Menggenggam Pijar Purnama Nuri Novita
A
ku menatap kerutan di tangan yang sedang menggenggam karet untuk menarik seutas tali itu. Baru kali ini aku melihat langsung seseorang yang benar-benar bekerja keras. Tangan seorang bapak tua yang menarik tali agar perahu yang disebut getek itu dapat maju membuang jarak menuju seberang Kali Ciliwung. Sungai dengan air kecokelatan bertabur sampah yang membelah Kota Jakarta itu mendatangkan mata pencaharian bagi Pak Nasir. Nama bapak tua itu. Karet dari bahan sandal jepit itu terlihat lusuh, selusuh tangan yang menggenggamnya.
Karet itu bertindak sebagai benteng agar tangan Pak Nasir tidak terluka bila langsung menarik tali getek. Otot-otot bisep dan trisep Pak Nasir bergerak seirama arus kecil air sungai yang mengalir mengantarkanku ke seberang. Aku menatap cemas kehadiran mendung di langit. Hari mulai diselimuti awan hitam. Angin sepoi-sepoi beberapa saat lalu kini menggila hingga sampah-sampah yang mengapung di air sedikit melayang ke udara. Aku menyesali keterlambatanku. Hari sudah terlalu sore dan bersiap menjemput malam. Cuaca buruk makin memperkeruh suasana.
Akhirnya aku tak memedulikan lagi kerja keras Pak Nasir yang tadi cukup menarik perhatianku. “Neng, udah sampai di seberang, Neng.” Suara bass Pak Nasir membuyarkan ruang imaji yang mulai melayang-layang. “Neng, tampaknya mau hujan lebat, Neng. Saya mau istirahat dulu. Anginnya terlalu kencang. Tenaga tua saya nggak sanggup narik getek saat hujan lebat dan berangin. Terlampau berat. Getek satu-satunya di sini. Mudahmudahan Neng masih agak lama, ya, di sini.” “Iya, Pak. Nggak apa-apa. Saya memang terlambat ke tempat ini. Teman saya, Ajeng, lagi sakit. Jadi, saya ingin menggantikannya. Tak tega membayangkan anak-anak di sini kecewa karena kelas mendongeng batal hari ini.” Aku membalas Pak Nasir cepat-cepat. “Hati-hati, ya, Neng. Walaupun ini sudah kesekian kalinya Neng ke sini menggantikan Ajeng, ini kan tetep perkampungan kumuh. Kita harus pandai jaga diri. Kalau bisa, sebelum magrib Neng sudah di sini lagi.” Aku mengangguk sambil tersenyum ke arah Pak Nasir. Sambil melantunkan doa, aku menghabiskan jarak menuju rumah Mak Siti. Rumah terbaik di sekitar perkampungan liar tempat pembuangan sampah ini. Di sanalah kelas mendongeng biasa digelar. Aku menunduk. Menghindari menatap langit mendung. Suasana redup yang menggayuti perjalananku menimbulkan detak gugup di dada. Sreeettt. Seorang laki-laki menghadang perjalananku. Rambut lurusnya acak-acakan. Kulihat sebuah giwang murahan menghiasi telinga kirinya. Senyum sinisnya jelas ditujukan buatku. “Wah, ada nona besar cantik berkenan hadir di tempat kumuh ini. Mencari saya, Nona?” Dia mulai memperkecil jarak di antara kami. Aku refleks bergerak mundur. Kecemasan pasti terbayang jelas di wajahku karena laki-laki tadi melangkah maju dengan tatapan mengancam. “Bang ROMI!! JANGAN GANGGU DIA!” Suara lain keras ditujukan pada laki-laki pertama. Aku mencari sang empunya suara. Aku tercengang menatap seorang pemuda kotor dan gondrong yang mirip seorang vokalis band negeri ini. Matanya berkilat-kilat tajam menatap lelaki pertama yang bernama Romi. Mata itu tiba-tiba
menoleh ke arahku. Kali ini sinar matanya meredup dan membelaiku dengan kelembutan. Aku menelan ludah. Kegugupanku mulai berubah rupa. “Hei, Pur! Mau apa kau di sini, hah?” Baru tercium aroma menyengat dari mulut Romi. Tiba-tiba suara petir menggelegar, mengusik pertikaian dua lelaki di depanku. Pembelaku yang dipanggil ‘Pur’ dan Romi. “Maaf, Bang Romi. Sekarang bukan saatnya menghadapimu! Kembali padaku saat kau sedang tidak mabuk!” Laki-laki bernama Pur itu menggandengku tiba-tiba, tepat saat hujan mulai membelah langit. Dalam tirai hujan kami berlari-lari mencari tempat berteduh. Saat menemukannya, tubuh kami sudah kuyup dibelai hujan. Aku menoleh ke samping, ke arah penolongku tadi, lalu cepat-cepat menunduk saat dia menoleh ke arahku. “Namaku Purnama. Semua memanggilku Pur.” “Aku Tari. Lengkapnya Mentari.” “Mentari dan Purnama menari dalam irama hujan,” gumamnya. Aku tertegun. Purnama ternyata sangat terpelajar. Buat apa dia ada di sini? * Tok tok tok. Suara ketukan di pintu kamarku membawaku ke alam nyata. “Tari, kamu dipanggil Mama untuk makan siang.” Mbak Puji, asisten Mama mencubit pipiku. “Makan siang, Mbak? Tumben Mama pulang dari galeri. Biasanya juga Mama makan di galeri?” “Hari ini galeri sengaja tutup setengah hari. Ada pesanan suvenir angklung dari Singapura. Jadi, mamamu ingin ke Bandung siang ini juga untuk mempersiapkan pengrajin di sana. Tuh, Pak Bono udah siap anterin mamamu. Kami tunggu di bawah, ya. Makan siang bareng.” Aku mengangguk. Mbak Puji menutup pintu kamar. Apa yang harus kulakukan? Sudah tiga hari ini Purnama merajai pikiranku. Genggaman erat tangannya saat kami berlari dan setengah mati melawan licinnya perjalanan begitu berkesan. Berkali-kali nyaris terjatuh tapi kami saling menjaga agar tak jatuh. Saat aku tergelincir, de-
ngan sigap Purnama menahanku agar tak jatuh. Saat Purnama terpeleset, aku menariknya agar kembali bangkit. Pipiku panas bila mengingat itu. Aroma kopi yang menguar dari jaket Purnama menularkan kehangatan pada tubuhku yang menggigil karena mandi hujan kala itu. “Saat kecil, kukira hujan itu tetesan air mata Tuhan. Karena aku nakal, makanya Tuhan menangis. Tapi saat ini, bagiku hujan adalah pembawa rezeki.” Purnama tersenyum simpul menatapku. “Rezeki itu membuatku bertemu Mentari yang akan menerangi jalanku. Menuntunku ke arah terang. Kamu tahu, purnama pun gelap jika tak memantulkan cahaya mentari.” Entah kenapa aku terbahak-bahak saat itu. Menurutku ucapannya mulai berlebihan. Tawaku menulari Purnama. Saat itu kulihat geligi paling putih dan rapi dalam hidupku. Ada cahaya memantul dalam senyumnya. “Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini, Tari?” “Aku ingin mengajarkan mimpi pada anakanak di sini lewat kelas dongeng. Hanya dengan mimpi mereka dapat mengubah nasib. Aku juga anak tunggal yang tak punya teman di rumah. Selain les-les wajib di daftar Mama, aku ingin punya teman di luar lingkunganku yang biasa. Aku pun ingin punya adik. Di sini aku mendapatkan semuanya.” “Kamu nggak ke mal? Sebagian gadis yang kukenal lebih senang nongkrong di mal.” “Mal memang ramai, tapi semua sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sudah bosan shopping. Baju yang ada di mal sudah ada di lemariku. Mama atau Mbak Puji yang membelikan. Lagi pula, aku gadis yang tak pernah pusing dengan urusan fashion. Hahaha. Aku ke mal hanya untuk menonton film yang menurutku bagus. Jadi, cukup sekali-kali aja.” Purnama menatapku lekat. Sorot matanya terlihat begitu bercahaya di mataku. Matanya berpijar seperti purnama saat malam datang. “Lebih baik kamu pulang aja, Tari. Tubuhmu kuyup dan hari mulai gelap.” “Aku menyukai malam. Tanpa gelap kita tak akan pernah melihat bintang.” “Hahaha! Tari! Stephenie Meyer memang
pernah bilang begitu, tapi di kota besar yang sarat kriminalitas ini lebih baik kamu cepat pulang. Esok kamu bisa kembali lagi, kan? Saat terang akan lebih aman.” “Tukang baca juga, ya? Kok tau aku ngutip kata-kata Stephenie Meyer?” “Banyak orang mengatakan hal semacam itu, deh. Bukan hanya dia.” Sisa hari itu dihiasi gelak tawa kami hingga Magrib menjelang. “Mentari! Ayo kita makan, Sayang. Mama lapar, nih.” Suara Mama membawaku ke dunia nyata. Aroma ikan kerapu bakar kesukaanku menguar menelusup di celah pintu kamarku. Mendadak aku merasa kelaparan. * “Jadi, Purnama itu keponakan Pak Nasir?” “Yup.” Ajeng memotong-motong siomay sambil mengangguk-angguk. “Pantas dia ada di sana.”
“Yup. Dia kuliah di Yogya. Kemarin itu dia lagi liburan. Berkunjung ke rumah pamannya, sekalian riset tentang masyarakat yang hidup di antara gunung sampah untuk tugasnya di jurusan komunikasi. Sepertinya dia cerdas. Dia kuliah karena beasiswa penuh, lho.” Ajeng berbinarbinar. “Kamu suka, ya?” “Hahaha. Lalu si Mulia mau aku simpan di mana, Tari? Astaga! Jangan-jangan kamu yang suka Mas Purnama, ya?” Pipiku memanas. Ajeng tersenyum jahil. “Kemarin aku ke sana, dia nggak ada.” “Jelas. Dia juga kerja part time ngisi liburannya. Lucu juga, ya, Mentari mengejar Purnama. Akankah mereka bersatu? Mereka hidup di dunia yang berbeda.” Aku mencubit bahu Ajeng dengan gemas. “Dunianya tetap sama, cuma waktunya yang berbeda. Aku siang, dia malam.” Sehabis menyesap sirop rasa stroberi, aku meninggalkan Ajeng yang mulai asyik berbagi cerita dengan Mulia, kekasihnya. * Kali kedua bersama Purnama. Bias cahaya memantul dari kaca gedung di depanku. Matahari nun di atas sana seperti sedang marah dan menyiramkan panas teriknya ke seluruh penghuni bumi. Aku tersenyum lega. Kealpaanku membawa payung tidak membuatku khawatir lagi seperti tadi pagi. Segala hal di alam semesta ini berusaha kulihat secara positif. Mama pernah berkata itulah kunci bahagia. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk berpura-pura mengerti. Kata Mama, pernahkah sayang mama yang manja ini (tentu saja maksud Mama aku) berterima-kasih terhadap semua yang dianggap buruk oleh kita? Semua hal yang kita anggap buruk adalah ujian. Tantangan untuk menjadi lebih kuat dan lebih baik lagi. Jika kita menjadi pribadi yang makin maju secara fisik dan mental, seharusnya kita berterima kasih pada hal-hal –yang terlihatburuk itu, kan? Saat aku berputus asa mencari buku Sybil – gadis dengan 16 kepribadian’ di seluruh sudut buku psikologi, aku melihat sosok dengan jaket yang sangat kukenal. “Kak Pur?” Aku terkesima melihat Purnama yang terlihat lebih tampan dari saat
pertama kali bertemu. Kali ini jaketnya menguarkan aroma musk dan kayumanis. Dia bersih dan rapi. Rambutnya dipangkas pendek seperti mahasiswa yang beradab, berbudaya, dan terpelajar. “Kak Pur,” kataku dengan suara lebih keras sambil mengintip buku apa yang sedang dibacanya. Angela’s Ashes. Kak Pur seperti tenggelam dalam buku memoar itu. Aku menyerap dalam-dalam aroma bersih dari tubuhnya. Aku merutuki diri sendiri saat perlahan-lahan jantungku memompa darah lebih cepat karenanya. Ya Tuhan. Dia masih larut dalam dunianya sendiri. Entah mengapa pemandangan laki-laki larut dalam buku yang dibacanya terlihat menarik di mataku. Laki-laki itupun tampan dan masih muda. Aku tersenyum-senyum sendiri. Aku menepuk bahunya pelan. Dia terlonjak kaget dan bukunya terjatuh. Aku langsung menyesal melihat reaksinya. Perlahan dia menoleh ke arahku sambil mencopot sesuatu dari telinganya. Pantas dia sekaget itu. Ada musik menguasai telinganya. Seperti musik yang tibatiba saja menelusupi hatiku. Aku langsung memasang senyum termanisku. Dia terperangah. “Tari?” Matanya langsung intens mengamatiku seksama. Aku merasa jengah. Perlahan kurasakan panas menjalar ke seluruh wajahku. Purnama menghela napas panjang. Lalu diam. Hening menggelayuti pertemuan itu pada awalnya. Beberapa menit kemudian. “Kamu harus baca buku Angela’s Ashes. Kamu akan bertambah empati terhadap penderitaan bocah-bocah tak terurus di sekitar tempat pembuangan sampah itu. Oh ya, kamu sedang mencari buku tertentu atau jalan-jalan saja?” Kebekuan percakapan makin mencair saat kami membicarakan buku. Aku menyuarakan keprihatinanku terhadap tetanggaku yang kuliah jurusan psikologi tapi tak tahu menahu tentang buku Sybil. Aku berencana mencarikan buku tersebut untuknya. Obrolan kami melompat-lompat dari Dan Brown hingga Sandra Brown. Julia Quinn hingga Anthony Quinn. Jurassic Park hingga Mansfield Park. Twilight hingga Anne Frank. The Cranberries hingga Sherina. Wushu hingga Kill Bill. Jet Lee hingga Si Pitung. The Chemical romance
hingga Suju. Michael Crichton hingga Herge. Topik yang melompat-lompat sesuka kami. Sepanjang siang hingga sore hari, aku menjalin pengertian dan pemahaman baru tentang Purnama. Sungguh aku makin terseret dalam pesona Purnama. * Sekali lagi pertemuanku dengan Purnama. Selepas shalat magrib di Terminal Senen, aku menunggu bus di tengah kerumunan orang. Pada jam pulang kerja seperti ini, aku terpaksa berebut naik bus karena persaingan keras ibu kota. Bahkan untuk sekadar naik bus kota. Aku menyesal keasyikan berburu buku di pasar loak hingga lupa waktu. Tadi Pak Bono yang mengantarkanku ke sini. Namun, karena Mama membutuhkannya, akhirnya aku pulang sendiri. Aku cemas, hari menjelang Isya tapi bus yang kutunggu belum juga tiba. Begitu bus muncul, aku terkesima melihat kerumunan orang berlari-lari menjemput bus yang masih berada di luar terminal. Bahuku ditarik oleh seseorang. Aku tersentak. Kudengar seseorang menggeram. “Mentari! Buat apa gadis sepertimu ada di sini malam-malam? Demi Tuhan! Sendirian pula! Kamu tau ada orang baru saja meraba-raba tasmu? Ayo ikut aku!” Tiba-tiba aku ingin sekali marah. Dalam fisik yang lelah, darahku mudah bergolak. Aku mendongak menatap orang yang menggeram tadi. Purnama. Mendadak aku tak bisa marah. Aku terpesona dengan kehadirannya. Purnama marah-marah. “Hai, Mentari, bisa nggak kamu hanya merajai siang? Jangan ikutikut aku menyambangi malam. Lain kali, aku nggak mau melihat kamu di duniaku! Dunia malam!” Mukaku terasa panas. “Selama ini mentari sukses menerangi hidupnya sendiri dan hidup orang lain. Apa salahnya sedikit berpetualang malam-malam? Bukankah aku perlu mengenal kehidupan bintang-bintang yang lain? Mengapa purnama mau turut campur kehidupan mentari?” Purnama menghela napas panjang. Dia menatapku lekat-lekat. Tubuhnya menguarkan aroma after shave yang menyegarkan pernapasanku. Kali ini dia terlihat makin tampan dan bersih. Mendadak aku tak bisa berpikir. Matanya berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu.
Purnama berpijar malam itu. Perlahan pijarnya meredup dan suara selembut beledu membelaiku syahdu. “Percayalah Tari, ini demi kebaikanmu.” Aku memang percaya. Aku merasa aman bersamanya. Aku hanya bisa mengangguk dan menyerah. Kudengar bunyi detak jantung membingkai perjalanan kami. Aku tak habis pikir mengapa Purnama sangat marah. Detak jantungnya menunjukkan hal itu. Aku tak mengerti. Sungguh. Aku merasa tak berarti di matanya. Kemarahan Purnama membuat hatiku sakit. Benarkah? Kalau hatiku sakit, mengapa ada debar aneh di dada? Entahlah. Aku tak mengerti. * “Neng Tari, kan?” Aku menatap Pak Nasir yang sedang mempersiapkan geteknya. “Ada titipan dari ponakan saya. Dia sudah berangkat ke Yogya pagi tadi. Maaf tak sempat pamitan, katanya.” Pak Nasir tersenyum maklum. Aku mengambil surat dari tangan Pak Nasir lalu mengucapkan terima kasih. Aku mulai membaca lembar demi lembar surat itu. Hai, Mentariku. Aku tahu kita berdua selalu bertemu pada saat dunia hanya memiliki warna putih, hitam, dan abu-abu. Dunia saat menjelang malam. Mungkin sepercik senja mewarnai pertemuan pertama kita. Yang jelas, kehadiranmu cukup membuat warna-warni dalam hidupku. Bahagia, takut, marah, dan cemas. Aku bahagia saat bertemu pertama kalinya. Marah saat pertemuan ketiga kita. Aku marah karena sang mentari yang seharusnya tak menyusup di dunia malam, malah berkeliaran. Kamu benar-benar mentari bandel. Kamu nggak tau betapa cemasnya aku saat melihat dirimu diraba pencopet. Kamu nggak tau betapa takutnya aku saat melihatmu diganggu pemabuk. Perasaan itu datang begitu saja. Lain kali kita pasti bertemu lagi. Lain kali aku ingin mentari ini tak pernah terlambat untuk pergi ke peraduannya. Jangan lagi berkeliaran di malam hari. Jangan lagi membuatku takut, cemas, dan marah. Aku tahu sudah ada bumi yang menjaga dengan mengitarimu setiap waktu. Aku pun berusaha mendampingi bumi mengitarimu, Mentari. Hingga saatnya aku dapat menjadi bumimu.
Salam buat orangtuamu. Ceritakan tentangku. Tentang Purnama yang akan terus menjagamu. Seperti mereka, bumi yang menjaga mentariku. Jadilah bintang paling besar yang menerangi malamku dan duniaku. Mentari, kaulah bintang itu. Aku mengerti sekarang. Cinta bukan sekadar bahagia saat bertemu atau bersedih saat berpisah. Cinta itu harapan. Aku akan membujuk Mama agar mengizinkanku kuliah di Yogya tahun depan. Aku memilih untuk menggenggam pijar purnama.*** Pernah dimuat di Majalah Gadis