak dan ada juga yang beranggapan sebaliknya. Berikut opini dari beberapa responden: “Mending ke langgan, ga usah bayar retribusi lagi. Udah gitu gampang lagi kalo mau minjem uang ga perlu syarat macem-macem.” (Bapak RJ, 37 tahun, nelayan jaring apollo).
64
“Ya emang ada retribusi sih, tapi tidak terlalu memberatkan lah, kita juga kan tau dananya dikemanain. Emang sih kalau mau minjem uang ke koperasi mah rada susah. Cuma kalo ditanya lebih manfaat mana ya kalo menurut saya lebih manfaat TPI.” (Bapak RI, 30 tahun, nelayan jaring apollo). Kedua responden di atas adalah nelayan yang telah menjadi anggota aktif dari KUD Mina Samudera. Agar dapat melakukan peminjaman uang di USP Swamitra maka harus tercatat sebagai anggota aktif. Jika dilihat berdasarkan syarat tersebut maka kedua responden di atas telah memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman, namun ternyata keduanya masih merasakan kesulitan. Beberapa responden menanggapi kesulitan yang mereka hadapi sebagai suatu hal yang wajar sedangkan sebagian lainnya merasa dikecewakan akan masalah tersebut. d.
Elemen Representasi Sosial: Informasi Tingkat pengetahuan responden pada kelompok representasi sosial tipe II
ini cenderung baik, dengan persentase responden sebesar 47,2 persen. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah yang sudah tercatat sebagai anggota aktif KUD Mina Samudera. Tingkat Pengetahuan tentang Tengkulak pada Tipologi II: Tempat Pinjam Uang 18 17
9
6 (35,3%)
8 (47,2%) 3 (17,6%)
0 kurang
cukup
baik
Gambar 16. Tingkat Pengetahuan Responden (Tipologi II: Tempat Pinjam Uang) Baiknya pengetahuan responden yang merupakan anggota aktif KUD Mina Samudera dapat dikarenakan banyaknya interaksi mereka dengan pihak TPI, baik melalui kegiatan lelang maupun kegiatan rapat rutin yang diadakan KUD. Responden yang pengetahuannya berada pada kategori kurang dan cukup merupakan responden yang tidak tercatat sebagai anggota aktif Mina Samudera,
65
mereka hanya tercatat sebagai anggota pasif. Anggota pasif KUD Mina Samudera adalah semua pihak yang memanfaatka usaha yang dikelola KUD. Anggota pasif tidak memiliki hak untuk mengikuti rapat anggota. Interaksi antara responden dengan pihak TPI diduga menjadi salah satu cara responden dalam mendapatkan informasi tentang TPI.
66
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL
Bab ini akan membahas tentang hubungan antara karakteristik responden dengan representasi sosial melalui hasil uji statistika. Berikut adalah hasil dari uji statistika pada penelitian ini: Tabel 16. Nilai Probabilitas antara Karakteristik Responden dengan Sikap, Keyakinan dan Informasi tentang TPI. Karakteristik Sikap Keyakinan Informasi Alat Tangkap1 1
Status
2
Tingkat Pendapatan
Tingkat Pengalaman2 Tingkat Usia2 Tingkat Pendidikan2
0,000*
0,000*
0,002*
0,003*
0,042*
0,059
0,607 (0,084) 0,278 (0,176) 0,912 (-0,018) 0,299 (-0,169)
0,930 (0,014) 0,600 (-0,086) 0,062 (-0,298) 0,367 (0,146)
0,049* (0,314) 0,502 (0,109) 0,746 (0,053) 0,445 (0,124)
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan nilai probabailitas signifikan. Nilai yang berada dalam tanda kurung menunjukkan nilai koefisien korelasi. 1. Diuji menggunakan uji Chi-Square. 2. Diuji menggunakan uji korelasi Spearman.
Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat variabel yang memiliki keterkaitan maupun tidak memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek representasi sosial. Penjelasan lebih lanjut mengenai tabel tersebut akan diberikan pada subbab-subbab selanjutnya. Elemen representasi sosial berupa opini akan diukur secara kualitatif untuk melihat bagaimana kaitannya dengan karakteristik responden. 7.1
Hubungan antara Alat Tangkap dengan Representasi Sosial Nilai probabilitas yang muncul pada uji Chi-Square antara alat tangkap
dengan sikap responden adalah 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Nilai probabilitas tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan sikap yang muncul pada responden dengan alat tangkap yang berbeda. Tabel 17 berikut menunjukkan
67
bahwa nelayan dengan alat tangkap berupa pancing, gardan dan payang cenderung memiliki sikap yang netral kepada TPI. Nelayan dengan alat tangkap jaring rampus dan jaring apollo cenderung memiliki sikap yang positif kepada TPI. Jika dilihat secara umum sikap nelayan terhadap TPI adalah netral, yaitu 23 responden atau 57,5 persen. Perbedaan sikap yang muncul pada nelayan yang menggunakan alat tangkap berbeda cukup beralasan, karena alat tangkap menentukan pemanfaatan terhadap TPI oleh responden. Tabel 17. Sikap Responden terhadap TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan. Sikap terhadap TPI Total Alat Negatif Netral Positif Tangkap n % n % n % ∑n % Jaring Rampus 4 10 2 5,0 5 12,5 11 27,5 Gardan 1 2,5 3 7,5 0 0,0 4 10,0 Pancing 3 7,5 17 42,5 0 0,0 20 50,0 Jaring Apollo 1 2,5 0 0,0 3 7,5 4 10,0 Payang 0 0,0 1 2,5 0 0,0 1 2,5 Total 9 22,5 23 57,5 8 20,0 40 100,0 Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, terdapat dua sub komunitas pada nelayan Desa Surya Bahari, yaitu nelayan pancing dan nelayan non-pancing.
Nelayan
pancing
hanya
memanfaatkan
tengkulak
untuk
menyalurkan hasil tangkapannya, sedangkan nelayan non-pancing memiliki pola pendistribusian hasil tangkap yang lebih fleksibel. Nelayan non-pancing bahkan banyak yang memanfaatkan TPI dan tengkulak secara bersamaan. Perbedaan tersebut tentu akan mempengaruhi sikap para responden. Hal ini dibuktikan dengan sikap positif yang ditunjukkan responden pengguna alat tangkap berupa jaring rampus dan apollo, mereka adalah reponden yang dalam kesehariannya telah memanfaatkan TPI, sedangkan responden yang menggunakan alat tangkap pancing memiliki kecenderungan untuk bersikap netral terhadap TPI. Hasil uji Chi-Square antara variabel alat tangkap dan variabel aspek keyakinan responden menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,000, sehingga terdapat perbedaan keyakinan antara responden dengan alat tangkap yang berbeda.
68
Tabel 18. Keyakinan Responden terhadap TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan. Keyakinan terhadap TPI Total Alat Tangkap Negatif Netral Positif N % n % n % ∑n % Jaring Rampus 6 15,0 0 0,0 5 12,5 11 27,5 Gardan 1 2,5 3 7,5 0 0,0 4 10,0 Pancing 3 7,5 17 42,5 0 0,0 20 50,0 Jaring Apollo 0 0,0 1 2,5 3 7,5 4 10,0 Payang 0 0,0 1 2,5 0 0,0 1 2,5 Total 10 25,0 22 55,0 8 20,0 40 100,0 Tabel tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa nelayan cenderung memiliki keyakinan yang netral terhadap TPI, yaitu mencapai 22 responden atau 55,0 persen. Keyakinan positif dimiliki oleh nelayan dengan alat tangkap berupa jaring rampus (12,5 persen) dan apollo (7,5 persen). Namun pada nelayan jaring rampus terlihat keyakinan yang berbeda satu sama lain, 5 orang responden dari nelayan jaring rampus memiliki keyakinan yang positif, sedangkan 6 orang lainnya memiliki keyakinan yang negatif terhadap TPI. Hasil uji Chi-Square antara alat tangkap dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki responden menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,002, maka terdapat perbedaan tingkat pengetahuan pada responden dengan alat tangkap yang berbeda. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden dipengaruhi oleh banyaknya informasi tentang TPI yang mereka miliki. Secara umum responden memiliki pengetahuan yang cukup tentang TPI, sehingga dapat dikatakan, informasi tentang TPI Cituis yang dimiliki responden pada umumnya telah cukup. Tabel 19. Tingkat Pengetahuan Responden tentang TPI Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan. Tingkat Pengetahuan tentang TPI Total Alat Tangkap Rendah Sedang Tinggi n % n % n % ∑n % Jaring Rampus 0 0,0 2 5,0 9 22,5 11 27,5 Gardan 0 0,0 4 10,0 0 0,0 4 10,0 Pancing 4 10,0 16 40,0 0 0,0 20 50,0 Jaring Apollo 0 0,0 1 2,5 3 7,5 4 10,0 Payang 1 2,5 0 0,0 0 0,0 1 2,5 Total 5 12,5 23 57,5 12 30,0 40 100,0
69
Tabel 19 tersebut menunjukkan bahwa nelayan yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah nelayan dengan alat tangkap jaring rampus (22,5 persen) dan jaring apollo (7,5 persen). Nelayan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang berasal dari nelayan pancing (10,0 persen) dan payang (2,5 persen). Nelayan jaring rampus dan jaring apollo yang menjadi responden adalah nelayan yang telah memanfaatkan TPI, sehingga mereka memang sudah sering berinteraksi dengan pihak TPI. Hal tersebut menjadi salah satu faktor baiknya pengetahuan yang mereka miliki. Banyaknya interaksi dengan pihak TPI telah memberikan banyak informasi mengenai TPI itu sendiri. Responden yang merupakan nelayan pancing selalu memanfaatkan tengkulak untuk menjual hasil tangkapannya, mereka hampir tidak pernah bersinggungan dengan kegiatan di TPI. Hal tersebut membuat informasi tentang TPI yang mereka terima bisa jadi tidak valid karena tidak berasal langsung dari pihak TPI. Pada sisi lain, responden yang menggunakan alat tangkap payang selalu memanfaatkan TPI, namun tingkat pengetahuannya ternyata masuk ke dalam kategori kurang. Hal ini dapat dikarenakan nelayan yang menjadi responden memang tidak aktif dalam mencari informasi mengenai TPI. Selain itu jumlah responden yang berasal dari nelayan payang dirasa memang belum mencukupi untuk mengkaji lebih lanjut kecenderungan tingkat pengetahuan yang dimiliki nelayan tersebut. Responden yang merupakan nelayan pancing sebagian besar memiliki opini yang netral, dalam artian mereka mengakui bahwa keberadaan TPI memberikan manfaat kepada nelayan di Desa Surya Bahari secara umum, namun secara pribadi mereka sendiri tidak merasa membutuhkan TPI. Hubungan yang terjadi antara nelayan pancing dengan tengkulak dirasa telah menjadi zona nyaman yang dimiliki oleh nelayan pancing. Banyak dari mereka tidak merasa keberatan atas konsekuensi atas ikatan yang mereka jalin dengan tengkulak. 7.2
Hubungan antara Status Responden dengan Representasi Sosial Hasil uji Chi-Square antara status responden dan sikapnya terhadap TPI
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,003. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan sikap yang muncul pada responden dengan status yang berbeda. Responden yang berstatus sebagai ABK cenderung memiliki sikap yang netral,
70
begitu pun dengan responden yang berstatus sebagai nakhoda, sedangkan responden yang berstatus sebagai juragan memiliki kecenderungan untuk bersikap positif terhadap TPI. Nelayan yang berstatus sebagai ABK dan nakhoda pada tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan kemana hasil tangkapan mereka akan disalurkan, kewenangan tersebut dimiliki oleh nelayan juragan. TPI sebagai salah satu pilihan untuk menyalurkan hasil tangkap tentu saja akan mendapatkan perhatian lebih dari nelayan juragan, mereka harus mengetahui berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki TPI karena hal tersebut akan mempengaruhi keputusan mereka untuk menetapkan pola distribusi yang akan mereka gunakan. Tabel 20. Sikap Responden terhadap TPI Berdasarkan Status. Sikap terhadap TPI Status Responden Negatif Netral Positif n % n % n % ABK 5 12,5 21 52,5 0 0,0 Nakhoda 1 2,5 1 2,5 0 0,0 Juragan 3 7,5 1 2,5 8 20,0 Total 9 22,5 23 57,5 8 20,0
Total ∑n 26 2 12 40
% 65,0 5,0 30,0 100,0
Sikap positif pada nelayan juragan dapat muncul karena mereka sering berinteraksi dengan TPI dalam rangka pemenuhan tanggung jawabnya sebagai pembuat keputusan. Sikap netral dan negatif muncul pada nelayan ABK dan nakhoda, karena mereka lebih pasif dalam hal penyaluran hasil tangkap, sehingga jarang berinteraksi dengan pihak TPI. Tabel 21. Keyakinan terhadap TPI Berdasarkan Status. Keyakinan terhadap TPI Status Negatif Netral Positif Responden n % n % N % ABK 7 17,5 19 47,5 0 0,0 Nakhoda 1 2,5 1 2,5 0 0,0 Juragan 2 5,0 2 5,0 8 20,0 Total 10 25,0 22 55,0 8 20,0
Total ∑n 26 2 12 40
% 65,0 5,0 30,0 100,0
Nilai probabilitas yang muncul pada uji Chi-Square antara variabel status responden dan aspek keyakinan terhadap TPI adalah sebesar 0,042, sehingga keyakinan terhadap TPI berbeda pada tiap status responden. Pada tabel tabulasi silang antara status responden dengan keyakinan terhadap TPI, terlihat bahwa responden yang memiliki keyakinan positif adalah responden yang memiliki
71
status sebagai juragan. Hal ini dapat menjelaskan tentang adanya perbedaan keyakinan yang mencolok pada kelompok responden yang berasal dari nelayan jaring rampus. Nelayan jaring rampus yang memiliki sikap negatif adalah mereka yang memiliki status sebagai ABK, sedangkan nelayan jaring rampus yang memiliki keyakinan positif terhadap TPI adalah nelayan yang berstatus sebagai juragan. Nelayan juragan memiliki keyakinan yang lebih positif dibandingkan nelayan ABK dan nakhoda karena secara ekonomi nelayan juragan lebih diuntungkan dengan adanya TPI. Di sisi lain, nelayan ABK dan nakhoda tidak begitu dapat merasakan manfaat TPI karena penghasilan mereka tergantung kepada juragannya. Hasil
uji
Chi-Square
antara
status
responden
dengan
tingkat
pengetahuannya menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,059 (lihat tabel 16), nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai probabilitas default yang berlaku pada program SPSS yang digunakan untuk menguji. Dengan demikian tidak terdapat hubungan antara status responden dengan tingkat pengetahuan tentang TPI yang dimiliki. Hal ini dapat dikarenakan meskipun responden berstatus sebagai juragan, namun ketika responden tersebut menggunakan alat tangkap pancing, ternyata tingkat pengetahuannya tentang TPI dikategorikan rendah. Tingkat pengetahuan tentang TPI yang dapat dikategorikan tinggi dimiki oleh responden yang berstatus sebagai juragan dan menggunakan alat tangkap nonpancing. Opini terhadap TPI yang muncul dari responden yang merupakan nelayan non-pancing ternyata cukup beragam. Opini yang bersifat negatif dan netral lebih banyak diberikan oleh responden yang berstatus sebagai ABK dan nakhoda, sedangkan opini positif cenderung berasal dari responden yang berstatus sebagai juragan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan TPI lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh responden yang berstatus sebagai juragan. Sebagai pemilik modal, nelayan juragan memang mendapatkan pemasukan yang lebih daripada nelayan yang berstatus sebagai nakhoda atau ABK. Keberadaan TPI yang dapat membantu penjualan hasil tangkap tentu saja sangat bermanfaat bagi nelayan juragan sebagai pemilik modal, yang sangat membutuhkan masukan yang lancar sehingga dapat dipergunakan untuk kegiatan melaut berikutnya.
72
7.3
Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Representasi Sosial Hasil uji korelasi Spearman antara variabel tingkat pendapatan dan tingkat
pengetahuan tentang TPI menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,049, dengan demikian maka terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Nilai koefisien korelasinya adalah sebesar 0,314, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi adalah responden yang telah memanfaatkan TPI. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang telah memanfaatkan TPI cenderung memiliki pendapatan yang lebih baik dibandingkan yang belum. Tabel 22. Tingkat Pengetahuan Responden tentang TPI Berdasarkan Tingkat Pendapatan. Tingkat Pengetahuan tentang TPI Total Tingkat Pendapatan Rendah Sedang Tinggi n % n % n % ∑n % Rendah 3 7,5 21 52,5 5 12,5 29 72,5 Sedang 2 5,0 1 2,5 7 17,5 10 25,0 Tinggi 0 0,0 1 2,5 0 0,0 1 2,5 Total 5 12,5 23 57,5 12 30,0 40 100,0 Tingkat pendapatan juga berpengaruh atas opini yang dimiliki responden. Mayoritas responden dengan tingkat pendapatan rendah memberikan opini yang netral, sedangkan responden yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi biasanya memiliki opini yang lebih beragam, ada opini yang positif maupun negatif. Opini positif datang dari responden yang telah memanfaatkan TPI, sedangkan opini yang negatif datang dari reponden yang belum memanfaatkan TPI. 7.4
Hubungan antara Tingkat Pengalaman dengan Representasi Sosial Tingkat pengalaman mengacu kepada berapa lama responden bekerja
sebagai nelayan. Berdasarkan hasil uji statistika terlihat bahwa tingkat pengalaman tidak memiliki hubungan yang nyata dengan beberapa aspek representasi sosial, yaitu: sikap, keyakinan dan informasi. Hasil uji korelasi Spearman antara variabel tingkat pengalaman dengan tingkat pengetahuan responden menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,502, dengan demikian dapat
73
diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengalaman dengan tingkat pengetahuan responden tentang TPI. Opini yang muncul dari responden juga tidak dapat dikategorikan berdasarkan
tingkat
pengalamannya.
Responden
yang
memiliki
tingkat
pengalaman tinggi belum tentu memiliki opini yang positif tentang TPI, begitu juga sebaliknya. 7.5
Hubungan antara Tingkat Usia dengan Representasi Sosial Tingkat usia responden ternyata tidak memiliki hubungan yang nyata
dengan aspek representasi sosial. Sikap dan keyakinan yang positif terhadap TPI Cituis dapat muncul pada responden dengan usia kurang dari 31 tahun maupun lebih dari itu, tergantung kepada karakteristik responden yang lebih memiliki keterkaitan dengan representasi sosial, yaitu alat tangkap yang digunakan, status dan tingkat pendapatannya. Nilai probabilitas yang muncul dari uji korelasi antara variabel tingkat usia dengan tingkat pengetahuan adalah sebesar 0,746, dengan demikian tidak terdapat hubungan antara tingkat usia responden dengan tingkat pengetahuannya tentang TPI. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tingkat usia responden tidak berhubungan dengan salah satu aspek representasi sosial, yaitu informasi. Opini responden sangat beragam di berbagai tingkatan umur. Hal ini menujukkan bahwa opini responden tidak dapat diprediksi dari tingkatan usianya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat variabel lain yang memiliki keterkaitan dengan representasi sosial responden. 7.6
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Representasi Sosial Nilai probabilitas antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan
responden adalah sebesar 0,445. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang TPI yang dimiliki, sehingga tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap aspek informasi pada representasi sosial. Hasil uji antara variabel tingkat pendidikan dengan aspek-aspek representasi sosial lainnya, menunjukkan hal serupa, yaitu tidak ada hubungan yang nyata.
74
Opini responden tidak dapat dikategorikan ke dalam tingkatan pendidikan yang dicapainya. Selain itu, mayoritas pendidikan responden yang hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar membuat tingkat pendidikannya cenderung homogen. 7.7
Ikhtisar Jenis alat tangkap adalah karakteristik yang sangat berkaitan dengan
representasi sosial tentang TPI yang dimiliki responden. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada responden yang berbeda alat tangkap. Status responden juga cukup berkaitan dengan representasi sosialnya. Karakteristik responden selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan representasi sosial tentang TPI adalah tingkat pendapatan. Elemen representasi sosial yang dianggap memiliki hubungan positif dengan tingkat pendapatan responden adalah elemen informasi. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat pendapatan responden maka semakin baik elemen informasi pada representasi sosialnya. Representasi sosial pada responden yang berstatus sebagai juragan menunjukkan bahwa kedudukan juragan yang lebih tinggi secara ekonomi memberikan akses yang lebih besar kepada pengetahuan tentang TPI, sehingga mereka lebih paham mengenai keuntungan yang dapat mereka terima dengan memanfaatkan TPI. Karakteristik responden berupa tingkat pengalaman, usia dan pendidikan nampaknya tidak begitu berkaitan dengan representasi sosial tentang TPI. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan, pengalaman dan usia dengan representasi sosial tentang TPI yang dimiliki responden.
75
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA FAKTOR EKSTERNAL DENGAN REPRESENTASI SOSIAL 8.1
Hubungan Karakteristik TPI dengan Representasi Sosial Karakteristik TPI berupa fasilitas yang dimiliki, letak, sistem retribusi dan
sistem lelang yang berlaku di TPI menunjukkan bahwa TPI Cituis secara umum telah mampu memenuhi fungsinya dengan baik. Data yang menunjukkan pengetahuan responden tentang karakteristik yang dimiliki TPI Cituis digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik TPI dengan representasi sosial yang dimiliki responden. Pengetahuan responden mengenai karakteristik TPI Cituis dan bagaimana responden menanggapi hal tersebut akan memperlihatkan apakah karakteristik TPI memiliki hubungan dengan representasi sosial yang dimiliki oleh responden. Tabel 23. Nilai Probabilitas dan Koefisien Korelasi antara Tingkat Pengetahuan dengan Aspek Representasi Sosial (Sikap, Keyakinan, Informasi). Elemen Representasi Sosial Nilai Probabilitas Koefisien Korelasi Sikap 0,004* 0,444 Keyakinan 0,005* 0,437 *Nilai probabailitas signifikan.
Hasil uji korelasi Spearman yang disajikan pada tabel 23 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden terbukti memiliki hubungan dengan sikap dan keyakinan terhadap TPI, karena nilai probabilitas yang muncul kurang dari 0,05. Koefisien korelasinya pun bernilai positif, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang TPI yang dimiliki responden maka semakin positif sikap dan keyakinannya terhadap TPI. Berhasil atau tidaknya TPI Cituis untuk memenuhi fungsinya tentu saja tidak terlepas dari keberadaan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh TPI Cituis. Salah satu fasilitas yang disediakan pengelola TPI bagi nelayan adalah fasilitas jual beli solar melalui unit Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN). Adanya SPDN cukup membantu kegiatan nelayan. Harga yang ditawarkan oleh unit SPDN yang ada di TPI Cituis ini juga sesuai dengan harga dari PT. Pertamina, sehingga nelayan dapat membeli solar dengan harga yang lebih murah. Namun ternyata
76
masih banyak nelayan yang membeli solar dari pengecer. Hal ini menunjukkan bahwa harga yang murah tidak serta merta membuat nelayan mau memanfaatkan SPDN yang disediakan TPI Cituis. Hal ini dapat dikarenakan keberadaan pengecer yang lebih mudah untuk dijangkau oleh nelayan. Pihak pengelola TPI mengakui bahwa belum ada lahan yang strategis untuk pengembangan lokasi SPDN. Data jumlah pemasukan yang berasal dari kegiatan lelang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah raman atau hasil lelang dari tahun 2007 hingga tahun 2010, untuk pemasukan raman pada tahun 2011 belum ada datanya. Peningkatan raman terjadi karena meningkatnya kuantitas ikan yang dilelang di TPI Cituis. Tabel 24. Jumlah Ikan yang Dilelang dan Raman TPI Cituis Tahun 2007- 2010. Tahun Jumlah Ikan (Kg) Raman (Rp) 2007
628.465
2.835.971.000
2008
758.044
4.000.155.500
2009
764.867
4.138.235.000
2010
783.717
4.516.166.000
Sumber: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KUD Mina Samudra, 2011
Peningkatan jumlah ikan yang dilelang di TPI Cituis menunjukkan bahwa terjadi kenaikan pada tingkat pemanfaatan TPI Cituis oleh nelayan. Seperti yang dikatakan oleh Gunawan (2003) yang menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang, maka kenaikan tingkat pemanfaatan TPI adalah manifestasi dari representasi sosial nelayan yang membaik terhadap TPI. Hasil dari data kuesioner menunjukkan bahwa secara umum fasilitas pada TPI Cituis dianggap sudah cukup baik oleh para responden, namun ada beberapa hal yang dianggap harus segera diperbaiki, seperti fasilitas kolam tambat labuh yang ada tidak jauh dari TPI. Setelah dikonfirmasikan tentang harapan dari responden ini, pihak TPI mengaku bahwa sebenarnya TPI Cituis belum memiliki fasilitas kolam tambat labuh. Sungai yang kini berfungsi sebagai kolam tambah labuh berada di bawah pengelolaan Dinas Perhubungan, sehingga pihak TPI menyatakan perbaikan atas kondisi sungai yang difungsikan sebagai kolam tambat
77
labuh bukan menjadi tanggung jawab mereka. Meskipun demikian, pihak TPI sendiri mengaku telah mengajukan permintaan untuk diadakan proses pengerukan dasar sungai kepada Dinas Kelautan dan Perikanan agar dapat meminimalisir pendangkalan sungai. Proses pengerukan dasar sungai bukan tidak pernah dilakukan, hanya saja lingkungan sungai yang memang kurang kondusif dapat dengan mudah membuat pendangkalan kembali terjadi. 8.2
Hubungan Tingkat Representasi Sosial
Interaksi
Responden-Tengkulak
dengan
Uji Korelasi Spearman akan digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat interaksi patron-klien dengan beberapa elemen dari representasi sosial, yaitu sikap, keyakinan dan informasi. Tabel 25. Nilai Probabilitas dan Koefisien Korelasi antara Tingkat Interaksi Responden-Tengkulak dengan Aspek Representasi Sosial (Sikap, Keyakinan, Informasi). Elemen Representasi Sosial Nilai Probabilitas Koefisien Korelasi Sikap 0,058 -0,302 Keyakinan 0,122 -0,248 Informasi 0.093 -0.269 Hasil uji Spearman yang diperlihatkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai probabilitas yang muncul dari semua uji yang dilakukan adalah lebih dari 0,05, sehingga tidak terdapat hubungan antara variabel tingkat interaksi responden-tengkulak dengan representasi sosial tentang TPI Cituis yang dimiliki responden. Hal ini dapat dikarenakan banyak responden yang memandang TPI Cituis dan tengkulak sebagai dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Bagi nelayan yang telah merasakan manfaat dari diadakannya kegiatan lelang di TPI Cituis namun masih merasa kesulitan untuk memenuhi modal, tengkulak merupakan alternatif untuk mendapatkan pinjaman modal. Pola yang umum terjadi pada nelayan non-pancing di Desa Surya Bahari adalah mereka akan melakukan dua kegiatan penyaluran hasil tangkap. Penyaluran pertama adalah dengan menjual hasil tangkapannya yang berupa cumi, corak (sotong) dan udang kepada tengkulak, sebagai konsekuensi atas peminjaman modal yang diberikan
78
tengkulak. Penyaluran yang kedua adalah mereka akan melelang hasil tangkapannya (selain cumi, corak/sotong dan udang) di TPI Cituis.
79
BAB IX PENUTUP 9.1 1.
Kesimpulan Hasil
asosiasi kata menunjukkan bahwa nelayan di Desa Surya Bahari
menganggap kata yang paling tepat untuk mewakili TPI Cituis adalah „lelang‟, yang berarti sesuai dengan fungsi pokok dari TPI. Kata berikutnya yang dianggap mewakili adalah kata „pasar‟. Hal ini dikarenakan di sekitar TPI terdapat banyak pembeli lelang atau bakul yang langsung menjual ikan yang telah dibelinya kepada masyarakat umum, sehingga suasana seperti pasar ikan sangat terasa di sekitar tempat pelelangan. 2.
Karakteristik responden memiliki keterkaitan dengan representasi sosial tentang TPI yang mereka miliki. Jenis alat tangkap merupakan karakteristik responden yang memiliki keterkaitan cukup besar dengan representasi sosial. Responden yang telah memanfaatkan TPI umumnya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang TPI karena mereka dapat mendapatkan informasi lebih banyak dibandingkan responden yang tidak memanfaatkan TPI. Informasi tersebut dapat mereka peroleh dari hasil berinteraksi dengan pihak TPI. Selanjutnya, status responden juga memiliki kaitan dengan representasi sosial. Responden yang berstatus sebagai juragan memiliki representasi sosial yang lebih baik mengenai TPI Cituis.
3.
Tingkat pengetahuan tentang karakteristik TPI Cituis terbukti memiliki hubungan nyata dengan beberapa aspek representasi sosial yang dimiliki responden, yaitu sikap dan keyakinan mereka. Tingkat interaksi antara responden dengan tengkulak ternyata tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial terhadap TPI pada responden.
9.2 1.
Saran Pihak TPI Cituis diharapkan lebih banyak melakukan sosialisasi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh nelayan, agar nelayan dapat lebih tertarik untuk ikut serta dalam kegiatan lelang di TPI Cituis.
80
2.
Pihak TPI diharapkan dapat menyederhanakan proses yang harus dilalui nelayan ketika ingin meminjam uang, agar nelayan tidak merasa kesulitan ketika ingin meminjam uang.
3.
Bagi Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang diharapkan dapat diadakan pengerukan pada dasar sungai Cituis yang dilakukan secara rutin karena pendangkalan dasar sungai ini merupakan suatu siklus sehingga tidak bisa ditangani oleh satu kali pengerukan saja. Pengerukan dasar sungai Cituis perlu dilakukan agar kegiatan nelayan yang banyak bergantung pada sungai ini tidak terganggu oleh permasalahan seperti bocornya lambung kapal karena terkena dasar sungai yang mengalami pendangkalan.
81
DAFTAR PUSTAKA Adi, Inna Sri Supina. 1995. “Fungsi Tempat Pelelangan Ikan dalam Tataniaga Ikan di Daerah Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi” (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Adriana, Galuh. 2009. Representasi Sosial tentang Kerja pada Anak Jalanan. Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Amanah, Siti, Hamidah N. Utami, dan Tifa L. Savitri. 2005. Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Kabupaten Bululung, Provinsi Bali. Laporan Kegiatan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 1993. Sensus Pertanian 1993. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Sumber: http://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=0 (diakses pada 29 Maret 2011, pukul 00:51 WIB) Deaux, Kay dan Gina Philogene. 2001. Representations of the Social. Blackwell Publishers: USA. Gunawan, Elia Agus. 2003. Pengaruh Representasi Sosial tentang Kerja dan Sosialisasi Nilai Gender terhadap Performa Kerja Perempuan. Kasus: Usaha Pengkacipan Mente di Lombe–Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Johar, Frisca. 2011. Representasi Sosial Program Simpan Pinjam (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan. Kasus: Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. KKP. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan.(unpublished), Pangkalan Pendaratan Ikan Cituis Tahun 2010. KKP. Jakarta. Layn, Safrudin Bustam. 2008. “Dinamika Ikatan Patron-Klien (Suatu Tinjauan Sosiologis)”, POPULIS,Volume 3 No I, hal. 43-49. Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nadra, Hurriyatun. 2010. Representasi Sosial Pertanian pada Pemuda Tani di Komunitas Lahan Kering. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Pandjaitan, Nurmala Katrina. 2010. „Representasi Profesional Petani Padi-Sawah dalam Hubungannya dengan Praktek Pengendalian Hama‟, Solidity: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, hal. 273-284. Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan (Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia). Jakarta: Rineka Cipta.
82
Pramitasari, Sulistyani Dyah. 2005. “Analisis Efisiensi TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Kelas 1, 2 dan 3 di Jawa Tengah dan Pengembangannya untuk Peningkatan Kesejahteraan Nelayan” (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. Sumber: http://eprints.undip.ac.id/18404/1/SULISTYANI_DYAH_P.pdf diakses pada 15 Oktober 2011. Putera, Idamsyah Eka, Citra Wardhani dan Resky Muwardani. 2009. Representasi sosial tentang Pemimpin antara Dua Kelompok Usia dan Situasi yang berbeda di Jakarta dan Palembang. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. Sumber: http://idhamputra.wordpress.com/2009/01/19/representasi-sosial-tentangpemim pin-antara-dua-kelompok-usia-dan-situasi-sosial-yang-berbeda-dijakarta-dan-palembang/ diakses pada 23 Februari 2011. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Bogor: PT. Pustaka Cidesindo. Satria, Arif. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Silalahi, David Ganda. 2006. Efektivitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan Sebagai Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Wesman, Septiani. 2011. Representasi Sosial terhadap Program Keluarga Harapan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Rumah Tangga Sangat Miskin. Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Yunizar, Yudarlis. 1989. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) oleh Nelayan di Kotamadya Padang” (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1. Daftar Istilah (Glossary)
Bakul: pembeli pada kegiatan lelang di tempat pelelangan ikan. Corak: sejenis sotong. Ijon: bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. [di bidang pertanian] pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil pembelinya sesudah masak. Kolam Tambat Labuh: tempat nelayan menambatkan (melabuhkan) perahunya seusai melaut. Nelayan Babangan: nelayan yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari bahkan mingguan untuk melaut. Ngeteng: kegiatan menjual ikan dengan cara eceran. Orbitasi: jarak desa dengan pusat pemerintahan. Raman: hasil lelang. Tengkulak: orang yang memberi pinjaman uang (biasanya) dengan bunga tinggi. Tipologi: kajian tentang tipe atau jenis.
85
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian
86
Lampiran 3. Daftar Responden No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama JJ TR AS AM MY DM KS MT SD IB SM TN SL TO SH ST GY SHD HD HR YT UD UDN JY KT KM MS AB RI DJ RJ TM UN MK SA UM PN PG JR PI
Alat Tangkap jaring rampus gardan pancing pancing pancing jaring rampus gardan gardan payang pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing pancing jaring rampus pancing jaring rampus jaring rampus pancing jaring rampus jaring apollo jaring apollo gardan jaring apollo jaring apollo jaring rampus jaring rampus jaring rampus jaring rampus pancing pancing jaring rampus pancing
Penyaluran Hasil Tangkap TPI dan tengkulak TPI Tengkulak Tengkulak Tengkulak TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak Tengkulak TPI dan tengkulak Tengkulak TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak Tengkulak TPI dan tengkulak TPI TPI TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak TPI TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak TPI dan tengkulak TPI Tengkulak Tengkulak TPI dan tengkulak Tengkulak
87
Lampiran 4. Contoh Output Uji Statistik Tes Chi-Square antara Alat Tangkap dengan Sikap terhadap TPI Value 85.303a 77.799 .294
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases a.
Asymp. Sig. (2sided)
df 24 24 1
.000 .000 .588
40
34 cells (97,1%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03 Tes Chi-Square antara Status Responden dengan Sikap terhadap TPI Value
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
29.814a 35.356 8.679
12 12 1
.003 .000 .003
40
a. 19 cells (90,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,05. Tes Korelasi Spearman antara Tingkat Pendapatan dengan Sikap terhadap TPI tingkat pendapatan Spearman's rho
tingkat pendapatan
Correlation Coefficient
1.000
.084
.
.607
40
40
Correlation Coefficient
.084
1.000
Sig. (2-tailed)
.607
.
40
40
Sig. (2-tailed) N sikap responden terhadap TPI
sikap responden terhadap TPI
N Tes Korelasi Spearman antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Informasi
tingkat keterdedahan informasi
tingkat pendapatan Spearman's rho
tingkat pendapatan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
tingkat keterdedahan informasi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1.000
.314*
.
.049
40
40
.314*
1.000
.049
.
40
40
88
Lampiran 5. Foto Dokumentasi
Foto 1. Sungai yang mengalami pendangkalan.
Foto 2. Kegiatan lelang di TPI Cituis.
Foto 3. Kegiatan jual beli di sekitar TPI Cituis.
89
Foto 4. Alat tangkap pancing.
Foto 5. Penimbangan ikan oleh tengkulak.
Foto 6. Kapal yang menggunakan alat tangkap gardan.