Menguak Tabir Dharmasraya
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Direktorat Peninggalan Purbakala BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA BATUSANGKAR Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau
Menguak Tabir Dharmasraya Penanggung jawab|Drs. Marsis Sutopo, M.Si.|Penulis|Drs. Budi Istiawan & Drs. Bambang Budi Utomo|Desain Sampul & Lay Out|Sri Sugiharta, S.S.| Penerbit|Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar [Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan KepulauanRiau] |Cetakan|I|Tahun|2006| Copyright © 2006 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar Batusangkar
ii
|kata pengantar|
B
alai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mempunyai wilayah kerja di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Secara struktural, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar berada di bawah Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sebagai instansi pemerintah yang membidangi kebudayaan, khususnya yang berkenaan dengan pelestarian peninggalan purbakala, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar mempunyai program untuk mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan peninggalan purbakala, baik yang berhubungan dengan aspek sejarah dan budayanya maupun hal-hal lain yang melingkupinya. Buku ini, yang merupakan kumpulan dari dua tulisan, mencoba mengungkap lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dharmasraya, sebuah kata yang tercantum pada sebuah prasasti yang terdapat pada lapik Arca Amoghapasa. Prasasti ini, yang kemudian disebut sebagai Prasasti Dharmasraya, merupakan prasasti yang berasal dari Masa Melayu Kuno. Saat ini Dharmasraya telah dipakai sebagai nama sebuah kabupaten, tempat prasasti tersebut ditemukan, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi segenap kalangan. Batusangkar, 12 Desember 2006 Kepala BP3 Batusangkar,
Drs. Marsis Sutopo, M.Si.
iii
|daftar isi| Kata Pengantar _______________________________________
iii
Bagian Pertama
Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya >> 2 1. Lingkungan Alam Dharmasraya 2. Kerajaan Sriwijaya dan Melayu 3. Kerajaan Melayu di Dharmasraya 4. Antara Dharmasraya, Melayu, dan Swarnnabhumi 5. Lokasi Dharmasraya 6. Situs Pulau Sawah dan Potensi Kepurbakalaannya 7. Penutup Daftar Pustaka
>> >> >> >> >> >> >> >>
2 9 11 15 19 27 29 32
Bagian Kedua
Ranah Minang dan Kerajaan Melayu 1. Babakan Sejarah 2. Perdagangan Emas 3. Keagamaan Daftar Pustaka
iv
>> 34 >> 35 >> 45 >> 49 >> 54
Bagian I
JEJAK SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN DHARMASRAYA Budi Istiawan
JEJAK SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN DHARMASRAYA 1.
Lingkungan Alam Dharmasraya
Kawasan kepurbakalaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari meliputi beberapa situs dan wilayah administratif pemerintahan. Berdasarkan pada tinggalan arkelogis, kawasan purbakala DAS Batanghari meliputi beberapa situs di daerah hulu (Kabupaten Dharmasraya1), yaitu Rumah Gadang Pulau Punjung, Situs Bukik Braholo, Rambahan dan situs bekas Istana Kerajaan Siguntur di Sungai Siran Jorong Lubuk Bulang, Kenagarian IV Koto Pulau Punjung, Kecamatan IV Koto Pulau Punjung; Situs Candi Pulau Sawah, Rumah Gadang Siguntur, Masjid Tua Siguntur, Makam RajaRaja Siguntur di Jorong Siguntur Bawah dan Candi Bukik Awang Maombiak di Jorong Koto Baru, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung; Situs Candi Padangroco dan parit keliling, situs Arca Bhairawa di Jorong Sei Langsek, Kenagarian Siguntur Kecamatan Sitiung, dan Situs Candi Padanglaweh di Jorong Padanglaweh, Kecamatan Sitiung. Secara geomorfologis, daerah-daerah di sepanjang Batanghari termasuk pada daerah perbukitan bagian barat Sumatera yang dikenal dengan Barisan Mountain. Berdasarkan lithostratigrafi regional, daerah di sepanjang DAS Batanghari tersusun atas batuanbatuan dari Anggota Bawah Formasi Kuantan, Anggota Batugamping Formasi Kuantan, Anggota Filit dan serpih Formasi Kuantan, Granit, Anggota Bawah Formasi Telisa, Anggota Atas
Formasi Telisa, Undak Sungai dan Aluvium Sungai. Batuan Anggota Bawah Formasi Kuantan terdiri dari kwarsit dan batupasir dengan sisipan Filit, batusabak terkersikkan, serpih, batuan gunungapi, tufa klorit, konglomerat, dan rijang. Batuanbatuan ini mengalami gangguan struktur geologi, yaitu patahan dan lipatan. Tebal keseluruhan dari Formasi Kuantan adalah 5000 m dan berumur Perem dan Karbon. 1
Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat.
[2]
Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
Aluvium sungai berupa lempung, pasir, kerikil dan bongkah batuan beku serta kwarsit. Satuan batuan ini terendapkan di sepanjang sungai Batanghari dan anak-anak sungainya berumur Holosen. A. GEOMORFOLOGI LOKAL Bentang alam DAS Batanghari secara umum dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yang dominan, yaitu: 1). lithologi, 2). struktur, 3). stadia daerah, dan 4). tingkat erosi. Berdasarkan keempat hal tersebut, maka penentuan satuan morfologi wilayah dilakukan dengan pendekatan sistem Desaunettes yang didasari pada besarnya kemiringan lereng dan beda tinggi relief suatu tempat. Dari sistem tersebut dapat diketahui bahwa daerah sepanjang Batanghari terbagi atas 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu : 1. Satuan morfologi dataran, mempunyai kemiringan lereng antara 0–2%. Daerah-daerah yang mempunyai morfologi dataran antara lain Desa Taratak, Koto Tuo, Siguntur, Kawasan Pulau Sawah, Sungai Dareh, Siluluk, Rambahan, Pulau Punjung, Sitiung, dan sebagian Sungai Langsat. Bentang lahan yang demikian banyak dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan, pertanian, serta perkampungan. Pada morfologi dataran ini terletak situs Candi Padangroco, sekitar 5 (lima) km arah hilir Batanghari dari Kawasan Pulau Sawah. Satuan batuan yang menyusun morfologi dataran adalah aluvium sungai yang berupa lempung, pasir, kerikil, bongkah batuan beku serta kwarsit; undak sungai berupa kerikil, pasir lempung kebiruan di dalam masa dasar pasir abu-abu hijau; batuan intrusi berupa granit bersusun leuco-granit hingga monzoit kwarsa; anggota filit dan Serpih Formasi Kuantan dengan batuan serpih dan filit. 2. Satuan Morfologi Bergelombang Lemah, mempunyai kemiringan lereng antara 2–8 %. Satuan morfologi ini merupakan vegetasi hutan dataran rendah yang tidak lebat, dengan sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai ladang perkebunan karet. Sebagian kecil Kawasan Pulau Sawah termasuk dalam satuan morfologis ini. Satuan batuan yang menyusun morfologi bergelombang lemah adalah Aluvium sungai yang berupa lempung, pasir, kerikil, bongkah batuan beku serta kwarsit; Undak sungai berupa MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[3]
bongkah kerikil, pasir lempung kebiruan di dalam masa dasar pasir abu-abu hijau; Anggota bawah Formasi Telisa dengan batuan napal lempungan berlensa rijang hitam, batu pasir lignit, breksi andesit, dan batu pasir glaukonit; Batuan intrusi berupa granit bersusun leucogranit hingga monzonit kwarsa; Anggota Bawah Formasi Kuantan dengan batuan kwarsit, batupasir bersisipan filit, batusabak terkersikkan, serpih, batuan gunungapi, tufa klorit, konglomerat, dan rijang. 3. Satuan Morfologi Bergelombang Kuat, mempunyai kemiringan lereng antara 8–16 % dan berupa hutan dengan vegetasi yang rapat antara lain berupa pohon jenis meranti, berbukit-bukit dengan ketinggian paling rendah 200 m yang merupakan bagian dari Bukit Barisan (Barisan
Mountain). B. POLA ALIRAN SUNGAI Sungai Batanghari merupakan sungai terbesar di daerah ini dengan arah aliran timur– Sungai Batanghari yang barat. Anak-anak Sungai Batanghari adalah membelah Kabupaten Sungai Lolo dengan arah aliran tenggara– Dharmasraya baratlaut, Sungai Batangnila dengan arah aliran timur–barat, Sungai Penago dengan arah aliran utara–selatan, Sungai Kuko dengan arah aliran baratlaut–tenggara, Sungai Batangpangeang dengan arah aliran timur–barat, dan anak-anak sungai kecil lainnya yang belum diketahui namanya. Bentuk dan keadaan pola aliran sungai tersebut masuk dalam golongan sungai Dendritik dan Rectangular. C. STADIA GEOMORFOLOGI Stadia geomorfologi daerah ini ditentukan dengan melihat stadia sungai, bentuk perbukitan, serta keadaan lerengnya. Kawasan Pulau Sawah termasuk pada stadia Dewasa. Berdasarkan pada keadaan geomorfologis beserta aspek-aspek pendukungnya, maka keletakan situs-situs purbakala di DAS Batanghari berada pada satuan morfologi dataran, dengan pemilihan tempat pada wilayah yang relatif lebih tinggi dari dataran sekitarnya [4]
Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
agar terhindar dari limpahan atau genangan air sungai yang memasuki wilayah dataran banjir (flood plain). Kawasan Pulau Sawah terlihat berada di wilayah yang di kelilingi oleh sungai, baik sungai induk maupun anak sungai. Untuk Candi I dan III serta beberapa munggu di sekitarnya berada pada daerah dataran di sisi tenggara sampai Sungai Batanghari dengan kemiringan lereng relatif kecil, sementara pada sisi timur laut merupakan daerah lereng terjal yang langsung berhadapan dengan anak sungai Penago. Candi Pulau Sawah II berada di sisi barat (arah belakang masuk ke kawasan Pulau Sawah atau 300 m dari Candi I) dengan kondisi daerah yang makin meninggi ke belakang dan pada daerah tertinggi terletak Candi Pulau Sawah II. Lokasi Candi Pulau Sawah II berada sekitar 100 m dari jurang/lembah dan anak sungai Batanghari di sisi baratnya. Lebih lanjut kawasan Pulau Sawah berada pada kondisi wilayah yang telah banyak mengalami gangguan struktur geologi berupa patahan, sinklin, dan antiklin. D. IKLIM Provinsi Sumatera Barat terletak pada gugusan pegunungan Bukit Barisan (Barisan Mountain) di pantai barat Pulau Sumatera. Iklim di sebagian besar wilayah Sumatera Barat bertipe A+B (sangat basah hingga basah) dengan vegetasi menurut alam adalah hutan hujan tropika (Soekirno Hardjodinomo, 1980: 41). Tipe hujan tipe Af dengan hujan terus menerus sepanjang tahun hujan pada bulan terkering 60 mm. Musim hujan jatuh pada Bulan November dan April dengan curah hujan tertinggi pada Bulan November. Tempat-tempat yang terletak di lereng Bukit Barisan yang menghadap arah Barat (exposure) memperoleh hujan terbesar, yaitu tidak kurang dari 4000 mm setahun. Sementara itu tempat-tempat yang terlindung di balik bukit seperti Solok, Singkarak, dan Muara Labuh curah hujan ratarata tahunannya lebih kurang 1600 mm dan merupakan jumlah curah hujan terkecil di Provinsi Sumatera Barat. Daerah-daerah di sebelah timur propinsi ini curah hujannya semakin berkurang, dengan curah hujan pada daerah-daerah Payakumbuh, Batusangkar, dan Sawahlunto/Sijunjung rata-rata tahunannya kurang dari 2500 mm. Hal ini menyebabkan masa segar (growing period) bagi tumbuh-tumbuhan bukan masalah, terlebih dengan adanya maksimum hujan kembar (November dan April), sehingga pantai Timur Sumatera cukup subur. MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[5]
Laporan Berlage HP tahun 1894–1941 mengenai curah hujan yang diwakili oleh penakar Sawahlunto, tercatat bahwa curah hujan rata-rata per tahun 185 mm, curah hujan terendah 71 mm pada Bulan Februari dan tertinggi 273 mm pada Bulan April. Dari data iklim di Indonesia diketahui temperatur udara yang tercatat di stasiun penakar Tabing–Padang memperlihatkan temperatur udara rata-rata 260 C dengan nilai kisaran 25,20–26,80 C sepanjang tahunnya. Temperatur terendah jatuh pada Bulan November, yaitu 25,20 C dan temperatur tertinggi pada Bulan April, yaitu 26,80 C. Dari data curah hujan serta temperatur udara tersebut, wilayah DAS Batanghari termasuk dalam tipe Iklim Kering Tengah Tahun (Mid Year Dry Climate) dengan curah hujan rata-rata per tahunnya kurang dari 2500 mm. E. FLORA DAN FAUNA E.1. Jenis-jenis Flora Pengumpulan data ekologi vegetasi di kawasan DAS Batanghari bertujuan untuk mengetahui tipe ekosistem masa kini sebagai perbandingan di dalam menentukan tipe ekosistem masa lalu, yaitu pada waktu tinggalan arkeologi berupa struktur bangunan bata dan artefak lainnya dipakai. Memperhatikan ketinggian daerah yang hanya di bawah 80 m dari permukaan air laut (dpl) dan curah hujan yang kurang dari 2500 mm pertahun serta tingkat keragaman jenis tumbuhan hayati yang cukup tinggi ditemukan di lapangan dengan ciri umum seperti daun yang kecil dengan ujung meruncing, batang lurus dengan kulit yang licin, pohon berbanir serta terdapatnya jenis saprophit yang hidup pada pohon dan berbagai macam jenis liana yang hidup di kawasan ini, maka lingkungan vegetasi kawasan Pulau Sawah masuk dalam lingkungan vegetasi “Hutan Dataran Rendah”. Hal ini dapat diketahui dengan adanya tumbuh-tumbuhan pemanjat pohon yang tinggi dan bulat serta mempunyai kulit yang licin. Sementara itu, daun-daun mempunyai pinggiran yang licin dengan ujung meruncing pada umumnya ditemukan pada pohon-pohon muda yang terdapat di bawah lapisan tajuk pohon terbawah (Anwar, dkk., 1984). Secara umum telah dapat diketahui jenis-jenis tumbuhan yang hidup di kawasan DAS Batanghari dan sekitarnya serta keberada-
[6]
Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
annya dengan lingkungan alamnya. Jenis-jenis tumbuhan yang ada di kawasan DAS Batanghari pada umumnya terdiri dari: 1. familia Moraceae, yaitu nagka/cubadak (Artocarpus integra); 2. famili Arecaceae, yaitu kelapa (Cocos nucifera), pinang (Areca catechu), karet (ficus elastica) dan enau (Arenga pinnata); 3. familia Anacardiaceae, yaitu mangga (Mangifera indica), bacang (Mangifera foetida), dan kwini (Mangifera odorata); 4. familia Euphobiaceae, yaitu kapundung (Baccaurea racemosa); 5. familia Cluciaceae, yaitu manggis (Garcinia mangistana); 6. familia Bombacaceae, yaitu kapuk randu/kapeh (Ceiba petandra) dan durian (Durio zibethinus); 7. familia Rutaceae, yaitu jeruk manis (Citrus aurantium); 8. familia Musaceae, yaitu pisang (Musa paradisiaca); 9. familia Fabaceae, jengkol (Pithelecobium jiringa); 10. familia Rubiaceae, yaitu kopi (Coffea arabica); 11. familia Sapindaceae, yaitu rambutan (Nephelium lappaceum); 12. familia Meliaceae, yaitu duku (Lansium domecticum); 13. familia Annonaceae, yaitu srikaya (Annona squamosa), sirsak (Annona muricata), kenanga (Cananga odorata); 14. Tanaman dari familia Zingiberaceae, Graminae, Piperaceae, dan familia Malvaceae, tanaman semak belukar rumput-rumputan; 15. familia Lytheraceae, yaitu bungur (Lagerstroemia flosregina),
Leguminoceae, Myrtaceae 16. familia Pandanaceae, yaitu pandan (Pandanus sp.) 17. familia Dipterocarpaceae, yaitu meranti (Shorea sp.), dan 18. familia Cyperaceae. Dengan berdasarkan pada ketinggian daerah dan curah hujan serta melihat jenis-jenis tanaman yang mencirikan tipe ekosistem tertentu, maka kawasan DAS Batanghari termasuk dalam ekosistem
“Hutan Dipterocarpaceae Campuran”. E.2. Jenis-jenis Fauna Kawasan Purbakala DAS Batanghari merupakan kawasan terbuka yang telah lama dijadikan sebagai lahan perkebunan penduduk Siguntur. Dengan budidaya tanaman karet, kopi, dan jeruk pada akhirnya menarik perhatian beberapa jenis binatang yang senang akan tanaman tersebut. Di samping jenis-jenis burung/unggas seperti barabah (ketilang), cicilak (prenjak/ciblek), balam, nggai
udang, burung daun, bubuik, murai kampung, toguk-toguk, togunMENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[7]
togun, elang, emprit, tugang (kasari), kuao (enggang), kalong, dan sebagainya juga banyak ditemui jenis-jenis binatang mamalia seperti
cigak (kera), simpai (simpanse), cingkuk, ungko (siamang), kondiek (babi hutan), kukang (pukang), kanciu (kancil), kijang, ruso(rusa), dan jenis binatang melata berupa ular, biawak, cecak padang, bingkaruang (kadal), dan sebagainya. Sementara jenis-jenis ikan yang ada di Sungai Batanghari lebih dari 100 jenis ikan antara lain ikan bersisik bulat dan putih seperti masai, salimang, pawai,
montolu, mangun, kapiek, lampam, popang, arang, soma, pantau, baro, dan sebagainya. Jenis ikan yang bersengat antara lain ngongai, baung, nginggiu, yiuyiu, paten, tapa, baungmurai, lopu, dan sebagainya. Jenis ikan bergerigi di punggungnya seperti sepatung, kalui, tali-tali, tilan, dan sebagainya.
Vegetasi di sekitar Sungai Batanghari
[8]
Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
2.
Kerajaan Sriwijaya dan Melayu
Kerajaan Sriwijaya dan Melayu (Moloyu) merupakan penguasa di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batanghari sejak mulai hilir (Jambi) sampai daerah hulu (Sumatera Barat), mulai abad VII sampai abad XIV M. Penguasaan antara 2 (dua) kerajaan tersebut silih berganti dan saling mendominasi antara satu dengan lainnya. Nama Melayu pertama kali disebutkan di dalam kitab Sejarah Dinasti T’ang (VII–X M) yang memberitakan tentang datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu pada tahun 644–645 M. Toponim Molo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, dengan pusatnya sekitar Jambi. Pada tahun 672 M, dalam perjalanannya dari Kanton (Cina) ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskrta. Dalam perjalanan itu, I-tsing singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke India. Pada tahun 692 M, ketika untuk kedua kalinya ia datang ke Mo-lo-yeu, dikatakan bahwa Mo-lo-yeu sudah menjadi negeri Shih-lifo-shih (Bambang Sumadio, 1974: 53). Disebutnya Melayu sudah menjadi Sriwijaya mungkin beberapa tahun sebelum I-tsing kembali dari India, yaitu sesudah tahun 685 M. Berdasarkan pada Prasasti Kota Kapur tahun 686 M, menunjukkan bahwa ekspansi yang dilakukan oleh Sriwijaya kemungkinan yang menjadi sasarannya adalah Malayu. Demikian pula Prasasti Karang Berahi yang menurut N.J. Krom diperkirakan berasal dari tahun 686 M, menunjukkan adanya penaklukan Malayu oleh Sriwijaya (Krom, 1931: 117). Namun demikian, pengertian penaklukan dimaksud bukan berarti adanya penguasaan penuh, melainkan sebagai hubungan antara maharaja (overloard) terhadap raja pemberi upeti (tributery kingdom). Hal itu sesuai dengan kedudukan ibukota kerajaan Sriwijaya sebagai citystate yang memerlukan pendapatan dari pajak-pajak dan upeti-upeti dari perdagangan internasional atau dari masyarakat rakyat kerajaan (Uka Tj. Sasmita, 1992: 315). J.G. de Casparis berpendapat bahwa Sriwijaya dan Malayu merupakan dua nama yang berbeda dari kerajaan yang sama atau tingkat kesejarahannya yang berbeda. Malayu sebelum ± 680 M, sedangkan Sriwijaya dari mulai tahun itu sampai pertengahan atau akhir abad ke-11 M. Dari mulai abad itu, kembali Malayu yang menguasai sampai sekitar tahun 1400 M, ketika peranannya sebagai penguasa maritim Indonesia bagian barat dan Malaysia mulai digeser MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[9]
oleh Malaka. Pada awal abad XI, Malayu berkuasa dengan ibukotanya berada di Chanpei (Jambi), sehingga kadangkala penyebutan ‘San-fo-ch’i’ pada masa itu identik dengan nama Jambi. Utusan-utusan dari Jambi ke Cina terjadi pada tahun 1079 M, 1082 M, 1084 M, 1090 M, dan 1094 M. Pengiriman ini terjadi pada saat Jambi menjadi pusat ibukota kerajaan Malayu, untuk menunjukkan bahwa Jambi atau ‘San-fo-ch’i’ sudah lebih berkuasa sebagai maharaja di bagian Sumatera. Pengiriman ini pada dasarnya bersifat politis, yaitu untuk mendapatkan pengakuan dari Cina. Hubungan ini akhirnya menghasilkan pengakuan dari Cina pada tahun 1156–1178 M, yang oleh Cina, penguasa Jambi dianggap sebagai ‘Raja San-foch’i’. Utusan Jambi yang terakhir terjadi pada tahun 1178 M (Uka Tj. Sasmita, 1992: 320). Berita Cina yang berasal dari masa Dinasti Song (960–1279 M) memberikan pemberitaan yang sama dengan menyebutkan tentang adanya sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama San-fo-t’si. Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di laut selatan di antara Chenla (Kamboja) dan Shepo (Jawa). Ibu kota kerajaan tempat raja bersemayam terletak di Chanpi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di tepian sungai, sedangkan para pejabat kerajaan berdiam di daratan. Atap rumah tinggal di rakit-rakit dibuat dari ilalang (Hirth dan Rockhill, 1967: 62) Dari berita Cina yang berbeda waktunya, dikenal adanya 2 (dua) nama untuk penyebutan kerajaan di Sumatera, yaitu Shih-li-foshih dan San-fo-t’si. Shih-li-fo-sih diketahui oleh para sejarawan dan arkeolog sebagai nama kerajaan Sriwijaya sebelum abad IX M dengan pusatnya di Palembang. Setelah Sriwijaya memindahkan ibu kotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-t’si (Bambang Budi Utomo, 1992: 181). Kesinambungan hubungan antara Jambi dengan Cina pada masa akhir Dinasti Song mungkin dapat dikaitkan dengan adanya penemuan gong perunggu bertulisan Cina yang ditemukan di Candi Kembar Batu, Muara Jambi, Provinsi Jambi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa : “Tahun keempat dari amsa pemerintahan Shaoting (1231), bulan ketujuh, hari keduapuluh empat (atau duapuluh delapan = 23 Agustus 1231 atau 27 Agustus 1231), ketika Menteri Hung ditunjuk mengurusi urusan dalam (dari ibukota atau propinsi) ia memperoleh dua buah gong besar dari perunggu untuk gudang persenjataan” (Wolter, 1983: 61).
Selain temuan gong tersebut, juga ditemukan sejumlah pecahan keramik di candi-candi di kawasan Muara Jambi, dan juga [10] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
di sepanjang DAS Batanghari di wilayah Sumatera Barat, yang diperkirakan berasal dari Dinasti Sung, abad XI M. Penguasaan Malayu di daerah Jambi pada masa-masa berikutnya kemudian mulai berpindah ke arah hulu, yaitu di wilayah Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Dharmasraya (pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung). Survei yang dilakukan para pakar sejarah, arkeologi, dan keramologi menunjukkan bahwa semakin ke arah hulu, maka pertanggalan data arkeologis, sejarah, dan keramik semakin muda.
3.
Kerajaan Melayu di Dharmasraya
Dari berita Cina yang ditulis I-tsing disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Kerajaan Melayu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya (Groenevelt, 1960). Antara kedua kerajaan ini terjadi persaingan dan saling mendominasi satu dengan yang lain. Suatu saat, ketika Sriwijaya lengah, Melayu bangkit kembali dengan mengirimkan utusannya ke Cina. Sebagai contoh, pada sekitar pertengahan abad XI M, ketika kerajaan Sriwijaya melemah karena serangan Kerajaan Cola, Melayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055–1100 M), Pangeran Suryanarayana di Malayapura (Malayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnapura (Sumatera) (Wolters, 1970: 92–92). Malayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting pada masa itu, dan eksistensinya diakui oleh berbagai kerajaan, tidak hanya di nusantara tetapi juga sampai ke negeri seberang. Eksistensi tersebut juga diakui oleh Kerajaan Majapahit, kerajaan yang cukup besar pada masa itu di Jawa, seperti tertulis dalam Naskah Nagarakrtagama. Naskah Nagarakrtagama merupakan karya sastra yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M, pada masa Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M) dari kerajaan Majapahit. Kitab sastra ini nama aslinya adalah “Desawarnnana” (Poerbatjaraka, 1914: 194), yang berarti “uraian tentang desa-desa”. Sesuai dengan namanya, sebagian besar isinya menguraikan kisah perjalanan Hayam Wuruk ke daerah-daerah wilayah Kerajaan majapahit. Selain itu, di dalamnya juga diuraikan mengenai keadaan ibu kota Majapahit, keluarga raja-raja Majapahit, dan susunan pemerintahan pada masa Hayam Wuruk (Hasan Djafar, 1978: 10). Di samping itu, di MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[11]
dalam naskah tersebut diuraikan pula kerajaan-kerajaan bawahan Majapahit, yang tersebar di hampir wilayah nusantara sekarang. Di dalam Pupuh XIII: 1 dan 2 disebutkan : 1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dahulu malayu, jambi, dan palembang, karitang, teba, dan dharmasraya pun juga ikut disebut, kandis, kahwas, manangkabwa, siyak, rekan, kampar, dan pane, kampe, haru, dan mandahiling juga, tumihang, parlak, dan barat. 2. Lwas dengan samudra dan lamuri, batan, lampung, dan barus. Itulah terutama negara-negara melayu yang telah tunduk. (Bambang Budi Utomo, 1992: 182).
Dari naskah di atas, jelas menunjukkan bahwa Malayu merupakan salah satu kerajaan taklukan Majapahit yang cukup penting, sehingga perlu disebutkan paling awal. Daerah kekuasaan Kerajaan Malayu meliputi hampir seluruh daratan Sumatera, dengan daerah ‘bawahan’ antara lain: Jambi, Dharmasraya, Kandis, dan Minangkabwa yang berlokasi di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari (Bambang Budi Utomo, 1992: 182). Karena Jambi disebutkan pertama, Jambi merupakan tempat yang sangat penting pada saat itu dan bukan lagi sebagai pusat (ibu kota) kerajaan. Pada masa Raja Krtanegara dari Kerajaan Singasari, pusat pemerintahan kerajaan Melayu sudah berada di Dharmasraya. yang lokasinya berada di bagian hulu Batanghari (sekarang di daerah Rambahan, Kabupaten Dharmasraya). Perubahan pusat pemerintahan tersebut dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik/alas kaki Arca Amoghapasa. Alas kaki tersebut ditemukan di Padangroco, Sei Langsek (Jorong Sei Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung) sementara Arca Amoghapasa sendiri ditemukan di situs Rambahan (Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulau Punjung, KecaArca Amoghapasha yang ditemukan di matan IV Koto Pulau Punjung). Prasasti Dharmasraya Rambahan dengan ditulis dalam huruf Jawa Kuna, dengan bahasa Melayu prasasti Dharmasraya, yang dipahatkan pada Kuna dan Sanskrta. Prasasti ini dipahatkan dalam emalas arca berangka pat baris tulisan pada ketiga sisi alas arca (Hasan tahun 1286 M. Jafar, 1992: 57). Isi prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M) sebuah Arca
[12] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
Amoghapasa dengan keempat belas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhumi Jawa ke Suwarnnabhumi untuk ditempatkan di Dharmasraya sebagai punya Sri Wiswarupakumara: “… b. nan tatkala paduka bharala aryyamoghapasa lokeswara caturdasatmika saptaratnasahista diantuk c. dari bhumi jawa ka swarnabhumi dipratistha di Dharmasraya…” Pejabat yang diperintah oleh Raja Krtanegara untuk mengiringi Arca Amoghapasa tersebut adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan Rakryan Dmung pu Wira. Seluruh rakyat Melayu dari keempat kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra) bersuka cita, terutama rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Arca Amoghapasa yang dikirim tersebut kemudian ditemukan di situs Rambahan, sedangkan alas arcanya ditemukan di Padangroco, Sei Langsek sekitar 5 km arah hilir Batanghari. Baik arca maupun alas kakinya sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta. Dari data Prasasti Dharmasraya dapat diketahui bahwa Arca Amoghapasa yang dikirim dari Krtanegara sebagai tanda persahabatan tersebut kemudian didirikan di Dharmasraya, suatu tempat yang sangat penting artinya, yang kemungkinan adalah pusat (ibu kota) pemerintahan dengan rajanya bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Sejarah Kerajaan Melayu pada masa Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa hanya sebatas data Prasasti Dharmasraya 1286 M, selanjutnya pada tahun 1347 M, Raja yang memerintah di Kerajaan Melayu berubah ke tangan Sri Maharajadiraja Adityawarman, yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayadityawarman. Data ini dapat diketahui berdasarkan pada prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim Krtanegara untuk Raja Melayu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Dari catatan sejarah dan naskah Jawa Kuna, diketahui bahwa Adityawaman merupakan keturunan kerajaan Melayu dari seorang ibu Melayu bernama Dara Jingga dan seorang bangsawan Kerajaan Singasari (Jawa) bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma adalah pejabat dari Kerajaan Singasari yang dikirim Krtanegara untuk mengiringi pengiriman Arca Amoghapasa ke Suwarnabhumi. AdwayabrahMENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[13]
ma muncul pula dalam Prasasti Kuburajo I yang ditemukan di Lima Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar. Prasasti Kuburajo I dipahatkan pada batu persegi dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sanskrta, yang antara lain menyebutkan: “Adwayawarmma mputra kanakamedinindra” yang berarti Adwayawarma yang berputra Raja Tanah Emas. Adwayabrahma dapat diidentifikasikan sebagai Adwayawarman. Tanah Emas (kanakamedini) identik dengan Swarnnabhumi atau swarnnadwipa yang mengacu pada arti tanah emas. Dengan demikian sebutan raja tanah emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman. Adityawarman juga pernah mucul di masa Kerajaan Majapahit, disebutkan dalam prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri di Candi Jago (Jawa Timur). Menurut beberapa sarjana, prasasti ini mempunyai ciri Prasasti Kuburajo I dan gaya sama dengan tulisan-tulisan yang berada di Lima Kaum Batusangkar di daerah Sumatera pada masa Adityawarman. yang menyebut nama Dengan demikian, diperkirakan prasasti dari Arca Adwayawarman sebagai Manjusri ini ditulis oleh Adityawarman sendiri pada ayah Adityawarman tahun 1343 M (Casparis, 1992: 248). Isi yang terkandung di dalam prasasti ini menyebutkan Adityawarman, yang menjabat sebagai Menteri Wreddaraja, membangun (memperbaiki) sebuah candi yang diperuntukkan bagi keluarganya. Di dalam prasasti ini juga, Adityawarman menyebutkan tentang tokoh Rajapatni, anak Krtanegara yang kemudian dijadikan istri Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit). Dengan demikian, sebelum Adityawarman menjadi Raja di Melayu, dia menjabat sebagai menteri wreddaraja pada masa kerajaan Majapahit. Kemudian pada tahun 1347 M, Adityawarman telah berada di Kerajaan Melayu di DAS Batanghari dengan menyebut sebagai seorang Maharajadiraja Adityawarman. Sesudah Prasasti Amoghapasa 1347 M ini, kerajaan Melayu (Dharmasraya) berpindah pusat pemerintahan ke arah pedalaman, yaitu di daerah Kabupaten Tanah Datar sekitarnya. Menurut Casparis, perpindahan pusat kerajaan ini dilakukan oleh Akarendrawarman, pendahulu Adityawarman, dari DAS Batanghari ke daerah Saruaso sekarang (Casparis, 1992: 239). [14] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
4. Antara Dharmasraya, Melayu, dan Swarnnabhumi Dalam berita-berita prasasti, nama kerajaan yang menguasai wilayah DAS Batanghari antara Jambi dan Sumatera Barat dikenal dengan nama Malayu atau Malayupura. Sementara dari berita Cina, Melayu dikenal dengan sebutan mo-lo-yeu, seperti ditulis dalam catatan I-tsing. Berita pertama yang berkaitan dengan nama kerajaan Malayu atau Malayupura disebutkan dalam Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada alas Arca Amoghapasa berangka tahun 1286 M. Prasasti ini ditulis dalam 4 (empat) baris tulisan pada ketiga sisi alas Arca Amoghapasa. Di dalam prasasti disebutkan bahwa seluruh rakyat bhumi Malayu bersuka cita menyambut kedatangan Arca Amoghapasa dari bhumi Jawa. Lebih lanjut di dalam Prasasti Dharmasraya disebutkan 3 (tiga) nama daerah, yaitu: Suwarnnabhumi, Dharmasraya, dan (bhumi) Malayu. Untuk lebih jelas mengenai penyebutan nama daerah tersebut, perlu dikutip sebagian transkripsi prasasti Dharmasraya, sebagai berikut (N.J. Krom, 1916: 326): 2. a. ..... b. nan tatkala paduka bharala aryyamoghapasa lokeswara caturdasatmika saptaratnasahista diantuk c. dari bhumi jawa ka swarnabhumi dipratistha di Dharmasraya. 3. …....... 4. b. kunang punyeni yogja dianumodananyjaleh sakapraja di bhumi malayu, brahmana ksatrya waisya sudra, a c. ryyamaddhyat….
Pada baris ke dua menyebutkan bahwa Arca Amoghapasa dibawa dari bumi Jawa ke Swarnabhumi dan didirikan di Dharmasraya. Berdasarkan pada kalimat di atas menunjukkan bahwa Swarnabhumi merupakan sebutan untuk wilayah yang luas (umum), sedangkan Dharmasraya merupakan daerah yang lebih kecil dan berada di dalam wilayah Swarnabhumi. Toponim Swarnabhumi sering ditemukan di dalam prasasti-prasasti masa Adityawarman (1347–1375 M), yang menunjukkan sebutan untuk sebuah wilayah kerajaan, seperti disebutkan dalam Prasasti Pagaruyung I (1356 M), yang berada di Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar, pada baris ke9: “9. lmah jirnnapadasaptasvarnnabhumi//…, dan seterusnya. Kata Swarnnabhumi terdiri dari dua kata swarnna yang berarti emas, dan bhumi yang berarti tanah, sehingga arti swarnnabhumi adalah tanah emas. Kata dengan arti yang sama dapat ditemukan di dalam Prasasti Kuburajo, tanpa tahun dari raja Adityawarman, yang MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[15]
menyebutkan kanakamedini (baris 3 dan 4), yang terdiri dari kata kanaka (emas) dan medini (tanah), yang merujuk pada arti tanah emas. Beberapa sarjana berasumsi bahwa pengertian swarnabhumi adalah sebutan untuk Pulau Sumatera pada masa itu. Sementara nama Malayu atau Malayupura juga disebutkan di dalam Prasasti Dharmasraya baris ke-4 dan Prasasti Pagaruyung yang menyebut malayupura dan Prasasti Amoghapasa (1347 M) yang menyebut ‘malayapurahitartthah (yang memperhatikan keselamatan kota malaya)’ (Casparis, 1992: 242). Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Malayu atau Malayupura merupakan nama kerajaan sejak abad VII sampai dengan masa Adityawarman (abad XIV M), yang berkuasa dari mulai Jambi sampai daerah Sumatera Barat. Adapun nama Dharmasraya muncul hanya sekali di dalam Prasasti Dharmasraya tahun 1286 M, sebagai nama daerah atau lokasi tempat didirikannya Arca Amoghapasa. Dari berita prasasti tersebut dapat diperkirakan bahwa Dharmasraya merupakan daerah yang cukup ramai dan penting pada masa itu, sehingga Arca Amoghapasa yang dikirim Krtanegara sebagai tanda persahabatan dengan Tribhuwana Mauliwarmadewa (Raja Melayu pada tahun itu) perlu didirikan di Dharmasraya. Pendirian Arca Amoghapasa di Dharmasraya tentunya dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut cukup ramai dan dapat dikunjungi atau diperhatikan oleh sebagian besar penduduk kerajaan Melayu, dan tentunya dekat dengan tempat tinggal raja. Lebih lanjut pada akhir prasasti disebutkan bahwa semua penduduk dari 4 (empat) kasta, yaitu Arya, Brahmana, Waisya, dan sudra bersuka cita menyambut kedatangan (dan pendirian) Arca Amoghapasa di Dharmasraya. Lokasi yang demikian hanya dimungkinkan kalau lokasi tersebut (Dharmasraya) merupakan pusat pemerintahan atau ibu kota kerajaan Melayu. Kota Dharmasraya yang dianggap mempunyai peranan penting dan sebagai ibu kota kerajaan Melayu dapat pula ditelusuri dari naskah kuno Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M. Di dalam kitab tersebut dijelaskan: Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dahulu malayu, jambi, dan palembang, karitang, teba, dan dharmasraya pun juga ikut disebut, kandis, kahwas, manangkabwa, siyak, rekan, kampar, dan pane, kampe, haru, dan mandahiling juga, tumihang, parlak, dan barat.
Dari apa yang tertulis dalam naskah tersebut menunjukkan bahwa Dharmasraya dianggap daerah yang cukup penting, tidak [16] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
saja bagi kerajaan Melayu, tetapi juga bagi kerajaan Majapahit. Dalam versi di atas, Dharmasraya masih merupakan negara bawahan kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1365 M, pada saat kitab sastra tersebut ditulis oleh Mpu Prapanca. Berdasarkan pada data prasasti yang ditemukan di daerah Batanghari (Sumatera Barat) maupun di daerah Tanah Datar, pada tahun 1365 M, pusat pemerintahan kerajaan Melayu sudah berada di daerah Tanah Datar. Menurut J.G. de Casparis, ibukota Kerajaan Melayu mengalami beberapa kali perpindahan, yaitu dari Muara Jambi ke Sei Langsek, baru kemudian ke daerah Tanah Datar, yaitu di Saruaso (Casparis, 1992: 243). Dengan demikian, Dharmasraya seperti disebutkan oleh Mpu Prapanca, mungkin pada saat itu sudah bukan ibu kota kerajaan Melayu, tetapi sebuah daerah yang mungkin berperan penting dari sisi sumberdaya alamnya yang cukup banyak dan sebagai pemukiman biasa. Berdasarkan pada uraian di atas, maka kota Dharmasraya pada tahun 1286 telah menjadi pusat pemerintahan atau ibukota kerajaan Melayu sampai dengan tahun 1347 M, tahun terakhir masa pemerintahan Adityawarman, yang didasarkan pada Prasasti Pagaruyung III Prasasti Amoghapasa 1347 M. Pada tahun yang di Gudam, Batusangkar sama, kemungkinan Adityawarman sudah berada di daerah Tanah Datar, sesuai dengan pertanggalan yang ditulis dalam Prasasti Pagaruyung III. Prasasti Pagaruyung III ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bahasa Sanskrta, yang isinya hanya menyebut pertanggalan dalam bentuk Candrasengkala, yaitu kalimat yang susunan katanya dapat diartikan sebagai suatu angka. Candrasengkala tersebut berbunyi: “Dware rasa bhuje rupe gatau warsascay karttike suklah pancatithis some bajrendra i... (Pada tahun Saka 1269 yang telah lalu pada bulan Kartika saat paro (bulan) terang tanggal 5 hari Senin dalam yoga Bajra dan Indra). Pertanggalan prasasti di atas dalam bentuk Candra Sengkala, yaitu Dware Rasa Bhuje Rupe. Dware bernilai 9, Rasa = 6, Bhuje = 2, dan rupe = 1, dibaca dari belakang 1269 Saka atau 1347 M. Jadi prasasti tersebut dikeluarkan pada hari Soma tanggal 15 suklapaksa (bulan terang) atau tanggal 8 Oktober l347 M (Damais, 1952 : 102– MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[17]
103; 1955: 209). Kalau diperkirakan prasasti ini ditulis oleh Adityawarman, kemungkinan tanggal tersebut merupakan prasasti peringatan saat Adityawarman masuk ke daerah Tanah Datar. Selanjutnya beberapa prasasti yang menyebut nama Adityawarman dan angka tahunnya terakhir adalah Prasasti Saruaso I berangka tahun 1375 M. Isi yang terkandung dalam prasasti ini menunjukkan Adityawarman ditasbihkan sebagai Jina dengan nama Wisesadharani. Pentasbihan dirinya sebagai seorang Buddha menunjukkan bahwa Adityawarman telah meninggalkan posisinya sebagai raja dan kemudian mulai menjalani masa tuanya dengan menjadi seorang pendeta (lengser keprabon madeg pandito). Prasasti ini merupakan prasasti termuda dan terakhir yang ditemukan dari masa pemerintahan Raja AdityaPrasasti Saruaso I warman. Dengan demikian, Adityawarman memeberangka th. 1375, rintah di daerah Tanah Datar mulai tahun 1347 sampai prasasti termuda/ terakhir dari masa dengan 1375 M. Dharmasraya sebagai nama suatu daerah Adityawarman. mempunyai makna yang cukup prestise, berwibawa, dan mempunyai nilai hukum dan sosial yang cukup tinggi apabila dikaji dari sisi semantiknya. Dharmasraya berasal dari 2 (dua) kata, yaitu Dharma dan asraya. Penggabungan vokal a pada akhir kata depan dan awal kata belakang luluh menjadi hanya satu vokal a panjang (ditandai dengan garis horisontal di atas huruf a), sehingga dharma asraya berubah menjadi dharmasraya. Kata Dharma berarti hukum; kebiasaan, tata cara atau tingkah laku yang ditentukan oleh adat, kewajiban; keadilan; kebajikan, kebaikan, adat sopan santun, agama, pekerjaan baik; hukum atau doktrin buddhisme; bentuk atau keadaan kenyataan yang jelas; tabiat, pembawaan, watak, karakter, sifat dasar, sifat khas, khasiat, ciri. Adapun kata asraya berarti tempat segala sesuatu bergantung atau terletak; tempat duduk; tempat perlindungan; pertolongan, bantuan, perlindungan; dan sebagainya (P.J. Zoetmolder, 1982: 70). Dengan demikian Dharmasraya dapat diartikan sebagai (daerah/kota) yang berdasarkan (bergantung) pada hukum dan aturan. [18] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
5. Lokasi Dharmasraya Kota Dharmasraya yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan ibukota kerajaan Melayu mulai tahun 1286 (dan mungkin beberapa tahun sebelumnya) sampai dengan tahun 1347 M telah diakui oleh para sarjana sejarah dan arkeologi. Namun sampai saat ini, belum banyak yang mengungkapkan tentang lokalisasi Dharmasraya itu sendiri. Bambang Budi Utomo (1992: 187) menyebutkan bahwa pusat kerajaan Melayu pada mulanya berlokasi di sekitar Jambi, di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar abad ke-13 M di sekitar Rambahan. Sementara J.G de Casparis menyebutkan bahwa pusat pemerintahan kerajaan Melayu adalah di Sei Langsek (Casparis, 1992: 243). Data penting yang dapat dipakai untuk melacak lokasi pusat pemerintahan Dharmasraya, dapat ditelusuri dari Arca Amoghapasa. Arca Amoghapasa yang dikirim Krtanegara untuk Raja Tribhuwana Mauliwarmadewa kemudian didirikan di Dharmasraya. Arca tersebut kemudian ditemukan secara terpisah dengan alas/lapik arcanya itu sendiri. Arca Amoghapasa ditemukan di daerah Rambahan, sementara lapiknya sendiri ditemukan di Sei Langsek (Sei Langsek), sementara pada saat pengiriman arca dari Jawa, kemungkinan arca dan lapik menjadi satu kesatuan yang kemudian didirikan di Dharmasraya. Permasalahan tentang lokasi Dharmasraya menjadi sedikit rumit, ketika arca Amoghapasa itu ditemukan terpisah satu dengan lainnya, satu di Rambahan dan satu lagi di Sei Langsek, sehingga menimbulkan pertanyaan, Dharmasraya di Rambahan atau di Sei Langsek? Arca atau lapik arcanya yang dipindahkan dari tempat aslinya? Pertanyaan kedua ini sangat penting mengingat keberadaan tempat asli antara arca dan lapik itulah yang dapat menjawab pertanyaan pertama. Kalau arcanya yang ditemukan di Rambahan itu masih dalam kedudukan aslinya (in situ), maka kemungkinan Rambahan dahulunya adalah Dharmasraya, tetapi kalau yang berpindah adalah arcanya, dan lapik arcanya berada tetap di tempat aslinya (Sei Langsek), maka Sei Langsek dahulunya adalah Dharmasraya. Berdasarkan pada tinggalan dan bukti yang ada pada kedua situs (daerah) tersebut, menunjukkan kedua situs sama-sama mempunyai kemungkinan sebagai kota Dharmasraya. Beberapa perbandingan dan kelebihan masing-masing situs dapat diuraikan sebagai berikut. MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[19]
A. Kawasan Padangroco Secara administratif, Situs Candi Padangroco terletak di Jorong Sei Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung. Secara geografis, situs ini terletak pada sebuah dataran pada ketinggian sekitar 160 m dpl dan terletak pada posisi 10 LS dan 1090 44’ BT. 1. Situs Candi Padangroco. Situs Candi Padangroco mempunyai tinggalan berupa candi sebanyak 4 ( empat) buah, yaitu Candi Padangroco I, II, III, dan IV. Candi Padangroco I merupakan Candi Induk dengan ukuran 21 m x 21 m dengan ketinggian struktur bata sekitar Candi Padangroco I 90 cm dan pada bagian tengah (bagian isian candi) (Candi Induk) pada sekitar 3 m. Bangunan induk ini mempunyai tangga saat pengupasan. Sekarang candi ini masuk/naik pada keempat sisinya dengan orientasi sudah selesai dipugar. baratdaya–timurlaut. Candi II merupakan candi yang terbuat dari konstruksi susunan bata, berdenah bujur sangkar, berukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi bangunan yang masih tersisa sekarang 1,28 m. Pintu masuk
dan tangga yang menjadi arah hadap terletak di sisi barat sehingga bangunan tersebut berorientasi ke baratdaya–timurlaut. Candi III merupakan bangunan dengan struktur bata, berdenah bujur sangkar terdiri dari 3 undakan. Undakan pertama terletak paling atas berukuran 2 x 2 m, dengan tinggi bangunan yang masih tersisa terletak di bagian selatan, terdiri dari 7 lapis bata, sedangkan Candi Padangroco IV masih berupa reruntuhan di sudut belakang Candi Padangroco II. [20] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
Candi Padangroco II sesudah dilakukan pengupasan dengan tangga di sisi depan (baratdaya mengarah ke Sungai Batanghari)
2. Parit keliling candi Situs Candi Padangroco pada dasarnya berada pada daerah dataran yang dilingkari oleh parit keliling dari arah barat menyambung ke utara dan berakhir di sisi timur. Kedua ujungnya bermuara ke Sungai Batanghari, tetapi bagian ujungujung ini sudah hampir rata dengan permukaan tanah sekarang, sehingga sulit dikenali lagi. Sementara parit sisi utara relatif masih dapat ditemukenali, sekalipun sebagian sudah menjadi jalan kerbau, tetapi baik parit maupun tanggulnya relatif masih baik. Jarak antara kedua ujung parit yang membujur utaraselatan kurang lebih 1000 m, sedangkan panjang ke arah utara berkisar 2000 m. Di sebelah utara parit bertemu membentuk sudut membujur timur–barat. Parit sebelah timur menembus kolam, yang sekarang menjadi sawah penduduk membujur baratlaut –tenggara, disebut ‘sawah tabek’. Pada awalnya sawah ini adalah rawa (payau) yang kemudian dimanfaatkan untuk persawahan dengan lebar sawah sekitar 20–40 m. Di ujung tenggara, kolam bercabang ke arah utara dan selatan membentuk huruf T. Di lokasi ini terdapat parit Arca Bhairawa yang yang mengarah ke timur, menuju bukit Giring, ditemukan di Sei Langsek, yang tinggi paritnya kurang lebih 176 cm di Kenagarian Siguntur sebelah timur Desa Koto Lamo di tepi kelokan diperkirakan sebagai arca perwujudan Raja Sungai Batanghari. Secara umum lebar parit Adityawarman antara 4–8 m dengan kedalaman 1–5 m. 3. Temuan keramik di sepanjang daerah pemukiman. Keramik dari berbagai masa dan daerah, tetapi lebih banyak didominasi keramik dari Cina, khususnya dari Dinasti Song (abad X–XIII M), Dinasti Ming (abad XVI– XVII M), dan Dinasti Ching (abad XVIII–XX M), serta keramik Eropa (abad XIX–XX M). 4. Lokasi Sei Langsek yang dekat dengan Sungai Batanghari dan relatif datar bagian permukaan (sesuai untuk pemukiman) dan tinggi dari permukaan air sungai Batanghari ± 160 m dari permukaan air laut (terhindar dari bahaya banjir). 5. Tempat ditemukannya Arca Bhairawa (sekarang di Museum Nasional). Arca dengan MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[21]
tinggi 4,4 m ini dianggap sebagai arca perwujudan Adityawarman sebagai seorang tantris, khususnya sebagai Bhairawa (Budha/Siwa dalam bentuk demonis/raksasa). Arca Bhairawa digambarkan dengan wajah yang seram (krodha=marah) memegang pisau pada tangan kanan dan mangkok pada tangan kiri. Arca ini berdiri di atas tumpukan tengkorak yang melambangkan suasan kuburan (ksetra). Beberapa ahli menganggap arca ini sebagai manifestasi aktivitas keagamaan aliran Tantra, yang dalam prosesinya mereka menari-nari di atas kuburan dengan sukacita, bermabuk-mabukan, yang diiringi dengan musik dan pada waktu tertentu melakukan penyembelihan korban (binatang) yang dipersembahkan bagi para dewanya. Pisau dan mangkok dapat dianggap sebagai simbol penyembelihan korban dan darahnya ditampung pada sebuah mangkok kemudian sebagian diminum. 6. Tempat ditemukannya alas/lapik Arca Amoghapasa (sekarang di Museum Nasional) 7. Arca-arca dan barang perunggu Beberapa arca atau artefak perunggu yang pernah ditemukan di situs Candi Padangroco antara lain arca perunggu Garudha menunggang seekor singa, tempat/alas lampu minyak, artefak perunggu berbentuk komet (bagian ujung bulat dengan ekor panjang di belakangnya). Artefak-artefak di atas sekarang disimpan di Ruang Koleksi Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar di Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar. B. Situs Rambahan 1. Situs Rambahan secara administratif berada di Jorong Lubuk Bulang, Kenagarian IV Koto Pulau Punjung, Kec. IV Koto Pulau Punjung Kab. Dharmasraya. Situs Rambahan merupakan daerah perbukitan yang berada di simpang antara Sungai Batanghari dengan Sungai Pingian, dengan ketinggian sekitar 50 m dari permukaan air sungai. Sebagian besar daerah ini telah sekitar ditanami dengan dominasi tanaman karet, yang baru diolah sekitar tahun 1988 oleh penduduk setempat. Tanah ini merupakan tanah ulayat Datuk Intan (73 th.) yang pengelolaannya diberikan kepada adiknya, Harun (52 tahun), sedangkan tanaman karetnya dikelola [22] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
oleh Sari Banun (48 tahun), ketiganya penduduk Lubuk Bulan. Jenis tanaman produktif lainnya yang tumbuh di daerah ini antara lain jengkol, duku, durian, rambutan, dan sebagainya. Perbukitan yang disebut oleh penduduk setempat sebagai bukik braholo (bukit berhala) memanjang kearah tenggara barat laut dengan bagian permukaan atas relatif datar. Bagian permukaan ini pada awalnya sengaja didatarkan dan kemudian dibagi dalam 2 (dua) bidang/bagian. Bagian Munggu di situs Bukik Braholo, yang pertama atau yang berada di ujung sisi tenggara kemungkinan lokasi merupakan situs/lahan yang dikelilingi oleh diletakkanya arca tanggul artifisial berbentuk persegi. Tanggul Amoghapasa artifisial ini rata-rata mempunyai lebar 5 m dan tinggi antara 5–50 cm, dengan ukuran panjang sisi tenggara yang berbatasan dengan jurang sepanjang 71 m, sisi timurlaut berbatasan dengan jurang mempunyai panjang 25,5 m, sisi baratlaut berbatasan dengan bidang kedua sepanjang 73 m dan sisi baratdaya berbatasan dengan jurang berukuran 27 m. Tanggul ini secara keseluruhan masih dapat dilacak sekalipun di beberapa bagian telah mengalami kerusakan, baik bagian atas maupun pada sisisisinya. Kerusakan ini sebagian disebabkan oleh aktivitas penggembalaan kerbau, sehingga banyak ditemukan celahcelah pada tanggul yang dipakai untuk lalu lalang kerbau. Pada bagian tengah bidang ini terdapat gundukan tanah (munggu) dengan tinggi kurang lebih 60–80 cm dengan luas kurang lebih 25–30 m2. Pada lerengnya dijumpai adanya satu buah fragmen bata dengan ukuran tersisa 17,5 x 21,5 x 4 cm. Ukuran bata ini jelas menunjukkan sebagai bata candi lama, yang di atas rata-rata bata sekarang (11 x 22 x 5 cm). Pada bidang I ini, tanaman karet yang ditanam tidak cukup banyak, dan sebagian darinya sudah lapuk dan mati. Jenis
MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[23]
tanaman lainnya adalah sungkai, jengkol, jati, cimpu, giring, sacerek, dan sebagainya. Bagian atau bidang II berada di sisi baratlaut bagian I, yang dipenuhi oleh tanaman karet memenuhi lahan seluas kurang lebih 0,5 hektar yang diatur cukup rapi dan bagian bawahnya relatif terang, tidak bersemak. Pada bagian II ini, tanggul artifisial hanya dijumpai pada ujung sisi timur laut berbatasan dengan jurang landai dan sisi tenggara berbatasan dengan bidang I. Bagian atau bidang I ini tidak dijumpai adanya temuan permukaan atau anomali yang mencurigakan. Berdasarkan pada temuan bata dan munggu yang ada, dilakukan penggalian uji coba (tespit) pada sisi selatan lereng munggu, dengan kotak berukuran 2x2 m. Tespit ini bertujuan melacak kemungkinan adanya struktur di bawah atau di sekitar munggu, yang didukung oleh temuan fragmen bata. Hasil tespit mendapatkan temuan fragmen bata yang cukup banyak dan padat di dalam kotak, tetapi hampir sebagian besar sudah pecah. Sampai pada dasar kotak yang berupa tanah asli (maaiveld) tidak ditemukan adanya struktur bata yang intak (tersusun seperti aslinya) maupun temuan artefak lainnya. 2. Parit/tanggul yang mengelilingi bangunan candi dan situs Rambahan. 3. Lokasi/situs Rambahan berada di perbukitan ± 140 m dari permukaan air laut (terhindar dari bahaya banjir) yang bagian atas relatif datar (sesuai untuk pemukiman). 4. Dekat dengan (pertemuan) Sungai Batanghari dan Sungai Pingian atau berada di antara 2 (dua) sungai, yang merupakan salah satu konsep penempatan lokasi ibukota kerajaan (pemukiman). 5. Tempat ditemukannya Arca Amoghapasa (sekarang di Museum Nasional) Berdasarkan pada perbandingan data yang ada di kedua situs tersebut, teramat sulit untuk menentukan lokasi Dharmasraya yang sebenarnya. Namun demikian, beberapa kelebihan dan kelengkapan data yang ada di Sei Langsek menunjukkan kecenderungannya sebagai lokasi Dharmasraya atau lokasi ibukota kerajaan Melayu Suwarnabhumi. Dalam hal terpisahnya antara Arca Amoghapasa [24] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
yang ditemukan di Rambahan dengan alasnya yang ditemukan di Sei Langsek ada kemungkinan yang dapat dijelaskan. Dengan asumsi bahwa Arca Amoghapasa yang dibawa dari bhumijawa pada akhirnya diletakkan di Dharmasraya (Sei Langsek) pada Munggu (gundukan) masa Raja Tribhuwana. Pada masa Adityawarman, situs Bukik Braholo, Arca Amoghapasa kemudian dipindahkan ke daerah Rambahan saat dilakukan ekskavasi Th. yang tinggi di hulu Sungai Batanghari, di antara 2 2005 menunjukkan (dua) Sungai yaitu Sungai Batanghari dan Sungai adanya struktur Pingian. Lokasi tersebut kemudian dikenal dengan bangunan dari bata. nama Bukik Braholo. Pemindahan tersebut merupakan sikap penghormatan Adityawarman kepada Krtanegara (diwujudkan dalam bentuk arca Amobhapasa), sehingga arca diletakkan di tempat tinggi dan berada di daerah hulu dari lokasi Dharmasraya (Sei Langsek). Pemilihan di daerah hulu menyimbolkan pengakuan atas muasal/cikal bakal silsilah Adityawarman dari garis keturunan Krtanegara (dalam Prasasti Manjusri, Adityawarman menganggap dirinya sebagai bagian dari keluarga Rajapatni, anak Krtanegara. Dalam hal ini, secara geneologis, Adityawarman dapat dianggap sebagai cucu atau keturunan dari Krtanegara). Di samping hubungan geneologis antara Adityawarman dengan Krtanegara yang cukup erat, dalam hal kepercayaan/keagamaan, ada kemiripan antara keduanya. Beberapa prasasti maupun arca-arca yang ditemukan menunjukkan bahwa Krtanegara merupakan penganut aliran Tantrayana, yang merupakan sinkretisme antara agama Hindu dan Budha. Aliran Tantrayana kemudian menyebar ke berbagai kalangan dan Adityawarman sendiri dalam beberapa prasasti maupun tinggalan-tinggalan yang ada menunjukkan kecenderungannya sebagai seorang Tantris (penganut aliran Tantrayana). Dalam prasasti Kuburajo I, Adityawarman menunjukkan pemujaannya kepada Dewa Hindu (Indra atau Kulisadara) dan sekaligus memuja Dewa Budha (Awalokiteswara). Dalam Prasasti Pagaruyung I, Adityawarman menyebut dirinya sebagai Raja Adwaya (Buddha) dan merupakan keturunan dari dewa Indra (Hindu). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara geneologis maupun sistem religinya, MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[25]
Adityawarman sangat dekat hubungannya dengan raja Krtanegara, sehingga wajar apabila kemudian Adityawarman meletakkan Arca Amoghapasa di tempat ketinggian di Bukik Braholo, Rambahan. Lebih lanjut, Adityawarman juga menuliskan prasastinya di belakang punggung Arca Amoghapasa yang antara lain berisi tentang penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, pendirian arca Budha dengan nama Gaganaganya, dan pemujaan kepada Jina (Budha) (Hasan Djafar, 1992; 60). Isi prasasti ini lebih mendukung tentang kesamaan religi dengan Krtanegara, sehingga penulisan prasasti di belakang Arca Amoghapasa dan penempatan arca tersebut di daerah Hulu, Rambahan dapat diartikan sebagai justifikasi dan legitimasi religi Adityawarman yang sealiran dengan Krtanegara. Sementara itu, alas/lapik arca tetap ditempatkan di Dharmasraya pada masa Adityawarman karena berfungsi sebagai legitimasi sebagai ibukota kerajaan, dari masa Tribhuwana sampai dengan masa Adityawarman dan secara magis memberikan kekuatan spiritual bagi Adityawarman maupun kerajaannya itu sendiri. Dengan berdasarkan pada data yang ada, seperti diuraikan di atas, indikasi lokasi ibukota kerajaan, Dharmasraya, lebih cenderung berada di daerah Sei Langsek daripada di Rambahan (Bukik Braholo). Namun demikian, untuk lebih memastikan posisi keletakan kota Dharmasraya perlu penelitian lebih lanjut berdasarkan pada data yang ada dan kemungkinan muncul data-data baru.
[26] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
6. Situs Pulau Sawah (Siguntur) dan Potensi Kepurbakalaannya Selain Situs Rambahan dan Sei Langsek, di antara kedua situs tersebut terdapat kawasan yang banyak mengandung temuan arkeologis, baik berupa candi, arca, keramik, maupun artefak lainnya. Kawasan yang dikenal dengan nama Pulau Sawah tersebut mempunyai luas hampir 2 ha dan diindikasikan mengandung lebih dari 11 struktur bangunan bata, 3 (tiga) di antaranya sudah dipastikan sebagai bangunan candi. Potensi bangunan ini lebih banyak dibanding dengan Rambahan maupun Sei Struktur bangunan Candi Langsek, yang diasumsikan sebagai ibukota kerajaa- Pulau Sawah I tidak seperti n. Dengan potensi tinggalan arkeologis tersebut, apa candi lainnya yang berada di permukaan tanah. Candi ini tidak mungkin bahwa ibukota kerajaan, Dharma- berupa bangunan yang sraya, berada di Pulau Sawah (Siguntur)?. berada di bawah permukaan Kawasan Pulau Sawah yang berada di antara tanah Sungai Batanghari dan Batanglalo mempunyai ketinggian antara 3,5–10 m dari permukaan air sungai dalam keadaan normal. Data tinggalan arkeologis yang berhasil ditemukan di kawasan ini meliputi bangunan candi bata sekitar 5 buah, 2 (dua) di antaranya sudah ditampakungkapkan (Candi Pulau Sawah I dan II), satu pernah dilakukan ekskavasi, dan 2 (dua) lainnya dalam bentuk struktur bata terputus. Sementara masih ada beberapa munggu (gundukan tanah) yang dicurigai mengandung struktrur bangunan candi bata. Di samping itu, temuan artefak lainnya dari masa HinduBudha adalah arca perunggu Durgamahesasuramardini (Dewi Durga bertangan delapan berdiri di atas sapi), patung dewa setengah badan (batu andesit), Hasil ekskavasi pada patung perunggu berbentuk orang duduk di atas Candi Pulau Sawah II menunjukkan adanya rakit (?), artefak perunggu, keramik, stoneware, dan struktur bangunan candi sebagainya. Hasil analisis terhadap temuan struktur bangunan dan artefak arca menunjukkan bahwa MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[27]
Kawasan Pulau Sawah lebih banyak difungsikan sebagai lokasi pemujaan kepada para dewa, baik Hindu maupun Budha. Bangunan candi yang ada mengarah kepada bangunan yang bersifat sakral (sebagai tempat pemujaan) maupun semi profan (bangunan pendukung kegiatan pemujaan). Arca yang ditemukan juga menunjukkan sebagai arca pemujaan, seperti Dewi Durga (dewi kematian, biasa dipuja oleh pengikut tantra), arca dewa setengah badan, dan temuan artefak isian candi di dalam perigi (sumuran) di bagian tengah Candi Pulau Sawah II. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kawasan Batanghari merupakan kawasan pemujaan atau kawasan keagamaan, sebagai tempat melaksanakan aktivitas religi dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Lokasi dan posisi Pulau Struktur bangunan Sawah yang relatif rendah dan dekat dengan Candi Pulau Sawah II sungai Batanghari, tidak tepat dan tidak sesuai yang diperkirakan sebagai daerah pemukiman, apalagi sebagai sebagai tempat ibukota kerajaan, karena relatif terancam dan pemujaan para penganut agama Hindurawan dari luapan Sungai Batanghari. Faktor lokasi Budha (geografis) menjadi faktor utama dalam pemilihan lokasi ibukota kerajaan, sehingga kecil kemungkinannya Kawasan Pulau Sawah sebagai ibukota kerajaan. Apalagi mengingat bahwa penempatan ibukota kerajaan harus mempertimbangkan faktor konsep, tata letak, simbol, atribut, dan sebagainya.
[28] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
7.
Penutup
Kawasan DAS Batanghari selama ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu telah menjadi pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan besar dari mulai awal abad sampai dengan abad XVI M. Kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Malayu secara bergantian mendominasi penguasaan wilayah sepanjang DAS Batanghari, dari mulai Jambi (hilir) sampai ke Sumatera Barat (hulu). Kesejarahan kedua kerajaan di atas dapat diketahui berdasarkan pada berita tertulis dari negeri Cina maupun dari tinggalan-tinggalan yang ditemukan di kedua daerah tersebut. Peninggalan-peninggalan arkeologis banyak ditemukan di sepanjang DAS Batanghari di dua wilayah propinsi tersebut, dengan pertanggalan semakin ke arah hulu semakin muda, yaitu pertengahan akhir abad XIV M. Kerajaan Malayu yang semula di daerah hilir (Jambi) kemudian mulai beralih ke arah hulu sejak akhir abad XII, yaitu di daerah Siguntur dan sekitarnya. Dari data Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada alas kaki Arca Amoghapasa yang dikirim dari Raja Singasari, Krtanegara, pada tahun 1286 M menunjukkan adanya pusat pemerintah Kerajaan Malayu di daerah Dharmasraya dengan rajanya bernama Tribhuwana Mauliwarmadewa. Kota Dharmasraya juga disebutkan di dalam naskah Jawa Kuno, Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca tahun 1365 M, yang menyebutkan Dharmasraya merupakan negara taklukan Kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dharmasraya menjadi pusat ibukota Kerajaan Melayu mulai tahun 1286 M (atau beberapa tahun sebelumnya). Pertanggalan yang lebih muda ditemukan pada prasasti yang dipahatkan pada punggung Arca Amoghapasa berangka tahun 1347 M dari masa Raja Adityawarman. Sesudah tahun tersebut, sampai saat ini belum atau mungkin tidak ditemukan lagi pertanggalan yang lebih muda. Prasasti dengan pertanggalan yang lebih muda ditemukan di daerah Tanah Datar (Batusangkar dan sekitarnya) mulai tahun 1347 M sampai 1375 M berasal dari Raja Adityawarman. Dengan demikian, Adityawarman pada sekitar tahun 1347 M memindahkan pusat kerajaannya dari daerah Siguntur ke daerah pedalaman di wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang. Data arca maupun prasasti yang ditulis di alas dan di punggung arca merupakan data penting untuk mengungkapkan sejarah kerajaan Malayu di wilayah Siguntur dan sekitarnya, baik para penguasanya maupun lokasi ibukota kerajaannya. Dharmasraya MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[29]
sebagai pusat ibukota kerajaan Malayu sampai saat ini masih belum secara jelas lokasi keberadaannya. Berdasarkan pada kajian arkeologis terhadap tinggalan yang ada, menunjukkan kecenderungannya pada 2 (dua lokasi, yaitu Rambahan (sekitar bukik Braholo) dan daerah Padangroco, Sei Langsek, di samping daerah Siguntur (kawasan Pulau Sawah). Berdasarkan pada perbandingan yang dilakukan, maka kemungkinan besar lokasi kerajaan Dharmasraya berada di daerah Padangroco, Sei Langsek, baik berdasarkan tinggalan yang ada maupun letak geografis ketiga daerah tersebut. Namun demikian, posisi lokasi ibukota kerajaan Malayu di Dharmasraya perlu ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih intensif dan mendalam. Permasalahan utama yang perlu dicermati tidak terletak pada polemik kebenaran keberadaan ibukota kerajaan Malayu, tetapi lebih pada keberadaan data itu sendiri. Kondisi data arkelogis, situs, dan lingkungan di wilayah DAS Batanghari sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat Kabupaten Dharmasraya. Upaya pelestarian terhadap tinggalan yang ada sampai saat ini masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar (yang mepunyai wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat dan Riau) yang intensif melakukan pelestarian sejak tahun 1990 sampai sekarang. Untuk itu perlu kembali dipikirkan bagaimana menangani kekayaan budaya atau sumber daya budaya (SDB) di kawasan DAS Batanghari secara terpadu dan sinergis antara masyarakat dan pemerintah kabupaten Dharmasraya dengan BP3 Batusangkar atau instansi lain yang terkait dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan DAS Batanghari agar potensi SDB tersebut dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai kepentingan yang ada. Potensi sumberdaya budaya DAS Batanghari yang sangat kaya ini belum dikelola secara baik dan terpadu. Dari sekian bangunan candi yang ada, baru situs Padangroco dengan 3 (tiga) candinya yang berhasil dipugar. Sementara untuk daerah Pulau Sawah baru 1 (satu) candi yang dipugar, 1 (satu) candi baru ditampakungkapkan sebagian, dan masih banyak potensi bangunan lain yang masih terpendam di tanah yang belum ditangani. Kondisi lingkungan daerah Pulau Sawah yang merupakan daerah perkebunan relatif rawan dan mudah merusak struktur bangunan di bawah tanah karena aktivitas penggalian (saat menanam pohon) maupun akarakar pohon keras yang dapat merusak struktur bangunan yang ada. [30] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
Sementara untuk tinggalan di daerah Rambahan hampir belum pernah dilakukan upaya penanganannya, kecuali dalam bentuk penelitian melalu kegiatan survei maupun ekskavasi (penggalian arkeologis). Untuk itu, pelestarian dan pengelolaan SDB di kawasan DAS Batanghari perlu segera dilaksanakan dengan kerja sama dan koordinasi antar instansi terkait sebelum keberadaan tinggalan menjadi semakin rusak dan bahkan hilang dikelak kemudian hari. Sebagai langkah awal dapat dimulai dengan memberikan perlindungan secara hukum, baik untuk penetapan Benda Cagar Budaya maupun untuk penetapan Kawasan Purbakala melalui Peraturan Daerah (Perda). Adanya regulasi hukum ini paling tidak dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya permasalahan pengrusakan maupun penghilangan tinggalan yang ada, sebelum dilakukannya penanganan pelestarian secara lebih intensif dan berkelanjutan. Batusangkar, Januari 2006
MENGUAK TABIR DHARMASRAYA
[31]
DAFTAR PUSTAKA Bambang Budi Utomo, “Batanghari Riwayatmu Dulu”, dalam Seminar Sejarah Melayu Jambi, 7–8 Desember 1992. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992. Bambang Sumadio, “Jaman Kuna”, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1974. Budi Istiawan, Kumpulan Prasasti Masa Kerajaan Melayu di Sumatera Barat. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, 2005. Tidak diterbitkan. _____. Dharmasraya, Pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu 1286–1347 M. Batusangkar: Balai Pelestarian peninggalan Purbakala Batusangkar, 2006. Tidak diterbitkan. Damai, L.Ch., “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste des Principales Inscriptions Datees de l’Indonesie”, BEFEO XLVI (1), 1952, dikutip dari Hasan Djafar (1992). _____. “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: IV. Discussion de la Date des Inscription”, BEFEO XLVII, 1955, dikutip dari Hasan Djafar (1992). Casparis, J.G. de., “Kerajaan Malayu dan Adityawarman”, dalam Seminar Sejarah Melayu Jambi, 7–8 Desember 1992. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992. Hasan Djafar, “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, dalam Seminar Sejarah Melayu Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992. Hirtth, F. dan W.W. Roskhill, Chau-ju-kua, his Work on Chinese and Arab Trade in The Twelfh and Thirteenth Centuries, Entitled ‘Chu-fan-Chi’, St. Petersburg (Reprint: New York Paragon: 1966), dikutip dari Bambang Budi Utomo, 1992. Krom, N.J. “Een Sumatraansche Inscriptie van Koning Krtanegara”, VMKAWL 1916, 5e serie, hlm. 306–339. ______. Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 2e druk S’Gravenhage. Martinus Nijhoof, 1931. Uka Tjandra Sasmita, “Beberapa Catatan Tentang Perdagangan di DAS Batanghari: Hubungannya dengan Jalur Perdagangan Internasional pada Abad–Abad Pertama Masehi”, dalam Seminar Sejarah Melayu Jambi, 7–8 Desember 1992. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992. Wolters, O.W., The Fall of Sriwijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970. Zoetmolder, P.J., Kamus Jawa Kuno–Indonesia I, (Terjemahan oleh Daru Suprapto dan Sumarti Suprayitna). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982.
[32] Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya
Bagian II
RANAH MINANG DAN KERAJAAN MELAYU Bambang Budi Utomo
RANAH MINANG DAN KERAJAAN MELAYU i antara sungai-sungai besar yang mengalir di Sumatera, Batanghari merupakan sungai yang mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sungai ini merupakan sungai terpanjang yang masuk sampai ke daerah pedalaman Sumatera Barat. Di daerah pedalaman ini terdapat ranting-ranting sungai Batanghari yang berhulu di daerah kaki dan lereng pegunungan Bukit Barisan, antara lain di Gunung Singgirik (+1.913 m), Gunung Rasam (+2.505 m), Gunung Manderusah (+2.000 m), dan Gunung Hulujuhan (+1.382 m). Ada juga yang berhulu di Danau Diatas dan Danau Kerinci. Ranting Batanghari yang berhulu di Danau Diatas adalah S. Gumanti; di Gunung Hulujuhan adalah Batang Tebo, Batang Ulas, dan Batang Bungo; dan yang berhulu di Danau Kerinci adalah Batang Tabir dan Batang Merangin. Ranting-ranting dan cabang-cabang sungai tersebut setelah melewati Sungaidareh, Sitiung, Kotabaringin, Telukkayuputih, Telukkuali, Muara Tebo, Muara Tembesi, Muara Bulian, Bayubang, dan Jambi menjadi Batanghari. Di daerah Simpang, Batanghari kemudian bercabang menjadi Sungai Niur yang mengalir ke arah baratlaut, dan Sungai Berbak yang mengalir ke arah timurlaut kemudian keduanya bermuara di Selat Berhala. Di antara rangkaian pegunungan Bukit Barisan ada celah (pass) yang menghubungkan antara satu tempat dengan tempat lain. Melalui celah ini manusia dapat menuju ke satu tempat tanpa mengalami kesulitan pendakian. Celah yang menghubungkan wilayah Tanah Datar dan Batanghari melalui tempat-tempat Muara, Sijunjung, Timbulun, Tanjunggadang, Bukitsabalah, dan Sungai Langsat. Sebelumnya dapat melalui Batang Selo yang mengalir membelah wilayah Tanah Datar.
D
[34] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
1. Babakan Sejarah Wilayah Kerajaan Mālayu Kuna secara geografis terletak di sekitar daerah aliran Sungai Batanghari yang meliputi Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat; di sekitar Kabupaten Tanah Datar (Pagarruyung); dan di sekitar daerah aliran sungai Rokan, Kampar, dan Indragiri di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Di beberapa tempat, di tepian sungai Batanghari banyak ditemukan situs arkeologi, mulai dari daerah hilir (di wilayah Provinsi Jambi) hingga daerah hulu (di wilayah Provinsi Sumatera Barat), antara lain Muara Sabak, Koto Kandis, Situs di daerah pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Kumpeh (Ujung Plancu, Suakkandis, dan Sematang Pundung), Muara Jambi, dan Solok Sipin (Jambi) di wilayah Provinsi Jambi; dan Situs Padanglawas, Rambahan, Pulau Sawah, Bukik Awang Maombiak, dan Padangroco di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan identifikasi unsur pertanggalan yang diperoleh dari paleografi tulisan-tulisan singkat pada lempeng emas di Candi Gumpung (Boechari, 1984: 9; 1985: 237–38), tulisan singkat pada batu pipisan dari Koto Kandis (Bambang Budi Utomo 1990: 148), tulisan singkat pada arca makara dari Solok Sipin (Boechari, 1979: 28), dan pecahan keramik (Bambang Budi Utomo, 1990: 148) menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-8–11 M. Unsur pertanggalan situs tersebut terletak di daerah hilir Batanghari. Unsur pertanggalan yang lebih muda ditemukan di situs-situs di hulu Batanghari berasal dari sekitar abad ke-13–14 M. Unsur pertanggalan ini diperoleh pada Prasasti Dharmaśraya dari Padangroco yang menunjukkan angka tahun 1286 M (Moens, 1924), Prasasti Amoghapāśa dari Rambahan menunjukkan angka tahun 1347 M (Kern, 1917), dan pecahan keramik dari situs Rambahan, Pulau Sawah, Siguntur, dan Padangroco menunjukkan pertanggalan abad ke-13– 14 M (Bambang Budi Utomo, 1992). Pertanggalan situs tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di daerah Batanghari pada Masa Klasik Indonesia telah terjadi pergeseran permukiman. Permukiman yang tua berlokasi di daerah hilir Batanghari, sedangkan permukiman yang muda berlokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Sumatera Barat. Dalam sejarah Batanghari, di wilayah ini pernah ada dua kerajaan besar yang berpengaruh di belahan barat Nusantara. Kedua kerajaan itu adalah Mālayu dan Śrīwijaya yang tumbuh dan berkembang pada waktu MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[35]
yang bersamaan. Dari Berita Cina yang ditulis oleh I-tsing disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Mālayu pernah menjadi bagian dari Śrīwijaya (Groeneveldt, 1960). Setelah Śrīwijaya melemah, Mālayu kemudian merdeka kembali. Berdasarkan Berita Cina tersebut, Hasan Djafar (1992: 77) membagi Mālayu dalam tiga fase, yaitu: Fase I Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 M; Fase II Fase Pendudukan oleh Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai sekitar pertengahan abad ke-11 M; Fase III Fase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 M. Ketiga fase tersebut mengacu kepada perjalanan sejarah Kerajaan Mālayu Kuna, tetapi tidak menjelaskan lokasi pusat pemerintahannya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa lokasi geografis Mālayu ada di daerah Batanghari. Beberapa pakar berpendapat bahwa pusat Mālayu Kuna pada Fase Awal berlokasi di sekitar Kota Jambi sekarang (Slametmulyana, 1981: 30–42; Irfan, 1983: 94–102). Pendapat ini didasarkan atas asumsi bahwa pusat kerajaan adalah juga merupakan pelabuhan Mālayu. Pelabuhan Mālayu yang lokasinya di tepi Batanghari sangat baik untuk pelabuhan sungai. Sungai Batanghari yang yang panjangnya sekitar 800 km, lebarnya sekitar 500 m dan kedalamannya lebih dari 5 m cukup baik untuk pelayaran sungai. Panjang sungai dapat dilayari perahu atau kapal besar adalah sekitar 600 km. Selebihnya hanya dapat dilayari perahu kecil. Di dalam kitab Sejarah Dinasti T'ang (abad ke-7–10 M), untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644–645 M (Pelliot, 1904: 324; 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661–681 M) disebut nama negeri Zābag sebagai bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan. Toponim Zābag dapat diidentifikasikan dengan (Muara) Sabak, di daerah muara Sungai Batanghari. Pada tahun 672 M, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nālanda (India) [36] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
(Wheatly, 1961:41–42). Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekembalinya dari Nālanda, pada tahun 685 M ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nālanda pada tahun 685 M, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya berlangsung antara tahun 671 M, ketika ia meninggalkan Śrīwijaya dan tahun 688/689 M ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya. Berita Itsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 M. Pendudukan Śrīwijaya atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa, serta Palas dan Jabung (Lampung). Dengan menduduki daerah-daerah ini Śrīwijaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang. Di dalam sebuah berita Cina disebutkan bahwa pada tahun 853 dan tahun 871 M, Chan-pi mengirim misi dagang ke Cina (Wolters 1974: 144). Dalam catatan Ling piao lu i yang ditulis dalam tahun 889–904 M, disebutkan Pi-chan (Chan-pi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orangorang Hu mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai Cina sebagai curiosities (Wolters, 1974: 144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi atau Pi-chan dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang. Berita Cina yang berasal dari masa Dinasti Song (960–1279 M) menyebutkan sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama Sanfo-t'si. Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota kerajaan di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di tepian sungai, sedangkan para pembesar kerajaan berdiam di daratan. Atap rumah tinggal di rakitrakit dibuat dari ilalang (Hirth dan Rockhill, 1967: 62). Kita mempunyai dua nama untuk menyebut kerajaan di Sumatera yang keduanya mengacu kepada nama Śrīwijaya. Kedua nama itu adalah Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi. Nama Shih-li-fo-shih MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[37]
dikenal oleh para pakar sejarah dan arkeologi sebagai nama dari Kadātuan Śrīwijaya sebelum abad ke-9 M dengan pusatnya di Palembang. Setelah Śrīwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-tsi. Masalahnya, bagaimana halnya dengan Mālayu. Untuk nama kerajaan ini berita Cina telah menyebutkannya dengan nama Mo-lo-yeu, seperti yang diberitakan oleh I-tsing. Antara Mālayu dan Śrīwijaya agaknya terjadi persaingan, dimana kerajaan yang terlebih dahulu ada adalah Mālayu, yaitu pada tahun 644–645 M. Keberadaan kerajaan ini sudah diakui dengan diterimanya utusan ke Cina. Masa pendudukan Śrīwijaya agaknya berlangsung cukup lama, mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-11 M. Tetapi selama masa itu, ada juga masa di mana Śrīwijaya agak “lengah”. Kesempatan itu digunakan untuk mengirimkan duta ke Cina. Berdasarkan catatan Cina, Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 853 dan 871 M (Wolters, 1970: 41–42). Namun tindakan ini segera diketahui Śrīwijaya. Oleh sebab itulah, maka pada tahun 905 M raja Śrīwijaya mengirimkan duta ke Cina dan menegaskan bahwa duta yang datang pada tahun 853 dan 871 M adalah “pemimpin dari Chan-pi” (Groeneveldt, 1960: 64). Kronik Istana Kerajaan Pagan dari abad ke-12 M menyebutkan adanya hubungan bilateral antara Kerajaan Pagan dengan Kerajaan Mālayu. Raja Pagan mengirim pendeta Buddha untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha atas perintah raja Mālayu. Pendeta ini kemudian mengawini putri raja dan tinggal di istana Mālayu (Adhyatman, 1990: 103). Di antara Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya selalu terjadi persaingan dan satu sama lain saling mendominasi. Suatu saat, ketika Śrīwijaya lengah, Mālayu bangkit kembali dengan mengirimkan utusannya ke Cina. Misalnya pada sekitar pertengahan abad ke11 M, ketika Śrīwijaya lemah sebagai akibat dari serangan Cōla, Mālayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Vijayabahu di Srilanka (1055–1100 M), Pangeran Suryanarayana di Malayapura (Mālayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Swarnnapura (Sumatera) (Wolters, 1970: 92–93). Kronik Cina, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082 dan 1088, negeri Chan-pi di San-fo-tsi mengirimkan utusan ke negeri Cina (Hirth & Rockhill, 1911: 66). [38] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Mālayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting. Eksistensi kerajaan ini selalu diakui oleh berbagai kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara akan selalu memperhitungkan keberadaan kerajaan Mālayu, seperti misalnya Śrīwijaya dan Majapahit. Dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII: 1 dan 2 (Pigeaud, 1960) disebutkan:
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Mālayu: Jāmbi dan Palembaη, Karitań, Teba, dan Dharmaśraya pun juga ikut disebut, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak, Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņdahiliń juga, Tumihaη, Parlāk dan Barat. 2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus. Itulah terutama negara-negara Mālayu yang telah tunduk. Kakawin Nāgarakŗtāgama menyebutkan Mālayu lebih dahulu dan menyebutkan sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit. Wilayah kekuasaan kerajaan ini meliputi seluruh daratan Sumatera, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan "bawahan" Mālayu seperti misalnya Jāmbi, Dharmaśraya, Kaņdis, dan Manańkabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin merupakan sebuah bandar penting dan bekas ibukota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota Kerajaan Mālayu sudah berlokasi di Dharmaśraya yang lokasinya di hulu Batanghari. Setelah lepas dari Śrīwijaya, Mālayu tetap diperhitungkan sebagai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Mālayu sudah merdeka, Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang berselisih dengan Mongol di daratan Cina. Bahkan Sińhasāri sedang menghadapi ancaman penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak memperbanyak musuh, Sińhasāri dengan rajanya Kŗtanagara berkeinginan menjalin persahabatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu membuktikan bahwa pada abad ke-13 M Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri mengadakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menyebutkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasukan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono, 1965: 37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu . MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[39]
Berita tertulis yang penting mengenai keberadaan lokasi pusat Mālayu di hulu Batanghari kita peroleh dari dua buah prasasti, yaitu Prasasti Dharmaśraya yang berangka tahun 1286 M dan Prasasti Amoghapāśa yang berangka tahun 1347 M. Selain itu ada prasastiprasasti lain yang ditemukan di daerah pedalaman Sumatera Barat (Pagarruyung dan Batusangkar). Prasasti Dharmaśraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 M sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditempatkan di Dharmaśraya sebagai punya Śrī Wiswarupakumara. Pejabat tinggi kerajaan yang diperintahkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Kŗtanagara untuk mengiringkan arca tersebut ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrāhma, Rakryān Sirīkan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payāńan Haŋ Dīpangkaradāsa, dan Rakryān Dmuŋ Pu Wīra. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa (Hasan Djafar, 1992: 56–8). Isi prasasti tersebut jelas memberikan informasi kepada kita bahwa penguasa Mālayu pada waktu itu adalah Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa, dan berkedudukan di Dharmaśraya. Lokasi Dharmaśraya ini ada di sekitar daerah Sawahlunto-Sijunjung di Kampung Rambahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun 1880-an (Krom, 1912: 48). Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan candi yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padanglawas, Padangroco, Pulau Sawah, Siguntur, Bukik Awang Maombiak, dan Rambahan (Bambang Budi Utomo, 1992). Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya tidak ada petunjuk pendudukan Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari
keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.
[40] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom, 1912: 48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan sebuah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana beranggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di Mālayu. Prasasti lain yang jelas-jelas menyebutkan perpindahan pusat pemerintahan adalah Prasasti Gudam. Berdasarkan informasi dari prasasti ini, de Casparis menduga bahwa yang memindahkan pusat kekuasaan ke daerah Batusangkar adalah Akarendrawarman, raja Mālayu pendahulu Ādityawarmman (1989 dan 1992). Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Batusangkar dan Pagarruyung memerintah seorang raja yang bernama Ādityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah tersebut, misalnya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaņakamedinīndra (=raja pulau emas) (Kern, 1917: 219). Pada tahun 1347, berdasarkan isi Prasasti Amoghapāśa Ādityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawarmodaya Pratāpaparākramarājendra Mauliwarmadewa. Berdasarkan data prasasti dan pertanggalan situs di daerah Batanghari, Kerajaan Mālayu sekurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan pusat pemerintahan. Pusatnya yang pertama berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, pusat yang kedua di daerah Padangroco, dan pusat yang ketiga di daerah Pagarruyung. Para sarjana menduga bahwa pemindahan pusat pemerintahan ini disebabkan karena ancaman dari musuh, terutama musuh yang datang dari Jawa melalui Sungai Batanghari. De Casparis menduga bahwa Mālayu pada masa akhir mendapat ancaman dari kerajaan yang bercorak Islam di Samudra Pasai yang juga datang melalui Batanghari (1992). Unsur ancaman dari negara tetangga memang ada, tetapi dalam hal ini saya lebih condong untuk menyatakan bahwa alasan pemindahan pusat pemerintahan itu adalah untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman. Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain, yaitu MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[41]
Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Jika dibandingkan dengan Sungai Batanghari, muara kedua sungai ini lebih dekat dengan Selat Melaka. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu melalui sungai-sungai ini. Mengenai perpindahan pusat kerajaan ini, atau setidaktidaknya perpindahan permukiman tampak dari pertanggalan situs, berita Cina dan berita prasasti. Situs-situs arkeologi yang ditemukan di daerah Batanghari, mulai dari daerah hilir sampai ke daerah hulu menunjukkan suatu pertanggalan yang berbeda. Situs di daerah hilir menunjukkan pertanggalan yang tua, seperti misalnya situs Koto Kandis berasal dari sekitar abad ke-8–13 M dan Muara Jambi berasal dari sekitar abad ke-8–13 M. Di daerah hulu Batanghari menunjukkan pertanggalan yang lebih muda, yaitu dari sekitar abad ke-13–14 M. Berita Cina Ling piao lu i (889–904 M) menyebutkan Pi-chan (=Jambi) mengirim misi dagang ke Cina, sedangkan Kitab Sejarah Dinasti Song (960–1279 M) Buku 489 menyebutkan raja tinggal di Chan-pi (=Jambi). Apabila data pertanggalan situs dan data berita Cina dikorelasikan, maka akan tampak keselarasannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas Kerajaan Mālayu pada masa awalnya (sebelum Śrīwijaya abad ke-7 M) berlokasi di daerah hilir Batanghari dengan pusatnya di sekitar kota Jambi sekarang. Situs Muara Jambi yang merupakan suatu kompleks percandian, dibangun dalam beberapa tahap, misalnya Candi Gumpung dibangun setidak-tidaknya dalam dua tahap pembangunan. Berdasarkan temuan lempengan emas yang bertulisan yang ditemukan di dalam sumuran candi Gumpung, menurut paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 M (Boechari, 1981, tidak diterbitkan). Tetapi langgam arca Prajñaparamita yang ditemukan di antara runtuhan candi Gumpung, berasal dari abad ke-13–14 M (Sulaiman, 1983: 203). Berdasarkan pertanggalan relatif dari paleografi, gaya seni arca, dan gaya seni bangunan Sulaiman menduga bahwa kompleks percandian Muara Jambi sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Sińhasāri. Lagipula, ada seorang guru yang bernama Atiśa dari India yang belajar di Malayagiri antara tahun 1011–1023 M. Mungkin ia berkunjung ke Muara Jambi pada waktu datang ke Malayagiri. Jambi dengan kompleks percandiannya di Muara Jambi mungkin merupakan tempat yang strategis. Daerah ini merupakan daerah Kerajaan Mālayu yang pada waktu Śrīwijaya sedang kuat berada di bawah kekuasaan Śrīwijaya. Waktu itu Śrīwijaya [42] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
merupakan sebuah Talasocracy, sebuah kerajaan yang merupakan himpunan dari bandar-bandar. Setelah Śrīwijaya lemah, Kŗtanāgara memandang perlu menjalin persahabatan dengan Mālayu karena adanya ancaman dari Cina. Untuk itulah pada tahun 1275 M dikirim ekspedisi Pamālayu. Untuk lebih mempererat persahabatan dengan Mālayu, pada tahun 1286 M Kŗtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa. Mengenai perpindahan pusat kerajaan dari daerah hilir ke daerah hulu Batanghari hingga kini belum ditemukan sumber tertulisnya. Secara ekonomis, daerah hilir Batanghari (Jambi) lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan daerah hulu (Sumatera Barat). Di daerah hilir, sungai Batanghari dapat dilayari dengan perahu-perahu ukuran besar, sedangkan di daerah hulu tidak. Dasar sungai dangkal dan berbatu-batu. Sungai Batanghari di daerah hulu hanya dapat dilayari dengan sampan. Tetapi, ditinjau dari segi keamanan, daerah pedalaman lebih menguntungkan karena daerah ini tidak mudah dijangkau dengan menggunakan perahu besar. Perpindahan pusat kerajaan ke daerah hulu, mungkin disebabkan karena alasan keamanan. Selain itu penguasa pada waktu itu memandang perlu pengawasan terhadap sumber alam tambang emas. Daerah pedalaman, terutama di daerah Sumatera Barat (hulu Batanghari), sejak dulu merupakan sumber emas. Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Mālayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan. Perkembangan Kerajaan Mālayu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ādityawarman dengan pusatnya di daerah hulu Batanghari. Pada masa itu logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti dipakai sebagai bahan lempengan emas, benang emas, lembaran emas bertulis, kalung, dan arca (Sulaiman, 1977). Meskipun pusat kerajaan berlokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Minangkabau, Ādityawarman tidak pernah menyebut daerah kekuasaannya sebagai Kerajaan Minangkabau seperti dikemukakan oleh Moens (1937). Ia menamakan dirinya sebagai Kanakamedinīndra yang berarti 'penguasa negeri emas' atau Swarnnadwīpa, Sumatera, Swarnnabhūmi. Dengan demikian ia menganggap pula dirinya sebagai penguasa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah kekuasaan Śrīwijaya (Sulaiman, 1977: 9). Dengan pindahnya pusat kerajaan ke hulu Batanghari, ini tidak berarti daerah hilir diabaikan. Jambi sebagai bekas pusat MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[43]
kerajaan tetap berkembang sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Melalui pelabuhan Jambi barang-barang komoditi dari daerah pedalaman dipasarkan ke daerah lain. Pada abad ke-12–14 M, Jambi merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Sumatera bagian timur (Ambary, 1990: 58). Dua buah lagi adalah Kota Cina di wilayah Sumatera Utara dan Palembang di wilayah Sumatera Selatan. Tinggalan budaya masa lampau dari situs-situs di daerah hilir Batanghari sebagian besar berupa keramik. Barang ini diketahui sebagai barang import dari Cina. Di Situs Koto Kandis, Situs Suakkandis, dan Situs Muara Jambi temuan yang paling dominan adalah keramik Cina dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-12–14 M). Dengan ditemukannya barang-barang tersebut, kita memperoleh bukti bahwa pada masa lampau hilir Batanghari (Jambi) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Para pedagang dari daerah lain datang ke Jambi membawa barang dagangan untuk ditukar dengan hasil setempat. Dari Cina para pedagang membawa keramik dan kain sutera. Kembalinya ke Cina mereka membawa damar dan kapur barus. Daerah hulu Batanghari dikenal sebagai daerah penghasil emas. Dari beberapa situs di daerah Batanghari banyak ditemukan artefak yang dibuat dari emas. Selain itu ditemukan juga pecahanpecahan keramik dari bahan batuan yang berasal dari bentuk botol. Botol ini biasa dipakai sebagai wadah untuk menyimpan cairan merkuri untuk pengerjaan emas. Bukti bahwa Mālayu atau katakanlah Batanghari tempo dulu menghasilkan emas cukup banyak. Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa berita Cina tidak ada satupun yang menyebutkan emas sebagai barang komoditi, atau menyebutkan bahwa Shih-li-fo-shih, San-fo-tsi, atau Mo-lo-yeu menghasilkan emas. Justru sebaliknya, Cina membawa barang komoditi emas ke negara-negara itu untuk ditukarkan dengan hasil bumi dan hasil hutan. Lepas dari tidak disebutkannya Mo-lo-yeu sebagai daerah penghasil emas, namun kita mempunyai bukti kuat bahwa di daerah Koto Kandis pada masa lampau berlangsung aktivitas pengerjaan emas. Buktinya, di Koto Kandis banyak ditemukan pecahan botol merkuri, dan tanah di Koto Kandis "mengandung" bijih emas dan emas yang sudah dikerjakan. Hingga kini masyarakat di Koto Kandis sering mencari emas di tepian Sungai Batanghari.
[44] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Sungai Batanghari telah memiliki sejarah peradaban manusia yang panjang. Bukti adanya aktivitas manusia di sepanjang daerah tepiannya banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi mulai dari daerah hilir ke daerah hulu. Peradaban manusia di Batanghari yang tua ditemukan di daerah hilir sampai ke kota Jambi sekarang, sedangkan yang muda ada di daerah hulu. Dari pertanggalan keramik, prasasti, dan arca, dapat diketahui adanya perpindahan pusat Kerajaan Mālayu. Pusat kerajaan itu pada mulanya berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, kemudian pada sekitar abad ke-13 M pusat kerajaan itu ada di Dharmaśraya yang lokasinya di hulu Batanghari. Meskipun pusat kerajaan sudah bergeser ke daerah pedalaman, Jambi tetap memegang peranan penting dan terus tumbuh menjadi kota dagang. Munculnya beberapa bandar utama di pantai timur dan barat Sumatera telah merubah Selat Melaka menjadi jalur perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara yang dapat menghubungkan kawasan timur (Cina) dan Asia Tenggara kepulauan (Nusantara) dengan kawasan laut sebelah barat. Bandar-bandar utama itu antara lain Barus, Singkel, Kota Cina, Jambi, dan Palembang. Bandar-bandar ini di kemudian hari tumbuh dan berkembang menjadi kota, misalnya Jambi dan Palembang. Pusat Kerajaan Mālayu pada mulanya berlokasi di sekitar Jambi, di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar abad ke-13 M pusat kerajaan berpindah ke arah pedalaman, daerah hulu Batanghari di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Mālayu dengan Jambi sebagai bandar pentingnya, merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan sejarah Asia. Bandar Jambi yang merupakan pelabuhan sungai, terus hidup dan berkembang yang akhirnya menjadi sebuah kota.
2. Perdagangan Emas Dalam Seminar Sejarah Mālayu Kuna terungkap bahwa lokasi Kerajaan Mālayu ada di daerah Sungai Batanghari, mulai dari daerah hilir di wilayah Provinsi Jambi hingga daerah hulu di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ada perpindahan “pusat” kerajaan mulai dari arah hilir ke arah hulu Batanghari (Bambang Budi Utomo, 1992: 183–84). Demikian juga bukti prasasti menunjukkan bahwa prasasti-prasasti Mālayu yang lebih muda MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[45]
ditemukan di daerah hulu Batanghari, di wilayah Provinsi Sumatera Barat (Hasan Djafar, 1992: 50–80). Jika dilihat dari pandangan geografis, daerah hilir Sungai Batanghari lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan daerah hulu. Di wilayah pedalaman Sumatera Barat, jalan keluar menuju Selat Melaka adalah Sungai Indragiri dan Sungai Kampar Kiri. Kedua sungai ini bermataair di wilayah Pagarruyung. Tentunya tidak mungkin untuk pelayaran sungai. Namun, pada pertengahan abad ke-14 M pusat Kerajaan Mālayu berlokasi di sekitar daerah Pagarruyung (Sumatera Barat). Tetapi mengapa justru di daerah ini Kerajaan Mālayu mencapai puncak kejayaannya? Gejala apakah yang memacu perkembangan kerajaan ini. Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mencoba untuk membahasnya dengan melihat sumberdaya alam yang terkandung di bumi Sumatera, khususnya di daerah hulu Batanghari. Adalah penting untuk melihat kedudukan sumberdaya alam Pulau Sumatera untuk dapat memahami mengenai timbulnya pemukiman, pelabuhan, pola perdagangan, dan kerajaan-kerajaan kuna di Sumatera. Hal yang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang adalah bahwa hasil bumi dan hasil tambang Sumatera banyak dicari oleh para pedagang baik dari Arab, India, Cina dan kerajaankerajaan lain di Nusantara. Salah satu hasil Sumatera yang terpenting adalah emas. Selain emas, beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen, 1944: 210; Miksic, 1979: 263). Barang-barang logam itu telah lama ditambang dan jauh sebelum abad ke-16 M, yaitu ketika para penguasa barat melakukan penambangan secara besarbesaran di bumi Sumatera (Miksic, 1979: 262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum kedatangan orang Barat (Miksic, 1979: 262; Tobber, 1919: 463–464). Cinnabar juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen, 1944: 210). Di Muara Sipongi, sebelum kedatangan bangsa Barat ditambang plumbum, zink, besi, dan tembaga. Selain hasil tambang, sumber daya alam Sumatera yang menjadi komoditi penting pada masa lampau adalah hasil hutan. Pada masa Kesultanan Melaka diberitakan ada selusin kapal yang [46] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
singgah di Melaka setiap tahunnya membawa muatan yang sebagian besar berupa hasil hutan. Hasil hutan yang dikapalkan itu antara lain berupa damar, kapur barus, storax, bahan untuk membuat minyak wangi, myrobalan (bahan baku untuk pencelup kain), dadah, dan benzoin (Dunn, 1975; Miksic, 1979: 264). Gambaran yang dapat kita peroleh dari pengelana-pengelana asing jelas bahwa masyarakat di Sumatera sejak jaman purba telah melakukan penambangan emas. Emas yang dikumpulkan dapat berupa emas primer maupun emas sekunder, tergantung dari tempat di mana mereka mencarinya. Christine Dobbin mengemukakan bahwa daerah pusat Minangkabau selama beberapa abad telah memegang peranan penting dalam perekonomian di wilayah sebelah barat Nusantara (Dobbin, 1986, terjemahan). Daerah Tanah Datar merupakan penghasil salah satu dari sumber utama kegiatan perekonomian. Dari daerah ini banyak dihasilkan emas. Menurut Tomé Pires di pantai barat Sumatera, bahan eksport selain lada adalah emas, kelambak, kapur barus, kemenyan, damar, madu, dan bahan makanan (Poesponegoro (3), 1984: 147–148). Ekspor komoditi ini ditujukan ke Melaka. Akan tetapi ada juga kapal-kapal Gujarat yang datang langsung ke Pantai Barat Sumatera untuk membawanya langsung ke negerinya. Emas merupakan hasil tambang dari Sumatera yang penting dan utama. Oleh sebab itu, untuk menelusuri kelahiran bandarbandar utama di Sumatera dan sistem perdagangan pada masa lampau, kita harus dapat memahami tentang peranan emas dari Sumatera. Logam ini telah ditambang di Sumatera sejak jaman sebelum kedatangan bangsa barat (Eropa) ke Asia Tenggara. Demikian pentingnya emas dari daerah Minangkabau, Wheatly menunjukkan bukti bahwa Kesultanan Melaka telah menantang Kesultanan Deli, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri untuk memastikan ia dapat menjamin keamanan perdagangan emas dari kawasan pedalaman Minangkabau (Wheatly, 1961: 309). Penambangan emas secara besar-besaran di wilayah Sumatera Barat baru dilakukan pada masa penjajahan. Meskipun demikian, daerah ini sudah lama dikenal sebagai penghasil emas yang utama. Penguasaan atas tambang-tambang emas dilakukan oleh para penguasa untuk tujuan politik. Emas dari daerah pedalaman Minangkabau dipasarkan ke luar Sumatera melalui pantai barat dan pantai timur Sumatera dengan melalui jalan sungai dan MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[47]
jalan darat. Itulah sebabnya Mālayu pada masa Ādityawarmman mencapai kejayaannya. Pendahulu Ādityawarmman telah memindahkan keratonnya ke daerah pedalaman agar memudahkan pengontrolan tambang-tambang emas. Daerah pedalaman (sekitar Pagarruyung) dekat dengan jalan keluar menuju Selat Melaka melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Menuju pantai barat dapat melalui celah Pegunungan Bukit Barisan menuju Padang. Menuju ke arah utara, dapat melalui Muara Sipongi (juga merupakan tambang emas) menuju ke arah Tapanuli Selatan. Kerajaan Mālayu yang lokasi geografisnya di daerah lembah Batanghari, sekurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan ibukotanya. Ibukota yang pertama (awal) berlokasi di daerah hilir Batanghari, di suatu tempat yang mungkin di Muara Jambi (de Casparis, 1992) atau di Kota Jambi sekarang (Bambang Budi Utomo, 1992). Ibukota yang kedua berlokasi di sekitar daerah hulu Batanghari. Pemindahan yang kedua ini mungkin berlangsung sebelum tahun 1286 (Prasasti Dharmaśraya). Ibukota terakhir (?) berlokasi di daerah Pagarruyung, dan oleh Ādityawarmman ibukota ditetapkan di Surāwāśa. Pemindahan ke daerah ini terjadi tahun 1316 M pada masa pemerintahan Akarendrawarman (de Casparis, 1992). De Casparis mengajukan alasan pemindahan ibukota karena ancaman agama baru yang berkembang di Aceh, yaitu agama Islam dari Kesultanan Samudra Pasai. Karena itulah Ādityawarmman membuat arca Bhairawa dan menetapkan Surāwāśa sebagai pusat pemerintahan. Ādityawarmman beranggapan bahwa agama Islam tidak hanya mengancam agama Buddha yang dipeluknya, melainkan juga membahayakan tahta raja sendiri. Dugaan yang diajukan de Casparis dapat diterima, tetapi dapat ditambahkan bahwa Ādityawarmman juga berniat menguasai tambang emas yang banyak terdapat di wilayah Minangkabau. Selain itu, jika pusat pemerintahan ada di daerah Surāwāśa, akses menuju Selat Melaka yang merupakan jalur lalulintas perekonomian akan lebih dekat lagi, yaitu melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri (Batang Kuantan). Demikian juga akses menuju pantai barat Sumatera tempat para pedagang dari India dan Arab biasa berlabuh mengambil barang komoditi. Bukti prasasti dari Barus menunjukkan adanya komunitas para pedagang Tamil di pantai barat Sumatera. Adanya komunitas orang Tamil di sekitar Pagarruyung dapat diketahui dari Prasasti Bandar Bapahat yang berbahasa [48] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Tamil dan beraksara Grantha dari situs di tepi Batang Selo (Tanah Datar). Setelah Mālayu di bawah pemerintahan Ādityawarmman mencapai kejayaannya, tibalah masa yang gelap bagi Mālayu. Berita mengenai Mālayu sebagai kerajaan yang bercorak Buddha tidak pernah terdengar lagi. Namun demikian perdagangan emas dari daerah Minangkabau masih tetap berlanjut dengan melalui jalur sungai Kampar Kiri dan Indragiri.
3. Keagamaan Berbicara mengenai agama yang berkembang di wilayah Sumatera Barat pada abad ke-13–14 M, maka kita harus membicarakan juga agama yang berkembang di Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Selatan) dari masa yang sama. Di kawasan yang dikenal dengan nama Padanglawas, terdapat tinggalan budaya masa lampau yang berupa kompleks biaro dengan arca-arcanya yang berwajah raksasa. Di samping itu ditemukan juga prasastiprasasti yang mengindikasikan pemujaan tantris. Kepurbakalaan yang ditemukan di Situs Padanglawas hampir semuanya terdiri dari biaro-biaro yang bagian puncaknya diakhiri dengan bentuk stupa. Kadang-kadang ditemukan juga sebuah bangunan stupa yang ukurannya lebih kecil dari bangunan biaro. Bangunan ini biasanya ditemukan di halaman kelompok bangunan biaro. Indikator tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh kepurbakalaan di Padanglawas berhubungan dengan agama Buddha, dan hanya sedikit yang berkaitan dengan agama Hindu aliran Śiwa. Bukti ikonografis menunjukkan bahwa arca-arca yang ditemukan di Padanglawas seluruhnya berwajah raksasa dengan raut muka yang menyeramkan. Demikian juga relief pada dinding bangunan menggambarkan raksasa yang sedang menari-nari dengan tarian tandawa. Beberapa tulisan baik yang ditulis pada lempengan emas, maupun yang ditulis pada batu membuktikan bahwa agama yang berkembang di Padanglawas adalah wajrayāna, yaitu suatu aliran dalam agama Buddha yang mempunyai sifat-sifat keraksasaan (Suleiman, 1985: 26). Pada tahun 1950-an, di dalam bilik utama bangunan Bahal 2, ditemukan sebuah arca yang telah hancur berkeping-keping. Setelah berhasil direkonstruksi kembali, ternyata arca yang telah hancur itu berasal dari bentuk sebuah arca Heruka yang mempunyai ukuran MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[49]
tinggi 118 cm. Jenis arca ini merupakan arca langka yang jarang ditemukan di Indonesia, baik di Jawa maupun di Sumatera. Keadaan mukanya telah rusak. Di bagian belakang kepala terdapat rambut yang berdiri ke atas seperti lidah api. Penggambaran arca ini sangat "sadis" dengan setumpuk tengkorak dan raksasa sedang menari-nari di atas mayat. Raksasa ini digambarkan bertangan dua. Tangan kanan diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk dari batok kepala manusia. Sebatang tongkat (khaţvāńga) yang di bagian ujungnya diikat kain yang menyerupai bendera dikempit pada ketiak tangan kiri. Berdiri di atas kaki kiri yang agak ditekuk, sedangkan kaki kanan diangkat dengan telapak kaki mengarah ke paha kiri. Dari belakang kaki kanan terjuntai sampur hingga ke bawah. Arca ini sekarang telah hilang, dan bagian yang masih tersisa adalah bagian kiri belakang (bagian ujung tongkat yang terdapat ikatan kain). Penggambaran arca Heruka tersebut, tercantum dalam kitab Suddhamala yang menekankan bahwa seorang penganut Tantrayāna harus membayangkan Heruka itu sebagai berikut: "berdiri di atas mayat dalam sikap ardhaparyańka (setengah bersila) berpakaian kulit manusia, tubuhnya dilumuri abu, tangan kanannya menggenggam sebuah vajra yang berkilauan, dan tangan kirinya menggenggam sebuah khaţwańga, berhiasan panji yang melambai-lambai, serta sebuah mangkuk tengkorak yang berisi darah; selempangnya berhiasan rantai dari 50 kepala manusia, mulutnya sedikit terbuka karena taring, sedangkan nafsu birahi tampak dari sorot matanya, rambutnya yang kemerah-merahan berdiri ke atas; arca Aksobhya menghiasi mahkotanya dan anting-anting menghiasi telinganya; ia berhiaskan tulang-tulang manusia dan kepalanya berhiasan tengkorak manusia; ia memberi kebudhaan dan dengan semedinya melindungi terhadap mara-mara di dunia." (Sulistya, 1985)
Tokoh Heruka disebutkan juga dalam sebuah kakawin yang ditulis dalam jaman Majapahit (abad ke-14–15 M). Pada kakawin yang dikenal dengan nama Sutasoma, pupuh 125 antara lain menyebutkan sebagai berikut: "Inilah sebabnya mengapa seorang penganut Mahāyāna berusaha untuk mensucikan dirinya. Bukanlah karena dia ingin makan daging manusia maupun karena dia ingin memuaskan nafsu makannya. Dia hanya ingin berusaha membersihkan kesadarannya supaya dia dapat menguasai hidup dan mati. Itulah tujuan dari latihan-latihannya. Dalam keadaan serupa itu ia bersatu dengan Jinapati, puncak dari kebebasan. Banyaklah cara antara lain dipakainya daun kering untuk melindungi dirinya dari sinar matahari selama latihannya. Darah yang berbau mengalir melalui kepalanya dan menetes di dadanya. Usus manusia melingkari tubuhnya dan lalat-lalat hijau beterbangan dan hinggap di muka serta masuk di matanya, Namun hatinya sama sekali tidak tergoda dari tujuan utama untuk bersatu dengan dewa Heruka" (Bosch, 1930: 142).
[50] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Dari kedua sumber tertulis itu jelas bahwa upacara tantrayāna seolah-olah merupakan suatu perbuatan yang sadis dan tidak lepas kaitannya dengan mayat serta darah manusia. Di samping itu ada juga ritual yang berkaitan dengan minum minuman keras yang memabukkan, seperti yang dilakukan oleh Raja Kŗtanagara dari Kerajaan Sińhasāri. Upacara yang terpenting dalam aliran Wajrayāna adalah upacara Bhairawa, yang dilakukan di atas ksetra (suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar). Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar mayat, minum darah, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng. Tujuannya adalah untuk mengajarkan penganutnya bagaimana dengan melalui cara kesaktian dapat kaya, panjang umur, perkasa, tidak mempan senjata tajam, dapat hilang dari pandangan orang, dan dapat mengobati orang sakit; atau dalam bentuk yang lebih sakti lagi, apabila berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa dapat mengatasi keadaan yang tidak tenang atau mendapat mukjizat untuk dilahirkan kembali dengan kekuasaan dewa yang dipuja (Majumdar, 1937: 121). Tiga kelompok biaro yang mempunyai sifat buddha tantrik ialah kelompok Biaro Si Pamutung, Biaro Si Joreng Belangah, dan Biaro Si Sangkilon (Schnitger, 1937: 23–25). Pada Biaro Si Pamutung banyak ditemukan arca maupun hiasan bangunan (makara) yang merupakan indikator Wajrayāna. Pada halaman biaro ditemukan sebuah arca buaya yang digambarkan dengan wajah yang bengis. Selain itu ditemukan juga dua buah arca raksasi dalam sikap añjalimudrā di mana dari mulutnya keluar dua pasang taring. Kedua bola matanya digambarkan melotot. Di Si Joreng Belangah ditemukan prasasti yang menggambarkan upacara tantris yang bunyinya: "Wanwawanwanāgī Bukāngrhūgr Hūcitrasamasyasā Tūnhahāhahā Hūm Hūhūhehai Hohauhaha Omāhhūm"
Menurut Stutterheim, bunyi "ha" dan sebagainya adalah bunyi tertawa dan bunyi "hu" adalah bunyi dengusan suara banteng. Bunyi-bunyi ini biasa diucapkan para pemuja pada waktu upacara Tantrik. Selanjutnya, menurut Stutterheim pertanggalan prasasti ini dapat ditempatkan dalam abad ke-13 M atau pertengahan abad keMENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[51]
14 M. Di samping itu ditemukan suatu bukti bentuk tantrisme di Padanglawas. Bosch mengemukakan bahwa agama yang digambarkan oleh arca-arca dan prasasti-prasasti singkat pada batu dan lempeng emas, dalam upacaranya melibatkan pengorbanan manusia (Miksic, 1979: 86). Menurut Nilakanta Sastri, agama Buddha yang berkembang di wilayah Sumatera Barat (Sungai Langsat) dan di wilayah Padanglawas adalah agama Buddha Kālacakra (Sastri, 1949: 109). Beberapa kelompok biaro telah menghasilkan bukti-bukti arkeologis yang dapat menunjukkan kepada kita jenis tantrisme yang diamalkan. Adalah suatu kenyataan, dimana dapat dibuktikan dengan ditemukannya sebuah arca Heruka, bahwa Biaro Bahal 2 adalah contoh Tantrisme Buddha. Heruka adalah salah satu dewa dalam pantheon Buddha yang cukup dikenal. Menurut kepercayaan para penganutnya, apabila mengadakan pemujaan terhadap Heruka maka orang yang memuja itu akan masuk nirwana dan selalu unggul dalam menaklukan semua māra di dunia. Dengan ditemukannya arca-arca yang digambarkan dengan raut wajah yang menyeramkan serta prasasti-prasasti singkat yang kalimatnya seperti bunyi tertawa, dapat disimpulkan bahwa agama yang berkembang di daerah Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayāna. Arca Heruka merupakan bukti nyata bahwa agama di Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayāna. Agama ini berkembang juga di daerah Sumatera Barat, di sekitar Padangroco (hulu Batanghari) hingga ke daerah sekitar perbatasan Provinsi Riau (hulu sungai Kampar). Pada masa yang kemudian setelah masa Padanglawas atau pada masa yang bersamaan dengan itu, di wilayah pedalaman Sumatera Barat yang merupakan daerah hulu Batanghari, Kerajaan Mālayu sedang mencapai puncak kejayaannya. Pada sekitar pertengahan abad ke-14 M yang memerintah di Kerajaan Mālayu adalah Ādityawarmman. Agama yang berkembang di Mālayu adalah agama Buddha Mahāyāna aliran Wajrayāna dengan upacaranya Bhairawa. Bukti eksistensi agama ini dapat dilihat dari temuan arca dan prasasti yang menunjukkan adanya upacara Bhairawa. Sebuah arca Bhairawa yang merupakan arca perwujudan Ādityawarmman ditemukan di Padangroco (Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat), sedangkan mengenai upacara Bhairawa yang dilakukan oleh Ādityawarmman dapat diketahui dari prasasti yang dipahatkan di [52] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
bagian belakang arca Amoghapāśa. Arca ini ditemukan di Rambahan, sekitar 4 km. ke arah hulu dari Situs Padangroco. Prasasti pada arca Amoghapāśa ditulis dalam aksara Jawa Kuna dengan menggunakan bahasa Sansekerta, dalam 27 baris, dan berbentuk sloka 12 bait. Angka tahun yang tertera dalam bentuk candrasangkala yang menunjuk tahun 1268 Śaka (1347 M) dan dikeluarkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Ādityawarmman. Dalam prasasti itu ia menyebutkan pula dirinya dengan nama Śrīmat Śrī Udayādityawarmman. Selanjutnya, prasasti ini menyebutkan tentang penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, pentahbisan arca Buddha dengan nama Gaganaganja (nāmnā Prasasti Amoghapasa gagana ganjasya), dan pemujaan kepada Jina yang dtulis oleh Adityawarman pada (Hasan Djafar, 1992: 9–12). bagian belakang Hingga kini belum dapat diketahui dari mana (punggung) Arca aliran Tantris ini masuk ke wilayah Sumatera Barat. Amoghapasa berangka Apakah datang dari Jawa, atau datang dari daerah tahun 1347 M. utara di Padanglawas. Bukti tertua keberadaan Tantris di Sumatera dapat diketahui dari beberapa buah prasasti singkat yang ditemukan di Padanglawas. Prasasti dengan indikator Tantris dari kompleks percandian Si Joreng Belangah yang berangka tahun 26 April 1179 M (Damais, 1955) dan prasasti dari Si Topayan yang berangka tahun 1235 M (Goris, 1930: 234) sebagai contohnya. Sementara itu, di Sumatera Barat keberadaan Tantris dapat diketahui dari Prasasti Amoghapāśa (dipahatkan pada alas arca) yang berangka tahun 1286 M (Moens, 1924) dan Prasasti Ādityawarmman (dipahatkan pada bagian belakang arca Amoghapāśa) yang berangka tahun 1347 M (Kern 1917). Kalau didasarkan atas informasi dari prasasti, maka yang lebih dahulu berkembang adalah Tantrisme di Padanglawas. Setelah itu Tantrisme berkembang di Sumatera Barat. []
Bambang Budi Utomo Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[53]
DAFTAR PUSTAKA Ambary, Hasan Muarif, 1990, “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatra Abad 7– 16 M dalam Jalur Jalan Darat Melalui Lautan”, dalam Kalpataru 19. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Bambang Budi Utomo, 1990, “Teori Garis Pantai Sumatera Timur: Pengaruhnya Terhadap Penempatan Pusat Sriwijaya”, dalam Monumen. Depok: Fakultas Sastra UI, hlm. 143–155. _____, 1992, “Batanghari Riwayatmu Dulu”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemda Tk. I Provinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Provinsi Jambi. Bambang Sulistya, 1985, “Pengaruh Tantrayana di Kawasan Nusantara”, dalam Berkala Arkeologi 6 (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I A. The Hague: Martinus Nijhoff. Boechari, 1979, “Report on Research on Srivijaya”. Country Report of Indonesia, Part I, dalam Final Report SPAFA Workshop on Research Project on Srivijaya, Appendix a: 1–7. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit. _____, 1981, “Report on Research on Srivijaya”, dalam Studies on Srivijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. _____, 1984, “Laporan Hasil Penelitian Lempengan-lempengan Emas dari Candi Gumpung” (Naskah, tidak diterbitkan). _____, 1985, “Ritual Deposits of Candi Gumpung (Muara Jambi)”, dalam SPAFA Final
Report: Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies on Srivijaya. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit. Bosch, F.D.K., 1930, “Verslag van een Reis door Sumatra”, OV 1930, hlm. 133–157. Casparis, J.G. de, 1989, “Peranan Adityawarman, Seorang Putra Melayu di Asia Tenggara”, makalah dalam Persidangan Antarbangsa Tamadun Melayu II. _____, 1990, “An Ancient Garden in West Sumatera”, dalam Kalpataru 9. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 40–50. _____, 1992, “Malayu dan Adityawarman”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemda Tk. I Provinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Provinsi Jambi. Damais, L.Ch., 1955, “Etudes d’épigraphie indonésienne IV. Discussion de la date des inscriptions” . BEFEO XLVII, Saigon. Damais, L.Ch., 1970, Repertoire Onomastique de l'Épigraphie Javanaise (Jusqu'a Pu
Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotuńgadewa): Étude d'Épigraphie Indonésienne. Paris: Publicaions de EFEO, LXVI. Dobbin, C., 1977, “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784–1830”, dalam Indonesia 23, hlm. 1–38. Dunn, F.L., 1975, “Rainforrest Collectors and Traders: A Study of Resource Utilization in Modern and Ancient Malaya”, dalam Monograph of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society No. 5. Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara. Hasan Djafar, 1992, “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemda Tk. I Provinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Provinsi Jambi. Hirth, Friederich dan W.W. Rockhill (eds.), 1911, Chau Ju-Kua. His Work on the
Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
[54] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu
Irfan, Nia Kurnia Sholihat, 1983, Kerajaan Sriwijaya. Bandung: Girimukti Pasaka. Kern, H., 1917, “De Wij-inscriptie op het Amoghapaça-beeld van Padang Candi (Midden Sumatra): 1269 Çaka”, dalam VG 7: 163–165. Krom, N.J., 1912, “Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden”, dalam OV Bijlage G-H. hlm. 33–52. Majumdar, R.C., 1933, “Les rois Çailendra de Suwarnadwipa”, BEFEO 33: 121–141. ______, 1937, Suvarnadīpa. Dacca/ Calcutta. Marsden, William, 1966, History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Miksic, John N., 1979, Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra. (Ph. D Thesis). New York: Cornell University. Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shore’ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes and appendices by J.V.G. Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society. Moens, J.L., 1924, “Het Buddhisme op Java en Sumatra in Zijn Laaste Bloei-periode”, dalam TBG 64: 521-580. ______, 1937, “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77: 317–487. Moens, J.L., 1974, Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir. Jakarta: Bhratara. Nilakanta Sastri, K.A., 1949, History of Srivijaya. Madras: University of Madras. Pelliot, Paul, 1904, “Deux Itineraires de Chine en Inde á la fin du VIIIe Siecle”, dalam BEFEO tome IV. Pigeaud, Th., 1960–1963, Java in the Fourtheenth Century; A Study in Cultural History. The Hague: Martinus Nijhoff. Pitono H., R., 1965, Pararaton, Djakarta: Bhratara. ______, 1966, Adityawarman: Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional Abad XIV. Djakarta: Bhratara. Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto (ed.), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II & III. Jakarta: PN Balai Pustaka. Schnitger, F.M., 1937, The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill. Slametmulyana, 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Idayu. Suleiman, Satyawati, 1977, ”The Archaeology and History of West Sumatra”, dalam Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. ______, 1983, “Artinya Penemuan Baru Arca-arca Klasik di Sumatera untuk Penelitian Arkeologi Klasik”, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Tobber, 1919, “Djambi verslag uitkom-sten van het geologisch-mijn-bouwkundige onderzoek in de residentie Djambi 1906–1912”. Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie, Verhandelingen 48/3 Wheatley, Paul, 1961, The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Wolters, O.W., 1970,The Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University Press. ______, 1974, Early Indonesian Commerce. A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca, London: Cornell University Press.
MENGUAK TABIR TABIR DHARMASRAYA
[55]
TENTANG PENYUSUN Drs. Budi Istiawan. Lahir di Purwodadi (Jawa Tengah), 21 September 1966. Menamatkan S1-nya di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (Jogjakarta) tahun 1991. Mulai tahun 1992 bekerja di Batusangkar (Sumatera Barat) sebagai staf di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar (dulu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala). Jabatan sekarang adalah Kasi Pelestarian dan Pemanfataan pada BP3 Batusangkar, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Drs. Bambang Budi Utomo. Lahir di Jakarta, 7 Agustus 1954. Pendidikan S1-nya ditempuh di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (Jakarta) dan lulus tahun 1981. Hingga kini masih aktif sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sejak tahun 1985, banyak melakukan penelitian lapangan di situs-situs Masa Klasik (Hindu-Budha) di Sumatera Selatan dan Jambi.
[56] Ranah Minang dan Kerajaan Melayu