BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter. Kondisi perairan sungai ini memiliki dasar bebatuan dan berarus deras. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan masyarakat setempat, di Sungai Tabir terdapat berbagai macam ikan, antara lain: ikan semah, ikan betok, ikan mujair, dan ikan tapah. Masyarakat juga memanfaatkan Sungai Tabir untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan kakus (MCK). Stasiun I berada di Kelurahan Mampun dan berbatasan dengan Kecamatan Tabir Ulu. Lokasinya terletak jauh dari pemukiman penduduk dan jarang ditemukan aktivitas masyarakat. Kondisi perairan di stasiun ini cukup mewakili habitat asli ikan semah. Tepi sungai ini terdapat vegetasi yang didominasi pohon kensurai.
Gambar 4.1 Lokasi Stasiun I (Dokumentasi Penelitian, 2015)
21
22
Lokasi stasiun II berdekatan dengan pemukiman masyarakat. Pada saat penelitian, kedalaman air di satsiun II yaitu maksimal 1,2 m. Masyarakat memanfaatkan sungai ini untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan kakus (MCK).
Gambar 4.2 Lokasi Stasiun II (Dokumentasi Penelitian, 2015)
Stasiun III berada di Desa Sebahau. Pada stasiun ini dijumpai kegiatan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat setempat, ditandai dengan adanya alat dompeng dan eskavator (Gambar 4.3). Pada bagian tepi sungai terdapat tumpukan batu kerikil yang berasal dari pengerukan dasar sungai. Kedalaman sungai pada stasiun III terukur maksimal 4 meter, disebabkan karena pengerukan dasar sungai.
23
Gambar 4.3 Lokasi Stasiun III (Dokumentasi Penelitian, 2015)
Stasiun IV berlokasi di Desa Petepah dan berbatasan dengan Kecamatan Tabir Ilir. Lokasi ini merupakan stasiun yang mewakili kondisi dekat dengan perkebunan kelapa sawit. Jarak antara pohon sawit dari tepi sungai sekitar 8-10 m. Selain itu, di bagian tepi sungai terdapat tumbuhan talas dan rerumputan.
Gambar 4.4 Lokasi stasiun IV (Dokumentasi Penelitian, 2015)
4.2. Data Parameter Habitat Sungai Tabir di Kecamatan Tabir Pada penelitian ini dilakukan pengamatan parameter lingkungan perairan yang terdiri atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika yang diamati antara lain suhu, kecerahan, kecepatan arus, dan kedalaman sungai. Faktor kimia terdiri atas Ph dan
24
Dissolved Oxygen (DO). Hasil pengamatan terhadap habitat ikan semah di Sungai Tabir menunjukkan adanya perbedaan nilai parameter dari masing-masing stasiun. Tabel 4.1. Data Parameter Habitat Sungai Tabir di Kecamatan Tabir Stasiun Pengamatan No.
1 2 3 4 1 2
Parameter Habitat Fisik Suhu Air (oC) Kecerahan (cm) Kecepatan Arus (cm/detik) Kedalaman Sungai Maksimal (m) Kimia pH DO (Dissolved Oxygen) (mg/l)
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
25-26 14 50 3,15
27-29 9 50 1,20
25-26 7 25 4
25-26 14 50 3,7
7 5,76
6 4,8
7 5,6
7 6,24
Berdasarkan pengamatan pada setiap stasiun, diperoleh nilai suhu berkisar antara 25o-29oC. Suhu tertinggi terdapat di stasiun II yakni 27o-29oC. Sedangkan pada stasiun I, III, dan IV memiliki suhu sama yaitu berkisar antara 25o-26oC. Menurut Pasaribu (2011: 28), suhu di perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara udara disekelilingnya dan vegetasi yang menutupi sungai. Secara keseluruhan suhu yang terukur di semua stasiun masih mendukung bagi populasi ikan semah maupun jenis ikan lainnya (Haryono dan Subagja, 2008: 309). Kecerahan yang terukur pada empat stasiun berkisar antara 7-14 cm. Secara keseluruhan nilai kecerahan yang terukur termasuk rendah. Kecerahan tertinggi yang terukur terdapat pada stasiun I dan IV yaitu 14 cm, sedangkan kecerahan terendah pada stasiun III yaitu 7 cm. Nilai kecerahan yang rendah disebabkan terurainya lumpur dengan air. Hal ini berasal dari aktivitas pertambangan emas yang mengeruk dasar sungai sehingga menyebabkan lumpur dari dasar sungai terangkat.
25
Kecepatan arus berperanan dalam penyebaran organisme di dalam air. Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar antara 25-50 cm/detik. Nilai ini termasuk kecepatan arus sedang hingga deras. Haryono dan Subagja (2008: 308) menyatakan, ikan semah remaja dan dewasa pada umumnya hidup pada habitat berupa dasar bebatuan, substrat kerikil, dan air yang berarus sedang hingga deras. Secara keseluruhan kecepatan arus yang terukur sesuai dengan kehidupan ikan semah. Kedalaman sungai di empat stasiun berkisar antara 1,2-4 m. Hasil ini menunjukan bahwa kedalaman sungai pada semua stasiun masih dapat menopang kehidupan ikan semah. Lokasi perairan yang paling dalam berada di Stasiun III yaitu 4 m. Hal ini terjadi karena pengerukan dasar sungai yang disebabkan oleh kegiatan penambangan emas. Derajat Keasaman (pH) merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan organisme akuatik. pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan. Nilai pH yang terukur pada ke empat stasiun saat penelitian tidak jauh berbeda, yaitu berada pada kisaran 6-7. Dari hasil pengukuran pH tersebut masih dapat mendukung kehidupan ikan. Menurut Mailinda (2012: 17), pH yang berkisar antara 6-7 masih dapat mendukung kelangsungan hidup bagi biota air. Dengan kata lain ikan semah masih dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut. Oksigen terlarut (DO) sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup ikan di perairan. Oksigen diperlukan organisme air untuk melakukan proses metabolisme dalam tubuh. Perubahan
kandungan oksigen terlarut di ekosistem
26
perairan sangat berpengaruh terhadap organisme air (Pasaribu, 2011: 30). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai oksigen terlarut dari semua stasiun berkisar antara 4,8-6,2 mg/l. Utomo dan Krismono (2006: 311), menyatakan bahwa ikan semah hidup di perairan yang oksigen terlarutnya lebih dari 6 mg/l. Pada stasiun II memiliki kandungan oksigen terendah yakni 4,8 mg/l. Diperkirakan sedikitnya jumlah oksigen terlarut mempengaruhi keberadaan ikan semah di stasiun tersebut. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan ketidak berhasilan dalam menangkap ikan semah. 4.3. Kepadatan Ikan Semah (Tor tambra Val, 1842) Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Tabir Kabupaten Merangin diperoleh hasil tangkapan ikan semah sebanyak 27 ekor. Jumlah ikan semah yang didapat per stasiun yaitu stasiun I sebanyak 14 ekor, stasiun II tidak ditemukan, stasiun III sebanyak 1 ekor, dan stasiun IV sebanyak 12 ekor. Dari semua hasil yang ditangkap kemudian dihitung jumlah kepadatan populasinya sehingga didapat nilai sebesar 0,01 ekor/m2. Kepadatan populasi ikan semah per stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Kepadatan Populasi Ikan Semah per Stasiun Jumlah Individu Luas Area Stasiun No. per Stasiun Pengamatan Stasiun Penelitian (Ni) (A) 1 Stasiun I 14 675 2 Stasiun II 0 675 3 Stasiun III 1 675 4 Stasiun IV 12 675 Jumlah Total
27
2700
Kepadatan Populasi (K) 0,020 0 0,001 0,017 0,01
27
Jumlah ikan semah yang ditangkap selama penelitian dengan menggunakan berbagai alat tangkap diperoleh sebanyak 27 ekor, dengan kepadatan sebesar 0,01 ekor/m2. Sedangkan spesies ikan lainnya yang tertangkap pada saat penelitian berjumlah 12 spesies diantaranya: Anabas testudineus, Cryptopterus bicirchis, Trichogaster trichopterus, Trichogaster pectoralis, Osteochillus Schlegeli, Channa lucius, Puntius schwanepeldi, Mystus nemuru, Hampala macrolepidota, Helostoma temmincki, Rasbora argirotaenia, Labiobarbus ocellatus.
Ikan Semah yang tertangkap adalah spesies Tor tambra, yakni memiliki ciriciri meristik yang berbeda dengan spesies Tor lainnya. Ciri-ciri meristik Tor tambra dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Ciri-ciri meristik Tor tambra Spesies
Gurat Sisi
Sirip Dorsal
Sirip Perut
Sirip Vertikal
Sirip Anal
Sisik Melintang Badan
Tor tambra
22
D: I . 9 C: 3,37
P: 9
Ab: 15
A: 6
4,5
Menurut Haryono dan Subagja (2008: 308), kriteria kepadatan populasi yaitu jika < 1 ekor/m2 sangat jarang, 3-5 ekor/m2 jarang, 6-10 ekor/m2 sedang, 11-15 ekor/m2 melimpah, > 15 sangat melimpah. Berdasarkan kriteria tersebut, kepadatan ikan semah di Sungai Tabir terbilang sangat jarang. Hasil ini juga lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Lasmawati (2010) yang juga dilakukan di daerah aliran Sungai Tabir, mendapatkan tangkapan ikan semah sebanyak 55 ekor dengan kepadatan populasi sebesar 0,18 ekor/m2. Ikan semah yang diperoleh pada stasiun I berjumlah 14 ekor dengan kepadatan sebesar 0,02 ekor/m2. Hasil tangkapan ikan semah di stasiun I lebih tinggi
28
jika dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya karena di stasiun ini termasuk habitat yang cukup baik bagi ikan semah. Hal ini disebabkan oleh kondisi faktor fisik dan kimia seperti suhu, kecepatan arus, kedalaman sungai, pH, dan oksigen terlarut yang mendukung kehidupan ikan semah. Haryono dan Subagja (2008: 309) menyatakan, habitat yang mendukung kehidupan ikan semah yaitu pada suhu 26o-31oC, kecepatan arus yang deras, pH 6-7, dan oksigen terlarut 5,8-8,5. Disamping itu di stasiun I terdapat banyak vegetasi di tepi sungai dan berlokasi jauh dari aktivitas masyarakat. Pada stasiun I terdapat sumber makanan ikan semah yaitu buah kensurai. Kensurai (Dipterocarpus sp) adalah vegetasi yang umumnya tumbuh di tepi sungai. Masyarakat sekitar menginformasikan bahwa ikan semah menyukai buah kensurai. Menurut Sulastri dkk, (1985) dalam Gunarso dkk (2009: 36), pada dasarnya ikan semah memakan alga yang tumbuh di batu, bunga dan buah yang jatuh ke sungai dari pohon yang tumbuh di sepanjang sungai, misalnya Dipterocarpus sp dan Ficus sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soedjito (1998: 299), bahwa sumber makanan ikan semah adalah buah kensurai yang biasa hidup di tepi sungai. Oleh karena itu, masyarakat memanfaatkan buah kensurai sebagai umpan untuk menangkap ikan semah. Buah kensurai dicampur dengan terasi, kemudian umpan dipadatkan dan dimasukkan ke dalam bubu. Sedangkan pada pancing, umpan tersebut dikaitkan pada mata kail. Stasiun II tidak ditemukan ikan semah. Hal ini diduga kondisi perairan di stasiun ini kurang sesuai dengan habitat ikan semah. Lokasi stasiun ini berada di dekat pemukiman masyarakat. Pengamatan di stasiun II dilakukan bersamaan dengan kegiatan masyarakat sehari-hari. Setiap hari masyarakat memanfaatkan lokasi ini
29
untuk melakukan kegiatan mandi, mencuci, kakus (MCK) di sungai dengan menggunakan detergen, sampo, dan sabun. Siagian (2009:15), menjelaskan bahwa aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung di habitat sungai dapat mempengaruhi keberadaan ikan, karena ikan adalah organisme akuatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Pada stasiun ini memiliki suhu tertinggi yaitu 27o-29oC dan oksigen terlarut terendah yaitu 4,8 mg/l. Menurut Mailinda (2012: 15), semakin tinggi suhu maka semakin sedikit pula oksigen terlarut yang dapat diikat. Hal ini diperkirakan juga berpengaruh terhadap keberadaan ikan semah di stasiun II karena oksigen terlarut yang rendah. Pada dasarnya ikan semah hidup di perairan yang oksigen terlarutnya lebih dari 6 mg/l (Utomo dan Krismono, 2006: 311). Stasiun III berdekatan dengan pertambangan emas yang masih beroprasi. Posisi stasiun ini berada di hilir dari pertambangan emas dengan jarak 100 m. Pada stasiun III didapat ikan semah hanya 1 ekor. Ikan semah yang diperoleh pada stasiun III lebih sedikit daripada stasiun I dan stasiun IV. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kegiatan penambangan emas yang menyebabkan kondisi air menjadi keruh. Kekeruhan di stasiun III terlihat paling rendah daripada ketiga stasiun lainnya yakni 7 cm. Menurut Mailinda (2012: 16), kekeruhan dapat menghambat penetrasi cahaya ke badan sungai dan dapat mempengaruhi produktivitas ikan memalui rantai makanan. Sedangkan Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006: 113), kekeruhan yang berasal dari dasar sungai dapat menyebabkan lumpur menumpuk di dalam insang dan menyebabkan gangguan fisiologi pada ikan. Dengan demikian aktivitas penambangan
30
emas yang menyebabkan terurainya lumpur dengan air, diperkirakan mempengaruhi jumlah ikan semah yang diperoleh di stasiun III. Hasil tangkapan ikan semah yang didapat di stasiun IV berjumlah 12 ekor dengan kepadatan sebesar 0,017 ekor/m2. Perairan Stasiun IV masih dapat mendukung kehidupan ikan semah. Hal ini diduga karena faktor habitat dan sumber makanan mempengaruhi keberadaan ikan semah di stasiun ini. Pada saat penelitian di stasiun IV terjadi hujan sehingga menyebabkan volume air sungai naik dan arus air semakin deras. Ikan semah umumnya menyukai habitat sungai yang berarus deras. Hal ini sesuai dengan Haryono dan Subagja (2008: 308), menyatakan bahwa ikan semah pada umumnya hidup di habitat yang berarus deras. Lokasi stasiun IV berada di dekat perkebunan kelapa sawit. Menurut masyarakat di sekitar stasiun IV, ikan semah juga menyukai buah sawit sebagai makanannya. Pada saat penelitian di stasiun IV, masyarakat menggunakan serabut buah sawit sebagai umpan yang dibungkus dengan menggunakan kain, kemudian diletakkan di dalam bubu. Jika menangkap dengan menggunakan pancing, serabut kelapa sawit dicampur dengan terasi hingga padat, lalu dikaitkan di mata kail. Hasil tangkapan ikan semah di lokasi penelitian menunjukan ukuran pajang dan berat tubuh yang bervariasi. Menurut Haryono dan Subagja (2008: 307), untuk menunjukkan ukuran ikan semah yang berhasil ditangkap dikelompokkan menjadi beberapa kelas. Panjang total ikan semah dikelompokan menjadi 2 kelas. Kelas I merupakan kelompok ikan yang paling banyak tertangkap yakni memiliki panjang total berkisar antara 10-20 cm sebanyak 18 ekor. Kategori kelas II adalah ikan yang berukuran 21-30 cm yakni sebanyak 9 ekor.
31
Tabel 4.4. Panjang Total dan Berat Tubuh Ikan Semah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Panjang Tubuh/ Berat Tubuh Panjang Total (cm) (gram) Kelas I 10 51 10,55 54 11,12 55 11,13 57 13,15 58 15 62 15,03 60 15,11 63 16 85 17 84 18,01 90 18,52 96 18,55 100 19,05 119 19,11 119 19,32 128 19,60 125 20 156 Kelas II 23,16 159 23,19 322 25,20 313 27 333 29,19 356 30,26 380 30,18 387 30,36 434 30,40 456
Menurut Haryono dan Subagja (2008:307) struktur populasi ikan semah terdiri dari: anakan, remaja, dan dewasa. Anakan ikan semah panjang tubuhnya di bawah 30 cm, ukuran remaja dengan kisaran panjang 31-40 cm dan dewasa dengan panjang lebih dari 51 cm. Berdasarkan seluruh hasil tangkapan ikan semah yang didapat di lokasi penelitian didominasi ikan semah anakan. Sebagian besar penelitian dilakukan saat musim kemarau, hal ini diduga dapat mempengaruhi ukuran ikan semah yang ditangkap.
32
4.4. Distribusi Ikan Semah (Tor tambra Val, 1842) Berdasarkan hasil tangkapan ikan semah dari masing-masing stasiun, dihitung nilai distribusi menggunakan indeks morisita. Sehingga diperoleh kriteria distribusi ikan semah di masing-masing stasiun. Tabel 4.5. Distribusi Populasi Ikan Semah No. Stasiun Penangkapan Ikan Id 1 Stasiun I 0,92 2 Stasiun II 3 Stasiun III 0 4 Stasiun IV 0,99
Keterangan Berkelompok Acak Berkelompok
Menurut Krebs (1989: 150-152) jika distribusi memiliki nilai 0 maka distribusi tersebut acak, jika nilai distribusi lebih kecil dari 0 maka distribusi tersebut seragam, dan jika nilai lebih besar dari 0 maka distribusi tersebut cenderung berkelompok. Distribusi pada semua stasiun secara umum terjadi berkelompok. Pada stasiun III memiliki nilai 0 dengan kata lain berarti memiliki kategori distribusi acak. Nilai ini terukur karena pada saat penelitian hanya didapat satu ekor ikan semah. Distribusi ikan dipengaruhi oleh kondisi habitat dan lingkungan sekitar. Suin (2002) dalam Siagian (2009: 73), menyatakan bahwa faktor habitat seperti fisik, dan kimia serta ketersediaan sumber makanan bagi organisme ikan sangat mempengaruhi keberadaan ikan dan dapat mempengaruhi distribusinya di habitat tersebut. Habitat yang masih mendukung bagi kelangsungan hidup ikan semah terdapat pada stasiun I dan stasiun IV, dimana pada stasiun tersebut memiliki nilai parameter habitat yang sesuai. Diantaranya suhu yang berkisar antara 25o-26oC, kecepatan arus yang deras, pH 6-7, dan oksigen terlarut 5,6-6,24 mg/l. Selain itu pada stasiun I dan IV termasuk cukup baik, ditandai dengan banyaknya vegetasi dan sumber makanan.