MENGENAL PENDEKATAN PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF DALAM PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN MANUSIA YANG CERDAS DAN HUMANIS Oleh: Paulus Wahana Prodi PGSD JIP, FKIP, Universitas Sanata Dharma Abstract Education is an activity of assisting and directing learners to grow and develop into intelligent and humanist human. Learners are hoped to own intelligence to determine the direction and purpose of life, to find a way, a means, as well as ways to achieve it, and to be able to face and resolve all obstacles (internal and external) to realize the human values in life and become humanist human. To achieve the goals of education, the writer tries to apply reflectivepedagogical approach, i.e. an approach in education that emphasizes an activity of reflection to build the learners into human with better competence in facing problems to reach the expected goals, the more sensitive conscience, and the better awareness to realize human values in this life (compassion). The implementation of education applying reflective-pedagogical approach with the five main steps: contexts, experiences, reflections, actions, and evaluations, is hopefully able to increase the competence, the sensitivity of conscience, and the awareness to realize the values in life so that the learners are built into intelligent and humanist human. Keywords: Education, intelligent and humanist human, reflective-pedagogical approach PENDAHULUAN Pendidikan adalah tuntunan dan pendampingan terhadap anak manusia untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang ideal, sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sebagai kegiatan yang direncanakan dan dipikirkan, setiap kegiatan pendidikan mesti memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu menuntun dan mendampingi peserta didik untuk berkembang menjadi manusia yang diidam-idamkan. Gambaran manusia yang diidam-idamkan oleh pelaku pendidikan, tentu saja dapat berbeda satu sama lain antara orang satu dengan orang lainnya, antara kelompok masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
12
Tidak hanya maksud atau tujuannya berbeda-beda, pun caranya mendidik juga tidak sama (Tauchid, 20135: 20). Berdasarkan UU SPN No. 20 Tahun 2003, secara formal pendidikan nasional Indonesia memiliki fungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, demi mewujudkan manusia yang humanis (Triwiyanto, 2014: 115). Disamping itu pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan agar semakin memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan yang memberi pencerahan, serta mampu mengolah pengetahuan tersebut serta merangkainya dalam suatu penalaran untuk dapat menghasilkan keputusan-keputusan, serta langkah-langkah yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang bernilai / berkualitas berdasarkan kodratnya sebagai makhluk yang bermartabat luhur. Adapun masalah pokok dalam hidup manusia sebenarnya adalah mewujudkan nilai-nilai yang memang dirasa secara kodrati cocok menjadi tujuan dalam perjalanan hidupnya, dan lebih rinci mampu menghadapi segala rintangan yang dihadapinya, agar sukses mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara optimal yang menjadi tujuan hidupnya, menjadi manusia yang humanis. (Pengasuh Majalah Basis, 1980: 8586). Namun
dalam
pelaksanaannya
kegiatan
pendidikan
belum
tentu
menghasilkan manusia yang cerdas dan humanis. Pendidikan sering hanya sekedar memberikan informasi- informasi, petuah-petuah melalui ceramah untuk melakukan yang baik menurut pendidik. Sehingga peserta didik bersangkutan kurang dilibatkan dalam mengambil pilihan dan keputusan, hanya menerima begitu saja apa yang diinformasikan, serta disuruh begitu saja untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik oleh pendidik. Peserta didik cenderung diperlakukan bagaikan robot untuk melakukan apa yang diinstruksikan pendidik, tanpa disertai pertimbangan serta penalaran untuk mengambil keputusan bertindak. Sehingga dalam perkembangan lebih lanjut, mereka begitu mudah dipengaruhi yang lain, mudah diprovokasi, termasuk untuk berbuat jahat. Maka dalam tulisan ini, penulis menawarkan pendekatan paradigma pendidikan reflektif untuk mendampingi 13
peserta didik dalam membangun dan mewujudkan kehidupan yang cerdas dan humanis. Berdasarkan kodratnya, manusia memang memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang cerdas dan humanis, karena manusia memang memiliki daya menalar, daya merasa, dan daya berkehendak untuk mewujudkan apa yang menjadi keputusan berdasar hal-hal yang dipertimbangkannya (Tauchid, 20135: 423-425). Dengan pendekatan pendidikan yang sesuai, diharapkan peserta didik dapat dibimbing dan dibantu untuk melakukan kegiatan yang dapat membangun dirinya sebagai manusia yang cerdas dan humanis. Maka dalam tulisan ini, akan dibahas hal-hal berikut ini secara bertahap dan sistematis: 1) gambaran umum pendidikan, 2) manusia dalam pendidikan, 3) pendekatan paradigma pedagogi reflektif dalam pendidikan, dan 4) membangun manusia yang cerdas dan humanis.
GAMBARAN UMUM PENDIDIKAN Secara formal, pengertian pendidikan dapat dilihat di dalam UU SPN No. 20 Tahun 2003, yaitu sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun untuk memperoleh gambaran secara obyektif tentang pendidikan, kita perlu menemukan terlebih dahulu tentang pendidikan sebagai obyeknya. Pendidikan sebenarnya di satu pihak mudah dapat kita temukan, karena keberadaannya tidak jauh dari kehidupan kita manusia, bahkan melekat dengan kehidupan manusia; namun di lain pihak sukar, karena ternyata tidak begitu saja mudah mengidentifikasikan pendidikan. Kita tidak bisa mengidentifikasikan pendidikan begitu saja berdasar bentuk kegiatannya,
berdasar
tempatnya,
berdasar
pelakunya.
Berdasar
bentuk
kegiatannya, ternyata pendidikan tidak ditentukan oleh suatu bentuk kegiatan tertentu (misalnya menulis di papan tulis); sedangkan menentukan tindakan orang 14
mencuci pakaian tidak sedemikian sukar, yaitu sebagai tindakan membersihkan pakaian dengan menggunakan air dan sabun, dan melakukan tindakan mengucek pakaian agar pakaian menjadi bersih. (Pengasuh Majalah Basis, 1980: 70-71). Pendidikan ternyata tidak dapat diidentifikasikan begitu saja dari bentuk luarnya. Pendidikan merupakan tindakan fundamental, yaitu: tindakan yang mampu menyentuh dan berpengaruh pada akar-akar hidup manusia, dan dapat mengubah serta menentukan hidup manusia; tindakan tersebut mendasari serta terungkap dalam berbagai bentuk tindakan sebagai perwujudannya. Sehingga untuk menemukan pendidikan, kita perlu menyelami lebih mendalam dari bentukbentuk tindakan yang merupakan perwujudan dari makna yang terkandung dari tindakan-tindakan tersebut, yang dapat dikatakan sebagai tindakan mendidik. Tindakan tersebut dikatakan pendidikan, bukan ditentukan oleh bentuk tindakan, namun ditentukan oleh makna atau arti yang terkandung dalam tindakan tersebut. Perbuatan merupakan pendidikan, karena perbuatan tersebut memuat arti tertentu, yaitu membawa anak ke taraf atau tingkat insani. Mendidik berarti mengubah dan menentukan hidup manusia ke arah hidup yang semakin manusiawi, menjadi manusia yang humanis. (Pengasuh Majalah Basis, 1980: 85-86). Sebagai manusia, yang memiliki kelebihan daripada makhluk lainnya (termasuk binatang), manusia tentu saja tidak cukup hanya sekedar tumbuh dan berkembang sampai tingkat kemampuan memfungsikan organ tubuhnya saja. Manusia yang memiliki daya rohani (daya cipta, daya rasa, dan daya karsa), perlu mengembangkan dan memfungsikan daya-daya tersebut. Manusia perlu mendayakan segala kemampuan rohaninya tersebut yang didukung aspek jasmaninya, dalam mengangkat unsur-unsur alamiah yang ada dalam dirinya, maupun yang ada di luar dirinya. Pengangkatan alam (natur) yang terjadi dengan “turun tangan” itu bisa kita sebut kebudayaan (cultur) dalam arti yang luas. Proses ini merupakan proses humanisasi. Manusia tidak hanya sekedar berkembang secara minimal sebagai homo (proses hominisasi), sekedar secara fisis-biotis dapat menggunakan organ tubuhnya (misal untuk berjalan, untuk memegang, dan untuk mendengar), tetapi dia juga harus menjadi homo yang human (proses humanisasi), artinya manjadi manusia yang memiliki kebudayaan lebih tinggi, mendayakan 15
budinya untuk dapat mengolah dan mengangkat hal-hal yang ada dalam dirinya maupun yang ada di luar dirinya menjadi lebih berkualitas. Manusia diharapkan memiliki kemampuan menalar semakin cerdas, memiliki kemampuan merasa semakin peka dapat menangkap nilai-nilai kemanusiaan, dan semakin memiliki kehendak dan kemampuan kokoh untuk mengendalikan daya penggerak yang ada dalam dirinya (emosi dan motivasi), sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang semakin berkualitas, semakin manusiawi, baik yang ada dalam dirinya maupun yang berada di sekitar lingkungan hidupnya. Dengan demikian intisari mendidik adalah membuat manusia menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang semakin berkualitas, semakin bernilai. (Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, dan Sarkim, 2006: 366-371)
MANUSIA DALAM PENDIDIKAN Berhubung tujuan pendidikan itu adalah mewujudkan homo yang human, manusia yang dewasa susila, manusia yang berbudaya, manusia yang diidealkan, maka ada baiknya kita memahami tentang struktur kodrati tentang manusia, agar usaha kita untuk mendidik memang terarah demi perwujudan manusia ideal yang sesuai dengan kodratnya. Berdasarkan susunan kodratnya, manusia tidak hanya sekedar makhluk jasmaniah, tetapi juga merupakan makhluk rohaniah, yang memiliki daya cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (konatif). (bdk. Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, dan Sarkim, 2006: 233-249). Aktivitas gerak manusia dapat berlangsung sebagaimana aktivitas makhluk-makhluk lainnya, misalnya: manusia dapat tergelincir jatuh, dapat tenggelam dalam air, bernafas, mencerna makanan. Aktivitas ini berlangsung begitu saja secara alamiah dan otomatis, dapat berlangsung tanpa adanya kendali dari manusia. Namun sebagai makhluk yang lebih luhur, manusia dapat melakukan kegiatan yang lebih dari makhluk-makhluk lainnya. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang didasarkan pada kemampuan rohani manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia tersebut berlangsung atas dasar perasaan, pemikiran, pertimbangan, pengambilan keputusan, adanya kehendak untuk melakukannya, dan selanjutnya terwujud dalam tindakan secara jasmaniah. 16
Berdasar struktur kodrat manusia, kiranya kita dapat menentukan titik pangkal serta arah tujuan bagi perkembangan manusia. Manusia, sebagai makhluk fisis dan biotis, kiranya anak manusia tersebut perlu didampingi untuk dapat melindungi diri dari bahaya yang dapat mengganggu pertumbuhannya, misalnya: anak dapat tumbuh dengan sehat, organ-organ tubuhnya dapat berfungsi dengan normal dan wajar (mata untuk dapat melihat dengan jelas, telinga untuk mendengar, lidah untuk mencecap, hidung
untuk membau, tangan untuk
berkarya, kaki untuk berjalan atau berlari). Dengan unsur akal pikirnya dan kehendak bebasnya, diharapkan anak didik dididik mampu menggunakan dan mengembangkannya dengan baik. Anak mampu mengetahui dan memahami dirinya sendiri, lingkungan alam dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya, yang semakin lama semakin meluas dan semakin kompleks, dan semakin mendalam, bahkan semakin dapat menyadari akan adanya Sang Khalik, dan semakin cerdas dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pergaulan hidupnya dengan yang lain. Pada awal kehadiran dan keberadaan di muka bumi ini boleh dikatakan seorang anak manusia hampir tidak memiliki gambaran dalam pikirannya tentang dirinya, tentang lingkungan alam yang ada di sekitarnya maupun lingkungan sosialnya. Dengan pengarahan dan bimbingan orang sudah dewasa, seorang anak diharap semakin memiliki gambaran semakin jelas, semakin mendalam, dan semakin kompleks tentang dirinya, tentang lingkungan alamnya, serta lingkungan sosialnya. Dengan pengetahuan yang semakin berkembang, seorang anak semakin memiliki modal untuk dapat mewujudkan kehendaknya secara cerdas, yaitu menata dan mengolah dirinya, lingkungannya demi mewujudkan kepentingan yang dikehendakinya. Sehingga pengetahuan tersebut tidak hanya sekedar untuk isi pikiran, melainkan memiliki peran membangun kecerdalan dalam menghadapi, menata, dan menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya (internal maupun eksternal) dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi tujuannya, yaitu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.
17
PENDEKATAN
PARADIGMA
PEDAGOGI
REFLEKTIF
DALAM
PENDIDIKAN Dalam
rangka
melakukan
tindakan
pendidikan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, maka pemikiran atau pertimbangan perlu dilakukan. Pelaksanaan pemikiran diawali atau dimulai dari tujuan sebagai dasar pertimbangan kegiatan pendidikan. Setelah memahami dan meyakini tujuan yang akan diusahakan, barulah melakukan pemikiran lebih lanjut, yaitu memikirkan tentang jalan, langkah, sarana-sarana, serta cara-cara yang relevan dan sesuai demi terwujudnya tujuan yang akan dicapainya. Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menjabarkan pemikiran lebih lanjut tentang pendidikan yang didasarkan pada paradigma pedagogi reflektif untuk mewujudkan peserta didik yang cerdas dan humanis. Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) merupakan pola pikir dalam menumbuhkembangkan pribadi peserta didik menjadi pribadi yang manusiawi (Tim Redaksi Kanisius, 2008: 39). Pada dasarnya PPR merupakan Paradigma Pedagogi Ignasian, yang mulai diperkenalkan Ignasius melalui kelompok religius yang bernama Serikat Jesus sejak tahun 1540. Karena inti pokok Paradigma Pedagogi Ignasian adalah refleksi, maka paradigma ini juga dikenal dengan nama Paradigma Pedagogi Reflektif (Subagya, 2010: 7). Pendidikan yang didasarkan pada paradigma pedagogi reflektif memiliki keyakinan akan gambaran tentang manusia yang akan dikembangkan, serta gambaran manusia ideal yang akan dicapai untuk diwujudkan. Cita-cita mengenai manusia ideal yang dituju dan kriteria pemilihan sarana dalam pendampingan peserta didik itu didasarkan pada pandangan akan manusia sebagai ciptaan yang berharga di mata Allah. Manusia diberi hidup, tubuh, bakat, kemampuan, akal budi, dan kehendak bebas dan dengan semua itu dia mampu mencipta seperti Allah sendiri. Segala anugerah Allah yang diberikan kepada setiap orang mengungkapkan Allah yang mencintai setiap pribadi, dan mengundang tiap pribadi untuk membalas cinta-Nya. Melalui pendidikan, dapat membantu peserta didik yang telah dicintai Allah itu semakin mampu membalas cinta-Nya. Tujuan pendidikan bukanlah sekedar pengumpulan segudang pengetahuan atau persiapan untuk melaksanakan sebuah profesi, 18
melainkan mengembangkan pribadi manusia seutuhnya yang akan menjadi „manusia untuk dan bersama orang lain‟. Pendidikan diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi manusia yang “utuh”, memiliki kompetensi intelektual yang cerdas, memiliki kemauan untuk berkembang, religius, penuh kasih, dan memiliki komitmen untuk mewujudkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam pelayanannya terhadap umat Allah. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan segala aspek kemanusiaan setiap orang di dalamnya, semakin memiliki kecerdasan dalam penalaran, semakin memiliki kepekaan dalam merasa, dan semakin memiliki kehendak yang kokoh untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, agar dia menemukan diri sebagai orang yang diciptakan Allah demi sesamanya (bdk. P3MP-LPM, 2012:6; Suparno, 2015:18-20). Pendekaatan paradigma pedagogi reflektif adalah prosedur pembelajaran yang berisi interaksi peserta didik dengan materi yang dipelajarinya dengan dosen sebagai fasilitator. Proses pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik yang menjadi pusat proses belajar mampu menemukan diri dalam kesadarannya
untuk
menggali
pengetahuan
serta
nilai
dengan
penuh
tanggungjawab. Melalui kegiatan pembelajaran ini, hasil pembelajaran yang diperoleh peserta didik tidak hanya berupa pengetahuan saja, tetapi diharap dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak (competence), hati nuraninya (conscience), serta kehendaknya dalam berbela rasa terhadap yang lain (compassion). Penndidikan dinilai berhasil bila peserta didik sendiri menemukan pengetahuan, pengertian, ketrampilan, serta nilai, dan tugas pendidik adalah sebagai fasilitator (Suparno, 2015:15). Pendidikan serta pembelajaran berjalan dengan dengan baik, ada beberapa sikap yang perlu dimiliki dan dikembangkan pada peserta didik dan pendidik. Sikap yang perlu dibangun dan dimiliki oleh peserta didik adalah: peserta didik harus aktif dan kreatif dalam belajar. Peserta didik harus bersemangat belajar, mengolah bahan, mencerna, menggali, serta melatih. Peserta didik diharapkan rela dibimbing oleh pendidik. Kerelaan dibimbing ini diwujudkan dengan sikap terbuka kepada pendidik, berani bertanya, berani mengungkapkan gagasan, dan kesulitan dalam belajar. Sedangkan pendidik, sebagai fasilitator, rela membantu 19
peserta didik agar aktif belajar dan berlatih. Pendidik bukan bertugas mencekokan pengertiannya pada peserta didik, tetapi lebih sebagai pembantu, pendorong, dan yang menyemangati agar peserta didik mau belajar. Pendidik diharapkan mengenal peserta didik, mengenal kesulitannya, cara berpikirnya, cara penalarannya, kesulitan dalam belajar, dan keadaannya. Dengan demikian pendidikan berlangsung secara dialogis antara pendidik dan peserta didik, saling percaya antara pendidik dan peserta didik; sehingga peserta didik merelakan diri memperoleh bimbingan dari pendidik, dan pendidik memberikan bimbingan secara bertanggung jawab pada peserta didik (Suparno, 2015:16) Dikemukakan bahwa dinamika pelaksanaan PPR meliputi lima langkah yang berkesinambungan dimulai dari konteks pengalaman refleksi aksi evaluasi (Subagya, 2010: 40; bdk. Suparno, 2015:21-41; P3MP-LPM, 2012: 11-37) Hasil evaluasi dijadikan titik tolak untuk melanjutkan proses pembelajaran yang berikutnya. 1. Konteks Konteks merupakan keadaan awal (kesiapan) peseta didik untuk berproses dalam suatu pembelajaran. Konteks meliputi keadaan keluarga, teman sebaya, lembaga pendidikan (sekolah), keadaan sosial, ekonomi, budaya, pengetahuan awal, dan peristiwa nyata yang dialami yang terangkum dalam kehidupan pribadi peserta didik. Konteks berpengaruh terhadap sikap, tanggapan, penilaian, dan pilihan peserta didik. Subagya (2010: 43-46) menyatakan bahwa kehidupan pribadi peserta didik sehari-hari dijadikan sebagai titik tolak proses pembelajaran yang akan dilakukan. Oleh karena itu, konteks dalam PPR dimulai dari pengalaman hidup peserta didik. Memulai proses pembelajaran dengan pengalaman nyata menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian terhadap peserta didik, yang mencakup seluruh aspek kehidupannya serta lingkungan yang meliputinya. Dan dengan demikian yang dipelajari peserta didik bukanlah yang asing dari siswa, melainkan yang secara nyata dihadapi dan dialami peserta didik; yang dipelajarinya bukan sekedar teks tulisan yang dibaca, serta kata-kata yang
20
didengar, melainkan hal yang secara nyata dihadapi dalam hidupnya, merupakan masalah yang secara nyata dapat dirasakan oleh peserta didik.
2. Pengalaman Pengalaman dalam PPR mencakup aspek competence, conscience, dan compassion yang diperoleh peserta didik secara seimbang. Subagya (2010:5051) membedakan pengalaman menjadi dua: a) pengalaman langsung, yaitu pengalaman yang benar-benar dialami oleh peserta didik. Dalam proses pembelajaran, pengalaman langsung merupakan pengalaman yang dialami dan dilakukan secara langsung peserta didik antara lain berupa: diskusi, olahraga, penelitian di laboratorium, kegiatan alam, dan proyek pelayanan. Keadaan tersebut membuat peserta didik berhadapan dan merasakan secara langsung materi yang diajarkan, bukan sekedar teks kata-kata yang disampaikan dalam bahasa tulis atau lisan; b) pengalaman tidak langsung, yaitu pengalaman yang diperoleh peserta didik secara tidak langsung dalam proses pembelajaran, sehingga menuntut peserta didik untuk berimajinasi untuk bisa mengerti dan menyelami materi pembelajaran. Pengalaman tidak langsung dapat diperoleh dari kegiatan melihat, membaca atau mendengarkan secara tidak langsung terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Dan agar yang dipelajari dapat membangkitkan imajinasi serta dapat menyentuh perasaan peserta didik, perlu sekali dibantu dengan media yang menjadi jembatan peserta didik untuk sampai pada gambaran tentang obyek yang dipelajarinya. Dalam PPR, pendidik berperan sebagai fasilitator untuk memberikan pengalaman pada peserta didik. Pengalaman yang diberikan diharapkan dapat melibatkan seluruh pikiran, hati, perasaan, dan pribadi peserta didik. Pengalaman memungkinkan peserta didik dapat menemukan hal-hal baru yang sesuai maupun yang bertentangan dengan pengetahuan awal mereka. Subagya (2010:49-50) menyatakan bahwa dengan pengalaman, peserta didik dapat terdorong untuk mencari pemahaman lebih lanjut dengan menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi sehingga membentuk peserta didik
21
berpengetahuan secara utuh, serta mampu membangkitkan persaaan serta kepeduliaan terhadap materi terkait.
3.
Refleksi Subagya (2010: 53) menyatakan bahwa refleksi berarti menyimak kembali dengan penuh perhatian bahan belajar, pengalaman, ide, usul, atau reaksi spontan agar mendapat makna secara mendalam. Dengan refleksi, peserta didik dapat melewati tahap pemahaman, sehingga dapat mengamalkan nilai yang diperoleh dalam kehidupan nyata dan memahami obyek yang dihadapinya, namun diharapkan dapat melihat dan mengetahui dirinya dengan segala keberadaannya dalam hubungannya dengan yang lain. Sehingga dengan refleksi, peserta didik dapat mengetahui dan merasakan hubungan dirinya dengan lingkungan sekitarnya, dapat menentukan langkah lebih lanjut yang dirasa baik dilakukannya, atau sebaliknya layak untuk dihindarinya. Subagya (2010: 54-55) menyatakan bahwa refleksi untuk peserta didik dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan dari pendidik, sehingga pendidik harus mampu merumuskan pertanyaan refleksi yang dapat menggugah batin peserta didik, menggugah hati nuraninya, serta kepeduliannya pada yang lain berkaitan dengan materi yang relevan.
4. Aksi Subagya (2010:59) menyatakan bahwa aksi merupakan pertumbuhan batin seseorang berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan juga manifestasi lahiriahnya. Aksi meliputi dua hal : a) pilihan batin, yaitu pilihan yang didasari oleh keyakinan bahwa keputusan yang diambil adalah benar dan dapat membawa pada pribadi yang lebih baik, b) pilihan lahir, yaitu pilihan setelah niat-niat yang dirumuskan diolah dalam pikiran, peserta didik akan terdorong untuk berbuat secara konsisten sesuai dengan prioritas yang telah dibuatnya. Jika menemukan makna yang positif, maka perbuatan akan menjadi kebiasaan yang menguntungkan. “Misalnya sekarang ia insaf akan
22
sebab-sebab hasil belajarnya yang buruk, ia akan mengubah cara belajar untuk menghindari kegagalan lagi” (Subagya, 2010: 60-61).
5. Evaluasi Evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meninjau kemajuan yang dicapai dalam proses pembelajaran dalam bentuk penilaian. Fokus penilaian tidak hanya pada akademiknya, tetapi juga memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara menyeluruh sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Oleh karena itu, penilaian dalam PPR tidak hanya berupa soal yang bersifat kognittif, tetapi juga meliputi skala pengukuran untuk mengukur kepekaan hati nurani dan jiwa sosial peserta didik. Penilaian tidak hanya meliputi aspek competence (kecerdasan pemikiran), tetapi meliputi aspek conscience (kepekaan hati nurani) serta aspek compassion (kepedulian sosial). Subagya (2010:61) menyatakan evaluasi akan menjadi efektif dan dapat menilai seberapa jauh perkembangan peserta didik jika dilakukan secara berkala. Oleh karena itu, evaluasi dilakukan pada setiap akhir putaran proses pembelajaran, untuk mengetahui dampaknya berkenaan dengan perkembangan pemikirannya, hati nuraninya, serta kepedulian sosialnya.
MEMBANGUN MANUSIA YANG CERDAS DAN HUMANIS Sebagai makhluk yang lebih luhur, manusia dapat melakukan kegiatan yang lebih dari makhluk-makhluk lainnya, tidak hanya digerakkan oleh dorongan: fisik, biologis, maupun psikis.
Namun kegiatan manusia dapat berlangsung
didasarkan pada kemampuan rohani manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia tersebut berlangsung atas dasar perasaan, pemikiran, pertimbangan, pengambilan keputusan, dan selanjutnya adanya kehendak untuk melakukannya. Dengan kelebihan ini, manusia diharapkan bukan berfungsi sebagai objek, melainkan sebagai subjek, yang menyadari dan menghendaki apa yang dilakukannya. Sehingga aktivitas yang dilakukan oleh manusia, diharapkan tidak hanya sekedar efek dorongan instink dari dalam diri manusia, atau sekedar reaksi 23
terhadap rangsangan atau stimulus yang mengenai dirinya. Dalam menghadapi dorongan instink dari dalam dirinya maupun stimulus dari lingkungannya, diharapkan manusia (sebagai subyek) sedapat mungkin melakukan pertimbangan, pemikiran, dan selanjutnya mengambil keputusan kehendak untuk melakukannya. Dalam menggunakan daya rohaninya tersebut, tentu saja tidak boleh asal-asalan, tetapi harus digunakan dengan benar dan menghasilkan keputusan bertindak yang baik. Tingkat kemampuan ini tidak dengan sendirinya dimiliki oleh manusia, melainkan manusia perlu belajar dan mengusahakan untuk pengembangannya. Menurut Covey (1989: 66-77) manusia diharapkan melalui pendidikan mampu mengembangkan daya rohaniahnya tersebut, sehingga manusia tidak menjadi korban keadaan, dan tidak bersifat reaktif terhadap keadaan, tetapi mampu berperanan sebagai subyek dalam menghadapi keadaan, dan bersifat pro-aktif, yang mampu merasakan, memikirkan, mempertimbangkan, dan akhirnya menghasilkan keputusan kehendak untuk menghadapi dan menangani keadaan tersebut untuk bertindak mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih luhur. Daya pikir atau cipta manusia perlu dikembangkan agar menjadi cerdas: mampu menganalisa (mengurai) tentang hal yang dihadapi, untuk mamahami bagian-bagiannya, saling keterkaitan bagian-bagian satu sama lain, hubungan sebab akibat antara hal yang satu dengan lainnya; dan agar mampu mensintesakan (merangkai) bagian-bagian yang ada, untuk mewujudkan satu kesatuan yang sistematis dari lingkungan alam dan sosial yang dihadapi dan dialami melalui proses pendidikan. Dengan berpikir, peserta didik dapat memperoleh pencerahan / penjelasan / keterangan tentang yang dipikirkannya, menghasilkan pemahaman atau gambaran keterjalinan yang jelas dan benar tentang yang dipikirkannya tersebut. Pemahaman yang jelas dan benar inilah dapat menjadi modal untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut, gambaran lebih luas, lebih mendalam, lebih rinci, serta lebih lengkap, dan selanjutnya dapat dipakai sebagai sarana untuk mengambil keputusan tindakan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi secara nyata dalam kehidupannya, untuk mewujudkan nilai-nilai yang menjadi tujuan dalam hidupnya. Orang yang bingung dalam suatu perjalanan akan terbantu oleh suatu denah yang memberikan gambaran yang jelas dan benar tentang 24
rangkaian jalan yang akan ditempuh untuk sampai ke tujuan. Demikian pula seorang bengkel sepeda motor akan dibantu oleh pemahamannya tentang sistem roda gigi mesin bersangkutan dengan segala bagian-bagiannya dalam menemukan masalah serta mengatasi masalah mesin tersebut untuk memperbaikinya. Selain daya cipta yang dapat membantu memberikan
pemahaman yang
jelas dan benar tentang berbagai hal dan masalah yang dihadapinya untuk diselesaikan, peserta didik juga memiliki kehendak atau kemauan bebas untuk dapat memilih tindakan
yang mungkin dilakukannya. Sehingga selain
pengetahuan, manusia memiliki kamauan untuk melakukan tindakan yang dipilihnya. Namun meskipun manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih dalam bertindak, ternyata manusia tidak begitu saja memilih dengan semenamena;
dan
justru
tindakan
tersebut
disadari,
maka
manusia
perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai tindakan yang baik atau bernilai (Makmurtomo,
1989:23-24).
Dalam
rangka
mempertanggungjawabkan
tindakannya tersebut, manusia dianugerahi daya rasa dalam hatinya, yang selalu menyertai manusia, yang menyadarkan manusia untuk bertindak baik dalam hidupnya dan menghindarai yang jahat; sedapat mungkin mewujudkan nilai-nilai yang positif dan luhur, serta menghindari nilai-nilai negatif dan rendah / remeh. Pada saat peserta didik menghadapi masalah dan keadaan dalam hidupnya, mereka
perlu
merefleksikan:
perlu
merasakan,
memikirkan
dan
mempertimbangkan untuk mengambil keputusan bertindak didasarkan pada landasan bahwa manusia wajib melakukan tindakan yang baik, dan menghindari yang jahat.
Dengan keceredasannya manusia dapat menentukan arah-tujuan
perjalanan hidupnya, menemukan jalan, langkah-langkah, sarana, dan cara-cara untuk sampai ke tujuan, mampu menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah yang merintanginya, serta memiliki kepekaan hati nurani dan ketangguhan kehendak untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang positif dan luhur, mewujudkan kehidupan manusia yang humanis.
25
KESIMPULAN Berdasarkan langkah-langkah pembahasan tersebut di atas, dapat kita simpulkan sebagai berikut: 1.
Pendidikan adalah kegiatan sadar pendampingan dan pengarahan yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik, agar peserta didik mengalami dan sampai pada tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebagaimana yang dicita-citakan.
2.
Pendidikan berusaha mengembangkan seluruh unsur dan aspek kodrat manusia secara penuh, yang mencakup unsur: jasmaniah (fisis, biotis, psikis), rohaniah (cipta, rasa, dan karsa, dan karya), individualitas, sosialitas, religiusitas.
3.
Berdasarkan kodrat serta potentsi yang telah dimiliki manusia, diharapkan pendidikan dapat mengembangkan kecerdasan daya cipta peserta didik, serta mengembangkan
kepekaan
perasaan
mengembangkan
ketangguhan
hati
kehendak
nurani
peserta
peserta, didik
maupun
untuk
dapat
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang positif dan luhur dalam hidupnya, sehingga dapat membangun manusia yang cerdas dan humanis. 4.
Agar pendidikan mampu membangun manusia yang cerdas dan humanis, kiranya perlu diusahakan berdasarkan pemahaman dan pendekatan tentang pendidikan yang searah dengan tujuan tersebut.
5.
Berdasarkan analisa dalam tulisan tersebut di atas, pendekatan yang searah dengan usaha membangun manusia yang cerdas dan humanis adalah pendekatan paradigma pedagogi reflektif, karena pendekatan tersebut memang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan (competence) baik intelektual maupun kemampuan fisik, mengembangkan kepekaan hati nuraninya (conscience), serta mengembangkan kehendak untuk peduli mewujudkan hal-hal yang kiranya bernilai positif dan luhur dalam kehidupan ini (compassion), dan akhirnya dapat diwujudkan dalam karya yang nyata.
26
DAFTAR PUSTAKA: Covey, Stephen R., 1989. The Seven Habits of Highly Effective People. New York: Fireside Simon & Schuster Building Rockefeller Center. Frondizi, R, 1971. What is Value? An Introduction to Axiology. Illinois / La Salle: Opencourt Publishing Co. Makmurtomo, A. & Soekarno, B., 1989. Etika (Filsafat Moral). Jakarta: Wira Sari. Mulyana, R., 2011. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Pengasuh Majalah Basis. 1980. Driyarkara tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. P3MP-LPM. 2012. Pedoman Model Pembelajaran Berbasis Paradigma Pedagogi Ignasian. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Subagya. 2010. Paradigma Pedagogi Reflektif. Mendampingi Peserta Didik Menjadi Cerdas dan Berkarakter (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. Sudiarja, A., Budi Subanar, G., Sunardi, St., dan Sarkim, T. (Penyunting). 2006. Karya Lengkap Driyarkara (Esai-Esai Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (dari Konsepsi sampai dengan Implementasi). Yogyakarta: Hikayat. Suparno, Paul. 2015. Pembelajaran di Perguruan Tinggi Bergaya Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tauchid, dkk. 20135. Ki Hadjar Dewantara I tentang Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Universitgas Tamansiswa bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Tim Redaksi Kanisius. 2008. Paradigma Pedagogi Reflektif (Alternatif Solusi Menuju Idelisme Pendidikan Kristiani). Yogyakarta: Kanisius. Triwiyanto, T. 2014. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
27