MENGGUGAH PARTISIPASI GENDER DI LINGKUNGAN KOMUNITAS Penulis: : Dr. Remiswal, S.Ag., M.Pd. Edisi Kedua Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail :
[email protected]
Remiswal, Dr., S.Ag., M.Pd. MENGGUGAH PARTISIPASI GENDER DI LINGKUNGAN KOMUNITAS/Dr. Remiswal, S.Ag., M.Pd. - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 viii + 120 hlm, 1 Jil.: 26 cm. ISBN:
978-602-262-021-1
1. Sosial
I. Judul
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, buku
“ Menggugah Partisip
Perempuan di Lingkungan Komunitas Lokal Mela
A
lhamdulillah, buku “ Menggugah Partisipasi PerempuanGender” di Lingkungan Komunitas Melalui Pendidikan yang hadir Lokal di hadapan pembaca Pendidikan Gender” yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan rekonstruksi dari disertamerupakan rekonstruksi dariPartisipasi disertasi penulis yang berju si penulis yang berjudul “ Pendidikan Gender dalam Kerangka Peningkatan Perempuan di Lingkungan Nagari”. Terjadinya perubahan pada judul buku ini bermaksud menyuguhkan tulisan “ Pendidikan Gender dalam Kerangka Peningka yang enak dibaca tanpa mengurangi makna dari keaslian disertasi tersebut, meskipun di dalamnya ada beberapa hal yang disimplisitkan, termasuk juga beberapa penambahan dilakukan di bePartisipasi Perempuan di yang Lingkungan Nagari”. Terjadin berapa bagian buku ini. Namun secara keseluruhan buku ini tetap menggambarkan secara utuh hasil perubahan pada judul buku ini bermaksud menyuguhk sebuah penelitian disertasi.
tulisanterma yangglobal enak dibaca tanpa mengurangi makna d Komunitas lokal (local community) merupakan yang mendapat perhatian serius daripada penggiat pembangunan. Dalam konteks ini, komunitas lokal bisa dipahami sebagai suku keaslian disertasi tersebut, meskipun di dalamnya (kelompok-kelompok masyarakat) yang masih hidup dengan kearifan nilai-nilai lokal yang dimiliki nya seperti suku Sakai di Jambi, suku Badui dibeberapa Jawa Barat,hal sukuyang Dayakdisimplisitkan, di Kalimantan, suku Punan juga bebera termasuk di Sulawesi dan masih banyak lagi suku-suku yang ditemukan di pedalaman wilayah Indonesia ini. penambahan yang dilakukan di beberapa bagian buku Atau komunitas lokal dapat juga dipahami sebagai implementasi budaya anak bangsa dalam sistem pemerintahan pada tingkat terendah di Indonesia, sepertisecara nagari di Sumatera Barat, uta ini di Sumatera Namun keseluruhan buku tetap menggambark Utara, desa di Jawa, gampong di Pemerintahan Aceh, kampung di Irian Jaya dan sebagainya. secara utuh hasil sebuah penelitian disertasi.
Munculnya penamaan pemerintahan terendah pada beberapa daerah didasarkan atas karakteristik budaya lokal yang dimilikinya. Tentunya penamaan tersebut juga berdampak secara hukum Komunitas lokal (local community) merupakan ter bagi daerah-daerah tersebut. Daerah dengan kriteria seperti itu menganut konsekuensi hukum positif negara serta hukum adatnya sendiri. Oleh karena itu nagari bentukperhatian pemerintahan berbasis global yang sebagai mendapat serius daripada pengg komunitas senantiasa mensejalankan antara hukum positif negara dan hukum adat yang dimilikinya. pembangunan. Dalam konteks ini, komunitas lokal b Nagari sebagai sebuah bentuk kebudayaan senantiasa memiliki pranata-pranata pendukungnya.
dipahami sebagai suku (kelompok-kelompok masyarak
yang masih hidup dengan kearifan nilai-nilai lokal ya
dimilikinya seperti suku Sakai di Jambi, suku Badui di Ja
vi
Menggugah Partisipasi Gender di Lingkungan Komunitas Lokal
Pandangan terhadap laki-laki dan perempuan di lingkungan nagari memiliki kedudukan dan peran yang berbeda. Mereka berbuat dan bersikap berdasarkan proporsinya di lingkungan nagari. Segala tindakannya dapat difahami dan dicermati dalam perspektif bernagari (emik), atau analisisanalisis lain dapat digunakan untuk memperhatikan aktivitas mereka (etik). Namun, secara keseluruhan buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat terbuka dengan segala kritikan demi kesempurnaan buku ini untuk masa mendatang.
Padang, Desember 2012 Penulis,
Dr. Remiswal, S.Ag., M.Pd.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 LATAR BELAKANG BAB 2 PENDIDIKAN GENDER A. Konsep Pendidikan B. Konsep Gender C. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi Gender
v vii 1 7 8 12 17
BAB 3
PARTISIPASI PEREMPUAN A. Konsep Partisipasi B. Konsep Perempuan C. Partisipasi Perempuan Sebagai Buah Transformasi Gender
29 29 32 35
BAB 4
HAKIKAT KOMUNITAS LOKAL A. Konsep Lingkungan B. Konsep Komunitas Lokal C. Nagari Sebagai Lingkungan Komunitas Lokal
41 41 42 48
BAB 5
LINGKUNGAN KOMUNITAS LOKAL SEBAGAI PENELITIAN A. Kondisi lingkungan fisik nagari “x” B. Kondisi lingkungan sosial nagari ”x” C. Sejarah dan budaya nagari “x”
55 55 57 60
BAB 6
PROSES TRANSFORMASI GENDER DI LINGKUNGAN KOMUNITAS LOKAL A. Perempuan Sebagai Anggota Keluarga
63 63
viii
Menggugah Partisipasi Gender di Lingkungan Komunitas Lokal
B. C. D.
BAB 7
ASPEK-ASPEK PENGEMBANGAN PEREMPUAN DI LINGKUNGAN KOMUNITAS LOKAL A. Pengembangan Aspek Personal Perempuan di Lingkungan Nagari ”X” B. Pengembangan Aspek Professional Perempuan di Lingkungan Nagari “X” C. Pengembangan Aspek Sosial Perempuan di Lingkungan Nagari ”X”
BAB 8
PARTISIPASI PEREMPUAN DI LINGKUNGAN KOMUNITAS LOKAL A. Bidang Sosial B. Bidang adat dan lingkungan C. Bidang politik dan pemerintahan D. Bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan E. Bidang Olah Raga dan Kesenian
93 99 101 103 105 107
BAB 9
PENUTUP
109
DAFTAR PUSTAKA
113
Perempuan Sebagai Anggota Klan Perempuan Sebagai Anggota Grup-Grup Sosial Perempuan Sebagai Bagian Pranata Politik Lokal
-oo0oo-
65 67 70 75 75 78 85
BAB 1 LATAR BELAKANG
E
ra millenium menuntut adanya perubahan besar yang berkaitan dengan relasi gender, yaitu suatu hubungan yang mengharuskan kesetaraan peran antara laki-laki dan perem puan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tuntutan kesetaraan peran tersebut bisa dipandang sebagai bentuk keniscayaan yang mengakomodasi tingkat partisipasi masyarakat dan mengeliminir dominasi laki-laki atas perempuan dalam pembangunan. Adanya bentuk dominasi peran yang terjadi selama ini bisa menjadi penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam wilayah publik (public sphere). Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perempuan yang memiliki peran strategis dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam pengembangan pendidikan, ke sehatan, perekonomian, sosial, politik, budaya, lingkungan dan sebagainya. Rendahnya apresiasi perempuan terhadap hak-hak hidupnya, suatu hal yang menyalahi ko dratnya sebagai manusia, karena hak-hak hidup merupakan sesuatu yang bersifat asasi dan universal. Setiap manusia berkebutuhan terhadap hak-hak tersebut, baik laki-laki maupun perempuan. Sifat kebutuhan dasar manusia tersebut adalah alamiah, dalam konteks apa dan dimana pun senantiasa menjadi perhatian, hanya saja dalam implementasinya masih jauh dari yang diharapkan, apalagi jika ditetapkan sebuah standar kelayakan dalam mencapai hak-hak hidup tersebut. Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan berdampak positif terhadap perempuan. Perempuan senantiasa dipandang bukan sebagai beban pembangunan, tetapi perempuan dapat dijadikan mitra, bahkan sebagai subjek pembangunan. Perempuan memiliki berbagai posisi strategis untuk mendukung kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, upaya pengembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah sebuah keharusan sebagai bentuk pemberdayaan dari ketidakberdayaan (powerless) perempuan selama ini.
2
Menggugah Partisipasi Gender di Lingkungan Komunitas Lokal
Tumbuhnya berbagai bentuk kajian seperti Pusat Studi Wanita (PSW) / Pusat Studi Gender (PSG) dan sejenisnya adalah sebagai bentuk kesadaran tentang pentingnya melibatkan perempuan dalam pembangunan. Tindakan diskriminatif serta meninggalkan keaktifan perempuan menjadi indikasi ketertinggal an suatu negara dalam melindungi hak-hak hidup warganya. Oleh karena itu, bermunculanlah organisasi-organisasi yang memberikan advokasi pemulihan hak-hak perempuan pada negara-negara maju, kemudian gerakan-gerakan yang ada berimbas ke negara-negara berkembang. Hanya saja gerakan-gerakan tidak disikapi sama oleh negara-negara berkembang, karena negara-negara berkembang pada umumnya masih terbelit dengan persoalan internal seperti buta huruf, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Adanya gerakan Education For All (EFA) pada tahun 1990 dan salah tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000 merupakan upaya mengangkat perempuan dari keterpurukannya, sebagai penyebab lemahnya partisipasi mereka dalam pembangunan. Upaya mendorong terjadinya kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai bentuk protes terhadap pelaksanaan pembangunan yang bias gender. Rendahnya partisipasi perempuan ditemukan dalam berbagai level dan bidang kegiatan pembangunan pada negara-negara berkembang memaksanya untuk meratifikasi hasil konferensi dunia yang terkait dengan agenda gender. Di sini gender sebagai sebuah gerakan berangkat dari issu keprihatinan terhadap perempuan secara internasional mewarnai gerakan gender yang terjadi pada negara-negara peserta konferensi tersebut. Kuatnya respons negara-negara peserta konferensi terhadap agenda gender tersebut, sejalan dengan geliat yang ditunjukkan perempuan sendiri. Munculnya perempuan sebagai single parent menjadi babak baru dalam melihat peran maskulin perempuan, misalnya dari catatan Munti pada tahun 1999 bahwa ditemukan dari setiap sembilan rumah tangga terpilih satu di antaranya dikepalai perempuan dengan status di antaranya janda, tidak tamat SD, dan hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini diprediksi akan terus meningkat, karena adanya krisis ekonomi yang terjadi di masyarakat. Pada komunitas lokal pada umumnya implementasi kesetaraan gender belum menyentuh. Dari berbagai data yang diperoleh belum signifikannya tingkat keterlibatan perempuan dalam kehidupan masyarakat lokal. Pada hal komunitas lokal, seperti nagari, gampong, desa dan berbagai sebutan lainnya merupakan refleksi dari miniatur negara. Susilo (1997) memandang gerakan otonomi yang terjadi sebagai motivasi mencapai kedaulatan pada tingkat lokal ini. Dari tingkat inilah seyogyanya terjadi pemerataan suatu peran dalam pembangunan. Warga komunitas lokal baik laki-laki maupun perempuan adalah sebagai pelaku